bab vi penutup 6.1 sms tauhiid sebagai quasi religious...
TRANSCRIPT
274
BAB VI
PENUTUP
6.1 SMS Tauhiid sebagai Quasi-Religious Media
SMS Tauhiid merupakan salah satu fenomena pertarungan logika agama
dan logika media yang dalam berbagai kondisi telah memperlihatkan bukti
bahwa logika media lebih dominan. SMS Tauhiid tidak hanya merupakan salah
satu bentuk agama yang termediasi, tetapi juga telah mengalami mediatisasi
yang ditandai dengan tindakan adopsi dan internalisasi logika media dalam
praktik tausiah sebagai salah salah satu praktik sosial agama.
Meluasnya peran media dalam konteks transmisi informasi keagamaan
telah berkonsekuensi pada semakin menguatnya media sebagai institusi dalam
menggantikan peran sosial-kultural agama di tingkat publik. SMS Tauhiid
bukan lagi merupakan medium yang mentransmisi informasi keagamaan tetapi
juga telah menjadi semacam provider dan distributor pesan-pesan agama.
Fenomena ini identik dengan salah satu implikasi mediatisasi agama yang
dikemukakan oleh Hjarvard (2008, 2012) sebagai fenomena journalism on
religion. Istilah journalism on religion yang dikemukakan Hjarvard pada
dasarnya merupakan salah satu bentuk kedigdayaan logika media atas yang
275
menggantikan tokoh atau institusi agama sebagai referensi tradisional dari
agama.
Meskipun SMS dan telepon seluler merupakan salah satu bentuk media
baru dengan karakter yang berbeda dengan fokus penelitian Hjarvard, namun
mediatisasi agama pada keduanya memunculkan gejala yang serupa yakni dalam
hal bahwa keduanya mengimplikasikan substitusi peran agama oleh media
karena memperlihatkan logika media yang lebih besar sehingga berpotensi pada
penciptaan makna-makna baru bagi agama dan dapat berujung pada
sekularisasi. Sekularisasi dalam konteks ini dipandang sebagai hilangnya
dominasi insitusi dan simbol-simbol agama (Berger, 1967: 107). Dalam
pandangan Berger, sekularisasi secara umum bukanlah fenomena hilangnya
agama dari masyarakat, akan tetapi berkurangnya bentuk-bentuk peran agama
yang melembaga dalam masyarakat atau bahkan lahir dengan bentuk baru.
Simplifikasi dan reduksi makna agama sebagai implikasi dari mediatisasi
dalam kasus SMS Tauhiid sebagai institusi mengindikasikan bahwa media tidak
hanya melakukan konstruksi atas makna-makna agama, tetapi juga turut
membentuk, membatasi, dan menciptakan pola-pola baru keberagamaan.
Sebagai praktik baru agama, SMS Tauhiid mengubah tausiah sebagai
komunikasi keagamaan pada 3 (tiga) aspek, yakni; aspek proses, interaksi dan
relasi.
276
Pada aspek proses, SMS Tauhiid telah mengubah proses tausiah menjadi
lebih bersifat virtual disebabkan oleh disebabkan telepon seluler yang dapat
menciptakan lingkungan virtual dan cyberspace. Virtualitas SMS Tauhiid
berkonsekuensi secara sosial maupun kultural dimana proses tausiah tidak lagi
terjadi secara fisik karena tidak membutuhkan tempat. Sebagai sesuatu yang
lebih bersifat virtual dan mekanis, SMS Tauhiid mengubah cara jamaah dalam
mempersepsi dan memahami makna-makna agama dan spiritual yang disajikan
sebagai konten. SMS Tauhiid telah dipandang sebagai agen ‘penganjur agama’
sebagaimana layaknya tokoh agama dalam proses tausiah pada konteks
tradisional.
Pada aspek interaksi, disebabkan oleh teknologi SMS yang bersifat
asynchronous, SMS Tauhiid mengimplikasikan respon jamaah atau tausiah
tersebut yang dapat bersifat optional dalam arti bahwa mereka dapat mengikuti
atau mengabaikannya begitu saja. Meskipun tausiah seringkali bersifat satu arah,
namun SMS Tauhiid telah memposisikan jamaah atau audiens dalam posisi
yang benar-benar pasif. Satu-satunya tindakan aktif mereka adalah ketika
melakukan pendaftaran sebagai pelanggan yang selanjutnya mereka hanya akan
menerima konten secara pasif, bahkan tanpa mereka minta.
SMS Tauhiid juga menggambarkan interaksi yang lebih bersifat simbolik
dengan motif lain. Para pelanggan tidak hanya menjadi bagian dari aktivitas
277
tausiah tetapi juga sebagai pengguna teknologi. Dengan kata lain, untuk
berinteraksi dengan tausiah sebagai pesan agama, mereka harus berinteraksi
dengan perangkat teknologi. Hal ini mengindikasikan sifat mekanis tidak hanya
muncul pada tingkat produksi makna, tetapi juga pada level konsumsi.
Pada aspek relasi antara tokoh agama dengan jamaah, SMS Tauhiid telah
mengubah relasi antara tokoh agama dan jamaah menjadi lebih bersifat mekanis
antara produsen dan konsumen. Virtualisasi tausiah dalam SMS Tauhiid telah
mendefinisikan identitas tokoh agama dan jamaah dengan cara lain.
Berlangganan SMS Tauhiid bukan hanya merupakan bentuk dari praktik agama,
tetapi juga tindakan konsumtif.
Oleh karena itu dengan berbagai indikasi, cita-cita ideal Aa Gym untuk
menjadikan SMS Tauhiid sebagai media religius atau media yang melayani
kepentingan agama justru telah mengalami kegagalan karena yang kemudian
terjadi adalah sebaliknya, agama harus mengikuti logika media selepas SMS
Tauhiid mengalami institusionalisasi.
Alih-alih menjadi media religius, SMS Tauhiid justru lebih merupakan
media yang hanya bersifat quasi-religius (seolah-olah agama). Dalam term Paul
Tillich, quasi-religion merujuk pada fenomena pertemuan agama-agama dan
tantangan sekularisme yang dihadapi oleh agama. Menurutnya, quasi-religion
merupakan anak kandung yang lahir dari agama dan nilai-nilai sekuler,
278
“…quasi-religions which are based upon secularism” (dalam Rizotti, 2012) karena
“menunjukkan kesamaan asali berdasarkan identitas agama secara umum.”
Dengan cara yang sama, menguatnya logika media—yang lebih
cenderung berbasis pada nilai-nilai sekularisme—telah menempatkan SMS
Tauhiid sebagai quasi-religious media, yakni media yang bekerja dan
menjalankan fungsi-fungsi sosio-kultural yang pada dasarnya menjadi otoritas
tokoh agama sehingga ia tidak sepenuhnya bersifat religius akan tetapi hanya
seolah-olah religius karena pada dasarnya ia hanya merupakan manifestasi
agama dengan nilai-nilai sekuler dari logika media.
Fenomena SMS Tauhiid sebagai quasi-religious media diperlihatkan
dengan pembentukan makna agama yang bersifat self-help yang berimplikasi
pada simplifikasi dan reduksi makna-makna agama kepada hal-hal yang lebih
bersifat private dan terapeutik. Semua ini merupakan akibat keterpaksaan dari
pihak pengelola didasarkan pada sejumlah keterbatasan yang dimiliki oleh SMS,
namun pada saat yang sama, keterpaksaan itu merupakan salah satu indikasi
dari tindakan adaptasi dan akomodasi agama atas logika media yang bersifat
teknis dan operasional-institusional.
Tidak hanya melalui sifat konten yang lebih bernada self-help dan
terapeutik, SMS Tauhiid sebagai fenomena quasi-religious media juga
diperlihatkan dengan pembauran konten-konten agama dengan non-agama
279
dalam konteks tausiah. Layanan tausiah yang digembor-gemborkan oleh Aa
Gym dan para pengelola SMS Tauhiid ternyata mengalami pergeseran. Konten-
konten tausiah telah bercampur dengan konten-konten promo yang menandai
bahwa SMS Tauhiid tidak hanya melakukan akomodasi atas logika media, tetapi
juga telah menginternalisasinya kedalam praktik sosial agama.
Fenomena percampuran konten agama dan non-agama merupakan
fenomena internalisasi logika media. Dengan cara yang sama dengan yang
digunakan dalam konten tausiah, konten promo disajikan dalam bingkai tausiah
agama. Dengan sendirinya, tausiah mengalami pembiasan dan pengaburan
makna sehingga batasan-batasan pesan agama dan pesan non-agama tidak lagi
tampak dengan jelas. Tindakan internalisasi logika media dalam SMS Tauhiid
telah mengakibatkan tausiah sebagai praktik sosial agama mengalami banalisasi.
Tindakan internalisasi logika media dalam SMS Tauhiid tidak saja
berakibat pada banalitas atas tausiah, tetapi juga telah menyebabkan terjadinya
komersialisasi dan komodifikasi SMS Tauhiid itu sendiri, sesuatu yang boleh
jadi tidak disadari oleh Aa Gym atau bahkan pihak pengelola itu sendiri.
Langkah institusionalisasi SMS Tauhiid telah menyebabkan SMS Tauhiid
bergerak pada arah yang berbeda dari cita-cita ideal Aa Gym yang berkeinginan
agar SMS Tauhiid tetap menjadi sebuah layanan tausiah yang bebas dari
aktivitas komersial.
280
Peningkatan jumlah karyawan dan pengelola SMS Tauhiid telah
mendorong mereka untuk ’bertahan hidup’ yang kemudian diimplementasikan
melalui aktivitas komersial. Kemunculan Gerai SMS Tauhiid menjadi fenomena
yang sangat menarik karena tidak hanya memasarkan buku-buku dan VCD
keagamaan sebagaimana dilakukan SMS Tauhiid sejak awal, tetapi juga
belakangan SMS Tauhiid memproduksi fashion yang memang hanya dijual di
gerai ini.
Selain mengalami komersialisasi, SMS Tauhiid juga tidak luput dari
praktik komodifikasi yang bahkan telah terjadi sejak awal. Praktik komodifikasi
terjadi pada level konten, khalayak dan juga pada proses tausiah. Pada level
konten, komodifikasi ditandai dengan ’penjualan’ konten kepada salah satu
operator di Indonesia yang ditukar dengan pembebasan biaya SMS, pemberian
layanan server, dan brand name ’aagym’ sebagai default sender. Sementara itu
pada level khalayak, komodifikasi diindikasikan melalui ’pemanfaatan’ khalayak
sebagai marketplace bagi penawaran sejumlah produk SMS Tauhiid dan produk
dari pihak ketiga. Selain itu, komodifikasi khalayak juga dilakukan dengan
’menjual’ database kepada operator lainnya melalui layanan XL Komunitas yang
ditukar dengan pembagian keuntungan (profit-sharing) dari setiap pelanggan
yang melakukan isi ulang pulsa.
281
Sedangkan pada level proses, komodifikasi diindikasikan melalui upaya
’penyempurnaan’ layanan dengan menggunakan sejumlah media konvergen.
Proses dan mekanisme SMS Tauhiid berikut pelanggannya menjadi motif utama
bagi kelahiran website, teknologi streaming, dan penggunaan jejaring sosial.
Secara ekonomis, website, teknologi streaming dan jejaring sosial telah menjadi
perpanjangan tangan bagi kepentingan SMS Tauhiid dalam menjaring calon
pelanggan yang kelak akan dimanfaatkan sebagai “pasar” bagi produk-produk
SMS Tauhiid. Hal ini ditandai dengan keseragaman pola yang diterapkan oleh
masing-masing media konvergen ini yakni dengan mencantumkan ajakan untuk
melakukan pendaftaran sebagai pelanggan. Bahkan untuk website dan jejaring
sosial, peningkatan jumlah pengunjung akan meningkatkan traffic yang dalam
skala yang lebih luas hal ini akan berkonsekuensi pada peluang yang lebih besar
dalam mendapatkan iklan dari pihak-pihak lain.
Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, SMS Tauhiid tidak lagi
melayani kepentingan agama semata, tetapi juga mengakomodasi dan
menginternalisasi logika media sehingga untuk menyebutnya sebagai media
religius perlu kembali dipertimbangkan. Alih-alih sebagai media religius, SMS
Tauhiid telah mengalami transformasi secara signifikan menjadi media yang
bersifat quasi-religius (quasi-religious media).
282
Dengan berbagai uraian di atas, salah satu implikasi mediatisasi agama
yang ditawarkan oleh Hjarvard yakni mengimplikasikan media religius agaknya
berbeda dengan fenomena yang diamati dalam kasus SMS Tauhiid. Status media
religius yang disandang SMS Tauhiid hanya muncul pada saat-saat awal, yakni
sebelum mengalami institusionalisasi. Pada perkembangan selanjutnya, SMS
Tauhiid justru lebih didominasi oleh logika media yang pada tahap tertentu
menghantarkan SMS Tauhiid menjadi quasi-religious media.
6.2 SMS Tauhiid: Imajinasi Agama dalam Budaya Media
Dalam disiplin media studies, analisis mengenai fenomena media tidak
hanya mengenai fungsinya sebagai medium sebagaimana dipahami dalam
paradigma komunikasi transmisional, tetapi juga lebih bernuansa kultural.
Pandangan ini memungkinkan media untuk menemukan fungsinya dalam
melakukan meaning-making yang berujung pada symbolic inventory. Dalam
konteks masyarakat modern yang relatif sekuler, sesungguhnya media memiliki
tempat strategis bagi agama untuk menemukan perannya dalam wilayah publik.
Dalam term Murdock (2008), fenomena ini disebut sebagai re-enchantment atau
penemuan kembali pesona agama yang sempat hilang dalam rimba sekularisme.
Masyarakat modern yang identik dengan media-saturated societies
memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh akses terhadap agama
dengan menguatnya peran-peran media pada wilayah-wilayah agama dan
283
spiritualitas. Namun demikian, agama yang mereka akses bukan lagi agama yang
otentik melainkan agama yang bersifat imajinatif (imagined religion) yang
dikonstruksi oleh media dengan logikanya sendiri. Dengan kata lain, agama
yang termediatisasi tidak lebih dari fenomena imajinasi agama pada masyarakat
dengan budaya media.
Dengan pendekatan yang sama dengan yang digunakan oleh Anderson
(1991) tentang konsep imagined communities, imajinasi agama berkaitan dengan
sejumlah ekspresi keagamaan dalam bentuk verbal, audio, tekstual, dan visual
yang diproduksi dengan tujuan untuk mendominasi kesadaran dan pemahaman
orang-orang dengan cara mendefinisikan makna dan realitas sosial-kultural
agama. Namun imajinasi bukanlah realitas, ia hanya merupakan struktur mental
tentang bagaimana sesuatu atau seseorang membangun makna dunia dengan
menggunakan perspektif, logika, dan keyakinan tertentu.
Mediatisasi agama telah memungkinkan lahirnya berbagai alternatif
makna agama yang dikonstruksi dengan perspektif dan logika media yang
kemudian disajikan kepada khalayak. Hal ini sekaligus menguatkan posisi media
dalam melakukan interpretasi dan visualisasi serta menciptakan beragam
tentang makna-makna agama, terlebih dalam konteks globalisasi.
Dalam proses mediatisasi, ranah agama dan media mentransformasi dan
sekaligus ditransformasi yang pada titik tertentu telah mengimplikasikan
284
karakter agama yang lebih bersifat publik, dikomodifikasi, terapeutik, dan
bersifat personal dengan seperangkat praktik tertentu. Pada saat yang sama,
media mengambil lebih banyak peran, termasuk peran spiritual dan transenden
yang pada awalnya hanya merupakan wilayah kerja agama.
Sifat publik dari agama muncul sebagai salah satu instrumen pesan yang
dikonstruksi dalam media, yang seringkali disesuaikan dengan imajinasi publik
yang membuat agama menjadi lebih populer ketimbang sebelumnya.
Selanjutnya, media juga mengkonstruksi agama sebagai sesuatu yang bersifat
self-help dan terapeutik sebagai manifestasi dari imajinasi khalayak media
tentang fungsi agama yang mencerahkan dan menenangkan.
Dalam banyak hal, SMS Tauhiid merupakan salah satu bentuk agama
yang diimajinasikan dalam konteks budaya media. Masyarakat seolah
menghendaki agar agama menyahuti perkembangan media sehingga agama
tidak kehilangan akses terhadap khalayak. Logika yang sama juga digunakan
oleh para aktor dan penganjur agama dengan cara menggunakan media untuk
kepentingan dalam transmisi pesan-pesan agama.
Namun demikian penting dicatat bahwa sebagaimana halnya imagined
religion, agama yang termediatisasi bukanlah realitas agama yang sesungguhnya.
Logika media yang semakin dominan telah mengakibatkan makna-makna
agama menjadi sesuatu yang bersifat artifisial. Ia tak lebih dari sekedar label
285
yang merupakan manifestasi dari akomodasi kepentingan dan logika media.
SMS Tauhiid sebagai layanan agama telah mengalami transformasi seiring
proses institusionalisasi sehingga menjadikannya sebagai salah satu komoditas
media, bukan sebaliknya.
Sebagai imajinasi spiritual masyarakat modern, SMS Tauhiid
merefleksikan beberapa fenomena. Pertama, SMS Tauhiid lahir sebagai bentuk
kekecewaan Aa Gym terhadap Al-Quran Seluler dengan tarif premium yang
dipandangnya tidak sejalan dengan semangat religius. SMS Tauhiid adalah
imajinasi Aa Gym tentang idealitas tausiah yang terbebas dari kepentingan-
kepentingan ekonomi yang justru pada praktiknya tidak dapat dihindari.
Kedua, pada masa-masa awal, SMS Tauhiid mencerminkan perubahan
orientasi Aa Gym dalam ajaran-ajarannya yang lebih fokus pada ajaran-ajaran
tauhiid yang dinilainya lebih universal. Namun demikian, ajaran-ajaran tauhiid
sebagai konten tausiah pada akhirnya juga memuat informasi-informasi lainnya
yang justru tidak lagi relevan sebagai ajaran tauhid.
Ketiga, dengan membubuhkan istilah “tauhiid” yang bernuansa agama
(Islam) kepada istilah “SMS” yang mewakili teknologi, Aa Gym dan para
pengelola mengimajinasikan bagaimana teknologi seharusnya digunakan untuk
kepentingan agama. Namun dalam kenyataannya, akomodasi terhadap logika
media yang dilakukan oleh pengelola SMS Tauhiid justru telah menyebabkan
286
makna agama mengalami simplifikasi dan reduksi karena dibatasi oleh jumlah
karakter SMS yang mendorong pengelola untuk ’menyederhanakan’ konten agar
lebih singkat sehingga lebih bernada self-help.
Keempat, pada level institusi, SMS Tauhiid yang belakangan mengalami
komersialisasi dan komodifikasi menggambarkan imajinasi agama dalam
konteks yang lebih luas. SMS Tauhiid diimajinasikan sebagai sesuatu yang
omnipresence (serba-hadir), termasuk pada wilayah-wilayah ekonomi. Namun
sesungguhnya hal ini justru bertentangan dengan cita-cita ideal Aa Gym sebagai
pencetus layanan SMS Tauhiid.
Kelima, pada level pelanggan, SMS Tauhiid sebagai agama yang
diimajinasikan dapat dilihat pandangan mereka yang melihat SMS Tauhiid
sebagai salah satu media yang memiliki banyak manfaat. Selain itu, mereka juga
memandang SMS Tauhiid sebagai salah satu cara bagi mereka untuk tetap
bersentuhan dengan nilai-nilai agama di tengah kesibukan mereka sehari-hari.
Pada kenyataannya, mereka bukanlah agen aktif melainkan hanya pihak yang
benar-benar pasif.
Oleh karena itu secara umum, fenomena mediatisasi dalam SMS Tauhiid
telah mengimplikasikan tiga hal penting. Pertama, pada level agama, SMS
Tauhiid mengimplikasikan adanya konstruksi makna agama sebagai sesuatu
287
yang bersifat simplistik dan reduksionis karena didorong oleh logika media yang
bersifat teknis. Kedua, pada level konten, tausiah agama yang merupakan konten
SMS Tauhiid mengalami banalisasi yang ditandai dengan percampuran konten
agama dengan non-agama yang diakibatkan oleh adanya tuntutan untuk
melakukan internalisasi logika media. Dan ketiga, pada level institusi, SMS
Tauhiid mengalami komersialisasi dan komodifikasi disebabkan oleh
ketidakberdayaan dalam menghadapi tuntutan rasional-pragmatis atas kondisi
SMS Tauhiid sebagai institusi.
6.3 Rekomendasi
Secara umum penelitian terkait dengan mediatisasi agama dalam
konteks media baru pada umumnya dan telepon seluler khususnya belum
banyak dikaji oleh para peneliti. Sebelumnya para peneliti lebih banyak
mengeksplorasi fenomena mediatisasi dalam konteks media massa seperti
televisi, suratkabar, film dan sebagainya. SMS dan telepon seluler merupakan
jenis media baru dengan karakter tersendiri dan hal inilah yang mendasari
penelitian ini dilakukan. Berdasarkan penelitian dan eksplorasi yang telah
dilakukan dengan sejumlah keterbatasannya, peneliti mengajukan beberapa
rekomendasi agar dapat ditindaklanjuti di masa depan.
288
Pertama, pada dasarnya praktik mediatisasi dalam konteks media baru
telah membuka tantangan tersendiri terhadap teori mediatisasi karena konsep
mediatisasi berkenaan dengan logika media yang bersifat institusional padahal
media baru dapat berbentuk non-institusional. SMS Tauhiid sebagai media baru
dengan karakteristik yang berbeda ternyata juga tidak dapat mempertahankan
independensinya sebagai media yang lebih bersifat independen karena pada
akhirnya akan berhadapan dengan logika media, terlebih ketika SMS Tauhiid
mengalami institusionalisasi. Berkenaan dengan hal ini, tampaknya penelitian di
masa mendatang perlu pula mengungkap fenomena mediatisasi yang
berkonsentrasi pada perspektif pelanggan mengingat SMS Tauhiid terus
mengalami perkembangan.
Kedua, dalam banyak hal, mediatisasi agama juga merupakan fenomena
virtualisasi agama mengingat praktik mediatisasi mempersyaratkan konteks
kebudayaan yang termediasi. Oleh karena itu, meskipun dalam penelitian ini
sedikit disinggung tentang virtualisasi praktik agama, akan sangat menarik jika
dilakukan penelitian lanjutan tentang praktik mediatisasi SMS Tauhiid yang
secara spesifik dikaitkan dengan virtualisasi praktik agama.
Ketiga, meskipun penelitian ini melakukan eksplorasi dampak
mediatisasi agama pada dimensi ekonomi politik dengan mengungkapkan
289
sejumlah praktik komodifikasi dan komersialisasi, namun masih terbatas
sebagai dampak karena fokus penelitian ini lebih pada praktik mediatisasi
agama. Oleh karena itu, penelitian SMS Tauhiid sebagai komodifikasi agama
yang disajikan secara utuh di masa mendatang tentu akan sangat menarik.