bab iv tinjauan hasil penelitian - institutional...
TRANSCRIPT
BAB IV
TINJAUAN HASIL PENELITIAN
“Kajian Pastoral terhadap dampak Psikologis bagi orang yang dikenakan Disiplin Gereja”
Dalam bab ini, penulis akan meninjau hasil penelitian dalam Bab III dan
menghubungkannya dengan landasan teori yang telah dirumuskan dalam Bab II. Tinjauan ini
dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian sebagaimana telah ditulis dalam Bab I, yaitu
Mendeskripsikan dampak psikologis terhadap orang yang dikenakan disiplin gereja di Jemaat
GPM Hative Besar dan membahas tentang tinjauan teologis terhadap persoalan disiplin gereja.
4.1 Tinjauan Tentang Dampak Psikologis bagi Orang yang Dikenakan Disiplin Gereja.
Kalau dianalisis secara lebih jauh, maka dapat dilihat bahwa seseorang telah bermasalah
sebelum malakukan perselingkuhan, hamil di luar nikah. Masalah-masalah yang dialami bisa
saja membuat seseorang stres dan mengambil jalan pintas yang mana bisa juga berujung pada
selingkuh atau tidak kontrol dalam hal berpacaran. Bukan saja hal-ekonomi, ada hal lain juga
yang dapat dilihat yaitu soal relasi antar suami istri misalnya. Dari data yang diperlihatkan,
tergambar jelas bahwa hampir semua pelanggaran yang dilakukan adalah selingkuh. Terhadap
itulah maka jelas pelanggaran selingkuh menjadi akibat dari suatu sebab. Orang selingkuh
disebabkan oleh banyak faktor. Tidak banyak, tetapi setidaknya dapat diketahui faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi seseorang itu melakukan perselingkuhan. Aspek ekonomi, aspek
biologis, aspek kultural, aspek kebiasaan, aspek sosial dan mungkin masih banyak lagi yang
menjadi sesuatu yang turut mempengaruhi seseorang selingkuh. Dari sini, dapat dipahami
bahwa sesungguhnya ada hal lain yang belum diperhatikan secara baik oleh gereja. bisa
dipastikan juga bahwa soal pelayanan terhadap pasangan suami istri belum maksimal dilakukan,
sehingga hal ini masih menjadi masalah serius yang harus diperhatikan oleh para perangkat
pelayan di jemaat GPM Hative Besar. Bertolak dari hal itu maka, bukan tidak mungkin aspek-
aspek seperti di ini menjadi aspek penting yang harus didengar oleh pelayan. Dari sisi ini maka
lagi-lagi menjadi tugas dan tanggung jawab pelayan, yaitu lebih memperhatikan aspek-aspek
menyangkut pernikahan Kristen. Untuk menyiasati hal ini maka konseling pra-nikah, nikah, dan
pasca nikah harus di lihat menjadi tanggung jawab yang juga penting.
Dari dampak-dampak yang ditampilkan maka dapat dipastikan bahwa seseorang kemudian
sedang mengalami stres karena dikenakan disiplin gereja. Jelasnya bahwa dampak selalu
berkaitan dengan reaksi yang ditimbulkan. Ada dua reaksi ketika seseorang mengalami stres,
yaitu: agresif dan depresif. Kalau seseorang sering marah dan selalu melakukan tindakan
kekerasan maka orang tersebut sementara stres dan reaksinya adalah agresif; selanjutnya kalau
seseorang kemudian sering menyendiri, menangis, rasa bersalah yang berlebihan, maka reasinya
adalah depresif. Dari reaksi yang telah dijelaskan diatas (reaksi orang dikenakan tindakan
disiplin) dan bila dikaitkan dengan reaksi seseorang yang sementara stres (reaksi agresif dan
agresif), maka jelas bahwa disiplin gereja dapat mengakibatkan seseorang stres.
Stres kelanjutannya akan berdampak kepada apa saja yang ada di dalam diri orang yang
dikenakan disiplin gereja. Ada lima aspek diri yang dipengaruhi: Pertama, Fisik-diri, tubuh dan
semua aktifitas biologi berlangsung di dalam diri orang yang dikenakan disiplin gereja. Kedua,
diri-sebagai-proses: suatu aliran akal. Emosi dan perilaku manusia yang konstan. Apabila
mendapat masalah maka pemberian respons secara emosional, membuat suatu rencana dan
tindakan dari orang yang dikenakan disiplin gereja turut dipengaruhi. Ketiga, Diri-sosial, artinya
bahwa relasi antara sesama menjadi turut dipengaruhi. Seseorang yang dikenakan disiplin gereja
kemudian akan kesulitan untuk berelasi dengan orang lain. Keempat, Konsep-diri, pendangan
pribadi yang dimiliki oleh orang yang dikenakan disiplin gereja tentang dirinya sendiri entah
tentang masa depan, cita-cita pun turut dipengaruhi. Kelima, Cita-diri, yang merupakan faktor
penting dari perilaku manusia (orang yang dikenakan disiplin gereja) pun dipengaruhi.
Ketika orang yang dikenakan disiplin gereja mengalami stres maka lima aspek di atas
menjadi tempat bermuaranya dampak-dampak psikologis itu. Hal ini disebabkan kerena adanya
ketergantungan antara sesama elemen di dalam diri manusia. Berbagai macam elemen yang ada
ini kemudian menjadi satu kesatuan yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya, yang
kemudian juga akan berkumpul menjadi kesatuan yang kokoh dan kuat. Dengan demikian maka
jelas untuk setiap perilaku dan konsep tidak terlepas dari pengaruh tempat di mana seseorang
berada. Atau dengan kata lain dapat dijelaskan juga bahwa setiap orang akan mempunyai
perilaku dan konsep diri tergantung tempat di mana orang itu ada. Dari situ maka dapat dipahami
bahwa setiap orang kemudian memiliki perilaku dan konsep diri yang berbeda dengan orang lain
karena berada di tempat yang berbeda pula.
4.1.1 Pelayanan gereja
a. Realitas konteks
Sudah merupakan tanggung jawab gereja dalam memberikan pendampingan pastoral
kepada orang yang sementara dikenakan disiplin gereja. Upaya yang dilakukan ini sedapatnya
memberikan kesadaran bagi mereka yang dikenakan tindakan disiplin.1 Proses penggembalaan
biasanya ditangani oleh Ketua Mejelis Jemaat dan penghentar jemaat. Namun tidak menutup
kemungkinan juga bagi majelis jemaat atau koordinator unit untuk melakukan proses
penggembalaan. Namun hal ini sangat ditentukan oleh orang yang mau dilayani. Sebab
terkadang umat lebih cenderung ingin dilayani oleh pendeta, dibandingkan majelis jemaat atau
1 Hasil wawancara dengan Pdt.J.N.P.S.Th (Ketua Majelis Jemaat GPM Hative Besar) , Tanggal 1 September
2010.
kordinator unit.”biasanya anggota jemaat lebih memilih Pendeta dibandingkan dengan mejelis
dan kordinator unit”2 karena pelayanan penggembalaan yang dilakukan lebih banyak kepada
nasihat-nasihat, selesai dengan memberikan nasihat, selanjutnya adalah berdoa dengan orang
tersebut. Doa yang disampaikan selalu berisikan permintaan, sekiranya Tuhan selalu
memberikan pengampunan dan kekuatan bagi mereka yang dikenakan dikenakan disiplin gereja.
Konteks ini memperlihatkan bahwa sungguh baik setiap konsep dan pemahaman dari
para pelayan. Namun ada hal yang kurang dilihat secara baik. Hal ini adalah soal praksis di
lapangan. Pada umumnya para pelayan memiliki pikiran-pikiran yang baik, tetapi tidak seimbang
dengan penerapannya di lapangan. Selanjutnya fungsi penggembalaan yang benar nampak
kurang dimiliki oleh seorang pelayan. Hal ini dapat dipahami dari kebiasaan para pelayan yang
lebih banyak memberi nasihat dibandingkan mendengar keluh kesah dari orang yang dikenakan
disiplin gereja. Memang tidak salah bahwa seorang pelayan harus memberikan nasihat-nasihat,
namun yang mau ditekankan di sini adalah bahwa bagaimana proses penggembalaan yang
dilakukan melebihi sekedar memberi nasihat atau penguatan-penguatan kepada mereka yang
dikenakan disiplin gereja, agar tidak berdampak pada psikologis mereka. Pada hakekatnya hal
yang penting dan merupakan langkah awal menolong seseorang yaitu soal mendengarkan apa
yang dikatakan seorang, hal ini terkait dengan keinginannya, harapannya, kendala-kendala yang
dihadapi dan lain-lain.
Siap mendengarkan keluh kesah, harapan, keinginan seseorang tentang hidup orang yang
dikenakan disiplin gereja akan membuka setiap lembaran dokumen-dokumen hidup seseorang.
Dan proses ini akan memungkinkan terjadinya suatu proses menolong. Dengan demikian terlihat
jelas di sini bahwa proses disiplin gereja yang dilakukan oleh para pelayan di jemaat GPM
Hative Besar terkesan hanya sebagai suatu tuntutan dari aturan yang mesti dijalankan, tanpa
2 Ibid;
melihat orang yang dikenakan disiplin gereja secara mendalam. Orang yang dikenakan disiplin
dengan seluruh keberadaannya terkesan dilupakan. Perasaannya, kebutuhannya tidak disentuh
sama sekali dalam proses penggembalaan.
b. Kendala dan cara menghadapinya.
Disadari sungguh bahwa tidak ada suatu pelayanan yang tanpa tantangan dan kendala.
Kendala-kendala yang masih dialami dan dirasakan dalam melayani orang yang dikenakan
disiplin gereja seperti misalnya permintaan mendadak untuk melakukan proses penggembalan.
Ketika seseorang menginginkan pendeta, sudah pasti yang dicari adalah pendeta untuk
melayani. Berhubung dengan jumlah pendeta yang kurang, dan mungkin saja berhalangan maka
proses melayani tidak akan berlangsung.3 Soal kepercayaan dan relasi antar anggota yang
dikenakan tindakan disiplin dengan pendeta, mejelis jemaat dan kordinator unit juga menjadi
tantangan yang berikutnya. Ketika relasinya tidak baik maka sudah pasti akan menghambat
proses pengembalan.4 Pengaruh pemahaman disiplin sebagai suatu hukuman oleh masyarakat
turut menjadi tantangan dalam proses pelayanan yang dilakukan. Hal ini didasari oleh
pemahaman bahwa lingkungan kemudian turut mempengaruhi seseorang. Proses pertolongan
kepada orang-orang yang dikenakan disiplin gereja tidak terlepas dari dukungan dari komunitas
di mana dia tinggal.5
Faktor kurang adanya dukungan dari keluarga juga akan menjadi kendala selanjutnya.
Keluarga pada dasarnya adalah mitra dari para pelayan yang juga semestinya menopang proses
pemulihan seseorang. Peran serta istri suami dan anak-anak sangatlah dibutuhkan. Dengan
3 Hasil wawancara dengan penghentar jemaat GPM Hative Besar. 4 Hasil wawancara dengan T. Petta, Majelis jemaat GPM Hative Besar, Tanggal 1 September 2010. 5 Ibid;
demikian ketika tidak ada dukungan dari keluarga maka hal ini akan menjadi kendala dalam
proses pemulihan seseorang yang dikenakan disiplin gereja.6
Dari setiap kendala yang ada maka dapat dilihat beberapa hal yakni, soal relasi yang kurang
baik. Dari sisi tanggug jawab maka seorang pelayan atau pendeta harus mampu menciptakan
suatu relasi yang baik dengan umat. Kendala yang disampaikan terkait dengan soal relasi akan
mempengaruhi proses penggembalaan dilihat sebagai suatu masalah dari seorang pelayan.
Artinya bahwa seorang pendeta atau pelayan mesti menciptakan relasi yang baik, agar kelak hal
ini bukan menjadi kendala dalam proses penggembalaan yang dilakukannya. Dilihat bahwa ada
kecendrungan umat yang lebih menginginkan dilayani oleh pendeta. Hal ini tidaklah salah,
namun kalau dilihat dari jumlah pendeta yang hanya dua orang dan harus menangani banyak
persoalan di dalam jemaat, maka sudah jelas pelaksanaan pelayanan kepada orang yang
dikenakan disiplin gereja akan tidak efektif.
Soal pemahaman umat tentang disiplin gereja yang adalah hukuman, tempat rehabilitasi,
dan ada juga yang tidak tahu disiplin gereja itu apa, hal ini sekaligus mempengaruhi sikap
seseorang dalam melihat orang yang dikenakan disiplin gereja tersebut. Maka dari itu mesti
dilihat secara baik oleh pelayan gereja. Kendala berkaitan dengan soal pemahaman seperti yang
dijelaskan di atas sesungguhnya tidak terlepas dari tanggung jawab pelayan. Untuk
mensiasatinya, media-media seperti khotbah, sharing, PA, kekunjungan awal tahun atau akhir
tahun, proses penggembalaan harus dijadikan media untuk memberikan pemahaman kepada
umat. Terkait dengan itu maka dilihat jelas bahwa hal pemahaman menjadi kendala disebabkan
karena media-media seperti dijelaskan di atas sebahagian besar berisikan tema-tema yang lain,
dibandingkan dengan tema tentang disiplin gereja sebagai salah satu bentuk penggembalaan.
6 Ibid;
Dari data di bab III yang terkait dengan dampak psikologis dari orang-orang yang
dikenakan disiplin gereja. Dampak-dampak dari tindakan disiplin dilihat sangatlah berhubungan
dengan proses penggembalaan yang dilakukan. Setiap proses yang dilakukan menunjukan
beberapa hal, yakni pertama, soal pemahaman terhadap disiplin gereja secara benar oleh para
pelayan dan umat secara keseluruhan menjadi hal yang penting sekaligus sebagai titik tolak
bersama dalam menyikapi dan menolong orang yang dikenakan disiplin gereja. Soal pemahaman
akan menentukan proses dan hasil dari tindakan disiplin yang dilakukan. Menjadi masalahnya
adalah ketika pemahaman ini tidak semuanya dimiliki oleh umat. Kedua, proses penggembalaan
yang dilakukan oleh MJ GPM Hative Besar terkesan satu arah, pelayan sebagai pembicara dan
orang yang dikenakan dikenakan disiplin gereja adalah pendengar. Tidak ada kesempatan bagi
terciptanya dialog antar pelayan dan orang yang dikenakan disiplin gereja. Proses seperti ini akan
menutup kesempatan bagi orang yang dikenakan disiplin gereja untuk menyampaikan apa yang
dia rasakan dan apa yang dia butuhkan. Dengan demikian maka hal ini akan berdampak pada diri
orang yang dikenakan tindakan disiplin tersebut. Ketiga, Para pelayan seperti pendeta dan
majelis jemaat dilihat terbatas dalam melakukan fungsi penggembalaan. Dengan demikian hal ini
turut mempengaruhi hasil dari proses penggembalaan yang dilakukan. Keempat, Proses
penggembalaan yang dilakukan dinilai kurang maksimal, proses ini dilakukan terkesan hanya
sebagai rutinitas. Hanya datang, menasihati, berdoa dan seterusnya pulang. Disiplin gereja yang
dilakukan hanya sebagai suatu tuntutan pengimplementasian dari aturan gereja.
Aspek kemanusiaan dari orang yang dikenakan disiplin gereja terkesan terabaikan.
Proses ini menandakan adanya jarak antara orang yang memberikan tindakan disiplin dengan
orang yang dikenakan tindakan disiplin tersebut. Dengan itu maka dapat dipastikan bahwa orang
yang dikenakan disiplin gereja selalu diabaikan. Diri yang di dalamnya ada perasaan, harapan
dan kebutuhan-kebutuhan mendasar lainnya dari orang dikenakan disiplin gereja tidak disentuh
oleh proses penggembalaan yang dilakukan, dan mereka tidak mengalami suatu perubahan,
justru sebaliknya dampak psikologis terjadi dalam diri mereka.
Dari keseluruhan data dan analisis, tanpa mengabaikan aspek-aspek lain dari keseluruhan
analisis yang dilakukan, ada salah satu aspek yang dilihat sangat penting untuk diperhatikan,
sekaligus merupakan hal utama yang menciptakan masalah, yakni aspek dari diri orang yang
dikenakan disiplin gereja. Di sini tergambar jelas pada diri TT dan TN yang dikenakan disiplin
selalu diabaikan dalam setiap proses penggembalaan. Fokusnya dititik beratkan hanya pada
pengimplementasian aturan gereja, serta nasihat-nasihat. Orang yang dikenakan disiplin gereja,
entah hidupnya, harapannya, perasaannya tidak dilihat secara serius di dalam proses disiplin
gereja tersebut, maka ini berdampak pada psikologisnya. Dikatakan tidak serius karena orang
yang dikenakan disiplin gereja tidak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan apa yang ada
di dalam hatinya. Sisi kemanusiaan dari orang yang dikenakan disiplin gereja tidak disentuh oleh
proses ini, entah perasaannya, kegelisahannya, harapannya, dan hal-hal mendasar lain dari diri
manusia. Dengan demikian maka sudah jelas faktor pengabaian terhadap manusia (orang yang
dikenakan disiplin gereja) ini menjadi faktor yang memungkinkan tidak terciptanya suatu
perubahan yang signifikan dari orang yang dikenakan tindakan disiplin.
4.2 Tinjauan Tentang Pemahaman Jemaat GPM Hative Besar Dalam Tindakan Disiplin Gereja.
Pemahaman umat terhadap disiplin gereja yang beragam ini dipengaruhi oleh dua faktor,
yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pribadi dari seseorang, entah itu
pendidikan maupun pekerjan. Artinya bahwa pendidikan dan pekerjaan seseorang sangatlah
menentukan pemahaman seseorang tentang disiplin gereja. Data dari jemaat GPM
memperlihatkan bahwa jumlah lulusan SMP dan SMA 80% lebih besar dari yang sementara
kuliah atau yang sudah sarjana. Selain itu juga, hampir semua informan yang diwawancarai
berpendidikan akhir SMA. Hal ini, tidak mengindikasikan bahwa orang yang berpendidikan
akhir SMA memilki pemahaman yang keliru, namun sedapatnya mau dikatakan bahwa pedidikan
seseorang turut mempengaruhi pemahamannya. seorang guru akan memiliki pemahaman yang
beda juga dengan seorang tukang bangunan. Seseorang akan memahami disiplin gereja hanya
dari satu sisi saja, menurut pendidikan dan keahliannya. Selain faktor internal seperti yang telah
dijelaskan di atas, ada pun faktor eksternal yaitu lingkungan di mana seseorang berada, hidup
dan berkarya turut mempengaruhi pemahamannya. Bila seseorang tinggal di dalam keluarga
yang salah satu anggota keluarganya dikenakan disiplin gereja, maka sangat mungkin
pemahamannya tentang disiplin gereja akan negatif.
Gereja dalam tugas dan pelayanannya turut mempengaruhi pemahaman. Dengan demikian
dengan menyiasatinya pemahaman disiplin gereja secara benar dapat diberikan dalam bentuk-
bentuk pelayanan seperti dalam khotbah, PA, sharing, reat-reat, bahkan terlebih di dalam
pelayanan pastoral yang dilakukan oleh gereja. Umat harus diberi penjelasan untuk memahami
disiplin gereja sesuai dengan apa yang sebenarnya. Sebab pemahaman benar dari umat akan
berimplikasi pada proses pendampingan dan pertolongan kepada seseorang yang dikenakan
disiplin gereja. Artinya, ketika umat memahami disiplin gereja secara benar, maka umat akan
merasa terpanggil untuk sama-sama menolong orang tersebut ke arah perubahan sikap dan relasi
yang baik dengan diri sendiri, dengan orang lain, terlebih relasi dengan Tuhan.
4.2.1 Proses dan bentuk disiplin gereja.
Dalam tugas penatalayanan, maka gereja akan tetap konsisten dan taat terhadap aturan
gereja yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal itu maka ketika seseorang anggota, pegawai,
dan pejabat khusus gereja melakukan sesuatu pelanggaran maka sesuai peraturan gereja orang
tersebut mesti dikenakan Disiplin Gereja.
Awalnya ada fenomena pelanggaran yang dilakukan oleh warga jemaat, pegawai, dan
pelayan khusus. Pelanggaran yang teridentifikasi antara lain selingkuh dan hamil diluar nikah.
Kasus selingkuh dilakukan oleh beberapa majelis jemaat dan kordinator unit, seterusnya kasus
hamil di luar nikah dilakukan oleh beberapa warga jemaat. Pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan selanjutnya diketahui oleh MJ (Majelis Jemaat), dan berdasarkan pertimbangan
bersama semua perangkat pelayan serta sesuai aturan gereja, maka orang-orang tersebut
semestinya diberikan disiplin gereja. Selanjutnya upaya yang nampak dilakukan sebagai tangung
jawab pelayanan adalah dengan melakukan proses penggembalaan. Proses ini disepakati
dilakukan sebelum dan sesudah disiplin gereja diberikan kepada seseorang. Bentuk
penggembalaan yang dilakukan sebelum tindakan disiplin diberikan kepada seseorang adalah
memberikan beberapa pertanyaan-pertanyaana terkait dengan perbuatan yang telah dilakukan
dan kemudian menyampaikan maksud disiplin yang akan diberikan. Tidak terlepas dari proses
ini juga yaitu memberikan penguatan-penguatan dan pengertian-pengertian terkait dengan
tindakan disiplin yang akan diberikan kepadanya.
Isi dari pelayanan penggembalaan yang dilakukan adalah lebih banyak kepada nasihat-
nasihat. Bentuk dari nasihat itu seperti: Pertama, manusia tidaklah sempurna, bisa saja
melakukan kesalahan. Termasuk anda juga. Tapi biarlah semua itu menjadi bahan koreksi bagi
kita, agar kita bisa tau mana yang baik untuk kita. Kedua, anggaplah ini tantangan buat kita.
Untuk itu kita mesti tabah untuk menjalaninya. Jelas Tuhan maha pengasih dan penyayang. Ia
akan tetap memberikan kesempatan buat umat-Nya yang mau untuk bertobat. Ketiga, terkadang
kita merasa berdosa oleh karena tindakan salah yang mungkin sudah kita lakukan. Mungkin
menganggap dosa yang kita lakukan itu besar. Namun tenanglah karena menurut Tuhan semua
dosa itu sama.
Akhir dari setiap proses pendampingan adalah berdoa. Doa yang disampaikan adalah;
selalu meminta Tuhan berikan kekuatan bagi orang tersebut; selanjutnya berdoa meminta
tuntunan Roh Kudus supaya selalu memberikan kesabaran bagi mereka; selanjutnya meminta
sekiranya Tuhan memberikan pengampunan bagi mereka, sehingga mereka dapat disebut anak-
anak Allah.
Dilihat dari segi jumlah pelayanan penggembalaan yang dilakukan, maka terlihat jelas
proses penggembalaan yang dilakukan kurang maksimal. Hal ini tergambar jelas pada waktu
pendeta yang lebih cendrung lebih banyak pada tugas-tugas fungsional lainnya, dibanding datang
dan melakukan penggembalaan kepada orang yang dikenakan disiplin gereja. Dalam hal ini
kepedulian terhadap orang yang dikenakan disiplin gereja hanya dilakukan waktu awal proses
disiplin dilakukan, selanjutnya ditambah dengan pertemuan yang tidak juga menentu, tergantung
dari waktu pelayan.
4.3 REFLEKSI TEOLOGIS
4.3.1 Disiplin gereja sebagai cara pemuridan
Disiplin gereja sebagai bentuk penggembalaan merupakan kemenangan terang atas
kegelapan; inilah awal dari penyembuhan diri seseorang. Bila diterima dalam pengertian ini –
pengertian yang benar – itulah rahmat. Disiplin gereja sebagai bentuk penggembalaan didasari
atas pengakuan di dalam Perjanjian Baru yang selalu berbicara tentang bela rasa, kasih, dan
keramahan besar yang datang dari Roh dan kemudian merupakan tanggung jawab gereja untuk
selalu menunjukan kasih ini bagi sesama, terlebih khusus bagi orang pendosa.
Tindakan disiplin sebagai bentuk penggembalaan memiliki pendasaran Alkitab, dengan
demikian mengarahkan pengertian, sejarah, proses, pendekatan dan metode. I Petrus 5:2,3
mencatat kesaksian “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan
paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena kamu mau
mencari keuntungan tetapi dengan pengabdian diri” (ayat 2); “Janganlah seolah-olah kamu mau
memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan
bagi kawanan domba itu” (ayat 3).
Kesaksian ini menunjukan dengan tegas secara teologis, tindakan disiplin sebagai salah satu
pelayanan pastoral merupakan bentuk pemberitaan dan kesaksian gereja yang berlangsung
dalam kerangka karya Allah yang berorientasi antropologis. Orientasi ini akan bergerak, akan
berproses dalam gerak melingkar dengan pendekatan yang holistik. Layanan ini ditujukan bagi
manusia dalam sejarah hidupnya baik dalam kesaksian fisik maupun mental prima atau keadaan
sakit yang tak tersembuhkan, dalam keadaan sukacita atau sedih, dalam keadaan
menggembirakan atau menyedihkan. Setiap situasi manusia merupakan peluang untuk suatu
proses penggembalaan. Kebutuhan akan layanan ini ditandai dengan keadaan tekanan tegangan
hidup yang mempengaruhi tubuh dan jiwa. 7
Ketika menyebut disiplin gereja sebagai salah satu bentuk penggembalaan maka tindakan
pengembalaan itu memiliki fungsi yaitu, Pertama, penyembuhan (healing) : merupakan suatu
fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi kondisi fisik (darah tinggi dan magg), emosi
yang tidak terkontrol secara baik (pemarah), dan suka mengasingkan diri, dengan cara
mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan hidup, tidak bermasalah pada kondisi fisik, emosi
bisa terkontrol secara baik, dan kemudian menuntun dia kearah yang lebih baik dari kondisi
sebelumnya. Kedua, Penopangan (sustaining) berarti, menolong orang yang stres karena
7 Mesach Krisetya, Materi Kuliah Teologi Pastoral (Salatiga : fakultas Teologi, 2006), 1-3.
dikenakan disiplin gereja untuk tetap bertahan dan melewati suatu keadaan yang di dalamnya
pemulihan kepada kondisi semula. Ketiga, pembimbingan (guiding). Hidup di dalam situasi
karena dikenakan disiplin gereja bisa membuat seseorang bingung ketika ingin mengambil suatu
keputusan. Fungsi ini merupakan suatu upaya untuk membantu orang-orang yang kebingungan
itu untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti dalam upaya pemaknaan. Keempat, pendamaian
(reconciling). Kenyataan bahwa orang yang dikenakan disiplin adalah orang-orang yang
kemudian merasa terasing dari dirinya, dari persekutuan, bahkan dengan Allah. Dengan
demikian fungsi ini berupaya membangun ulang relasi yang cendrung rusak itu ke relasi yang
baik kembali.
Ke empat fungsi dari penggembalaan ini yang selanjutnya harus nampak pada tindakan
pendisiplinan. Dengan kalimat lain, pelayanan gereja dalam bentuk tindakan disiplin kepada
orang-orang yang melakukan pelanggaran akan fungsional ketika ke empat fungsi ini dilakukan
secara baik. Dampak baik atau buruknya dari tindakan disiplin ditentukan oleh pemahaman yang
benar, dan tergantung juga pada para pelayan yang adalah pelaksana dari tindakan disiplin.
Disiplin gereja sebagai salah satu pelayanan pastoral memiliki usaha untuk memperkuat
pertumbuhan seseorang kearah keutuhan dalam enam aspek kehidupan, yang mana satu sama
lainnya saling berkaitan. Enam aspek itu adalah: Pertama, Menyegarkan pikiran, yang mencakup
pengembangan sumber-sumber personalitas seperti kemampuan berpikir. Manusia normal,
kemampuan berpikirnya hanya sedikit saja yang dipakai. Karena itu mempekaya horizon-
horizon intelektual dan arstistik manusia merupakan begian dari pendekatan dan konseling
pastoral yang dipusatkan pada keutuhan hidup. Kedua, Membuat tubuh lebih bergairah. Dimensi
ini berkaitan dengan dimensi pertama. Hal ini berarti kita belajar untuk mengalami dan
menikmati tubuh lebih sempurna dan memanfaatkannya dengan lebih efektif dan lebih
mengasihinya. Ini sering melibatkan perhatian atas kebutuhan jasmani misalnya makan, dan
istirahat yang cukup bagi tubuh. Ketiga, Memperbaharui dan memperkaya hubungan-hubungan
dekat. Baik penyembuhan atau pertumbuhan bergantung pada kualitas hubungan-hubungan yang
penting. Karena itu, penyembuhan yang mencakup hubungan-hubungan itu dan latihan
ketrampilan kearah pertumbuhan adalah bahagian hakiki dari dari suatu layanan pastoral.
Keempat, Membebaskan hubungan manusia dengan lingkunan hidup serta memperluas
kesadaran, juga hubungan erat dan pemeliharaan lingkungan oleh menusia. Kelima,
Pembebasan, penyembuhan dan pertumbuhan lembaga-lembaga dan masyarakat. Pengembalaan
dan konseling pastoral sepatutnya mencakup membangkitkan kesadaran orang untuk melihat
akar-akar sosial dari rasa sakit dan kehancuran mereka secara individual, serta akar-akar sosial
untuk merintangi pertumbuhan mereka. Keenam, Pertumbuhan rohani berkaitan dengan ke lima
dimensi terdahulu, dan merupakan ikatan yang mempersatukan keseluruhan dimensi lainnya.8
Dari keenam aspek yang telah ditunjukan di atas, maka idealnya seseorang yang dikenakan
tindakan disiplin harus bisa bertumbuh sesuai dengan keenam aspek tersebut. Karena di situlah
disiplin gereja menjadi suatu tindakan penggembalaan yang efektif dan fungsional.
4.3.2 Penggembalaan Berorientasi pada Manusia
Harus dipahami bahwa disiplin gereja yang merupakan salah satu bentuk penggembalaan
selalu bertujuan mengembalikan orang yang bersalah (berdosa) untuk melakukan kehendak
Allah. Dalam proses pengimplementasian aturan gereja tentang disiplin gereja, aspek penting
dan mendasar yang mesti diperhatikan adalah sisi kemanusiaan dari orang yang dikenakan
disiplin gereja, sebab proses penggembalaan yang dilakukan tidak akan menjadi efektif bila
mana sisi kemanusiaan dari seseorang terabaikan. Dalam pengimplementasian disiplin gereja
8 Howard Clinebell, op.cit; 40-42.
yang selama ini dilakukan, tidak dapat disangkal bahwa sisi kemanusiaan telah terabaikan dan
penekanan pada hal-hal yang berkaitan dengan teknis pelaksanaan tindakan disiplin menjadi
sangat kental. Oleh karena itu, perhatian serius terhadap sisi kemanusiaan setiap pribadi yang
dikenakan disiplin gereja mesti menjadi prioritas dan merupakan sebuah keharusan yang mesti
terimplementasi dalam kepedulian terhadap apa saja yang dirasakan dan apa saja yang menjadi
harapan seseorang.
Agar disiplin gereja menjadi salah satu bentuk penggembalaan, maka disiplin gereja harus
memberi perhatian khusus bagi sisi kemanusiaan setiap orang yang dikenakan tindakan disiplin.
Perhatian terhadap sisi kemanusiaan dalam terwujud dalam berbagai tindakan, antara lain:
menghargai orang yang terkena disiplin gereja. Menjadi pertanyaan sekarang ialah mengapa
orang yang sudah melakukan kesalahan itu harus dihargai? Terkait dengan pertanyaan ini, maka
ada dua hal yang akan dijelaskan yakni: “manusia adalah citra Allah”, dan “manusia adalah
makluk yang bermartabat”.
1. Manusia adalah citra Allah
Semua manusia bisa saja melakukan kesalahan (dosa) dan hal itu dipandang sebagai
sesuatu yang manusiawi, karena kesalahan adalah bagian eksistensial dari kehidupan manusia.
Kesalahan tidak pernah memandang status, jabatan, atau profesi apa pun. Orang miskin, orang
kaya, pejabat, bahkan orang-orang yang selalu memperjuangkan kebenaran, keadilan, kasih, dan
perbuatan-perbuatan yang baik bahkan pendeta dan majelis jemaat sekalipun berpotensi untuk
melakukan kesalahan. Dengan demikian, maka sengaja atau tidak sengaja, yang namanya
kesalahan adalah suatu realita hidup yang bisa saja dilakukan oleh setiap orang percaya. Hal ini
tergambar jelas bahwa ada pengakuan diri bahwa sebagai manusia yang terbatas, ada
kecenderungan untuk berbuat dosa. dosa dipahami sebagai suatu perbuatan manusia yang tidak
taat pada perintah Allah.9
Terlepas dari sisi kemanusiaan manusia yang memiliki kecendrungan untuk berbuat
kesalahan, di sisi lain pada hakekatnya manusia merupakan ciptaan Allah yang “baik”. Di dalam
kesaksian Alkitab, terutama pada kitab Kejadian menyebutkan bahwa manusia diciptakan
menurut “gambar Allah” (Kej 1:27). Maksud dari kata serupa dan segambar dengan Allah
sebenarnya mau mengarahkan pada adanya suatu relasi khusus antara Allah dengan manusia.
Dalam pertemuannya Allah memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada manusia dan selanjutnya
manusia mesti memberikan jawaban kepada Allah. Jawaban itu nampak dalam sikap dan
perbuatan manusia. Gambaran Allah mau menyebutkan juga bahwa, manusia merupakan
representasi dari Allah. Artinya bahwa sifat-sifat Allah yang baik itu harus juga tercermin dalam
sifat manusia. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makluk ciptaan Allah yang lain.
Pada kejadian 1:22 tergambar bahwa Allah menciptakan manusia tidak hanya laki-laki,
melainkan juga perempuan. Manusia tidak bisa hidup sendiri, tetapi ia mesti hidup dengan orang
lain. Dipahami bahwa ada perbedaan secara eksistensial antara satu manusia dengan manusia
yang lain, namun perbedaan itu bukanlah menjadi suatu masalah melainkan perbedaan itu ada
untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Itu berarti ciptaan Allah baru baik kalau
manusia itu tidak hidup sendiri saja, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Bersama-sama
dengan sesamanya manusia.
Konsep yang ditawarkan di atas memperlihatkan bahwa manusia sesungguhnya adalah
ciptaan Allah yang baik. Erich Fromm pun mengakui itu dan menyebutkan bahwa manusia itu
baik, karena bisa meniru sifat-sifat Allah, bukan berati bahwa manusia itu sama dengan Allah,
namun jika dia mendapatkan kualitas ketuhanan itu berarti ia berada di bawah Tuhan, melainkan
9 J . L. Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 65.
berjalan bersama-sama dengan-Nya. 10 Walaupun demikian, terkadang ada manusia yang
cenderung kurang memahami betapa ia adalah ciptaan Allah yang sangat baik, di mana bisa
meniru sifat-sifat Allah. Manusia di antara potensi yang baik dalam dirinya, adapun potensi yang
tidak baik, yang cenderung tidak mengikuti kehendak Allah. Walaupun demikian manusia tetap
ciptaan Allah yang baik yang mesti dihargai kemanusiaannya. Orang-orang yang berdosa adalah
orang-orang yang tidak melakukan kehendak Allah, walaupun demikian mereka tetap ciptaan
Allah yang baik. Jauhnya seseorang dari kehendak Allah memberikan tanggungjawab kepada
sesamanya untuk menolong kembali menjadi manusia yang baik sesuai dengan kehendak Allah.
Allah yang diimani adalah Allah yang penuh kasih dan pemurah, yang selalu memberikan
peluang bagi setiap manusia yang berdosa untuk kembali dan mengikuti apa yang dikehendaki-
Nya. Kasih Allah adalah sempurna dan tanpa syarat. Kasih-Nya itu tidak didasarkan pada
perbuatan manusia. Manusia tidak dapat menambah kasih-Nya itu dengan apa pun yang manusia
lakukan. Allah tetap mengasihi manusia, karena manusia adalah ciptaan-Nya.
Telah dijelaskan pada bagian awalnya bahwa ada hubungan yang khusus antara Allah
dengan manusia. Manusia adalah patner kerja Allah, yang bertanggung jawab memberitakan
kasih Allah kepada sesamanya. Termasuk kepada sesama manusia yang berdosa. Itu berarti kasih
Allah akan menjadi nyata dalam kehidupan manusia ketika ada kepedulian terhadap sesamanya
manusia.
Di atas telah dijelaskan bahwa betapa berharganya manusia, dan harus tetap dihargai sebagai
ciptaan Allah yang baik. Kesalahan manusia tidak menghapuskan status manusia yang adalah
ciptaan Allah yang baik. Dalam konteks pelaksanaan disiplin gereja misalkan, manusia yang
mesti menjadi fokus dari setiap proses penggembalaan. Orang-orang yang melakukan
pelanggaran dan dikenakan disiplin gereja adalah ciptaan Allah yang baik, yang tetap dikasihi
10 Fromm Erich, manusia menjadi Tuhan (Belakabang , Jakarta-Timur: HYENA, 2004), 110.
oleh Allah, yang selalu terbuka peluang untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Para pelayan
dan persekutuan umat secara umum adalah patner kerja Allah di dunia, yang bertanggung jawab
untuk tetap menyatakan kasih-Nya bagi setiap mereka melakukan kesalahan, dengan mengasihi
mereka dan menolong mereka untuk kembali kepada jalan yang Allah kehendaki.
2. Manusia adalah Subjek yang Bermartabat
Pada hakekatnya manusia selalu menginginkan sesuatu yang baik untuk kehidupannya.
Keinginan untuk menjadi baik selalu tidak terbatas pada satu aspek kehidupannya, misalkan
hanya ingin menjadi baik di dalam pekerjaan. Namun keinginan menjadi baik ini selalu
difokuskan di dalam semua aspek kehidupan manusia. hal ini disebabkan karena manusia
memiliki rasa dan kemampuan untuk berpikir sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia
adalah mahluk yang bereksistensi dan memiliki jati diri. Jati diri manusia adalah kenyataan
sepanjang masa yang tidak pernah hilang selama manusia itu hidup. Manusia adalah bukan apa-
apa, selain apa yang ia buat dirinya sendiri entah dalam berpikir atau pun dalam berperilaku.
Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang paling mulia. Hal ini tidak ingin menunjukan
bahwa ciptaan Allah yang lain itu tidak demikian, namun yang mulia mau menunjuk pada akal
dan pikiran untuk berpikir yang diberikan kepada manusia. Ketika manusia itu memiliki pikiran,
dan selalu sadar akan segala sesuatunya, maka manusia sesunguhnya adalah mahluk yang
bermartabat. Mahluk yang memiliki rasa, keinginan dan harapan serta makluk yang berdinamika.
Manusia dalam kemanusiaannya tidak hidup sendiri melainkan orang lain. Sama-sama
tinggal dan hidup dalam satu lingkungan tertentu. Manusia pada hakekatnya adalah makluk
sosial, tidak bisa hidup sendiri, melainkan dengan orang lain. Dengan demikian ajaran cintailah
sesamamu seperti dirimu sendiri adalah tepat. Ini berarti bahwa hormat terhadap keutuhan
kekhususannya sendiri, cinta dan pengertian akan diri sendiri, tidak terpisahkan dari hormat,
cinta dan pengertian kepada orang lain. Cinta akan diri sendiri tergabung akan cinta kepada
orang lain. 11
Di dalam lingkungan, sadar atau tidak sadar manusia akan melakukan apa saja untuk tetap
menjaga martabatnya di antara manusia-manusia yang lain. Manusia dikatakan subjek yang
bermartabat oleh karena ia memiliki perasaan. Manusia bisa merasakan senang maupun
merasakan sakit hati, merasa ingin dihargai, dihormati, dicintai, dan lain-lain. Dan hal ini tidak
dimiliki oleh makluk-makluk lain.
Di dalam konteks pemberlakuan disiplin gereja, terlepas dari kesalahan yang dilakukan,
orang-orang yang dikenakan disiplin gereja adalah manusia yang bermartabat, yang memiliki
perasaan. Mereka menginginkan sesuatu yang baik walaupun di dalam kemanusiaannya yang
terbatas. Penghargaan kepada martabat manusia, memungkinkan lahirnya kesadaran untuk
menolong.
Para pelayan dan persekutuan umat adalah manusia yang juga bermartabat, yang memiliki
tanggung jawab untuk tetap menjaga dan menjunjung martabat dalam wujud menolong orang
yang jauh dari kehendak Allah untuk kembali kepada apa yang dikehendaki-Nya. Melihat
tangung jawab itulah maka sudah jelas para pelayan (pendeta) menjadi sosok yang mesti
diperhatikan. Dalam pelayanan-Nya Yesus mengutus manusia sebagai alat kesaksian-Nya,
mereka adalah ke-12 murid (Lukas 10:1) dan diteruskan oleh kita semua. Pada masa kini yang
mengemban tugas pelayanan ini adalah pendeta, bishop, uskup, imam, penatua, penginjil dan
pengkhotbah.12 Bukan nama atau jabatan yang penting disini melainkan tugas yang diemban dan
dipercayakan. Mereka diutus untuk bersaksi tentang Allah dan untuk menyatakan “tahun rahmat
11 Louis Leahy, Siapakah Manusia (sintesis Filosofis tentang Manusia) (Yogyakarta : Kanisius, 2001), 132. 12 G. O. Danlenburg, Siapakah Pendeta Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 7
Tuhan” karena kerajaan Surga sudah dekat.13 Kerajaan Allah yang dimaksudkan adalah kerajaan
yang membawa kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus (Roma 14:17) yang
ditemukan dalam Gereja. Tugas itu bukan hak milik pribadi melainkan gereja dalam perluasan
kerajaan Allah.
Terkait dengan itu tugas panggilan di atas maka para pelayan mesti memiliki karakter yang
baik. Karakter sangat membentuk perilaku, dengan demikian dibawah ini akan dijelaskan dua
motif Alkitabiah layanan pastoral. Yakni motif Hamba dan Gembala;
a. Motif Hamba
Imam, Nabi, Raja, menurut Perjanjian Lama hanyalah alat atau sarana hamba Allah. Hal ini
sama dengan pelayanan Yesus pada zaman Perjanjian Baru (Filipi 2 : 7-8)14. Pelayan (pendeta
dan majelis jemaat) merupakan hamba Allah yang diharuskan untuk tetap taat pada Allah
sebagai tuannya. Wujud ketaatan kepada Allah dinyatakan di dalam sikap hidup, di mana siap
melakukan kehendak Allah dan terus meyatakan kasih-Nya bagi dunia. Ketika konsep ini dibawa
dalam konteks disiplin gereja, maka pendeta dan para perangkat pelayan adalah merupakan
hamba Allah yang memiliki tanggung jawab untuk tetap taat untuk menyampaikan dan
menunjukan kasih Allah bagi semua orang. Bukan saja orang-orang benar, tetapi juga
memereka-mereka yang jauh dari Allah.
b. Motif gembala
Sistem pastoralia teologis dibangun atas dasar gembala. Karakter Allah dilihat lebih kuat
sebagai gembala (Yes. 40:1-11) yang memimpin , memberi makan, mendisiplin dan melindungi
umat-Nya. Selain sifat yang ditunjukan Allah ini, para pelayan juga semestinya menunjukan
ketrampilan pendidikan, status, tetapi juga mempelajari peraturan-peraturan yang ada dan belajar
13 Ibid; 3 14 Mesack Krisetya, Op. cit; 2-3
menganalisa situasi dan keadaan warga jamaat dalam bidangnya. Yesus dalam karya-Nya hadir
dan memberi resolusi nilai kepemimpinan baru. Ia mengukur kebesaran seseorang dari sudut
kualitas moral pelayanan berdasarkan pada ketaatan Firman Tuhan.15
Seorang pendeta mesti memulai pelayanannya dengan mendengar kehendak Allah karena
Allahlah yang memanggil. Dengan demikian pendeta atau pelayan itu harus memiliki
pengakuan akan Allah sehingga tugas itu dilakukan dengan ketulusan hati. Kasih inilah yang
mesti menjadi sesuatu yang utama dalam pelayanan. Selain itu, para pelayan tidak mempunyai
hak-hak khusus atau kekuasaan selain malayani Tuhan-Nya, sehingga tidak perlu mencari-cari
puji-pujian atau penghormatan dari manusia. Menurut Pdt.Richard Baxter yang menulis di abad
ke-17, pendeta mesti mampu hadir dalam kesulitan-kesulitan, rendah hati, mampu hadir dalam
keadaan-keadaan yang berkekurangan, bijaksana, lembut, setia, tekun, serius, mampu memberi
jalan keluar yang terbaik bagi semua orang. Pendeta mesti hadir dengan warna cinta, sabar, dan
teliti, tekun mandapatkan persatuan dan pendamaian gereja. termasuk mengembalikan orang-
orang berdosa ke jalan yang dikehendaki Allah16
Karakteristik personal yang perlu diperhatikan untuk membantu memersiapkan diri
penolong orang lain adalah sebagai berikut: keaslian menolong, berpikir jernih dan positif, nalar
yang baik, kesadaran diri, kehangatan, sikap tenang, bertanggung jawab, tidak menghakimi,
memiliki rasa humor, jujur dan percaya diri, menghargai orang lain dan terbuka, rajin, dapat
menyimpan rahasia, rendah hati, organisator yang baik, memiliki visi dan misi yang jelas serta
disiplin. Pelayanan adalah tugas semua orang, namun disadari bahwa ada perbedaan dalam tugas
dan tanggung jawab serta peran masing-masing orang sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
Allah. Dengan begitu, jika salah satu anggota tubuh tidak berfungsi maka akan terjadi
15 Ibid;, 7 16 Seward Hiltner, preface To Pastoral Theology (New York: Abingdon Press, 1953), 31.
ketidaksempurnaan dalam menjalankan tugas yang diemban. Meski dipahami bersama bahwa
gereja adalah persekutuan orang kudus yang saling menolong, melayani dan mendukung.17
Tugas serta karakter dari seorang pelayan seperti yang ditunjukan di atas merupakan hal-
hal yang mestinya dimiliki oleh para pelayan. Karakter para pelayan kemudian sangatlah
berpengaruh pada proses pelayanan yang dilakukan. Kesadaran sebagai hamba yang melayani
dan gembala yang memulihkan dari seorang pelayan, seperti yang dijelaskan, akan berdampak
pada proses pelayanan yang dilakukannya. Konsep hamba dan gembala dan berbagai karakter
yang boleh ditampilkan dan ditawarkan kepada pada pelayan akan memungkinkan lahirnya
suatu motifasi yang kuat dalam melayani orang-orang berdosa (dalam hal ini orang-orang yang
melakukan pelanggaran dan dikenakan tindakan disiplin).
Ada pun hal-hal yang mesti diperhatikan oleh seorang pelayan adalah fungsi-fungsi pastoral
yang dipakai. Fungsi-fungsi pastoral menjadi suatu cara yang penting dalam suatu proses
penggembalaan. Berbicara tentang fungsi-fungsi pastoral maka secara langsung akan
berhubungan dengan kualitas seorang pelayan. Seorang pelayan seharusnya memiliki
pengetahuan di bidang pastoral, yang mana di antaranya terselip pengetahuan tentang fungsi-
fungsi pastoral yang dipakai. Fungsi-fungsi pastoral yang sesuai, akan berdampak pada hasil dari
proses konseling pastoral.
4.4 Penutup
Pada akhirnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa ketika orang dikenakan disiplin gereja
mengalami stres. Stress akan berdampak pada apa saja yang ada di dalam diri orang yang
dikenakan disiplin gereja. Ada lima aspek diri yang dipengaruhi, yaitu: fisik diri, diri sebagai
proses, diri sosial, konsep diri, dan citra diri. Oleh karena itu, Gereja bertanggung jawab dalam
memberikan pendampingan pastoral kepada orang yang sementara dikenakan disiplin gereja.
17 G. D. Dahlemburg, Op. Cit; 13.
Gereja juga memilki kendala-kendala ketika melayani orang yang dikenakan disiplin gereja.
Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut pelayan Gereja harus membangun relasi yang baik
dengan jemaat, ada siasat yang dilakukan dimana menjadi media-media seperti khotbah-khotbah,
sharing, PA, perkunjungan serta proses penggembalaan untuk memberikan pemahaman kepada
jemaat. Seseorang akan memahami disiplin Gereja dari satu sisi saja, menurut latar belakang
pendidikan dan keadaan di mana ia hidup. Penulis dapat menyimpulkan bahwa pelayanan yang
dilakukan GPM Hative Besar tidak dilakukan dengan sepenuhnya dan kurang maksimal
sehingga terjadi dampak psikologis bagi jemaat pada Gereja tersebut.