bab vi analisis kebijakan publik gerakan...

53
215 BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL MASYARAKAT ADAT Gerakan sosial yang terjadi secara global, selalu dimulai dari individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial yang terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang hendak dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa indikator dan dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat diungkap dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada angin‖. Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional, ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak dipicu oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para buruh pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan hak- hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas, para buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan kesehatan buruh. Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam suatu daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit dengan demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan, maka indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Mansur Fakih (1966:35) memberi catatan bahwa atas nama kebebasan demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi gerakan sosial di Amerika yang dikenal dengan nama komunitas gerakan hak- hak sipil di kalangan kulit hitam. Gerakan mahasiswa di tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan

Upload: vantuyen

Post on 04-May-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

215

BAB VI

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL

MASYARAKAT ADAT

Gerakan sosial yang terjadi secara global, selalu dimulai dari

individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial yang

terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang hendak

dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa indikator dan

dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat diungkap

dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada angin‖.

Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional,

ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak dipicu

oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para buruh

pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan hak-

hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas, para

buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan kesehatan

buruh.

Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam suatu

daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit dengan

demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan, maka

indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap

masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Mansur Fakih (1966:35) memberi catatan bahwa atas nama

kebebasan demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi gerakan

sosial di Amerika yang dikenal dengan nama komunitas gerakan hak-

hak sipil di kalangan kulit hitam. Gerakan mahasiswa di tahun 1960-an

dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan

Page 2: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

216

gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan di tahun 1970-an dan

1980-an. Dalam konteks ini, lahirlah berbagai macam pendekatan dan

teori tentang gerakan sosial.

Masih teringat kuat dalam ingatan umat manusia tentang

gerakan sosial yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan nama

gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa

yang disebut sebagai pembangunan (development).

Pada tahun 1998 Indonesia digemparkan dengan gerakan

reformasi. Gerakan reformasi saat itu tidak mungkin terhapus dalam

benak setiap anak bangsa, sebab hasil dari gerakan reformasi mampu

melahirkan sejarah baru yang patut kita catat bersama, bahwa hanya

melalui gerakan reformasi, riwayat orang kuat di Indonesia dengan

sebutan ―bapak pembangunan‖ yang terkenal dengan rezim simbol

ORBA berhasil diruntuhkan.

Dari runutan sejarah tersebut, tergambar jelas bahwa gerakan

demonstrasi massa mengatasnamakan rakyat tidak boleh dipandang

sebelah mata, sebab telah terbukti keampuhannya dalam mencapai

sebuah cita-cita yang diinginkan. Pada sisi lain, gerakan sosial tidak

boleh dipandang sebagai ancaman dalam konteks berbangsa dan

bernegara, sebab berdemokrasi yang baik selalu merujuk pada

kebebasan, dan kebebasan merujuk pada terbukanya ruang-ruang

demokrasi bagi setiap warga negara. Dengan kebebasan berdemokrasi

pula, rakyat bisa menyalurkan apa yang dirasakan kepada pemerintah,

atau kepada atasan mereka. memahami konteks tersebut lahirlah

UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG

KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM.

Lahirnya Undang Undang ini merupakan syarat bahwa

pemerintah (Pusat-Daerah) memiliki kemampuan mengakomodir

kebebasan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Singkat kata singkat cerita, jangan berikan label haram terhadap

gerakan sosial, karena melalui gerakan sosial, rakyat secara bebas dapat

menyuarakan ketidakadilan atas implementasi kebijakan yang tidak

Page 3: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

217

berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain, diharapkan rakyat dapat

menggunakan hak ―kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum‖ secara baik dan tertanggungjawab.

Perlawanan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah

merupakan bagian dari gerakan sosial yang sudah lama terjadi di

wilayah Papua. Gerakan sosial yang terjadi di Papua jika dikelompokan

menurut jenis serta tujuan, masing-masing memiliki perbedaan, namun

yang pasti gerakan sosial terjadi karena adanya indikator penyebab dan

tujuan yang hendak dicapai.

Sejumlah indikator tersebut tidak hadir begitu saja, jika dikaji

secara baik, dampak yang ditimbulkan sangat berkaitan dengan

sejumlah implementasi kebijakan yang tidak menjawab substansi

masalah sosial, sehingga pada akhirnya melahirkan gerakan

perlawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan

perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal

dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa dari gerakan pelawanan sosial

tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan sosial

mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum

migran/pendatang dari luar Papua, terkadang dilakukan tanpa

menggunakan kekerasan (non fisik), tetapi ada pula yang dilakukan

dengan cara kekerasan (fisik).

Gerakan sosial yang menggunakan kekerasan fisik, bukan sesuatu

hal yang rahasia. Dari sejumlah gerakan sosial yang terjadi dalam

wilayah nusantara, oleh pemerintah diistilahkan dengan sebutan yang

berbeda-beda, misalnya ―gerakan separatis‖, ―gerakan sipil bersenjata‖, atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Muncul sejumlah gerakan

tersebut tentu memiliki alasan yang berbeda-beda, akan tetapi yang

pasti bahwa penyebabnya bisa disimpulkan menjadi dua hal, yaitu;

pertama, unsur ketidakpuasan atas sejumlah kebijakan pembangunan

yang dianggap tidak merata di bumi nusantara; dan kedua, terkait

dengan tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan tersebut.

Page 4: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

218

Dari kedua hal tersebut, jika dihubungkan dengan gerakan

perlawanan simbol adat di ―Negeri 1001 Senja‖, maka gerakan

perlawanan dengan menggunakan simbol adat merupakan bagian dari

gerakan sosial. Yang membedakan gerakan ini dengan sejumlah

gerakan sosial yang lain ada pada indikator awal, serta tujuan yang

hendak mereka capai. Salah satu indikator gerakan perlawanan simbol

adat di ―Negeri 1001 Senja‖ dilatarbelakangi oleh sejumlah konsep

pembangunan masadepan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau

pesan-pesan leluhur. Pesan-pesan leluhur ini diterima dalam bentuk

cerita tuturan dan dijadikan barometer terhadap implementasi

kebijakan pemerintah. Yang mengkhawatirkan dari konsep ini adalah,

ketika implementasi kebijakan tidak merujuk pada konsep leluhur

mereka, maka konsep kebijakan pemerintah dianggap tidak sejalan dan

bisa menimbulkan dampak

Tujuan dari sejumlah kebijakan pemerintah yang berkaitan

dengan pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖ adalah, adanya keinginan

yang kuat dari pihak pemerintah untuk menciptakan pemerataan

pembangunan dari sejumlah kebijakan yang dibuat. Sementara itu dari

tujuan gerakan perlawanan masyarakat adat menggunakan simbol

dapat diindikasikan memuat sejumlah pesan kepada pemerintah dan

pihak-pihak lain, bahwa terdapat sejumlah penyimpangan kebijakan

yang terjadi di atas wilayah otoritas adat.

Membaca artikel jurnal terdahulu khususnya pada artikel jurnal

volume 4/nomor 1/April 2011 tentang Masalah Sosial: ―Konflik Masyarakat Adat Papua (Amume dan Kamoro) dengan Freeport pada tahun 1969‖, dapat dipastikan bahwa perlawanan fisik dan non fisik

masyarakat Papua terhadap pemerintah sudah berlangsung cukup lama.

Dan hal itu terjadi disebabkan pada faktor intimidasi, kekerasan fisik

dan pemerkosaan terhadap hak dasar OAP.

Keadaan ini terjadi, biasanya mengatasnamakan pembangunan

yang dilakukan pihak pemerintah. Karena itu, pembangunan tidak

selamanya membawa dampak positif, dampak-dampak negatif pun

selalu terjadi. Pembuktian terhadap dampak negatif atasnama

pembangunan terlihat jelas dari sejumlah kebijakan yang

Page 5: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

219

mengakibatkan masyarakat lokal terpinggirkan atas nama

pembangunan. Karena itu, terkadang sikap masyarakat lokal

mempertahankan hak-hak, bahkan menolak sejumlah kebijakan

pembangunan karena telah terbukti, pembangunan tidak selamanya

membawa dampak positif bagi mereka. Dalam konteks ini, tidak segan-

segan pemerintah melalui aparatur pemerintah (TNI POLRI) dilibatkan

untuk memuluskan jalannya kebijakan pembangunan atasnama

pembangunan itu sendiri.

Uraian bab ini merupakan kajian analisis yang berkaitan dengan

temuan penulis selama melaksanakan penelitian di Kabupaten Kaimana

yang dimuat pada bab empat dan bab lima.

Kebijakan Publik

Masih dalam penekanan soal kebijakan publik. Pada bagian awal,

penulis telah menguraikan definsi menurut Thomas R. Dye (1995 : 2),

bahwa ―kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why do it, and what diffirence it makes)‖. Dengan demikian, kebijakan

publik adalah ―fakta strategis‖ dari pada ―fakta politis‖ ataupun teknis.

Sebagai ―fakta strategi‖, dalam kebijakan publik sudah terangkum

preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses

kebijakan, khsusnya pada proses perumusan.

Sebagai sebuah ―strategi‖, kebijakan publik tidak saja bersifat

―positif ― namun juga ―negatif‖, dalam arti pilihan keputusan selalu

bersifat ―menerima salah satu‖ dan ―menolak yang lain‖. Meskipun

terdapat ruang bagi ―win-win‖ dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi,

pada akhirnya ruang bagi ―win-win‖ sengat terbatas sehingga kebijakan

publik lebih banyak pada ranah ―zero-sum-game‖, yaitu ―menerima yang ini, dan menolak yang lain‖.

Seorang kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala

pemerintahan merupakan jabatan politik. Akan tetapi jabatan politik

tidak terjadi begitu saja. Jabatan politik seorang kepala daerah akan

Page 6: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

220

sangat ditentukan oleh rakyat dalam konteks demokrasi ―dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat‖. Karena itu, kebijakan seorang kepala

daerah tidak melulu berkiblat pada arah kebijakan politik. Dalam

kedudukanya sebagai seorang pejabat politik, kebijakan yang dibuat

harus dipadukan dan disetarakan dengan kebutuhan publik, sehingga

dalam jabatan politik, seorang kepala daerah dapat melakukan

kebijakan publik yang akan menyentuh persoalan yang dihadapi

masyarakat. Jika kebijakan publik menyentuh kebutuhan publik, maka

Dye menyebutkan hal itu sebagai kebijakan ―strategi‖ karena

menyentuh kebutuhan publik.

Banyak kebijakan strategis yang telah dibuat pemerintah daerah,

namun banyak pula yang tidak menjawab kebutuhan publik. Hal ini

harus diluruskan secara baik, karena untuk mengukur sebuah

kebijakan publik, harus didasarkan pada fakta yang memiliki kaitan

dengan sejumlah masalah sosial yang dialami publik. Hal ini penting,

karena dalam implementasi kebijakan publik, terkadang terikut serta

sejumlah kepentingan politik yang memberi dampak, dan

memengaruhi kebijakan publik. Walaupun dalam implemetasi

kebijakan publik hal itu berjalan secara normal, namun dampak dari

kebijakan publik yang telah dipolitisir, akan mengalami permasalahan.

Dengan demikian kebijakan publik yang dibuat dapat dikategorikan

sebagai ―kebijakan politis‖.

Seorang kepala daerah selalu diperhadapkan dalam dua fakta

terkait dengan pengambilan kebijakan publik. Pertama, berkaitan

dengan jabatan politik; dan kedua berkaitan dengan kedudukannya

sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat. Dua sisi yang berbeda ini

mewajibkan seorang kepala daerah untuk bisa membedakan mana

kebijakan politik dan mana kebijakan publik. Dye menggambarkan

secara jelas bahwa, dalam ruang kebijakan terdapat cela yang

memungkinkan seseorang untuk membuat kebijakan berdasarkan

konsep ―win-win‖, namun dalam penentuan kebijakan, kedua hal

tersebut harus ada yang lebih diuntungkan. Hal ini berararti kebijakan

politik dan kebijakan publik tidak bisa direalisasi dalam satu kebijakan,

Page 7: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

221

sebab jika hal itu terjadi, maka satu dari dua hal tersebut akan terkena

dampak atau menjadi korban.

Menghadapi sejumlah permasalahan yang terjadi di Kabupaten

Kaimana, sejumlah kebijakan telah dibuat dengan dalil kepentingan

dan kebutuhan masyarakat (publik). Dalam penekanan awal penulis

telah memberi penjelasan, bahwa kebijakan tidak bisa disalahkan

karena berkaitan dengan hak seorang kepala daerah. Dye menjelaskan

hal itu sebagai berikut, bahwa: ―kebijakan adalah sikap pemerintah untuk membuat atau tidak membuat kebijakan‖. Artinya, untuk

membuat kebijakan publik, atau tidak membuat kebijakan, hal itu

merupakan sikap pemerintah. Namun masyarakat selalu memahami

bahwa kebijakan publik merupakan tindakan riil pemerintah, yang

berhubugan dengan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

Pemahaman masyarakat ini bertolak dari sejumlah masalah yang

mereka rasakan, karena itu, jika seorang kepala daerah tidak membuat

keputusan nyata, hal itu dianggap tidak membuat keputusan.

Pertanyaannya adalah, apa yang membedakan seseorang

dikatakan membuat dan atau tidak membuat kebijakan. Ilustrasi

berikut ini akan memudahkan kita untuk memahami hal tersebut:

―jika anda berjalan pada ruas jalan yang berlobang lalu mempertanyakan kebijakan seorang kepala daerah tentang jalan yang berlubang tersebut. Pertanyaan anda pasti didasarkan pada kenyataan bahwa jalan berlubang sangat mengganggu perjalanan, karena anda tidak bisa melajukan kenderaan dengan kecepatan maksimum. Pada titik simpulan, anda akan mengatakan, pemerintah tidak membuat kebijakan untuk memperbaiki jalan tersebut. Tetapi apakah benar pemerintah tidak membuat kebijakan terhadap kondisi jalan itu? Ternyata prediksi anda meleset, karena ruas jalan yang berlubang ketika dibijaki oleh pemerintah setempat, menimbulkan banyak korban jiwa, karena ruas jalan tersebut seringkali digunakan oleh anak muda sebagai tempat balapan liar. Bertolak dari konteks tersebut, maka pemerintah membuat kebijakan untuk tidak memperbaiki ruas jalan yang berlubang tadi. Karena itu, kebijakan tidak selalu terlihat riil atas persoalan yang terlihat riil pula‖.

Page 8: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

222

Contoh ini memberi penjelasan bahwa kebijakan tidak selalu

logis bagi semua pihak. Ada kebijakan yang logis bagi pihak pembuat

kebijakan, tetapi pada sisi lain, hal itu tidak logis bagi pihak lain.

Namun inti dari sebuah kebijakan publik haruslah berdampak positif

bagi semua pihak.

Belajar di negeri der Panzer

Menjalankan roda pemerintahan, kebijakan publik menjadi

sangat penting. Kebijakan publik tidak hanya sebatas memberi arahan

terhadap sejumlah program kerja yang telah ditetapkan oleh setiap

SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sebagai eksekutor kebijakan,

melainkan tujuan dibuatnya kebijakan publik agar setiap SKPD

memiliki kesamaan dan keseragaman visi untuk mewujudkan dan

merealisasikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Penegasan

ini disebut oleh Robert Eyestone secara luas, kebijakan publik dapat

didefinisikan sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya‖.

Penjelasan Eyestone memberi penekanan pada kebijakan sebagai

relasi dalam sebuah unit kerja. Bisa juga dipahami sebagai perekat

birokrasi yang memiliki tujuan bersama yaitu melayani masyarakat.

Kita bisa membayangkan bagaimana jika dalam birokrasi pemerintahan

yang begitu sibuk dengan sejumlah program kerja, jika tidak diimbangi

dengan kebijakan publik dari seorang kepala daerah, maka hal itu akan

menimbulkan kekacauan dalam birokrasi pemerintah. Kebijakan

publik yang dibuat oleh pemerintah daerah Kabupaten Kaimana

misalnya: terkait dengan pendidikan delapan anak asli Kaimana ke

Jerman.

Setiap kebijakan publik memiliki dampak atau konsekwensi.

Dampak serta konsekwensi tersebut sangat berhubungan dengan

keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan yang dicapai.

Heidenheimer (1930:1) menjelaskan bahwa kebijakan publik

merupakan sebuah studi tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖. Yang ingin ditekankan oleh Heidenheimer adalah soal studi tentang

―bagaimana‖ merumuskan sebuah kebijakan publik yang bisa memberi

Page 9: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

223

jawaban terhadap masalah yang dihadapi publik (masyarakat).

Penekanan ―bagimana‖ juga bertujuan mempertanyakan cara

mendesain dan merancang sebuah kebijakan publik. Misalnya, untuk

meningkatkan mutu sumber daya manusia di Kabupaten Kaimana,

pemerintah menginginkan anak-anak asli Kaimana harus bersekolah di

luar negeri. Mengawali konsep ini, Heidenheimer menawarkan

langkah pertama yang harus dilakukan adalah ―bagaimana‖ mendesain

konsep menjadi program yang bisa dituangkan dalam sebuah kebijakan

publik. Untuk mendasain konsep tersebut dibutuhkan figur atau

individu yang memiliki kecakapan khusus. Selain itu juga, tindakan

―bagaimana‖ merujuk pada membangun ANT (Aktor Network)-nya,

baik di daerah, pusat hingga di Jerman. Tawaran Heidenheimer ini

sangat penting dilakukan mengawali peluncuran sebuah kebijakan

publik.

Lebih lanjut Heidenheimer memberi penekanan studi tentang

―mengapa‖ jika dihubungkan dengan kebijakan untuk menyekolahkan

delapan anak asli Kaimana di Jerman, maka alasan mendasarnya harus

jelas. Penjelasan tentang alasan mendasar pemerintah menyekolahkan

delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖. Untuk mengetahui

alasan mendasar pemerintah Kabupaten Kaimana menyekolahkan

delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖, penulis

menemukannya melalui lansiran berita Online Radar Sorong yang di

unduh pada tanggal 26 Desember 2017, hal itu dijelaskan sebagai

berikut:

...―tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya, supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini. Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?‖...

Penjelasan di atas memberi keterangan bahwa tujuan

menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke Jerman karena

pemerintah daerah menginginkan ke depan ada anak asli Kaimana

Page 10: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

224

yang bisa memainkan peran pada tingkat provinsi maupun tingkat

pusat di masa yang akan datang. Jika hal ini yang menjadi target, maka

apa yang ditawarkan oleh Heidenheimer terkait dengan ―apa konsekuensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, bisa terjawab.

Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, ternyata setiap kebijakan

memiliki dampak dan konsekuensi masing-masing. Itu berarti, bahwa

tidak ada satu pun kebijakan yang sempurna. Karena itu, lebih awal

sebelum melakukan sebuah kebijakan publik, pembuat kebijakan sudah

harus berpikir tentang bagaimana menghadapi konsekuensinya. Hal ini

penting! Ketika pemerintah berani membuat kebijakan publik, maka

pemerintah harus memiliki keberanian untuk menerima kegagalan,

karena suksesnya kebijakan publik yang diimplementasikan adalah

kebijakan yang mampu meminimalisir konflik, bukan sebaliknya

menghindari konflik.

Untuk meminimalisir konflik, haruslah dimulai dari cara

memahami inti dari konflik yaitu ―bagaimana hubungan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini,

pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang

tidak dapat dihindari. Selain itu pula, konflik menjadi petunjuk bahwa

di dalam hubungan atau relasi sosial masyarakat terdapat dominasi,

kohesi, serta kekuasaan. Lewis A. Coser memandang ―konflik dapat direkayasa untuk menciptakan kohesi atau keteraturan sosial‖.

Dalam kenyataannya, kebijakan yang dirancang atas nama

kepentingan masa depan daerah terbentur masalah. Hal itu ditandai

dengan dikembalikannya empat anak dari Jerman ke Indonesia.

Kondisi ini mengakibatkan kemarahan sebagian masyarakat lokal,

dengan melakukan demonstrasi massa menggunakan simbol adat untuk

memalang kantor bupati. Selain demonstrasi massa, untuk melakukan

pemelangan kantor bupati, massa juga menuntut Bupati Kaimana

segera memberi penjelasan terkait kasus dipulangkannya empat anak

dari Jerman tersebut.

Page 11: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

225

Sesuai keterangan Bupati Kaimana yang dilansir koran Online

Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 27 Desember 2017 sebagai

berikut:

KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Kaimana.

Lebih lanjut dijelaskan: ―Jadi tidak pernah pemerintah daerah mengirimkan anak-anak asli Kaimana ke luar negeri lalu memulangkan mereka‖... pernyataan seperti ini menunjukan bahwa pemerintah

sangat konsisten dengan tujuan menyekolahkan delapan anak asli

Kaimana ke Jerman. Sikap ini secara tidak langsung menunjukan sikap

idealisme dalam sebuah program kerja dan hal itu menjadi sangat

penting.

Pada sisi lain, fakta dikembalikannya empat orang anak asli

Kaimana dari Jerman ke Indonesia, memberi gambaran jelas masih

terdapat sejumlah kelemahan dari kebijakan yang dibuat. Karena itu,

hal yang sangat penting dan yang harus diperhatikan adalah idealisme

harus realistis. Idealisme yang realistis seharusnya memperhatikan

semua faktor, lebih khusus pada konteks lapangan yang menjadi arena

implementasi kebijakan. Hal ini jelas terukur dari penjelasan Bupati

Kaimana:

...―pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman‖...

Page 12: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

226

Sangatlah manusiawi, kalau keempat anak meminta kembali ke

Indonesia. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa mereka ―tidak mampu lagi bersekolah di Jerman‖... dari sejumlah penjelasan ada hal

yang harus dikatahui bahwa, sistem ANT yang dibangun memiliki

kekurangan dan menyebabkan empat anak tersebut meminta untuk

dikembalikan ke Indonesia, hal itu terekam dari penjelasan kepala

daerah yang dilansir koran daerah Online Radar Sorong sebagai

berikut:

―Pihak yang berhak merekomendasikan anak-anak sekolah di Jerman ini sudah lepas tangan. Akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya. Memang ini merupakan program primadona saya, kalau buat jalan, semua Bupati bisa lakukan, tetapi karena 4 anak ini harus dipulangkan, maka saya menyerahkan kepada Tuhan saja, mungkin ini ujian buat kami pemerintah daerah. Tetapi kemarin saya baru terhibur dengan diterimanya ketiga anak kita yang saat ini masih di Jerman di Student Collage. Ini sebuah mujizat yang Tuhan beri buat kami pemerintah daerah, yang bekerja dengan niat yang tulus untuk membangun negeri ini, tetapi ada pihak-pihak lain yang menilainya dengan persepsi mereka sendiri,‖ ujar Bupati Mairuma panjang lebar.

Penjelasan ini menitikberatkan pada sistem ANT yang digunakan

untuk menangani program studi ke Jerman. Perbedaan sistem ANT di

Indonesia berbeda dengan sistem yang berlaku di Jerman. Gambaran

dari penjelasan di atas, bahwa: ...―akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya‖...

Di Indonesia kita masih bisa menggunakan berbagai indikator

ketika sebuah kebijakan mengalami jalan buntut. Misalnya: hubungan

kekeluargaan, mayoritas dan minoritas, pribumi dan kaum pendatang,

warga keturunan dan bukan keturunan, putra daerah dan bukan putra

daerah. Ternyata, ukuran seperti ini tidak berlaku di Jerman. Karena

itu penjelasan kepala daerah Kabupaten Kaimana yang mengatakan

bahwa ...―Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya‖... pada konteks seperti ini, maka penekanan

Heidenheimer semakin jelas, bahwa kebijakan publik merupakan studi

tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan

Page 13: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

227

(action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, menjadi sangat penting

untuk diperhatikan, sehingga implementasi kebijakan publik yang

seringkali menimbulkan gesekan konflik harus diminimalisir dengan

cara yang ditawarkan Heidenheimer bahwa kebijakan harus lebih

dahulu diuji; ―mengapa‖ kebijakan dibuat, ―bagaimana‖ harus dibuat

dan ―apa konsekuensi logis dari kebijakan tersebut‖.

Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan publik yang

dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kaimana mengalami masalah.

Hal ini terjadi karena ruang cipta suatu kebijakan berbeda dengan

ruang implementasi kebijakan. Perbedaan kedua ruang tersebut dapat

diukur dari tempat masing-masing, ruang cipta kebijakan berada pada

ruang birokrasi yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sosial.

Sementara pada ruang implementasi kebijakan, di sana terjadi kontak

dengan sejumlah indikator permasalahan sosial.

Dari perbedaan kedua ruang tersebut, sangatlah wajar jika

kebijakan pada tataran implementasinya muncul sejumlah

permasalahan, karena itu Richard Rose menyarankan agar kebijakan

publik haruslah dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekwensi-konsekwensi-nya bagi mereka yang bersangkutan, ketimbang sebagai suatu keputusan tersendiri‖. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun berguna

karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan

sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Artinya, Rose ingin

menyampaikan bahwa kebijakan publik, merupakan sejumlah kegiatan

yang memiliki konsekwensi yang berhubungan dengan sejumlah

pihak, karena itu kebijakan/keputusan yang dibuat tidak berdiri

sendiri.

Pelayanan birokrasi pendidikan dasar dan prilaku gerakan kolektif

Pelayanan birokrasi menjadi sangat penting, karena tujuan

pelayanan birokrasi merupakan jawaban pemerintah atas sejumlah

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dari sejumlah

permasalahan yang di hadapi masyarakat di Kabupaten Kaimana,

masalah pendidikan merupakan satu dari sejumlah persoalan sosial

yang dihadapi masyarakat dan pemerintah.

Page 14: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

228

Mengatasi masalah pendidikan, pemerintah telah melakukan

sejumlah kebijakan diantaranya, penambahan tenaga guru PNS yang

dimiliki Pemerintah Kabupaten Kaimana. Kebijakan yang dilakukan

pemerintah adalah dengan melakukan kontrak tenaga guru, baik yang

berada dalam wilayah maupun dari luar wilayah Kabupaten Kaimana.

Selain menambah aparat tenaga guru, pemerintah juga melakukan

penerimaan pegawai kontrak untuk dipekerjakan pada dinas-dinas

yang masih sangat membutuhkan. Salah satu SKPD yang menjadi

sasaran penembahan tenaga pegawai kontrak adalah dinas kesehatan

dan dinas pendidikan Kabupaten Kaimana.

Dampak dari kebijakan penambahan tenaga pegawai kontrak,

khususnya pada dinas kesehatan, maka sebagian masyarakat atas nama

suku Mairasi melakukan pemalangan terhadap kantor dinas kesehatan

dan kantor rumah sakit. Sikap pemalangan ini dilakukan karena

beberapa nama anggota masyarakat dari suku Mairasi tidak diakomodir

dalam SK (Surat Keputusan) penerimaan pegawai kontrak. Pemalangan

tersebut sempat melumpuhkan aktifitas pegawai dinas kesehatan dan

pegawai kesehatan yang bertugas sebagai pagawi di kantor RSUD

(Rumah Sakit Umum Daerah) Kaimana.

Penerimaan pegawai tidak hanya sebagai peluang bagi para

pencari kerja, sisi lain dari kebijakan pemerintah adalah, bagaimana

pemerintah bisa menjawab persoalan masyarakat, baik menyangkut

kuantitas (jumlah) pegawai, maupun kualitas (mutu/hasil) pelayanan

pemerintah terhadap sejumlah masalah yang dihadapi pemerintah.

Menghadapi persoalan ini, pemerintah melakukan langkah-

langkah riil, yaitu dengan memprioritaskan anak-anak asli, dan hal itu

dijelaskan oleh kepala daerah saat menghadiri kegiatan RAKERSIS

(Rapat Kerja Klasis) Gereja Protestan Indonesia di Papua, tahun 2014 di

Jemaat Imanuel Kensi mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:

―jika ada anak-anak Tuhan yang mengikuti tes CPNS, khususnya anak-anak asli Kaimana, kalau kita mengikuti kriteria kelulusan tes, maka hasil lulus tes CPNS didominasi oleh mereka-mereka yang datang dari luar, karena itu sebagai Kepala Daerah, saya mencoba untuk membuat perimbangan, sehingga hasil kelulusan tes CPNS bisa ada keterwakilan anak-anak negeri juga. Jika saya

Page 15: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

229

tidak lakukan interfensi, maka sangat kasihan sekali, anak-anak negeri tidak banyak yang bisa menjadi pegawai negeri sipil‖.

Penjelasan yang disampaikan memberi keterangan terkait sikap

pemerintah daerah dalam melakukan perimbangan penerimaan tenaga

Pegawai Kontrak dan CPNS. Dalam konsep kebijakan, ―tindakan kebijakan ―policy‖ digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah), atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu‖. Dengan demikian, apa yang dilakukan pemerintah

merupakan sikap yang sangat tepat mewakili birokrasi pemerintah.

Selain upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan menambah

jumlah PNS dan pegawai kontrak, pada sisi yang lain, pemerintah

berhadapan dengan sejumlah persoalan terkait dengan pengabdian

ANS di lingkungan kerja pemerintah daerah Kabupaten Kaimana,

khusus untuk PNS yang melaksanakan fungsi sebagai guru.

Kebiasaan meninggalkan tempat tugas mengakibatkan

masyarakat melakukan pemalangan terhadap gedung sekolah, dan

rumah kepala sekolah.

―masyarakat dorang (mereka) palang sekolah, karena guru-guru selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan guru-guru masa sekarang ini paling berbeda dengan guru-guru pada waktu dulu, waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga guru yang ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas, bahkan dorang (mereka) bisa lakukan les pelajaran malam hari di rumah pastori. Sekarang ini, guru-guru yang dinas pendidikan kasih untuk kitorang (kita) di kampung-kampung, ada guru pemerintah PNS, guru kontrak, tapi tidak sama dengan pace-pace1 (bapa-bapa) guru dulu, pace-pace (bapa-bapa) guru itu mengajar di depan kelas, mereka ajar masyarakat berkebun, mereka bisa jadi mantri, mereka ajar masyarakat kerja rumah (tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang sekarang ini, su tra (sudah tidak) mengajar baik-baik, su tra (sudah tidak) betah di tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti tenaga guru itu dorang (mereka) lihat yang pas di kampung baru kasih tugas, kalau begini-begini sama saja, kitorang pung (kita punya) anak-anak tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa lihat ada beberapa

1 Istilah ini digunakan untuk menyapa kaum pria dewasa artinya bapa.

Page 16: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

230

keluarga yang sudah bawa turun mereka punya anak di kota untuk sekolah di sana, karena guru-guru tidak ada, mungkin ada tenaga honor satu orang dari kampung yang mengajar saja‖.

Hal ini menunjukan kinerja birokrasi pemerintah di lapangan

belum mencapai target yang diharapkan. Kebiasaan guru meninggalkan

tempat tugas berbulan-bulan, bahkan hingga mencapai satu tahun

ajaran. Fenomena ini menunjukan betapa lemahnya fungsi kontrol

pemerintah, khususnya instansi penanggungjawab penyelenggaraan

pendidikan.

Menghadapi persoalan seperti ini, masyarakat setempat

mengambil langkah-langkah konkrit, menyampaikan laporan kepada

pihak kepolisian, dalam hal ini POLSEK (Kepolisian Sektor) terdekat

dan melakukan pemalangan sekolah dan rumah dinas guru kepala

sekolah. Setelah itu, masyarakat menyampaikan tindakan mereka

kepada dinas terkait (dinas pendidikan) di Kabupaten Kaimana.

Menanggapi laporan masyarakat, pihak dinas pendidikan

melakukan mutasi terhadap kepala sekolah yang selalu meninggalkan

tempat tugas. Kebijakan ini menurut Charles O. Jones. merupakan

sikap yang memiliki hubungan dan kesamaan dengan tujuan (goals), program, keputusan, (decision), standard, proposal, dan grand design. Pada sisi lain, pemerintah telah memenuhi hak-hak pegawai (guru),

hak-hak tersebut diuraikan sebagai berikut:

―untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan memperhatikan lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah. Untuk mereka-mereka yang bertugas di daerah terpencil atau terisolir, selain gaji kami berikan insentif zona yang lumayan besar, tidak saja itu, ada uang lauk pauk dan masih ada tambahan-tambahan pengasilan yang lain. Tujuan dari semuanya itu, kita berharap tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung‖.

Terlepas dari konteks penataan sejumlah PNS yang berprofesi

sebagai guru, pemerintah juga melakukan pergeseran pada sejumlah

kepala distrik. Tepatnya pada tahun 2009, suhu politik di Kabupaten

Kaimana mulai mencapai titik panas terkait dengan pemilihan kepala

daerah.

Page 17: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

231

Pemilihan kepala daerah merupakan pesta rakyat di tingkat

daerah. Menghadapi pelaksanaan pesta demokrasi pemelihan kepala

daerah, rakyat secara bebas ingin menyatakan pilihan mereka kepada

kandidat yang dipercaya rakyat, maka dampak yang muncul di atas

permukaan adalah terjadinya pengkotak-kotakan. Realitas seperti ini

sangatlah logis, karena setiap individu memiliki kebebasan dan

menggunakan kebebasan secara individu untuk memilih figur kepala

daerah.

Tidak saja rakyat, ternyata pengaruh pemilihan kepala daerah

memengaruhi kebijakan politik pemerintah. Menjelang akhir periode

pertama 2005-2010, kepala daerah Kabupaten Kaimana membuat

kebijakan memutasikan beberapa kepala distrik. Kabijakan ini di

pandang sebagai kebijakan politik dalam rangka untuk menjawab

kepentingan sang petahana untuk periode berikut 2010-2015.

Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana,

pemenang pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana periode 2010-

2015 dimenangkan oleh wakil bupati periode 2005-2010. Sebagai

pemenang, berbagai kebijakan pun dilakukan. Dari sejumlah kebijakan

yang dibuat, mutasi/pergeseran Kepala Distrik Teluk Arguni mendapat

sorotan hangat dari masyarakat lokal. Sikap masyarakat tersebut,

dinampakkan dengan cara menandatangi surat penolakan oleh

sejumlah kepala kampung, disertai dengan sikap pemalangan Kantor

Distrik Teluk Arguni menggunakan simbol adat ―kakur-utie ro‖.

Sikap penolakan masyarakat adat terhadap mutasi/pergeseran

kepala Distrik Teluk Arguni merupakan sebuah gerakan sosial

masyarakat adat yang disebut oleh Sidney Tarrow (1998) merupakan

―prilaku kolektif‖. Tarrow memberi pandangannya dengan menyebut

―prilaku kolektif‖ dengan mengkaitkan dampak negatif Revolusi

Prancis yang berhubungan dengan kemarahan massa pada periode abad

pencerahan sebagai akar perkembangan teori gerakan sosial. Kemudian

teori ini menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena

gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Gustave Le Bon

(1895) perintis utama teori prilaku kolektif menginterpretasikan

Page 18: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

232

kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku

kolektif yang menyerupai emosi binatang.

Sangatlah benar, bahwa dampak demonstrasi massa selalu dinilai

sebagai bentuk awal sebuah kegiatan yang berdampak pada

KAMTIBMAS, pengerusakan sejumlah infrastruktur pemerintah.

Wajah demonstrasi massa dengan sikap arogan inilah, maka Le Bon

menyamakan hal tersebut sebagai prilaku kolektif menyerupai emosi

binatang. Namun fakta yang digunakan Le Bon untuk membangun

teori gerakan sosial didasarkan pada fakta gerakan Revolusi Prancis.

Karena itu, ketika melakukan perbandingan dengan gerakan sosial di

Indonesia, khususnya gerakan sosial menggunakan simbol adat di

Kabupaten Kaimana tentu memiliki perbedaan.

Penulis melihat perbedaan tersebut didasarkan pada fakta-fakta

empiris sebagai berikut: pertama, secara kultur, masyarakat Prancis

berbeda dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat, khususnya

masyarakat adat delapan suku besar di Kaimana. Perbedaan kultur ini

menjadi landasan kuat ketika dijadikan sebagai dasar membangun

sebuah teori gerakan sosial; kedua, bentuk kesamaan gerakan sosial

yang terjadi di Prancis dan di Kabupaten Kaimana hanya berada pada

kerumunan massa, sementara yang membedakan kedua gerakan sosial

ada pada ANT (Aktor Network)-nya; dan ketiga, gerakan sosial yang

terjadi di Kabupaten Kaimana tidak bersifat menghancurkan

infrastruktur, perebutaan kekuasaan dan atau penggulingan rezim.

Karena substansi dari gerakan sosial di Kabupaten Kaimana adalah

upaya menunjukan identitas dan pemerataan keadilan dari prespektif

kultur masyarakat adat.

Jika dirunut kronologis gerakan sosial di Kabupaten Kaimana,

maka gerakan perlawanan yang menggunakan simbol adat memenuhi

regulasi yang telah ditetapkan, misalnya: izin pihak keamanan.

Tahapan memperoleh izin untuk melakukan demonstrasi massa

merupakan tahapan pembuktian diri, bahwa gerakan demonstrasi

massa atau gerakan perlawanan simbol adat adalah bagian dari hak

konstitusi warga negara. Sejalan dengan hal tersebut, maka gerakan

demonstrasi massa atau gerakan perlawanan simbol masyarakat adat di

Page 19: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

233

Kabupaten Kaimana tidak bisa disamakan dengan ―gerakan kolektif‖ yang terjadi pada saat Revolusi Prancis.

―waktu itu kami hanya disuruh untuk tanda tangan surat oleh pace distrik, tetapi pace (bapak) distrik tidak kasih jelaskan kalau untuk tolak kepala distrik yang baru, pace (bapak) distrik hanya bilang karena para petugas tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung dengan baik jadi bapa dong tanda tangan supaya bapak Bupati bisa perhatikan apa yang bapa-bapa sampaikan‖.

Ajakan ini menggambarkan ada upaya dari pihak pemerintah

(kepala distrik) untuk mengajak masyarakat adat terlibat dalam pusaran

masalah yang dia hadapinya, terkait dengan kebijakan mutasi terhadap

yang bersangkutan. Konteks inilah yang menjadi substansi yang

membedakan gerakan sosial di Prancis pada abad pencerahan dengan

gerakan pelawanan sosial di Kabupaten Kaimana.

Perbedaan Gerakan Revolusi Prancis dan Gerakan Perlawanan

Simbol Adat di Kaibupaten Kaimana haruslah diukur dari indikator

pemicu serta dampak yang ditimbulkan. Indikator pemicu Gerakan

Revolusi Prancis, dipicu oleh sistem kepemimpinan Monarki

(Kerajaan) yang dipimpin oleh raja yang berlaku tidak adil dalam

mengatur kerajaan Prancis saat itu, seperti: ―kekuasaan raja tidak terbatas; kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh undang-undang; kekuasaan raja tidak diawasi oleh parlemen; raja menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga tidak pernah salah; raja memerintah secara turun temurun; raja bertindak sewenang-wenang‖. Konteks ini menjadi wajah yang memicu ―gerakan kolektif‖ Revolusi

Prancis.

Konteks ini bisa saja terjadi, karena prilaku kolektif merupakan

respon terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan

tidak terstruktur. Yang dimaksud dengan struktur sosial sangat

berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah

dan lembaga formal dan non formal, David Popenoe (1977:259).

Karena itu, pemicu Gerakan Revormasi Prancis itu sendiri terjadi

dalam konteks yang disebut dengan ―kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh undang-undang‖.

Page 20: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

234

Ketika kekuasaan raja tidak lagi terbatasi oleh undang-undang,

maka menurut Blumer, ―masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian sendiri-sendiri, sehingga ―tindakan kolektif‖ adalah tindakan yang didahului dari penafsiran pribadi atas situasi sosial yang mereka alami‖ (Irving Zetlin, 1995:332). Dalam konteks ini,

sesungguhnya lembaga-lembaga sosial dalam kehadirannya, sudah

harus memberi perhatian atas situasi sosial yang tidak seimbang (situasi

yang memberi dampak keuntungan bagi penguasa sementara rakyat

berada dalam situasi yang sangat menderita). Namun, dalam kenyataan

tersebut lembaga-lembaga sosial tidak bisa berbuat banyak. Di sinilah

letak titik lemah kehadiran sejumlah lembaga-lembaga sosial, Neil

Smelser (1962), Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999: 4).

Mungkin saja kehadiran lembaga-lembaga sosial, keagamaan,

mahasiswa tidak mampu berbuat banyak karena dampak tekanan

penguasa, akan tetapi ―perilaku kolektif‖ tidak akan pernah berhenti,

Ralph H. Tuner dan Lewis M.Killian (1972) dalam (Popenoe 1977:404).

Ibadah haji di antara kebijakan dan religious symbols

Kebijakan pemerintah untuk mengirim CJH asal Kaimana

menunaikan rukun Islam ke lima merupakan program rutin

pemerintah setiap tahun. Sejak berdirinya Kabupaten Kaimana tahun

2005, pemerintah daerah membuat kebijakan mengirim masyarakat

Kaimana yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik ke kota-kota suci,

Mekah dan Yerusalem.

Kebijakan yang mengantar manusia untuk memenuhi rukun

Islam yang ke lima di tahun 2012, ternyata terbentur dengan masalah

ketika tiba di Jakarta. Dari tiga puluh sembilan CJH yang

diberangkatkan ke Mekah, hanya delapan belas CJH yang memiliki

kelengkapan dokumen, dua puluh satu CJH lainnya tidak memiliki

kelengkapan dokumen. Mereka lalu bersepakatan bersama untuk tidak

melakukan perjalanan haji alias batal berangkat.

Dari dilansir berita surat kabar Online Radar Sorong, Selasa 23

Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:

Page 21: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

235

―KAIMANA - Ratusan warga asli Kaimana melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati Kaimana, sekitar pukul 11.00 WIT siang kemarin (22/10). Aksi itu dilakukan menyusul pembatalan keberangkatan 39 calon jemaah haji asal Kaimana, yang diprogramkan oleh pemerintah daerah selama dua tahun anggaran dan dibiayai APBD tahun 2011 dan 2012. Saat ini, ke-39 CJH asal Kaimana yang batal berangkat, masih berada di Wisma Sayidah Inn, Kompleks Universitas Islam Negeri, Ciputat Jakarta Selatan. Menurut rencana, mereka akan kembali ke Kaimana, Rabu (24/10) mendatang. Ke-39 warga Kaimana batal berangkat karena 18 calon jemaah haji tidak memiliki visa‖.

Dari lansiran berita tersebut, ditemukan beberapa catatan

penting, antara lain; bahwa program keberangkatan menunaikan

ibadah haji yang diikuti oleh tiga puluh sembilan CJH merupakan

bagian dari program tahun 2011 dan 2012, maka diperkirakan setiap

tahun pemerintah Kabupaten Kaimana mengirim kurang lebih delapan

belas hingga sembilan belas CJH, biaya perjalanan CJH bersumber dari

APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

Dari lansiran berita koran Rada Sorong, ditemukan titik lemah

kebijakan yang berdampak pada gagal berangkat CJH ke tanah suci

disebabkan pada masalah kelengkapan dokumen visa, itu berarti, titik

lemah kebijakan tersebut sangat berkaitan dengan jaringan ANT yang

digunakan oleh pemerintah Kabupaten Kimana. Kondisi ini tidak saja

menggambarkan kegagalan sebuah kebijakan, melainkan terkesan

jajaran birokrasi tidak memahami secara baik regulasi, baik dalam

bentuk kebijakan maupun undang-undang ibadah haji. Keterkaitan

dengan ―kebijakan itu sendiri merupakan suatu arahan atau usulan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah untuk digunakan mencapai tujuan‖... Carl Friedrik.

Dalam implementasi kebijakan, seharusnya yang diperhatikan

adalah proses. Karena setiap proses telah ada regulasi yang mengatur

dan regulasi selalu merujuk pada undang-undang yang berlaku.

Misalnya, terkait kebijakan memberangkatkan CJH dari Kabupaten

Kaimana, regulasinya telah diatur berdasarkan kewenangan

pemerintah (pusat hingga daerah). Hal itu tercermin jelas dari

UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG

Page 22: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

236

PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENJADI UNDANG-

UNDANG. Pada bagian kedua, tentang ―KEWAJIBAN PEMERINTAH‖

bahwa:

Pasal 6

―Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan

perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan

ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan,

dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji‖. Bagian Ketiga

―Hak Jemaah Haji‖ dan:

Pasal 7

Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan

perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi: (a)

pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air,

di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (b) pelayanan akomodasi,

konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik

di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (c)

perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia; (d) penggunaan Paspor

Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah

Haji; dan (e) pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan

selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.

Jika dijelaskan bahwa CJH asal Kabupaten Kaimana mengalami

masalah (gagal berangkat) disebabkan karena ketiadaan dokumen,

maka berdasarkan uraian regulasi undang-undang yang berlaku,

kegagalan berangkat telah menyalahi ketentuan pada pasal enam dan

pasal tujuh, UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009.

Merujuk pada pasal enam dan pasal tujuh tentang ―KEWAJIBAN PEMERINTAH‖, jhal sangat memiliki kaitan dengan hak-hak warga

negara, lihat pasal tujuh. Karena itu, ketika pemerintah lalai

menjalankan ―kewajiban pemerintah‖, maka terkesan pemerintah

mengabaikan hak-hak dasar CJH yang akan melaksanakan rukun Islam

Page 23: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

237

ke lima. Dampak dari kelalaian tersebut akhirya mengakibatkan

demonstrasi massa terhadap kebijakan yang dibuat. Seperti yang lansir

oleh koran daerah Radar Sorong bahwa:

―massa yang berjumlah ratusan orang datang dengan konvoi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai di Kantor Bupati, massa yang membawa ―KERANDA MAYAT‖ dan meletakannya di loby ruang tunggu Bupati dan Wakil Bupati. Aparat keamanan dari Polres Kaimana dan Satpol PP tidak bisa berbuat banyak. Usai meletakan KERANDA MAYAT, massa menyegel ruang kerja Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma. Massa juga menyegel ruang kerja wakil Bupati, Burhanudin Ombaier, S.Sos, dan Assisten I Setda Kaimana, Rita Teurupun, S.Sos. Setelah melakukan aksi pemalangan ruang kerja Bupati, Wakil Bupati dan Asisten I Setdakab Kaimana, sebagian besar massa keluar menggelar orasi di halaman Kantor Bupati, sementara sejumlah warga lainnya bergerak menyegel tiap-tiap ruang kerja di Kantor Bupati Kaimana ini. Aksi itu menyebabkan sejumlah PNS yang sedang berada di dalam ruangan, langsung berhamburan keluar dan memilih untuk berada di luar ruangan. Selain menyegel kantor Bupati Kaimana, massa yang kecewa ini juga menyegel ruang Gedung DPRD Kaimana dan ruang Setwan. Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji. Kami minta DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal permasalahan ini. Warga asli Kaimana mempertanyakan mengapa pemerintah melakukan hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji,• tegasnya. Rusli Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk menidaklanjuti persoalan ini hingga tuntas,• tukasnya2.

2 Sumber http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-

Bupati-dan-DPRD, diunduh pada tanggal 14 November 2017

Page 24: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

238

Sikap masa seperti ini merupakan bagian dari kekecewaan

terhadap keberangkatan CJH yang tidak bisa menjalankan Rukun

Isalam ke lima di Tanah Suci.

Berbeda dengan sikap massa yang melakukan pemalangan

terhadap infrastruktur dengan menggunakan simbol adat. Kemarahan

massa terkait gagal berangkat CJH ke tanah suci, tidak menampakkan

kekecewaan mereka dengan menggunakan simbol adat, massa lebih

memilih menggunakan simbol yang memiliki nilai relijius.

Ada pesan penting dari penggunaan simbol relijius tersebut,

bahwa sebenarnya demonstrasi massa yang mereka lakukan tidak

memiliki kaitan dengan sejumlah demonstrasi massa yang

menggunakan simbol adat, selain itu pula, fungsi simbol reliji (keranda

mayat) yang berhubungan dengan fungsinya (tempat mengusung

mayat), memberi pengertian tentang ketidakberdayaan pemerintah

dalam mengurusi perjalanan CJH ke Tanah Suci. Dalam konteks ini,

rakyat berada pada posisi sebagai pihak yang menyampaikan keluhan

mereka terhadap pemerintah.

Ditinjau dari sisi teori gerakan sosial, demonstrasi massa

merupakan bagian dari sikap keluhan masyarakat kepada pemerintah

atas berbagai persoalan sosial yang mereka hadapi. Dalam teori keluhan

yang besumber dari ―The Manifesto of the Communist Party, Karl

Marx dan Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap

perkembangan peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini,

tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000:

31).

Jika menghubungkan substansi masalah CJH dengan teori

perlawanan kelas yang dipelopori oleh Karl Marx, maka yang di lihat

orang adalah bentuk perlawanan kaum jelata terhadap kaum borjuis

(kaum kelas atas). Namun haruslah dipahami, bahwa dampak dari

prilaku kaum borjuis-lah yang mengakibatkan munculnya gerakan

perlawanan kaum jelata terhadap kaum borjuis. Perilaku kaum borjuis

(kaum kelas atas) yang berindak semenah-menah terhadap kaum jelata

pada akhirnya menimbulkan keluhan dan akibat dari keluhan tersebut

muncul gerakan perlawanan.

Page 25: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

239

Dalam kaitannya dengan substansi pokok bahasan ini, maka

demonstrasi massa terhadap gagal berangkat tiga puluh sembilan CJH

merupakan bagian dari sikap kekesalan dan keluhan massa yang

mengakibatkan munculnya gerakan perlawanan menggunakan simbol

―keranda mayat‖. Gerakan demonstrasi ini tidak mewakili struktur

kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.

Penggunaan simbol menurut R. M. Maclver bahwa simbol

―keranda mayat‖ melambangkan ―Kesatuan sebuah kelompok... sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian dan sarana komunikasi, sebagai landasan pemahaman bersama... penggunaan simbol ―keranda mayat‖ pada prespektif Edmund Leach (1950:340), hal itu dilihat

sebagai ―tindakan-tindakan ekspresif‖ yang bisa menimbulkan presepsi

yang berbeda, bisa berhubungan dengan ―tatanan dunia sebagaimana adanya, atau ―bermaksud untuk mengubah tatanan itu secara metaforis‖.

Inti dari penggunaan simbol ―keranda mayat‖, merupakan simbol

reliji yang menggambarkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kaum

yang menunaikan ibadahnya.

Penggunaan Simbol dalam Kehidupan Manusia

Manusia dalam aktifitas kesehariannya selalu ditampilkan

dengan menggunakan simbol, karena itu manusia disebut sebagai

makhluk simbolik. Perhatikan dalam kehidupan keluarga, entah status

sosialnya terpadang, atau tidak terpandang, setidaknya dalam rumah

masing-masing pasti terdapat sejumlah simbol yang digunakan, walau

mereka tidak merasakan bahwa mereka sementara hidup dengan

menggunakan simbol. Jika mereka menyadari akan hal itu, dengan

jujur mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa

simbol.

Contoh sederhana yang mungkin tidak mereka sadari, ketika

anda masuk di rumah seorang kristen yang cukup kaya (terpandang),

ditemukan pada pintu depan terpasang indah sebuah simbol salib, tidak

jauh dari rumahnya, ada keluarga kristen sederhana (tidak terpandang),

Page 26: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

240

pada bagian depan pintu rumahnya juga terpasang simbol salib yang

sama. Kedua keluarga yang berbeda status sosial ini, sama-sama

memiliki kendaraan, yang kaya menggunakan roda empat, sementra

yang sederhana menggunakan roda tiga (becak). Pada bagian depan

kendaraan, masing-masing memasang simbol salib, dan yang tidak

kalah penting dibagian leher kedua orang tersebut melingkar rantai

dengan simbol salib. Perbedaannya, yang kaya menggunakan simbol

salib dengan bahan dasar logam mulia (emas), sementara yang

sederhana menggunakan simbol salib dari bahan dasar kayu.

Ternyata, antara kaya dan miskin, keduanya memiliki

ketergantungan yang sama terhadap simbol yang digunakan. Tidak

peduli asal-usul bahan dasar simbol yang mereka gunakan, yang

penting bagi mereka adalah simbol berbentuk salib. Sepertinya ada rasa

aman yang mereka temukan di balik penggunaan simbol tersebut,

karena itu ketika simbol itu diambil orang, sikap kegelisaan akan

mereka nampakkan dan mulai berpikir negatif, pasti sesuatu yang

buruk akan terjadi pada diri mereka.

Sikap ini sudah ada jauh sebelum simbol salib hadir dalam

kehidupan manusia, perhatikan ungkapan ini:

―sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3 cukup banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang digunakan oleh beberapa suku yang lain. Nama marga memiliki tujuan masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya gunakan seperti marga ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak menguasai hak milik orang lain atau suku lain.

3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Irarutu berasal dua kata yaitu Iraru = bahasa/bicara tuturan, dan Tu = benar, sesungguhnya dengan demikian, kata Irarutu mengandung pengertian bahasa yang benar, bicara yang benar

Page 27: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

241

Informasi yang disampaikan hendak memberi kejelasan bahwa

penggunaan simbol memiliki hubungan dengan leluhur dan alam.

Karena itu terkait kebijakan pemerintah yang menjadi sasaran gerakan

perlawanan simbol, maka tujuan gerakan perlawanan tersebut pada

satu sisi memiliki kaitan dengan gerakan perlawanan yang memiliki

kemiripan dengan gerakan sosial berbasis etnis, namun pada sisi lain,

gerakan perlawanan simbol adat bertujuan untuk mengingatkan

pemerintah bahwa perlawanan yang dilakukan memiliki hubungan

dengan konteks masa lalu. Gerakan perlawanan simbol merupakan

gerakan kolektif yang tidak hanya melihat pada masa depan yang akan

lebih baik, tetapi pada prinsip tertentu, gerakan perlawanan simbol

ingin menunjukan keterikatan mereka dengan para leluhur.

Munculnya gerakan kolektif seperti gerakan perlawanan simbol

adat yang berbasis pada kekuatan simbol masyarakat adat, hal itu

merupakan sebuah gerakan yang tidak mengarah pada upaya melawan

pemerintah (menurunkan pemerintahan yang sah), dan tidak bisa

disamakan dengan gerakan sosial kelas bawah. Sebab yang ingin

ditunjukan dari penggunaan simbol adat adalah otoritas masyarakat

adat, mereka ingin menyampaikan pesan-pesan kultur kepada pihak

pemerintah bahwa mereka adalah pemilik alam.

Disaat yang sama, melalui simbol adat yang digunakan oleh

masyarakat adat, masyarakat lokal secara tidak langsung telah memberi

garis beda antara institusi adat dengan institusi pemerintah, bahwa

sebenarnya sejak awal keduanya memang beda. Namun perbedaan itu

tidak berkaitan dengan konteks kelas dalam kehidupan sosial seperti

teorinya Karl Marx.

Menggunakan simbol adat sebagai tameng

Cara memainkan simbol adat oleh masyarakat lokal memiliki

tujuan untuk menata keteraturan hidup secara internal dan eksternal.

Secara internal simbol adat digunakan untuk setiap upacara ritual

(upacara perkawinan, kelahiran, kematian dll). Sementara untuk

kegunaannya secara eksternal, simbol adat digunakan untuk

mempertahankan keberadaan komunitas mereka dari berbagai

ancaman yang datang dari luar komunitas mereka (perang antar suku,

Page 28: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

242

gangguan alam gaib). Pertanyaannya adalah: kapan simbol-simbol

masyarakat adat terbentuk dan mulai digunakan.

Hadirnya simbol adat dan penggunaannya dalam diri manusia,

dimulai dari setiap individu berkeinginan hidup bergabung menjadi

satu komunitas. Karena terjadi penggabungan setiap individu, dan

jumlah manusia semakin bertambah melalui perkawinan, maka untuk

menjaga dan mengatur manusia, mereka membutuhkan sejumlah

aturan dalam rangka mengatur ketertiban dalam komunitas mereka.

Untuk tujuan tersebut, maka aturan-aturan diciptakan hanya bersifat

simbol dan tanda-tanda. Saat itu, manusia belum bisa menciptakan

huruf, saat itu yang bisa dilakukan manusia hanya sebatas simbol.

Dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖, C. A. van Peursen

menguraikan pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang

dalam kebudayaan manusia antara lain: Tanda mempunyai pertalian

tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Namun menurutnya,

antara tanda dan apa yang ditandai, tak ada lagi suatu pertalian

alamiah. Api hanya bisa diketahui kalau ada asap, keduanya berbeda

secara natural tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain.

Untuk menandai sesuatu yang dilarang, masyarakat adat di

Kabupaten Kaimana menggunakan beragam simbol seperti ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖. Simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖ secara fisik diambil dari beberapa jenis pohon seperti ―utie ro - kakur‖ diambil dari daun sagu dan bambu, sedangkan simbol

―nggama‖ diambil dari janur kelapa. Kedua jenis simbol ini hanya boleh

digunakan untuk menandai sesuatu yang berhubungan dengan

kepemilikan hak ulayat masyarakat lokal. Misalnya, pada lokasi/tempat

tertentu yang memiliki potensi alam, terkadang karena kecerobohan

dan sifat tamak manusia, alam digarap hingga menimbulkan kerusakan

bahkan berpotensi menghancurkan alam sekitar sehingga berdampak

punahnya habitat di sekitar lingkungan masyarakat, untuk menjaga

kepunahan alam tersebut, maka masyarakat menggunakan simbol adat

untuk menandai lokasi tersebut. Wilayah tersebut akan diolah jika

dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan masyarakat adat, maka

Page 29: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

243

simbol adat kembali dilepaskan. Pada saat itulah potensi alam bisa

digarap kembali. Kebiasaan ini biasanya masyarakat lokal menyebutnya

dengan istilah ―sasi nggama‖.

Secara alamiah, antara simbol ―nggama‖ dengan apa yang

―dilarang/ditandai‖ tidak memiliki hubungan alamiah. Keterhubungan

keduanya hanya saling menerangkan satu dengan yang lain. ―Jadi simbol yang terlihat hanya berfungsi menerangkan sesuatu yang tidak sama dengan dirinya sendiri‖. Hal ini sejalan dengan pernyataan R. M.

Maclver, ia menjelaskan bahwa: ―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... pengungkapan simbol tidak hanya bertujuan memberi keterangan

tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, ―simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu‖, simbol dijadikan sebagai pusat

perhatian tergantung pada makna dan tujuan penggunaannya, selain

untuk melesteraikan alam, tetapi juga sebagai sumber kehidupan dari

apa yang mereka tandai. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa simbol

sebagai ―sebuah sarana komunikasi‖.

Alasan simbol sebagai sarana komunikasi karena simbol yang

digunakan merupakan wujud kesepakatan bahasa bersama.

Kesepakatan bahasa bersama sudah mencakup komunikasi, yang oleh

Maclver memperjelasnya sebagai ―landasan pemahaman bersama‖... simbol pada sisi yang lain, digunakan dan dilihat sebagai bentuk dan

cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitar dengan

menggunakan media yang berada di alam sekita seperti simbol

―nggama‖, maka ―setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana selalu ―menggunakan simbol-simbol, sebab ―masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol‖.

Karena itu, kegunaan simbol adat ―nggama‖ dimanfaatkan

sebagai alat komunikasi dan informasi antara kelompok atau individu,

baik yang berada dalam satu wilayah, maupun yang berada di wilayah

yang berbeda. Namun dalam penggunaana simbol adat, mereka dapat

disatukan. Hal tersebut oleh Hartoko dan Rakhmanto (1998:133)

memahaminya dari sisi etimologi, dalam bahasa Yunani ―sym-ballein‖,

Page 30: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

244

yang berarti: ―melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan), yang berhubungan dengan ide.

Dalam kehidupan manusia, ide seringkali dihubungkan dengan

konsep-konsep. Sejumlah konsep tersebut melebur dalam diri manusia

secara individu, dan disebut kekuatan atau potensi. Potensi atau

kekuatan dalam diri manusia, lalu dituangkan menjadi buah-buah pikir

manusia dalam bentuk simbol-simbol.

Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan tuangan ide-

ide masa lalu dengan tuangan ide-ide masa sekarang. Pada masa lalu

ide-ide dibuat dalam bentuk simbol-simbol, karena pada zamaan itu

manusia belum mengenal huruf serta membaca dan menulis, maka ide-

ide hanya dilahirkan dari pikiran mereka sebatas berbentuk simbol.

Melalui sejumlah simbol masyarakat adat, manusia dapat

membaca maksud-maksud tertentu yang tertuang dalam simbol. Pada

masa sekarang, simbol didesain lebih modern dan mengalami

perubahan bentuk sesuai zaman. Manusia mulai mendesain simbol

yang dikenal dengan sebutan abjad (a-z), dan dari desain simbol

berbentuk abjad, maka untuk menandai sesuatu lokasi yang dianggap

terlarang, cukup dengan menulis seperti begini: ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖.

Sesungguhnya tujuan menggunakan simbol adat secara fisik,

dan merangkain tulisan larangan, keduanya memiliki tujuan yang

sama, yaitu ―dilarangan menebang pohon‖. Yang membedakan kedua

hal tersebut adalah: pertama, simbol adat dalam bentuk apapun penggunaannya hanya sebatas pada komunitas tertentu dan tidak

bersifat universal, sementara untuk simbol bahasa seperti ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖, berlakunya universal;

kedua, secara fisik simbol adat seperti simbol ―nggama‖, sangat mudah

ditiru pihak lain, maka simbol adat tidak berlaku universal. Sementara

simbol bahasa berlaku universal, sebab abjad (huruf) memiliki sifat

universal dan siapa saja boleh menggunakan simbol abjad (huruf).

Karena sifat universalnya tidak mengganggu dan mengurangi fisik

simbol bahasa tersebut.

Page 31: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

245

Kebebasan berbahasa dan simbol kuasa dalam bahasa

Berbahasa yang baik haruslah dimulai dari niat mempelajari

bahasa. Tidak ada orang yang bisa berbahasa tanpa dimulai dari niat

mempelajari bahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat

komunikasi antar manusia, dalam penggunaan bahasa, manusia dapat

menggunakannya untuk berkomunikasi dengan alam dan makhluk

hidup yang berada di sekitar manusia, termasuk berkomunikasi dengan

alam gaib.

Karena itu, dengan mempelajari bahasa, seseorang dapat

menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berbagai maksud, bisa

untuk hal-hal yang postif tetapi ada orang yang mempelajari bahasa

untuk tujuan negatif. Hal ini disebabkan karena bahasa mengandung

unsur kekuatan. Dengan bahasa setiap individu bisa saling

berkomunikasi dan berinteraksi dalam nilai-nilai yang positif,

sementara dalam nilainya yang negatif, bahasa bisa digunakan untuk

menghancurkan orang lain. Hal-hal yang mungkin tidak kita sadari

dengan bahasa yang digunakan, orang bisa saja memuji dan menghina

orang lain, dengan bahasa pula manusia bisa membangun dan

meruntuhkan sebuah kekuatan. Pernakah kita bayangkan bagaimana

jika pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan bahasa. Kisah

pembangunan menara babel oleh desainer terkenal bernama Nimrod

hancur berantakan hanya karena kekacauan bahasa.

Tidak bisa disangkal, bahwa untuk memulai proses

pembangunan, bahasa sangat memainkan peran utama. Tanpa bahasa,

komunikasi untuk memulai pembangunan tidak akan pernah berjalan.

Dengan kesadaran itulah, maka sebelum republik ini terbentuk, pada

tahun 1928 para pemuda dengan kesadaran nasionalis, mereka

meletakan bahasa sebagai dasar utama.

Di antara simbol-simbol negara yang dimiliki bangsa Indonesia,

kita lebih mengedepankan Simbol Pancasila sebagai unsur kekuatan

negara, dan mengabaikan peran Bahasa Indonesia sebagai salah satu

unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa, padahal Simbol

Pancasila bisa dipahami dengan baik, karena menggunakan Bahasa

Indonesia, perhatikan ke lima sila yang memuat falsafa bangsa,

Page 32: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

246

bayangkan saja jika ke lima sila tidak menggunakan Bahasa Indonesia,

maka saya sangat yakin, kita tidak pernah memahami secara benar apa

maksud dan tujuan dari ke lima sila tersebut. Ke lima sila memiliki

kekuatan dikarenakan menggunakan Bahasa Indonesia.

Republik ini terbentuk dari beragam suku bangsa dan bangsa.

Menyadari kemajemukan suku bangsa dan bahasa, maka sangat tepat

jika keberagaman bangsa bisa diikat menjadi satu kekuatan. Untuk

maksud tersebut, cetusan ikrar ―sumpah pemuda‖, tentang ―berbahasa satu bahasa Indonesia‖, sangatlah tepat jika simbol bahasa Indonesia

dijadikan wadah pemersatu perekat keberagaman dalam melaksanakan

pembangunan.

Indonesia menjadi bangsa yang besar karena dalam sejarah

bangsa, Indonesia mampu mengukir sejumlah sejarah yang besar. Tidak

ada dalam sejarah sebuah bangsa yang besar menghadirkan catatan

sejarah sederhana. Tentu masih teringat dalam sejarah bangsa

Indonesia, bagaimana bangsa ini hadir dengan tahapan-tahapan orde

dengan bahasa simbol yang sangat memengaruhi masyarakat. Pada era

ORLA, kita mengenal berbagai bahasa simbol seperti NASAKOM,

bapak Proklamator dll. Pada era ORBA, kita juga mengenal bahasa

simbol yang digunakan seperti bapak pembangunan, REPELITA

(Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan era Reformasi masa SBY-JK

(Susilo Bambang Yudoyono–Yusuf Kalla) mereka berdua tampil dengan

bahasa simbol ―good governance‖ dan ―katakan tidak pada korupsi‖, tidak ketinggalan era JOKOWI (Joko Widodo) dan JK (Jusuf Kalla),

keduanya menggunakan bahasa simbol ―kerja, kerja, kerja‖.

Dalam skala daerah, penggunaan bahasa simbol hampir tak

terhitung jumlahnya. Simbol-simbol tersebut diciptakan dan

digunakan berdasarkan kebutuhan, misalnya ketika mengawali masa

kampanye pemelihan kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Ada yang menggunakan istilah seperti: ―penyambung lidah rakyat‖, ―putra daerah‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖, ―pemimpin yang merakyat‖, dan ―bersama rakyat kita bisa‖, ―membangun dari kampung‖.

Page 33: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

247

Sepintas kedengaran indah, keren dan masuk akal. Rakyat seakan

melayang-layang mendengar sejuta istilah tersebut, tetapi yang utama

dari sejumlah bahasa simbol seperti ini, perancang dan penggunanya

sementara membangun relasi kekuatan dan kekuasaan melalui bahasa

itu sendiri, John B. Thompson menyebutnya sebagai ―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power‖... karena itu, dalam penggunaan bahasa

simbol, tidak secara lengsung menerangkan hubungan komunikasi

antara kelompok politik dengan masyarakat, tetapi di dalamnya

terkandung makna berbeda yang mengarah pada tujuan membangun

relasi kekuasaan.

Di Tanah Papua, provinsi hingga daerah-daerah kabupaten/kota,

berbagai istilah bahasa simbol dilahirkan atas nama rakyat. Beberapa

istilah yang sangat indah digunakan, misalnya ―OAP‖, ―putra daerah‖, dan ―menjadi tuan di negeri sendiri‖. Penggunaan bahasa simbol seperti

ini, ditujukan kepada masyarakat Papua, dengan tujuan untuk

mengingatkan mereka sebagai pemilik atau tuan tanah di atas tanah

mereka. Selain itu, bahasa simbol seperti ini memberi gambaran jelas

bahwa rakyat sangat diutamakan dalam pembangunan. Namun hal itu

menurut Thompson hanyalah ―We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy‖.

Peranan bahasa dalam kehidupan manusia, khsusnya bahasa

Indonesia sangat penting. Boleh jadi kita dapat menyebutnya sebagai

bahasa pembangunan, karena kegiatan pembangunan yang berlangsung

di Indonesia secara menyeluruh menggunakan bahasa Indonesia. Hal

itu tercermin dari sistem operasioanl pelayanan pemerintah dan sistem

pelaporan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan selalu

menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi ada dua hal yang diperhatikan,

Thompson menjelaskannya sebagai berikut: Bahasa seringkali menjadi

―aparatus hegemoni‖ dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara;

pertama, ketika ia (bahasa) tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-

bahasa lain (yang plural), karena dianggap sebagai ancaman; dan kedua,

Page 34: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

248

ketika ia (bahasa) digunakan untuk menyampaikan informasi (atau

versi informasi), yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

Dari pendapat Thompson, dipahami bahwa pada saat para

pemuda mencetuskan sumpah pemuda, maka di saat itulah bahasa-

bahasa lokal terancam. Ancaman terhadap bahasa-bahasa daerah yang

dimiliki suku bangsa dan bahasa di nusantara, bisa terlihat ketika

bahasa lokal tidak diakomodir dalam sistem pendidikaan nasional.

Keadaan ini terkesan menempatkan bahasa lokal menjadi bahasa

nomor dua di negerinya sendiri. Jika kita menjadi tuan di negeri

sendiri, maka bahasapun harus menjadi tuan di negeri-nya juga.

Kekuasaan bahasa tidak selalu positif, dan juga tidak selamanya

negatif, karena kekuasaan bahasa tidak tampil dalam bentuk fisik.

Dalam tampilannya yang tidak berwujud fisik, maka terkadang

kekuasaan bahasa sulit untuk dideteksi, sejauh mana dampak yang akan

ditimbulkan.

Salah satu bentuk kehadiran kekuasaan bahasa tanpa fisik, selalu

menyerupai simbol yang kehadirannya terkadang menggunakan bahasa

slogan yang berkiblat kepada rakyat, misalnya; ―bersama rakya kita bisa‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖ dll. Bahasa simbol seperti ini

merupakan bahasa pengagungan semu kepada masyarakat, rakyat

seakan diberi legalitas, ―seolah-olah tanpa rakyat mereka tidak bisa buat apa-apa‖ bahkan ―suara rakyat diberi pengakuan adalah suara Tuhan‖, sesungguhnya ada alasan dibalik pengagungan semu tersebut,

karena rakyat sebagai pemegang mandat dalam sistem demokrasi, maka

penggunaan bahasa simbol bertujuan untuk menarik simpati rakyat.

Ada saja cara yang dibuat oleh manusia untuk menghadirkan

dirinya di tengah-tengah rakyat sebagai penguasa. Jelmaannya didesain

sedemikian rupa melalui bahasa simbol dan ditaburi jutaan makna, hal

ini dilakukan dengan harapan agar hati masyarakat bisa direbuat.

Pada sisi lain, desain simbol bahasa menunjukan bahwa manusia

memang makhluk pencipta simbol. Cara manusia mendesain simbol-

simbol untuk mencapai tujuan yang diharapkan memang patut diberi

apresiasi. Perhatikan saja, walaupun makhluk manusia itu belum

Page 35: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

249

pernah bertemu dengan Allah, namun dengan daya imajinasi yang

dimiliki, makhluk manusia mampu mendesain wajah dan nama Allah

yang jauh di luar batas kemampuan manusia. Hal ini menunjukan

betapa hebat makhluk yang satu ini. Bourdieu menyebutkan bahwa

―what creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them‖.

Begitu kuatnya bahasa simbol dalam berbagai bentuk slogan,

tatanan sosial masyarakat yang begitu kuat mampu diobrak abrik untuk

mendapat simpati mereka. Perhatikan bagaimana penjual obat di pasar,

dengan bahasa dan berbahasa yang dia gunakan untuk menawarkan

hasil prodaknya yang tidak berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia),

bahkan tidak memiliki nomor registrasi dari BPOM (Badan pengawas

Obat dan Makanan), apalagi sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama

Indonesia), tetapi dari kekuatan bahasa, semua orang mampu

didoktrin, bahkan mungkin saja dokterpun bisa terbuai membeli obat

yang dijualnya. Itulah kreatifitas manusia dalam menghadirkan

beragam simbol bahasa yang dia ciptakan. Dan itulah manusia sebagai

makhluk pencipta simbol.

Gunakan Manusia Dalam Membangun Jangan Gunakan

Janji

Mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam mengawali sebuah

proses pembangunan, janji harus diikutsertakan dalam proses itu.

Karena itu, rasanya kalau janji tidak diikutertakan maka proses

pembangunan akan terasa hambar. Benarkah demikian? Mungkin iya!

bagi mereka yang suka memberi janji kepada rakyat, sementara pada

pihak lain, janji selalu dikonotasikan sama dengan utang dari pihak

yang menerima janji kepada pihak yang memberi janji. Walau

demikian, orang masih suka memulai proses pembangunan didahului

dengan menyampaikan sejumlah janji-janji kepada masyarakat.

Masyarakat memang terkadang dibuai dengan janji-janji manis

berupa tawaran-tawaran yang berasal dari pihak-pihak yang memiliki

Page 36: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

250

kepentingan, baik dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi, sosial,

dan pendidikan dll, mereka berusaha mendapatkan dukungan serta

simpati masyarakat, maka solusi yang ditempuh dengan cara memberi

harapan berupa janji kepada masyarakat.

Membangun masyarakat dengan janji merupakan solusi di luar

logika (nir-logis), masyarakat merupakan fakta pembangunan,

masyarakat itu merupakan makhluk sosial yang bisa di lihat, diraba,

diajak berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, sementara janji

merupakan daya imajinatif manusia, alat pembujuk yang tidak

berwujud. Kedua hal ini menjadi sangat tidak logis jika janji (nir-logis)

digunakan untuk membangun yang logis (masuk akal) seperti manusia.

Apa yang dijanjikan mungkin bagi anda masuk akal, mungkin

juga bagi anda dan dia masuk akal, tetapi sebaiknya yang logis adalah

masuk akan untuk kau, aku dan mereka. Pada bagian ini, penulis akan

menggambarkan hasil temuan penulis terkait dengan dampak

pembangunan yang selalu dimulai dari janji. Bagaimana hal itu

berdampak dalam kehidupan masyarakat lokal dan pembangunan

terhadap Orang Asli Papua di Kabupaten Kaimana.

Bilang kitong (kita) sekolah supaya jadi tuan di negeri sendiri terus

kalau tidak sekolah?

―walaupun saya staf Distrik Teluk Arguni, namun sebagai anak

negeri saya tidak setuju dengan cara-cara seperti ini. Memang Kepala

Distrik yang diganti itu lawan politik, tetapi pesta rakyat ini sudah

selesai, mengapa pemerintah masih dendam trus lakukan pergantian.

Sebagai anak negeri, kami lihat selama ini belum ada anak asli yang

memimpin Distrik Teluk Arguni, hanya orang-orang luar saja yang

menduduki jabatan kepala Distrik. Trus pemerintah bilang ―kita harus menjadi tuan di negeri sendiri‖, tetapi orang lain yang datang lalu jadi

tuan di negeri kita, dan kita hanya sebagai penonton saja. Memang

kepala distrik baru juga anak Kaimana dari kampung ini juga, tetapi

dalam dirinya sudah mengalir dua macam darah, ada darah Papua dan

darah Cina, jadi sebenarnya yang harus diutamakan adalah mereka

yang asli dulu barulah anak-anak Papua yang peranakan. Karena

Bupati Kaimana sudah buat keputusan maka kami anak negeri buat

Page 37: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

251

sikap penolakan dan kantor distrik kami palang menggunakan simbol

adat‖.

Bahasa sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan

manusia, karena itu dalam menggunakan bahasa, manusia dapat

berinteraksi dengan sesamanya. Begitu kuatnya peranan bahasa dalam

kehidupan manusia, sampai-sampai manusia lupa kalau bahasa dapat

membuat dirinya terjerat dalam berbagai masalah.

Menghadapi persoalan pembangunan di Papua, khususnya

pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖, faktor utama yang dihadapi

adalah manusia. Karena yang dihadapi adalah manusia, maka yang

harus dilakukan adalah pembinaan terhadap manusia, sebab manusia

merupakan indikator utama dalam pembangunan.

Terkadang tanpa sadar dalam melaksanakan pembinaan, terjadi

kesalahan-kesalahan dalam pembentukan karakter manusia. Kesalahan

tersebut erat kaitannya dengan bahasa yang digunakan saat melakukan

komunikasi.

Penjelasan responden pada paragrap pertama, terindikasi terjadi

kesalahan dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Tanpa

sadar, dalam melaksanakan pembangunan pada bidang pemberdayaan

masyarakat atau peningkatan kualitas hidup masyarakat, sejumlah

pihak yang bertanggung jawab dalam program-program tersebut, entah

sadar atau tidak, mereka mendesain cara berkomunikasi dengan cara

seperti misalnya: ―kamu harus sekolah supaya bisa menjadi tuan di negeri sendiri‖. Pesan bahasa simbol yang disampaikan dengan cara

seperti ini, tidak sebatas sebagai bahasa spirit/penyemengat semata.

Seharusnya disadari bahwa suatu saat masyarakat akan meminta

pertanggungjawaban atas apa yang kita sampaikan kepada mereka.

Fakta yang sangat jelas bisa dilihat dari aksi pemalangan Kantor

Distrik Teluk Arguni atas kebijakan pemerintah untuk melakukan

mutasi terhadap kepala distrik. Sikap masyarakat adat dengan

melakukan pemalangan terhadap kantor distrik menunjukan bahwa

masyarakat meminta pertanggungjawaban atas pesan bahasa simbol

yang pernah mereka terima dari pihak pemerintah, atau dari pihak-

Page 38: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

252

pihak lain. Mungkin saja pemerintahan saat ini bisa saja membantah

bahwa kami tidak memberi janji dan harapan seperti itu, namun satu

hal yang pasti, bahwa pemerintahan saat ini adalah juga bagian dari

pemerintahan masa lalu, yang berhadapan dengan konteks yang sama.

Karena itu sikap masyarakat jelas. John B. Thompson menjelaskan

bahwa:

―bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup sekumpulan kata-kata bermakna dalam sebuah proses pemahaman. Ia juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna menanamkan otoritas‖.

Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem

kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang

hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural) karena dianggap sebagai

ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi

yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan

simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama

yang diakui secara resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial,

dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam

pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan

tujuan akhir memperoleh kekuasaan.

Dari teori ini, dapat dipahami bahwa pesan-pesan berupa

dorongan terthadap masyarakat lokal di Papua ―kamu sekolah supaya bisa jadi tuan di negeri sendiri‖, pada satu sisi sangatlah tepat karena

memberi motifasi terhadap masyarakat, namun pada sisi lain tersirat

sikap pemerintah bahwa ―selama kamu tidak mau sekolah, kamu tidak akan bisa menjadi tuan di negerimu sendiri‖.

Pendidikan selalu menjadi faktor penentu masa depan seseorang

untuk menjadi tuan di atas tanah-nya sendiri. Karena itu, jika tidak

berpendidikan, maka jangan berharap menjadi tuan di negeri sendiri.

Steitmen ini perlu dievaluasi kembali, karena konotasi dari bahasa

simbol ini seakan memberi keleluasaan kepada siapa saja, dari dunia

mana saja, suku mana saja untuk bisa menjadi tuan di negeri orang lain,

Page 39: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

253

asalkan dia berpendidikan. Jika berangkat dari konteks seperti ini,

maka sampai kapanpun, OAP di ―Negeri 1001 Senja‖, tidak akan

pernah mendapat kesempatan menjadi tuan di atas negerinya sendiri,

karena pendidikan dijadikan syarat utama.

Jika pendidikan menjadi syarat untuk menjadi tuan di atas tanah

mereka sendiri, maka masyarakat diperhadapkan dengan pilihan yang

amat berat. Pilihan jalur pendidikan menjadi sebuah syarat utama

mungkin bagi pihak lain yang memiliki kemapanan ekonomi hal itu

tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi masyarakat kecil, menempuh

pendidikan tinggi bukan persoalan mudah bagi mereka hidup di

kampung-kampung terpencil di Papua khususnya di Kabupaten

Kaimana.

Jika pendidikan itu semudah aktifitas masyarakat seperti

memancing, pangkur sagu dan berburu hewan hutan, maka hal itu

tidak masalah. Tidak disuruhpun mereka langsung melakukannya.

Tingkat kesulitan pelaksanan pendidikan di Kabupaten Kaimana sangat

jelas dari cerita responden yang satu ini:

―pendidikan yang berlangsung di negeri ini, tidak bisa kita samaratakan, sebab ada wilayah-wilayah tertentu yang boleh dikatakan pendidikannya sudah agak membaik, tetapi ada pula di wilayah-wilayah tertentu yang masih perlu diberi perhatian ekstra oleh pemerintah. Mengapa saya katakan demikian, karena dari sejumlah usul saran yang kami terima saat MUSDIS (Musyawarah Distrik) di setiap distrik, setiap usul saran berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, pada wilayah tertentu, kalau tidak ada guru, mereka langsung temui instansi terkait dan melaporkan situasi terkini, bahwa guru-guru tidak ada di kampung. Melalui laporan masyarakat, pemerintah langsung mengambil langkah-langkah, itu konteks pertama. Yang kedua, walaupun pemerintah telah hadirkan guru, tetapi orang tuanya datang dan mengambil anak-anak mereka disekolah untuk dibawa masuk hutan berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan. Konteks ini yang saya katakan tadi bahwa tidak bisa kita ukur standar rata-rata pendidikan di Kabupaten Kaimana, sebab masalah pendidikan yang dialami sangat berbeda-beda, jadi, kalau kita memberi perhatian pada satu wilayah untuk mendongkrak pendidikan dasar di wilayah tersebut untuk bisa

Page 40: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

254

sama dengan wilayah yang satu, nanti ada masyarakat di wilayah lain cemburu dan mengatakan bahwa pemerintah tidak adil‖.

Dari tingkat kesulitan seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa

kriteria menjadi tuan di negeri sendiri seharusnya dievaluasi kembali.

Penekanan terhadap ―diveluasi kembali‖ tidak berarti mengabaikan

jalur pendidikan. Sebab pendidikan sudah menjadi keputusan dan janji

para pendiri bangsa bahwa ―mencerdaskan kehiduan bangsa‖ sudah

menjadi tugas pemerintah terhadap masyaraktanya (lihat baid keempat

UUD 1945).

Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam konteks nasional, biaya

pendidikan masih teramat mahal dan sulit dijangkau oleh kaum papah

di wilayah terpencil. Dalam skala daerah, ada kebijakan-kebijakan

pemerintah daerah yang sudah menggratiskan biaya pendidikan namun

masih sebatas SMU/SMK sederajat. Bahkan di Tanah Papua hak-hak

pendidikan OAP sangat jelas tersalur dalam Undang-Undang Otonomi

Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Tetapi dalam faktanya, biaya

pendidikan yang tersalur dari UU OTSUS Papua, belum bisa

membiayai seluruh OAP yang mengikuti pendidikan tinggi. Karena itu,

motifasi terhadap OAP untuk mengikuti pendidikan agar ―bisa menjadi tuan di negeri sendiri‖ seharusnya motifasi tersebut tidak digunakan.

Carilah motifasi yang lain, sebab untuk menjadi tuan di negeri sendiri

sampai kapanpun jika OAP mau hal itu dapat terealisasi, sayangnya

mereka masih memberi kesempatan bagi saudara-saudara mereka yang

jauh-jauh datang di Tanah Papua.

Antara janji dan kenyataan (dua sisi yang berbeda)

Penulisan bagian ini menekankan pada aspek perencenaan dan

aspek implementasi (realitas). Artinya, pembangunan yang dirancang

di ―Negeri 1001 Senja‖, selalu berhadapan dengan sejumlah persoalan.

Munculnya sejumlah persoalan tersebut tidak ditemui pada saat awal

perencanaan, tetapi pada tahapan implementasi.

Di antara kedua hal ini (merancang dan membangun),

masyarakat tidak memiliki hubungan dengan aspek me-rancang,

karena ada berbagai indikator terhadap aspek ini, misalnya: pertama,

Page 41: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

255

perencanaan hanya dipandang sebagai tanggungjawab birokrasi; kedua,

keterbatasan pengetahuan akademik pada pihak masyarakat; dan

ketiga, yang paling penting adalah terdapat perbedaan konsep

pembangunan antara pemerintah dan masyarakat lokal. Dalam konteks

ini, masyarakat hanya terlibat atau dilibatkan pada saat implementasi

kebijakan.

Seharunya, secara ideal dalam mengonsepkan pembangunan,

masyarakat telah dilibatkan sejak awal. Hal ini penting, sebab kekuatan

pendidikan secara akademis tidak bisa dianggap memiliki kekuatan

semata, tanpa diimbangi dengan kekuatan spiritualitas pengalaman

masyarakat. Jika keduanya tergabung menjadi satu, maka muncul

kekuatan yang sempurna dalam upaya mewujudkan desain

pembangunan.

Masyarakat lokal yang berada dalam lingkup berbagai wilayah

pembangunan merupakan subyek pembangunan. Menjadi subyek

pembangunan mengisyaratkan bahwa seharusnya masyarakat menjadi

desainer pembangunan. Namun dalam faktanya, subyek pembangunan

tersebut mengalami pergeseran menjadi obyek pembangunan, dampak

pergeseran posisi masyarakat dari subyek menjadi obyek, secara

langsung menunjukan bahwa, masyarakat telah diposisikan pada akhir

kebijakan publik, yaitu sebagai penerima atau pemohon kebijakan

pembangunan.

Sebagai penerima atau pemohon kebijakan, maka ada

kemungkinan permintaan atau permohonan masyarakat terkait

kebijakan pembangunan tidak akan diterima. Hal ini bisa saja terjadi

karena terkadang kebijakan publik seringkali dipolitisir menjadi

kebijakan politik. Dampak yang berbeda dari konteks seperti ini adalah

masyarakat berada pada posisi pasif terhadap suatu kebijakan

pembangunan. Sikap pasif ini dengan sendirinya memunculkan

gerakan-gerakan perlawanan masyarakat adat dengan menggunakan

simbol adat terhadap sejumlah kebijakan pembangunan. Hal tersebut

dijelaskan oleh responden bahwa:

―kalau masyarakat sudah pasang simbol seperti itu maka siapapun juga dia, jangan coba-coba buat komentar, lebih baik

Page 42: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

256

ikut masyarakat punya mau. Mungkin saja ada janji yang tidak ditepati oleh kontraktor atau pemerintah. Untuk bisa menyelesaikan masalah seperti ini, maka sebaiknya duduk di atas tikar adat lalu kita selesaikan masalah, sebab untuk mau buka simbol adat yang masyarakat pasang maka harus melalui dari adat punya cara dan aturan yang sudah berlaku‖.

Keadaan ini terjadi karena posisi masyarakat adat diposisikan

sebagai obyek pembangunan, maka secara pasif pula masyarakat akan

menilai sejauh mana pembangunan tersebut dilakukan. Dalam

penilaian tersebut, masyarakat akan bertindak dengan menggunakan

simbol-simbol adat. Penggunaan simbol adat sebagai alat perlawanan,

digunakan oleh masyarakat dengan dua model: pertama, ketika

masyarakat secara individu atau kelompok melakukan pemalangan,

pelaku akan bertahan menjaga simbol tersebut; kedua, penggunaan

simbol dilakukan secara gerelya, artinya ketika simbol telah terpasang,

individu atau kelompok yang melakukan pemalangan akan menghilang

dari lokasi simbol adat yang terpasang.

Kedua ini hal memiliki maksud masing-masing. Maksud pertama

hendak menjelaskan bahwa ada niat baik untuk segera menyelesaikan

permasalahan yang sementara terjadi. Sementara pada maksud yang

kedua hal itu menunjukan pelaku pemasangan simbol berada pada

tingkat emosional. Dan karena itu, pihak yang dipalang harus menemui

mereka. Dari cerita tuturan, secara etis tidak dibenarkan orang lain

melepaskan pemalangan simbol yang telah terpasang, hal itu hanya

bisa dilakukan oleh pelaku pemasangan simbol.

Pemalangan alat berat yang dilakukan oleh masyarakat adat di

Kampung Marsi, digolongkan pada bagian kedua. Karena itulah

pemerintah secara langsung turun menemui masyarakat untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Terlepas dari permasalahan

pemalangan alat berat di Kampung Marsi, masalah-masalah yang

berhubungan dengan sikap pemalangan masyarakat di beberapa

tempat, cara penyelesaian masalah selalu menempuh prosedur adat.

Prosedur tersebut adalah, ―datang dan duduk di atas tikar adat‖. Jika

dalam pengurusan terjadi kesalahan yang dianggap merugikan pihak

masyarakat adat, maka pihak yang melakukan kesalahan/kelalaian

Page 43: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

257

wajib memenuhi sanksi adat yang berlaku dengan membayar sejumlah

barang kepada pihak masyarakat adat.

Nilai barang tersebut memiliki makna bahwa: pertama, pihak

yang melakukan pelanggaran mengakui kesalahannya; kedua, antara

pihak yang melakukan pelanggaran dengan masyarakat adat tidak lagi

tersimpan rasa dendam; ketiga, terkait dengan substansi masalah yang

dilakukan, maka pekerjaan boleh dapat dilaksanakan atau bisa

sebaliknya, tergantung hasil penyelesaian masalah.

Sebagai identitas diri, simbol dijadikan tempat bergantung bagi

manusia dan merupakan kebutuhan dasar. Alfred Korzybski melihat

simbol merupakan ―prestasi-prestasi manusia‖. Manusia ―bergantung pada simbol-simbol‖ (Hayakawa, dalam Mulyana dan Rakhmat

1996:96) dengan demikian Susanne K. Langer berkeyakinan bahwa

―kebutuhan dasar ini hanya ada pada manusia, itu adalah kebutuhan akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol di antara kegiatan-kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat dan bergerak, ini adalah proses fundamental dari pikiran, dan berlangsung setiap waktu‖.

Dalam penggunaan simbol, berbagai hal harus dipertimbangan

secara baik. Misalnya; simbol perang, kegunaannya harus disesuaikan

dengan konteks perang, simbol larangan harus digunakan pada

benda/tempat yang dianggap keramat. Prinsip utamanya adalah; simbol

itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk

berbagai tujuan. Simbol itu sendiri adalah ―obyek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu,‖ menurut James P. Spradley

(1997:212). Simbol itu juga adalah suatu istilah dalam ―logika, matematika, semantik, semiotik, dan epistemologi‖ (Wallek dan

Waren, 1995:239).

Teori para ahli terkait dengan penggunaan simbol hendak

dipahami sebagai kebutuhan dasar, karena mengandung unsur pesan

dan komunikasi di antara mereka (pengguna). Dalam simbol yang

dimiliki, terdapat logika berpikir masyarakat adat. Karena terkait

dengan logika berpikir masyarakat, maka hal itu sangat erat

berhubungan dengan pengetahun masyarakat setempat.

Page 44: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

258

Selain sebagai logika pikir masyarakat lokal, simbol adat

mengandung nilai etis, dan nilai rasa masyarakat lokal yang

berhubungan dengan alam. Mungkin saja dalam dunia modern saat ini,

atas nama pembangunan segala hal bisa dilakukan, misalnya;

penebangan hutan untuk membangun infrastruktur dan untuk

menjawab sejumlah kebutuhan pemerintah dan masyarakat, maka

eksplorasi dan eksploitasi tambang, perkebunan sawit dll, dilakukan

atas dasar pembangunan.

Terkait dengan pembangunan, antara masyarakat dan

pemerintah memiliki konsep yang berbeda. Pemerintah memandang

alam sebagai potensi sumber daya yang harus digarap dan dikelola bagi

kesejahteraan masyarakat, sementara masyarakat melihat potensi alam

sebagai ―Adena‖ yang memiliki nilai sakralitas. Dua pendangan yang

berbeda inilah, terkadang memunculkan gesekan yang berdampak pada

konflik tegak lurus atau konflik bawah atas.

Simpulan Bab

Kebijakan dibuat selalu berdasarkan pada fakta sosial yang

dialami oleh masyarakat. Karena itu tujuan kebijakan dibuat untuk

menjawab fakta-fakta sosial tersebut. Jika kebijakan didasarkan pada

fakta sosial yang dialami masyarakat, maka kebijakan yang dibuat

adalah kebijakan publik. Dye menyebutkan kebijakan publik adalah

kebijakan ―strategi‖, karena berkaitan dengan kondisi sosial yang

sangat teknis. Berbeda, jika kebijakan yang dibuat berdasarkan fakta

politik.

Membuat kebijakan, seseorang diperhadapkan dengan pilihan

idel ―win-win‖, artinya, yang dinginkan dari sebuah kebijakan yang

dibuat adalah ―menang-menang‖, namun keinginan ideal terkadang

terhalang dengan berbagai persoalan lapangan, Dye berpendapat

bahwa kebijakan publik seharusnya berada pada ―zero-sum-game‖ ―menerima yang ini, dan menolak yang lain‖, karena yang dihadapi

adalah konteks sosial masyarakat yang memiliki banyak pilihan.

Page 45: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

259

Seorang kepala daerah sebagai pembuat kebijakan, dia tidak

bekerja sendiri. Disekitarnya ada sejumlah SKPD sebagai instansi teknis

yang siap mengeksekusi kebijakan pemerintah (kepala pemerintahan).

Agar seluruhnya memiliki keseragaman kerja, maka kebijakan harus

sesuai dengan visi serta misi pemerintah, mengingat kebijakan publik

sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya‖ Robert Eyestone. Penekanan Eyestone lebih menitikberatkan

kebijakan publik pada persoalan relasi kerja, karena relasi kerja yang

dibangun secara baik, akan diminimalisir konflik sehingga tujuan

kebijakan bisa menghasilkan sesuatu bagi kepentingan masyarakat.

Sebagai sebuah wilayah pemerintahan yang baru, banyak

permasalahan sosial yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Salah

satu dari sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah

Kabupaten Kaimana terkait dengan pendidikan dan pengembangan

sumber daya manusia.

Permasalahan ini ditindaklanjuti dengan beberapa kebijakan,

dimulai dari penambahan tenaga guru kontrak, pembangunan fisik

sekolah dan perumahan guru di wilayah pedalaman. Untuk pendidikan

tinggi, pemerintah Kabupaten Kaimana menyekolahkan delapan anak

suku ke negeri yang dijuliki ―der panzer‖.

Kebijakan yang dibuat ternyata masih juga mengalami

permasalahan, di antaranya menyangkut keaktifan guru di wilayah-

wilayah terpencil (seringkali meninggalkan tempat tugas). Selain itu

pula, masih terdapat di wilayah tertentu, orang tua murid tidak pro

aktif mendukung program pendidikan (anak-anak dijemput oleh orang

tua untuk meramu hasil hutan). Delapan anak asli Kaimana yang

bersekolah di Jerman, empat anak meminta kepada pengurus yang

menangani mereka untuk dikembalikan ke Indonesia.

Menghadapi persoalan seperti ini, Heidenheimer (1930:1)

menjelaskan bahwa ―kebijakan publik merupakan sebuah studi tentang

bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖. Bagaimana pemerintah bertindak,

mengapa pemerintah harus melakukan tindakan tersebut, dan apa

dampak yang akan muncul dari kebijakan yang dibuat. Ketika muncul

Page 46: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

260

dampak, bagaimana pemerintah ber-action, ataukah pemerintah lebih

memilih ber-in action. Terkait dengan kebijakan mengirim delapan

anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖, pemerintah daerah

menjelaskan hal tersebut yang dilansir oleh koran Online Radar

Sorong, dan di unduh pada tanggal 27 Desember 2017, dijelaskan

bahwa:

...tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya, supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini. Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?...

Harapan kepala daerah Kabupaten Kaimana dari kebijakan

tersebut, ternyata empat anak harus kembali ke Indonesia. Menghadapi

permasalahan ini, Bupati Kaimana kembali menjelaskan kronologis

kepulangan keempat anak asli Kaimana dari Jerman disebabkan karena:

KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Kaimana.

Kebijakan seorang kepala daerah butuh topangan dari semua

pihak, termasuk sistem ANT yang digunakan. Jika ANT yang

digunakan tidak serius menjalan fungsi secara baik, maka kebijakan

yang dibuat akan terbentur dengan sejumlah persoalan.

Pelayanan pemerintah terhadap pelaksanaan ibadah haji, yang

diikuti oleh tiga puluh sembilan CJH asal Kabupaten Kaimana, juga

mengalami persoalan ketika tiba di Jakarta. Dari tiga puluh sembilan

Page 47: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

261

CJH, hanya delapan belas yang memiliki kelengkapan dokumen visa,

dan dua puluh satu CJH tidak memiliki kelengkapan dokumen. Kondisi

ini mengakibatkan tiga puluh sembilan CJH bersepakat untuk tidak

melanjutkan perjalanan haji dan memilih kembali ke Kaimana.

Menghadapi konteks tersebut, masyarakat melakukan demonstrasi

massa dan melakukan pemalangan terhadap kantor Bupati Kaimana

dengan menggunakan simbol ―keranda mayat‖.

Dari dilansiran berita surat kabar Online Radar Sorong, Selasa 23

Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:

―massa yang berjumlah ratusan orang datang dengan konvoi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai di Kantor Bupati, massa yang membawa ―KERANDA MAYAT‖ dan meletakannya di loby ruang tunggu Bupati dan Wakil Bupati... Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji...

Penggunaan simbol menurut R. M. Maclver bahwa simbol

(keranda mayat) melambangkan ―Kesatuan sebuah kelompok... sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian dan sarana komunikasi, sebagai landasan pemahaman bersama... penggunaan simbol pada

prespektif Edmund Leach hal itu dilihat sebagai ―tindakan-tindakan ekspresif‖ yang bisa menimbulkan presepsi yang berbeda, bisa berhubungan dengan ―tatanan dunia sebagaimana adanya, atau ―bermaksud untuk mengubah tatanan itu secara metaforis‖.

Cara memainkan simbol adat oleh masyarakat lokal pada masa

lalu memiliki tujuan untuk menata keteraturan hidup secara internal

dan eksternal. Secara internal simbol adat digunakan untuk setiap

upacara ritual (upacara perkawinan, kelahiran, kematian dll).

Sementara untuk kegunaannya secara eksternal, simbol adat digunakan

untuk mempertahankan keberadaan komunitas mereka dari berbagai

ancaman yang datang dari luar komunitas mereka (perang antar suku,

Page 48: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

262

gangguan alam gaib). Pertanyaannya adalah: kapan simbol-simbol

masyarakat adat terbentuk dan mulai digunakan.

Hadirnya simbol adat dan penggunaannya dalam diri manusia,

dimulai ketika setiap individu berkeinginan hidup bergabung menjadi

satu komunitas/masyarakat. Dengan adanya keinginan masyarakat

untuk hidup bersama membentuk komunitas/masyarakat, jumlah

mereka semakin hari kian bertambah, dalam konteks tersebut,

masyarakat adat membutuhkan aturan-aturan untuk menata

kehidupan mereka. Keinginan ini diwujudkan dengan cara manusia

menciptakan simbol-simbol.

Dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖, C. A. van Peursen

menguraikan pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang

dalam kebudayaan manusia antara lain: ―Tanda mempunyai pertalian tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai‖, ―di mana ada asap, di sana ada api‖, ―asap merupakan tanda adanya api‖. Namun menurutnya,

―antara tanda dan apa yang ditandai, tak ada lagi suatu pertalian alamiah‖. Api hanya bisa diketahui kalau ada asap, keduanya berbeda

secara natural tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain.

Keterhubungan keduanya hanya saling menerangkan satu dengan yang

lain. ―Jadi simbol yang terlihat hanya berfungsi menerangkan sesuatu yang tidak sama dengan dirinya sendiri‖.

Hal ini sejalan dengan pernyataan R. M. Maclver,―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... pengungkapan simbol tidak hanya bertujuan

memberi keterangan tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, ―simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu‖, simbol

dijadikan sebagai pusat perhatian tergantung pada makna dan tujuan

penggunaannya, selain untuk melesteraikan alam, tetapi juga sebagai

sumber kehidupan dari apa yang mereka tandai. Lebih jauh dijelaskan

pula bahwa simbol sebagai ―sebuah sarana komunikasi‖.

Alasan simbol sebagai sarana komunikasi karena simbol yang

digunakan merupakan wujud kesepakatan bahasa bersama.

Kesepakatan bahasa bersama sudah mencakup komunikasi, yang oleh

Maclver memperjelasnya sebagai ―landasan pemahaman bersama‖...

Page 49: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

263

simbol pada sisi yang lain, digunakan dan dipahami sebagai bentuk dan

cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitar dengan

menggunakan media seperti simbol.

Untuk menandai sesuatu yang dilarang, masyarakat adat di

Kabupaten Kaimana menggunakan beragam simbol seperti simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖. Simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖ secara fisik diambil dari beberapa jenis pohon seperti simbol

―utie ro-kakur‖ diambil dari daun sagu dan bambu, sedangkan simbol

―nggama‖ diambil dari janur kelapa.

Karena itu, kegunaan simbol adat ―nggama‖ dimanfaatkan

sebagai alat komunikasi dan informasi antara kelompok atau individu,

baik yang berada dalam satu wilayah, maupun yang berada di wilayah

yang berbeda namun masih dalam hubungan kesukuan. Hal tersebut

oleh Hartoko dan Rakhmanto (1998:133) memahaminya dari sisi ―sym-ballein‖, secara etimologi dalam bahasa Yunani artinya: ―melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan), yang berhubungan dengan ide.

Dalam kehidupan manusia, ide seringkali dihubungkan dengan

konsep-konsep. Sejumlah konsep tersebut melebur dalam diri manusia

secara individu, dan disebut kekuatan atau potensi. Potensi atau

kekuatan dalam diri manusia, lalu dituangkan menjadi buah-buah pikir

manusia dalam bentuk simbol-simbol.

Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan tuangan ide-

ide masa lalu dengan tuangan ide-ide masa sekarang. Pada masa lalu

ide-ide dibuat dalam bentuk simbol-simbol, karena pada zamaan itu

manusia belum mengenal huruf dan baca dan tulis, maka ide-ide hanya

dilahirkan dari pikiran mereka sebatas berbentuk simbol.

Melalui sejumlah simbol masyarakat adat, manusia dapat

membaca maksud-maksud tertentu yang tertuang dalam simbol. Pada

masa sekarang, simbol didesain lebih modern dan mengalami

perubahan bentuk sesuai zaman. Manusia mulai mendesain simbol

yang dikenal dengan sebutan abjad (a-z), dan dari desain simbol abjad,

maka untuk menandai sesuatu lokasi yang dianggap terlarang, cukup

Page 50: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

264

dengan menulis seperti begini: ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖.

Sesungguhnya tujuan menggunakan simbol adat secara fisik,

dan merangkai tulisan untuk suatu tujuan yang sama, keduanya tidak

ada perbedaan. Yang membedakan kedua hal tersebut adalah: pertama,

simbol adat dalam bentuk apapun penggunaannya hanya sebatas pada

komunitas tertentu dan tidak bersifat universal, sementara untuk

simbol bahasa seperti ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖, sifat tulisan tersebut universal; kedua, secara fisik simbol adat

seperti simbol ―nggama‖, sangat mudah ditiru oleh pihak lain, karena

itu simbol adat tidak berlaku universal. Sebab sifat universalnya akan

memengaruhi makna simbol tersebut.

Berbahasa yang baik haruslah dimulai dari niat mempelajari

bahasa. Tidak ada orang yang bisa berbahasa tanpa dimulai dari niat

mempelajari bahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat

komunikasi antar manusia, dalam penggunaan bahasa, manusia dapat

menggunakannya untuk berkomunikasi dengan alam dan makhluk

hidup yang berada di sekitar manusia, termasuk berkomunikasi dengan

alam gaib.

Tidak bisa disangkal, bahwa untuk memulai proses

pembangunan, bahasa sangat memainkan peran utama. Tanpa bahasa,

komunikasi untuk memulai kegiatan pembangunan tidak akan pernah

berjalan, konteks ini sudah dirasakan penting, maka dengan penuh

kesadaran pada tahun 1928 para pemuda dengan kesadaran nasionalis,

mereka meletakan bahasa sebagai dasar dan tekat bersama menuju

suatu bangsa yang besar yang diikat dalam simbol bahasa Indonesia.

Di antara simbol-simbol negara yang dimiliki bangsa Indonesia,

kita lebih mengedepankan ―Simbol Pancasila‖ sebagai unsur kekuatan

negara, lalu mengabaikan peran ―Bahasa Indonesia‖ sebagai salah satu

unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal

Simbol Pancasila bisa dipahami dengan baik, karena menggunakan

Bahasa Indonesia. Coba bayangkang, seandainya ke-―Lima Sila‖ hanya

terdiri dari simbol/lambang tanpa menggunakan bahasa: ―Bintang, Rantai, Pohon Beringin, Kepala Banteng, Padi Dan Kapas‖, pasti setiap

Page 51: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

265

anak bangsa dari Sabang sampai Merauke masing-masing akan

menafsirakn simbol atau lambang-lambang tersebut sesuka hati.

Untuk menghindari hal tersebut, maka bahasa digunakan untuk

memperjelas/mengartikan setiap simbol/lambang. Ternyata

simbol/lambang dan simbol bahasa bisa dipadukan, walaupun secara

natural keduanya tidak memiliki hubungan secara alamiah, misalnya;

simbol/lambang ―Bintang‖ tidak bisa dinamakan dengan ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖, secara natural, simbol/lambang bintang dalam

menjelaskannya secara fisik adalah bintang, tidak mungkin simbol

bintang berubah nama menjadi ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖, begitupun sebaliknya, menyebut ―Ketuhanan Yang Maha Esa‖, tidak

menjelaskan nama simbol/lambang bintang. Walau demikian keduanya

berbeda tetapi saling memberi makna ketika dihubungkan dengan

―Lambang Negara Pancasila‖.

Bahasa Indonesia memiliki kekuatan yang hubungan dengan

sejarah hadirnya bangsa ini. Pada era ORLA, kita mengenal berbagai

bahasa simbol seperti ―NASAKOM‖, ―Bapak Proklamator‖ dll. Pada Era

ORBA, bahasa simbol yang digunakan seperti, ―Bapak Pembangunan‖, ―REPELITA‖, di era Reformasi masa SBY-JK keduanya tampil dengan

bahasa simbol ―good governance‖ dan ―katakan tidak pada korupsi‖. Pada era JOKOWI-JK, keduanya menggunakan bahasa simbol ―kerja, kerja, kerja‖dll.

Dalam skala daerah, penggunaan bahasa simbol hampir tak

terhitung jumlahnya. Simbol-simbol tersebut diciptakan dan

digunakan berdasarkan kebutuhan, misalnya ketika mengawali masa

kampanye pemelihan kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Ada yang menggunakan istilah seperti: ―penyambung lidah rakyat‖, ―putra daerah‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖, ―pemimpin yang merakyat‖, dan ―bersama rakyat kita bisa‖, serta ―membangun dari kampung‖.

John B. Thompson menyebutnya sebagai ―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power‖... karena itu, dalam penggunaan bahasa

simbol, tidak hanya menerangkan hubungan komunikasi antara

Page 52: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

266

kelompok politik dengan masyarakat, tetapi di dalamnya terkandung

makna berbeda yang mengarah pada tujuan membangun relasi

kekuasaan.

Di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Kaimana, berbagai

istilah bahasa simbol dilahirkan atas nama rakyat. Beberapa istilah yang

digunakan antara lain, misalnya ―OAP‖(Orang Asli Papua), ―putra daerah‖, dan ―menjadi tuan di negeri sendiri‖. Penggunaan bahasa

simbol seperti ini, seakan menunjukan bahwa Orang Asli Papua sangat

di nomor satukan, selain itu, hal tersebut memberi gambaran jelas

bahwa rakyat sangat diutamakan dalam pembangunan. Namun hal itu

menurut Thompson hanya ―We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy‖.

Kegiatan pembangunan yang berlangsung di Indonesia secara

menyeluruh menggunakan bahasa Indonesia. Hal itu tercermin dari

sistem operasioanl pelayanan pemerintah dan sistem pelaporan

kegiatan pembangunan selalu menggunakan Bahasa Indonesia. Tetapi

ada dua hal yang perlu diperhatikan, Thompson menjelaskannya

sebagai berikut: Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari

sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara; pertama, ketika ia (bahasa)

tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural),

karena dianggap sebagai ancaman; dan kedua, ketika ia (bahasa)

digunakan untuk menyampaikan informasi (atau versi informasi), yang

sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

Kekuasaan bahasa tidak selalu positif, dan juga tidak selamanya

negatif, sebab kekuasaan bahasa tidak tampil dalam bentuk fisik,

karena itu kekuasaan bahasa sulit untuk dideteksi, dampak yang akan

ditimbulkan.

Manusia memang makhluk pencipta simbol. dimulai dengan

daya imajinasinya, mendesain simbol hingga menggunakan simbol

bahasa mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini menunjukan betapa

hebat makhluk yang satu ini. Bourdieu menyebutkan bahwa ―what creates the power of words and slogans, a power capable of

Page 53: BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/16489/6/T2_092016007_BAB VI... · gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk

267

maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them‖.

Begitu kuatnya bahasa simbol dalam berbagai bentuk slogan,

bahkan karena kuatnya bahasa simbol yang diciptakan, sekuat apapun

tatanan sosial masyarakat, dengan menggunakan bahasa simbol konteks

itu akan berubah.