bab v nato dan amerika serikat dalam konflik...

30
BAB V NATO DAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK WILAYAH GEORGIA Keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 melahirkan negara-negara baru yang berarti pula mengubah cara kerja sistem internasional yang telah ada sebelumnya. Seperti yang terjadi di Georgia. Georgia merupakan negara pecahan Uni Soviet yang memperoleh kemerdekaan dan berkeinginan untuk menunjukkan kepada dunia tentang keinginan mereka untuk dapat mengendalikan negara mereka secara independen. Selama masa awal perubahan, negara ini sering menghadapi masalah internal dan ekstenal yang cukup serius yang dapat mengancam kedaulatannya. Georgia berjuang untuk menjadikan negara mereka sebagai negara demokratis dan berdaulat modern yang mana perjuangan mereka terlebih dahulu harus melalui berbagai tantangan dari sistem internasional. Di tengah perjuangan negara ini, aktor-aktor dari luar negara Georgia kemudian menemukan celah untuk bisa meletakkan kepentingan mereka atas negara tersebut. Baik itu secara eksplisit maupun secara implisit. Mereka kemudian menemukan bahwa Georgia masih merupakan negara yang fondasi kedaulatannya belum kokoh sehingga mudah untuk disiasati kebijakan negara ini. Hal tersebut membawa Amerika Serikat dan NATO memutuskan diri mereka untuk dapat terlibat dalam setiap kebijakan yang ada di Georgia. Dari penjelasan diatas, penulis dalam bab ini akan memaparkan bagian- bagian yang akan dianalisa oleh penulis berkaitan dengan masalah relevansi antara Amerika Serikat, NATO dan Georgia yang paling penting relevansi antara NATO sebagai instrumen kebijakan politik dan ekonomi Amerika Serikat. Berangkat dari lima asumsi dasar teori Mearsheimer, penulis ingin melihat sejauh mana Amerika Serikat dapat menempatkan masing-masing asumsi dari Mearsheimer tersebut untuk bisa menjadi negara adidaya.

Upload: nguyennhan

Post on 30-Apr-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB V

NATO DAN AMERIKA SERIKAT DALAM KONFLIK

WILAYAH GEORGIA

Keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991 melahirkan negara-negara baru

yang berarti pula mengubah cara kerja sistem internasional yang telah ada

sebelumnya. Seperti yang terjadi di Georgia. Georgia merupakan negara pecahan

Uni Soviet yang memperoleh kemerdekaan dan berkeinginan untuk menunjukkan

kepada dunia tentang keinginan mereka untuk dapat mengendalikan negara

mereka secara independen. Selama masa awal perubahan, negara ini sering

menghadapi masalah internal dan ekstenal yang cukup serius yang dapat

mengancam kedaulatannya. Georgia berjuang untuk menjadikan negara mereka

sebagai negara demokratis dan berdaulat modern yang mana perjuangan mereka

terlebih dahulu harus melalui berbagai tantangan dari sistem internasional.

Di tengah perjuangan negara ini, aktor-aktor dari luar negara Georgia

kemudian menemukan celah untuk bisa meletakkan kepentingan mereka atas

negara tersebut. Baik itu secara eksplisit maupun secara implisit. Mereka

kemudian menemukan bahwa Georgia masih merupakan negara yang fondasi

kedaulatannya belum kokoh sehingga mudah untuk disiasati kebijakan negara ini.

Hal tersebut membawa Amerika Serikat dan NATO memutuskan diri mereka

untuk dapat terlibat dalam setiap kebijakan yang ada di Georgia.

Dari penjelasan diatas, penulis dalam bab ini akan memaparkan bagian-

bagian yang akan dianalisa oleh penulis berkaitan dengan masalah relevansi

antara Amerika Serikat, NATO dan Georgia – yang paling penting relevansi

antara NATO sebagai instrumen kebijakan politik dan ekonomi Amerika Serikat.

Berangkat dari lima asumsi dasar teori Mearsheimer, penulis ingin melihat sejauh

mana Amerika Serikat dapat menempatkan masing-masing asumsi dari

Mearsheimer tersebut untuk bisa menjadi negara adidaya.

Tulisan ini dibagi kedalam tiga bagian. Pada bagian pertama akan dibahas

mengenai keterlibatan aliansi NATO di dalam Georgia yang mencakup penjelasan

mengenai mengapa NATO bisa hadir di Georgia dan bagaimana perkembangan

hubungan keduanya untuk kemudian dapat dijelaskan mengenai keterlibatan

NATO itu sendiri. Selanjutnya pada bagian kedua akan dipaparkan mengenai

pengaruh negara superpower Amerika Serikat terhadap bentuk kebijakan di dalam

NATO untuk Georgia dilihat dari dua masa kepemimpinan Presiden Amerika

Serikat yaitu Bush dan Obama karena diyakini bahwa setiap pemimpin memiliki

gaya kepemimpinan yang berbeda. Hal tersebut akan dilihat dalam hubungannya

dengan aliansi. Terakhir pada bagian ketiga akan dianalisa yang menjadi

kepentingan Amerika Serikat di Georgia melalui aliansi NATO sendiri yang akan

dibagi kedalam dua sektor yaitu sektor ekonomi dan sektor politik. Bagian ini

akan berkaitan dengan segala bentuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat secara

implisit.

5.1 Keterlibatan Aliansi NATO di Georgia

Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 membuat Georgia dihadapkan

pada tugas untuk membangun dirinya menjadi negara demokratis pasca-Soviet.

Proses membangun diri negara mereka bagi Georgia bukanlah hal yang mudah.

Georgia membutuhkan bantuan negara lain untuk bisa terus mempertahankan

kelangsungan hidup negara. Georgia kemudian mendapatkan berkat bantuan

tersebut dari Amerika Serikat. Karena bantuan tersebut pula, secara bertahap

Georgia mulai mengurangi ketergantungannya pada Rusia dan mulai

meningkatkan hubungan keamanannya dengan Barat.

Pada tahun 1992, Georgia harus menghadapi konflik separatis di wilayah

Ossetia Selatan. Konflik yang kemudian kembali pecah di tahun 2008 tersebut

berubah menjadi suatu konflik terbuka yang membawa fenomena baru dalam

sistem perpolitikan internasional. Dalam konflik tersebut, NATO hadir sebagai

suatu aktor yang ingin terlibat dimana, keterlibatannya merupakan bentuk

kepentingan dari Amerika Serikat. Kehadiran aliansi ini didukung oleh Georgia

yang memang ingin menjadi bagian dari aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara

tersebut.

Kehadiran NATO di Georgia dan keinginan Georgia untuk bisa bergabung

dengan aliansi membawa Georgia terus mempertahankan orientasi baru mereka

yang pro-Barat. Hal ini tertuang dalam visi strategi keamanan pemerintah Georgia

yang menyatakan bahwa Georgia akan berusaha untuk memperluas dan

memperkuat hubungan negara mereka dengan negara-negara yang memiliki nilai

demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, ekonomi pasar dan

kebebasan berpikir. Tujuannya adalah integrasi ke semua institusi utama struktur

Eropa dan transatlantik. Kebijakan luar negeri dan keamanan Georgia menyatakan

bahwa tujuan utamanya adalah kemerdekaan, keamanan dan kebebasan Georgia,

persatuan nasional, kemakmuran dan kedamaian (NATO Website, 2000). Prioritas

utamanya tentu untuk bisa mendapatkan keanggotaan NATO.

Penyerangan yang dilakukan Rusia terhadap Georgia empat bulan setelah

KTT Bucharest tahun 2008 membawa NATO mendapatkan tanggapan bahwa

aliansi ini gagal untuk menawarkan kepada Georgia suatu MAP. Selain itu,

tanggapan lain terkait dengan janji NATO bahwa Georgia pada akhirnya akan

menjadi anggota dan gerakan Georgia yang sedang berlangsung menuju integrasi

dengan Barat yang kemudian memacu agresi yang dilakukan oleh Rusia tersebut.

Bagi NATO, konflik yang terjadi tersebut mengharuskan adanya suatu perubahan

mendasar dalam strategi pertahanan Georgia untuk menekankan pertahanan

teritorial dan setidaknya sedikit perubahan dalam bantuan yang diberikan oleh

sekutu NATO.

Konflik Rusia-Georgia tahun 2008 memang menunda prospek Georgia

untuk keanggotaan NATO, itu juga merevitalisasi keterlibatan NATO dengan

Georgia. Namun dari NATO sendiri, setelah pecahnya konflik bersenjata Georgia-

Rusia, NATO segera melakukan yang terbaik untuk mengurangi konflik. Ini

memperingatkan tentang perkembangan yang berpotensi berbahaya di wilayah

tersebut dan dinyatakannya dukungan untuk mediasi dengan Uni Eropa dan

OSCE1 (NATO Website, 2008). Setelah konflik yang terjadi pada 8 Agustus

2008, Sekretaris Jenderal NATO meminta kedua belah pihak untuk segera

menghentikan konfrontasi dan memulai pembicaraan langsung. Aliansi menuntut

untuk penyelesaian konflik juga menuntut agar integritas dan kedaulatan wilayah

Georgia dihormati. NATO juga mengecam pengakuan Ossetia Selatan dan

Abkhazia oleh Rusia (NATO Website, 2008). Bagian terpenting yaitu

penghentian kerjasama politik antara NATO dengan Rusia. Meskipun demikian,

NATO berpantang dari keterlibatan langsung dalam perundingan damai

mengingat sikap keras anti-NATO Rusia pada saat itu yang mungkin akan

menjadi kontraproduktif (Madej, 2009).

Pada faktanya, aliansi Perjanjian Atlantik Utara ini tidak dapat memainkan

peran perantara dalam konflik antara Georgia dan Rusia karena didikte oleh posisi

Rusia yang memang menentang keterlibatan NATO di wilayah tersebut. Bagian

ini kemudian menempatkan NATO dalam situasi yang rumit sebagai sebuah

organisasi pertahanan keamanan. Dalam keadaan seperti itu, setiap keterlibatan

penting NATO dalam penyelesaian konflik tidak hanya akan menyebabkan

eskalasinya, tetapi juga dapat berdampak negatif terhadap usaha mediasi yang

sedang berlangsung. Akan tetapi, dengan bantuan dari NATO dan Amerika

Serikat, Georgia mampu meningkatkan interoperabilitas militer dengan pasukan

NATO dan berkontribusi terhadap keamanan dan operasi kolektif NATO. Selain

itu, Georgia terus melengkapi kembali dan memodernisasi angkatan bersenjatanya

dengan senjata konvensional, baju besi, penerbangan dan peralatan elektronik

buatan Barat.

Pada tanggal 19 Agustus 2008 dalam pertemuan di North Atlantic

Councils (NAC) di Brussels, dewan komisi NATO memutuskan untuk

membentuk NATO Georgia Commission (NGC) sebagai bentuk fasilitas untuk

konsultasi antara aliansi dengan Tbilisi. Pembentukan kerjasama ini merupakan

pertanda dukungan yang jelas dan sangat dibutuhkan untuk Georgia. Meskipun

1OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) merupakan organisasi yang

memiliki pendekatan komprehensif untuk keamanan yang mencakup aspek politik-militer,

ekonomi dan lingkungan dan manusia di Eropa.

terjalin kerjasama yang erat antara NATO dan Georgia, posisi negara Georgia

masih berada di luar aliansi dan karenanya tidak dilindungi oleh kewajiban

pertahanan kolektif NATO.

Dukungan yang diberikan oleh NATO untuk Georgia terhadap konflik

yang terjadi dinilai muncul karena konflik ini dapat mempengaruhi elemen

evolusi NATO secara signifikan. Secara nyata, dampak konflik Rusia-Georgia

bersama dengan berbagai faktor lainnya menjadi semakin kabur dan tidak dapat

dibedakan satu sama lain sehingga membuat definisi yang tepat tentang dampak

dari konflik Agustus 2008 mengenai fungsi dan pengembangan aliansi NATO

semakin sulit. Hal ini akan berpengaruh pada proses kebijakan pembesaran

NATO, khususnya pada proses integrasi Georgia dan negara lainnya yaitu

Ukraina di dalam NATO.

Kehadiran NATO di Georgia diawali dengan ekspansi yang dilakukan

oleh NATO ke wilayah Eropa Timur pasca Perang Dingin berakhir. Georgia yang

terinspirasi oleh langkah yang diambil oleh tiga negara Baltik yang memutuskan

untuk bergabung menjadi bagian dari aliansi kemudian mulai menunjukkan

keseriusan mereka untuk menjadi anggota tetap (BBC News Website, 2012).

Ekspansi yang dilakukan aliansi dijustifikasi sebagai cara penyebaran nilai-nilai

demokrasi dan sebagai penangkal untuk kemungkinan hadirnya agresi Rusia di

masa yang akan datang.

Sebelum melakukan ekspansi ke wilayah Eropa Timur, NATO sejatinya

telah menjalin hubungan dengan Georgia. Pada tahun 1992 Georgia telah

bergabung menjadi bagian dari North Atlantic Cooperation Councils (NACC).

Dua tahun berselang, Georgia kemudian bergabung dalam program Partnership

for Peace (PfP) yang dibentuk oleh NATO (Ministry of Foreign Affairs Website).

Program ini dicanangkan dengan maksud untuk memungkinkan mitra dari NATO

untuk dapat membangun hubungan individu dengan NATO dimana mereka dapat

memilih prioritas kerja sama mereka sendiri (NATO Website, 2017). Selanjutnya,

di tahun 1996, Georgia menguraikan “Individual Partnership Programme”

mereka yang pertama di NATO. Disusul di tahun 1997, Parlemen Georgia

meratifikasi Status of Force Agreement (SOFA) antara negara-negara pihak

dengan Pakta Atlantik Utara dan negara-negara lain yang berpartisipasi dalam

mitra juga ditandai sebagai tahun berdirinya Euro Atlantic Partnership Councils

dengan Georgia sebagai salah satu pendirinya.

Hubungan NATO dan Georgia berkembang semakin intens di tahun 1998

ketika misi diplomatik pertama Georgia ke NATO resmi dibuka dan Georgia

mulai bergabung dalam Planning and Review Process PfP di tahun 1999

(Ministry of Foreign Affairs Website). Baik NATO dan Georgia kemudian mulai

mengadakan berbagai macam pelatihan, baik itu pelatihan multinasional skala

besar, pelatihan militer maupun pelatihan medis. Seperti pada tahun 2001 hingga

2002, NATO mengadakan pelatihan multinasional skala besar “Cooperative

Partner 2001”dan pelatihan militer “Cooperative Best Effort 2002” di Tbilisi,

Georgia. Di tahun yang sama juga Georgia meluncurkan kerjasama dengan

NATO Maintenance and Supply Agency (NAMSA) dalam program yang

dilaksanakan di bawah naungan Partnership for Peace Trust Fund dan memulai

proses integrasi Georgia ke NATO. Pada saat KTT NATO di Praha, Georgia

membuat deklarasi untuk keanggotaan NATO dan menyatakan keinginannya

untuk turut ambil bagian dalam IPAP (Individual Partnership Action Plan).

Pada tahun 2003, dibentuknya National Coordination Councils for Euro

Atlantic Integration sebagai bagian dari usaha integrasi Georgia ke dalam NATO

sekaligus dibuatnya Individual Partnership Plan Georgia. Berlanjut di tahun

2004, Pada KTT NATO di Brussels, Georgia mempresentasikan IPAP mereka dan

secara resmi diterima dan menjadi negara pertama yang menyetujui IPAP

sehingga Georgia beralih naik ke tahap dua dalam integrasi Euro Atlantic.

Hingga di tahun 2005, dibentuknya Komisi Negara untuk menjalankan

IPAP Georgia sehingga kesepakatan PfP antara Georgia dan NATO mulai

berlaku. Tidak lama berselang, di dalam Bucharest Summit tahun 2008, pemimpin

NATO menyetujui keinginan Georgia yang ingin menjadi negara anggota. Namun

setelah terjadinya konflik, NATO kemudian merevisi kembali hal tersebut. Disisi

lain, NATO bersedia untuk mendukung pemulihan di Georgia sehingga

dibentuknya NATO Georgia Commission untuk mengawasi pelaksanaan

dukungan dan proses integrasi Georgia. Memasuki tahun 2010, Georgia

menandatangani sebuah kesepakatan dengan NATO untuk berkontribusi dalam

Operasi Active Endeavour, operasi kontra teroris maritim NATO di Laut Tengah

dan memutuskan untuk meningkatkan hubungan NATO Georgia melalui militer

dengan lebih efektif (Ministry of Foreign Affairs Website).

5.2 Pengaruh Amerika Serikat Terhadap Kebijakan NATO di

Georgia

Seperti yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, Amerika Serikat

mulai mendominasi NATO sejak masuk menjadi bagian dari aliansi dan semakin

berkembang hingga mencapai titik puncak. Dominasi yang dilakukan oleh

Amerika Serikat mencerminkan sikap bahwa negara tersebut ingin menjadi negara

great power. Sikap dan tekad Amerika Serikat yang ingin menguasai dunia

didorong oleh kejadian-kejadian berikut: Pertama, runtuhnya Uni Soviet dan

berakhirnya Perang Dingin menyebabkan Amerika Serikat menjadi satu-satunya

negara adidaya yang tersisa. Tidak ada lagi negara yang mampu mengimbangi

kekuatan negara ini. Kedua, kekuatan ekonomi Amerika Serikat yang melebihi

Uni Eropa dan Jepang. Ketiga, kemampuan militer Amerika Serikat merupakan

kekuatan militer terbesar di dunia dan cenderung mengalami perkembangan yang

signifikan.

Ketiga sikap yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat tersebut merupakan

cerminan dari pernyataan Mearsheimer mengenai suatu negara yang akan menjadi

great power. Bagi Mearsheimer, great power atau negara akan senantiasa

membangun kekuatan mereka untuk bisa mendominasi sistem atau menjadi

hegemon. Dalam hal ini, berdasarkan penjelasan mengenai sikap-sikap yang

ditunjukkan oleh Amerika Serikat tersebut tergambar jelas bagaimana Amerika

Serikat ingin menjadi satu-satunya kekuatan dunia. Apalagi dengan berbagai

kepentingan nasional yang mengikuti dibelakang tentu semakin menambah

intensitas bagi Amerika Serikat untuk menciptakan konsep great power.

Keinginan Amerika Serikat untuk bisa menjadi great power didasarkan

pada sistem internasional yang anarki yang mana didalam sistem anarki yang

dimaksud tidak adanya kekuasaan tunggal atau world governance. Ketiadaan

kekuasaan tunggal tersebut memungkinkan Amerika Serikat untuk dapat

berkontestasi dengan negara lain yaitu dalam kasus ini berkontestasi dengan Rusia

di Georgia. Kontestasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat dilatarbelakangi oleh

keinginan Amerika Serikat untuk tetap menjadi hegemon dalam tatanan global.

Karena untuk bisa menjadi hegemon, sebuah negara harus bisa memastikan dua

hal, pertama menjadi hegemon di regional negara mereka dan kedua harus bisa

memastikan bahwa tidak ada hegemoni lain di regional lain.

Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak lawan dari Amerika Serikat yaitu

Rusia. Sebagai negara pecahan Uni Soviet yang memang merupakan lawan lama

dari Amerika Serikat, Rusia memiliki peluang untuk mengancam eksistensi

Amerika Serikat dalam mengejar great power. Bahkan Rusia juga memiliki

peluang untuk mengancam eksistensi NATO sebagai aliansi pertahanan keamanan

untuk konflik di Georgia. Peluang yang dimiliki oleh Rusia membawa negara ini

muncul sebagai pesaing Amerika Serikat dalam konflik di Georgia. Bagi Rusia,

sudah terlalu lama Amerika Serikat dan NATO mencoba untuk menguasai Eropa

dan dunia. Karena itu Rusia mulai meningkatkan kekuatan mereka baik dari sisi

internal maupun ekstenal untuk membentuk tatanan dunia internasional yang baru.

Kehadiran Rusia membawa intensi bagi Amerika Serikat bahwa kapan saja

negara ini dapat mengancam eksistensi Amerika Serikat yang telah terbentuk

hingga saat ini. Amerika Serikat harus bisa menjaga diri mereka dengan

membatasi ruang gerak dari lawan. Politik “containment policy” kemudian

menjadi langkah kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat dengan pola

kebijakan yang sama yang digunakan Amerika Serikat saat berkonflik dengan Uni

Soviet. Pola tersebut yaitu dengan menjalin hubungan baik dan memaksimalkan

posisi aliansi NATO dengan negara-negara yang terindikasi tidak dalam

hubungan baik dengan Rusia dalam hal ini negara Georgia.

Posisi Amerika Serikat yang ingin menjadi negara superpower tentu tidak

terlepas dari setiap kepentingan nasional negara mereka. Dalam konflik yang

terjadi di Georgia, kehadiran Amerika Serikat bertujuan untuk menunjukkan

kepada dunia bahwa Amerika Serikat masih dan akan tetap menjadi negara

adidaya. Itulah mengapa Amerika Serikat ingin memastikan bahwa tidak ada

negara lain yang dapat menjadi hegemon di dunia khususnya di wilayah Eropa

Timur. Sebagai aktor yang rasional, negara dapat menciptakan strategi-strategi

untuk memaksimalkan prospek ketahanannya, dalam hal ini Amerika Serikat

menggunakan posisi mereka di dalam NATO untuk bisa membantu mereka

mencapai tujuan politik negara mereka sendiri. Untuk bisa terlibat di dalam

konflik di Georgia, Amerika Serikat perlu untuk merubah taktik politik mereka

dengan seolah-olah memberikan uluran tangan kepada Georgia melalui aliansi

NATO.

NATO sendiri bisa dikatakan sebagai suatu organisasi internasional yang

dibentuk oleh negara dalam kesepakatan sehingga kekuasaan tertinggi tetaplah

berada pada negara itu sendiri dan bukan kepada Sekretaris Jenderal suatu

organisasi. Peran organisasi internasional sendiripun tidak dapat mengurangi

otoritas kekuasaan tertinggi dalam sistem internasional. Memang dalam halnya

berhubungan dengan sebuah aliansi, tidak semua pemimpin dalam satu negara

memiliki kebijakan yang sama yang dapat diterapkan kedalam aliansi. Begitu juga

dengan pemimpin dari Amerika Serikat yang masing-masing memiliki gaya

kepemimpinan yang berbeda satu dengan yang lain. Ciri khas dari kepemimpinan

seseorang dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh bagi orientasi politik

luar negeri negara mereka. Faktor kepemimpinan ini dikarenakan posisi pemimpin

yang berperan sebagai pembuat keputusan, posisi kunci, sekaligus sebagai obyek

pencitraan negara yang bersangkutan. Konsep ini berlaku bagi Amerika Serikat di

bawah kepemimpinan George Walker Bush dan Barack Obama yang datang dari

latar belakang yang sama sekali berbeda.

George Walker Bush berasal dari Partai Republik, sedangkan Barack

Obama berasal dari Partai Demokrat dimana kedua partai mayor Amerika Serikat

ini memiliki platform, ideologi dan basis massa yang berbeda. Gaya

kepemimpinan yang berbeda antara Bush dan Obama terlihat jelas dalam bentuk

pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kedua pemimpin ini. Bush dengan

gaya khasnya yang cenderung hard diplomacy, dan Obama yang lebih menonjol

kepada soft diplomacy. Perbedaan gaya kepemimpinan keduanya berdampak bagi

organisasi NATO sendiri karena masing-masing mempunyai visi dan misi yang

juga bisa berbeda dalam setiap bentuk pengambilan keputusan terhadap aliansi.

5.2.1 Era Presiden Bush

George Walker Bush merupakan presiden terpilih Amerika Serikat

ke-43. Bush yang berasal dari Partai Republik terpilih menggantikan

presiden sebelumnya yaitu Bill Clinton. Amerika Serikat dibawah

pimpinan George W Bush (2001-2009) mengedepankan perang melawan

terorisme secara menyeluruh dan dikenal sebagai negara yang sering

melakukan intervensi terhadap negara lain.

Setelah terpilih menjadi presiden, Bush dinobatkan sebagai

presiden Amerika Serikat yang kontroversial karena pada masa awal

kepemimpinannya terjadi sebuah peristiwa ditabraknya dua menara

kembar oleh pesawat yang dilakukan oleh sekelompok teroris serta dikenal

dengan peristiwa WTC 11 September 2001. Adanya kasus terorisme yang

menyerang Amerika Serikat pada saat itu memunculkan istilah War on

Terrorism dan kemudian membuat Bush melakukan invasi ke Afghanistan

untuk melumpuhkan kekuatan kelompok Taliban dan Al-Qaeda yang

dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Invasi yang dilakukan

oleh Bush ternyata melibatkan intervensi oleh aliansi NATO di

Afghanistan.

Serangan terorisme di wilayah Atlantik Utara terjadi pada 11

September 2001 di Amerika Serikat, dimana pada saat itu para teroris

berhasil membajak pesawat Boeing 767 milik maskapai American Airlines

dan kemudian menghantamkannya ke menara utara gedung World Trade

Centre di New York City serta pesawat ketiga yang menabrak Gedung

Putih Pentagon sedangkan pesawat ke empat yang berniat menabrak

Gedung Washington D.S jatuh lebih dulu di Sommerset Country,

Pennsylvania, setelah aksinya di gagalkan oleh para penumpangnya

(Fitriyanti, 2008, hal. 66).

Peristiwa yang terjadi di tahun 2001 yang merupakan masa awal

pemerintahan George W Bush langsung menghantui kredibilitas

pemerintahan Bush sendiri. Sesaat setelah terjadinya serangan, Bush

langsung menuduh kelompok Al Qaedah pimpinan Osama bin Laden

sebagai tersangka utama (Fitriyanti, 2008, hal. 66). Selain itu, Amerika

Serikat juga menuduh Afghanistan karena dianggap telah memberikan

perlindungan kepada Osama bin Laden. Sebelumnya Amerika Serikat

telah mengidentifikasi pemerintah Taliban di Afghanistan sebagai

pelindung dan pendukung Al Qaedah (Fitriyanti, 2008, hal. 68). Ketika

penolakan dilakukan oleh Taliban terkait tragedi 11 September tersebut,

Amerika Serikat langsung memutuskan untuk menyerang pemerintahan

Taliban dan gerakan Al Qaedah. Penyerangan ini kemudian mendapat

dukungan dari berbagai negara seperti Cina, Rusia dan termasuk juga

dukungan dari NATO.

Keikutsertaan NATO terhadap penyerangan Amerika Serikat

diinisiasi oleh Bush sendiri yang meminta kepada Sekjen NATO untuk

terlibat dalam invasi Amerika Serikat di Afghanistan pada 07 Oktober

2001. Invasi NATO di Afghanistan ini menjadi negara ketiga untuk

NATO melaksanakan strategi “out of area” setelah sebelumnya pernah

dilakukan di Bosnia dan Kosovo.

Bagi Amerika Serikat, NATO tidak hanya sekedar menjadi

organisasi regional yang didasarkan pada letak geografis anggota saja

tetapi lebih ditekankan kepada kepentingan politik yang ingin dicapai.

Karena itu terdapat beberapa alasan mengapa Amerika Serikat bergabung

ke dalam NATO (Suwardi, 2004, hal. 31): Pertama, NATO dibutuhkan

untuk menjadi penjamin dalam memelihara keamanan dan kebebasan

Eropa dari berbagai ancaman. Komitmen Amerika Serikat terhadap

keamanan Eropa melalui penempatan tentaranya dalam NATO di Eropa

merupakan „kebijakan asuransi‟ untuk mencegah munculnya ancaman

dominasi kekuatan atau konflik lain di Eropa (Rachmat, hal. 109-110).

Kedua, NATO berperan sebagai penjaga stabilitas politik dan

ekonomi di Eropa yang tentunya sangat berpengaruh pada perekonomian

Amerika Serikat sendiri. Ketiga, NATO merupakan „kendaraan‟ yang

dapat digunakan untuk memperkuat dan memperluas paham kebebasan

dan demokrasi di Eropa sehingga keterlibatan negara Amerika di dalam

aliansi dapat memperkukuh upaya terciptanya NATO sebagai komunitas

bangsa yang demokrasi.

Dalam perjalanan kepemimpinannya, George Walker Bush selama

menjabat menjadi Presiden Amerika Serikat berpegang pada pola

kebijakan model hard diplomacy yang mana model kebijakan ini

didasarkan pada isu keamanan terkini di dalam negeri yang dapat

mengancam stabilitas keamanan negara. Keberadaan Bush dianggap

sebagai aktor yang rasional yang berupaya untuk menjalankan kebijakan-

kebijakan yang nyata dengan model diplomasi tersebut.

Untuk konflik yang terjadi di Georgia, Amerika Serikat mengambil

kebijakan yang hampir sama dengan kebijakan-kebijakan mereka

sebelumnya jika ingin mengintervensi suatu negara. Kebijakan yang

ditempuh Amerika Serikat dibawah pemerintahan Bush untuk konflik

yang terjadi di Georgia yaitu dengan mengedepankan dukungan Amerika

Serikat terhadap Georgia yang ingin bergabung menjadi aliansi Pertahanan

Atlantik Utara. Amerika Serikat menyatakan untuk terlibat dalam konflik

di Georgia berdasarkan berbagai pernyataan Bush yang mendukung

pemerintahan Georgia dengan mengecam serangan yang dilakukan Rusia,

serta orientasi politik pemerintah Georgia yang dinilai ingin

memanfaatkan dukungan Amerika Serikat. Bush kemudian menyatakan

bahwa dirinya akan mendesak para pemimpin Pakta Pertahanan Atlantik

Utara pada pertemuan dalam Bucharest Summit agar memulai mendukung

proses masuknya Georgia ke dalam organisasi (Antara News Website,

2008). Wakil Presiden Amerika Serikat era Bush, Dick Cheney pun

menyampaikan dukungan Amerika Serikat terhadap keinginan Georgia

untuk bergabung ke dalam NATO (FOX New Website, 2008):

“America will do its duty to work with the governments of

Georgia and our other friends and aliies to protect our

common interests and uphold our values. Russia‟s

actions have cast grave doubts on Russia‟s intentions

and on it‟s reliability as an international partner. As you

work to overcome an invasion of your sovereign territory

and an illegitimate, unilateral attempt to change your

country‟s border by force, that has been universally

condemned by the free world”

5.2.2 Era Presiden Obama

Semenjak terpilih sebagai Presiden baru Amerika Serikat

menggantikan Bush, Barack Obama mulai mengubah arah kebijakan luar

negeri Amerika Serikat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Obama

terlihat mulai menggeser arah kebijakan politik luar negerinya dari unsur-

unsur militeristik ke arah isu-isu multilateralisme dalam menjalin

hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya di

dunia. Obama menekankan pada kerjasama bilateral maupun multilateral

serta mengedepankan diplomasi untuk menjaga dan mengamankan

kepentingan Amerika Serikat di wilayah-wilayah tertentu.

Pola kebijakan baru kemudian mulai diterapkan oleh Obama yang

mengedepankan model kebijakan soft diplomacy. Dalam merealisasi

model soft diplomacy Obama, Amerika Serikat kemudian mulai

menggandeng aktor-aktor non-pemerintah, melakukan pendekatan yang

bersifat normatif, melakukan kunjungan kenegaraan dan membuka forum-

forum pembicaraan terhadap negara-negara islam yang semakin

diintensifkan dan lain sebagainya.

Presiden terpilih Barack Obama pun mulai mengedepankan

kebijakan untuk membangun aliansi, persekutuan dan institusi yang

dibutuhkan untuk mengatasi ancaman serta memperketat keamanan.

Terkait masalah aliansi, Amerika Serikat membutuhkan kerjasama yang

tetap atau konstan dan diperlukan revisi jika persekutuan tersebut ingin

tetap efektif dan relevan. Sebagai contoh nyata yaitu aliansi NATO yang

telah membuat langkah hebat dengan melakukan transformasi dirinya

sendiri dari awal yaitu sebagai struktur keamanan pada masa Perang

Dingin menjadi sebuah persekutuan yang memperjuangkan perdamaian.

Cenderung berfokus ke arah kebijakan isu multilateralisme tidak

menutup kemungkinan Obama tidak lagi memperhitungkan kekuatan

militer. Obama tetap menghidupkan militer Amerika Serikat karena dinilai

sangat penting. Militer yang kuat menurut Obama diperlukan untuk

mempertahankan perdamaian dunia. Rencananya juga Obama akan

menambah pasukan Amerika Serikat khususnya kekuatan darat sebanyak

65.000 tentara bagian angkatan darat dan 27.000 pelaut ke bagian

angkatan laut.

Pada masa pemerintahan Obama ini, Amerika Serikat menyatakan

diri lebih terbuka dan mengizinkan negara-negara lain untuk berkontribusi

kepada Amerika Serikat dalam perwujudan kebijakan luar negeri Amerika

Serikat. Presiden Obama memiliki visi untuk menyeimbangkan kembali

situasi Amerika Serikat terhadap kebijakan War on Teror dengan cara

menggeser atau merubah ideologi dimana Obama yang lebih

mengedepankan soft power daripada hard power. Obama banyak

melakukan berbagai upaya, diantaranya ia membuat tindakan pendekatan

secara personal kepada dunia muslim, berjanji akan menarik pasukan

Amerika Serikat dari Irak, memperbarui pakta perdagangan bebas dengan

lebih menekankan pada perlindungan kaum buruh dan keselamatan

lingkungan, dan terpenting mulai berdialog dengan negara-negara sekutu

dan negara-negara yang dianggap musuh.

Pada saat terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, Obama

memiliki janji politik untuk mengurangi kebijakan yang bersifat agresif

atau militeristik. Kebijakan tersebut kemudian mulai diterapkan oleh

Obama dalam kasus di Libya. Bagi Obama yang perlu dilakukan untuk

Libya yaitu untuk meningkatkan pemulihan hubungan luar negeri mereka.

Sebenarnya Obama mengalami dilema terhadap proses perancangan

kebijakan yang tegas terhadap Libya dikarenakan Khadafi yang merespon

sikap pemerintahan Amerika Serikat secara represif. Kegamangan tersebut

kemudian muncul di forum utama PBB dimana mereka menilai Libya

sebetulnya sudah cukup maju untuk memulihkan citranya di mata

internasional. Ini membuat kebijakan intervensi melalui PBB jauh lebih

sulit dirancang atau ditegaskan dibanding pengambilan kebijakan di

NATO menyikapi kondisi Libya. Maka dari itu saat intervensi ke Libya

memang didalamnya terlibat NATO mendahului mandat PBB yang

dilatarbelakangi oleh Amerika Serikat.

NATO kemudian menjadi kendaraan bagi Amerika Serikat di

Libya karena dinilai lebih fleksibel dalam penyatuan sikap menentukan

suatu intervensi militer. Selaku negara adidaya, Amerika Serikat

mendorong dan menggunakan NATO dalam melakukan eksekusi

kebijakan intervensi militer tersebut. Pada saat NATO memutuskan untuk

mendukung segala upaya penggulingan Khadafi, melalui Presiden

Amerika Serikat, Barack Obama mengatakan bahwa Amerika Serikat

dalam kasus konflik bersenjata di Libya mengambil aksi militer yang

terbatas sebagai bagian koalisi yang luas dalam NATO. Obama

menambahkan bahwa Amerika Serikat dan NATO tidak akan berdiam diri

ketika ada seseorang yang kejam mengatakan kepada rakyatnya sendiri

bahwa tidak akan ada belas kasihan seperti tindakan Khadafi yang terus

bertindak represif terhadap para oposisi.

Selama periode intervensi militer Amerika Serikat di Libya,

dominasi negara ini terhadap NATO terlihat sangat signifikan. Upaya

tersebut direalisasikan Amerika Serikat dalam bentuk dukungan penuh

melalui aliansi NATO. Dukungan yang diberikan Amerika Serikat berupa

suntikan dana dan juga bantuan militer berupa kapal induk, pesawat

tempur, kapal peluncur rudal, dan lain sebagainya. Tindakan yang

dilakukan oleh NATO di Libya kemudian semakin menekankan bahwa

Amerika Serikat masih mendominasi setiap bentuk kebijakan aliansi

karena didukung oleh bentuk kepentingan yang ingin dicapai oleh aliansi

maupun Amerika Serikat sendiri.

Pada awal tahun 2009 yang merupakan masa awal pemerintahan

Obama, dalam konflik yang terjadi di Georgia, pemerintahan Amerika

Serikat dan Georgia sepakat untuk membentuk Strategic Partnership yang

merupakan kerangka kerjasama bilateral dengan empat prioritas yaitu:

kerjasama pertahanan dan keamanan; demokrasi; ekonomi, perdagangan

dan energi; serta pertukaran budaya. Salah satu tujuan utama dari kerangka

kerjasama ini adalah membangun kembali pertahanan militer Georgia

yang hancur pasca perang serta mempromosikan perdamaian dan stabilitas

regional pasca perang. Adapun kegiatan kerjasama dalam bidang

pertahanan dan keamanan disini adalah pelatihan, edukasi, dan pengiriman

pasukan militer Georgia ke luar Georgia; memperkuat kapabilitas

pertahanan militer Georgia, termasuk air defense dan sistem radar;

memberikan dukungan baik secara materiil maupun pelatihan untuk

pertahanan teritorial Georgia; meningkatkan peran dan keikutsertaan

pasukan militer Georgia dalam misi perdamaian NATO maupun Amerika

Serikat (CSIS Website, 2012, hal. 6). Kerjasama ini sendiri merupakan

kerjasama lintas sektor, termasuk di dalamnya sektor pertahanan dan

keamanan, seperti yang dikutip di bawah ini.

“recognizing the persistence of threats to global peace

and stability, and recalling the Georgian and Russian

commitment within the August 12 ceasefire agreement to

the non-use of force, the United States and Georgia intend

to expand the scope of their ongoing defense and security

cooperation programs to defeat these threats and to

promote peace and stability. A defense and security

cooperation partnership between the United States and

Georgia is of benefit to both nations and the regions.” –

Section II, Poin 2 Strategic Partnership Charter.

Melalui charter diatas pula, Amerika Serikat berkomitmen untuk

meningkatkan kapabilitas militer Georgia sebagai persiapan untuk

bergabung ke dalam NATO. Amerika Serikat terus meyakinkan Georgia

bahwa negara ini akan terus berkomitmen memberikan dukungan kepada

Georgia, terutama membentuk militer Georgia yang sesuai dengan standar

NATO serta peningkatan kapabilitas untuk berperang melalui banyaknya

pelatihan (US Department of Defense Website, 2009).

Bagi Georgia, Amerika Serikat merupakan celah bagi untuk bisa

semakin mendekatkan diri dengan aliansi NATO melalui pembentukan

hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Selain itu, Amerika Serikat

dapat dikategorikan sebagai potential ally bagi Georgia. Hal ini terlihat

dari bentuk kecenderungan pemihakan yang dilakukan oleh Amerika

Serikat untuk Georgia sendiri. Apalagi sebagai the strongest international

actor, Amerika Serikat memberikan Georgia harapan bahwa beraliansi

dengan Amerika Serikat dapat menjadi sarana yang tepat bagi negara ini

untuk menjaga stabilitas keamanan negara mereka disamping menjadi

bagian dari aliansi.

Sejak aliansi NATO didirikan, sejatinya organisasi ini telah menjadi

bagian dari fondasi keamanan wilayah Eropa dan fondasi strategis dari kebijakan

luar negeri Amerika Serikat ke wilayah Eropa. Dari mulai berdiri hingga

sekarang, NATO terus memberikan Amerika Serikat kemampuan untuk

melindungi kepentingan nasional mereka yang vital secara global. Peran kuat

Amerika Serikat di dalam NATO memberikan negara ini sebuah struktur saluran

dan penghubung ke beberapa pemerintahan yang dianggap stabil di dunia,

menjadi mekanisme kebijakan utama yang dapat mempengaruhi Eropa dan

menyediakan tempat untuk legitimasi dan kebebasan terhadap tindakan global.

Salah satu tokoh yang juga menjadi penggagas teori neoliberalisme

bersama dengan Robert Keohane, dalam tulisannya yang berjudul „Redefining the

National Interest‟ mengatakan bahwa “National interests are the fundamental

building blocks in any discussion of foreign policy” (Nye, 1999, hal. 23).

Berdasarkan pernyataan ini, menurut Nye, agar aliansi NATO tetap menjadi

relevan, kepentingan nasional Amerika Serikat harus menjadi prioritas dalam

hubungannya dengan aliansi tersebut. Lebih jauh Nye mengatakan bahwa dalam

sebuah demokrasi, kepentingan nasional hanyalah serangkaian prioritas bersama

mengenai hubungan dengan negara-negara lain di dunia. Pernyataan ini kemudian

disetujui oleh Condoleezza Rice, dimana menurut dia, selama enam puluh lima

tahun terakhir, Amerika Serikat dan rekan-rekannya sesama anggota NATO tidak

hanya berbagi nilai-nilai bersama tapi juga kepentingan nasional (Rice, 2008, hal.

5). Selain itu, selama menjadi mitra di dalam NATO juga memberikan Amerika

Serikat kemampuan untuk membantu dan menjadi mentor bagi demokrasi yang

baru lahir di Eropa Timur demi memastikan bahwa negara-negara tersebut

memiliki lingkungan yang aman yang diperlukan untuk menyempurnakan

demokrasi tersebut.

Dalam hal hubungan aliansi dengan pencapaian kepentingan nasional

Amerika Serikat yang terus bergerak maju, Luke Coffey dalam tulisannya

menyatakan bahwa komitmen Amerika Serikat tidak lagi dalam hal menghalangi

ancaman Uni Soviet tapi lebih kepada memastikan bahwa jangkauan strategis

Amerika di Eurasia, Afrika dan Timur Tengah (Coffey, 2012). Selain itu terdapat

tiga rekomendasi untuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait dengan

NATO dan pencapaian kepentingan nasionalnya (Counihan, 2016, hal. 22):

Pertama, Amerika Serikat perlu mendukung pembesaran atau ekspansi NATO

untuk menunjukkan kepada dunia bahwa aliansi tersebut terus menjadi aktor

utama dalam pertahanan dan keamanan kolektif di benua Eropa.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, NATO adalah aliansi

keamanan terkuat dan bisa dibilang efektif yang pernah ada di dunia. Dengan

mendukung pembesaran NATO ke wilayah-wilayah di dunia khususnya

pembesaran ke Eropa Timur dan Skandinavia tidak hanya akan meningkatkan

kemampuan keamanan aliansi tetapi juga meningkatkan kredibilitas organisasi.

Dengan pembesaran, aliansi dapat memberikan legitimasi tindakan yang

disempurnakan di seluruh wilayah Eropa dan secara global. Selain itu,

pembesaran atau ekspansi yang dilakukan oleh aliansi dapat memberikan

demokrasi yang baru kepada keanggotaan.

Kedua, Amerika Serikat harus terus menunjukkan komitmen mereka

terhadap NATO dengan terus melakukan investasi dalam aliansi dengan

membangun kemampuan keamanan dan pertahanan negara-negara anggota.

Ketiga, Amerika Serikat perlu untuk terus memberikan kepemimpinan yang kuat

di dalam aliansi. Organisasi ini telah dan akan terus menjadi struktur saluran dan

konektif Amerika Serikat ke beberapa pemerintahan paling stabil dan berfungsi

sebagai mekanisme kebijakan utama untuk mempengaruhi Eropa. Amerika

Serikat selalu menjadi fondasi kekuatan dan kesiapan militer NATO dan Amerika

Serikat perlu untuk meyakinkan aliansi bahwa mereka akan terus menegakkan

komitmen keamanannya di wilayah tersebut. Bahkan dengan empat negara

anggota lainnya yang saat ini mencapai ambang 2% dan tujuh lainnya sedang

meningkatkan anggaran pertahanan mereka, Amerika Serikat masih menyumbang

sekitar 75% dari total belanja pertahanan aliansi (Erlanger, 2015).

5.3 Kepentingan Amerika Serikat di Georgia Melalui NATO

5.3.1 Sektor Ekonomi

Kehancuran Uni Soviet di wilayah Eropa menjadi momentum

penegakan demokrasi yang ingin dilakukan oleh Amerika Serikat untuk

negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Negara Amerika Serikat dikenal

sebagai negara kampiun demokrasi merasa bertanggung jawab untuk

menstabilkan dan terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam

mewujudkan demokrasi di negara-negara yang dianggap menyalahi aturan

demokrasi maupun HAM. Momen kehancuran Uni Soviet ini ternyata

menjadi sebuah kemenangan politik di Amerika Serikat. Berbagai

kebijakan dilakukan terkait dengan peristiwa tersebut khususnya di negara-

negara bekas pecahan Uni Soviet dan satelitnya di Eropa Timur. Kebijakan

ini juga termasuk di dalamnya berlaku untuk negara Georgia yang

merupakan negara bekas pecahan Uni Soviet.

Georgia merupakan sebuah negara kecil yang terletak di

persimpangan strategis antara Rusia dan Turki, Laut Kaspia dan Laut

Hitam di wilayah Kaukasia. Selain itu, Georgia menjadi salah satu rute

transit energi paling penting era pasca Perang Dingin (Macfarlane, 2008,

hal. 1). Negara ini menjadi negara transit bagi produsen minyak dunia

yang jalur pengirimannya tidak melewati Rusia dan Iran. Selama berabad-

abad Georgia telah menarik perhatian besar Turki, Iran, Mongolia dan

Rusia.

Setelah Georgia merdeka dari keadaan geopolitik Uni Soviet dan

perkembangan domestik dalam negeri mulai meningkat, Georgia mulai

menjadi salah satu negara incaran Amerika Serikat, Uni Eropa dan Rusia

(Janeliunas & Kirvelyte, 2009, hal. 145). Saat ini, negara Georgia telah

menarik perhatian yang meningkat dalam hal keamanan energi Eropa dan

Barat dan berperan aktif bagi dua wilayah tersebut karena lokasinya yang

strategis. Khususnya, infrastruktur ekspor energi baru – Pipa Baku-Tbilisi-

Ceyhan (BTC) yang bernilai penting untuk Eropa dan Amerika Serikat

(Juntti, 2004, hal. 325).

Dalam kawasan Kaukasus, Georgia memang bukan negara yang

paling penting karena masih terdapat negara Azerbaijan yang memainkan

peranan tersebut di kawasan. Azerbaijan memiliki luas negara yang lebih

besar jika dibandingkan dengan Georgia. Selain itu negara ini adalah satu-

satunya negara yang berbatasan dengan Rusia dan Iran, sehingga menjadi

koridor antara Timur dengan Barat. Dalam hal sumber daya energi negara

Azerbaijan juga tidak boleh dilewatkan. Namun demikian, keberadaan

Georgia tentu juga dapat diperhitungkan di kawasan. Seperti disebutkan

sebelumnya, Georgia memainkan peran yang strategis dalam

menghubungkan Laut Kaspia dan Azerbaijan dengan Barat (Cornell,

Svante E, 2007, hal. 5).

Gambar 5 BTC Pipeline (Radio Liberty Website, 2006)

Pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan adalah pipa dengan panjang 1.768

kilometer minyak mentah dari ladang minyak Azeri-Chirag-Guneshli di

Laut Kaspia ke Laut Mediterania (BP Global Website). Ini

menghubungkan Baku, Ibukota Azerbaijan, Tbilisi, Ibukota Georgia dan

Ceyhan, sebuah pelabuhan di bagian selatan-timur pantai Mediterania

Turki. Ini adalah terpanjang kedua pipa minyak di Uni Soviet setelah pipa

Druzhba. Minyak pertama yang dipompa dari ujung pipa Baku pada

tanggal 10 Mei 2005 mencapai Ceyhan pada 28 Mei 2006. Laut Kaspia

terletak di salah satu kelompok terbesar di dunia minyak dan gas.

Dikarenakan letak Luat Kaspia berlokasi di pedalaman, distribusi minyak

ke pasar Barat dianggap cukup menyulitkan. Selama masa Uni Soviet, rute

transportasi semua dari daerah Kaspia dibangun dengan jalur yang

melewati Rusia. Akibat dari keruntuhan Uni Soviet membuat Rusia harus

berinovasi untuk mencari rute baru.

Sebelum diinisiasinya pembentukan pipa BTC ini, distribusi

minyak dilakukan melewati South Caucasus Pipeline (SCP) yang

memiliki rute yang sama dengan BTC. Namun, rute SCP lebih pada jalur

Baku-Tbilisi-Erzurum dan dikontrol oleh konsorsium non-Rusia yang

menggambarkan bahwa jalur pipa ini juga sangat penting dimana saat ini

pengiriman minyak dan gas lebih banyak melalui Rusia sebagai pemasok

gas alam terbesar saat ini.

Gambar 6 South Caucasus Pipeline (Vestnik Kavkaza Website, 2013)

Baik jalur pipa SCP dan BTC masing-masing berperan sangat

penting bagi negara-negara pengimpor minyak di dunia. Selain itu, jalur

pipa ini memberikan keuntungan bagi Azerbaijan, Georgia dan Turki

sebagai negara-negara yang dilalui. Jalur-jalur ini merupakan jalur

transportasi yang dapat membawa sekitar satu juta barel minyak perhari ke

Eropa. Biaya transit yang dihasilkan dari jalur tersebut memberikan

pendapatan yang sangat menguntungkan bagi negara yang dilewati.

Selain memberikan keuntungan bagi negara-negara yang dilewati,

jalur pipa minyak ini juga memberikan keuntungan bagi negara-negara

Barat khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat mencoba untuk

mengamankan dan melindungi jalur-jalur penting ini untuk mengamankan

aliran cadangan minyaknya dari wilayah-wilayah penghasil minyak di

Eropa Timur dan Asia Tengah. Candangan minyak yang diperkirakan

berjumlah sekitar 6 milyar ton yang berlokasi di sekitar Laut Kaspia

kemudian dialirkan melalui jalur pipa BTC melalui Georgia dan berakhir

di Terminal Ceyhan yang berlokasi di Turki. Usaha Amerika Serikat untuk

mengamankan dan melindungi Georgia sewaktu terjadi konflik bertujuan

untuk melindungi kepentingan ekonominya karena Georgia adalah pusat

penghubung antar negara penghasil minyak di kawasan Asia Timur Dekat

dan Asia Timur jauh dengan Eropa.

5.3.2 Sektor Politik

Selain untuk menjaga kepentingan ekonomi negara mereka,

Amerika Serikat ternyata memiliki kepentingan lain di wilayah Georgia.

Amerika Serikat yang dikenal sebagai pemimpin dunia ingin melakukan

ekspansi ke kawasan Eropa Timur. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari

posisi Amerika Serikat sendiri. Negara ini masih tetap memimpin dalam

hal ekonomi, moneter, teknologi dan budaya di seluruh lapisan dunia

(Ikenberry, hal. 2). Selain itu dalam hal militer, Amerika Serikat tetap

masih unggul dari negara lain, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Dengan banyaknya faktor pendukung yang dimiliki oleh Amerika Serikat,

tentu meyakinkan negara ini untuk dapat memperluas jangkauan teritorial

negara mereka. Karena sebagai negara demokratis, Amerika Serikat ingin

mempromosikan nilai-nilai demokratis yang dianut oleh bangsanya kepada

dunia luar untuk bisa memunculkan tatanan dunia yang baru (Kraemer,

2006, hal. 9).

Negara Georgia kemudian menjadi salah satu negara yang dipilih

oleh Amerika Serikat untuk mengimplementasikan kebijakan negara ini.

Sebagai negara pecahan Uni Soviet yang juga terletak di wilayah

Kaukasus, Amerika Serikat melihat adanya peluang yang dapat dicapai

oleh kepentingan negara mereka di negara tersebut. Hubungan baik antara

Amerika Serikat dan Georgia mulai meninjukkan signifikansi setelah

peristiwa penyerangan yang terjadi antara Rusia dan Georgia. Pada masa

tersebut, bertubi-tubi Rusia memberikan tekanan terhadap Georgia yang

dianggap mulai menarik diri dari bagian Rusia terutama setelah peristiwa

Revolusi Mawar2. Kejadian tersebut juga membawa Georgia di bawah

pemerintahan Mikhail Saakhasvili yang baru mulai menunjukkan

perubahan kebijakan yang lebih pro kepada negara-negara Barat

khususnya Amerika Serikat.

Kepemimpinan yang pro-Barat dari Georgia ini mendatangkan

ketakutan bagi Rusia karena semenjak pemerintahan Georgia yang pro-

Barat, Georgia menjalankan prioritas kebijakan luar negeri yang terlihat

berusaha menjauhi pengaruh Rusia dan mulai mendekatkan diri dengan

institusi Euro-Atlantic dan menjalin kerjasama erat dengan Amerika

Serikat. Ketakutan yang timbul dari Rusia diindikasikan terlihat ketika

Amerika Serikat secara nyata memperlihatkan keinginannya untuk

mencapai kepentingan negaranya di kawasan Kaukasus Selatan dan

Georgia secara khusus.

Ketakutan dari Rusia merupakan dampak dari kebijakan Amerika

Serikat yang ingin mengimbangi kekuatan Rusia di Eropa Timur. Setelah

runtuhnya Uni Soviet, Rusia muncul sebagai kekuatan yang besar baik dari

segi demografi maupun sumber daya yang dimiliki jika dibandingkan

dengan negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya. Dalam hal ekonomi,

pertumbuhan Rusia yang sempat mengalami penurunan nyatanya secara

perlahan mulai meningkat. Begitu pula dalam hal militer, Rusia masih

menempati posisi teratas diantara negara-negara pecahan Uni Soviet.

Kehadiran Amerika Serikat di Georgia dipandang Rusia memiliki

tujuan emas untuk mengejar hubungan dengan negara-negara tetangga

mereka karena memanfaatkan kondisi Rusia yang pada saat itu secara

politik dan ekonomi lemah. Amerika Serikat dan negara-negara Barat

lainnya bertindak sebagai penyelamat ekonomi dan secara pasti

mempengaruhi pemerintahan negara-negara tersebut (Cooley, 2009, hal.

2Revolusi Mawar mendeskripsikan sebuah perubahan damai pro-Barat di Georgia yang berujung

pada merebaknya unjuk rasa terhadap persengketaan pemilihan parlementer dan berpuncak pada

pelengseran Presiden Eduard Shevardnadze yang juga menjadi tanda berakhirnya era

kepemimpinan Soviet di negara tersebut.

84). Kemudian disaat yang bersamaan, Amerika Serikat mendukung

negara-negara pecahan Uni Soviet untuk ikut dalam keanggotaan NATO

dan Uni Eropa serta mempengaruhi negara-negara tersebut untuk tidak

mengindahkan segala penolakan Rusia terhadap kedekatan dengan

Amerika Serikat.

Begitupula dengan yang terjadi di Georgia dimana Amerika Serikat

hadir sebagai sumber bantuan bagi negara ini sebelum dan sesudah

terjadinya konflik. Salah satu bantuan yang diberikan oleh Amerika

Serikat kepada Georgia yaitu program Georgia Train and Equip

Programme (GTEP). Program ini dibentuk pada 29 April 2002 oleh

Departemen Pertahanan Georgia (Global Security Website, 2012) yang

mana didalamnya Amerika Serikat memberikan bantuan kepada Georgia

dalam menghadapi terorisme yang saat itu sedang dialami oleh Georgia di

Pankisi Georg. Melalui program GTEP ini Georgia mendapatkan peralatan

militer dari Amerika Serikat. Peralatan militer tersebut meliputi seragam,

senjata dan amunisi, peralatan komunikasi, perlengkapan pelatihan,

peralatan medis dan berbagai material untuk konstruksi.

Selain pembentukan program GTEP, dukungan yang ingin

diberikan oleh Amerika Serikat untuk Georgia dapat dilihat dari garis

besar komitmen Amerika Serikat terhadap Georgia, yaitu (White House

Gov Website, 2008): Pertama, Amerika Serikat akan memberikan bantuan

ekonomi bagi Georgia untuk mengembalikan ekonomi Georgia dan

kebutuhan masyarakat Georgia. Pemberian bantuan akan ditujukan untuk

pembangunan jangka panjang yang ditujukan untuk pemerintah Georgia,

rehabilitasi infrastruktur, pembiayaan sektor swasta, bantuan kemanusiaan,

dan pembangunan-pembangunan lainnya. Kedua, bantuan kemanusiaan

untuk membantu masyarakat Georgia yang terkena dampak invasi diantara

berupa bantuan makanan dan obat-obatan.

Bantuan ketiga yaitu Amerika Serikat dengan beberapa bank

memformulasikan beberapa rencana yang ditujukan untuk kebutuhan

rekonstruksi Georgia dan investasi untuk pertumbuhan ekonomi Georgia.

Terhitung sejak tahun 2007 Georgia mulai menunjukkan pertumbuhan

ekonomi yang meningkat. Amerika Serikat mendukung strategi Georgia

dengan IMF untuk mendorong kembali rasa kepercayaan investor terhadap

Georgia. Keempat, Amerika Serikat akan memperdalam hubungan

perdagangan dan investasi dengan Georgia dimana Amerika Serikat akan

memperluas kerangka kerjasama perdagangan dan investasi dengan

Georgia, mengeksplorasi kemungkinan yang dapat memperluas kerjasama

investasi bilateral, menawarkan bentuk regulasi baru yang memungkinkan

pasar Amerika Serikat untuk lebih mudah masuk di Georgia dan

sebaliknya.

Untuk konflik yang terjadi di Georgia ternyata tidak hanya

memberikan dampak negatif terhadap negara namun juga dapat membawa

keuntungan tersendiri bagi Georgia. Hampir sekitar 1 Miliar USD

didapatkan Georgia sebagai bantuan dari Amerika Serikat. Bantuan ini

merupakan hasil dari kerjasama bilateral kedua negara pada Juni 2009

(U.S Department of States Website, 2009). Paket bantuan senilai I Miliar

USD dari Amerika Serikat diberi nama “Billion Dollar Pledge” yang

bertujuan untuk membantu para korban perang yang telah kehilangan harta

benda, membangun kembali infrastruktur, memulihkan pertumbuhan

ekonomi, mempertahankan kepercayaan investor dalam perekonomian

Georgia, dan mendorong terus reformasi demokrasi dan keamanan energi.

Bantuan yang diberikan oleh Amerika Serikat untuk Georgia

disalurkan melalui USAID (US Agency for International) yang adalah

lembaga yang melaksanakan program rehabilitasi Georgia pasca negara

tersebut terlibat perang. Adapun beberapa rincian bantuan yang merupakan

bagian dari paket bantuan USAID Billion Dollar Pledge:

1. Overseas Investment Corporation Swasta (OPIC),

menyediakan 176.000.000 USD untuk pembiayaan tujuh

proyek baru di Georgia, yang akan sangat dibutuhkan

menyuntikkan modal ke konstruksi perbankan demokrasi yang

masih muda dan sektor manufaktur.

2. Millennium Challenge Corporation, memberikan tambahan 100

juta USD dana hibah. Dana tambahan tersebut akan fokus pada

pengembangan jaringan jalan Georgia, infrastruktur dan

aktivitas energi.

3. Sekitar 61.700.000 USD digunakan untuk berbagai kegiatan

bantuan kemanusiaan, termasuk airlifts pasokan bantuan

darurat, dikelola oleh Kantor Bantuan Bencana Luar Negeri

Amerika Serikat (OFDA) dan instansi pemerintahan Amerika

Serikat lainnya.

Disamping bantuan tersebut, Georgia juga menerima paket bantuan

ekonomi untuk pembangunan infrastruktur yang rusak dan membantu

mengembalikan kepercayaan investor pada ekonomi Georgia (U.S

Department of States Website, 2009). Selain dukungan dalam hal

ekonomi, Amerika Serikat juga memberikan dukungan kepada Georgia

dalam kerjasama bidang pertahanan seperti pelatihan militer Georgia dan

penandatanganan strategic partnership pada awal 2010 terutama dalam

bidang pertahanan dan ekonomi yang tertuang dalam “United States-

Georgia Charter on Strategic Partnership”. Dalam isi dari pembukaan

kerjasama strategis Amerika Serikat dan Georgia tertuang (America.gov

Website, 2009):

1. Affirm the importance of our relationship as friends and

strategic partners. We intend to deepen our partnership to the

benefit of both nations and expand our cooperation accross a

broad spectrum of mutual priorities. (Penegasan mengenai

pentingnya hubungan sebagai teman dan mitra strategis. Baik

Amerika Serikat dan Georgia bermaksud untuk memperdalam

kemitraan untuk kepentingan kedua negara dan memperluas

kerjasama di berbagai prioritas bersama).

2. Emphasize that this cooperation between our two democracies

is based on shared values and common interests. These include

expanding democracy and economic freedom, protecting

security and territorial integrity, strenghtening the rule of law

and respect for human rights, including the right of dignified,

secure and voluntary return of all internally displaced persons

and refugees, supporting innovation and technological

advances, and bolstering Eurasian energy security.

(Menekankan bahwa kerjasama antara kedua negara demokrasi

didasarkan pada nilai-nilai bersama dan kepentingan bersama.

Ini termasuk memperluas demokrasi dan kebebasan ekonomi,

melindungi keamanan dan integritas teritorial, memperkuat

peraturan undang-undang dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia, termasuk hak untuk mengembalikan martabat,

pengungsi yang aman, dan sukarela kembali, mendukung

inovasi dan kemajuan teknologi, dan memperkuat keamanan

energi Eurasia).

3. Stress our mutual desire to strengthen our relationship across

the economic, energy, diplomatic, scientific, cultural and

security fields. (Penekanan mengenai keinginan bersama untuk

memperkuat hubungan di bidang ekonomi, energi, diplomatik,

ilmiah, budaya dan keamanan).

Bagi Amerika, prioritas bantuan yang akan diberikan kepada

Georgia bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di

Georgia yang utama, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan yang adil

dan demokratis, kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi dan bantuan

kemanusiaan (U.S Department of States Website, 2009). Bantuan untuk

penciptaan perdamaian dan keamanan yang diberikan oleh Amerika

Serikat untuk Georgia meliputi hal berikut: (U.S Department of States

Website, 2009)

1. Reformasi, melatih dan melengkapi militer Georgia untuk dapat

mencapai standar NATO dan untuk mendukung kontribusi

terhadap operasi pemeliharaan perdamaian dan keamanan

internasional.

2. Meningkatkan kapasitas dari Georgia Border Police dan Custom

Services untuk memerangi penyelundupan, sekaligus meningkatkan

pendapatan dan memperbaiki tingkat kontrol perbatasan.

3. Meningkatkan keterampilan dari Georgian judicial and law

enforcement officials.

4. Meningkatkan kemampuan forensik untuk memenuhi standar

internasional.

Bagi Georgia sendiri, peranan Amerika dalam memberikan

bantuan terhadap negara mereka sangat penting karena baik Georgia dan

Amerika Serikat menganggap mereka memiliki nilai-nilai fundamental

yang sama yaitu nilai-nilai demokratis. Disamping Georgia membutuhkan

Amerika Serikat sebagai tonggak reformasi untuk melawan Rusia. Melalui

pidato dari Menteri Luar Negeri Georgia, Mr. Grigol Vashadze dalam

Carnegie Endowment for International Peace, dia menyatakan bahwa:

“as we all know, these past ten months have been

extremely difficult ones for my country, the interests

and values our nations share have been endangered by

Russia. This is why Georgia, now more than that ever,

needs the continous and firm U.S support. The effects of

the Russia-Georgia war have put my country in a

difficult situation, compelling us to stay vigilant against

external provocations and threats, while also

advancing our reform agenda. Yes despite all the

hindrances and problems caused by Russia, Georgia is

committed to its democratic reform efforts, which we

know contribute to security and stability in the region.”

(America.gov Website, 2009)

Georgia melihat bahwa bentuk pendekatan-pendekatan kebijakan

Georgia ke negara-negara Barat harus menjadi prioritas kebijakan luar

negeri mereka karena dianggap dapat membantu mereka dalam

menyelesaikan masalah-masalah negaranya baik internal maupun

eksternal. Sedangkan untuk Amerika Serikat, setiap bentuk dukungan yang

diberikan oleh negara ini untuk Georgia dianggap sebagai pembuka jalan

untuk memuluskan setiap kepentingan Amerika Serikat di Georgia dan di

kawasan Kaukasus. Dengan memanfaatkan keanggotaan NATO yang

menjadi daya tarik sendiri bagi negara-negara Eropa khususnya negara

bekas pecahan Uni Soviet, Amerika Serikat mulai menjalin kedekatan

dengan negara di kawasan tersebut untuk membuat Rusia terancam akan

kehadirannya.

Perubahan strategi yang dilakukan oleh Amerika Serikat

menggunakan NATO sebagai pemikat negara-negara di kawasan Eropa

Timur ternyata tidak sia-sia. Hal ini bisa dilihat dengan dibentuknya

program Partnership for Peace NATO untuk negara-negara mitra.

Akibatnya, perluasan yang dilakukan Amerika Serikat bekerja sama

dengan NATO yang juga ingin melakukan ekspansi ke wilayah yang sama

menjadikan Rusia terisolasi di wilayahnya sendiri.