bagian theo

9
PLASTISITAS FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL PADA REGIO TERKECIL SETELAH KERUSAKAN FOKAL DI M1 Otak primata dikaruniai kaya dengan jaringan intrakortikal yang menyediakan komunikasi timbal balik pada bermacam-macam area sensori dan motorik. Cedera pada korteks motorik menyebabkan potensi kerusakan integrasi jaringan sensorimotor, yang menyebabkan kehilangan kontrol motorik. Regulasi dari reseptor NMDA dan GABA menimbulkan ipsilesional dan hemisfer kontralateral. Neuron kortikal terkecil menunjukan adanya inti yang iskemik, dan mengekspresikan gen pertumbuhan akson, dendrit, dan cabang susunan sitoskeleton. Sejak pengembangan kompensasi perilaku dan keterlibatan M1, berkontribusi terhadap penyembuhan spontan. Masuk akal jika area motorik yang intak, menunjukan beberapa indikasi kesembuhan fungsional, melalui hubungan intrakortikal dengan regio kortikal lainnya dan/atau hubungan langsung dengan jalur kortikospinal. Percobaan oleh Liu and Rouiller menunjukan inaktifasi korteks premotor pada primata dengan GABAergic agonist muscimol , berdasarkan lesi iskemik dan defisit perilaku. Pengembalian kembali tidak diamati dengan inaktifasi peri lesi atau korteks kontralateral. Jika korteks premotorik dapat mengkompensasi kerusakan fungsi motot pada cedera M1, akan timbul perubahan fisiologi yang menyertai penyembuhan. Pada monyet dewasa, teknik ICMS digunakan untuk menunjukan karakteristik pada kedua M1 dan PMv, sebelum dan sesudah percobaan iskemik infark yang menghancurkan 50% M1. Semua subjek menunjukan korelasi jumlah representatif M1 yang hancur. Dengan kata lain makin banyak lesi pada M1, makin banyak kompensasi penyusunan kembali PMv. Penelitian TMS pada pasien stroke yang sembuh juga munjukan area premotorik kembali dengan kemampuan sendiri. Menariknya, ketika lesi pada monyet lebih kecil 50% pada area M1, representatif dari PMv juga berkurang. Pemeriksaan pada spektrum M1, berbagai ukuran infark, hubungan linear dapta dilihat. Hasil ini

Upload: fanny-florence

Post on 17-Jan-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

translate

TRANSCRIPT

Page 1: Bagian Theo

PLASTISITAS FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL PADA REGIO TERKECIL SETELAH

KERUSAKAN FOKAL DI M1

Otak primata dikaruniai kaya dengan jaringan intrakortikal yang menyediakan komunikasi timbal

balik pada bermacam-macam area sensori dan motorik. Cedera pada korteks motorik menyebabkan

potensi kerusakan integrasi jaringan sensorimotor, yang menyebabkan kehilangan kontrol motorik.

Regulasi dari reseptor NMDA dan GABA menimbulkan ipsilesional dan hemisfer kontralateral.

Neuron kortikal terkecil menunjukan adanya inti yang iskemik, dan mengekspresikan gen

pertumbuhan akson, dendrit, dan cabang susunan sitoskeleton.

Sejak pengembangan kompensasi perilaku dan keterlibatan M1, berkontribusi terhadap penyembuhan

spontan. Masuk akal jika area motorik yang intak, menunjukan beberapa indikasi kesembuhan

fungsional, melalui hubungan intrakortikal dengan regio kortikal lainnya dan/atau hubungan langsung

dengan jalur kortikospinal.

Percobaan oleh Liu and Rouiller menunjukan inaktifasi korteks premotor pada primata dengan

GABAergic agonist muscimol, berdasarkan lesi iskemik dan defisit perilaku. Pengembalian kembali

tidak diamati dengan inaktifasi peri lesi atau korteks kontralateral. Jika korteks premotorik dapat

mengkompensasi kerusakan fungsi motot pada cedera M1, akan timbul perubahan fisiologi yang

menyertai penyembuhan. Pada monyet dewasa, teknik ICMS digunakan untuk menunjukan

karakteristik pada kedua M1 dan PMv, sebelum dan sesudah percobaan iskemik infark yang

menghancurkan 50% M1. Semua subjek menunjukan korelasi jumlah representatif M1 yang hancur.

Dengan kata lain makin banyak lesi pada M1, makin banyak kompensasi penyusunan kembali PMv.

Penelitian TMS pada pasien stroke yang sembuh juga munjukan area premotorik kembali dengan

kemampuan sendiri.

Menariknya, ketika lesi pada monyet lebih kecil 50% pada area M1, representatif dari PMv juga

berkurang. Pemeriksaan pada spektrum M1, berbagai ukuran infark, hubungan linear dapta dilihat.

Hasil ini menimbulkan fakta bahwa beberapa lesi area M1 subtotal merusakan keseluruhan hubungan

M1-PMv. Fenomena ini mengingatkan kepada penjelasan klasik Lashley tentang hubungan antara

massa serebral dan perubahan perilaku. Berdasarkan hipotesis ini, ukuran lesi diasumsikan secara

umum berhubungan dengan defisit kerusakan, dimana lokasi lesi berkaitan dengan spesifikasi

defisit.Lashley juga menunjukan konsep kemiripan potensi yang masing-masing bagian memberikan

kemampuan area korteks untuk mengkode atau memproduksi kontrol perilaku normal pada

keseluruhan area. Setelah lesi yang lebih kecil, jarngan M1 yang ada dapat berpotensi sembuh secara

fungsional. Penyusunan kembali akan menyebabkan interkoneksi area korteks menjadi lebih pasif dan

menghasilkan kehilangan hubungan interkortikal. Pada lesi yang lebih besar, penyusunan kembali

jaringan mungkin tidak mencukupi pada motorik normal. Berdasarkan hewan percobaan, korteks

kontralesional dapat mecakup penyembuhan perilaku. Sinyal interhemisfer ditimbulkan segera setelah

stroke, sehingga respon sensory memproduksi stimulasi dari kedua kontralateral atau ipsilateral. Pada

Page 2: Bagian Theo

perubahan pendek, perubahan neuroanatomi di korteks yang intak menimbulkan penggunaan terikat

yang meningkatkan penggunaan efek.

Sejak diketahui perubahan neuroanatomi timbul di area peri infark, dan jaringan neuronal terhubung

rapat, itu diikuti dengan banyak perubahan fungsional yang telah diamati pada regio kortikal terkecil

yang mungkin memiliki korelasi. Bukti sekarang menunjukan serat kortikal efferen kembali memulih

setelah cedera. Setelah lesi kortikal pada tikus percobaan, “corticostriatalfibers”, yang terutama

menghubungkan berbagai corticalmotor daerah dengan ipsilateralstriatum, yang tumbuh dari daerah

intak (kontralesional) korteks, dan berakhir di striatum kontralateral. Plastisitas tersebut dalam

menyeberangi sistem serat corticofugal dapat menyediakan satu mekanisme pada belahan hemisfer

untuk berpartisipasi pada proses pemulihan.

Bukti bahwa synaptogenesis dan pertumbuhan aksonal terjadi pada zona peri-infark setelah cedera

kortikal telah dibahas di atas. Selanjutnya, setelah cedera iskemik untuk representasi tangan M1

primata, pola koneksi yang paling intracortical dari PMV tetap utuh. Namun, bila dibandingkan

dengan monyet kontrol, setelah lesi M1 monyet menunjukkan proliferasi yang luar biasa dimana

proyeksi terminal di korteks sensorik primer (S1), khususnya di representasi tangan daerah 1 dan 2

(Gambar 6). Demikian juga, daerah somatosensori ini memiliki peningkatan yang signifikan dalam

jumlah sel tubuh retrograd, sehingga menunjukkan peningkatan proyeksi timbal balik dari S1 ke

PMV. Sebagai tambahan, proyeksi axon dari PMv, secara signifikan berubah pada daerah yang

mendekati lesi. Temuan ini sangat menarik, mengingat adanya hubungan langsung antara intracortical

M1 dan korteks somatosensori, serta adanya proyeksi kortikospinalis langsung yang berasal dari

PMV. Pada otak yang intak, M1 menerima masukan dari berbagai daerah lobus parietalis yang

memasok kulit dan proprioseptif yang sebagian besar terpisah di daerah tangan M1 di bagian posterior

dari M1, dan proprioseptif berada di lebih anterior. Pentingnya masukan somatosensori secara

fungsional ini dapat dilihat dari studi menggunakan lesi diskrit pada subregional di M1. Lesi di

daerah posterior M1 mengakibatkan defisit perilaku mirip dengan yang terlihat setelah lesi S1. Defisit

ini tampaknya mirip dengan agnosia sensorik di yang mencapai hewan untuk makanan,

tetapi tidak diketahui apakah item tersebut benar-benar ada. Lesi anterior M1 daerah tangan

mengakibatkan defisit dalam jangkauan metrik, yang mungkin menunjukkan gangguan

proprioseptif dalam korteks motorik. pelajaran dari studi ini adalah bahwa korteks motor tidak

dapat dianggap semata-mata sebagai struktur motor. Dengan demikian, setelah cedera M1, ada

pengurangan masukan substansial somatosensori ke daerah motorik. Bisa jadi, hubungan baru antara

PMV dan S1 merupakan upaya oleh sistem motorik kortikal yang terhubung dengan masukan

somatosensori. Namun, belum diketahui apakah hubungan ini adalah fungsional, adaptif atau

maladaptif. Ada kemungkinan bahwa fenomena yang berhubungan dengan zona cedera bukanlah

suatu yang unik. Hal ini lebih mungkin bahwa banyak struktur, baik kortikal dan subkortikal, yang

biasanya dihubungkan dengan jaringan yang terluka menjalani fisiologis substansial, dan perubahan

Page 3: Bagian Theo

anatomi. Sebagai contoh, masing-masing lain area motorik kortikal cenderung mengubah pola

konektivitas intracortical mereka sejak target mereka rusak. Jika demikian, maka bahwa otak dengan

cedera fokal adalah sistem yang sangat berbeda. Hal ini tidak hanya sebuah sistem normal dengan

bagian yang hilang. Jika penyusunan kembali intracortical adalah proses yang dapat diprediksi seperti

yang kita pikirkan, maka kita mungkin bisa mulai mengembangkan cara-cara meningkatkan adaptif,

sementara menekan pola koneksi yang tak sesuai. Setelah stroke, perubahan luas terjadi pada pola

aktivasi, yang berhubungan dengan gerakan ekstremitas, di kedua belahan otak ipsilesional dan

kontralesional. Apakah aktivasi bilateral tersebut adaptif atau maladaptif masih menjadi bahan

perdebatan. Peningkatan aktivasi ipsilateral setelah stroke cukup luas, termasuk daerah

premotor yang terhindar (Weilleretal., 1992; Seitzetal 2005.). Dalam satu studi longitudinal,

peningkatan aktivasi SMA berkorelasi dengan pemulihan yang lebih baik (Loubinouxetal.,

2003). Penderita stroke dengan stroke MCA yang termasuk PM daerah lateral, memiliki efek

pemulihan yang buruk (Miyaietal., 1999), sedangkan peningkatan PM aktivitas lateral otak

yang dikaitkan dengan pemulihan yang lebih baik (Miyaietal., 2003). Dalam sebuah

eksperimen analog dengan monyet percobaan yang diinaktivasi sekunder, PMD ipsilesional penderita

stroke manusia bersifat tidak aktif sementara. Prosedur ini mengakibatkan penundaan waktu reaksi

yang tidak dihasilkan oleh inaktivasi PMD kontralesional atau PMD subyek yang sehat (Fridmanetal.,

2004). Dari hasil sampai saat ini, tidaklah mungkin untuk menentukan apakah area motor merupakan

komponen penting dalam pemulihan kemampuan motorik setelah stroke. Kami berhipotesis bahwa

seluruh kortikal dan subkortikal sistem motor yang terhindar oleh cedera berpartisipasi tergantung

pada luas dan lokasi dari cedera. Setidaknya beberapa fungsi dari daerah yang terluka dengan

demikian didistribusikan di seluruh jaringan motorik kortikal dan subkortikal yang tersisa.

INTERAKSI CEDERA DAN PENGALAMAN: HUBUNGAN NEURAL DENGAN “LEARNED

NON-USE”

Pada periode akut cedera neural, kemampuan motorik seringkali dibandingkan masing-masing. Taub

dan teman-teman menyarankan selama fase ini, percobaan penyempurnaan latihan dengan cara

perbandingan sering kali tidak berhasil, atau sukar, yang mana keduanya merupakan kondisi pada

efek samping yang ekstrim, yang kedepannya mengurangi usaha yang ada. Kondisi ini disebut

“learned non-use” yang berkembang pada fase akut kemampuan motorik. Dari asumsi ini, ditetapkan

fungsi yang dapat berkembang pada pasien stroke kronik. Pada khususnya, kelompok ini

mengembangkan inovasi yang mendekati yang disebut constraint-inducedmovement theraphy

(CIMT). Ide dibalik CIMT ini berasal dari eksperimen fundamental yang dikonduksi primata

berdasarkan pokok-pokok primata tersebut. Pada experimen ini, efek pada upper limb dipantau

selama cedera. Perilaku penyesuaian ini tidak dimanipulasi, bahkan setelah 3-6 bulan periode

penyembuhan. Negative feedback mengacu pada ketidak berhasilan efek pada upper limb. Setelah

Page 4: Bagian Theo

periode penyembuhan, dimana kemampuan affek menjadi stabil, lanjutan perilaku, disebabkan dari

“learned non-use” ini. Bagaimanapun, karena fenomena ini, penggunaan aktual yang berefek kurang

dari potensi sesungguhnya.

Dukungan penuh untuk formulasi “learned non-use” datang dari sebuah penelitian yang mana

diaplikasikan langsung pada upper limb dari hewan percobaan dengan durasi 3 bulan, yang mencegah

fenomena “learned non-use” muncul ketika tingkat pengendaliannya diturunkan. Pada tahun

berikutnya, model CIMT muncul. Percobaan klinis A Landmark Phase III telah mendemonstrasikan

bahwa angka kesembuhan stroke meningkat secara signifikan pada hasil fungsional setelah CIMT 1

tahun.

Prosedur penggunaan CIMT adalah dengan menarik teknik yang sama yang digunakan oleh Nudo

et.al yang mendemonstrasikan penyusunan kembali stroke peri-infark diikuti stroke fokal pada

primata. Setelah stroke, primata yang berada pada kelompok rehabilitasi dipakaikan jaket berlengan

panjang untuk mengukur panjangnya lengan. Ini diperlukan untuk menguji kemampuan motorik pada

primata, tanpa mengendalikan perbandingan lengan. Bagaimanapun, jika timbul setelah cedera otak,

akan terdapat potensi kemungkinan adanya interpretasi post-injury platicity. Kebiasaan perilaku dan

interaksi cedera neural seperti itu, dapat mengubah produk bagian korteks pada mekanisme cedera

dan proses perubahan perilaku.

Ketidakpenggunaan bebas pada cedera neural, jarang terdapat pada pemeriksaan dengan teknik

mapping yang mendeskribsikan manusia dan primata. Sementara penelitian TMS menunjukan

terdapat hasil yang tipikal pada individu dengan fraktur. Dalam suatu penelitian longitudinal yang

unik, Miliken et at. memeriksa susunan korteks motorik pada primata yang sehat dan normal. Detal

dari ICMS diuji secara longitudinal, sebelum dan sesudah 35 minggu setelah pembatasan forelimb

bagian distal. Hasil dari demonstrasi tersebut adalah pembagian kembali presentasi lengan.

Selanjutnya, perubahan yang reversibel berupa pengembalian kemampuan perilaku umum selama 1

minggu, dan akhirnya menjadi normal. Bagaimana pun efek pada hewan dapat kembali, bersamaan

setelah cedera dapat kembali lagi, dan dapat mendukung [enguatan mototrik kembali.

Dengan integritas pada kerusakan hemisfer, Jones et al. telah mendemonstrasikan pada model tikus

yang mengkompensasi kemampuan pembelajaran efek penyembuhan fungsional. Efek-efek ini jarang

terlihat pada hewan percobaan dengan tugas bimanual.

PELUANG SEMBUH PADA CEDERA OTAK BERDASARKAN PRINSIP

NEUROPLASTISITAS

Seperti diskusi diatas, cedera pada otak karena trauma atau stroke, menyebabkan peristiwa molekular

dan selular pada sekeliling jaringan mengakibatkan perubahan temporer dan permanen dari sturktur

anatomi dan fisiologi. Banyak dari perubahan ini bersifat patologik, dan berpotensi menyebabkan

kerusakan. Bagaimanapun, proses penyesuaian akan dimulai pad masa awal fase post-injury dan

menurunkan sifat patologik atau perubahan neuroplastic yang akan mengurangi fungsi. Tetapi

Page 5: Bagian Theo

perkembangan pengetahuan belakangan ini, muncul hipotesis tentang efek spesifik dari penanganan

post-injury pada penyembuhan fungsional yang berdasarkan neuroanatomi dan neurofisiologi.

Potensi tersembunyi pada mekanisme neuroplaticity setelah stroke telah didemonstrasikan pada

penggunaan tikus yang tidak mempunyai reseptor Nogo. Nogo adalah protein yang terdapat pada

pertumbuhan axon. Tikus yang tidak memiliki reseptor Nogo mengalami penyembuhan fungsi

motorik setelah stroke lebih baik. Lebih lanjut, tikus yang mendapatkan anti Nogo antibodi

mengalami hasil lebih baik pada penyembuhan perilaku 1 minggu setelah stroke. Penatalaksanaan

farmakologi dengan D-amphetamine setelah stroke, juga menunjukan tanda perbaikan neokortikal,

sinaptogenesis, dan perilaku.

Hasil dari bukti terkait yang telah didemonstrasikan setelah cedera neuron menunjukan bahwa

struktur neuron dan fungsi dapat membaik, sesuai dengan prinsip neuroplasticity. Bagaimanapun

untuk mengembangkan keefektifan, bukti rehabilitasi, waktu dan dosis, diperlukan analisis molekular,

selular, dan jaringan.

Seperti kebanyakan efek obat-obat pada cedera otak, terdapat pengoptimalan waktu penggunaan, yang

mana efektif terhadap paradigma perilaku. Regulasi protein termasuk di dalam pertumbuhan neural,

yang menyebabkan relatifitas waktu kesembuhan setelah cedera. Selain itu, percobaan klinis terkini

telah didemonstrasikan dengan hasil yang dapat dikembangkan, yang mana pengoptimalan waktu

dapat dimaksimalkan berdasarkan deteksi awal cedera. Pemakaian aksonal pada proses pemograman

adalah salah satu pemicunya, yang mana pada model hewan, dimulai 1-3 hari setelah stroke, dan

matang setelah 1 tahun. Gen neuronal growth-promoting dan grwth-inhibiting dapat dijalankan dan

dihentikan selama periode post injury. Sebagai tambahan, walaupun pemicu neurogenesis terjadi

melebihi batasan waktu. Namun patut dipahamai bahwa pengalaman kebiasaan perilaku memiliki

mekanisme yang berbeda setiap waktunya.

Demikian juga, banyak efek dari penanganan perilaku yang menunjukan proses yang paling awal

memerlukan percobaan yang lebih kompleks. Penyelidik dan terapis di bidang rehabilitasi neuro

menjadi sensitif terhadap isu ini, yang kemudian melaporkan bahwa tikus pada masa awal

dibandingkan menghasilkan cedera neuronal yang berlebihan. Mekanisme dari potensi cedera

meliputi reseptor NMDA yang mengmediasi peningkatan proses setelah cedera otak, dan itu

menunjukan perbandingan yang extrim yang disebabkan setelahnya termasuk tokssitas glutamat.

Penelitian lainnya mendemonstrasikan volume infark yang lebih kecil dan berkembang pada

penyembuhan tikus dengan MCA selama 28 hari. Penulis juga menemukan peningkatan faktor

neurotropik dan penurunan fak tor apoptosis. Ini mungkin disebabkan bahwa tipe tersebut dan

kebanyakan aktifitas motorik berlangsung pada proses regenerasi pada kematian neuronal selama fase

awal dari cedera otak. Bagaimanapun, yang menjadi catatan adalah tikus yang menjadi percobaan

yang dibandingkan mengangkat relatifitas kesusahan dari keseluruhan proses. Tikus tersebut harus

dibandingkan pada dukungan postural, penampilan, makan, dan pergerakan. Selain itu, fenomena ini

Page 6: Bagian Theo

dilihat secara mendasar namun mendetail, yang mana tidak dapat dilihat pada bentuk pengamatan

latihan.

Penelitian-penelitian berikutnya lebih menggunakan pengoptimalan informasi kedua dari bukti

perilaku. Faktor ini penting bukan hanya untuk memahami keamanan rehabilitasi akut, tapi juga

hubungan respons dosis terhadap protokol rehabilitasi pada periode penanganan setelah stroke.

Hewan percobaan yang digunakan mengalami kesembuhan dengan perilaku yang berbeda, dan

cenderung berlebihan. Ini penting untuk mendefinisikan bahwa pasien stroke dapat mentolelir kondisi

tertentu dan dapat menjadi lebih baik. Pemeriksaan terhadap 18 pasien stroke kronik

mendemonstrasikan jumlah pengulangan terapi upper motor menghasilkan perkembangan fungsi

motor yang signifikan. Analisis yang terbaru secara metaanalisis juga menunjukan bukti yang sama.

Namun, analisa metaanalisis lebih rumit dengan adanya perbedaan dosis yang terkait dan hasil

output. Ini menunjukan bahwa diperlukan hubungan ada fase akut dan kronik untuk mendukung hasil

yang ada.

Rasionalnya, mekanisme ini baru dicoba pada hewan percobaan (non-human) yang mengacu pada

aktifitas molekular dan selular. Namun apakan pengulangan tersebut dapat meningkatkan faktor

neurotropik yang lebih baik? Apakan dapat menambah jumlah kesembuhan sinaptik? Bagaimanapun

juga, hasil dari pemeriksaan klinis, akan menuntun kita pada dosis yang tepat, pengambangan model

neurobiologikal yang sangat penting pada aturan tentang batasan terapi.