bab v hasil dan pembahasan - digilib.itb.ac.id · seperti pengecoran logam, pabrik semen, tukang...
TRANSCRIPT
41
Bab V Hasil dan Pembahasan
Studi lapangan mengenai analisis risiko kesehatan terhadap pajanan debu telah
dilakukan mulai Januari sampai dengan Februari 2008 di PT. X. Penelitian ini
dilakukan di PT. X, karena berdasarkan hasil survei, perusahaan ini memiliki
sumber bahaya debu yang berpotensi menurunkan tingkat kesehatan paru-paru
pekerja.
Subjek yang diteliti dibagi menjadi 2 bagian yaitu kelompok terpajan yang terdiri
dari pekerja bengkel Cor 1 dan Cor 2, serta pekerja di bagian Perkakas tempa
yang masing-masing berjumlah 30 orang. Penentuan sampel sebanyak masing-
masing 30 orang, dikarenakan berbagai keterbatasan dalam penelitian ini. Sampel
yang dimasukan dalam penelitian adalah laki-laki berusia 20-55 tahun yang
merupakan usia kerja dengan masa kerja minimal 2 tahun di bagian bengkel yang
sama (khusus kelompok terpajan), serta mampu melakukan uji paru-paru. Tidak
dimasukkan ke dalam penelitian ini jika terdapat pekerja dengan riwayat
pekerjaan yang mengandung bahaya debu silika di tempat kerjanya terdahulu,
seperti pengecoran logam, pabrik semen, tukang las, dan pekerjaan lain yang
dapat mempengaruhi uji fungsi paru-paru yang akan dinilai (Yunus, 1996).
Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian didapatkan berdasarkan
kuesioner. Hasil kuesioner untuk setiap pekerja dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik Pekerja PT. X yang Disertakan dalam Penelitian
Kelompok Pekerja Atribut Jawaban Terpajan Tidak
Terpajan I. Data Umum Responden
Jenis Kelamin Laki-laki 100% 100% Kebangsaan Indonesia 100% 100% Pendidikan Terakhir STM 96,67% 80% D1 3,33% 0% D2 0% 3,33% D3 0% 10% S1 0% 6,67%
II. Perilaku Responden Kebiasaan Merokok / Hari Tidak Merokok 23,33% 23,33% < 6 Batang 16,67% 20%
42
Kelompok Pekerja Atribut Jawaban Terpajan Tidak
Terpajan 6 - 12 Batang 40% 30% > 12 Batang 20% 26,67% Kebiasaan Minum Susu Ya 93,33% 90% Tidak 6,67% 10% Kebiasaan Olah Raga / Bulan Tidak Berolah-raga 30% 23,33% 1 kali 10% 20% 2 kali 6,67% 10% 3 kali 3,33% 6,67% 4 kali 40% 36,66% 5 kali 3,33% 0% 8 kali 6,66% 3,33% Kebiasaan Makan / Hari 1 kali 0% 0% 2 kali 13,33% 23,33% 3 kali 76,67% 70% > 3 kali 10% 6,67% Penggunaan Masker Selama Bekerja Tidak 56,67% 100% Selalu 0% 0% Sesekali 26,66% 0% Saat Banyak Debu 16,67% 0%
III. Atribut Responden Pernah Bekerja di Perusahaan Lain Tidak 83,33% 83,33% Buruh 3,33% 0% Operator Mesin 6,67% 0% Sales 3,33% 0% Office Boy 3,33% 0% Maintenance 0% 6,67% Pengembangan Prod. 0% 3,33% Tekstil (Dyeing) 0% 6,67% Jarak Antara Rumah-Tempat Kerja < 5 Km 70,00% 63,33% 5 - 10 Km 16,67% 10,00% > 10 Km 13,33% 26,67% Cara Pergi ke Tempat Kerja Jalan Kaki 0% 3,33% Naik Angkutan Umum 16,67% 6,67% Naik Sepeda 3,33% Naik Sepeda Motor 80% 90% Naik Mobil 0% 0% Pernah Mengalami Keluhan Kesehatan Tidak 70% 100%
Sesak 3,33% 0% Batuk 26,67% 0% Gangguan Kesehatan Tersebut Ya 25% 0% Masih Diderita Tidak 75% 0%
Berdasarkan Tabel 5.1, terlihat bahwa secara umum karakteristik pekerja
kelompok terpajan dan tidak terpajan debu, memiliki kesamaan satu sama lain,
Tabel 5.1 (lanjutan)
43
dan memenuhi kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa semua pekerja tersebut layak untuk diikutsertakan dalam penelitian.
Analisis risiko kesehatan yang dilakukan di perusahaan ini meliputi beberapa
tahap antara lain:
• Identifikasi bahaya
• Evaluasi pajanan
• Evaluasi dosis-respon
• Karakterisasi risiko
5.1 Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana sumber bahaya
dapat membahayakan kesehatan pekerja. Proses identifikasi bahaya dalam
penelitian ini dibagi beberapa tahap, yaitu:
• Analisis bahaya SiO2 terhadap kesehatan
• Menghitung kesepadanan antara kedua kelompok terpajan dan tidak
terpajan debu
• Menentukan nilai indeks bahaya
5.1.1 Bahaya SiO2 Terhadap Kesehatan
Seperti telah disebutkan dalam tinjauan pustaka bahwa SiO2 (kristalin silika)
sangat berbahaya terhadap kesehatan paru-paru. SiO2 dapat masuk ke saluran
pernapasan sehingga dapat menyebabkan fibrosis jaringan paru-paru dan dapat
mempengaruhi volume paru-paru (Yunus, 1997). Beberapa hasil penelitian
menduga bahwa dalam jangka panjang silika dapat menyebabkan kanker, namun
penelitian tersebut masih terus dikembangkan sehingga kristalin silika tidak
termasuk ke dalam tabel tentang daftar bahan yang karsinogenik (NIOSH, 2002).
Dengan demikian kristalin silika merupakan material yang tidak bersifat
karsinogenik sehingga dapat digolongkan ke dalam treshold substances (OSHA,
1997).
44
Nilai ambang batas (NAB) kristalin silika (quartz) di tempat kerja menurut
ACGIH adalah sebesar 0,05 mg/m3 (NIOSH, 2002). Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa NAB kristalin silika sangat tergantung dari persentase SiO2
dalam debu, sehingga NAB silika berkisar antara 0,1-5 mg/m3 (Sheehy, 1996).
Perhitungan untuk NAB silika dapat diperoleh berdasarkan Persamaan 2.2.
Sehingga berdasarkan persamaan tersebut, untuk mengetahui NAB silika
diperlukan metode X-ray diffraction (XRD) untuk mengetahui persentase SiO2
dalam debu.
5.1.2 Menghitung Kesepadanan Antar Kedua Kelompok
Seperti telah disebutkan dalam tinjauan pustaka, bahwa nilai FEV1.0 seseorang
sangat dipengaruhi oleh banyak faktor (Pringadi, 1992). Untuk membandingkan
nilai FEV1.0 dari kedua kelompok pekerja, maka harus dipastikan bahwa kedua
kelompok pekerja tersebut memiliki karakteristik yang serupa. Penghitungan nilai
kesepadanan antara kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan ANOVA
dengan α = 0,05, meliputi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi volume paru-
paru seseorang, yaitu: kebiasaan merokok, tinggi badan, berat badan, lamanya
pajanan (lama kerja) dan usia (Koo et al., 2000). Berdasarkan hal tersebut dapat
ditentukan hipotesis yaitu:
Ho = Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata parameter untuk kelompok pekerja
terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan.
Ha = Terdapat perbedaan nilai rata-rata parameter untuk kelompok pekerja
terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan.
Sehingga dari hipotesis di atas dapat dibuat kriteria keputusan yaitu:
• Jika F hitung < F tabel, maka Ho diterima, dan
• Jika F hitung ≥ F tabel, maka Ho ditolak
Hasil ANOVA untuk setiap atribut pekerja selengkapnya dapat dilihat pada Tabel
5.2.
45
Tabel 5.2 ANOVA Karakteristik Pekerja
Nilai Rata-rata Parameter
Terpajan n=30
Tidak Terpajan
n=30
F hitung
F tabel
P Keterangan
Tinggi Badan (cm) 167,10 165,20 3,468 4,007 0,067 Tidak berbeda
nyata Kebiasaan Merokok 1,57 1,60 0,014 4,007 0,907 Tidak berbeda
nyata Berat Badan (kg) 58,17 62,00 3,371 4,007 0,071 Tidak berbeda
nyata Lama Kerja (thn) 10,10 10,22 0,004 4,007 0,950 Tidak berbeda
nyata Usia (thn) 32,53 33,13 0,072 4,007 0,789 Tidak berbeda
nyata Keterangan : α = 0,05
Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa nilai F hitung untuk parameter tinggi badan,
kebiasaan merokok, berat badan, lamanya pajanan (lama kerja) dan usia lebih
kecil dari F tabel. Dengan demikian Ho diterima, yang artinya tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara nilai rata-rata seluruh parameter tersebut untuk
kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan.
Nilai rata-rata FEV1.0 untuk kelompok tidak terpajan dan kelompok terpajan
masing-masing 3,70 dan 3,26 liter. Nilai tersebut kemudian dibandingkan dengan
menggunakan ANOVA (α=0,05), sehingga didapatkan hipotesis sebagai berikut:
Ho = Tidak terdapat perbedaan nilai rata-rata FEV1.0 untuk kelompok pekerja
terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan.
Ha = Terdapat perbedaan nilai rata-rata FEV1.0 untuk kelompok pekerja
terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan.
Sehingga dari hipotesis di atas dapat dibuat kriteria keputusan yaitu:
• Jika F hitung < F tabel, maka Ho diterima, dan
• Jika F hitung ≥ F tabel, maka Ho ditolak
Perbandingan nilai FEV1.0 antara kedua kelompok tersebut dapat dilihat pada
Tabel 5.3.
46
Tabel 5.3 Rata-rata FEV1.0 Kelompok Tidak Terpajan dan Kelompok Terpajan
Nilai Rata-rata Parameter
Terpajan n=30
Tidak Terpajan
n=30
F hitung
F tabel P Keterangan
FEV1.0 (liter) 3,26 3,70 8,853 4,007 0,004 Berbeda nyata
Keterangan : α = 0,05
Dari Tabel 5.3 diperoleh nilai F hitung sebesar 8,853, sehingga jika dibandingkan
dengan F tabel sebesar 4,007, maka nilai F hitung > dari F tabel. Dengan
demikian Ho ditolak, artinya terdapat perbedaan nilai rata-rata FEV1.0 untuk
kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok tidak terpajan.
Menurut Dirgawati (2007), semakin besar nilai FEV1.0 seseorang, maka semakin
baik tingkat kesehatan paru-parunya, sebaliknya semakin kecil nilai FEV1.0, maka
semakin buruk tingkat kesehatan paru-parunya.
Berdasarkan Tabel 5.2 dan 5.3, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan nilai
FEV1.0 yang signifikan antara kedua kelompok pekerja terpajan dan tidak terpajan
debu silika, yang keduanya memiliki karakteristik yang serupa. Untuk mengetahui
sejauh mana bahaya debu terhadap tingkat kesehatan pekerja, maka dilakukan
analisis risiko kesehatan secara kuantitatif yaitu dengan menghitung indeks
bahaya.
5.1.3 Indeks Bahaya
Penentuan indeks bahaya dilakukan dengan mencari nilai HQ (hazard quotient)
terlebih dahulu dengan menggunakan Persamaan 3.1. Berdasarkan persamaan
tersebut, terlihat bahwa HQ merupakan hasil bagi antara ADD (average daily
dose) dengan RfD (reference dose) atau dikenal dengan NAB. Dalam penelitian
ini ADD dapat diketahui dengan menggunakan persamaan intake partikulat
(Persamaan 4.2).
47
Sedangkan NAB silika didapatkan dengan menggunakan Persamaan 2.2. Karena
berbagai keterbatasan dalam penelitian ini, maka pemeriksaan kandungan debu
hanya dilakukan terhadap 3 sampel yang berasal dari 3 tempat yang berbeda yaitu
gedung Cor 1, gedung Cor 2 dari kelompok terpajan, dan gedung Perkakas tempa
dari kelompok tidak terpajan. Pengukuran kandungan silika dalam debu,
dilakukan di Pusat Survei Geologi dengan metode XRD. Hasil pengukuran silika
dengan XRD untuk ketiga tempat tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.4
Tabel 5.4 Hasil Analisis SiO2 dengan Metode XRD
Tempat Jenis Silika Persentase Kristalin Silika dalam Debu
Sampel Gedung Cor 1 Quartz 43,8 %
Sampel Gedung Cor 2 Quartz 80,7 %
Sampel Gedung Perkakas tempa Low Quartz 55,8 %
Pada Tabel 5.4 terlihat bahwa kandungan SiO2 di Cor 2 memiliki persentase
tertinggi yaitu 80,7 % diikuti oleh bagian Perkakas tempa dan Cor 1 masing-
masing 55,8 % dan 43,8 %. Dari Tabel terlihat juga bahwa persentase SiO2 untuk
bagian Cor 1 (kelompok terpajan) lebih kecil dibandingkan dengan persentase
SiO2 di bagian Perkakas tempa (kelompok tidak terpajan). Hal ini kemungkinan
disebabkan hasil metode XRD kurang akurat terutama untuk jumlah debu yang
sedikit (NIOSH, 2002).
Dengan menggunakan Persamaan 2.2, maka didapatkan NAB untuk masing-
masing tempat (Tabel 5.5).
Tabel 5.5 NAB Silika untuk Ketiga Tempat Penelitian
Tempat NAB (mg/m3)
Sampel Gedung Cor 1 0,218
Sampel Gedung Cor 2 0,120
Sampel Gedung Perkakas tempa 0,173
Berdasarkan Tabel 5.5, terlihat bahwa NAB silika di gedung Cor 2 memiliki
konsentrasi terendah, yaitu 0,120 mg/m3, diikuti oleh NAB silika di gedung
48
Perkakas tempa dan Cor 1, masing-masing 0,173 dan 0,218 mg/m3. Dengan
demikian, dapat diasumsikan bahwa kandungan debu silika pada pekerja Cor 2
lebih berbahaya dibandingkan dengan kandungan debu silika di Perkakas tempa
dan Cor 1.
Untuk mendapatkan nilai NAB dalam satuan (mg/kg.hari), maka dilakukan
pendekatan dengan menggunakan rumus intake dari Persamaan 3.2. Hasil lengkap
hubungan antara ADD, RfD, HQ dan HI untuk masing-masing sampel pada kedua
kelompok dapat dilihat pada Lampiran B, sedangkan grafik rata-rata HI untuk
setiap kelompok terpajan dan tidak terpajan dapat dilihat pada Gambar 5.1.
30,74
0,380,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
Inde
ks B
ahay
a
TerpajanTidak Terpajan
Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Indeks Bahaya Untuk
Kelompok Terpajan dan Tidak Terpajan
Dari Gambar 5.1 terlihat bahwa rata-rata nilai HI untuk kelompok terpajan yaitu
sebesar 30,74. Karena nilai HI lebih besar dari 1, maka pekerjaan yang dilakukan
oleh pekerja kelompok terpajan termasuk ke dalam pekerjaan yang
membahayakan kesehatan paru-paru. Sedangkan nilai HI untuk kelompok tidak
terpajan yaitu 0,38, sehingga dapat asumsikan bahwa aktivitas yang dilakukan di
kelompok tersebut tidak membahayakan kesehatan paru-paru pekerja (Gratt,
1996).
49
5.2 Evaluasi Pajanan
Evaluasi pajanan dilakukan dengan cara menganalisis proses kerja yang dapat
menimbulkan sumber bahaya debu terhadap pekerja. Analisis dilakukan secara
deskriptif terhadap proses yang terdapat dalam tempat kerja yang dianggap
berbahaya, berdasarkan nilai indeks bahaya (HI > 1). Dengan demikian, evaluasi
pajanan hanya dilakukan terhadap pekerja dari bagian Cor 1 dan Cor 2.
5.2.1 Evaluasi Pajanan Cor 1
Cor 1 merupakan tempat pengecoran logam terutama logam berukuran besar.
Secara umum proses yang terjadi di Cor 1 antara lain: melting (proses pelelehan
logam), pencetakan logam, dan finishing. Proses pencetakan logam di tempat ini
terdiri atas dua bagian utama, yaitu disamatic line (dise line) dan furan line.
Denah ruangan Cor 1 secara umum dapat dilihat pada Gambar 5.2.
1'-2 1/4"
Disamatic Line
Furan Line
Melting Finishing
Shake Out
Shake Out
Gambar 5.2 Denah Ruangan Cor 1
Berdasarkan Gambar 5.2, terlihat bahwa bagian pencetakan logam terletak
diantara bagian melting dan finishing. Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa
50
bagian pencetakan logam berpotensi memajani pekerja terhadap debu, sehingga
pada bagian ini terdapat 2 buah sistem ventilasi lokal (LEV) yang masing-masing
ditempatkan di bagian shake out disamatic dan furan line. Gedung ini memiliki
luas kurang lebih 5700 m2, dengan jumlah pekerja sekitar 76 orang. Hasil
pengukuran terhadap faktor fisik lingkungan kerja selama penelitian di Cor 1
dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Faktor Fisik Lingkungan Kerja Cor 1 Selama Penelitian
Faktor Fisik Lingkungan Kerja Min. Max.
Kecepatan Angin (m/detik) 0 1,3
Temperatur Ruangan (oC) 30 34
Kelembaban (%) 51 82
Tekanan Udara (mmHg) 638 640
Dari Tabel 5.6 terlihat bahwa kecepatan angin tergolong cukup rendah yaitu
berkisar 0 sampai 1,3 m/detik. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa
sumber bahaya debu lebih terpusat pada proses yang menghasilkan debu, yaitu di
bagian disamatic line dan furan line.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penggunaan APD masker oleh pekerja yang
berada di tempat ini tidak dilakukan secara konsisten. Hasil wawancara
berdasarkan kuesioner terhadap 15 orang pekerja, menyatakan bahwa 67%
pekerja selama bekerjanya tidak menggunakan masker, 20% menyatakan sesekali
memakai masker, sedangkan 13% lainnya menyatakan memakai masker jika
diperlukan (Gambar 5.3).
51
n=15
Tidak menggunakan
masker67%
Sesekali20%
Selalu menggunakan
masker0%
Saat banyak debu13%
Gambar 5.3 Hasil Kuesioner Penggunaan Masker pada Pekerja Cor 1
Berdasarkan Gambar 5.3, sebagian besar pekerja di Cor 1 tidak menggunakan
APD masker selama bekerja. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa salah
satu sumber bahaya dominan yang berada di tempat ini adalah debu. Debu
dihasilkan oleh proses pencetakan logam, terutama berasal dari pasir kuarsa dan
bentonit yang digunakan sebagai bahan cetakan logam (Labaik, 2008). Debu
silika dapat masuk ke tubuh pekerja melalui inhalasi. Menurut Pudjiastuti tahun
2002, debu respirabel akan masuk melalui inhalasi ke saluran pernapasan pekerja,
dan akan mengendap di alveoli. Dengan demikian, pekerja yang tidak
menggunakan APD masker akan sangat berpotensi terpajan debu silika yang
berasal dari proses produksi.
Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran lebih difokuskan terhadap 15 orang
pekerja yang tidak menggunakan APD dan tersebar di bagian disamatic line dan
furan line. Hal ini sesuai dengan konsep maximum risk employees tentang strategi
pengukuran pajanan, dimana pekerja yang diukur adalah pekerja yang
diasumsikan memiliki pajanan debu terbanyak (OSHA, 2008).
52
5.2.1.1 Disamatic Line
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa disamatic line merupakan salah satu
unit dalam pencetakan logam di Cor 1. Proses pengecoran logam di disamatic line
dilakukan secara semi otomatis dengan menggunakan mesin disamatic. Secara
umum, proses ini dikendalikan oleh pekerja yang berada di ruang kontrol utama.
Sejumlah pekerja lainnya berada di luar ruang kontrol utama bertugas mengawasi
proses kerja, mengoperasikan mesin di luar ruang kontrol, serta secara langsung
terlibat dalam proses pencetakan logam. Hasil pengamatan terhadap proses kerja
yang terjadi di bagian disamatic line dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Selama pengamatan, pekerja yang dijadikan subjek penelitian adalah pekerja yang
selama bekerja tidak menggunakan APD masker. Konsentrasi debu respirabel
untuk pekerja di bagian disamatic line dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian
Disamatic Line
Kode Pekerja
Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) Jenis Kerja
Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) D1 0,124 D2 0,129 D3 0,146
Shake out 0,133
D4 0,104 D5 0,115 D6 0,105
Operator mesin 0,108
Pada Tabel 5.7 terlihat bahwa terdapat 6 orang pekerja yang dijadikan sebagai
sampel di bagian disamatic line. Pekerja dengan kode D1, D2, D3 terlibat
langsung dalam proses shake out, sedangkan pekerja dengan kode D4, D5, D6
tidak terlibat langsung dalam proses shake out (bekerja sebagai operator mesin).
Berdasarkan Tabel 5.7, terlihat pula bahwa konsentrasi debu silika respirabel
tertinggi ditemukan pada pekerja D3 yang bekerja di bagian shake out, yaitu 0,146
mg/m3. Rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk pekerja di bagian ini
menunjukkan nilai lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata debu
53
silika respirabel untuk pekerja di bagian operator mesin, masing-masing 0,133 dan
0,108 mg/m3. Proses shake out dilakukan dengan cara vibrasi terhadap cetakan
dan logam secara bersamaan dengan menggunakan mesin. Para pekerja yang
bekerja di tempat ini bertugas untuk membantu memisahkan antara barang
setengah jadi dengan cetakan pasir. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
proses ini merupakan proses utama yang berpotensi memajani pekerja bagian
disamatic line dengan sumber bahaya debu silika.
Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi
yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di bagian disamatic line.
Nilai ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.8.
Tabel 5.8 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian
Disamatic Line
Kode Pekerja
ADD Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) Jenis Kerja
Rata-rata ADD Debu Silika Respirabel
(mg/m3) D1 0,018 D2 0,022 D3 0,019
Shake out 0,020
D4 0,012 D5 0,016 D6 0,014
Operator mesin 0,014
Berdasarkan Tabel 5.8 terlihat bahwa pekerja dengan kode D2 memiliki nilai
intake tertinggi, yaitu 0,022 mg/kg.hari. Berbeda dengan hasil sebelumnya,
konsentrasi debu silika respirabel tertinggi diperoleh oleh pekerja dengan kode
D3. Hal ini disebabkan berdasarkan Persamaan 4.2 nilai ADD dipengaruhi oleh
beberapa hal, salah satunya berat badan dan lama kerja. Berdasarkan Lampiran B
diketahui bahwa lama kerja untuk kedua pekerja tersebut sama, yaitu 7 tahun,
sedangkan berat badan pekerja dengan kode D2 lebih kecil dibandingkan dengan
berat badan pekerja D3. Karena hal tersebut nilai intake pekerja D2 lebih besar
dibandingkan dengan nilai intake debu untuk pekerja D3.
Secara umum rata-rata intake debu silika pekerja di bagian shake out adalah 0,02
mg/kg.hari. Hal ini menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai
54
rata-rata intake debu silika untuk pekerja yang tidak terlibat shake out, yaitu 0,014
mg/kg.hari. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa kelompok pekerja
yang terlibat proses shake out akan memiliki nilai FEV1.0 yang lebih kecil
dibandingkan dengan pekerja yang tidak terlibat langsung proses shake out. Hal
ini sesuai dengan pendapat Koo et.al (2000), bahwa semakin besar intake terhadap
debu, maka nilai FEV1.0 akan semakin kecil.
5.2.1.2 Furan Line
Furan line merupakan unit lain di Cor 1 yang berfungsi dalam proses pencetakan
logam. Bagian ini terdiri atas 20 orang pekerja yang memiliki tugas spesifik untuk
masing-masing proses kerja. Pengamatan dilakukan terhadap 9 orang pekerja
yang selama pekerjaannya tidak menggunakan APD masker. Proses kerja yang
terjadi di bagian furan line dilakukan secara semi otomatis. Secara umum proses
kerja di bagian furan line dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Berbeda dengan proses di disamatic line, proses pencetakan logam yang terjadi di
furan line disebut juga dengan teknik kering. Hal ini disebabkan pada proses
pembuatan cetakan tidak digunakan air dan bentonit, tetapi digunakan binder yang
berasal dari senyawa alkohol. Konsentrasi debu silika respirabel untuk masing-
masing pekerja di bagian furan line dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Furan Line
Kode Pekerja
Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) Jenis Kerja
Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) F1 0,573 F2 0,346 Shake out 0,460
F3 0,383 F4 0,155 F5 0,193
Membuka cetakan &
Persiapan pola
0,244
F6 0,050 F7 0,139 Pengisian pasir 0,094
F8 0,038 F9 0,092 Setting cetakan 0,065
55
Berdasarkan Tabel 5.9 terlihat bahwa terdapat 9 orang pekerja yang dijadikan
sebagai sampel di bagian furan line. Dari Tabel 5.9, terlihat pula bahwa
konsentrasi debu silika respirabel untuk pekerja di bagian ini cukup beragam. Hal
tersebut disebabkan pekerja di bagian ini memiliki jenis pekerjaan yang spesifik
untuk setiap pekerjanya. Pekerja dengan kode F1 dan F2 bekerja di bagian shake
out, pekerja F3, F4 dan F5 bekerja membuka cetakan dan persiapan pola, pekerja
F6 dan F7 bekerja mengisi pasir (bahan cetakan) dari mixer sedangkan pekerja F8
dan F9 bertugas mengatur (setting) cetakan.
Sama halnya dengan proses disamatic line, pekerja yang paling berpotensi
terpajan debu di furan line adalah pekerja yang melakukan proses shake out. Hal
ini ditunjukkan oleh konsentrasi debu silika respirabel pekerja F1 yang bekerja di
bagian ini yaitu 0,573 mg/m3. Sedangkan rata-rata konsentrasi debu silika
respirabel pada pekerja yang melakukan aktivitas ini, yaitu 0,46 mg/m3.
Proses lain yang berpotensi memajani pekerja dengan debu adalah proses
membuka cetakan dan persiapan pola. Pada proses ini terlihat sejumlah debu
mengumpul pada zona pernapasan pekerja. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata
konsentrasi debu silika respirabel di tempat ini yaitu 0,244 mg/m3. Sedangkan
konsentrasi rata-rata debu silika respirabel pada pekerja dengan jenis kerja
pengisian pasir dan setting cetakan masing-masing menunjukkan konsentrasi
0,094 dan 0,065 mg/m3.
Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi
yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di bagian furan line. Nilai
ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.10.
56
Tabel 5.10 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Furan Line
Kode Pekerja
ADD Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) Jenis Kerja
ADD Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) F1 0,106 F2 0,055 Shake out 0,080
F3 0,066 F4 0,023 F5 0,035
Membuka cetakan & Persiapan pola
0,041
F6 0,010 F7 0,025 Pengisian pasir 0,018
F8 0,006 F9 0,012 Setting cetakan 0,009
Sama halnya dengan konsentrasi debu silika respirabel, berdasarkan Tabel 5.10
nilai intake untuk pekerja yang bekerja di bagian shake out (F1), tetap
menunjukkan nilai tertinggi, yaitu 0,106 mg/kg.hari. Secara keseluruhan urutan
rata-rata konsentrasi debu silika respirabel menunjukkan urutan yang sama dengan
rata-rata intake untuk setiap kelompok kerja. Nilai rata-rata intake untuk setiap
jenis kerja yaitu 0,080, 0,041, 0,018, dan 0,009 mg/kg.hari, masing-masing untuk
pekerja di bagian shake out, persiapan pola, pengisian pasir, dan setting cetakan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pekerja dengan jenis kerja shake out
memiliki kecenderungan tertinggi untuk terkena penyakit pernapasan akibat kerja
di bagian disamatic line. Pajanan debu silika secara terus menerus akan
menimbulkan fibrosis paru-paru yang akan menimbulkan silikosis (NIOSH,
2002).
5.2.2 Evaluasi Pajanan Cor 2
Cor 2 merupakan salah satu tempat pengecoran yang terdapat di PT. X. Gedung
Cor 2 terletak di sebelah barat dari Cor 1, dan merupakan gedung yang pertama
didirikan. Denah Cor 2 secara umum dapat dilihat pada Gambar 5.4.
57
Gambar 5.4 Denah Ruangan Cor 2
Berdasarkan Gambar 5.4 terlihat bahwa proses pencetakan logam terletak diantara
bagian finishing dan melting. Berbeda dengan kondisi ruang kerja di Cor 1, pada
gedung Cor 2 tidak dilengkapi dengan sistem ventilasi lokal (LEV), namun
gedung ini memiliki banyak jendela di sepanjang salah satu sisinya yang selalu
dibiarkan terbuka selama proses kerja berlangsung. Gedung ini memiliki luas
kurang lebih 2800 m2 dengan jumlah pekerja 52 orang. Hasil pengukuran terhadap
faktor fisik di lingkungan kerja selama penelitian di Cor 2 dapat dilihat pada Tabel
5.11.
Tabel 5.11 Faktor Fisik Lingkungan Kerja Cor 2 Selama Penelitian
Faktor Fisik Lingkungan Kerja Min. Max.
Kecepatan Angin (m/detik) 0 1,1
Temperatur Ruangan (oC) 24 32
Kelembaban (%) 40 81
Tekanan Udara (mmHg) 638,04 639,31
Dari Tabel 5.11 terlihat bahwa kecepatan angin di tempat tersebut berkisar antara
0 sampai dengan 1,1 m/detik. Dengan demikian sama seperti di Cor 1 bahwa
tempat ini memiliki kecepatan angin yang rendah, sehingga sumber bahaya debu
yang dihasilkan oleh suatu proses cenderung berkumpul dekat dengan sumber
58
bahaya. Hasil kuesioner penggunaan APD pada pekerja Cor 2 selengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 5.5.
n=15
Tidak menggunakan
masker47%
Sesekali33%
Selalu menggunakan
masker0%Saat banyak
debu20%
Gambar 5.5 Hasil Kuesioner Penggunaan Masker pada Pekerja Cor 2
Berdasarkan kuesioner pada pekerja Cor 2, masker yang disediakan oleh
perusahaan sebagian besar tidak digunakan. Sebanyak 47% pekerja menyatakan
bahwa selama bekerja tidak menggunakan masker, 33% menyatakan sesekali
memakai masker, sedangkan 20% lainnya menyatakan memakai masker jika
diperlukan. Berdasarkan hasil kuesioner tersebut dapat diasumsikan bahwa
pekerja di bagian proses pencetakan logam di Cor 2 berpotensi terpajan debu
silika dari proses produksi.
Sama halnya dengan Cor 1, di tempat ini juga terdapat 3 proses utama dalam
proses pengecoran logam, yaitu: melting (proses pelelehan logam), pencetakan
logam, dan finishing. Perbedaannya adalah pengecoran di Cor 2 dilakukan dalam
skala yang lebih kecil dibandingkan dengan Cor 1, selain itu proses pencetakan
logam yang dilakukan di bagian ini sebagian besar dilakukan secara manual.
59
Proses kerja yang berpotensi menghasilkan debu di tempat ini berasal dari proses
pencetakan logam. Berdasarkan jenis kerjanya, proses pencetakan logam dibagi
menjadi 2 kelompok kerja, yaitu: kelompok olah pasir dan kelompok cetak pasir.
Proses kerja secara keseluruhan dalam pencetakan logam di Cor 2 dapat dilihat
pada Gambar 3.3.
Proses kerja di Cor 2 termasuk ke dalam proses basah, karena menggunakan air
dan bentonit sebagai bahan dasar cetakan. Dengan demikian, proses ini memiliki
kesamaan dengan proses kerja yang dilakukan di bagian disamatic line Cor 1.
5.2.2.1 Olah Pasir
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa bagian olah pasir terdiri atas 4
orang dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang relatif sama. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa proses pencetakan logam di Cor 2 secara
umum masih dilakukan secara manual.
Dari Gambar 3.3, tampak bahwa aktivitas utama yang dilakukan oleh bagian ini
antara lain: proses pencampuran antara pasir baru dan pasir bekas ke conveyor,
penambahan bahan cetakan secara manual ke dalam mixer, dan penurunan bahan
cetakan ke mesin cetak. Konsentrasi debu respirabel untuk pekerja di bagian olah
pasir dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Olah Pasir
Kode Pekerja
Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) Jenis Kerja
Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) O1 1,921 O2 2,188 O3 2,052 O4 1,804
Pencampuran, penambahan pasir,
serta penurunan bahan cetakan.
1,991
Berdasarkan Tabel 5.12, terlihat bahwa konsentrasi debu silika respirabel untuk
aktivitas olah pasir berkisar antara 1,804 sampai dengan 2,188 mg/m3, dengan
rata-rata.1,991 mg/m3. Dari konsentrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa
60
kegiatan olah pasir merupakan kegiatan yang lebih berbahaya dibandingkan
dengan dengan kegiatan pengecoran di bagian disamatic line maupun furan line
yang memiliki konsentrasi masing-masing 0,120 dan 0,219 mg/m3. Seperti telah
disebutkan sebelumnya bahwa setiap pekerja yang bertugas di bagian olah pasir
memiliki jenis kerja yang sama, yaitu pencampuran pasir baru dan pasir bekas,
penambahan bahan cetakan ke dalam mixer, penurunan bahan cetakan ke roda,
serta bersama-sama dengan bagian cetak pasir melakukan pembongkaran cetakan
pasir (shake out manual). Hal ini terlihat dari Tabel 5.12 bahwa konsentrasi debu
silika respirabel untuk masing-masing pekerja menunjukkan nilai yang hampir
sama.
Tingginya rata-rata konsentrasi debu di bagian ini kemungkinan disebabkan ketiga
aktivitas yang dilakukan oleh para pekerja sangat berpotensi menimbulkan bahaya
debu. Proses pemindahan pasir baru dan bekas ke conveyor dilakukan secara
manual dengan menggunakan sekop sehingga terlihat sejumlah debu berkumpul
pada proses ini. Sama halnya dengan proses pemindahan pasir, proses
penambahan bahan ke mixer juga sangat berpotensi menghasilkan debu. Aktivitas
ini dilakukan dengan cara memasukan bahan (bentonit) menggunakan sekop kecil
ke dalam mixer yang sedang beroperasi, sehingga debu yang dihasilkan sangat
dekat dengan zona pernapasan pekerja. Sedangkan aktivitas pengambilan pasir
dari mixer dilakukan dengan menggunakan roda.
Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi
yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di kelompok olah pasir. Nilai
ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.13.
Tabel 5.13 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Olah Pasir
Kode Pekerja
ADD Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) Jenis Kerja
ADD Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) O1 0,345 O2 0,355 O3 0,425 O4 0,256
Pencampuran, penambahan pasir,
dan penurunan bahan cetakan.
0,345
61
Berdasarkan Tabel 5.13 terlihat bahwa pekerja dengan kode O3 memiliki intake
tertinggi, yaitu 0,425 mg/kg.hari. Berbeda dengan hasil sebelumnya, konsentrasi
debu silika respirabel tertinggi diperoleh oleh pekerja dengan kode O2. Perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan berat badan antara kedua pekerja tersebut
(Lampiran B), di mana berat badan pekerja dengan kode O2 lebih besar
dibandingkan dengan berat badan O3, masing-masing 55 dan 46 kg.
Secara umum nilai intake rata-rata debu silika respirabel untuk kelompok ini
adalah 0,345 mg/kg.hari. Nilai ini lebih tinggi dari rata-rata intake debu silika
respirabel di bagian disamatic line dan furan line, yaitu 0,017 dan 0,038
mg/kg.hari. Dengan demikian, pekerja yang bertugas di bagian ini lebih
berpotensi terkena penyakit paru-paru akibat kerja, dibandingkan dengan
kelompok pekerja di Cor 1.
5.2.2.2 Cetak Pasir
Proses cetak pasir merupakan lanjutan dari proses olah pasir (Gambar 5.12).
Pekerja di kelompok ini berjumlah kurang lebih 20 orang. Berdasarkan Gambar
5.12, aktivitas utama pekerja di bagian ini antara lain: membuat cetakan logam di
mesin Jolt-quis (mesin cetak), penghalusan dan setting cetakan dan proses
pengecoran logam. Proses pembuatan dan penghalusan cetakan dilakukan oleh
pekerja tertentu, sedangkan proses pengecoran logam dilakukan dengan
menggunakan crane secara bersama-sama oleh semua pekerja yang ada di bagian
ini. Hasil debu silika respirabel untuk kelompok ini dapat dilihat pada Tabel 5.14.
Tabel 5.14 Konsentrasi Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Cetak Pasir
Kode Pekerja
Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) Jenis Kerja
Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) C1 1,862 C2 1,474 C3 1,435 C4 1,698 C5 1,225
Pencetakan pasir 1,539
62
Kode Pekerja
Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) Jenis Kerja
Rata-rata Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/m3) C6 1,359 C7 1,182 C8 1,335 C9 0,801 C10 1,032
Penghalusan cetakan pasir 1,142
C11 0,065 Crane 0,065
Berdasarkan Tabel 5.14, terlihat bahwa terdapat 11 orang pekerja yang dijadikan
sebagai sampel di bagian cetak pasir. Pekerja yang dijadikan sampel di bagian ini
memiliki jenis pekerjaan yang berbeda. Pekerja dengan kode C1, C2, C3, C4, C5
melakukan pencetakan pasir, pekerja dengan kode C6, C7, C8, C9, C10
melakukan penghalusan cetakan pasir, sedangkan pekerja dengan kode C11
bekerja sebagai operator crane. Berdasarkan pengamatan, pekerja dengan kode C1
sampai dengan C10 melakukan akvitas tambahan bersama dengan pekerja bagian
olah pasir yaitu pembongkaran cetakan pasir (shake out manual), sedangkan
pekerja C11 tidak terlibat langsung dalam proses shake out.
Konsentrasi debu silika respirabel tertinggi didapatkan oleh pekerja yang
melakukan pencetakan pasir (C1), dengan konsentrasi 1,862 mg/m3. Rata-rata
konsentrasi debu silika respirabel pada pekerja cetak pasir menunjukkan
konsentrasi tertinggi yaitu 1,539 mg/m3. Dengan demikian, proses ini merupakan
proses yang sangat potensial menghasilkan debu di bagian olah pasir. Proses
pencetakan pasir dilakukan dengan cara memasukan pasir ke dalam pola cetakan,
kemudian diproses dengan cara digetarkan. Ketika cetakan digetarkan, debu yang
terdapat di cetakan berpotensi terlepas dan masuk melalui inhalasi ke saluran
pernapasan pekerja.
Proses lain yang berpotensi memajani pekerja dengan debu, adalah proses
penghalusan cetakan. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata konsentrasi debu silika
respirabel pada pekerja di bagian ini, yaitu 1,142 mg/m3. Berdasarkan
pengamatan, proses penghalusan cetakan dilakukan secara manual dengan
Tabel 5.14 (lanjutan)
63
bantuan sekop kecil dan kompresor, sehingga pada saat penghalusan, terdapat
sejumlah debu berkumpul dekat dengan zona pernapasan pekerja.
Konsentrasi debu silika respirabel yang terendah di bagian ini didapatkan oleh
pekerja T15 yang bekerja sebagai operator crane, yaitu 0,065 mg/m3. Pekerja
bagian ini bertugas untuk membantu mengangkat cetakan pada saat proses
pencetakan dan penghalusan cetakan dengan cara mengoperasikan crane dari
ketinggian 7 meter di atas permukaan lantai. Sehingga semakin tinggi dan jauh
posisi pekerja dari sumber bahaya debu, maka kemungkinan terpajan debu akan
semakin kecil.
Intake (ADD) debu silika respirabel dihitung untuk memperkirakan konsentrasi
yang masuk melalui inhalasi ke dalam tubuh pekerja di kelompok cetak pasir.
Nilai ADD pada setiap pekerja dapat dilihat di Tabel 5.15.
Tabel 5.15 ADD Debu Silika Respirabel pada Pekerja Bagian Cetak Pasir
Kode Pekerja
ADD Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) Jenis Kerja
ADD Konsentrasi Debu Silika Respirabel
(mg/kg.hari) C1 0,328 C2 0,238 C3 0,253 C4 0,317 C5 0,220
Pencetakan pasir
0,271
C6 0,239 C7 0,176 C8 0,195 C9 0,132 C10 0,156
Penghalusan pasir
0,180
C11 0,009 Crane 0,009
Berdasarkan Tabel 5.15, nilai intake debu silika respirabel tertinggi pada bagian
cetak pasir didapatkan pada sampel pekerja C1, yaitu 0,328 mg/kg.hari. Secara
keseluruhan urutan rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk setiap
kelompok pekerja menunjukkan urutan yang sama dengan nilai rata-rata intake
64
untuk setiap jenis kerja, yaitu 0,271, 0,180 dan 0,009 mg/kg.hari, masing-masing
untuk pekerja di bagian pembuatan cetakan, penghalusan cetakan, dan operator
crane. Dengan demikian, pekerja di bagian pembuatan cetakan memiliki
kecenderungan tertinggi untuk terkena penyakit paru-paru akibat kerja.
5.3 Evaluasi Dosis-Respon
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap hubungan dosis (intake) debu silika
yang masuk ke sistem pernapasan dengan respon berupa nilai FEV1.0. Analisis ini
bertujuan untuk melihat konsistensi antara intake debu silika dengan respon
FEV1.0 pekerja.
5.3.2 Hubungan antara Dosis Debu Silika dengan Nilai FEV1.0 untuk Setiap Aktivitas Kerja
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan dosis-respon, dilakukan dengan
membandingkan antara dosis debu silika dengan respon FEV1.0 untuk setiap
aktivitas kerja. Hubungan antara kedua hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.16.
Tabel 5.16 Hubungan antara Log Dosis Debu Silika dengan FEV1.0
Aktivitas kerja Log Dosis Debu Silika (µg/kg.hari)
FEV1.0 (liter)
Olah Pasir 2,531987 3,18465 Cetak Pasir 2,214794 3,20375 Furan line 1,428624 3,25482 Disamatic line 1,231336 3,46515 Kontrol (Perkakas tempa) 0,352754 3,74723
Dari Tabel 5.16, dibuat grafik hubungan antara dosis debu silika dengan nilai
FEV1.0, setelah itu dihitung nilai koefisien korelasi antara kedua parameter
tersebut (Gambar 5.6).
65
r = 0,9734
2,80
3,00
3,20
3,40
3,60
3,80
4,00
0 1 2 3Log Dosis (μg/kg.hari)
FEV
1.0
(lite
r)
Gambar 5.6 Hubungan antara Dosis Debu Silika dengan FEV1.0 Pekerja
Berdasarkan Tabel 5.16 dan Gambar 5.6 tampak bahwa nilai FEV1.0 untuk
kelompok pekerja dengan berbagai aktivitas cenderung menurun seiring dengan
meningkatnya dosis yang masuk ke sistem pernapasan pekerja. Korelasi antara
kedua faktor tersebut menunjukkan nilai 0,9734 sehingga hubungan keduanya
tergolong kuat. Hal ini sesuai dengan pendapat Antaruddin tahun 2003, bahwa
semakin besar debu yang masuk ke dalam sistem pernapasan seseorang, maka
nilai FEV1.0 akan semakin kecil.
5.3.2 Hubungan antara Dosis Debu Silika dengan Persentase Penurunan FEV1.0
Untuk mendapatkan kurva dosis respon, maka dilakukan analisis mengenai intake
debu silika dengan persentase penurunan FEV1.0. Karena nilai standar FEV1.0
untuk orang Indonesia masih belum diketahui, maka nilai standar FEV1.0 yang
digunakan adalah volume rata-rata FEV1.0 untuk kelompok tidak terpajan yaitu
sebesar 3,7 liter. Volume rata-rata FEV1.0 kelompok tidak terpajan digunakan
sebagai standar, karena kelompok ini diasumsikan memiliki nilai FEV1.0 yang
66
normal (cenderung tidak terpajan debu silika; nilai HI<1) serta memiliki
karakteristik yang serupa dengan kelompok terpajan. Hubungan dan kurva dosis-
respon untuk setiap aktivitas kerja dapat dilihat pada Tabel 5.17 dan Gambar 5.7.
Tabel 5.17 Hubungan antara Log Dosis Debu Silika dengan Persentase Penurunan FEV1.0
Aktivitas kerja Log Dosis Debu Silika (μg/kg.hari)
Penurunan FEV1.0 (liter)
Olah Pasir 2,531987 13,94529 Cetak Pasir 2,214794 13,42906 Furan line 1,428624 12,04918 Disamatic line 1,231336 6,36551 Kontrol 0,352754 0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
0 0,5 1 1,5 2 2,5
Log dosis (μg/kg.hari)
Per
sent
ase
Penu
runa
n FE
V 1.
0 (%
)
Gambar 5.7 Kurva Hubungan Dosis Debu Silika dengan Persentase
Penurunan FEV1.0
Berdasarkan Tabel 5.17 dan Gambar 5.7, terlihat bahwa terdapat konsistensi antar
dosis debu silika yang masuk ke sistem pernapasan pekerja, dengan respon
pekerja berupa penurunan nilai FEV1.0. Penurunan nilai FEV1.0 diduga disebabkan
oleh terjadinya fibrosis di paru-paru pekerja yang terpajan debu. Hal ini sesuai
67
dengan pendapat Yunus (1997), bahwa silika bebas akan masuk ke saluran
pernapasan pekerja kemudian akan menyebabkan autolisis makrofag dan
mengarah ke terbentuknya jaringan ikat dan pengendapan hialin pada jaringan ikat
tersebut.
5.4 Karakterisasi Risiko
Pada penelitian ini karakterisasi risiko dilakukan dengan cara mengumpulkan
informasi berdasarkan identifikasi bahaya, analisis pajanan, dan analisis dosis-
respon secara deskriptif, sehingga dapat diperkirakan efek debu silika terhadap
kesehatan pekerja PT. X. Sedangkan risiko dinyatakan dengan menghitung risiko
relatif (RR) dengan cara membandingkan kelompok pekerja yang terpajan debu
silika dengan pekerja yang tidak terpajan.
5.4.1 Analisis Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Pekerja PT. X
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini dilakukan terhadap dua
kelompok utama pekerja yaitu kelompok terpajan dan kelompok tidak terpajan.
Berdasarkan hasil perhitungan HI, terlihat bahwa pekerja kelompok terpajan
sangat berisiko terhadap menurunnya kesehatan paru-paru. Hal ini ditunjukkan
nilai rata-rata HI untuk kelompok terpajan yaitu 30,74. Nilai rata-rata tersebut
menguatkan bukti bahwa kandungan silika di tempat kerja kelompok terpajan
dapat membahayakan kesehatan pekerja. Keadaan ini terjadi karena pada
kelompok terpajan terdapat sumber bahaya debu silika respirabel yang berasal
dari proses produksi, dengan rata-rata konsentrasi sebesar 0,179 mg/m3 untuk Cor
1 dan 1,428 mg/m3 untuk Cor 2.
Berbeda dengan kelompok terpajan, nilai HI untuk kelompok tidak terpajan
semuanya menunjukkan nilai kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan silika yang ada di tempat kerja kelompok tidak terpajan tidak
membahayakan kesehatan paru-paru pekerja.
68
5.4.1.1 Analisis Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Pekerja Cor 1
Berdasarkan hasil perhitungan tampak bahwa nilai rata-rata indeks bahaya untuk
pekerja di bagian disamatic line adalah 2,26, sedangkan nilai rata-rata HI untuk
pekerja dibagian furan line yaitu 4,96. Jika keduanya dibandingkan, terlihat
bahwa nilai HI untuk pekerja di bagian disamatic line lebih kecil dibandingkan
dengan pekerja di bagian furan line. Hal ini dapat diartikan bahwa dosis debu
silika respirabel yang masuk ke saluran pernapasan pekerja lebih besar dari NAB
silika yang telah ditentukan berdasarkan perhitungan. Dengan demikian, maka
pekerja yang berada di bagian furan line lebih berisiko terhadap penyakit paru-
paru akibat kerja dibandingkan dengan bagian disamatic line. Hal ini
kemungkinan disebabkan teknik pencetakan logam yang dilakukan di kedua
bagian ini berbeda.
Teknik pencetakan logam di bagian disamatic line disebut dengan teknik basah,
karena pembuatan cetakan dilakukan dengan menggunakan air dengan bahan
dasar berupa pasir silika, bentonit dan coal. Seperti telah disebutkan pada Bab II,
bahwa pasir silika merupakan bahan dasar cetakan logam dengan kandungan
silika kurang lebih 70% (NIOSH, 2002). Sedangkan bentonit merupakan nama
dagang bahan pengikat yang umum digunakan dalam pasir cetak basah dan
mempunyai kandungan mineral monmorilonit lebih dari 85% dengan rumus
kimianya Al2O3.4SiO2. xH2O (Labaik, 2008). Dari hal tersebut diduga bahwa
sumber silika tidak hanya berasal dari pasir silika saja, tetapi didapatkan juga dari
bahan-bahan lain yang digunakan dalam proses pencetakan logam.
Penggunaan teknik basah dalam pengecoran logam ini kemungkinan akan
mengurangi jumlah debu yang ada di udara. Hal ini disebabkan berat jenis debu
akan meningkat jika kontak dengan air, sehingga debu akan segera jatuh ke lantai
(Olishifski dan McElroy, 1971).
Alasan lain yang menyebabkan HI di bagian disamatic line lebih kecil adalah
sebagian besar proses pembuatan cetakan di bagian disamatic line dilakukan
secara otomatis. Sehingga dibandingkan dengan bagian furan line, kontak antara
69
sumber bahaya debu melalui inhalasi relatif sedikit. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
rata-rata konsentrasi debu silika respirabel untuk kelompok ini yaitu 0,120 mg/m3.
Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata konsentrasi debu silika
respirabel untuk, bagian furan line yaitu 0,215 mg/m3.
Sama halnya dengan bagian disamatic line, bahan utama cetakan pasir di bagian
furan line adalah pasir silika. Perbedaannya pasir ini tidak dicampur dengan
bentonit dan air sehingga disebut teknik kering. Sebagai perekat digunakan binder
yang berasal dari senyawa alkohol.
Konsentrasi debu silika respirabel pada kedua bagian ini juga menggambarkan
tidak efektifnya fasilitas perlindungan terhadap kesehatan paru-paru pekerja.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa shake out merupakan proses yang
paling potensial menghasilkan debu. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
gedung Cor 1 memiliki sistem ventilasi lokal pada kedua mesin shake out yang
ditempatkan di bagian disamatic line dan furan line. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kinerja alat tersebut sudah tidak optimal. Hal ini ditunjukkan
oleh konsentrasi debu silika respirabel pada pekerja kedua bagian tersebut
tergolong cukup besar yaitu berkisar dari 0,038 mg/m3sampai dengan 0,573
mg/m3.
Nilai intake yang tinggi untuk kedua kelompok pekerja di Cor 1 mengindikasikan
bahwa upaya pengelolaan kesehatan dan keselamatan kerja di tempat tersebut
belum bekerja secara optimal. Hal ini tampak dari belum adanya pengawasan
penggunaan APD pekerja.
Hasil analisis dosis-respon menunjukkan adanya konsistensi antara dosis debu
silika respirabel dengan respon pekerja berupa nilai FEV1.0. Secara umum, nilai
FEV1.0 untuk kedua kelompok disamatic line berkisar antara 2,98 liter sampai
dengan 3,88 liter. Sedangkan untuk kelompok furan line nilai FEV1.0 berkisar
antara 2,12 sampai 4,26 liter.
70
Berdasarkan hasil analisis terhadap bagian Cor 1 dapat disimpulkan bahwa debu
silika di Cor 1 dapat membahayakan kesehatan pekerja. Hal ini dapat dibuktikan
dengan semakin turunnya nilai FEV1.0 pekerja seiring dengan meningkatnya dosis
debu silika respirabel.
5.4.1.2 Analisis Pengaruh Debu terhadap Kesehatan Pekerja Cor 2
Berdasarkan perhitungan, rata-rata nilai indeks bahaya (HI) untuk kelompok Cor 2
yaitu 65,30. Jika dilihat berdasarkan aktivitas kerja di Cor 2, nilai HI kelompok
olah pasir lebih besar dari nilai HI kelompok cetak pasir. Hal ini disebabkan dosis
debu silika respirabel pada pekerja di bagian oleh pasir lebih besar dibandingkan
dengan pekerja bagian cetak pasir. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pekerja olah pasir memiliki risiko lebih besar terhadap penyakit paru-paru akibat
kerja dibandingkan dengan pekerja cetak pasir.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa hal tersebut dapat terjadi karena
setiap proses yang dilakukan oleh bagian ini sangat berpotensi menghasilkan
debu. Hal ini menyebabkan proses ini tergolong sebagai proses yang paling
berbahaya terhadap debu untuk setiap proses pencetakan logam di PT. X (lihat
Tabel 5.18).
Tabel 5.18 Rata-Rata Indeks Bahaya untuk Setiap Tempat Kerja yang Diukur
Tempat Kerja Nilai Rata-rata Indeks Bahaya
Cor 1 3,61
Cor 2 65,30
Perkakas tempa 0,38
Walaupun proses pencetakan logam di Cor 2 dilakukan dengan teknik basah,
setiap pekerjaan yang dilakukan oleh bagian olah pasir masih sebagian besar
dilakukan secara manual. Hal ini menyebabkan rata-rata dosis debu silika
respirabel untuk kelompok ini memiliki nilai tertinggi yaitu 2,18 mg/m3.
71
Berdasarkan pengamatan nilai HI untuk kelompok pekerja cetak pasir berkisar
antara 2,28 sampai dengan 77,78. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja kelompok
cetak pasir memiliki potensi untuk terkena penyakit pernapasan akibat kerja,
walaupun risikonya lebih kecil dibandingkan dengan pekerja dari kelompok olah
pasir. Berdasarkan literatur, penyakit jabatan akibat debu diasanya bersifat kronis
atau dapat timbul setelah pajanan selama bertahun-tahun (Olishifski dan McElroy,
1971).
Kaitan antara dosis debu silika respirabel dengan nilai FEV1.0 pekerja di Cor 2
dapat dilihat pada Tabel 5.13 dan Tabel 5.15. Dari hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa debu silika di Cor 2 dapat membahayakan kesehatan pekerja. Hal ini
disebabkan debu silika dapat menimbulkan penyakit akibat kerja berupa
penurunan kesehatan paru-paru (Yunus, 1996).
5.4.1.3 Risiko Relatif (RR)
Kuantifikasi efek kesehatan telah menjadi salah satu perangkat yang semakin
penting untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan kualitas udara. Untuk
dapat mengkuantifikasi besaran efek pencemaran udara, maka dilakukan
penghitungan RR. RR adalah rasio risiko penyakit diantara populasi yang terpajan
terhadap risiko penyakit diantara populasi yang tidak terpajan (Dirgawati, 2007).
RR yang akan dihitung dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan
informasi mengenai efek pajanan debu silika melalui inhalasi, terhadap nilai HQ
dan nilai FEV1.0 pekerja di lingkungan pekerja PT. X. Dalam penelitian ini
terdapat 2 kelompok pekerja yang diperbandingkan, sehingga pada akhirnya
terdapat data yang berupa matrix (2x2). Kelompok yang diperbandingkan adalah
kelompok terpajan (pekerja Cor 1 dan Cor 2) terhadap kelompok tidak terpajan
(pekerja Perkakas tempa).
Matrik 2x2 antara kelompok pekerja di lingkungan kerja PT. X terhadap nilai HQ
dapat dilihat pada Tabel 5.19
72
Tabel 5.19 Matrik 2x2 Kelompok Pekerja terhadap Nilai HQ
Terpajan Tidak Terpajan
HQ >1 29 0
HQ <1 1 30
Berdasarkan Tabel 5.19 diperoleh nilai RR = ~ (perhitungan dapat dilihat di
Lampiran D). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas udara yang
mengandung SiO2 berpotensi menimbulkan bahaya (hazard) yang tak terhingga
besarnya.
Pendekatan lain yang dilakukan untuk mengkarakterisasi risiko adalah dengan
menghitung RR kelompok pekerja terpajan dibandingkan dengan kelompok
pekerja tidak terpajan terhadap nilai FEV1.0. Besarnya nilai FEV1.0 dikelompokan
menjadi 2 bagian, yaitu kelompok pekerja dengan FEV1.0 kurang dari 3,7 liter dan
kelompok pekerja dengan FEV1.0 lebih dari 3,7 liter. Seperti telah disebutkan
sebelumnya bahwa volume 3,7 liter diasumsikan sebagai nilai FEV1.0 normal
untuk pekerja. Berdasarkan hal tersebut didapatkan matrik 2x2 seperti pada Tabel
5.20.
Tabel 5.20 Matrik 2x2 Kelompok Pekerja terhadap Nilai FEV1.0
Terpajan Tidak Terpajan
Nilai FEV1.0 < 3,7 liter 26 16
Nilai FEV1.0 ≥ 3,7 liter 4 14
Berdasarkan Tabel 5.20 diperoleh nilai RR = 1,62. Dari nilai tersebut dapat
dsimpulkan bahwa kelompok pekerja terpajan memiliki risiko 1,62 kali lebih
besar dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan untuk mengalami
turunnya nilai FEV1.0.
Dari evaluasi pajanan terlihat bahwa pekerja bagian shake out paling berpotensi
terpajan debu silika. Untuk melihat risiko yang disandang pekerja di bagian
pembuatan cetakan logam yang terlibat proses shake out otomatis dan manual
73
(Cor 1 dan Cor 2), pekerja yang tidak terlibat proses shake out (Cor 1 dan Cor 2),
dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpajan debu silika (Perkakas tempa),
maka dihitung risiko relatif antara kelompok tersebut terhadap nilai FEV1.0 (Tabel
5.21).
Tabel 5.21 Risiko Relatif Pekerja Shake Out dan Non-Shake Out terhadap Nilai FEV1.0
Aktivitas
Kerja
Nilai FEV1.0
< 3,7 liter
Nilai FEV1.0
≥ 3,7 liter
Risiko
Relatif
Kontrol
(Perkakas tempa) 16 14
Non-shake out
(Cor 1 dan Cor 2) 7 4 1,18
Shake out otomatis
(Disamatic dan Furan line Cor 1) 5 0 1,88
Shake out manual
(Pembongkaran cetakan Cor 2) 14 0 1,88
Berdasarkan Tabel 5.21, terlihat bahwa pekerja shake out otomatis (Cor 1) dan
pekerja shake out manual (Cor 2) memiliki risiko 1,88 kali lebih besar
dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak terpajan (Perkakas tempa) untuk
mengalami turunnya nilai FEV1.0. Sedangkan risiko penurunan FEV1.0 pekerja
yang tidak terlibat langsung proses shake out (non-shake out) dari Cor 1 dan Cor 2
menunjukkan 1,18 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok pekerja tidak
terpajan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pekerja shake out memiliki
risiko penurunan FEV1.0 lebih besar dibandingkan dengan pekerja non-shake out.
Hal ini sesuai dengan evaluasi pajanan, dimana proses shake out memiliki
konsentrasi debu silika respirabel lebih besar dibandingkan dengan proses non-
shake out. Dengan demikian pekerja yang terlibat langsung proses shake out
sangat berpotensi terpajan debu silika dan berisiko mengalami penurunan nilai
FEV1.0 (Koo et al., 2000).
74
Dari nilai RR terlihat bahwa terdapat perbedaan yang besar antara nilai RR
terhadap HQ dengan nilai RR terhadap FEV1.0. Hal ini kemungkinan disebabkan
risiko yang dihitung terhadap HQ merupakan life time risk sedangkan skor risiko
terhadap FEV1.0 merupakan risiko sesaat, karena pengukuran FEV1.0 hanya
dilakukan hanya pada saat penelitian.
5.4.2 Analisis Ketidakpastian
Salah satu kelemahan dalam melakukan analisis risiko kesehatan adalah seringkali
mendapatkan hambatan berupa ketidakpastian. Ketidakpastian yang terdapat
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Ketidakpastian pajanan sampel
Pada penelitian ini digunakan rumus intake untuk mendapatkan nilai ADD.
Berdasarkan Persamaan 4.2, perhitungan intake sangat dipengaruhi oleh durasi
dan frekuensi pajanan. Data durasi dan frekuensi pajanan yang dihitung dalam
mendapatkan nilai ADD adalah data berdasarkan wawancara, sedangkan hasil
wawancara biasanya bersifat subjektif. Selain itu dalam penelitian ini, pajanan
debu silika di luar tempat kerja tidak diukur, sehingga ada kemungkinan
responden terpajan debu silika di luar tempat kerja, sedangkan respon FEV1.0 tetap
terukur sehingga dapat mengurangi kualitas data.
Walaupun semua pekerja yang diukur selama penelitian tidak menggunakan APD,
berdasarkan hasil kuesioner, beberapa responden dari kelompok terpajan
menyatakan sesekali atau saat-saat tertentu memakai APD masker. Ketidakpastian
pemakaian APD masker, pada pekerja dapat menimbulkan ketidakpastian pajanan
terhadap debu silika.
b. Ketidakpastian jumlah responden
Karena keterbatasan waktu, pekerja yang dilibatkan dalam penelitian hanya
berjumlah 60 orang, yang didapatkan dari divisi tempa dan cor. Akurasi suatu
penelitian analisis risiko kesehatan akan lebih baik jika dilakukan pada populasi
yang banyak.
75
c. Ketidakpastian jumlah analisis sampel
Analisis persentase SiO2 dengan metode XRD hanya dilakukan terhadap 3 sampel
dari pekerja yang bekerja di gedung Cor 1, Cor 2 dan Perkakas tempa. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan dana dalam penelitian ini. Akurasi data akan lebih
baik jika analisis dilakukan pada seluruh subjek penelitian.
d. Ketidakpastian alat
Karena berbagai keterbatasan, maka terdapat alat yang digantikan fungsinya
dengan alat lain yang sejenis, salah satunya adalah filter personal sampling pump.
Filter standar yang seharusnya digunakan adalah filter dari bahan PVC dengan
diameter 5,0 μm. Sebagai gantinya digunakan filter dari bahan MCE dengan
diameter 5,0 μm.