bagas - patofisiologi ebola

4
PATOFISIOLOGI Setelah infeksi virus Ebola, glikoprotein sekretorik nonstruktural (sGP) akan diproduksi dalam jumlah yang tinggi. Molekul sGP akan berikatan dengan neutrofil CD16b sehingga menghambat aktivasi dini neutrofil. Molekul ini juga menyebabkan limfopenia sebagai ciri khas infeksi Evola. Molekul sGP inilah yang berperan penting dalam kegagalan host untuk membentuk respon imun yang adekuat dan efektif. Glikoprotein transmembran lainnya juga tertanam dalam virion Ebola, serta mampu terikat pada sel endothel. Ikatan glikoprotein tersebut memudahkan invasi, replikasi, dan penghancuran sel endothel oleh virus Ebola. Kerusakan permukaan endothel berkaitan dengan disseminated intravascular coagulation (DIC), sehingga bermanifestasi pada demam hemoragik. Gangguan endotel dan monosit yang terjadi pada infeksi Ebola dapat dilihat pada skema berikut ini (Sullivan et al., 2003).

Upload: muh-rizal-akhyar

Post on 11-Dec-2015

331 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

lalala

TRANSCRIPT

Page 1: Bagas - Patofisiologi Ebola

PATOFISIOLOGI

Setelah infeksi virus Ebola, glikoprotein sekretorik nonstruktural (sGP)

akan diproduksi dalam jumlah yang tinggi. Molekul sGP akan berikatan dengan

neutrofil CD16b sehingga menghambat aktivasi dini neutrofil. Molekul ini juga

menyebabkan limfopenia sebagai ciri khas infeksi Evola. Molekul sGP inilah

yang berperan penting dalam kegagalan host untuk membentuk respon imun yang

adekuat dan efektif. Glikoprotein transmembran lainnya juga tertanam dalam

virion Ebola, serta mampu terikat pada sel endothel. Ikatan glikoprotein tersebut

memudahkan invasi, replikasi, dan penghancuran sel endothel oleh virus Ebola.

Kerusakan permukaan endothel berkaitan dengan disseminated intravascular

coagulation (DIC), sehingga bermanifestasi pada demam hemoragik. Gangguan

endotel dan monosit yang terjadi pada infeksi Ebola dapat dilihat pada skema

berikut ini (Sullivan et al., 2003).

Gambar 2.1. Respon imun dan gangguannya pada infeksi Ebola

(Sullivan et al., 2003)

Page 2: Bagas - Patofisiologi Ebola

Selama 4-6 hari setelah infeksi, terjadi produksi interleukin (IL)–1β, IL-6,

dan tumor necrosis factor (TNF) yang membantu imunitas melalui bantuan sel

imun dan humoral. Beberapa pasien dapat bersifat asimptomatis yang tidak

memunculkan manifestasi klinis, akibat hasil kerja sitokin proinflamasi dalam

melawan infeksi di tubuhnya. Sedangkan pada pasien yang meninggal, tidak dapat

ditemukan adanya sitokin proinflamasi walaupun sudah melewati 2-3 hari infeksi

dengan gejala yang muncul khas (simptomatis). Viremia yang terjadi dapat

memicu respon demam dan gejala sistemik lainnya. Replikasi virus yang berjaan

cepat menyebabkan nekrosis fokal berat, terutama di hepar. Hal ini disebabkan

pembentukan Councilman-like bodies. Semakin berat infeksi Ebola, maka

jaringan dan darah pasien akan mengandung virus yang lebih banyak sehingga

menyebabkan pasien sangat infeksius (King et al., 2013).

00

Gambar 2.2. Patofisiologi Ebola (Sullivan et al., 2003; King et al., 2013).

DAFTAR PUSTAKASullivan N, Yang ZY, Nabel GJ. 2003. Ebola Virus Pathogenesis: Implications for

Vaccines and Therapies. Journal of Virology. 77 (18): 9733-9737.King JW, Khan AA, Cunha BA, Kerkering TM, Malik R. 2013. Patophysiology

and Etiology of Ebola Virus Infection. Medscape Article. 216288.

Infeksi Ebola

Molekul sGP

Berikatan dengan neutrofil CD16b

Menghambat aktivasi dini neutrofil

Glikoprotein transmembran lainnya

Berikatan dengan endothel

Kerusakan permukaan endothel

Disseminated Intravascular Coagulation

Viremia sistemik

Respon imun adekuat

Produksi IL–1β, IL-6, TNF

Pasien asimptomatis

Pasien simptomatis (gejala sistemik)