babak terakhir · untuk tinggal di tempat yang jauh, tempat di mana kita melihat orang-orang yang...
TRANSCRIPT
i
Babak Terakhir
ii
iii
Babak Terakhir
Melissa Octavianti
iv
Babak Terakhir
Penulis : Melissa Octavianti
Editor : Melissa Octavianti
Proofreader : Melissa Octavianti
Penata letak : Melissa Octavianti
Desainer sampul : Hans Adriel
Redaksi:
MeMedia
Jalan Tomang Raya No. 28
Jakarta Barat 11760
Telp. (021) 55542518, ext. 111, 112, 113
Faks. (021) 545 6789
Email: [email protected]
Website: www.memedia.com
Cetakan pertama, 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang
Melissa Octavianti
Babak Terakhir/Melissa Octavianti; editor, Melissa Octavianti‒cet. 1‒ Jakarta: MeMedia,
2015
vii + 159 hlm; 14.8 × 21 cm
ISBN 979-781-640-8
1. Novel I. Judul
II. Melissa Octavianti
v
Setelah berbulan-bulan bergumul dengan naskah novel ini,
akhirnya novel ini selesai juga :”)
Pertama-tama, saya mau mengucapkan syukur kepada
Tuhan yang Mahakuasa karena atas rahmat dan
pertolongan-Nya sajalah saya dapat dimampukan untuk
menyelesaikan novel perdana ini. Tanpa bimbingan dan
hikmat yang diberikan-Nya, novel ini takkan selesai dengan
baik.
Lalu, kepada kedua orangtua dan adik saya yang senantiasa
menyemangati saya dalam proses pembuatan novel ini.
Semangat itu memang tidak diucapkan melalui perkataan,
namun perhatian dan sorot mata kalian sudah cukup
memberikanku semangat.
vi
Saya juga mau berterima kasih kepada Ibu Wa Ode Wulan
Ratnaningsih selaku dosen pembimbing mata kuliah Creative
Writing yang memberikan saya ‘tugas’ ini. Tanpa ‘tugas’ dari
Ibu, saya nggak yakin akan menyelesaikan satu novel pun
dalam hidup saya. Meski berat, namun tugas ini meyakinkan
saya bahwa saya mampu untuk menyelesaikan sebuah novel.
Terima kasih banyak, Bu!
Tak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Hans
Adriel yang tabah dan betah dijadikan tempat curhatan,
tempat nabung ide, tempat ngolah ide, dan terutama atas
desain cover novel ini! Banyak ide novel ini yang dihasilkan
dari obrolan kita. Untuk itu, makasih banyak yaaaa!
Selain itu, saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada kak Ika Natassa sebagai salah satu penulis Indonesia
favorit saya. Novel-novel kakak banyak membantu saya
dalam pengembangan novel ini dan saya secara pribadi
belajar untuk berpikir lebih, terutama dalam hal hubungan.
Meski saya belum berumah tangga, novel Kakak membuat
vii
saya lebih dewasa dalam berpikir. Saya menunggu novel
Kakak berikutnya!
Terakhir, kepada seluruh teman-teman saya yang turut
membantu dalam proses kreatif novel ini baik secara
langsung ataupun tidak langsung, saya sungguh
mengucapkan banyak terima kasih. Masukan dan saran
kalian memiliki arti yang sangat teramat penting bagi proses
penulisan novel ini.
Sekian ucapan terima kasih dari saya, selamat membaca dan
selamat berimajinasi!
Salam,
Melissa Octavianti
viii
#1
Andai Kita Tak Bertemu
Kay
Hari ini hujan deras melanda Jakarta. Aku melihat Pak
Supri, supirku, mulai terlihat sedikit mengantuk saat
mengantarku ke apartemen dari bandara. Aku mengerti, wajar
saja ia mengantuk. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul satu
dini hari. Pak Supri pasti ingin secepatnya pulang untuk
bertemu dengan istrinya yang pasti menungguinya di ruang
tamu. Pak Supri sungguh beruntung mempunyai istri yang
perhatian dan rela menungguinya hingga selarut ini.
Babak Terakhir
Sedangkan aku harus menyapa gelapnya apartemen kami saat
aku tiba.
Setibanya aku di apartemen, suasana apartemenku gelap
dan hening. Ah, Ale belum pulang. Aku berkata dalam hati
sambil berjalan menuju kamar mandi dan membilas tubuhku
yang sudah lelah oleh segala macam meeting yang sudah
kulakukan di London selama seminggu kemarin. Haruskah aku
menunggu Ale pulang? Apakah yang akan ia lakukan bila ia
ada di posisiku? Aku merenungkan jawabannya sesaat lalu
melangkah menuju kamar tidur kami. Kamar tidurku.
Aku menyukai bandara. Bukan, aku mencintai bandara.
Tempat orang bertemu kembali dengan orang terkasih, tempat
seseorang harus rela melepas kepergian orang terkasihnya
untuk tinggal di tempat yang jauh, tempat di mana kita melihat
orang-orang yang berpakaian rapi dan bergegas menuju gate
untuk mengejar pesawat, melihat kegirangan dan keceriaan
anak-anak yang diajak berlibur dengan orang tuanya, melihat
pasangan bahagia yang merencanakan hal-hal menyenangkan
yang mereka akan lakukan selama bulan madu, juga melihat
orang-orang yang melintasi lantai bandara seorang diri tanpa
kehadiran orang yang menunggunya. Bandara seperti yin dan
yang, dimana kegembiraan dan kesedihan berada di tempat
yang sama. Namun, sejak dua tahun yang lalu, bandara
mempunyai arti yang lebih spesial untukku.
Hari itu aku sedang sial. Aku dijadwalkan penerbangan
pukul sepuluh malam untuk menemui klien di Jepang, namun
di saat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh, bos-ku tidak
tampak akan menyudahi meeting ini segera. Kalau kaya gini
mah bakalan ketinggalan pesawat, gerutuku dalam hati.
Bosku, yang sebenarnya tahu mengenai jadwalku, sepertinya
melihat gelagatku yang sudah gelisah melihat jam tanganku
sedari tadi. Beliau pun menyudahi meeting tersebut, langsung
mendatangiku dan berkata, ”Pokoknya kamu harus bisa
mendapatkan konfirmasi dari nasabah ini ya, Kayla. Yang kali
ini benar-benar penting.”. Aku hanya tersenyum sebisaku
menanggapi perkataan beliau dan sesegera mungkin menuju
lobi untuk memanggil sopirku dan melaju ke bandara.
Jalanan di Jakarta sepertinya ingin menambahkan
kesialanku malam itu. Jalan raya yang kulewati untuk menuju
jalan tol sangat padat, dan saat aku memasuki jalan tol, ternyata
ada kecelakaan mobil sehingga menyebabkan kemacetan yang
membuatku sakit kepala. Waktu sudah menunjukan pukul 9
Babak Terakhir
kurang saat aku tiba di bandara Soekarno Hatta. Orang-orang
yang melihatku waktu itu mungkin berpikir aku adalah orang
gila yang baru melarikan diri dari Rumah Sakit Jiwa terdekat
karena rambutku sudah tidak karuan, pakaianku lusuh sehabis
seharian meeting sana sini dan aku berlari-lari ke gate tempat
aku menaiki pesawat. Untung saja aku sudah menyuruh Rina,
anak buahku untuk men-check-in-kan tiket serta bagasiku tadi
siang. Aku akhirnya menaiki pesawat dan menduduki kursi
tempat dudukku. Di sebelahku, ternyata duduk seorang anak
kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang sedang memainkan
mainan pesawat-pesawatannya. Semoga anak ini nggak nangis
atau ngerengek-rengek selama perjalanan, doaku dalam hati
sambil mencari keberadaan orang tua anak ini. Melihat tidak
ada orang tua yang melihat ke arah anak ini, aku pun
memutuskan bahwa mungkin anak ini sudah terbiasa duduk
terpisah dengan orang tuanya dan aku pun memejamkan
mataku untuk beristirahat.
Ternyata kesialan masih belum mau meninggalkanku.
Sesaat setelah pesawat terbang, anak kecil di sebelahku
mulai menangis dan berteriak-teriak karena telinganya sakit.
Aku pun memanggil pramugari terdekat untuk menanyakan
keberadaan orang tua anak ini. Sesaat setelah itu, seorang
wanita berusia kira-kira empat puluh tahunan menghampiri
kami dan berkata, “Aduh, Nino! Kamu disini toh rupanya! Bibi
sudah mencari dari tadi!” Bibi tersebut kemudian menoleh ke
arahku, “Maaf, Nak. Bolehkah Bibi menukar tempat duduk
Bibi dengan kamu? Bibi duduk di sebelah sana.” katanya
seraya menunjuk tempat duduk yang berada di baris paling
depan. Wah, ternyata keberuntungan gua masih ada! sorakku
dalam hati. Segera aku iyakan perkataan Bibi tersebut dan
membereskan barang-barangku untuk pindah.
Di sebelah tempat dudukku yang baru, duduk seorang
pria yang sedang tertidur, sepertinya berumur tiga puluhan.
Rambutnya yang panjang sebahu diikat seadanya dengan karet
gelang. Wajahnya lumayan, pikirku. Rahang yang kokoh,
alisnya tebal, bulu matanya lentik, hidungnya mancung dan
bibirnya sungguh menggoda. Kulitnya kecoklatan terbakar
matahari dan sepertinya ia cukup atletis dan tinggi, melihat
tangannya yang berotot. Wah ia punya lesung pipit! Seruku
dalam hati. Sungguh perpaduan antara manly dan cute! Aku
sedang memperhatikan wajahnya saat ia tiba-tiba bergeser dan
menaruh kepalanya di bahuku.
Aku seketika berhenti bergerak.
Nafas hangatnya yang membelai leherku seharusnya
membuat aku semakin hangat namun kenyataannya malah
membuatku berkeringat dingin dan was-was. Aku takut
bergerak dan secara tak sengaja membangunkan pria ini. Jadi
Babak Terakhir
aku hanya berusaha menenangkan badanku dan menutup
mataku, berusaha untuk tidur.
Aku bangun dengan telapak tangan yang melambai-
lambai di depan mataku.
Saat aku membuka mata, hal pertama kali kulihat adalah
tangan pengusik tidurku. Namun, hal kedua yang kulihat
ternyata berhasil menghilangkan kantukku seketika. Aku
melihat mata keemasan yang melihat tepat ke mataku dengan
tatapan kaget yang mungkin sama dengan ekspresiku saat itu.
Mata itu sungguh jernih sehingga aku bahkan bisa melihat
pantulan wajahku di matanya.
“Eh, maaf ngebangunin! Saya ga sengaja,” kata pria itu.
Matanya tetap menatapku panik sementara aku dengan
bodohnya hanya terus menatap mata pria itu. Tatapan panik
berubah menjadi kebingungan saat aku tak menanggapi
perkataannya. “Kamu baik-baik saja?”
“Eh, iya, aku gapapa kok.” jawabku sambil sesegera
mungkin mengalihkan mataku dari matanya dan menunduk.
Sejenak tak ada yang bersuara di antara kami sampai terdengar
suara tertawa pelan dari sebelahku. Sial, suara tawanya saja
seksi, pikirku dalam hati. Pria itu berhenti tertawa dan berkata,
“Suara tawaku seksi?”
Aku segera mendongak dengan mata terbelalak. Ini orang
peramal apa apaan sih, kok dia bisa tahu isi pikiran gua?
kataku dalam hati. “Pasti kamu bertanya-tanya kenapa saya
bisa tahu pikiranmu, ya kan?” Dia menganggap diamku
sebagai jawaban iya. “Tadi kamu menyuarakan isi pikiranmu.
Meski lirih namun aku tetap mendengarnya.” Ah.. begitu
rupanya. Aku tahu suatu saat kebiasaan bodoh seperti
berbicara sendiri akan membuatku malu! Pikirku kesal.
Melihat diriku yang sudah tidak bersuara, pria itu
berdeham pelan dan berkata, “Saya Alejandro, kamu?”
“Aku Kayla.” jawabku seraya menoleh ke arahnya dan
kembali menemukan mataku yang terarah ke matanya.
Entah dia tak sadar atau sudah terbiasa melihat orang
yang menatap matanya, ia, Ale, kembali bertanya, “Business
or pleasure?”
“Business. Kamu?”
“Setengah-setengah. Saya sebenarnya ke Jepang untuk
melihat galeri teman saya, dan sekalian mencari lokasi untuk
syuting film.”
Film?
Babak Terakhir
“Syuting film? Memangnya kalau aku boleh tahu,
pekerjaan kamu apa?
“Saya seorang sutradara.” jawabnya. “Kamu sendiri?”
“Banker. Sudah berapa lama kamu jadi sutradara?”
Kami melanjutkan sisa perjalanan dengan menceritakan
kehidupan kami masing-masing. Bercerita berbagai kesulitan
tentang bagaimana seorang sutradara harus menghabiskan
berhari-hari untuk mendapat angle dan ekspresi pemain yang
tepat, bagaimana seorang banker harus tahan dikejar-kejar
target setiap bulannya. Kami juga berbagi kebahagiaan yang
sama, yaitu travelling. Sebagai sutradara, kadang ia harus turun
tangan untuk mencari lokasi yang pas untuk syuting dan
sebagai banker, aku harus terbang kesana-kemari untuk
bertemu nasabah, memonitor perusahaan-perusahaan nasabah,
dan hal-hal teknis lainnya. Namun bukan berarti aku benci
melakukannya. Sure, memang kepergianku ke negara-negara
itu bukan untuk jalan-jalan, namun aku tetap bisa meluangkan
sedikit waktu untuk melihat-lihat dan berbelanja bukan?
Pembicaraan kami berlanjut hingga waktunya mendarat.
Kami tak hanya berbicara mengenai pekerjaan kami masing-
masing. Saat kami mendarat, kami sudah mempunyai
gambaran tentang keluarga, hobi, dan mimpi satu sama lain.
Kami telah berbagi tawa dan canda sepanjang perjalanan.
Orang-orang romantis pasti akan berkata bahwa mereka ingin
waktu berhenti dan berada di momen ini selamanya.
Namun sayangnya aku bukanlah seorang yang romantis.
Aku seorang yang realistis dan aku tahu bahwa saat kami
berpisah di bandara nanti, kami tak akan mempunyai alasan
untuk menghubungi satu sama lain lagi. Kami akan kembali
menjadi orang asing dengan beberapa memori samar tentang
apa yang kami bicarakan di pesawat.
Jadi aku tak repot-repot meminta nomor telepon Ale dan
sepertinya ia pun berpikir demikian karena ia langsung berjalan
menuju pengambilan bagasi. Setelah ia mengambil bagasinya,
ia melihat ke arahku dan berkata, “Thanks karena tidak
membuat saya mengantuk sepanjang perjalanan. Sampai
jumpa, Kay!” Setelah melihatku membalas ucapannya dengan
senyuman, ia pun melangkah pergi meninggalkan lantai
bandara.
Senyumku berubah menjadi senyum kecut setelah Ale
pergi. Dalam hati, aku berkata kepada diriku sendiri. Tuh kan,
bener. Kehidupan nyata tuh nggak kaya novel-novel yang
selama ini gua baca. Aku mengambil bagasiku, memasang
earphone dan melangkah pergi dari khayalan kembali ke
kehidupan nyata.
Babak Terakhir
Mungkin kalau saat itu aku membalas perkataanmu
dengan dingin kita nggak akan seperti ini, Le, pikirku. Jam
sudah menunjukkan pukul 3 pagi sejak kubiarkan pikiranku
berkelana ke saat pertama kita bertemu dan sampai sekarang
belum terdengar suara pintu dibuka tanda Ale sudah pulang.
Bagaimana kita bisa menjadi seperti ini, Le? Kalau memang
seperti ini akhirnya, mengapa kita harus bertemu?
#2
Aku Menyerah
Ale
Jarum pendek sudah ada di angka empat ketika aku
menginjakkan kaki di apartemen. Ada sepatu hak tinggi Kay
yang tergeletak begitu saja di lantai, pertanda bahwa ia sudah
pulang. Namun apartemen yang gelap menjadi bukti bahwa ia
Babak Terakhir
tak menungguku pulang. Sudahlah, Le, emang diri lu pantes
buat ditungguin Kay? makiku kepada diriku sendiri.
Aku memasuki kamar tidur kami dan kulihat Kay sudah
tertidur pulas di atas ranjang kami. Ranjangnya untuk beberapa
bulan terakhir ini. Aku memungut selimutnya yang sudah
tertendang ke lantai dan menyampirkannya lagi ke tubuh
Kayla. Kayla terlihat polos dan tenang saat tertidur, seperti
bayi.
Seperti saat ia tertidur di sampingku dulu.
Aku masih ingat betul pertemuan kami di pesawat lima
tahun yang lalu. Saat itu, aku memang lelah sekali karena baru
pulang dari Australia dan pada hari yang sama aku harus
langsung terbang ke Jepang untuk pameran Soni, teman baikku
saat kuliah dulu. Saat aku menemukan tempat dudukku di
pesawat, aku melihat disebelahku ada seorang ibu-ibu yang
tampak cemas mencari-cari seseorang. Aku sempat berniat
untuk memberi bantuan namun karena sudah ada seorang
pramugari yang membantunya dan aku lelah sekali, jadi aku
putuskan untuk segera duduk, memasang earphone dan tidur.
Sekitar setengah jam kemudian, aku terbangun karena
ada sesuatu, seseorang yang bersandar di pundakku. Insting
pertamaku berkata bahwa ibu-ibu tadilah yang tertidur di
pundakku. Betapa kagetnya aku saat ibu-ibu tadi berubah
menjadi seorang wanita muda yang sedang tertidur lelap di
pundakku. Untuk memastikan aku tidak bermimpi, aku
mencubit pipiku sendiri dengan kencang. Sial, sakit! makiku.
Namun rasa sakit itu tak mampu menghentikan rasa senangku
melihat kenyataan yang ada. Aku melambai-lambaikan
tanganku di atas matanya untuk memastikan ia tertidur, namun
yang terjadi malah sebaliknya. Gadis itu mulai menggeliat dan
perlahan membuka matanya. Oh, shit! She’s awake! pikirku
panik.
“Eh, maaf ngebangunin! Saya ga sengaja.” kataku panik.
Mata gadis itu menatap lurus ke arahku, tepatnya ke arah
mataku. Aku memanfaatkan saat itu untuk benar-benar
memperhatikan wajahnya. Kulit putih, mata hitam kelam,
hidung kecil dengan bibir yang juga mungil, rambut hitamnya
dibiarkan tergerai hingga mencapai punggungnya. Cantik.
Itulah kata pertama yang terlintas di pikiranku setelah
mengamati gadis didepanku ini.
Dia tetap menatapku dalam diam selama beberapa detik
dan aku pun mulai merasa awkward. Melihat gadis itu tak
tampak akan memulai pembicaraan, akhirnya kuputuskan
untuk memulai pembicaraan.
“Kamu baik-baik saja?”
Babak Terakhir
“Eh, iya, aku gapapa kok.” jawab gadis itu.
Melihat gadis itu menundukan kepalanya dengan telinga
merah, aku tanpa sadar terkekeh pelan melihat tingkahnya. Tak
lama kemudian, aku mendengar suara lirih wanita tersebut.
“Suara tawanya saja seksi.”
Aku sontak berhenti bersuara mendengar suara itu. Ini
cewe lucu juga, pikirku jahil. “Suara tawaku seksi?” tanyaku
pelan. Gadis itu segera mendongak dengan mata terbelalak
lebar. Dia tampak sangat kaget dengan pertanyaanku and I
found it so funny and cute at the same time.
“Pasti kamu bertanya-tanya kenapa saya bisa tahu
pikiranmu, ya kan?” tanyaku lagi.
Wah ini cewe kok diem mulu dah dari tadi ditanyain,
pikirku dalam hati. Tanpa menunggu jawaban darinya, aku pun
berkata, “Tadi kamu menyuarakan isi pikiranmu. Meski lirih
tapi aku tetap bisa mendengarnya.”
Aku mengharapkan suatu respon dari gadis itu, namun
satu-satunya respon yang ia berikan ‒ kalau ini bisa disebut
sebagai respon ‒ hanyalah raut wajahnya yang dari bingung
menjadi mengerti. Gadis itu langsung menundukan kepalanya
lagi segera setelah itu. Hmm, gua harus ngomong sesuatu nih,
kataku dalam hati.
Aku berdeham pelan dan berkata, “Saya Alejandro,
kamu?”
“Aku Kayla.” jawabnya seraya menoleh kearahku.
Terimakasih Tuhan! Dia menjawab pertanyaanku!
seruku senang dalam hati.
Gadis itu, Kayla, ternyata seru untuk diajak mengobrol.
Sepanjang perjalanan, kami bercerita tentang diri kami dan aku
menemukan banyak hal dari Kayla – Kay, yang menarik
pikiran dan juga hatiku.
Perjalanan sebentar lagi akan berakhir, saatnya aku dan
Kay akan berpisah. Setelah kami tiba di bagian pengambilan
bagasi, sempat terpikir olehku untuk meminta nomor
handphone-nya. Namun sepertinya gadis itu tidak sepikiran
denganku sehingga setelah mengambil koper, aku bermaksud
untuk langsung pergi. Mataku mencari-cari keberadaan gadis
itu sampai aku menemukannya juga sedang melihat ke arahku.
“Thanks karena tidak membuat saya mengantuk
sepanjang perjalanan. Sampai jumpa, Kay!”, kataku.
Ia membalas dengan senyuman kecil dan aku pun mulai
berjalan pergi.
Babak Terakhir
Kalau jodoh juga pasti akan bertemu lagi, Le, hibur suara
hatiku dan aku mengamini hal itu.
Apakah semudah itu kata ‘jodoh’ terbentuk, Kay? Andai
saat itu adalah pertemuan pertama dan terakhir kita, apakah
artinya kita tak berjodoh?
Pertanyaan itu selalu terngiang di pikiranku saat aku
mengingat pertemuan pertama kita dan betapa lamanya pun
aku memikirkan jawabannya, pertanyaan itu tetap tak terjawab
dan tak pernah hilang dari kepalaku. Melihat Kay yang tertidur
pulas, sesaat timbul keinginan untuk mencium pipinya. Aku
mulai mendekatkan diri, namun beberapa senti dari pipinya,
hasrat itu langsung pudar. Aku teringat betapa tajamnya kata-
kata yang meluncur keluar dari bibirnya beberapa bulan yang
lalu.
Kamu benar-benar menjijikan.
Mungkin kamu benar, Kay. Aku memang menjijikan.
Tapi tolong jangan pisahkan dirimu dari suamimu yang
menjijikan ini ya.
Aku memandangnya selama beberapa detik sebelum
meninggalkannya dan menuju kamar tamu tempat aku tidur
selama beberapa bulan ini. Sebelum aku tidur, aku sempatkan
diri untuk berdoa. Doaku tetap sama selama beberapa bulan
terakhir, agar Kay bisa memaafkanku dan kembali ke Kay yang
dulu kukenal.
Kay
Satu hal yang tak Ale sadari. Aku masih terjaga sewaktu
ia pulang.
Aku tahu bagaimana ia menyelimutiku kembali dengan
selimut yang tak sengaja kujatuhkan ke lantai. Aku tahu
bagaimana ia mendekatkan wajahnya padaku seakan ingin
menciumku tapi bibirnya tak pernah menyentuhku. Aku tahu
ia memandangku sejenak sebelum beranjak menuju kamar
tamu. Aku dapat merasakan segalanya. Hembusan nafasnya
yang hangat hingga sorot matanya. Dan aku tahu ia berdoa
meminta aku untuk memaafkannya dan meminta aku untuk
kembali. Kembali menjadi Kay yang dulu. Dan air mataku tak
pernah tak menetes setiap kali aku mendengarnya.
Aku juga ingin Le, kembali seperti dulu. Namun
tampaknya segalanya sudah terlambat. Maaf Le, aku sudah
terlalu lelah.
Dan aku sudah menyerah.
Babak Terakhir
#3
Hidup Dalam Kenangan
Kay
Aku tidak dapat tidur malam itu.
Tepat jam enam pagi aku bangun dari tempat tidurku dan
menuju ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke kantor. Aku
menatap penampilanku di cermin. I look way past terrible,
kataku dalam hati. Aku mandi, berganti baju dan menggunakan
make up terlebih di bagian mata untuk menutupi mataku yang
bengkak.
Suara dengkuran Ale masih terdengar ketika aku hendak
meninggalkan apartemen. Aku teringat bagaimana dulu aku
akan membangunkannya untuk berpamitan dan akan
menyiapkan baju serta sarapan untuknya. Layaknya seorang
istri yang baik. Namun sejak hari itu, aku hanya istrimu di atas
kertas Le, pikirku. Aku meminta Mbok untuk memasakan
sarapan dan menyiapkan baju untuk Ale lalu aku pun
berangkat.
Sebelum ke kantor, aku memutuskan untuk mampir ke
salah satu kedai kopi yang paling sering kukunjungi untuk
breakfast meeting dengan klien. Aku sejujurnya tidak ingin
menginjakan kaki di kedai kopi ini karena terlalu banyak
kenanganku bersama Ale di tempat ini. Di sana jugalah, aku
kembali bertemu dengan Ale untuk kedua kalinya setelah
pertemuan di pesawat itu.
Pertemuan kedua kami terjadi sekitar dua bulan setelah
pertemuan pertamaku dengan Ale di pesawat. Hari itu aku
sedang sibuk berkutat dengan berkas-berkas pekerjaanku. Aku
jenuh bekerja di kantor maupun di rumah sehingga kuputuskan
untuk membawa berkas-berkasku ke kedai kopi dan
mengerjakannya di sana. Kedai kopi itu cukup luas, sepi,
Babak Terakhir
lenggang, dan didesain dengan motif kayu dengan sofa dan
meja yang nyaman serta dilengkapi dengan alunan lagu
instrumental yang lembut sehingga pengunjung dapat
mengerjakan sesuatu ataupun hanya sekedar minum kopi
dengan tenang dan nyaman. Bau khas kopi yang menyeruak di
ruangan tersebut menambah kenyamanan suasana kedai kopi
itu, terutama bagi pecinta kopi sepertiku. Kedai kopi itu buka
24 jam sehingga pada pukul sebelas malam, masih dapat
terlihat para mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugasnya
sampai larut malam, pasangan pemuda-pemudi yang sedang
bersenda-gurau menikmati kebersamaan mereka atau orang-
orang yang hanya sekedar ingin mencari tempat yang tenang
untuk beristirahat sejenak dari rutinitas mereka dengan
ditemani secangkir kopi. Aku mengambil tempat di ujung
ruangan, mulai menyalakan laptop dan mengeluarkan berkas-
berkas yang harus kukerjakan. Aku fokus mengerjakan
pekerjaanku sampai-sampai aku tak sadar bahwa ada seseorang
di sampingku sampai ia menempuk pundakku.
Aku berhenti dan menoleh ke arah belakang dan betapa
kagetnya aku saat kulihat Ale di depan mataku.
Penampilannya berbeda sekali dengan Ale yang kukenal
di airport. Kemeja yang saat itu ia pakai telah berganti menjadi
kemeja putih polos dengan jas hitam yang sudah ia longgarkan.
Celana jeans bolongnya berganti menjadi celana jeans biru
dongker dan sepatu kets usangnya berganti menjadi sepatu
pantofel kulit. Rambutnya yang dulu panjang dan acak-acakan
pun hari ini terpotong pendek dan tertata rapi. Kumis serta
jenggot tipisnya juga sudah tercukur.
Satu hal yang tak berubah. Tatapan mata emasnya yang
sangat menawan.
“Hai, Kay. Masih ingat saya?” tanya Ale.
Aku hanya termangu dan mengangguk pelan. Ale
kembali bertanya, “Kursi depanmu kosong, nggak? Boleh saya
duduk disana?” Aku mengiyakan dan ia pun duduk di depanku.
Ale melihat sekilas ke berkas-berkas dan laptop yang ada di
depanku lalu berkata, “Jadi gini toh kerjaan orang bank.” Aku
melihat tumpukan berkas yang belum setengahnya kukerjakan
dan menghela nafas pelan. “Iya nih. Ribet banget dah, Le.”
kataku seraya membereskan berkas-berkasku. “Loh, itu kenapa
dibereskan berkasnya? Memangnya sudah selesai?” tanyanya.
Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaannya. “Sudah mau
selesai kok,” dustaku. “Kita kan sudah lama tak bertemu, lebih
baik kita manfaatkan waktu ini untuk ngobrol saja. Kamu habis
darimana, Le?”
Babak Terakhir
Ale terlihat ragu sejenak namun ia tetap menjawab
pertanyaanku. “Abis dari pemutaran film nih. Film pendek
juniorku ada yang masuk ke FFI1.”
“Oh ya? Keren banget. Kamu sendiri nggak ikutan?”
tanyaku.
“Nggak nih, lagi sibuk syuting film. Bentar lagi selesai
sih, tinggal beberapa scene lagi,” jawabnya. “Kamu sendiri
bagaimana? Lagi sibuk-sibuknya ngejar target ya?”
Pembicaraan kami pun berlangsung sampai hampir jam
dua pagi. Untungnya hari itu hari Jumat sehingga aku tidak
perlu bangun pagi untuk ke kantor. Kami pun bangkit dari kursi
dan berjalan menuju kasir. Aku baru mau mengeluarkan
dompet untuk membayar namun mbak penjaga kasir itu tidak
memberikan tagihan melainkan berkata, “Bill-nya sudah
dibayar sama pacar Mbak.” Aku pun menoleh melihat Ale
yang sudah menungguku di depan pintu. Ale hanya senyum-
senyum sendiri saat aku berkata, “Kok sudah dibayar sih? Kan
aku bisa bayar sendiri.”
“Sudah, gapapa,” jawabnya. “Sebagai laki-laki yang baik,
kan memang seharusnya tidak membiarkan peremuan
mengeluarkan uang sepeser pun, terlebih saat berkencan.”
1 Festival Film Indonesia
Tunggu, apa katanya lagi? Kencan? kataku dalam hati.
“Eh, awas Kay!” kata Ale tiba-tiba sambil menarik
lenganku dan menutupi tubuhku dengan tubuhnya. Ternyata
ada sepeda motor yang melintasi kubangan dengan kecepatan
tinggi sehingga air kubangan tersebut hampir mengenai
pakaian dan berkasku kalau saja Ale tidak menolongku.
“Aduh, Ale! Kamu gapapa? Aduh basah lagi pakaianmu.
Aduh gimana nih?” kataku dengan panik sambil berusaha
membersihkan pakaiannya dengan tanganku. Ale bukannya
marah atau kesal, ia malah tertawa geli melihat tingkahku dan
mencubit ujung hidungku pelan. “Aduh, kamu lucu banget sih
panik gitu. Tenang aja, aku ada baju ganti kok di mobil.”
Aku terbengong sesaat lalu tersadar akan perbuatannya
dan memukul pelan punggungnya. “Ih, apaan sih nyubit-nyubit
hidung orang!”
Ale hanya tertawa mendengar omelanku dan malam itu
pun menjadi suatu malam yang tak dapat kuhapus dari
memoriku.
Tiba-tiba ada suara yang melepaskanku dari memori
masa lalu. “Permisi, Ibu Kayla. Saya Ronald dari Grand
Business Center yang hari ini ada janji breakfast meeting
dengan Ibu.”
Babak Terakhir
Aku pun tersadar dari lamunanku dan segera
mempersilahkan Pak Ronald duduk. Ah, andai aku bisa hidup
dalam kenangan dan bukan kenyataan, harapku dalam hati.
Ale
Aku terbangun saat sinar matahari telah bersinar terang di
depan mataku. Terang saja, aku baru tidur pukul empat pagi
kemarin. Di ujung ranjangku, sudah ada pakaian lengkap yang
terlipat rapi. Wah jangan-jangan yang menyiapkan baju
untukku itu Kay! pikirku sambil tersenyum lebar. Saat aku
keluar dari kamar tamu dan berjalan menuju kamar utama
tempat Kay tidur, ranjangnya sudah tersusun rapi tanda
penghuninya sudah pergi. Aku lalu menuju ke dapur untuk
melihat apakah Kay memasakanku sesuatu seperti yang biasa
ia lakukan dulu, namun ternyata meja makan masih kosong.
Mbok Wati melihatku menatap ke arah meja makan lalu
bertanya, “Den, mau saya bikinkan sarapan? Baju yang saya
siapkan itu cocok tidak buat Den Ale?”
Senyum di wajahku seketika menghilang dan berubah
menjadi helaan nafas. Kamu masih belum bisa memaafkanku
ya, Kay? kataku dalam hati. Sampai kapan kita akan begini
terus, Kay?
Mbok sepertinya melihat perubahan raut wajahku jadi
aku pun memaksakan seulas senyum dan berkata, “Mbok
tolong masakin saya nasi goreng ya.”
Babak Terakhir
#4
Khayalan Semata
Ale
Hari ini Harris, juniorku saat sekolah perfilman dulu,
mengajakku main basket one on one di lapangan basket dekat
rumahnya. Semasa berkuliah dulu, aku dan dia hampir tak bisa
terpisahkan. Mungkin ini efek dari homesick yang aku rasakan
saat aku tinggal di New York karena aku bahkan menganggap
Harris seperti adikku sendiri. Perbedaan usia kami tidak
terlampau jauh karena aku mengambil sekolah internasional di
Jakarta sebelum melanjutkan ke New York Film Academy,
tempat aku melanjutkan kuliah di bidang perfilman.
Aku pertama kali bertemu dengan Harris lima belas tahun
yang lalu saat menghadiri house party di rumah salah satu
senior dimana kami sebagai freshman diwajibkan untuk hadir
dan bersosialisasi. Aku termasuk tipe orang yang malas
bersosialisasi di tengah keramaian seperti itu. Tetapi malam itu
aku baru mengetahui bahwa pacarku pada saat itu telah
berselingkuh dan aku sedang sangat stres sehingga aku pun
akhirnya memutuskan untuk menyapa beberapa senior yang
kukenal lalu pergi ke taman untuk merokok, melepaskan beban
pikiranku. Aku mencari tempat untuk duduk dan akhirnya aku
duduk di sebelah pria ber-hoodie yang tampak sibuk dengan
laptopnya. Aku mengeluarkan kotak rokok dan menyelipkan
batang putih itu di jariku sambil mencari-cari lighter di
kantong celanaku.
Oh shit, lupa bawa lighter lagi gua, makiku dalam hati.
Aku hendak mengurungkan niatku untuk merokok saat
tiba-tiba ada tangan yang menyodorkan sebuah lighter ke
depanku. Aku mendongak dan melihat laki-laki berhoodie itu
menjulurkan tangannya ke arahku sambil tetap menatap fokus
Babak Terakhir
ke arah laptopnya. Aku mengambil lighter itu, menyulut
rokokku dan mengembalikannya.
“Thanks.”
Pria itu hanya mengangguk dan memasukan lighter itu ke
dalam saku hoodienya. Aku pun sedang malas untuk sekedar
berbasa-basi sehingga aku hanya menyibukkan diri dengan
rokok di bibirku dan berbagai masalah di pikiranku.
Tak lama kemudian, telepon genggam pria itu berdering
dan pria itu menjawab, “Halo?” Aku tanpa sadar menengok ke
arahnya. Orang Indonesia juga?
Ketika ia menyudahi panggilan teleponnya, aku pun
berinisiatif membuka pembicaraan.
“Orang Indo juga?”
Pria itu tampak kaget dan menjawab, “Iya, lo juga?”
“Iya, kenalin nama gua Ale, Alejandro Reese. Lo?”
Ia tersenyum dan menjabat tanganku, “Harris Widjaja.
Panggil aja Harris.”
Dan dari pembicaraan malam itulah kami mulai saling
mengenal dan bergantung kepada satu sama lain sebagai
sesama orang Indonesia di negeri asing. Ia membantuku saat
aku mendapat masalah seringan atau seberat apapun dan aku
melakukan hal yang sama padanya. Aku membantunya belajar
bahasa inggris‒karena ia masih belum terlalu fasih‒dan dia
membantuku bersosialisasi dengan banyak orang. Istilah
asingnya, we got each other’s back.
Dan selama lima belas tahun aku mengenalnya, satu hal
yang tak pernah berubah. Kebiasaan telatnya.
Ia berjanji untuk bertemu di lapangan jam tiga sore,
namun sekarang sudah jam empat dan batang hidungnya pun
belum terlihat. Aku pun memutuskan untuk warm up dan
berlatih shooting terlebih dahulu. Sudah lama sekali sejak aku
memegang dan memainkan bola basket. Akhir-akhir ini aku
menyibukkan diri dengan berbagai proyek perfilman untuk
melupakan masalahku dengan Kayla namun tampaknya semua
itu bukannya membuat keadaan semakin baik malah
memperburuk segalanya karena tidak ada lagi komunikasi
antara aku dan Kay.
Oh shit, kenapa pikiranku selalu berujung sama kamu sih
Kay...
“Woy, bro! Ngapain aja lo bengong-bengong sendirian?
Kesurupan lo?” seru Harris sambil menepuk pundakku dan
membuyarkan pikiranku tentang Kay.
Babak Terakhir
Makasih ya, Harris. Sekali lagi lo berhasil menyeret gua
dari kekelaman pikiran gua sendiri.
Kay
Sepertinya aturan pulang kantor jam lima itu hanyalah
mitos belaka ya.
Jam tanganku sudah menunjukkan angka tujuh dan sang
bos a.k.a adik iparku sendiri tak tampak akan segera
menyudahi meeting malam ini. Tidak biasanya Xander betah
meeting lama-lama seperti ini namun setelah kuperhatikan
ternyata matanya tidak melihat ke arah slides tetapi lebih ke
arah kaki sekretarisnya yang sedang menyampaikan bahan
meeting di depan.
Aku menendang pelan kakinya di bawah meja dan
memelototinya. Ia boleh saja bosku disini, namun di luar
perusahaan ia tetap adik iparku dan perbuatannya
memperpanjang meeting yang seharusnya sudah selesai sedari
tadi demi perbuatan mesum seperti itu sungguh membuatku
naik darah.
Xander melihat ke arahku dan di saat semua orang sedang
memerhatikan slides, ia menjulurkan lidahnya ke arahku.
Persis seperti anak kecil.
Ugh, sialan ini anak satu, pikirku kesal. Aku pun
mengeluarkan ponselku dan me-line Xander. Xander
mengeluarkan ponselnya dan melihat pesan dariku. Ia
menatapku heran namun tatapan itu segera berubah menjadi
kerlingan iseng. Ponselku tiba-tiba menyala, menandakan ada
pesan masuk. Aku membaca pesan itu sambil memutar bola
mataku dan membalasnya. Setelah membaca pesanku kali ini,
Xander menatapku kesal dan berdeham pelan.
“Meeting kita sudahi sampai sini. Besok kita lanjutkan
lagi.”
Aku bersorak dalam hati dan segera membereskan
berkas-berkas di depanku. Saat orang-orang sudah melangkah
keluar ruangan meeting, Xander menahan lenganku.
“Anak Papa banget sih lu, semuanya mau diaduin ke
Papa.”
Aku menjulurkan lidahku ke arahnya dan segera beranjak
ke arah lift. Xander hanya menggelengkan kepala melihat
tingkahku dan mengikutiku masuk ke dalam lift.
“Gimana hubungan lu sama Kakak gua? Baik-baik aja
kan?”
Aku menoleh ke arahnya dengan pandangan heran.
Xander yang kukenal bukanlah tipe orang yang ingin tahu
Babak Terakhir
urusan orang lain, terutama kakaknya sendiri. “Kok tumben lu
nanya begitu?”
Xander mengangkat bahunya dan menjawab, “Gapapa
sih, pengen kepo aja.”
Aku menjitak kepalanya pelan dan menggelengkan
kepala melihat tingkahnya yang seperti remaja belasan tahun
di umurnya yang sudah kepala tiga.
“Urus urusan lu sendiri sana. Buruan punya istri makanya
biar ada yang ngurusin.”
Xander hanya tersenyum geli mendengar perkataanku
yang seperti ibunya. Kami pun berjalan menuju parkiran mobil
dan pulang ke rumah masing-masing.
Setibanya aku di apartemen, Mbok tengah sibuk
menyiapkan makan malam. Aku menyapa Mbok, meletakan
barang-barangku dan pergi mandi. Di kamar mandi, aku
memutuskan untuk berendam air busa sambil mendengarkan
lagu, salah satu kegiatan favoritku sejak kecil. Saat aku tengah
menyetel suhu air di bathtub. terdengar suara ketukan pintu.
Mbok memanggilku untuk pamit pulang dan kuiyakan.
Sepulangnya Mbok, aku kembali masuk ke bathtub untuk
berendam dan menikmati lagu di earphone-ku. Kurang lebih
setengah jam berlalu. Aku pun bangkit dari bathtub untuk
membilas tubuh dan mencuci rambutku. Saat rambutku penuh
dengan sampo dan mataku tak bisa terbuka, tiba-tiba air shower
mati. Aku mengutuk dalam hati, memakai handukku dan
berjalan meraba-raba untuk mencari botol air minum. Baru
beberapa langkah, kepalaku sudah terantuk sesuatu dan aku
merasa menginjak kaki seseorang.
“Ale?”
Aku memanggil untuk memastikan bahwa yang kutabrak
ialah Ale dan bukan pencuri atau siapapun namun tak ada
jawaban yang terdengar. Satu-satunya jawabannya ialah
tanganku yang ditarik dan dibawa kembali ke kamar mandi.
“Tunggu sebentar.” Hanya dua kata itu yang kudengar
dan hal itu seperti memastikan firasatku bahwa ia adalah Ale.
Aku menunggu Ale kembali dengan perasaan tidak karuan.
Sudah entah berapa lama aku merasakan kontak fisik
dengannya dan kali ini aku hanya tertutup oleh handuk tipis.
Sadar, Kay! Jangan terbawa suasana! Suara hatiku
mengingatkanku.
Aku berusaha menenangkan denyut jantungku. Ale sudah
kembali. Ia memintaku untuk menundukkan kepalaku dan ia
menuangkan air untuk membilas rambutku. Tak ada seorang
pun di antara kami yang mengeluarkan suara, entah karena apa.
Babak Terakhir
Mungkin perasaan dan pandangannya terhadapku sudah
berubah menjadi dingin sehingga mau aku tidak berpakaian
pun tidak akan mengganggunya. Atau mungkin ia sudah punya
wanita penggantiku di belakangku. Hanya memikirkannya saja
membuatku naik darah. Aku membilas mataku dan kulihat ia
melihat ke arah kepalaku dan bukan tubuhku. Dulu ketika kami
masih pacaran mungkin aku akan menganggap sikapnya ini
gentleman namun dalam pernikahan, hal tersebut memiliki arti
bahwa aku sudah tak cukup menarik di hadapannya.
Ah, sudahlah. Toh memang gua kan hanya istrinya di atas
kertas saja.
Air berhenti mengalir dan rambutku pun sudah bersih.
Sebelum aku sempat berterimakasih, Ale sudah berjalan keluar
kamar mandi. Aku menghela nafas pelan dan lagi-lagi
mengingatkan diriku bahwa Ale yang sekarang bukanlah Ale
yang dulu. Aku mengeringkan rambutku dan berjalan ke arah
kamar tidur. Sesaat aku menatap ke arah pintu ruang tamu
tempat Ale tidur, menebak-nebak apa yang menjadi isi
pikirannya tentangku, bagaimana perasaannya sesungguhnya,
namun menebak jalan pikiran Ale sama sulitnya seperti
menebak password bunker di bank karena Ale sangat jarang
menunjukkan pikiran dan perasaannya melalui raut wajah.
Senang, sedih, marah, kecewa atau perasaan apapun akan ia
simpan baik dalam hatinya dan hanya akan ia ekspresikan
lewat kata-kata. Satu-satunya perasaan yang bisa aku tebak
dari dirinya adalah perasaan bergairah yang terlihat di matanya
ketika dulu kami sedang bercinta.
Aku memukul kepalaku pelan karena telah mengingat
kenangan-kenangan manis kami dulu. Aku memalingkan
kepalaku dan berjalan menuju kamarku dengan berat hati.
Ale
Bohong kalau aku tidak tertarik bahkan terangsang oleh
tubuh Kayla.
Sebagai laki-laki dan suaminya tentunya aku sangat ingin
menyentuhnya, namun aku tidak ingin membuatnya semakin
benci padaku. Aku hanya ingin memberinya waktu. Waktu
untuk memaafkan perbuatanku dan memulai segalanya dari
awal.
Dan jangan kau kira aku tak melihatmu menatap pintu
kamar tamu tempat kutidur, Kay. Aku melihat semuanya.
Bagaimana tatapan dan raut mukamu, seakan ingin aku
kembali ke sisimu. Apa benar itu maksudmu, Kay? Apa kamu
sudah memaafkanku? Apa kita bisa kembali seperti dulu? Apa
semua itu hanya halusinasi pikiranku yang sudah sangat
merindukan dirimu?
Babak Terakhir
Kubiarkan semua pertanyaan itu mengawang-awang
tanpa jawaban di pikiranku sambil berjalan menuju kamar tidur
tamu.
Kamarku untuk beberapa bulan terakhir.
#5
Memoir Masa Lalu
Ale
Entah bagaimana aku harus menyampaikan hal ini pada
Kay.
Tadi pagi Mama menelponku untuk menanyakan kabarku
dan Kay lalu mengundang kami untuk makan malam bersama
di rumah orangtuaku. Dulu kami selalu datang berdua,
Babak Terakhir
bercanda-tawa dan bercengkerama dengan orangtua kami.
Namun akhir-akhir ini, sudah entah berapa kali aku dan Kay
berusaha untuk mengelak dari ‘kewajiban’ ini. Biasanya hanya
salah satu dari kami yang datang untuk bertemu-kangen
dengan orangtua dengan alasan jadwal kami yang tidak
memungkinkan untuk datang berdua. Namun kali ini Mama
memaksa kami untuk datang. Hari ini hari libur nasional dan
entah dari mana Mama tahu bahwa aku sedang tidak ada jadwal
apapun hari itu.
“Papa Mama kangen sekali melihat kalian berdua. Tak
bisakah kali ini kalian datang berdua? Kalian ini kan suami
istri. Luangkanlah waktu untuk melihat orangtua kalian yang
sudah tua ini selagi kami masih ada.”
Ucapan Mama tengiang di pikiranku selagi aku
menghubungi ponsel Kay. Setelah dering kedua, terdengar
suara yang sangat kurindukan. Senyum lebar terukir di
wajahku saat kutahu bahwa ia masih mau menerima panggilan
dariku. Aku pun menjelaskan maksud panggilanku kepadanya
dan seperti yang sudah kuduga di awal, ia menolak mentah-
mentah dengan alasan tak mau bermuka dua di depan orangtua.
“Namun Papa dan Mama bersikeras untuk kita berdua
datang, Kay. Tak bisakah kita rukun untuk malam ini saja?”
Aku berusaha menjelaskan setenang mungkin.
Kay bersikeras dengan keputusannya. “Jadi kita rukun
sesaat dan besoknya kembali seperti semula? Tidak, Le. Aku
tidak bisa berbohong seperti itu di hadapan mereka.”
Kami berargumen selama beberapa menit sampai
akhirnya aku menyerah. Hubungan kami sudah cukup buruk
dan aku tidak mau masalah ini sampai memperkeruh hubungan
kami berdua yang sudah cukup keruh ini. Akhirnya aku
menggunakan rencana cadangan yaitu memperalat adik semata
wayangku untuk ‘menculik’ Kay setelah pulang kerja dan
mengantarnya langsung ke rumah orangtuaku.
Hal seperti ini saja butuh bantuan adik lu? Pikiranku
sendiri seakan menertawakan rencanaku namun persetan. Aku
sudah cukup stres memikirkan cara untuk mengembalikan
hubunganku dengan Kay seperti dulu untuk mencari alternatif
lain ke rumah Papa dan Mama dengan Kay.
Aku menghela nafas dan berjalan ke teras untuk
menghilangkan kepenatanku dengan sebatang rokok. Aku
mencari kontak Xander dan memberitahu rencanaku padanya
dengan alibi ingin memberi Kay kejutan. Xander mengiyakan
dan memutuskan hubungan telepon. Well, sebenarnya itu tidak
bisa disebut alibi karena toh aku memang akan
mengejutkannya. Hanya saja kejutan yang ia terima akan
Babak Terakhir
membuatnya semakin benci padaku. Aku menggelengkan
kepala dan tersenyum sinis.
Good job, man.
Kay
Jangan sebut aku jahat karena telah mengecewakan Papa
dan Mama, lagi.
Sesungguhnya Mama sudah menelpon dan memohon
untuk aku dan Ale datang bersama ke rumah mereka seperti
dulu. Mama bahkan terdengar sangat sedih ketika aku tidak
juga mengonfirmasi keinginan mereka. Namun apa daya? Aku
tak sanggup bermuka dua di hadapan orangtua Ale yang sudah
kuanggap seperti orangtuaku sendiri. Aku tak sanggup
membayangkan apabila mereka mengetahui kebenarannya.
Untungnya hingga saat ini Mama dan Papa tidak
menanyakan apa-apa kepadaku. Entah mereka tahu namun
tetap diam atau mereka benar-benar tidak tahu. Yang pasti
mereka tidak pernah menanyakan hubunganku dengan Ale
secara detil. Mereka sepertinya percaya-percaya saja ketika
aku berkata bahwa aku dan Ale baik-baik saja. Namun dalam
hati yang terdalam, aku yakin mereka tahu yang sebenarnya.
Jam tanganku sudah menunjukan pukul lima sore. Langit
sudah berubah warna menjadi kuning kemerahan. Terdengar
suara burung-burung membelah langit menikmati kebebasan
mereka, sementara aku masih terperangkap dalam kandang
deadline yang membuatku gila. Aku membuka jendela
kantorku dan menghirup udara luar yang segar, salah satu
keuntungan memiliki kantor di lantai sepuluh yang bebas dari
polusi udara. Namun dinginnya angin yang menusuk kulit
seketika membuatku menutup jendela kembali. Aku
merenggangkan otot-ototku yang pegal setelah meeting
seharian, meraih kopiku dan menyesapnya. Rasa pahitnya kopi
seketika mengaktifkan kembali saraf-saraf otakku yang sudah
sangat kelelahan. Aku sedang memejamkan mata, menikmati
kopi yang mengalir melalui saraf-saraf di lidahku ketika tiba-
tiba terdengar suara pintu ruanganku terbuka dan langkah kaki
yang mendekatiku. Aku membuka mata dan menemukan
Xander berdiri sambil tersenyum lebar ke arahku. Entah
mengapa firasatku tiba-tiba menjadi tidak enak melihat
senyumannya.
“Sudah sore nih. Pulang, yuk?” Xander berkata seraya
menutup laptop yang ada di depanku.
Alisku naik mendengar ajakannya. “Tumben banget gua
nggak disuruh lembur. Ada angin apa nih?”
Babak Terakhir
“Gua butuh bantuan kakak iparku yang cantik ini untuk
mencarikan baju untuk Mama. Boleh kan?”
Aku mendengus mendengar kata ‘cantik’ keluar dari
mulut buaya yang satu ini namun aku mengangguk dan
membereskan berkas-berkasku. Xander dan aku berjalan
menuju ke mobilnya dan aku bertanya tentang event spesial apa
yang membuat Xander sampai membelikan baju untuk Mama
namun ia hanya mengangkat bahu dan tidak berkata apa-apa.
Melihat reaksinya, aku pun akhirnya memutuskan untuk
memasang earphone dan menyetel musik di ponselku selama
perjalanan.
Aku terbangun oleh suara mesin mobil yang dimatikan
dan suara pintu yang terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah
Mama yang melangkah ke arahku dengan raut wajah bahagia.
Aku turun dari mobil dengan raut wajah kebingungan dan
sedetik kemudian aku sadar bahwa Xander telah menipuku.
Setelah aku turun dari mobil, Xander pamit pulang dan
langsung melaju menjauhiku. Mama memelukku sebelum aku
sempat mencerna situasi ini. Di belakang Mama, Papa dan Ale
sedang berdiri menatapku. Papa tersenyum melihatku
sementara Ale tampak menghindari tatapanku. Aku menutup
mata dan menghela nafas pelan, berusaha menahan emosiku
baik pada Ale yang pastinya sudah merencanakan semua ini,
Xander tangan kanan yang sudah membantu Ale menipuku dan
kepada diriku sendiri yang sangat bodoh karena memercayai
perkataan Xander.
“Papa Mama kangen sekali sama kamu, Nak.” Mama
berkata seraya melepaskan pelukannya. Pipiku terasa basah
dan kulihat mata Mama yang berkaca-kaca. Aku berusaha
tersenyum setulus mungkin walau hatiku remuk dan bibirku
pahit mengetahui bahwa aku akan memakai topeng di depan
Papa dan Mama malam ini.
“Kay juga kangen banget sama Mama. Mama jangan
nangis dong, kan Kay sudah ada di sini.” Aku menjulurkan
tanganku dan menghapus air mata Mama.
Mama mengangguk dan melepaskanku. Papa tersenyum
dan memelukku untuk beberapa saat lalu melepaskanku. Papa
pun merangkul Mama lalu masuk ke dalam rumah,
meninggalkanku berdua dengan Ale. Setelah aku yakin mereka
sudah berada di dalam rumah, aku menoleh ke arah Ale. Ale
hendak mengatakan sesuatu namun sebelum ia sempat berkata
apa pun, tanganku sudah mendarat di pipi kanannya. Panas
merambat di telapak tanganku dan meninggalkan seberkas
kemerahan di pipinya. Selama beberapa detik, tak ada kata-
kata terucap baik dari bibirku maupun bibirnya, seakan
tindakanku barusan menggantikan seribu kata umpatan yang
seharusnya kulontarkan padanya. Aku menatapnya tajam lalu
Babak Terakhir
berjalan masuk ke rumah meninggalkan dirinya yang
mematung.
Ale
Aku sudah menyangka bahwa tangan mulus Kay akan
mencium pipi kasarku. Namun kebenaran prasangkaku tidak
membuat perasaanku lebih baik saat ini.
Aku menimbang-nimbang antara tetap mengikuti makan
malam ini dengan risiko Kay semakin benci padaku atau
berpura-pura sakit atau ada urusan mendadak dengan risiko
mengecewakan Papa dan Mama. Aku mengusap pipiku yang
panas, menghela nafas lalu berjalan masuk ke rumah.
Di ruang makan, Papa dan Kay tampak sedang
membicarakan masalah perusahaan sementara Mama sedang
membawa piring-piring penuh makanan rumah yang sangat
kurindukan. Meja hidangan telah siap dan kami pun duduk.
Mama menatap mukaku dan mengernyit.
“Pipi kamu kenapa toh, Le?”
Aku tersenyum lebar. “Kay sepertinya sangat merindukan
saya, Ma, makanya ia mencium pipi saya sampai merah seperti
ini.”
Aku mendengar suara batuk Kay dibawah suara tawa
Papa dan Mama. Kay berusaha ikut tertawa namun tawanya
terdengar fals.
Kami melanjutkan makan malam diiringi pembicaraan
mengenai pekerjaanku, sikap Xander sebagai atasan Kay (yang
dari dulu hingga sekarang tak pernah berubah, selalu genit),
kapan kami akan memberikan mereka cucu (yang ditanggapi
dengan tawa hampa dari kami berdua) dan pertanyaan-
pertanyaan klise lainnya. Namun malam itu, Papa dan Mama
sering mengungkit cerita pertemuan ketiga kami di rumah ini.
Pertemuan itu terjadi kurang lebih setahun setelah
pertemuan di kedai kopi. Aku sejujurnya sudah hampir
melupakan Kay karena banyaknya urusan lain dalam hidupku
dan hadirnya perempuan-perempuan lain yang menggantikan
posisi Kay selama setahun itu, namun aku tahu di sudut hatiku
masih tersimpan memori tentang Kay.
Seperti seekor keong mencari rumah tepat untuknya,
hatiku juga mencari rumah yang tepat.
Dan rumah yang tepat untuk hatiku ialah di hatimu, Kay.
Babak Terakhir
Malam itu, rumah sedang padat dengan tamu-tamu
undangan yang memeriahkan acara ulang tahun World Bank
yang ke-10. Karena Mama tidak menginginkan pesta yang
terlalu mewah, maka acara tersebut dilaksanakan di rumah dan
hanya mengundang orang-orang tertentu. Saat itu, aku sedang
sibuk syuting film pendek namun karena aktris yang
membintangi film pendekku tiba-tiba sakit, syuting pun
ditunda dan aku terpaksa hadir ke acara ulang tahun ini.
Aku mengenakan jas lecek yang selalu kusimpan di
dalam mobil dan berjalan ke dalam rumah. Seandainya aku
bukanlah anak dari pemilik World Bank mungkin aku sudah
diusir karena penampilanku yang amat berantakan. Acara ini
sebenarnya tidak dapat dikatakan sederhana. Terdapat belasan
pelayan yang berkeliling mengantarkan makanan dan
minuman kepada para tamu undangan, berbagai lampu hiasan
berwarna-warni yang memanjakan mata, telinga yang dijamu
dengan musik orkestra yang menemani perbincangan para
tamu, makanan lezat dengan aroma yang menggoda hidung
dan memuaskan indra pengecap, serta udara sejuk yang
memperlengkap suasana malam itu. Aku mengambil sebuah
minuman yang disajikan lalu berjalan mencari keberadaan
Xander.
Mencari Xander semudah mencari warna putih di antara
warna hitam. Di acara pesta seperti ini, Xander biasanya berada
di tengah para wanita yang berusaha merebut perhatiannya.
Adikku itu memang sangat berbeda dengan kakaknya yang
kaku dan malas bersosialisasi. Xander sangat luwes dan selalu
punya cara untuk menanggapi setiap wanita yang
mendekatinya, seperti saat ini. Melihat banyaknya wanita yang
mengelilinginya, aku mengubah tujuanku menuju sebuah meja
bar di dalam rumah.
Suasana di dalam rumah lebih tenang karena semua orang
sibuk dengan acara di taman. Aku duduk menghadap bar,
meletakan gelas di atas meja dan mengeluarkan ponselku untuk
sekadar melihat pesan yang masuk. Tiba-tiba aku mendengar
suara langkah kaki berjalan ke arahku diiringi suara tangisan
perempuan. Perempuan itu duduk di sebelahku lalu menutup
mukanya dengan kedua tangannya. Aku melirik perempuan itu
dari sudut mataku. Rambutnya seperti gelombang ombak yang
berwarna kehitaman. Kulitnya putih dan dress yang melilit
badannya seakan memamerkan lekukan tubuhnya. Awalnya,
aku berniat untuk tidak mempedulikannya namun suara
batinku memaksaku untuk bangkit berdiri dan mengambilkan
perempuan ini segelas air. Tanpa berkata apa-apa, aku
menggeser gelas ke arahnya. Merasakan dinginnya gelas di
Babak Terakhir
menyentuh tangannya, perempuan ini pun mendongak dan
menoleh ke arahku.
Kay?
#6
Kepingan Waktu
Kay
Kalau aku bisa meledak berkeping-keping, aku akan
dengan senang hati melakukannya.
Selama makan malam, Papa dan Mama tak henti-
hentinya bernostalgia ke masa-masa indah aku dan Ale (yang
sudah membuatku mual) namun Ale juga ‘terpaksa’
Babak Terakhir
menyentuhku selama makan malam agar Papa dan Mama tidak
curiga.
Ketika ia menaruh tangannya di atas tanganku, aku
seketika menegang dan refleks ingin menamparnya, namun
tatapan Ale mengatakan segalanya padaku. Di balik sikapnya
yang sepertinya hangat dan penuh cinta, Ale tetap akan
menjadi bajingan yang telah menyakiti hatiku.
Oleh karena itu, aku berusaha memasang senyuman
terbaikku dan turut berakting mesra di depan Papa dan Mama.
Bila Ale menaruh tangannya di atas tanganku, aku akan
menggenggamnya erat. Bila Ale melingkarkan lengannya di
bahuku, aku akan merespon dengan tersenyum penuh cinta
kepadanya. Bila Ale mendekat ke arahku, aku akan
membiarkannya mencium pipiku. Segalanya ku lakukan tanpa
ada perasaan apapun, seakan aku aktris yang sedang beradu
akting dengan pasanganku.
Ya, mungkin itulah kami. Pasangan aktor dan aktris yang
sedang memerankan pasangan suami istri yang mesra di depan
kamera. Setelah sutradara mengatakan “Cut!”, segalanya akan
kembali seperti normal dan kami berdua akan kembali menjadi
orang asing dengan kesibukan masing-masing.
Makan malam yang seperti siksaan neraka itu akhirnya
berakhir dan aku bisa pulang. Seakan membaca pikiranku,
Mama memotong perkataanku ketika aku hendak pamit
pulang.
“Bantu Mama mencuci piring dulu, mau ya Nak?” Mama
berkata dengan intonasi yang sangat lembut sehingga aku tak
sampai hati untuk menolaknya. Aku pun membantu Mama di
dapur selagi Ale dan Papa melanjutkan obrolan di ruang
makan.
“Kamu dan Ale benar-benar baik-baik saja kan, Nak?”
Pertanyaan Mama membuatku tersentak dan hampir
menjatuhkan piring yang sedang kucuci. Aku berusaha
mengontrol raut wajahku dan menoleh.
“Baik-baik saja kok, Ma. Mengapa Mama bisa bertanya
seperti itu?”
Mama mendesah pelan dan menatapku lama. Aku
mengharapkan jawaban namun Mama tidak berkata apapun.
Mama hanya memintaku untuk membawa gelas yang sudah
dicuci ke meja bar dan menatanya. Aku mengangguk dan
berjalan meninggalkan Mama dalam kebingungan.
Aku sedang menata gelas ketika ada satu gelas yang
menarik perhatianku.
Babak Terakhir
Gelas itu adalah gelas yang mempertemukan aku dan Ale
untuk ketiga kalinya. Gelas itu mudah diingat karena
bentuknya yang sangat berbeda dengan gelas yang ada di
rumah ini. Gelas itu berbentuk bulat dan terbuat dari keramik
putih dengan sketsa gambar seorang sutradara yang sedang
mengatur proses syuting. Bila dibandingkan dengan gelas-
gelas lain, banyak gelas yang lebih indah. Namun gelas ini
mendapat tempat yang istimewa di hatiku... dulu.
“Kay?” Sebuah suara yang kuingat betul menyapa indera
pendengaranku.
Meski aku tak berkaca saat itu, aku yakin aku terlihat
sangat berantakan. Mukaku merah, mataku bengkak dan
riasanku sudah porak poranda di wajahku. Namun Ale tidak
terlihat terganggu apalagi tertawa melihat wajahku. Ia
meraihku dalam pelukannya dan akupun secara refleks
memeluknya dengan erat. Ale membiarkan kemejanya
ternodai air mataku dan tetap memelukku erat tanpa berkata
apa-apa.
Saat aku sudah mulai tenang, Ale melepaskan pelukannya
dan menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Ia meraih gelas
dan menyuruhku untuk minum dahulu. Air yang dingin itu
seakan memadamkan api dalam jiwaku dan aku perlahan
menjadi tenang. Ale tersenyum dan menuntunku ke kamar
mandi untuk merapikan riasanku. Saat aku sudah selesai
dengan riasanku, ia mengajakku ke balkon atas untuk mencari
angin.
“Ini rumahmu?”
“Iya,” jawab Ale sembari membuka pintu balkon. “Kamu
anak dari teman Papa atau...?”
“Aku bekerja di World Bank, bank milik Papamu.”
Ale tampak terkejut dan mulutnya membentuk huruf ‘O’,
“Di antara banyak bank di Indonesia, kau bekerja di bank milik
Papa? Wow...”
Aku mengangguk dan tersenyum simpul. “I know right?
Wow.”
Saat kami tiba di balkon, Ale permisi keluar dan
meninggalkanku bersama dinginnya angin malam. Malam itu
bintang-bintang berhasil keluar dari dekapan awan dan
memancarkan sinarnya yang indah. Aku menghirup nafas
dalam-dalam dan merasakan udara dingin memenuhi
Babak Terakhir
tenggorokan hingga ke rongga paru-paruku. Di bawah, suara
musik lembut dan tawa masih jelas terdengar. Tampaknya
pesta belum berakhir. Aku juga termasuk orang-orang yang
menikmati pesta itu. Setidaknya tiga puluh menit yang lalu.
Sayangnya, berita buruk selalu menanti di ujung kebahagiaan.
“Hey, bengong aja. Kesambet loh.”
Suara berat Ale menyapa gendang telingaku. Aku
tersenyum dan menoleh ke arahnya. Ia tersenyum balik dan
menyerahkan segelas teh hangat, menyampirkan sehelai kain
di pundakku dan berdiri di sampingku.
Kami berdua menikmati indahnya malam dalam
keheningan. Namun anehnya keheningan itu tidak membuatku
risih. Seakan pikiran kami berinteraksi tanpa memerlukan
bantuan bahasa. Bersama, kami menikmati keindahan suasana
di malam hari. Setelah sekitar sepuluh menit dalam keheningan
yang menghangatkan, tiba-tiba Ale menunjuk seorang pria
dengan balutan jas putih yang sedang dikelilingi oleh wanita-
wanita cantik di sekitarnya.
“Kapan saya bisa mendapat kesempatan untuk dikelilingi
wanita cantik seperti dirinya?” Ale bergumam pelan.
Aku tertawa mendengar perkataannya. “Oh, Pak Xander?
Meski beliau baru menggantikan posisi bosku di kantor, beliau
dengan cepat sudah menjadi idola para wanita di kantor. Entah
itu hanya karena ketampanannya atau fakta bahwa beliau
adalah anak Pak Anthony..., eh tunggu dulu,” aku berhenti
berbicara dan memandang Ale dengan alis terangkat. “Kamu
kan juga anaknya Pak Anthony, berarti Pak Xander itu
adikmu?”
Ale menoleh ke arahku dan tersenyum. Melihat
senyumnya, aku mendengus tak percaya. “Dunia itu sangat
sempit.” Gumamku pelan.
Ale sepertinya mendengar perkataanku karena ia tertawa
pelan dan memfokuskan perhatiannya kembali ke langit
malam. Aku memandangi wajah pria yang berdiri disampingku
ini selama beberapa detik dan bibirku mengembangkan
sayapnya. Tanpa kusadari, hari itu hatiku sudah terikat
olehnya.
Ale tak pernah menanyakan alasanku menangis hari itu
dan aku pun tak pernah mengungkitnya. Bagi kami, masa lalu
adalah masa lalu. Yang terpenting adalah masa kini dan masa
depan.
Aku tidak tahu apakah pemikiran itu masih berlaku
sekarang karena aku tak dapat melupakan perbuatannya di
masa lalu. Akhir-akhir ini aku menyadari bahwa masa lalu
merupakan bagian yang tak boleh dilupakan dan dihiraukan
Babak Terakhir
begitu saja. Masa lalu yang terlupakan membuat kesalahan
yang seharusnya tidak terulang, menjadi kembali terulang.
Seperti saat ini.
“Kay?” Suara berat itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas
dan lebih nyata. Aku mendongak dan melihat Ale menatapku.
Tatapan matanya, raut wajahnya, nada bicaranya
mengingatkanku akan masa lalu. Namun kali ini ia tidak
menarikku ke pelukannya. Karena kali ini keadaan sudah
berbeda. Kami bukanlah Ale dan Kay yang sama lagi.
Dan tak akan pernah menjadi sama lagi.
Ale
Aku tahu tatapan itu karena aku juga memikirkan hal
yang sama.
Malam itu, percakapan itu, suara tawanya, semuanya
masih tergambar jelas dalam pikiranku. Kay terlihat terkejut
saat aku memanggil namanya seperti dulu namun ekspresi
dinginnya kembali secepat kilat. Kay menghindari kontak mata
denganku dan segera berjalan ke arah ruang tamu. Aku
mengikutinya dan melihat Kay berpelukan dengan Mama.
Papa menatap ke arahku dengan tatapan yang tak bisa
kuartikan artinya namun tatapan itu terputus ketika Kay
melepas pelukannya dengan Mama dan memeluk Papa.
Aku berjalan ke arah Mama dan memeluknya erat. Papa
menjabat tanganku setelah aku melepaskan pelukanku. Mama
dan Papa mengantarkan kami keluar dan kami pun melaju
pulang. Sepanjang perjalanan, tak ada pertukaran kata-kata di
antara kami. Pertukaran tatapan pun tidak. Kay menatap ke luar
jendela dan menutup lubang telinganya dengan earphone. Aku
mendesah pelan dan kembali memfokuskan pandanganku ke
depan.
Bila kamu masih mengingat hari itu, mengapa kamu
bersikap seperti ini, Kay?
Babak Terakhir
#7
Kebenaran Sebuah
Kebohongan
Kay
Xander datang ke ruanganku siang itu.
Ia tersenyum lebar sambil merentangkan kedua
tangannya dan berjalan ke arahku. Aku menghiraukankannya
dan terus memfokuskan pandanganku ke arah layar laptop. Ku
dengar suara langkah sepatunya berhenti tetap di depan mejaku
dan tiba-tiba layar laptopku ditutup dan wajah iseng Xander
terpampang di depan mataku.
Kalau tidak mengingat bahwa ini adalah kantor dan ia
adalah atasanku disini dan bukan adik iparku, aku tak akan
segan-segan untuk meninju wajah menyebalkannya itu.
“Bagaimana? Suka surprise yang gua kasih kemarin,
nggak?” Xander berkata sambil tersenyum jahil.
Aku menyingkirkan tangannya dari atas layar laptopku
dan menatapnya sesinis mungkin. Xander hanya tertawa
melihat reaksiku dan meneruskan, “Kok tumben ya Kakak
minta bantuan gua? Biasanya dia sangat benci kalau harus
melakukan sesuatu yang melibatkan kita berdua.”
Xander sepertinya tidak dapat membaca moodku hari itu
karena ia terus berceloteh panjang lebar. “Ingat nggak, Kay?
Waktu itu Kak Ale pernah marah besar pas tahu dulu gua
pernah usaha deketin lu? Trus waktu itu...”
Xander menghentikan ucapannya saat aku mengangkat
telepon di mejaku. “Kalau kesini cuma untuk ngobrol dan
nggak ada hubungannya sama pekerjaan, pergi sana. Sebelum
gua telepon Papa!” ancamku dengan tatapan kesal. Fokus
pikiranku pecah seketika saat mendengar nama Ale disebut dan
Babak Terakhir
sekarang aku harus mengulang hitungan perincian ini dari
awal!
Tatapan iseng Xander berubah menjadi kebingungan. Ia
sepertinya ingin menanyakan sesuatu padaku namun
mengubah pikirannya saat melihat ekspresi wajahku. “Baiklah,
baiklah. Gua pergi dulu. Jangan lupa makan siang ya, kakak
ipar tersayang!” Xander berkata sambil melakukan salam ala
pegawai istana dan berjalan keluar ruanganku.
Seperginya Xander, aku menenggelamkan wajahku di
kedua telapak tanganku. Mengerang dan memaki diri sendiri
karena tak bisa bersikap atau paling tidak berakting santai
dalam menanggapi segala hal yang berhubungan dengan Ale.
Hati dan pikiranku berjalan ke dua arah yang bertentangan dan
menarik tubuhku seakan mereka sedang bertanding tarik
tambang. Aku menempelkan pipiku di atas meja dan menarik
nafas panjang.
Apa ini tanda agar aku menyerah dan menuruti keinginan
hatiku...?
Aku mengangkat wajahku dari atas meja, kaget atas
kalimat yang dilontarkan pikiranku sendiri. “Bangun, Kay!
Ingat apa yang ia katakan dulu!” Aku menepuk-nepuk pipiku
dan menggelengkan kepala untuk menyadarkan dan
memfokuskan kembali pikiranku terhadap hal yang berarti.
Dan hal itu tentunya bukan Ale.
Ale
“Jadi...ada masalah apa lu sama kakak ipar?”
Hari itu sudah sangat melelahkan berkat meeting
mengenai casting untuk film berikutnya. Hal itu seharusnya
tidak ada dalam deskjob-ku namun Alila, casting director
dalam film ini menyebutkan bahwa sangat banyak aktor dan
aktris yang potensial untuk mengisi peran dalam film ini
sehingga ia kesulitan untuk memilihnya. Untungnya, film kali
ini sangat spesial bagiku dan aku ingin segalanya sempurna.
Karena itu aku pun memutuskan untuk membantunya.
Dan sekarang, adik semata wayangku ini memaksaku
untuk makan siang bersama hanya untuk menanyakan
hubunganku dan Kay? You’ve got to be kidding me.
“Kalau lu cuma mau membahas hubungan gua sama Kay,
mending gua pergi sekarang.” Aku berkata seraya bangkit dari
kursi.
Xander ikut berdiri dan menahanku. “Jangan pergi dulu
dong,” katanya seraya mendudukanku kembali di kursi dan
kembali ke kursinya. “Kita kan sudah lama nggak ngobrol. Dan
Babak Terakhir
alasan kenapa gua bertanya seperti itu, soalnya si Kayla
sepertinya jadi sangat sensitif kalau mendengar nama lu
disebut.” lanjutnya lagi sambil meminum kopi.
“Sensitif gimana maksudnya?”
Xander meletakan kembali kopinya di atas meja dan
mulai mengeluarkan sebatang rokok. “Ya, jadi galak kaya
macan betina gitu. Tidak seperti biasanya. Lu lagi ada masalah
ya ama dia?”
Sebelum aku bisa menjawab pertanyaan Xander, seorang
pelayan restoran menghampiri kami dan menyajikan pesanan
makan siang kami. Setelah pelayan itu undur diri, aku
mengambil sendok dan garpu sambil berkata, “Nggak, nggak
ada masalah apa-apa yang perlu lu kuatirin kok.”
Xander mengusap dagunya dan menatapku tajam. “Lu
tahu lu nggak pandai berbohong kan ya, Kak?”
Aku terus makan seakan Xander sedang tidak berbicara
kepadaku. Setelah beberapa detik, suara helaan nafas Xander
tertangkap oleh gendang telingaku dan aku merasakan tatapan
matanya tidak lagi tertuju padaku. Aku berusaha mengubah
topik pembicaraan untuk mencairkan suasana dan Xander
mengikuti aliran pembicaraanku meski tatapannya tampak tak
sejalan dengan ucapan bibirnya.
Bel mengucapkan salam perpisahannya seiring
terbukanya pintu kaca, memberi jalan bagi kami untuk keluar
dari restoran. Xander mengangkat tangannya sebagai tanda
pamit lalu berjalan pergi. Aku tetap berdiri di sisi jalan sambil
menatap punggung adik semata wayangku itu. Dalam hatiku,
aku sangat yakin ia tahu bahwa ada yang tidak beres antara aku
dan Kay, namun mungkin ia menunggu waktu dimana aku mau
terbuka dan berbagi permasalahanku dengannya. Dan aku
sangat menghargai kesabarannya.
Pikiranku lalu beralih kepada Kay. Apa yang terjadi
dengannya? Sejak kejadian semalam, Kay bukannya melunak
tetapi malah semakin keras dan dingin terhadapku. Ia bahkan
tidak meminta Mbok untuk menyiapkan sarapan bagiku seperti
yang biasanya ia lakukan. Tapi apa kata Xander tadi? Ia
bereaksi saat mendengar namaku?
Jujur, aku tidak tahu harus merasa senang atau sedih
mendengar hal itu, namun yang jelas saat ini hatiku meloncat
setinggi angkasa sangking senangnya. Aku tidak peduli apakah
itu amarah atau kejengkelan, yang pasti itu lebih baik daripada
sikap beku yang biasanya ia tunjukan terhadapku.
Paling tidak, ia sudah melangkah selangkah lebih dekat
untuk memaafkanku.
Babak Terakhir
Siulan bahagia terdengar dari bibirku, mengiringi
langkahku menuju mobil dan kembali ke kantor untuk
melanjutkan pekerjaanku. Di tengah perjalanan, aku sempat
terpikir untuk menelpon Kay, namun kuurungkan niatku.
Jangan terlalu terburu-buru, Le. Suara hatiku
mengingatkanku. Aku mengiyakannya namun tetap saja aku
tak dapat menahan hatiku yang berkelimpahan dengan
perasaan bahagia ini.
Perasaan ingin dicintai oleh wanita yang kucintai.
Kay
Sesuatu tampak berbeda dari Ale.
Entah apakah ini hanya perasaanku saja, namun Ale
tampah bersinar dan tak pernah berhenti tersenyum. Ketika ia
tiba di apartemen tadi dan melihat wajahku, ia tersenyum
bahagia ke arahku (yang tentunya tak terbalas) dan menatapku
dengan penuh harapan, seakan aku tiket lotre yang
memenangkan sebuah undian.
Aku berusaha untuk menghiraukannya dan fokus
mengerjakan deadline-ku yang tanpa akhir ini, namun rasa
ingin tahuku mengalahkan segalanya.
“Ada apa?”
Ale yang sedang berganti pakaian melihat ke arahku lalu
ke luar ruangan (mungkin untuk mengecek keberadaan Mbok)
lalu kembali kepadaku.
“Kamu ngomong sama aku?”
Aku memutar bola mataku. Dia terkekeh pelan melihat
reaksiku.
“Xander bilang kamu sensi pas denger namaku tadi
siang.”
Alisku terangkat mendengar hal itu. “Maksudnya?”
Ale berbalik menghadap cermin dan membenarkan
kancing bajunya.
“Akhir-akhir ini kan kamu seperti ratu es.”
Aku terdiam mendengar perkataan Ale. Aku tahu sifatku
sangat dingin padanya, namun untuk mendengarnya langsung
dari bibir Ale sendiri ternyata tetap menusuk hatiku. Aku tahu
ia mencoba membaca pikiranku dengan melihat reaksiku
melalui cermin jadi kuputuskan untuk menenggelamkan
tubuhku dibawah selimut.
Babak Terakhir
Hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah Xander.
Keparat itu entah iseng atau memang diperintahkan Ale untuk
melaporkan segala hal tentangku kepadanya, aku tak tahu.
Yang jelas, ia akan menerima jitakan dariku besok.
Hal berikutnya yang ada di kepalaku adalah ekspresi
bahagia Ale. Sudah lama sekali aku tak melihat ekspresi itu.
Ekspresi itu muncul di saat-saat penting dalam hubungan kami.
Saat kami pertama bertemu di pesawat terbang, pertemuan
kami di kafe, dan yang terpenting ekspresi itu sangat terlihat
ketika ia melamarku dan aku berkata “iya”.
Sayangnya, sejak kejadian itu ekspresi itu seakan hilang
dan tak pernah muncul di wajah Ale. Hingga hari ini.
Aku tak bisa memutuskan untuk membiarkan Ale dengan
harapannya atau memutus harapannya dengan bersikap lebih
dingin padanya karena aku tahu dalam lubuk hatiku yang
terdalam aku merindukan dirinya. Aku rindu hangatnya
pelukannya, tatapan matanya yang penuh cinta, belaian
tangannya di rambutku, hingga bobot tubuhnya yang
menindihku saat kami bercinta.
Mungkin untuk saat ini, hanya untuk beberapa saat, aku
akan membiarkannya.
#8
Awal Kesepakatan
Ale
Sejak malam itu, Kay jelas mulai melunak.
Tidak, ia belum kembali menjadi Kay yang dulu, namun
yang jelas ia sudah bukan ratu es lagi. Ia sudah mulai
menjawab pertanyaan-pertanyaanku, menyiapkan sarapan dan
pakaian untukku. Mengangkat telepon dan membalas pesan
Babak Terakhir
dariku (meski jawabannya sangat singkat). Dan yang
membuatku semakin senang ialah karena proses pembuatan
film terbaruku juga berjalan dengan sangat baik.
Segalanya akan menjadi sempurna, apabila gadis itu tidak
merecokiku setiap hari.
Gadis itu, Tiara, adalah aktris muda yang mengikuti
audisi casting untuk film terbaruku. Dia menginginkan peran
sebagai pemeran utama wanita dan harus kuakui secara fisik ia
sangat menjanjikan.
Wajahnya berbentuk hati dengan mata bulat yang
terbelalak lebar, ditambah dengan hidung mancung dan bibir
penuh yang menawan setiap pria. Tubuhnya bak biola dengan
lekukan tubuh yang pas membuat setiap mata, baik pria
maupun wanita, memandang dan mengagumi sosoknya.
Namun bukan ia yang kuinginkan untuk memerankan
peran itu dalam filmku.
Mendengar keputusanku, tentunya Tiara merasa sangat
marah sehingga ia dan agensinya terus menerorku dengan sms
dan telepon yang tak pernah kuhiraukan.
Dan pagi ini aku dibangunkan oleh dering ponselku.
Tiara. Lagi.
Ganti nomor telepon nih gua lama-lama.
Kay
“Jadi sudah baikan nih ceritanya?”
Pertanyaan Nanda, sahabat terbaikku, membuat cafe latte
yang seharusnya masuk ke kerongkonganku hampir pindah
jalur ke tenggorokan.
“Maksud lu?”
“Abis tadi gua lihat lu mulai senyam-senyum sendiri
ditelpon Ale, nih gua contohin.” Nanda mendekatkan layar
ponselnya ke telinganya dan berpura-pura menerima panggilan
lalu tersenyum-senyum layaknya orang yang tidak waras.
Kurasakan pipiku memerah namun aku mendengus pelan
untuk menyembunyikannya. “Enak aja. Kapan gua kaya gitu?”
Nanda menaruh ponselnya dan menjulurkan lidahnya.
“Yee, kalau gua bisa lihat masa depan sudah gua video-in deh
biar lu percaya!”
Kuhiraukan pernyataannya dan kembali meminum cafe
latte-ku sementara sahabat baikku sejak kuliah itu terus
berceloteh tentang kesibukan pekerjaannya sebagai editor
Babak Terakhir
majalah Union, sebuah majalah lifestyle yang terkenal di
kalangan masyarakat elit di ibukota. Meski secara fisik ia
terlihat lelah dan stres dengan pekerjaannya, namun aku tahu
di dasar hatinya ia menikmati pekerjaannya itu.
Tidak seperti diriku yang harus terjebak dalam neraka
perbankan.
Itu semua sebanding dengan tas Louis Vuitton yang ada
di sebelah lu kan, Kay. Suara hatiku kembali muncul untuk
menasehatiku. Aku menarik nafas dalam-dalam dan
mengiyakannya.
Tiba-tiba, terdengar suara jentikan jari yang mengganggu
lamunanku.
“Woy, orang lagi ngomong dengerin kek!” seru Nanda
sambil menjentikkan jarinya.
Aku memfokuskan mataku ke arah Nanda dan tersenyum
lebar. Alis Nanda terangkat melihat senyumku namun ia tak
berkata apa-apa dan meneruskan ocehannya. Aku
menanggapinya dengan gumaman dan anggukan kepala
sementara kubiarkan pikiranku melalang buana ke tempat
favoritnya.
Ale sedang apa ya?
Tidak ada yang ngikutin lu, Kay. Sekali lagi, tidak ada
yang ngikutin lu.
Mantra yang sudah kuulang berkali-kali di kepalaku
sepertinya tidak menghasilkan efek yang kuharapkan.
Bukannya semakin tenang, aku malah semakin panik. Aku
mengambil cermin kecil di dalam tas tanganku dan
membukanya. Aku berpura-pura untuk bercermin lalu mataku
selintas melirik ke arah belakang lewat cermin itu.
Dia masih di sana!
Cepat-cepat kututup dan kutaruh kembali cerminku ke
dalam tas. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul satu dini
hari. Beberapa orang masih terlihat melintas di lobi apartment
dan kulihat seorang satpam sedang berbicara dengan salah
seorang cleaning service. Dalam hati aku mengutuk klienku
yang meminta (secara paksa) agar aku menyelesaikan deadline
malam itu juga untuk dikirim lagi ke atasannya. Aku banyak
mendengar berita mengenai pria-pria kurang waras yang
berkeliaran di sekitar bangunan apartemenku namun selalu
Babak Terakhir
kuhiraukan. Sekarang aku menyesal tidak membawa apapun
untuk dijadikan senjata. Aku memfokuskan kembali pikiranku
untuk mencapai apartemen dengan selamat. Telingaku
menangkap dua suara langkah kaki yang berarti pria itu masih
ada di belakangku. Sempat terpikir olehku untuk menaiki
tangga, namun aku sadar bahwa matahari mungkin sudah terbit
ketika aku mencapai lantai apartemenku. Aku menekan tombol
naik dan masuk ke lift yang sudah kosong. Pria itu ikut masuk
dan berdiri di pojok lift. Aku menekan tombol lantai
apartmentku dan aku sedikit berharap ia akan memencet
tombol lain untuk menunjukkan bahwa ia tidak sedang
mengikutiku namun apa daya, ia hanya berdiri tegak di
tempatnya.
Lewat pantulan pintu lift, aku mulai memerhatikan
penampilan pria ini. Ia memakai topi dan kacamata hitam yang
menutupi wajahnya. Tubuhnya dibalut dengan mantel panjang
bewarna coklat muda yang tidak dikancingkan dan hanya
diikat dengan ikat pinggang.
Tunggu, ikat pinggang? Berarti pria ini...
Ekspresi wajahku sepertinya mencerminkan pikiranku
karena pria itu langsung berjalan dua langkah ke arahku dan
memegang pundakku. Keringat dingin mengalir dari pelipisku
dan aku merasakan tubuhku mulai bergetar.
Dua lantai lagi! Ayolah!
Pria itu membalikkan tubuhku dengan kasar dan menahan
tubuhku pada pintu lift dengan satu tangan sementara
tangannya yang lain mulai membuka ikat pinggangnya.
Kupejamkan mataku erat dan berteriak sekencang mungkin.
Pria itu menampar pipiku sangat keras hingga aku merasakan
asinnya darah di bibirku dan tepat saat itu pintu lift terbuka dan
aku terjengkang ke belakang. Pria itu berjalan ke arahku dan
tersenyum puas sementara aku berusaha merangkak menuju
kamar apartemenku. Pria itu menjambak rambutku dan aku
spontan meneriakan nama Ale sekuat tenaga.
Sedetik kemudian aku mendengar suara pintu dibuka dan
namaku diteriakan Ale. Aku mendengar pria itu mengutuk lalu
bergegas melarikan diri. Setelah pria itu hilang dari pandangan,
air mataku mulai mengalir deras dan aku terduduk di lantai,
dengan tubuh yang masih bergetar hebat. Ale berlutut di
hadapanku dan memelukku erat. Kali ini aku tidak menolak
pelukannya dan membalas pelukan tubuhnya. Setelah tubuhku
berhenti bergetar, Ale membantuku untuk bangkit lalu ia
mengangkat tubuhku dan membawaku ke atas tempat tidur.
“Tunggu di sini, aku akan segera kembali.”
Ale mencium keningku dan pergi meninggalkanku.
Tubuhku sudah tidak lagi bergetar namun aku melipat kedua
Babak Terakhir
kakiku dan memeluknya. Kutenggelamkan wajahku di atas
lutut sambil berusaha untuk menenangkan diriku sendiri dan
menghentikan aliran air mataku. Kurang lebih lima menit
setelah itu aku mendengar suara pintu ditutup.
Ale sudah kembali.
Untuk pertama kalinya selama beberapa bulan ini,
pikiranku bersatu dengan hatiku. Kami sama-sama senang dan
lega Ale kembali. Aku merasakan hangatnya selimut yang
menyelimuti tubuhku dan bobot tekanan ranjang di depanku.
Perlahan, Ale mengangkat wajahku dan menyeka air mataku
dengan kedua ibu jarinya. Ale tersenyum. Aku yakin ia
tersenyum untuk menenangkanku, namun senyumnya malah
membuat air mataku kembali mengalir dengan deras.
“Lah kok makin nangis? Sudah, Kay, nggak apa-apa.
Semuanya baik-baik saja. Jangan nangis ya?” Aku tak dapat
melihat ekspresi Ale namun dari nada bicaranya aku tahu ia
kuatir dan kebingungan melihat responku.
Aku menyeka air mataku dan memeluk Ale erat. Ale
membalas pelukanku dan mengelus-elus punggungku. Sama
seperti yang biasa ia lakukan ketika aku kesal ataupun sedih
dulu. Ale membisikkan kalimat-kalimat yang sepertinya untuk
menghibur dan menenangkanku namun pikiranku tampaknya
gagal mencerna perkataannya. Setelah beberapa menit, Ale
melepaskan pelukannya namun ia memegang pundakku dan
memperhatikan wajahku. Pegangannya semakin erat dan
ketika aku mendongak, Ale tampak siap untuk membunuh
seseorang.
“Bibir dan pipimu..., berani-beraninya dia!”
Aku menurunkan tangannya dari pundakku dan
menggenggamnya erat.
“Sudahlah, Le. Masalahnya sudah beres, kan? Dia sudah
diamankan ini.”
Ale menutup matanya dan menduduk. Aku tahu ia masih
sangat marah dengan perbuatan pria itu terhadapku. Kali ini,
aku yang mengelus-elus punggungnya sambil membisikan
bahwa aku tidak apa-apa.
Beberapa detik kemudian, Ale mendongak dan
merengkuh wajahku dalam tangannya. Ibu jarinya membelai
sudut bibirku yang sudah mulai membengkak. Dalam
keheningan itu, wajah Ale semakin mendekat ke arahku dan
aku membiarkannya. Bibirku dilumatnya dengan lembut dan
tepat saat itu, aku menyadari betul betapa rindunya aku akan
belaian dan ciumannya. Aku membiarkan Ale mengambil alih
dalam ciuman itu. Ia menciumi bibir, pipi, mata, hidung hingga
ke leherku. Ciumannya membuatku terangsang dan aku pun
Babak Terakhir
melingkarkan tanganku ke lehernya, berusaha tetap terjaga
dengan memeluknya erat. Bibir Ale mulai mengarah ke selatan
dan aku tak menghentikannya.
Malam itu, aku terbang ke surga.
#9
Aku di Surga
Ale
Aku terbangun dengan posisi yang sedikit tidak biasa.
Aku sempat berpikir bahwa yang kulakukan semalam
hanya mimpi liarku belaka, namun pemandangan di depanku
membuktikan bahwa aku salah besar.
Babak Terakhir
Rambut Kay menggelitik wajahku dan nafasnya
menghangatkan kulit telanjangku. Bulu matanya yang panjang
masih menyelimuti matanya dan suara dengkuran lembutnya
bagai simfoni yang merdu di telingaku. Aku mengelus lembut
pipinya dan dengan sangat berhati-hati, kulepaskan
pelukannya dari tubuhku dan menyelimuti tubuhnya kembali.
Kukecup keningnya dan aku berjalan keluar kamar. Ingin
rasanya ku kembali dan melakukan lagi apa yang sudah
kulakukan kemarin malam. Namun sayangnya, pekerjaan
sudah menungguku.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku tidak
menyukai pekerjaanku.
Tetapi, proyek kali ini sangatlah spesial dan aku sudah
menunggu-nunggu penyelesaiannya. Proyek ini masih bersifat
rahasia dan tak akan menjadi santapan publik. Hanya satu
orang yang akan menikmati proyek ini dan aku yakin seratus
persen ia akan sangat menyukainya.
Kay
Sinar matahari menyusup masuk lewat sela-sela kelopak
mataku, menyinari iris dan pada akhirnya membangunkanku
dari tidur. Hal pertama yang timbul dalam benakku ialah
insiden malam itu. Terutama yang terjadi di atas ranjang ini.
Sambil masih menutup mata, pelan-pelan aku meraba sisi
ranjang di sisiku. Kosong. Dan sudah dingin. Itu artinya Ale
sudah pergi sedari tadi. Dalam hati aku terpecah menjadi dua.
Aku bersyukur karena tak harus melihat wajahnya pagi ini,
namun aku juga kesal karena tak melihat wajahnya pagi ini.
Aduh, Kay. Mau lu apa sih? Pikiranku sendiri mencelaku,
namun memang itulah yang kurasakan. Di satu sisi, aku tak
tahu bagaimana ekspresi wajahku dan apa yang harus
kulakukan ketika bertemu Ale pagi ini, namun di sisi lain...
Aku merindukannya.
Siang ini, seperti siang-siang biasanya, membuat
kepalaku sangat penat hingga rasanya ingin aku menjadi ibu
rumah tangga saja.
Meski Xander adalah adik iparku, terkadang saat otaknya
sedang berjalan dengan benar, ia tetap bersikap layaknya
Babak Terakhir
seorang atasan pada bawahannya, yaitu aku. Sejujurnya, aku
menyukai sikapnya yang tahu situasi dan tempat seperti ini,
namun kadang aku sulit membedakan apakah ia sedang serius
atau bercanda.
Seperti saat ini.
Pagi tadi, sekitar pukul sepuluh, ia tiba-tiba masuk ke
kantorku dan meletakan sejumlah berkas-berkas di mejaku.
Aku melirik berkas itu, dan ternyata itu semua adalah proposal
ide penanaman saham baru yang sudah kukerjakan selama
beberapa bulan terakhir. Setelah berpura-pura mengelap
keringat yang tak terlihat, Xander berdeham pelan dan
membenarkan dasinya yang tek berubah sederajat pun.
“Bu Kayla, tolong revisi ulang seluruh berkas ini. Bos
kurang menyetujui proposal ini.” Ia berkata dengan nada suara
yang datar namun tegas.
Alisku terangkat mendengar perkataannya. Seingatku,
pada meeting terakhir, Papa setuju-setuju saja dengan
proposalku.
“Maksudnya?”
“Maksudnya, kakak iparku yang cantik,” Xander
menunduk dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Anda
harus mencari ide baru untuk penanaman saham bank ini.”
Mataku kosong dan bibirku membentuk lingkaran selama
beberapa detik. Xander tersenyum lebar dan pergi
meninggalkanku sendirian dengan kekagetanku. Ini memang
bukan pertama kalinya proposalku ditolak, namun aku bekerja
sangat keras untuk proposal kali ini dan aku sudah
membicarakannya dengan Papa saat aku ke rumah mereka
kemarin.
Aku menggeleng-gelengkan kepala dan mengembalikan
kesadaranku kembali. Kuraih ponselku dan menelpon Papa
untuk memastikan perintah Xander. Beberapa menit
kemudian, kumatikan ponselku dan kutaruh kepalaku di atas
meja. Kepalaku terasa amat berat dan aku memejamkan mata
sejenak. Kuatur nafasku dan kucoba untuk menenangkan diri
sebelum kembali melihat proposalku yang tertolak itu.
Lembur lagi, deh.
Terpikir olehku untuk menelpon Ale, menyampaikan
bahwa aku akan pulang larut malam hari ini. Tetapi..., aku
masih ragu. Jangan-jangan yang kemarin malam itu hanya efek
dari nafsu belaka? Jangan-jangan Ale tidak memiliki pikiran
yang sama denganku? Jangan-jangan hanya aku yang ingin
berbaikan dan kembali padanya? Dan banyak jangan-jangan
yang lain yang membuat aku mengurungkan niatku.
Babak Terakhir
Aku menatap ponselku sebentar, lalu ku nonaktifkan
ponselku.
Ada banyak pekerjaan menunggu, ayo mulai kerja, Kay!
Ale
Kay belum pulang.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam
dan tak ada tanda-tanda ia akan pulang segera.
Entah sudah berapa telepon tak terangkat dan pesan yang
kukirim, namun balasan tak kunjung datang. Dulu, apabila Kay
harus terpaksa lembur di kantor, ia pasti akan mengabariku,
paling tidak lewat pesan. Memang, selama ‘masa vakum’ kami
sebagai suami istri beberapa bulan terakhir, ia tak pernah
mengabariku apabila ia akan pulang terlambat. Jangankan
mengabari, untuk melihat wajahku saja raut mukanya sudah
menunjukkan kebenciannya padaku. Tapi, sekarang kan
semuanya sudah kembali seperti semula.
Ya kan?
Aku berjalan mondar-mandir di ruang tengah layaknya
setrika. Kekuatiran menguasai pikiranku. Pikiranku mulai
membayangkan skenario-skenario menakutkan yang mungkin
dialami Kay.
Jangan-jangan Kay diculik? Atau jangan-jangan ia
dikuntit lagi? Atau jangan-jangan...
Aku memukul kepalaku sendiri karena berpikiran yang
tidak-tidak. Aku berusaha untuk berpikir positif namun gagal
total. Akhirnya, kuambil jaket dan kunci mobil lalu turun ke
arah parkiran. Aku tahu bahwa mungkin aku berlebihan,
mungkin Kay masih sibuk dengan pekerjaannya dan tidak mau
diganggu sehingga ia mematikan ponselnya. Aku tahu semua
itu, namun aku tetap kuatir. Aku ingin memastikan bahwa
semuanya baik-baik saja.
Bahwa kita baik-baik saja, Kay.
Babak Terakhir
Kay
Sepertinya tidak hanya manusia yang bisa beranak-pinak.
Kertas juga bisa.
Sudah berjam-jam aku mengerjakan ulang semua laporan
proposal ini dan begitu aku selesai dengan satu bagian, bagian-
bagian lain masih tertumpuk tinggi dan tak tampak berkurang
sekeras apapun aku berusaha.
Jam tanganku sudah menunjukkan hampir pukul sebelas
malam. Di luar ruanganku, lampu sudah diredupkan. Setelah
Siti, salah satu office girl di bank ini, masuk untuk
mengantarkan pesanan makananku, aku tak melihat bahkan
mendengar seorang pun berjalan di depan ruanganku. Keadaan
sangatlah hening, hingga aku dapat mendengar suara pendingin
ruangan di ruanganku.
Malam-malam biasanya mungkin aku akan bersikap
biasa saja dengan situasi seperti ini. Namun tidak malam ini.
Apalagi setelah insiden kemarin malam. Aku merasakan bulu
kudukku mulai berdiri ketika mengingatnya. Akhirnya
kuputuskan untuk melanjutkan pekerjaan sialan ini besok dan
pulang sekarang.
Saat aku tengah membereskan barang-barangku untuk
pulang, tiba-tiba aku mendengar suara derap kaki yang
semakin lama semakin kencang dan tiba-tiba suara itu berhenti
dan digantikan oleh hentakan pintu ruanganku yang terbuka,
memperlihatkan Ale dengan wajah yang penuh kekuatiran dan
keringat yang turun dari rambut ke jambangnya. Nafasnya
terengah-engah seakan ia baru menyelesaikan pertandingan
maraton. Matanya awas dan terfokus ke satu arah.
Tepat ke mataku.
Babak Terakhir
#10
Kotak Pandora yang
Terbuka
Kay
“Ale? Kamu nga-“
Kalimatku terpotong oleh dorongan tubuh Ale yang
memeluk tubuhku erat hingga membuatku hampir terjengkang
ke belakang.
“Untunglah, kamu nggak apa-apa.” Suara Ale yang lebih
seperti bisikan pada dirinya sendiri tertangkap oleh gendang
telingaku. Lalu, Ale menjauhkan tubuhku darinya dan
memerhatikan tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Bila ada orang yang melihat hal ini, mereka pasti berpikir aku
baru terkena kecelakaan atau sakit karena perilakunya seperti
dokter yang mencari sumber rasa sakit pada tubuh pasien.
Sekuatir itu kah ia terhadapku?
Setelah ia yakin bahwa aku tak apa-apa, ia melepaskan
tangannya dari lenganku dan menghela nafas lega.
“Ponsel kamu kenapa mati?”
Aku menggigit bibirku pelan dan berusaha memikirkan
jawaban yang pas. Kan tidak mungkin aku berkata bahwa aku
tidak tahu harus bersikap seperti apa di keadaan sekarang.
“Ponselku mati. Baterainya habis.”
Ale mengernyitkan dahinya. “Kenapa nggak dicas?”
Melihatku yang memasang raut wajah dingin, diam
membisu dan tak menjawab pertanyaannya, ia melanjutkan.
“Jangan bilang kamu mau balik ke keadaan kita sebelum
ini...?”
Babak Terakhir
Aku menghindari tatapan matanya yang menusuk tajam
ke arahku. Tanpa perlu melihat, aku tahu ia pasti kecewa
karena aku juga. Aku kecewa dan kesal terhadap diriku sendiri
yang tak mampu untuk memaafkan dan memulai segalanya
dari awal.
Helaan nafas Ale terdengar panjang. Setelah beberapa
detik, suara beratnya memecah keheningan.
“Kamu yakin ingin tahu apa yang terjadi saat itu?”
Aku mendongak dan menatap raut wajahnya yang sarat
akan keseriusan. Saat itu? Jangan-jangan...
“Iya, saat itu. Saat yang membuat kita bertengkar selama
beberapa bulan ini.” Lanjutnya.
Aku terdiam dan membisu. Ale menganggap kebisuanku
sebagai kata ‘iya’ dan mulai bersuara, menyeritakan kisah yang
ia sembunyikan dariku selama beberapa bulan lamanya.
Ale
“Kamu ingat Yubin? Teman baikku saat di kuliah dulu?”
tanyaku.
Kay tampak kebingungan sesaat lalu menganggukan
kepalanya.
“Ia hamil di luar nikah, dan ia mengalami kontraksi di
malam peringatan pernikahan kita.” Aku mulai bercerita.
“Namaku adalah satu-satunya yang ditulis dengan alfabet dan
bukan bahasa Korea sehingga para perawat otomatis langsung
menghubungi ponselku. Saat aku tiba di rumah sakit, seorang
perawat menginformasikan bahwa Yubin kehilangan bayinya.
Malam itu aku habiskan dengan merawat dan menghiburnya
dan ketika aku ingin memberitahumu tentang kejadian malam
itu, Yubin melarang dan membuatku bersumpah untuk tidak
memberitahukan apa-apa kepadamu.”
Aku berhenti sebentar melihat mata Kay yang sudah
berkaca-kaca, hidungnya yang mulai memerah karena
menahan tangisan yang sudah di ujung tanduk.
“Malam itu adalah malam terakhir aku bertemu Yubin.
Ketika aku meninggalkannya di rumah sakit pun, ia terus
mengingatkanku akan sumpah yang kuambil sehingga kata-
katanya terus terngiang di kepalaku dan aku tak mampu
Babak Terakhir
mengucapkan sepatah kata pun tentang malam itu. Dan kamu
tahu sisa kejadiannya, bukan? Ia kabur dari rumah sakit dan
akhirnya menjadi korban tabrak lari.”
“Mengapa? Mengapa Yubin eonni 2 tidak mau
menceritakan hal ini padaku?” Kay bertanya dengan suara
yang sarat akan kekecewaan dan kesedihan.
Aku menghela nafas sebelum menjawab. “Ia tak mau
kamu tahu tentang sisi gelapnya. Selama ini kamu kan selalu
membanggakan ia sebagai sosok wanita yang tangguh dan tak
pernah kalah di hadapan laki-laki. Ia bahkan terlihat sangat
malu ketika aku muncul di depan pintunya malam itu.”
Satu per satu air mata Kay mulai menetes, membentuk
dua sungai kecil yang melintasi pipinya. Kay terduduk dan
memeluk lututnya. Ia menyembunyikan wajahnya dan
pundaknya bergetar hebat. Aku berjalan ke arahnya, mengamit
tangannya dan memeluk Kay yang masih bergetar hebat.
Permintaan maaf yang keluar dari bibirku tak mampu
menenangkannya, dan membuatnya menangis semakin keras.
Akhirnya, ku katupkan bibirku dan ku peluk ia erat dalam
ketenangan. Setiap air mata yang membasahi pundakku
2 Eonni: sebutan perempuan kepada perempuan yang lebih tua.
membuatku semakin merasa bersalah karena telah membuat
gadisku menangis.
Setelah beberapa menit, Kay akhirnya mampu
menenangkan diri. Aku membantunya berdiri dan
mendudukannya di atas sofa. Kay sudah berhenti menangis
namun ia tetap membisu dan aku pun tak tahu harus berkata
apa. Aku baru hendak mengucapkan sesuatu ketika Kay
memotong ucapanku.
“Maaf.”
Mataku terbelalak mendengar perkataannya. Aku hendak
merespon perkataannya saat Kay mengangkat tangannya untuk
menghentikan ucapanku.
“Biarkan aku menyelesaikan perkataanku. Aku sungguh
minta maaf, Le, karena aku tidak mampu menjadi istri yang
baik, yang pengertian, dan yang terpenting aku tak dapat
menjadi seseorang yang percaya sepenuhnya pada suamiku
sendiri. Aku sudah bertindak bodoh dan kekanak-kanakan
selama beberapa bulan terakhir. Tolong, maafkan aku.”
Aku menghela nafas lalu memeluknya erat.
“Bodoh, kalau aku belum memaafkanmu, aku tidak akan
ada di sini, menceritakan semua ini padamu saat ini. Aku juga
Babak Terakhir
minta maaf atas perkataanku yang pasti melukai hatimu malam
itu. Aku sungguh tidak bermaksud untuk menyakitimu.”
Kay tidak menjawab secara verbal, namun aku tahu ia
memaafkanku karena ia membalas pelukanku dengan erat,
seakan ia tak mau melepaskanku.
Kami masih dalam posisi yang sama saat tiba-tiba
terdengar pintu terbuka dan suara yang sangat familiar berkata,
“Kalian sedang apa di sini?”
Aku dan Kay langsung refleks memisahkan diri dan
bangkit berdiri secepat kilat. Papa menaikkan alisnya dan
matanya yang sarat akan kebingungan bercampur geli
memandangku lalu Kay. Aku sendiri hanya dapat meringis dan
tersenyum canggung. Papa menggeleng-gelengkan kepalanya
lalu mengalihkan perhatiannya pada Kay.
“Kay, kamu sedang apa? Mengapa belum pulang...?”
Papa tampaknya mengenali berkas-berkas di atas meja
Kay karena ia menghela nafas panjang setelah melihatnya.
“Xander pasti menyuruhmu untuk mengerjakan itu semua
hari ini, ya? Benar-benar anak itu.”
Kay terlihat panik dan berkata, “Nggak kok, Pa. Kay
memang mau menyelesaikan proposal ini malam ini agar besok
sudah beres.”
Papa berdecak pelan lalu mengalihkan perhatiannya
padaku dan berkata, “Le, ajak Kay pulang sekarang. Dia sudah
bekerja terlalu keras hari ini.”
Aku setuju dan mengiyakan perkataan Papa. Aku dan
Kay pun pamit pulang dan ketika Kay sudah ada di luar pintu,
Papa berbisik pelan terhadapku.
“Good job, son.”
Aku tersenyum mendengar hal itu dan mengangguk
sebelum menyusul Kay yang sudah berjalan lebih dulu. Di
depan, Kay menutupi mukanya dengan tangannya dan kulihat
telinganya memerah. Aku tertawa kecil melihatnya, dan Kay
menurunkan tangannya.
“Aduh, Papa kok bisa ada di situ sih? Aduh, parah malu-
maluin banget!”
Tawaku semakin keras mendengar perkataannya dan aku
mencubit pelan pipinya yang memerah. Kay mengomel dengan
suaranya yang kecil agar tak terdengar oleh Papa namun
suaranya membuatku semakin geli sehingga akhirnya Kay
Babak Terakhir
membalas mencubit lenganku. Tawaku dan ocehan Kay
mengiringi langkah kami pulang.
Pulang ke Ale dan Kay yang dulu.
#11
Menikmati Nirwana
Kay
Sesuatu yang basah di sudut bibirku membangunkanku.
Dan tidak, itu bukan air liurku.
Aku merasakan bibir yang mengecupku pagi itu
tersenyum ketika aku membalas kecupannya.
Babak Terakhir
“Pagi, Sayang.” Ale berkata seraya mengecup dahi, mata,
hidung, pipi, dan kembali ke bibirku.
“Pagi.” Aku berkata seraya bangkit dari tempat tidur.
Tepat saat itu, Ale menarik lenganku sehingga aku terbaring
kembali di dadanya yang bidang.
“Jangan pergi dulu.” Pintanya pelan sambil mengekangku
dengan kedua lengannya. “Lima menit lagi ya?”
Aku tertawa kecil mendengar suaranya yang seperti anak
kecil yang malas bangun di pagi hari padahal umurnya sudah
sangat jauh dari kategori ‘anak kecil’.
“Nanti aku telat loh, Le.”
Lengannya semakin erat memelukku. “Ntar aku telpon
Xander deh, biar kamu ga diomelin.”
Perkataannya membuatku tertawa geli dan aku memukul
dadanya pelan. “Ga bisa gitu, dong. Sudah aku mandi dulu ya.”
Aku berkata seraya bangkit dan berjalan menuju kamar mandi,
meninggalkan Ale yang mengeluhkan kepergianku.
Ale
“And...cut!”
Kalimatku mengakhiri proses syuting selama beberapa
bulan terakhir. Teriakanku yang lantang terkalahkan oleh sorak
sorai dan keceriaan para staff perfilman yang lega dan senang
karena proses syuting telah berakhir.
Filmku sudah hampir selesai, akhirnya.
Memang masih ada tahap selanjutnya setelah syuting
selesai yakni tahap pengeditan, namun diperkirakan bulan
depan film ini sudah bisa kuserahkan pada pemilik aslinya.
Kebahagiaan ini ingin kurayakan bersama Kay, namun ia tak
boleh mengetahui proyek ini, paling tidak sampai bulan depan.
Kebetulan malam ini adalah malam minggu, jadi staff
perfilmanku memutuskan untuk membuat pesta penyelesaian
film ini di sebuah kelab malam terkenal di Jakarta Selatan. Aku
tidak menentang pesta ini, namun aku tidak ingin ikut serta
karena aku tahu banyak gosip dan rumor yang berawal di sana.
Segigih apapun teman-temanku berusaha untuk mengajakku,
mereka tetap tak dapat menggoyahkan keinginanku untuk
menghabiskan malam minggu bersama Kay. Malam minggu
pertama kami selama beberapa bulan terakhir.
Babak Terakhir
Aku berjalan ke tempat yang lebih sepi untuk menelpon
Kay mengenai acara malam ini. Aku sudah berencana untuk
mengajaknya makan malam romantis di sebuah hotel mewah
di kawasan Jakarta Selatan dan aku yakin Kay akan sangat
tersentuh dengan rencana yang telah kubuat.
“Halo?” Suara Kay terdengar seperti gumaman. Aku
melihat jam tanganku dan ternyata sudah pukul empat sore.
Oiya, kalau lagi weekend gini kan biasanya dia suka tidur
sore. Aku menepuk dahiku pelan karena melupakan fakta itu.
“Halo, Ale?” Kay mengulangi perkataannya. Kali ini
suaranya terdengar lebih jelas dari sebuah gumaman dan aku
langsung merespon seketika.
“Ah, iya Kay. Maaf ya aku ngebangunin. Aku cuman mau
minta kamu siap-siap aja soalnya kita akan kencan malam ini.”
“Kencan?” Kay tertawa geli. “Memangnya kita masih
SMA apa ada kencan segala?”
Aku ikut tertawa mendengar tawanya. “Yah, pokoknya
kamu dandan yang cantik ya. Jam enam aku jemput di
apartemen.”
Kay mengiyakan dan mengucapkan salam perpisahan.
Aku memutuskan panggilan dengan perasaan yang berbunga-
bunga dan tak sabar melihat ekspresi Kay malam ini.
Semoga malam ini akan menjadi malam yang tak
terlupakan bagi kita, ya Kay?
Kay
Kadang aku ingin dilahirkan sebagai seorang laki-laki.
Paling tidak kalau aku adalah seorang laki-laki, aku tidak
akan memikirkan hal-hal yang sebenarnya remeh, seperti apa
yang harus kupakai, warna lipstik apa yang harus kuoleskan di
bibirku, parfum mana yang harus kusemprotkan ke tubuhku,
tas mana yang harus kubawa, dan puluhan pertanyaan lainnya
yang sebenarnya kurang penting untuk dibahas bagi seorang
laki-laki.
Seperti yang saat ini tengah kulakukan.
Jarum panjang sudah berada di angka sembilan, berarti
lima belas menit lagi bel apartemen akan berbunyi dan sampai
detik ini, tubuhku masih dibalut handuk.
Babak Terakhir
Pergi kencannya pakai handuk saja sekalian, daripada
pusing milih baju. Pikiranku sendiri bahkan mengejek
perilakuku.
Inilah salah satu yang membuatku tidak begitu menyukai
kencan dengan Ale. Ia seringkali membuat rencana tanpa
memberitahuku pakaian seperti apa yang seharusnya kupakai.
Seperti saat kami berdua masih pacaran dulu, ia mengajakku
kencan setelah ia menyelesaikan syuting film dan akhirnya
pulang dari Hong Kong. Untuk merayakan penyelesaian
syuting film itu, aku berpikir bahwa ia akan mengajakku
makan malam di hotel atau paling tidak di sebuah restoran yang
cukup bagus. Ternyata, kenyataannya berbeda seratus delapan
puluh derajat. Alih-alih mengajakku ke hotel, ia malah
memberhentikan mobil di sebuah gang kecil di daerah yang
aku bahkan tak tahu namanya. Di gang itu, ada sebuah warung
pecel lele yang bersebelahan dengan toko tambal ban.
Awalnya, aku masih berpikiran positif dan mengira Ale hanya
ingin menambal ban mobil, namun saat ia melihat bahwa aku
tidak beranjak dari tempat dudukku, Ale berjalan ke sisi
pintuku dan membukanya.
“Kamu kenapa nggak keluar?” tanyanya saat itu.
Mendengar pertanyaannya, tatapan mataku berubah
menjadi kebingungan dan mulutku tanpa sadar membentuk
huruf O.
“Kita mau makan di sini?” tanyaku dengan nada tak
percaya.
Ale hanya mengangguk dan menarik tanganku agar aku
keluar dari mobil. Aku mengikutinya masuk ke warung pecel
lele itu. Warung itu tergolong sepi, karena selain aku dan Ale
hanya ada sepasang remaja yang sedang bersenda gurau di
salah satu meja dan seorang bapak berkumis tebal berumur
sekitar empat puluh tahunan yang sedang makan sendirian di
meja di ujung warung. Cahaya di warung itu remang-remang
akibat kurangnya pencahayaan dan terlihat beberapa kucing
berkeliaran di bawah meja.
“Bu, saya biasa ya.” Kata Ale kepada seorang ibu
bertubuh tambun yang sedang sibuk memasak. Ale lalu
menoleh ke arahku yang masih berdiri di tempat. “Kamu mau
apa?”
“Aku ikut kamu aja.” Jawabku.
Ale memesankan pesanan dan aku pun duduk di salah
satu tempat duduk di depan etalase. Ale lalu duduk di
hadapanku dan aku yakin ia tahu bahwa aku merasa tidak
Babak Terakhir
nyaman di sini namun ia tak mengatakan apapun. Sejujurnya,
aku tidak anti dengan makan di warung pinggir jalan. Namun,
pakaian dan riasan wajahku sangat kontras dengan suasana di
warung ini sehingga membuatku merasa tidak nyaman dan
malu karena menjadi pusat perhatian seisi warung.
Pesanan kami datang dan kami pun makan. Sepanjang
makan malam, aku hanya menjawab pertanyaan Ale sekenanya
dan Ale, tampaknya mengetahui suasana hatiku yang buruk,
tidak mengomentari perilaku yang sebenarnya menyebalkan
itu.
Kami selesai makan dan Ale membayar sementara aku
berjalan ke arah mobil. Di dalam mobil, aku tetap
memertahankan sikap judesku terhadap Ale sampai suatu titik,
ia tertawa terbahak-bakal.
Aku terkejut campur bingung melihat Ale yang tertawa
terbahak-bahak hingga ia akhirnya menepi untuk mencegah
terjadinya tabrakan karena tidak fokus menyetir. Dari sudut
mata Ale, dapat kulihat kerlingan air mata yang mengancam
untuk keluar.
“Apaan sih, Le?” Aku berkata dengan gemas karena
benar-benar tidak mengerti apa yang ditertawakan olehnya
sedari tadi.
“Mukamu...,” Ale menjawab tapi tertahan oleh tawanya.
Ia lalu menenangkan diri dan melanjutkan perkataannya.
“Mukamu sangatlah lucu.”
Emangnya gua badut apa dibilang lucu? Pikirku dalam
hati.
Aku menghembus nafas dengan kesal dan hal itu rupanya
membuat Ale kembali tertawa terbahak-bahak. Aku terus
memelototinya hingga ia akhirnya berdeham dan mencoba
untuk mengontrol tawa serta ekspresinya.
“Aku tahu kamu kaget dan tidak nyaman karena aku ajak
makan di warung,” Ale berkata sambil menggenggam
tanganku. “Tapi warung itu bermakna spesial untukku karena
aku menghabiskan banyak waktu untuk proses kreatif film
kemarin di sana.”
“Tapi kamu kan bisa kasih tau aku dulu biar aku ga salah
kostum gini....” Aku melayangkan protes padanya namun
suaraku sudah mulai melunak.
Ale melepaskan tanganku dan menepuk puncak kepalaku
pelan. “Iya, lain kali aku kasih tahu kamu dresscode-nya deh.”
Dan sekarang dia melupakan janjinya lagi.
Babak Terakhir
Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku melihat jam
dinding dan sekarang sudah tepat pukul enam. Aku memakai
baju dan celana seadanya lalu membukakan pintu apartemen.
Aku mengira Ale sedang iseng karena sebenarnya ia dapat
membuka pintu apartemennya sendiri, jadi aku cukup terkejut
ketika bukan Ale yang aku lihat namun seorang satpam yang
menyerahkan sebuah paket untukku. Aku berterima kasih lalu
menanyakan asal muasal paket itu, namun Bapak itu hanya
tersenyum dan mengatakan bahwa seorang penggemar rahasia
mengirimkannya padaku. Dengan kebingungan, aku kembali
masuk untuk membuka isi paket itu. Hal pertama yang dilihat
mataku langsung membuat hatiku terenyuh.
Sebuah dress setumit berwarna merah tanpa lengan
dengan hiasan batu-batu permata yang berkilau terkena
pacaran cahaya di bagian dada. Aku terperangah selama
beberapa detik sebelum menurunkan dress itu dan membaca
surat yang datang bersama paket itu. Aku membaca surat itu
dan air mataku sudah menumpuk di pelupuk mata, hanya
beberapa detik tersisa sebelum air mata itu tumpah dan
membasahi surat yang kupegang.
Sepertinya gua sebentar lagi ‘dapet’ deh. Suara hatiku
melanjutkan. Dikasih surat begini saja berkaca-kaca.
Aku mengambil dress yang dihadiahkan Ale padaku dan
segera bersiap-siap untuk menemui Ale yang menunggu di
lobi.
Babak Terakhir
#13
Tak Ada yang Abadi
Ale
“Terima kasih ya, Pak.” Aku berkata seraya menyelipkan
uang dua puluh ribu ke tangannya.
“Sama-sama, dek.” Pak satpam itu berkata seraya
tersenyum. Entah karena melihat perbuatanku atau uang di
tangannya.
Aku duduk di sofa yang tersedia di lobi apartemen dan
memainkan ponselku sambil membayangkan betapa cantiknya
Kay dengan balutan dress yang kupilihkan untuknya. Aku
ingat dulu ia pernah protes dan sedikit marah karena aku
membawanya ke warteg favoritku padahal bila dilihat dari
dandanannya, seharusnya aku mengajaknya ke restoran mewah
dan bukan warteg pinggir jalan seperti saat itu. Belajar dari
kesalahan, kini aku menemukan cara pintar untuk
merahasiakan tempat makan malam kami sekaligus
memberitahu Kay pakaian yang tepat untuk dipakai.
Jarum panjang di jam tanganku sudah berada di angka
empat. Kay biasanya butuh setengah jam untuk bersiap-siap
jadi kurang lebih sepuluh menit lagi batang hidung bidadari
cantikku akan berada dalam jarak pandangku. Kulihat buket
bunga yang ada diatas pangkuanku lalu mendekatkannya ke
hidungku. Masih wangi. Pikirku senang. Seluruh bunga favorit
Kay ada di dalam buket ini. Warna warni dari bunga mawar
putih, bunga wisteria, bunga lily, dan bunga primrose berwarna
kuning terangkai indah dalam buket yang sudah kupesan dari
beberapa hari yang lalu. Saat aku tengah memandang buket
bunga itu, sepasang sepatu memasuki wilayah pandanganku.
Aku mendongak dan menemukan mata wanita yang sudah
kutunggu sejak tadi.
Babak Terakhir
Aku bangkit berdiri dan menyerahkan buket bunga itu ke
wanita yang sedang memandangku sambil tersenyum hangat.
Lalu kutuntun istriku menuju mobil yang kuparkir di depan
lobi dan kami pun berangkat untuk menikmati malam minggu
terbaik dalam sejarah pernikahan kami berdua.
Paling tidak itu harapanku.
Selama perjalanan, Kay terus mendekatkan mukanya ke
buket bunga yang kuberikan lalu tersenyum ke arahku. Tangan
kami saling tertaut dan tak ada percakapan di antara kami.
Seakan tangan kami sedang berkomunikasi dengan sendirinya
tanpa memerlukan perantara lidah dan bahasa. Alunan musik
lembut menemani setiap meter demi meter perjalanan kami
menuju ke tempat spesial yang telah kusiapkan bagi belahan
hatiku satu-satunya, Kay.
Kami akhirnya tiba di salah satu hotel termewah di daerah
Jakarta Pusat. Aku memberhentikan mobilku di lobi utama
hotel dan turun untuk menyerahkan kunci mobilku kepada
petugas valet. Aku membukakan pintu penumpang dan
menuntun Kay turun dari mobil layaknya seorang putri
kerajaan. Dengan lengan Kay terkait di lenganku, kami
berjalan menuju restoran buffet yang ada di dalam hotel lalu
duduk di meja yang sudah kureservasi sejak pagi tadi.
Malam ini tak dapat berjalan dengan lebih sempurna lagi.
Kami menikmati hidangan makan malam diiringan orkestra
lembut yang membuat suasana malam ini menjadi begitu indah
dan romantis. Setelah selesai menyantap hidangan makan
malam, pelayan menuangkan anggur ke dalam gelas kami dan
kami pun bersulang ditemani sinar bulan yang mengintip dari
luar jendela restoran. Kami baru mau bersulang untuk kedua
kalinya ketika tiba-tiba ponselku berdering dan menunjukkan
nama salah seorang kru perfilmanku. Dalam hati aku memaki
diri sendiri karena tidak mematikan atau paling tidak men-
silent ponselku agar malamku tak terganggu oleh apapun juga.
Aku menurunkan gelas dan permisi pada Kay untuk menerima
telepon yang entah penting atau tidak ini.
“Ada apa, Di?” tanyaku dengan nada yang sedikit kasar.
Efek kekesalanku karena ada yang menginterupsi malamku
bersama Kay.
“Waduh, gawat Pak! Si Tiara ternyata lagi di kelab malam
ini dan dia teriak-teriak maki-maki nama Bapak di sini.
Sepertinya dia mabuk deh.” Telingaku menangkap kata-kata
Babak Terakhir
Hadi di sela-sela bisingnya kelab malam. Heran, harus di
dalamkah menelponnya? Sudah tahu sangat berisik seperti ini.
Pikirku jengkel.
“Terus? Maksudnya apa ya?”
“Jadi gini, Pak..., Tiara minta Bapak ke sini. Kalau tidak,
ia mengancam akan membuat berita gosip yang bisa
mencemarkan nama Bapak.”
Jemariku otomatis memijat-mijat pelipisku. Aku
memejamkan mata dan berusaha untuk memikirkan jalan
keluar terbaik dari masalah yang sebenarnya sangat tidak
penting ini. Sebenarnya aku tidak peduli apa kata media
tentang diriku. Yang menjadi permasalahan adalah namaku
seringkali dikaitkan dengan keluargaku dan gosip ini dapat
membawa dampak buruk bagi bank milik Papa, yang akan
berdampak negatif juga untuk Kay. Mau tidak mau, aku harus
menuruti keinginan Tiara demi kepentingan keluargaku.
“Halo, pak Ale? Halo? Ha-“
“Ya sudah. Saya kesana. SMS saya alamatnya sekarang.”
potongku tajam. Sebelum Hadi sempat berkata apapun, aku
memutuskan pembicaraan dan segera kembali untuk
memberitahu kabar buruk ini.
Saat aku tiba di meja makan, raut wajah Kay, untuk
pertama kalinya malam ini, tak menunjukan ekspresi bahagia.
Matanya memancarkan kekuatiran yang dalam dan entah
mengapa ia tahu bahwa kami akan meninggalkan tempat ini
karena ia sudah bangkit berdiri dan menggenggam tas
tangannya.
“Ada apa, Le?” Suara yang keluar dari bibirnya sarat akan
kekuatiran namun aku dapat mendengar setitik kekecewaan
yang berusaha disembunyikannya.
Aku tersenyum muram menanggapi pertanyaannya lalu
menggandeng tangannya, membayar makam malam kami,
berjalan menuju lobi lalu meminta petugas valet untuk
mengambil mobilku.
Sementara menunggu, aku menceritakan secara singkat
kepada Kay mengenai apa yang terjadi dan apa yang harus
kulakukan. Tentu saja dengan beberapa kebohongan kecil. Kay
masih belum boleh tahu bahwa aku telah membuat sebuah film
tanpa sepengetahuan dirinya. Jadi kubilang saja bahwa
temanku sedang mabuk di sebuah kelab malam dan tak ada
yang dapat mengantarnya pulang sehingga aku harus ke sana
dan membantunya. Kay terlihat tidak memercayai ceritaku
sepenuhnya, namun ia tidak berkata apapun dan hanya
menatapku sambil tersenyum kecil.
Babak Terakhir
Mobilku tiba di lobi dan kami pun naik. Aku sempat
berpikir untuk membawa Kay pulang terlebih dahulu, namun
hal itu hanya akan menghabis-habiskan waktu sehingga aku
langsung melajukan mobilku ke kelab malam dimana Tiara
berada. Selama perjalanan, Kay hanya berdiam diri menatap
pemandangan jalan di luar jendela. Aku tahu ia pasti kecewa,
karena aku pun sangat kecewa. Namun akan kupikirkan suatu
cara untuk mendapatkan hatinya kembali setelah aku mengurus
masalah sialan ini.
“Lepaskan aku! Aku belum selesai bicara!” Teriakan
Tiara terdengar seperti penghuni rumah sakit jiwa yang
tertangkap saat hendak melarikan diri dari kamarnya.
Hadi dan seorang pria lain yang mungkin adalah manajer
Tiara, berusaha untuk menahan Tiara yang mendekatiku
dengan tatapan ganas, seakan-akan aku adalah kambing di
hadapan harimau lapar. Di sekeliling kami, terdapat beberapa
orang yang berkumpul dan turut menyaksikan serta merekam
tindakan gila Tiara.
“Apa maumu, Tiara? Proses perfilman sudah selesai, lalu
apa lagi yang kau ributkan?” Aku berkata dengan nada kesal
bercampur marah.
Tiba-tiba, suara tawa histeris keluar dari bibir Tiara. Ia
sudah tak lagi meronta-ronta, namun perubahan sifat yang
terjadi dalam waktu sepersekian detik tentunya membuat
semua orang di sekelilingnya kebingungan. Di sela-sela
tawanya, ia menunjukku dan berkata dengan nada mengancam.
“Kau boleh senang sekarang. Tapi lihat pembalasanku
ini!”
Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat singkat.
Tiara menyentakkan kedua tangan yang merantai
tangannya lalu dengan langkah cepat, ia meraup wajahku dan
mencium bibirku. Sedetik kemudian, aku menyadari apa yang
terjadi dan segera mendorong tubuhnya hingga ia terduduk di
lantai. Kemarahan merasukiku dan makian meluncur keluar
dari bibirku. Tiara yang menjadi sasaran makianku tidak
merasa tersinggung sedikitpun, melainkan sebaliknya. Ia
kembali tertawa terbahak-bahak seakan aku sedang melucu
dan bukan menghinanya. Menyadari bahwa Tiara sedang ada
dalam kendali alkohol, aku pun menyerahkan segala urusan ini
ke tangan Hadi dan segera pergi dari tempat itu sambil
Babak Terakhir
menggosok-gosok bibirku yang terkontaminasi oleh bibir
wanita murahan itu.
Untungnya, Kay bersedia saat aku memintanya untuk
tetap tinggal di dalam mobil dan tidak mengikutiku masuk ke
dalam kelab malam. Aku tahu bahwa ia memang bukan
penikmat kelab malam, sehingga aku cukup yakin bahwa ia
tidak akan mempermasalahkan bila aku memintanya untuk
tinggal di mobil sementara aku mengurus masalah di dalam.
Saat aku kembali, Kay tampak tertidur lelap. Ia bahkan
tak bergerak sedikit pun ketika aku membuka pintu dan masuk.
Aku mengamati Kay dalam keheningan. Aku selalu menyukai
raut wajahnya yang sangat tenang dan damai ketika ia tidur,
seakan ia masih bayi dan belum mengetahui betapa rumitnya
jalan kehidupan. Perlahan, kudekatkan wajahku ke wajahnya
hingga bibir kami bersentuhan. Satu detik, dua detik, tiga detik
berlalu. Pada detik kesepuluh, bibir Kay mulai bergerak
membentuk sebuah senyuman dan perlahan-lahan matanya
terbuka dan menatap langsung ke mataku. Seakan sudah
terprogram secara otomatis, kedua ujung bibirku ikut tertarik
dan membentuk sebuah senyuman. Bibirku mulai bergerak ke
atas. Ke pipi, mata, dahi, hidung, dan kembali ke bibirnya yang
masih membentuk senyuman.
“Jadi ini cara kamu biar aku nggak bete lagi?” tanyanya
saat aku mengangkat wajahku dan menjalankan mobil.
Aku hanya tertawa mendengar pertanyaannya. Dari nada
bicaranya, aku sudah tahu bahwa ia telah memaafkan
kesalahanku. Kami kembali mengobrol layaknya sepasang
kekasih sepanjang perjalanan pulang dan aku sungguh tak
sabar ingin memberikan ‘kado spesial’ untuk dirinya malam
nanti.
Babak Terakhir
#14
Pecahnya Kedamaian
Ale
Aku sungguh membenci dering telepon di pagi hari.
Terutama di saat aku sedang memeluk istriku, seperti saat ini.
Melihat posisi tidurku ini, aku pastikan bahwa kejutan
‘kado spesial’ kemarin malam berjalan dengan sangat
sempurna. Harris dan Nanda berperan besar dalam
menyukseskan ‘kado spesial’ ini. Mereka membantuku dalam
memilih kue, mendekorasi apartemen, dan segala pernak-
pernik yang dibutuhkan untuk membuat semua ini spesial.
Mereka jugalah yang tanpa instruksi dariku meletakan sekotak
kondom di atas ranjang yang berhasil membuat muka kami
berdua merah padam.
Intinya, malam itu adalah malam yang sangat indah.
Dan keindahan malam itu harus dirusakan oleh dering
telepon yang terus berbunyi meski sudah kuhiraukan sedari
tadi. Kay sudah mulai menggeliat di dalam pelukanku yang
berarti mau tak mau aku harus mengangkat telepon sialan itu
sebelum Kay terbangun. Perlahan, aku melepaskan pelukanku
dan meraih ponselku.
“Halo?” kataku seraya berjalan ke luar kamar agar tidak
membangunkan Kay.
Di seberang sana, terdengar suara Hadi yang penuh
dengan kepanikan. “Pak Ale! Gawat, Pak! Foto ciuman Bapak
dan Tiara tersebar di internet!”
Aku duduk di atas sofa dan menguap. Masih belum
memahami perkataan Hadi sepenuhnya. “Maksudnya?”
Babak Terakhir
Kali ini, Hadi terdengar jengkel melihat reaksiku.
“Orang-orang yang kemarin merekam Tiara di kelab malam
menyebarkan rekaman itu di sosial media!”
Satu kalimat itu sontak menghilangkan kantukku dan
menjernihkan pikiranku. Aku segera mengakhiri pembicaraan
dan mengecek langsung berita tersebut. Berita mengenai
skandal antara aku dan Tiara sudah tersebar ke berbagai media
massa dan mencadi trending topic di mana-mana.
Aku melupakan fakta bahwa meski menjengkelkan, Tiara
merupakan aktris yang sedang naik daun saat ini.
“Jadi kita harus berbuat apa nih, Pak?”
Otakku berputar untuk mencari jalan keluar dari masalah
ini namun tak satupun cocok untuk keadaanku saat ini.
Memang sudah beberapa kali aku terlibat skandal semacam ini,
namun dulu aku hanya mengabaikannya karena aku memang
masih bujangan. Tapi kali ini situasinya berbeda. Aku sudah
memiliki Kay dan apabila ia melihat berita ini..., untuk
membayangkan reaksinya saja sudah membuat hatiku perih.
“Halo, Pak? Halo?” Suara Hadi membuyarkan
lamunanku dan menarikku kembali ke saat ini.
“Untuk saat ini, hubungin pihak IT dan minta mereka
untuk telusuri siapa yang pertama kali mengunggah video
tersebut. Lalu, hubungi pihak Tiara dan tanyakan apa yang
mereka mau.”
Hadi mengiyakan lalu kuputuskan sambungan telepon.
Aku menoleh dan melihat Kay yang masih tertidur lelap, tidak
sadar dengan masalah yang menimpa suaminya ini. Dan aku
sungguh berharap bahwa Kay tidak akan mendengar masalah
ini, meski tampaknya hal itu mustahil.
Ponselku berdering dan nama Xander muncul di layar
ponselku. Adikku yang kepo itu pasti sudah tahu mengenai
gosip ini dan ingin mendengar berita selengkapnya. Aku
menghela nafas dan mematikan ponselku lalu bersiap-siap
keluar untuk menyelesaikan masalah sialan ini.
Hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan....
Kay
Dingin.
Babak Terakhir
Kata-kata itulah yang paling pertama muncul di benakku
pagi ini. Aku menarik kembali tanganku yang berkelana ke sisi
sebelah ranjangku dengan perasaan sedikit kecewa.
Ale sudah pergi rupanya.
Aku pun mengangkat punggungku dari ranjang dan
menggosok-gosok mataku ambil melihat jam weker di sisi
ranjangku. Masih pukul delapan pagi dan ini hari Minggu. Tak
biasanya Ale bekerja di pagi hari, terutama di hari libur seperti
ini. Aku meraih ponselku lalu menaruhnya kembali dengan
kesal. Ngabarin ke mana pun nggak. Pikirku kesal. Aku
akhirnya memutuskan untuk mandi dan membuat sarapan
karena si Mbok tak datang hari ini. Aku membuka pintu kulkas
dan melihat bahan apa yang bisa kubuat menjadi sarapan.
Hanya ada telur dan roti...,bikin french toast aja deh. Pikirku
sambil meraih dua butir telur dan sebungkus roti tawar.
Sambil memasak, kalau ini dapat dikatakan memasak,
aku memikirkan apa yang akan kulakukan untuk
menghabiskan hari Minggu ini. Entah mengapa, aku sedang
tidak mood untuk keluar apartemen. Aku melihat sekeliling
apartemenku dan mataku terpaku pada sofa di ruang tamu.
Perlahan, senyum mengembang di wajahku.
Aku mengambil piring berisi french toast buatanku dan
berjalan ke laci di bawah televisi untuk mencari film-film
buatan Ale yang sudah membuatku penasaran sejak dulu
karena ia tak pernah membiarkanku menontonnya. Tidak salah
kan kalau aku menonton film-film buatan Ale? Pas orangnya
tidak ada di tempat. Aku berkata dalam hati sambil tersenyum
senang.
Hari ini akan menjadi hari yang baik, ya kan?
Sialan memang si Ale.
Aku memaki dalam hati sambil menarik tisu entah ke
berapa dan mengelap air mataku yang terus mengalir bagaikan
air terjun di musim hujan. Pantas saja dia tidak mengizinkanku
menonton film-film buatannya. Mengapa dia tak membuat film
komedi saja sih?! Aku berkomentar dalam hati sambil
melempar tisu ke dalam tempat sampah yang juga dipenuhi
oleh tisu-tisu bekas.
Aku melirik jam dinding yang ada di atas televisi. Sudah
pukul tujuh malam dan belum ada suara pintu terbuka yang
menandakan pulangnya Ale. Pada layar televisi, mulai muncul
Babak Terakhir
nama-nama aktor dan aktis yang bermain peran dalam film
Ale. Beberapa detik kemudian, muncul nama yang membuat
jantungku berdetak lebih cepat.
Alejandro Reese
Ale dan Alejandro Reese merupakan orang yang berbeda
bagiku. Ale yang kukenal di pesawat terbang adalah Ale yang
bebas, tidak suka diatur, penampilannya berantakan, suka
bertindak dan berbicara seenaknya, cerdas, dan selalu bisa
membuatku tersenyum bahkan tertawa. Aku baru berkenalan
dengan Alejandro Reese saat aku tahu bahwa ia adalah putra
pertama dari bosku sendiri Anthony Reese dan kakak laki-laki
Alexander Reese, atasanku di kantor. Ale selalu
memperkenalkan dirinya sebagai Ale dan bukan Alejandro,
dan jangan berharap ia akan menyebutkan nama Reese di
belakangnya. Ia tidak ingin dikenal sebagai putra keluarga
Reese, terutama di kalangan kru perfilmannya. Menurutnya,
hal itu akan menyebabkan para kru segan dan berhati-hati
dengannya, dan hal itulah yang paling ia benci. Meski begitu,
tetap banyak orang yang mengetahui fakta bahwa ia adalah
pewaris bank nomor satu di dunia. Ale yang berperan sebagai
Alejandro Reese biasanya kulihat saat kami pergi ke pesta
pernikahan sanak keluarga Reese atau orang-orang penting
dalam World Bank. Alejandro Reese berpenampilan rapi,
berbicara dengan padanan kata yang baik, dan selalu pandai
berbasa-basi dengan orang-orang yang kuyakin tidak ia kenal
dengan baik. Aku merasa sangat asing sekaligus tertarik
dengan kepribadiannya yang berbeda jauh dengan sikap asli
Ale yang sering kutemui di tempat lain. Kadang, aku merasa
telah menikahi dua jiwa yang berada dalam satu tubuh.
Semacam beli satu gratis satu, kalau menurut ibu-ibu.
Aku terkikik geli mendengar istilah ‘beli satu gratis satu’
yang dikeluarkan pikiranku sendiri. Layar televisi sudah
menunjukkan menu utama, yang berarti seluruh film sudah
habis ditonton. Aku merangkak ke arah televisi dan mematikan
DVD player serta televisi lalu masuk ke kamar. Aku
memutuskan untuk menelpon Ale, namun nama Nanda terlebih
dahulu muncul di layar ponselku.
“Kenapa, Nan?” tanyaku setelah mengangkat telepon
darinya.
“Gua mau main ke tempat lu, dong. Ale lagi di sana
nggak?”
Mendengar perkataan Nanda, bibirku seketika
membentuk senyum lebar.
“Boleh banget tuh! Pas banget si Ale lagi pergi entah ke
mana. Kita juga sudah lama nggak girls night ya kan?”
Intonasiku yang naik sepertinya membuat Nanda menjauhkan
Babak Terakhir
ponselnya dari telinga karena butuh beberapa detik hingga
suaranya terdengar kembali.
“Buset, Bu. Santai dong,” Nanda mengomel namun aku
dapat merasakan bahwa ia juga senang mendengar kabar ini.
“Ya udah. Gua ke sana ya.”
Aku pun mengiyakan dan memutuskan hubungan
telepon. Aku hendak menelpon Ale untuk mengabarkan
kedatangan Nanda ketika perutku tiba-tiba kram. Aku terduduk
di atas ranjang sambil memegangi perutku yang seperti terlilit
tali. Sepertinya gua ‘dapet’ deh. Biasanya alasan utama
perutku kram adalah faktor datang bulan sehingga aku
mengulurkan tangan kananku ke laci di sebelah ranjang untuk
mencari obat. Tiba-tiba, aku merasa ada cairan asam yang
mendesak keluar dari kerongkonganku sehingga aku segera
menggerakan kakiku ke kamar mandi untuk mengeluarkan
cairan itu dari mulutku.
Setelah aku merasa baikan, aku membilas mulut dan
mencuci gigiku. Aroma mint segar dari pasta gigi membuatku
sedikit lebih baik. Aku pun berjalan ke luar kamar mandi untuk
kembali ke kamar untuk kembali mencari obat. Obat penahan
sakit haid yang ada di laci kamarku kadaluarsa pada tanggal 7
November 2015. Aku meraih kalender yang ku taruh di atas
laci dan menyadari bahwa hari ini tanggal 8, yang berarti obat
itu sudah kadaluarsa. Aku baru saja mau menaruh kembali
kalender itu ketika aku menyadari lingkaran merah yang
mewarnai tanggal 1 November 2015, tepat minggu lalu. Di
bawah lingkaran itu, terdapat suatu kata-kata yang membuatku
seketika membeku di tempat.
Haid.
Jadi gua seharusnya sudah ‘dapet’ dari minggu lalu?
Dan sampai hari ini gua belum ‘dapet’ juga? Jangan-
jangan....
Aku segera meraih ponselku dan memencet nomor
sahabat baikku.
“Da. Lu belum nyampe kan? Titip test pack ya. Cepat
datang.”
“Jadi?” Nanda bertanya dengan ekspresi khawatir saat
aku berjalan keluar kamar mandi.
Babak Terakhir
Entah ekspresi apa yang muncul di wajahku saat ini.
Senang? Sedih? Kecewa? Bahagia? Aku sendiri pun tak tahu
apa yang kurasakan saat ini.
“Kay, jangan bengong dong. Ngomong sama gua,
gimana? Lu hamil ga?” Nanda berkata seraya menuntun
tanganku dan mendudukanku di sofa.
“Gua hamil, Da.”
Tiga kata itu terlontar begitu saja ketika tubuhku
menyentuh permukaan sofa. Intonasiku datar, tidak senang dan
tidak sedih. Namun, tubuhku berkhianat dan otakku
memerintahkan kedua mataku untuk mengeluarkan air mata
yang tak kukehendaki.
“Harusnya lu seneng dong, Kay! Kok malah nangis gini
sih?” Nanda berkata seraya memeluk tubuhku erat sambil
menepuk-nepuk punggungku. Beberapa detik kemudian,
Nanda melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku
dengan ibu jarinya. Wajahku yang masih tak mengekspresikan
apa-apa dipaksanya membentuk sebuah senyuman. Dengan
kedua ibu jarinya, ia menarik kedua ujung bibirku hingga
membentuk sebuah senyuman yang akhirnya membuat aku
benar-benar tersenyum.
“Sakit tahu, ditarik-tarik gitu bibir gua. Ntar jadi ga seksi
lagi!” kataku seraya melepaskan kedua tangan Nanda dari
wajahku.
Nanda tertawa mendengar perkataanku dan menanggapi.
“Dari dulu mana pernah seksi sih bibir lu?”
Kami berdua tertawa mendengar obrolan kami yang
semakin tidak jelas ini. Mungkin inilah efek samping
kehamilan, emosiku naik turun bagai naik halilintar. Tiba-tiba
menangis, tiba-tiba tertawa, tubuhku bereaksi mengikuti aliran
perasaanku yang tak bisa kukontrol.
“Sana, telepon Ale. Bilang dia akan jadi ayah.” Kata
Nanda seraya berjalan ke depan televisi. “Gua mau cari bahan
tontonan dulu.”
Aku mengangguk dan mencari ponselku untuk menelpon
Ale. Aku memencet nomor yang sudah kuhafal di luar kepala
itu dan menelponnya. Dering demi dering kudengar namun
bukan suara suamiku yang kudengar melainkan suara operator
yang menandakan bahwa Ale tak mengangkat teleponnya.
Lagi. Aku mencobanya kembali, namun tiba-tiba fokusku
teralihkan oleh suara yang kudengar di televisi. Aku
menurunkan ponselku dari telinga, dan memusatkan
pendengaranku ke suara wanita di siaran televisi itu,
memastikan bahwa apa yang kudengar tidak salah. Aku
Babak Terakhir
berjalan menuju layar televisi dan kalimat yang terpampang
jelas di layar membuatku menjatuhkan ponselku.
“Alejandro Reese, seorang sutradara kondang, terekam
berciuman dengan artis papan atas, Tiara Paraswita.”
#15
Lari dan Jatuh
Ale
“Bagaimana? Sudah dapat rekaman CCTV-nya?”
Pertanyaan itulah yang menjadi sapaanku untuk Hadi
yang sudah pergi selama berjam-jam dan baru kembali
beberapa detik yang lalu. Hadi berjalan ke arah mejaku dan
memberikan sebuah CD. Ekspresi wajahnya tidak tampak
Babak Terakhir
bahagia sehingga aku tak berharap banyak, namun ketika aku
memasukan CD itu ke laptopku dan memainkan rekaman yang
ada di dalamnya, raut wajahnya perlahan mencerah.
Rekaman itu tidak berwarna alias berwarna hitam putih
dan penuh dengan suara berisik khas kelab malam, namun
dibalik segala kekurangan itu orang awam pun dapat
mengetahui bahwa Tiaralah yang menarikku dan menciumku
di luar kehendakku. Bukti ini seharusnya cukup kuat untuk
meyakinkan massa, terutama Kay, bahwa akulah korbannya
dan bukan Tiara.
Setelah memastikan bahwa pihakkulah yang pertama
mendapat rekaman ini, aku menyerahkan CD ini kembali ke
Hadi dan memintanya untuk mengirimkannya ke media. Hadi
pun akhirnya pergi dan untuk pertama kalinya hari ini, aku
dapat merasa lega. Paling tidak, gosip-gosip yang beredar bisa
dilenyapkan dengan rekaman ini. Aku mengecek ponselku
yang kumatikan sejak siang tadi dan melihat belasan panggilan
tak terjawab dari Kay dan puluhan dari... Nanda?
Aku mencoba untuk menelpon ponsel Kay terlebih
dahulu, namun suara operator menyatakan bahwa ponselnya
mati. Aneh, Kay tidak pernah membiarkan ponselnya mati.
Terutama di hari libur seperti ini. Aku mencoba menelpon
Nanda dan ia mengangkat pada dering yang pertama.
“Ale, lu kemana aja?! Gua sudah nelpon berkali-kali!”
Suara berintonasi tinggi milik sahabat istriku ini menyapa
gendang telingaku. Namun bukan hanya suaranya yang
kudengar, melainkan ada suara lain. Suara tangisan.
“Maaf, Da. Gua lagi sibuk tadi. Lu kenapa? Kok nangis?”
Aku benar-benar bingung. Bisa dihitung jari berapa kali Nanda
menelponku sejak kami diperkenalkan oleh Kay, dan tiba-tiba
ia menelponku puluhan kali dan sambil menangis seperti ini.
Apa yang terjadi?
“Kay..., Kay di rumah sakit.”
Kata-kata itu bagaikan petir yang langsung menyambar
jantungku.
“Apa katamu?” Perkataanku terdengar bagai seorang
anak yang sedang belajar mengeja. Aku benar-benar berharap
ada yang salah dengan telingaku sehingga aku salah
mendengar perkataan Nanda. “Sepertinya telinga gua
bermasalah, coba ulangi lagi. Kay kenapa?”
Nanda tak menjawab, namun suara tangisan terus
terdengar dari seberang sana. Aku menjambak rambutku dan
menghantam dinding dengan kepalan tanganku, berusaha
menahan diriku agar tidak menangis.
Babak Terakhir
“Rumah sakit apa?”
Nanda menyebutkan nama rumah sakit terdekat dan aku
langsung mengakhiri panggilan. Aku berlari ke lobi,
menemukan Hadi yang baru saja akan menaiki motornya.
Tanpa berkata apa-apa, aku segera menaiki motornya dan
melajukannya ke rumah sakit. Dari jauh, aku mendengar suara
Hadi yang memanggilku namun aku tak peduli. Fokus utamaku
sekarang bukanlah mengurus masalah Tiara, namun Kay.
Kaylah yang terpenting saat ini, dan aku tak peduli dengan hal-
hal lain.
Aku melajukan motor dengan kecepatan di atas normal.
Jalanan padat khas Jakarta tidak menjadi halangan bagiku
untuk segera tiba di rumah sakit dan mengecek keadaan istriku.
Dengan lihai, aku menyelip di antara mobil-mobil yang
terjebak kemacetan dan dari jauh aku dapat melihat gedung
rumah sakit tujuanku.
Seharusnya aku tetap fokus pada jalanan di depanku.
Tepat saat aku memfokuskan pandanganku kembali ke
jalanan, semuanya sudah terlambat. Tiba-tiba, ada sebuah truk
yang memutuskan untuk berbelok dan menghalangi jalanku.
Segalanya terjadi dengan sangat cepat, bagaikan kilatan
cahaya. Aku menghentakan stir motor ke kiri dan akhirnya
beban motor dan tubuhku kalah kuat dengan gaya gravitasi
yang menarikku ke tanah. Aku terlempar ke aspal dan terguling
ke bawah truk.
Ingatanku berhenti sampai di sini.
Kay
Tangisan. Itulah hal pertama yang kudengar.
Perlahan, aku coba membuka mataku. Putih. Terang
sekali.
Apakah ini surga? Aku berpikir kembali, tidak mungkin
ada tangisan di surga. Aku menoleh ke sumber suara tangisan
dan menemukan Nanda, sahabat baikku. Mukanya sangat
merah dan matanya tertutup rapat sementara air matanya
mengalir membasahi tanganku yang dipegangnya erat. Aku
menggerakan jariku untuk memberitahunya bahwa aku sudah
terbangun. Matanya seketika terbuka dan jarinya semakin erat
menggenggam jariku.
“Kay….”
Babak Terakhir
Di sela-sela tangisnya, hanya namaku yang mampu
diucapkannya. Aku baru mau menanyakan apa yang
sebenarnya terjadi, namun aku terlalu lemah untuk bersuara.
Tiba-tiba, ada sepasang tangan yang melepaskan genggaman
tangan Nanda pada tanganku. Aku menengok ke pemilik
tangan itu dan menemukan Xander memeluk sahabatku sambil
menatap ke arahku. Tatapan Xander sangat intens sehingga
akhirnya aku memalingkan wajahku. Apa arti tatapan itu, aku
sendiri pun tak tahu. Untuk mendeskripsikannya pun aku tak
mampu. Seakan semua bahasa di dunia ini tak mampu untuk
mendeskripsikan tatapannya.
“Kay! Kamu kenapa, Nak?”
Suara ibuku terdengar bersamaan dengan pintu yang
disentakan dengan kasar. Tanpa perlu melihat, aku tahu pintu
itu dihentakkan oleh Ayah. Wajah orangtuaku memenuhi
lingkup penglihatanku. Ibu menangis sambil memelukku
sementara Ayah berdiri di belakang Ibu. Raut wajahnya keras
dan beliau tak berbuat apa-apa selain menatapku yang sedang
berada dalam pelukan Ibu. Ibu melepaskan pelukannya dan
meletakkan telapak tangannya di kedua sisi wajahku sambil
memerhatikanku dengan matanya yang masih sembab efek
menangis.
“Kamu tidak apa-apa kan, Nak?”
Aku mencoba untuk berbicara, namun tampaknya pita
suaraku sendiri masih belum mengizinkannya. Akhirnya aku
pun mengangguk. Aku memang masih merasa pusing dan
terdapat beberapa bagian tubuhku yang nyeri, namun tak
mungkin aku berkata bahwa aku tidak baik-baik saja dengan
situasi seperti ini, bukan?
Tiba-tiba seseorang berpakaian putih berambut cepak
menghampiri kami. Seorang suster menggenggam tangan
Ibuku dan menjauhkannya dariku sementara dokter memeriksa
kondisi tubuhku. Dinginnya stetoskop membuat tubuhku
bergidik, namun sang dokter tetap menyentuhkan benda dingin
itu ke bagian dada dan perutku seakan tak menyadari reaksi
yang kuberikan. Setelah itu, ia mengeluarkan sebuah tabung
kecil yang mengeluarkan sinar lalu menarik kelopak mataku ke
atas, menelanjangi mataku satu per satu sambil menyinarinya
dengan sinar yang sangat terang itu. Beberapa detik kemudian,
sinar itu lenyap dan menyisakan titik-titik cahaya di ruang
penglihatanku. Aku tak cukup sadar untuk memerhatikan dan
mengerti apa yang Pak Dokter sampaikan kepada orangtuaku
namun dari ekspresi mereka, aku menebak bahwa tidak ada
yang salah denganku.
Tapi tunggu. Ke mana Ale? Tidak mungkin ia tidak ada
di sisiku saat ini.
Babak Terakhir
Aku meraih pakaian Ibu dan seketika Ibu kembali
memusatkan perhatiannya padaku. Suaraku masih belum bisa
keluar dari tenggorokanku, sehingga aku hanya bisa
menggerakan mulutku untuk membentuk nama Ale. Setelah
melihat gerakan mulutku, air mata Ibu kembali mengalir deras
dan beliau tidak berkata apa-apa. Firasatku langsung
memburuk. Beribu pikiran negatif memenuhi pikiranku. Aku
berusaha mengeluarkan suara untuk menanyakan apa yang
terjadi pada Ale namun yang keluar dari bibirku hanya suara
gumaman yang tidak jelas. Kekesalan dan rasa frustrasi yang
kurasakan karena tidak mampu berkata apapun membuat air
mataku mengalir menuruni pipi dan daguku.
Malam itu, Ibu menyampaikan bahwa aku terjatuh saat
hendak menuruni tangga darurat. Aku sempat tak sadarkan diri
selama 8 jam, namun dokter meyakinkan bahwa aku dan bayi
dalam kandunganku selamat dan aku tak perlu khawatir. Aku
dan bayiku hanya butuh waktu untuk beristirahat sejenak untuk
kembali beraktivitas seperti semula. Segalanya terlihat baik,
namun tidak sempurna.
Karena malam itu, aku sadar bahwa Ale sudah tiada.
Anonim
Film itu ada di harddisk. Tolong kasih ke Kay.
Itulah kata-kata terakhir yang Ale sampaikan padaku.
Segera setelah mengirim Ale ke ruang operasi, aku melajukan
mobilku ke kantor tempat Ale bekerja dan mencari harddisk
yang ia maksud. Setelah menemukannya, aku memasukkan
harddisk itu ke dalam tas dan segera kembali ke rumah sakit.
Berharap aku belum terlambat untuk menyerahkan film ini ke
Ale.
Ini film buatan lu, Le. Lu sendiri yang harus kasih ke istri
lu.
Di tengah perjalanan, ponselku berbunyi. Tangan
kananku tetap ada di kemudi sementara tangan kiriku merogoh
kantung celanaku untuk menjawab panggilan itu. Tanpa
melihat siapa yang menelpon, aku mengangkat panggilan itu.
Beberapa detik kemudian,air mataku keluar membentuk
sepasang sungai yang mengalir menuruni kedua pipiku.
Sudah terlambat rupanya.
Babak Terakhir
#16
Jatuh dan Bangkit
Dua tahun kemudian…
Kay
Aku tak menyangka aku akan sesedih ini.
Hari ini aku resmi meninggalkan posisiku di World Bank
dan menjadi seorang ibu rumah tangga biasa, tanpa kesibukan
gila-gilaan seperti yang biasa kulakukan selama bekerja di
bank ini.
Mungkin akan terdengar gila, namun aku akan sangat
merindukan pekerjaan ini.
Entah sadar atau tidak, aku telah terbiasa dengan segala
kesibukan dan suasana bekerja di ruanganku ini. Mulai dari
meeting-meeting yang panjang dan melelahkan, malam-malam
yang dilalui dengan pengerjaan proyek, aroma kopi yang
memenuhi ruanganku, hingga lelucon dan keisengan Xander
yang mengisi hari-hariku dan membuatku tetap waras selama
ini.
Aku mengambil buku-buku yang ada di rak buku di
belakang mejaku dan memasukkannya ke dalam kotak berisi
barang-barangku di kantor ini. Peralatan tulis, hiasan meja,
bahkan papan namaku sudah tersusun rapi di dalam kotak.
Menunggu untuk dibawa pulang dan siapa yang tahu kapan
mereka akan menjalankan tugas-tugas mereka kembali.
Berat rasanya untuk meninggalkan semua ini. Karir yang
dengan susah payah kubangun, segala hubungan baik dalam
hal pekerjaan sampai persahabatan yang telah terjalin di
perusahaan ini, bahkan aku sempat kuatir untuk menyerahkan
tugas-tugasku ke penerusku. Namun demi Jandro kecil, aku
Babak Terakhir
harus meninggalkan segala pekerjaan ini dan fokus untuk
merawat dan membesarkannya.
Demi Jandro.
Dan demi Ale.
Jandro kecil sangat mirip dengan ayahnya. Mata
keemasannya mengingatkanku akan pertemuan pertamaku
dengan Ale. Saat ini Jandro sudah mulai bisa bergumam dan
tingginya sudah mencapai delapan puluh cm yang cukup besar
menurut dokter dan aku pun terkejut melihat pertumbuhannya.
Hari-hariku sebagai ibu hamil berjalan dalam kehampaan.
Aku harus senantiasa didampingi oleh seseorang, baik itu Ibu,
Ayah, ataupun Nanda. Aku tidak yakin mengapa saat itu,
namun saat ini aku tahu bahwa mereka takut aku akan
mengikuti jejak Ale ke alam lain, terutama karena aku tidak
berkabung sedikit pun. Aku memendam semuanya di dalam
hatiku. Mereka takut suatu saat, layaknya bom waktu, aku akan
meledak dan menghancurkan diriku serta bayi yang ada di
dalam kandunganku.
Delapan bulan lebih berlalu dan Jandro kecil pun lahir.
Tidak seperti ibu-ibu pada umumnya, aku menolak untuk
melihat bayiku sendiri. Para dokter berkata bahwa aku
menderita penyakit Postpartum depression atau depresi pasca
melahirkan yang membuatku tak mampu melihat bayiku
sendiri sehingga Jandro harus diurus oleh kakek neneknya
selama seminggu. Sehari setelah melahirkan, aku melarikan
diri dari rumah sakit dan mengurung diri di apartemenku. Tak
seorang pun kuijinkan masuk. Suara tangis ibu dan kepalan
tangan Bapak yang terus menerus menggedor pintu
apartemenku pun tak kuhiraukan sedikit pun.
Seminggu. Itulah waktu yang kubutuhkan untuk berduka
seorang diri.
Dalam waktu itu, aku mengenang tubuh Ale yang ditaruh
di atas tumpukan kayu bakar. Aku tahu, sebagai seorang ibu
yang sedang mengandung, pemandangan itu akan berdampak
buruk bagi janinku. Namun aku tak peduli. Inilah saat-saat
terakhirku untuk melihat wajah Ale dan aku harus ada di
sisinya. Apapun yang terjadi.
Api pun dinyalakan dan perlahan tapi pasti kayu-kayu
yang ditumpuk di bawah jasad Ale pun mulai termakan api.
Babak Terakhir
Hingga akhirnya, baju dan tubuh Ale berubah menjadi serbuk
hitam tak bernyawa. Orang yang melihatku saat itu mungkin
berpikir aku sudah gila atau tak berperasaan karena tak satu air
mata pun terlihat menggenang apalagi jatuh menuruni pipiku.
Aku hanya melihat Ale berubah wujud menjadi abu dengan
tatapan kosong tanpa mengeluarkan suara bahkan bergerak
sedikit pun.
Mereka tidak tahu bahwa hatiku menangis, menjerit, dan
meraung melihat suamiku tak bernyawa di hadapanku. Meski
hatiku menangis, anggota tubuhku yang lain menolak untuk
ikut berduka. Mataku menatap lurus ke arah api yang
membakar tubuh Ale. Kering terkena sapuan angin yang
berhembus. Dingin, menyamai cuaca hari itu. Bibirku
membentuk garis tipis. Kedua sudut bibirku tidak naik tapi juga
tidak turun. Daguku terangkat tinggi layaknya seorang jenderal
yang memantau proses penghukuman mati mata-mata negara
musuh. Tak berekspresi. Mungkin itulah kata yang tepat untuk
menggambarkan raut wajahku saat itu.
Suara botol plastik terjatuh mengembalikan pikiranku ke
masa kini.
Aku menengok ke arah sumber suara dan menemukan
Jandro kecil melihat ke botol susunya yang terjatuh di lantai
lalu mata keemasannya menatap ke arahku dengan tatapan
lugu. Mau tak mau, aku tertawa melihat ekspresinya yang
menggemaskan itu. Aku berjalan mendekati Jandro yang
berada di atas babywalker-nya. Bibirnya membentuk
senyuman terbalik dan kedua pipinya yang seperti bakpao
membuatnya semakin terlihat menggemaskan. Aku
mengambil botol susunya yang sudah kosong lalu
menyerahkannya kepada kedua telapan tangan mungil yang
terbuka, menunggu botol susu itu. Segera setelah berhasil
mendapatkan botol susunya kembali, raut cemberutnya
berubah menjadi senyuman lebar yang sangat manis. Suara
tawanya yang merdu membuatku bahagia sekaligus ingin
menangis di saat yang bersamaan.
Bila kamu tahu apa yang Mama perbuat padamu ketika
kamu lahir, apakah kamu bisa mengerti dan memaafkan
Mama, Nak? Karena Mama pun masih belum bisa mengerti
dan memaafkan diri Mama sendiri.
Aku berkata dalam hati sambil mengelus pipi Jandro kecil
yang sedang menggigit-gigit dot dengan gigi depannya yang
baru tumbuh beberapa hari yang lalu. Matanya yang berkilat
senang menatapku dan bibir mungilnya mengeluarkan
gumaman-gumaman. Semoga gumaman-gumaman itu akan
berubah menjadi kata ‘Mama’ segera ya, Nak.
Babak Terakhir
Aku mengangkat Jandro dari babywalker-nya dan
menggendongnya. Suara tawanya memenuhi indra
pendengaranku selagi aku mengangkatnya. Aku meletakan
Jandro di atas meja kecil lalu mulai mengganti popok serta
pakaiannya.
“Hari ini kita akan ketemu Papa, Jan. Kamu senang,
kan?” Aku berkata seraya memasukan lengan mungil namun
gemuknya ke dalam kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu.
Jandro menanggapi ucapanku dengan anggukan, seakan ia
mengerti apa yang baru saja kutanyakan. Aku tersenyum
melihat responnya. Setelah selesai mendandani Jandro, aku
mengangkatnya dan membawanya ke atas ranjang di sebelah
meja riasku agar aku bisa merias diri sembari menjaganya. Aku
bukanlah tipe wanita yang banyak menggunakan riasan wajah
sehingga kali ini pun aku hanya menepukkan sedikit bedak ke
wajahku, memoleskan lipstick berwarna netral ke bibirku yang
pucat, dan selesai. Aku siap untuk pergi.
Aku mengambil kunci mobil yang terletak di atas meja,
memasukkannya ke dalam kantung celanaku lalu
menggendong Jandro yang masih sibuk menggigiti dotnya. Ia
sempat merengek saat aku mengambil botol susunya namun
segera diam ketika aku menyerahkan boneka anjing
kesukaannya kepadanya.
Sepanjang perjalanan ke dermaga, aku mengalami
kesulitan untuk fokus menyetir. Aku tahu seharusnya aku
menerima usul Nanda untuk mengantarku namun aku butuh
waktu berdua dengan Ale. Ah, bertiga dengan Ale dan Jandro.
Angin laut yang kencang menyapa kami ketika kami tiba
di dermaga untuk berangkat ke sebuah pulau kecil di
Kepulauan Seribu yang dinamakan Pulau Nusantara. Butuh
waktu sekitar dua jam lamanya untuk tiba di pulau milik
keluarga Ale itu dari dermaga terdekat. Di pulau itu juga
terdapat sebuah vila yang digunakan untuk tempat
peristirahatan sanak keluarga Reese. Karena milik pribadi,
pulau itu masih sangat bersih dan asri. Pasirnya putihnya terasa
lembut di telapak kaki siapapun yang menginjaknya, dan air
lautnya yang hangat terpapar sinar matahari pun sangat jernih
hingga ikan-ikan kecil yang berenang dengan bebas di
dalamnya dapat terlihat dengan jelas.
Namun sejak setahun yang lalu, pulau ini kehilangan
maknanya sebagai tempat rekreasi dan hiburan. Sekarang,
setiap sanak keluarga Ale yang mengunjungi pulau ini akan
teringat kejadian tragis yang menimpa Ale. Dan istrinya yang
secara tak langsung ‘membunuh’ suaminya sendiri.
Papa, Mama, bahkan Xander memang tidak
menyalahkanku secara langsung namun aku dapat melihat
Babak Terakhir
dibalik tatapan hangat dan tindakan mereka. Meski mereka
mencoba untuk tetap bersikap seperti biasanya (Xander bahkan
masih suka mengirimiku lelucon-lelucon anehnya), tak butuh
IQ tinggi untuk mengetahui bahwa di dalam hati terdalam
mereka, mereka masih belum bisa merelakan kepergian Ale.
Sama seperti aku yang belum bisa menerima kepergian Ale
yang sangat mendadak itu.
Sesuatu yang lembut dan berbulu terjatuh ke atas kakiku.
Rupanya ayunan ombak yang membawa kami menuju pulau
Nusantara telah membuat Jandro tertidur pulas dalam
dekapanku. Genggamannya pada boneka anjing
kesayangannya telah terlepas dan terjatuh sehingga aku
akhirnya mengambil dan memasukkan boneka itu ke dalam
tasku. Melihat raut wajah Jandro yang sangat tenang dan damai
dalam tidurnya membuatku merasa sedikit lebih baik. Aku
dapat melihat Ale dalam setiap gerakan dan raut wajah Jandro.
Seakan-akan dia hidup melalui Jandro kecil.
Sadar, Kay. Suamimu sudah mati. Aku tersenyum pahit.
Lagi-lagi pikiranku menusuk hatiku dengan kenyataan itu.
Bahkan pikiran dan hatiku saling menyakiti satu sama lain.
Sungguh menyedihkan.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menjernihkan
pikiranku. Kamu sudah berhenti berkabung, Kay. Kalimat
itulah yang kuulang-ulang di kepalaku.
Ya. Aku sudah berhenti berkabung.
Babak Terakhir
#17
Babak Terakhir
Kay
Kami akhirnya tiba di Pulau Nusantara dan seperti
dugaanku, tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Dulu saat aku
dan Ale pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kami
disambut oleh Pak Wayan dan Bu Imah, sepasang suami istri
yang tinggal tak jauh dari pulau ini. Keluarga Ale membayar
mereka untuk datang sehari sekali di pagi hari untuk
membersihkan vila atau memasak sarapan bila sedang ada
tamu yang datang berkunjung. Saat ini waktu sudah
menunjukkan pukul dua siang sehingga tak heran pulau ini
kosong tak berpenghuni. Pak Wayan dan Bu Imah pasti sudah
kembali ke rumah mereka. Melihat Jandro yang masih tertidur
pulas, aku pun akhirnya memutuskan untuk menuju vila
terlebih dahulu untuk meletakan Jandro di atas kasur. Setelah
memastikan bahwa Jandro tertidur dengan pulas dan nyaman,
aku pun berjalan keluar menuju tepi pantai.
Aku duduk di pesisir pantai, membiarkan hangatnya pasir
dan air laut melebur menjadi satu di bawah telapak kakiku.
Mataku memandang hamparan laut yang sangat luas, wajahku
menikmati sejuknya hembusan angin. Aku melepas ikat
rambut yang membelenggu rambutku, membiarkannya
menunggangi angin. Kedua telapak tanganku kuletakan di
belakang tubuhku, menopang bobot tubuhku sepenuhnya. Aku
duduk seperti itu selama beberapa menit, menyiapkan dan
memilih untaian demi untaian kata yang kusampaikan pada Ale
yang sudah terlebih dahulu menuju surga.
Kalimat-kalimat sudah tersusun di pikiranku, namun aku
tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata yang
seharusnya diucapkan oleh bibirku, terwalikan oleh air mataku
yang mulai mengalir jatuh menuruni pipi dan leherku. Bibirku
Babak Terakhir
bergetar namun taka da satu kata pun yang berhasil tereja,
hanya gumaman dan isakan yang mampu dikeluarkan oleh
kotak suaraku. Aku biarkan air mataku bercerita tentang
penderitaanku, penyesalanku, dan betapa rindunya aku akan
Ale. Setelah beberapa menit bersekutu dalam duka, aku
akhirnya teringat akan Jandro dan mulutku mulai terbuka untuk
menceritakan anak kami yang sangat manis itu. Aku
menceritakan seluruh proses tumbuh kembangnya mulai dari
pertama kali ia menangis, tawanya yang meluluhkan setiap hati
semua orang yang mendengarnya, malam-malam saat ia tak
bisa tertidur pulas, coklat pertamanya yang ia ambil di laci saat
aku tak melihat, raut wajahnya saat mengunjungi dokter dan
menerima suntikan amunisasi yang membuat hatiku sakit, dan
banyak lagi.
Sekitar sepuluh menit berlalu, dan aku mendengar suara
tangisan Jandro yang tak asing di telinga. Aku segera bangkit,
menyeka air mataku dengan punggung tangan lalu berjalan
cepat menuju vila untuk menenangkan Jandro. Anakku itu
pasti terbangun dan menangis karena ia berada di tempat asing
tanpa ada orang yang ia kenal di sekelilingnya. Benar saja, saat
aku masuk kamar Jandro langsung berhenti menangis dan
mengulurkan kedua lengan tambunnya ke arahku. Aku
mengangkat dan menggendongnya sambil menepuk-nepuk
punggungnya pelan.
“Kamu pasti kangen Mama ya, Nak. Mama ada di sini,
jangan takut.” Aku berkata sambil mengelus punggungnya.
Menenangkannya.
Dengan Jandro di dekapanku, aku berjalan mengitari vila.
Tak banyak yang berubah dari vila ini. Satu-satunya perubahan
paling mencolok adalah warna temboknya yang tak lagi putih
bersih, namun dicat menjadi warna abu-abu terang. Selebihnya
kurang lebih sama dengan setahun yang lalu. Ruangan terakhir
yang kukunjungi adalah kamar tamu. Sebenarnya, saat aku dan
Ale dulu menginap di sini, kamar inilah yang kami gunakan
dan bukan kamar utama. Hanya satu hal yang membedakan
kamar ini dan kamar utama. Televisi. Kamar utama memange
berukuran lebih besar dengan perabotan yang lebih bagus,
namun sebagai sesama penggemar film, aku dan Ale tentu saja
lebih memilih kamar yang ada televisinya.
Aku menurunkan Jandro di atas ranjang dan
mengeluarkan boneka anjingnya dari dalam tas. Setelah
memastikan bahwa Jandro sibuk dengan bonekanya, aku
berjongkok di depan televisi dan mencari kaset-kaset DVD
yang ditinggal di pulau ini. Senyumku mengembang melihat
setiap judul film yang kutemukan, mengenang masa-masa
indah saat aku dan Ale berbaring di atas ranjang dengan
lengannya memeluk erat tubuhku sambil kami menonton film-
film. Air mataku hampir menetes lagi saat aku menyadari ada
Babak Terakhir
satu tempat CD asing yang belum pernah kutemukan
sebelumnya.
Aneh, aku berkata dalam hati. Setahuku tak ada yang
pernah menggunakan ruangan ini selain aku dan Ale.
Terutama menonton di sini.
Aku membuka tempat CD itu dan menemukan satu
keping CD yang terselip di dalamnya. Aku menyalakan DVD
player dan televisi lalu memasukan CD itu ke dalamnya.
Seperti yang sudah kuduga, CD ini memang berisi film tapi
bentuknya jelas tidak seperti DVD biasanya. Begitu CD dibaca
oleh DVD player, film langsung mulai dengan sendirinya
tanpa ada tampilan menu pembuka. Aku bangkit berdiri dan
berjalan menuju ranjang dan berbaring di atasnya sambil
menonton film apapun itu.
Film itu cukup pendek, hanya berdurasi sekitar satu jam
lebih namun dalam waktu singkat, film ini sukses membuat air
mataku kembali membanjiri bantal yang kupeluk erat. Jandro
memandangku dengan tatapan khawatir hingga akhirnya ia
ikut menangis bersamaku. Aku meletakan bantal yang selama
ini kupeluk, mengangkat Jandro dan memeluknya, menepuk-
nepuk punggungnya agar ia berhenti menangis. Setelah
beberapa menit, Jandro akhirnya berhenti menangis dan
tertidur di pelukanku. Aku dapat menghentikan tangisan
Jandro, namun aku tak dapat menghentikan air mata yang
masih mengalir deras menuruni pipiku ini. Mungkin ini hanya
perasaanku saja, tapi film ini seperti menceritakan kembali
perjalanan hubunganku dengan Ale. Mulai dari pertemuan
pertama, kedua dan ketiga kami, pertengkaran dan proses
berbaikan kami hingga akhirnya kami berdua mempunyai
seorang anak yang manis. Semuanya sama persis dengan
kenyataan yang ada. Satu-satunya hal yang berbeda dari
kenyataan sebenarnya hanyalah dalam film itu kami
mempunyai seorang anak perempuan, persis seperti yang Ale
harapkan.
Semuanya menjadi jelas saat aku melihat nama sutradara
yang terpampang di akhir film. Alejandro Reese. Nama yang
membuatku kembali tersedak dengan kesedihan dan kepedihan
yang sangat. Aku memejamkan mata, berusaha menenangkan
diriku saat aku mendengar suara yang sangat ingin ku dengar
selama setahun ini.
“Hai, Kay! Ini suami kesayanganmu, Ale!”
Aku membuka mata dan kulihat wajah Ale di layar
televisi, sedang tersenyum lebar. Segala usahaku untuk
menenangkan diri runtuh saat itu juga. Volume tangisanku
yang kutahan agar tak membangunkan Jandro saat itu juga
meningkat dengan drastis. Tubuh, jiwa, dan rohku seakan
Babak Terakhir
dibawa kembali ke setahun yang lalu. Saat aku mengurung diri
di kamar apartemenku. Berteriak, menangis, melampiaskan
segala penyesalan, kesedihan, dan beban di hatiku. Jandro
terbangun dan ikut menangis tak kalah kerasnya. Kali ini aku
tak berusaha menenangkannya. Kami berdua menangis,
meratapi kepergian kepala keluarga kami yang bahkan tak tahu
ia telah menjadi bapak dari seorang anak.
Kami tetap menangis hingga kami mendengar suara Ale
kembali. “Semoga kamu senang dengan hadiah permintaan
maafku ini ya.” Suara Ale terdengar riang dan ceria,
berbanding terbalik dengan keadaanku saat ini. Aku
menghentikan film untuk sementara waktu, menarik nafas
beberapa kali, berusaha menenangkan denyut jantungku yang
seakan tengah berada dalam pertandingan maraton,
menenangkan Jandro yang masih menangis di pelukanku
hingga ia kembali tenang, lalu memainkan film itu lagi.
“Sejujurnya, aku sudah merencanakan pembuatan film ini
sejak beberapa bulan yang lalu. Film ini kubuat sebagai sebuah
kejutan untukmu sehingga kamu tidak boleh tahu. Jadi
maafkan aku ya kalau aku tidak memberitahumu alasan
mengapa aku sering pulang larut malam bahkan tak pulang
sama sekali. Tapi selama pembuatan film ini kita memang
sedang tidak berbicara jadi bukan salahku kan ya?” Ale berkata
lalu menjulurkan lidahnya, menggodaku. “Tahun ini genap
lima tahun pertemuan kita! Hore!” Ale terlihat berlari-lari
memutari sebuah tiang sambil mengangkat kedua tangannya ke
udara. Setelah beberapa putaran, ia kembali ke depan kamera
dengan nafas terengah-engah. “Happy 5th anniversary, babe!
Kayanya aku harus berhenti merokok dan mulai olahraga
seperti katamu deh. Masa aku lari dikit doang sudah lelah
seperti ini, ya ga?”
Tanpa sadar aku mulai tertawa mendengar leluconnya.
Memang sudah sejak lama aku memintanya untuk berhenti
merokok, dan ia sudah mengiyakan. Ini kata Ale tentang rokok
dulu. “Rokok tuh sebenernya hanya pelampiasan stresku saja.
Sekarang kan ada kamu, kita bisa melakukan ‘sesuatu’ untuk
melampiaskan stresku.” Ucapannya itu kutimpali dengan
pukulan di lengannya dan Ale berusaha menghindari
pukulanku sambil menyatakan bahwa akulah yang berpikiran
negatif. Senyumku mengembang mengingat kenangan konyol
itu.
“Aku tahu kamu pasti kangen dengan suamimu ini kan?”
Ale tak tahu betapa benarnya dia sekarang. “Tunggu aku ya,
nanti malam saat aku pulang kamu harus ucapin kata ini supaya
aku tahu kalau kamu sudah nonton film ini. Kata-katanya
adalah “babak pertama”. Kenapa “babak pertama”? Karena
pertama, itu judul film yang baru kamu tonton. Kedua, aku mau
kita mulai semuanya dari awal. Jadi mulai dari babak pertama
Babak Terakhir
lagi.” Dia menjelaskan dengan senyum yang tak pernah lepas
dari wajahnya. “Sudah dulu ya, Kay sayang. Semoga kamu
senang dengan hadiahku ini ya. Sampai ketemu nanti malam!”
Dengan kalimat itu, Ale mengulurkan tangannya ke arah
kamera dan mematikan kamera yang merekamnya selama ini.
Aku memandangi layar yang sudah berubah menjadi
hitam itu selama beberapa detik. Kemudian tanpa sadar,
bibirku membentuk sepasang kata. Babak pertama. Babak
pertama. Perlahan tapi pasti, senyum kecut mulai mengembang
di bibirku, menggantikan untaian kata itu.
Berhenti bermimpi, Kay. Dia sudah tiada. Dia tak akan
ada di sisimu nanti malam. Ini bukanlah babap pertama
melainkan babak terakhir.
Waktu sudah menunjukan pukul empat sore, sebentar lagi
kapal terakhir akan berlayar kembali ke daratan utama. Aku
bangkit berdiri, dan berjongkok lagi di depan DVD player
untuk mengambil CD tersebut. Aku masukan hadiah terakhir
dari Ale itu ke dalam tasku lalu bersiap-siap pulang.
Memang tidak akan ada Ale yang menungguku di
apartemenku, aku tidak akan melihat senyum Ale yang
menghangatkan hatiku, aku tidak akan mendengar suara
seksinya yang selalu menggetarkan hatiku lagi. Namun semua
itu tak mengubah fakta bahwa ia pernah ada di hidupku, dan
semua momen manis itu adalah kejadian nyata yang
membuahkan buah hati kami. Jandro akan selalu menjadi
pertanda bahwa Ale nyata dan aku tahu ia akan selalu ada di
sini. Di dalam hati dan pikiranku.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
Babak Terakhir
Biodata Pengarang
Melissa Octavianti atau
yang akrabnya dipanggil Melissa
adalah seorang mahasiswa jurusan
Ilmu Komunikasi angkatan 2015 di
Universitas Multimedia Nusantara.
Alumni SMAK 4 Penabur Jakarta
ini lahir pada tanggal 2 Oktober
1997 di Surabaya dan besar di
Jakarta. Sejak kecil, kakak dari
seorang adik laki-laki ini hobi membaca buku, baik dari
dalam maupun luar negeri dan gemar menulis cerita
pendek. Gadis yang hobi travelling dan mendengarkan
musik ini mempunyai minat di bidang bahasa dan saat
ini sedang mempelajari Bahasa Korea. Melissa bercita-
cita untuk menjadi seorang editor novel dan penyiar
radio.