02 bab i pendahuluanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10283/1/d_762010701_bab i.pdf · di...

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pemikiran Kerusuhan dan konflik sosial di Poso yang terjadi pada kurun waktu 1998-2005 telah menjadi sebuah tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan suasana anomi. 1 Secara sosiologis masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok suku dan agama yang bertikai atas nama identitasnya masing- masing. Secara kultural nilai budaya Sintuwu Maroso 2 yang mempersatukan masyarakat Poso yang memiliki keragaman suku dan agama berubah menjadi fanatisme kelompok. Secara politis jabatan-jabatan publik menjadi perebutan kelompok- kelompok masyarakat berdasarkan suku dan agama. Secara ekonomi masyarakat kehilangan harta benda karena aksi-aksi penjarahan dan pembakaran. Secara psikologis masyarakat masih diliputi oleh pengalaman-pengalaman traumatis akibat aksi-aksi kekerasan dan teror berdarah. Dengan demikian kerusuhan dan konflik Poso telah menyebabkan perubahan interaksi dan struktur sosial serta melahirkan ragam masalah di dalam masyarakat. Dari tengah keadaan seperti itu Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dalam Laporan pelayanannya 1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai oleh kekacauan norma- noma yang mengatur interaksi sosial. Nicholas Abercrombie (et.al), Kamus Sosiologi. Diterjemahkan oleh Desy Noviyani dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 24-25. 2 Sintuwu Maroso secara hurufiah berarti saling menghidupan. Budaya ini berakar pada kepercayaan orang Poso bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi bagian dari kelompoknya. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia memerlukan orang lain. Oleh sebab itu, setiap orang mempunyai tanggung jawab untuk menghidupkan orang lain, sebagaimana orang lain menghidupkan dirinya. Orang Poso percaya bahwa kekuatan masyarakat untuk menghadapi segala pekerjaan dan permasalahan terletak pada budaya Situwu Maroso ini

Upload: lamxuyen

Post on 17-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemikiran

Kerusuhan dan konflik sosial di Poso yang terjadi pada

kurun waktu 1998-2005 telah menjadi sebuah tragedi

kemanusiaan yang mengakibatkan suasana anomi.1 Secara

sosiologis masyarakat terpecah ke dalam kelompok-kelompok

suku dan agama yang bertikai atas nama identitasnya masing-

masing. Secara kultural nilai budaya Sintuwu Maroso2 yang

mempersatukan masyarakat Poso yang memiliki keragaman

suku dan agama berubah menjadi fanatisme kelompok. Secara

politis jabatan-jabatan publik menjadi perebutan kelompok-

kelompok masyarakat berdasarkan suku dan agama. Secara

ekonomi masyarakat kehilangan harta benda karena aksi-aksi

penjarahan dan pembakaran. Secara psikologis masyarakat

masih diliputi oleh pengalaman-pengalaman traumatis akibat

aksi-aksi kekerasan dan teror berdarah. Dengan demikian

kerusuhan dan konflik Poso telah menyebabkan perubahan

interaksi dan struktur sosial serta melahirkan ragam masalah

di dalam masyarakat.

Dari tengah keadaan seperti itu Majelis Sinode Gereja

Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dalam Laporan pelayanannya

1 Anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai oleh kekacauan norma-

noma yang mengatur interaksi sosial. Nicholas Abercrombie (et.al), Kamus Sosiologi.

Diterjemahkan oleh Desy Noviyani dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 24-25. 2 Sintuwu Maroso secara hurufiah berarti saling menghidupan. Budaya ini

berakar pada kepercayaan orang Poso bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi

bagian dari kelompoknya. Manusia tidak dapat hidup sendiri. Ia memerlukan orang

lain. Oleh sebab itu, setiap orang mempunyai tanggung jawab untuk menghidupkan

orang lain, sebagaimana orang lain menghidupkan dirinya. Orang Poso percaya bahwa

kekuatan masyarakat untuk menghadapi segala pekerjaan dan permasalahan terletak

pada budaya Situwu Maroso ini

2 Redefinisi Tindakan Sosial …

di depan Sidang Sinode GKST ke-41 tanggal 12 – 18 Oktober

2004 di Tentena menyebutkan:

Konflik dan kerusuhan yang melanda hampir

seluruh wilayah pelayanan GKST telah

membuat seluruh tatanan dan semua sistem

kehidupan bermasyarakat dan bergereja porak-

poranda. Penderitaan, ketertindasan, dan

keterpurukan yang dialami oleh warga GKST

secara psikologis menyebabkan daya tahan

warga jemaat menjadi lemah, frustrasi, dan

putus asa. Tetapi di lain pihak penderitaan ini

menguji ketabahan dan kesabaran gereja untuk

tetap bertahan menghadapi badai dan berusaha

tidak lelah melayani bagi persekutuan jemaat.

Sebagai akibatnya terjadi pergeseran paradigma

berteologi bahkan kebingungan dan

kegamangan dalam berteologi di kalangan

pemimpin dan warga jemaat dengan munculnya

berbagai aliran, ajaran-ajaran teologi, cara-cara

penyembahan yang dianggap baru dan berbeda

dari kebiasaan dan tradisi yang berlaku di

GKST.3

Apa yang disebutkan di atas adalah realitas keagamaan

yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Poso, baik pada

waktu konflik maupun sesudahnya. Di desa Meko Pamona

Barat seorang anak berumur delapan tahun bernama Selvin

Bungge mengejutkan seluruh masyarakat oleh ritual yang

dipimpinnya yang dapat menyembuhkan berbagai macam

penyakit. Di desa Pamona Tentena, seorang anak bernama

Moko menyadarkan masyarakat dengan khotbah-khotbahnya

di dalam ibadah-ibadah kebangunan rohani yang dihadiri

ribuan orang. Sementara di desa Kele’i Kecamatan Pamona

3 Laporan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Periode 2001-

2004 yang disampaikan dalam Sidang Sinode GKST ke-41 tanggal 12 Oktober 2004 di

Tentena.

Pendahuluan 3

Timur muncul sebuah gerakan keagamaan dari sekelompok

warga GKST yang menamakan diri mereka Jemaat Eli Salom.

Tentang fenomena keagamaan ini, Ketua Majelis Sinode GKST

Pdt. Ishak Pole, M.Si mengatakan,

Kita harus mengakui bahwa fenomena spiritual

ini adalah Missio Dei, pekerjaan Allah yang supra-

rasional, mengatasi penalaran dan cara kita

berpikir. Kita hanya bisa menerimanya dengan

rendah hati sambil mengucap syukur, bahwa

Allah berkenan mengaruniakan peristiwa ini

terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.

Pesannya jelas agar iman dan pengharapan kita

lebih diteguhkan. Tidak perlu diragukan lagi

bahwa peristiwa ini hendak menegaskan kepada

kita bahwa Allah masih mengendalikan keadaaan,

di tengah-tengah krisis multi dimensi yang kita

alami selama ini. Allah tetap peduli terhadap

penderitaan umatNya. Kita semua perlu

penyembuhan dan pemulihan.4

Gerakan Jemaat Eli Salom berkembang dari perilaku

kolektif keagamaan warga gereja Gereja Kristen Sulawesi

Tengah (GKST) yang telah disebutkan di atas. Perilaku kolektif

keagamaan yang dimaksud di sini adalah fenomena mobilisasi

warga gereja GKST dengan berbasis kepercayaan terhadap

sejumlah pengalaman keagamaan. Salah satu pengalaman

keagamaan yang menarik datang dari seorang anak remaja

yang bernama Marlyana Pulanga di tahun 2008. Remaja

tersebut melihat sejumlah garis-garis seperti huruf-huruf yang

membentuk sejumlah kalimat yang muncul di tembok depan

gereja Yerusalem Kele’i, di belakang mimbar utama.

Penglihatan ini diikuti oleh mimpi sang remaja di malam hari.

Dalam mimpi itu ia mendapat pengertian tentang apa yang

dilihatnya di tembok depan Gereja. Dalam kesaksian

4 Lih. sambutan Pdt. Ishak Pole dalam Tertius Lantigimo, Fenomena Mujizat

Kesembuhan Ilahi di Meko (Tentena: Percetakan Vibra, 2007), 6.

4 Redefinisi Tindakan Sosial …

tertulisnya, huruf-huruf dan kalimat-kalimat aneh di tembok

gereja itu diartikannya sebagai berikut:

Hanya orang percayalah yang bisa memasuki kota

Allah. Bertobat dan balik pada Allahmu. Ini

perintah yang kusampaikan kepadamu. Mengapa

masih banyak orang yang tidak percaya akan

mujizat-mujizat yang telah terjadi di Tentena dan

sekitarnya? Anak-anak-Ku kalian adalah orang-

orang munafik. Tubuh yang Ku berikan padamu

janganlah pernah menodainya dengan dosa-dosa

kalian yang telah tercatat. Bersatulah kalian

untuk melawan Iblis…. Bertobatlah dan

bersatulah menjadi orang yang percaya

sepenuhnya kepada-Ku dan menyerahkan

hidupnya hanyalah kepada-Ku, sebab tidak ada

Allah lain di dunia ini selain Aku…. Semua tulisan

yang telah kutunjukan kepadamu adalah

peringatan yang Ku tulis untuk semua orang, agar

mereka bertobat. Edarkanlah tulisan-tulisan ini

yang telah Ku perlihatkan kepadamu…. Ingatlah

apa yang telah kuperlihatkan kepadamu melalui

tulisan dan melalui mujizat-mujizat yang

kuberikan kepada anak-anak pilihan-Ku. Sekali

lagi ini perintah… Bertobatlah dan balik kepada

Bapa!5

Pengalaman keagamaan sejenis itu terjadi berulang-

ulang, sehingga ia mulai menceritakannya kepada orang lain,

mulai dari lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan

gereja dan masyarakat di desanya. Keluarga dan masyarakat

percaya dengan apa yang dikatakan dan dituliskan oleh remaja

tersebut. Oleh karena itu setiap malam mereka datang

berkumpul di rumah sang remaja tersebut dan mendengarkan

perkataan-perkataannya yang berdasarkan penglihatan dan

mimpi-mimpinya itu. Perkumpulan pada setiap malam hari ini

5 Rantelemba Sipatu, Fenomena di Desa Kele’i (Palu: UKS, 2008), 2.

Pendahuluan 5

kemudian berkembang menjadi sebuah perkumpulan ritual

doa dan penyembuhan. Sang remaja tersebut mulai dipandang

sebagai seorang nabi kecil karena dalam perkataan-

perkataannya terkandung nilai-nilai keagamaan, ajaran-ajaran

moral, dan nubuat-nubuat tentang hari depan. Nilai-nilai

keagamaan yang diajarkannya berpusat pada perdamaian dan

rekonsiliasi persekutuan hidup berdasarkan kasih dengan

Tuhan dan sesama manusia. Ajaran-ajaran moralnya berkisar

pada sikap hidup sehari-hari yang suci, damai dan anti

kekerasan.

Pertemuan dalam bentuk ritual doa setiap malam ini

terjadi secara spontan dan terbuka bagi semua orang yang

secara sukarela datang dan ikut di dalamnya, baik yang berasal

dari desa Kele’i maupun desa-desa lainya di Poso, bahkan ada

yang berasal dari kabupaten dan propinsi lain di Indonesia.

Sementara itu, dalam beberapa kesempatan sang remaja

tersebut berkunjung ke tempat-tempat lain di daerah-daerah

yang pernah dilanda oleh kerusuhan dan konflik sosial untuk

menyampaikan pengalaman keagamaan dan ajaran-ajarannya.

Setelah berjalan selama kurang lebih dua tahun sejak

2008, orang-orang yang setiap malam berkumpul tersebut

mulai terorganisir. Pada tahun 2010 mobilisasi perilaku

kolektif ini mulai mengarah pada pembentukan sebuah

organisasi kegerejaan yang disebut kelompok kebaktian.

Orang-orang yang ikut dalam mobilisasi perilaku kolektif ini

mulai membangun fasilitas tempat pertemuan dan

melepaskan diri dari jemaat mereka yang semula serta dengan

tegas menyatakan diri sebagai anggota dari kelompok

kebaktian ini. Setahun kemudian, yaitu di tahun 2011,

kelompok kebaktian ini menciptakan struktur internal

organisasi kegerejaan mereka dan menyebut diri mereka

sebagai Jemaat Eli Salom Kele’i. Menurut data pada tahun

6 Redefinisi Tindakan Sosial …

2013, jumlah anggotanya terdiri dari 254 kepala keluarga dan

887 jiwa. Beberapa dari mereka adalah warga gereja dan

warga masyarakat yang pernah terlibat dalam kerusuhan dan

konflik Poso.6 Mereka menjalankan ibadah ritual dan sikap

hidup sehari-hari yang terdiferensiasi dari masyarakat di

sekitarnya berdasarkan kepercayaan dan ajaran-ajaran yang

disampaikan oleh sang nabi kecil yang bernama Marliana

Pulanga, antara lain kewajiban melakukan ritual doa dan

penyucian diri setiap malam di rumah ibadah mereka,

mempercayai dan menjadikan penglihatan dan mimpi-mimpi

sebagai sumber ajaran iman, dan melarang anggota-

anggotanya untuk mengkonsumi jenis-jenis makanan dan

minuman beralkohol.7

Kemunculan dan perkembangan awal Jemaat Eli Salom

Kele’i mendapat tantangan dari pihak-pihak masyarakat

tertentu. Kelompok penentang yang pertama datang dari

beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama di desa Kele’i.8

Menurut Kades Kele’i, ketika mobilisasi perilaku kolektif ini

mulai mengarah pada proses pelembagaannya, sering terjadi

ketegangan dan konflik antara kelompok Jemaat Eli Salom

dengan pihak-pihak yang menolak kepercayaan dan praktek

hidup sosial keagamaan mereka. Dalam konflik itu kelompok

Jemaat Eli Salom di satu pihak tetap menjalankan kepercayaan

dan cara hidup mereka, namun di lain pihak mereka

menghindari cara-cara kekerasan seperti yang pernah

dilakukan oleh kelompok yang menentang kepercayaan dan

keberadaan mereka. Konflik itu sempat mengganggu stabilitas

kehidupan bermasyarakat secara umum di desa Kele’i,

6 Wawancara dengan Pdt. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom Kele’I, 15 Juni

2013 di Kele’i. 7 Wawancara dengan Pdt. Pasambaka, Pendeta Jemaat GKST Yerusalem

Kele’I, 16 Juni 2013 di Kele’i. 8 Wawancara dengan Kades Kele’i, 17 Juni 2013 di Kele’i.

Pendahuluan 7

sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Poso turun tangan

menyelesaikan ketegangan yang ada di sana.9

Mayoritas penduduk setempat adalah warga Gereja

Kristen Sulawesi Tengah yang berpusat di kota Tentena yang

letaknya kurang lebih lima kilometer arah Barat desa Kele’i.

Melihat semakin banyaknya orang yang bersimpati dan

berpartisipasi dalam kelompok Eli Salom, maka pada tanggal

15 Desember 2010 Majelis Sinode GKST mengeluarkan Surat

Keputusan No. 02/AKTA/2010 tentang Penolakan terhadap

Ajaran tentang Mimpi, Penglihatan, Bisikan, dan Petunjuk.

Dalam butir 3 & 4 dari akta tersebut Majelis Sinode GKST

menegaskan:

Akhir-akhir ini warga gereja diperhadapkan

dengan fenomena supranatural seperti MIMPI,

PENGLIHATAN, BISIKAN, dan PETUNJUK, yang

muncul kepada seseorang dan menarik perhatian

bagi orang lain kemudian mereka membentuk

satu kelompok terpisah... Fenomena seperti ini

mempengaruhi banyak warga gereja sehingga

ada kecenderungan untuk mengidolakan orang

yang katanya punya “karunia” khusus seperti itu,

dan mensejajarkannya dengan wibawa (otoritas)

Alkitab…. Gereja Kristen Sulawesi Tengah

menolak semua bentuk penyataan yang tidak

bersumber dari Alkitab…. GKST menolak

fenomena MIMPI, BISIKAN, PENGLIHATAN,

PETUNJUK yang terjadi pada orang-orang

tertentu jika itu disetarakan/disejajarkan dengan

otoritas (wibawa) Alkitab.

Keputusan Majelis Sinode GKST ini secara tidak

langsung menolak keberadaan Jemaat Eli Salom Kele’i.

Sementara Jemaat Eli Salom sendiri tetap pada kepercayaan

9 Wawancara dengan Sekretaris Kecamatan Pamona Timur, Bapak Penyami,

22 November 2012 di Taripa.

8 Redefinisi Tindakan Sosial …

dan praktek hidup keagamaan mereka. Lebih dari itu,

pengalaman-pengalaman mistik keagamaan seperti

penglihatan dan mimpi sudah menyebar ke sebagian anggota

kelompok Eli Salom. Oleh sebab itu dalam setiap pertemuan

ritual doa mereka, terdapat kesempatan kepada siapa saja

untuk menyampaikan pengalaman-pengalaman keagamaan

tersebut.

Walaupun kepercayaannya terhadap penglihatan dan

mimpi mendapat penolakan dari Majelis Sinode GKST, namun

Jemaat Eli Salom Kele’i tetap mengakui keberadaannya sebagai

bagian dari jemaat-jemaat GKST. Dalam keadaan seperti ini

akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2011, Majelis Sinode GKST

meresmikan Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai salah satu jemaat

GKST dengan kepercayaan, ajaran, dan praktek hidup yang

tersendiri.10

Keadaan anomi sejak kerusuhan dan konflik Poso

pecah tidak saja ditandai oleh keruntuhan norma-norma yang

mengatur interaksi sosial tetapi juga ditandai oleh fenomena

kebangkitan agama dan gerakan-gerakan mistisisme di dalam

masyarakat. Kebangkitan keagamaan dapat dilihat dari

semangat dan perilaku keagamaan warga masyarakat yang

meningkat melalui partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan

ritual dan penggunaan simbol-simbol keagamaan baik secara

individual maupun kelompok. Sementara itu gerakan-gerakan

mistisisme nampak melalui kemunculan pribadi-pribadi

kharismatik dan komunitas-komunitas keagamaan yang

menekankan pengalaman-pengalaman keagamaan yang

bersifat batiniah, langsung, dan tanpa dimediasi oleh sistem

ajaran dan sistem ritual agama yang terorganisir. Keadaan ini

memunculkan pertanyaan apakah mungkin keadaan anomi

10 Wawancara dengan Pdt. Y. Bareta, Pendeta Jemaat Eli Salom, 15 Juni 2013

di Kele’i.

Pendahuluan 9

tersebut telah memicu kebangkitan agama dan gerakan

mistisisme di Poso? Bagaimana menghubungkan keruntuhan

nilai-nilai dan norma-norma dalam interaksi sosial masyarakat

Poso dengan ragam gerakan keagamaan yang muncul di dalam

kehidupan masyarakat? Bagaimana hubungan kausalitas

antara kondisi sosial di Poso dengan perilaku keagamaan

masyarakat? Apa peran kepercayaan-kepercayaan keagamaan

dalam aksi-aksi kolektif atau mobilisasi massa? Apakah agama

sebagai sistem kepercayaan fundamental dan sumber nilai

serta norma sosial secara keseluruhan telah menjadi kekuatan

dissosiatif dan destruktif bagi kehidupan masyarakat Poso

yang terdiri dari ragam suku dan agama? Ataukah agama

dalam pengertian tersebut sebenarnya ikut memainkan peran

yang strategis dalam proses rehabilitasi dan rekonsiliasi sosial

pasca konflik? Pertanyaan-pertanyaaan ini kemudian

bermuara pada satu pokok persoalan, yaitu bagaimana

memberikan deskripsi dan analisis sosiologis terhadap

fenomena munculnya gerakan-gerakan keagamaan pasca

konflik Poso, yang salah satu di antaranya adalah gerakan

Jemaat Eli Salom Kele’i?

Agama mencakup tindakan-tindakan sosial dan

perilaku kolektif manusia di dalam konteks sejarahnya. Secara

fungsional agama adalah bagian dari kehidupan sosial dan

kultural masyarakat. Agama adalah reaksi populer terhadap

opresi. Melalui agama, mereka yang berada pada posisi

teralienasi dan ada di level terbawah dalam stratifikasi sosial

dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis untuk

memahami realitas mereka dan berkompensasi dengan

mencari tujuan-tujuan alternatif di dalam agama. Di pihak lain,

agama memiliki kontribusi terhadap integrasi sosial.

Modernisasi yang melanda masyarakat mengakibatkan terjadi

pembagian kerja yang massif, sistematis, dan terorganisir. Hal

10 Redefinisi Tindakan Sosial …

ini mendorong paham individualisme dalam masyarakat dan

akan mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan sosial. Akan

tetapi agama dapat menjadi alat kohesi sosial sehingga

walaupun terjadi pembagian kerja yang semakin terstruktur,

masyarakat tetap terintegrasi secara moral.11 Ada juga yang

melihat agama sebagai penyedia kepercayaan fundamental

untuk tindakan sosial dan perilaku kolektif yang berorientasi

nilai. Agama memberi isi terhadap komponen perilaku kolektif

untuk upaya – upaya redefinisi dan restorasi tindakan sosial

dalam sebuah masyarakat yang mengalami ketegangan-

ketegangan struktural.12 Secara kultural agama dapat menjadi

sumber makna dalam memberi isi terhadap identitas kolektif.

Keterjalinan masyarakat melalui arus informasi dan

telekomunikasi telah mengakibatkan munculnya identitas-

identitas dominan. Keadaan ini menstimulasi komunitas-

komunitas lokal untuk menggunakan agama sebagai basis

resistensi identitas kolektif mereka.13

Dengan perspektif fungsional tersebut maka persoalan

yang menarik untuk dianalisis adalah bagaimana menjelaskan

secara sosiologis kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i. Dalam

hal apa fenomena keagamaan tersebut dapat dideskripsikan

dan dianalisis sebagai sebuah gerakan sosial? Kondisi-kondisi

sosial kultural apa yang menyebabkan kemunculan dan

perkembangannya? Apa yang menjadi motif dan tujuan dari

11 Pandangan-pandangan ini berakar pada pemikiran Karl Marx tentang

agama sebagai suprastruktur sosial dan pemikiran Emile Durkheim tentang agama

sebagai integrasi sosial. Lih. Inger Furseth, An Introduction to the Sociology of Religion

(Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 1 – 22. 12Menurut Neil Smelser pada umumnya gerakan-gerakan sosial berorientasi

nilai adalah gerakan-gerakan keagamaan. Tujuannya yang utama adalah untuk

mengartikulasikan kembali tindakan sosial. Untuk lebih jelasnya lih. Neil Smelser,

Theory of Collective Behavior (New York: The Free Press, 1962), 313 – 380. 13 Menurut Manuel Castells bahwa dalam masyarakat modern ada tiga jenis

identitas, yaitu legitimizing identity, resistance identity, dan project identity. Castells

membaca fenomena kebangkitan ragam gerakan keagamaan di dalam era globalisasi

dan informasi sebagai mekanisme resistance identity. Untuk jelasnya lih. Manuel

Castells, The Power of Identity (Malden MA: Blackwell Publishing, 2003), 6-12.

Pendahuluan 11

perilaku-perilaku kolektif mereka? Apa yang menjadi

kepercayaan fundamental yang terekspresi dalam nilai-nilai

dan norma-norma sebegai elemen dasar tindakan sosial

mereka?

Studi dan kajian terhadap gerakan-gerakan keagamaan

seperti munculnya aliran dan kelompok-kelompok keagamaan

baru di dalam masyarakat memang bukan sesuatu yang baru

di dalam khasanah studi agama pada umumnya dan kajian

tentang gerakan-gerakan sosial keagamaan baru pada

khususnya. Namun demikian tidak dapat disangkali bahwa

sebagian besar eksplanasi dan penelitian di sekitar fenomena

gerakan-gerakan keagamaan yang muncul di Indonesia pada

umumnya, dan di Poso pada khususnya masih terisolasi dari

perkembangan konsep-konsep dan teori gerakan sosial.

Penelitian tentang fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi di

Meko yang dilakukan oleh Tertius Lantigimo masih terbatas

pada kajian teologis Alkitabiah.14 Sebuah studi tentang Gejala

Mistisisme dalam Jemaat Pengungsi GKST di Tentena masih

terbatas pada kajian teologis psikologis.15 Penelitian yang

dilakukan oleh Herlianto tentang Gerakan Nama Suci hanya

menjelaskan pengaruh tradisi-tradisi Yudaisme terhadap

keberadaan gerakan tersebut dan mendeskripsikan pokok-

pokok ajarannya.16 Demikian juga dengan buku Gerakan

Kharismatik yang ditulis oleh Denny Teguh Sutandio hanya

berisikan tinjauan reflektif dan kritis Alkitabiah.17 Pada tahun

2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

melakukan penelitian tentang Aliran-Aliran dalam Agama

Kristen di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di empat

14 Lih. Lantigimo, Fenomena Mujizat Kesembuhan Ilahi…, 1-10. 15 Lih. Tony Tampake, Deskripsi dan Analisis Gejala Mistisisme dalam Jemaat

Pengungsi GKST di Tentena (Salatiga: Tesis Magister Sosiologi Agama UKSW, 2006). 16Lih. Herlianto, Gerakan Nama Suci (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009). 17Lih. Denny Teguh Sutandio, Gerakan Kharismatik, Tinjauan Reflektif dan

Kritis Alkitabiah (Jakarta: Penerbit Sola Scriptura, 2010).

12 Redefinisi Tindakan Sosial …

wilayah, yaitu NTT, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah, dan

Jogyakarta. Penelitian berhasil mendeskripsikan sejarah

munculnya aliran-aliran baru dalam agama Kristen di

Indonesia. Namun demikian analisis sosial kultural untuk

mendapatkan sebab-sebab struktural dan kultural belum

dieksplorasi lebih jauh.18 Dari hasil penelitian tersebut

nampak bahwa penelitian masih bersifat normatif teologis

dengan sedikit latar belakang historis. Penelitian-penelitian ini

perlu diberi apresiasi karena telah menyediakan deskripsi

historis dan ekpslanasi-eksplanasi normatif tentang fenomena

kebangkitan ragam gerakan keagamaan baru dan kebangkitan

agama-agama mistikal di Indonesia. Namun demikian analisis

lebih jauh tentang bagaimana aktor-aktor kolektif menanggapi

berbagai ketidakpuasan, menggunakan berbagai sumber daya

kelembagaan dan organisasi untuk mendapatkan dukungan

dan membuat kerangka-kerangka mobilisasi yang

menggunakan simbol-simbol belum dilakukan. Akibatnya

dinamika, proses dan organisasi aktivisme agama belum dapat

dipahami sebagai elemen-elemen tindakan sosial dan

konstruksi identitas.19

Secara sosiologis gerakan keagamaan adalah bagian

dari gerakan sosial.20 Itu berarti perilaku-perilaku kolektif

keagamaan dapat dikelompokkan dan dianalisis di bawah

kerangka konseptual yang sama dengan semua perilaku

18 Lih. Kementerian Agama Balai Litbang dan Pengembangan Agama

Semarang, Laporan Hasil Penelitian Aliran-Aliran dalam Agama Kristen di NTT, Kalbar,

dan DIY (Semarang: Kemenag Balitbang Semarang, 2011). 19 Keadaan ini menjadi gejala umum studi-studi agama di Indonesia yang

masih terisolasi dari perkembangan teoritis dan konseptual gerakan-gerakan sosial.

Lih. Quintan Wiktorowicz, Gerakan Sosial Islam: Pendekatan, Teori, dan Studi Kasus.

Diterjemahkan oleh Tim Peneliti Paramadina (Yogyakarta: Paramadina, 2012). 20 Jean Francois Mayer, dalam Jacques Waardenburg (Ed.), New Approaches

to the Study of New Religions (Berlin & New York: Walter de Gruyter GmbH & Co,

2004), 412.

Pendahuluan 13

sosial.21 Dalam kaitan dengan hal ini para ahli mendefinisikan

gerakan sosial sebagai suatu mekanisme tindakan kolektif

yang terorganisir secara longgar untuk menghasilkan

perubahan dalam masyarakat mereka.22

Berdasarkan dua komponen utama perilaku kolektif,

yaitu nilai dan norma, Neil Smelser membagi dua tingkatan

utama gerakan sosial, yaitu gerakan sosial yang berorientasi

nilai dan gerakan sosial yang berorientasi norma. Nilai-nilai,

yang akan memberikan panduan terhadap perilaku sosial yang

disengaja, adalah komponen yang paling umum dari tindakan

sosial dan yang dapat ditemukan dalam sebuah sistem nilai

dengan terma-terma umum yang menyatakan tujuan akhir

atau kondisi akhir yang diharapkan. Sedangkan norma-norma

adalah aturan-aturan regulatif yang mengatur pencapaian

tujuan-tujuan perilaku sosial. Norma-norma adalah aturan

yang mewakili penegasan penerapan nilai-nilai umum dan

dapat ditemukan di dalam struktur institusional yang resmi.

Sebuah gerakan sosial, entah itu berorientasi nilai atau norma,

muncul melalui sebuah mekanisme tertentu dengan sejumlah

faktor penentu, yaitu adanya kondusifitas struktural

(structural conduciveness), ketegangan struktural (structural

strain), perkembangan dan penyebaran sebuah kepercayaan

umum, faktor-faktor pencetus, mobilisasi partisipan untuk

tindakan sosial, dan kontrol sosial.23Apabila faktor-faktor ini

digunakan secara analitis dalam fenomena Jemaat Elis Salom

Kele’i maka dapat diasumsikan bahwa situasi-situasi empirik

di mana ragam tipe perilaku kolektif keagamaan mereka

mucul dapat diuraikan dan dipahami.

21 Lorne L. Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements (Malden MA:

Blackwell Publishing Ltd. 2003), 5. 22 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, diterjemahkan oleh

Alimandan (Jakarta: Prenada, 2007), 325. 23 Smelser, Theory of Collective Behavior…, 15-17.

14 Redefinisi Tindakan Sosial …

Kalau pendekatan struktural fungsional seperti ini

dipakai, maka analisis terhadap perilaku kolektif keagamaan

jemaat Eli Salom Kele’i dapat dibangun di atas dua konstruksi.

Yang pertama adalah konstruksi komponen-komponen

tindakan sosial, yaitu bahwa tindakan sosial selalu diarahkan

pada pencapaian tujuan atau harapan, terjadi di dalam situasi

sosial, bersifat normatif dan regulatif, dan melibatkan upaya

dan motivasi. Yang kedua adalah konstruksi proses di mana

faktor-faktor penentu, yaitu kondusifitas struktural,

ketegangan struktural, perkembangan dan penyebaran sebuah

kepercayaan umum, faktor-faktor pencetus, mobilisasi

partisipan untuk tindakan sosial, dan kontrol sosial, muncul di

dalam model-model eksplanasi sosiologis. Dalam pendekatan

struktural fungsional ini proposisi yang akan diuji adalah

bahwa ketika orang-orang berada di bawah situasi atau

kondisi ketegangan struktural maka mereka akan memobilisir

diri secara kolektif untuk menyusun kembali tindakan sosial

dan identitas kolektif mereka berdasarkan kepercayaan-

kepercayaan fundamental keagamaan. Berdasarkan asumsi

teoritis ini maka pertanyaannya adalah apakah ada situasi dan

kondisi ketegangan struktural di dalam masyarakat sehingga

sejumlah orang di desa Kele’i memobilisir diri secara kolektif?

Kalau ada maka bagaimana mereka memobilisir diri untuk

meredefinisi tindakan sosial dan merekonstruksi identitas

mereka? Kepercayaan fundamental dan elemen-elemen

budaya apa yang tersedia untuk menyusun kembali tatanan

sosial mereka? Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini

maka akan tersedia eksplanasi sosiologis yang bersifat

struktural fungsional dan kultural tentang salah satu

fenomena kebangkitan gerakan-gerakan keagamaan di Poso.

Dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas maka

penelitian ini penting untuk dilaksanakan dan diberi judul:

Pendahuluan 15

Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca

Konflik Poso, Studi Sosiologis terhadap Jemaat Eli Salom Kele’i

di Poso.

2. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada tiga variable

independen, yaitu mekanisme kemunculan dan perkembangan

Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai sebuah gerakan sosial

keagamaan. Dalam hal ini isu pokoknya adalah bagaimana

menyediakan suatu deskripsi tentang fenomena yang diteliti

dan menganalisis konteks sosial politik dan kultural

keagamaan yang mempengaruhi fenomena tersebut. Variabel

kedua adalah rasionalitas gerakan sosial keagamaan dengan

isu pokoknya adalah mengapa dan untuk apa orang-orang

berpartisipasi dalam gerakan tersebut. Variabel ketiga adalah

peranan kepercayaan-kepercayaan fundamental dan elemen-

elemen budaya sebagai ekspresi-ekspresi simbolik mereka.

3. Masalah Penelitian

Bertolak dari latar belakang pemikiran dan fokus

penelitian tersebut di atas maka masalahnya adalah mengapa

Jemaat Eli Salom Kele’i muncul dan berkembang sebagai

sebuah gerakan sosial keagamaan? Faktor-faktor sosial apa

mencetus kemunculan dan perkembangannya? Mengapa ada

sejumlah orang yang ikut berpartisipasi di dalamnya dan apa

tujuan mereka? Kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai apa

yang dipakai olehnya untuk melakukan perubahan dalam

kehidupan sosial keagamaan?

4. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka

tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi dan

16 Redefinisi Tindakan Sosial …

analisis tentang latar belakang dan faktor-faktor sosial yang

menjadi penyebab munculnya Jemaat Eli Salom Kele’i sebagai

sebuah gerakan sosial keagamaan, tindakan-tindakan, motif-

motif, dan tujuan-tujuan rasional sejumlah orang yang ikut di

dalamnya, serta kepercayaan dan nilai-nilai yang muncul di

dalam perilaku-perilaku kolektifnya.

5. Urgensi Penelitian

1) Teoritis

Penelitian ini sangat diperlukan untuk menguji bagaimana

teori gerakan sosial memberi pengaruh teoritis pada studi

gerakan keagamaan dan bagaimana studi tentang gerakan

keagamaan menawarkan lahan uji baru bagi teori gerakan

sosial. Urgensi teoritis ini mengemuka ketika disadari

bahwa sampai saat ini penelitian dan publikasi tentang

maraknya fenomena kemunculan dan perkembangan

kelompok-kelompok keagamaan di Indonesia masih

terisolasi dari teori-teori dan konsep-konsep gerakan

sosial. Sejauh ini kebanyakan deskripsi yang tersedia

untuk fenomena kemunculan kelompok-kelompok

keagamaan yang terpisah dari kelompok arus utama

masih bersifat normatif dan individual berdasarkan

konsep-konsep teologis dan teori-teori psikologis.

2) Praktis

Bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, kebebasan

beragama yang bertanggung jawab, toleransi, kerukunan,

dan kerja sama antar kelompok-kelompok umat

beragama menjadi syarat utama untuk membangun

masyarakat sipil. Oleh sebab itu penelitian ini sangat

penting bagi para pemimpin masyarakat, organisasi

keagamaan, pemerintah, penegak hukum, dan negara

dalam mengambil kebijakan publik dan melakukan

Pendahuluan 17

rekayasa sosial di tengah proses demokratisasi. Di dalam

konteks masyarakat Poso, penelitian ini menjadi penting

bagi Gereja Kristen Sulawesi Tengah dan Pemerintah

Daerah setempat untuk menjaga momentum rekonsiliasi

dan rehabilitasi sosial serta mencegah terjadinya kembali

konflik-konflik sosial yang bernuansa agama.

6. Metode Penelitian

1) Pendekatan Sosiologi terhadap Agama.

Kebangkitan semangat keagamaan dan kemunculan

ragam gerakan keagamaan pada beberapa dasawarsa terakhir

ini telah merevitalisasi studi agama dalam ilmu-ilmu sosial,

khususnya dalam sosiologi. Para sosiolog yang tertarik di

bidang ini mendapat kesempatan untuk mengamati

kemunculan kelompok-kelompok keagamaan baru, interaksi

kelompok-kelompok itu dengan lingkungan sosio kulturalnya,

dan pasang surut kelompok-kelompok itu.24 Wawasan-

wawasan yang terkumpul dari berbagai pengamatan dan

kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari analisis yang hati-

hati serta studi-studi yang teliti telah dipakai untuk mengkaji

kembali gerakan-gerakan keagamaan baru yang muncul di

tengah masyarakat.

Studi sosiologis tentang gerakan-gerakan keagamaan

baru berbeda dengan pendekatan teologis yang bersifat

normatif dan pendekatan psikologis yang bersifat individual.

Sosiologi mempelajari gerakan-gerakan keagamaan secara

deskriptif sebagai salah satu tipe khas gerakan sosial yang

tidak hanya mempengaruhi individu-individu tetapi juga

masyarakat secara keseluruhan.25 Para sosiolog memusatkan

24 Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements…, 11-12. 25 Lih. David G. B. Bromley (Ed.),Teaching New Religious Movements (New

York: Oxford University Press, 2007), 3-6; Randi R. Warne dalam Peter Antes (Ed.),

18 Redefinisi Tindakan Sosial …

perhatian pada eksistensi entitas gerakan-gerakan keagamaan

sebagai suprastruktur masyarakat dan subkultur marginal

atau unit-unit yang berada dalam posisi konflik dengan

masyarakat luas.26 Mereka mengkaji bagaimana cara ragam

lembaga dan organisasi keagamaan baru terbentuk dan

terpelihara. Mereka mengeksplorasi dinamika-dinamika

internal yang membuat gerakan-gerakan keagaman baru

menjadi unit-unit sosial yang aktif, mempelajari struktur-

struktur ekonomi politiknya, tipe kepemimpinan karismatik

yang menyediakan legitimasi ilahi bagi kepercayaan-

kepercayaan dan praktek-praktek keagamaannya dan tipe-tipe

serta level-level komitmen yang dituntut bagi para

pengikutnya.27 Lebih lanjut, para sosiolog mengamati korelasi-

korelasi sosial yang cocok dengan keanggotaan dan faktor-

faktor kultural yang mempengaruhi perkembangan gerakan-

gerakan keagamaan.28

Namun demikian sosiologi gerakan-gerakan

keagamaan belum menjadi sebuah usaha yang tanpa

hambatan. Para sosiolog kontemporer menyadari bahwa

upaya mereka untuk mendeskripsikan ragam gerakan

keagamaan berada dalam perdebatan dengan pandangan yang

menganggap bahwa keterlibatan dalam sebuah gerakan

keagamaan adalah penyimpangan pemahaman dan perilaku

keagamaan serta ekspresi atau akibat langsung dari sebuah

New Approaches to the Study of Religion Vol 1 (Berlin & New York: Walter de Gruyter

GmbH & Co, 2004), 13-14. 26 Pendekatan Karl Marx misalnya yang melihat bahwa struktur dasar

masyarakat terdiri dari dua komponen utama yaitu kekuatan-kekuatan produksi dan

relasi-relasi produksi. Di atas dua komponen inilah struktur yang lain terbangun, salah

satu di antaranya adalah agama. Oleh sebab itu secara historis agama adalah

suprastruktur masyarakat. Emile Durkheim juga melihat agama sebagai elemen dasar

dari masyarakat. Agama secara fungsional mempunyai fungsi integrasi sosial. Lih.

Inger Fursteh, An Intoduction to the Sociology of Religion (Burlington USA: Ashgate

Publishing Limited, 2006), 29 – 38. 27 Bryan Wilson, New Religious Movements: Challenges and Response

(London & New York: Routledge, 1999), 1-2. 28 Furseth, Introduction to the Sociology of Religion…, 49-74.

Pendahuluan 19

patologi.29 Dengan pendekatan normatif dan psikologis seperti

yang banyak dilakukan oleh para pemimpin agama dan

pemerintah, maka tidak terelakan lagi bahwa gerakan-gerakan

keagamaan dilihat sebagai gerakan bidat atau penodaan

agama yang harus ditentang dan orang-orang yang

mengikutinya dianggap mengalami gangguan jiwa.

Metode sosiologis kadang kala menjadi satu rintangan

bagi penerimaan publik terhadap fenomena gerakan-gerakan

keagamaan baru. Para sosiolog mempelajari agama-agama

secara objektif dan imparsial mungkin.30 Mereka

menempatkan semua agama pada level yang sama. Mereka

tidak berkepentingan untuk menentukan mana agama yang

benar dan mana yang salah atau membela suatu tradisi

keagamaan dan menyerang agama yang lain. Dalam sosiologi

agama tidak ada penilaian moral tentang perilaku keagamaan.

Tujuan sosiologi agama adalah mengeksplorasi pertanyaan

bagaimana dan mengapa nilai-nilai, norma-norma, dan gaya

hidup baru muncul, bagaimana konsepsi-konsepsi keagamaan

baru menjadi populer, dan bagaimana komunitas-komunitas

eksperimental terbentuk.31 Para sosiolog berasumsi bahwa

gerakan-gerakan keagamaan adalah ekspresi-ekspresi

keagamaan yang asli. Perspektif inilah yang masih sulit

diterima oleh pemimpin-pemimpin agama-agama tradisional

yang menganggap gerakan-gerakan keagamaan baru sebagai

sistem kepercayaan dan sistem kultus yang menyimpang dan

menodai agama-agama yang mapan. Padahal dinamika, proses,

dan mobilisasi gerakan-gerakan keagamaan baru merupakan

elemen-elemen perseteruan yang penting yang melampaui

kekhususan kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek

29 John Saliba, Understanding New Religious Movements (New York: Altmira

Press, 2003), 127. 30 Eileen Barker, dalam Dawson (Ed.), Cults and New Religious Movements…,

14-15. 31Saliba, Understanding New Religious Movements…, 128.

20 Redefinisi Tindakan Sosial …

keagamaan. Dalam pendekatan sosiologis, gerakan-gerakan

keagamaan baru merupakan geliat dalam sebuah sistem sosial.

Geliat ini adalah suatu reaksi terhadap perubahan sosial dan

ketegangan dalam struktur sosial masyarakat kontemporer.

Alih-alih memusatkan perhatian pada individu-

individu dan keadaan mental serta psikologis mereka, para

sosiolog mengalihkan perhatian pada masyarakat dan budaya.

Demikian halnya dalam studi-studi sosiologis tentang gerakan-

gerakan keagamaan baru yang mengeksplorasi persoalan-

persoalan bagaimana gerakan-gerakaan keagamaan bisa

muncul dan berkembang serta bagaimana gerakan-gerakan itu

pada akhirnya terlembagakan. Sosiologi memakai metode-

metode yang telah teruji untuk mengkaji gerakan-gerakan

keagamaan sebagai system sosial dan budaya. Analisis historis,

analisis budaya, observasi partisipatif, survei, analisis statistik,

dan analisis konten adalah alat-alat yang umum dipakai untuk

mempelajari fenomena agama secara umum dan gerakan-

gerakan keagamaan secara khusus.32

Istilah gerakan-gerakan keagamaan baru adalah istilah

yang ditemukan oleh para sosiolog untuk menggantikan istilah

gerakan sempalan atau sekte untuk menunjuk pada kelompok-

kelompok keagamaan baru yang kecil yang dipimpin oleh

seorang pemimpin karismatik. Dengan istilah tersebut maka

kelompok-kelompok agama baru dapat dipelajari seperti

gerakan-gerakan sosial lain yang telah muncul di dalam

masyarakat kontemporer. Penggunaan istilah yang netral ini

menandakan bahwa para sosiolog menghindari sikap

menghakimi baik secara teologis maupun ideologis terhadap

keberadaan gerakan-gerakan keagamaan baru. Hal ini

mengindikasikan juga adanya sebuah cara yang berbeda dalam

32 John Saliba, dalam Bromley (Ed.,), Teaching New religious Movements…,

47.

Pendahuluan 21

mempelajari dan memahami gerakan-gerakan keagamaan.

Sebuah cara yang membawa pada pemahaman tentang

perubahan dan diversitas keagamaan serta relasi agama

dengan kondisi-kondisi sosial atau kultural di mana agama

tumbuh dengan subur.

Berdasarkan perspektif tersebut di atas maka studi-

studi sosiologis terhadap gerakan-gerakan keagamaan adalah

bagian yang khas dari studi-studi gerakan-gerakan sosial yang

didasarkan pada konsepsi-konsepsi sosiologis tentang

tindakan sosial dan perilaku kolektif.

2) Jenis Penelitian

Mempertimbangkan subjek penelitian dan rumusan

masalah maka penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif interpretif. Itu berarti bahwa fakta-fakta sosial

dipelajari di dalam konteks alaminya dalam rangka

menafsirkan dan memahami fenomena yang ada dari sisi

makna yang dilekatkan manusia kepadanya.33 Dalam

penelitian ini unit pengamatan adalah gejala-gejala sosial

keagamaan atau kenyataan sosial (social fact) yang ada di

sekitar fenomena munculnya jemaat Eli Salom Kele’i pada

tingkat kelompok. Hal tersebut tidak hanya dilihat sebagai

kenyataan fisik dan kenyataan biologis semata, tetapi sebagai

makhluk sosial (social being). Artinya, keberadaan mereka

sebagai manusia dipahami dalam hubungan dengan

keseluruhan struktur sosial yang ada, seperti misalnya relasi-

relasi dan interaksi sosial di masyarakatnya, ajaran-ajaran

iman, nilai-nilai dan norma-norma sosial, serta institusi-

institusi sosial keagamaan yang ada di sekitarnya. Komponen-

33 Norman K. Denzin & Yvona S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research.

Diterjemahkan oleh Dariyatno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 2.

22 Redefinisi Tindakan Sosial …

komponen ini berkelindan satu sama lain dan membentuk

sebuah fenomena atau kenyataan sosial.34

Mempertimbangkan tujuan penelitian, jenis data dan

analisisnya yang bersifat induktif, maka format yang dipakai

dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Oleh sebab itu

kesimpulan dibangun dengan cara mengabstraksikan data-

data empiris yang dikumpulkan.35 Tujuan akhir dari penelitian

ini adalah untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan

gejala-gejala sosial keagamaan melalui beberapa variabel

independen yang relevan dengan masalah penelitian di atas.

Dengan demikian maksud penelitian ini adalah

mengeksplorasi dan mengklarifikasi aspek-aspek sosiologis

dari Gerakan Jemaat Eli Salom Kele’i.

Untuk melaksanakan penelitian seperti ini tentu saja

dipilih tipe pendekatan yang dapat digunakan. Dalam hal ini,

dari tiga tipe pendekatan yang dikenal di dalam penelitian

sosial, penelitian ini memakai strategi penelitian studi kasus

instrumental (instrumental case study) yang bertujuan untuk

meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif

tentang isu atau perbaikan suatu teori.36

Walaupun penelitian ini bersifat deskriptif untuk

mengeksplorasi dan mengklarifikasi fenomena munculnya

sebuah gerakan sosial keagamaan, tetapi penelitian ini tidak

sampai mempersoalkan korelasi atau jalinan hubungan antara

variabel-variabel yang ada. Oleh sebab itu penelitian ini tidak

melakukan pengujian hipotesis. Apa yang tersedia oleh hasil

penelitian ini adalah deskripsi dan analisis mengenai

fenomena sosial.

34 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial (Jakarta: PT Raja

Grafindo Perkasa, 2003), 12 – 14. 35 Prasetya Irawan, Penelitian Kulitatif &Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial

(Jakarta: Dep. Ilmu Administrasi Fisipol Univ. Ind, 2006, 53. 36 Denzin & Lincoln, Handbook of Qualitative Research…,301.

Pendahuluan 23

3) Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis dan format penelitian yang

dipergunakan, maka metode pengumpulan data yang dipakai

dalam penelitian ini adalah wawancara (interview),

pengamatan (observation), dan dokumenter (secondary

sources). Untuk metode wawancara dipakai instrument

pengumpul data yang disebut pedoman wawancara bagi

beberapa informan kunci (key informan). Untuk metode

observasi dilakukan pengamatan dan penginderaan langsung

terhadap individu, benda, kondisi, situasi, proses, dan perilaku

unit pengamatan. Sedangkan untuk metode dokumenter

dilakukan melalui format pencatatan dokumen dengan sumber

data berupa data statistik gereja, dokumen ajaran gereja, tata

gereja, peraturan gereja, bahan-bahan pengajaran, dll.

4) Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Jemaat Eli Salom, desa Kele’i

kecamatan Pamona Timur Kabupaten Poso Sulawesi Tengah.

Jemaat ini terdiri dari 254 kepala keluarga, 887 jiwa, dan 634

anggota baptis. Desa Kele’i terletak kurang lebih 60 kilometer

dari ibukota kabupaten Poso dan 35 kilometer dari ibu kota

kecamatan Pamona Timur. Desa ini terletak di poros jalan

trans Sulawesi sehingga dapat dijangkau dengan semua jenis

kendaraan beroda. Penduduk desa Kele’i berjumlah 1643 jiwa

dengan 451 kepala keluarga. Mayoritas penduduk beragama

Kristen dan menjadi anggota Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

Secara kultural desa ini masuk di dalam wilayah adat suku

Pamona dengan sub suku Ondae.

5) Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah

informasi verbal (kata-kata) dan tindakan atau perilaku.

Sumber ini dilengkapi dengan dokumen-dokumen. Informasi

24 Redefinisi Tindakan Sosial …

verbal akan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan

tokoh-tokoh jemaat, tokoh-tokoh masyarakat, anggota jemaat,

anggota masyarakat, pemerintah setempat, dan informan lain

yang dipandang relevan. Tindakan atau perilaku akan diamati

melalui kegiatan-kegiatan ritual dan praktek hidup sehari-hari

di tengah masyarakat. Sedangkan sumber-sumber pelengkap

seperti dokumen-dokumen akan diperoleh melalui

pengarsipan jemaat, pemerintah setempat, dan lembaga-

lembaga yang terkait, serta tulisan-tulisan tentang fenomena

yang diteliti.

7. Struktur Penulisan

Untuk menyajikan sebuah deskripsi dan analisis yang

sistematis tentang landasan konseptual, perspektif teoritis,

data, analisis, dan hasil temuan maka disertasi ini disusun

secara logis dalam sistematika sbb:

1) Bab I Pendahulan.

Bab ini berisikan uraian dan argumentasi empirik dan

metodologis tentang topik yang dipilih, fokus penelitian,

masalah penelitian, tujuan penulisan, urgensi, dan metode

penelitian.

2) Bab II Sosiologi Gerakan Keagamaan.

Bab ini mengelaborasi dan mendiskusikan agama dalam

perspektif sosiologis dan gerakan keagamaan sebagai tipe

gerakan sosial. Ada tiga pemikiran klasik yang dijadikan

rujukan tentang konsepsi agama, yaitu pemikiran Karl

Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Asumsi yang ada

di balik pemilihan ketiga sosiolog klasik ini adalah karena

pemikiran mereka menjadi dasar pemikiran bagi semua

abstraksi tentang agama dalam sosiologi modern dan

kontemporer. Segmen kedua dalam bab ini adalah

konsepsi gerakan keagamaan sebagai salah satu tipe khas

Pendahuluan 25

gerakan sosial. Elaborasi dan diskusi teori berpusat pada

tiga konsep besar, yaitu tindakan sosial, perilaku kolektif,

dan gerakan sosial berorientasi nilai.

3) Bab III Mistisisme sebagai Tipe Perkembangan Sosiologis

Gereja.

Mempertimbangkan aspek pengalaman keagamaan yang

diteliti maka bab ini berisikan uraian teoritis tentang

mistisisme. Uraian ini dimulai dengan pengertian

mistisisme, kemudian dilanjutkan dengan pengalaman

mistik, tradisi mistik Kristen, mistisisme tindakan sosial,

dan ditutup dengan elaborasi dimensi-dimensi sosial

mistisisme.

4) Bab IV Masyarakat Poso dalam Lintas Sejarah.

Bagian ini membuka sisi empirik dari disertasi ini dengan

uraian historis masyarakat Poso. Bagian ini hendak

memberikan perspektif historis tentang konteks sosial,

politik, budaya, dan keagamaan dari fenomena yang

diteliti. Uraian dimulai dengan letak geografis, keadaan

penduduk, latar belakang sosial budaya dan sejarah

Gereja Kristen Sulawesi Tengah serta sejarah

perjumpaannya dengan Islam. Akhir dari bab ini adalah

kondisi objektif GKST yang dianggap menjadi akar historis

bagi kemunculan Jemaat Eli Salom Kele’i.

5) Bab V Gerakan Keagamaan di Tengah Krisis Sosial.

Bab ini terdiri dari dua segmen utama yaitu deskripsi dan

analisis tentang masyarakat desa Kele’i. Dalam segmen

yang pertama ini ada tiga pokok perhatian yaitu sejarah

desa Kele’i, keterlibatannya dalam konflik Poso, dan

masalah-masalah yang muncul di dalam masyarakat pasca

konflik Poso. Dengan perspektif historis ini maka segmen

yang kedua ditampilkan, yaitu kemunculan gerakan

Jemaat Eli Salom Kele’i. Dalam segmen kedua ini pokok

26 Redefinisi Tindakan Sosial …

perhatian diarahkan pada sejarah munculnya gerakan

keagamaan di Kele’I dan kepercayaan fundamental serta

nilai-nilai yang menjadi komponen dasar tindakan sosial

mereka.

6) Bab VI Redefinisi Tindakan Sosial & Rekonstruksi

Identitas.

Bab ini adalah analisis terhadap fakta-fakta historis yang

ada dengan memakai konsepsi-konsepsi teoritik dalam

bab kedua dan bab ketiga dengan memperhitungkan

konteks historis yang telah dipaparkan dalam bab

keempat sehingga ketiga variable tersebut muncul dalam

bentuk eksplanasi sistematis eksplanasi ini sekaligus

merupakan jawaban terhadap tiga pertanyaan yang telah

dirumuskan dalam bagian pendahuluan.

7) Bab VII Kesimpulan.

---