badan pemeriksa keuangan

19

Click here to load reader

Upload: i-gusti-ngurah-santika-spd

Post on 05-Jun-2017

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd

Tuntutan masyarakat untuk melakukan reformasi sistem sosial, politik, dan ekonomi guna mewujudkan demokrasi telah mengubah sistem dan struktur pemerintahan Indonesia. Sementara itu, tuntutan untuk mengikis KKN memerlukan peningkatan dalam transparansi fiskal atau pengelolaan maupun pertanggungjawaban keuangan negara. Berdasarkan keinginan dan aspirasi dari berbagai unsur rakyat Indonesia yang telah mengkristal dan jelas tersebut, tujuan nasional untuk segera dihapuskannya praktek-praktek korupsi harus segera dicapai (BPKP,1999;32). Dikarenakan selama ini, negara telah banyak dirugikan oleh praktek-praktek korupsi yang telah menyengsarakan rakyat, terutama dilakukan oleh para pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan agar bisa diikuti kemudian oleh rakyat. Berkaitan dengan keuangan negara merupakan masalah yang sifanya sangat mendasar dalam bidang kenegaraan, karena uang merupakan salah satu sumber kekuasaan, sehingga tentunya memiliki kedudukan yang penting ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum pejabat tertentu untuk menguras uang negara. Memang dalam sejarah perjalanannya republik Indonesia terbukti, sangat sulit untuk melakukan pengelolaan keuangan negara yang bersih, transfaran dan akuntabel, kemudian tentu pada akhirnya, mampu memberikan keuntungan bagi rakyat luas, namun malahan yang terjadi adalah kian menjamurnya praktek korupsi disegala lini. Bahkan, keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ternyata tidak luput daripada incaran para koruptor dalam rangka memperkaya dirinya, dengan menutup mata atas tindakannya yang bersifat melanggar hukum, dikarenakan olehnya sehingga keuangan negara dirugikan.

Namun, sampai akhir kekuasaan Orde Baru pun ternyata pengelolaan keuangan negara, yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab dalam pengelolaan keuangan negara, memang masih sangat sulit untuk dilaksanaka. Hal mana dikarenakan, menurut Rajagukguk (2006;4) bahwa bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas kemudian selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan luasnya pengelolaan keuangan negara, sebagaimana dimaksudkan oleh Rajagukguk, merupakan suatu tantangan tersendiri bahkan menjadi tuntutan ke depannya bagaimana para penyelenggara negara untuk mewujudkan sebuah keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara. Sehingga, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam rangka untuk mewujudkan akuntabilitas dan tranparansi keuangan negara dapat diwujudkan oleh para penyelenggara negara. Mungkin menjadi tujuan utama tersebut di atas adalah berkaitan dengan mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan transparan dalam pengelolaan keuangan negara. Transparansi fiskal merupakan komponen utama dari upaya penciptaan clean government dan good governance. Sebelumnya memang ada lembaga-lembaga

Page 2: Badan Pemeriksa Keuangan

negara yang juga bertugas, untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara, namun belum mampu memenuhi tujuan sebagaimana diharapkan, bahkan tidak jarang terindikasi bahwa lembaga yang memiliki kemandirian dan kebebasan yang tersebut, ternyata dalam menjaga agar pemerintahan tetap bersih, kemudian tidak dapat berbuat banyak terutama dalam membatasi penyelewengan di bidang pengelolaan keuangan negara. Bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, dalam bidang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Oleh karena itu, selain lembaga-lembaga negara yang lainnya, negara Indonesia masih memiliki Badan Pemeriksaan Keuangan yang memiliki fungsi pengawasan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengawasan sebagai salah satu fungsi dasar manajemen adalah mutlak dalam penyelenggaraan menajemen negara atau administrasi negara (Sujamo, 1994;75-76). Tanpa pengawasan yang baik, tentunya potensi untuk terjadinya penyelewengan kekuasaan adalah sangat besar, yang tentunya dalam pengelolaan keuangan negara mungkin akan menyebabkan negara seringkali dirugikan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang kebetulan sebagai pejabat.

Bergulirnya era reformasi, yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenannya membawa angin segar dalam kaitannya pengelolaan keuangan negara. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan menempatkan kembali BPK berdasarkan fungsi yang sebenarnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana yang diharapkan oleh para pendiri negara. Pada waktu Orde Baru berkuasa telah melulu lantahkan tata kelola pemerintahan yang baik, dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara, yang tentunya berakibat dirugikannya uang rakyat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bahkan tidak ada yang dapat mengawasi apalagi sampai meminta pertangungjawabannya secara hukum. Walaupun sebelum runtuhnya kekuasaan dari Orde Baru telah ada sebuah lembaga negara yang bernama BPKP, namun nampaknya belum dapat mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana yang seharusnya. Sebelum lebih lanjut membahas terkait dengan BPK, maka ada baiknya kita kembali menelusuri sejarah ke belakang terutama untuk lebih memahami tentang keberadaan lembaga BPK tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

BPK sendiri berdiri sejak tahun 1947, dalam perjalanannya secara panjang dalam melaksanakankan tugas dan kewenangan walaupun serba kekurangan yang menyertainya. Hal ini dikarenakan pada waktu itu adalah masa revolusi fisik yang tentunya menguras tenaga, namun tidak mengurangi apresiasi kita terhadap lembaga ini dalam menjalankan tugas dan perannya dalam menciptakan pemerintahan yang bersih. Pada era Hindia Belanda, lembaga dengan tugas seperti yang diemban BPK sekarang bernama "Algemeene Rekenkamer" (ARK). Lembaga ini ditopang peraturan perundangan yang lengkap, antara lain Indische Comptabiliteits Wet(ICW) dan Instructie en verdure bepalingen voor de Algemene Rekenkamer (IAR). Namun, sejak menjadi sebuah lembaga tinggi negara dan namanya menjadi "Badan Pemeriksa Keuangan", instansi ini tak kunjung memiliki pijakan peraturan pelaksanaan yang memadai. Padahal jika lihat kembali Penjelasan UUD 1945 sebelum dicabut, dinyatakan secara tegas bahwa sebenarnya

Page 3: Badan Pemeriksa Keuangan

BPK memiliki tugas yang sangat berat yang dibebankan oleh UUD 1945. Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi.

Cara pemerintah mempergunakan uang belanja yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, harus sepadan dengan keputusan tersebut. Untuk memeriksa tanggung jawab pemerintah itu perlu ada suatu badan yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Suatu badan yang tunduk kepada pemerintah tidak dapat melakukan kewajiban yang seberat itu. Sebaliknya badan itu bukanlah pula badan yang berdiri di atas pemerintah. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban badan itu ditetapkan dengan undang-undang.

Namun, dalam kaitannya ini dapatlah dilihat dalam perjalanannya pada masa pemerintahan Orde Baru, berkaitan dengan BPK dapat dikatakan telah mereduksi tugas dan perannya yang telah dimanatkan oleh UUD 1945. Padahal jika lihat dari Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan sebagaimana dimaksud di atas, dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara, maka sebenarnya BPK memiliki fungsi yang strategis. Dengan kedudukan sepenting itu, faktanya hingga keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun1973, BPK hanya memiliki pijakan satu ayat dari Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ayat (5). Dan, undang-undang yang dibuat itu pun sejatinya hanya adopsi belaka dari peraturan-peraturan peninggalan era kolonial yang tak sesuai dengan semangat Pasal 23 UUD 1945. Tentu bisa dimengerti mengapa begitu "minim" pijakan BPK dalam UUD 1945. Untuk lebih jelasnya, maka akan dikutipkan bunyi Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 sebelum perubahan, yang bunyinya.

(5) Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (kursif penulis).

Undang-undang sebagaimana dimaksud di atas ( UU No.5 Tahun 1973) yang mendasari BPK masih terbatas pada hal-hal yang pokok saja, mulai dari kewajiban, hak, wewenang, hubungan kerja, dan kedudukannya dalam berhadapan dengan legislatif maupun eksekutif. Hal-hal yang berkaitan dengan peraturan dan ketentuan pelaksanaan, sebagian masih didasarkan pada peraturan lama, dan penerapannya tidak mendukung apa yang harus dilakukan oleh sebuah lembaga dengan kedudukan yang mandiri, lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Dengan bekal yang serba terbatas seperti itu, dalam praktik sering terjadi kondisi-kondisi yang tidak mencerminkan kemandirian BPK. Pada saat Orde Baru, Ketua BPK ditunjuk oleh Presiden dan seterusnya. Akibatnya, hasil-hasil kerja keras BPK menjadi seakan-akan tidak memiliki nilai atau daya yang semestinya. Selain itu, baik secara samar-samar maupun terang-terangan, kedudukan dan peran BPK tereduksi karena adanya pembatasan obyek, metode dan laporan audit, pengontrolan anggaran dan SDM oleh pemerintah secara ketat, dan adanya lembaga-lembaga pengawas yang juga melakukan fungsi-fungsi pemeriksa, seperti BPKP, Irjen-Irjen, Itwilprop dan lain-lain. Ini sesungguhnya tidak hanya mereduksi kedudukan dan hak konstitusional BPK, tetapi pada akhirnya juga mengganggu kinerja lembaga-lembaga yang diaudit (anonim)

Page 4: Badan Pemeriksa Keuangan

Dengan demikian, seharusnya dalam menggunakan keuangan negara harus digunakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, untuk itu diperlukan pertanggung jawaban yang diberikan oleh lembaga/badan yang menggunakan keuangan negara tersebut. Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Tidak lain, wewujudkan kehidupan yang bersih dimulai dari pengelolaan keuangan negara, merupakan tuntutan reformasi dalam memulai kehidupan demokrasi setelah jatuhnya pemerintahan yang korup. Tak pelak, demokrasi pun membawa serta tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Di sinilah BPK menemukan jalan untuk meraih kembali kedudukan dan perannya yang sejati. Pijakan BPK dalam menjalankan tugas konstitusionalnya menjadi semakin kokoh setelah adanya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang memaklumkan pemulihan independensi BPK

Oleh karena itu, untuk memeriksa pertangungjawaban terkait dengan keuangan negara, telah diamanatkan kepada sebuah lembaga negara oleh UUD 1945, yaitu BPK. Kemudian setelah diamandemennya UUD 1945 ketentuan BPK juga mengalami perubahan yang cukup mendasar, maka perubahan yang dialami oleh BPK akan dibahas selanjutnya di bawah ini. Untuk itulah kemudian akan dikutipkan kembali secara keseluruhan Pasal yang berkaitan dengan kedudukan dan fungsi BPK dalam UUD 1945. Kemudian untuk selanjutnya akan dibahas ketentuan pasal-perpasal seperlunya, sehingga yang menjadi harapan ke depannya adalah pembaca dapat lebih memahaminya dengan lebih baik. Dalam Bab VIIIA yang terdiri dari 3 Pasal, yang akan dipaparkan sebagai berikut.

Pasal 23E

1. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.

2. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.

3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang (kursif penulis).

Dalam Pasal 23E ayat (1) dinyatakan bahwa BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. Bebas dan mandiri yang dimaksud dalam hal ini adalah berkaitan dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Sehingga, BPK dalam menjalankan kewenangannya tidaklah kemudian dapat diintervensi oleh kekuasaan manapu dalam bentuk apapun. Kebebasan dan kemandirian BPK dalam menjalankan tugasnya merupakan jaminan bagi terselenggaranya pemerintahan yang bebas dan bersih dari segala praktek korupsi yang dapat merugikan keuangan negara.

Page 5: Badan Pemeriksa Keuangan

Dengan demikian, penulis memahami bahwa tidak hanya lembaga negara yang menggunakan keuangan negara saja yang hanya bertanggung jawab, namun tentunya dalam hal ini BPK sendiri sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, tentunya ikut pula bertanggungjawab bahkan merupakan penanggungjawab utama untuk menjaga agar keuangan negara tidak dirugikan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang kebetulan pada waktu itu sedang menduduki jabatan serta mengurus keuangan negara. Hal inipun dapat diketahui dalam ketentuan Pasal 1 ayat (11) UU No. 15 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa.

Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (kursif penulis).

Sedangkan berkaitan dengan kebebasan dan kemandirian BPK dalam memeriksa pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa.

Naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, yang disusun oleh the founding fathers kita menugaskan BPK sebagai satu-satunya auditor yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Berbeda dengan di banyak negara lain, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan BPK sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang ada dalam struktur negara kita. Di berbagai negara yang lain lembaga auditor eksternal seperti BPK ditempatkan langsung di bawah lembaga legislatif sebagai pemegang hak bujet. Lembaga legislatif itulah yang menugaskan auditor eksternal untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Selain tetap mempertahankan pemberian hak eksklusif pemeriksaan keuangan negara kepada BPK, perubahan ketiga dari UUD 1945 justru telah memperkuat posisinya dengan memberikan kedudukan yang “bebas dan mandiri" kepada BPK. Baik naskah asli maupun perubahan, UUD 1945 menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. ltulah sebabnya mengapa diberikan kedudukan tinggi, kebebasan dan kemandirian kepada BPK. Maksudnya adalah agar BPK dapat melaksanakan tugasnya secara objektif. BPK dapat memeriksa dan melaporkan keuangan negara sebagaimana adanya, bebas dari pengaruh maupun tekanan politik. Termasuk dari ketiga cabang pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun judikatif (Anonim,2005;2).Selain adanya ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang ternyata juga menyatakan

bahwa BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri, kemudian UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Negara, khususnya dalam ketentuan Pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “BPK merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara” (kursif penulis). Bahkan, dalam UU No. 15 Tahun 2006, objek yang diperiksa oleh BPK berkaitan dengan keuangan negara adalah sangat luas, hal mana kemudian dapat pula dilihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa.

Page 6: Badan Pemeriksa Keuangan

BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara(kursif penulis).Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 berkaitan dengan lembaga atau

badan lainnya dijelaskan bahwa : “yang dimaksud dengan ”lembaga atau badan lain” antara lain: badan hukum milik negara, yayasan yang mendapat fasilitas negara, komisi-komisi yang dibentuk dengan undang-undang, dan badan swasta yang menerima dan/atau mengelola uang negara”(kursif penulis). Ketentuan tersebut adalah sesuai pula dengan pendapat yang diberikan oleh Nasution (2007;1) bahwa UUD 1945 memberikan posisi yang sangat tinggi pada BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri. Tugas BPK adalah untuk memelihara transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keuangan negara. BPK bertugas untuk memeriksa semua asal usul dan besarnya penerimaan negara dari mana pun sumbernya. BPK bertugas untuk memeriksa dimana uang negara itu disimpan. BPK sekaligus bertugas untuk memeriksa untuk apa uang negara tersebut dipergunakan. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut bahwa keuangan negara di Indonesia bukan saja tercermin pada APBN dan APBD. Keuangan negara itu juga tercermin pada kegiatan BUMN dan BUMD, yayasan, dana pensiun maupun perusahaan yang terkait dengan kedinasan. Bahkan, keuangan negara juga mencakup bantuan atau subsidi kepada lembaga sosial milik swasta.

Dengan demikian, dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan objek yang akan diperiksa kemudian oleh BPK adalah luas sekali, pembatasannya adalah hanya pada lembaga/badan yang tidak menerima dan/atau mengelola keuangan negara, yang bukan merupakan objek dari BPK dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan pengawasannya di bidang keuangan negara. Sehingga, yang menjadi kesimpulan di sini adalah, baik apakah itu badan maupun lembaga adalah pada dasarnya memiliki pertanggungjawaban terhadap keuangan negara, asalkan lembaga atau badan tersebut menerima dan/atau mengelola keuangan negara. Dalam melakukan tugasnya BPK berkaitan dengan pengawasan terhadap keuangan negara tersebut, maka Widjaja (2002;9) memberikan pengertian, apakah yang dimaksud dengan keuangan negara, yang menurutnya pendapatnya bahwa.

Dengan Keuangan Negara tidak hanya dimaksud uang negara, tetapi seluruh kekayaaan negara, termasuk di dalamnya segala bagian harta milik kekayaan itu dan segala hak dan kewajiban yang timbul karenanya baik kekayaan itu berada dalam pengurusan pada pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan umum maupun dalam penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hukum publik maupun hukum perdata, perusahaan-perusahaan negara dan perusahaan-perusahaan di mana pemerintah mempunyai kepentingan khusus dalam pengusahaan dan pegurusan pihak lain maupun berdasarkan perjanjian dan penyertaan (partisipasi) pemerintah ataupun penunjukan dari pemerintah.Dengan paparan singkat sebagaimana dimaksudkan di atas, yang menggambarkan

pentingnya peran BPK dalam era reformasi, dimana dituntut untuk membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa utamnya dalam pengelolaan keuangan negara. Bahkan seperti yang

Page 7: Badan Pemeriksa Keuangan

digambarkan oleh Edstrom(2009;7) bahwa secara singkat, tantangan reformasi pengelolaan keuangan tersebut di atas mempunyai implikasi perubahan paradigma sistem pemerintahan yang telah menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karena itu, BPK diharapkan mampu menciptakan pemerintahan yang bersih berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara, sehingga nantinya dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wakilnya.

Oleh karena itu, setiap pengelolaan keuangan haruslah dilakukan sesuatu aturan yang benar, dan untuk menjamin hal tersebut diperlukan mekanisme pemeriksaan yang disebut financial audit. Dalam rangka pengelolaan keuangan negara, pemeriksaan semacam itu memerlukan lembaga negara yang tersendiri, yang dalam bekerja yang bersifat otonom atau independen. Independensi tersebut sangat penting, karena dalam menjalankan tugasnya, pejabat pemeriksa tidak boleh diintervensi oleh kepentingan pihak yang diperiksa atau pihak lain yang mempunyai kepentingan langsung ataupun tidak langsung, sehingga mempengaruhi obyektifitas pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggungjawab profesionalnya, pemeriksa harus memahami prinsip-prinsip pelayanan kepentingan publik serta menjungjung tinggi integritas, objektifitas, dan independensi (Saidi,2008;60). Badan Pemeriksa Keuangan adalah suatu badan yang tugasnya lebih banyak dititik beratkan kepada tindakan yang bersifat represif (Mezak,2009;100). Pemeriksaan keuangan negara baru dapat dilakukan jika penggunaan keuangan negara telah dilakukan.

Selaku lembaga negara, Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kedudukan melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagaimana tersirat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam wujud pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara harus dipertanggungjawabkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai wakil rakyat. Sekalipun bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat tidak berarti bahwa Badan Pemeriksa Keuangan berada di bawah Dewan Perwakilan Rakyat. Konstruksi kelembagaan menurut Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan maupun Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga negara yang berfungsi melaksanakan kedaulatan rakyat (Saidi,2011;83). Sehingga diantara kedua lembaga negara tersebut tidak ada yang lebih rendah maupun lebih tinggi, namun hanya berkaitan dengan tugas dan kewenangannya yang diberikan oleh UUD 1945. Kemudian jika lihat kembali seperti apa yang dicantumkan dalam UUD 1945, berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dari BPK yang nantinya akan dilaporkan kepada DPR, menyebabkan BPK merupakan salah satu perpanjangan tangan DPR dalam melakukan fungsi pengawasannya dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama bidang pengawasan dan penganggaran.

Bahwa dari pembahasan tersebut di atas, BPK sesungguh dapat dikatakan lebih dekat fungsinya dengan ranah kekuasaan legislatif atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan kekuasaan legislatif, yang mana dikarenakan bahwa fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk itu, kemudian dapat dilihat kembali dalam ketentuan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Hasil Pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Page 8: Badan Pemeriksa Keuangan

Daerah, sesuai dengan kewenangannya (kursif penulis)”. Berdasarkan hal tersebut, Asshiddiqie (2009;198) kemudian menyatakan bahwa lembaga legislatif tersebut, khususnya DPR…sebagai pengawas di bidang politik, dibantu pula oleh lembaga pengawas keuangan yang dinamakan Badan Pemeriksa Keuangan. Karena itu, fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) haruslah dilihat keterkaitannya dengan penyelenggaraan fungsi pengawasan atau fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu, laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK itu harus dilaporkan atau disampaikan kepada DPR untuk ditindak lanjuti sebagaimana mestinya. Pendapat yang sama dijuga dipaparkan oleh Thalhah dan Malian (2011;80) yang menyatakan bahwa fungsi pemeriksaan keuangan yang dikaitkan dengan lembaga ini sebenarnya erat kaitannya dengan fungsi pengawasan oleh parlemen. Karena itu, kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) ini sesungguhnya berada dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, kemudian dapatlah kita temui dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa : “BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya (kursif penulis)”.

Kemudian, dari adanya laporan tersebut yang merupakan hasil daripada pemeriksaan, yang selanjutnya ditindak lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjutinya pemeriksaan tersebut berdasarkan peraturan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan tersebut (Pasal 7 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2006). Maksudnya di sini adalah DPR dapat menindaklanjuti dengan mengadakan tindakan pengawasan seperti Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 atau menindaklanjuti dengan tidak mengadakan pengawasan, karena memang tidak ditemukan adanya tindakan yang merugikan keuangan negara. Selain itu, kata “badan” artinya dapat saja BPK melaporkan kepada badan-badan penegak hukum, jika diindikasikan ada perbuatan yang melanggar hukum, tentunya tindakan tersebut merupakan suatu tindakan yang telah merugikan keuangan negara, yang mana sangat tergantung daripada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah tersebut. Berkesesuaian dengan pendapat tersebut, ternyata Rai (2008;6) juga menyatakan bahwa di samping itu, apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana atau kerugian negara, maka BPK wajib melaporkan hal tersebut kepada aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan kepada aparat hukum akan dilakukan hanya Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan paling lambat 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Dengan adanya ketentuan mengenai hal ini dalam UUD 1945, diharapkan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dilakukan dapat meningkatkan tranparansi dan tanggungjawab (akuntabilitas) keuangan negara (Huda,2011;210).

Dari tugas dan wewenang tersebut di atas, BPK dapat dikatakan memiliki tiga (3) fungsi pokok, yakni:

1. Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara.

Page 9: Badan Pemeriksa Keuangan

2. Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap pegawai negeri yang perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, serta menimbulkan kerugian negara.

3. Fungsi rekomendatif, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang pengurusan keuangan negara (ICCE UIN,2010;76).

Kemudian, lebih lanjut hal-hal yang berhubungan dengan BPK dalam UUD 1945, terutama yang mengatur tentang keanggotaan BPK serta tata cara pemilihan pimpinan BPK telah pula ditentukan dalam ketentuan Pasal 23F UUD 1945 yang berbunyi.

1. Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

2. Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota (kursif penulis.)Berkaitan dengan tata cara pengisian keanggotaan BPK, yang ditentukan kemudian untuk

dipilih oleh DPR, Ternyata dalam UU No. 15 Tahun 2006 tidakla temukan maksud terkait dengan kata dipilih, namun dalam ketentuan Pasal 170 UU No. 27 Tahun 2009 terdapat kalimat yang menyatakan bahwa “DPR memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD”(kursif penulis). Kemudian, dalam Penjelasannya “dinyatakan cukup jelas”, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kata dipilih dalam Pasal 23F ayat (1) UUD 1945, maupun kata memilih dalam Pasal 170 UU No. 27 Tahun 2009. Dengan demikian, berkaitan dengan kata memilih maupun dipilih penulis dalam hal ini mengartikan, jika misalnya dalam pengisian keanggotaan BPK memerlukan 2 orang anggota, maka dalam hal kemudian bisa saja diadakan pengajuan calonnya ke DPR, yang jumlah calonnya adalah lebih daripada jumlah yang memang dibutuhkan untuk pengisian keanggotaan BPK, sehingga DPR dapatlah memilih dengan leluasa. Namun, DPR dalam memilih keanggotaan BPK memperhatikan ternyata ditentukan untuk mendengar pertimbangan yang diberikan oleh DPD sebelum mengambil keputusan tentang pengangkatan keanggotaan BPK. Dengan adanya pertimbangan dari DPD, setidaknya untuk pemilihan anggota BPK diharapkan lebih banyak masukan berupa kritik maupun saran yang kemudian akan diterima DPR, sehingga semakin memantapkan pertimbangan DPR dalam menentukan serta kemudian memutuskan siapakah yang berhak menjadi anggota BPK, sehingga kemudian keputusan untuk menggangkat anggota BPK tidak hanya berdasarkan pertimbangan politis semata. Namun, perlu untuk diketahui bahwa tentunya pertimbangan yang diberikan oleh DPD tidaklah sifatnya mengikat bagi DPR dalam mengambil keputusan untuk memilih anggota BPK. Dengan begitu, BPK yang telah ditentukan untuk dipilih oleh rakyat secara tidak langsung yaitu melalui wakil-wakilnya yang duduk di DPR. Kemudian dengan begitu dapat dikatakan bahwa BPK telah mendapatkan mandat dari rakyat sebagai salah satu pemegang kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945, hal mana adalah sesuai dengan kedaulatan rakyat yang telah ditentukan berdasarkan hukum konstitusi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Dengan demikian, tentunya BPK khususnya mengenai anggota-anggotanya tentunya memiliki legitimasi yang tinggi terutama untuk menjalankan tugasnya, dikarenakan pengangkatannya dilakukan oleh rakyat secara tidak langsung, yaitu

Page 10: Badan Pemeriksa Keuangan

melalui DPR yang merupakan wakil-wakil rakyat, yang kemudian tercermin dalam menjalankan tugasnya bahkan telah dijamin oleh konstitusi agar ia bersifat merdeka dan independen. Dengan demikian, tentunya terkait dengan anggota BPK yang telah dipilih oleh DPR tidaklah dapat diberhentikan seenaknya, kecuali karena anggota BPK tersebut telah melakukan tindakan yang sifanya bertentangan dengan hukum, atau bertentangan dengan kewajibannya dalam melakukan tugas-tugasnya dibidang pemeriksaan keuangan negara. Bahkan dalam pemberhentian maupun sanksi terhadap anggota BPK yang lalai melakukan tugasnya, atau bertentangan dengan kewajibannya kemudian, ternyata telah ditentukan pula dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Selain hal tersebut di atas, berkaitan dengan keterlibatan DPR dalam pengangkatan BPK adalah bertujuan untuk memberikan jaminan terhadap peningkatan peran dan kinerja Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri serta memiliki profesionalisme. Dengan demikian, pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Selanjutnya anggota-anggota BPK yang sudah dipilih oleh DPR sebelumnya, kemudian melanjutkan kembali untuk memilih ketua BPK (Pasal 23F ayat (2) UUD 1945), yang berarti pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BPK berada di tangan anggota BPK itu sendiri. Dengan demikian, anggota BPK sendirilah yang mempunyai kewenangan untuk memilih ketuanya dan wakil ketua, kemudian diresmikan oleh Presiden dengan Keputusan Presiden sebagai pejabat administrasi tertinggi yang memang telah ditentukan oleh UUD 1945. Dengan dasar pemikiran dalam UUD 1945 tersebut, maka diharapkan ke depannya ada suatu kerjasama yang sifanya baik antara anggota dan ketua dalam menjalankan tugasnya seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.

Selanjutnya terkait dengan BPK yang juga diatur dalam ketentuan Pasal 23G UUD 1945 mengenai kedudukan maupun perwakilannya serta berkaitan dengan pengaturan lebih lanjut berkenaan dengan BPK dengan undang-undang. Dalam ketentuan Pasal 23G UUD 1945 yang terdiri dari 2 ayat, menyatakan bahwa.

1. Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.

Peraturan yang sama dapat dilihat kemudian dalam ketentuan dari Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang dalam kenyataaan juga mengatur kedudukan BPK dan perwakilannya di setiap provinsi untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. BPK berkedudukan di ibu kota negara, yang berarti BPK berkedudukan di Jakarta dan juga telah ditentukan untuk memiliki perwakilan di setiap provinsi di Indonesia, yang berarti bahwa BPK harus ada di 33 provinsi yang ada di Indonesia. Tentunya ketentuan tersebut akan disesuaikan dengan kemampuan negara yang berkaitan dengan keuangan negara untuk membentuk badan-badan perwakilannya dimasing-masing provinsi. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2006, bahwa pembentukan perwakilan BPK dimasing-masing provinsi ditetapkan dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Selanjutnya, mengenai ketentuan BPK yang kemudian diatur dengan undang-undang menurut

Page 11: Badan Pemeriksa Keuangan

ketentuan ayat (2) dari Pasal 23G UUD 1945, yang artinya berkaitan dengan kelembagaan BPK, baik yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan serta hal-hal lainnya, kemudian akan diatur kembali dengan suatu UU yang bersifat khusus, yaitu UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK.

BIODATA PENULIS

Page 12: Badan Pemeriksa Keuangan

I Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus 1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN 1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus dengan predikat cum laude. Kemudian untuk sekarang ini penulis belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada

Program Studi Pendas di Undhiksa.

Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami. Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini.

Alamat rumah : Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp : 085237832582/085738693121.