bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/haryanto_tesis_bab4.pdfarus tuntutan reformasi di segala bidang,...

44
102 BAB IV ANALISIS TEKS PEMBERITAAN POLITIK DALAM MEDIA CETAK A. Mengenal Media Cetak Nasional Pasca lengsernya Presiden Soeharto, bangsa Indonesia mengalami perubahan sosial politik yang sangat drastis. Arus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, termasuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers. Media massa yang pada tahun-tahun Orde Baru mengalami ketidakberdayaan dan ketidakbebasan dalam menjalankan fungsinya menyampaikan informasi kepada masyarakat, maka di era reformasi ini media massa mendapatkan kebebasannya. Kebebasan pers ini seiring dengan perubahan sistem politik negera yang juga semakin demokratis. Pada masa Orde Baru, kehidupan pers berada dalam bayang-bayang tekanan negara melalui berbagai peraturan yang mengancam “keselamatan” pers. Pemerintah membangun mekanisme kontrol terhadap media massa dalam tiga tahap. (Nugroho dkk., 1999 : 12) Pertama, swasensor atau menyensor berita sendiri oleh redaktur media. Pada tahap ini pemerintah menciptakan idiom-idiom yang seperti “pers pancasila”, “pers pembangunan”, dan “pers yang bebas dan bertanggungjawab”. Tahap kedua, kontrol melalui bujukan dan peringatan oleh pihak pemerintah seperti Departemen Penerangan, atau bahkan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Setiap ada peristiwa yang peka, menyangkut kekuasaan, kepentingan elit tertentu seperti pemerintah, Golkar, dan ABRI (sekarang TNI) maka biasanya ada “telepon” ke redaksi untuk mengontrol, memperingatkan, bahkan mengancam pihak media massa kalau pemberitaannya menyinggung kelompok ini. Tahap ketiga, pembredelan yaitu dicabutnya SIUPP yang merupakan nyawa penerbitan pada saat itu. Arus reformasi membawa angin segar bagi perkembangan pers di tanah air, dengan dihapuskannya sejumlah peraturan yang mengekang kebebasan pers,

Upload: duongkhanh

Post on 08-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

102

BAB IV

ANALISIS TEKS PEMBERITAAN POLITIK DALAM MEDIA CETAK

A. Mengenal Media Cetak Nasional

Pasca lengsernya Presiden Soeharto, bangsa Indonesia mengalami

perubahan sosial politik yang sangat drastis. Arus tuntutan reformasi di segala

bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang,

termasuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers. Media massa

yang pada tahun-tahun Orde Baru mengalami ketidakberdayaan dan

ketidakbebasan dalam menjalankan fungsinya menyampaikan informasi kepada

masyarakat, maka di era reformasi ini media massa mendapatkan kebebasannya.

Kebebasan pers ini seiring dengan perubahan sistem politik negera yang juga

semakin demokratis.

Pada masa Orde Baru, kehidupan pers berada dalam bayang-bayang

tekanan negara melalui berbagai peraturan yang mengancam “keselamatan” pers.

Pemerintah membangun mekanisme kontrol terhadap media massa dalam tiga

tahap. (Nugroho dkk., 1999 : 12) Pertama, swasensor atau menyensor berita

sendiri oleh redaktur media. Pada tahap ini pemerintah menciptakan idiom-idiom

yang seperti “pers pancasila”, “pers pembangunan”, dan “pers yang bebas dan

bertanggungjawab”. Tahap kedua, kontrol melalui bujukan dan peringatan oleh

pihak pemerintah seperti Departemen Penerangan, atau bahkan Departemen

Pertahanan dan Keamanan. Setiap ada peristiwa yang peka, menyangkut

kekuasaan, kepentingan elit tertentu seperti pemerintah, Golkar, dan ABRI

(sekarang TNI) maka biasanya ada “telepon” ke redaksi untuk mengontrol,

memperingatkan, bahkan mengancam pihak media massa kalau pemberitaannya

menyinggung kelompok ini. Tahap ketiga, pembredelan yaitu dicabutnya SIUPP

yang merupakan nyawa penerbitan pada saat itu.

Arus reformasi membawa angin segar bagi perkembangan pers di tanah

air, dengan dihapuskannya sejumlah peraturan yang mengekang kebebasan pers,

Page 2: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

103

dan lahirnya regulasi-regulasi baru yang mendukung tumbuh dan berkembangnya

media massa. Di antara perubahan tersebut yang sangat penting adalah

dihapuskannya peraturan mengenai Surat Izin Usaha penerbitan Pers (SIUPP).

Dengan dihapuskannya peraturan-peraturan Menteri Penerangan mengenai

SIUPP, dan digantikannya UU tentang Pokok Pers no.21 tahun 1982 dengan UU

no.40 tahun 1999 yang lebih reformis, maka tidak ada lagi ancaman pembreidelan

bagi media massa. Masyarakat bebas untuk mendirikan perusahaan pers, dan

akhirnya dunia pers memasuki kebebasan yang kontrolnya ada pada pasar media

bukan pada negara.

Perubahan sistem politik yang melahirkan UU tentang pers di era

reformasi tersebut juga akhirnya mengubah peran pers atau media masa. Secara

umum pergeseran peran dari pers Orde Baru ke era reformasi sekarang ini terbaca

pada struktur dalam (deep structure) UU tentang pers tersebut dan praktek media

massa di masyarakat. Hal tersebut digambarkan Hamad (2004 : 68), sebagai

berikut :

Bagan 4.1. Pergeseran Peran Pers Orde Baru ke Era Reformasi

Pergesaran tersebut cukup berarti bagi media massa untuk memanfaatkan

kebebasannya. Sampai akhir tahun 1990-an, sebagian besar media cetak terbit di

Jakarta, di tahun 1997 media cetak di Indonesia hanya sekitar 280 media, dengan

139 (49 persen) terbit di Jakarta. Namun di tahun 2000 pasca dicabutnya peraturan

tentang SIUPP, mulai tumbuh koran-koran baru termasuk koran-koran daerah.

Masa Orde Baru - UU no.12 / 1982 - Alat perjuangan nasional,

alat pembangunan bangsa - SIUPP dari Pemerintah;

kapitalisme pura-pura - Campur tangan penguasa - Berorientasi stabilitas

politik - Keseragaman politik - Kepentingan penguasa

Masa Reformasi - UU no.40 / 1999 - Lembaga sosial dan

lembaga ekonomi - Mendirikan badan usaha;

kapitalisme murni - Mekanisme pasar - Berorientasi pada

kepentingan - Keberagaman politik - Kepentingan pengusaha

Page 3: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

104

Bahkan di Papua yang pada tahun 1997 hanya ada koran Cenderawasih Pos dan

Tifa Irian, pada tahun 2001 sedikitnya menjadi 14 media cetak. Pada umumnya

media-media yang baru tersebut adalah pengusaha penerbitan kecil yang akhirnya

banyak yang gulung tikar kalah oleh media-media dari kelompok penerbitan besar

dengan manajemen, dana dan jaringan yang lebih kuat. Sampai tahun 2002,

jumlah perusahaan media massa yang masih tertinggal hanya 695 buah dengan

hanya 30 persen yang termasuk kategori sehat. (Luwarso, dkk., 2005 : 12-13)

Dalam undang-undang pers tidak dikenal istilah media cetak atau koran

nasional dan koran daerah atau koran lokal. Istilah ini hanya menjadi kelumrahan

saja untuk membedakan media cetak dari lingkup isi pemberitaan dan

penyebaran atau sirkulasinya. Media nasional biasanya untuk menyebut media

cetak yang terbit di Jakarta dan penyebarannya mampu sampai ke luar Jakarta.

Media daerah atau media lokal disebut demikian karena mengacu pada isi media

yang terfokus pada isu-isu kedaerahan dan peredaran sirkulasinya terbatas di

daerah yang bersangkutan. Namun substansi sebenarnya setiap pers atau media

cetak adalah koran daerah atau media lokal. Hal ini karena karakteristik terbit

dalam tempo singkat (24 jam) secara teknis mustahil untuk mengkover semua isu

berita maupun peredarannya secara nasional. Istilah dikotomi media nasional-

lokal atau pusat-daerah sebenarnya paradigma berfikir lama yang

sentralistik.(Luwarso, dkk., 2005 : 11)

Dan nyatanya, media cetak yang disebut sebagai koran daerah mampu

eksis dan bertahan, bahkan menguasai wilayahnya. Dalam merebut perhatian

pembaca, media massa di daerah mampu mengambil sisi proksimitas yang

menarik dalam lingkup wilayahnya, dan di sinilah sebenarnya kekuatan media-

media daerah. Oleh karena itu media-media inipun menjaga dan mengukuhkan

citranya untuk mendapatkan sentimen dan emosi kedaerahan dengan

mengidentifikasikan diri sebagai media (milik) daerah tertentu. Misalnya harian

Suara Merdeka menyebut dirinya korannya Jawa Tengah, harian Pikiran Rakyat

untuk Jawa Barat, dan koran-koran lain yang menunjukkan identitas daerah

seperti Solopos, Malang Pos dan sebagainya.

Page 4: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

105

Itu sebabnya koran yang disebut koran nasional, merasa kesulitan untuk

menembus pasaran sampai di daerah. Aspek proximity ini nampaknya juga

menjadi pertimbangan bagi perusahan penerbtan besar yang melakukan ekspansi

pasar ke daerah-daerah dengan menerbitkan halaman yang khusus memuat isu-

isu daerah tertentu seperti yang dilakukan oleh Jawa Pos Group dengan

menerbitkan Radar-Radar Jawa Pos di hampir semua kota di Indonesia, dan

Harian Kompas yang menerbitkan sisipan Edisi Daerah. Hal ini menunjukkan

penetrasi koran nasional mustahil mampu bersaing dengan media massa lokal.

Dalam penelitian ini istilah media cetak nasional, di mana istilah nasional

ini tidak dimaksudkan dalam paradigma sentralistik dikotomik yaitu nasional-

lokal, tetapi hanya untuk penyederhanaan terhadap obyek penelitian yaitu media

cetak yang diterbitkan di Indonesia dan untuk masyarakat Indonesia dengan

pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sebagaimana di awal disebutkan berbagai

media massa didirikan tetapi banyak yang tidak mampu mempertahankan

eksistensi dirinya, baik dari jumlah eksemplar terbitan yang kecil, tidak stabil

hingga yang akhirnya gulung tikar. Pilihan media massa cetak yang diteliti ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa media cetak ini memiliki kemampuan

survival yang tinggi dan sirkulasi sebarannya yang relatif luas sehingga

diasumsikan cukup berpengaruh bagi khalayak yang lebih luas. Serta tentu saja

alasan karakteristik dari masing-masing media tersebut. Media cetak yang dipilih

adalah harian Kompas, Jawa Pos, Republika, dan Media Indonesia yang akan

diskripsi singkatnya akan dijelaskan berikut ini.

A.1. Kompas

Koran Kompas berdiri pada tanggal 28 Juni 1965 oleh P.K. Ojong dan

Jacob Oetama,1 sebagai inisiatif Partai Katholik (Hamad, 2004 : 73, 116) untuk

lebih menyuarakan kepentingan umat Katolik pada masa tahun 1960-an

itu.(Musyafak, 2001: 91) Sebelum itu sebenarnya kedua orang ini telah Pada

1 Keduanya adalah wartawan, dan mendirikan majalah Intisari yang terbit pertama tahun

1963. (Hamad, 2004 : 116)

Page 5: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

106

masa ini kekuasaan Soekarno sangat kuat dan tengah mengembangkan kebijakan

manifesto politik Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis).(Arifin, 1992 :

47) Untuk Itu presiden Soekarno membutuhkan dukungan dari kelompok agama,

selain dari kelompok komunis (PKI) dan kelompok nasionalis. Terlebih lagi pada

Pebruari 1965, Presiden Soekarno melarang semua aktivitas dan mencabut izin

terbit koran-koran penyokong BPS (Barisan Pendukung Sukarnoisme) yang

kontra dengan koran-koran yang berafiliasi pada PKI.(Taufiq, 1977 : 73) Dari

peristiwa ini muncul kekosongan media massa yang segera dimanfaatkan oleh

Partai Katolik untuk mendirikan koran Kompas2 yang memang bertujuan

ideologis pada masa itu. Ikatan ideologis dengan partai Katolik ini berakhir tahun

1971 saat Orde Baru berusaha mencairkan kesetiaan golongan, termasuk dalam

bidang politik melakukan fusi partai-partai, di mana partai nasionalis dan non-

Islam berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang ekfektif dilaksanakan

mulai pemilu 1972.

Di bawah pimpinan PK. Ojong, Kompas memulai penerbitannya dengan

mencetak 4.828 eksemplar perhari, yang selanjutnya semakin naik dan penjualan

semakin tinggi. Kompas segera dipercaya dan mendapat reputasi yang baik

sebagai media yang memiliki kedalaman analisis, sederhana dan mudah dipahami

sebagai representasi gaya jurnalistik PK. Ojong yang keturunan Cina. Namun

setelah tahun 1980, PK Ojong meninggal, dan digantikan oleh Jacob Oetama,

Kompas menganut gaya jurnalisme yang tidak langsung, kritik yang implisit,

konservatif, eufemistik, dan hati-hati, sehingga oleh Benedict Anderson dikatakan

sebagai determined boringness. (Musyafak, 2001: 92) Namun Kompas sendiri

lebih suka menyebut bahasanya bahasa humanitatis, yaitu tidak kenes tetapi

plastis, tidak kering, formal, abstrak dan rasional, tetapi yang menyangkut

perasaan intuisi, dan emosi manusia. (Hamad, 2004 : 117)

2 Nama Kompas sering diplesetkan sebagai Komando Pastur atau Komando Pak Seda

(Frans Seda adalah ketua Partai Khatolik).(Hamad, 2004 : 116) Namun Julious Pour, redaktur senior Kompas, dalam acara studi komperatif SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang tahun 1996 yang penulis ikuti, menjelaskan bahwa nama Kompas ini adalah pemberian Presiden Soekarno yang artinya adalah penunjuk arah mata angin, yang secara filosofis menjelaskan visi koran ini adalah untuk memberi informasi sebagai petunjuk bagi masyarakat.

Page 6: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

107

Pada saat sekarang ini Kompas dianggap sebagai koran harian terbesar di

Indonesia, dengan sirkulasi oplah lebih dari 1.598.000 eksemplar pada tahun

2000 (Hamad, 2004 : 118) dengan kelompok pembaca fanatik, terutama dari

kalangan menengah, sebagaimana diungkapkan dalam suatu survey, sebagian

besarnya para pembaca Kompas terdiri dari pegawai negeri, mahasiswa, manajer,

dan pemegang saham. Pendapatan PT. Kompas Media Nusantara (perusahaan

penerbitan Kompas) mencapai lebih dari 240 miliar rupiah pada tahun 1993,

dengan keuntungan sekitar 30-35 miliar rupiah menjadikan Kompas sebagai

koran terkaya di Indonesia. (Musyafak, 2001 : 92) Perkembangan berikutnya,

didirikan rumpun usaha KKG (Kelompok Kompas Gramedia) yang semakin

memperkuat posisi Kompas sebagai raksasa di dunia Pers. Dari mencetak koran,

kini berkembang sampai pada multimedia, dan merambah berbagai aktivitas lain.

Setidaknya ada 23 penerbitan yang berada di bawah KKG ini. (Hamad, 2004 :

117)

Melihat latar belakang berdirinya Kompas, orang sering mengaitkan

dengan agama Khatolik, tetapi Kompas sendiri lebih mengedepankan visi

humanisme transendental. Untuk mengusung idealisme ini Kompas menetapkan

misi “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang sekaligus menjadi merk dagangnya

(brand market). Untuk itu maka strategi yang dipergunakan Kompas, terutama

dalam pemberitaan yang sensitif adalah: pertama, model jalan tengah (MJT) yaitu

menggugat dengan tidak langsung, mengkritik dengan santun, berkesan berputar-

putar dan mengaburkan pesan yang hendak disampaikan. Kedua, model angin

surga (MAS), yakni mengupas dengan cara tidak menggugat atau

mempertanyakan ha-hal tertentu tetapi lebih pada himbuan dan harapan. Ketiga,

model anjing penjaga (MAP) yakni terbuka dan menggunakan bahasa yang

berani.

A.2. Jawa Pos

Jawa Pos didirikan pada tahun 1949 sebagai perusahaan keluarga The

Chung Shen, seorang pegawai salah satu bioskop di Surabaya. Keluarga ini juga

Page 7: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

108

menerbitkan beberapa koran berbahasa Mandarin, Belanda dan Inggris. Meskipun

sempat menjadi koran yang termasuk besar di Surabaya, perkembangan Jawa Pos

mengalami stagnan dengan oplah sekitar 6.800 eksemplar perhari di tahun 19823

akibat berbagai masalah. Hingga akhirnya pada April 1982, Mr. Chung Shen yang

saat itu berusia 83 tahun menjual perusahaan ini kepada PT. Grafiti Pers, penerbit

majalah Tempo dengan Eric F.H. Samola sebagai presiden direktur. Samola

segera menciptakan fondasi manajemen pada Jawa Pos baru sehingga Samola

(1937-2000) juga disebut-sebut sebagai the founding fathers Jawa Pos disamping

Chung Shen (1904-1989). (Hamad, 2004 : 148)

Awalnya akuisisi Tempo terhadap Jawa Pos tahun 1982 itu dimaksudkan

untuk membantu peliputan kampanye 1982, tetapi ternyata Jawa Pos dapat

berkembang lebih besar dari motif awalnya. Terlebih ketika Dahlan Iskan ditunjuk

untuk menjalankan rutinitas penerbitan Jawa Pos, ia berhasil mendongkrak pasar

terutama dengan gaya tulisannya yang disebut news telling, yang merupakan gaya

penulisan jurnalistik yang benar-benar baru di Indonesia. Segera setelah hanya

6.800 eksemplar di tahun 1982, tahun-tahun berikutnya melonjak cepat, di tahun

1992 mencapai oplah 350.000 eksemplar sehingga menempati urutan ketiga

sebagai koran terbesar di Indonesia. Tahun 1997 mencapai oplah 400.000

eksemplar dengan pembaca 1.014.000 orang, menempati urutan keempat nasional

setelah Pos Kota, Kompas dan Suara Pembaharuan. Hasil riset RMI (Riset

Marketing Indonesia) tahun 2000 menunjukkan 68,6 persen orang dewasa di

Surabaya membaca Jawa Pos, dan tahun itu pula berhasil menduduki koran

terbesar kedua di Indonesia. (Hamad , 2004 : 149, 150)

Pada saat pembredelan majalah Tempo tahun 1994, Jawa Pos mandiri di

bawah pimpinan Dahlan Iskan yang segera melakukan ekspansi perusahaan. Jika

di tahun 1997 Jawa Pos Grup hanya memiliki 29 penerbitan, yaitu 20 harian, 5

tabloid mingguan dan 4 majalah, maka tahun 1999 sudah mencapai 49 terbitan,

tahun 2001 bertambah lagi menjadi 59 terbitan, tahun 2003 bertambah menjadi

3 Musyafak (2001:94) mengutip dari Sadono mencatat tahun 1981 Jawa Pos dalam

penerbitannya mencetak 7000 eksemplar perhati.

Page 8: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

109

84 penerbitan, dan sekarang ini telah lebih dari 100 penerbitan group Jawa Pos,

dan 2 stasiun televisi.(Luwarso, 2005 : 7)

Kemampuan untuk berkembang ini di antaranya adalah faktor

kepemimpinan Dahlan Iskan, di mana di tangannya Jawa Pos benar-benar maju

dan memulai hal-hal baru dalam tradisi penerbitan di tanah air. Jawa Pos

merupakan koran pertama di Indonesia yang mempergunakan komputer di ruang

wartawan, dan koran pertama yang cetak warna tiap hari pada tahun 1986. Bahkan

juga pertama memprakarsai terbit dalam beberapa bagian dan tetap terbit di hari-

hari libur. Selain itu juga memprakarsai teknologi cetak jarak jauh di Indonesia.

(Hamad, 2004 : 149) Ketika krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997, Jawa

Pos menyiasati dengan mencetak koran ukuran lebih kecil dari biasanya, yang

disebut young broadsheet, yang sudah biasa di Amerika saat itu. Bahkan ketika

banyak media massa yang bangkrut karena krisis ekonomi tersebut, Jawa Pos

malah agresif menerbitkan koran-koran baru, pabrik kertas, dan membeli mesin

cetak baru, meskipun kemudian juga sempat jatuh, dan akhirnya Jawa Pos pulih

kembali tahun 1999.(Hamad, 2004 : 150)

Faktor lainnya adalah kemampuan Jawa Pos untuk mengikat pasarnya

menjadi pembaca fanatik, di antaranya dengan membuka Radar-Radar Jawa Pos

di berbagai kota untuk memenuhi kebutuhan berita lokal (nilai proximity) bagi

pembaca daerah. Jawa Pos juga membentuk Komisi Ombudsmen yang bertugas

menelaah keluahan-keluhan masyarakat tentang isi pemberitaan Jawa Pos demi

kepuasan pembaca. Program Tekad Sayang (“Tak Kenal Maka Tak Sayang”)

ditujukan untuk mempromosikan interaksi sosial kaum etnik Cina dengan

mayoritas, termasuk dalam program ini menerbitkan satu halaman berbahasa

Mandarin. Jawa Pos turut mendukung otonomi daerah dengan mendirikan Institut

penelitian yang disebut Pro-Otonomi untuk mensurvey daerah-daerah yang maju

bidang otonominya dan yang berresiko paling tinggi. Dengan demikian daerah-

daerah akan termotivasi untuk bersaing menciptakan kondisi terbaik bagi

investasi. (Hamad, 2004 : 151)

Page 9: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

110

Tentang orientasi media, Jawa Pos mengakui bahwa orientasinya adalah

pasar. “Harus diakui ideologinya pasar, ideologinya oplah,” kata Arif Afandi

Redaktur Jawa Pos. (Hamad, 2004 : 151) Visi itu berimbas pada pilihan isu dan

pengemasan berita. Di antaranya dalam peristiwa politik, Jawa Pos cenderung

berbicara orang, profil atau sosok, termasuk pertimbangan besar kecilnya partai.

Dalam sebuah peristiwa kampanye media lain menyoroti substansinya, maka

Jawa Pos akan mengangkat tokohnya. Demikian juga partai yang besar akan

mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih luas dibanding partai yang

kecil.(Hamad, 2004 : 152)

A.3. Republika

Harian Republika merupakan media massa yang dilahirkan dari rahim

Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi ini berdiri tanggal 5

Desember 1990 di Malang dan diketuai oleh BJ. Habibie yang saat itu menjadi

Menteri Riset dan Teknologi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. ICMI

bukan sekedar organisasi perkumpulan cendikiawan muslim, tetapi sekaligus

perhimpunan dari kekuatan politik Islam yang tahun-tahun 70-an dan 80-an

mengalami marginalisasi oleh kekuatan Orde Baru yaitu Golkar dan militer.

Dengan demikian ICMI tidak dipungkiri hadir dalam membawa muatan politik

Islam yang cukup kental. (Hamad, 2004 : 121) Dalam konteks ICMI yang

demikian inilah Republika dapat dicermati.

Selain BJ. Habibie yang saat itu menjadi Menristek memiliki pengaruh

yang cukup kuat,4 di belakang ICMI terdapat tokoh-tokoh intelektual muslim

yang juga cukup berpengaruh seperti Amin Rais (ketua PP Muhammadiyah),

Nurcholis Madjid dan Quraish Shihab dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(Sekarang UIN), juga dari kalangan pengusaha terkenal seperti Parni Hadi dan

Tantri Abeng. (Musyafak, 2001 : 95) ICMI dengan yayasannya yaitu Yayasan

4 Habibie bahkan kemudian menjadi Wakil Presiden, dan akhirnya menjadi presiden

menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri tahun Mei 1998 hingga pemilu Oktober 1999. Namun sebagai presiden transisional, pertanggungjawaban Presiden Habibie di depan MPR ditolak.

Page 10: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

111

Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa tanggal 28 November 1992 sebagai

syarat untuk mendirikan penerbitan pers. Dengan dilatarbelakangi tokoh-tokoh

berpengaruh, termasuk mulai ada angin segar untuk kelompok Islam dari Presiden

Soeharto saat itu, proses mendapatkan SIUPP berjalan begitu mudah yakni 19

Desember 1992 Republika sudah mendapatkan SIUPP, dan resmi berdiri tanggal

4 Januari 1993. (Hamad, 2004 : 120)

Penerbitan koran Republika sendiri merupakan salah satu dari tiga

program utama ICMI, yaitu pengembangan Islamic centre; pengembangan CIDES

(Centre for Information and Development Studies); dan penerbitan Harian Umum

Republika. ICMI menghadirkan CIDES sebagai penyeimbang wacana pemikiran

dan opini terutama di bidang politik selama ini banyak dilakukan oleh lembaga

Thing-thank Golkar CSIS (Central Studies for Indonesian Strategies), sedangkan

Republika sebagai pengimbang dari pers non-Islam. (Hamad, 2004 : 121)

Republika membawa kelompok populer yang terdiri dari kaum intelektual muslim

liberal dan wartawan, bersama-sama membuat koran “berkualitas” yang beraliran

sekular dalam pemberitaan peristiwa dan isu-isu tetapi memuat nilai-nilai

ideologis Islam. Hal ini sebagai pembanding dengan Kompas dan Suara

Pembaharuan yang dipengaruhi Kristen.(Musyafak, 2001 : 95)

Dalam waktu singkat Republika berhasil merebut pasar pembaca, terlihat

dari perkembangan setelah 3 bulan dari pendiriannya Republika sudah berhasil

meraih sirkulasi yang cukup besar yaitu 100.000 eksemplar per harinya, padahal

awalnya hanya ditarget 40.000 eksemplar saja. Bahkan pada tahun 1998 sirkulasi

Republika sudah mencapai 300.000 eksemplar.(Musyafak, 2001 : 95) Hal ini

tidak lepas dari inovasi terhadap penampilan tata letak (layout) dan gaya

penulisan jurnalistik yang dilakukan Republika. Pembaca Republika meliputi

target-audien dari umat Islam, golongan profesional, manajer, eksekutif,

pelajar/mahasiswa, dan pengusaha. Dari seluruh pembacanya, 63,63 persen berada

di Jakarta.

Visi Republika adalah menjadi perusahaan media cetak terpadu berskala

nasional serta dikelola secara profesional islami, sehingga berpengaruh dalam

Page 11: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

112

proses pencerdasan bangsa, pengembangan kebudayaan, serta peningkatan

keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia baru. Untuk

mewujudkan hal tersebut, Republika melakukannya melalui pemberitaan yang

akurat, aktual, terpercaya, edukatif, serta membela keadilan dan kebenaran.

Sedangkan usaha ke dalam dengan menguatkan prestasi dan dedikasi team

republika guna pengembangan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan.

Ideologi Republika dengan sendirinya mengikuti jejak pemiliknya, ICMI yaitu

Keislaman, Kerakyatan, Kebangsaan/Keindonesiaan.

Dengan latar belakang sebagaimana melatari ICMI, Republika sangat

konsen dalam tema-tema keislaman. Hal ini ditunjukkan melalui bentuk informasi

dan isi pemberitaannya. Meskipun menyatakan diri sebagai Harian Umum, tetapi

warna keislaman sangat kuat sehingga tak pelak lagi Republika disebut sebagai

salah satu Media Islam. Namun sebagai media Islam, Republika menunjukkan

wajah yang moderat, bahkan cenderung liberal dibandingkan dengan media Islam

lainnya yang terang-terangan menyebut dirinya media Islam seperti Media

Dakwah, Sabili, dan sebagainya. Republika berupaya menampilkan Islam sebagai

agama yang dapat memberi inspirasi terhadap kesadaran sosial selaras dengan

aspirasi kontemporer seperti keterbukaan, pluralisme, dan kecanggihan dunia

teknologi dan informasi.(Hamad, 2004 : 122)

Konsen terhadap keislaman ini terlihat dari pemberitaan-pemberitaan

Republika yang menonjolkan keberpihakan terhadap kepentingan umat Islam,

termasuk membuka rubrik-rubrik yang bertema Islam seperti Kolom Hikmah,

Dialog Jumat, Dompet Duafa dan sebagainya. Terhadap isu politik, ruh Islam

Republika ini ditunjukkan dengan adanya stressing yang kuat terhadap aspirasi,

misi, program politik yang mengedepankan kepentingan Islam, termasuk partai

yang mengakomodir aspirasi umat Islam dan bersikap reformis.(Hamad, 2004 :

123-124)

Page 12: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

113

A.4. Media Indonesia

Media Indonesia didirikan oleh Teuku Yousli Syah pada tahun 1969, dan

awal terbitnya tanggal 19 Januari 1970 dalam bentuk koran 4 lembar yang dicetak

5000 eksemplar. Pada tahun 1976 meningkat menjadi 8 halaman.(Hamad, 2004 :

132) Saat pemerintah menerapkan peraturan tentang SIUPP pada tahun 1982,

Media Indonesia mengalami persoalan manajerial, yakni perusahaan penerbitan

pers harus didukung oleh modal yang kuat. Hingga akhirnya Surya Paloh

menariknya untuk bergabung dengan perusahaannya, PT. Surya Persindo tahun

1989. Media Indonesia kemudian menjadi usaha penerbitan di bawah PT. Citra

Media Nusa Purnama yang sahamnya dipegang oleh Teuku Yousli Syah, Surya

Paloh (PT. Surya Persindo) dan Media Indonesia Employees Cooperation.

(Musyafak, 2001 : 96)

Dengan manajemen baru ini Media Indonesia meningkat tajam, tahun

1996 sudah memiliki 20 halaman dan sirkulasi mencapai 250.000 eksemplar

dengan tampilan visual yang menarik, tampilan desain dan layout inovatif

berwarna. (Musyafak, 2001 : 96) Di tahun 1999 Media Indonesia sudah mencapai

pembaca 350.000 orang dengan sasaran khalayak profesional muda. Untuk itu,

rubrikasi dalam Media Indonesia juga memuat suplemen bisnis seperti real-estate,

otomotif dan pariwisata, serta iklan terbanyak dari perbankan.(Hamad, 2004: 134)

Karier Surya Paloh sebenarnya berangkat dari Bussinesman, yang usaha

pertamanya adalah katering makanan di bawah PT. Indocater. Sedang karier

bisnisnya di bidang media dimulai dengan mendirikan PT. Surya Persindo dengan

koran pertamanya harian “controversial staright-talking” Surat kabar Prioritas

tahun 1985. (Musyafak, 2001 : 96) Prioritas ini pada mulanya yang dicetak oleh

PT. Sinar Agape Press milik Sinar Harapan, hingga akhirnya bisa mandiri bahkan

“membajak” dua redaktur senior Sinar harapan yaitu Panda Nababan dan Derek

Manangka.(Hamad, 2004 : 133) Pada 29 Juni 1987, Prioritas dibreidel oleh

pemerintah dengan alasan telah bersalah menerbitkan berita yang tidak benar,

tidak berdasarkan fakta, dan bersifat sinis, insinuatif, dan tendensius. Hal ini oleh

Page 13: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

114

Departemen Penerangan menganggap distorsi ini telah melanggar ketentuan

SIUPP.(Musyafak, 2001 : 96)

Pascabreidel Prioritas itu, Surya Paloh kemudian bermaksud menerbitkan

Realitas, tetapi SIUPP-nya tak kunjung didapat dari Departemen Penerangan,

akhirnya ia melirik Media Indonesia yang masih dimiliki Teuku Yousli Shah

untuk bergabung di tahun 1989. Sebelum Media Indonesia ini, ia juga telah

mengembangkan majalah hiburan Vista TV tahun 1988, kemudian dengan Eros

Djarot membuat tabloid berita politik DeTIK tahun 1992 yang akhirnya dibreidel

tahun 1994 karena dianggap menyalahi SIUPP. Di tahun 1999, Surya Paloh

membangun stasiun televisi Metro TV.(Hamad, 2004 : 133) Selain itu Surya

Paloh juga dikenal banyak menanamkan saham di bisnis media sejak tahun 1988,

diantaranya Peristiwa dan Aceh Post di Aceh, Mimbar Umum di Medan,

Semangat di Padang, Sumatera Express di Palembang, Lampung Post di

Lampung, Gala di Bandung, Yogya Post (sebelumnya Masa Kini) di Yogyakarta,

Dinamika Berita di Pontianak, Cahaya Siang di Manado, dan Nusra di

Denpasar.(Hamad, 2004 : 132)

Nama Media Indonesia lekat dengan nama Surya Paloh, seorang

konglomerat Aceh yang juga dikenal sebagai salah satu pendiri FKPPI (Forum

Putra-putri Purnawirawan ABRI), aktivis di Partai Golkar, dan anggota DPR

(Dewan Permusyawaratan Rakyat) dan pernah menjadi ketua Himpunan

Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Surya Paloh juga dikenal dekat dengan

keluarga Cendana, terutama Bambang Triatmojo yang menjadi pemilik PT.

Bimantara. Bahkan kedekatannya semakin kuat dengan bertalian keluarga melalui

perkawinannya dengan Rosano Barack, salah seorang direktur di Bimantara,

selain juga berbagi saham di RCTI yang semakin menguatkan posisi

politisnya.(Hamad, 2004 : 133)

Media Indonesia dalam pemberitaannya tidak lepas dari pengaruh kuat

pemiliknya yaitu Surya Paloh. Sampai sekarang Surya Paloh masih aktif di Partai

Golkar, bahkan pada pemilu 2004 ia termasuk kandidat yang ikut bursa konvensi

Partai Golkar meskipun tidak lolos. Hal ini ditambah dengan latar belakangnya

Page 14: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

115

sebagai pendiri FPPI, cukup memberi gambaran tentang ideologi pemberitaan

Media Indonesia yaitu nasionalisme, kebangsan, dan bukan agama tertentu.

(Hamad, 2004 : 131)

B. Pilpres Langsung 2004: Agenda Pergantian Kepemimpinan Nasional5

Pemilihan umum (pemilu) menjadi salah satu wujud demokrasi, di mana

rakyat memiliki hak dan kesempatan untuk turut dalam partisipasi politik. Pada

era Orde Baru, Indonesia juga menyelenggarakan pemilu sebagai konsekuensi

negara demokrasi. Namun demokrasi saat itu yang disebut-sebut sebagai

demokrasi pancasila, dipandang banyak kalangan hanya demokrasi semu (pseudo

democracy). Hal ini karena kekuasaan negara, elit politik tertentu dan militer

sangat dominan dalam menentukan perikehidupan rakyatnya. Bahkan pemilu

yang menjadi bentuk penyaluran aspirasi rakyat, sudah diketahui hasilnya. Di era

ini tidak ada partisipasi politik rakyat, yang ada hanya mobilisasi politik oleh

penguasa.

Bulan Mei 1998 menjadi momentum titik balik perpolitikan di Indonesia,

di mana pada saat itu bangsa Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi yang

sudah dimulai sejak paruh tahun 1997, harga-harga melambung tinggi dan

membuat stabilitas ekonomi negara menjadi goyah, hingga akhirnya kekuasaan

Orde Baru mengalami delegitimasi terutama oleh kerasnya tuntutan dari

mahasiswa dan masyarakat luas agar Presiden Soeharto segera mundur. Bulan

Mei 1998 Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden RI yang

teah dijabatnya selama 32 tahun, digantikan BJ. Habibie yang saat itu adalah

wakil presiden RI. Masa itu disebut sebagai masa transisi, yakni masa

mempersiapkan bangsa Indonesia menuju demokrasi yang “sebenarnya”, berupa

gerakan reformasi terhadap sistem demokrasi yang dipraktekkan pada masa Orde

Baru.

Gerakan reformasi ini disambut antusias oleh bangsa Indonesia, di mana

kebebasan warga negara dijamin sedemikian luas. Pers dan media massa tidak lagi

5 Dalam bagian ini, sebagian besar informasi diolah dari buku: Kilas Balik Pemilihan

Presiden 2004 (Khoiruddin, 2004), sumber KPU (www. Kpu.go.id), dan media massa terutama Kompas.

Page 15: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

116

dikenakan aturan SIUPP sehingga semua orang bebas menerbitkan media cetak

dan tidak ada kontrol media dari pemerintah, semua diserahkan kepada

masyarakat. Demikian juga dalam bidang politik, kebebasan berpolitik dibuka

lebar, sehingga dalam waktu singkat, menuju pemilu yang dilaksanakan 1999,

tercatat 200 buah partai politik didirikan meskipun hasil seleksi Komisi Pemilihan

Umum (KPU) hanya 48 buah yang lolos dan ikut dalam pemilu 1999. Semua hal

itu tidak lepas dari “program” masa transisi untuk menyediakan perangkat hukum

dan legislasi yang mendorong terciptaannya demokrasi di Indonesia. Di antara

perubahan fundamental dalam bidang politik di era reformasi ini adalah

dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 dan penyusunan UU Pemilu dan

Kepartaian.

Perbagai perubahan fundamental terus dilakukan, dan puncaknya adalah

dengan penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung. Pada masa Orde

Baru hingga tahun pemilu masa reformasi tahun 1999, pemilihan presiden masih

dilakukan dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang saat itu

memilih Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan wakil presiden Megawati

Soekarnoputri. Pada pemilu 1999 partai pemenang pemilu adalah PDI-P yang

diketuai oleh Megawati, tetapi proses politik saat itu masih menggunakan

mekanisme lama, yaitu di sidang MPR yang pemilihan presiden dilakukan oleh

para anggota MPR. Baru tahun 2004 pemilihan pesiden secara langsung dapat

dilakukan bagi rakyat Indonesia.

Pemilu 2004 menjadi tonggak penting perjalanan sejarah politik di

Indonesia, karena menjadi indikator penting bagi konsolidasi demokrasi.

Pemilihan umum yang demokratis ini dimaksudkan untuk menjamin terjadinya

sirkulasi alamiah para aktor politik dalam kancah demokrasi, sehingga kekuasan

tidak dikungkungi terus menerus oleh kelompok tertentu, melainkan dimunculkan

dari aspirasi masyarakat dan aktor-aktor pemimpin yang baru. Pemilu tahun 2004

ini dilaksanakan dalam dua jenis pemilu sekaligus, yaitu untuk memilih para

wakil rakyat yang duduk di kursi DPR dan DPD (pemilu legistlatif), dan pemilu

untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Melalui pemilu yang

sedemikian terbuka, transparan dan langsung di hadapan rakyat, maka terjadi

Page 16: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

117

tawar menawar yang mestinya berimbang antara rakyat di satu sisi dengan

penguasa di sisi yang lain. Rakyat memlih pemimpinnya dengan dukungan

sekaligus harapan, di pihak lain penguasa mendapatkan kewenangan kekuasaan

melalui egitimasi yang diberikan oleh rakyat.

Rangkaian kegiatan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan

serangkaian dengan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di

DPR dan DPD. Pemilu untuk memilih DPR dan DPD yang diselenggarakan

tanggal 5 April 2004. Tanggal 1-7 Mei 2004 rangkaian Pilpres dimulai dengan

pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden oleh partai politik atau

gabungan partai politik, dan sekaligus dilakukan verifikasi kelayakan calon

presiden/wakil presiden yang hasilnya diumumkan tanggal 19 Mei 2004 untuk

pemilihan presiden tahap I. Kampanye kubu para calon presiden dilakukan

tanggal 1 Juni sampai 1 Juli 2004, dan pemilihannya presiden tahap I

dilaksanakan tanggal 5 Juli 2004 dengan lima pasang calon presiden dan wakil

presiden, yaitu: pasangan 1) Wiranto dan Salahuddin Wahid; 2) Megawati

Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi; 3) Amin Rais dan Siswoyo Yudohusodo; 4)

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – M. Jusuf Kalla (JK); dan 5) Hamzah Haz

dan Agum Gumelar.

Tabel 4.1. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama

No. Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jumlah

1. H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid 26.286.788

2. Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. A. Hasyim Muzadi 31.569.104

3. Prof. Dr. H. Amin Rais dan Dr. Ir. Siswono Yudo Husodo 17.392.931

4. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf kalla 39.838.184

5. Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. 3.569.861

Jumlah Suara Sah 118.656.868

Jumlah Suara tidak Sah 2.636.976

(Data KPU : www.kpu.go.id)

Dari hasil pemilihan presiden tahap I tersebut akhirnya diperoleh 2 pasang

calon yang akan menjadi kandidat dalam pemilihan presiden RI tahap II, yaitu

pasangan SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla) dan pasangan

Page 17: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

118

Mega-Hasyim (Megawati dan Hasyim Muzadi). Kampanye bagi calon presiden

dilakukan tanggal 14-16 September 2004 dan dilanjutkan pemilihan presiden dan

wakil presiden secara langsung tanggal 20 Sepetember 2004. Sesuai dengan hasil

penghitungan suara, akhirnya terpilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan

M. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, dan

merupakan presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh

rakyat Indonesia. Tanggal 20 Oktober 2004 akhirnya Susilo Bambang

Yudhoyono dan M. Jusuf Kala dilantik menjadi Presiden RI dalam sidang MPR.

Tabel 4.2. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua

No. Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jumlah

1. Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. A. Hasyim Muzadi 44.990.704

2. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf kalla 69.266.350

Jumlah Suara Sah 114.257.054

(Data KPU : www.kpu.go.id)

Sebagai gambaran penting bagi analisis media, adalah latar belakang dari

kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut, secara sekilas akan

dipaparkan berikut ini :

B.1. Megawati Soekarnoputri

Ia biasa dipanggil Mega, lahir di Yogyakarta 23 Januari 1947. Ia adalah

anak dari presiden pertama RI yaitu Presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati. Pada

saat pemilu 2004 tersebut, ia menjabat sebagai Presiden RI yang kelima melalui

Sidang Istimewa MPR menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang dicopot

jabatannya oleh MPR, di mana pada saat itu ia menjabat sebagai wakil presiden.

Mega juga menjabat sebagai ketua umum DPP Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan (PDI-P). Dalam karier politiknya, ia dikenal sebagai tokoh yang

selalu mendapat kezaliman Orde Baru, di antaranya hambatan karier dan bahkan

dijegal dari kursi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1993

sebelum akhirnya PDI pecah ada yang tetap mendukung Mega dan ada yang

mendukung Suryadi yang saat itu didukung oleh pemerintah Orde Baru. Bahkan

Page 18: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

119

di tahun 1996 kantor PDI yang saat itu dikuasai kelompoknya diserbu massa PDI

pendukung Suryadi yang diindikasikan kuat bahwa gerakan penyerbuan itu

didukung oleh aparat militer. Peristiwa penyerbuan itu kemudian membawa

dampak kerusuhan besar-besaran di Jakarta tanggal 27 Juli 1996 yang dikenal

sebagai peristiwa “Kudatuli” (kerusuhan dua puluh tujuh juli). Sejak itu Mega

dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru, simbol rakyat

kecil (wong cilik) yang selalu tertindas.

Pada saat pemilu 1999, di mana ia menjadi ketua partai pemenang pemilu

(PDI-P), ia merasa legowo hanya menjadi wakil presiden karena pada saat itu

masih cukup ramai polemik tentang presiden perempuan oleh sebagian ulama.

Dalam pemilu 2004 kembali ia diterpa isu penolakan presiden perempuan oleh

sebagian ulama. Selama menggantikan Gus Dur sebagai presiden, ia juga

dianggap tidak berhasil membawa perbaikan bagi Bagsa Indonesia. Namun hal itu

dibantahnya dengan dalih bahwa ia hanya mendapatkan kesempatan setengah

jalan saja untuk melaksanakan pemerintahan sehingga wajar kalau tidak bisa

maksimal memulihkan kondisi bangsa Indonesia yang terpuruk sejak krisis

moneter 1997. Sedangkan tentang isu penolakan presiden perempuan, ia

menjawabnya dengan menggaet KH. Hasyim Muzadi Ketua Umum Pengurus

Besar Nahdlatul Ulama (NU) sebagai calon wakil presiden, yang menjadi

legitimasi keabsahan dia untuk maju mencalonkan diri menjadi pemimpin

sekaligus membantunya menjawab polemik keagamaan tentang kepemimpinan

perempuan.

B.2. Hasyim Muzadi

KH. Achmad Hasyim Muzadi adalah ketua Umum PBNU 1999 – 2004

kelahiran Tuban 8 Agustus 1943. Ia seorang organisatoris dan berpendidikan dari

jalur pesantren hingga lulus dari IAIN Sunan Ampel di Malang. Kesediaannya

menjadi calon wakil presiden dari Megawati Soekarnoputi telah menimbulkan pro

dan kontra di kalangan NU. Bagi yang pro karena merasa sudah saatnya NU

kembali memiliki kader yang tampil di tampuk kekuasaan RI, di mana peluang

Page 19: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

120

Megawati untuk memenangi pemilihan presiden dipandang cukup besar karena

posisinya yang saat itu masih sebagai presiden. Namun yang kontra memiliki

kekuatiran bahwa kesediaan Hasyim menjadi cawapres adalah awal dari

pengkhianatan terhadap doktrin “kembali ke khittah NU” yang selama ini

dijadikan landasan berpolitik warga NU, terlebih lagi ditakutkan NU akan terlibat

politik praktris dan berfikir pragmatis karena Hasyim saat itu menjabat sebagai

ketua umum PBNU. Tentang hal tersebut, Hasyim berargumen bahwa ia tidak

bermaksud menyeret institusi NU terlibat politik praktis, tetapi siapa saja kader

NU boleh “berurusan” dengan kekuasaan asal atas nama pribadi dan bukan atas

nama lembaga.

B.3. Susilo Bambang Yudhoyono

Lebih dikenal dengan sebutan SBY, lahir di Pacitan Jawa Timur 9

September 1949. Dengan perjalanan kariernya dilalui di militer secara gemilang

dengan pangkat terakhir sebagai Jendral TNI sejak 25 september 2000. Selain itu

ia juga pernah menjabat sebagai Kasospol ABRI tahun 1998, menteri

pertambangan dan energi pada kabinet Abdurrahman Wahid 1999-2000, dan

diangkat sebagai menkopolsoskam 26 Oktober 2000 sampai diberhentikan oleh

presiden Dus Dur tanggal 1 Juni 2001. Pada masa pemerintahan Megawati ia

diangkat sebagai Menko Polkam tahun 2001 tetapi mengundurkan diri tahun

2004.

Atas dorongan beberapa pihak yang menjagokan dirinya untuk maju

dalam pemilihan preseiden, ia mendirikan Partai Demokrat yang dilakukannya

bersamaan dengan ia masih menjabat sebagai Menko Polkam, akibatnya ia

dipandang bersaingan dengan Presiden Megawati, hingga akhirnya ia memilih

untuk mengundurkan diri dari jabatan di kabinet Megawati tersebut Maret 2004.

Tindakannya itu tidak sia-sia, popularitasnya menjadi semakin naik, dan dalam

pemilu legislatif 2004, partai demokrat yang didirikannya, meskipun masih baru

dan bukan cikal bakal dari partai besar yang telah ada ternyata berhasil masuk

lima besar dengan perolehan suara 8.455.225. Peluang ini tidak disia-siakan untuk

Page 20: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

121

segera mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Pilihannya untuk calon wakil

preside jatuh kepada Jusuf Kalla, sorang aktivis Partai Golkar yang telah mundur

dari konvensi Partai Golkar.

Latar belakangnya yang militer juga sedikit dipersoalkan karena bangsa

Indonesai mengalami trauma masa pemerintahan Ode Baru yang dipimpin oleh

militer secara otoriter. Namun itu ditepis oleh SBY dengan argumentasi bahwa

TNI pun telah memulai upaya reformasi ke dalam. Selain itu, juga sosok SBY

sebagai militer yang tidak sangar, bahkan dipandang cukup tampan dan lembut

serta kegemarannya menyanyi membuat masyarakat tidak terlalu mempersoalkan

latar belakangnya sebagai militer.

B.4. Muhammad Jusuf Kalla

Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla lahir di Watampone Sulawesi Selatan 15

Mei 1945, dan berkarier sebagai penguasaha sukses. Pada masa pemerintahan

Abdurrahman Wahid ia diangkat sebagai Mentrei perindustrian dan perdagangan

1999-2000, dan di era presiden Megawati ia diangkat sebagai Menko Kesra tahun

2001-2004.

Atas didikan keluarga yang kuat, Jusuf Kalla memiliki obsesi yang tinggi

menjadi pemimpin. Dalam hal ini, ia bermaksud mewujudkan keinginannya dalam

kepemimpinan nasional dengan mengikuti konvensi Partai Golkar yang akan

memilih calon presiden dari partai berlambang beringin yang merupakan partai

utama pada Orde Baru masa Presiden Soeharto. Konvensi partai Golkar sendiri

sebenarnya dipandang cukup baik dan merupakan terobosan politik yang

demokratis di tubuh partai Golkar. Namun banyak kalangan juga menilai konvensi

Partai Golkar ini hanya akal-akalan saja untuk melupakan masa lalu Golkar. Hal

ini juga semakin nyata dengan ikutnya Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung

dalam ajang konvensi yang dinilai menjadi tidak adil lagi karena posisi strategis

Akbar Tanjung sebagai ketua Umum diperkirakan akan sangat mempengaruhi

jalannya konvensi. Akhirnya beberapa peserta konvensi mengundurkan diri, di

antaranya adalah tokoh cendikiawan Muslim Nurcholis Madjid, dan Jusuf Kalla.

Page 21: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

122

Konvensi partai golkar sendiri kemudian memang tidak bisa dikendalikan sebagai

“bola liar”, hingga akhirnya yang memenangkan konvensi adalah Wiranto.

Sementara itu, Jusuf Kalla dipilih oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon

wakil presiden pasangannya, dipandang semakin strategis ketika pasangan

Wiranto dengan Shalahuddin Wahid gagal masuk di pemilihan presiden putaran

kedua, sehingga diperkirakan suara massa pendukung Partai Golkar yang cukup

besar, bahkan memenangi pemilu legislatif April 2004, akan memberi dukungan

untuk SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla).

C. Analisis Wacana Kritis : Kerangka kerja, Keterbatasan dan Obyek

Analisis

Peristiwa pemilihan umum (Pemilu) adalah peristiwa besar dan sangat

menentukan masa depan bangsa Indonesia. Terlebih pemilu tahun 2004 adalah

pemilihan umum untuk memilih presiden Indonesia secara langsung untuk yang

kali pertama. Rakyat memiliki kesempatan untuk turut menentukan masa depan

pemerintahan negeri ini dengan memilih secara langsung presiden sebagai

pemimpin nasional. Oleh karena itu peristiwa ini sangat penting dan memiliki

dampak yang besar bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika media

massa memberitakan peristiwa ini dalam porsi yang cukup besar, bahkan memiliki

rubrikasi khusus tentang pemilihan presiden ini.

Event pemilihan presiden ini dapat diposisikan sebagai suatu arena sosial,

di mana semua elemen dalam masyarakat memiliki kepentingannya sendiri-sendiri

dalam arena tersebut. Pada akhirnya semua pihak secara bersama-sama

membangun dan membentuk realitas sosial sesuai dengan kepentingan, orientasi

dan cara pandangnya sendiri. Media massa juga termasuk elemen masyarakat

yang turut bermain dalam arena sosial ini dengan membentuk wacana-wacana

sosial-politik terhadap peristiwa yang terjadi. Persinggungan-persinggungan

dalam arena sosial ini, yang dilandasi dengan adanya kebebasan, meniscayakan

pembahasan etika. Media massa termasuk di dalamnya media cetak dengan

kepentingannya sendiri, bersentuhan dengan kepentingan pelaku politik untuk

Page 22: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

123

membentuk opini publik, serta kepentingan masyarakat luas untuk mendapatkan

informasi secara akurat, tepat, dan lengkap. Arena sosial atau medan sosial

melibatkan semua elemen tersebut dalam problematika moral.

C.1. Media Massa Cetak dalam Paradigma Kritis

Media massa dalam paradigma pluralis dipandang sebagai entitas yang

otonom, bebas nilai, obyektif dan netral. Ia memiliki fungsinya dalam konteks

sosial sebagai wadah yang diisi dengan fakta-fakta dan informasi-informasi

yang apa adanya, serta menghasilkan gambaran yang realitas yang benar-benar

terjadi di lapangan. (Eriyanto, 2003 : 31) Namun paradigma ini dipandang oleh

peneliti sosial dewasa ini a-historis, oleh karena senyatanya tidak otonomi dan

kebebasan yang mutlak dalam konteks sosial. Struktur-struktur dalam masyarakat

tidak sekedar berperan apa adanya ia berfungsi dalam masyarakat, tetapi ia pun

memiliki kepentingannya sendiri dalam masyarakat sekaligus ia hadir dengan

fungsinya tersebut dalam keterpengaruhan kepentingan-kepentingan struktur

sosial yang lain. Itu sebabnya menjadi tidak mungkin terjadi sebuah media massa

sungguh-sungguh otonom, netral dan benar-benar obyektif.

Pandangan demikian itu yang dikemukakan dalam paradigma kritis.

Paradigma ini banyak diilhami oleh pemikiran Marx, yang selalu bersikap curiga

dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. (Eriyanto, 2003 : 24)

Dalam pandangan kritis, ada kekuatan-kekuatan yang berbeda yang mengontrol

proses komunikasi, karena itu media bukanlah entitas yang netral tetapi bisa

dikuasai oleh kelompok dominan. Pada akhirnya pemberitaan pun terdistorsi oleh

kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga pemberitaan bukan lagi realitas yang

sesungguhnya melainkan realitas bentukan media. (Eriyanto, 2003 : 32-33)

Pemberitaan kemudian menjadi akumulasi pengaruh dari kekuatan-

kekuatan yang melingkupinya tersebut, yang digambarkan oleh McQuail (1989 :

75) dalam jejaring media-sosial terdiri dari : society/nation, media owner,

subordinat class, media audience, voices in society, mass communacators, dan

dominant class. Selain itu, ada faktor internal dan eksternal media massa yang

Page 23: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

124

mempengaruhi proses produksi suatu berita, sebagaimana dikutip Sudibyo

(2001 : 7-13) dari Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese. Faktor internal

terdiri dari : Pertama, faktor Individual; berhubungan dengan latar belakang

profesional dari pengelola media yakni jenis kelamin, pendidikan, agama, umur,

pengalaman dan sebagainya sedikit banyak berpengaruh terhadap berita yang

diproduksinya. Kedua, level rutinitas media (media routine); berhubungan

dengan mekanisme dan proses penentuan yang biasanya pihak media telah

memiliki standar dalam menentukan jenis berita, angel, nilai berita, dan

sebagainya, yang sangat berhubungan dengan mekanisme penulisan berita.

Ketiga, level organisasi; berhubungan dengan struktur organisasi di mana dalam

struktur-struktur tersebut terdiri dari bagian dan orang-orang yang memiliki

kepentingan berbeda, seperti bidang redaksi, iklan, pemasaran dan sebagainya

sehingga meniscayakan terjadinya tarik-ulur kepentingan dalam suatu

pemberitaan.

Sedangkan faktor eksternal atau ekstramedia meliputi, pertama, sumber

berita. Sumber berita bukanlah pihak yang netral yang memberikan informasi

apa adanya, tetapi ia juga pihak yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi

media massa guna membangun opini publik yang sesuai dengan kepentingannya

tersebut, misalnya membangun suatu citra tertentu. Kedua, sumber penghasilan

media, bisa berupa iklan ataupun pelanggan. Media massa untuk bisa survive

harus memiliki sumber penghasilan guna menutup biaya produksi, karena itu tak

jarang media massa berkompromi dengan sumber-sumber penghasilan ini.

Misalnya menghindari pemberitaan kasus yang melibatkan perusahaan yang

memasang iklan besar, demikian juga pemilihan sudut pandang berita

menyesuaikan kelompok khalayak agar medianya laku lebih banyak. Ketiga,

pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, sistem politik dan sosial

sangat berpengaruh terhadap kerja media, misalnya dalam sistem negara otoriter,

maka pemberitaan yang menyinggung pihak penguasa biasanya akan dieliminir,

sementara dalam sistem negara yang memberi kebebasan terhadap media,

biasanya lingkungan bisnislah yang lebih berpengaruh, misalnya proses

pembentukan pasar iklan dan khalayak. Keempat, level ideologi yakni kerangka

Page 24: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

125

berfikir tertentu yang dipergunakan oleh media massa dalam memandang

realitas dan cara menghadapinya. Level ini berhubungan dengan konsepsi dan

cara pelaku media menafsirkan realitas yang akan diproduksi menjadi berita.

Pendekatan kritis ini akan dipergunakan untuk melihat etika pemberitaan

media cetak mengenai pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan presiden

2004. Cara pandang kritis ini memungkinkan untuk melihat pemberitaan sebagai

suatu perilaku media massa yang kongkrit sehingga semestinya dapat dikenai

penilaian moral atau etika. Perilaku media cetak dalam pemberitaannya bisa

bernilai baik dan buruk berdasarkan standar norma etika yang melingkupi

perikehidupan media cetak. Sesuai dengan paradigma kritis, perilaku media cetak

–yakni berita— sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan internal maupun

ekternal media. Media cetak dapat dipandang secara kritis keterpihakannya pada

kelompok kepentingan tertentu, ketidaknetralannya dalam penafsiran realitas

sosial, dan implementasi ideologinya sendiri dalam memproduksi berita. Namun

sebaliknya juga, melalui paradigama kritis ini pula kualitas moral atau etika media

massa dapat dilihat, yakni sejauh mana media berhasil mempertahankan etika

jurnalisme dalam tarik ulur dengan kepentingan-kepentingan di luar

tanggungjawabnya pada masyarakat.

C.2. Kerangka Kerja dan Keterbatasannya

Untuk operasionalisasi paradigma kritis ini, maka dilakukan suatu analisis

melalui teknik analisis isi (content analysis) yang dikembangkan dalam analisis

wacana (discourse analysis). Analisis wacana ini meskpun termasuk analisis teks

media, tetapi pada dasarnya berbeda dengan content analysis (analisis isi) yang

lebih menekankan pada ciri-ciri sistematis, obyektif dan kuantitatif yang

membawa konsekuansi pada penggunaan metodologi kuantitatif deduktif-

nomotetic, sehingga dipandang terlalu menekankan pada pesan yang tampak

(manifest contenst), kurang memperhatikan konteks dan mengabaikan makna

simbolik pesan (simbolic meaning of massage). Oleh karena itu analisis dalam

penelitian ini pada dasarnya adalah Analisis wacana (discourse analysis) untuk

Page 25: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

126

mencoba menutup kekurangan analisis isi tersebut, sehingga analisis ini sekaligus

juga mengamati tanda-tanda simbol pesan dan memusatkan pada bagaimana

bahasa dipergunakan untuk memerankan kegiatan, pandangan dan

identitas.(Hamad, 2004 : 33-34) Meskipun demikian, teknik analisis isi tetap

dipergunakan untuk mengurai secara kuantitatif komponen tertentu dalam

kerangka kerja analisis wacana yang akan dijelaskan kemudian.

Analisis wacana ini memiliki ragam pendekatan dan metode, dan untuk

kepentingan penelitian ini dipergunakan analisis wacana dengan pendekatan kritis

melalui metode yang disusun oleh Norman Fairlough. Tentu saja metode analisis

dari Fairlough tidak dipergunakan apa adanya, melainkan dikembangkan sesuai

dengan kebutuhan analisis penelitian ini, yaitu melihat etika pemberitaan

mengenai pergantian kepemimpinan nasional. Pada dasarnya analisis Fairlough

bermaksud menjawab bagaimana hubungan teks yang mikro dengan konteks

masyarakat yang makro, dalam hal ini ia melihat bahasa sebagai praktik

kekuasaan, untuk itu ia membagi analisisnya dalam tiga dimensi, yaitu a) teks, b)

discourse practice, dan c) sociocultural practice. (Eriyanto, 2003 : 285-286)

(Hamad, 2004 : 35)

Bagan 4.2. Analisis Fairclough

(Eriyanto, 2003 : 288)

Dalam metode Fairclough, teks bermakna teks (naskah) itu sendiri yang

memberi mendeskripsikan suatu obyek, sekaligus hubungan antarobyek tersebut

didefinisikan. Teks ini memiliki tiga unsur yang dapat dilihat dan dianalisis,

SOCIOCULTURAL PRACTICE

DISCOURSE PRACTICE

TEKS

Konsumsi

Produksi Teks

Teks

Page 26: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

127

yaitu: representasi, relasi dan identitas. Dalam representasi untuk yang hendak

dilihat adalah bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau

apapun yang ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Relasi adalah bagaimana

hubungan antara wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan

digambarkan dalam teks. Sedangkan identitas memuat bagiamana identitas

wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam

teks. (Eriyanto, 2003 : 289)

Discourse Practice memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan

konsumsi teks. Teks di bentuk melalui suatu praktek diskursus tertentu, yang

akan menghadirkan produksi teks tertentu pula. Proses produksi teks dalam media

melibatkan praktek diskursus yang rumit dan kompleks, yang melibatkan

hubungan produksi teks dari media dan konsumsi teks dari khalayak. Discourse

practice ini dapat ditelusuri dari sisi individu wartawan itu sendiri, hubungan

wartawan dengan struktur dalam media, dan dari praktek kerja atau rutinitas kerja

produksi berita. Ketiga hal ini biasanya akan saling terkait dalam proses produksi

berita oleh media massa. (Eriyanto, 2003 : 317)

Sedangkan analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa

konteks sosial yang berada di luar media turut mempengaruhi bagaimana wacana

yang muncul di media massa. Newsroom bukanlah suatu ruang hampa yang steril,

melainkan sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Sociocultural ini

memang tidak langsung berhubungan dengan proses produksi berita, tetapi ia

menentukan bagaimana obyek peristiwa diinterpretasikan, dan teks berita

diproduksi. Menurut Fairclough, sociocultural ini tidak langsung berhubungan

dengan produksi teks, tetapi dimediasi oleh discourse practice di antaranya dalam

bentuk ideologi yang berkembang dalam newsroom, dan kecenderungan khalayak

untuk menerima atau menolak ideologi dari newsroom tersebut. Sociocultural ini

meliputi tiga level yaitu : pertama, level situasional yang menunjuk situasi tertentu

atau suasana mikro suatu peristiwa tertentu; kedua, level institusional atau

pengaruh dari institusi organisasi baik dalam maupun di luar media misalnya

pemerintah, institusi politik, institusi ekonomi dan sebagainya; dan ketiga, level

Page 27: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

128

sosial yang melihat pada bidang makro sosial, seperti sistem sosial, sistem politik,

ekonomi dan sistem budaya masyarakat secara umum. (Eriyanto, 2003 : 320-323)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian menggunakan metode

Fairclough yang disesuaikan dengan maksud penelitian ini. Metode Fairclough

dalam penelitian ini diberlakukan dengan tidak konsisten tetapi dengan

penyesuaian-penyesuaian dengan pertimbangan bahwa discourse analysis (DA)

atau analisis wacana pada umumnya ditujukan untuk membongkar wacana yang

dibangun oleh teks dengan pendekatan tertentu, salah satunya adalah pendekatan

kritis dalam critical discourse analysis (CDA). Sementara penelitian ini tidak

difokuskan pada pembongkaran wacana dari produksi teks, melainkan melihat

teks sebagai manisfestasi perilaku media yang cukup relevan dikenai penilaian

moral atau etika. Namun demikian kerangka Fairclough yang meliputi analisis

mikro (teks), analisis intermedia (tindakan pelaku media), dan analisis makro

(sosiokultural) tetap akan dipergunakan.

Pada penelitian ini, level analisis mikro akan mengkaji teks dengan

menggunakan standar media performance yang dikemukakan oleh McQuail

(1992 : 96), yaitu pada dimensi faktualitas dan imparsialitas. Dimensi faktualitas

meliputi kebenaran (factualness, accuracy, completeness, informativeness) dan

relevansi (normative theory, jurnalistic, audience, real world). Sedangkan

dimensi imparsialitas akan meliputi balance criteria (equal proportional access,

even handed evaluation) dan neutral presentation (non-evaluate dan non-

sensational). Dari dimensi-dimensi tersebut akan dianalisis dengan teknik content

analysis untuk mendapatkan data kuantitaif presentase masing-masing dimensi,

sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan inferensi untuk pijakan melakukan

analisis di tahap berikutnya. Untuk kegiatan pada tahap ini pengolahan data

dibantu dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences).

Dengan melihat level mikro atau teks tersebut dengan perspektif media

performance McQuail, maka akan dapat dianalisis bagaimana cara kerja pelaku

media dalam produksi teks berita tersebut yakni level analisis intermedia.

Sedangkan level makro atau sosiokultural akan mencoba membandingkan

perilaku media dari level intermedia dengan konteks moral atau etika yang

Page 28: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

129

melingkupi kegiatan media baik dari sisi jurnalisme maupun dari etika sosial

masyarakat. Kerja analisis ini juga akan dikombinasikan dengan konsep-konsep

etika jurnalistik maupun etika pemberitaan sebagaimana dalam kerangka teori di

bab awal penelitian ini.

Tidak dipungkiri dalam penerapan kerangka kerja demikian ini membuka

celah-celah kelemahan. Dalam kerangka analisis Fairclough, analisis yang

dilakukan meliputi metode critical linguistic, depth interview, dan literatur

pustaka. (Eriyanto, 2003 : 326) Level teks dianalisis dengan metode critical

linguistics, hal ini dimungkinkan untuk teks yang tertentu atau terbatas.

Sedangkan dalam penelitian ini metode yang dipergunakan lebih ke arah

“dimensi” teks pemberitaan dengan menerapkan standar media performance.

Dengan metode ini teks tidak dianalisis secara detail aspek-aspek penggunaan

bahasa sebagai pembentuk wacana, melainkan akan dianalisis secara global

kesesuaian struktur teks dengan struktur media performance yang diidealkan

menurut McQuail. Untuk teks yang dianalisis dalam jumlah yang relatif besar,

critical linguistics menjadi kurang efisien.

Metode Fairclough untuk level discourse practice yang dipergunakan

adalah wawancara mendalam, tetapi dalam analisis penelitian ini tidak dilakukan

wawancara dengan pelaku media, tetapi “dialog” tentang perilaku pelaku yang

tersirat dalam teks yang ini diinterpretasikan melalui hasil analisis pada level teks

dan dibantu dengan penelusuran pustaka sebagaimana dalam pengenalan media

yang diteliti dalam subbab terdahulu. Keterbatasan dari metode ini adalah analisis

tidak bisa menyentuh sikap media yang laten atau tidak nampak secara langsung,

oleh karena dalam kerangka kerja ini tidak dilakukan wawancara terhadap pelaku

media. Sedangkan untuk level sociocultural practice, metode yang dipergunakan

sama dengan Fairclough yaitu sumber-sumber pustaka.

Tabel 4.3. Kerangka Kerja Analisis Penelitian Etika Pemberitaan

Level Tingkatan Metode

Analisis mikro Teks “Dimensi” teks pemberitaan

Analisis meso / intermedia Discourse practice Dialog dengan teks “perilaku tersirat”

Analisis makro Sosiocultural practice Penelusuran pustaka tentang sistem etika

Page 29: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

130

C.3. Obyek Analisis Teks Pemberitaan

Kerangka kerja dan analisis sebagaimana dijelaskan di atas, akan

dipergunakan untuk menganalisis teks-teks pemberitaan politik yaitu mengenai

pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan presiden tahun 2004 yang

dimuat dalam media cetak nasional, yaitu Harian Kompas, Jawa Pos, Republika

dan Media Indonesia. Berita politik yang dimaksud adalah berita-berita tentang

politik dengan tema yang mencakup tentang peristiwa pemilihan presiden. Sesuai

dengan ciri khas berita yang membedakan dengan tulisan opini, maka berita dini

ditulis oleh wartawan dengan berlandaskan pada fakta peristiwa, bukan opini yang

ditulis oleh perseorangan maupun tulisan yang berisi wawancara langsung.

Dari keempat media cetak tersebut obyek analisis difokuskan pada

pemberitaan yang dimuat selama bulan September dan Oktober 2004, di mana

pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu “kritis” dalam pergantian

kepemimpinan nasional. Dalam dua bulan itu, proses politik nasional yang sangat

menentukan masa depan bangsa Indonesia dilakukan tahapan-tahapannya, yang

meliputi kampanye tahap II, pemilihan presiden dan wakil presiden tahap II,

penetapan dan pengumuman hasil pemilihan, dan pelantikan presiden terpilih.

Jumlah keseluruhan teks pemberitaan yang dianalisis dari keempat media cetak

tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 4.4. Jumlah Berita di Media Cetak yang Dianalisis

Edisi bulan & tahun Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

September 2004 144 46 102 104

Oktober 2004 102 56 74 135

Total 246 102 176 239

Media cetak nasional ini mengangkat pemberitaan seputar pilpres langsung

yang meliputi tema-tema yang pada umumnya sesuai dengan tahapan dalam

pemilihan langsung tahap II pada bulan September dan Oktober 2004, seperti

terlihat dalam tabel berikut :

Page 30: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

131

Tabel 4.5. Tema-tema Pemberitaan Seputar Pilpres 2004

Tema Berita (Jawaban dapat lebih

dari satu)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

@ % @ % @ % @ %

Kandidat 43 17.5 21 20.6 53 30 48 20

Partai Politik 21 8.5 7 6.8 19 10.8 43 17.9

Kampanye 37 15 16 15.7 8 4.5 12 5

Pemilihan Umum 34 13.8 10 9.8 6 3.5 24 10

Kemenangan SBY-JK 53 21.5 19 18.6 49 27.8 26 10.8

Serahterima Kekuasaan/pelantikan

21 8.5 7 6.8 12 6.8 17 7.1

Kabinet SBY-JK 20 8 17 16.6 21 11.9 45 18.8

Seratus Hari Pemerintahan SBY-JK

16 6.5 8 7.8 9 5.1 10 4.1

Lain-lain 17 6.9 8 7.8 7 3.9 25 10.4

D. Diskripsi Etika Pemberitaan Pilpres 2004

D.1. Analisis pada Tingkat Teks

Pelibat wacana dalam pemberitaan ditampilkan secara beragam dari unsur-

unsur yang mewakili pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembentukan

opini publik. Keragaman pelibat wacana ini penting dalam memberi perspektif

yang lebih luas dan beragam tentang tema pemberitaan, sekaligus menambah nilai

informasi bagi khalayak pembaca. Perbandingan pelibat wacana dalam

pemberitaan politik pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan presiden

2004 dalam media massa dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut:

Tabel 4.6. Pelibat Wacana Sebagai Sumber Berita

Sumber Berita (Jawaban Lebih dari satu)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Capres-Cawapres 90 42 99 59 (36.6%) (41.2%) (56.3%) (24.7%) Petinggi Partai 48 21 44 88 (19.5%) (20.6%) (25%) (36.8%) Pengamat Politik 72 11 18 29 (29.3%) (10.8%) (10.3%) (12.1%) Aparatur Pemerintah 80 51 48 68 (32.5%) (50%) (27.3%) (28.5%) Masyarakat Umum 77 30 68 48 (31.3%) (29.4%) (38.6%) (20.1%)

Page 31: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

132

Tabel 4.7. Pelibat Wacana-Capres sebagai Fokus Berita

Capres sebagai Fokus Berita

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

SBY-JK 70 35 73 65 (28.5%) (34.3%) (41.5%) (27.2%) Mega-Hasyim 51 19 47 41 (20.7%) (18.6%) (26.7%) (17.2%)

Tabel 4.8. Pelibat Wacana dalam Pemunculan Partai Politik

Partai Politik dalam Berita (Jawaban dapat lebih dari satu)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

PDI-P 22 6 14 25 (8.9%) (5.9%) (7.9%) (10.4%) Golkar 16 3 7 18 (6.5%) (2.9%) (3.9%) (7.5%) PPP 13 2 7 7 (5.3%) (1.9%) (3.9%) (2.9%) PKB 7 7 7 17 (2.8%) (2.8%) (3.9%) (7.1%) PAN 1 6 4 6 (0.4%) (5.8%) (2. 3%) (2.5%) PKS 6 3 8 14 (2.4%) (2.9%) (4.5%) (5.8%) Partai Demokrat 3 1 1 16 (1.2%) (0.9%) (0.6%) (6.7%) PBB 5 3 7 1 (2%) (2.9%) (3.9%) (0.4%) Lain-lain 2 3 3 6 (0.8%) (2.9%) (1.7%) (2.5%)

Tabel 4.9. Pelibat Wacana dalam Pemunculan Lembaga Negara / ormas

Lembaga Negara/Ormas (jawaban dapat lebih dari satu)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Pemerintah 46 28 31 40 (18.7%) (27.5%) (17.6%) (16.7%) DPR/MPR 4 10 7 10 (1.6%) (9.8%) (3.9%) (4.2%) KPU 35 10 8 23 (14.2%) (9.8%) (4.5%) (9.6%) MA/Mahkamah Konstitusi 7 0 5 1 (2.8%) (0%) (2.85%) (0.4%) Ormas, LSM, dan lainnya 17 11 8 36 (6.9%) (4.5%) (4.5%) (15.1%)

Page 32: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

133

Berita harus berlandaskan pada fakta dan kebenaran. Selama tidak ada

bantahan maka pemberitaan itu “dianggap” benar. Namun fakta yang

bersinggungan dengan satu pihak secara etika dilakukan proses check-recheck

atau konfirmasi sebagai bentuk keadilan untuk memberi kesempatan pihak

tersebut menanggapi suatu fakta tertentu yang menyangkut dirinya. Proses ini

telah dilakukan opleh media cetak nasional meskipun ada gradasi dari media cetak

yang diteliti, yakni paling tinggi Jawa pos (95%), dilanjutkan Media Indonesia

(94.3%), Republika (88.2%) dan Kompas (78.49%).

Tabel 4.10. Dimensi Faktualitas melalui Konfirmasi

Konfirmasi yang Bersangkutan Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Ya 193 90 166 227 (78.49%) (88.2%) (94.3%) (95%) Tidak 53 12 10 12 (21.59%) (11.7%) (5.7%) (5%) Total 246 102 176 239

Dalam hal jenis fakta yang menjadi dasar pemberitaan politik, antara fakta

empiris dan sosiologis relatif berimbang. Fakta empiris yang dimaksud adalah

berita tersebut merujuk kepada fakta peristiwa (secara mikro) tertentu, sedangkan

fakta sosiologis merujuk pada fakta kondisi sosiologis (secara makro) yang

berkembang dalam masyarakat seperti sistem politik, norma demokrasi, dan

sistem sosial-budaya. Fakta psikologis yang merujuk pada aspek psikologis

seperti perasaan senang-sedih, suka-tidak suka, dan sebagainya yang sangat

memungkinkan munculnya bias dalam pemberitaan. Jenis Fakta ini cukup

penting untuk melihat aspek relevansi pemberitaan dengan sosiokultural

masyarakat sehingga memang layak untuk diberitakan.

Dalam media cetak nasional sudah terlihat upaya untuk menampilkan

informasi yang berbasis pada fakta empiris yang biasanya peristiwa aktual,

sekaligus juga fakta sosiologis yang memberi kedalaman pemberitaan dari sisi

substansi yang penting bagi masyarakat, sehingga tidak terjebak pada persoalan

dipermukaan.

Page 33: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

134

Tabel 4.11. Dimensi Faktualitas Merujuk pada Jenis Fakta

Merujuk pada fakta (Jawaban dapat lebih dari satu)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Empiris 159 91 152 231 (64.6%) (89.2%) (86.4%) (96.6%) Sosiologis 108 24 34 5 (43.9%) (23.5%) (19.3%) (2.1%) Psikologis 8 5 13 3 (3.3%) (4.9%) (7.4%) (1. 3%)

Demikian juga relevansi dengan sisi jurnalistik dilihat dari aspek-aspek

dari fakta-fakta tersebut yang mengandung nilai berita, semakin banyak

mengandung nilai berita, semakin baik dan semakin relevan untuk diberitakan.

Namun jenis nilai berita yang dipilih juga memiliki konsekuensi terhadap

kedalaman informasi pemberitaan. Pilihan aktualitas sudah sewajarnya menjadi

pilihan pertama, tetapi pilihan berikutnya menjadi berbeda, yakni Kompas,

republika dan Media Indonesia memilih dengan urutan yang sama setelah

aktualitas adalah signifikasi, tokoh, dampak baru kemudian proksimitas dan

human interest.

Jawa Pos setelah Aktualitas lebih memilih tokoh, proksimitas baru

kemudian signifikansi, konsekuensi dan human interest. Pilihan Jawa Pos dapat

dilihat lebih berorientasi pada pasar pembacanya, karena ketiga hal pertama yang

dipilih pada umumnya langsung berhubugan dengan pangsa pasarnya, misalnya

wilayah tertentu, atau massa pendukung tokoh tertentu. Sedangkan pilihan

signifikansi dan konsekuensi memiliki aspek kedalaman substansi yang

sebenarnya penting bagi masyarakat pembaca, karena melengkapi latar belakang

sosiologis dari suatu peristiwa. Pemilihan nilai-nilai berita ini dapat dicermati

dalam tabel berikut :

Page 34: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

135

Tabel 4.12. Dimensi Faktualitas dari aspek Relevansi dengan Nilai Berita

Relevansi Nilai berita (Jawaban dapat lebih dari satu)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Aktualitas 198 99 165 235 (80.5%) (97.1%) (93.7%) (98.3%) Signifikansi bagi khalayak 170 65 139 57 (69.1%) (63.7%) (78.9%) (23.8%) Konsukensi/dampak besar bagi khlayak 66 34 70 25 (26.8%) (33%) (39.7%) (10.5%) Proksimitas dengan khalayak 64 13 56 63 (26%) (12.7%) (31.8%) (26.4%) Human interest/sentuhan psikologis 17 3 12 8 (6.9%) (2.9%) (6.8%) (3.3%) Tokoh/Publik figur 120 63 124 155 (48.8%) (61.7%) (70.4%) (64.8%)

Aspek obyektitas media juga diukur dengan aspek imparsialitas

(impartiality) berita terhadap pihak-pihak tertentu. Aspek impartialitas dalam

presentasi berita ditunjukkan dengan ada/tidaknya penilaian subyektif wartawan

yang mendukung atau menjatuhkan pihak tertentu (non-evaluatif), serta

ada/tidaknya upaya wartawan untuk melakukan dramatisasi (non-sensasional).

Dari dua hal ini, pemberitaan media massa telah menunjukkan sikap presentasi

yang positif yakni di atas 90%, kecuali Media Indonesia yang dalam sikap non-

sensasional masih di bawah media cetak yang lain.

Tabel 4.13. Dimensi Imparsialitas Secara Non-Evaluatif

Non-evaluatif/netral (Tidak mendukung / Menjatuhkan)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Ya 240 95 171 229 (97.5%) (93.1%) (97.2%) (95.8%) Tidak 6 7 5 10 (2.4%) (6.8%) (2.8%) (4.2%) Total 246 102 176 239

Tabel 4.14. Dimensi Imparsialitas Secara Non-Sensasional

Non-Sensasional (Tidak melakukan dramatisasi)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Ya 230 95 145 216 (93.5%) (93.1%) (82.4%) (90.4%) Tidak 16 7 31 23 (6.5%) (6.9%) (17.6%) (9.6%) Total 246 102 176 239

Page 35: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

136

Selain dari sisi presentasi, imparsialitas juga ditinjau dari adanya upaya

media massa untuk memberi akses bagi semua pihak untuk terlibat dalam isi

pemberitaan. Pihak SBY-JK maupun Mega-Hasyim harus mendapat kesempatan

yang sama untuk diperhatikan oleh media secara berimbang, oleh karena itu dari

sisi jumlah (kuantitas) antar kedua pihak ini juga semestinya berimbang, termasuk

juga keseimbangan kualitas sumber berita harus setara atau mendekati setara.

Pada umumnya pemberitaan sudah menampilkan pihak-pihak terkait secara cover

both side, tetapi secara kuantitas dan kualitas cenderung masih belum balance

atau berimbang, yakni hanya berkisar antara 50%-80% dari pemberitaan.

Tabel 4.15. Dimensi Imparsialitas secara Cover Both Side

Cover Both Side (Akses Bagi Semua Pihak)

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Ya 168 81 126 151 (68.2%) (79.4%) (71.6%) (63.2%) Tidak 78 21 50 88 (31.8%) (20.6%) (28.4%) (36.8%) Total 246 102 176 239

Tabel 4.16. Dimensi Imparsialitas Aspek Balance Secara Kuantitas

Keseimbangan Kuantitas Antar Sumber Berita

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Ya 142 71 101 121 (57.7%) (69.6%) (57. 4%) (50.6%) Tidak 104 31 75 118 (42.3%) (30.4%) (42.6%) 49.4%) Total 246 102 176 239

Tabel 4.17. Dimensi Imparsialitas Aspek Balance Secara Kuantitas

Keseimbangan Kualitas Antar Sumber Berita

Kompas Republika Media Indonesia

Jawa Pos

Ya 147 75 120 130 (59.7%) (73.5%) (68.2%) (54.4%) Tidak 99 27 56 109 (40.2%) (26.5%) (31.8%) (45.6%) Total 246 102 176 239

Page 36: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

137

Berita berlandaskan pada fakta, oleh karena itu harus menghindari

subyektivitas wartawan. Dalam pemberitaan wartawan harus menghilangkan

unsur subyektivitas tersebut dengan tidak memasukkan opini-opini pribadi ke

dalam pemberitaan yang dapat menyebabkan munculnya bias berita. Dari dimensi

imparsialitas, media massa yang diteliti ini pada umumnya telah bersikap non-

opinion, yakni di atas 90% pemberitaannya sudah memenuhi standar ini,

meskipun tentu saja masih menunjukkan adanya sikap opini.

Tabel 4.18. Dimensi Imparsialitas aspek non-opini

Tidak Ada Opini Pribadi Wartawan Kompas Republika Media

Indonesia Jawa Pos

Ya 239 93 173 217 (97.2%) (91.2%) (98.3%) (90.8%) Tidak 7 9 3 22 (2.8%) (8.8%) (1.7%) (9.2%) Total 246 102 176 239

Salah satu tanggungjawab normatif media massa adalah kontrol sosial,

oleh sebab itu suatu pemberitaan mestinya memberikan kritik secara konstruktif

bagi kemajuan masyarakat maupun bagi pihak-pihak yang terkait. Pers bukanlah

alat pasif dalam hal kritik, melainkan aktif untuk membangkitkan dan

mengumpulkan kritik konstruktif dalam masyarakat. Pers dapat berkesempatan

melakukan kritik tanpa identifikasi sebagai pengritik langsung, tetapi

memanfaatkan fakta opini dari narasumber. Namun pada umumnya pemberitaan

kurang menunjukkan adanya kritik konstruktif, kebanyakan fakta opini yang

ditampilkan hanya berkisar pada komentar atas peristiwa empirik, masih sedikit

upaya media massa dalam menggali kritik yang konstruktif bagi masyarakat

sendiri maupun bagi proses politik di Indonesia.

Tabel 4.19. Kontrol Sosial dalam Pemberitaan

Terdapat kritik konstruktif Kompas Republika Media

Indonesia Jawa Pos

Ya 40 30 12 46 (16.3%) (29.4%) (6.8%) (19.2%) Tidak 206 72 164 193 (83.7%) (70.6%) (93.2%) (80.7%) Total 246 102 176 239

Page 37: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

138

Pada level teks ini dapat dicermati konstruksi etika pemberitaan politik

dari masing-masing media cetak. etika pemberitaan dibangun melalui suatu

praktek kerja yang hasilnya terlihat dalam pemberitaan. Dalam uraian analisis

level teks ini menunjukkan adanya gradasi kualitas pemberitaan, di mana keadaan

ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti proses produksi dalam ruang redaksi dan

faktor ektramedia, masyarakat sistem politik, budaya dan sebagainya. Pemberitaan

menjadi gambaran bagaimana nilai-nilai etika diterapkan oleh media cetak.

D.2. Analisis pada Tingkat Discourse Practice

Pada tingkat discourse practice ini akan dilihat bagaimana pelaku media

melakukan proses produksi pemberitaan. Media cetak secara normatif memiliki

tanggungjawab menjadi sarana pemenuhan hak masyarakat, yaitu hak untuk tahu

dan hak mendapatkan informasi. Peristiwa pemilihan presiden secara langsung

merupakan peristiwa besar yang melibatkan semua masyarakat Indonesia berupa

partisipasi politik yang sangat penting bagi masa depan bangsa Indonesia.

Informasi yang akurat, dan lengkap dari banyak sisi menjadi sangat penting bagi

masyarakat untuk menjadi bahan pertimbangan baik bentuk, sikap dan keyakinan

politik, khususnya untuk melakukan pemilihan presiden. Oleh karena itu media

massa mengangkat pemberitaan-pemberitaan seputar pemilihan presiden ini harus

akurat dan lengkap.

Pemberitaan politik tentang pergantian kepemimpinan nasional atau

pemilihan presiden ini telah dilakukan oleh media cetak secara umum telah

berupaya memenuhi hak informasi bagi masyarakat tersebut. Hal ini terlihat dari

tema-tema yang diangkat cukup beragam sesuai dengan peristiwa yang aktual dan

empirik. Demikian juga dengan keragaman pelibat wacana, memungkinkan

wacana yang dikembangkan oleh media di masyarakat juga menjadi beragam

sehingga masyarakat dapat melakukan proses pemilihan informasi dan

menentukan sikap politiknya.

Page 38: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

139

Beragamnya narasumber juga menunjukkan adanya kebebasan secara

politik bagi media massa untuk melakukan pemberitaan. Di mana hal ini cukup

berbeda dibandingkan pada situasi negara dalam sistem otoriter yang sumber

informasi biasanya didominasi oleh pihak pemerintah atau kekuasaan. Media

cetak nasional secara leluasa dapat mengambil narasumber di luar pemerintah dan

kekuasaan, seperti pengamat politik dan masyarakat umum. Wacana yang

dikembangkan pada akhirnya bukan wacana satu arah dari pihak pemerintah saja

tetapi dari berbagai pihak, yang memberi kesempatan bagi masyarakat untuk

mempertimbangkan wacana yang dipandang paling sesuai dengan

kepentingannya. Kebebasan media massa dalam pemberitaan ini berdampak

secara postif bagi upaya demokratisasi dan bagi kepentingan masyarakat.

Pelaku media cetak, terutama wartawan dalam melakukan proses

pemberitaan harus bersikap dan bertindak secara obyektif. Nilai obyektivitas ini

semestinya menjadi standar kerja media massa sehingga pemberitaannya memiliki

performen yang ideal. Sesuai dengan standar media performance McQuail,

obyektivitas ini meliputi dua dimensi yaitu dimensi faktualitas dan imparsialitas.

Dari pemberitaan yang diteliti ini, media massa relatif mengindahkan standar ini

dalam melakukan kerja keredaksian. Di antaranya adalah wartawan dalam

melakukan pemberitaan harus berlandaskan pada fakta dan kebenaran. Untuk

mengetahui fakta-fakta dan bahwa fakta tersebut adalah benar, wartawan harus

melakukan check-recheck dan konfirmasi kepada sumber-sumber data sehingga

informasi yang akan diberitakan benar-benar factualness. Konfirmasi juga selain

untuk mengecek suatu informasi pada pihak yang bersangkutan secara langsung

dengan suatu persoalan, juga merupakan sikap yang adil untuk memberi

kesempatan pihak tersebut menjelaskan atau melakukan bantahan terhadap

informasi dimaksud.

Dalam penulisannya, wartawan mempertimbangkan penting-tidaknya

suatu peristiwa untuk diangkat menjadi berita. Faktualitas juga harus dilihat dari

relevansinya dengan nilai berita secara jurnalistik. Suatu berita dinilai baik jika

memiliki nilai-nilai berita, di mana semakin banyak nilai-nilai tersebut terdapat

dalam suatu berita, maka semakin baik. Di antara nilai-nilai berita tersebut yang

Page 39: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

140

menjadi pertimbangan media massa adalah aktualitas, signifikansi bagi khalayak,

dampak yang besar bagi khalayak, proksimitas atau kedekatan dengan khalayak

pembacanya, human interes dan tema tokoh. Hampir semua media menonjolkan

nilai pemberitaan pada segi aktualitasnya yang berarti merujuk pada fakta empiris,

peristiwa yang sedang atau baru terjadi. Berikutnya adalah nilai signifikansi,

yakni sejauhmana suatu peristiwa memiliki nilai penting bagi masyarakat

sehingga tertarik untuk membacanya. Namun khusus untuk Jawa Pos nilai berita

kedua yang dipilih adalah tokoh. Pemilihan ini tentu saja sah-sah saja, tetapi

pemilihan tokoh yang tidak berimbang dapat menimbulkan bias dan menjadikan

media massa hanya sebagai corong bagi tokoh tertentu yang diberitakan. Pilihan

aspek pemberitaan seringkali dipengaruhi oleh kecenderungan orientasi politik,

ekonomi bahkan ideologi media massa.

Pilihan nilai berita ini juga menunjukkan pengaruh ekstra maupun ideologi

media cetak. Ideologi pasar akan cenderung memilih nilai berita yang permukaan

tetapi langsung bisa ditangkap oleh khalayak, seperti yang dilakukan Jawa Pos.

Sedangkan Kompas, Republika dan Media Indonesia meskipun memilih aspek

yang lebih substantif dari peristiwa berita, media ini juga melakukan pemilihan

narasumber yang sesuai dengan ideologi dan kecenderungan politik masing-

masing.

Dimensi imparsialitas menunjukkan netralitas berita terhadap pihak-pihak

yang terkait dalam peristiwa berita. Berita yang etis sudah semestinya tidak

berpihak kepada pihak-pihak tertentu sehingga bisa memberi informasi kepada

masyarakat secara adil, seimbang dan lengkap. Secara umum media massa

nasional dalam pemberitaannya sudah menampilkan sikap non-evaluatif atau

penilaian yang mendukung ataupun yang menjatuhkan pihak-pihak tertentu.

Demikian juga tidak melakukan dramatisasi (sensasional) yang menimbulkan bias

pemberitaan, baik melalui pemilihan kalimat-kalimat konotatif maupun judul

yang tidak sesuai dengan isi.

Dimensi netralitas atau tidak berpihak ini juga dapat dilihat dari sikap

media untuk melakukan cover both side, menampilkan dua pihak atau pihak-pihak

Page 40: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

141

yag terkait secara berimbang. Pada umumnya cover both side ini telah dilakukan

oleh media massa dalam pemberitaan, tetapi masih ada meskipun relatif sedikit

yang berita yang tidak menunjukkan cover both side ini. Dan Jika dilihat lebih

rinci lagi dalam bentuk keseimbangan (balance) secara kuantitatif yaitu

perbandingan jumlah narasumber yang dilibatkan dalam pemberitaan, nilai

imparsialitas ini semakin menurun, dan lebih rendah lagi ketika dilihat pada

keseimbangan secara kualitas sumber-sumber berita yang dilibatkan dari kedua

pihak. Termasuk dalam dimensi imparsialitas ini adalah sikap non-opini dari

wartawan. Untuk memberitakan peristiwa, wartawan harus bersikap non-opini

yaitu memisahkan fakta-fakta dari opini pribadi secara langsung, karena akan

mengaburkan dan menimbulkan bias pada kebenaran faktual yang diberitakan,

sehingga menyulitkan pembaca untuk memilah fakta, dan akibatnya merugikan

bagi masyarakat.

Kontrol sosial juga merupakan tanggungjawab normatif media massa,

yakni pemberitaan juga menunjuk pada upaya perbaikan bagi kehidupan

masyarakat. Wartawan dan media massa juga merupakan bagian dari masyaakat

yang memiliki kewajiban yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk

mengembangkan dan memajukan masyarakatnya. Oleh karena itu, media massa

juga berhak untuk memiliki sikap terhadap suatu peristiwa tertentu. Namun

demikian dalam pemberitaannya harus ditunjukkan atau dibedakan antara sikap

media dengan fakta berita, namun pada intinya media dengan kebebasan yang

dimiliki bertanggungjawab untuk turut membangun masyarakatnya melalui

pemberitaan yang akurat dan lengkap.

Proses produksi pemberitaan dari ruang redaksi (newsroom) dengan

gambaran sebagaimana di atas, bukan suatu hal yang sederhana, melainkan rumit

dan kompleks yang melibatkan personalitas wartawan, institusi-institusi yang

terkait dan rutinitas kerja keredaksian. Dari sisi personalitas wartawan, produk

pemberitaan politik kualitasnya tergantung pada sikap profesionalisme, orientasi

politik bahkan juga ekonomi, dan latar belakang wartawan yang melakukan

peliputan dan penulisan berita. Profesionalisme ditunjukkan dengan komitmen

misalnya, dalam proses peliputan wartawan berupaya mendapatkan data yang

Page 41: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

142

akurat dan valid melalui check-recheck dan konfirmasi –ingat, intisari jurnalisme

adalah disiplin verifikasi, dan dalam penulisan berita kaidah-kaidah imparsialitas

seperti non-evaluatif, non-sensasional, cover both side dan balance menjadi

tuntutan penting. Orientasi politik dan ekonomi wartawan seringkali juga

mempengaruhi proses pemberitaan, kecenderungan politik tertentu dapat

menjadikan secara subyektif wartawan memihak pada kelompok tertentu yang

dapat menimbulkan bias dalam pemberitaannya. Termasuk juga latar belakang

wartawan sangat berpengaruh seperti latar belakang pendidikan, agama, etnis,

gender dan sebagainya, biasanya membentuk cara pandang tertentu dari wartawan

terhadap suatu peristiwa.

Suatu berita juga dihasilkan dari interaksi-interaksi bahkan negosiasi

antarstruktur dalam ruang redaksi. Suatu berita biasanya melibatkan kerja

wartawan lapangan, editor, dan redaktur. Wartawan pada umumnya melaporkan

peristiwa apa adanya sesuai cara pandangnya di lapangan, tetapi saat masuk ruag

redaksi berita itu akan mengalami proses editing oleh editor dan/atau redaktur.

Proses ini dapat mempengaruhi hasil akhir suatu berita, di mana editor dan

redaktur yang tidak berada di lapangan melakukan editing dan koreksi hasil

peliputan wartawan dari lapangan. Sekali lagi personalitas redaktur juga turut

mempengaruhi produksi pemberitaan dari dalam newsroom.

Rutinitas kerja dan standar kerja wartawan yang diterapkan oleh suatu

media massa juga berpengaruh terhadap proses produksi ini. Pada media yang

menerapkan standar kerja yang ketat pada umumnya akan menghasilkan

pemberitaan yang relatif berkualitas, sedangkan media yang kurang memberi

perhatian pada standar kerja bisa dipastikan kualitas berita yang dihasilkan pas-

pasan atau bahkan tidak berkualitas. Dalam pemberitaan di media cetak nasional

hal ini tercermin dari masih fokusnya pemberitaan pada fakta empiris,

keseragaman narasumber dan tema sehingga memunculkan keseragaman

informasi bagi khalayak. Perspektif yang didapat oleh khalayak akhirnya kurang

meluas, beragam dan mendalam.

Page 42: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

143

Level discourse practice ini dalam tataran etika berada dalam posisi

menunjukkan pada proses melakukan perbuatan, yang pada hakikatnya tidak bisa

dipisahkan dengan level teks itu sendiri. Level teks yang telah diulas di depan

adalah “perilaku”, sedangkan level discourse practice ini adalah “berperilaku”.

Teks pemberitaan yang terbaca dan dimuat dalam media cetak, menunjukkan

bagaimana para pelaku media berperilaku. Kualitas teks yang baik, menjunjung

tinggi etika jurnalistik maupun etika pemberitaan, hakikatnya discourse prectice

yang ideal, etis dan bermoral, yakni proses produksi pemberitaan yang dilandasi

dengan profesionalisme dan tanggungjawab. Dalam konteks pemberitaan politik

media cetak nasional pada level discourse practice menunjukkan perilaku etika

yang dipengaruhi oleh ideologi dan kepentingan bisnis media yang dikemas dalam

pemberitaan yang kualitasnya optimal.

D.3. Analisis pada Tingkat Sociocultural Practice

Proses produksi berita sangat terkait dengan situasi sosial budaya

masyarakat yang melingkupinya. Media massa memiliki keterkaitan erat dengan

aspek situasional, institusional maupun sosiologis pada umumnya. Pada aspek

situasional, media cetak dalam melakukan pemberitaan akan mempertimbangkan

situasi-situasi yang berkembang, termasuk peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi

sekaligus cara pandang media terhadap peristiwa tersebut. Dalam bulan-bulan di

tahun 2004, situasi bangsa Indonesia tengah mempersiapkan dan melaksanakan

pemilihan umum, maka orientasi pemberitaan politik hampir di semua media

massa mengacu pada situasi ini. Media cetak yang diteliti ini juga mengangkat

pemberitaan tentang proses pemilihan presiden secara langsung untuk yang

pertama kali di Indonesia, pada umumnya menjadikannya sebagai berita utama

(headline), bahkan juga membuat rubrik khusus tentang proses pemilihan

presiden ini, misalnya Jawa Pos membuat rubrik “Perjalanan Menuju Istana”.

Aspek institusional memiliki pengaruh yang cukup besar dalam suatu

proses produksi berita. Institusi media massa sendiri biasanya memiliki orientasi

politik atau ekonomi yang memungkinkan “dipaksakan” untuk mempengaruhi

Page 43: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

144

pemberitaan. Pada umumnya, institusi media mewakili orientasi pemilik media

tersebut, seperti Kompas yang pada latar belakang sejarahnya dari Partai Kristen,

Republika yang didirikan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI),

Media Indonesia yang dimiliki oleh Suryo Paloh aktivis Golkar dan pendiri FPPI,

dan Jawa Pos yang dipagang oleh Dahlan Iskan yang cukup terkenal pengusaha

media. Demikian juga ideologi media massa tersebut, seperti nasionalis, islamis,

maupun kapitalis sangat berpengaruh terhadap proses produksi berita.

Kondisi sosiologis masyarakat seperti terjadinya perubahan sistem politik

dan ekonomi juga turut berpengaruh. Masa Orde Baru yang otoriter dan

membatasi kebebasan pers menjadikan pers atau media cetak dalam

pemberitaannya sangat hari-hati karena ancamannya breidel kalau dipandang

tidak sesuai dengan kehendak kekuasaan. Namun pada era reformasi, yang

tercipta adalah situasi kebebasan, sehingga media cetak bebas memberitakan

peristiwa dengan perspektifnya sendiri, tidak harus dari sudut pandang

pemerintah. Sistem politik yang sentralistik dan serba pemerintah kemudian

berubah dengan desentralisasi dan penguatan masyarakat sipil. Dalam bidang

media massa, terjadi perubahan dari sistem yang menganut state regulation

kepada market regulation. Pemerintah sudah melepaskan kontrol media massa

kepada kontrol pasar. Hal ini kemudian mempengaruhi orientasi pers atau media

cetak nasional, dari yang awalnya kental dengan idealisme perjuangan mulai

beranjak menuju industrialisasi media. Media massa menjadi industri yang

mencetak wacana secara massal, seragam, dan homogen sehingga laku dijual.

Demikian pula masyarakat pembaca yang juga memiliki latar belakang,

orinetasi dan ideologi tertentu, senderung akan berupaya mencari informasi yang

sesuai dengan cara pandangnya. Hasilnya adalah “kompromi” antara kepentingan

media massa untuk menjual dan masyarakat pembaca yang membeli. Pangsa pasar

kemudian menjadi salah satu kunci penting yang mempengaruhi bagaimana berita

diciptakan. Republika yang ditujukan pada khalayak Muslim kelas menengah,

terdidik, dan berorientasi formalisasi syariah akan menuliskan pemberitaan

dengan sudut pandang yang sama dengan cara pandang khalayaknya. Jawa Pos

yang lebih merata sampai ke level kelas menengah ke bawah akan menampilkan

Page 44: Bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/Haryanto_Tesis_Bab4.pdfArus tuntutan reformasi di segala bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang, ... umum pergeseran

145

pemberitaan yang lebih sederhana dan ringan, berbeda dengan Kompas dan

Media Indonesia yang khalayak pembacanya menengah ke atas.

Posisi sosial-budaya dalam kajian etika menjadi latar atau setting di mana

suatu nilai-nilai etis atau moralitas diterapkan. Sumber etika bisa datang dari

Tuhan maupun dari pikiran idealistik, tetapi etika sebagai pengetahuan tentang

perilaku tidak bisa lepas dari konteksnya. Tanpa melihat konteks sosial budaya

dari masyarakatnya, meka etika ini tidak akan membumi. Sociocultural practice

dari suatu pemberitaan menunjukkan bahwa nilai-nilai etika, terutama etika

pemberitaan dan media massa merupakan hasil negosiasi dan kompromi dari

nilai-nilai idealis dengan nilai-nilai pragmatis. Media cetak yang hanya

memperhatikan nilai-nilai idealis biasanya hanya menjadi media yang utopis,

sebaliknya media yang hanya berorientasi pada pragmatis belaka akan terjebak

menjadi media yang permisif dan cenderung tidak bertanggungjawab. Oleh karena

itu nampaknya jalan tengah yang diambil oleh media cetak nasional dalam sikap

etika pemberitaan politik ini adalah kompromi antara ideologi media,

kepentingan media dan kepentingan khalayak.