bab_1_yg_sudah_perbaikantgl_11-11-2014

124
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pembedahan merupakan peristiwa kompleks dan menegangkan bagi pasien yang dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan praoperatif merupakan kejadian yang sering terjadi dan akibat kecemasan ini operasi bisa tertunda dan bahkan dapat di batalkan . Kecemasan praoperatif secara umum terjadi pada pasien yang akan menjalani prosedur pembiusan dan pembedahan elektif (Seifu dkk,2014). Respon dari kecemasan itu dapat berupa pasien banyak bertanya,bicara cepat,gelisah,ekspresi wajah tegang,sering buang air kecil dan peningkatan tanda-tanda vital(tekanan darah,nadi,pernapasan) Kecemasan praoperatif dapat mempengaruhi beberapa aspek biopsikososiospiritual. Derajat kecemasan praoperatif yang dialami oleh seorang pasien dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis operasi, lama operasi, penyakit yang mendasari, pengalaman operasi sebelumnya dan kemampuan masing-masing individu untuk menghadapi situasi ( Seifu dkk, 2014). Pasien dengan derajat kecemasan pra anestesi umum/praoperatif yang tinggi membutuhkan komunikasi 1

Upload: indiindhysa

Post on 26-Dec-2015

75 views

Category:

Documents


32 download

DESCRIPTION

ilmu penyakit dalam

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Pembedahan merupakan peristiwa kompleks dan menegangkan bagi

pasien yang dapat menimbulkan kecemasan. Kecemasan praoperatif merupakan

kejadian yang sering terjadi dan akibat kecemasan ini operasi bisa tertunda dan

bahkan dapat di batalkan . Kecemasan praoperatif secara umum terjadi pada

pasien yang akan menjalani prosedur pembiusan dan pembedahan elektif (Seifu

dkk,2014). Respon dari kecemasan itu dapat berupa pasien banyak

bertanya,bicara cepat,gelisah,ekspresi wajah tegang,sering buang air kecil dan

peningkatan tanda-tanda vital(tekanan darah,nadi,pernapasan)

Kecemasan praoperatif dapat mempengaruhi beberapa aspek

biopsikososiospiritual. Derajat kecemasan praoperatif yang dialami oleh seorang

pasien dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, usia, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, jenis operasi, lama operasi, penyakit yang mendasari, pengalaman

operasi sebelumnya dan kemampuan masing-masing individu untuk menghadapi

situasi ( Seifu dkk, 2014).

Pasien dengan derajat kecemasan pra anestesi umum/praoperatif yang

tinggi membutuhkan komunikasi terapetik. Komunikasi merupakan hal yang

sangat penting dalam keperawatan dengan tujuan penyembuhan .Interaksi

perawat pasien yang terapeutik yaitu melalui penggunaan tehnik komunikasi

terapeutik (Shuldham,1998).

Kecemasan praoperatif telah menjadi tema utama dari berbagai

penelitian dibidang psikologi kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Insiden

kecemasan praoperatif dari berbagai penelitian di seluruh dunia sangat bervariasi

antara 10 % - 80% (seifu dkk,2014) . Namun, di Indonesia belum ada data yang

menyebutkan insiden kecemasan praoperatif pada pasien yang akan menjalani

bedah elektif. Berdasarkan data dari Instalasi Anestesi dan Terapi Intensif

1

Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sepanjang tahun 2013 terdapat sekitar

1036 kasus bedah elektif yang ditangani di antaranya :Kasus bedah

thoraxs,bedah urologi,bedah ongkologi,bedah ortopedi,bedah digestif,bedah

plastik,bedah mata,bedah tht,bedah kebidanan dan kandungan.

Pasien akan mendapatkan manfaat apabila tingkat kecemasan praoperatif

yang tinggi dapat dikurangi dengan komunikasi terapeutik. Dengan menurunkan

tingkat kecemasan praoperatif maka kebutuhan dosis obat anestesi untuk induksi

anestesia tidak lebih besar dari pasien dengan kecemasan praoperatif yang

tinggi. Fluktuasi otonom dapat dikurangi. Pasien relatif membutuhkan dosis obat

analgetik pasca operasi yang lebih kecil, dan masa perawatan di rumah sakityang

lebih singkat.

Beberapa instrumen pengukuran kecemasan telah digunakan di seluruh

dunia, diantaranya Spielburger State-Trait Anxiety Inventory (STAI), Visual

Analog Scale (VAS), dan The Amsterdam Preoperative Anxiety and Information

Scale (APAIS). Saat ini belum ada kesepakatan secara universal instrumen

pengukuran kecemasan praoperatif yang dapat diterima, sederhana dan secara

tepat mengukur kecemasan praoperatif. Namun demikian skala STAI yang

komplek dan panjang menjadi standar baku pengukuran kecemasan secara

umum (Moerman, 1996 dan Kindler, 2000).

Dari hal tersebut maka komunikasi terapeutik perawat sangat berperan

penting untuk mengurangi tingkat kecemasan yang dirasakan pasien. Terkait

dengan permasalahan di atas maka peneliti terdorong untuk melakukan

penenlitian yang berjudul " Pengaruh Komuniaksi Terapeutik Terhadap

Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien yang Akan Menjalani Anestesi Umum di

RS.Persahabatan."

1.2 Rumusan Masalah

Tingginya tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani anestesi umum

membutuhkan kemampuan komunikasi terapeutik yang maksimal dari seorang

perawat . Sehingga penulis ingin mengetahui apakah ada pengaruh komunikasi

terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien yang akan menjalani

anestesi umum di RS Persahabatan.

2

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh

komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang

akan menjalani anastesi umum di RS.Persahabatan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik (usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan

pendidikan) pada pasien yang menjalani anastesi umum di RS.

Persahabatan.

b. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien sebelum dan setelah

dilakukan komunikasi terapeutik pada pasien yang akan menjalani

anastesi umum di RS. Persahabatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan dari hasil penelitian yang dilakukan akan bermanfaat bagi:

1. Institusi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi perawat tentang pentingnya

komunikasi terapeutik pada pasien yang akan menjalani anestesi

umum di rs persahabatan.

2. Institusi Pendidikan

Dapat berguna bagi pengembangan ilmu keperawatan dan sebagai

tambahan kajian untuk mata kuliah KMB.

3. Penelitian selanjutnya

3

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi suatu bahan

pertimbangan untuk riset-riset selanjutnya yang berhubungan

dengan komunikasi terapeutik.

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi suatu bahan

pertimbangan untuk riset – riset selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan konsep terkait

Dalam bab ini akan dijelaskan teori tentang komunikasi terapeutik,

kecemasan dan anestesi umum.

1. Komunikasi terapeutik

a. Definisi

Purwanto (2004) mengemukakan komunikasi terapeutik adalah

komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya

dipusatkan untuk kesembuhan klien.Komunikasi terapeutik termasuk

komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian

4

antar perawat dan klien.

b. Prinsip-prinsip dari komunikasi

Menurut Carl Rogers dalam Purwanto (2004) prinsip-prinsip dari

komunikasi terapeutik adalah :

1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti

menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang

dianut.

2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling

menerima, saling percaya dan saling menghargai.

3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut

klien.

4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan klien

baik fisik maupun mental

5. Perawat harus menciptakan suasana yang

memungkinkan klien bebas berkembang tanpa rasa

takut.

6. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang

memungkinkan klien memiliki motivasi untuk

mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga

tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah-

masalah yang dihadapi.

7. Perawat harus mampu menguasai perasan sendiri secara

bertahap untuk mengetahui dan mengatasi perasaan

5

gembira, sedih, marah, keberhasialan, maupun frustasi.

8. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan

mempertahankan konsistensinya.

9. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang

terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang

terapeutik.

10. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari

hubungan terapeutik.

11. Mampu berperan sebagai role model agar dapat

menunjukan dan menyakinkan orang lain tentang

kesehatan, oleh karena itu perawat perlu

mempetahankan suatu keadaan sehat fisik, mental

spiritual, dan gaya hidup.

12. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila

dianggap mengganggu.

13. Altruisme mendapatkan kepuasaan dengan menolong

orang lain secara manusiawi.

14. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat

mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip

kesejahteraan manusia.

15. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu

bertanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan

6

yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap lain.

c. Tahap-tahap komunikasi terapeutik

Menurut Stuart dan Sundeen (2005), tahap- tahap komunikasi terapeutik terbagi

dalam (empat) tahap yaitu:

1). Fase pra - interaksi

Pra- interaksi pertama kali sebelum berhubungan dengan klien perawat

mengekpresikan perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran

dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat

dipertanggung jawabkan.Penampilan diri secara terapeutik berarti

memaksimalkan kekuatan dan meminimalkan pengaruh kelemahan diri

dalam memberi asuhan keperawatan pada klien.Tugas tambahan pada fase

ini adalah perkenalan atau orientasi.

2). Fase perkenalan atau orientasi

Fase ini dimulai dengan pertemuan dengan klien. Hal yang utama yang

perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan mempengaruhi

terbinanya hubungan perawat — klien. Dalam memulai hubungan, tugas

utama adalah membina rasa percaya, penerimaan dan pengertian

komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien. Elemen-

elemen kontrak perlu diuraikan dengan jelas pada klien sehingga kerjasama

perawat — klien dapat optimal .

Diharapkan klien berperan secara penuh dalam kontrak, namun pada kondisi

tertentu, misalnya klien dengan ganngguan realita, maka kontrak dilakukan

7

sepihak dan perawat perlu mengulang kontrak jika kontrak realita klien

meningkat.Perawat dan klien mungkin mengalami perasaan tidak nyaman,

bimbang karena memulai hubungan yang baru. Klien yang mempunyai

pengalaman hubungan interpersonal yang menyakitkan akan sukar

menerima dan terbuka pada orang lain. Klien anak memerlukan rasa aman

untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, perbuatan klien dan

mnegindentifikasi masalah, serta merumuskan tujuan bersama klien.

Elemen kontrak perawat- klien :

a. Nama individu perawat dan kien

b. Peran perawat dan klien

c. Tanggung jawab perawat dan klien

d. Harapan perawat dan klien

e. Tujuan hubungan

f. Tempat pertemuan

g. Waktu pertemuan

h. Situasi terminasi

i. Kerahasiaan

j. Fase kerja

3)Pada fase kerja,

perawat dan klien mengeksplorasi stressor yang dapat dan mendorong

perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, perasaan,

dan perbuatan klien. Perubahan perilaku meladaptif menjadi adaptif

merupakan fokus fase ini.Disamping itu pada kenyataannya dalam

8

menjalankan tindakan keperawatan, klien sering tidak kooperatif.Untuk itu

menghadapi rasa kecemasan yang timbul pada pasien perawat belajar

bertingkah laku asertif.

4)Fase terminasi

Terminasi merupakan fase sangat sulit dan penting dari hubungan

terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal.

Fase terminasi harus diatasi dengan memakai konsep proses kehilangan.

Proses terminasi yang sehat akan memberi pengalaman postif dalam

membantu klein mengembangkan koping untuk perpisahan. Reaksi klien

dalam menghadapi terminsi dapat bermacam cara, klien mungkin

mengingkari perpisahan atau mengingkari manfaat hubungan. Klien dapat

mengekspresikan perasaan marah dan bermusuhannya dengan tidak

menghadiri pertemuan atau bicara yang dangkal.Teminasi yang mendadak

dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan klien sebagai penolakan atau

perilaku klien kembali pada perilaku sebelumnya dengan harapan perawat

tidak akan mengakhiri hubungan karena masih memerlukan bantuan.

d. Sikap dalam berkomukasi terapeutik

1) Menurut Hall (2000) dalam Stuart dan Sundeen (2005) jarak dalam

komunikasi terapeutik memegang peranan penting, jarak dalam komunikasi

dilihat dari zona yang digunakan diantaranya :

a. Jarak 0 sampai 45,5 cm menunjukkan komunikasi bersifat

intim

(jarak yang tepat untuk komunikasi terapeutik)

9

b. Jarak 45,5 sampai 120 cm menunjukkan hubungan terbuka

antara perawat dan klien (area personal)

c. Jarak 270 sampai 360 cm adalah jarak yang menunjukkan

sedikit personal dan tergantung (jarak sosial konsultatif)

d. Lebih dari 360 cm menunjukkan jarak komunikasi dengan

publik

2) Menurut Egan (2008) dikutip oleh Kozier dan Erb (2002 ) dalam keliat

(2002) mengidentifikasi lima sikap cara untuk menghadirkandiri secara

fisik (sikap perawat dalam berkomunikasi), yaitu :

a) Berhadapan

Arti dari posisi ini adalah " saya siap untuk anda "

b) Mempertahankan kontak mata

Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai kliendan

menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

c) Membungkuk kearah klien

Posisi ini menunjukan keinginan untuk mengatakan atau

mendengar sesuatu.

d) Mempertahankan sikap terbuka

Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk

berkomunikasi.

e) Tetap relaks

f) Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan

relaksasi dalam memberi respon pada klien.

10

3) Clunn (2001) dalam Keliat (2002) mengemukakan bahwa, sikap fisik

klien dapat pula disebut sebagai perilaku non verbal, yang perlu

dipelajari pada setiap tindakan keperawatan beberapa perilaku non verbal

yang diketahui dalam merawat anak yang dikemukakan oleh Clunn

(2001) adalah :

a) Gerakan mata

Gerakan mata dipakai untuk memberikan

perhatian.Kontak mata dan ekspresi muka, alat pertama

dipakai untuk pendidikan dan sosialisasi.

b) Ekspresi muka

Umumnya dipakai sebagai non verbal, namun banyak

dipengaruhi oleh banyak orang yang tidak percaya pasti

akan tampak dari ekspresi muka tanpa di sadari.

c) Sentuhan

Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendapat ikatan

kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan

sentuhan yang menjadi elemen penting dalam

pembentukan ego, perpisahan dan kemandirian

e. Teknik komunikasi terapeutik

Menurut Purwanto (1994 ) tehnik-tehnik komunikasi terapeutik adalah :

1) Mendengarkan dengan aktif

Menjadi pendengar yang baik merupakan keterampilan dasar dalam

melakukan hubungan perawat — klien.

11

2) Memberi kesempatan pada klien untuk memulai

Pembicaraan, memberi kesempatan kepada klien untukmengambil

inisiatif dalam memilih topik pembicaraan.

3) Memberikan penghargaan

Memberikan salam kepada klien dengan menyebutkan namanya

menunjukan kesadaran tentang perubahan yangn terjadi, menghargai

klien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan tanggung

jawab atas dirinya sendiri sebagai individu.

4) Mengulang kembali

Perawat mengulang sebagian pertanyaan klien dengan menggunakan

kata-kata sendiri, yang menunjukan bahwa perawat mendengar, apa yang

dikatakan atau yang dikemukakan klien.

5) Refleksi

Perawat mengulang kembali apa yang dibicarakan klien menunjukan

bahwa perawat mendengar dan mengerti apa yang dibicarakan klien.

6) Klarifikasi

Menjelaskan kembali ungkapan fikiran yang dikemukakan klien yang

kurang jelas bagi perawat, agar tidak terjadi salah pengertian.

7) Mengarahkan pembicaraan

Perawat membantu klien untuk memfokuskan pembicaraan agar lebih

spesifik dan terarah.

8) Membagi persepsi

Perawat mengungkapkan persepsinya tentang kliennya dan meminta

12

umpan balik dari klien.

9) Diam

Diam yang positif dan penuh penerimaan merupakan media teraperutik

yang sangat berharga karena dapat memotivasi klien untuk berbicara,

mengarahkan isi pikirannya kepada masalah yang dialaminya.

10) Memberi Informasi

Memberikan informasi kepada klien mengenai hal-hal yang tidak / belum

diketahuinya atau bila klien bertanya memberikan informasi.

11) Memberi saran

Merupakan tehnik komunikasi yang baik bila digunakan pada waktu

yang tepat dan cara yang kontruktif, sehingga klien bisa memilih.

12) Open - Ended Question

Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban " ya" dan "mungkin" tetapi

pertanyaan memerlukan jawaban yang luas. Sehingga klien dapat

mengemukakan masalahnya, perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau

dapat memberikan informasi yang diperlukan.

13) Eksplorasi

Menggali Iebih dalam ide-ide, pengalaman, masalah yang klien yang

perlu diketahui.

f. Psikologi dalam komunikasi

Kehadiran psikologis dapat dibagi dalam dua dimensi yaitu dimensi respon dan

dimensi tindakan ( Truax, Carkhoff dan Benerson, dikutif oleh Stuart dan

13

Sundeen, 1987. dalam keliat, 1992 ) yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Dimensi Respon

a) Keikhlasan

Perawat menyatakan melalui keterbukaan , kejujuran, ketulusan dan

berperan aktif dalam berhubungan dengan klien perawat berespon

dengan tulus, tidak berpura-pura, mengekpresikan perasaan yang

sebenarnya dan spontan.

b) Menghargai

Perawat menerima klien apa adanya. Sikap perawat harus tidak

menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek, atau tidak menghina rasa

menghargai, dapat dikomunikasikan melalui duduk diam bersama klien

yang menangis, minta maaf atas hal yang tidak disukai klien, menerima

permintaan klien untuk tidak menanyakan pengalaman tertentu..

c) Empati

Empati merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan klien agar dapat

merasakan pikiran dan perasaannya.Perawat memandang melalui

pandangan klien, merasakan melalui perasaan klien dan kemudian

mengidentifikasi masalah klien.

Mansfield ( dikutif oleh Stuart dan Sundeen, 1987, dalam keliat 1992 )

mengidentifikasi perilaku verbal yang menunjukan tingkat empati yang tinggi

sebagai berikut :

1) Memperkenalkan diri kepada klien

14

2) Kepala dan badan membungkuk kearah klien

3) Respon verbal terhadap pendapat klien, khususnya pada

kekuatan dan sumber daya klien

4) Kontak mata dan berespon pada tanda ion verbal klien misalnya,

nada suara, gelisah, ekspresi wajah

5) Tunjukan perhatian, minat, kehangatan melalui ekspresi wajah

6) Nada suara konsisten dengan ekspresi wajah dan respon verbal

d) Konkrit

Perawat menggunakan termonologi yang spesifik bukan abstrak

Ada tiga kegunannya yaitu :

1) Mempertahankan respon perawat terhadap perasaan klien

2) Memberi penjelasan yang akurat oleh perawat

3) Mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik

2. Dimensi Tindakan

Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegaran, keterbukaan , "emotional

chatarsis " dan bermain peran (Stuart dan Sundeen 2006) yaitu :

a. Konfrontasi

Konfrontasi merupakan ekspresi perasaan perawat tentang

perilaku klien yang tidak sesuai. Carkhoff (dikutip oleh Stuart

dan Sundeen, 2006), dalam keliat (2006) mengidentifikasi 3 (tiga)

kategori konfrontasi yaitu:

1) Ketidak sesuaian antara konsep klien ( ekspresi klien

tentang dirinya) dan ideal diri klien ( keinginan klien.)

15

2) Ketidak sesuaian antara ekspresi non verbal dan perilaku

klien.

3) Ketidak sesuaian antara pengalaman klein dan

pengalaman perawat

b. Kesegaran

Kesegaran berfokus pada interaksi dan hubungan perawat —

klien saat ini. Perawat sensitif terhadap perasaan klien dan

keinginan membantu dengan segera

c. Keterbukaan perawat

Pada keterbukaan perawat memberikan informasi tentang dirinya,

idealnya, perasaannya, sikapnya, nilainya.Perawat membuka diri

tentang pengalaman yang berguna untuk terapi klien.

d. " Emotional Catharsis"

Emosional katarsis terjadi jika klien diminta bicara tentang hal

yang sangat mengganggu dirinya, ketakutan, perasaan dan

pengalaman dibuka menjadi topik diskusi diantara perawat —

klien.

e. Bermain peran

Bermain peran adalah melakukan peran pada situasi tertentu. Hal

ini berguna untuk meningkatkan kesadaran dalam berhubungan

dan kemampuan melihat situasi dari pandangan orang

lain.Bermain peran menjembatani antara fikiran serta perilaku,

dan klien akan merasa bebas mempraktekkan perilaku baru pada

16

lingkungan yang aman.

g. Komunikasi Terapeutik Dalam Asuhan Keperawatan

Stuart dan Sundeen (2006) menguraikan pengertian komunikasi terapeutik

yaitu suatu proses yang melibatkan usaha¬usaha untuk membina hubungan

terapeutik antara perawat — klien dan saling membagi pikiran, perasaan dan

perilaku untuk membentuk keintiman yang terapeutik dan berorientasi pada

masa sekarang. Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien

sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat — klien. Bila perawat

tidak memperhatikan kualitas hubungan tersebut, maka hubungan perawat

— klien bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang

akhirnya akan mempercepat proses penyembuhan klien, akan tetapi lebih

kepada hubungan sosial biasa.

Menurut Stuart dan Sundeen dan Hunter (dikutip dari Hamid, 2000) bahwa

tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :

1. Realisasi diri, penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri

sendiri.

2. Identitas diri yang jelas dan rasa integritas diri yang tinggi.

3. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang

intim, saling tergantung dan mencintai.

4. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan

serta mencapai tujuan personal yang realitas.

Tujuan hubungan terapeutik akan tercapai apabila dalam melakukan helping

relationship perawat memiliki karakteristik sebagai berikut :

17

1. Kesadaran diri terhadap nilai yang dianutnya. Perawat harus mampu

menjelaskan tentang dirinya sendiri, keyakinannya, apa yang

menurutnya penting dalam kehidupan setelah itu barulah is akan mampu

menolong orang lain menjawab pertanyaan tentang hal-hal tersebut.

2. Kemampuan untuk menganalisa perasaanya sendiri. Perawat secara

bertahap belajar mengenal dan mengatasi berbagai

3. perasaan yang dialaminya seperti rasa malu, kecewa dan putus asa.

Kemampuan menjadi contoh peran.

Perawat perlu mempunyai pola dan gaya hidup yang sehat, termasuk

kemampuannya dalam menjaga kesehatan agar dapat dicontoh oleh

orang lain.

4. Altruistik

Perawat merasakan kepuasan karena mampu menolong orang lain

dengan cara manusiawi.

5. Rasa tanggung jawab etik dan moral

Setiap keputusan yang dibuat selalu memperhatikan prinsip¬prinsip

yang menjunjung tinggi kesehatan /kesejahteraan manusia.

6. Tanggung jawab

Ada dua dimensi tanggung jawab yang perlu diperhatikan yaitu

tanggung jawab terhadap tindakan sendiri dan berbagai tanggung jawab

dengan orang lain.

Dengan memiliki karakteristik tersebut diatas, maka diharapkan

perawat dapat menggunakan dirinya secara terapeutik sehingga secara

18

kondisi helping relationship dapat tercapai. Selain itu, untuk

mempertajam persepsi terhadap kebutuhan orang lain perlu

dikembangkan kemampuan empati. Empaa merupakan kemampuan

untuk memasuki kehidupan orang lain agar dapat mempersepsikan

pikiran dan perasaanya (Hamid, 2000). Melalui empati perawat dapat

mengetahui lebih dalam kebutuhan klien akan intervensi keperawatan

yang sesuai.

h. Sikap Dalam Komunikasi Terapeutik

Egan dalam Keliat (2003), mengidentifikasi lima sikap atau cara untuk

menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang

terapeutik, yaitu :

1. Berhadapan

Arti dari posisi ini adalah "saya siap untuk anda"

2. Mempertahankan kontak mata

Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien

dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

3. Membungkuk kearah klien

Posisi ini menunjukkan untuk mengatakan atau

mendengarkan sesuatu.

4. Mempertahankan sikap terbuka

Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan

untuk berkomunikasi.

5. Tetap relaks

19

Tetap relaks dapat mengontrol keseimbangan antara

ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon pada klien.

Selain hal- hal diatas, sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui

prilaku non verbal. Stuart dan Sundeen (2002) menyatakan ada lima kategori

komunikasi non verbal, yaitu :

1. Isyarat vokal yaitu isyarat para linguistik termasuk semua kualitas bicara

non verbal. Misalnya : tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan

kecepatan bicara.

2. Isyarat tindakan yaitu semua gerakan tubuh, termasuk ekspresi wajah dan

sikap tubuh.

3. Isyarat obyek yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak

sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.

4. Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua

orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma soaial budaya yang

dimiliki.

5. Sentuhan yaitu kontak fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi

non verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini

sangat dipengaruhi oleh tatanan dan Tatar belakang budaya, jenis

hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.

2. Kecemasan

a. Definisi Kecemasan

Kecemaasan merupakaan ketegangan, rasa tidak aman dan kekahwatiran yang

timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi

20

sumbernya sebagiaan besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (Dadang,

2001).Kecemasan merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan

ketakutan yang disertai dengan tanda somatic yang menyatakan terjadinya

hiperaktifitas system syaraf otonom, kecemasan merupakan gejala yang tidak

spesifik yang sering ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang

normal (Kusuma, 2000). Kecemasan merupakan respon terhadap suatu ancaman

yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar atau konfliktual (Sadock,

2001)

b. Gejala Kecemasan

Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala¬gejala yang

khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu:

1. Fase 1

Keadaan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh

mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-

cepatnya).Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari

peningkatan sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin. Oleh karena itu, maka

gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di otot dan kelelahan,

terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam persiapannya untuk

berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan akibatnya akan

menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung. Ketegangan

dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan gemetar

yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 2009). Pada fase

ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem syaraf yang

21

mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal mengolah

informasi yang ada secara benar (Asdie, 2009).

1. Fase 2

Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan

otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa

mengontrol emosinya dan tidak ada motifasi diri (Wilkie, 2009).Labilitas emosi

dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang beberapa saat

kemudian menjadi tertawa.Mudah menangis yang berkaitan dengan stres mudah

diketahui. Akan tetapi kadang¬kadang dari cara tertawa yang agak keras dapat

menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie, 2009).

Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti seseorang yang

menjatuhkan barang ke tanah, kemudian is berdiam diri saja beberapa lama

dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu (Asdie, 2009).

1. Fase 3

Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor

tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda

dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di

identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya

berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat

kaitannya dengan stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti :

intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap

sesuatu yang sebelumnya telah mampu is toierir, gangguan reaksi terhadap

sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 2009).

22

c. Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Dadang,

2008 ).

1. Kecemasan ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan

dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi

waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat

memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas.

Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel,

lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar,

motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

2. Kecemasan sedang; Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada

masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga

seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan

sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu

kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan

meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume

tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak

optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus

pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung,

tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis.

3. Kecemasan berat; Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.

Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada

sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal

23

lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada

tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur

(insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit,

tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan

keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak

berdaya, bingung, disorientasi.

4. Panik; Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena

mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu

melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang

terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi,

pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap

perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan

delusi.

d. Respon Fisiologis Terhadap Kecemasan

Lima respon fisiologis terhadap kecemasan, yaitu berdasarkan kardiovaskule,

respirasi, kulit, gastro intestinal dan neuromuskuler (Dadang, 2008 ).

1. Kardiovaskuler; Peningkatan tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar,

denyut nadi meningkat, tekanan nadi menurun, syock dan lain-lain.

2. Respirasi; napas cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.

3. Kulit: perasaan panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat

seluruh tubuh, rasa terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-

gatal.

24

4. Gastro intestinal; Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut,

rasa terbakar di epigastrium, nausea, diare.

5. Neuromuskuler: Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip,

insomnia, tremor, kejang, wajah tegang, gerakan lambat.

e. Respon Psikologis Terhadap Kecemasan

Tiga respon psikologis terhadap kecemasan, yaitu perilaku, kognitif dan

afektif (Dadang, 2008 ).

1. Perilaku; Gelisah, tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada

koordinasi, menarik diri, menghindar.

2. Kognitif; Gangguan perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah

tafsir, bloking, bingung, lapangan persepsi menurun, kesadaran diri

yang berlebihan, kawatir yang berlebihan, obyektifitas menurun, takut

kecelakaan, takut mati dan lain-lain.

3. Afektif; Tidak sabar, tegang, neurosis, tremor, gugup yang luar biasa,

sangat gelisah dan lain-lain.

3.Anestesi umum.

Anestesi umum adalah tindakan membuat pasien dari sadar menjadi tidak

sadar dengan obat-obatan dan bisa di bangunkan kembali(reversible),untuk

memulainya pembedahan/operasi.

Langkah-langkahnya dari kunjungan pra anestesi sampai 24 jam post

anastesi.

Anestesi umum mencakup trias anesthesia yaitu hypnosis, analgesi,

relaksasi. (Latief.dkk,2010).

Keuntungan Anestesia Umum :

Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis

25

berlangsung.

Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat ansietas

dan berbagai kejadian intraoperative yang mungkin memberikan trauma

psikologis.

Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.

Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.

Kerugian Anestesia Umum :

Sangat mempengaruhi fisiologis, hampir semua regulasi tubuh menjadi

tumpul di bawah anesthesia umum.

Memerlukan pemantauan yang lebih holistic dan rumit.

Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan syaraf pusat, misalnya

perubahan kesadaran.

Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar.

Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

Stadium-stadium Anestesia :

Stadium anesthesia. Klasifikasi ini disebut Klasifikasi Guedel yang

dibuat oleh Arthur Ernest Guedel pada tahun 1937, meliputi :

Stadium 1 (Induksi) : periode sejak masuknya obat induksi hingga

hilangnya kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya reflex bulu mata.

Stadium 2 (Eksitasi) : timbul eksitasi dan delirium, pernafasan irregular,

terjadi REM, timbul gerakan-gerakan involunter seringkali spastik, bias

terjadi muntah yang dapat membahayakan jalan napas, aritmia jantung

dapat terjadi, pupil dilatasi. Stadium ini beresiko tinggi.

Stadium 3 (Pembedahan) : dibagi atas 4 plana (plane), pada stadium ini

otot-otot skeletal akan relaks, pernafasan menjadi teratur, pembedahan

dapat dimulai.

o Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi

o Plana 2 : reflex kornea, dan reflex laring hilang

o Plana 3 : dilatasi pupil, reflex cahaya hilang

o Plana 4 : kelumpuhan otot intercostal, pernafasan menjadi

26

abdominal dan dangkal.

Stadium 4 : anestesi terlalu dalam, terjadi depresi berat semua system

tubuh, termasuk batang otak. Stadium ini letal.

Namun seiring berkembangnya teknologi, obat-obat induksi

sekarang bekerja lebih cepat melampaui stadium 2, sehingga hanya

dikenal 3 stadium dalam anesthesia yaitu induksi, rumatan, dan

emergensi.

Stadium-stadium Anestesi

a. Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi

anestesia, dengan tujuan melancarkan induksi, maintenance dan bangun

dari anestesia diantaranya:

- Meredakan kecemasan dan ketakutan

- Memperlancar induksi anestesia

- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

- Meminimalkan jumlah obat anestetik

- Mengurangi mual muntah pasca bedah

27

- Menciptakan amnesia

- Mengurangi isi cairan lambung

- Mengurangi refleks yang membahayakan

Obat-obatan:

1. Simetidin/Ranitidin

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan

pneumonitis asam, sehingga untuk menghindari kejadian tersebut,

dapat diberikan antagonis reseptor H2 (histamin), misalnya oral

simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum

operasi.

2. Ondansentron/Droperidol

Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan

suntikan IM untuk dewasa, droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4

mg (zofran, narfoz).

3. Opioid

Apabila disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan

Petidin 50 mg (IM).

4. Diazepam

Digunakan sebagai pereda kecemasan, 10-15 mg (per oral)

beberapa jam sebelum induksi anestesia.

b. Induksi

Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien sadar

menjadi tidak sadar dalam waktu yang cepat. Induksi anestesia dapat

diberikan secara intravena, inhalasi, intramuskular, atau rektal.

Induksi intravena

Obat induksi bolus disuntikkan dengan kecepatan antara 30-60 detik.

Selama induksi, pernapasan, nadi, dan tekanan darah harus selalu

diawasi dan selalu diberikan oksigen dan dikerjakan pada pasien

kooperatif.

Obat-obatan:

1. Tiopental (tiopenton, pentotal)

28

- Dosis: 3-7 mg/kgBB (IV); pada anak dan manula

digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.

Disuntikkan perlahan (dihabiskan dalam 30-60 detik), karena

larutan ini sangat alkalis (pH 10-11) sehingga suntikan keluar

vena menyebabkan nyeri hebat.

- Sediaan: ampul 500 mg atau 1000 mg. Dikemas dalam

bentuk bubuk berwarna kuning, berbau belerang. Sebelum

digunakan dilarutkan dalam akuades sampai kepekatan 2,5% (1

ml = 10 mg).

- Farmakokinetik

Tiopental dalam darah 70% diikat albumin, sisanya 30%

dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin

rendah dosis harus dikurangi.

- Efek

bergantung dosis dan kecepatan suntikan, pasien akan

berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesia atau

depresi napas.

Menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan

intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat

kekurangan O2.

Dosis rendah bersifat anti-analgesia

2. Propofol (recofol, diprivan)

- Dosis

Induksi: 2-3 mg/kgBB (IV dengan kepekatan 1%). Suntikan

IV sering menyebabkan nyeri sehingga 1 menit sebelumnya

sering diberikan lidocaine 1-2 mg/kgBB IV.

Maintenance anestesia intravena total: 4-12 mg/kgBB/ jam.

Sedasi pada perawatan intensif: 0,2 mg/kgBB

Pada manula dosis harus dikurangi

- Sediaan: dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna

putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10

29

mg). Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.

- Kontraindikasi: tidak dianjurkan pada wanita hamil dan

anak <3 tahun.

3. Ketamin (ketalar)

- Dosis: 1-2 mg/kgBB (IV)

- Sediaan: dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1

ml=10 mg), 5% (1 ml=50 mg) dan 10% (1 ml=100 mg)

- Efek

Sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,

nyeri kepala, pasca anestesia sering menimbulkan mual

muntah, pandangan kabur, mimpi buruk, atau halusinasi

(oleh karena itu dianjurkan memakai sedativa, contohnya

Midazolam/dormikum atau diazepam/valium dengan dosis

0,1 mg/kg IV dan untuk mengurangi hipersalivasi diberikan

sulfas atropin 0,01 mg/kg)

pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka

- Kontraindikasi

Tidak dianjurkan pada pasien TD tinggi (>160 mmHg)

4. Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanil)

- Dosis

dosis induksi: 20-50 mg/kg

dosis rumatan: 0,3-1 mg/kg/menit

- Efek

Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak

digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung

Induksi intramuskular

1. Ketamin (ketalar)

- Dosis: 5-7 mg/kgBB (IM) dan setelah 3-5 menit pasien

tidur.

Induksi inhalasi

Cara induksi ini digunakan pada bayi atau anak yang belum

30

terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.

1. Halotan/fluotan (MAC 0,72 vol%)

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 (dimulai dengan

aliran >4 L/menit) atau campuran N2O dan O2 (3:1 aliran >4

L/menit) dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi

yang dibutuhkan. Apabila pasien batuk, konsentrasi diturunkan

sampai tenang, setelah itu konsentrasi dinaikan kembali .

2. Sevofluran (MAC 2,05 vol%)

Lebih senang digunakan, karena pasien jarang batuk (baunya

tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas),

walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi

sampai 8 vol%. Kemudian konsentrasi dipertahankan sesuai

kebutuhan.

Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan

pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.

Efek

Kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan

aritmia

3. Lain-lain: enfluran, isofluran atau desfluran jarang digunakan,

karena sering merangsang batuk dan waktu induksi menjadi

lama.

Isofluran (MAC 1,12 vol%)

Efek

- menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,

tetapi meningkatkan aliran darah otak dan tekanan

intrakranial yang bisa dikurangi dengan teknik

anestesia hiperventilasi, sehingga isofluran banyak

digunakan untuk bedah otak.

- Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung

minimal, sehingga digemari untuk anestesia teknik

31

hipotensi dan banyak digunakan pada pasien

gangguan koroner

- Konsentrasi >1% terhadap uterus hamil menyebabkan

relaksasi dan kurang responsif jika diantisipasi dengan

oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan

pasca persalinan.

Induksi per rektal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi dengan tiopental atau

midazolam.

c. Maintenance (rumatan)

Rumatan anestesia dapat diberikan secara intravena (anestesia

intravena total), inhalasi, atau dengan campuran intravena inhalasi.

Rumatan anestesia mengacu pada trias anestesia, yaitu hipnosis (tidur

ringan), analgesia cukup, dan relaksasi dengan pelumpuh otot.

Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,

tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam.

Untuk mengembangkan paru, digunakan inhalasi dengan O2+air atau

N2O + O2.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2

(3:1) ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau

isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah

pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan

(controlled).

BAB III

KERANGKA KERJA PENELITIAN

32

A. Kerangka konsep penelitian

Skema 3.1

V. Independent V. Dependent

B. Hipotesis

Ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat

kecemasan pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum di RS.

Persahabatan Tahun 2010.

C. Definisi operasional

Tabel 3.1

33

Komunikasi TerapeutikPerawat

Tingkat KecemasanPasien

Variabel Definisi. Operasional Cara ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Variabel

Independent

komunikasi Perilaku perawat Kuesioner B Dikatagorikan Ordinal

terapeutik dalam berkomunikasi

secara terapeutik.

Tahapan komunikasi

yaitu :

1. Fase Prainteraksi :

masa persiapan

sebelum memulai

berhubungan dengan

klien

2. Fase Orientasi :

Fase ini dimulai pada

saat bertemu pertama

kalidengan klien.

Pada saat pertama kali

bertemu dengan klien

fase ini digunakan

menjadi ;

1 . Baik (jika

perawat

melakukan

komunikasi

terapeutiklmu

laidari fase

prainteraksi

sampaii

terminasi

setiap tindakan)

2. buruk (jika

perawat

kurang/tidak

melakukan

perawat untuk komunikasi

34

berkenalan dengan terapeutiklmulai

klien dan merupakan dari fase

langkah awal dalam prainteraksi

membina hubungan sampai

saling percaya. terminasi setiap

3. Fase Kerja : tindakan)

Tahap ini merupakan

inti dari keseluruhan

proses komunikasi

teraeutik.Tahap in i

perawat bersama klien

mengatasi masalah

yang dihadapi

klien.Perawat dan

klien mengeksplorasi

stressor dan

mendorong

perkembangan

kesadaran diri dengan

menghubungkan

persepsi, perasaan dan

perilaku klien.

4. Fase Terminasi :

35

Fase ini merupakan

fase yang sulit dan

penting, karena

hubungan saling

percaya sudah terbina

dan berada pada tingkat

optimal.

Perawat dan klien

keduanya merasa

kehilangan.

Variabel

Dependent

Tingkat Keadaan subjektif Kuesioner C Dikategorikan Ordinal

kecemasan pada pasien pra menjadi :

anestesi umum. Tinggi (Jika

pasien

mengalami

tingkat

kecemasan berat

- panik)

Rendah (Jika

pasien

36

menglami

kecemasan

ringan —

sedang)

BAB IV

METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

37

A. Desain Penelitan

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain :deskriptif

korelasi dengan pendekatan cross sectional dimana peneliti melakukan

pengukuran variabel hanya pada suatu saat (Sudiqdo & Sofyan, 2001). Desain

ini digunakan untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik perawat

terhadap tingkat kecemasan pasien yang menjalani anestesi umum di

RSUP.Persahabatan.

B. Populasi dan Sampel

Suatu populasi menunjukkan pada sekelompok subjek yang menjadi objek

atau sasaran penelitian (Notoatmodjo, 2002). Populasi adalah kumpulan individu

dimana suatu hasil penelitian akan dilakukan generalisasi (Arikunto, 2002).

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani anestesi umum di

RSUP.Persahabatan sebesar 126 orang.

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2003).Metode

pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling yaitu

pengambilan sampel yang digunakan tidak secara acak tetapi berdasarkan

pertimbangan atau atas tujuan tertentu.

Berdasarkan rumus maka jumlah sampel yang diperlukan :

N

38

n=

1 + N (d2)

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

d = derajat ketepatan yang direfleksikan oleh kesalahan yang

dapat ditoleransi

126

n =

1 + 126 (0,052)

= 95,817 sampel

Pembulatan menjadi 96 sampel

Sampel penelitian ini adalah 96 orang dengan kriteria inklusi sampel antara lain :

1. Pasien yang menjalani anastesi umum di RS. Persahabatan

2. Dapat membaca dan menulis

3. Sedang dalam keadaan sadar dan kooperatif

4. Bersedia menjadi responden

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di instalasi bedah sentral

RSUP.Persahabatan.Alasan peneliti memilih RSUP.Persahabatan karena sampel

pada tempat tersebut sesuai dengan kriteria penelitian dan mudah dijangkau

39

sehingga dapat memperoleh data dasar yang diperlukan. Waktu penelitian

difakukan setelah memperoleh surat izin dari pihak RSUP. Penelitian dimulai

dari Agustus hingga Desember 2011.

D. Etika Penelitian

Etika penelitian ini memakai confidentiality yaitu merupakan aspek yang

menjamin kerahasiaan data atau informasi.Penelitian yang menggunakan

manusia sebagai subyek tidak boleh bertentangan dengan etik. Tujuan penelitian

ini hams etis dalam arti hak responden harus dilindungi. Peneliti dengan

menekankan masalah etika yaitu menjelaskan maksud dan tujuan setelah itu

diedarkan lembar persetujuan sebelum penelitian dilaksanakan.Jika responden

bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan tersebut dan

menjaga kerahasiaan identitas responden. Jika responden tidak bersedia mengisi

kuesioner peneliti tidak memaksa dan peneliti mencari responden lain yang

bersedia sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan. Dalam kuesioner

responden tidak dianjurkan mengisi nama, dalam kuesioner hanya dicantumkan

kode. Setelah responden bersedia mengisi kuesioner peneliti mengumpulkan

semua kuesioner yang telah di isi responden lalu memeriksanya kembali,

sehingga jika terdapat kesalahan pengisian atau data kurang lengkap peneliti

dapat meminta kembali responden untuk memperbaiki.

E. Alat Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah berupa

kuesioner.Jenis skala pengukuran dalam kuesioner berbentuk skala likert. Data

dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik

40

pengumpulan data primer yaitu didapatkan secara langsung dari responden

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti melalui kuesioner yang terdiri dari

2 bagian yaitu data demografi, 20 pernyataan terkait komunikasi terapeutik dan

20 pernyataan terkait tingkat kecemasan.

Adapun kisi-kisi kuesioner sebagai berikut :

No Variabel Indikator No Soal

1

Kuesioner A

Data Demografi

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Pendidikan

4. Pekerjaan

1. >30tahun, < 30 tahun

2.Laki-laki,perempuan

3. .Tidak lulus SD, SD,

SMP, SMA, Akademik/

Perguruan tinggi

Tabel 4.1

4. Pegawai swasta,

pegawai negeri, ibu

rumah tangga, lain-

lain2 Kuesioner B

Komunikasi

Terapeutik

1.Fase Pralnteraksi

2. Fase Orientasi

3. Fase kerja

1.Pertanyaan

1,2,3.

2.Pertanyaan 4

dan 5

3.Pertanyaan 6

41

3 Kuesioner C

Tingkat

kecemasan

1.Kecemasan

rendah

(kecemasan

rendah dan

sedang) 2.

Kecemasan

tingg

(kecemasan

berat dan

1.Pertanyaan 1

s/d 8

2.Pertanyaan 9

s/d 20

F. Validitas dan Reabilitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat

kevalidan atau kesyahan suatu instrument. Suatu instrumen dikatakan valid

apabila mampu mengukur apa yang diinginkannya dan dapat mengungkapkan

data variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2002). Suatu pernyataan

dikatakan valid dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r

hitung (Kaplan & Saccuzo, 2006).Reabilitas suatu konstruk variabel baik jika

memiliki nilai Alpha dalam kuesioner hanya dicantumkan kode.Setelah

responden bersedia mengisi kuesioner peneliti mengumpulkan semua kuesioner

yang telah di isi responden lalu memeriksanya kembali, sehingga jika terdapat

kesalahan pengisian atau data kurang lengkap peneliti dapat meminta kembali

responden untuk memperbaiki.

E. Alat Pengumpulan Data

42

Instrumen yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah berupa

kuesioner.Jenis skala pengukuran dalam kuesioner berbentuk skala likert. Data

dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik

pengumpulan data primer yaitu didapatkan secara langsung dari responden

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti melalui kuesioner yang terdiri dari

2 bagian yaitu data demografi, 20 pernyataan terkait komunikasi terapeutik dan

20 pernyataan terkait tingkat kecemasan.

Adapun kisi-kisi kuesioner sebagai berikut :

Tabel 4.1

No Indikator No. Soal

1 Kuesioner A

Data Demografi

1 (usia), 2 (jenis kelamin),

3 (pendidikan), 4 (pekerjaan)

2 Kuesioner B 1 (+), 2 (+), 3 (+), 4 (+), 5 (+), 6

Komunikasi Terapeutik (+), 7 (+), 8 (+), 9 (+), 10 (+),11 (-), 12 (+), 13 (+), 14 (+), 15

(-), 16 (-), 17 (-), 18 (-), 19 (-),

20 (-)

3 Kuesioner C 1(-), 2 (+), 3 (+), 4 (-), 5 (-), 6

Tingkat Kecemasan (-), 8 (-), 9 (-), 10 (-), 11 (-), 12

(-), 13 (-), 14 (-), 15 (+), 16 (-),

17 (-), 18 (+), 19 (+) 20 (-)

43

F. Validitas dan Reabilitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat

kevalidan atau kesyahan suatu instrument. Suatu instrumen dikatakan valid

apabila mampu mengukur apa yang diinginkannya dan dapat mengungkapkan

data variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2002). Suatu pernyataan

dikatakan valid dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r

hitung (Kaplan & Saccuzo, 2006). Reabilitasbsuatu konstruk variabel baik jika

memiliki nilai Alpha Cronbach > 0,60 Nugroho, 2005. Uji validitas ini

dilakukan untuk setiap item pertanyaan pada instrumen penelitian. Untuk

menguji validitas variabel tindakan yang berupa skore dalam skala ordinal

(tingkatan) digunakan teknik korelasi product moment yang dirumuskan sebagai

berikut :

R = n ( ∑XY ) - ( ∑X ∑Y )

√ ( n∑X2 ) - ( ∑X2 ) ( n∑Y2 ) - ( ∑Y2 )

Keterangan

n : Jumlah reponden

∑XY : Jumlah dari perkalian skor item dengan skor total

∑X : Jumlah dari skor item

∑Y : Jumlah dari skor total

Uji validitas instrument dalam penelitian ini dilakukan. di RS. Kanker

Dharmais dengan jumlah responden 20 orang.Berdasarkan uji statistik maka

dapat disimpulkan bahwa instrument penelitian dikatakan valid jika diperoleh

nilai r hitung > r tabel.Pada penelitian ini adalah 0,444.Hasil uji validitas pada

44

penelitian ini menunjukkan rentang 0,000 — 0, 974 semua kuesioner dinyatakan

valid.

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan

sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan

pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan

alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2002). Sekumpulan pertanyaan untuk

mengukur suatu variabel dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitasnya lebih

atau sama dengan 0,700 (Kaplan & Saccuzo, 2006). Uji reliabilitas yang

digunakan untuk variabel tindakan yang berupa skor dalam skala ordinal

(tingkatan) adalah teknik koefisien reliabilitas alpha cronbach dengan rumus

sebagai berikut :

r = ( k ) ( 1 - ∑αb2)

( k- 1 ) αt2 (Arikunto, 2001 )

Keterangan :

r : rehabilitas instrument

k : banyaknya butir pertanyaan

∑αb2 : jumlah varians butir

αt2 : varians total

Hasil uji reabilitaS pada penelitian ini didapat nilai alpha 0,974 artinya

kuesioner tersebut mempunyai reabilitas tinggi dengan nilai alpha coronbach

melebihi angka kritik dan mendekati nilai 1.

G. Metode Pengumpulan Data

45

Metode pengumpulan data akan dilakukan berdasarkan prosedur :

1. Selama responden mengisi kuesioner, peneliti akan berada disamping

responden, agar bila ada pertanyaan dari responden, peneliti dapat

langsung menjawab dan menjelaskannya.

2. Responden akan menyerahkan seluruh paket kuesioner setelah pengisian

kuesioner dianggap selesai.

3. Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan bila ada kuesioner yang

belum lengkap, langsung dilengkapi saat itu juga. Bila kuesioner sudah

lengkap maka peneliti mengakhiri pertemuan dan mengucapkan terima

kasih kepada responden atas kesediaan dalam membantu penelitian.

H. Pengolahan Data

Data yang terkumpul lau diolah dan diproses melalui tahapan, sebagai berikut :

1. Editing Data/memeriksa

Kegiatan yang dilakukan setelah selesai menghimpun data lapangan.Data

yang ada seluruhnya diteliti apakah sudah benar, jelas dan lengkap sesuai

dengan yang diinginkan.

2. Coding Datal Proses Pemberian Identitas Data yang sudah diedit diberi

identitas sesuai dengan pertanyaan dan kelompoknya sehingga memiliki

arti tertentu pada saat dianalisis.

3. Sorting

Adalah mensortir dengan memilih atau mengelompokkan data menurut

jenis yang dikehendaki (klasifikasi data).

46

4. Entry data

Jawaban-jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan

dalam Label dengan cara menghitung frekuensi data.

5. Cleaning

Pembersihan data, lihat variabel apakah data sudah benar atau belum.

I. Analisa Data

Tabulasi/ Proses Pembeberan

Data setelah diatur kemudian diringkas dan dipadatkan kemudian memasukkan

data pada tabel-tabel tertentu dan mengatur angka-angka serta menghitungnya.

1. Analisa Data

Setelah data diolah kemudian dianalisa, sehingga hasil analisa data dapat

digunakan sebagai bahan pengambiian keputusan dalam penanggulangan

masalah.

Analisa Data ada 2 tahap yaitu :

a. Analisa univariat

Analisis ini untuk mendapatkan gambaran pada masing-masing variable.

Gambaran yang didapat akan dimasukkan ke dalam bentuk table

frekuensi dan akan di gunakan untuk uji statistic korelasi. Tabel

frekuensi pada analisis ini bertujuan untuk menggambarkan responden

sesuai karakteristik.

b. Analisa Bivariat

Setelah data-data diolah dengan menggunakan analisa univariat

kemudian diolah dengan analisa bivariat.Penelitian ini variabelnya

47

menggunakan data kategori sehingga dalam menganalisa data peneliti

menggunakan uji chi square. Menurut Hastono (2001) pembuktian uji chi

square dengan menggunakan rumus:

X2= ∑ (O – E )2 Df = (k – 1) (b – 1)

Keterangan :

X2= Proporsi

E = Ekspetasi

O = Observasi

Untuk melihat ada tidaknya hubungan dengan menggunakan uji

kemaknaan p value < 0,05, bila nilai frekuensi observasi dengan nilai harapan

sama (p value > 0,05), maka dikatakan tidak ada hubungan, sebaliknya bila nilai

frekuensi observasi dengan nilai frekuensi harapan berbeda (p value < 0,05)

maka dikatakan ada hubungan antara kedua variabel. (Kazana, 2000).

J. Jadwal Penelitian

Tabel 4.2

KegiatanAgust Sept Okt Nov Des

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4Identifikasi Masalah

Studi Menyusun Kerangka Konsep

Menyusun Metode _Menyerahkan Proposal _Mengurus PerijinanMengumpulkan Data PresentasiPenyerahan Laporan

48

BAB V

HASIL PENELITIAN

Dari wawancara dan pengisian kueioner yang dilakukan kepada 30 orang

pasien di ruang anestesi RS. Persahabatan Jakarta, yang akan dijabarkan sebagai

berikut :

A. Analisa Univariat

1. Hasil analisa univariat tingkat usia responden dalam tingkat kecemasan

yang menjelaskan bahwa usia merupakan faktor internal seseorang untuk

menentukan kesiapan dan memutuskan dan bertindak secara umum

(Gibson, 2000)

Tabel 5.1 Persentase tingkat usia responden dalam tingkat

kecemasan pada pasien yang menjalani anastesi umum

RS. Persahabatan

< 30 tahun> 30 tahun

Tabel 5.1 diatas menunjukkan usia responden sebagian besar

berusia> 30 ( 64,5%) tahun.

2. Menurut teori (Siagian, 2004) mengatakan bahwa latar belakang

49

pendidikan akan mempengaruhi perilaku seseorang.

Tabel 5.2 Persentase tingkat pendidikan responden dalam tingkat

kecemasan pada pasien yang menjalani anastesi umum

di RS. Persahabatan

Persentase Tingkat Pendidikan

Responden

Tidak Lulus SD

SD

SMP

SMA

AKADEMI/PT

Tabel 5.2 di atas menunjukkan pendidikan pasien di instalasi anastesi

umum RS.Persahabatan sebagian besar berpendidikan SMA (32, 3%).

3. Hasil analisis univariat pada jenis kelamin yaitu laki — laki. Hasugian,

2000 mengatakan laki — laki yang yang sering berkatifitas yang rentan

akan penyakit akibat kerja atau lingkungan.

Tabel 5.3 Persentase jenis kelamin responden dalam tingkat

50

kecemasan pada pasien yang menjalani anastesi umum

di RS. Persahabatan

laki - lakiPerempuan

Tabel 5.3 di atas menunjukkan jenis kelamin responden yang menjalani

anastesi umum di RS. Persahabatan sebagian besar berjenis kelamin laki-

laki (58, 3%)

4. Hasil analisis univariat tingkat pekerjaan responden menyatakan banyak

51

pasien yang berobat di RS. Persahabatan bekerja sebagai pegawai swasta.

Tabel 5.4 Persentase tingkat pekerjaan responden dalam tingkat

kecemasan pada pasien yang menjalani anastesi umum

di RS. Persahabatan

Pegawai SwastaPegawai NegeriIRTLain - lain

Tabel 5.4 di atas menunjukkan tingkat pekerjaan responden yang

menjalani anastesi umum di RS.Persahabatan sebagian besar pegawai

swasta (40, 6%).

5. hasil analisis univariat Purwanto (2004) mengemukakan komunikasi

terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan

52

dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan klien.

Tabel 5.5 Persentase komunikasi terapeutik perawat

di instalasi anastesi RS. Persahabatan

BaikBuruk

Tabel 5.5 di atas menunjukkan komunikasi terapeutik responden yang

menjalani anastesi di RS.Persahabatan sebagian besar baik (59, 4%).

6. Hasil analisa univariat Kecemaasan merupakaan ketegangan, rasa tidak

aman dan kekahwatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang

53

tidak menyenangkan tetapi sumbernya sebagiaan besar tidak diketahui

dan berasal dari dalam (Depkes RI, 2005).

Tabel 5.6 Persentase tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani

anastesi umum di RS. Persahabatan

Tinggirendah

Tabel 5.5 di atas menunjukkan tingkat kecemasan responden yang

menjalani anastesi di RS.Persahabatan sebagian besar yaitu tinggi (65,

6%).

B. Analisa Bivariat

Hasil analisa bivariat hubungan komunikasi terapeutik perawat

54

dengan tingkat kecemasan pasien yanip menjalani operasi dengan

anestesi umum di RS. Persahabatan tahun 2010 yaitu :

Tabel 5.7 Analisa hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan

tingkat kecemasan pasien yang menjalani operasi dengan anestesi

umum di RS. PersahabatanKomunikasi Terapeutik Responden

Tingkat Kecemasan Responden

OR P

Tinggi % Rendah %

Baik 55 96,5 2 3,5 6,500 0, 000

Buruk 24 61,5 15 38,5

TOTAL 79 82,3 17 17,7

Dari tabel di atas didapatkan data bahwa komunikasi

terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pada pasien yang

menjalani operasi dengan anastesi umum di RS.Persahabatan, 55

dari 57 (96, 5%) mempunyai komunikasi terapeutik baik dan

mempunyai tingkat kecemasan yang tinggi, sedangkan 24 dari 39

(61, 5%) pada pasien yang menjalani operasi dengan anastesi umum

mempunyai tingkat kecemasan yang tinggi dan komunikasi

terapeutik yang buruk. Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p

= 0, 000, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pada

pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum di RS.

Persahabatan.

BAB VI

55

PEMBAHASAN

Pada bab ini akan membahas tentang interprestasi dan diskusi

penelitian dan keterbatasan penelitian

A. Interprestasi Hasil

Hasil penelitian tentang hubungan komunikasi terapeutik perawat

dengan tin gkat kecemasan pada pasien yang menjalani anastesi umum di

RS.Persahabatan telah dianalisa menggunakan uji statistik Chi Square.

Hasil analisa menunjukkan bahwa :

1. Berdasarkan variabel penelitian didapatkan data bahwa komunikasi

terapeutik responden yaitu sebanyak 57 dari 96 responden (59, 4%) yaitu

baik, sedangkan 39 dari 96 responden (40, 6%) mempunyai komunikasi

terapeutik yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi

terapeutik responden di ruang anastesi umum RS. Persahabatan yaitu

baik.

Berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa komunikasi terapeutik

perawat sebagian besar baik.Sesuai dengan hasil penelitian Manurung,

2003 dengan judul hubungan karakteristik individu dan organisasi

dengan penerapan komunikasi terapeutik di ruang anastesi umum

RS.Persahabatan dengan hasil 94, 6% penerapan komunikasi terapeutik

individu dan organisasi sebagian besar baik.Purwanto (2004)

mengemukakan komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang

direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk

56

kesembuhan klien.Hubungan interpersonal antara perawat klien

berdasarkan atas hubungan saling percaya yang berdampak terapeutik

dengan tujuan mempercepat penyembuhan klien.Interaksi perawat klien

yang terapeutik yaitu melalui penggunaaan tehnik komunikasi terapeutik

(Stuart & Sunden, 1991).Kenyataannya dilapangan perawat sudah

melakukan teknik komunikasi hanya raja karena beban kerja yang

banyak terkadang perawat tidak melaksanakan semua fase komunikasi,

mereka lupa dalam fase orientasi langsung focus pada fase kerja.

2. Berdasarkan variabel penelitian didapatkan data bahwa tingkat

kecemasan responden yaitu sebanyak 63 dari 96 responden (65, 6%)

yaitu tinggi, sedangkan 33 dari 96 responden (34, 4%) yaitu rendah.. Hal

ini menunjukkan bahwa tingkat kecemasan pasien yang menjalani

anastesi umum terbanyak yaitu tinggi.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa tingkat kecemasan

responden terbanyak yaitu tinggi.Kecemaasan pasien merupakaan

ketegangan, rasa tidak aman dan kekahwatiran yang timbul karena

dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi sumbernya

sebagiaan besar tidak diketahui dan berasal dari dalam (Dadang,

2001).Hasil yang didapatkan dilapangan sebagian besar pasien

mengalami kecemasan karena Rasa cemas dan takut yang dirasakan

pasien yaitu anestesi umum menyebabkan hilangnya kesadaran ditambah

lagi tindakan operasi juga menimbulkan rasa sakit dan kehilangan

sebagian anggota tubuh, nyeri, invalid, keganasan, gagal kondisi menjadi

57

lebih buruk.

3. Berdasakan analisa bivariat hasil analisa komunikasi terapeutik perawat

dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani anastesi umum di RS.

Persahabatan, 55 dari 57 (96, 5%) mempunyai komunikasi terapeutik

baik dan mempunyai tingkat kecemasan yang tinggi, sedangkan 24 dari

39 (61, 5%) pada pasien yang menjalani anastesi umum mempunyai

tingkat kecemasan yang tinggi dan komunikasi terapeutik yang buruk.

Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p = 0, 000, maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara komunikasi terapeutik perawat

dengan tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani anastesi umum di

RS. Persahabatan.

Stuart dan Sundeen (2002) menguraikan pengertian komunikasi

terapeutik yaitu suatu proses yang melibatkan usaha-usaha untuk

membina hubungan terapeutik antara perawat — klien dan saling

membagi pikiran, perasaan dan perilaku untuk membentuk keintiman

yang terapeutik dan berorientasi pada masa sekarang. Kualitas asuhan

keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh

kualitas hubungan perawat - klien. Bila perawat tidak memperhatikan

kualitas hubungan tersebut, maka hubungan perawat — klien bukanlah

hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang akhirnya akan

mempercepat proses penyembuhan klien. Hasil penellitian menyatakan

bahwa komunikasi perawat baik sedangkan tingkat kecemasan responden

tinggi. Rasa cemas dan takut yang dirasakan pasien yaitu anestesi umum

58

menyebabkan hilangnya kesadaran ditambah lagi tindakan operasi juga

menimbulkan rasa sakit dan kehilangan sebagian anggota tubuh, nyeri,

invalid, keganasan, gagal kondisi menjadi lebih buruk serta beban kerja

perawat yang terlalu banyak sehingga terkadang perawat dalam

menangani pasien lupa untuk melakukan kontrak dengan pasien, senyum

dan sapa dan terkadang perawat menjadi tidak ramah/judes sehingga

secara tidak langsung membuat pasien cemas, hasil observasi terhadap

perawat mengenai komunikasi terapeutik didapatkan bahwa komunikasi

terapeutik yang dilakukan pada pasien sudah dilakukan mulai dari fase

orientasi sampai dengan terminasi hanya saja belum optimal, seperti

yang dijelaskan diatas terkadang karena beban kerja yang terlalu banyak

sehingga perawat melupakan fase-fase dalam komunikasi.

Kecemasan adalah perasaan yang subyektif, suatu perasaan yang

tidak spesifik atas ketidaknyamanan, ketegangan juga ketidakamanan,

dan ini adalah suatu respon yang normal untuk melindungi seseorang

terhadap sesuatu yang mengancam fisik, psikologi, integritas sosial,

harga diri dan status (Dadang, 2001).

Pada fase kerja, perawat dan klien mengeksplorasi stressor yang

dapat dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan

menghubungkan persepsi, perasaan, dan perbuatan klien.Perubahan

perilaku meladaptif menjadi adaptif merupakan fokus fase ini.Disamping

itu pada kenyataannya dalam menjalankan tindakan keperawatan, klien

sering tidak kooperatif.Untuk itu menghadapi rasa keeetnasan yang

59

timbul pada pasien perawat belajar bertingkah laku asertif (Dadang,

2001).Cemas itu timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stres atau

konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang dari luar maupun

dalam diri sendiri, itu akan menimbulkan respons dari sistem saraf yang

mengatur pelepasan hormon tertentu (Dadang, 2001). Akibat pelepasan

hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti

lambung, jantung, pembuluh darah maupun alat-alat gerak.

B. Keterbatasan Penelitian

Selama proses penelitian masih terdapat keterbatasan yang terjadi karena

peneliti masih merupakan peneliti pemula. Dalam menentukan desain penelitian,

peneliti menggunakan deskriptif korelasi dan uji coba chi square untuk menguji

hipotesanya, sehingga hasilnya hanya berupa ada hubungan atau tidak ada

hubungan, namun tidak menjelaskan seberapa erat hubungan antar variabel. Dan

waktu yang digunakan sangat terbatas.

BAB VII

60

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian di Instalasi anestesi RS Persahabatan Jakarta Tahun 2011

mengen1ai hubungan komunikasi terapeutik dengantingkat kecemasan pada

pasien yang menjalani anestesi umum di RS Persahabatan sebagai berikut:

1. Berdasaran variable penelitian didapatkan data bahwa komunikasi

terapeutik responden baik sebanyak 57 dari 96 responden sedangkan

39 dari 96 responden yang mempunyai komunikasi terapeutik yang

buruk.

2. Berdasarkan variable penelitian didapatkan data bahwa tingkat

kecemasan respoden tinggi sebanyak 63 dari 96 responden sedangkan

33 dari 96 responden yang mempunyai tingkat kecemasan yang

rendah. Hal ini menunjulckan bahwa tingkat kecemasan pasien yang

menjalani anestesi umum di RS Persahabatan masih tinggi.

3. Berdasarkan analisa bivariat hasil analisa komunikasi terapeutik

perawat dengan tingkat kecemasan pasien yang menjalani anestesi

umum di RS Persahabatan 57 dari 96 responden mempunyai

komunikasi terapeutik baik dan mempunyai tingkat kecemasan yang

tinggi, sedangkan 2-4 dari 39 responden mempunyai tingkat

kecemasan yang tinggi dan komunikasi terapeutik yang buruk.Hasil

uji statistic chi squarediperoleh nilai p = 0.000,maka dapat

disimpulkan bahwa ada hubungan antara komunikasi terapeutik

61

perawat dengan tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani

anestesi umum di RS Umum Persahabatan.

B. Saran

Dengan diketahuinya ubungan komunikasi terapeutik perawat dengan

tingkat kecemasan pada pasien yang menjalani anestesi umum di RS

Persahabatan, maka saran yang dapat diajukan sebagai berikut :

1. Perawat

Dapat meningkatkan kemampuan perawat untuk dapat memberikan

pelayanan kesehatan dengan lebih baik yang mencakup keterampilan

intelektual, teknikal dan hubungan interpersonal yang tercermin dalam

pemberian informasi tentang prosedur anestesi umum yang akan dijalani

oleh pasien.

2. Pasien

Memberi penjelasan kepada pasien melakukan relaksasi untuk

mengurangi kecemasan.

3. Untuk peneliti selanjutnya

Sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti secara

analitik dengan menggunakan data instrument yang lebih akurat.

4. Pendidikan

Sebagai media dalam menambah wawasan pengetahuan dan

keterampilan mahasiswa keperawatan.

5. Rumah Sakit

62

Sebagai masukan khususnya perawat di Ruang anestesi dan ruang rawat

RS Persahabatan untuk lebih memperhatikan kebutuhan pasien.

DAFTAR LAMPIRAN

63

Lampiran 1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden.

Lampiran 2. Lembar Persetujuan (Informed ConseAt)

Lampiran 3. Petujuk Umum Pengisian Kuesioner

Lampiran 4. Instrumen Penelitian (Kuesioner)

Lampiran 5. Surat Perizinan Pengambilan Data

Lampiran 6. Lembar Konsul

DAFTAR PUSTAKA

64

Craven, J.C. (2003). Fundamental Of Nursing. Philadephia

Dadang.(2001). Manajemen Stress, Cemas dan Depresi.Jakarta : KF-UI

Dahlan, Sopiyudin. (2004). Statistika Untuk Kedokteran Dan

Kesehatan.Jakarta : PT. ARKANS.

Depkes.(2004). Modul Analisis Data Mengguinakan SPSS.Jakarta : Depkes RI

Hamid. (2000). Makalah Komunikasi Terapeutik Jakarta : FIK-UI

http://evantherapy.wordpress.com

Keliat.(1992). Komunikasi Organisasi.Bandung : PT. Remaja

Keliat.(2002). Hubungan Terapeutik Perawat-Klien.Jakarta : Balai Kedokteran

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan.Jakarta : PT

Rineka Cipta.

Purvvanto. (2004). Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung :

CV.Remadja Karya Setiadi. (2007) Konsep dan Penulisan Riset

Keperawatan.Yogyakarta : Graha Ilmu. Siagian.(2001). Pendidikan dan

Pengetahuan.Yogyakarta : ANDI

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner

&Suddarth.Jakarta : EGC.

Sondang, Siagian. (2004). Teori Motivasi Dan Aplikasinya.Jakarta : Rineka

Cipta Stuart & Sundeen, (1995). Tahapan Interaksi. Jakarta : EGC

Suryani.(2005). Komunikasi Terapeutik.Jakarta : EGC.

Widyatun.(2000). Ilmu Prilaku.Jakarta : Sagung Seto

Wijaya.(2000). Statistika Non Parametrik.Bandung : ALFABETA.

Lampiran 1

65

Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Permohonan Menjadi Responden

Responden yang terhormat,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah Mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Jakarta .Nama :NENGRATWATY

NPM : 2013727028

Akan mengadakan penelitian yang berjudul " Hubungan Komunikasi Terapeutik

Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien Yang Menjalani Anastesi

Umum di RS.Persahabatan".Bersama ini saya mohon kesediaan Bpk/Ibu/Sdr/I

untuk menandatangani lembar persetujuan serta menjawab semua pertanyaan-

pertanyaan dalam lembar kuesioner sesuai dengan petunjuk yang ada. Jawaban-

jawaban yang saudara berikan akan saya jaga kerahasiaannya.

Atas kesediaannya saudara berperan serta sebagai responden dalam penelitian

ini, saya ucapkan terima kasih.

TTD Peneliti

Lampiran 2

66

Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Setelah saya mendengar penjelasan dari peneliti (Nengrat

waty. .Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah

Jakarta .

Dengan ini menyatakan, bahwa saya bersedia menjadi responden pada

penelitian yang berjudul "Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan

Tingkat Kecemasan Pada Pasien Yang Menjalani Anastesi Umum di

RS.Persahabatan", tanpa paksaan dari siapapun dan mengerti segala resiko yang

ditimbulkan.

TTD Respoden

67

Lampiran 3

Petunjuk umum pengisian kuesioner :

1. Responden diharapkan mengisi seluruh pertanyaan sesuai dengan

petunjuk

2. pengisian.

3. Bentuk jawaban pada daftar pertanyaan ditulis dengan memberikan

tanda (/) pada kolom yang tersedia.

4. Jika responden ingin mengganti jawaban pertama yang salah, tidak

perlu menggunakan penghapus tetapi cukup memberi tanda (x) pada

tanda check list di kolom yang salah, kemudian beri tanda (J) pada

jawaban yang dianggap benar.

5. Responden dapat langsung bertanya pada peneliti jika ada kesulitan

dalam menjawab pertanyaan.

68

Lampiran 4

Instrumen Penelitian

Berikut ini adalah data demografi responden dan pernyataan-pernyataan tentang

komunikasi terapeutik.Anda diminta untuk memilih peryataan yang sesuai

dengan pengalaman anda.Bacalah setiap pernyatnan di bawah ini dengan

seksama kemudian berikan tanda ('q) pada kolom yang telah disediakan.

A. Data Demografi

1. Usia Anda : > 30 tahun

: < 30 tahun

2. Jenis Kelamin : Laki-laki

: Perempuan

3. Pendidikan terakhir : tidak lulus SD

SD

SMP

SMA

AKADEMI Perguruan Tinggi

4. Pekerjaan : Pegawai Swasta

Pegawai Negeri

Ibu Rumah Tangga

Lain – Lain

69

B. Pernyataan Terkait Komunikasi Terapeutik

Petunjuk Pengisian :

Pilihlah salah satu jawaban dibawah ini dengan membubuhkan cek list (\A pada

kotak : Sering Dilakukan (SD), Sering (S), Dilakukan (D), Tidak Dilakukan

(TD).

No Pernyataan SD4

S3

D

2TD1

1. Perawat memperkenalkan diri pada awal pertemuan

2. Perawat memanggil nama pasien dengan benar dan sopan

3. Perawat menjelaskan tugas dan tanggung jawabnya

4. Menurut saya, perawat selalu berhadapan dengan pasien saat berbicara

5. Perawat menjaga kontak mata kepada pasien saat berbicara

6. Perawat menjelaskan tujuan dari setiap tindakan keperawatan yang dilakukan

7. Perawat menentukan topik pembicaraan bila melakukan komunikasi dengan pasien

8. Perawat mengajak pasien untuk menentukan waktu dari lamanya pembicaraan

9. Perawat mendengarkan keluhart pasien dengan sabar

8. Perawat membantu pasien mengungkapkan perasaanya

9. Perawat mengkritik pasien

70

10. Perawat mengulang kembali pencapaian tujuan yang telah didapat dari pembicaraan yang telah dilakukan

11. Perawat bertanya pada pasien tentangperasaan pasien pada akhir pertemuan

12. Perawat menyediakan waktu untuk merencanakan kegiatan-kegiatan berikutnya dengan pasien

13. Perawat tidak pernah mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi

8. Perawat jarang menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien

9. Memberikan salam terapeutik tidak disertai mengulurkan tangan jabatan tangan

10. Tidak saling menyepakati tindak lanjutterhadap interaksi yang telah dilakukan

11. Tidak mempertahankan sikap terbuka, melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.

12. Tidak mendengarkan dengan penuh perhatian

C. Pernyataan Terkait Kecemasan

Petunjuk Pengisian :

Pilihlah salah satu jawaban dibawah ini dengan membubuhkan cek list (A pada

kotak :Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Kurang Setuju (KS), Tidak Setuju (TS).

71

No Pernyataan SS1

S2

KS3

TS4

1. Menderita gangguan cemas manakala yang bersangkutan tidak mampu mengatasi stressor psikososial yang dihadapinya

2. Saya mempunyai kepribadian pencemas yaitu khawatir, tidak tenang, gelisah, cemas dan ragu, tetapi dengan caringnya perawat ruangan membuat kecemasan saya berkurang

1.Keramahan perawat mengurangi rasa cemas yang timbul

3. Saat khawatir berlebihan terhadap penyakit yang diderita seringkali mengeluh keluhan somatik (pusing,mual,sakit,mag)

4. Dengan mendengar alat-alat yang terdengar di ruang kamar operasi membuat saya tegang, tidak tenang, gelisah dan cemas5. Memikirkan penyakit yang saya derita dan biaya pengobatan membuat saya mengalami gangguan pola tidur, mimpi hal-hal yang menegangkan

6. Kebisingan yang dilakukan perawat dengan mengobrol membuat saya menjadi tegang dan cemas

7. Rasa khawatir tentang hal-hal yang akan datang seperti kesembuhan, biaya dapat menimbulkan cemas dan

membayangkan akan datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain

9. Kewaspadaan berlebih akan menimbulkan sukar tidur, merasa nyeri dan sukar konsentrasi

72

9. Suara-suara yang ada di ruang Kamar operasi membuat saya cemas

10. Keluhan somatik seperti berdebar-debar, sesak nafas dll salah satu efek dari rasa cemas yang timbul pada diri

11. Ketegangan yang berlebih membuat tubuh gemetar, nyeri otot, letih dan mudah kaget

12. Rasa cemas dapat menimbulkan keluhan secara psikis dan fisik

13. Rasa cemas timbul bisa dari lingkungan sekitar

14. Rasa cemas yang meredah dapat mempercepat kesembuhan

15. Ketika cemas datang saya merasakan tegang pada otot dada

16. Saat gangguan tidur datang saya sulit mengontrol emosi sehingga menjadi cemas

17. Rasa cemas yang timbul saya luapkan dengan cam menangis, sehingga membuat saya lebih lega

18. Kecemasan yang berlebihan dapat mempengaruhi respon psikologis bagi tubuh

19.Kecemasan merupakan respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui

73

JADWAL KONSULTASI

No HarifTanggal Materi Konsul Masukan Penbimbing P a r a f

Pembimbing1 Sabtu, 07 Mei 2011 Mengajukan

beberapa judulCoba cari fenomena yang ada dimasyarakat

2 Sabtu, 04 Juni 2011 Mengajukan judul lagi Judul terlalu panjanghilangkan sebagian

3 Minggu,05Juni2011 Konsultasi BAB I

Tambahkan penelitian terkait

4 Sabtu, 11 Juni 2011

Konsultasi BAB I-11 Rumusan MasalahPerlu beberapa revisi

5 Minggu, 3 Juli 2011 Konsultasi BAB I-Ill Kerangka konsepDefinisi Operasional

6 Senin, 18 Juli 2011 Minta persetujuan untuk ujian proposal

Disetujui untuk mengikuti ujian proposal

7 Sabtu, 05 Nov 2011 Konsultasi BAB IVMetode dan prosedur

8 Minggu,13Nov2011 Konsultasi BAB V Hasil penelitian9 Sabtu, 29 Nov 2011 Konsultasi ulang BAB

VRevisi hasil penelitian

10 Sabtu, 10 Des 2011 Konsultasi BAB VI-VI' PembahasanKesimpulan dan saranperlu beberapa revisi

11 Selasa, 12 Des 2011

Konsultasi ulang BAB VI- VII

PembahasanKesimpulan dan saranperlu beberapa revisi

12 Kamis, 15 Des 2011 Minta persetujuan untuk ujian skripsi

Disetujui untuk mengikuti ujian skripsi

Frequencies

74

Statistics

Usia Responden

N Valid Missing

300

MeanMedianStd. Deviation

1,271,00,450

Usia Responden

Frequency Percent

Valid

Percent

CumulativePercent

Valid > 30

Tahun

< 30 Tahun

Total

22

8

30

73,3

26,7

100,0

73,3

26,7

100,0

73,3

100,0

75

Frequencies

Statistics

Jenis Kelamin Responden

N Valid Missing

300

MeanMedianStd. Deviation

1,431,00,504

Jenis Kelamin Responden

76

Laki - Laki Perempuan

20

15

10

5

0

Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Responden

frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid Laki – laki

Perempuan

Total

17

13

30

56,7

43,3

100,0

56,7

43,3

100,0

56,7

100,0

Frequency

77

Statistics

N Valid MissingMean MedianStd. Deviation

3003,774,001,073

Pendidikan Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Tidak Lulus SDSD

SMPSMA

AKADEMITotal

136

128

30

3,310,020,040,026,7

100,0

3,310,020,040,026,7

100,0

3,313,333,373,3

100,0

78

Pendidikan Responden

Pendidikan Responden

Tidak lulus SD SD SMP SMA AKADEMI

12

10

8

6

4

2

0

Frequency

79

Pekerjaan Responden

Pekerjaan Responden

Pegawai Swasta Lain-lain

15

12

6

3

0Pegawai Negeri Ibu Rumah Tangga

Statistics

N Valid MissingMean MedianStd. Deviation

3002,031,501,189

Pendidikan Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid pegawai swasta

Pegawai negeriIbu rumah tangga

Lain - lainTotal

15465

30

50,013,020,016,7

100,0

50,013,020,016,7

100,0

50,063,383,3

100,0

80

Frequency

81

Statistics

N Valid MissingMean MedianStd. Deviation

300

1,401,00,498

KomunikasiTerapeutik

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

ValidBaikBurukTotal

181230

60,040,0

100,0

60,040,0

100,0

60,0100,0

82

Baik Buruk

20

15

10

5

0

Komunikasi Terapeutik

Komunikasi Terapeutik

83

Tinggi Rendah

20

15

10

5

0

Tingkat kecemasan

Tingkat Kecemasan

25

Frequency

StatisticsTingkat kecemasan

N Valid MissingMean MedianStd. Deviation

300

1,301,00,466

Tingkat kecemasan

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Tinggi

RendahTotal

219

30

70,030,0

100,0

70,030,0

100,0

70,0100,0

84

Frequency

85

< 30 tahun > 30 tahun

10

0

Usia Responden

Usia Responden

20

30

40

50

60

70

StatisticsTingkat kecemasan

N Valid MissingMean MedianStd. DeviationMinimum Maximum

960

1,652,00,481

12

Usia Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid< 30 Tahun> 30 tahun

Total

346296

35,464,6

100,0

35,464,6

100,0

35,4100,0

Frequency

StatisticsPendidikan Responden

86

Pendidikan Responden

Tidak lulus SD SMA

40

30

10

0SD SMP

Pendidikan Responden

Akademi/PT

20

N Valid MissingMean MedianStd. DeviationMinimumMaximum

960

3,313,00

1,13615

Pendidikan Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Tidak lulus SD SD SMP SMA Akademi/PT

Total

52124311596

5,221,925,032,315,3

100,0

5,221,925,032,315,3

100,0

5,227,152,184,4

100,0

Frequency

Statistics

87

laki-laki Perempuan

10

0

Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin Responden

20

30

40

50

60

N Valid MissingMean MedianStd. DeviationMinimum Maximum

960

1,481,00,502

12

Jenis Kelamin Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Laki-laki Perempuan Total

504696

52,147,9

100,0

52,147,9

100,0

52,1100,0

Frequency

88

Pegawai Swasta lain-lain

40

30

10

0

Tingkat Pekerjaan Responden

20

Pegawai NegeriIbu rumah tangga

Tingkat Pekerjaan Responden

50

StatisticsN Valid MissingMean MedianStd. DeviationMinimum Maximum

960

2,052,00

1,08014

Tingkat Pekerjaan Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Pegawai Swasta Pegawai NegeriIbu Rumah Tangga/IRT

Lain-lainTotal

3927161496

40,628,116,714,6

100,0

40,628,116,714,6

100,0

40,668,885,8

100,0

Frequency

89

Statistics Komunikasi Terapeutik Responden

N Valid MissingMean MedianStd. DeviationMinimum Maximum

960

1,411,00,494

12

Komunikasi Terapeutik Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Baik Buruk Total

573996

59,440,6

100,0

59,440,6

100,0

59,4100,0

90

Baik Buruk

10

0

Komunikasi Terapeutik Responden

20

30

40

50

60

Komunikasi Terapeutik Responden

Frequency

Statistics Tingkat Kecemasan Responden

N Valid MissingMean MedianStd. DeviationMinimum Maximum

960

1,341,00,477

12

Tingkat Kecemasan Responden

frequancy Percent Valid Percent CumulativePercent

Valid Tinggi RendahTotal

633396

65,634,4

100,0

65,634,4

100,0

65,6100,0

91

Tinggi Rendah

40

30

20

10

0

Tingkat Kecemasan Responden

50

Tingkat Kecemasan Responden

60

70

92

Baik Buruk

40

30

20

10

0

Komunikasi Terapeutik Responden

50

Tingkat Kecemasan Responden

60

Tingkat Kecemasan Responden

Tinggi

Rendah

93

Crosstabs

Case Processing SummaryCases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N PercentKomunikasi TerapeutikResponden * TingkatKecemasan Responden

96 100,0% 0 ,0% 96 100,0%

Komunikasi Terapeutik Responden * Tingkat Kecemasan Responden Crosstabulation

Tingkat Kecemasanresponden Total

Tinggi Rendah Komunikasi Terapeutik Baik CountResponden % within komunikasi Terapeutik responden

5596,5%

23,5%

57100,0%

Buruk Count % within komunikasi Terapeutik responden

2461,5%

1538,5%

39100,0%

Total Count % within komunikasi Terapeutik responden

7982,3%

1717,7%

96100,0%

Chi – Square TestsValue df Asymp. Sig.

(2-Sided)Asymp. Sig.(2-Sided)

Exact Sig(i-Sided)

Pearson Chi-SquareContinuty CorrectionLikehood RatioFiher’s Exact TestLinear-by-LinearAssociation

73,49569,79190,063

72,72996

111

1

,000,000,000

,000,000 ,000

a. Computed only for a 2x2 tableb. 0 cell (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected

count is 13,41Risk Estimate

Value95 % Confidence Interval

Lower UpperFor cohort Tingkat KecemasanResponden = TinggiN of Valid cases

6,500

96

3,114 13,570

94

95