bab vi redefinisi tindakan sosial dan rekonstruksi...

32
225 BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS Di dalam bagian awal disertasi ini telah disebutkan bahwa fokus penelitian berada pada tiga variable, yaitu mekanisme kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, rasionalitas tindakan sosial para aktor kolektif, dan kepercayaan serta nilai-nilai fundamental yang menjadi elemen dasar perilaku kolektifnya. Ketiga variable ini telah menjadi deskripsi yang lengkap dalam bab sebelumnya. Apa yang perlu disajikan dalam bab ini adalah analisis terhadap kondisi objektif tersebut berdasarkan landasan konseptual dan kerangka teoritis dalam bab kedua dan bab ketiga serta dengan memperhitungkan konteks historis yang telah dipaparkan dalam bab keempat. Dengan cara demikian maka diharapkan ketiga variable yang menjadi fokus penelitian dan ketiga permasalahan penelitian akan terklarifikasi dalam bentuk eksplanasi sistematis dan konklusif. 1. Agama Sebagai Tipe Khusus Tindakan Sosial Para sosiolog klasik mempelajari agama secara fungsional. Mereka melihat agama sebagai bagian dari struktur sosial yang mempengaruhi interaksi-interaksi sosial. Marx menunjukan bahwa struktur dasar masyarakat terdiri dari dua komponen utama, yaitu kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi produksi. Akibat kondisi-kondisi material, kelas buruh mengalami alienasi dan kehilangan kontrol terhadap perkembangan kehidupan mereka sendiri sebagai manusia sehingga mereka kehilangan eksistensi dan identitasnya lalu

Upload: phamdien

Post on 28-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

225

BAB VI

REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL

DAN REKONSTRUKSI IDENTITAS

Di dalam bagian awal disertasi ini telah disebutkan bahwa

fokus penelitian berada pada tiga variable, yaitu mekanisme

kemunculan dan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i

sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan, rasionalitas

tindakan sosial para aktor kolektif, dan kepercayaan serta

nilai-nilai fundamental yang menjadi elemen dasar perilaku

kolektifnya. Ketiga variable ini telah menjadi deskripsi yang

lengkap dalam bab sebelumnya. Apa yang perlu disajikan

dalam bab ini adalah analisis terhadap kondisi objektif

tersebut berdasarkan landasan konseptual dan kerangka

teoritis dalam bab kedua dan bab ketiga serta dengan

memperhitungkan konteks historis yang telah dipaparkan

dalam bab keempat. Dengan cara demikian maka diharapkan

ketiga variable yang menjadi fokus penelitian dan ketiga

permasalahan penelitian akan terklarifikasi dalam bentuk

eksplanasi sistematis dan konklusif.

1. Agama Sebagai Tipe Khusus Tindakan Sosial

Para sosiolog klasik mempelajari agama secara

fungsional. Mereka melihat agama sebagai bagian dari struktur

sosial yang mempengaruhi interaksi-interaksi sosial. Marx

menunjukan bahwa struktur dasar masyarakat terdiri dari dua

komponen utama, yaitu kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi

produksi. Akibat kondisi-kondisi material, kelas buruh

mengalami alienasi dan kehilangan kontrol terhadap

perkembangan kehidupan mereka sendiri sebagai manusia

sehingga mereka kehilangan eksistensi dan identitasnya lalu

Page 2: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

226 Redefinisi Tindakan Sosial …

berpaling ke agama untuk memperoleh sebuah pengakuan

akan martabat mereka sebagai manusia dan mendapatkan

pengharapan di tengah keterasingannya. Dalam hal inilah

agama memberikan gambaran yang keliru tentang realitas.

Oleh sebab itu bagi Marx agama adalah sebuah proyeksi dan

ilusi.1

Berdasarkan pemikiran Marx tersebut maka

pertanyaannya adalah apakah semangat dan ragam

pengalaman keagamaan orang-orang Kele’i adalah ilusi

semata. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

terlebih dahulu apakah orang-orang di Kele’i mengalami

alienasi dan kehilangan kontrol terhadap kehidupan mereka

sendiri? Sejarah konflik di Poso yang telah dimulai sejak

zaman pendudukan Jepang, masa pergolakan politik, hingga

konflik sosial beberapa tahun yang lalu menunjukan bahwa

orang-orang Poso asli pada umumnya dan orang-orang Kele’i

pada khususnya selalu berada dalam posisi defensif

menghadapi ekspansi kekuatan-kekuatan sosial, kultural, dan

politik yang datang dari luar. Interaksi antara orang-orang asli

Poso dengan kelompok pendatang berkembang secara tidak

seimbang karena kondisi-kondisi material dan struktur sosial

yang dikuasai oleh kelompok pendatang. Keadaan ini oleh

George Junus Aditjondro disebut sebagai keterpurukan

komunitas-komunitas pribumi, khususnya orang Pamona,

orang Lore, dan orang Mori yang merupakan penduduk asli

pedalaman Sulawesi Tengah dan yang pada umumnya

merupakan anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah.2

1 Inger Furseth. An Introduction to the Sociology of Religion (Burlington USA:

Ashgate Publishing Limited, 2006), 29-32. 2 Lih. Rinaldy Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso (Yogyakarta: PBHI,

Yakoma PGI, CD Bethesda, 2003), xx.

Page 3: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 227

Selama periode orde baru, komunitas-

komunitas pribumi Tanah Poso mengalami

proses pemiskinandan marjinalisasi secara

beruntun, karena berbagai faktor. Pertama,

melunturnya ketaatan pada hak ulayat mereka

menyebabkan banyak tanah komunitas-

komunitas pribumi bergeser pemilikannya ke

tangan pendatang. Kedua, perubahan orientasi

dari petani ke pegawai-pegawai negeri maupun

pegawai gereja mendorong para orang tua

pribumi menjual tanah-tanah mereka… demi

membiayai pendidikan anak-anak mereka…

Ketiga, pembangunan ruas jalan Trans-Sulawesi

memperderas arus migrasi dari Sulawesi

Selatan ke Tanah Poso, yang pada gilirannya

mempercepat pengalihan tanah penduduk asli

ke para pendatang dari Sulawesi Selatan.3

Apakah keadaan ini menyebabkan alienasi pada orang-

orang Poso? Menurut Marx alienasi memiliki empat aspek,

yaitu alienasi dari hasil karyanya sendiri, alienasi dari aksi

pekerjaannya, alienasi dari spesiesnya, dan alienasi dari

lingkungan sosialnya. Keempat aspek alienasi ini dikondisikan

oleh adanya relasi antara kerja dengan kapital sebagai engsel

yang memungkinkan seluruh sistem masyarakat dapat

berputar.4 Konstruksi fundamental masyarakat ini

menempatkan sekelompok orang pada strata sosial yang

tertekan karena termarginalisasi olehkelompok lain yang

mendominasi dan menguasai struktur sosial. Lebih dari pada

itu mereka tereksploitasi oleh kekuatan material sehingga

eksistensi dan fungsi mereka sebagi manusia terdevaluasi.

Konstruksi sosial ini berbeda dengan kondisi sosial di

Poso pada umumnya dan di Kele’i pada khususnya.

3 Ibid., xxi-xxii. 4 Frederik Engels. Tentang Kapital Marx. Diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen

(Bandung: Ultimus & Alkatiga, 2006, 10.

Page 4: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

228 Redefinisi Tindakan Sosial …

Masyarakat ini terbentuk oleh tenunan-tenunan kultural

(cultural fabrics) melalui proses historis yang sarat dengan

ekspansi kebudayaan, agama, dan konflik-konflik politik.

Perang antar suku, perjuangan memperoleh dan

mempertahankan kemerdekaan, pergolakan politik

kedaerahan, dan kerusuhan serta konflik sosial yang terjadi

beruntun, secara berlapis membentuk Poso menjadi sebuah

masyarakat yang lebih bersifat politis. Kedatangan,

perkembangan, dan perjumpaan Islam dengan Kekristenan di

Poso yang masing-masing telah berakulturasi dengan

kebudayaan lokal dan kepercayaan asli memberi identitas

kepada masyarakat politis ini sehingga karakter sosial

kulturalnya terkonstruksi dengan jelas. Oleh sebab itu

masyarakat Poso secara umum lebih merupakan sebuah

konfigurasi kultural dengan elemen-elemen politik dan

teritorialnya masing-masing. Masyarakat yang mendiami

daerah pesisir pantai di sepanjang teluk Tomini pada

umumnya adalah para pendatang terkemudian yang memeluk

agama Islam dan bermata pencaharian sebagai nelayan dan

pedagang. Sedangkan masyarakat yang mendiami daerah

pedalaman adalah penduduk asli, memeluk agama Kristen, dan

bermata pencaharian sebagai petani. Keadaan ini melahirkan

kesadaran-kesadaran subjektif dalam pertarungan politik.

Penduduk pedalaman menganggap diri mereka sebagai

penduduk asli dan memandang penduduk pesisir sebagai

pendatang. Di pihak lain penduduk beragama Islam

memandang agama Kristen sebagai agama warisan

kolonialisme dan imperialisme Barat. Dengan cara pandang

seperti ini maka secara antropologis konflik sosial yang terjadi

di Poso pada tahun 1998–2003 adalah konflik antara

penduduk pesisir dengan penduduk pedalaman dalam konteks

pertarungan kepentingan politik kekuasaan. Konflik ini tentu

Page 5: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 229

saja bukan konflik antar kelas seperti dalam masyarakat

kapitalis. Konflik ini lebih tepat dilihat sebagai konflik kultural

dan politik. Apabila dalam masyarakat kapitalis engsel sistem

masyarakat bersumbu pada kondisi-kondisi material, maka

dalam masyarakat Poso seluruh interaksi dan struktur sosial

dibangun di atas kondisi-kondisi kultural dan politik. Secara

kultural masyarakat hidup di dalam komunitas-komunitasnya

masing-masing. Akan tetapi secara politis, relasi-relasi

kekuasaan mengikat mereka menjadi satu masyarakat yang

bersifat organis. Dengan kata lain, apa yang membuat

masyarakat yang memiliki perbedaan kultural ini menjadi satu

adalah konsensus mereka untuk hidup di bawah sebuah

sistem politik yang sama. Ketika sistem politik ini berjalan

tidak seimbang dan terdominasi oleh kelompok-kelompok

budaya niaga kaum urban di pesisir teluk Tomini, maka

muncul ketegangan dalam interaksi dan struktur sosialnya.

Itulah sebabnya kalau kerangka analisis Marxis tetap akan

dipakai untuk memahami relasi-relasi konflik antar aktor-

aktor kolektif maka fokus analisis harus digeser dari relasi-

relasi kekuatan produksi di tempat kerja ke relasi-relasi

kultural di atas panggung pertarungan politik. Dengan cara

pandang demikian maka agama berfungsi memberikan

identitas kepada kelompok-kelompok masyarakat dan

menjadi basis bagi mobilisasi perilaku kolektif dalam konteks

persaingan dan pertarungan budaya. Bagi orang-orang Poso

dan Kele’i agama bukan konsep-konsep abstrak tentang

realitas ideal yang memanipulasi pengalaman sosial mereka.

Sebaliknya, melalui agama orang-orang Poso menghadirkan

identitas dan resistensi mereka dalam menghadapi ekspansi

budaya yang datang dan menguasai struktur sosial di Poso.

Menurut Talcot Parsons tindakan sosial adalah

perilaku manusia yang dimotivasi dan diarahkan oleh makna

Page 6: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

230 Redefinisi Tindakan Sosial …

yang dilihat oleh aktor dalam dunia eksternal. Aktor yang

dimaksudkan di sini dapat merupakan seorang individu,

sebuah komunitas, sebuah organisasi, wilayah, masyarakat

total, bahkan sebuah peradaban.5 Tindakan selalu terjadi

dalam sebuah keadaan. Lingkungan aktor secara individual

terdiri dari lingkungan fisik, organisme biologis aktor sendiri

dan aktor-aktor lain, objek-objek kultural dan simbolik.

Tindakan dan interaksi antar aktor membentuk tenunan

sosial (social fabrics) dan kepadatan moral (moral density)

yang mensyaratkan makna, nilai, serta norma yang akan

memandu aktor dalam orientasi tindakan dan interaksinya.

Inilah yang disebut oleh Peter Berger sebagai proses

eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi dalam dialektika

formasi masyarakat.

Agama dalam konteks masyarakat Poso adalah bagian

dari proses dan fenomena dialektika. Ia terpelihara dalam

masyarakat Poso karena keberadaan orang-orang Poso

sebagai bagian dari realitas kultural yang tersusun secara

politis. Ia berkembang secara teritorial dari individu-individu

yang bertindak secara kolektif untuk mengkonstruksi dunia

mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman dengan alam

dan konflik politik bernuansa kultural. Islam menjadi agama

kaum nelayan dan para pedagang yang tinggal di pesisir

pantai. Kekristenan menjadi agama para petani yang tinggal di

pedalaman dan yang masih kental dengan artefak-artefak

kultural lokal. Orang-orang Poso Pamona sebagai mayoritas

penduduk pedalaman mengartikulasikan konsepsi-konsepsi

kekristenan dalam item-item kultural seperti ritual mompaho

atau penanaman padi dan mopadungku atau pesta panen serta

mengembangkan sejenis agama rural agraris yang dinamistik.

5 Talcott Parson, The Structure of Social Action (Illinois: The Free Press,

1949), 154.

Page 7: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 231

Sementara suku-suku pendatang terkemudian di daerah

pesisir mengartikulasikan konsepsi-konsepsi Islam dalam

item-item politik seperti ideologi dan kekuasan negara serta

mengembangkan sejenis agama urban yang politis. Di sini kita

bersinggungan dengan konsepsi Max Weber tentang agama

sebagai suatu sistem sosial yang berakar pada abstraksi dan

rasionalisasi manusia terhadap pengalaman-pengalaman

hidupnya.6

Dalam perspektif Weber, tindakan-tindakan

keagamaan jemaat Eli Salom Kele’i, terutama pada tataran

aktor, baik aktor individual maupun kelompok, seperti

peribadatan setiap malam, doa dan puasa, penggalangan dana

dan pembangunan rumah ibadah, serta ragam bahasa anti

kekerasan yang berbasis kepercayaan mistisisme dan nilai-

nilai kultural yang diinterpretasi secara teologis, semuanya

adalah tipe khusus tindakan sosial. Dari sudut pandang makna

yang dikandung oleh tindakan-tindakan itu, terkandung

ekspektasi-ekspektasi historis, yaitu harapan akan tatanan

kehidupan sosial yang lebih baik di Poso, setelah sebelumnya

kehidupan masyarakat di sana diobrak abrik oleh sentimen-

sentimen kultural, politik, dan bahasa-bahasa kekerasan yang

muncul akibat ekspansi agama dan benturan dua sistem sosial

yang telah disebutkan di atas. Sementara itu pada level

interaksi antara aktor dalam sebuah sistem sosial, kita

menemukan nilai-nilai mombetubunaka atau saling

menghormati dan nilai mosintuwu atau saling menghidupkan

sebagai komponen tindakan sosial dan perilaku kolektif yang

memberikan alternatif terhadap perilaku sosial masyarakat.

Dengan cara pandang seperti ini maka mobilisasi semua

sumber daya Jemaat Eli Salom Kele’i dapat diartikan sebagai

aktualisasi kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka

6 Max Weber. The Sociology of Religion (Boston: Beacon Press, 1992), 3.

Page 8: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

232 Redefinisi Tindakan Sosial …

dalam menghadapi ekspansi budaya dan sistem sosial yang

didominasi oleh kultur urban niaga serta sistem politik yang

didominasi oleh penduduk pesisir. Di lain sisi, itu merupakan

juga satu aksi kolektif berorientasi nilai yang bertarung

melawan ketidakpastian makna tindakan sosial yang

diproduksi oleh masyarakat pasca konflik. Dengan memakai

perspektif teoritis Alain Touranie, dapat dikatakan bahwa

gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i merupakan sebuah geliat

orang-orang Poso sebagai kelompok sosial yang terdevaluasi

untuk mengatur kembali produksi sistem makna yang

sebelumnya didominasi oleh kekuatan-kekuatan kultural

ekspansif. 7

Masyarakat Poso sebagai hasil proses dialetika telah

menghasilkan tenunan sistem sosial yang terdiferensiasi

secara kultural. Konfigurasi kultural dalam sebuah sistem

sosial politik seperti ini menciptakan ragam legitimasi

tindakan sosial sehingga pada saat yang sama meminta

integrasi dan perluasan kontrol atas motif-motif tindakan

manusia. Dalam konteks inilah agama dalam morfologi

mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i yang menekankan

pengalaman-pengalaman mistik di luar obligasi organisasi

dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari model analisis

Emile Durkheim yang memperhatikan bagaimana sumbangan

agama dalam meletakan basis normatif bagi integrasi sosial,

peran agama dalam mengatasi bahaya-bahaya individualisme

dan anomie, serta signifikansi kolektivitas dalam sebuah

masyarakat yang sedang mengalami perubahan struktural.

Model ini menunjukan bahwa masyarakat Kele’I sebagai

representasi komunitas rural yang agraris menjadikan

fenomena gerakan Jemaat Eli Salom sebagai mekanisme

7 Donatella Della Porta & Mario Diani, Social Movements (Malden MA:

Blackwell Publishing, 2006), 8-9.

Page 9: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 233

tersendiri untuk mengatasi anomi dan membentuk sebuah

unitas yang terintegrasi. Keikutsertaan orang-orang dalam

kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus mistisisme yang

dipimpin oleh Marliana Pulanga dapat dipandang sebagai

sebuah konsolidasi normatif untuk menghadapi keadaan

anomi yang diakibatkan oleh rusaknya interaksi sosial dan

ketidakseimbangan dalam distribusi kekuasaan di dalam

struktur sosial di Poso. Pengalaman-pengalaman mistik

Marliana Pulanga secara fungsional melahirkan loyalitas

terhadap realitas moral yang mereka yakini bersama. Kedua,

dari model analisis Neil Smelser dan Alberto Melluci yang

melihat peran agama sebagai gerakan berorientasi nilai untuk

mendefinisikan kembali identitas mereka dan menentukan

kehidupan yang efektif dan etis terhadap manipulasi bahasa

kekerasan dari suatu sistem sosial keagamaan formal legalistik

yang omnipresent. Para aktor yang ikut dalam perilaku

kolektif Jemaat Eli Salom Kele’i tidak bertujuan untuk

memperoleh hal-hal yang material atau untuk sekedar

memperoleh pengakuan akan martabat mereka sebagai

penduduk asli di Poso, tetapi yang paling penting adalah untuk

menentang morfologi-morfologi kekerasan, formalisme agama,

disintegrasi nilai-nilai moral yang massif dan difusif. Ragam

pengalaman dan praktek mistisisme mereka memberi ruang

yang luas untuk bertahan terhadap ekspansi intervensi

otoritas politik obligatif yang membolehkan segala cara untuk

mencapai tujuan di dalam kompetisi kekuasaan dan

mempertahankan otonomi moral sosial mereka. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa secara fungsional perilaku

keagamaan jemaat Eli Salom Kele’i merupakan sebuah tipe

khusus tindakan resistensi dan rekonstruksi sosial dalam

konteks masyarakat Poso yang mengalami anomie.

Page 10: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

234 Redefinisi Tindakan Sosial …

Dalam kerangka pemikiran Troeltsch, keberadaan

Jemaat Eli Salom Kele’i dapat dikategorikan sebagai salah satu

bentuk perkembangan sosiologis agama yang disebutnya

sebagai mistisisme.8 Namun demikian, berbeda dengan

Troeltsch yang memandang tipe mistisisme ini sebagai reaksi

terhadap formalitas dan kemandegan kehidupan keagamaan,

pengalaman dan perilaku keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i

yang bersifat mistikal tidak semata-mata merupakan respon

terhadap keadaan gereja, tetapi yang terutama adalah reaksi

terhadap keadaan sosial di Poso yang bersifat anomi. Dalam

hal ini, kritik Bryan Wilson terhadap penerapan tipologi

Troeltsch di luar konteks Christendom dapat dipahami.

Menurut Wilson mistisisme sebagai sebuah gerakan

keagamaan harus dianggap signifikan bukan hanya sebagai

gerakan inovasi keagamaan, tetapi yang lebih penting lagi

adalah ekspresi kebutuhan-kebutuhan sosial, tingkat

kesadaran sosial, konsekuensi-konsekuensi disrupsi sosial dan

patron-patron responsif terhadapnya.9 Itu berarti signifikansi

sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i terletak pada

tindakan-tindakan sosial mereka yang terstimulasi oleh

interpretasi mistikal terhadap proses perubahan sosial di

Poso. Mistisisme sepeti inilah yang masuk dalam kategori

mistisisme tindakan sosial. Elemen-elemen mistik dalam

kehidupan keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i seperti

kepercayaan pada mimpi-mimpi, penglihatan-penglihatan, dan

ragam pengalaman keagamaan yang bersifat langsung dan

batiniah serta praktek-praktek purifikasi batin, rehabilitasi

dan rekonsiliasi sosial, persekutuan doa di tengah malam,

puasa di hari-hari tertentu, dan sikap anti kekerasan dapat

8 Ernts Troeltsch, The Social Teaching of the Christian Churches V.2 (Chicago:

The Univ. of Chicago Press, 1981), 993. 9 Bryan Wilson, Magic and Millenium: A Sosiological Study of Religious

Movements (New York: Harper and Row Publisher, 1973), 2.

Page 11: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 235

dipandang sebagai ekspresi kesadaran akan matra sosial

agama. Oleh sebab itu ragam pengalaman dan praktek

mistisisme mereka dapat juga dipandang sebagai upaya untuk

menghadirkan resistensi mereka dalam menghadapi masalah-

masalah sosial di Poso.

2. Mekanisme Kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i

Setiap masyarakat niscaya memiliki empat komponen

dasar, yaitu interaksi sosial, struktur sosial, lokasi geografis,

dan lokasi temporal. Interaksi sosial adalah hubungan-

hubungan timbal balik antara individu dengan individu,

individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.

Struktur sosial mencakup lembaga-lembaga sosial,

kebudayaan dan agama, kekuasaan dan wewenang, serta

stratifikasi sosial. Dari uraian historis di dalam Bab IV dan V

nampak bahwa Poso adalah sebuah masyarakat yang

terbentuk pada peralihan abad sembilan belas ke abad dua

puluh di sebuah daerah di Sulawesi Tengah. Melalui proses

sejarah peperangan antar suku, ekspansi budaya dan agama,

pergolakan politik di era kemerdekaan, dan sampai pada

reformasi politik pasca Orde Baru, Poso terbentuk menjadi

sebuah masyarakat dengan interaksi dan struktur sosialnya

sendiri. Pada tahun 1998 – 2003 terjadi perubahan sosial

yang sangat cepat di Poso akibat kerusuhan dan konflik antar

kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sebagai bagian dari

masyarakat di kabupaten Poso, Kele’i ikut menjadi bagian dari

konflik tersebut. Sejumlah anggota masyarakat Kele’i ikut

dalam bentrokan bersenjata. Setelah konflik berakhir, emosi-

emosi negatif, sentimen-sentimen sosial, dan ragam

pengalaman traumatis memunculkan sejumlah masalah dan

ketegangan dalam interaksi dan struktur sosial mereka sendiri

sehingga masyarakat Kele’i masuk dalam keadaan anomi.

Page 12: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

236 Redefinisi Tindakan Sosial …

Tatanan nilai dan norma sosial yang telah terbangun melalui

proses sejarah yang panjang tergerus oleh keadaan tersebut di

atas.

Berdasarkan kondisi objektif tersebut maka analisis

untuk menemukan faktor-faktor sosiologis yang

mengkondisikan perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i harus

diarahkan pada komponen-komponen struktur sosial yang

ada. Pertama adalah ketegangan struktural. Ekspansi

kebudayaan dan agama pada peralihan abad sembilan belas ke

abad dua puluh di Poso10, pergeseran-pergeseran demografi

melalui program transmigrasi di era Suharto11, politik agama

di era Reformasi, ketersediaan infra struktur transportasi

lintas Sulawesi, masuknya investasi asing untuk pengolahan

sumber daya alam, dan migrasi penduduk dari Sulawesi

Selatan ke Sulawesi Tengah mengubah Poso dari masyarakat

yang homogen tradisional menjadi masyarakat yang heterogen

dan urban. Keadaan ini mencapai momentum yang signifikan

pada dasawarsa terakhir abad dua puluh. Wilayah Poso

menjadi tempat pertemuan kelompok-kelompok sosial dengan

identitas kultural dan agamanya masing-masing. Konfigurasi

sosial, budaya, dan agama ini kemudian mulai bersitegang

ketika masyarakat Poso terlibat dalam persaingan dan

perebutan kekuasaan politik pemerintahan lokal seperti yang

telah diuraikan sebelumnya. Kedua adalah termarginalnya

10 Kebudayaan Islam dari Ternate, Bugis Makasar, Gorontalo, dan Jawa

bertemu dengan Kebudayaan Kristen dari Maluku dan Minahasa. Lihat kembali

Sejarah Perjumpaan Islam Kristen di Poso: Bab 4 Pasal 4. 11 Poso merupakan salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk yang

sangat rendah di zaman Soeharto. Sampai dengan tahun 2000 tingkat kepadatan

penduduk hanya mencapai 32/km2. Bandingkan dengan angka kepadatan penduduk

rata-rata di Indonesia 106/km2. Oleh sebab itu sejumlah besar transmigran asal Jawa,

Bali, dan Lombok dikirimkan ke Poso Sulawesi Tengah. Menurut data dari BPS

Sulawesi Tengah seperti yang dikutip oleh Kontras dalam Laporan Penelitian Bisnis

Militer di Poso Sulawesi Tengah tahun 2004, jumlah transmigran yang masuk ke

Sulawesi Tengah adalah sebanyak 68.082 kepala keluarga atau 340.410 jiwa. 29% dari

jumlah Transmigran itu ditempatkan di Poso, sehingga diperkirakan 20% pupulasi

penduduk di Poso adalah transmigran asal Jawa, Bali, dan Lombok.

Page 13: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 237

nilai-nilai budaya dan adat istiadat penduduk asli Poso.

Ekspansi budaya melalui kedatangan kelompok-kelompok

sosial dari tempat lain membuat budaya dan adat istiadat Poso

kehilangan pengaruh dalam kehidupan sosial politik. Keadaan

ini didukung oleh peralihan hak kepemilikan tanah dalam

jumlah yang besar dari penduduk asli kepada pendatang dan

investor, termasuk di dalamnya hak-hak ulayat penduduk asli

terhadap tanah Poso.12 Ketegangan struktural ini berkembang

menjadi konflik sosial yang terbuka pada tahun 1998 sampai

dengan 2005. Interaksi sosial lintas budaya dan agama

kemudian membeku dan masyarakat hidup di dalam

kelompok-kelompoknya dengan sentimen-sentimen sosial

kultural yang kuat.

Perubahan sosial dan ketegangan struktural ini

mengakibatkan marginalisasi dan alienasi bagi orang-orang

Poso. Mereka mengalami keterpinggiran dan keterasingan dari

keterlibatan aktif di bidang kebijakan publik karena dominasi

kelompok pendatang yang menguasai struktur sosial. Mereka

menyaksikan penjungkirbalikan nilai-nilai budaya dan adat

istiadat mereka di tanah kelahiran mereka sendiri. Keadaan ini

kemudian melahirkan ketimpangan sosial dan kemudian

menimbulkan pengalaman dan kesan eksploitasi, penindasan,

ketidakadilan, dan pelanggaran hak-hak adat bagi penduduk

asli di Poso yang kemudian berkembang menjadi konflik sosial

terbuka antara penduduk pedalaman dan penduduk pesisir di

Poso. Inilah yang memicu perilaku kolektif dan membuka

peluang bagi lahirnya sebuah gerakan sosial yang berbasiskan

kepercayaan fundamental. Pertanyaannya adalah apa dan dari

mana mereka mendapatkan kepercayaan fundamental itu

untuk melakukan mobilisasi perilaku kolektif demi perubahan

sosial yang mereka inginkan. Pertanyaan inilah yang

12 Damanik, Tragedi Kemanusiaan di Poso., xx

Page 14: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

238 Redefinisi Tindakan Sosial …

membawa kita pada sebuah temuan yang penting dan

menarik, yaitu fungsi sosial pengalaman mistik keagamaan.

Apakah itu kebetulan atau tidak, seorang anak bernama

Marliana Pulanga menceritakan pengalaman keagamaannya

yang bersifat mistik dan otentik, yang tidak terlibat dengan

formalisme keagamaan saat itu. Pengalaman keagamaan itu,

ketika disampaikan kepada masyarakat umum, segera

diterima dan dipercayai oleh sejumlah orang dan menjadikan

pengalaman itu sebagai pokok kepercayaan yang fundamental

serta menjadi sumber nilai bagi tindakan sosial dan perilaku

kolektif mereka. Fakta ini menunjukan dua hal, pertama

ketegangan struktural sebagai faktor sosiologis yang utama

dalam memunculkan sebuah gerakan sosial keagamaan

membutuhkan faktor pencetus dan basis mobilisasi perilaku

kolektif. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, faktor

pencetus dan basis mobilisasi itu adalah pengalaman mistik

keagamaan Marliana Pulanga. Kedua, pengalaman mistik

keagamaan tidak selalu menarik dan memisahkan orang dari

dunia sosial. Purifikasi sebagai konsep utama dari mistisisme

tidak hanya mempunyai segi-segi personal batiniah. Dalam

konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, pengalaman mistik dan

anjuran untuk bertobat mendorong orang untuk terlibat dalam

kehidupan sosial dan menawarkan nilai-nilai serta norma-

norma kehidupan kolektif yang berorientasi pada rekonsiliasi

dan perdamaian. Inilah yang menjadi ciri khas sosial

keagamaan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah jemaat

yang bersifat mistikal dan sebuah gerakan sosial yang bersifat

keagamaan.

Dari analisis tersebut di atas maka dapat disimpulkan

bahwa perubahan sosial dan ketegangan struktural di Poso

menjadi faktor-faktor sosiologis bagi kemunculan dan

perkembangan Jemaat Eli Salom Kele’i. Di samping faktor

Page 15: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 239

tersebut ada faktor pemicu dan basis kepercayaan serta nilai

fundamental, yaitu pengalaman-pengalaman keagamaan yang

bersifat mistik. Dalam keadaan inilah Jemaat Eli Salom Kele’i

muncul secara fungsional sebagai sebuah sistem makna,

kerangka interpretasi, dan basis tindakan sosial serta perilaku

kolektif.13

Dengan demikian dari perspektif struktural

fungsionalis, gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i dapat dipandang

sebagai side-effects dari proses transformasi sosial yang terjadi

di Poso. Dalam masyarakat Poso sebagai sebuah sistem sosial

politik yang terdiri dari sub sistem – sub sistem bernuansa

kultural, kemunculan perilaku kolektif seperti yang nampak

dalam masyarakat Kele’i menyatakan secara tidak langsung

ketegangan-ketegangan yang tidak dapat diabsorsi oleh

mekanisme sistem keagamaan dan sistem politik yang ada.

Ketika hubungan-hubungan sosial kehilangan basis normatif

dan memunculkan perilaku yang tidak terkendali maka

kepercayaan dan praktek mistitisme keagamaan Jemaat Eli

Salom Kele’i memiliki makna ganda, yaitu pada satu sisi

merefleksikan ketidakmampuan agama institusional yang ada

untuk mereproduksi kohesi sosial, dan di pihak lain geliat

masyarakat untuk menanggapi krisis dan disintegrasi sosial

melalui perkembangan kepercayaan dan nilai-nilai bersama di

mana dasar-dasar bagi solidaritas kolektif diletakan.

Keberadaan dan perkembangan Jemaat Eli Salom

Kele’i tidak mungkin dipahami tanpa perspektif ini. Oleh sebab

itu berdasarkan perspektif struktural fungsional14, maka tesis

pertama dalam disertasi ini adalah bahwa gerakan Jemaat Eli

Salom Kele’i sejatinya adalah bagian dari mekanisme

13 Hal ini telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya. 14 Di sini Penulis tidak merasa perlu lagi untuk mengulang konsepsi-

konsepsi teoritis dari Neil Smelser. Hal itu dapat dilihat kembali dalam Bab II. Cara

yang sama akan ditemukan juga dalam bagian-bagian selanjutnya. Namun yang jelas

bahwa analisis ini berada di dalam perspektif teoritis tersebut.

Page 16: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

240 Redefinisi Tindakan Sosial …

interpretasi, restorasi, proteksi, dan modifikasi kehidupan

sosial di Poso pada umumnya dan di Kele’i pada khususnya.

3. Rasionalitas Mobilisasi Perilaku Kolektif

Dengan Pendekatan konstruktivis15 kita dapat melihat

bahwa konflik Poso tidak hanya menstimulasi ekspresi-

ekspresi dan aksi-aksi sosial politik, melainkan juga telah

membangkitkan tantangan-tantangan kultural terhadap

artikulasi-artikulasi bahasa kekerasan yang membentuk

praktek sosial masyarakat. Dimensi-dimensi krusial kehidupan

sehari-hari, termasuk di dalamnya relasi interpersonal dan

identitas individu serta kelompok telah tersangkut di dalam

kekaburan tatanan nilai dan norma kehidupan. Item-item

budaya asli Poso tergerus oleh ekspansi kekuatan sosio

kultural dominatif yang datang dari luar dan deviasi-deviasi

tindakan sosial semasa konflik. Dalam keadaan inilah Jemaat

Eli Salom kele’i muncul sebagai sebuah rekonstruksi identitas

kolektif alternatif.

Identitas adalah sumber makna dan pengalaman setiap

aktor sosial. Dengan identitas, proses konstruksi makna yang

berbasis pada atribut kultural dan keagamaan mendapat

prioritas. Masyarakat Poso sebagai sebuah konfigurasi kultural

yang terintegrasi oleh sebuah sistem politik memiliki

pluralitas identitas, sehingga menimbulkan kontradiksi, baik

di dalam representasi diri maupun tindakan sosial. Masyarakat

pesisir dengan kultur niaga dan agama Islamnya

mengembangkan identitas superior dan menguasai struktur

politik di Poso. Masyarakat pedalaman dengan kultur agraris

dan agama Kristennya mengembangkan identitas inferior dan

15 Pendekatan konstruktivis yang dimaksudkan di sini adalah perspektif

teoritis Alberto Meluci yang melihat terjadinya proses identitas kolektif dalam

gerakan-gerakan sosial keagamaan. Untuk jelasnya lihat kembali Bab II dalam

disertasi ini.

Page 17: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 241

termarginal dari kekuasaan politik. Dengan cara pandang ini

maka ketegangan struktural seperti yang dijelaskan

sebelumnya dan konflik sosial di Poso merupakan ketegangan

dan konflik identitas.

Identitas harus dibedakan dari apa yang secara

tradisional oleh para sosiolog disebut kumpulan peran. Peran-

peran terdefinisi oleh norma-norma yang disusun oleh

lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi masyarakat.

Kemampuan peran-peran dalam mempengaruhi perilaku

orang bergantung pada negosiasi-negosiasi dan pengaturan-

pengaturan antara individu-individu dengan lembaga-lembaga

dan organisasi-organisasi masyarakat. Sedangkan identitas-

identitas adalah sumber makna bagi aktor-aktor sendiri dan

dikonstruksi oleh mereka sendiri melalui proses individuasi.16

Identitas dapat dilahirkan dari lembaga-lembaga dominan

seperti lembaga keagamaan dan lembaga politik. Akan tetapi ia

hanya akan menjadi identitas ketika dan jika aktor-aktor sosial

menginternalisasinya dan mengkonstruksi maknanya di

sekitar internalisasi ini. Identitas-identitas adalah sumber

makna yang lebih kuat ketimbang peran-peran karena proses

konstruksi diri dan individuasi yang dilibatkannya. Dalam

pengertian sederhana identitas-identitas mengorganisasi

makna sementara peran-peran mengorganisasi fungsi. Dalam

kerangka berpikir ini identitas terdefinisi sebagai identifikasi

simbolik oleh aktor-aktor sosial berkenaan dengan maksud

tindakan-tindakan sosialnya.

Ekspansi budaya, ketegangan struktural, dan keadaan

anomi akibat kerusuhan dan konflik Poso telah mengakibatkan

kekaburan identitas dan peran yang dilahirkan oleh lembaga-

lembaga dominan, seperti lembaga-lembaga agama mapan,

16Manuel Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing,

2003), 6.

Page 18: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

242 Redefinisi Tindakan Sosial …

termasuk Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kealpaan peran

penduduk asli Poso dan kekaburan makna dalam kehidupan

dan keterlibatan sosial mereka memuncak pada awal era

Reformasi. Akses penduduk asli Poso terhadap lembaga dan

kekuasaan politik terbatas. Era Suharto meninggalkan

ketidakseimbangan politik sementara era Reformasi belum

menghasilkan keseimbangan politik yang baru. Pada moment

inilah terjadi konflik sosial dan identitas di Poso.

Di era reformasi terjadi pemekaran wilayah kabupaten

Poso sehingga peta demografi politik berubah. Momentum

rekonsiliasi pasca konflik menyediakan keterbukaan

kesempatan politik dan iklim demokrasi untuk merumuskan

kembali peran sosial dan makna tindakan sosial penduduk asli

Poso. Kele’i sebagai salah satu tempat terjadinya mobilisasi

perilaku kolektif penduduk asli Poso sejak masa kemerdekaan,

pergolakan politik, dan konflik Poso kembali menjadi lokasi

bagi sejumlah aktor untuk merekonstruksi kembali peran dan

makna keterlibatan sosial mereka. Pertanyaannya adalah apa

yang menjadi kepercayaan fundamental bagi mobilisasi sosial

ini? Kepercayaan fundamental yang dimaksudkan di sini

adalah kepercayaan yang berkaitan dengan eksistensi

terdalam dari kehidupan manusia. Kepercayaan itu harus

dapat menyediakan nilai dan kaedah bagi perilaku dan

tindakan-tindakan, baik yang bersifat personal maupun

sosial.17 Dalam urgensi inilah pengalaman mistik Marliana

Pulanga yang menekankan pembaharuan makna kehidupan

dan perilaku sosial berdasarkan iman kepada Tuhan menjadi

relevan dan aktual sebagai kepercayaan fundamental bagi

mobilisasi perilaku kolektif di Kele’i dan yang melahirkan

jemaat Eli Salom. Analisis ini mengarah pada kesimpulan

17 Neil Smelser, Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press,

1962), 23.

Page 19: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 243

bahwa dimensi fungsional dari pengalaman dan abstraksi

keagamaan Marliana Pulanga diprakondisikan juga oleh

ketegangan struktural dan kebutuhan akan redefinisi tindakan

sosial serta rekonstruksi identitas penduduk asli di Poso.

Mungkinkah pengalaman dan abstraksi keagamaan itu tidak

memberi fungsi sosial yang fenomenal sekiranya kondisi

historis di Poso berbeda dari yang telah terjadi. Hal ini menjadi

pertanyaan yang penting untuk melihat dan menyimpulkan

dimensi fungsional agama di setiap lokasi historis tertentu.

Abstraksi-abstraksi keagamaan dari Marliana Pulanga

seperti ajakan untuk melakukan pembaharuan spiritual,

reformasi mental, dan redefinisi tindakan sosial menjadi

kerangka interpretasi dan legitimasi terhadap konsepsi

budaya Poso, terutama konsep mombetubunaka atau saling

menghormati dan konsep mosintuwu atau saling

menghidupkan. Kesimpulan ini didasarkan pada dua

konstruksi pemikiran, yaitu pertama, kepercayaan

fundamental tentang pembaharuan spiritual, reformasi

mental, dan redefinisi perilaku sosial dihadirkan di dalam dan

melalui kedua konsep budaya tersebut di atas. Kedua, budaya

menjadi media yang paling efektif dan efisien bagi masyarakat

untuk menjabarkan kepercayaan-kepercayaan fundamental

dan nilai-nilai utama kehidupan yang diyakini secara kolektif.

Konstruksi pemikiran ini menunjukan bahwa peran dan

makna tindakan sosial Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai aktor

kolektif terkonstruksi di atas suatu identitas primer yaitu

komunitas orang-orang yang dipulihkan oleh Tuhan dan yang

hidup berdasarkan nilai-nilai mombetubunaka dan mosintuwu.

Perspektif sosiologis menunjukan bahwa identitas

kolektif Jemaat Eli Salom Kele’i tersebut di atas terkonstruksi

kembali di bawah dua kondisi, yaitu ketegangan struktural

yang bersamaan dengan konflik identitas di Poso dan kondisi

Page 20: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

244 Redefinisi Tindakan Sosial …

religiositas masyarakat yang bersifat mistik sebagai jalan

alternatif terhadap formalisme agama yang kaku.

Pertanyaannya adalah bagaimana identitas itu terkonstruksi,

dari apa, oleh siapa, dan untuk apa ia terkonstruksi. Jemaat Eli

Salom Kele’i sebagai aktor kolektif mengkonstruksi identitas

mereka di satu pihak oleh kondisi ketegangan-ketegangan

struktural dan benturan identitas, dan di lain pihak oleh

perubahan dalam struktur politik era Reformasi dan

pergeseran keagamaan dari yang bersifat formal institusional

ke informal mistikal. Mereka terlibat secara langsung dalam

semua kondisi itu, menafsirkan pengalaman-pengalaman itu

berdasarkan kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari

pengalaman mistik Marliana Pulanga, dan mengatur kembali

maknanya menurut determinasi-determinasi sosial dan

proyek-proyek moral keagamaan dalam kerangka menata

kembali peran dan identitas sosial serta kehidupan yang aman

dan damai di Poso.

Konstruksi identitas sosial selalu terjadi di dalam

sebuah konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan.18

Dalam konteks ini ada tiga format dan asal mula bagunan

identitas, yaitu identitas yang terlegitimasi, identitas

resistensi, dan identitas rancangan. Identitas yang

terlegitimasi dilahirkan dan diperkenalkan oleh masyarakat

sipil melalui lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Dalam

sejarah masyarakat Poso identitas ini nampak melalui

representasi-representasi berbagai simbol Islam dari

komunitas pesisir yang menguasai ruang publik dan

kekuasaan politik. Dominasi ini mengakibatkan komunitas

pedalaman merasa terdevaluasi dan termarginalisasi oleh

identitas komunitas pesisir. Keadaan ini memaksa orang-

orang Kele’i sebagai aktor-aktor komunitas pedalaman

18Castels, The Power of Identity..., 8.

Page 21: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 245

membangun kubu-kubu resistensi dan survival dengan

memanfaatkan sentimen-sentimen kultural, memori-memori

historis, dan emosi-emosi kolektif untuk melakukan

perlawanan terhadap identitas yang telah terlegitimasi

tersebut di atas. Ketika politik kekuasaan di Poso terjebak

dalam pertarungan kelompok kultural maka dominasi dan

resistensi mengalami eskalasi dan terartikulasi dalam bahasa-

bahasa kekerasan yang sistematis, struktural dan massif

selama konflik Poso berlangsung. Dalam konteks inilah Jemaat

Eli Salom Kele’i muncul dengan identitas rancangannya.

Identitas ini terbangun ketika para aktor seperti Marliana

Pulanga dan Pendeta Y. Bareta, berdasarkan material

keagamaan dan kultural yang ada pada mereka, membangun

sebuah identitas yang baru yang meredefinisi posisi mereka di

dalam masyarakat dan dengan upaya itu mengupayakan

transformasi struktur masyarakat Poso secara keseluruhan.

Identitas rancangan menghasilkan aktor sosial kolektif yang

melaluinya anggota-anggota jemaat Eli Salom meraih makna

holistik di dalam pengalaman sosial mereka. Dalam kasus

Jemaat Eli Salom, pembangunan identitas adalah proyek dari

satu kehidupan yang berbasis pada identitas yang tertekan,

tetapi kemudian meluas ke arah transformasi masyarakat

sebagai suatu perpanjangan proyek identitas itu sendiri.

Berdasarkan analisis tersebut di atas maka tesis kedua dalam

disertasi ini adalah bahwa Jemaat Eli Salom Kele’i sejatinya

adalah mekanisme reinterpretasi dan rekonstruksi identitas

kolektif dalam upaya memahami dunia sosial dengan

berbasiskan kepercayaan-kepercayaan fundamental sehingga

produk-produk budaya seperti agama tetap bermakna bagi

mereka.

Page 22: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

246 Redefinisi Tindakan Sosial …

4. Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’I dan Signifikansi

Sosiologisnya

Mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i berakar pada

pengalaman akan kehadiran Tuhan dan perjumpaan dengan-

Nya yang terjadi melalui mimpi dan penglihatan. Pengalaman

itu disebut sebagai pengalaman mistik karena sifatnya yang

suprarasional, meta-empiris, dan intuitif terhadap sesuatu

yang tak terbataskan oleh ruang dan waktu. Pengalaman

mistik itu kemudian membangkitkan emosi dan antusiasme

keagamaan serta rasa kebermaknaan seseorang terhadap diri

dan lingkungan sosialnya. Inilah yang terjadi dengan

sekelompok orang di desa Kele’i.

Hal yang penting untuk di analisis di sini adalah apa

hakikat dan makna pengalaman mistik itu dan apa yang

menjadi signifikansi sosiologisnya. Hasil wawancara dan

pengamatan empirik tidak menunjukan bahwa pengalaman

mistik itu hanya pengalaman gaib semata yang irasional dan

yang tidak memiliki pengaruh sosial. Sebaliknya, fakta

menunjukan bahwa pengalaman akan kehadiran Tuhan dan

pengimplementasian nilai-nilai kehidupan dalam dunia sosial

menunjukan adanya sebuah konstruksi mental spitirual yang

memberi landasan normatif bagi keterlibatan sosial mereka.

Bila dipahami secara eksistensial dari sudut pandang

psikologi sosial, tidak dapat disangkali bahwa pengalaman

mistik Marliana Pulanga adalah akumulasi dan perkembangan

sebuah proses sebab akibat antara kehidupan sosial dengan

berbagai kondisi psikhis dan fisiknya yang secara intensif

terarah pada objek -objek keyakinan yang berhubungan

dengan Tuhan. Pengalaman mistik Marliana Pulanga memiliki

keunikan tersendiri dibandingkan dengan pengalaman

keagamaan populer yang diklaim oleh banyak orang di Kele’i

sebagai hasil dari keikutsertaan mereka dalam obligasi

Page 23: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 247

keagamaan seperti ritual formal di rumah ibadah. Pengalaman

mistik Marliana Pulanga dikondisikan oleh pikiran dan

perasaan di dalam dimensi ruang dan waktu tertentu,

misalnya saat sepi di malam hari atau saat teduh menjelang

pagi, dalam ruangan yang gelap dan sunyi, ketika pikiran dan

perasaannya menjadi hangat dengan memori dan emosi

karena anomi yang dihasilkan oleh konflik Poso. Ragam

peristiwa tragis dan mengerikan memunculkan perasaan

cemas, takut, dan panik bagi Marliana Pulanga di tengah

ketidakjelasan nilai dan norma dalam kehidupan sosial. Di

tengah situasi dan kondisi tersebut kemudian timbul kondisi

mental tertentu yang terdiri dari berbagai perasaan seperti

sedih, kecewa, putus asa, marah, takut, panik, bingung dsb.

Kondisi mental ini – yang sering juga disertai dengan kondisi

fisik tertentu seperti terjadinya rasa mengantuk, lemas,

pusing, keringat dingin, jantung berdebar - selanjutnya

diarahkan pada Tuhan melalui objek-objek keagamaan seperti

doa, meditasi, puasa, dan membaca kitab suci. Proses ini

menjadi stimulan bagi munculnya keadaan kesadaran mistis

yang berbeda dengan keadaan kesadaran normal. Dalam

keadaan kesadaran mistis, medan kesadaran yang didominasi

oleh intelektual tersubstitusi oleh intuisi sehingga peranan

hati dan batin (daya afeksi) mengemuka dan menggantikan

peran nalar (daya kognisi). Dalam terminologi spiritualitas

proses itu disebut sebagai peralihan dari modus aktif kepada

modus reseptif. Modus aktif adalah cara yang mengutamakan

pemikiran logis, kontrol, analisis, dan penalaran. Modus ini

berperan dalam bidang gagasan dan sistem. Sedangkan modus

reseptif bersifat asosiatif, penyerahan, intuisi, dan kagum.19

Pada moment inilah seseorang menjadi pasif dan merasa tidak

19 Adolf Heuken, Spiritualitas Kristiani (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,

2002), 17.

Page 24: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

248 Redefinisi Tindakan Sosial …

dapat berpikir dan berkata lagi. Orang merasa dirinya

melayang, terpaku, terdiam, tak dapat berkata sepatahpun,

hilang kesadaran normal, kemudian terjerumus masuk ke

alam mimpi (halusinasi) dan penglihatan (vision) serta

pendengaran akan suatu realitas lain yang melampaui waktu

dan ruang.

Malam itu saya duduk di kamar setelah selesai

persekutuan doa di tenda, saya sudah puasa

dari pagi dan saya mau saat teduh untuk

berdoa. Tiba-tiba ada cahaya masuk ke dalam

kamar. Cahaya itu datang dan menyinari saya.

Saya tidak dapat bicara dan bergerak. Lalu saya

merasa terangkat dan melayang, saya di bawa

ke suatu tempat yang yang sangat mengerikan.

Waktu saya sadar saya pikir itu neraka. Di

tempat itu saya lihat beberapa muka yang saya

kenal, mereka sudah mati, ada yang karena

bunuh diri ada yang karena aborsi. Mereka

sangat menderita. Lalu saya dapat petunjuk

bahwa orang-orang Kele’i harus bertobat dan

kembali kepada Tuhan.20

Di dalam teologi mistik, apa yang terjadi dalam

pengalaman Marliana tersebut di atas dianggap sebagai

pengalaman mistik yang disebut orison persatuan. Seorang

mistik abad pertengahan Santa Teresa dari Avila mengatakan,

“Dalam orison persatuan, jiwa sepenuhnya terjaga terhadap

Tuhan, tetapi sepenuhnya tertidur terhadap hal-hal

keduniawian dan terhadap dirinya sendiri.”21

Mengenai penglihatan cahaya dan pendengaran

petunjuk yang dialami sebagai kehadiran Tuhan pada keadaan

20 Wawancara dengan Marliana Pulanga tanggal 1 April 2014 di Palu. 21 William James, Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius

Manusia (Bandung: Mizan, 2004), 536.

Page 25: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 249

kesadaran mistis tersebut, dapat dikatakan bahwa yang

melihat bukan nalar seorang Marliana, tetapi kontemplasinya

akan Tuhan.22 Dalam Fenomenologi agama cara melihat

seperti ini disebut sebagai suatu ekstasis atau suatu saat di

mana terjadi penyerahan diri yang total kepada kuasa dan

pertolongan Tuhan. Dalam pengalaman ini jiwa merasakan

dirinya terserap oleh suatu kehidupan yang kekal, menembus

ruang dan waktu. Inti pengalaman ini ialah bahwa semua

kondisi mental dan fisik sebagai suatu individualitas yang utuh

merembes dan larut ke dalam medan kuasa Tuhan dan

memberi kegembiraan serta kedamaian bagi orang yang

mengalaminya.23 Itulah sebabnya di dalam situasi dan kondisi

transien ini kemudian muncul kondisi mental tertentu yang

pada umumnya sebagai kebalikan atau lawan dari kondisi

mental sebelumnya. Beberapa anggota jemaat Eli Salom Kele’i

yang juga memiliki pengalaman mistik mengatakan bahwa

pada diri mereka muncul perasaan terhibur, sukacita, gembira,

bahagia, optimis, bergairah dan bersemangat, antusias, dan

berani menghadapi dan menjalani kehidupan mereka

selanjutnya. Inilah yang menjadi sumber antusiasme beragama

jemaat Eli Salom Kele’i yang menimbulkan kepasrahan dan

kepercayaan kepada Tuhan. Struktur spiritual dan sikap

mental inilah yang tetap dipertahankan ketika situasi transien

dan kondisi kesadaran mistis berakhir. Seseorang kembali

pada kesadaran normal dan terjadi sugesti terhadap sisi

kognitifnya serta timbul sebuah praanggapan keagamaan atau

pengakuan iman. Proses ini pada gilirannya akan

mempengaruhi pandangan seseorang terhadap diri dan

lingkungannya serta membentuk karakter serta perilaku

22 Lihat pemikiran Plotinos tentang pengalaman mistik dalam P.A. van der

Weij, Filsuf-Filsuf Besar Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 36. 23 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius,

1995), 288.

Page 26: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

250 Redefinisi Tindakan Sosial …

sosialnya. Dalam perspektif sosiologi agama, analisis ini

disebut sebagai model sibernetik karena perilaku sosial

seseorang atau sekelompok orang memiliki hubungan

kausalitas dengan proses-proses mental dan organik di dalam

dirinya.24

Penilaian eksistensial tersebut di atas tidak bisa

dihindari dalam upaya untuk memahami entitas dan struktur

psikologis pengalaman mistik di Jemaat Eli Salom Kele’i,

bagaimana itu bisa terjadi dan bagaimana tatanan serta asal

usulnya. Aspek-aspek psikologis memainkan peranan yang

signifikan dalam analisis ini. Namun demikian, seringkali hal

inilah yang mencemarkan sisi kehidupan keagamaan sehingga

muncul anggapan bahwa mereka yang memiliki pengalaman

mistik dan perasaan keagamaan yang kuat acap kali mendapat

serangan psikis abnormal. Hal ini nampak dari anggapan

sebagian orang bahwa Marliana Pulanga be mo mayoa

rayanya.25 Orang-orang seperti Marliana Pulanga dipandang

memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam. Mereka

menjalani kehidupan batin penuh konflik dan mengalami

suasana melankolis dalam realita kehidupan mereka yang

keras dan penuh penderitaan. Mereka kerap tenggelam ke

dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami

penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan yang

biasa disebut sebagai patologi. Ludwigh Feurbach mengatakan

bahwa semua pengalaman dan perasaan keagamaan hanyalah

alat psikologis yang digunakan manusia untuk

menggantungkan harapan, kebaikan, dan ideal-idealnya

sendiri kepada wujud khayal supernatural yang disebutnya

dengan Tuhan, dan dalam proses itu ia hanya mengecilkan arti

24 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Esei-Esei tentang Agama di Dunia Modern.

Diterjemahkan oleh Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2000), 14-15. 25 Bahasa Pamona yang atinya sudah terganggu akal dan pikirannya.

Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, 26 Maret 2014 di Kele’i.

Page 27: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 251

dirinya sendiri.26 Kritisisme terhadap pengalaman keagamaan

seperti ini, paling keras datang dari Sigmund Freud dengan

psiko analisisnya yang berusaha untuk memahami mengapa

pengalaman dan perasaan keagamaan manusia bisa bertahan

dalam masyarakat yang semakin rasional. Menurutnya emosi

keagamaan dapat bertahan, meskipun telah didiskreditkan

oleh realitas sosial dan intelektualitas manusia, karena sumber

dan akarnya bukan pada pikiran rasional tapi pikiran bawa

sadar. Pengalaman keagamaan muncul dari emosi dan konflik

yang berawal dari masa lalu seseorang dan berada di bawah

permukaan kepribadian yang normal dan rasional.

Pengalaman keagamaan adalah suatu neurosis obsessional.

Iahanya muncul sebagai respon terhadap konflik dan

kelemahan emosional yang dalam akibat sebuah peristiwa di

masa lalu. Inilah yang disebut dengan pendekatan agama yang

reduksionisme fungsionalistik. Artinya agama secara

keseluruhan dapat direduksi hingga lebih sedikit dari akibat

penderitaan psikologis, hingga sekedar kumpulan ide dan

kepercayaan yang setelah penampilan luarnya dirembus,

menjadi harapan ilusi yang digerakkan oleh alam bawa

sadar.27 Dengan interpretasi seperti itu kita mengingat tesis

Sigmund Freud, “Saya tidak pernah ragu bahwa fenomena

keagamaan harus dipahami sebagai sebentuk model tentang

gejala-gejala neurotik individu.”28 Itulah sebabnya para

penentang Jemaat Eli Salom Kele’i mengatakan bahwa

pengalaman mistik Marliana Pulanga hanyalah akibat masalah

emosional yang disebabkan oleh keadaan keluarganya dan

ketakutannya terhadap berbagai kondisi sosial di Poso dan

26 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (New York: Oxford Univ. Press,

1996), 140. 27Ibid., 147. 28 Sigmund Freud, Musa dan Monoteisme. Diterjemahkan oleh Burhan Ali

(Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), 89, 105.

Page 28: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

252 Redefinisi Tindakan Sosial …

Kele’i.29 Persoalannya sekarang adalah bagaimana

mengklarifikasi kebenaran pengalaman keagamaan Marliana

Pulanga. Dalam hal ini kriteria empiris menjadi cara yang logis

dan rasional untuk menentukan kebenaran suatu pengalaman

keagamaan. Kriteria empiris melihat adanya nilai spiritual

superior dari pengalaman keagamaan itu yang mempengaruhi

sikap batin, citra diri, pandangan tentang dunia, dan

membentuk tingkah laku yang etis.30

Setiap agama yang hidup memiliki tiga elemen dasar

yang penting yaitu elemen institusional, elemen intelektual,

dan elemen mistikal. Elemen institusional mencakup sistem

organisasi dan kelembagaan, kepemimpinan dan keanggotaan.

Elemen intelektual adalah abstraksi-abstraksi sistematis dan

logis serta refleksi-refleksi teologis dalam format sistem

dogma dan etika. Sementara elemen mistikal adalah

pengalaman-pengalaman keagamaan, baik bersifat batiniah

maupun historis.31 Dalam perspektif sosiologi agama, elemen-

elemen mistikal agama mempunyai hubungan kausalitas

dengan kondisi-kondisi historis masyarakat. Apabila sebuah

masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat dan

signifikan serta menimbulkan krisis sosial maka agama

institusional dan intelektual akan ditinggalkan lalu orang-

orang akan berpaling pada agama mistikal yang menawarkan

pengalaman-pengalaman keagamaan yang otentik, bersifat

langsung dan batiniah.32

29 Pada tingkat yang lebih ekstrim ada yang menganggap bahwa pengalaman

mistik dan perasaan keagamaan berhubungan dengan kehidupan seksual. Misalnya

masalah peralihan agama dilihat berhubungan dengan krisis masa pubertas. Dan

tindakan menyakiti diri, atau menerima penderitaan secara sukarela seperti yang

dilakukan oleh para orang suci hanyalah naluri pengorbanan diri parental yang salah

arah. Lih. James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 71, 87. 30Ibid., 79. 31 Dorothe Soelle, The Silent Cry: Mysticism and Resistance (Minneapolis:

Fortress Press, 2001), 45-49. 32 Perspektif teoritis ini dapat ditemukan dalam pemikiran Ernst Troletsch dan

Dorothee Soelle. Untuk jelasnya lihat kembali Bab III tentang Mistisisme.

Page 29: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 253

Analisis tersebut di atas pada akhirnya mau

menjelaskan mengapa pengalaman mistik seorang anak

bernama Marliana Pulanga dapat menjadi sebuah kepercayaan

umum yang melahirkan komponen-komponen dasar tindakan

sosial dan perilaku kolektif sejumlah orang di Kele’i.

Pengalaman mistik itu bersifat otentik dan fungsional dalam

konteks historisnya. Di satu pihak, pengalaman-pengalaman

keagamaan yang bersifat formal institusional, nampaknya

tidak membantu orang-orang di Kele’i untuk memahami dan

menyikapi kondisi sosial mereka. Mungkinkah ibadah-ibadah

liturgis di gereja, persekutuan-persekutuan doa keluarga,

pengajaran-pengajaran dan khotbah-khotbah para pelayan

Gereja telah kehilangan rohnya sehingga tidak mampu lagi

menyentuh konstruksi dasar spiritual orang-orang di Kele’i

dan telah gagal menjadi kerangka interpretasi terhadap

realitas sosial serta tidak mampu menjadi kerangka normatif

bagi perilaku sosial mereka. Cara berteologi yang dogmatis,

plagiatif, dan duplikatif, tanpa melibatkan struktur emosi dan

tanpa memperhitungkan konteks sosial dapat menjadi

penyebab keringnya antusiasme keagamaan di tengah

keramaian ibadah ritual. Berdasarkan analisis ini, maka dapat

dikatakan bahwa kemunculan ragam pengalaman mistik di

Poso, baik semasa konflik maupun sesudahnya, adalah

indikator kegagalan gereja untuk mengembangkan kehidupan

spiritual yang kontekstual dan fungsional. Di pihak lain,

antusiasme spiritual yang dikobarkan oleh pengalaman

keagamaan Marliana Pulanga menunjukan bahwa masyarakat

lebih membutuhkan agama yang fungsional ketimbang

doktrinal institusional. Mereka membutuhkan agama yang

dapat menolong untuk memberi perspektif terhadap

kebutuhan spiritual yang otentik dan meletakan basis normatif

yang baru bagi pola-pola perilaku di tengah perubahan dan

Page 30: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

254 Redefinisi Tindakan Sosial …

krisis sosial. Pragmatisme keagamaan ini tidak dapat

dipungkiri lagi ketika masyarakat terus diperhadapkan dengan

tantangan-tantangan baru dari lingkungan dunia sosial

mereka. Berdasarkan analisis ini maka tesis ketiga dari

disertasi ini adalah bahwa unsur-unsur dan gejala-gejala

mistisisme di Jemaat Eli Salom Kele’i adalah perilaku kolektif

yang rasional dan pragmatis untuk mendapatkan pengetahuan

dan pengalaman keagamaan yang otentik dan fungsional di

luar formalisme dan dogmatisme agama yang kaku.

Fakta-fakta eksistensial yang menjadi objek

interpretasi psikologi modern tidak cukup sahih untuk dapat

menentukan hakekat dan nilai spiritual pengalaman mistik

seseorang. Atau dengan kata lain, sumber pengalaman dan

perasaan keagamaan manusia tidak hanya terletak pada sebab

musabab organik. Oleh sebab itu kritik terhadap materialisme

medis adalah bahwa ia telah mencoba mengembangkan

sejenis teori psiko-fisika yang menghubungkan nilai-nilai

spiritual secara umum dengan perubahan-perubahan fisiologis

tertentu, tetapi pada saat yang sama ia tidak dapat

menjelaskan signifikansi filosofis sebuah pengalaman mistik

keagamaan.

Signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom

Kele’i hanya dapat diuji melalui kriteria empiris. Dengan kata

lain, satu-satunya bukti akan orisinalitas pengalaman

keagamaan Marliana Pulanga dan beberapa anggota jemaatnya

dapat dilihat pada kondisi mental, perilaku, dan identitas

mereka di tengah masyarakat. Kesetiaan dan ketulusan

mereka dalam beribadah kepada Tuhan, perjuangan dan

ketabahan hidup menjalani kehidupan dengan berbagai

kesulitan dan penderitaan, suasana sukacita dan rasa syukur

yang nampak melalui setiap aktifitas keseharian di tengah

lingkungan sosialnya dan kesediaan serta ketulusan untuk

Page 31: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

Redefinisi Tindakan Sosial… 255

saling menolong dan memaafkan satu terhadap yang lain,

semua itu adalah cerminan rasa kebermaknaan yang

dihasilkan oleh pengalaman keagamaan mereka. Dengan

demikian menjadi jelas bahwa bahwa pengalaman mistik

Marliana Pulanga dan Jemaat Eli Salom Kele’i telah

memperdalam rasa kebermaknaan mereka sebagai manusia

yang percaya pada kuasa dan kasih Tuhan, menyediakan nilai

dan norma bagi tindakan-tindakan sosial mereka, dan

memberi isi terhadap identitas mereka di tengah pluralitas

kultural masyarakat.

Sikap mental, perilaku, dan identitas tersebut adalah

ekspresi rasa kebermaknaan yang tidak hanya diperoleh

melalui praktek-praktek objektif pelayanan kelembagaan

gereja, tetapi melalui sebuah kondisi mental emosional

tertentu yang terstruktur secara organis dan mampu

menstimulasi munculnya sebuah pengalaman akan Tuhan

yang bersifat subjektif, langsung, dan batiniah. Itulah

sebabnya pengalaman melihat sebuah kilatan cahaya di malam

hari, mendengar suara melalui telinga batin, melihat sesosok

wajah, ketabahan di tengah penderitaan, semuanya adalah

pengalaman-pengalaman yang diyakini sebagai fakta

kehadiran Tuhan dan perjumpaan denganNya. Bagi orang yang

mengalami kehadiran Tuhan secara mistik, perasaan-perasaan

batin akan perjumpaan dengan Tuhan sama nyatanya dengan

pengalaman-pengalaman melalui penginderaan secara

langsung, bahkan jauh lebih meyakinkan dari pada hal-hal

yang dihasilkan oleh logika semata. Itulah sebabnya, oleh

pengalaman mistik, seseorang tidak bisa membendung

pemikiran bahwa apa yang telah terjadi pada dirinya adalah

persepsi sejati atas kebenaran, seperti sebuah penyingkapan

sejenis realitas yang tidak dapat disingkirkan oleh argumen

apapun. William James mengatakan, “Jika seseorang

Page 32: BAB VI REDEFINISI TINDAKAN SOSIAL DAN REKONSTRUKSI …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/6/D_762010701_BAB VI.pdf · Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan

256 Redefinisi Tindakan Sosial …

merasakan kehadiran Tuhan sedemikian nyata, argumen-

argumen kritis anda akan tak berguna dalam mengubah

keyakinannya.”33 Dengan demikian menjadi jelas bahwa

signifikansi sosiologis mistisisme Jemaat Eli Salom Kele’i tidak

ditentukan oleh fakta eksistensial dan argumentasi logisnya,

melainkan oleh kriteria empirisnya, yakni bagaimana

keyakinan keagamaan yang telah ditimbulkan oleh

pengalaman-pengalaman mistik Marliana Pulanga dan

anggota jemaatnya bekerja secara keseluruhan dalam

kehidupan sosial sekelompok masyarakat di Kele’i. Sikap

mental, perilaku dan identitas kolektif Jemaat Eli Salom adalah

bukti yang paling nyata dari signifikansi sosiologis

pengalaman dan perilaku mistik mereka.

---

33 James, Perjumpaan dengan Tuhan…, 144.