bagian theo
DESCRIPTION
translateTRANSCRIPT
PLASTISITAS FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL PADA REGIO TERKECIL SETELAH
KERUSAKAN FOKAL DI M1
Otak primata dikaruniai kaya dengan jaringan intrakortikal yang menyediakan komunikasi timbal
balik pada bermacam-macam area sensori dan motorik. Cedera pada korteks motorik menyebabkan
potensi kerusakan integrasi jaringan sensorimotor, yang menyebabkan kehilangan kontrol motorik.
Regulasi dari reseptor NMDA dan GABA menimbulkan ipsilesional dan hemisfer kontralateral.
Neuron kortikal terkecil menunjukan adanya inti yang iskemik, dan mengekspresikan gen
pertumbuhan akson, dendrit, dan cabang susunan sitoskeleton.
Sejak pengembangan kompensasi perilaku dan keterlibatan M1, berkontribusi terhadap penyembuhan
spontan. Masuk akal jika area motorik yang intak, menunjukan beberapa indikasi kesembuhan
fungsional, melalui hubungan intrakortikal dengan regio kortikal lainnya dan/atau hubungan langsung
dengan jalur kortikospinal.
Percobaan oleh Liu and Rouiller menunjukan inaktifasi korteks premotor pada primata dengan
GABAergic agonist muscimol, berdasarkan lesi iskemik dan defisit perilaku. Pengembalian kembali
tidak diamati dengan inaktifasi peri lesi atau korteks kontralateral. Jika korteks premotorik dapat
mengkompensasi kerusakan fungsi motot pada cedera M1, akan timbul perubahan fisiologi yang
menyertai penyembuhan. Pada monyet dewasa, teknik ICMS digunakan untuk menunjukan
karakteristik pada kedua M1 dan PMv, sebelum dan sesudah percobaan iskemik infark yang
menghancurkan 50% M1. Semua subjek menunjukan korelasi jumlah representatif M1 yang hancur.
Dengan kata lain makin banyak lesi pada M1, makin banyak kompensasi penyusunan kembali PMv.
Penelitian TMS pada pasien stroke yang sembuh juga munjukan area premotorik kembali dengan
kemampuan sendiri.
Menariknya, ketika lesi pada monyet lebih kecil 50% pada area M1, representatif dari PMv juga
berkurang. Pemeriksaan pada spektrum M1, berbagai ukuran infark, hubungan linear dapta dilihat.
Hasil ini menimbulkan fakta bahwa beberapa lesi area M1 subtotal merusakan keseluruhan hubungan
M1-PMv. Fenomena ini mengingatkan kepada penjelasan klasik Lashley tentang hubungan antara
massa serebral dan perubahan perilaku. Berdasarkan hipotesis ini, ukuran lesi diasumsikan secara
umum berhubungan dengan defisit kerusakan, dimana lokasi lesi berkaitan dengan spesifikasi
defisit.Lashley juga menunjukan konsep kemiripan potensi yang masing-masing bagian memberikan
kemampuan area korteks untuk mengkode atau memproduksi kontrol perilaku normal pada
keseluruhan area. Setelah lesi yang lebih kecil, jarngan M1 yang ada dapat berpotensi sembuh secara
fungsional. Penyusunan kembali akan menyebabkan interkoneksi area korteks menjadi lebih pasif dan
menghasilkan kehilangan hubungan interkortikal. Pada lesi yang lebih besar, penyusunan kembali
jaringan mungkin tidak mencukupi pada motorik normal. Berdasarkan hewan percobaan, korteks
kontralesional dapat mecakup penyembuhan perilaku. Sinyal interhemisfer ditimbulkan segera setelah
stroke, sehingga respon sensory memproduksi stimulasi dari kedua kontralateral atau ipsilateral. Pada
perubahan pendek, perubahan neuroanatomi di korteks yang intak menimbulkan penggunaan terikat
yang meningkatkan penggunaan efek.
Sejak diketahui perubahan neuroanatomi timbul di area peri infark, dan jaringan neuronal terhubung
rapat, itu diikuti dengan banyak perubahan fungsional yang telah diamati pada regio kortikal terkecil
yang mungkin memiliki korelasi. Bukti sekarang menunjukan serat kortikal efferen kembali memulih
setelah cedera. Setelah lesi kortikal pada tikus percobaan, “corticostriatalfibers”, yang terutama
menghubungkan berbagai corticalmotor daerah dengan ipsilateralstriatum, yang tumbuh dari daerah
intak (kontralesional) korteks, dan berakhir di striatum kontralateral. Plastisitas tersebut dalam
menyeberangi sistem serat corticofugal dapat menyediakan satu mekanisme pada belahan hemisfer
untuk berpartisipasi pada proses pemulihan.
Bukti bahwa synaptogenesis dan pertumbuhan aksonal terjadi pada zona peri-infark setelah cedera
kortikal telah dibahas di atas. Selanjutnya, setelah cedera iskemik untuk representasi tangan M1
primata, pola koneksi yang paling intracortical dari PMV tetap utuh. Namun, bila dibandingkan
dengan monyet kontrol, setelah lesi M1 monyet menunjukkan proliferasi yang luar biasa dimana
proyeksi terminal di korteks sensorik primer (S1), khususnya di representasi tangan daerah 1 dan 2
(Gambar 6). Demikian juga, daerah somatosensori ini memiliki peningkatan yang signifikan dalam
jumlah sel tubuh retrograd, sehingga menunjukkan peningkatan proyeksi timbal balik dari S1 ke
PMV. Sebagai tambahan, proyeksi axon dari PMv, secara signifikan berubah pada daerah yang
mendekati lesi. Temuan ini sangat menarik, mengingat adanya hubungan langsung antara intracortical
M1 dan korteks somatosensori, serta adanya proyeksi kortikospinalis langsung yang berasal dari
PMV. Pada otak yang intak, M1 menerima masukan dari berbagai daerah lobus parietalis yang
memasok kulit dan proprioseptif yang sebagian besar terpisah di daerah tangan M1 di bagian posterior
dari M1, dan proprioseptif berada di lebih anterior. Pentingnya masukan somatosensori secara
fungsional ini dapat dilihat dari studi menggunakan lesi diskrit pada subregional di M1. Lesi di
daerah posterior M1 mengakibatkan defisit perilaku mirip dengan yang terlihat setelah lesi S1. Defisit
ini tampaknya mirip dengan agnosia sensorik di yang mencapai hewan untuk makanan,
tetapi tidak diketahui apakah item tersebut benar-benar ada. Lesi anterior M1 daerah tangan
mengakibatkan defisit dalam jangkauan metrik, yang mungkin menunjukkan gangguan
proprioseptif dalam korteks motorik. pelajaran dari studi ini adalah bahwa korteks motor tidak
dapat dianggap semata-mata sebagai struktur motor. Dengan demikian, setelah cedera M1, ada
pengurangan masukan substansial somatosensori ke daerah motorik. Bisa jadi, hubungan baru antara
PMV dan S1 merupakan upaya oleh sistem motorik kortikal yang terhubung dengan masukan
somatosensori. Namun, belum diketahui apakah hubungan ini adalah fungsional, adaptif atau
maladaptif. Ada kemungkinan bahwa fenomena yang berhubungan dengan zona cedera bukanlah
suatu yang unik. Hal ini lebih mungkin bahwa banyak struktur, baik kortikal dan subkortikal, yang
biasanya dihubungkan dengan jaringan yang terluka menjalani fisiologis substansial, dan perubahan
anatomi. Sebagai contoh, masing-masing lain area motorik kortikal cenderung mengubah pola
konektivitas intracortical mereka sejak target mereka rusak. Jika demikian, maka bahwa otak dengan
cedera fokal adalah sistem yang sangat berbeda. Hal ini tidak hanya sebuah sistem normal dengan
bagian yang hilang. Jika penyusunan kembali intracortical adalah proses yang dapat diprediksi seperti
yang kita pikirkan, maka kita mungkin bisa mulai mengembangkan cara-cara meningkatkan adaptif,
sementara menekan pola koneksi yang tak sesuai. Setelah stroke, perubahan luas terjadi pada pola
aktivasi, yang berhubungan dengan gerakan ekstremitas, di kedua belahan otak ipsilesional dan
kontralesional. Apakah aktivasi bilateral tersebut adaptif atau maladaptif masih menjadi bahan
perdebatan. Peningkatan aktivasi ipsilateral setelah stroke cukup luas, termasuk daerah
premotor yang terhindar (Weilleretal., 1992; Seitzetal 2005.). Dalam satu studi longitudinal,
peningkatan aktivasi SMA berkorelasi dengan pemulihan yang lebih baik (Loubinouxetal.,
2003). Penderita stroke dengan stroke MCA yang termasuk PM daerah lateral, memiliki efek
pemulihan yang buruk (Miyaietal., 1999), sedangkan peningkatan PM aktivitas lateral otak
yang dikaitkan dengan pemulihan yang lebih baik (Miyaietal., 2003). Dalam sebuah
eksperimen analog dengan monyet percobaan yang diinaktivasi sekunder, PMD ipsilesional penderita
stroke manusia bersifat tidak aktif sementara. Prosedur ini mengakibatkan penundaan waktu reaksi
yang tidak dihasilkan oleh inaktivasi PMD kontralesional atau PMD subyek yang sehat (Fridmanetal.,
2004). Dari hasil sampai saat ini, tidaklah mungkin untuk menentukan apakah area motor merupakan
komponen penting dalam pemulihan kemampuan motorik setelah stroke. Kami berhipotesis bahwa
seluruh kortikal dan subkortikal sistem motor yang terhindar oleh cedera berpartisipasi tergantung
pada luas dan lokasi dari cedera. Setidaknya beberapa fungsi dari daerah yang terluka dengan
demikian didistribusikan di seluruh jaringan motorik kortikal dan subkortikal yang tersisa.
INTERAKSI CEDERA DAN PENGALAMAN: HUBUNGAN NEURAL DENGAN “LEARNED
NON-USE”
Pada periode akut cedera neural, kemampuan motorik seringkali dibandingkan masing-masing. Taub
dan teman-teman menyarankan selama fase ini, percobaan penyempurnaan latihan dengan cara
perbandingan sering kali tidak berhasil, atau sukar, yang mana keduanya merupakan kondisi pada
efek samping yang ekstrim, yang kedepannya mengurangi usaha yang ada. Kondisi ini disebut
“learned non-use” yang berkembang pada fase akut kemampuan motorik. Dari asumsi ini, ditetapkan
fungsi yang dapat berkembang pada pasien stroke kronik. Pada khususnya, kelompok ini
mengembangkan inovasi yang mendekati yang disebut constraint-inducedmovement theraphy
(CIMT). Ide dibalik CIMT ini berasal dari eksperimen fundamental yang dikonduksi primata
berdasarkan pokok-pokok primata tersebut. Pada experimen ini, efek pada upper limb dipantau
selama cedera. Perilaku penyesuaian ini tidak dimanipulasi, bahkan setelah 3-6 bulan periode
penyembuhan. Negative feedback mengacu pada ketidak berhasilan efek pada upper limb. Setelah
periode penyembuhan, dimana kemampuan affek menjadi stabil, lanjutan perilaku, disebabkan dari
“learned non-use” ini. Bagaimanapun, karena fenomena ini, penggunaan aktual yang berefek kurang
dari potensi sesungguhnya.
Dukungan penuh untuk formulasi “learned non-use” datang dari sebuah penelitian yang mana
diaplikasikan langsung pada upper limb dari hewan percobaan dengan durasi 3 bulan, yang mencegah
fenomena “learned non-use” muncul ketika tingkat pengendaliannya diturunkan. Pada tahun
berikutnya, model CIMT muncul. Percobaan klinis A Landmark Phase III telah mendemonstrasikan
bahwa angka kesembuhan stroke meningkat secara signifikan pada hasil fungsional setelah CIMT 1
tahun.
Prosedur penggunaan CIMT adalah dengan menarik teknik yang sama yang digunakan oleh Nudo
et.al yang mendemonstrasikan penyusunan kembali stroke peri-infark diikuti stroke fokal pada
primata. Setelah stroke, primata yang berada pada kelompok rehabilitasi dipakaikan jaket berlengan
panjang untuk mengukur panjangnya lengan. Ini diperlukan untuk menguji kemampuan motorik pada
primata, tanpa mengendalikan perbandingan lengan. Bagaimanapun, jika timbul setelah cedera otak,
akan terdapat potensi kemungkinan adanya interpretasi post-injury platicity. Kebiasaan perilaku dan
interaksi cedera neural seperti itu, dapat mengubah produk bagian korteks pada mekanisme cedera
dan proses perubahan perilaku.
Ketidakpenggunaan bebas pada cedera neural, jarang terdapat pada pemeriksaan dengan teknik
mapping yang mendeskribsikan manusia dan primata. Sementara penelitian TMS menunjukan
terdapat hasil yang tipikal pada individu dengan fraktur. Dalam suatu penelitian longitudinal yang
unik, Miliken et at. memeriksa susunan korteks motorik pada primata yang sehat dan normal. Detal
dari ICMS diuji secara longitudinal, sebelum dan sesudah 35 minggu setelah pembatasan forelimb
bagian distal. Hasil dari demonstrasi tersebut adalah pembagian kembali presentasi lengan.
Selanjutnya, perubahan yang reversibel berupa pengembalian kemampuan perilaku umum selama 1
minggu, dan akhirnya menjadi normal. Bagaimana pun efek pada hewan dapat kembali, bersamaan
setelah cedera dapat kembali lagi, dan dapat mendukung [enguatan mototrik kembali.
Dengan integritas pada kerusakan hemisfer, Jones et al. telah mendemonstrasikan pada model tikus
yang mengkompensasi kemampuan pembelajaran efek penyembuhan fungsional. Efek-efek ini jarang
terlihat pada hewan percobaan dengan tugas bimanual.
PELUANG SEMBUH PADA CEDERA OTAK BERDASARKAN PRINSIP
NEUROPLASTISITAS
Seperti diskusi diatas, cedera pada otak karena trauma atau stroke, menyebabkan peristiwa molekular
dan selular pada sekeliling jaringan mengakibatkan perubahan temporer dan permanen dari sturktur
anatomi dan fisiologi. Banyak dari perubahan ini bersifat patologik, dan berpotensi menyebabkan
kerusakan. Bagaimanapun, proses penyesuaian akan dimulai pad masa awal fase post-injury dan
menurunkan sifat patologik atau perubahan neuroplastic yang akan mengurangi fungsi. Tetapi
perkembangan pengetahuan belakangan ini, muncul hipotesis tentang efek spesifik dari penanganan
post-injury pada penyembuhan fungsional yang berdasarkan neuroanatomi dan neurofisiologi.
Potensi tersembunyi pada mekanisme neuroplaticity setelah stroke telah didemonstrasikan pada
penggunaan tikus yang tidak mempunyai reseptor Nogo. Nogo adalah protein yang terdapat pada
pertumbuhan axon. Tikus yang tidak memiliki reseptor Nogo mengalami penyembuhan fungsi
motorik setelah stroke lebih baik. Lebih lanjut, tikus yang mendapatkan anti Nogo antibodi
mengalami hasil lebih baik pada penyembuhan perilaku 1 minggu setelah stroke. Penatalaksanaan
farmakologi dengan D-amphetamine setelah stroke, juga menunjukan tanda perbaikan neokortikal,
sinaptogenesis, dan perilaku.
Hasil dari bukti terkait yang telah didemonstrasikan setelah cedera neuron menunjukan bahwa
struktur neuron dan fungsi dapat membaik, sesuai dengan prinsip neuroplasticity. Bagaimanapun
untuk mengembangkan keefektifan, bukti rehabilitasi, waktu dan dosis, diperlukan analisis molekular,
selular, dan jaringan.
Seperti kebanyakan efek obat-obat pada cedera otak, terdapat pengoptimalan waktu penggunaan, yang
mana efektif terhadap paradigma perilaku. Regulasi protein termasuk di dalam pertumbuhan neural,
yang menyebabkan relatifitas waktu kesembuhan setelah cedera. Selain itu, percobaan klinis terkini
telah didemonstrasikan dengan hasil yang dapat dikembangkan, yang mana pengoptimalan waktu
dapat dimaksimalkan berdasarkan deteksi awal cedera. Pemakaian aksonal pada proses pemograman
adalah salah satu pemicunya, yang mana pada model hewan, dimulai 1-3 hari setelah stroke, dan
matang setelah 1 tahun. Gen neuronal growth-promoting dan grwth-inhibiting dapat dijalankan dan
dihentikan selama periode post injury. Sebagai tambahan, walaupun pemicu neurogenesis terjadi
melebihi batasan waktu. Namun patut dipahamai bahwa pengalaman kebiasaan perilaku memiliki
mekanisme yang berbeda setiap waktunya.
Demikian juga, banyak efek dari penanganan perilaku yang menunjukan proses yang paling awal
memerlukan percobaan yang lebih kompleks. Penyelidik dan terapis di bidang rehabilitasi neuro
menjadi sensitif terhadap isu ini, yang kemudian melaporkan bahwa tikus pada masa awal
dibandingkan menghasilkan cedera neuronal yang berlebihan. Mekanisme dari potensi cedera
meliputi reseptor NMDA yang mengmediasi peningkatan proses setelah cedera otak, dan itu
menunjukan perbandingan yang extrim yang disebabkan setelahnya termasuk tokssitas glutamat.
Penelitian lainnya mendemonstrasikan volume infark yang lebih kecil dan berkembang pada
penyembuhan tikus dengan MCA selama 28 hari. Penulis juga menemukan peningkatan faktor
neurotropik dan penurunan fak tor apoptosis. Ini mungkin disebabkan bahwa tipe tersebut dan
kebanyakan aktifitas motorik berlangsung pada proses regenerasi pada kematian neuronal selama fase
awal dari cedera otak. Bagaimanapun, yang menjadi catatan adalah tikus yang menjadi percobaan
yang dibandingkan mengangkat relatifitas kesusahan dari keseluruhan proses. Tikus tersebut harus
dibandingkan pada dukungan postural, penampilan, makan, dan pergerakan. Selain itu, fenomena ini
dilihat secara mendasar namun mendetail, yang mana tidak dapat dilihat pada bentuk pengamatan
latihan.
Penelitian-penelitian berikutnya lebih menggunakan pengoptimalan informasi kedua dari bukti
perilaku. Faktor ini penting bukan hanya untuk memahami keamanan rehabilitasi akut, tapi juga
hubungan respons dosis terhadap protokol rehabilitasi pada periode penanganan setelah stroke.
Hewan percobaan yang digunakan mengalami kesembuhan dengan perilaku yang berbeda, dan
cenderung berlebihan. Ini penting untuk mendefinisikan bahwa pasien stroke dapat mentolelir kondisi
tertentu dan dapat menjadi lebih baik. Pemeriksaan terhadap 18 pasien stroke kronik
mendemonstrasikan jumlah pengulangan terapi upper motor menghasilkan perkembangan fungsi
motor yang signifikan. Analisis yang terbaru secara metaanalisis juga menunjukan bukti yang sama.
Namun, analisa metaanalisis lebih rumit dengan adanya perbedaan dosis yang terkait dan hasil
output. Ini menunjukan bahwa diperlukan hubungan ada fase akut dan kronik untuk mendukung hasil
yang ada.
Rasionalnya, mekanisme ini baru dicoba pada hewan percobaan (non-human) yang mengacu pada
aktifitas molekular dan selular. Namun apakan pengulangan tersebut dapat meningkatkan faktor
neurotropik yang lebih baik? Apakan dapat menambah jumlah kesembuhan sinaptik? Bagaimanapun
juga, hasil dari pemeriksaan klinis, akan menuntun kita pada dosis yang tepat, pengambangan model
neurobiologikal yang sangat penting pada aturan tentang batasan terapi.