bab-iv-tanggungjawab-sosial-perusahaan.pdf
TRANSCRIPT
365
BAB IV
MASALAH-MASALAH DALAM PENERAPAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DI INDONESIA
Banyak permasalahan yang muncul dalam penerapan CSR di
Indonesia. Persoalan tersebut terletak pada ranah pengaturan, dan
sumber pembiayaan untuk pelaksanaan CSR. BAB berikut ini akan
menguraikan secara rinci mengenai persoalan tersebut. Bagian
terakhir dari bab ini akan memaparkan berbagai bentuk pelaksanaan
CSR oleh Perusahaan Multi Nasional, Perusahaan Swasta Nasional dan
Badan Usaha Milik Negara yang telah melaksanakan CSR .
A. Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia
Persoalan pengaturan CSR di Indoensia akan dikaji secara
mendalam dalam sub bab ini. Tidak adanya kejelasan definisi CSR
diantara peraturan perundang-undangan yang ada menimbulkan
masalah pelaksanaan CSR. Bagian ini juga akan membahas mengenai
pengaturan CSR yang berbasis pada sistem pasar.
1. Tidak Adanya Kejelasan Definisi Menimbulkan Masalah
Pengaturan CSR
Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) dalam
sistem hukum di Indonesia secara tegas telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
366
Namun hal tersebut menimbulkan beberapa persoalan yaitu:
1) Perbedaan definisi diantara kedua Undang-Undang
tersebut menimbulkan contradicio in terminis, sehingga
mengakibatkan kebingungan bagi pelaku usaha untuk
melaksanakan CSR secara tepat.
2) Adanya diskriminasi bagi perusahaan tertentu yang
terkena kewajiban untuk melaksanakan CSR.
3) Banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada
terkait dengan ruang lingkup dan isu-isu CSR.
Penjelasan berbagai persoalan di atas sebagai berikut:
Pertama , mengenai istilah, dalam Pasal 15 huruf b Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
menyebutkan: “setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan”. Sementara dalam penjelasan
Pasal tersebut, yang dimaksud dengan CSR adalah:
“Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan
adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma
dan budaya masyarakat setempat.”
Sedangkan pengertian CSR dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas menyebutkan:
“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
367
Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Hal ini akan menimbulkan persoalan mengenai ketidak-
konsistenan istilah. “tanggung jawab sosial perusahaan” dalam
Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal apakah memiliki makna yang sama dengan
istilah “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas? Jika melihat definisi masing-masing tidak
memperlihatkan adanya hubungan “maknawi” diantara keduanya.
Dari dua pengertian di atas menunjukan bahwa pengertian
CSR dalam Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal hanya sebatas pada “menciptakan
hubungan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma dan budaya masyarakat setempat“. Kalimat tersebut
menekankan “penciptaan hubungan yang serasi” antara korporasi
dengan masyarakat. Hubungan baik ini sangat luas maknanya dan
tidak menjelaskan adanya kontribusi tertentu oleh korporasi bagi
masyarakat. Penanam modal hanya dituntut untuk tidak
menimbulkan keresahan dan menjaga hubungan baik dengan
masyarakat.
Sedangkan CSR dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menitik
beratkan pada “berperan serta dalam pembangunan ekonomi”.
368
Di dalam kalimat ini perseroan dituntut untuk meningkatkan
kualitas kehidupan ekonomi masyarakat. Artinya, ada kewajiban
bagi korporasi secara aktif untuk memberikan kontribusi, baik
dalam bentuk bantuan maupun kemitraan.
Mas Achmad Daniri memberi komentar, bahwa substansi
dalam ketentuan Pasal 74 Undang-Undang nomor 40 tentang
Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan tanggung
jawab sosial dan lingkungan mencakup pemenuhan peraturan
perundangan terkait, penyediaan anggaran tanggung jawab sosial
dan lingkungan, dan kewajiban melaporkannya.690
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 tentang
Perseroan Terbatas menyatakan bahwa CSR adalah “komitmen
Perseroan”. Tetapi Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas merumuskannya menjadi
suatu kewajiban bagi perseroan untuk menjalankan CSR serta
wajib menganggarkan dan memperhitungkannya sebagai biaya
Perseroan. Kewajiban menganggarkan biaya CSR justru juga
menimbulkan kerancuan pengertian, karena CSR didefinisikan
seolah-olah hanya kegiatan yang harus mengeluarkan biaya saja.
Sementara dalam prakteknya, ada begitu banyak kegiatan CSR
yang tidak selalu menimbulkan konsekuensi biaya, bahkan dapat
menghemat biaya, seperti upaya penghematan energi dan air,
690 Mas Achmad Daniri, “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”,
hal. 1 . Diunduh dari http://www.madani-ri.com/2008/01/17/standarisasi-tanggung-jawab-sosial-perusahaan-bag-iii/
369
pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan lembaga keuangan
mikro, dan memperlakukan karyawan dengan lebih manusiawi.691
Namun, ada beberapa hal tentang pengaturan CSR di
Indonesia yang perlu diperjelas, yaitu :
Pertama, apakah pengertian CSR dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
memiliki makna yang sama atau tidak?. Sebab salah satu fungsi
hukum adalah memberikan batasan secara tegas mana yang boleh
dan yang tidak, atau memberikan perintah secara definitif.
Perbedaan definisi akan memberikan perbedaan dalam
pelaksanaannya dan akibat hukumnya.
Kedua, aroma diskriminasi juga terasa dalam Pasal 74
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang dengan jelas menyebutkan bahwa kewajiban CSR
hanya untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal kewajiban CSR diperuntukkan bagi semua
penanam modal. Artinya, segala bentuk perusahaan penanaman
modal yang bersifat direct investment diwajibkan untuk
melaksanakan CSR, baik usaha kecil, menengah atau korporasi
691 Surat Permohonan Judicial Review Ke Mahkamah Konstitusi untuk
pengujian Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang diajukan pada tanggal 28 November 2008 dengan No Regristasi 53/PUU-VI/2008 Angka III Kedudukan Hukum (Legal Standing) dan Kepentingan Pemohon No 26, butir keempat.
370
besar. Termasuk, tidak dibedakannya bagi perusahaan asing
(MNC), BUMN maupun Swasta Nasional.
Begitu pula mengenai bidang usaha dari perusahaan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
tidak memberikan batasan bidang usaha bagi penanam modal
yang dikenai kewajiban melaksanakan CSR. Aturan tersebut hanya
menyebutkan : “setiap penanam modal berkewajiban...“.
Sementara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas secara tegas menyebutkan “Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.“
Menurut Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas , yang dimaksud dengan
“Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber
daya alam”, adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola
dan memanfaatkan sumber daya alam.
Sementara itu yang dimaksud dengan “Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber
daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak
memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Dengan
demikian, bagi perseroan-perseroan yang tidak menjalankan
kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam atau tidak
371
berkaitan dengan sumber daya alam, maka pelaksanaan CSR
hanya sebatas kewajiban moral, bukan kewajiban hukum.692
Ketua Umum Corporate Forum for Community Development,
Thendri Supriatmo, mengajukan pertanyaan yang membutuhkan
penjelasan lebih luas, yaitu:
“Kalau disebutkan, hanya perusahaan yang bergerak di bidang lingkungan sumber daya alam saja yang wajib memenuhi
CSR. Apakah perusahaan lain seperti pabrik rokok, pabrik sirup, itu tidak juga dikenakan kewajiban CSR, bahkan
termasuk bank yang mengeluarkan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan eksploitasi alam?".“Perusahaan seperti pabrik rokok dan perusahaan sirup sebenarnya bisa
masuk kategori perusahaan yang terkait dengan sumber daya alam. Karena, produknya ataupun proses produksinya bisa
menggunakan bahan-bahan yang terkait pada kerusakan alam. Misalnya bahan pengawet. Apakah itu tidak
berpengaruh terhadap lingkungan juga?". 693
Sependapat dengan Thendri, Gunoto Saparie memberikan
penjelasan berikut ini:
“CSR dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas seharusnya diterapkan tidak hanya pada perusahaan yang menggunakan sumber daya alam yang tidak
bisa diperbaharui, karena perusahaan lain pun bisa menimbulkan kerusakan lingkungan dan sosial budaya. Bahkan sektor keuangan seperti lembaga keuangan bank dan
bukan bank. Dalam hal ini, karena banyak industri yang telah merusak lingkungan, melanggar HAM, melakukan pemutusan
hubungan kerja sepihak pun masih saja eksis karena dibantu permodalannya dengan diberi kucuran kredit. Hal ini tentu berhubungan walaupun secara tidak langsung, karena
692 Sutan Remy Sjahdeini, “Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum
Bisnis , Volume 26-No 3 Tahun 2007, hal. 66 693 “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Belum Optimal”, Kompas, Jumat, 10
Agustus 2007, diunduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Ekonomi
/0708/10/173509.htm
372
lembaga keuangan tersebut telah membantu perusahaan dalam bidang permodalan.” 694
Sutan Remy Sjahdeini juga menanyakan apa maksud
pembatasan tersebut , menurutnya:
“Tidak jelas apa latar belakang dari pembatasan tersebut,
sedangkan di dalam praktek bisnis CSR sudah dilaksanakan oleh banyak perusahaan yang melakukan kegiatan usahanya yang bukan hanya di bidang sumber daya alam atau terkait
dengan sumber daya alam. Apabila tidak dilakukan pembatasan seperti itu, maka kewajiban CSR bagi
perseroan-perseroan bukan saja akan sangat memberikan manfaat kepada masyarakat tetapi seperti telah diuraikan diatas juga akan mendatangkan manfaat bagi perseroan-
perseroan itu sendiri”. 695
Tetapi menurut Chaerul Sholeh Rasyid anggota Panitia
Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas
dari Fraksi PKB bahwa istilah tanggung jawab sosial perusahaan
dalam Undang-Undang Penanaman Modal memang berbeda dengan
konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam Undang-
Undang Perseroan terbatas. Dia mengatakan:
“Tidak semua penanam modal itu masuk ke dalam wilayah
lingkungan. Tidak semua penanam modal juga berkaitan dengan masalah pertambangan. Apakah semua Perseroan Terbatas nanti juga berurusan dengan lingkungan. Kan tidak
juga. Itu logika saat itu. Sehingga tidak harus membuat
694 Gunoto Saparie, “CSR: Tambahan Pajak, Zakat Fitrah atau Sedekah?”,
Koran Sinar Harapan, Selasa 21 Agustus 2007 diunduh dari http://www.sinarharapan. co.id/ berita/0708/21/opi01.html
695 Pembatasan ini hanya berdasarkan pertimbangan banyaknya kerusakan lingkungan akibat opersional korporasi yang bergerak di bidang SDA . Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit.,hal. 67. Bandingkan dengan Risalah Sidang RUU Perseroan Terbatas
yang menyebutkan pembatasan ini hanya berdasarkan pertimbangan banyaknya kerusakan lingkungan akibat opersional korporasi yang bergerak di bidang SDA. Risalah Sidang RUU Perseroan Terbatas Masa sidang ke IV Senin, 9 Juli 2007., hal. 9
373
pertanggungjawaban lingkungan. Tetapi cukup tanggungjawab sosial.” 696
Tetapi menurut ketua sidang M. Akil Mochtar, bahwa kata
“lingkungan” memang menjadi penekanan, khususnya bagi
perseroan yang bergerak di bidang SDA. Dia menyampaikan:
“Apakah dengan memasukkan kata lingkungan ini memberi
sesuatu yang mengganggu bagi proses investasi yang ada di kita atau ini sebagai sesuatu hal yang merupakan komitmen bagi kita dalam rangka menjaga lingkungan hidup?.”
“Memang kita ini susah, jangankan tidak ditulis, ditulis di dalam undang-undang saja pun masih tetap melabrak. Dan
kita memang kalau soal lingkungan, terus terang komitmen kita sangat rendah. Bagaimana kita melahirkan Perpu, kita bisa mengelola pertambangan di kawasan hutan lindung pun
kita terbatas, padahal bagaimana kita menguasai hajat hidup orang banyak itu juga tidak secara sungguh-sungguh”. 697
Sebenarnya para anggota Panitia Khusus Rancangan
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas bermaksud baik untuk
melindungi lingkungan hidup Negeri Indonesa yang dirusak oleh
korporasi. Hanya saja pertimbangannya sangat emosional dan
kurang mengindahkan dasar ilmu hukum dan perundang-undangan.
Ketiga, ruang lingkup dan isu-isu mengenai CSR sudah
banyak diatur dalam undang-undang secara parsial. Misalnya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan
Hidup,698 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
696 Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Tentang
Perseroan Terbatas, Masa sidang ke IV Senin, 9 Juli 2007, hal. 9. 697 Risalah Rapat Panitia Khusus ... op cit., hal. 10. 698 Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Lingkungan Hidup menyebutkan: ”Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan
374
Daya Air,699 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi,700 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak,701 Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,702 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang lainnya.
Persoalan ini akan menimbulkan konflik normatif dan
hambatan bagi penegakan hukumnya. Untuk itu sebaiknya
pengaturan CSR dipisahkan dari keterkaitan dan benturan antar
peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”.
699 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disebutkan; Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air
700 Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan Pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertambangan.
701 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal
78 ayat 2 menyebutkan: “Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)” Yang dimaksud “Setiap orang” dalam Pasal 1 angka 16 adalah orang perseorangan atau korporasi
702 Konsideran Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan huruf d menyebutkan bahwa “Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha”
375
2. Ketidakjelasan Definisi CSR Menimbulkan Kesulitan dalam
Pelaksanaan dan Penegakan Hukum.
Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa ruang
lingkup CSR semakin hari semakin berkembang. Dahulu hanya
berbicara mengenai perburuhan, sekarang sudah masuk wilayah
Hak Asasi Manusia dan gerakan anti korupsi. Begitu pula dengan
motivasi yang melatarbelakangi korporasi melaksanakan CSR. Ada
yang mempersepsikan CSR sebagai donasi, community
development hingga bagian dari strategi bisnis. Sehingga masing-
masing korporasi melaksanakan CSR sangat beragam disesuaikan
dengan kepentingan bisnisnya dan kondisi sosial masyarakat yang
dihadapi.
Beberapa perusahaan yang memberi sumbangan dana
(donasi) pada masyarakat menyatakan telah melakukan CSR.703
Perusahaan lain yang melakukan kemitraan atau community
development dengan masyarakat setempat juga mengklaim telah
melakukan CSR .704
Alexader Dahlsrud telah mengumpulkan seluruh definisi
CSR yang populer, kemudian mengujinya dengan statistik. Hasilnya
adalah 37 definisi CSR paling populer memiliki konsistensi dalam
lima dimensi yaitu: (1) ekonomi; (2) sosial; (3) lingkungan ;(4)
703 Pamadi Wibowo, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Masyarakat”,
Pusat Data dan Analisa Tempo , 2004 dunduh dari 2004/09/28/opn,20040928-03,id.html
704 Widiyanarti, “Corporate Social Responsibility: Model Community Development Oleh Korporat”, Etnovisi, Jurnal Antropologi Sosial Budaya (2005). LPM ANTROP- FISIP-USU. Vol 1. No.2
376
pemangku kepentingan dan ;(5) bersifat voluntary705. Tetapi
kesimpulan ini masih memberi ruang untuk ditafsirkan dalam
bentuk pelaksanaan yang beragam.
Menurut Fainta Susilo Negoro, Manager Bidang CSR PT
Tirta Investama Cabang Klaten, produsen minuman Aqua yang
merupakan anak perusahaan dari Group Danone asal Perancis,
mengatakan:
“Dalam dunia nyata, adalah kumpulan dari entitas kegiatan yang hidup. Tiap program atau kegiatan CSR memiliki dasar dan sasaran yang akan dituju. Jalan atau cara yang
ditempuh akan selalu berbeda antara satu program dengan yang lain. Mirip dengan pakaian, selalu tidak ada kepastian
bahwa sebuah baju akan selalu pas dan diterima oleh beberapa orang. Mulai desain, warna, corak hingga gaya
menjahit menentukan pas dan enak tidaknya sebuah baju dikenakan. Indikator sebuah program juga demikian. Tidak ada satu jenis indikator yang diterapkan seragam. Namun
setidaknya perusahaan memiliki standar tersendiri yang harus menjadi atribusi di tiap program. Beberapa
diantaranya adalah keterbukaan (openness/transparency), keterlibatan cross functional resources, baik intra, internal maupun eksternal, dan tentu saja keberlanjutan.” 706
Bahkan dari perspektif marketing manajement, secara
tegas Philip Kotler dan Nancy Lee mengajak korporasi untuk
menerapkan CSR menjadi bagian dari promosi, untuk menaikkan
corporate image, brand image dan profit. 707 Kotler dan Nancy Lee
ingin mengatakan bahwa CSR tidak lagi hanya sebagai hiasan,
705 Jalal, “ CSR Perbankan di Indonesia : Antara Konsep dan Realitas”,
Disampaikan pada Temu Forum XVIII CFCD, Jakarta , 31 Maret 2008 diunduh dari www.csrindonesia.com,
706 Wawancara dengan Fainta Susilo Negoro, pada tanggal 14 Oktober 2008 707 Philip Kotler dan Nancy Lee, Corporate Social Responsibility : Dong the
Most Good for Your Company and Your Causes (New Jersey : John Wiley and Sons. Inc., 2005) hal. 23-24
377
apalagi aktivitas yang termarginalkan, namun sudah merupakan
nyawa perusahaan.708
Oleh karena itu seringkali korporasi mengiklankan melalui
media cetak maupun elektronik mengenai program-program CSR
nya. Misalnya program 1 liter Aqua untuk 10 liter air bersih di
Sumbawa NTB. Usaha daur ulang dari kemasan plastik produk
Unilever yang dibuat tas, dompet atau payung dengan
memberdayakan ibu-ibu rumah tangga agar mendapatkan
tambahan penghasilan dan melestarikan lingkungan. Perusahaan
rokok yang menjadi sponsor pertandingan sepak bola, seperti
Djarum Super Soccer, Copa Dji Sam Soe. PT Sampoerna melalui
Putera Sampoerna Foundation memberikan beasiswa. Berbagai
perusahaan mie instan dan makanan mengiklankan sumbangan
bagi masyarakat yang terkena bencana alam. Bahkan ada
beberapa bank yang membuka rekening untuk membantu
menyalurkan donasi masyarakat kepada orang yang menderita
sakit tetapi miskin, dan lain sebagainya.709
Fenomena ini sudah jamak pada saat ini dimana bisnis harus
menghubungkan antara mencari keuntungan dengan
memperhatikan masalah sosial. Igor Abramov mengatakan bahwa:
“Commercial activities and businesses can and should
improve the quality of life of the world's poorest communities. Today, businesses are taking a largely reactive
708 I Komang Ardana, “Bisnis Dan Tanggung Jawab Sosial” , Buletin Studi
Ekonomi, Volume 13 Nomor 1 Tahun 2008, hal. 33 709 Iklan-iklan tersebut dapat disaksikan hampir di seluruh media televisi atau
media cetak
378
approach to corporate social responsibility. Business participation would provide investment that would help meet
basic needs, such as food and clean water as well as jobs and opportunities for self-empowerment and manajement
know-how and expertise, to enable sustainable development”. 710
Dari perspektif bisnis, hal ini sah-sah saja. Seperti yang
dikatakan Nancy J. Knauer bahwa penggunaan media sangat
mendukung untuk increased competition melalui kedermawanan
sosial.711
Tetapi dari perspektif hukum hal tersebut menjadi
persoalan. Ketidakjelasan terminologi dan multipersepsi dari CSR
menjadikan hukum sulit untuk menentukan mana korporasi yang
telah melakukan CSR dengan benar dan mana yang tidak. Padahal
tugas hukum adalah memberi justifikasi. Hal ini secara teknis
menimbulkan banyak sekali kesulitan dalam penegakan hukum
terhadap CSR, apabila dilaksanakan dalam bentuk yang sangat
beragam.
Misalnya CSR yang dicampur dengan promosi. Apabila
pembiayaan CSR akan mendapatkan insentif pajak, maka
pertanyaannya : berapa besar dana riil yang dikeluarkan oleh
korporasi untuk CSR ?. Bagaimana pula dengan status dana
promosi yang mengiklankan CSR ?. Apakah termasuk pengurang
710 Igor Abramov, “Responsible Business: Weaving The Fabric Of A Stable
Marketplace”, American Business Law Journal, 44 (Summer, 2007) : 233 711 Nancy J. Knauer mencatat pengaruh media sangat besar terhadap
kesadaran masyarakat untuk berderma, Nancy J. Knauer, "Reinventing Government: The Promise Of Institutional Choice And Government Created Charitable Organizations”, New York Law School Law Review 41 (1997) : 981
379
pajak atau tidak?. Seharusnya yang dapat menjadi pengurang
pajak adalah besarnya dana yang langsung disalurkan kepada
masyarakat, dan bukan termasuk yang digunakan untuk promosi.
3. Regulasi CSR Sebaiknya Berbasis Sistem Pasar
CSR pada dasarnya adalah bagian yang tak terpisahkan dari
operasional korporasi. Sehingga banyak pihak telah mendukung
pelaksanaan CSR tersebut, baik dalam prinsip voluntary maupun
diarahkan pada prinsip mandatory. Tetapi karena kondisi politik
ekonomi dalam globalisasi yang tidak menghendaki campur tangan
pemerintah terlalu banyak, maka regulasi CSR sebaiknya
didasarkan pada mekanisme pasar, agar lebih efektif. Seperti yang
dikatakan Niamh Garvey dan Peter Newell: “Market-based
approaches are regarded as more effective solutions than formal
“command and control” mechanisms”.712
Namun demikian, banyak pula pihak yang tidak meyakini
bahwa prinsip voluntary dalam penerapan CSR akan berjalan baik
jika hanya diserahkan pada kebebasan dan kesadaran korporasi.
Oleh karena itu, ada upaya-upaya untuk mencari jalan tengah.
Pemerintah seharusnya tetap memberikan kewajiban bagi
korporasi untuk membuat social reporting yang dipublikasikan
secara luas.
712 World Bank, Greening industry: new roles for communities, markets and
governments, World Bank Policy Research Report (New York: Oxford University Press, 2000), dikutip oleh Niamh Garvey and Peter Newell, “Corporate accountability to the
poor?: Assessing the effectiveness of community-based strategies”, IDS Working Paper 227, Institute Of Development Studies Brighton, Sussex BN1 9RE England (October 2004) hal. 2.
380
David Hess menawarkan Reflexive Law Theory sebagai
pendekatan untuk mencari jalan keluar bagi regulasi CSR.
Korporasi diberi kewajiban untuk mengatur dirinya sendiri dalam
memperhatikan persoalan sosial dan memberikan laporan kepada
masyarakat (pasar), dan selanjutnya, biarlah masyarakat (pasar)
yang akan memberikan penilaian.713
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, telah mewajibkan bagi Direksi untuk
menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS setelah ditelaah oleh
Dewan Komisaris. Laporan tersebut menurut ayat (2) harus
memuat beberapa hal. Dimana salah satunya adalah laporan
mengenai pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.714
Namun Pasal tersebut tidak memberikan kewajiban bagi Perseroan
untuk memberikan laporan kepada masyarakat umum.
Gagasan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam Good
Corporate Governance (GCG), sudah diatur mengenai prinsip-
713 David Hess, “Social Reporting: A Reflexive Law Approach To Corporate
Social Responsiveness”, Journal of Corporation Law, 25 (Fall 1999): 63 714 Lebih lengkapnya dalam Pasal 60 Ayat (2) disebutkan bahwa Laporan
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat sekurang-kurangnya: a. laporan keuangan yang terdiri atas sekurang- kurangnya neraca akhir tahun
buku yang baru lampau dalam perbandingan dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan tersebut;
b. laporan mengenai kegiatan Perseroan; c. laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; d. rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang mempengaruhi kegiatan
usaha Perseroan; e. laporan mengenai tugas pengawasan yang telah dilaksanakan oleh Dewan
Komisaris selama tahun buku yang baru lampau; f. nama anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris;
g. gaji dan tunjangan bagi anggota Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris Perseroan untuk tahun yang baru lampau.
381
prinsip tatakelola perusahaan yang baik. Prinsip prinsip tersebut
adalah 715:
1). Transparansi
Adalah prinsip keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan
informasi material dan relevan dalam perusahaan.
2). Akuntabiltas
Adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga
pengelolaan perusahaan menjadi efektif.
3). Responsibilitas
Adalah kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4). Independensi
Adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5). Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness)
715 Daniri juga mengajukan konsep bahwa CSR sebagai bentuk kepedulian
korporasi terhadap persoalan sosial masyarakat adalah bagian dari penerapan prinsip-prinsip GCG , Mas Acmad Daniri, Good Corporate Governance , Konsep dan Penerapannya di Indonesia (Jakarta: Ray Indonesia, 2005), hal. 9-12
382
Fairness adalah perilaku yang adil dan setara didalam
memenuhi hak hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian atau perundang-undangan.
Penerapan GCG juga berfungsi untuk menumbuhkan
kepercayaan investor dan pasar secara umum terhadap
perusahaan. Fungsi lainnya adalah untuk mengendalikan
perilaku pengelola perusahaan agar tidak bertindak hanya untuk
kepentingan diri sendiri. Tetapi juga harus memperhatikan
kepentingan shareholder dan stakeholder.716
Social Reporting terkait dengan GCG telah banyak diatur
dan dilaksanakan dalam bisnis di Pasar Modal. Asas disclousure
telah diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal), dan berbagai aturan
pelaksanaannya. Asas ini mewajibkan setiap emiten untuk
memberikan informasi secara terbuka dan jelas kepada publik.
Seperti yang diatur dalam Pasal 86 mengenai pelaporan dan
keterbukaan informasi. Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyebutkan:
“Emiten yang Pernyataan Pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada Bapepam dan mengumumkan
laporan tersebut kepada masyarakat; dan menyampaikan laporan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada
masyarakat tentang peristiwa material yang dapat mempengaruhi harga Efek selambat-lambatnya pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terjadinya peristiwa
tersebut.”
716 Joni Emirzon, Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance: Paradigma Baru
Dala Praktek Bisnis Indonesia (Yogyakarta: Genta Press, 2007), hal. 43-44
383
Praktek tersebut telah dilakukan di berbagai negara,
bahkan secara tegas telah diarahkan pada pelaksanaan CSR.
Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones
Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang
dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan
salah satu kriterianya adalah praktek CSR. Begitu pula London
Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment
Index (SRI Index) dan Financial Times Stock Exchange (FTSE)
yang memiliki FTSE4Good sejak 2001.717
Setiap korporasi, khususnya korporasi yang go publik
sudah sering dilakukan proses Audit Keuangan untuk melihat
kesehatan keuangan perusahaan. Dalam CSR, muncul gagasan
agar korporasi melakukan “Audit Sosial” untuk melihat
efektifitas dan kredibilitas jalannya program CSR. Korporasi
tidak cukup hanya mencakup pengumpulan informasi tentang
keuangan perusahaan, melainkan pula aspek lingkungan dan
bahkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Para pekerja sosial
(social worker), konsultan atau analis kebijakan biasanya
melakukan audit sosial (social audit) ini.
Walaupun gagasan tersebut cukup relevan, tetapi Edi
Suharto menjelaskan bahwa, proses audit sosial memerlukan
komitmen yang kuat dari orang-orang kunci, seperti CEO dan
717 Mas Achmad Daniri, “Standarisasi...”, op. cit.
384
Board of Director pada organisasi yang diaudit. Dalam
implementasinya, audit sosial juga memerlukan keterlibatan
stakeholders, termasuk pekerja, klien, voluntir, pendiri,
kontraktor, supplier dan penduduk setempat yang terkait
dengan operasi perusahaan. Para auditor sosial biasanya
bekerja sama dengan shareholders dan stakeholders untuk
merancang, mengumpulkan, mengkoordinasikan, dan
menganalisis informasi. Metoda penelitian yang digunakan
melibatkan survei, wawancara, bookeeping dan bahkan studi
kasus.718
Beberapa persoalan dalam audit sosial tidak hanya
terletak dalam kompleksitas perumusannya, tapi juga dalam
implementasinya. Audit sosial melibatkan aspek lingkungan dan
sosial yang relatif lebih sulit dirumuskan dan diukur daripada
aspek finansial. Audit sosial ini memerlukan ahli yang
mempunyai kompetensi komprehensif di bidang lingkungan dan
sosial, serta kemampuan menerapkan sebagai metode
penelitian.719
Kesulitan utama dalam merancang sistem audit terhadap
program CSR yang standar adalah merumuskan variabel dan
718 Edi Suharto, “Audit CSR”, Majalah Bisnis & CSR , Vol 1 No 5 , April 2008
op. cit., hal. 208-209 719 Sebagai ilustrasi, The Social Econimic Agency di Irlandia Utara mulai
mempromosikan audit sosial sejak tahun 1996. Konsultan eksternal dilibatkan untuk merancang metodologi audit sosial dan memberikan pelatihan dan pendampingan
terhadap para auditor di masing-masing organisasi. Audit sosial pertama dilakukan setelah pelatihan dan monitoring terhadap 10 organisasi. Proses ini memerlukan antara 18 sampai 24 bulan, Ibid., hal. 209
385
indikator yang tepat dan dapat diterapkan kepada seluruh
sektor. Dua syarat utama yang perlu dipenuhi adalah 720:
1). Definisi berbagai kategori harus dapat diterapkan terhadap semua perusahaan, industri, dan bahkan sistem sosial yang memungkinkan analisis komparatif.
2). Kategori untuk mengklasifikasikan keberlangsungan kegiatan
perusahaan dalam kurun waktu tertentu sehingga perbandingan historis dapat dilakukan.
Senada dengan Edi Suharto, Ikhsan dan Ishak
menyatakan bahwa informasi mengenai tanggung jawab sosial
dapat diketahui jika perusahaan menerapkan akuntansi sosial.
Akuntansi sosial dalam hal ini berarti identifikasi, mengukur dan
melaporkan hubungan antara bisnis dan lingkungannya.
Lingkungan di sini meliputi sumber daya alam, komunitas
dimana bisnis beroperasi, orang-orang yang dipekerjakan,
pelanggan, pesaing dan perusahaan serta kelompok lain yang
berurusan dengan bisnis tersebut. Akuntansi sosial berperan
dalam menghasilkan informasi mengenai biaya dan manfaat
sosial. Hanya saja sulit untuk menentukan mana yang
merupakan biaya dan manfaat sosial itu sendiri dan kemudian
mengkuantifikasi seluruh pos-pos yang relevan dengan biaya
dan manfaat sosial tersebut.721
720 Ibid. 721 Ikhsan dan Ishak (2005) dalam Yenni Mangoting, “Biaya Tanggung Jawab
Sosial Sebagai Tax Benefit”, Jurusan Ekonomi Akuntansi Vol . 9, NO. 1, Mei 2007, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra, Surabaya, hal. 40 -41. Diunduh dari http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting
386
Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam
rangka penerapan akuntansi sosial yaitu 722:
1) Audit sosial.
Audit sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi,
sosial, dan lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial, dan operasi perusahaan yang reguler.
Audit sosial adalah serupa dengan audit keuangan dalam hal bahwa sosial mencoba untuk secara independen menganalisis suatu perusahaan dan nilai kinerja.
2) Laporan-laporan sosial.
Laporan eksternal terpisah yang menggambarkan hubungan perusahaan dengan komunitasnya. Dengan menghitung
manfaat sosial sebagai seluruh kepada masyarakat yang berasal dari operasi perusahaan kemudian dikurangi dengan
semua biaya sosial.
3) Pengungkapan informasi sosial dalam laporan keuangan tahunan.
Antara lain misalnya pengeluaran untuk mendukung kegiatan sosial budaya, kegiatan olahraga (menjadi sponsor),
dukungan terhadap pendidikan (program beasiswa, kesempatan magang dan penelitian), partisipasi dalam kegiatan perayaan hari-hari besar, dukungan terhadap
lembaga keagamaan, dukungan terhadap lembaga sosial, informasi mengenai mutu dan kualitas, penghargaan
terhadap kualitas (sertifikasi kualitas, sertifikasi halal), kepuasan konsumen (upaya-upaya untuk meningkatkan kepuasan konsumen).
Sebagai pembanding, Global Reporting Initiative
menekankan pentingnya enam prinsip yang perlu diperhatikan
dalam membuat Audit Sosial dalam pelaporan CSR yang baik,
yaitu723:
722 Ibid. 723 Edi Suharto, “Audit CSR” ...,op. cit., hal. 213-214
387
1) Accuracy: informasi harus lengkap dan cukup detail agar bisa dinilai oleh pemangku kepentingan secara jelas, tepat dan
akurat.
2) Balance: seimbang yang mencerminkan aspek-aspek positif dan negatif dari kegiatan CSR yang dilakukan.
3) Comparability: aspek atau variabel yang digunakan dan dilaporkan harus konsisten sehingga dapat dibandingkan antar
waktu.
4) Clarity: informasi harus tersedia dalam bentuk yang mudah
dipahami dan bisa diakses oleh pemangku kepentingan.
5) Reliability: informasi harus ajeg dan terpercaya yang dikumpulkan, direkam, dianalisis, dan disajikan berdasarkan cara atau metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
6) Timeliness: laporan dibuat secara reguler dan tersedia tepat
waktu bagi pemangku kepentingan dan pihak-pihak lain yang memerlukan.
Berdasarkan pada reflexive law theory, CSR dapat
diwajibkan oleh pemerintah kepada setiap korporasi. Karena CSR
tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan bisnis dan
reaksi pasar, maka aturan yang diterapkan adalah dengan
mewajibkan setiap korporasi untuk membuat laporan kepada
masyarakat (social reporting). Pemerintah dapat mewajiban CSR
secara hukum tetapi tanpa diberikan sanksi hukum (lex
imperfecta), tetapi biarkan pasar (masyarakat) yang memberikan
reward and punishmet, seperti boikot atau kampanye anti korporasi
yang tidak menjalankan CSR.
Hal tersebut akan efektif apabila masyarakat mempunyai
kesetaraan kekuatan untuk bargaining, seperti yang dilakukan
388
LSM–LSM Internasional di negara-negara maju, Green Peace
misalnya.
Yanti Koestoer dari Indonesia Business Link setuju dengan
pendapat tersebut hanya saja, apakah hubungan antara
masyarakat dan korporasi telah berimbang?. Dia mengatakan:
“Saya setuju dengan ide tersebut. Tetapi bergantung dari jenis masyarakat dan perusahaannya apakah mampu/siap
atau tidak untuk saling berhadapan. Jika attitude yg dianut adalah “kemitraan” seharusnya tidak ada masalah.
Tapi mungkin perlu waktu untuk mengubah pola pikir masyarakat dan korporasi tentang CSR.” 724
Katamsi Ginano, Startegic Stakeholder Relation Manager dan
Mochamad Kasmali, Senior Corporate Counsel dari PT Newmont
Pacific Nusantara juga menyatakan sepakat, hanya mungkin perlu
waktu untuk lebih optimal. Dia mengatakan dengan memberikan
contoh kasus:
“Masyarakat kita sepertinya sudah mempunyai kesadaran ke arah sana (berhadapan dengan korporasi). Contohnya kasus
Teluk Buyat yang kami hadapi. Walaupun Newmont tidak terbukti bersalah, tetapi kekuatan masyarakat untuk
menggugat cukup mendapat perhatian publik”. 725
724 Wawancara dengan Yanti Koestoer, pada tanggal 12 November 2008. 725Wawancara dengan Katamsi Ginano dan Mochamad Kasmali, pada tanggal
17 November 2008
389
B. Problematika Tentang Pembiayaan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan
Perdebatan mengenai pembiayaan untuk CSR akan dikaji
dalam bagian ini. Apakah dari anggaran operasional perusahaan atau
dari sebagian keuntungan. Bagian akhir dari sub bab ini akan
membahas insentif pajak untuk perusahaan yang melaksanakan CSR.
1. Pendanaan CSR Bagian dari Anggaran Operasional
Perusahaan
Persoalan lain dalam pelaksanaan CSR adalah menyangkut
sumber pembiayaan untuk pelaksanaan CSR. Perseroan Terbatas
yang kegiatan usahanya di bidang atau terkait dengan Sumber
Daya Alam (SDA) harus mengalokasikan anggaran tertentu untuk
tanggung jawab sosial (CSR). Ketua Panitia Khusus (Pansus)
Undang-Undang Perseroan Terbatas, Akil Mochtar, dalam Rapat
Paripurna DPR untuk menyepakati RUU PT tersebut menjadi
Undang-Undang mengatakan:
"Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat." 726
Seperti tersebut di atas, Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan
dengan tegas bahwa:
726 “PT Terkait SDA Wajib Alokasi Anggaran CSR”, Antara , Rabu, Januari 23,
2008 . Diunduh dari http://www.antara.co.id/en/arc/2007/7/20/pt-terkait-sda-wajib-alokasi-anggaran-csr/
390
“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”727
Klausula tersebut menuntut penjelasan lebih lanjut.
Setidaknya ada dua hal yang perlu dikaji dari susunan kalimat di
atas, yaitu :
Pertama, Kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan. Ada kata “dianggarkan”
dan “diperhitungkan” sebagai biaya Perseroan. „Dianggarkan‟
memiliki makna bahwa biaya untuk CSR sudah “direncanakan”
sejak awal tahun oleh suatu perseroan, sedangkan „diperhitungkan‟
adalah biaya yang nyata-nyata dikeluarkan oleh suatu perseroan
untuk CSR baik direncanakan ataupun tidak. Dengan demikian
biaya yang dikeluarkan secara nyata untuk CSR sama dapat saja
lebih besar atau lebih kecil dari biaya yang dianggarkan.
Kedua, “yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. Kata „memperhatikan
kepatutan dan kewajaran’, tidak memberikan kejelasan parameter
mengenai jumlah tertentu.728 Sehingga tidak ada nominal ataupun
prosentase yang jelas berapa besar biaya yang harus dipersiapkan
oleh korporasi untuk melaksanakan CSR.
Menurut Curt Weeden seperti yang dikutip Parsudi Suparlan,
Korporasi yang memaknai CSR sebagai bentuk corporate social
727 Underline oleh penulis 728 Penjelasan Pasal tersebut hanya dikatakan „cukup jelas‟
391
investment , akan mengambil kebijakan dari sekedar menyumbang
(charity/philantrophy) menjadi bagian dari investasi.729
Makna dari investasi adalah penanaman modal. Sedangkan
definisi dari modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain
yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang
mempunyai nilai ekonomis.730 Artinya CSR yang dimaknai sebagai
corporate social investment sudah seharusnya didanai dari modal
korporasi. Artinya, secara teknis dana CSR adalah bagian anggaran
operasional korporasi.
Sudah lebih dari satu dekade yang lalu, Young-Chul Kang
dan Donna Wood menyatakan bahwa kebutuhan anggaran CSR
tidak bisa dihitung secara after profit. Mereka secara tegas
menyatakannya hal itu ketika menyunting Before-Profit Social
Responsibility di tahun 1995. Menurutnya dengan mengambil
argumentasi CSR sebagai after profit maka perusahaan akan
menghindari melakukan CSR sebelum masuk ke periode untung.
Padahal, dampak negatif perusahaan bisa saja terjadi ketika
perusahaan mulai beroperasi. Sudah seharusnya CSR dilakukan
oleh perusahaan sejak periode awal ia bersinggungan dengan
pemangku kepentingannya. Kemudian, perusahaan juga bisa
menghindari melakukan CSR apabila tahun sebelumnya ia
mengalami kerugian. Secara logis, perusahaan harus melakukan
729 Parsudi Suparlan, “Pembangunan Komuniti dan Tanggung Jawab Sosial
Korporasi”, dalam Investasi Sosial , Pusat Penyuluhan Sosial Depertemen Sosial RI,
(Jakarta : LaTofi Enterprise, 2005) hal. 5 730 Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal
392
bisnisnya dengan bertanggung jawab, terlepas dari apakah ia
untung atau tidak.731
Claudio Nidasio juga menyatakan, bahwa mereka yang
masih mempertahankan pendirian bahwa CSR adalah bersifat after
profit sesungguhnya tidak memahami CSR dengan benar.732
Bagi perusahaan yang mempunyai kesadaran untuk
menerapkan tanggung jawab sosial, CSR sudah menjadi bagian
dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan
di mata publik yakni membangun image perusahaan. Beberapa
perusahaan bahkan melihat CSR sebagai bagian dari manajemen
risiko. Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan
berkaitan dengan bidang usaha merupakan konsekuensi
mekanisme pasar. Kesadaran ini menjadi tren global seiring
semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-
produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan
memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip HAM. 733
Tetapi meregulasi CSR hanya dari sisi pandang sumber
biaya atau besaran anggaran adalah kesalahan fatal. Hal ini
menunjukan bahwa pemerintah tidak memahami esensi dari CSR.
CSR adalah upaya manajemen untuk meminimumkan dampak
negatif dan memaksimumkan dampak positifnya terhadap seluruh
731 Young-Chul Kang dan Donna Wood dalam Jalal, “Pemerintah dan
Kehendak Meregulasi CSR”, Lingkar Studi CSR, Jakarta 12 Juni 2007, hal.2. Diunduh dari www.csrIndonesia.com,
732 Claudio Nidasio dalam Jalal, “Pemerintah ..., Ibid. 733“Kontraversi Kewajiban CSR bagi Perusahaan”., Diunduh dari
http://fe.elcom.umy.ac.id/file.php/70/moddata/forum/379/6916/Lily_Afiah_20050410007_GCG_Kontraversi_Kewajiban_CSR_bagi_Perusahaan.doc,
393
pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan
lingkungan. Perusahaan dari sudut pandang CSR memang
memiliki tanggung jawab untuk melakukan manajemen dampak,
namun tanggung jawab itu terbatas pada wilayah dampaknya saja,
serta hanya bagi pemangku kepentingannya. Karenanya, berapa
besaran dana yang dicurahkan oleh perusahaan untuk
kegiatan CSR sangat tergantung dari dampak operasinya.734
Bagaimana jika dampak yang terjadi lebih besar dari biaya
yang dianggarkan seperti dalam kasus Lapindo?. Meregulasi input
CSR berupa dana sebetulnya sangat tidak strategis. Secara
umum, meregulasi batasan kinerja minimum tentu lebih
bermanfaat, dengan secara umum, meregulasi batasan kinerja
minimum tentu lebih bermanfaat, dengan menyerahkan pada
perusahaan bagaimana kinerja itu dicapai.735
Bagi Korporasi Multi Nasional (MNC) persoalan sumber
pembiayaan CSR ini tidak begitu penting untuk dibicarakan.
Seperti yang dikatakan oleh Katamsi Ginano (Strategic Stakeholder
Relation Manager), Mochamad Kasmali (Senior Corporate Counsel)
dan Rubi W Purnomo (Head of Corporate Communications) dari PT
Newmont Pacific Nusantara (PT NPN) berikut ini:
“Bagi Newmont CSR adalah komitmen perusahaan,
sebuah visi, misi dan bagian strategi keberlanjutan perusahaan, persoalan sumber pembiayaan mutlak menjadi bagian dari anggaran operasional korporasi” ...
“CSR tidak saja mengenai program membantu
734 Jalal, op. cit. , hal. 1 735 Ibid., hal. 3
394
masyarakat, tetapi sudah menjadi dasar pertimbangan kebijakan korporasi sejak mulai beroperasi, termasuk di
dalamnya adalah mengenai besarnya anggaran CSR.” 736
Tetapi mereka mengkhawatirkan atas pengaturan CSR
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas hanya dipersepsikan mengenai berapa
besarnya biaya, maka korporasi akan mulai berhitung dengan
pendekatan kuantitas biaya. Mereka menambahkan:
“CSR sudah dilaksanakan oleh Newmont sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas diundangkan. Kami telah habiskan jutaan dollar untuk CSR, dan itu kami lakukan dengan kesadaran demi
keberlanjutan bisnis. Tetapi kalau pemerintah sudah mulai berbicara mengenai jumlah uang, maka kami dan
korporasi lainnya juga akan mulai berpikir berdasarkan perhitungan angka-angka keuangan dan ini mengkhawatirkan, sebab korporasi tidak lagi
menempatkan CSR menjadi bagian dari keseluruhan manajemen tetapi hanya menjadi bagian anggaran saja,
untuk memenuhi formalitas hukum yang berlaku”. 737
Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Yanti
Koestoer, Direktur Eksekutif Indonesia Business Links, sebagai
berikut:
“Semestinya pembiayaan CSR dianggarkan dalam
operasional, karena CSR terkait dengan strategi bisnis dan bukan sekedar donasi. Jadi masuk dalam strategi produksi hingga pemasaran. Kalau hanya sebagian
keuntungan, kesannya seperti zakat. Kalau untung ya menyumbang, jika tidak untung ya tidak usah buat
program apapun. Pola pikir ini harus diubah.” 738
736 Wawancara dengan Katamsi Ginano, Mochamad Kasmali (Senior
Corporate Counsel) dan Rubi W Purnomo pada tanggal 17 November 2008 737 Ibid. 738 Wawancara dengan Yanti Koestoer pada tanggal 12 November 2008
395
Sinta Kaniawati (General Manager Yayasan Unilever
Indonesia), bersama Franky Jamin ( Corporate Secretary) dan
Imelda Manulu (Corporate Legal) mewakili PT Unilever Indonesia
Tbk menyampaikan:
“kami tidak masalah, apakah CSR baik dari profit atau
anggaran operasional. Suatu perusahaan melakukan CSR dengan melihat bagaimana keadaan perusahaan, bagaimana pengaruh terhadap masyarakat dan
lingkungan.Dari hal tersebut CSR merupakan bagian dari bisnis. Jadi CSR sudah kita anggarkan untuk kegiatan bagi
masyarakat.” 739 Jika CSR sudah merupakan bagian dari komitmen bisnis,
sudah seharusnya masuk dalam anggaran operasional. Tetapi hal
tersebut tidak menjadi masalah bagi korporasi besar yang setiap
tahun meraup untung jutaan dollar. Tetapi bagaimana dengan
perusahaan Perseroan Terbatas yang kecil atau baru saja berdiri?.
Untungpun belum didapatnya, untuk membayar karyawannya
belum tentu sesuai ketentuan upah minimum, apalagi harus
memasukan CSR dalam anggaran operasional. Karena itu,
memasukkan sumber pembiayaan CSR dalam anggaran
operasional korporasi terasa tidak adil bagi korporasi yang belum
mendapatkan keuntungan dari bisnisnya.
2. Pembiayaan CSR Lebih Adil Jika Diambil Dari Sebagian
Keuntungan Perusahaan
Kewajiban melakukan CSR dengan sumber pendanaan yang
harus dianggarkan dalam biaya operasional, dianggap tidak
739 Wawancara dengan Sinta Kaniawati pada tanggal 7 Oktober 2008
396
memenuhi rasa keadilan. Sebab, korporasi yang beroperasi dan
belum mendapat keuntungan, tetapi sudah terkena kewajiban
untuk memberikan sumbangan bagi masyarakat.740
Untuk Perusahaan BUMN, ketentuan tersebut lebih jelas.
Walaupun istilahnya bukan tanggung jawab sosial perusahaan
seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tetapi substansi dan
tujuannya adalah sama dengan konsep CSR pada umumnya.
Melalui Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor Per-05/Mbu/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha
Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
(selanjutnya ditulis Per-05/Mbu/2007) ditentukan mengenai definisi
Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Menurut Pasal 1
angka 6, Program Kemitraan adalah:
“Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi
tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.”
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 7, definisi Program Bina
Lingkungan adalah:
“Program Bina Lingkungan yang selanjutnya disebut Program BL adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN di wilayah usaha BUMN tersebut
melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN”.
740 Meuthia Ganie-Rochman, “Meregulasi Gagasan CSR”, Kompas, 10 Agustus
2007, Diunduh dari http://kompas.com/kompas-cetak/0708/10/opini/3737896.htm
397
Program Kemitraan dan Bina lingkungan (selanjutnya ditulis
PKBL) ini menurut Pasal 2 Per-05/Mbu/2007 menjadi kewajiban
bagi setiap BUMN baik Perum maupun Persero untuk
melaksanakannya. Untuk BUMN yang berbentuk PERSERO Terbuka
berpedoman pada Keputusan tersebut yang ditetapkan
berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 741
Sedangkan pendanaan dari PKBL disebutkan dengan jelas
bersumber dari sebagian keuntungan, yang besarnya menurut
Pasal 9 ayat (1)-(3) Per-05/Mbu/2007 sebagai berikut:
(1) Dana Program Kemitraan bersumber dari:
a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen);
b. Jasa administrasi pinjaman/marjin/bagi hasil, bunga deposito dan/atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban operasional;
c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada.
(2) Dana Program BL bersumber dari: a. Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua
persen);
b. Hasil bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program BL.
(3) Besarnya dana Program Kemitraan dan Program BL yang berasal dari penyisihan laba setelah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh :
a. Menteri untuk Perum; b. RUPS untuk Persero;
Namun bagi Perusahan BUMN yang berbentuk Perseroan, hal
ini menimbulkan masalah. Sebab dalam Pasal 88 ayat (1)
741 Pasal 2 Per-05/Mbu/2007 menyebutkan :
(1) Perum dan Persero wajib melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan ini.
(2) Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan dan Program BL dengan berpedoman pada Peraturan ini yang ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
398
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara menyebutkan: ”BUMN dapat menyisihkan sebagian laba
bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/ koperasi serta
pembinaan masyarakat sekitar BUMN.”
Juga dalam Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan
Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina
Lingkungan, dalam Pasal 9 disebutkan dana PKBL diambilkan dari
Penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2%.
Di sisi lain BUMN yang berbentuk Perseroan harus tunduk
pada rejim Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Hal ini bisa diasumsikan bahwa Perseroan
BUMN tersebut terkena kewajiban ganda yang terkait dengan
sumber pembiayaan CSR, yaitu melalui penganggaran dan
mengambil dari sebagian keuntungan. Apabila asumsi tersebut
benar, maka Perseroan BUMN akan menjadi sangat terbebani.
Sementara PT Swasta belum diberi kejelasan besarnya dana
yang harus digunakan untuk CSR melalui penganggaran tersebut.742
Persoalan ini jelas akan menjadikan Persero BUMN tidak
mendapatkan kondisi yang fair untuk berkompetisi dengan
Perseroan Swasta.
742 Peranan Perilaku Sosial PT “X” Sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Sosial
Perusahaan”, Posted April 23rd 2008, Diunduh dari http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/akuntansi/peranan-perilaku-sosial-pt
399
Perihal penentuan besarnya biaya untuk CSR tersebut
menjadi penting sebagai salah satu unsur penilaian
pertanggungjawaban sosial perusahaan. Beberapa hal lainnya
adalah mengenai sumber daya manusia, produk dan jasa yang
dihasilkan serta format laporan.743
Format laporan pertanggungjawaban sosial perusahaan yang
belum diatur dalam sebuah standar yang baku, membuat
perusahaan masih belum bisa melaporkan biaya
pertanggungjawaban sosial perusahaan secara tepat, dan aturan
terhadap alokasi biaya pertanggungjawaban sosial terhadap pihak
pihak yang berkepentingan dengan korporasi.744 Bagi perusahaan
BUMN, dalam Pasal 21 Per-05/Mbu/2007 menyebutkan dengan
tegas bahwa setiap BUMN yang melaksanakan PKBL harus
membuat laporan dalam bentuk laporan Triwulanan dan Laporan
Tahunan.745 Bagi perusahaan BUMN, dalam Pasal 21 Per-
05/Mbu/2007 menyebutkan dengan tegas bahwa setiap BUMN yang
melaksanakan PKBL harus membuat laporan dalam bentuk laporan
Triwulanan dan Laporan Tahunan.746
743 Ibid. 744 Ibid. 745Pasal 21 Per-05/MBU/2007 (1) Setiap BUMN Pembina wajib menyusun
laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL. (2) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL terdiri dari Laporan Triwulanan dan Laporan Tahunan. (3) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara terpisah dari Laporan Berkala dan Laporan Tahunan BUMN Pembina
746Pasal 21 Per-05/MBU/2007 (1) Setiap BUMN Pembina wajib menyusun
laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL. (2) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL terdiri dari Laporan Triwulanan dan Laporan Tahunan. (3) Laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program BL sebagaimana
400
Namun ada catatan dari Ketua Umum Corporate Forum for
Community Development, Thendri Supriatmo. Ia mengatakan jika
dibandingkan dengan jumlah perusahaan di Indonesia yang
mencapai ribuan maka pengumpulan dana CSR saat ini masih
sangat kecil. Sebanyak ribuan perusahaan yang ada di Indonesia
hingga saat ini baru 250 perusahaan yang menyetorkan dan
melakukan tanggung jawab sosial terhadap lingkungannya. Dari
250 perusahaan, jika masing-masing perusahaan melakukan CSR
sebesar 2-2,5% dari keuntungan, total dana CSR yang terkumpul
baru sekitar Rp. 3 trilyun. Padahal jika dibandingkan dengan
keuntungan perusahaan dan efek kerusakan lingkungan yang
terjadi, jumlah itu masih belum sebanding.747
Pembiayaan CSR dari sebagian keuntungan dirasa lebih
adil. Korporasi wajib memberikan sebagian kekayaan perusahaan
jika mendapatkan keuntungan dan tidak wajib jika perusahaan
merugi. Hanya saja perlu transparansi dari laporan keuangan
perusahaan. Sesuai Reflexive Law Theory, laporan tersebut juga
disampaikan kepada masyarakat umum dalam bentuk social
reporting sehingga masyarakat dapat melakukan penilaian secara
lebih objektif terhadap kinerja CSR korporasi.
dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara terpisah dari Laporan Berkala dan Laporan Tahunan BUMN Pembina
747 “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Belum Optimal” , KOMPAS ,Jumat 10 Agustus 2007di unduh dari http://www2.kompas.com/ver1/Ekonomi 0708/10/173509.htm
401
3. Insentif Pajak Bagi Perusahaan Yang Melaksanakan CSR
Salah satu alasan para pelaku usaha (khususnya di
Indonesia) menolak diwajibkannya CSR karena menjadi beban
tambahan bagi korporasi. Selama ini korporasi sudah dibebani
dengan berbagai pungutan dan pajak.748
Pajak adalah kontribusi terbesar dari korporasi pada
negara. Tetapi masih jarang yang melakukan analisis perpajakan
terkait dengan isu CSR sehingga muncul beberapa pertanyaan:
apakah memang tidak ada keterkaitan antara pajak dengan CSR?
atau, bagaimana menerapkan CSR untuk menjadi bagian dari
perpajakan?.749
Namun demikian, ada perbedaan mendasar antara
pungutan melalui sistem perpajakan dengan kewajiban untuk
menyumbang kepada masyarakat melalui CSR, yaitu:
Pertama, pajak dibayarkan kepada negara, sedangkan CSR
disalurkan kepada masyarakat secara langsung. 750 Kedua, Tidak
adanya pilihan bagi perpajakan selain mengikuti apa yang diatur
dalam Peraturan, sementara kewajiban CSR dapat disesuaikan
748 “Wajib CSR Disertai Insentif Pajak”, Kolom Ekonomi dan Bisnis, Koran
Tempo Senin, 23 Juli 2007, diunduh dari http://korantempo.com/korantempo/ 2007/07/23/Ekonomi_dan_Bisnis/krn,20070723,18.id.html
749Mihir A Desai dan Dhammika Dharmapala, “CSR and Taxation: The Missing
Link”, Journal of Financial Economic, (Harvard University, Winter 2006) : 1 750 Menurut Pasal 1 angka 1 UU no.28 Tahun 2007 Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Definisi Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . “taxes are the enforced
proportional contributions from person and property, levied by state by virtue of Its sovereigntyfor the support of government and for all public needs” Bryan A Garner, 2004 , Black’s Law Dictionary … ,op. cit. hal. 1496
402
dengan strategi perusahaan dan kondisi masyarakat penerima.
Ketiga, Perpajakan diatur langsung oleh peraturan negara,
sedangkan CSR dapat dilakukan dengan berdasarkan kontrak.751
Pajak dihitung dengan menggunakan informasi dalam laporan
keuangan komersial, karena untuk kepentingan penerimaan
negara, informasi dalam laporan keuangan komersial tersebut
disesuaikan dulu dengan peraturan perpajakan.752
Dalam ekonomi global yang sangat kompetitif, menuntut
korporasi melakukan rekayasa keuangan (finacial engineering)
seefisien mungkin. Menurut Reuven S. Avi-Yonah ada 2 fungsi
pengaturan pajak terkait dengan aktivitas bisnis. Pertama, dengan
membatasi secara langsung tingkat kekayaan perusahaan
(corporate power) , dan kedua, dengan menyediakan mekanisme
insentif dan disinsentif bagi perusahaan perusahaan tertentu.753
751Dijelaskan secara detail : First, Tax paid only to the state. For tax
transactions there is normally only one counterparty in any jurisdiction. Many of the commercial decisions influenced by CSR relate to choice of supplier or of target markets. Tax, by contrast, is paid only to the state or to subdivisions of it; there is no choice as to whom the company deals with on tax matters, except insofar as decisions
on location of activities and transfer pricing determine the state in which the liability
arises. Secondly, The absence of choice. Unlike most business arrangements, the payment of tax and the quantum of the liability are to a large extent not matters of choice. There may be circumstances where tax mitigation arrangements can reduce the liability, Nevertheless, once a commercial decision has been made, in general specific tax results follow inexorably from it. While the commercial transactions on which tax arises may be influenced by CSR considerations, that influence is generally tax-neutral; the decisions taken will affect the company’s fortunes for good or ill, and
whatever the resulting profit is, the same proportion of it will be payable in tax. Thirdly, The role of statute . Tax obligations are determined by statute law rather than by commercially agreed contracts. While there may be room for negotiation on how the tax legislation applies to the company’s particular circumstances, there is no scope for negotiation on whether or not the company is subject to that law in principle, David F Williams, “Tax and Corporate Social Responsibility”, KPMG‟s Tax Business School, (September, 2007), hal. 13-14
752 Yenni Mangoting, “Biaya Tanggung Jawab..., op cit., hal 39 753 Reuven S. Avi-Yonah, “Corporations, Society, And The State: A Defense Of
The Corporate Tax”, Virginia Law Review, 90 (September, 2004): 1246
403
Untuk itu banyak upaya dilakukan untuk memperkecil pajak
dan berbagai pungutan dalam regulasi bidang ekonomi. Termasuk
juga dalam konteks penerapan CSR. Mihir A Desai dan Dhammika
Dharmapala berpendapat dana CSR sebagai bagian untuk
melakukan pengurangan pajak.754
Alternatif ini didasarkan pada argumen. Pertama, bahwa hal
tersebut tidak menimbulkan kontradiksi bagi korporasi untuk
memaksimalisasi keuntungan sebagai tujuan utamanya, sehingga
investor tetap mempunyai kesempatan yang baik dalam investasi.
Kedua, dengan kompensasi pengurangan pajak, maka korporasi
akan dapat secara transparan dalam melaksanakan CSR dan
membayar pajak sesuai dengan norma sosial dan peraturan
perundang-undangan.755
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, Kepabeanan & Cukai serta
Sistem Fiskal Moneter, Hariyadi BS Sukamdani menyampaikan,
bahwa kewajiban CSR akan menimbulkan dampak negatif terhadap
iklim investasi akibat bertambahnya beban perseroan. Kemudian
muncul wacana pemberian insentif pajak terhadap perusahaan
yang melaksanakan CSR. Insentif pajak berupa pengurangan pajak
penghasilan (PPh) diminta sebagai konsekuensi yang sepadan
karena CSR menambah beban pengusaha.756
754 Mihir A Desai dan Dhammika Dharmapala, op. cit., hal. 2 755 Ibid., hal. 3-4 756 “Wajib CSR Disertai Insentif Pajak”, Koran Tempo …, op cit
404
Haula Rosdiana mencermati polemik CSR ini dalam
kaitannya dengan keserasian dengan perpajakan. Dia katakan
bahwa perlakuan pajak atas kegiatan filantropi yang saat ini
berlaku sebenarnya tetap mempunyai cost of taxtation dan beban
PPh yang dialihkan pada penyumbang sehingga diperlukan
perubahan paradigma pemerintah yang mendorong partisipasi
rakyat dan pemahaman atas fungsi distribusi (bahkan alokasi) lebih
lebar dan komprehensif. Hal itu akan mendorong pemahaman
alasan-alasan yang mendasari pemberian insentif pajak. Baik pada
korporasi, dunia usaha bahkan pada orang pribadi seperti di
beberapa negara.757
Tetapi menurut Siti Maemunah, Koordinator Nasional
Jaringan Advokasi Tambang mengatakan bahwa:
“permintaan insentif pajak untuk CSR menunjukkan pengusaha, khususnya di bidang tambang bersikap manja. Mereka selalu gembar-gembor sudah lakukan CSR, tapi
ternyata minta keringanan pajak.” 758
Selanjutnya David F Williams mengatakan, kalau memang
pemerintah menghendaki korporasi untuk melakukan CSR,
seharusnya memberikan dukungan, salah satunya melalui sistem
perpajakan. David F Williams menambahkan :
“While corporate social responsibility is by definition the
task of companies, governments have a role to play in fostering a climate where companies are encouraged to
757 M Husni Nanang, “Berharap Insentif Pajak CSR”, diunduh dari
www.inilah.com 758 Siti Maemunah, “Permintaan Insentif Pajak untuk CSR Tunjukkan
Pengusaha Manja”, Kolom Ekonomi dan Bisnis, Senin, 23 Juli 2007
405
meet this responsibility.In the tax system this may be done by the adoption of environmentally friendly taxation
policies”.759
Tetapi David F Williams juga mempertanyakan hubungan
antara pelaksanaan CSR dengan sistem perpajakan. Dia
menjelaskan:
“Tax is not a business expense, but an appropriation of profits. From this it might be said to follow that CSR
principles as to the conduct of business have no application because tax does not arise as an issue until the business
transactions in question are completed”. 760
Pendapat lain juga mempertanyakan, apakah CSR dapat
diperbolehkan sebagai pengurang atas penghasilan kena pajak?.
Gunadi merujuk pendapat Hyman, bahwa setiap ketentuan PPh
yang mengadopsi definisi “penghasilan” (seperti Pasal 4 ayat(1) UU
PPh), akan menganggap CSR (misalnya dalam bentuk bantuan atau
sumbangan) sebagai pemakaian atau konsumsi atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh korporasi. Oleh karena itu tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan kena pajak donor. Sementara itu,
CSR di tangan penerima karena menambah kemampuan
ekonomisnya maka dianggap sebagai penghasilan yang dapat
dikenakan pajak. Sebagai bukan pengurang penghasilan kena
pajak, maka CSR seluruhnya (100%) merupakan tanggungan
759 David F Williams, “Tax and Corporate Social …, op. cit.,hal. 38 760 Ibid.,hal. 11
406
korporasi dan merupakan konsumsi atas penghasilan setelah
pajak.761
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan, banyak negara yang
belum memasukkan CSR sebagai kewajiban hukum, tetapi
mengatur secara tidak langsung yaitu sebagai insentif berupa
pengurangan pajak bagi perseroan yang melaksanakannya. Dengan
kata lain, di banyak negara hal tersebut tetap menjadi kewajiban
moral semata, tetapi bagi perseroan yang bersedia melaksanakan
kewajiban moral itu akan memperoleh insentif karena
pengeluarannya dapat diperhitungkan sebagai pengurang pajak.
Insentif tersebut telah mendorong perusahaan untuk
menganggarkan dan melaksanakan program-program CSR
tersebut.762
Menurut Linda Sugin, ada tiga persoalan dalam
menganalisa hal tersebut. Satu hal, adalah persoalan internal dari
hukum pajak itu sendiri, dan lainnya adalah mengenai hubungan
antara teori korporasi dengan hukum pajak. Lebih lengkapnya dia
menjelaskan:
“First, as a matter of the Code's internal consistency, the corporate charitable deduction is INCOmpatible with the Code's general treatment of the corporation as a purely
profit-maximizing entity. Second, adoption of an entity theory for the corporation alone does not establish that
corporations have the moral capacity for charity, which seems to be a prerequisite for the individual deduction.
761 Gunadi, “Bagaimana perlakuan pajak atas CSR?”, Bisnis Indonesia, 3
September 2007 762 Sutan Remy Sjahdeini, “Corporate Social Responsibility”, Jurnal Hukum
Bisnis, Volume 26-No 3 Tahun 2007, hal. 65
407
Therefore, assuming that the corporation is an entity does not require parallel taxation for corporations and
individuals, and does not necessarily support a charitable contribution deduction for the entity. Corporations should
only be entitled to the charitable deduction if they can, in fact, act charitably. Finally, if the corporation is to be treated as an entity, the entity's acts must be distinguished
from the individual acts of the people who make up the corporation. In determining what constitutes legitimate
corporate action, the existence of conflicts among the individuals associated with the corporation, particularly owners and managers, must be recognized and
addressed”.763
Namun pelaku usaha tetap menghendaki pemerintah
memberikan kebijakan fasilitas pajak seperti tax deduction
(pengurangan pajak) ataupun tax exemption (penghasilan tidak
kena pajak) bagi perusahaan. Khususnya bagi perusahaan-
perusahaan yang berkomitmen melaksanakan tanggung jawab
sosial. 764
Persoalan insentif pajak dikatakan oleh Jusuf Kalla dalam
International Investment Conference di Jakarta Convention Center,
sebagai berikut:
“Pemerintah akan memberikan insentif pajak untuk
menarik para investor. Insentif perpajakan tersebut diberikan untuk menggairahkan para investor dibidang
minyak dan gas bumi di Indonesia. Jusuf mengatakan, selama ini produksi minyak Indonesia menurun, berarti telah terjadi pengurangan investasi. Itu artinya insentifnya
kurang maka butuh investasi.” 765
763Linda Sugin, “Theories Of The Corporation And The Tax Treatment Of
Corporate Philanthropy”, New York Law School Law Review, 41 (1997) : 843-844 764 Ikhsan dan Ishak (2005) dalam Yenni Mangoting, “Biaya Tanggung Jawab
Sosial Sebagai Tax Benefit” …, op cit, hal. 40 765 “Pemerintah akan Beri Insentif Pajak,” Kolom Ekonomi dan Bisnis, Majalah
Tempo, Senin, 13 Desember 2004
408
Fahmi Idris sebagai wakil dari pihak pemerintah juga
mengusulkan agar dana yang dikeluarkan perusahaan untuk
pelaksanaan tanggung jawab sosial (CSR) tidak dikenakan pajak.
Sehingga perusahaan di Indonesia terdorong melakukan tanggung
jawab sosial baik bagi masyarakat maupun lingkungan.766
Secara normatif, pemerintah telah memberikan fasilitas
berupa pengurangan pajak, seperti yang termaktub dalam Pasal 18
ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal yaitu :
(4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat berupa:
a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;
Sementara fasilitas pengurangan pajak bagi penanam
modal terkait dengan konsep CSR tertulis dalam Pasal 18 ayat (3)
huruf g, yaitu diberikan kepada penanam modal yang menjaga
kelestarian lingkungan hidup; dan huruf i, yaitu yang bermitra
dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi.
Di Filipina dalam Section 4 Corporate Social Responsibility
Act 2007 disebutkan mengenai pengurangan pajak bagi korporasi
yang melaksanakan CSR. Pasal tersebut berbunyi “All expenses
incurred by any corporation in the exercise of its corporate
766 “Menperin Usulkan Dana CSR Tak Kena Pajak”, Senin, 16 Juli 2007.
Diunduh dari http://www.kapanlagi.com/h/0000181582.html
409
social responsibility shall be fukly deducted from its gross
income”.767
Menurut Miguel Ángel Cabra de Luna dan Clara Gaztelu San
Pio, di Spanyol diberlakukan insentif pajak bagi korporasi yang
melakukan CSR dalam bentuk donasi, perhatian pada lingkungan
hidup, karyawan dan perusahaan yang membuat kebijakan non
diskriminasi. Ketentuan ini diatur dalam Act 49/2002 (Ley 49/2002,
de 23 de diciembre, de régimen fiscal de las entidades sin fines
lucrativos y de los incentivos fiscales al mecenazgo).768
Di Amerika, insentif pajak diberikan bagi perorangan maupun
korporasi yang memberikan sumbangan. Bentuk pengurangan pajak
tersebut diatur dalam US Code: Title 26,170. Charitable, Etc.,
Contributions And Gifts yang lebih dikenal dengan Internal
Revenue Code section 170 (IRC 170).
Dalam IRC 170 subtitle (a) disebutkan769:
(a) Allowance of deduction
(1) General rule There shall be allowed as a deduction any charitable contribution (as defined in subsection (c)) payment of which
is made within the taxable year. A charitable contribution shall be allowable as a deduction only if verified under
regulations prescribed by the Secretary
767 Section 4 Philippines Corporate Social Responsibility Act 2007. Diunduh
dari http://www.senate.gov.ph/lis/bill_res.aspx?congress=14&q=SBN-1928 , 768 Miguel Ángel Cabra de Luna and Clara Gaztelu San Pio, “Corporate Social
Responsibility in Spain”, Diunduh dari http://www.efc.be/cgibin/articlepublisher. pl?filename=ML-SE-10-03-1.html
769 Internal Revenue Code, Title 26 , Subtitle A, Chapter 1, Subchapter B, Part VI, § 170 , Diunduh http://www.law.cornell.edu/uscode/html/uscode26/ usc_sec
_26_00000170-000-.html
410
Lebih lanjut mengenai sumbangan dalam subsection (c)
disebutkan :
(c) Charitable contribution defined
For purposes of this section, the term “charitable contribution”
means a contribution or gift to or for the use of— (1) A State, a possession of the United States, or any political
subdivision of any of the foregoing, or the United States or the District of Columbia, but only if the contribution or gift is made for exclusively public purposes.
(2) A corporation, trust, or community chest, fund, or foundation
(3) A post or organization of war veterans, or an auxiliary unit or society of, or trust or foundation for, any such post or organization
(4) In the case of a contribution or gift by an individual, a domestic fraternal society, order, or association, operating
under the lodge system, but only if such contribution or gift is to be used exclusively for religious, charitable, scientific,
literary, or educational purposes, or for the prevention of cruelty to children or animals.
(5) A cemetery company owned and operated exclusively for
the benefit of its members, or any corporation chartered solely for burial purposes as a cemetery corporation and
not permitted by its charter to engage in any business not necessarily incident to that purpose, if such company or corporation is not operated for profit and no part of the net
earnings of such company or corporation inures to the benefit of any private shareholder or individual.
Khusus sumbangan dari korporasi dijelaskan dalam
subsection (d)(2)(A) bahwa setiap sumbangan dari korporasi setiap
tahunnya dapat menjadi pengurang pajak.770 Batasan pemberian
pengurangan pajak tersebut menurut subsection (b)(2)(A)” tidak
melebihi 10% dari pajak pendapatan pertahun.771
770 IRC 170 subsection (d)(2)(A) “any contribution made by a corporation in a
taxable year (hereinafter in this paragraph referred to as the “contribution year”) in excess of the amount deductible for such year under subsection (b)(2)(A)” ., Ibid.
771 IRC 170 subsection (b)(2)(A)” The total deductions under subsection (a) for any taxable year (other than for contributions to which subparagraph (B) applies) shall not exceed 10 percent of the taxpayer’s taxable Income., Ibid.
411
Pada masa pemerintahan Presiden Reagen, banyak
kebijakan ekonomi dalam memberikan berbagai fasilitas untuk
mendukung investasi (termasuk insentif pajak). Gerakan ini juga
didukung kampanye untuk mengajak korporasi meningkatkan
sumbangan bagi masyarakat serta menyadarkan bahwa korporasi
adalah bagian masyarakat (corporate citizenship). Sebab, menurut
hasil penelitian Hayden Smith, bahwa insentif pajak tidak cukup
kuat untuk mengajak korporasi berkomitmen terhadap persoalan
sosial.772 Faktor-faktor lain seperti industry norms, corporate
cultures, and locational variables influenced charitable giving lebih
kuat dari potensi perpajakan.773
Tetapi menurut Linda Sugin, pengurangan pajak korporasi
untuk sumbangan (deduction for charitable gifts) tidak konsisten
dengan doktrin IRC. Dikatakan lebih jelas :
The corporate deduction for charitable gifts was never
completely consistent with the theory or doctrine of Internal Revenue Code section 170 and changes in both the tax
law's treatment of dividends and the accepted practices of business suggest that the special deduction for charitable giving by corporations be replaced by the ordinary business
deduction, which broadly governs ordinary and necessary business expenses. While it may seem unremarkable to
alter the treatment of corporate philanthropy by shifting a deduction from one Internal Revenue Code (Code) section
772Tax incentives proved insufficient to fuel large-scale corporate
commitments (as Hayden Smith's 1983 study shows, companies with deep commitments to social responsibility often contributed at levels greater than could be justified by tax savings, while companies lacking such commitments did not bother to take advantage of potential savings, Peter Dobkin Hall, “Business Giving And Social
Investment In The United States, 1790-1995”, New York Law School Law Review, 41 (1997): 817
773 Ibid., hal. 789
412
to another, in light of recent developments, it offers significant promise for improving the law. 774
Selanjutnya Linda Sugin mengajukan beberapa hal yang
diperlukan untuk mengeliminasi dikotomi antara beban
pengeluaran perusahaan dengan kontribusi sumbangan. Untuk itu
diperlukan argumen baru yang mempertimbangkan pengaturan
corporate charity agar dapat dipertahankan. Diantaranya yaitu,
pengaturan yang mengurangi besarnya pajak (rate of tax) terhadap
penerimaan dividen oleh pemegang saham dan adanya bukti
empiris yang menunjukan mengenai rendahnya penerimaan pajak
yang dibayarkan oleh korporasi.775
Di Indonesia, program CSR yang dilaksanakan di
perusahaan-perusahaan jika ditinjau dari hukum pajak dapat terkait
dengan Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai
(PPn).
Dari sudut PPh, perusahaan biasanya harus memilih strategi
sehingga semua biaya yang dikeluarkan untuk program CSR yang
dipilih dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi laba kena
pajak. Dari sudut pandang PPn, perusahaan biasanya memilih
strategi sehingga barang atau jasa yang diberikan kepada pihak
penerima tidak terhutang PPn atau kalau pun terhutang adalah
seminimal mungkin. Strategi ini diambil dengan asumsi bahwa
semua program CSR yang dipilih oleh perusahaan adalah benar-
774 Linda Sugin, “Encouraging Corporate Charity”, Virginia Tax Review, 16
(Summer 2006) : 127-128 775 Ibid.,128
413
benar untuk maksud yang mulia, peningkatan kualitas sumberdaya
alam, maupun peningkatan aspek sosial dan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, apapun bentuk program yang dipilih oleh
perusahaan mendapat keringanan dan kemudahan dalam aspek
pajaknya.776
Menurut Yenni Mangoting, perlakuan pajak untuk biaya
tanggung jawab sosial yang boleh menjadi pengurang telah diatur
oleh Undang-Undang No 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g, disebutkan untuk biaya beasiswa,
magang dan pelatihan.777 Mengenai pengeluaran tersebut, penulis
memberikan catatan untuk siapa sesungguhnya program
tersebut? Seharusnya praktek CSR yang berbentuk program
edukatif diperuntukkan bagi masyarakat umum yang kurang
mampu. Tetapi, jika program tersebut digunakan untuk peningkatan
SDM dari karyawan perusahaan itu sendiri, jelas bukan dalam arti
CSR.
Penjelasan lebih lanjut disebutkan bahwa biaya yang
dikeluarkan untuk biaya beasiswa, magang dan pelatihan tersebut
776 Ronny Irawan, “Corporate Social Responsibility :Tinjauan Menurut
Peraturan Perpajakan Di Indonesia”, Makalah dalam The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya, 6 September 2008
777 Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No 17 tahun 2000, dalam
Pasal 6 ayat (1) disebutkan : Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi: g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan
414
dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam
rangka bantuan kemanusiaan.778
Yenni Mangoting menganalogikan sebagai mana bantuan
kemanusiaan bencana dalam di Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara yang terjadi pada bulan Desember 2004 dan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
609/PMK.03/2004.779 Artinya untuk membebankan sebuah biaya
tanggung jawab sosial harus dengan penetapan melalui peraturan,
itupun dengan catatan khusus, yaitu dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g
yang berbunyi, bahwa untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak
yang tidak boleh dikurangkan adalah harta yang dihibahkan,
bantuan, atau sumbangan . Selain itu tidak ada lagi pengeluaran
perusahaan yang menurut peraturan pajak boleh menjadi
pengurang penghasilan kena pajak.780
Tetapi tidak demikian halnya dengan perusahaan yang
memilih program CSR dengan memberikan sumbangan untuk
penyediaan sarana dan prasarana sekolah dan kesehatan. Biaya
yang dikeluarkan untuk sumbangan ini tidak dapat dikurangkan
pada penghasilan bruto perusahaan (non deductible expenses). Hal
ini sesuai dengan Pasal 9 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 17
778 Yenni Mangoting, “Biaya Tanggung Jawab Sosial Sebagai Tax Benefit”., op
cit ., 40 779Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 609/PMK.03/2004
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Bantuan Kemanusiaan Bencana Alam Di Nanggroe Aceh Darussalam Dan Sumatera Utara.
780 Yenni Mangoting, loc.cit
415
Tahun 2000.781 Artinya pelaksanaan program CSR tidak selalu
mendapatkan fasilitas insentif pajak. Program CSR tersebut harus
disesuaikan dengan peruntukkannya sesuai peraturan perpajakan.
Lebih rincinya, Ronny Irawan memberikan contoh
berdasarkan beberapa isu CSR terkait dengan perpajakan sebagai
berikut 782:
a. Sumbangan sosial
Dalam Peraturan Menteri Keuangan No 95/PMK.03/2006
tersirat bahwa fasilitas pajak hanya diberikan bagi perusahaan
yang menyumbang untuk bencana alam semata. Sumbangan
dalam bentuk lain, seperti pembangunan gedung sekolah,
peralatan sekolah dan komputer bukan merupakan komponen
pengurang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.783
b. Ketenagakerjaan
Program CSR perusahaan yang memilih meningkatkan
kesejahteraan karyawan melalui pemberian tunjangan atau
fasilitas tertentu,maka perusahaan harus lebih hati-hati dengan
781 Pasal 9 ayat 1 huruf g yaitu (1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan: g. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
782 Ronny Irawan, “Corporate Social Responsibility : Tinjauan ... loc. cit. 783 Pemberian sumbangan dalam bentuk barang merupakan Obyek Pajak
Pertambahan Nilai seperti diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.251/KMK.03/2002 sebagai Penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan No567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain yang dapat digunakan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak, sehingga perusahaan harus menyetor PPN yang Terhutang kepada kas Negara dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor
416
aspek perpajakan yang terkait. Jika tunjangan tersebut
menambah gaji bruto karyawan atau diberikan dalam bentuk
uang, maka merupakan Obyek PPh Pasal 21 / Pasal 26,
sehingga biaya yang dikeluarkan untuk tunjangan tersebut
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
Sebaliknya jika tunjangan tersebut tidak menambah gaji
bruto karyawan atau dalam bentuk kenikmatan atau natura
(tidak merupakan Obyek PPh Pasal 21 / Pasal 26), maka biaya
yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk tunjangan tersebut
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Hal ini sesuai
dengan prinsip taxability dan deductibility.
Tetapi bila program tersebut berbentuk pemberian
fasilitas misalnya perumahan karyawan, maka biaya tersebut
merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto karena merupakan penggantian atau imbalan yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan seperti yang
diatur dalam Pasal 9 ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.784
c. Konsumen
Terkait dengan kepuasan pelanggan, ada beberapa
perusahaan yang menyisihkan sebagian pendapatan dari
784 Pasal 9 ayat 1 huruf e UU No 17 tahu 2000 berbunyi sebagai berikut :
”penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaiatan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuagan”
417
penjualan produknya untuk program CSR. Beberapa perusahaan
lain memilih memberikan produknya secara gratis atau
membagikan hadiah kepada masyarakat.
Apabila perusahaan memilih untuk menyisihkan
sebagian dari hasil penjualannya untuk program CSR dari aspek
PPN maka setiap kenaikan harga dari produk yang dijual karena
program CSR terhutang PPN sebesar kenaikan harga dari produk
tersebut.
Ditinjau dari aspek Pajak Penghasilan, kenaikan
pendapatan karena program CSR dengan sendirinya menambah
penghasilan bruto kena pajak. Ketika dana yang dihasilkan
dibagikan, maka harus diperhatikan dalam bentuk apakah
program tersebut akan didistribusikan, sebab akan berbeda
perlakuan perpajakannya.
Jika hal tersebut berkaitan dengan promosi, menurut
penjelasan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2000 maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan harus dapat
dipisahkan mana yang benar-benar kegiatan iklan atau promosi
dan mana yang bukan.785
d. Lingkungan hidup
Banyak perusahaan menerapkan CSR dengan tema
yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Dilihat dari aspek
785 Penjelasan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 17 tahun 2000
menyebutkan ”mengenai pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan antara biaya
yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto”.
418
Pajak Penghasilan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 dapat mengurangi penghasilan bruto.
Dengan demikian apabila perusahaan mengeluarkan
biaya pengolah limbah dan pengendalian polusi dalam
menjalankan operasi bisnisnya serta biaya yang dikeluarkan
untuk pencegahan dan perbaikan kerusakan lingkungan yang
berkaitan dengan usaha mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.786
Berbagai contoh di atas memberikan asumsi bahwa
pelaksanaan CSR terkait dengan insentif pajak menuntut penjelasan
yang definitif. Ketidaktepatan program CSR dapat mengakibatkan
tidak adanya insentif pajak yang diberikan.
Kecuali, jika pembiayaan CSR secara umum disepakati
untuk dipersepsikan sebagai sumbangan seperti halnya sumbangan
bagi bencana alam (walaupun diwajibkan oleh Undang-Undang),
maka di dalam hukum positif pajak yang berlaku di Indonesia, CSR
boleh dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan
Netto.787
Jika biaya CSR yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah dianggarkan dan
786Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No.17 tahun 2000 berbunyi ” biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan dan jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa,
royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan”
787 Peraturan Menteri Keuangan No 609/PMK.03/2004
419
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan, maka berdasar prinsip
akuntansi, semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan untuk mencari Laba Bersih
Sebelum Pajak, sehingga berapapun biaya yang dikeluarkan
perusahaan untuk CSR tidak akan menjadi masalah secara
komersial.
Menurut Erna Witoelar, ada kesamaan antar pajak dengan
CSR, jika melihat tujuan akhirnya, yaitu untuk membantu
menyelesaikan persoalan sosial dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Logika tersebut menggunakan argumentasi, seolah-
olah perusahaan mestinya memberikan pajak ke pemerintah,
namun pajak itu dilokasikan langsung kepada masyarakat dengan
program CSR, sehingga tidak perlu lewat pemerintah.
Konsekuensinya bagi korporasi yang melakukan CSR perlu
mendapat keringanan pajak maupun pembebasan pajak. Tentu saja
dalam hal ini perusahaan harus benar-benar membuktikan praktek
CSR yang dilakukannya.788
Di negara-negara barat seperti Uni Eropa, Kanada, Amerika
dan Australia, ada mekanisme yang mirip dengan gagasan
memberikan pajak untuk langsung diberikan atau digunakan oleh
korporasi tanpa melalui pemerintah. Mekanisme ini disebut dengan
Pigouvian Tax.
788 Erna Witoelar, “CSR Bisa Percepat Pencapaian MDGs”, Majalah BISNIS dan
CSR , Vol 1 No 2 November 2007., hal. 117-119
420
Istilah Pigouvian Tax diambil dari nama penggagasannya
yaitu Arthur Pigou (1877-1959).789 Definisi dari Pigouvian Tax
adalah : is a tax levied on an agent causing an environmental
externality (environmental damage) as an incentive to avert or
mitigate such damage.790
Pigouvian Tax sering pula disebut dengan istilah “sin tax”
atau “pajak dosa”, yaitu pajak yang dikenakan bagi korporasi
karena melakukan “keburukan ekternalitas” (negative
externalities).791 Seperti menciptakan polusi air atau udara dan
pengrusakan lingkungan hidup. Pigouvian Tax juga dapat
dikenakan bagi korporasi yang produknya menimbulkan masalah
kesehatan, seperti pabrik alkohol dan rokok.792
Konsep Pigouvian Tax ini, korporasi diperkenankan oleh
pemerintah menggunakan pajak untuk digunakan memperbaiki
berbagai negative externalities yang ditimbulkan dari aktivitas
bisnisnya.
Secara eksplisit, Pigouvian Tax tersebut belum dikenal
dalam peraturan perundang-undangan tentang perpajakan di
Indonesia. Tetapi terdapat “kemiripan” tujuan dengan Pasal 25 UU
Lingkungan Hidup. Klausula tersebut menyebutkan, bahwa
789 Alain Désiré Nimubona dan Bernard Sinclair Desgagné, “The Pigouvian Tax
Rule in the Presence of an Eco-Industry”, Institute of Applied Economics, HEC Montréal, Canada H3T 2A7
790 OECD, Glossary of Statistical Terms, diunduh dari http://stats.oecd.org/ glossary/ detail.asp?ID=2065
791 Baumol, W.J. “On Taxation and the Control of Externalities”, American
Economic Review, (1972), : 307-322 . Lihat juga Pigouvian tax dalam Wikipedia Ensiklopedia diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/Pigouvian_tax
792 Pigouvian Tax, diunduh dari http://www.answers.com/topic/pigovian-tax
421
pemerintah dapat memberikan sanksi administrasi bagi pelaku
usaha dengan bentuk pembayaran sejumlah uang. Biaya tersebut
digunakan untuk penyelamatan, penanggulangan dan/atau
pemulihan dari lingkungan hidup yang rusak akibat aktivitas
korporasi.
Bahkan secara lebih tegas dalam Pasal 34 UU Lingkungan
hidup disebutkan :
1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu
sebagaimana pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
Sanksi tersebut diklasifikasikan sebagai tanggung jawab
mutlak (absolut liability) bagi pelaku usaha, seperti yang
disebutkan dalam Pasal 35.
1. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara
mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Konsep ini juga telah diwajibkan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7
huruf f dan Pasal 19 ayat 1, yang menyebutkan secara tegas
422
bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban memberi kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
Ada persoalan secara terminologi hukumnya. Pigovian Tax
adalah mekanisme pajak sementara Peraturan-peraturan diatas
mengenai ganti rugi.
Pajak adalah iuran wajib dari orang atau lembaga kepada
negara (pemerintah) dengan tidak mendapat jasa/timbal balik
secara langsung yang digunakan untuk peningkatan pelayanan
umum dan kesejahteraan. Pungutan tersebut bukan disebabkan
karena adanya kesalahan atau sebagai hukuman.793
Sementara ganti rugi adalah bentuk pembayaran suatu
pihak kepada pihak lain sebagai hukuman karena adanya
kesalahan. Seperti halnya yang dijelaskan dalam Pasal 1365 KUH
Perdata yang menyebutkan: “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
mengganti kerugian tersebut.”
Pada akhirnya, kajian mengenai perlu tidaknya
memberikan insentif pajak bagi korporasi yang melaksanakan CSR,
harus ditarik pada fungsi dan asas pajak itu sendiri.
793 Tunggul Ashari SN, Pengantar Hukum Pajak (Malang : Bayu Media
Publishing, 2005) Hal. 5
423
Salah satu fungsi pajak adalah untuk redistribusi
pendapatan. Dalam fungsi tersebut, pajak yang sudah dipungut
oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga
dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.794
Sedangkan salah satu asas pemungutan pajak menurut
W.J. Langen adalah asas kesejahteraan. Bahwa pajak yang
dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.795
794 Pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: (1) Fungsi anggaran
(budgetair), yaitu : Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pahak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang
semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak; (2) Fungsi mengatur (regulerend) yaitu : Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan
pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea
masuk yang tinggi untuk produk luar negeri;(3) Fungsi stabilitas yaitu : Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien dan ;(4) Fungsi redistribusi pendapatan seperti yang dijelaskan diatas. Pajak dalam Wikipedia Ensiklopedia diunduh dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak.
795 Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut: (1) Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan;(2) Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum;(3) Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama);(4) Asas beban
yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak;(5) Asas kesejahteraan seperti yang dijelaskan diatas, Ibid.
424
Kedua hal tersebut di atas, sangat relevan dengan CSR
sebagai aktivitas perusahaan yang dimaksudkan untuk ikut
meningkatkan kesejaheraan masyarakat. Oleh karena itu penulis
berpendapat bahwa insentif pajak dapat saja diterapkan bagi
korporasi yang melaksanakan CSR.
Namun demikian penulis melihat masih adanya sedikit
persoalan, yaitu: (1) bahwa pajak dapat dipungut hanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara jelas
mengatur peruntukannya; (2) padahal praktek pelaksanaan CSR
dari masing-masing korporasi sangat beragam dan berkembang
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat dan kepentingan
korporasi. Hal ini menjadi sedikit hambatan ketika harus
dituangkan dalam bentuk regulasi.
Oleh karena isu insentif pajak tersebut lebih bermuatan politik
ekonomi daripada yuridis, maka solusi mengenai persoalan
tersebut harus dilakukan dengan pendekatan political negotiation
seperti yang disampaikan oleh Archana Sridhar. Pada intinya
Archana Sridhar mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan
Tax Reform untuk mendorong budaya kedermawanan (culture of
philanthropy), guna mendorong setiap pihak untuk ikut membantu
bagi masyarakat lain (miskin) yang membutuhkan.796
796Archana Sridhar mencontohkan keputusan politik yang diambil oleh
pemerintah Guatemala melalui "2000 Pacto Fiscal Commission" untuk memberikan insentive pajak bagi para donator demi menyelesaikan persoalan kemiskinan dan
menciptakan kedamaian di Guatemala, Archana Sridhar, “Tax Reform And Promoting A Culture Of Philanthropy: Guatemala's "third Sector" In An Era Of Peace”, Fordham International Law Journal, 31 (December, 2007) : 197-198
425
Oleh karena itu tidak ada salahnya pemerintah Indonesia
memberikan insentif pajak bagi korporasi yang melaksanakan CSR
sebagai keputusan politik. Hal ini juga sudah sering dilakukan
untuk merangsang pembangunan ekonomi dan investasi, sepeti
yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal mengenai Fasilitas Penanaman
Modal. Pada Pasal tersebut pemerintah memberikan berbagai
fasilitas dan kemudahan bagi penanam modal yang memenuhi
syarat tertentu. Termasuk di dalamnya adalah fasilitas
pembebasan, penangguhan dan pengurangan pajak.797
Jadi pemberian insentif pajak bagi korporasi yang
melaksanakan CSR mungkin sekali untuk dilakukan sebagai upaya
pemerintah dalam mendorong korporasi untuk melakukan CSR,
demi tercapainya penyelesaian persoalan-persoalan sosial dan
lingkungan.
797 Menurut Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dalam Pasal
18 ayat (4) Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa: a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat
tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu
tertentu;
b. pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;
c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;
d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat
diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu,
pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. Pada ayat (5) disebutkan
(5) Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang
merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional
426
C. Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas belum begitu jelas mengatur mengenai bentuk-bentuk
pelaksanaan CSR. Sehingga ada beberapa perusahaan di Indonesia
yang telah melaksanakan CSR dalam program yang disesuaikan
dengan kepentingan masyarakat dan korporasi itu sendiri.
Penamaan program CSR tersebut juga beragam. Ada istilah
communty development, community empowerment, sustainability
development, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL),
Program Kepedulian Sosial atau secara tegas menyebut Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan.
Berikut adalah beberapa bentuk pelaksanaan CSR dari
Perusahaan Multi Nasional, Perusahaan Swasta Nasional dan Badan
Usaha Milik Negara di Indonesia.
1. Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial di Perusahaan Multi
Nasional
a. Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di PT
Unilever Indonesia Tbk 798
CSR merupakan ambisi PT Unilever Indonesia untuk
mengelola dan menumbuhkan bisnis kami dengan secara
bertanggung jawab dan berkelanjutan dan kami percaya bahwa
sukses jangka panjang bisnis kami berhubungan erat dengan
798 Annual Report 2007, PT Unilever Indonesia Tbk
427
vitalitas lingkungan dan masyarakat di mana kami beroperasi.
Yayasan PT Unilever peduli, yang didirikan pada tahun 2000,
memutuskan sumber daya dan inisiatif yang akan memenuhi
komitmen tanggung jawab sosial perusahaan kami.
Berbagai sumber daya untuk membuat kehidupan lebih
baik merupakan visi kami yang sangat luas. Oleh karena itu PT
Unilever peduli memusatkan upayanya di seputar beberapa
program inti. Tahun ini inisiatif sosial kami yang utama meliputi:
1) Program pendidikan kesehatan terpadu dan program
sekolah yang telah berhasil dilakukan di Jawa Timur dan
Yogyakarta, bekerjasama dengan lifebuoy dan pepsodent.
2) Program-program untuk menghubungkan usaha kecil dan
menengah dengan lembaga keuangan. Ketika para petani
kedelai hitam ternyata memerlukan pinjaman uang guna
membeli peralatan dan biji untuk musim tanam berikutnya
kami telah menawarkan akses keuangan yang kemudian
dibagikan melalui kelompok-kelompok petani atau koperasi.
3) Road Show pencegahan HIV/AIDS di Yogyakarta, Bandung
dan Jakarta bekerja sama dengan YCAB, BNN dan Radio
Prambos. PT Unilever Indonesia bekerja sama dengan enam
perusahaan besar lainnya di Indonesia membentuk koalisi
yang dinamakan IBCA. Koalisi ini bertujuan untuk
memerangi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, khususnya
di tempat kerja.
428
4) Sesuai dengan misi untuk menambah vitalitas dalam
kehidupan, kami telah bermitra dengan World Food
Program untuk meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anak
miskin usia sekolah dasar.
5) Memprakarsai program bantuan teknis bagi para petani gula
kelapa di Lampung sehingga menciptakan pasokan yang
lebih kompetitif untuk komunitas yang merupakan bahan
utama bagi kecap bango.
PT Unilever Indonesia percaya bahwa menangani
masalah lingkungan adalah bermanfaat bagi bisnis kami.
Beberapa inisiatif lingkungan seperti program-program “Green &
Clean” di Jakarta dan Surabaya telah mendorong kesadaran
akan masalah lingkungan pada tingkatan akar rumput dan telah
menghasilkan pengembangan lebih dari 13.000 kader
lingkungan. Semangat dan dedikasi yang luar biasa dari
masyarakat ini telah mendorong terjadinya berbagai perubahan
besar. Bersama dengan Sunlight, program Litterbug telah
meningkatkan pemberdayaan perempuan dengan menciptakan
usaha daur ulang sampah plastik yang diberi nama “Wirausaha
sampah.”
Upaya masyarakat Surabaya dan Jakarta untuk
membantu menyelamatkan bumi telah diakui sampai tingkat
internasional. Pada akhir tahun 2007 program lingkungan kami
menerima penghargaan MDGs dari Metro TV untuk kategori
429
lingkungan dan program lingkungan Surabaya menerima
penghargaan International Green Apple untuk kategori
Enviromental Best Practices.
PT Unilever bangga dengan sejarahnya tentang
penanganan bencana alam yang melanda komunitas kami di
Indonesia. Pada tahun 2007 kami mengeluarkan uang sekitar
Rp. 3,4 milliar untuk bantuan kemanusiaan. Ini termasuk
penyediaan pertolongan darurat banjir di Jakarta pada bulan
februari 2007. Peresmian Puskesmas, sebuah balai dusun dan
sekolah di Yogyakarta sebagai bagian dari program pemulihan
bencana alam di Yogyakarta dan dalam penyediaan pertolongan
darurat kepada korban gempa di Bengkulu pada bulan Oktober
2007. Bantuan tidak hanya berupa uang dan selama terjadi
banjir di Jakarta Tim Boga Foodsolutions PT Unilever dan Tim
Relawan Unilever menyiapkan 3.000 paket makanan siap-santap
untuk lima hari pada saat terparah terjadinya bencana banjir.
Tujuan PT Unilever Indonesia adalah membangun dan
meningkatkan efektifitas dan efisiensi program-program kami
dan juga membuat reflikasi dari kegiatan-kegiatan kami yang
sukses serta melakukannya di daerah-daerah lain. Sebagai
contoh program pencegahan HIV-AIDS akan diperluas ke
sekolah-sekolah di Surabaya dan program kesehatan terpadu
akan diperluas ke lima kabupaten di Jawa Barat.
430
PT Unilever Indonesia berusaha untuk menjadi warga
usaha terpercaya yang dapat memenuhi tanggung jawab
kepada masyarakat dimana kami beroperasi sambil
mengembangkan program-program yang meningkatkan dan
berkaitan dengan bisnis kami.
b. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT. International
Nickel Indonesia TBK (PT INCO)799
Keterlibatan dalam semua segi pengembangan
masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
komitmen tanggung jawab sosial perusahaan PT INCO kepada
Indonesia, karena PT INCO tumbuh dan menjadi sejahtera
secara bersama-sama. Seluruh inisiatif yang ada bertujuan
untuk menyokong pengembangan yang berkelanjutan. Proses
yang kami jalani didasarkan pada dialog konstruktif yang
mendorong kemitraan antara perseroan, pemerintah setempat,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat.
Tahun 2007 lalu, PT INCO telah menyumbang sebanyak
$5,9 juta, yang mana jumlah ini adalah lebih dua kali lipat
daripada sumbangan untuk tahun 2006 sebanyak $2,8 juta,
untuk berbagai inisiatif dalam kisaran yang luas dalam bidang
pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pertanian dan
perikanan, seni budaya, dan kampaye perdamaian, serta
bantuan darurat. Sumbangan PT INCO akan jauh lebih besar
799 Annual Report 2007 PT International Nickel Indonesia TBK
431
lagi pada tahun 2008, yakni US $ 7,4 juta seperti yang telah
direncanakan. Peningkatan ini mencerminkan keberhasilan kami
dalam meningkatkan produksi di atas 72.570 metrik ton (160
juta pound) nikel per tahun.
Beberapa pelaksanaan CSR dilakukan oleh PT INCO
mengenai beberapa isu, yaitu:
1) Prioritas-prioritas Pendidikan
PT INCO percaya bahwa keunggulan dalam pendidikan
adalah satu jalan menuju sukses baik dari sudut pandang
sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan fokus utama yang ingin PT INCO berikan kepada
masyarakat.
PT INCO banyak membiayai program-program
pendidikan yang ditunjukan kepada karyawan dan
masyarakat luas. Sebagai contoh, pada tahun 2007 lalu,
kami telah memberikan 117 beasiswa dari tingkat sekolah
dasar hingga ke jenjang doktoral, yang semuanya bernilai
kurang lebih $16.000, membantu para guru
mengembangkan kursus-kurus dan mengembangkan
metode-metode pengajaran, membangun tiga taman kanak-
kanak dan memberikan dana untuk pembelian buku-buku
pelajaran, komputer, laboratorium dan perpustakaan kepada
banyak anggota masyarakat. PT INCO juga memberikan
bantuan keuangan kepada para guru, terutama bagi mereka
432
yang ada di daerah terpencil. Kami telah mendirikan dan
memberikan subsidi penuh kepada suatu yayasan yang
bernama Yayasan Pendidikan Sorowako, yang memiliki 2.168
siswa yang terdaftar pada tahun 2007.
Selain itu, sebanyak 483 mahasiswa telah lulus dari
institusi diploma yang dimiliki dan diselenggarakan oleh PT
INCO, yakni Akademi Sorowako (ATS) dan PPI, suatu
program pelatihan industri non gelar. Institusi-institusi ini
mempersiapkan generasi muda untuk bekerja baik diluar
maupun PT INCO. ATS memiliki sertifikasi ISO 17025 dan
ISO 9001:2000, berdasarkan sistem manajemen mutu yang
digunakan dalam laboratorium proses teknologi. Pada tahun
2007, PPI telah memberikan pelatihan kepada kurang lebih
184 siswa dari Luwu Timur, Kabupaten Morowali di Sulawesi
Tengah, dan Kolaka di Sulawesi Tenggara.
PT INCO peka terhadap pentingnya untuk memastikan
bahwa wanita mendapat perlakuan yang adil dan sama.
Baru-baru ini untuk program pelatihan industri PPI telah ada
41 wanita yang mengikuti program, kemudian juga dengan
ATS, ada 41 wanita yang mengikuti kuliah.
PT INCO menjalin hubungan jangka panjang dengan
institusi perguruan tinggi. Tahun 2007 lalu PT INCO bekerja
sama dengan pemerintah Luwu Timur dan Universitas Negeri
Makasar (dahulu IKIP Makasar) telah menawarkan sejumlah
433
program pelatihan bagi guru-guru lokal dan pimpinan-
pimpinan sekolah. PT INCO juga menggalang kerja sama
dengan Universitas Hasannudin Makasar untuk memberikan
pelatihan kepada para geologis untuk dipekerjakan di PT
INCO dan 12 mahasiswa dari Universitas Hasannudin telah
ikut serta dalam program magang di perusahaan PT INCO.
2) Penggalakan Kesehatan
PT INCO beranggapan bahwa pemberian pelayanan
kesehatan yang baik bisa menyentuh dan menjawab
kebutuhan dan hak manusia yang paling mendasar. Sama
halnya dengan anggapan tersebut, PT INCO juga peduli akan
kesehatan karyawan dan masyarakat pada umumnya dan
kami terbiasa meneruskan tradisi pemberian pelayanan
kesehatan yang berkualitas, bebas biaya dan terjangkau,
terutama kepada warga pribumi setempat.
PT INCO mengoperasikan rumah sakit dengan fasilitas
yang memadai di Sorowako dan mengelola klinik-klinik
kesehatan di Wowondula, Wasupoda dan Malili, termasuk
pusat pelayanan ibu dan anak di Tabarano. Kami ikut
membantu puskesmas-puskesmas di Towuti dan Sorowako
dengan cara menyumbang mobil-mobil ambulan, obat-
obatan dan sejumlah peralatan medis, dan memberikan
bantuan secara keuangan kepada para dokter, juru rawat,
dan karyawan-karyawan lain di puskesmas. Di area-area
434
terpencil kami ikut menggalakkan kualitas pelayanan
kesehatan yang tinggi dengan memberikan sejumlah insentif
kepada paramedis, dokter dan karyawan puskesmas. Kurang
lebih sebanyak 30.000 orang telah mendapatkan pelayanan
kesehatan dari puskesmas-puskesmas yang disponsori oleh
PT INCO.
3) Membantu Pengembangan Ekonomi Lokal
Selama tahun 2007 lalu, PT INCO terus melanjutkan
upayanya untuk meningkatkan pengembangan ekonomi
dengan menyediakan bus-bus sekolah, mengelola
pengumpulan sampah, membangun jembatan-jembatan,
memperbaiki dan membuat trotoar jalan untuk
meningkatkan akses ke area-area terpencil,
mendistribusikan air bersih, menyediakan penerangan jalan,
menyediakan generator untuk desa-desa yang kekurangan
pasokan listrik serta memperbaiki fasilitas-fasilitas drainase.
PT INCO juga memberikan program kerja untuk
pendirian koperasi disejumlah masyarakat tambahan,
termasuk koperasi lentera, koperasi mega lestari dan
koperasi nasa lestari. Koperasi-koperasi ini menyediakan
suatu mekanisme modal kerja untuk didistribusikan kepada
masyarakat setempat yang bekerja dalam bidang pertanian.
Program-progam pengembangan ekonomi yang
dibiayai oleh PT INCO termasuk memberikan pelatihan
435
kepada juru las dan menggalakan pengembangan ternak
berhama. Kami juga bekerja sama dengan koperasi karang
taruna setempat untuk menyediakan pupuk organik dan
spesies tanaman lokal untuk program pembibitan dan
rehabilitasi tembaga yang kami miliki.
Di samping itu pada tahun 2007, PT INCO sedang
bekerja sama dengan Pemda di Sorowako untuk menjaga
infrastruktur dan juga mempersiapkan anggaran pemerintah
pusat untuk mengembangkan rumah susun bersubsidi
dengan biaya rendah (anggaran pemerintah pusat sebesar
35 miliyar ruipah). Ini adalah program kerja sama untuk
periode tiga tahun antara anggaran pemerintah pusat,
propinsi dan daerah serta PT INCO dengan tujuan untuk
meningkatkan pemukiman masyarakat di desa Sorowoko.
4) Penggalakkan Pertanian dan Perikanan
PT INCO aktif dalam sejumlah program untuk
menggalakkan pertanian ulat sutera dan memacu ekonomi
pertanian lokal. Kami memberikan kepada para petani dan
nelayan berbagai macam alat, termasuk traktor tangan,
pupuk dan bibit padi. PT INCO membiayai sistem irigasi dan
memberikan pelatihan dalam berbagai ketrampilan seperti
pelatihan holtikultural.
5) Menumbuhkan Pemahaman Melalui Seni, Budaya dan
Kampaye Perdamaian
436
Kontribusi PT INCO kepada budaya lokal mencakup
kontribusi untuk program-program bagi generasi muda,
seperti kelompok-kelompok karang taruna.
PT INCO menyediakan berbagai alat musik,
mendukung pelestarian musik tradisional, dan membiayai
sejumlah festival musik. Kami membantu kelompok-
kelompok yang ada dalam masyarakat dengan acara budaya-
budaya lokal seperti Macceratasi dan membiayai sejumlah
acara budaya setiap tahunnya di Sorowako.
Dukungan PT INCO untuk kejuaraan renang di air
terbuka danau Matano menegakkan komitmen PT INCO
terhadap pelaksanaan program olah raga maupun program
lingkungan melalui pelestarian dana Matano dan sumber
daya alam lainnya. Sejak tahun 2004 PT INCO telah
mendanai kampaye perdamaian yang berkelanjutan dan
program resolusi konflik yang bernama FKUB (Forum
Komunikasi Umat Beragama). Program ini melibatkan
sejumlah tokoh masyarakat dan kelompok karang taruna di
wilayah-wilayah layanan PT INCO terutama Malili, Nuha,
Wasuponda dan Towuti.
6) Bantuan Tanggap Darurat
Disamping program-program kemasyarakatan yang
rutin diadakan, PT INCO telah memberikan bantuan dan
tenaga tanggap darurat. PT INCO telah memberikan bantuan
437
dan tenaga tanggap darurat pada tahun 2007. Upaya-upaya
utama yang dilakukan antara lain bantuan kepada para
korban banjir di Wulu Timur dan korban longsor di Morowali
di Sulawesi Tengah.
PT INCO menyediakan tim paramedis, personil
pertolongan, alat-alat berat untuk membuat jalan akses,
pasokan dan obat-obat peralatan medis, makanan, buku-
buku pelajaran dan 2500 seragam sekolah, dan sebuah
helikopter (kerjasama dengan SAR Indonesia). Diantara
korban bencana alam ada yang dirawat di rumah sakit PT
INCO.
Selain program-program di atas, selama tahun 2007 PT
INCO telah mengembangkan kerja sama dengan UNICEF, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu Timur, dalam mendukung
program UNICEF yang bernama chiled-friendly schools and
creating lerning communites for children (CFS-CLCC). Tujuan
keseluruhan dari program ini adalah untuk menciptakan
lingkungan belajar mengajar yang aman, sehat dan kondusif
bagi seluruh anak sekolah.
Proyek ini khususnya bertujuan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan disekolah dasar. Menciptakan praktek
manajemen yang terbuka efisien dan efektif serta pemanfaatan
sumberdaya, melibatkan para orang tua dan anggota
masyarakat dalam mendukung peningkatan sekolah dan
438
termasuk pengelolaan sumber keuangan. Pembuatan kebijakan
sekolah dan membuat serta menyebarkan model-model yang
berhasil yang berkelanjutan bagi sistem pendidikan dasar di
Indonesia untuk replikasi oleh pemerintah dan sejumlah mitra
pengembangan lainnya. Dengan pendanaan untuk memberikan
pengaruh kepada kebijakan pendidikan nasional, PT INCO
memberikan sumbangan sebesar kurang lebih $260.000 untuk
program ini selama tiga tahun.
PT INCO bekerja sama dengan Canadian Internasional
Development Agency (CIDA) untuk mengembangkan usaha kecil
melalui suatu program yang disebut pusat pengembangan
usaha atau Business Development Center (BDC).
PT INCO melihat bahwa masyarakat merupakan bagian
yang tidak terpisah dari PT INCO sebagai suatu perusahaan.
Melalui kerjasama antara masyarakat dengan PT INCO melalui
CSR, mencerminkan sifat yang menyatu dan senantiasa akan
menjadikan PT INCO semakin kuat karena keberhasilan adalah
milik bersama.
c. PT. Newmont Nusa Tenggara
Corporate Social Responsibility (CSR) bukan sebatas
wacana belaka bagi perusahaan multinasional sekelas PT.
Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT). Setidaknya beragam
penghargaan baik dari pemerintah Indonesia, swasta maupun
dari luar negeri berhasil disandangnya karena keberhasilan
439
menjalankan program CSR di wilayah Tambang Batu Hijau
Sumbawa Barat.
Sudah ada beberapa dokumentasi dalam bentuk buku
yang diterbitkan oleh beberapa Instansi termasuk dari
Departemen Sosial yang menjadikan Project Batu Hijau sebagai
salah satu "Best Practise" penerapan CSR di Indonesia.
PT.NNT mengakui ada sedikit perbedaan antara satu jenis
industri dengan industri lainnya dalam menerapkan strategi CSR
nya, misalnya antara Unilever dengan PT.NNT. Diantara mereka
jelas menggunakan pendekatan berbeda karena jenis
industrinya juga berbeda. Untuk industri tambang sendiri
PT.NNT mengambarkan program yang dijalankan hampir mirip
antara satu sama lainya.
Dalam hal keberhasilan CSR yang telah dijalankan selama
ini oleh pihak PT.NNT mengakui perlu ada peningkatan baik dari
rencana program maupun dari kapasitas orang-orang yang ada
di dalamnya. Kami mengikuti acara konferensi ini bertujuan
untuk belajar tentang praktek-praktek CSR yang baik dari
perusahaan lain. Sehingga nantinya bisa diterapkan di PT.NNT
beserta seluruh stafnya.
Untuk program CSR yang telah dijalankan, ada tiga aspek
utama yang selama ini dijalankan oleh PT.NNT, yaitu :
Pertama, hubungan perusahaan dengan karyawannya
dalam hal ini termasuk perlakuan keselamatan kerja. Kedua,
440
pengelolaan lingkungan, dan ketiga, adalah hubungan dengan
masyarakat. Dalam hubungan dengan masyarakat PT.NNT
mencanangkan konsep bertetangga yang baik, sehingga
hubungan yang terjadi bukan saja sebatas hubungan formalitas
antara perusahaan dengan masyarakat, namun lebih mendalam
keberadaan karyawan diarahkan menjadi bagian dari
masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini perusahaan menganjurkan
agar karyawan berbaur dengan masyarakat setempat.
2. Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Swasta
Nasional
a. Perusahaan Bakrie & Brothers 800
“Setiap rupiah yang dihasilkan Bakrie harus dapat
bermanfaat untuk banyak orang ”.
Inilah seuntai kalimat filosofis Alm H.Achmad Bakrie
dan pendiri pertama perusahaan sejak 66 tahun yang silam.
Ungkapan ini pula yang mengilhami manajemen dan menjadi
landasan filosofis kepedulian sosial perusahaan yang saat ini
dikenal dengan program CSR.
Nilai-nilai perusahaan yang terpusat pada uang dan
materi diakui kerap menyebabkan ketidakseimbangan terhadap
lingkungan. Peran perusahaan kini mengalami pergeseran. Tidak
sekedar melakukan eksploitasi tanpa perawatan dengan hanya
mengutamakan kepentingan shareholder pemegang saham,
800 Annual Report 2007, PT Bakrie & Brothers Tbk
441
namun juga kepentingan stakeholder. Nilai-nilai perusahaan
yang sebelumnya terpusat pada perolehan keuntungan (profit),
kini beralih kepada kehidupan (planet and people) yang
bermakna luas.
Bagi Bakrie & Brothers, CSR bukan hanya merupakan
aksesoris, pelengkap atau sekedar kepatuhan, namun lebih jauh
dari itu harus menjadi komitmen dalam bisnis yang dijalankan.
Dengan kata lain, dalam Bakrie & Brothers CSR telah
dikaitkan dalam strategi bisnis perseroan. Sehingga setiap
rupiah yang timbul dalam pelaksanaan CSR bukan lagi dianggap
sebagai suatu external cost dari entitas operasi perseroan.
Tetapi telah menjadi komitmen usaha bagi perseroan dalam
tujuannya menciptakan suatu iklim usaha yang aman dan sehat,
serta saling menguntungkan antara pihak terkait di dalam
aktifitas pembangunan.
Menurut Bakrie & Brothers, ruang lingkup CSR dapat
dirangkum ke dalam empat katagori yaitu piramida CSR yang
meliputi: (1) tanggung jawab sebagai Warga Negara yang baik;
(2) tanggung jawab etis; (3) tanggung jawab dalam menjunjung
hukum dan ; (4) tanggung jawab terhadap nilai ekonomi.
Dalam pelaksanaan program CSR, prinsip yang
dipegang kukuh perusahaan adalah adanya keseimbangan
antara profit sebagai orientasi dunia usaha dengan
kesejahteraan manusia dan lingkungannya. Untuk itu prinsip the
442
Triple Bottom Line atau “tiga P” yaittu People, Planet, Profit
harus menjadi koridor dalam kegiatan usaha di perseroan.
Berikut ini adalah gambaran Implementasi CSR di
Bakrie & Brothers, yang disebut dengan jargon “Bakrie Untuk
Negeri.”
444
Sebagai bagian dari kelompok usaha yaitu Bakrie Group,
perseroan menyadari besarnya potensi pelaksanaan program
CSR. Dengan demikian, perseroan memandang perlu adanya
keterlibatan dan kerjasama dengan pihak terkait, antara lain
melalui forum CSR-Comdev Bakrie. Perseroan, melalui Yayasan
Bina Mitra Bakrie bertindak sebagai sekretariat dan fasilitator bagi
forum CSR Bakrie.
Forum ini merupakan wadah yang mengkoordinasi
pelaksanaan program CSR di Bakrie Group, sehingga dapat
diperoleh sinergi dan arah yang jelas atas program CSR
perseroan. Dalam forum CSR Bakrie ini, setiap unit usaha dapat
berbagai pengalaman dalam melakukan program CSR di unit
usaha masing-masing.
Pada tanggal 17 Agustus 2007 telah diresmikan “Bakrie
untuk Negeri” sebagai brand name untuk kegiatan sosial keluarga
besar Bakrie yang terdiri dari dua pilar, yaitu keluarga dan
perusahaan.
Sejak itu, perseroan telah menggunakan nama “Bakrie
untuk Negeri” dalam kegiatan CSR. Bakrie untuk Negeri sendiri
merupakan wadah untuk seluruh aktivitas sosial keluarga besar
Bakrie termasuk koperasi dalam kelompok usaha Bakrie.
445
Mengenai anggaran dan realisasi program CSR, pada tahun
2007 perseroan telah mengeluarkan dana untuk program CSR
lebih kurang sebesar Rp. 4,8 miliar dengan protofolio pada empat
bidang utama yaitu:
1) Ekonomi
2) Sosial (pendidikan, kesehatan dan sosial keagamaan)
3) Lingkungan
4) Keadaan darurat/bencana alam
Implementasi program CSR perseroan dilaksanakan
melalui pendekatan pengembangan berbasis masyarakat sekitar,
dengan menggunakan sumber daya setempat secara
berkelanjutan dan sejalan dengan program pembangunan
pemerintah setempat untuk mencapai hal ini, penyusunan
program dilaksanakan melalui tahapan identifikasi masalah,
analisa kebutuhan sosial, pemetaan sumber daya yang ada,
partisipasi masyarakat sekitar dan berkoordinasi dengan program
pembangunan daerah. Melalui pendekatan ini diharapkan potensi
sumber daya masyarakat dapat dimanfaatkan secara optimal dan
berdampak pada peningkatan kemandirian dan kepercayaan
masyarakat atas potensinya dalam mencapai kemajuan dan
kemakmuran bersama.
446
Adapun penjelasan masing-masing bidang sebagai
berikut:
1) Bidang Ekonomi
a) Pendampingan usaha kecil menengah
Komitmen perusahaan untuk berperan aktif didalam
membantu pengembangan usaha kecil dan menengah
(UKM) di Indonesia terus-menerus dilakukan oleh
perseroan. Melalui Yayasan Bina Mitra Bakrie (YBMB) yang
didirikan sejak 1996, setelah difasilitasi program kemitraan
antara unit usaha bakrie yang berada di perseroan dengan
mitra usahanya baik dari kelompok pemasok (barang dan
jasa plasma) kontraktor ataupun distributor.
Selain pembinaan terhadap UKM terkait dengan unit
usaha Bakrie, YBMB juga melakukan pembinaan pada
kelompok UKM lainnya. Dalam aktivitasnya YBMB
melaksanakan pendampingan UKM melalui pelatihan dan
konsultasi dengan bidang manajemen, teknologi,
pemasaran, dan informasi.
Suatu kegiatan rutin yang dilakukan YBMB terhadap
mitra binaannya adalah menyelenggarakan forum UKM
sebagai media komunikasi dan berbagai informasi antar
UKM. Kegiatan lainnya adalah usaha dalam memfasilitasi
447
kegiatan pemasaran UKM dengan melaksanakan bisnis
matching dengan menghadirkan investor dan atau pembeli
asing dan domestik. Kegiatan lain dalam bidang
pemasaran adalah mengikutsertakan mitra binaan ke
dalam kegiatan-kegiatan pameran inacrafet yang
diselenggarakan setiap tahun, pameran produk budaya
Indonesia, pecinta lingkungan Indonesia dan lain-lain.
b) Pendirian Induk Koperasi Bakrie dan Optimalisasi Koperasi
Karyawan Perseroan
Pada bulan Agustus 2007, melalui YBMB telah
berhasil mendirikan Induk Koperasi Bakrie (INKOPBA)
yang beranggotakan koperasi-koperasi karyawan di setiap
unit usaha yang tergabung dalam Bakrie Group. Tujuan
pendirian INKOPBA ini adalah untuk mengoptimalkan
peran KOPKAR dalam pengembangan keuangan mikro
termasuk menunjang pembangunan kegiatan ekonomi
masyarakat di sekitar perseroan.
c) Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar
Sejalan dengan filosofi dan sasaran jangka panjang
pelaksanaan program CSR yaitu tercapainya kemandirian
dan kesejahteraan masyarakat sekitar, maka program CSR
sudah mulai diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi
448
masyarakat sekitar. pengembangan ekonomi lokal ini
dimaksudkan untuk memperkuat struktur perekonomian
masyarakat di sekitar perseroan melalui pemberdayaan
unit-unit usaha di masyarakat. Prioritas program adalah
pengembangan unit usaha masyarakat yang dapat
disenergiskan dengan perseroan baik dalam bentuk
hubungan pemasokan/ vendor ataupun pengolahan limbah
untuk diolah masyarakat.
2) Bidang Sosial
a) Program pendidikan
Di luar ketahanan secara ekonomi, program di
bidang sosial, yang salah satunya pada sektor pendidikan,
memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas
hidup masyarakat sekitar. Berangkat dari pemahaman ini,
maka di beberapa anak perusahaan perkebunan perseroan
telah dibentuk yayasan pendidikan yang akan mengelola
pendidikan dan penyaluran beasiswa bagi anak yang
kurang mampu dan berprestasi. Saat ini yayasan
pendidikan tersebut selain telah memiliki sarana sekolah
dasar dan taman kanak-kanak, juga sudah mulai
menyelenggarakan pendidikan tingkat sekolah menengah
pertama (SMP) di beberapa lokasi. Selain itu perseroan
449
telah memberikan beasiswa kepada siswa tingkat SMU
sebagai perwakilan daerah di dekat perkebunan perseroan
melalui kerjasama dengan IPB.
b) Program Kesehatan Masyarakat.
Seperti halnya program pendidikan, maka program
kesehatan merupakan salah satu indikator dari kualitas
hidup masyarakat. Program ini dilaksanakan dengan
berbagai macam jenis kegiatan, terutama diarahkan pada
pembinaan kesehatan, peningkatan sanitasi lingkungan,
donor darah, pengobatan gratis dan pengembangan
fasilitas kesehatan.
Pada unit usaha perkebunan di kisaran, program ini
dipusatkan di rumah sakit milik perseroan dalam bentuk
penyuluhan kesehatan, subsidi biaya kesehatan, posyandu,
imunisasi, pemeriksaan ibu hamil dan pelaksanaan KB.
Perseroan juga secara proaktif memberikan bantuan dalam
peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pemberantasan
nyamuk demam berdarah. Sementara itu pada unit usaha
perseroan di Bekasi, program pembinaan kesehatan
masyarakat juga dilakukan melalui bantuan-bantuan
seperti penyediaan jet pump/penyediaan air bersih, tempat
450
pembuangan sampah sementara, penyuluhan pola hidup
sehat dan program peduli lingkungan hidup.
c) Program sosial kemasyarakatan
Program ini ditunjukkan untuk secara langsung
membina komunitas yang baik dengan masyarakat melalui
berbagai program. Secara proaktif perseroan telah
memfasilitasi program rehabilitasi fasilitas sosial ekonomi
dan keagamaan, seperti bantuan pembangunan pasar,
masjid dan mushola. Selain itu perseroan juga secara
proaktif mendukung kegiatan keagamaan seperti
peringatan hari-hari besar keagamaan, program buka
puasa bersama, pembagian zakat dan pembagian hewan
kurban pada hari raya Idul Adha.
d) Bantuan sarana olahraga dan kesenian
Dalam rangka pembangunan kesehatan jasmani
karyawan dan masyarakat sekitar, perseroan membantu
penyediaan sarana olahraga, diantaranya adalah lapangan
sepak bola, lapangan tenis, serta pembinaan kegiatan,
seperti pertandingan persahabatan (sepak bola, tenis
lapangan) dengan masyarakat sekitar dan pemberian
sponsor untuk berbagai kegiatan seni dan olah raga.
451
3) Bidang Lingkungan
Perseroan memahami bahwa pembangunan yang
berkelanjutan merupakan suatu keniscayaan dalam menjamin
kehidupan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Dengan
landasan pemikiran ini, pembangunan yang berwawasan
lingkungan senantiasa menjadi perhatian untuk setiap unit
usaha dalam perseroan. Salah satu bentuk perhatian
perseroan adalah dengan menerapkan sertifikasi ISO 14000.
Unit usaha di perkebunan selain telah mendapatkan peringkat
proper biru di tingkat propinsi juga aktif dalam meng-
embangkan hutan konservasi divisi 03 Estate Air Balam, yang
diberi nama hutan konversi H Achmad Bakrie seluas 15,4 Ha.
Pembangunan lingkungan juga dikaitkan dengan
pembangunan infrastruktur di daerah sekitar perseroan yang
meliputi peningkatan sarana jalan yang merupakan kebutuhan
penting dan mampu memberikan manfaat ganda, baik secara
ekonomi maupun secara sosial. Secara ekonomi akses jalan
merupakan sarana bagi kemudahan pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Dalam hal ini unit usaha perseroan yang berada
di wilayah Bekasi berperan aktif sebagai koordinator program
perbaikan jalan dan perbaikan jembatan yang dibiayai oleh
kontribusi bersama degan perusahaan zona industri di Bekasi.
452
4) Bentuk Darurat Untuk Korban Bencana Alam
Kepedulian dan komitmen kemitraan perseroan juga
ditunjukkan dalam bentuk partisipasi aktif penanganan korban
bencana alam, khususnya bencana banjir dan tanah longsor,
yang dilaksanakan bersama dengan perusahaan kelompok
usaha Bakrie lainnya melalui program Bakrie untuk negeri dan
ANTV peduli.
Selama tahun 2007 perseroan telah membantu
program banjir di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain
itu bantuan insidentil tetap dilakukan seperti pembagian
sembako, obat-obatan, tenda penampungan, dan tenaga
sukarela dari karyawan perseroan yang langsung terjun ke
tempat lokasi bencana.
5) Aliansi Strategis
Sejalan dengan visinya, salah satu kegiatan CSR
perseroan adalah berpartisipasi aktif dalam gerakan CSR
nasional. Melalui Yayasan Bina Mitra Bakrie (YBMB) perseroan
terlibat aktif dalam upaya memajukan gerakan CSR nasional.
YBMB secara aktif membina kerja sama sinergis
dengan berbagai pihak yang terkait dengan implementasi CSR,
seperti CFDC. Departemen Sosial, Departemen Kehutanan,
453
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Pemda DKI
dan Indonesia Business Links (IBL).
Selain ini kerjasama sinergi juga dilakukan dengan
institusi perguruan tinggi seperti Universitas Djuanda (UNIDA)
Bogor untuk pelaksanaan dalam hal pembinaan UKM dalam hal
kemitraan usaha, penelitian dan pengembangan PTEK untuk
UKM, Bakrie School of Manajemen (BSM), IPB, UIN,
Universitas Trisakti, Universitas Pancasila dan lain-lain.
6) Media Mitra Bakrie
Implementasi CSR tidak dapat dipisahkan dengan
kegiatan komunikasi, khususnya dengan masyarakat sekitar.
Untuk itu YBMB telah menerbitkan Media Mitra Bakrie (MMB)
yang terbit setiap dua bulan sekali. MMB ini memuat informasi
kegiatan CSR perseroan dan telah didistribusikan ke seluruh
kelompok usaha Bakrie.
Selain itu Media Mitra Bakrie juga didistribusikan
kepada masyarakat dan instansi atau lembaga terkait, seperti
lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, perbankan,
KADIN, HIPPI, PNM, BEI, YDBA-Astra, PKPI, Pemda dan lain-
lain.
454
b. Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT Medco
Energi International Tbk. 112
PT Medco Energy International Tbk (Selanjutnya ditulis
Medco) , yang didirikan pada tahun 1980, telah menegaskan visi
dan misinya dalam paradigma keberlanjutan.
Untuk itu Medco menetapkan empat tujuan utama
perusahaan yaitu: (1) Tanggung jawab ekonomi, adalah tanggung
jawab sebagai perusahaan untuk menciptakan nilai bagi pemegang
sahamnya,meningkatkan kesejahteraan karyawan dan memberi
kontribusi pada komunitas sekitarnya; (2) Tanggung jawab hukum
yang berupa kepatuhan terhadap semua peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan aktivitasnya; (3) Tanggung jawab
etika yaitu menjaga interaksi baik dalam lingkup internal maupun
eksternal berdasarkan perilaku yang baik berdasarkan corporate
governance; dan (4) Tanggung jawab sosial, yaitu bisnis tidak
semata mencari keuntungan tetapi juga memberi nilai tambah
bagi masyarakat dan lingkungan. Perusahaan harus secara
sukarela memberikan sumbangsih terhadap kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat.
112 Medco Energi CSR Profile, 2007
455
Medco mempunyai Program CSR yang bertujuan untuk:
1. Mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran dengan
memberdayakan usaha kecil;
2. Menyediakan akses untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dan kehidupan spiritual; dan
3. Membantu perbaikan infrastruktur yang menunjang
peningkatan kualitas pendidikan dan kehidupan spiritual.
Adapun program CSR tersebut dilaksanakan dalam
bidang–bidang:
1. Program-program bantuan pendidikan dalam bentuk
pemberian beasiswa bagi siswa pendidikan dasar dan
menengah;
2. Pemberdayaan masyarakat yang meliput pemberian
pendanaan untuk membantu usaha masyarakat dan UKM
yang disebut program Micro Financing Services (MFS). MFS
adalah bentuk dana bergulir bagi usaha usaha berskala mikro.
Program ini di ilhami oleh Grameen Bank di Bangladesh. Pola
operasionalnya dengan cara bagi hasil;
3. Kehidupan Spiritual: Menanamkan nilai-nilai kebajikan
universal.
456
MedcoEnergi meyakini bahwa dengan menjalani kehidupan
spiritual secara baik akan berdampak pada pembentukan
kualitas karakter manusia yang positif, yang pada gilirannya
akan dapat berperan pada perkembangan kehidupan sosial
masyarakat yang lebih baik. Dukungan MedcoEnergi bagi
pengembangan kehidupan spiritual terutama diwujudkan
melalui donasi bagi pembangunan atau renovasi sarana
beribadah bagi masyarakat di lokasi operasional Perseroan
serta kegiatan sponsor dalam berbagai acara atau perayaan
hari besar keagamaan.
4. Bantuan Kemanusiaan merupakan salah satu fokus perhatian
Perseroan dalam mewujudkan aspek tanggung jawab sosial
perusahaan, melalui uluran tangan untuk membantu
meringankan penderitaan sesama yang sedang dilanda
musibah atau kesulitan. Khususnya setelah dalam beberapa
tahun terakhir ini dimana Indonesia mengalami serangkaian
bencana alam dengan skala besar seperti tsunami di Aceh,
gempa bumi di Yogyakarta, tsunami di Pangandaran, dan
bencana banjir yang melanda di banyak bagian Indonesia.
Program ini bertujuan untuk memberikan bantuan bagi
korban dalam waktu singkat.
457
5. Budaya dan Seni, yaitu MedcoEnergi aktif memberikan
dukungan kepada berbagai aktivitas kebudayaan dan seni
sebagai salah satu cara untuk membangkitkan minat dan
apresiasi masyarakat terhadap kehidupan. Perseroan percaya
bahwa aktivitas kesenian dapat memperkaya batiniah
manusia. Dukungan Perseroan di bidang kesenian umumnya
dilakukan dengan menyediakan dukungan pendanaan bagi
penyelenggaraan acara-acara seni tradisional dan modern
baik yang bersifat kompetisi maupun pertunjukan. Beberapa
acara yang dibantu MedcoEnergi antara lain Pentas Seni
Kemerdekan RI ke-60 pada tahun 2005. MedcoEnergi
merupakan salah satu sponsor dalam pergelaran musik
tahunan Java Jazz pada tahun 2006 dan 2007.
6. Keseimbangan raga dan jiwa melalui olah raga. Medco pada
tahun 2005, Perseroan membantu Persatuan Bulutangkis
Indonesia (PBSI) dengan memberikan dana sebesar Rp 1
miliar untuk Program Indonesia Bangkit. Perseroan bekerja
sama dengan BPMigas turut bagian dalam pembangunan
stadion Palembang, Sumatera Selatan, senilai Rp 9,5 miliar
untuk digunakan pada Pekan Olahraga (PON) in 2004.
Nasional (PON) ke-6 pada tahun 2004.
458
Pada tahun 2006 MedcoEnergi telah mengeluakan dana untuk
CSR sebesar Rp. 11 milyar dan tahun 2007 sebesar Rp. 14, 6
milyar.113
Bagan : 8
3. Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan oleh Badan
Usaha Milik Negara
a. PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) Tbk114
Sebagai perusahaan tambang yang keberadaannya menjadi
tumpuan penggerak ekonomi di daerah, perseroan selalu menjaga
sikap sebagai warga komunitas yang baik (Good Corporate Citizen).
Dengan pemahaman ini, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam
(Persero) Tbk. (PT. Bukit Asam) berperan aktif dalam upaya
113 Annual Report 2007, PT Medco Energi International Tbk 114 Annual Report 2007, PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (Persero) Tbk
459
memberdayakan ekonomi, sosial dan lingkungan, terutama
diwilayah sekitar operasi PT. Bukit Asam. Oleh karena itu, PT. Bukit
Asam menempatkan tanggung jawab sosial (CSR) sebagai sistem
yang inheren dalam operasi PT. Bukit Asam.
Pada saat yang sama pemerintah juga menegaskan
pentingnya komitmen perusahaan dalam mewujudkan tanggung
jawab sosial dengan mencantumkan kewajiban bagi perusahaan
yang melaksanakan kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan
dengan sumber daya alam dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Terbitnya peraturan tersebut
semakin menguatkan komitmen PT. Bukit Asam untuk
melaksanakan CSR dengan lebih baik lagi.
Dengan menerapkan program CSR, PT. Bukit Asam tidak
hanya mengejar keuntungan tetapi juga berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Program-program CSR yang dikembangkan perseroan juga
telah terbukti maupun mencegah timbulnya ketegangan atau
konflik dengan komunitas dan masyarakat luas yang
mempengaruhi operasi PT. Bukit Asam.
460
Program CSR oleh PT Bukit Asam dilaksanakan secara
sistematis dan terencana dengan baik. Untuk itu PT. Bukit Asam
telah menyusun “Pedoman CSR PT Bukit Asam” yang mencakup
enam kriteria keberhasilan implementasi CSR yaitu:
1) Ekonomi;
2) Lingkungan;
3) Hak Asasi Manusia;
4) Praktek-praktek ketenagakerjaan;
5) Tanggung jawab produksi; dan
6) Kemasyarakatan.
Keenam kriteria tersebut sesuai dengan standar
internasional Global Reporting Initiative” (GRI).
Sepanjang tahun 2007 program CSR PT Bukit Asam
dilaksanakan melalui program kemitraan dan Bina Lingkungan,
Bina Wilayah, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, serta
program-program yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak
pegawai. Uraian masing-masing program tersebut adalah:
1) Program Kemitraan Dan Bina Lingkungan (PKBL)
Perseroan menjalankan PKBL program kemitraan dan
berpedoman kepada peraturan Menteri Negara BUMN RI No.
PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007. PT Bukit Asam
461
mengintegrasikan PKBL ini dalam program CSR yang
dilaksanakan sepanjang tahun 2007.
Secara umum pelaksanaan PKBL pada tahun 2007 telah
berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang
digariskan pemerintah. Pada tahun 2007 PT. Bukit Asam
menyalurkan dana sebasar Rp. 16,7 miliyar, turun 4% dari
realisasi tahun 2006. Dana tersebut disalurkan sebesar Rp.13,3
milyar untuk Program Kemitraan dan Rp. 3,4 milyar untuk
Program Bina Lingkungan.
a) Program Kemitraan
Pada tahun 2007, PT. Bukit Asam berhasil
merealisasikan penyaluran dana Kemitraan sebesar Rp.
13,3 milyar atau naik 5% dibandingkan tahun 2006 maupun
dari target yang direncanakan pada awal tahun. Dana
tersebut disalurkan kepada 607 unit usaha kecil dan
koperasi yang tersebar di delapan propinsi dalam bentuk
pinjaman lunak dan dana pembinaan.
Sumber dana Program Kemitraan berasal dari sisa dana
tahun lalu sebesar Rp.850 juta, alokasi dari laba PT. Bukit
Asam sebesar Rp. 4,9 milyar, penerimaan angsuran pokok
pinjaman dan jasa administrasi sebesar Rp. 8,8 milyar serta
462
penerimaan jasa giro dan bunga deposito sebesar Rp. 100
juta.
b) Program Bina Lingkungan
Hingga Desember 2007, PT. Bukit Asam telah
menyalurkan dana untuk berbagai Program Bina Lingkungan
sebesar Rp. 3,4 milyar atau 70 persen dari pembagian jasa
PT. Bukit Asam tahun 2006 yang mencapai Rp. 4,9 milyar.
Sisanya sebesar 30 % dicadangkan untuk Program Bina
Lingkungan “BUMN Peduli” yang diatur dalam Peraturan
Menteri Negara BUMN RI tersebut di atas. Selama tahun
2007 Program Bina Lingkungan “BUMN Peduli” tidak
terealisasi.
Dalam menyusun program CSR PT. Bukit Asam
mengacu kepada peraturan pemerintah yang difokuskan
pada bantuan kepada korban bencana alam, pendidikan dan
pelatihan masyarakat, peningkatan kesehatan masyarakat,
pengembangan dan peningkatan sarana publik, termasuk
tempat ibadah, serta pelestarian alam.
Selain mengacu kepada peraturan, perseroan aktif
melakukan komunikasi dengan tokoh masyarakat dan
aparat pemerintah di sekitar wilayah operasi PT. Bukit Asam
untuk mengembangkan program-program tersebut.
463
c) Program Bina Wilayah
Selain sejumlah program dalam PKBL, PT Bukit Asam
juga menjalankan Program Bina Wilayah yang merupakan
inisiatif PT. Bukit Asam dalam rangka menguatkan interaksi
dengan pemangku kepentingan di sekitar wilayah operasi
PT. Bukit Asam.
Program ini telah menyalurkan dana sebesar Rp. 9,4
milyar yang berasal dari biaya yang telah dianggarkan PT.
Bukit Asam pada tahun berjalan.
Adapun yang tercakup dalam program ini antara lain
adalah pembangunan fasilitas umum dan prasarana umum
lainnya seperti jalan, jembatan dan rehabilitasi sungai.
Secara khusus pada tahun 2007, PT. Bukit Asam
mengalokasikan dana untuk penyelesaian lapangan sepak
bola di Tanjung Enim, bantuan pembangunan gelanggang
olah raga dan taman di Muara Enim serta pembangunan
pasar di Tanjung Enim. Dalam melaksanakan program ini
Perseroan berkoordinasi dengan Pemda dimana operasi
perusahaan berada.
d) Tanggung Jawab terhadap Lingkungan
Isu yang berkembang terhadap industri tambang batu
bara adalah isu tambang ramah lingkungan (green
464
mining). Saat ini isu sudah menjadi wacana global
mengingat kesadaran akan perubahan iklim semakin
menguat di Indonesia, semenjak selesainya Konvensi PBB
tentang perubahan iklim (UNFCCC) yang diadakan di Bali
akhir tahun 2007 lalu. Diharapkan dengan penerapan
tambang ramah lingkungan, keberadaan dan perubahan
sektor tambang batu bara di dalam negeri akan terus
berlanjut.
Komitmen dan tanggung jawab untuk menjadi Good
Corporate Citizen diwujudkan dengan menerapkan ISO
14001;2004 tentang Pengelolaan Lingkungan.
Penerapan standar ini bertujuan meningkatkan
efektivitas kegiatan pengelolaan lingkungan, yang
mencakup sistem manajemen lingkungan, audit
lingkungan, evaluasi kinerja lingkungan dan kajian daur
hidup produk.
Pengelolaan lingkungan yang dilakukan mencakup
pemantauan air limbah, pengendalian air asam tambang,
penanganan dan pemantauan serta keanekaragaman
hayati. Dalam menjaga keanekaragaman hayati, perseroan
telah mengintegrasikan berbagai aktivitas ke dalam operasi
pertambangan, yang meliputi penanganan tanah puncak,
465
penanganan erosi dan revegetasi, pemantauan tanaman,
pemantauan kualitas biota aquatic, dan pemantauan satwa
liar.
2) Pemenuhan Hak-hak Pegawai
a) Kesejahteraan
PT. Bukit Asam mengembangkan sistem remunerasi
pegawai yang layak dan kompetitif. Secara berkala dan
berkelanjutan dilakukan pengkajian terhadap standar gaji
dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan
industri batu bara nasional yang menjadi salah satu dasar
perimbangan penetapan gaji pegawai.
b) Dana Pensiun dan Jaminan Hari Tua
PT. Bukit Asam mengapresiasi dedikasi para
pegawainya yang turut berperan dalam memajukan
perusahaan. Bentuk apresiasi tersebut adalah dengan
diperhatikannya jaminan hari tua bagi para pegawainya
yang sudah purna tugas. Oleh karena itu sejak tahun 1993,
perseroan telah membentuk “Jaminan Hari Tua” (JHT).
Pengelolaan program ini adalah PT. Asuransi Jiwasraya
(Persero). Saat ini perusahaan sedang memperoleh
peningkatan jumlah akhir yang diterima pegawai pada saat
pensiun sehingga jumlah tersebut tidak berselisih terlalu
466
banyak dengan jumlah gaji (take home pay) yang diterima
pegawai pada saat masih bekerja.
Sejak tahun 2002 PT. Bukit Asam membentuk dana
pensiun PT. Bukit Asam dengan persetujuan Menteri
Keuangan RI. Program dana pensiun ini berupa program
pensiun manfaat pasti. Aktiva dana pensiun PT. Bukit Asam
terdiri dari deposito berjangka, surat berharga dan
investasi jangka panjang lainnya seperti ruang sewa dan
pompa bersih.
Pada tahun 2003 PT. Bukit Asam dan anak
perusahaan memulai program pensiun “Tabungan Hari
Tua” bekerja sama dengan Asuransi Jiwa Bersama
Bumiputera 1912. Program ini meliputi seluruh karyawan
PT. Bukit Asam dan anak perusahaan berdasarkan masa
kerja dan tingkat pendapatan.
c) Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Komitmen terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
semakin dilakukan dengan dirumuskannya visi bagaimana
menjadi penambang profesional dengan melakukan
kegiatan operasi penambangan sesuai dengan praktek
penambangan yang baik (good mining practice) menuju
467
proses yang bebas kecelakaan, bebas pengaduan
(complain) dan efisien pada tahun 2007.
Visi tersebut diterjemahkan ke dalam misi yaitu
mengutamakan keselamatan kerja, orientasi pada
produktivitas, menambang secara efektif dan efisien serta
mengedepankan aspek lingkungan. Satuan kerja
operasional pertambangan mempunyai tugas utama untuk
mengorganisasikan dan mengendalikan kegiatan
penambangan meliputi operasional, pengelolaan,
pengawasan kontraktor dan administrasi.
Sebagai tindak lanjut dari visi tersebut PT. Bukit Asam
telah melakukan sertifikasi tenaga kerja khusus tambang
dan peningkatan implementasi keamanan dan keselamatan
kerja (K3) secara perorangan untuk 370 orang.
PT. Bukit Asam juga meningkatkan implementasinya
penuh sistem manajemen K3 (SMK3) dan inspeksi K3 di 22
lokasi kerja dengan 254 temuan dan 389 pelanggaran.
Implementasi serta pengawasan syarat kerja dan kondisi
lingkungan kerja diperlukan untuk mempertahankan
sertifikasi SMK3. PT. Bukit Asam memperoleh serifikasi
SMK3 dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
pada tanggal 30 November 2007.
468
Salah satu pengakuan atas komitmen PT. Bukit Asam
dalam keselamatan dan kesehatan kerja adalah Anugerah
Business Review 2007 untuk katagori Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, mutu dan lingkungan,
serta Program Kepedulian Sosial dari Majalah Business
Review.
d) Rumah sakit
Rumah sakit PTBA didirikan dengan visi untuk
melayani karyawan dan keluarganya dan keluarganya
dalam bidang kesehatan. Dalam perjalanannya, RS PTBA
juga menjadi pilihan masyarakat sekitar untuk mendapat
pelayanan kesehatan. Kondisi ini dapat dilihat dari data
tahun 2007 dimana sekitar 80 persen pasien rawat inap
berasal dari masyarakat sekitar.
Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan tersebut,
perseroan juga mendedikasikan dana setiap tahun. Secara
umum, karyawan dan keluarganya dibebaskan dari biaya
perawatan, sementara untuk masyarakat, persero
mensubsidi sekitar 40 % dari biaya pelayanan kesehatan
yang dinikmati masyarakat.
RS PTBA telah dilengkapi dengan spesialisasi di bidang
penyakit dalam, bedah, anak dan mata. Dokter umum
469
yang melayani rumah sakit ini berjumlah 8 orang dokter
purnawaktu serta tersedia poliklinik gigi dengan dua orang
dokter gigi purnawaktu.
Pada tahun 2007 RS PTBA telah memenuhi akreditasi
untuk bidang-bidang pelayanan dasar yang meliputi UGD,
pelayanan medis, keperawatan, administrasi dan
manajemen serta rekam medis. Akreditasi dilakukan oleh
Komite Akreditasi Rumah Sakit Pusat. Pada tahun 2008 RS
PTBA menyiapkan diri untuk memenuhi akreditasi dalam 12
layanan dasar.
Selain itu, bersama dengan satuan kerja PKBL
melakukan pengobatan gratis untuk masyarakat di Ring I
dan Ring II sekitar wilayah operasi PT. Bukit Asam.
RS PTBA juga mendukung kegiatan-kegiatan sosial
perseroan yang berhubungan dengan kesehatan seperti
khitanan massal atau pengobatan gratis dalam rangka
ulang tahun PT. Bukit Asam dan perayaan hari besar
keagamaan.
e) Serikat pekerja
Pegawai PT. Bukit Asam telah membentuk Serikat Pekerja
(SP) di lingkungan perusahaan yang keberadaannya
dijamin Undang-Undang. PT. Bukit Asam sangat
470
menghormati hak pegawai dengan menghormat
keberadaan SP sebagai mitra kerja. Sehingga PT. Bukit
Asam terus menjalin komunikasi yang baik dengan SP.
f) Laporan Keberlanjutan
Dalam mewujudkan CSR PT. Bukit Asam menerbitkan
Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari Annual Report PT.
Bukit Asam. Maksud dari Sustainability Report tersebut
adalah untuk membangun komitmen dengan para
stakeholder.
b. PT.TELKOM (Persero) Tbk
Sebagai bagian dari masyarakat, PT. TELKOM (Persero) Tbk
(PT.TELKOM) memiliki komitmen untuk mendukung pengembangan
kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan sebagai bagian
dari strategi bisnis PT. TELKOM.
Kebijakan CSR PT.TELKOM diintegrasikan dalam suatu
keputusan direksi yang menjadi dasar bagi pengelolaan CSR PT.
TELKOM sehingga pelaksanaannya sejalan dengan visi dan misi
perusahaan, serta sesuai dengan ketentuan perundangan dan
norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Strategi dan kebijakan pengelolaan CSR PT.TELKOM jangka
panjang ditetapkan dalam Corporate Strategic Scenario (CSS) yang
471
selanjutnya dituangkan menjadi rencana tahunan dalam Rencana
Kerja dan Anggaran (RKA) serta ditetapkan kontrak manajemen
pada tingkat kantor perusahaan, unit bisnis, anak perusahaan dan
afiliasi.
Dalam pelaksanaannya CSR PT.TELKOM ditopang dengan
tujuan pilar kegiatan. Selain dilakukan secara mandiri, PT.TELKOM
juga melakukan sinergi melalui PT.TELKOM group, lembaga atau
perusahaan lainnya. Mengikutsertakan partisipasi seluruh karyawan
dan keluarganya, membentuk satuan tugas serta melibatkan peran
dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk lembaga swadaya
masyarakat (LSM).
Acuan PT.TELKOM mengadopsi Sustainability Reporting
Guidelines Generasi Ketiga (G3) yang dikeluarkan oleh Global
Reporting Initatives (GRI) sebagai acuan kebijakan dan
pelaksanaan kegiatan CSR PT.TELKOM. Pada bulan oktober 2007,
bertempat di Amsterdam Belanda, GRI meluncurkan G3 sebagai
acuan penyusunan laporan keberlanjutan generasi ketiga. Pedoman
GRI ini juga telah diadopsi oleh perusahaan-perusahaan lain di
dunia.
Selain itu, pelaksanaan kewajiban CSR PT. TELKOM
mengacu pada Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan dan Bina
472
Lingkungan (PKBL) Program Kemitraan dan Program Bina
Lingkungan. Penyelenggaraan Program Kemitraan dengan usaha
kecil dan Program Bina Lingkungan dengan pemberdayaan kondisi
sosial masyarakat. Program Kemitraan dengan usaha kecil
bertujuan untuk mendorong kegiatan dan pertumbuhan ekonomi,
terciptanya lapangan kerja serta kesempatan berusaha untuk
masyarakat. Sedangkan Program Bina Lingkungan mempunyai
tujuan untuk memberdayakan dan mengembangkan kondisi sosial
masyarakat dan lingkungan di sekitar wilayah usaha perusahaan.
Pelaksanaan kewajiban CSR yang dilaksanakan oleh PT.
TELKOM yaitu dalam program:
1) Program Kemitraan (PK)
Dalam Program Kemitraan PT.TELKOM menerapkan jenis
programnya yaitu: sektor industri, sektor perkebunan, sektor
peternakan, sektor perdagangan, sektor jasa, sektor perikanan
dan sektor pertanian.
a. Program Bina Lingkungan
Adapun Program Bina Lingkungan yang dilakukan oleh
PT.TELKOM melalui program yaitu: korban bencana alam,
pendidikan dan atau pelatihan, peningkatan kesehatan
masyarakat, pengembangan sarana dan prasarana umum,
dan bantuan sarana ibadah.
473
Motivasi PT. Telkom terhadap penerapan CSR yaitu
tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan
sekitar. Penerapan CSR juga merupakan bentuk investasi
bagi masa depan perusahaan. Dimana diharapkan
masyarakat sekitar yang menerima bantuan baik dalam
program kemitraan dan program bina lingkungan akan
merasa ikut memiliki dan melindungi perusahaan yang
melaksanakan CSR, hal ini merupakan suatu bentuk modal
bagi perusahaan juga.
Bagan : 9
Cara pelaksanaan kewajiban yang dikeluarkan oleh
PT.TELKOM adalah sesuai dengan teknologi yang ada di Telkom,
dengan sasaran aktif meningkatkan kualitas hidup masyarakat
dan menjaga keseimbangan lingkungan yaitu dengan
474
menggunakan tiga dasar pembangunan yang berkelanjutan
yaitu:
1). Pembangunan di bidang sosial
Untuk aspek sosial PT.TELKOM memberikan
dukungan pada peningkatan kualitas pendidkan masyarakat
melalui bantuan fasilitas dan pengetahuan, khusus
pendidikan yang berkaitan dengan teknologi infoComm:
mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat;
serta peduli pada pelestarian kebudayaan dan keadaban
nasional.
2). Pembangunan di bidang ekonomi
Untuk aspek ekonomi CSR PT.TELKOM berupaya
memberikan kontribusi bagi para pemangku kepentingan,
mulai dari peningkatan kesejahteraan hidup karyawan,
membangun loyalitas dan kepercayaan para pelanggan,
mitra usaha, dan investor, menjaga kepatuhan regulasi,
sampai dengan kontribusi pada pengembangan kegiatan
usaha kecil dan menengah. Selain itu juga membantu
penyebaran sarana dan sarana telekomunikasi umum yang
kemudian akses informasi bagi masyarakat sehingga dapat
memicu pertumbuhan ekonomi nasional.
3). Pembangunan di bidang lingkungan
475
Untuk aspek lingkungan, selain pelestarian
lingkungan CSR PT.TELKOM pun cepat tanggap dalam
memberikan bantuan kemanusiaan pada saat terjadi bencana
maupun pascabencana.
Penerapan model yang dilakukan PT.TELKOM yaitu
dengan menggunakan tujuh area CSR :
1). Bidang pendidikan (Education)
Perusahaan Telkom sebagai perusahaan milik bangsa
Indonesia sangat peduli dengan pendidikan generasi muda.
Kerjasama ini dilakukan dengan berbagai elemen
masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah
satu adalah kerjasama dengan koran harian Republika untuk
meningkatkan kepercayaan diri bagi guru-guru di Indonesia.
Keberadaan Telkom sebagai perusahaan BUMN milik bangsa
Indonesia harus dirasakan oleh masyarakat. Program value
Telkom dilaksanakan untuk sekolah dengan menggelar
banyak kerjasama dalam peningkatan kualitas guru, murid
serta sarana dan prasarana pendidikan. Telkom akan
memberikan lima keuntungan atau value dalam MOU Speedy
Schoolnet yaitu:
a) Pembuatan Web rehab gedung online untuk reporting
4000 sekolah yang mendapat bantuan Diknas;
476
b) Pemberian pilihan lima template Web sekolah;
c) Pelatihan internet;
d) Web desigen dan up load rehab gedung Diknas online;
e) Pemberian Web hostingnya serta pelatihan Quantum
Teaching dan Learning.
PT.TELKOM bekerjasama dengan Diknas melalui
dana ICT dan BOS akan membantu dan mensubsidi
sekolah-sekolah tersebut dalam berlangganan akses
speedy untuk internet. Pada saat yang sama
diselenggarakan pelatihan Quantum Teaching dan Learning,
serta internet (Web desigen, Up Load Web Rehab dan
Internet) untuk guru-guru sekolah yang mendapat bantuan
dari Diknas. Target 3000 sekolah dapat direalisasikan dan
ini merupakan suatu sinergis CSR dan bisnis yang
terimplementasikan dengan baik.
Dalam bidang pendidikan Telkom juga
melaksanakan Program Comperative Academic Education
(CO-OP) bagi perusahaan adalah merupakan salah satu
implementasi program CSR yang bertujuan:
a) Membantu dunia pendidikan di dalam negeri dengan
memberikan kesempatan melaksanakan praktek kerja
bagi mahasiswa dari lembaga pendidikan tinggi;
477
b) Menyesuaikan kurikulum di lembaga pendidikan tinggi
menjadi lebih relevan dengan kebutuhan dunia usaha
atau kerja.
2) Bidang Sosial
Telkom peduli melakukan donor darah di
Yogyakarta, hal ini terbukti saat dilaksanakan dengan
kegiatan utama donor darah. Pelaksanaan kegiatan donor
darah berlangsung selama dua hari kegiatan tersebut hasil
kerja sama CSR Telkom dengan SCTV dari 786 orang yang
mendaftar 660 orang yang diambil dalam pelaksanaan
donor darah tersebut. Selain itu kegiatan yang dilakukan
Telkom yaitu gerak jalan, warga Yogyakarta dan sekitarnya
begitu antusias mengikuti gerak jalan SCTV bersama flexi
dan dihadiri oleh 10.000 orang.
3) Bidang kebudayaan
Telkom melakukan pelestarian budaya tradisional di
berbagai pusat-pusat kebudayaan di Indonesia.
4) Bidang Peradaban Indonesia
Telkom memberikan bantuan fasilitas kemudahan
komunikasi terhadap tempat-tempat yang merupakan
peninggalan yang masih dilestarikan di Indonesia.
5) Bidang kemitraan
478
Dalam bidang kemitraan Telkom memberikan
pinjaman modal kepada petani salak di Yogyakarta dan
diberikan bantuan berupa penambahan modal untuk
mengembangkan usahanya. Selain itu untuk menyerap
tenaga kerja dan untuk memperbaiki perekonomian,
pemberian bantuan yang diberikan oleh Telkom sangat
membantu para petani salak. Selain itu Telkom
memberikan bantuan kepada BMT dengan tujuan agar bisa
dirasakan oleh masyarakat di sekelilingnya dan menjadikan
masyarakat kecil yang mempunyai kemampuan dan dapat
menggunakan fasilitas yang diberikan oleh BMT. Selain itu
Telkom juga memberi bantuan modal kepada pengrajin,
baik kerajinan tangan maupun miniatur.
6) Bidang layanan umum
Telkom memberikan bantuan kepada rumah singgah
bagi anak jalanan. Selain itu, anak jalanan juga diberi
fasilitas atau kegiatan berupa:
a) Pernikahan gratis;
b) Pendidikan bagi para anak jalanan;
c) Advokasi kesehatan;
d) Advokasi hukum, pendampingan terhadap anak jalanan
yang bermasalah.
479
7) Bidang Bencana Alam
Khusus bencana alam dilakukan di daerah tertentu
misalnya gempa bumi Yogyakarta, Telkom memberi bantuan
dengan memberikan sembako, obat-obatan dan lain-lain
terhadap masyarakat korban gempa.
Dari tujuh area program ini enam dilakukan di setiap lokasi
pelaksanaan CSR sebanyak 40 titik lokasi dan yang terakhir yaitu
bantuan bencana alam hanya dilakukan di daerah tertentu. Adapun
cara pengukuran keberhasilan terhadap pelaksanaan kewajiban
CSR di Telkom yaitu melakukan cara monitoring dan dipakai
ukuran-ukuran tertentu sebagai tolok ukur keberhasilan program
yang dilakukan. Cara pengukuran keberhasilan di bidang kemitraan
yaitu apabila mereka sudah mandiri, berkarya dan mendapatkan
hasilnya. Dengan kata lain apabila mereka sudah mempunyai
kemandirian dalam ruang lingkupnya maka program dikatakan
berhasil.
Proses pelaksanaan pada lingkungan korporasi inisiatif dan
pelaksanaan PT.TELKOM dikoordinasikan secara khusus oleh Head
of Corporate Communication (HCC). Fungsi CSR PT.TELKOM pada
tingkat divisi menjadi tanggung jawab Executive General Manager
(EGM), kepala unit bisnis lainnya. Sedangkan pada tingkat
Kandatel menjadi tanggung jawab GM Kandatel dan pada tingkat
480
anak perusahaan dan afiliasi menjadi tanggung jawab pimpinan
anak perusahaan atau afiliasi terkait.
Pengendalian dan pengawasan, pada setiap akhir tahun
penanggung jawab kegiatan CSR memberikan laporan kepada HCC
mengenai kegiatan yang telah dilakukan di lingkungan masing-
masing dan kepatuhannya pada CSS, rencana tahunan dalam RKA
serta kontrak manajemen (KM).
PT.TELKOM juga melakukan CSR bagi para pemangku
kepentingan seperti pemegang saham, karyawan, mitra kerja, dan
pelanggan (konsumen) sebagai berikut:
1). Pemegang Saham
PT.TELKOM berusaha memaksimalkan profit pemegang
saham dalam setiap kegiatan bisnis yang dilakukan. PT.TELKOM
selalu berusaha menjaga dan meningkatkan nilai usaha sesuai
dengan harapan pemegang saham. PT.TELKOM selalu berusaha
menghormati hak-hak pemegang saham sebagaimana diatur
dalam undang-undang, ketetapan pasar modal, serta
ketentuan-ketentuan lain yang berlaku.
2). Karyawan
PT.TELKOM membina hubungan dengan karyawan
dengan menjalankan prinsip kesetaraan dan menghindari
481
praktek diskriminasi dan bertekad untuk memelihara
keamanan dan keselamatan karyawan.
Menjalankan prinsip kesetaraan mengandung
pengertian bahwa PT.TELKOM menghormati hak dan kewajiban
karyawan berdasarkan peraturan perusahaan dan kesepakatan
dalam perjalanan kerja sama.
PT.TELKOM memberikan kesempatan yang sama tanpa
membedakan umur, suku, bangsa, agama, dan jender,
PT.TELKOM memperlakukan karyawan sebagai sumber daya
yang berharga, PT.TELKOM menghargai kebebasan beragama,
dan PT.TELKOM memberikan kesetaraan dan berkeadilan dalam
hal ketenagakerjaan menjalankan ketentuan dan pemberian
benefit dan kompensasi lainnya.
PT.TELKOM memiliki komitmen untuk menjaga
keamanan, kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja
dengan kebijakan memberikan jaminan perlindungan hukum
kepada pegawai dalam kaitannya dengan tugas-tugas di
TELKOM. Menyediakan lingkungan kerja yang nyaman dan
memberikan jaminan kesehatan bagi karyawan dan keluarga.
Memberikan imbal jasa yang layak dan jaminan pensiun sesuai
kemampuan PT.TELKOM. Memberikan jamainan bekerja
482
terutama bagi karyawan yang memberikan kontribusi baik dan
memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan PT.TELKOM.
3). Mitra Usaha
PT.TELKOM dalam menjalankan bisnisnya tidak akan
terlepas dan saling membutuhkan satu sama lain dengan mitra
kerja, meliputi; pemasok, vendor, agen, reseller (wartel, plasa
TELKOM), instalatur (PSB, IKR/G).
Untuk menjaga hubungan yang baik terhadap mitra
kerja maka PT.TELKOM dan karyawan diharapkan bertindak
sebagai berikut:
a). PT.TELKOM berkewajiban memberikan peningkatan
ketrampilan, kompetensi dan pelatihan tentang produk/jasa,
prosedur layanan dan etika pelayanan kepada agen, reseller
dalam rangka memberikan pengetahuan produk/layanan
(product knowledge) sehingga dapat mengurangi komplain
pelanggan dalam pengadaan barang dan jasa.
b). PT.TELKOM harus selalu melakukan cara yang fair,
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan
melibatkan calon pemasok/rekanan yang memiliki reputasi
yang baik yang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta prinsip-prinsip GCG dalam
melaksanakan pemeliharaan mitra usaha.
483
c). PT.TELKOM melakukan seleksi dan evaluasi secara obyektif
terhadap kualitas, kuantitas, biaya dan waktu penyerahan
memberikan manfaat kepada PT.TELKOM.
Secara kumulatif mulai tahun 2003 sampai dengan
tahun 2007, jumlah mitra binaan dan besarnya penyaluran dana
kemitraan per sektor adalah sebagai berikut:
Bagan : 10
Berikut adalah beberapa kegiatan pembinaan mitra
binaan yang diselenggarakan PT. TELKOM:
a). Penyaluran dan pembekalan program kemitraan pada tanggal
23 Maret 2007, di Banjarmasin dan diikuti oleh 77 mitra
binaan
b). Mitra binaan TELKOM mengikuti pameran yang dikemas
dengan tajuk “Pameran Sampan Ekspo 2007” di Tegal pada
tanggal 26 Juli 2007
484
c). Lokakarya dan seminar untuk Meningkatkan Daya Saing
dan Kemampuan Berwirausaha bagi para mitra binaan.
Pelatihan tersebut dilakukan secara bergiliran di kota-kota
Solo, Pekalongan, Purwokerto, dan Semarang yang dimulai
pada minggu kedua hingga minggu ke-empat di bulan
November 2007
d). Mitra binaan TELKOM turut berpartisipasi dalam
Pameran Texcraft 2007 di Jogja Expo Center Hall yang
berlangsung pada Juli 2007. Dalam kesempatan tersebut
10 mitra binaan TELKOM memamerkan karya dan
inovasi mereka antara lain piring bercorak batik, batik
sutra, jilbab lukis, batik kayu, dan keranjang kerang.
e). Mitra binaan TELKOM kembali berpartisipasi dalam
serangkaian pameran pada bulan September 2007:
Indonesia Textile & Apparel Fair 2007 (6-9 September),
Indocraft 2007 (12-16 September), dan Gelar Batik
Nusantara (19-23 September) yang seluruhnya
berlangsung di Jakarta Convention Center. Selain batik,
mitra binaan TELKOM juga memamerkan ukiran kayu
Jepara dan gerabah.
4). Pelanggan
485
PT.TELKOM memposisikan kepuasan pelanggan
sebagai komponen kunci sukses pelayanan. Kepuasan
pelanggan harus diutamakan melalui pelayanan dengan mutu
yang melebihi harapan pelanggan dan meningkatkan nilai bagi
pelanggan.
5). Masyarakat Umum
PT.TELKOM menempatkan program Good Corporate
Citizenship (GCC) sebagai salah satu dari program prioritas
TELKOM. Dalam mengembangkan tanggung jawab sosial dan
pengabdian kepada masyarakat PT.TELKOM. Dalam
mengembangkan tanggung jawab sosial dan pengabdian
kepada masyarakat PT.TELKOM membangun dan membina
hubungan yang serasi dan harmonis serta memberikan kepada
masyarakat sekitar tempat usaha PT.TELKOM.
PT.TELKOM berusaha mendorong hubungan perasaan
ikut memiliki bagi masyarakat di sekitar perusahaan dengan
tujuan agar masyarakat turut menjaga aset perusahaan. Dalam
kegiatan usahanya PT.TELKOM senantiasa berusaha mengurangi
seminimal mungkin dampak terhadap lingkungan hidup,
misalnya dalam hal penggalian jalur kabel dan penggunaan
frekuensi.
486
Dari seluruh uraian tersebut di atas, TELKOM pada Tahun
2007 telah menjalankan Program CSR di berbagai daerah sebagai
berikut:
Bagan : 11
Pada akhir pembahasan bab ini, dapat dilihat bahwa banyak
korporasi yang secara sadar telah melaksanakan CSR sebagai sebuah
komitmen bisnis, bahkan sebelum diwajibkan oleh Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. CSR pada
saat itu diberi istilah yang beragam seperti community development,
487
community empowerment, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan,
sustinability development dan sebagainya.
Begitu pula dalam bentuk pelaksanaannya juga sangat
beraneka macam. Berawal dari memberikan sumbangan bencana
alam atau masyarakat miskin, membuat program pemberdayaan
masyarakat, memberi pelatihan atau memberi sponsor bagi kegiatan
olah raga, keagamaan dan kebudayaan. Ini semua didesain sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi korporasi dan kebutuhan
masyarakat.
Karena sangat beragamnya bentuk pelaksanaan CSR tersebut
maka tidak mudah untuk diatur dalam hukum. Menurut reflexive law
theory ada keterbatasan hukum untuk mengatur aktivitas masyarakat
(termasuk korporasi) yang kompleks. Kesulitan ini jelas mengenai
keterbatasan teks untuk dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan yang dapat meng-cover semua kegiatan tersebut, yang
setiap saat akan selalu berubah mengikuti situasi dan kondisi yang
dinamis. Namun pelaporan CSR pada masyarakat secara berkala
dalam laporan tahunan perusahaan sudah merupakan bentuk social
reporting seperti yang dikehendaki dalam reflexive law theory.
488
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas melahirkan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
Pertama, bahwa kejelasan definisi dalam pengaturan sangat
diperlukan, agar tidak menjadi hambatan bagi pelaksanaan CSR . Oleh
karena itu Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
dan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
perlu direvisi dengan menggunakan definisi CSR yang sama. Definisi CSR
tersebut harus mengandung makna adanya perilaku korporasi untk ikut
menngkatkan kualitas hidup masyarakat. Sesuai dengan reflexive law
theory, definisi tersebut diarahkan pada kewajiban korporasi untuk
merespon kondisi sosial sebagai tanggung jawab etis, legal dan ekonomis
kepada masyarakat luas. Selain itu pengaturan tersebut diarahkan pada
prosedur dan mekanisme sebagai proses reflektif bagi korporasi dalam
berinterkasi dengan masyarakat dan bukannya pada hasil yang
ditentukan. Hal ini menurut reflexive law theory sebagai upaya untuk
mengatasai berbagai bentuk hubungan masyarakat yang semakin
komplek.
Kedua. Menginggat CSR dalam arti luas tidak selalu dengan
memberikan sumbangan atau menyalurkan sebagian kekayaan korporasi
kepada masyarakat, maka persoalan sumber pembiayaan tidak perlu
diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Sebab akan menjadi
489
hambatan bagi korporasi yang kecil maupun yang belum mendapatkan
keuntungan untuk melaksanakan CSR.
Ketiga, pemberian insentif pajak dalam bentuk pengurangan
pajak (tax deductive) sangat diperlukan bagi korporasi yang benar benar
menyalurkan sebagian kekayaannya kepada masyarakat. Hal ini sebagai
upaya pemerintah untuk mendorong korporasi dalam melaksanakan CSR
dan menjaga iklim usaha yang kondusif. Pengurangan pajak adalah
mekanisme untuk tidak memberi tambahan beban bagi korporasi
Keempat, berbagai bentuk pelaksanaan CSR yang sudah
dilaksanakan oleh Perusahaan Multi Nasional, Perusahaan Swasta
Nasional maupun Badan Usaha Milik Negara, baik dengan nama
community development, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan atau
dengan nama-nama yang lain, tetap harus didukung dan diakui sebagai
pelaksanaan CSR. Sebab aktifitas tersebut secara esensial adalah bentuk
kepedulian korporasi untuk mengatasi persoalan sosial dan meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat.