bab-4eprints.walisongo.ac.id/87/11/haryanto_tesis_bab4.pdfarus tuntutan reformasi di segala bidang,...
TRANSCRIPT
102
BAB IV
ANALISIS TEKS PEMBERITAAN POLITIK DALAM MEDIA CETAK
A. Mengenal Media Cetak Nasional
Pasca lengsernya Presiden Soeharto, bangsa Indonesia mengalami
perubahan sosial politik yang sangat drastis. Arus tuntutan reformasi di segala
bidang, membuka kran kebebasan bagi masyarakat dalam banyak bidang,
termasuk kebebasan berekspresi, berpendapat dan kebebasan pers. Media massa
yang pada tahun-tahun Orde Baru mengalami ketidakberdayaan dan
ketidakbebasan dalam menjalankan fungsinya menyampaikan informasi kepada
masyarakat, maka di era reformasi ini media massa mendapatkan kebebasannya.
Kebebasan pers ini seiring dengan perubahan sistem politik negera yang juga
semakin demokratis.
Pada masa Orde Baru, kehidupan pers berada dalam bayang-bayang
tekanan negara melalui berbagai peraturan yang mengancam “keselamatan” pers.
Pemerintah membangun mekanisme kontrol terhadap media massa dalam tiga
tahap. (Nugroho dkk., 1999 : 12) Pertama, swasensor atau menyensor berita
sendiri oleh redaktur media. Pada tahap ini pemerintah menciptakan idiom-idiom
yang seperti “pers pancasila”, “pers pembangunan”, dan “pers yang bebas dan
bertanggungjawab”. Tahap kedua, kontrol melalui bujukan dan peringatan oleh
pihak pemerintah seperti Departemen Penerangan, atau bahkan Departemen
Pertahanan dan Keamanan. Setiap ada peristiwa yang peka, menyangkut
kekuasaan, kepentingan elit tertentu seperti pemerintah, Golkar, dan ABRI
(sekarang TNI) maka biasanya ada “telepon” ke redaksi untuk mengontrol,
memperingatkan, bahkan mengancam pihak media massa kalau pemberitaannya
menyinggung kelompok ini. Tahap ketiga, pembredelan yaitu dicabutnya SIUPP
yang merupakan nyawa penerbitan pada saat itu.
Arus reformasi membawa angin segar bagi perkembangan pers di tanah
air, dengan dihapuskannya sejumlah peraturan yang mengekang kebebasan pers,
103
dan lahirnya regulasi-regulasi baru yang mendukung tumbuh dan berkembangnya
media massa. Di antara perubahan tersebut yang sangat penting adalah
dihapuskannya peraturan mengenai Surat Izin Usaha penerbitan Pers (SIUPP).
Dengan dihapuskannya peraturan-peraturan Menteri Penerangan mengenai
SIUPP, dan digantikannya UU tentang Pokok Pers no.21 tahun 1982 dengan UU
no.40 tahun 1999 yang lebih reformis, maka tidak ada lagi ancaman pembreidelan
bagi media massa. Masyarakat bebas untuk mendirikan perusahaan pers, dan
akhirnya dunia pers memasuki kebebasan yang kontrolnya ada pada pasar media
bukan pada negara.
Perubahan sistem politik yang melahirkan UU tentang pers di era
reformasi tersebut juga akhirnya mengubah peran pers atau media masa. Secara
umum pergeseran peran dari pers Orde Baru ke era reformasi sekarang ini terbaca
pada struktur dalam (deep structure) UU tentang pers tersebut dan praktek media
massa di masyarakat. Hal tersebut digambarkan Hamad (2004 : 68), sebagai
berikut :
Bagan 4.1. Pergeseran Peran Pers Orde Baru ke Era Reformasi
Pergesaran tersebut cukup berarti bagi media massa untuk memanfaatkan
kebebasannya. Sampai akhir tahun 1990-an, sebagian besar media cetak terbit di
Jakarta, di tahun 1997 media cetak di Indonesia hanya sekitar 280 media, dengan
139 (49 persen) terbit di Jakarta. Namun di tahun 2000 pasca dicabutnya peraturan
tentang SIUPP, mulai tumbuh koran-koran baru termasuk koran-koran daerah.
Masa Orde Baru - UU no.12 / 1982 - Alat perjuangan nasional,
alat pembangunan bangsa - SIUPP dari Pemerintah;
kapitalisme pura-pura - Campur tangan penguasa - Berorientasi stabilitas
politik - Keseragaman politik - Kepentingan penguasa
Masa Reformasi - UU no.40 / 1999 - Lembaga sosial dan
lembaga ekonomi - Mendirikan badan usaha;
kapitalisme murni - Mekanisme pasar - Berorientasi pada
kepentingan - Keberagaman politik - Kepentingan pengusaha
104
Bahkan di Papua yang pada tahun 1997 hanya ada koran Cenderawasih Pos dan
Tifa Irian, pada tahun 2001 sedikitnya menjadi 14 media cetak. Pada umumnya
media-media yang baru tersebut adalah pengusaha penerbitan kecil yang akhirnya
banyak yang gulung tikar kalah oleh media-media dari kelompok penerbitan besar
dengan manajemen, dana dan jaringan yang lebih kuat. Sampai tahun 2002,
jumlah perusahaan media massa yang masih tertinggal hanya 695 buah dengan
hanya 30 persen yang termasuk kategori sehat. (Luwarso, dkk., 2005 : 12-13)
Dalam undang-undang pers tidak dikenal istilah media cetak atau koran
nasional dan koran daerah atau koran lokal. Istilah ini hanya menjadi kelumrahan
saja untuk membedakan media cetak dari lingkup isi pemberitaan dan
penyebaran atau sirkulasinya. Media nasional biasanya untuk menyebut media
cetak yang terbit di Jakarta dan penyebarannya mampu sampai ke luar Jakarta.
Media daerah atau media lokal disebut demikian karena mengacu pada isi media
yang terfokus pada isu-isu kedaerahan dan peredaran sirkulasinya terbatas di
daerah yang bersangkutan. Namun substansi sebenarnya setiap pers atau media
cetak adalah koran daerah atau media lokal. Hal ini karena karakteristik terbit
dalam tempo singkat (24 jam) secara teknis mustahil untuk mengkover semua isu
berita maupun peredarannya secara nasional. Istilah dikotomi media nasional-
lokal atau pusat-daerah sebenarnya paradigma berfikir lama yang
sentralistik.(Luwarso, dkk., 2005 : 11)
Dan nyatanya, media cetak yang disebut sebagai koran daerah mampu
eksis dan bertahan, bahkan menguasai wilayahnya. Dalam merebut perhatian
pembaca, media massa di daerah mampu mengambil sisi proksimitas yang
menarik dalam lingkup wilayahnya, dan di sinilah sebenarnya kekuatan media-
media daerah. Oleh karena itu media-media inipun menjaga dan mengukuhkan
citranya untuk mendapatkan sentimen dan emosi kedaerahan dengan
mengidentifikasikan diri sebagai media (milik) daerah tertentu. Misalnya harian
Suara Merdeka menyebut dirinya korannya Jawa Tengah, harian Pikiran Rakyat
untuk Jawa Barat, dan koran-koran lain yang menunjukkan identitas daerah
seperti Solopos, Malang Pos dan sebagainya.
105
Itu sebabnya koran yang disebut koran nasional, merasa kesulitan untuk
menembus pasaran sampai di daerah. Aspek proximity ini nampaknya juga
menjadi pertimbangan bagi perusahan penerbtan besar yang melakukan ekspansi
pasar ke daerah-daerah dengan menerbitkan halaman yang khusus memuat isu-
isu daerah tertentu seperti yang dilakukan oleh Jawa Pos Group dengan
menerbitkan Radar-Radar Jawa Pos di hampir semua kota di Indonesia, dan
Harian Kompas yang menerbitkan sisipan Edisi Daerah. Hal ini menunjukkan
penetrasi koran nasional mustahil mampu bersaing dengan media massa lokal.
Dalam penelitian ini istilah media cetak nasional, di mana istilah nasional
ini tidak dimaksudkan dalam paradigma sentralistik dikotomik yaitu nasional-
lokal, tetapi hanya untuk penyederhanaan terhadap obyek penelitian yaitu media
cetak yang diterbitkan di Indonesia dan untuk masyarakat Indonesia dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sebagaimana di awal disebutkan berbagai
media massa didirikan tetapi banyak yang tidak mampu mempertahankan
eksistensi dirinya, baik dari jumlah eksemplar terbitan yang kecil, tidak stabil
hingga yang akhirnya gulung tikar. Pilihan media massa cetak yang diteliti ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa media cetak ini memiliki kemampuan
survival yang tinggi dan sirkulasi sebarannya yang relatif luas sehingga
diasumsikan cukup berpengaruh bagi khalayak yang lebih luas. Serta tentu saja
alasan karakteristik dari masing-masing media tersebut. Media cetak yang dipilih
adalah harian Kompas, Jawa Pos, Republika, dan Media Indonesia yang akan
diskripsi singkatnya akan dijelaskan berikut ini.
A.1. Kompas
Koran Kompas berdiri pada tanggal 28 Juni 1965 oleh P.K. Ojong dan
Jacob Oetama,1 sebagai inisiatif Partai Katholik (Hamad, 2004 : 73, 116) untuk
lebih menyuarakan kepentingan umat Katolik pada masa tahun 1960-an
itu.(Musyafak, 2001: 91) Sebelum itu sebenarnya kedua orang ini telah Pada
1 Keduanya adalah wartawan, dan mendirikan majalah Intisari yang terbit pertama tahun
1963. (Hamad, 2004 : 116)
106
masa ini kekuasaan Soekarno sangat kuat dan tengah mengembangkan kebijakan
manifesto politik Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis).(Arifin, 1992 :
47) Untuk Itu presiden Soekarno membutuhkan dukungan dari kelompok agama,
selain dari kelompok komunis (PKI) dan kelompok nasionalis. Terlebih lagi pada
Pebruari 1965, Presiden Soekarno melarang semua aktivitas dan mencabut izin
terbit koran-koran penyokong BPS (Barisan Pendukung Sukarnoisme) yang
kontra dengan koran-koran yang berafiliasi pada PKI.(Taufiq, 1977 : 73) Dari
peristiwa ini muncul kekosongan media massa yang segera dimanfaatkan oleh
Partai Katolik untuk mendirikan koran Kompas2 yang memang bertujuan
ideologis pada masa itu. Ikatan ideologis dengan partai Katolik ini berakhir tahun
1971 saat Orde Baru berusaha mencairkan kesetiaan golongan, termasuk dalam
bidang politik melakukan fusi partai-partai, di mana partai nasionalis dan non-
Islam berfusi dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang ekfektif dilaksanakan
mulai pemilu 1972.
Di bawah pimpinan PK. Ojong, Kompas memulai penerbitannya dengan
mencetak 4.828 eksemplar perhari, yang selanjutnya semakin naik dan penjualan
semakin tinggi. Kompas segera dipercaya dan mendapat reputasi yang baik
sebagai media yang memiliki kedalaman analisis, sederhana dan mudah dipahami
sebagai representasi gaya jurnalistik PK. Ojong yang keturunan Cina. Namun
setelah tahun 1980, PK Ojong meninggal, dan digantikan oleh Jacob Oetama,
Kompas menganut gaya jurnalisme yang tidak langsung, kritik yang implisit,
konservatif, eufemistik, dan hati-hati, sehingga oleh Benedict Anderson dikatakan
sebagai determined boringness. (Musyafak, 2001: 92) Namun Kompas sendiri
lebih suka menyebut bahasanya bahasa humanitatis, yaitu tidak kenes tetapi
plastis, tidak kering, formal, abstrak dan rasional, tetapi yang menyangkut
perasaan intuisi, dan emosi manusia. (Hamad, 2004 : 117)
2 Nama Kompas sering diplesetkan sebagai Komando Pastur atau Komando Pak Seda
(Frans Seda adalah ketua Partai Khatolik).(Hamad, 2004 : 116) Namun Julious Pour, redaktur senior Kompas, dalam acara studi komperatif SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang tahun 1996 yang penulis ikuti, menjelaskan bahwa nama Kompas ini adalah pemberian Presiden Soekarno yang artinya adalah penunjuk arah mata angin, yang secara filosofis menjelaskan visi koran ini adalah untuk memberi informasi sebagai petunjuk bagi masyarakat.
107
Pada saat sekarang ini Kompas dianggap sebagai koran harian terbesar di
Indonesia, dengan sirkulasi oplah lebih dari 1.598.000 eksemplar pada tahun
2000 (Hamad, 2004 : 118) dengan kelompok pembaca fanatik, terutama dari
kalangan menengah, sebagaimana diungkapkan dalam suatu survey, sebagian
besarnya para pembaca Kompas terdiri dari pegawai negeri, mahasiswa, manajer,
dan pemegang saham. Pendapatan PT. Kompas Media Nusantara (perusahaan
penerbitan Kompas) mencapai lebih dari 240 miliar rupiah pada tahun 1993,
dengan keuntungan sekitar 30-35 miliar rupiah menjadikan Kompas sebagai
koran terkaya di Indonesia. (Musyafak, 2001 : 92) Perkembangan berikutnya,
didirikan rumpun usaha KKG (Kelompok Kompas Gramedia) yang semakin
memperkuat posisi Kompas sebagai raksasa di dunia Pers. Dari mencetak koran,
kini berkembang sampai pada multimedia, dan merambah berbagai aktivitas lain.
Setidaknya ada 23 penerbitan yang berada di bawah KKG ini. (Hamad, 2004 :
117)
Melihat latar belakang berdirinya Kompas, orang sering mengaitkan
dengan agama Khatolik, tetapi Kompas sendiri lebih mengedepankan visi
humanisme transendental. Untuk mengusung idealisme ini Kompas menetapkan
misi “Amanat Hati Nurani Rakyat” yang sekaligus menjadi merk dagangnya
(brand market). Untuk itu maka strategi yang dipergunakan Kompas, terutama
dalam pemberitaan yang sensitif adalah: pertama, model jalan tengah (MJT) yaitu
menggugat dengan tidak langsung, mengkritik dengan santun, berkesan berputar-
putar dan mengaburkan pesan yang hendak disampaikan. Kedua, model angin
surga (MAS), yakni mengupas dengan cara tidak menggugat atau
mempertanyakan ha-hal tertentu tetapi lebih pada himbuan dan harapan. Ketiga,
model anjing penjaga (MAP) yakni terbuka dan menggunakan bahasa yang
berani.
A.2. Jawa Pos
Jawa Pos didirikan pada tahun 1949 sebagai perusahaan keluarga The
Chung Shen, seorang pegawai salah satu bioskop di Surabaya. Keluarga ini juga
108
menerbitkan beberapa koran berbahasa Mandarin, Belanda dan Inggris. Meskipun
sempat menjadi koran yang termasuk besar di Surabaya, perkembangan Jawa Pos
mengalami stagnan dengan oplah sekitar 6.800 eksemplar perhari di tahun 19823
akibat berbagai masalah. Hingga akhirnya pada April 1982, Mr. Chung Shen yang
saat itu berusia 83 tahun menjual perusahaan ini kepada PT. Grafiti Pers, penerbit
majalah Tempo dengan Eric F.H. Samola sebagai presiden direktur. Samola
segera menciptakan fondasi manajemen pada Jawa Pos baru sehingga Samola
(1937-2000) juga disebut-sebut sebagai the founding fathers Jawa Pos disamping
Chung Shen (1904-1989). (Hamad, 2004 : 148)
Awalnya akuisisi Tempo terhadap Jawa Pos tahun 1982 itu dimaksudkan
untuk membantu peliputan kampanye 1982, tetapi ternyata Jawa Pos dapat
berkembang lebih besar dari motif awalnya. Terlebih ketika Dahlan Iskan ditunjuk
untuk menjalankan rutinitas penerbitan Jawa Pos, ia berhasil mendongkrak pasar
terutama dengan gaya tulisannya yang disebut news telling, yang merupakan gaya
penulisan jurnalistik yang benar-benar baru di Indonesia. Segera setelah hanya
6.800 eksemplar di tahun 1982, tahun-tahun berikutnya melonjak cepat, di tahun
1992 mencapai oplah 350.000 eksemplar sehingga menempati urutan ketiga
sebagai koran terbesar di Indonesia. Tahun 1997 mencapai oplah 400.000
eksemplar dengan pembaca 1.014.000 orang, menempati urutan keempat nasional
setelah Pos Kota, Kompas dan Suara Pembaharuan. Hasil riset RMI (Riset
Marketing Indonesia) tahun 2000 menunjukkan 68,6 persen orang dewasa di
Surabaya membaca Jawa Pos, dan tahun itu pula berhasil menduduki koran
terbesar kedua di Indonesia. (Hamad , 2004 : 149, 150)
Pada saat pembredelan majalah Tempo tahun 1994, Jawa Pos mandiri di
bawah pimpinan Dahlan Iskan yang segera melakukan ekspansi perusahaan. Jika
di tahun 1997 Jawa Pos Grup hanya memiliki 29 penerbitan, yaitu 20 harian, 5
tabloid mingguan dan 4 majalah, maka tahun 1999 sudah mencapai 49 terbitan,
tahun 2001 bertambah lagi menjadi 59 terbitan, tahun 2003 bertambah menjadi
3 Musyafak (2001:94) mengutip dari Sadono mencatat tahun 1981 Jawa Pos dalam
penerbitannya mencetak 7000 eksemplar perhati.
109
84 penerbitan, dan sekarang ini telah lebih dari 100 penerbitan group Jawa Pos,
dan 2 stasiun televisi.(Luwarso, 2005 : 7)
Kemampuan untuk berkembang ini di antaranya adalah faktor
kepemimpinan Dahlan Iskan, di mana di tangannya Jawa Pos benar-benar maju
dan memulai hal-hal baru dalam tradisi penerbitan di tanah air. Jawa Pos
merupakan koran pertama di Indonesia yang mempergunakan komputer di ruang
wartawan, dan koran pertama yang cetak warna tiap hari pada tahun 1986. Bahkan
juga pertama memprakarsai terbit dalam beberapa bagian dan tetap terbit di hari-
hari libur. Selain itu juga memprakarsai teknologi cetak jarak jauh di Indonesia.
(Hamad, 2004 : 149) Ketika krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997, Jawa
Pos menyiasati dengan mencetak koran ukuran lebih kecil dari biasanya, yang
disebut young broadsheet, yang sudah biasa di Amerika saat itu. Bahkan ketika
banyak media massa yang bangkrut karena krisis ekonomi tersebut, Jawa Pos
malah agresif menerbitkan koran-koran baru, pabrik kertas, dan membeli mesin
cetak baru, meskipun kemudian juga sempat jatuh, dan akhirnya Jawa Pos pulih
kembali tahun 1999.(Hamad, 2004 : 150)
Faktor lainnya adalah kemampuan Jawa Pos untuk mengikat pasarnya
menjadi pembaca fanatik, di antaranya dengan membuka Radar-Radar Jawa Pos
di berbagai kota untuk memenuhi kebutuhan berita lokal (nilai proximity) bagi
pembaca daerah. Jawa Pos juga membentuk Komisi Ombudsmen yang bertugas
menelaah keluahan-keluhan masyarakat tentang isi pemberitaan Jawa Pos demi
kepuasan pembaca. Program Tekad Sayang (“Tak Kenal Maka Tak Sayang”)
ditujukan untuk mempromosikan interaksi sosial kaum etnik Cina dengan
mayoritas, termasuk dalam program ini menerbitkan satu halaman berbahasa
Mandarin. Jawa Pos turut mendukung otonomi daerah dengan mendirikan Institut
penelitian yang disebut Pro-Otonomi untuk mensurvey daerah-daerah yang maju
bidang otonominya dan yang berresiko paling tinggi. Dengan demikian daerah-
daerah akan termotivasi untuk bersaing menciptakan kondisi terbaik bagi
investasi. (Hamad, 2004 : 151)
110
Tentang orientasi media, Jawa Pos mengakui bahwa orientasinya adalah
pasar. “Harus diakui ideologinya pasar, ideologinya oplah,” kata Arif Afandi
Redaktur Jawa Pos. (Hamad, 2004 : 151) Visi itu berimbas pada pilihan isu dan
pengemasan berita. Di antaranya dalam peristiwa politik, Jawa Pos cenderung
berbicara orang, profil atau sosok, termasuk pertimbangan besar kecilnya partai.
Dalam sebuah peristiwa kampanye media lain menyoroti substansinya, maka
Jawa Pos akan mengangkat tokohnya. Demikian juga partai yang besar akan
mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih luas dibanding partai yang
kecil.(Hamad, 2004 : 152)
A.3. Republika
Harian Republika merupakan media massa yang dilahirkan dari rahim
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi ini berdiri tanggal 5
Desember 1990 di Malang dan diketuai oleh BJ. Habibie yang saat itu menjadi
Menteri Riset dan Teknologi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. ICMI
bukan sekedar organisasi perkumpulan cendikiawan muslim, tetapi sekaligus
perhimpunan dari kekuatan politik Islam yang tahun-tahun 70-an dan 80-an
mengalami marginalisasi oleh kekuatan Orde Baru yaitu Golkar dan militer.
Dengan demikian ICMI tidak dipungkiri hadir dalam membawa muatan politik
Islam yang cukup kental. (Hamad, 2004 : 121) Dalam konteks ICMI yang
demikian inilah Republika dapat dicermati.
Selain BJ. Habibie yang saat itu menjadi Menristek memiliki pengaruh
yang cukup kuat,4 di belakang ICMI terdapat tokoh-tokoh intelektual muslim
yang juga cukup berpengaruh seperti Amin Rais (ketua PP Muhammadiyah),
Nurcholis Madjid dan Quraish Shihab dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Sekarang UIN), juga dari kalangan pengusaha terkenal seperti Parni Hadi dan
Tantri Abeng. (Musyafak, 2001 : 95) ICMI dengan yayasannya yaitu Yayasan
4 Habibie bahkan kemudian menjadi Wakil Presiden, dan akhirnya menjadi presiden
menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri tahun Mei 1998 hingga pemilu Oktober 1999. Namun sebagai presiden transisional, pertanggungjawaban Presiden Habibie di depan MPR ditolak.
111
Abdi Bangsa mendirikan PT Abdi Bangsa tanggal 28 November 1992 sebagai
syarat untuk mendirikan penerbitan pers. Dengan dilatarbelakangi tokoh-tokoh
berpengaruh, termasuk mulai ada angin segar untuk kelompok Islam dari Presiden
Soeharto saat itu, proses mendapatkan SIUPP berjalan begitu mudah yakni 19
Desember 1992 Republika sudah mendapatkan SIUPP, dan resmi berdiri tanggal
4 Januari 1993. (Hamad, 2004 : 120)
Penerbitan koran Republika sendiri merupakan salah satu dari tiga
program utama ICMI, yaitu pengembangan Islamic centre; pengembangan CIDES
(Centre for Information and Development Studies); dan penerbitan Harian Umum
Republika. ICMI menghadirkan CIDES sebagai penyeimbang wacana pemikiran
dan opini terutama di bidang politik selama ini banyak dilakukan oleh lembaga
Thing-thank Golkar CSIS (Central Studies for Indonesian Strategies), sedangkan
Republika sebagai pengimbang dari pers non-Islam. (Hamad, 2004 : 121)
Republika membawa kelompok populer yang terdiri dari kaum intelektual muslim
liberal dan wartawan, bersama-sama membuat koran “berkualitas” yang beraliran
sekular dalam pemberitaan peristiwa dan isu-isu tetapi memuat nilai-nilai
ideologis Islam. Hal ini sebagai pembanding dengan Kompas dan Suara
Pembaharuan yang dipengaruhi Kristen.(Musyafak, 2001 : 95)
Dalam waktu singkat Republika berhasil merebut pasar pembaca, terlihat
dari perkembangan setelah 3 bulan dari pendiriannya Republika sudah berhasil
meraih sirkulasi yang cukup besar yaitu 100.000 eksemplar per harinya, padahal
awalnya hanya ditarget 40.000 eksemplar saja. Bahkan pada tahun 1998 sirkulasi
Republika sudah mencapai 300.000 eksemplar.(Musyafak, 2001 : 95) Hal ini
tidak lepas dari inovasi terhadap penampilan tata letak (layout) dan gaya
penulisan jurnalistik yang dilakukan Republika. Pembaca Republika meliputi
target-audien dari umat Islam, golongan profesional, manajer, eksekutif,
pelajar/mahasiswa, dan pengusaha. Dari seluruh pembacanya, 63,63 persen berada
di Jakarta.
Visi Republika adalah menjadi perusahaan media cetak terpadu berskala
nasional serta dikelola secara profesional islami, sehingga berpengaruh dalam
112
proses pencerdasan bangsa, pengembangan kebudayaan, serta peningkatan
keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia baru. Untuk
mewujudkan hal tersebut, Republika melakukannya melalui pemberitaan yang
akurat, aktual, terpercaya, edukatif, serta membela keadilan dan kebenaran.
Sedangkan usaha ke dalam dengan menguatkan prestasi dan dedikasi team
republika guna pengembangan perusahaan dan peningkatan kesejahteraan.
Ideologi Republika dengan sendirinya mengikuti jejak pemiliknya, ICMI yaitu
Keislaman, Kerakyatan, Kebangsaan/Keindonesiaan.
Dengan latar belakang sebagaimana melatari ICMI, Republika sangat
konsen dalam tema-tema keislaman. Hal ini ditunjukkan melalui bentuk informasi
dan isi pemberitaannya. Meskipun menyatakan diri sebagai Harian Umum, tetapi
warna keislaman sangat kuat sehingga tak pelak lagi Republika disebut sebagai
salah satu Media Islam. Namun sebagai media Islam, Republika menunjukkan
wajah yang moderat, bahkan cenderung liberal dibandingkan dengan media Islam
lainnya yang terang-terangan menyebut dirinya media Islam seperti Media
Dakwah, Sabili, dan sebagainya. Republika berupaya menampilkan Islam sebagai
agama yang dapat memberi inspirasi terhadap kesadaran sosial selaras dengan
aspirasi kontemporer seperti keterbukaan, pluralisme, dan kecanggihan dunia
teknologi dan informasi.(Hamad, 2004 : 122)
Konsen terhadap keislaman ini terlihat dari pemberitaan-pemberitaan
Republika yang menonjolkan keberpihakan terhadap kepentingan umat Islam,
termasuk membuka rubrik-rubrik yang bertema Islam seperti Kolom Hikmah,
Dialog Jumat, Dompet Duafa dan sebagainya. Terhadap isu politik, ruh Islam
Republika ini ditunjukkan dengan adanya stressing yang kuat terhadap aspirasi,
misi, program politik yang mengedepankan kepentingan Islam, termasuk partai
yang mengakomodir aspirasi umat Islam dan bersikap reformis.(Hamad, 2004 :
123-124)
113
A.4. Media Indonesia
Media Indonesia didirikan oleh Teuku Yousli Syah pada tahun 1969, dan
awal terbitnya tanggal 19 Januari 1970 dalam bentuk koran 4 lembar yang dicetak
5000 eksemplar. Pada tahun 1976 meningkat menjadi 8 halaman.(Hamad, 2004 :
132) Saat pemerintah menerapkan peraturan tentang SIUPP pada tahun 1982,
Media Indonesia mengalami persoalan manajerial, yakni perusahaan penerbitan
pers harus didukung oleh modal yang kuat. Hingga akhirnya Surya Paloh
menariknya untuk bergabung dengan perusahaannya, PT. Surya Persindo tahun
1989. Media Indonesia kemudian menjadi usaha penerbitan di bawah PT. Citra
Media Nusa Purnama yang sahamnya dipegang oleh Teuku Yousli Syah, Surya
Paloh (PT. Surya Persindo) dan Media Indonesia Employees Cooperation.
(Musyafak, 2001 : 96)
Dengan manajemen baru ini Media Indonesia meningkat tajam, tahun
1996 sudah memiliki 20 halaman dan sirkulasi mencapai 250.000 eksemplar
dengan tampilan visual yang menarik, tampilan desain dan layout inovatif
berwarna. (Musyafak, 2001 : 96) Di tahun 1999 Media Indonesia sudah mencapai
pembaca 350.000 orang dengan sasaran khalayak profesional muda. Untuk itu,
rubrikasi dalam Media Indonesia juga memuat suplemen bisnis seperti real-estate,
otomotif dan pariwisata, serta iklan terbanyak dari perbankan.(Hamad, 2004: 134)
Karier Surya Paloh sebenarnya berangkat dari Bussinesman, yang usaha
pertamanya adalah katering makanan di bawah PT. Indocater. Sedang karier
bisnisnya di bidang media dimulai dengan mendirikan PT. Surya Persindo dengan
koran pertamanya harian “controversial staright-talking” Surat kabar Prioritas
tahun 1985. (Musyafak, 2001 : 96) Prioritas ini pada mulanya yang dicetak oleh
PT. Sinar Agape Press milik Sinar Harapan, hingga akhirnya bisa mandiri bahkan
“membajak” dua redaktur senior Sinar harapan yaitu Panda Nababan dan Derek
Manangka.(Hamad, 2004 : 133) Pada 29 Juni 1987, Prioritas dibreidel oleh
pemerintah dengan alasan telah bersalah menerbitkan berita yang tidak benar,
tidak berdasarkan fakta, dan bersifat sinis, insinuatif, dan tendensius. Hal ini oleh
114
Departemen Penerangan menganggap distorsi ini telah melanggar ketentuan
SIUPP.(Musyafak, 2001 : 96)
Pascabreidel Prioritas itu, Surya Paloh kemudian bermaksud menerbitkan
Realitas, tetapi SIUPP-nya tak kunjung didapat dari Departemen Penerangan,
akhirnya ia melirik Media Indonesia yang masih dimiliki Teuku Yousli Shah
untuk bergabung di tahun 1989. Sebelum Media Indonesia ini, ia juga telah
mengembangkan majalah hiburan Vista TV tahun 1988, kemudian dengan Eros
Djarot membuat tabloid berita politik DeTIK tahun 1992 yang akhirnya dibreidel
tahun 1994 karena dianggap menyalahi SIUPP. Di tahun 1999, Surya Paloh
membangun stasiun televisi Metro TV.(Hamad, 2004 : 133) Selain itu Surya
Paloh juga dikenal banyak menanamkan saham di bisnis media sejak tahun 1988,
diantaranya Peristiwa dan Aceh Post di Aceh, Mimbar Umum di Medan,
Semangat di Padang, Sumatera Express di Palembang, Lampung Post di
Lampung, Gala di Bandung, Yogya Post (sebelumnya Masa Kini) di Yogyakarta,
Dinamika Berita di Pontianak, Cahaya Siang di Manado, dan Nusra di
Denpasar.(Hamad, 2004 : 132)
Nama Media Indonesia lekat dengan nama Surya Paloh, seorang
konglomerat Aceh yang juga dikenal sebagai salah satu pendiri FKPPI (Forum
Putra-putri Purnawirawan ABRI), aktivis di Partai Golkar, dan anggota DPR
(Dewan Permusyawaratan Rakyat) dan pernah menjadi ketua Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Surya Paloh juga dikenal dekat dengan
keluarga Cendana, terutama Bambang Triatmojo yang menjadi pemilik PT.
Bimantara. Bahkan kedekatannya semakin kuat dengan bertalian keluarga melalui
perkawinannya dengan Rosano Barack, salah seorang direktur di Bimantara,
selain juga berbagi saham di RCTI yang semakin menguatkan posisi
politisnya.(Hamad, 2004 : 133)
Media Indonesia dalam pemberitaannya tidak lepas dari pengaruh kuat
pemiliknya yaitu Surya Paloh. Sampai sekarang Surya Paloh masih aktif di Partai
Golkar, bahkan pada pemilu 2004 ia termasuk kandidat yang ikut bursa konvensi
Partai Golkar meskipun tidak lolos. Hal ini ditambah dengan latar belakangnya
115
sebagai pendiri FPPI, cukup memberi gambaran tentang ideologi pemberitaan
Media Indonesia yaitu nasionalisme, kebangsan, dan bukan agama tertentu.
(Hamad, 2004 : 131)
B. Pilpres Langsung 2004: Agenda Pergantian Kepemimpinan Nasional5
Pemilihan umum (pemilu) menjadi salah satu wujud demokrasi, di mana
rakyat memiliki hak dan kesempatan untuk turut dalam partisipasi politik. Pada
era Orde Baru, Indonesia juga menyelenggarakan pemilu sebagai konsekuensi
negara demokrasi. Namun demokrasi saat itu yang disebut-sebut sebagai
demokrasi pancasila, dipandang banyak kalangan hanya demokrasi semu (pseudo
democracy). Hal ini karena kekuasaan negara, elit politik tertentu dan militer
sangat dominan dalam menentukan perikehidupan rakyatnya. Bahkan pemilu
yang menjadi bentuk penyaluran aspirasi rakyat, sudah diketahui hasilnya. Di era
ini tidak ada partisipasi politik rakyat, yang ada hanya mobilisasi politik oleh
penguasa.
Bulan Mei 1998 menjadi momentum titik balik perpolitikan di Indonesia,
di mana pada saat itu bangsa Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi yang
sudah dimulai sejak paruh tahun 1997, harga-harga melambung tinggi dan
membuat stabilitas ekonomi negara menjadi goyah, hingga akhirnya kekuasaan
Orde Baru mengalami delegitimasi terutama oleh kerasnya tuntutan dari
mahasiswa dan masyarakat luas agar Presiden Soeharto segera mundur. Bulan
Mei 1998 Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden RI yang
teah dijabatnya selama 32 tahun, digantikan BJ. Habibie yang saat itu adalah
wakil presiden RI. Masa itu disebut sebagai masa transisi, yakni masa
mempersiapkan bangsa Indonesia menuju demokrasi yang “sebenarnya”, berupa
gerakan reformasi terhadap sistem demokrasi yang dipraktekkan pada masa Orde
Baru.
Gerakan reformasi ini disambut antusias oleh bangsa Indonesia, di mana
kebebasan warga negara dijamin sedemikian luas. Pers dan media massa tidak lagi
5 Dalam bagian ini, sebagian besar informasi diolah dari buku: Kilas Balik Pemilihan
Presiden 2004 (Khoiruddin, 2004), sumber KPU (www. Kpu.go.id), dan media massa terutama Kompas.
116
dikenakan aturan SIUPP sehingga semua orang bebas menerbitkan media cetak
dan tidak ada kontrol media dari pemerintah, semua diserahkan kepada
masyarakat. Demikian juga dalam bidang politik, kebebasan berpolitik dibuka
lebar, sehingga dalam waktu singkat, menuju pemilu yang dilaksanakan 1999,
tercatat 200 buah partai politik didirikan meskipun hasil seleksi Komisi Pemilihan
Umum (KPU) hanya 48 buah yang lolos dan ikut dalam pemilu 1999. Semua hal
itu tidak lepas dari “program” masa transisi untuk menyediakan perangkat hukum
dan legislasi yang mendorong terciptaannya demokrasi di Indonesia. Di antara
perubahan fundamental dalam bidang politik di era reformasi ini adalah
dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 dan penyusunan UU Pemilu dan
Kepartaian.
Perbagai perubahan fundamental terus dilakukan, dan puncaknya adalah
dengan penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung. Pada masa Orde
Baru hingga tahun pemilu masa reformasi tahun 1999, pemilihan presiden masih
dilakukan dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang saat itu
memilih Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan wakil presiden Megawati
Soekarnoputri. Pada pemilu 1999 partai pemenang pemilu adalah PDI-P yang
diketuai oleh Megawati, tetapi proses politik saat itu masih menggunakan
mekanisme lama, yaitu di sidang MPR yang pemilihan presiden dilakukan oleh
para anggota MPR. Baru tahun 2004 pemilihan pesiden secara langsung dapat
dilakukan bagi rakyat Indonesia.
Pemilu 2004 menjadi tonggak penting perjalanan sejarah politik di
Indonesia, karena menjadi indikator penting bagi konsolidasi demokrasi.
Pemilihan umum yang demokratis ini dimaksudkan untuk menjamin terjadinya
sirkulasi alamiah para aktor politik dalam kancah demokrasi, sehingga kekuasan
tidak dikungkungi terus menerus oleh kelompok tertentu, melainkan dimunculkan
dari aspirasi masyarakat dan aktor-aktor pemimpin yang baru. Pemilu tahun 2004
ini dilaksanakan dalam dua jenis pemilu sekaligus, yaitu untuk memilih para
wakil rakyat yang duduk di kursi DPR dan DPD (pemilu legistlatif), dan pemilu
untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Melalui pemilu yang
sedemikian terbuka, transparan dan langsung di hadapan rakyat, maka terjadi
117
tawar menawar yang mestinya berimbang antara rakyat di satu sisi dengan
penguasa di sisi yang lain. Rakyat memlih pemimpinnya dengan dukungan
sekaligus harapan, di pihak lain penguasa mendapatkan kewenangan kekuasaan
melalui egitimasi yang diberikan oleh rakyat.
Rangkaian kegiatan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan
serangkaian dengan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di
DPR dan DPD. Pemilu untuk memilih DPR dan DPD yang diselenggarakan
tanggal 5 April 2004. Tanggal 1-7 Mei 2004 rangkaian Pilpres dimulai dengan
pendaftaran pasangan calon presiden-wakil presiden oleh partai politik atau
gabungan partai politik, dan sekaligus dilakukan verifikasi kelayakan calon
presiden/wakil presiden yang hasilnya diumumkan tanggal 19 Mei 2004 untuk
pemilihan presiden tahap I. Kampanye kubu para calon presiden dilakukan
tanggal 1 Juni sampai 1 Juli 2004, dan pemilihannya presiden tahap I
dilaksanakan tanggal 5 Juli 2004 dengan lima pasang calon presiden dan wakil
presiden, yaitu: pasangan 1) Wiranto dan Salahuddin Wahid; 2) Megawati
Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi; 3) Amin Rais dan Siswoyo Yudohusodo; 4)
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – M. Jusuf Kalla (JK); dan 5) Hamzah Haz
dan Agum Gumelar.
Tabel 4.1. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran Pertama
No. Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jumlah
1. H. Wiranto, SH. dan Ir. H. Salahuddin Wahid 26.286.788
2. Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. A. Hasyim Muzadi 31.569.104
3. Prof. Dr. H. Amin Rais dan Dr. Ir. Siswono Yudo Husodo 17.392.931
4. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf kalla 39.838.184
5. Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. 3.569.861
Jumlah Suara Sah 118.656.868
Jumlah Suara tidak Sah 2.636.976
(Data KPU : www.kpu.go.id)
Dari hasil pemilihan presiden tahap I tersebut akhirnya diperoleh 2 pasang
calon yang akan menjadi kandidat dalam pemilihan presiden RI tahap II, yaitu
pasangan SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla) dan pasangan
118
Mega-Hasyim (Megawati dan Hasyim Muzadi). Kampanye bagi calon presiden
dilakukan tanggal 14-16 September 2004 dan dilanjutkan pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung tanggal 20 Sepetember 2004. Sesuai dengan hasil
penghitungan suara, akhirnya terpilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan
M. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia, dan
merupakan presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih secara langsung oleh
rakyat Indonesia. Tanggal 20 Oktober 2004 akhirnya Susilo Bambang
Yudhoyono dan M. Jusuf Kala dilantik menjadi Presiden RI dalam sidang MPR.
Tabel 4.2. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua
No. Nama Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Jumlah
1. Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. A. Hasyim Muzadi 44.990.704
2. H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf kalla 69.266.350
Jumlah Suara Sah 114.257.054
(Data KPU : www.kpu.go.id)
Sebagai gambaran penting bagi analisis media, adalah latar belakang dari
kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden tersebut, secara sekilas akan
dipaparkan berikut ini :
B.1. Megawati Soekarnoputri
Ia biasa dipanggil Mega, lahir di Yogyakarta 23 Januari 1947. Ia adalah
anak dari presiden pertama RI yaitu Presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati. Pada
saat pemilu 2004 tersebut, ia menjabat sebagai Presiden RI yang kelima melalui
Sidang Istimewa MPR menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang dicopot
jabatannya oleh MPR, di mana pada saat itu ia menjabat sebagai wakil presiden.
Mega juga menjabat sebagai ketua umum DPP Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P). Dalam karier politiknya, ia dikenal sebagai tokoh yang
selalu mendapat kezaliman Orde Baru, di antaranya hambatan karier dan bahkan
dijegal dari kursi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1993
sebelum akhirnya PDI pecah ada yang tetap mendukung Mega dan ada yang
mendukung Suryadi yang saat itu didukung oleh pemerintah Orde Baru. Bahkan
119
di tahun 1996 kantor PDI yang saat itu dikuasai kelompoknya diserbu massa PDI
pendukung Suryadi yang diindikasikan kuat bahwa gerakan penyerbuan itu
didukung oleh aparat militer. Peristiwa penyerbuan itu kemudian membawa
dampak kerusuhan besar-besaran di Jakarta tanggal 27 Juli 1996 yang dikenal
sebagai peristiwa “Kudatuli” (kerusuhan dua puluh tujuh juli). Sejak itu Mega
dijadikan simbol perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru, simbol rakyat
kecil (wong cilik) yang selalu tertindas.
Pada saat pemilu 1999, di mana ia menjadi ketua partai pemenang pemilu
(PDI-P), ia merasa legowo hanya menjadi wakil presiden karena pada saat itu
masih cukup ramai polemik tentang presiden perempuan oleh sebagian ulama.
Dalam pemilu 2004 kembali ia diterpa isu penolakan presiden perempuan oleh
sebagian ulama. Selama menggantikan Gus Dur sebagai presiden, ia juga
dianggap tidak berhasil membawa perbaikan bagi Bagsa Indonesia. Namun hal itu
dibantahnya dengan dalih bahwa ia hanya mendapatkan kesempatan setengah
jalan saja untuk melaksanakan pemerintahan sehingga wajar kalau tidak bisa
maksimal memulihkan kondisi bangsa Indonesia yang terpuruk sejak krisis
moneter 1997. Sedangkan tentang isu penolakan presiden perempuan, ia
menjawabnya dengan menggaet KH. Hasyim Muzadi Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (NU) sebagai calon wakil presiden, yang menjadi
legitimasi keabsahan dia untuk maju mencalonkan diri menjadi pemimpin
sekaligus membantunya menjawab polemik keagamaan tentang kepemimpinan
perempuan.
B.2. Hasyim Muzadi
KH. Achmad Hasyim Muzadi adalah ketua Umum PBNU 1999 – 2004
kelahiran Tuban 8 Agustus 1943. Ia seorang organisatoris dan berpendidikan dari
jalur pesantren hingga lulus dari IAIN Sunan Ampel di Malang. Kesediaannya
menjadi calon wakil presiden dari Megawati Soekarnoputi telah menimbulkan pro
dan kontra di kalangan NU. Bagi yang pro karena merasa sudah saatnya NU
kembali memiliki kader yang tampil di tampuk kekuasaan RI, di mana peluang
120
Megawati untuk memenangi pemilihan presiden dipandang cukup besar karena
posisinya yang saat itu masih sebagai presiden. Namun yang kontra memiliki
kekuatiran bahwa kesediaan Hasyim menjadi cawapres adalah awal dari
pengkhianatan terhadap doktrin “kembali ke khittah NU” yang selama ini
dijadikan landasan berpolitik warga NU, terlebih lagi ditakutkan NU akan terlibat
politik praktris dan berfikir pragmatis karena Hasyim saat itu menjabat sebagai
ketua umum PBNU. Tentang hal tersebut, Hasyim berargumen bahwa ia tidak
bermaksud menyeret institusi NU terlibat politik praktis, tetapi siapa saja kader
NU boleh “berurusan” dengan kekuasaan asal atas nama pribadi dan bukan atas
nama lembaga.
B.3. Susilo Bambang Yudhoyono
Lebih dikenal dengan sebutan SBY, lahir di Pacitan Jawa Timur 9
September 1949. Dengan perjalanan kariernya dilalui di militer secara gemilang
dengan pangkat terakhir sebagai Jendral TNI sejak 25 september 2000. Selain itu
ia juga pernah menjabat sebagai Kasospol ABRI tahun 1998, menteri
pertambangan dan energi pada kabinet Abdurrahman Wahid 1999-2000, dan
diangkat sebagai menkopolsoskam 26 Oktober 2000 sampai diberhentikan oleh
presiden Dus Dur tanggal 1 Juni 2001. Pada masa pemerintahan Megawati ia
diangkat sebagai Menko Polkam tahun 2001 tetapi mengundurkan diri tahun
2004.
Atas dorongan beberapa pihak yang menjagokan dirinya untuk maju
dalam pemilihan preseiden, ia mendirikan Partai Demokrat yang dilakukannya
bersamaan dengan ia masih menjabat sebagai Menko Polkam, akibatnya ia
dipandang bersaingan dengan Presiden Megawati, hingga akhirnya ia memilih
untuk mengundurkan diri dari jabatan di kabinet Megawati tersebut Maret 2004.
Tindakannya itu tidak sia-sia, popularitasnya menjadi semakin naik, dan dalam
pemilu legislatif 2004, partai demokrat yang didirikannya, meskipun masih baru
dan bukan cikal bakal dari partai besar yang telah ada ternyata berhasil masuk
lima besar dengan perolehan suara 8.455.225. Peluang ini tidak disia-siakan untuk
121
segera mendeklarasikan diri sebagai calon presiden. Pilihannya untuk calon wakil
preside jatuh kepada Jusuf Kalla, sorang aktivis Partai Golkar yang telah mundur
dari konvensi Partai Golkar.
Latar belakangnya yang militer juga sedikit dipersoalkan karena bangsa
Indonesai mengalami trauma masa pemerintahan Ode Baru yang dipimpin oleh
militer secara otoriter. Namun itu ditepis oleh SBY dengan argumentasi bahwa
TNI pun telah memulai upaya reformasi ke dalam. Selain itu, juga sosok SBY
sebagai militer yang tidak sangar, bahkan dipandang cukup tampan dan lembut
serta kegemarannya menyanyi membuat masyarakat tidak terlalu mempersoalkan
latar belakangnya sebagai militer.
B.4. Muhammad Jusuf Kalla
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla lahir di Watampone Sulawesi Selatan 15
Mei 1945, dan berkarier sebagai penguasaha sukses. Pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid ia diangkat sebagai Mentrei perindustrian dan perdagangan
1999-2000, dan di era presiden Megawati ia diangkat sebagai Menko Kesra tahun
2001-2004.
Atas didikan keluarga yang kuat, Jusuf Kalla memiliki obsesi yang tinggi
menjadi pemimpin. Dalam hal ini, ia bermaksud mewujudkan keinginannya dalam
kepemimpinan nasional dengan mengikuti konvensi Partai Golkar yang akan
memilih calon presiden dari partai berlambang beringin yang merupakan partai
utama pada Orde Baru masa Presiden Soeharto. Konvensi partai Golkar sendiri
sebenarnya dipandang cukup baik dan merupakan terobosan politik yang
demokratis di tubuh partai Golkar. Namun banyak kalangan juga menilai konvensi
Partai Golkar ini hanya akal-akalan saja untuk melupakan masa lalu Golkar. Hal
ini juga semakin nyata dengan ikutnya Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung
dalam ajang konvensi yang dinilai menjadi tidak adil lagi karena posisi strategis
Akbar Tanjung sebagai ketua Umum diperkirakan akan sangat mempengaruhi
jalannya konvensi. Akhirnya beberapa peserta konvensi mengundurkan diri, di
antaranya adalah tokoh cendikiawan Muslim Nurcholis Madjid, dan Jusuf Kalla.
122
Konvensi partai golkar sendiri kemudian memang tidak bisa dikendalikan sebagai
“bola liar”, hingga akhirnya yang memenangkan konvensi adalah Wiranto.
Sementara itu, Jusuf Kalla dipilih oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon
wakil presiden pasangannya, dipandang semakin strategis ketika pasangan
Wiranto dengan Shalahuddin Wahid gagal masuk di pemilihan presiden putaran
kedua, sehingga diperkirakan suara massa pendukung Partai Golkar yang cukup
besar, bahkan memenangi pemilu legislatif April 2004, akan memberi dukungan
untuk SBY-JK (Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla).
C. Analisis Wacana Kritis : Kerangka kerja, Keterbatasan dan Obyek
Analisis
Peristiwa pemilihan umum (Pemilu) adalah peristiwa besar dan sangat
menentukan masa depan bangsa Indonesia. Terlebih pemilu tahun 2004 adalah
pemilihan umum untuk memilih presiden Indonesia secara langsung untuk yang
kali pertama. Rakyat memiliki kesempatan untuk turut menentukan masa depan
pemerintahan negeri ini dengan memilih secara langsung presiden sebagai
pemimpin nasional. Oleh karena itu peristiwa ini sangat penting dan memiliki
dampak yang besar bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika media
massa memberitakan peristiwa ini dalam porsi yang cukup besar, bahkan memiliki
rubrikasi khusus tentang pemilihan presiden ini.
Event pemilihan presiden ini dapat diposisikan sebagai suatu arena sosial,
di mana semua elemen dalam masyarakat memiliki kepentingannya sendiri-sendiri
dalam arena tersebut. Pada akhirnya semua pihak secara bersama-sama
membangun dan membentuk realitas sosial sesuai dengan kepentingan, orientasi
dan cara pandangnya sendiri. Media massa juga termasuk elemen masyarakat
yang turut bermain dalam arena sosial ini dengan membentuk wacana-wacana
sosial-politik terhadap peristiwa yang terjadi. Persinggungan-persinggungan
dalam arena sosial ini, yang dilandasi dengan adanya kebebasan, meniscayakan
pembahasan etika. Media massa termasuk di dalamnya media cetak dengan
kepentingannya sendiri, bersentuhan dengan kepentingan pelaku politik untuk
123
membentuk opini publik, serta kepentingan masyarakat luas untuk mendapatkan
informasi secara akurat, tepat, dan lengkap. Arena sosial atau medan sosial
melibatkan semua elemen tersebut dalam problematika moral.
C.1. Media Massa Cetak dalam Paradigma Kritis
Media massa dalam paradigma pluralis dipandang sebagai entitas yang
otonom, bebas nilai, obyektif dan netral. Ia memiliki fungsinya dalam konteks
sosial sebagai wadah yang diisi dengan fakta-fakta dan informasi-informasi
yang apa adanya, serta menghasilkan gambaran yang realitas yang benar-benar
terjadi di lapangan. (Eriyanto, 2003 : 31) Namun paradigma ini dipandang oleh
peneliti sosial dewasa ini a-historis, oleh karena senyatanya tidak otonomi dan
kebebasan yang mutlak dalam konteks sosial. Struktur-struktur dalam masyarakat
tidak sekedar berperan apa adanya ia berfungsi dalam masyarakat, tetapi ia pun
memiliki kepentingannya sendiri dalam masyarakat sekaligus ia hadir dengan
fungsinya tersebut dalam keterpengaruhan kepentingan-kepentingan struktur
sosial yang lain. Itu sebabnya menjadi tidak mungkin terjadi sebuah media massa
sungguh-sungguh otonom, netral dan benar-benar obyektif.
Pandangan demikian itu yang dikemukakan dalam paradigma kritis.
Paradigma ini banyak diilhami oleh pemikiran Marx, yang selalu bersikap curiga
dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. (Eriyanto, 2003 : 24)
Dalam pandangan kritis, ada kekuatan-kekuatan yang berbeda yang mengontrol
proses komunikasi, karena itu media bukanlah entitas yang netral tetapi bisa
dikuasai oleh kelompok dominan. Pada akhirnya pemberitaan pun terdistorsi oleh
kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga pemberitaan bukan lagi realitas yang
sesungguhnya melainkan realitas bentukan media. (Eriyanto, 2003 : 32-33)
Pemberitaan kemudian menjadi akumulasi pengaruh dari kekuatan-
kekuatan yang melingkupinya tersebut, yang digambarkan oleh McQuail (1989 :
75) dalam jejaring media-sosial terdiri dari : society/nation, media owner,
subordinat class, media audience, voices in society, mass communacators, dan
dominant class. Selain itu, ada faktor internal dan eksternal media massa yang
124
mempengaruhi proses produksi suatu berita, sebagaimana dikutip Sudibyo
(2001 : 7-13) dari Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese. Faktor internal
terdiri dari : Pertama, faktor Individual; berhubungan dengan latar belakang
profesional dari pengelola media yakni jenis kelamin, pendidikan, agama, umur,
pengalaman dan sebagainya sedikit banyak berpengaruh terhadap berita yang
diproduksinya. Kedua, level rutinitas media (media routine); berhubungan
dengan mekanisme dan proses penentuan yang biasanya pihak media telah
memiliki standar dalam menentukan jenis berita, angel, nilai berita, dan
sebagainya, yang sangat berhubungan dengan mekanisme penulisan berita.
Ketiga, level organisasi; berhubungan dengan struktur organisasi di mana dalam
struktur-struktur tersebut terdiri dari bagian dan orang-orang yang memiliki
kepentingan berbeda, seperti bidang redaksi, iklan, pemasaran dan sebagainya
sehingga meniscayakan terjadinya tarik-ulur kepentingan dalam suatu
pemberitaan.
Sedangkan faktor eksternal atau ekstramedia meliputi, pertama, sumber
berita. Sumber berita bukanlah pihak yang netral yang memberikan informasi
apa adanya, tetapi ia juga pihak yang memiliki kepentingan untuk mempengaruhi
media massa guna membangun opini publik yang sesuai dengan kepentingannya
tersebut, misalnya membangun suatu citra tertentu. Kedua, sumber penghasilan
media, bisa berupa iklan ataupun pelanggan. Media massa untuk bisa survive
harus memiliki sumber penghasilan guna menutup biaya produksi, karena itu tak
jarang media massa berkompromi dengan sumber-sumber penghasilan ini.
Misalnya menghindari pemberitaan kasus yang melibatkan perusahaan yang
memasang iklan besar, demikian juga pemilihan sudut pandang berita
menyesuaikan kelompok khalayak agar medianya laku lebih banyak. Ketiga,
pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, sistem politik dan sosial
sangat berpengaruh terhadap kerja media, misalnya dalam sistem negara otoriter,
maka pemberitaan yang menyinggung pihak penguasa biasanya akan dieliminir,
sementara dalam sistem negara yang memberi kebebasan terhadap media,
biasanya lingkungan bisnislah yang lebih berpengaruh, misalnya proses
pembentukan pasar iklan dan khalayak. Keempat, level ideologi yakni kerangka
125
berfikir tertentu yang dipergunakan oleh media massa dalam memandang
realitas dan cara menghadapinya. Level ini berhubungan dengan konsepsi dan
cara pelaku media menafsirkan realitas yang akan diproduksi menjadi berita.
Pendekatan kritis ini akan dipergunakan untuk melihat etika pemberitaan
media cetak mengenai pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan presiden
2004. Cara pandang kritis ini memungkinkan untuk melihat pemberitaan sebagai
suatu perilaku media massa yang kongkrit sehingga semestinya dapat dikenai
penilaian moral atau etika. Perilaku media cetak dalam pemberitaannya bisa
bernilai baik dan buruk berdasarkan standar norma etika yang melingkupi
perikehidupan media cetak. Sesuai dengan paradigma kritis, perilaku media cetak
–yakni berita— sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan internal maupun
ekternal media. Media cetak dapat dipandang secara kritis keterpihakannya pada
kelompok kepentingan tertentu, ketidaknetralannya dalam penafsiran realitas
sosial, dan implementasi ideologinya sendiri dalam memproduksi berita. Namun
sebaliknya juga, melalui paradigama kritis ini pula kualitas moral atau etika media
massa dapat dilihat, yakni sejauh mana media berhasil mempertahankan etika
jurnalisme dalam tarik ulur dengan kepentingan-kepentingan di luar
tanggungjawabnya pada masyarakat.
C.2. Kerangka Kerja dan Keterbatasannya
Untuk operasionalisasi paradigma kritis ini, maka dilakukan suatu analisis
melalui teknik analisis isi (content analysis) yang dikembangkan dalam analisis
wacana (discourse analysis). Analisis wacana ini meskpun termasuk analisis teks
media, tetapi pada dasarnya berbeda dengan content analysis (analisis isi) yang
lebih menekankan pada ciri-ciri sistematis, obyektif dan kuantitatif yang
membawa konsekuansi pada penggunaan metodologi kuantitatif deduktif-
nomotetic, sehingga dipandang terlalu menekankan pada pesan yang tampak
(manifest contenst), kurang memperhatikan konteks dan mengabaikan makna
simbolik pesan (simbolic meaning of massage). Oleh karena itu analisis dalam
penelitian ini pada dasarnya adalah Analisis wacana (discourse analysis) untuk
126
mencoba menutup kekurangan analisis isi tersebut, sehingga analisis ini sekaligus
juga mengamati tanda-tanda simbol pesan dan memusatkan pada bagaimana
bahasa dipergunakan untuk memerankan kegiatan, pandangan dan
identitas.(Hamad, 2004 : 33-34) Meskipun demikian, teknik analisis isi tetap
dipergunakan untuk mengurai secara kuantitatif komponen tertentu dalam
kerangka kerja analisis wacana yang akan dijelaskan kemudian.
Analisis wacana ini memiliki ragam pendekatan dan metode, dan untuk
kepentingan penelitian ini dipergunakan analisis wacana dengan pendekatan kritis
melalui metode yang disusun oleh Norman Fairlough. Tentu saja metode analisis
dari Fairlough tidak dipergunakan apa adanya, melainkan dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan analisis penelitian ini, yaitu melihat etika pemberitaan
mengenai pergantian kepemimpinan nasional. Pada dasarnya analisis Fairlough
bermaksud menjawab bagaimana hubungan teks yang mikro dengan konteks
masyarakat yang makro, dalam hal ini ia melihat bahasa sebagai praktik
kekuasaan, untuk itu ia membagi analisisnya dalam tiga dimensi, yaitu a) teks, b)
discourse practice, dan c) sociocultural practice. (Eriyanto, 2003 : 285-286)
(Hamad, 2004 : 35)
Bagan 4.2. Analisis Fairclough
(Eriyanto, 2003 : 288)
Dalam metode Fairclough, teks bermakna teks (naskah) itu sendiri yang
memberi mendeskripsikan suatu obyek, sekaligus hubungan antarobyek tersebut
didefinisikan. Teks ini memiliki tiga unsur yang dapat dilihat dan dianalisis,
SOCIOCULTURAL PRACTICE
DISCOURSE PRACTICE
TEKS
Konsumsi
Produksi Teks
Teks
127
yaitu: representasi, relasi dan identitas. Dalam representasi untuk yang hendak
dilihat adalah bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau
apapun yang ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Relasi adalah bagaimana
hubungan antara wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan
digambarkan dalam teks. Sedangkan identitas memuat bagiamana identitas
wartawan, khalayak dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam
teks. (Eriyanto, 2003 : 289)
Discourse Practice memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan
konsumsi teks. Teks di bentuk melalui suatu praktek diskursus tertentu, yang
akan menghadirkan produksi teks tertentu pula. Proses produksi teks dalam media
melibatkan praktek diskursus yang rumit dan kompleks, yang melibatkan
hubungan produksi teks dari media dan konsumsi teks dari khalayak. Discourse
practice ini dapat ditelusuri dari sisi individu wartawan itu sendiri, hubungan
wartawan dengan struktur dalam media, dan dari praktek kerja atau rutinitas kerja
produksi berita. Ketiga hal ini biasanya akan saling terkait dalam proses produksi
berita oleh media massa. (Eriyanto, 2003 : 317)
Sedangkan analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa
konteks sosial yang berada di luar media turut mempengaruhi bagaimana wacana
yang muncul di media massa. Newsroom bukanlah suatu ruang hampa yang steril,
melainkan sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Sociocultural ini
memang tidak langsung berhubungan dengan proses produksi berita, tetapi ia
menentukan bagaimana obyek peristiwa diinterpretasikan, dan teks berita
diproduksi. Menurut Fairclough, sociocultural ini tidak langsung berhubungan
dengan produksi teks, tetapi dimediasi oleh discourse practice di antaranya dalam
bentuk ideologi yang berkembang dalam newsroom, dan kecenderungan khalayak
untuk menerima atau menolak ideologi dari newsroom tersebut. Sociocultural ini
meliputi tiga level yaitu : pertama, level situasional yang menunjuk situasi tertentu
atau suasana mikro suatu peristiwa tertentu; kedua, level institusional atau
pengaruh dari institusi organisasi baik dalam maupun di luar media misalnya
pemerintah, institusi politik, institusi ekonomi dan sebagainya; dan ketiga, level
128
sosial yang melihat pada bidang makro sosial, seperti sistem sosial, sistem politik,
ekonomi dan sistem budaya masyarakat secara umum. (Eriyanto, 2003 : 320-323)
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, penelitian menggunakan metode
Fairclough yang disesuaikan dengan maksud penelitian ini. Metode Fairclough
dalam penelitian ini diberlakukan dengan tidak konsisten tetapi dengan
penyesuaian-penyesuaian dengan pertimbangan bahwa discourse analysis (DA)
atau analisis wacana pada umumnya ditujukan untuk membongkar wacana yang
dibangun oleh teks dengan pendekatan tertentu, salah satunya adalah pendekatan
kritis dalam critical discourse analysis (CDA). Sementara penelitian ini tidak
difokuskan pada pembongkaran wacana dari produksi teks, melainkan melihat
teks sebagai manisfestasi perilaku media yang cukup relevan dikenai penilaian
moral atau etika. Namun demikian kerangka Fairclough yang meliputi analisis
mikro (teks), analisis intermedia (tindakan pelaku media), dan analisis makro
(sosiokultural) tetap akan dipergunakan.
Pada penelitian ini, level analisis mikro akan mengkaji teks dengan
menggunakan standar media performance yang dikemukakan oleh McQuail
(1992 : 96), yaitu pada dimensi faktualitas dan imparsialitas. Dimensi faktualitas
meliputi kebenaran (factualness, accuracy, completeness, informativeness) dan
relevansi (normative theory, jurnalistic, audience, real world). Sedangkan
dimensi imparsialitas akan meliputi balance criteria (equal proportional access,
even handed evaluation) dan neutral presentation (non-evaluate dan non-
sensational). Dari dimensi-dimensi tersebut akan dianalisis dengan teknik content
analysis untuk mendapatkan data kuantitaif presentase masing-masing dimensi,
sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan inferensi untuk pijakan melakukan
analisis di tahap berikutnya. Untuk kegiatan pada tahap ini pengolahan data
dibantu dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences).
Dengan melihat level mikro atau teks tersebut dengan perspektif media
performance McQuail, maka akan dapat dianalisis bagaimana cara kerja pelaku
media dalam produksi teks berita tersebut yakni level analisis intermedia.
Sedangkan level makro atau sosiokultural akan mencoba membandingkan
perilaku media dari level intermedia dengan konteks moral atau etika yang
129
melingkupi kegiatan media baik dari sisi jurnalisme maupun dari etika sosial
masyarakat. Kerja analisis ini juga akan dikombinasikan dengan konsep-konsep
etika jurnalistik maupun etika pemberitaan sebagaimana dalam kerangka teori di
bab awal penelitian ini.
Tidak dipungkiri dalam penerapan kerangka kerja demikian ini membuka
celah-celah kelemahan. Dalam kerangka analisis Fairclough, analisis yang
dilakukan meliputi metode critical linguistic, depth interview, dan literatur
pustaka. (Eriyanto, 2003 : 326) Level teks dianalisis dengan metode critical
linguistics, hal ini dimungkinkan untuk teks yang tertentu atau terbatas.
Sedangkan dalam penelitian ini metode yang dipergunakan lebih ke arah
“dimensi” teks pemberitaan dengan menerapkan standar media performance.
Dengan metode ini teks tidak dianalisis secara detail aspek-aspek penggunaan
bahasa sebagai pembentuk wacana, melainkan akan dianalisis secara global
kesesuaian struktur teks dengan struktur media performance yang diidealkan
menurut McQuail. Untuk teks yang dianalisis dalam jumlah yang relatif besar,
critical linguistics menjadi kurang efisien.
Metode Fairclough untuk level discourse practice yang dipergunakan
adalah wawancara mendalam, tetapi dalam analisis penelitian ini tidak dilakukan
wawancara dengan pelaku media, tetapi “dialog” tentang perilaku pelaku yang
tersirat dalam teks yang ini diinterpretasikan melalui hasil analisis pada level teks
dan dibantu dengan penelusuran pustaka sebagaimana dalam pengenalan media
yang diteliti dalam subbab terdahulu. Keterbatasan dari metode ini adalah analisis
tidak bisa menyentuh sikap media yang laten atau tidak nampak secara langsung,
oleh karena dalam kerangka kerja ini tidak dilakukan wawancara terhadap pelaku
media. Sedangkan untuk level sociocultural practice, metode yang dipergunakan
sama dengan Fairclough yaitu sumber-sumber pustaka.
Tabel 4.3. Kerangka Kerja Analisis Penelitian Etika Pemberitaan
Level Tingkatan Metode
Analisis mikro Teks “Dimensi” teks pemberitaan
Analisis meso / intermedia Discourse practice Dialog dengan teks “perilaku tersirat”
Analisis makro Sosiocultural practice Penelusuran pustaka tentang sistem etika
130
C.3. Obyek Analisis Teks Pemberitaan
Kerangka kerja dan analisis sebagaimana dijelaskan di atas, akan
dipergunakan untuk menganalisis teks-teks pemberitaan politik yaitu mengenai
pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan presiden tahun 2004 yang
dimuat dalam media cetak nasional, yaitu Harian Kompas, Jawa Pos, Republika
dan Media Indonesia. Berita politik yang dimaksud adalah berita-berita tentang
politik dengan tema yang mencakup tentang peristiwa pemilihan presiden. Sesuai
dengan ciri khas berita yang membedakan dengan tulisan opini, maka berita dini
ditulis oleh wartawan dengan berlandaskan pada fakta peristiwa, bukan opini yang
ditulis oleh perseorangan maupun tulisan yang berisi wawancara langsung.
Dari keempat media cetak tersebut obyek analisis difokuskan pada
pemberitaan yang dimuat selama bulan September dan Oktober 2004, di mana
pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu “kritis” dalam pergantian
kepemimpinan nasional. Dalam dua bulan itu, proses politik nasional yang sangat
menentukan masa depan bangsa Indonesia dilakukan tahapan-tahapannya, yang
meliputi kampanye tahap II, pemilihan presiden dan wakil presiden tahap II,
penetapan dan pengumuman hasil pemilihan, dan pelantikan presiden terpilih.
Jumlah keseluruhan teks pemberitaan yang dianalisis dari keempat media cetak
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.4. Jumlah Berita di Media Cetak yang Dianalisis
Edisi bulan & tahun Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
September 2004 144 46 102 104
Oktober 2004 102 56 74 135
Total 246 102 176 239
Media cetak nasional ini mengangkat pemberitaan seputar pilpres langsung
yang meliputi tema-tema yang pada umumnya sesuai dengan tahapan dalam
pemilihan langsung tahap II pada bulan September dan Oktober 2004, seperti
terlihat dalam tabel berikut :
131
Tabel 4.5. Tema-tema Pemberitaan Seputar Pilpres 2004
Tema Berita (Jawaban dapat lebih
dari satu)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
@ % @ % @ % @ %
Kandidat 43 17.5 21 20.6 53 30 48 20
Partai Politik 21 8.5 7 6.8 19 10.8 43 17.9
Kampanye 37 15 16 15.7 8 4.5 12 5
Pemilihan Umum 34 13.8 10 9.8 6 3.5 24 10
Kemenangan SBY-JK 53 21.5 19 18.6 49 27.8 26 10.8
Serahterima Kekuasaan/pelantikan
21 8.5 7 6.8 12 6.8 17 7.1
Kabinet SBY-JK 20 8 17 16.6 21 11.9 45 18.8
Seratus Hari Pemerintahan SBY-JK
16 6.5 8 7.8 9 5.1 10 4.1
Lain-lain 17 6.9 8 7.8 7 3.9 25 10.4
D. Diskripsi Etika Pemberitaan Pilpres 2004
D.1. Analisis pada Tingkat Teks
Pelibat wacana dalam pemberitaan ditampilkan secara beragam dari unsur-
unsur yang mewakili pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembentukan
opini publik. Keragaman pelibat wacana ini penting dalam memberi perspektif
yang lebih luas dan beragam tentang tema pemberitaan, sekaligus menambah nilai
informasi bagi khalayak pembaca. Perbandingan pelibat wacana dalam
pemberitaan politik pergantian kepemimpinan nasional atau pemilihan presiden
2004 dalam media massa dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut:
Tabel 4.6. Pelibat Wacana Sebagai Sumber Berita
Sumber Berita (Jawaban Lebih dari satu)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Capres-Cawapres 90 42 99 59 (36.6%) (41.2%) (56.3%) (24.7%) Petinggi Partai 48 21 44 88 (19.5%) (20.6%) (25%) (36.8%) Pengamat Politik 72 11 18 29 (29.3%) (10.8%) (10.3%) (12.1%) Aparatur Pemerintah 80 51 48 68 (32.5%) (50%) (27.3%) (28.5%) Masyarakat Umum 77 30 68 48 (31.3%) (29.4%) (38.6%) (20.1%)
132
Tabel 4.7. Pelibat Wacana-Capres sebagai Fokus Berita
Capres sebagai Fokus Berita
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
SBY-JK 70 35 73 65 (28.5%) (34.3%) (41.5%) (27.2%) Mega-Hasyim 51 19 47 41 (20.7%) (18.6%) (26.7%) (17.2%)
Tabel 4.8. Pelibat Wacana dalam Pemunculan Partai Politik
Partai Politik dalam Berita (Jawaban dapat lebih dari satu)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
PDI-P 22 6 14 25 (8.9%) (5.9%) (7.9%) (10.4%) Golkar 16 3 7 18 (6.5%) (2.9%) (3.9%) (7.5%) PPP 13 2 7 7 (5.3%) (1.9%) (3.9%) (2.9%) PKB 7 7 7 17 (2.8%) (2.8%) (3.9%) (7.1%) PAN 1 6 4 6 (0.4%) (5.8%) (2. 3%) (2.5%) PKS 6 3 8 14 (2.4%) (2.9%) (4.5%) (5.8%) Partai Demokrat 3 1 1 16 (1.2%) (0.9%) (0.6%) (6.7%) PBB 5 3 7 1 (2%) (2.9%) (3.9%) (0.4%) Lain-lain 2 3 3 6 (0.8%) (2.9%) (1.7%) (2.5%)
Tabel 4.9. Pelibat Wacana dalam Pemunculan Lembaga Negara / ormas
Lembaga Negara/Ormas (jawaban dapat lebih dari satu)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Pemerintah 46 28 31 40 (18.7%) (27.5%) (17.6%) (16.7%) DPR/MPR 4 10 7 10 (1.6%) (9.8%) (3.9%) (4.2%) KPU 35 10 8 23 (14.2%) (9.8%) (4.5%) (9.6%) MA/Mahkamah Konstitusi 7 0 5 1 (2.8%) (0%) (2.85%) (0.4%) Ormas, LSM, dan lainnya 17 11 8 36 (6.9%) (4.5%) (4.5%) (15.1%)
133
Berita harus berlandaskan pada fakta dan kebenaran. Selama tidak ada
bantahan maka pemberitaan itu “dianggap” benar. Namun fakta yang
bersinggungan dengan satu pihak secara etika dilakukan proses check-recheck
atau konfirmasi sebagai bentuk keadilan untuk memberi kesempatan pihak
tersebut menanggapi suatu fakta tertentu yang menyangkut dirinya. Proses ini
telah dilakukan opleh media cetak nasional meskipun ada gradasi dari media cetak
yang diteliti, yakni paling tinggi Jawa pos (95%), dilanjutkan Media Indonesia
(94.3%), Republika (88.2%) dan Kompas (78.49%).
Tabel 4.10. Dimensi Faktualitas melalui Konfirmasi
Konfirmasi yang Bersangkutan Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Ya 193 90 166 227 (78.49%) (88.2%) (94.3%) (95%) Tidak 53 12 10 12 (21.59%) (11.7%) (5.7%) (5%) Total 246 102 176 239
Dalam hal jenis fakta yang menjadi dasar pemberitaan politik, antara fakta
empiris dan sosiologis relatif berimbang. Fakta empiris yang dimaksud adalah
berita tersebut merujuk kepada fakta peristiwa (secara mikro) tertentu, sedangkan
fakta sosiologis merujuk pada fakta kondisi sosiologis (secara makro) yang
berkembang dalam masyarakat seperti sistem politik, norma demokrasi, dan
sistem sosial-budaya. Fakta psikologis yang merujuk pada aspek psikologis
seperti perasaan senang-sedih, suka-tidak suka, dan sebagainya yang sangat
memungkinkan munculnya bias dalam pemberitaan. Jenis Fakta ini cukup
penting untuk melihat aspek relevansi pemberitaan dengan sosiokultural
masyarakat sehingga memang layak untuk diberitakan.
Dalam media cetak nasional sudah terlihat upaya untuk menampilkan
informasi yang berbasis pada fakta empiris yang biasanya peristiwa aktual,
sekaligus juga fakta sosiologis yang memberi kedalaman pemberitaan dari sisi
substansi yang penting bagi masyarakat, sehingga tidak terjebak pada persoalan
dipermukaan.
134
Tabel 4.11. Dimensi Faktualitas Merujuk pada Jenis Fakta
Merujuk pada fakta (Jawaban dapat lebih dari satu)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Empiris 159 91 152 231 (64.6%) (89.2%) (86.4%) (96.6%) Sosiologis 108 24 34 5 (43.9%) (23.5%) (19.3%) (2.1%) Psikologis 8 5 13 3 (3.3%) (4.9%) (7.4%) (1. 3%)
Demikian juga relevansi dengan sisi jurnalistik dilihat dari aspek-aspek
dari fakta-fakta tersebut yang mengandung nilai berita, semakin banyak
mengandung nilai berita, semakin baik dan semakin relevan untuk diberitakan.
Namun jenis nilai berita yang dipilih juga memiliki konsekuensi terhadap
kedalaman informasi pemberitaan. Pilihan aktualitas sudah sewajarnya menjadi
pilihan pertama, tetapi pilihan berikutnya menjadi berbeda, yakni Kompas,
republika dan Media Indonesia memilih dengan urutan yang sama setelah
aktualitas adalah signifikasi, tokoh, dampak baru kemudian proksimitas dan
human interest.
Jawa Pos setelah Aktualitas lebih memilih tokoh, proksimitas baru
kemudian signifikansi, konsekuensi dan human interest. Pilihan Jawa Pos dapat
dilihat lebih berorientasi pada pasar pembacanya, karena ketiga hal pertama yang
dipilih pada umumnya langsung berhubugan dengan pangsa pasarnya, misalnya
wilayah tertentu, atau massa pendukung tokoh tertentu. Sedangkan pilihan
signifikansi dan konsekuensi memiliki aspek kedalaman substansi yang
sebenarnya penting bagi masyarakat pembaca, karena melengkapi latar belakang
sosiologis dari suatu peristiwa. Pemilihan nilai-nilai berita ini dapat dicermati
dalam tabel berikut :
135
Tabel 4.12. Dimensi Faktualitas dari aspek Relevansi dengan Nilai Berita
Relevansi Nilai berita (Jawaban dapat lebih dari satu)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Aktualitas 198 99 165 235 (80.5%) (97.1%) (93.7%) (98.3%) Signifikansi bagi khalayak 170 65 139 57 (69.1%) (63.7%) (78.9%) (23.8%) Konsukensi/dampak besar bagi khlayak 66 34 70 25 (26.8%) (33%) (39.7%) (10.5%) Proksimitas dengan khalayak 64 13 56 63 (26%) (12.7%) (31.8%) (26.4%) Human interest/sentuhan psikologis 17 3 12 8 (6.9%) (2.9%) (6.8%) (3.3%) Tokoh/Publik figur 120 63 124 155 (48.8%) (61.7%) (70.4%) (64.8%)
Aspek obyektitas media juga diukur dengan aspek imparsialitas
(impartiality) berita terhadap pihak-pihak tertentu. Aspek impartialitas dalam
presentasi berita ditunjukkan dengan ada/tidaknya penilaian subyektif wartawan
yang mendukung atau menjatuhkan pihak tertentu (non-evaluatif), serta
ada/tidaknya upaya wartawan untuk melakukan dramatisasi (non-sensasional).
Dari dua hal ini, pemberitaan media massa telah menunjukkan sikap presentasi
yang positif yakni di atas 90%, kecuali Media Indonesia yang dalam sikap non-
sensasional masih di bawah media cetak yang lain.
Tabel 4.13. Dimensi Imparsialitas Secara Non-Evaluatif
Non-evaluatif/netral (Tidak mendukung / Menjatuhkan)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Ya 240 95 171 229 (97.5%) (93.1%) (97.2%) (95.8%) Tidak 6 7 5 10 (2.4%) (6.8%) (2.8%) (4.2%) Total 246 102 176 239
Tabel 4.14. Dimensi Imparsialitas Secara Non-Sensasional
Non-Sensasional (Tidak melakukan dramatisasi)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Ya 230 95 145 216 (93.5%) (93.1%) (82.4%) (90.4%) Tidak 16 7 31 23 (6.5%) (6.9%) (17.6%) (9.6%) Total 246 102 176 239
136
Selain dari sisi presentasi, imparsialitas juga ditinjau dari adanya upaya
media massa untuk memberi akses bagi semua pihak untuk terlibat dalam isi
pemberitaan. Pihak SBY-JK maupun Mega-Hasyim harus mendapat kesempatan
yang sama untuk diperhatikan oleh media secara berimbang, oleh karena itu dari
sisi jumlah (kuantitas) antar kedua pihak ini juga semestinya berimbang, termasuk
juga keseimbangan kualitas sumber berita harus setara atau mendekati setara.
Pada umumnya pemberitaan sudah menampilkan pihak-pihak terkait secara cover
both side, tetapi secara kuantitas dan kualitas cenderung masih belum balance
atau berimbang, yakni hanya berkisar antara 50%-80% dari pemberitaan.
Tabel 4.15. Dimensi Imparsialitas secara Cover Both Side
Cover Both Side (Akses Bagi Semua Pihak)
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Ya 168 81 126 151 (68.2%) (79.4%) (71.6%) (63.2%) Tidak 78 21 50 88 (31.8%) (20.6%) (28.4%) (36.8%) Total 246 102 176 239
Tabel 4.16. Dimensi Imparsialitas Aspek Balance Secara Kuantitas
Keseimbangan Kuantitas Antar Sumber Berita
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Ya 142 71 101 121 (57.7%) (69.6%) (57. 4%) (50.6%) Tidak 104 31 75 118 (42.3%) (30.4%) (42.6%) 49.4%) Total 246 102 176 239
Tabel 4.17. Dimensi Imparsialitas Aspek Balance Secara Kuantitas
Keseimbangan Kualitas Antar Sumber Berita
Kompas Republika Media Indonesia
Jawa Pos
Ya 147 75 120 130 (59.7%) (73.5%) (68.2%) (54.4%) Tidak 99 27 56 109 (40.2%) (26.5%) (31.8%) (45.6%) Total 246 102 176 239
137
Berita berlandaskan pada fakta, oleh karena itu harus menghindari
subyektivitas wartawan. Dalam pemberitaan wartawan harus menghilangkan
unsur subyektivitas tersebut dengan tidak memasukkan opini-opini pribadi ke
dalam pemberitaan yang dapat menyebabkan munculnya bias berita. Dari dimensi
imparsialitas, media massa yang diteliti ini pada umumnya telah bersikap non-
opinion, yakni di atas 90% pemberitaannya sudah memenuhi standar ini,
meskipun tentu saja masih menunjukkan adanya sikap opini.
Tabel 4.18. Dimensi Imparsialitas aspek non-opini
Tidak Ada Opini Pribadi Wartawan Kompas Republika Media
Indonesia Jawa Pos
Ya 239 93 173 217 (97.2%) (91.2%) (98.3%) (90.8%) Tidak 7 9 3 22 (2.8%) (8.8%) (1.7%) (9.2%) Total 246 102 176 239
Salah satu tanggungjawab normatif media massa adalah kontrol sosial,
oleh sebab itu suatu pemberitaan mestinya memberikan kritik secara konstruktif
bagi kemajuan masyarakat maupun bagi pihak-pihak yang terkait. Pers bukanlah
alat pasif dalam hal kritik, melainkan aktif untuk membangkitkan dan
mengumpulkan kritik konstruktif dalam masyarakat. Pers dapat berkesempatan
melakukan kritik tanpa identifikasi sebagai pengritik langsung, tetapi
memanfaatkan fakta opini dari narasumber. Namun pada umumnya pemberitaan
kurang menunjukkan adanya kritik konstruktif, kebanyakan fakta opini yang
ditampilkan hanya berkisar pada komentar atas peristiwa empirik, masih sedikit
upaya media massa dalam menggali kritik yang konstruktif bagi masyarakat
sendiri maupun bagi proses politik di Indonesia.
Tabel 4.19. Kontrol Sosial dalam Pemberitaan
Terdapat kritik konstruktif Kompas Republika Media
Indonesia Jawa Pos
Ya 40 30 12 46 (16.3%) (29.4%) (6.8%) (19.2%) Tidak 206 72 164 193 (83.7%) (70.6%) (93.2%) (80.7%) Total 246 102 176 239
138
Pada level teks ini dapat dicermati konstruksi etika pemberitaan politik
dari masing-masing media cetak. etika pemberitaan dibangun melalui suatu
praktek kerja yang hasilnya terlihat dalam pemberitaan. Dalam uraian analisis
level teks ini menunjukkan adanya gradasi kualitas pemberitaan, di mana keadaan
ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti proses produksi dalam ruang redaksi dan
faktor ektramedia, masyarakat sistem politik, budaya dan sebagainya. Pemberitaan
menjadi gambaran bagaimana nilai-nilai etika diterapkan oleh media cetak.
D.2. Analisis pada Tingkat Discourse Practice
Pada tingkat discourse practice ini akan dilihat bagaimana pelaku media
melakukan proses produksi pemberitaan. Media cetak secara normatif memiliki
tanggungjawab menjadi sarana pemenuhan hak masyarakat, yaitu hak untuk tahu
dan hak mendapatkan informasi. Peristiwa pemilihan presiden secara langsung
merupakan peristiwa besar yang melibatkan semua masyarakat Indonesia berupa
partisipasi politik yang sangat penting bagi masa depan bangsa Indonesia.
Informasi yang akurat, dan lengkap dari banyak sisi menjadi sangat penting bagi
masyarakat untuk menjadi bahan pertimbangan baik bentuk, sikap dan keyakinan
politik, khususnya untuk melakukan pemilihan presiden. Oleh karena itu media
massa mengangkat pemberitaan-pemberitaan seputar pemilihan presiden ini harus
akurat dan lengkap.
Pemberitaan politik tentang pergantian kepemimpinan nasional atau
pemilihan presiden ini telah dilakukan oleh media cetak secara umum telah
berupaya memenuhi hak informasi bagi masyarakat tersebut. Hal ini terlihat dari
tema-tema yang diangkat cukup beragam sesuai dengan peristiwa yang aktual dan
empirik. Demikian juga dengan keragaman pelibat wacana, memungkinkan
wacana yang dikembangkan oleh media di masyarakat juga menjadi beragam
sehingga masyarakat dapat melakukan proses pemilihan informasi dan
menentukan sikap politiknya.
139
Beragamnya narasumber juga menunjukkan adanya kebebasan secara
politik bagi media massa untuk melakukan pemberitaan. Di mana hal ini cukup
berbeda dibandingkan pada situasi negara dalam sistem otoriter yang sumber
informasi biasanya didominasi oleh pihak pemerintah atau kekuasaan. Media
cetak nasional secara leluasa dapat mengambil narasumber di luar pemerintah dan
kekuasaan, seperti pengamat politik dan masyarakat umum. Wacana yang
dikembangkan pada akhirnya bukan wacana satu arah dari pihak pemerintah saja
tetapi dari berbagai pihak, yang memberi kesempatan bagi masyarakat untuk
mempertimbangkan wacana yang dipandang paling sesuai dengan
kepentingannya. Kebebasan media massa dalam pemberitaan ini berdampak
secara postif bagi upaya demokratisasi dan bagi kepentingan masyarakat.
Pelaku media cetak, terutama wartawan dalam melakukan proses
pemberitaan harus bersikap dan bertindak secara obyektif. Nilai obyektivitas ini
semestinya menjadi standar kerja media massa sehingga pemberitaannya memiliki
performen yang ideal. Sesuai dengan standar media performance McQuail,
obyektivitas ini meliputi dua dimensi yaitu dimensi faktualitas dan imparsialitas.
Dari pemberitaan yang diteliti ini, media massa relatif mengindahkan standar ini
dalam melakukan kerja keredaksian. Di antaranya adalah wartawan dalam
melakukan pemberitaan harus berlandaskan pada fakta dan kebenaran. Untuk
mengetahui fakta-fakta dan bahwa fakta tersebut adalah benar, wartawan harus
melakukan check-recheck dan konfirmasi kepada sumber-sumber data sehingga
informasi yang akan diberitakan benar-benar factualness. Konfirmasi juga selain
untuk mengecek suatu informasi pada pihak yang bersangkutan secara langsung
dengan suatu persoalan, juga merupakan sikap yang adil untuk memberi
kesempatan pihak tersebut menjelaskan atau melakukan bantahan terhadap
informasi dimaksud.
Dalam penulisannya, wartawan mempertimbangkan penting-tidaknya
suatu peristiwa untuk diangkat menjadi berita. Faktualitas juga harus dilihat dari
relevansinya dengan nilai berita secara jurnalistik. Suatu berita dinilai baik jika
memiliki nilai-nilai berita, di mana semakin banyak nilai-nilai tersebut terdapat
dalam suatu berita, maka semakin baik. Di antara nilai-nilai berita tersebut yang
140
menjadi pertimbangan media massa adalah aktualitas, signifikansi bagi khalayak,
dampak yang besar bagi khalayak, proksimitas atau kedekatan dengan khalayak
pembacanya, human interes dan tema tokoh. Hampir semua media menonjolkan
nilai pemberitaan pada segi aktualitasnya yang berarti merujuk pada fakta empiris,
peristiwa yang sedang atau baru terjadi. Berikutnya adalah nilai signifikansi,
yakni sejauhmana suatu peristiwa memiliki nilai penting bagi masyarakat
sehingga tertarik untuk membacanya. Namun khusus untuk Jawa Pos nilai berita
kedua yang dipilih adalah tokoh. Pemilihan ini tentu saja sah-sah saja, tetapi
pemilihan tokoh yang tidak berimbang dapat menimbulkan bias dan menjadikan
media massa hanya sebagai corong bagi tokoh tertentu yang diberitakan. Pilihan
aspek pemberitaan seringkali dipengaruhi oleh kecenderungan orientasi politik,
ekonomi bahkan ideologi media massa.
Pilihan nilai berita ini juga menunjukkan pengaruh ekstra maupun ideologi
media cetak. Ideologi pasar akan cenderung memilih nilai berita yang permukaan
tetapi langsung bisa ditangkap oleh khalayak, seperti yang dilakukan Jawa Pos.
Sedangkan Kompas, Republika dan Media Indonesia meskipun memilih aspek
yang lebih substantif dari peristiwa berita, media ini juga melakukan pemilihan
narasumber yang sesuai dengan ideologi dan kecenderungan politik masing-
masing.
Dimensi imparsialitas menunjukkan netralitas berita terhadap pihak-pihak
yang terkait dalam peristiwa berita. Berita yang etis sudah semestinya tidak
berpihak kepada pihak-pihak tertentu sehingga bisa memberi informasi kepada
masyarakat secara adil, seimbang dan lengkap. Secara umum media massa
nasional dalam pemberitaannya sudah menampilkan sikap non-evaluatif atau
penilaian yang mendukung ataupun yang menjatuhkan pihak-pihak tertentu.
Demikian juga tidak melakukan dramatisasi (sensasional) yang menimbulkan bias
pemberitaan, baik melalui pemilihan kalimat-kalimat konotatif maupun judul
yang tidak sesuai dengan isi.
Dimensi netralitas atau tidak berpihak ini juga dapat dilihat dari sikap
media untuk melakukan cover both side, menampilkan dua pihak atau pihak-pihak
141
yag terkait secara berimbang. Pada umumnya cover both side ini telah dilakukan
oleh media massa dalam pemberitaan, tetapi masih ada meskipun relatif sedikit
yang berita yang tidak menunjukkan cover both side ini. Dan Jika dilihat lebih
rinci lagi dalam bentuk keseimbangan (balance) secara kuantitatif yaitu
perbandingan jumlah narasumber yang dilibatkan dalam pemberitaan, nilai
imparsialitas ini semakin menurun, dan lebih rendah lagi ketika dilihat pada
keseimbangan secara kualitas sumber-sumber berita yang dilibatkan dari kedua
pihak. Termasuk dalam dimensi imparsialitas ini adalah sikap non-opini dari
wartawan. Untuk memberitakan peristiwa, wartawan harus bersikap non-opini
yaitu memisahkan fakta-fakta dari opini pribadi secara langsung, karena akan
mengaburkan dan menimbulkan bias pada kebenaran faktual yang diberitakan,
sehingga menyulitkan pembaca untuk memilah fakta, dan akibatnya merugikan
bagi masyarakat.
Kontrol sosial juga merupakan tanggungjawab normatif media massa,
yakni pemberitaan juga menunjuk pada upaya perbaikan bagi kehidupan
masyarakat. Wartawan dan media massa juga merupakan bagian dari masyaakat
yang memiliki kewajiban yang sama dengan anggota masyarakat lainnya untuk
mengembangkan dan memajukan masyarakatnya. Oleh karena itu, media massa
juga berhak untuk memiliki sikap terhadap suatu peristiwa tertentu. Namun
demikian dalam pemberitaannya harus ditunjukkan atau dibedakan antara sikap
media dengan fakta berita, namun pada intinya media dengan kebebasan yang
dimiliki bertanggungjawab untuk turut membangun masyarakatnya melalui
pemberitaan yang akurat dan lengkap.
Proses produksi pemberitaan dari ruang redaksi (newsroom) dengan
gambaran sebagaimana di atas, bukan suatu hal yang sederhana, melainkan rumit
dan kompleks yang melibatkan personalitas wartawan, institusi-institusi yang
terkait dan rutinitas kerja keredaksian. Dari sisi personalitas wartawan, produk
pemberitaan politik kualitasnya tergantung pada sikap profesionalisme, orientasi
politik bahkan juga ekonomi, dan latar belakang wartawan yang melakukan
peliputan dan penulisan berita. Profesionalisme ditunjukkan dengan komitmen
misalnya, dalam proses peliputan wartawan berupaya mendapatkan data yang
142
akurat dan valid melalui check-recheck dan konfirmasi –ingat, intisari jurnalisme
adalah disiplin verifikasi, dan dalam penulisan berita kaidah-kaidah imparsialitas
seperti non-evaluatif, non-sensasional, cover both side dan balance menjadi
tuntutan penting. Orientasi politik dan ekonomi wartawan seringkali juga
mempengaruhi proses pemberitaan, kecenderungan politik tertentu dapat
menjadikan secara subyektif wartawan memihak pada kelompok tertentu yang
dapat menimbulkan bias dalam pemberitaannya. Termasuk juga latar belakang
wartawan sangat berpengaruh seperti latar belakang pendidikan, agama, etnis,
gender dan sebagainya, biasanya membentuk cara pandang tertentu dari wartawan
terhadap suatu peristiwa.
Suatu berita juga dihasilkan dari interaksi-interaksi bahkan negosiasi
antarstruktur dalam ruang redaksi. Suatu berita biasanya melibatkan kerja
wartawan lapangan, editor, dan redaktur. Wartawan pada umumnya melaporkan
peristiwa apa adanya sesuai cara pandangnya di lapangan, tetapi saat masuk ruag
redaksi berita itu akan mengalami proses editing oleh editor dan/atau redaktur.
Proses ini dapat mempengaruhi hasil akhir suatu berita, di mana editor dan
redaktur yang tidak berada di lapangan melakukan editing dan koreksi hasil
peliputan wartawan dari lapangan. Sekali lagi personalitas redaktur juga turut
mempengaruhi produksi pemberitaan dari dalam newsroom.
Rutinitas kerja dan standar kerja wartawan yang diterapkan oleh suatu
media massa juga berpengaruh terhadap proses produksi ini. Pada media yang
menerapkan standar kerja yang ketat pada umumnya akan menghasilkan
pemberitaan yang relatif berkualitas, sedangkan media yang kurang memberi
perhatian pada standar kerja bisa dipastikan kualitas berita yang dihasilkan pas-
pasan atau bahkan tidak berkualitas. Dalam pemberitaan di media cetak nasional
hal ini tercermin dari masih fokusnya pemberitaan pada fakta empiris,
keseragaman narasumber dan tema sehingga memunculkan keseragaman
informasi bagi khalayak. Perspektif yang didapat oleh khalayak akhirnya kurang
meluas, beragam dan mendalam.
143
Level discourse practice ini dalam tataran etika berada dalam posisi
menunjukkan pada proses melakukan perbuatan, yang pada hakikatnya tidak bisa
dipisahkan dengan level teks itu sendiri. Level teks yang telah diulas di depan
adalah “perilaku”, sedangkan level discourse practice ini adalah “berperilaku”.
Teks pemberitaan yang terbaca dan dimuat dalam media cetak, menunjukkan
bagaimana para pelaku media berperilaku. Kualitas teks yang baik, menjunjung
tinggi etika jurnalistik maupun etika pemberitaan, hakikatnya discourse prectice
yang ideal, etis dan bermoral, yakni proses produksi pemberitaan yang dilandasi
dengan profesionalisme dan tanggungjawab. Dalam konteks pemberitaan politik
media cetak nasional pada level discourse practice menunjukkan perilaku etika
yang dipengaruhi oleh ideologi dan kepentingan bisnis media yang dikemas dalam
pemberitaan yang kualitasnya optimal.
D.3. Analisis pada Tingkat Sociocultural Practice
Proses produksi berita sangat terkait dengan situasi sosial budaya
masyarakat yang melingkupinya. Media massa memiliki keterkaitan erat dengan
aspek situasional, institusional maupun sosiologis pada umumnya. Pada aspek
situasional, media cetak dalam melakukan pemberitaan akan mempertimbangkan
situasi-situasi yang berkembang, termasuk peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi
sekaligus cara pandang media terhadap peristiwa tersebut. Dalam bulan-bulan di
tahun 2004, situasi bangsa Indonesia tengah mempersiapkan dan melaksanakan
pemilihan umum, maka orientasi pemberitaan politik hampir di semua media
massa mengacu pada situasi ini. Media cetak yang diteliti ini juga mengangkat
pemberitaan tentang proses pemilihan presiden secara langsung untuk yang
pertama kali di Indonesia, pada umumnya menjadikannya sebagai berita utama
(headline), bahkan juga membuat rubrik khusus tentang proses pemilihan
presiden ini, misalnya Jawa Pos membuat rubrik “Perjalanan Menuju Istana”.
Aspek institusional memiliki pengaruh yang cukup besar dalam suatu
proses produksi berita. Institusi media massa sendiri biasanya memiliki orientasi
politik atau ekonomi yang memungkinkan “dipaksakan” untuk mempengaruhi
144
pemberitaan. Pada umumnya, institusi media mewakili orientasi pemilik media
tersebut, seperti Kompas yang pada latar belakang sejarahnya dari Partai Kristen,
Republika yang didirikan oleh Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI),
Media Indonesia yang dimiliki oleh Suryo Paloh aktivis Golkar dan pendiri FPPI,
dan Jawa Pos yang dipagang oleh Dahlan Iskan yang cukup terkenal pengusaha
media. Demikian juga ideologi media massa tersebut, seperti nasionalis, islamis,
maupun kapitalis sangat berpengaruh terhadap proses produksi berita.
Kondisi sosiologis masyarakat seperti terjadinya perubahan sistem politik
dan ekonomi juga turut berpengaruh. Masa Orde Baru yang otoriter dan
membatasi kebebasan pers menjadikan pers atau media cetak dalam
pemberitaannya sangat hari-hati karena ancamannya breidel kalau dipandang
tidak sesuai dengan kehendak kekuasaan. Namun pada era reformasi, yang
tercipta adalah situasi kebebasan, sehingga media cetak bebas memberitakan
peristiwa dengan perspektifnya sendiri, tidak harus dari sudut pandang
pemerintah. Sistem politik yang sentralistik dan serba pemerintah kemudian
berubah dengan desentralisasi dan penguatan masyarakat sipil. Dalam bidang
media massa, terjadi perubahan dari sistem yang menganut state regulation
kepada market regulation. Pemerintah sudah melepaskan kontrol media massa
kepada kontrol pasar. Hal ini kemudian mempengaruhi orientasi pers atau media
cetak nasional, dari yang awalnya kental dengan idealisme perjuangan mulai
beranjak menuju industrialisasi media. Media massa menjadi industri yang
mencetak wacana secara massal, seragam, dan homogen sehingga laku dijual.
Demikian pula masyarakat pembaca yang juga memiliki latar belakang,
orinetasi dan ideologi tertentu, senderung akan berupaya mencari informasi yang
sesuai dengan cara pandangnya. Hasilnya adalah “kompromi” antara kepentingan
media massa untuk menjual dan masyarakat pembaca yang membeli. Pangsa pasar
kemudian menjadi salah satu kunci penting yang mempengaruhi bagaimana berita
diciptakan. Republika yang ditujukan pada khalayak Muslim kelas menengah,
terdidik, dan berorientasi formalisasi syariah akan menuliskan pemberitaan
dengan sudut pandang yang sama dengan cara pandang khalayaknya. Jawa Pos
yang lebih merata sampai ke level kelas menengah ke bawah akan menampilkan
145
pemberitaan yang lebih sederhana dan ringan, berbeda dengan Kompas dan
Media Indonesia yang khalayak pembacanya menengah ke atas.
Posisi sosial-budaya dalam kajian etika menjadi latar atau setting di mana
suatu nilai-nilai etis atau moralitas diterapkan. Sumber etika bisa datang dari
Tuhan maupun dari pikiran idealistik, tetapi etika sebagai pengetahuan tentang
perilaku tidak bisa lepas dari konteksnya. Tanpa melihat konteks sosial budaya
dari masyarakatnya, meka etika ini tidak akan membumi. Sociocultural practice
dari suatu pemberitaan menunjukkan bahwa nilai-nilai etika, terutama etika
pemberitaan dan media massa merupakan hasil negosiasi dan kompromi dari
nilai-nilai idealis dengan nilai-nilai pragmatis. Media cetak yang hanya
memperhatikan nilai-nilai idealis biasanya hanya menjadi media yang utopis,
sebaliknya media yang hanya berorientasi pada pragmatis belaka akan terjebak
menjadi media yang permisif dan cenderung tidak bertanggungjawab. Oleh karena
itu nampaknya jalan tengah yang diambil oleh media cetak nasional dalam sikap
etika pemberitaan politik ini adalah kompromi antara ideologi media,
kepentingan media dan kepentingan khalayak.