babii

Upload: nabilapratiwy

Post on 30-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat Hipnotik-SedatifObat-obatan hipnotik-sedatif adalah istilah untuk obat-obatan yang mampu mendepresi sistem saraf pusat. Sedatif adalah substansi yang memiliki aktifitas moderate yang memberikan efek menenangkan, sementara hipnotik adalah substansi yang dapat memberikan efek mengantuk dan yang dapat memberikan onset serta mempertahankan tidur.5Secara klinis obat-obatan hipnotik-sedatif digunakan sebagai obat-obatan yang berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri akut dan kronik, tindakan anestesia, penatalaksanaan kejang, serta insomnia. Obat-obatan hipnotik-sedatif diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:0. Benzodiazepin0. Barbiturat0. Golongan obat nonbarbiturat nonbenzodiazepin5

2.1.1 BenzodiazepinBenzodiazbepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperative, midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil.6,7Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.7Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknya selama 2 minggu. Penggunaan yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru kronis.7Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga meningkatkan efek analgesik opioid.7Contoh Preparat Benzodiazepin0. MidazolamMidazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam. 2,7

Gambar 1. Struktur Kimia Midazolam7

Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak. Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50% dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.1,7Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan lebih pendek dibanding diazepam.1,7Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.1.7Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga menekan refleks menelan dan penurunan aktivitas saluran napas bagian atas.5,7Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml) kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek pernapasan yang sangat minimal. Pemberian 0,05-0,1 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup. Dosis midazolam 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80 menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan CNS lainnya.5,7Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik. Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam. Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS lain seperti golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding pasien muda.7Midazolam dapat diberikan sebagai tambahan opioid, propofol dan anestesi inhalasi selama rumatan anestesi. Pemberian midazolam dapat menurunkan dosis anestesi inhalasi yang dibutuhkan. Sadar dari post operasi dengan induksi midazolam akan lebih lama 1-2,5 kali dibanding penggunaan thiopental sebagai induksi. Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati berat.5,7b. DiazepamDiazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik (propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH 6,6-6,9. Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.5

Gambar 2. Struktur Kimia Diazepam3Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam (15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan diazepam besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.7Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak. Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.7Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian. Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi. Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan dengan asam glukoronat.7Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas. Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik. Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.5,7Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam. Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.7

1. LorazepamLorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.5

Gambar 3. Struktur Kimia Lorazepam7Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif yang diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi urin > 80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.7Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi, digunakan dosis oral 50g/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan amnesia selama 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan efek amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang lama.5,7Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.71. OxazepamOxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki periopde tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.51. AlprazolamAlprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan atau serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi pengganti midazolam.5

2.1.2 BarbituratSecara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.5,8Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.8Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat. Barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat. 5,8Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena: (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.8Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat. Barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D. Barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.8Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia.5,8Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.8Penggunaan barbiturat memiliki beberapa efek samping, yaitu:0. Hangovermerupakan residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat.0. Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi (eksitasi paradoksal) dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.0. Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.0. Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.5Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat. Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi, fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.5,8Contoh Preparat BarbituratTiopentalMerupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anestesi dan banyak dipergunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik inhalasi lainnya.

Gambar 4. Struktur Kimia Tiopental4

Setelah pemberian secara intravena, tiopental akan melewati sawar darah otak secara cepat dan jika diberikan pada dosis yang mencukupi akan menyebabkan hypnosis dalam satu waktu sirkulasi. Pada pemakaian thiopental, keseimbangan plasma otak cepat terjadi (kira-kira 1 menit) karena kelarutan lemak yang tinggi. Tiopental cepat berdifusi keluar otak dan jaringan lain yang sangat vascular serta akan didistribusikan ke dalam otot, lemak dan seluruh jaringan tubuh. Karena cepat dikeluarkan dari jaringan otak sehingga pemberian dosis tunggal thiopental mempunyai masa kerja ultra singkat. Metabolisme tiopental sangat lambat dan akan didistribusikan ke hati. Kurang dari 1% dari thiopental yang diberikan akan diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh. Rata-rata metabolisme thiopental 12-16% per jam pada manusia setelah pemberian dosis tunggal.5,8Pada pemberian dosis tinggi, tiopental akan menyebabkan penurunan tekanan arteri, curah balik, dan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan depresi miokard dan meningkatnya kapasitas vena serta sedikit perubahan pada tahanan arteri perifer. Tiopental mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan sensitivitas pusat pernapasan terhadap karbon dioksida. Metabolisme otak dan penggunaan oksigen akan menurun setelah pemberian thiopental dalam proporsi terhadap tingkat depresi otak. Aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial juga akan menurun dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan oksigen.8Tiopental dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, biasanya dalam ampul 500 atau 1000 mg dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). larutan sifatnya sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat, dan bila masuk ke arteri akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Tiopental hanya boleh digunakan intravena dengan dosis 3-7mg/kg disuntikkan perlahan-lahan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anesthesia, atau depresi napas.8

0. Nonbarbiturat Nonbenzodiazepin1. PropofolPropofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol, dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedative-hipnotik yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik.9

Gambar 5. Struktur Kimiawi Propofol9

Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat. Selain cepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan peimilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.9Propofol adalah larutan yang tidak larut dalam air sehingga membutuhkan pelarut untuk larut dalam lemak sehingga terjadi emulsifikasi. Saat ini digunakan larut kacang kedele sebagai pelarut lemak dan egg lechitin sebagai zat pengemulsi yang dikomposisikan dengan rantai panjang trigliserida. Komposisi seperti ini mendukung perkembangan bakteri dan meningkatkan kandungan trigliserida plasma ketika diberikan melalui cairan infus yang lama. Propofol tidak seperti thiopental, etomide, dan ketamin, tidak memiliki komponen chiral.9Campuran propofol dan obat lain tidak dianjurkan walau penggunaan lidokain sering ditambahkan untuk mengurangi nyeri pada tempat suntikan. Pencampuran lidokain dan propofol dapat menimbulkan gabungan pada droplet minyak dan bentuk yang lain sehingga meningkatkan risiko embolisasi pulmonal.9Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek hipnotik-sedatif melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotansmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.9Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal.5,9Waktu paruh propofol adalah 0,5 1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.5,9Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesi total iv.10Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5 2,5 mg/kgBB intravena dengan kadar obat 2-6 g/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang lebih besar tiap kilogram berat badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi yang besar dan kecepatan bersihan yang lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma. Kesadaran kembali saat kadar propofol di plasma sebesar 1,0 1,5 g/ml.5,9Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100 g/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman menurun.5,9Dosis tipikal anestesia 100-300 g/kgBB/menit iv sering dikombinasikan dengan opioid kerja singkat. Walaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur bedah yang singkat, tetapi propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama (< 2 jam) dipertanyakan mengingat harga dan efek yang sedikit berbeda pada waktu kembalinya kesadaran dibandingkan standar teknik anestesi inhalasi. Anestesi umum dengan propofol dihubungkan dengan efek yang minimal pada rasa mual dan muntah post operasi, pengembalian kesadaran.5,9,10Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas.9Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Propofol sebenarnya juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis.9Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama anestesia propofol sebesar 1,4/100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian antikolonergik.9Respon denyut jantung selama pemberian atrofin intravena berbeda tipis pasien yang mendapat propofol dan pasien yang sadar. Penurunan respon atropin terjadi karena propofol menekan aktifitas saraf simpatis. Pengobatan propofol yang menginduksi bradikardia adalah dengan pemberian beta agonis contohnya insoproterenol.9Terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini. Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan menurunkan risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.2,9Propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propifol yang lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapat propofol yang ditandai dengan urin yang kerug, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin yang rendah. Efek ini menendai gangguan ginjal akibat propofol.5,91. KetaminKetamin adalah derivat phencyclidine yang menyebabkan disosiative anesthesia yang ditandai dengan disosiasi EEG pada talamokortikal dan sistem limbik. Disosiative anesthesia ini menyerupai kedaan kataleptik dimana mata pasien terbuka dan diikuti nistagmus yang lambat. Berbagai derajat hnipertonus dan perpindahan otot yang tanpa tujuan sering terjadi pada proses pembedahan. Namun pasin tetap dalam keadaan amnesia dan analgesia.2,9

Gambar 6. Struktur Kimiawi Ketamin9

Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat (NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase. Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA. Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin inilah yang menimbulkan efek analgesia.2,9Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat, menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar.9,10Farmakokinetik ketamin mirip seperti thiopental yang memiliki aksi kerja singkat, memiliki aksi kerja yang relatif singkat, kelarutan lemak yang tinggi. pH ketamin adalah 7,5 pada pH yang fisiologik. Konsentrasi puncak ketamin terjadi pada 1 menit post injeksi ketamin secara intravena dan 5 menit setelah injeksi intramuskular. Ketamin tidak terlalu berikatan kuat dengan protein plasma namun secara cepat dilepaskan ke jaringan misalnya ke otak dimana konsentrasinya 4-5 kali dari pada konsetrasi di plasma.5,9Kelarutan yang tinggi di dalam lemak (5-10 kali lebih tinggi dari pada thiopental) memudahkan ketamin melewati sawar darah di otak. Ketamin menginduksi peningkatan aliran darah ke otak yang memfasilitasi distribusi obat ini ke otak ditambah sifatnya yang mempermudah melewati sawar darah otak. Ketamin diredistribusi dari otak dan jaringan lain yang memiliki konsentrasi tinggi ketamin ke jaringan lain yang memiliki konsetrasi ketamin yang lebih rendah.5,9Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 1/3 daripada ketamin. Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin 90 mm Hg didiagnosis hipertensi; sedangkan definisi WHO terdahulu berdasarkan kedua tekanan sistolik maupun diastolik, yaitu jika sistolik 160 mm Hg dan diastolik 95 mm Hg. Dengan pergantian definisi ini prevalensi hipertensi menjadi 2 kali lipat.11Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologispenting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.12Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.12Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.12

Gambar 7. Patofisiologi Hipertensi12

Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Faktor-faktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuatmeliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi.11Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis.11Batas atas tekanan darah normal yang diijinkan adalah sebagai berikut2 : Dewasa 140/90 mmHg Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg Anak usia prasekolah 85/55 mmHg Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

Klasifikasi JNC 7 yang mutakhir dapat dilihat pada Tabel 113.

Tabel 1. Klasifikasi JNC.13

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg; dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam s/d beberap hari.13Hipertensi seringkali disebut sebagai silent killer karena pasien dengan hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi.13Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik.13Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai terapi antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium, kreatinin, dan kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 12 jam) termasuk HDL, LDL, dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio albumin / kreatinin. Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak tercapai.13Didapat melalui anamnesis mengenai riwayat penyakit atau penemuan diagnostik sebelumnya guna membedakan penyebab yang mungkin, apakah sudah ada kerusakan organ target sebelumnya atau disebabkan hipertensi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus meliputi hal-hal seperti13 (lihat tabel 2):

Tabel 2. Komplikasi Hipertensi12

Terapi non farmakologis pada hipertensi terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur.12Sedangkan terapi farmakologis meliputi obat-obatan antihipertensi. Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.1,91. Diuretik 13,14Bekerja dengan cara menyebabkan diuresis, meningkatkan ekskresi Na, Cl, dan air sehingga volume plasma berkurang dan terjadi penurunan curah jantung (cardiac output) yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Obat-obatan diuretik diberikan pada pagi hari untuk single dose, atau pada pagi dan sore hari untuk 2 kali pemberian. Hal ini untuk mencegah terjadinya nokturia diuresis.14Ada 4 kelompok diuretik, yaitu141. Diuretik Tiazid : HCT (hidroklorotiazid), Klortalidon, Indapamid, dan Metolazone.1. Loop diuretik : Furosemide, Bumetanide, dan Torsemide.1. Diuretik hemat kalium : Amilorid, Triamteren. Dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien penyakit ginjal kronik, diabetes dan terapi kombinasi dengan ACEI, ARB, AINS, atau suplemen kalium.1. Antagonis Aldosteron, juga termasuk diuretik hemat kalium : Spironolakton, Eplerenone. Spironolakton dapat menyebabkan ginekomastia pada 10% pasien.1. blocker 13,14Penyekat beta telah digunakan pada banyak studi besar untuk hipertensi. Sebelumnya penyekat beta disarankan sebagi obat lini pertama bersama diuretik. Tetapi, pada kebanyakan trial ini, diuretik adalah obat utamanya, dan penyekat beta ditambahkan untuk menurunkan tekanan darah. Ada perbedaan farmakodinamik dan farmakokinetik diantara penyekat beta yang ada, tetapi menurunkan tekanan darah hampir sama.13Ada tiga karakteristik farmakodinamik dari penyekat beta yang membedakan golongan ini yaitu efek:13 Kardioselektif (cardioselektivity) ISA (intrinsic sympathomimetic activity) Mestabilkan membrane (membran-stabilizing)

blocker dibedakan menjadi 4 kelompok berdasarkan sifatnya, yaitu13,141. Kardioselektif, bekerja selektif pada reseptor 1 di jantung: Atenolol, Bisoprolol, Metoprolol, dan Betaxolol.1. Nonselektif, bekerja pada reseptor 1 dan 2 : Nadolol, Propanolol, Timolol, dan Sotalol. Tidak boleh digunakan pada pasien asma atau bronkhitis.1. Memiliki Aktivitas Simpatomimetik Intrinsik: Acebutolol, Carteolol, Penbutolol, dan Pindolol.1. Campuran dan blocker : Karvedilol, Labetolol.Efek samping blokade reseptor pada miokardium adalah bradikardi, ketidaknormalan konduksi atrioventrikular (AV), dan gagal jantung akut. Penghentian blocker secara cepat dapat menyebabkan angina tidak stabil, infark miokard, dan bahkan kematian pada pasien-pasien dengan resiko tinggi penyakit koroner. Karena itu dosis harus diturunkan perlahan-lahan selama 1-2 minggu sebelum penghentian.141. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)13,14ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada kebanyakan pasien dengan hipertensi.Pengambat ACE bekerja dengan cara menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. dimana angiotensinII adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron 13,14

Gambar 8. Sistem renin-angiotensin dan system kallikrein-kinin13 Yang termasuk dalam kelompok ACEI adalah Kaptopril, Benazepril, Delapril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Perindopril, Kuainapril, Ramipril, dan Ilazapril. Penggunaan kaptopril sebaiknya pada saat perut kosong, karena absorbsinya dapat berkurang 30-40% jika diberikan bersama makanan. Efek samping pada penggunaan ACEI yaitu :batuk kering (pada 20% pasien), hiperkalemia (monitoring), neutropenia, agranulosit, glomerulonefritis, proteinuria, dan gangguan fungsi ginjal. ACEI dikontaindikasikan pada wanita hamil dan pasien dengan riwayat angioedema.141. ARB (Angiotensin Reseptor II Blocker) 14ARB menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (ATI) yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulus AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan menggunakan ARB.14Obat-obat golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tampaknya tidak menimbulkan batuk kering parsisten yang biasanya mengganggu terapi dengan penghambat ACE. Karena itu, obat-obat golongan ini merupakan alternatif yang berguna untuk pasien yang harus menghentikan penghambat ACE akibat batuk yang parsisten.14Yang termasuk kelompok ARB adalah: Kandesartan, Eprosartan, Irbesartan, Losartan, Olmesartan, Telmisartan, dan Valsartan.141. CCB (Calcium Channel Blocker) 13,14CCB bukanlah agen lini pertama tetapi merupakan obat antihipertensi yang efektif, terutama pada ras kulit hitam. CCB mempunyai indikasi khusus untuk yang beresiko tinggi penyakit koroner dan diabetes, tetapi sebagai obat tambahan atau pengganti.13CCB bekerja dengan menghambat influx kalsium sepanjang membran sel yaitu mengurangi masuknya ion kalsium melalui kanal kalsium lambat ke dalam sel otot polo, otot jantung dan saraf. Berkurangnya kadar kalsium bebas di dalam sel-sel tersebut menyebabkan berkurangnya kontraksi otot polos pembuluh darah (vasodilatasi), kontraksi otot jantung (inotropik negatif), serta pembentukan dan konduksi impuls dalam jantung (kronotropik dan dromotropik negatif). Ada dua tipe kanal kalsium: high voltage channel (tipe L) dan low voltage channel (tipe T). CCB yang ada hanya menghambat kanal tipe L, yang menyebabkan vasodilatasi koroner dan perifer. 13Ada dua subkelas CCB, yaitu:131. Dihidropiridin: Amlopidin, Felopidin, Isradipin, Lekardipin, Nicardipin, Nifedipin, dan Nisolpidin. Efek samping dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, hiperplasia gusi, edema perifer, perubahan mood, dan gangguan gastrointestinal. Nifedipin dapat meningkatkan resiko kardiovaskular.1. Non dihidropiridin: Diltiazem dan Verapamil. Menurunkan denyut jantung dan memperlambat konduksi nodal atriventrikular. Efek sampingnya adalah anorexia, nausea, edema perifer, dan hipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7% pasien

Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan hipertensi15

Table 3 Clinical trial and guideline basis for compelling indications for individual drug classes15

2.3 Pengelolaan Anestesi Pada Pasien Hipertensi2.3.1. Persiapan Preoperatif Pasien HipertensiPenilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus dicari, yaitu:16 Jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi. Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita. Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik hipotensi.

Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya aritmia.14Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD secara farmakoligis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.13,15Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.13,15Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS> 180 mmHg dan/atau TDD> 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.162.3.2 Perlengkapan Monitor17,18Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bias kita gunakan serta maksud dan tujuan penggunaanya:17,18 EKG: minimal lead V5 dan II atau analisis multiple lead ST, karena pasien hipertensi punya risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard. TD: monitoring secara continuous TD adalah esensial kateter Swan-Ganz: hanya digunakan untuk penderita hipertensi dengan riwayat CHF atau MCI berulang. Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi jaringan perifer. Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita mempertahankan kadar CO2. Suhu atau temperature.2.3.3 Premedikasi16,17,18Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.16,17,182.3.4 Induksi Anestesi16,18Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi.16,18 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb). Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg). Menggunakan anestesia topikal pada airway.Pemilihan obat induksi untuk penderita Hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi.16,182.3.5 Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring16,18Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:16 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi. Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bias digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal, dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.16,182.3.6. Hipertensi IntraoperatifHipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral (lihat tabel 2.6), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bias diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan terlebih dahulu.16

Tabel 5. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut16

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut.16

Tabel 6. Golongan dan efek obat-obat antihipertensi162.3.7 Manajemen Postoperatif13,16,18Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu. Nyeri merupakan salah satu factor yang paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan. 13,16,18Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai.16,18

2.4. Konsiderasi Hipnotik-Sedatif pada Pasien HipertensiHipertensi sering ditemukan pada pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan. Umumnya pasien belum belum pernah mendapat terapi atau diterapi tetapi tidak adekuat. Saat ini pendekatan anestesi pada pasien hipertensi masih kontroversial. Selain itu, bukti tentang manajemen klinis terkait hal tersebut masih sangat lemah.1Hipnotik sedatif adalah obat-obatan yang sifatnya sedatif dan dapat menginduksi tidur ketika diberikan dengan dosis tinggi. Pemberian hipnotik sedatif dalam anestesia memiliki banyak pertimbangan salah satunya penyakit penyerta pada pasien. Diantara penyakit penyerta yang ada, hipertensi adalah salah satu penyakit penyerta yang sering dijumpai.2Pemberian obat antihipertensi pada pasien dengan penyakit penyerta hipertensi tetap dilanjutkan sampai pada hari pembedahan sesuai jadwal minum obat dengan sedikit air non partikel. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.2 Oleh karenanya perlu dilakukan pemilihan obat hipnotik sedatif dalam penginduksian pasien dengan hipertensi yang dikelompokkan menjadi benzodiazepine, barbiturat dan non benzodiazepine non barbiturat.2.4.1 Golongan BenzodiazepineBenzodiazepine berinteraksi dengan reseptor spesifik SSP terutama di korteks cerebri. Ikatan benzodiazepine meningkatkan efek inhibisi dari bermacam-macam neurotransmitter, misalnya GABA. Benzodiazepine tidak mengaktifkan reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membrane sel dan mendorong post sinaptik membrane sel tidak dapat dieksitasi. Keadaan ini menimbulkan perubahan polarisasi membran sehingga menghambat fungsi normal neuron. 19 Contoh preparat benzodiazepine adalah midazolam dan diazepam.Tekanan darah dan denyut jantung secara relatif stabil selama induksi dengan midazolam dan remifentanil, akan tetapi midazolam dapat menurunkan tekanan darah selama induksi. Midazolam 0,2-0,3 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.3 Metabolisme midazolam akan diperlambat oleh obat-obatan penghambat enzim sitokrom P-450 seperti simetidin, eritromisin, calsium channel blocker, obat anti jamur.3Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti dengan injeksi fentanyl 50 g/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan penurunan tekanan darah sistemik.Benzodiazepin menunjukan efek depresi kardiovaskular minimal bahkan pada dosis induksi. Tekanan darah arterial, curah jantung, dan resistensi vascular biasanya seikit turun sementara denyut jantung sedikit naik.192.4.2 Golongan BarbituratPenggunaan barbiturat sebagai hipnotik-sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan obat golongan barbiturat pada anastesi yang masih banyak digunakan adalah tiopental.Berbeda dengan benzodiazepin, barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata pada system kardiovaskular. Frekuensi nadi dan tensi sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian thiopental dosis induksi adalah 2-6 mg/kg IV. Dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.4 Pemberian barbiturat pada penderita hipertensi lama cenderung akan mengalami tekanan darah yang naik turun dengan rentang lebar saat induksi. Terlihat bahwa efek barbiturat pada kardiovaskuler tergantung pada volume darah, tonus otonom dan penyakit kardiovaskuler. Pengaruh-pengaruh ini dapat dikurangi dengan injeksi secara perlahan dan hidrasi preoperative yang adekuat.19Pada pemberian dosis tinggi, tiopental akan menyebabkan penurunan tekanan arteri, curah balik, dan curah jantung. Hal ini dapat menyebabkan depresi miokard dan meningkatnya kapasitas vena serta sedikit perubahan pada tahanan arteri perifer. Tiopental mendepresi pusat pernafasan dan menurunkan sensitivitas pusat pernapasan terhadap karbon dioksida. Metabolisme otak dan penggunaan oksigen akan menurun setelah pemberian thiopental dalam proporsi terhadap tingkat depresi otak. Aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial juga akan menurun dan diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan oksigen.1,42.4.3 GolonganNonbenzodiazepine-NonbarbituratPropofol merupakan anestetik intravena yang memiliki onset cepat dan durasi yang singkat. Efek terbesar propofol terhadap kardiovaskular adalah adanya penurunan tekanan darah akibat penurunan tahanan vaskuler sistemik, kontraktilita miokard, dan preload. Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas.5Bradikardi dan asisitol pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat propofol sehingga disarankan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi ke nervus vagus. Risiko bradycardia-related death selama anestesia propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian antikolonergik. Propofol juga meningkatkan respon saraf simpatis dalam skala ringan dibandingkan saraf parasimpatis sehingga terjadi dominasi saraf parasimpatis.5Ketamin merupakan depressor langsung pada miokard. Hal ini didapatkan dengan stimulasi simpatis sistem syaraf pusat, menghasilkan inotropik positif dan chronitropy. (I) meningkatkan heart rate (20%) tekanan darah (25% terjadi peningkatan pada tekanan darah sistolik) dan cardiac output, puncaknya terjadi 2-4 menit setelah pemberian ketamin intravena. (II) efek predominan dari ketamin pada sistem kardiovaskular diduga karena penurunan reuptake katekolamin.20Berbeda dengan obat anestesi lain, ketamin meningkatkan tekanan darah arterial, denyut jantung, dan curah jantung. Tekanan darah sistolik rata rata meningkat 5 menit setelah pemberian bolus ketamin (7%). Hal ini dapat pula muncul 25 menit kemudian (6%), 35 menit (11%), 40 menit (8%), 45 menit (11%), 50 menit (13%), 55 menit (10%), 60 menit (14%), dan 70 menit (11%).21 Terdapat pula penurunan rata rata 8% dari level dasar. Efek sistim kardiovaskular ini disebabkan oleh stimulasi dari pusat saraf simpatis dan inhibisi reuptake norepinefrin. Selain efek ini terjadi juga kenaikan tekanan arteri pulmonal dan kontraksi miokard. Karena itu ketamin tidak dapat diberikan pada pasien dengan penyakit jantung koroner, hieprtensi tidak terkontrol, penyakit jantung kongestif, dan aneurisma arteri.19Sedangkan dextromethorphan, pada dosis yang berlebihan dapat menimbulkan hipertensi sistemikdan takikardia. Hepatotoksisitas meningkat pada pasien yang mendapat DMP dan asetamenofen.9Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Pemilihan obat induksi untuk penderita Hipertensi adalah bervariasi untuk masing-masing klinisi. Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.2,1246