bab iv pertimbangan efek jera dalam perppu no. 1...
TRANSCRIPT
82
BAB IV
PERTIMBANGAN EFEK JERA DALAM PERPPU
NO. 1 TAHUN 2016 BERTENTANGAN DENGAN
ASAS KEMANUSIAAN
Bab ini menjelaskan bahwa pertimbangan efek jera sebagai
dasar pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
yang tampak dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum
Perppu No. 1 Tahun 2016 yang kini telah ditetapkan menjadi UU
No. 17 Tahun 2016 (peraturan tersebut merupakan perubahan
kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Pertimbangan ini bertentangan dengan asas kemanusiaan yang
mengedepankan HAM sebagai norma hukum tertinggi yang
membatasi kebijakan legislasi dalam membentuk undang-undang
sebagaimana telah dimanifestasikan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
UU No. 12 Tahun 2011. Pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik seyogianya bertumpu pada asas/prinsip
hukum yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU No. 12
Tahun 2011. Dengan berpegang pada asas/prinsip hukum maka
selanjutnya penulis berargumen bahwa penggunaan pertimbangan
83
efek jera dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum
Perppu No. 1 Tahun 2016 adalah bukan merupakan asas/prinsip
hukum yang menjadi landasan lahirnya peraturan hukum.
Atas dasar itu maka alur pembahasan bab ini terlebih
dahulu dijelaskan isu utama penelitian ini yang penggunaan
pertimbangan efek jera sebagai dasar pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang tampak dalam konsideran
Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016 yang
mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak. Kedua, dijelaskan bahwa pertimbangan efek jera dalam
konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No. 1
Tahun 2016 bertentangan dengan asas kemanusiaan dalam hal ini
pertimbangan Hak Asasi Manusia.
A. Pertimbangan Efek Jera dalam Konsideran
Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No. 1
Tahun 2016
Pada sub bab ini akan dijelaskan isu utama penelitian ini
yang penggunaan pertimbangan efek jera sebagai dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang
84
tampak dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum
Perppu No. 1 Tahun 2016 yang kini telah ditetapkan menjadi UU
No. 17 Tahun 2016 (peraturan tersebut merupakan perubahan
kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)
yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak. Alasan utama pemerintah menerbitkan Perppu
adalah adanya permasalahan pada sistem hukum pidana yang
masih gagal dalam mengadili dan menghukum pelaku secara
efektif sehingga menyebabkan terjadinya desakan besar-besaran
dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan aktivis yang
tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Korban Kekerasan
Seksual kepada Pemerintah untuk mengeluarkan Perppu yang
dapat memberatkan ancaman hukum pelaku kekerasan seksual
terhadap anak dengan tujuan untuk memberikan efek jera terhadap
pelaku, sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak. Untuk itu, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan
gambaran umum tentang rendahnya sistem peradilan pidana
Indonesia dalam memenuhi dan menjaga hak anak dalam kasus
kekerasan seksual.
85
Menurut Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel
menyampaikan masih rendahnya sistem peradilan pidana
Indonesia dalam memenuhi dan menjaga hak anak dalam kasus
kekerasan seksual. Reza mengatakan, berdasarkan data
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, 70 persen putusan
hakim lebih rendah dari pada tuntutan jaksa dalam kasus kejahatan
seksual terhadap anak. Sedangkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sudah mengatur
secara jelas tentang pemberatan hukuman terhadap pelaku
kekerasan seksual yang menyatakan:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Namun, fakta menunjukkan bahwa dari 280 putusan pengadilan
dalam kurun waktu 2011-2015, rata-rata hukuman penjara hanya
51 bulan.1 Hasil putusan pengadilan tersebut, merupakan salah satu
1 Di Unduh dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/11/20/ogxdzl335-70-
86
indikator tidak berhasilnya sistem peradilan dalam melindungi
anak dari kejahatan seksual.
Berdasarkan lemahnya penegakan sistem hukum pidana
yang masih gagal dalam mengadili dan menghukum pelaku secara
efektif sehingga menimbulkan wacana pemberian pemberatan
pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak lewat kebiri
yang pertama kali diusulkan secara resmi ke publik oleh KPAI dan
didukung oleh Menteri Sosial pada Mei 2015.2
Selanjutnya, pada hari Rabu, 25 Mei 2016 Presiden Joko
Widodo menandatangani Perppu No. 1 Tahun 2016 yang kini telah
menjadi UU No. 17 Tahun 2016 (peraturan tersebut merupakan
perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak), konsideran Menimbang Perppu tersebut yang
menyatakan:
bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan
efek jera dan belum mampu mencegah secara
komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
persen -vonis-kasus-kekerasan-seksual-anak-lebih-rendah-dari-
tuntutan,Dikunjungi pada
tanggal 10 Oktober 2017 pukul 12.58. 2 Di Unduh dari file:///E:/BUKU/Menguji-Eforia-
Kebiri%20Tentang%20Tesisku.pdf. Dikunjungi pada tanggal 10 Oktober 2017
pukul 13.00.
87
Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
Kemudian dalam Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun
2016 di tegaskan pentingnya diterbitkan Perppu tersebut yaitu:
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur
sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak namun penjatuhan pidana tersebut belum
memberikan efek jera dan belum mampu mencegah
secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak.
Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual
terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku,
dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, Pemerintah perlu menambah pidana pokok
berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta
pidana tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan
mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan
alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No.
1 Tahun 2016 diatas merupakan ratio legis, legislative policy atau
kebijakan undang-undang dari pembentuk undang-undang (dalam
hal ini pembentukan Perppu). Hal inilah yang menjadi sumber
permasalahan dalam penelitian ini. Pada prinsipnya, sanksi yang
ada dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
88
dianggap belum memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan
seksual terhadap anak sehingga diterbitkan Perppu No. 1 Tahun
2016. Tujuan pemberian efek jera melalui sanksi pidana tambahan
tersebut, secara filosofis mengandung masalah internal yang
sangat serius. Efek jera tersebut sebagai dasar pembentukan
peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan sebagai upaya
untuk menakut-nakuti masyarakat; sama halnya negara meneror
masyarakat melalui legislasinya.
Berdasarkan Perppu tersebut, maka isi ketentuan Pasal 81
ayat (6) dan (7), Perppu No. 1 Tahun 2016, berbunyi sebagai
berikut:
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),
pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan
berupa kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik.
Penjelasan dari isi pasal tersebut adalah untuk mengatasi
fenomena kekerasan seksual terhadap anak pemerintah perlu
menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur
hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan mengenai
89
tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi
elektronik, dan rehabilitasi.
Pemerintah menaikan ancaman pidana kepada pelaku
kejahatan seksual terhadap anak, menurut penulis tidak menjawab
masalah sesungguhnya. Artinya, bahwa alasan utama pemerintah
untuk dapat mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak
dengan memberikan sanksi pidana yang berat kepada pelaku, hal
ini telah menunjukkan sebuah kelemahan pemerintah bahwa tidak
bekerja dan tidak mampu dalam menata pemerintahan yang baik
(good governance). Seharusnya, Pemerintah konsisten dengan UU
No. 23 Tahun 2002 yang sudah jelas mengatur tentang pemberatan
hukuman kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, tanpa
harus menerbitkan Perppu yang justru melanggar Hak Asasi
Manusia. Sedangkan permasalah utama sehingga terjadinya
desakan besar-besaran dari sejumlah Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Peduli Korban Seksual adalah gagalnya sistem hukum pidana
dalam mengadili dan menghukum pelaku secara efektif.
Dalam kerangka asas negara hukum, rakyat atau warga
negara harus dilindungi dari kekuasaan perintahnya, terutama
90
penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang,3 seyogianya
pemerintah memberikan keadilan hukum dan tidak boleh membuat
atau menciptakan rasa takut terhadap masyarakat, walaupun tujuan
pemerintah adalah melindungi korban.
Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara adalah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah di terapkan
dalam masyarakat,4 yang diatur berdasarkan sistem hukum
nasional. Indonesia adalah sebagai negara hukum, dalam konteks
demikian maka tujuan hukum adalah untuk memenuhi baik
kebutuhan aspek fisik maupun aspek eksistensial manusia dalam
hidup bermasyarakat yang dinyatakan dalam konsep keadilan.5
Sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Apakah itu melalui prosedur maupun materi muatan semua di atur
berdasarkan hukum. Hukum yang mengatur tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UU No. 12
Tahun 2011. Atas dasar undang-undang tersebut, pembentukan
Perppu No. 1 Tahun 2016 ini dapat di uji atau di nilai
3 Andriaan Bedner,”An Elementary Approach ..., Loc.Cit., hlm.50. 4 Maria Faridah Indriati S, Ilmu ..., Loc.Cit., hlm.1. 5 Peter Mahmut Marzuki, Pengantar ..., ,Loc.Cit., hlm.97.
91
kebenarannya, khusus konsideran Menimbang sebagai alasan
pertimbangan (ratio legis) ketentuan Pasal 81 ayat (6) dan (7) pada
Perppu tersebut.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan asas/prinsip hukum dalam materi muatan
pembentukan peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang
telah diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 yaitu Asas
Pengayoman, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan,
Kenusantaraan, Bhinneka Tunggal Ika, Keadilan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan
kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan.
Seperti yang telah diuraikan di atas, penelitian ini hendak
mengkritik penggunaan pertimbangan efek jera sebagai dasar
pembentukan Perppu No. 1 Tahun 2016 yang mengatur sanksi
pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak menjadi
masalah dan layak untuk dikritisi. Tentang isu tersebut, menurut
92
Sahetapy menjelaskan pertimbangan efek jera tidak membuat
orang menjadi takut;6
Hal ini mengingatkan saya pada kasus-kasus
pencuriaan domba di Inggris pada zaman yang
lampau. Pada waktu itu, dalam abad ke 16,17 dan 18
di Inggris, bukan saja pencuriaan domba diancam
dengan pidana mati, melainkan juga dengan
pencuriaan-pencuriaan kecil atau pencopetanpun di
ancaman dengan pidana mati. Sungguh mengherankan
bahwa walaupun pidana mati dilaksanakan dihadapan
umum dalam suasana yang mengirikan, para pencopet
tidak menjadi jera dan takut. Sebaliknya pada saat-
saat selama eksekusi pidana mati berjalan para
pencopet tetap beraksi. Dengan perkataan lain, pidana
mati bukanlah suatu obat pidana yang mujarap pada
masa lampau di inggris sebab domba-domba tetap
dicuri, para pencopet tetap beraksi kapan saja dan
dimana saja di Inggris.
Sehubungan dengan contoh tersebut diatas, Sahetapy
menjelaskan bahwa dapatlah kiranya dibuat suatu perbandingan
pula sehubungan dengan pasal 340 W.v.S. Khusus bagi orang-
orang tidak perlu orang asal madura yang masih kurang terpelajar
atau yang masih berpegan teguh pada adat istiadat (moras) maka
agama yang di anutnya bukanlah suatu halangan secara etis untuk
melakukan pembunuhan berencana. Kendatipun diketahui,
misalnya bahwa ancaman dalam pasal 340 W.v.S. adalah pidana
6 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan berencana,
Alumni, Bandung, 1978, hlm, 5
93
mati, apabila rasa kehormatannya dilanggar ataupun pagar ayu
yang dikasihaninya itu diperkosa maka satu-satunya penyelesaian
yang terhormat adalah pelaksanaan berupa suatu pembunuhan
berencana. Dengan demikian jelaslah dari pengalaman dan fakta
bahwa ancaman pidana mati dalam pasal 340. W.v.S. tidak
bermakna sama sekali, baik sebagai aspek pembalasan maupun
sebagai aspek menakutkan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam permasalahan
ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana pasal 340
W.v.S, menurut hemat saya suatu bangsa atau masyarakat dapat
tetap hidup tanpa lembaga pidana mati. Pidana mati dalam
permasalahan pembunuhan berencana bukanlah merupakan suatu
persyaratan mutlak sebagai suatu ancaman yang demikian
dasyatnya hingga menakutkan calon pembunuh. Dibanyak negara
ancaman pidana mati tidak saja dihapuskan terhadap pembunuhan
berencana, bahkan ditiadakan sama sekali dari kitab undang-
undang pidana. Tidaklah mengherankan kalau penghapusan
pidana mati dianggap oleh Roling sebagai suatu indikasi adanya
budaya hukum yang tinggi “een hoge rechtscultuur.”7
7 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Ibid., hlm. 9
94
Poin penting penjelasan Sahetapy sebagaimana yang telah
dikemukakan diatas adalah posisi pidana mati bukanlah suatu obat
mujarap yang dapat menyebabkan pelaku kejahatan menjadi jera
dan takut, karena indikator keberhasilan pidana mati menjadi sulit
untuk di tentukan. Kesulitan itu makin menjadi karena bukan saja
si nara pidana melainkan juga masyarakat tidak mungkin dicakup
dan dimasukkan dalam tabung-tabung percobaan dilaboratorium
sebagaimana dapat dilakukan terhadap binatang-binatang
percobaan. Membuat suatu perkiraan yang dianggap aman dalam
permasalahan yang demikian kontroversial, sulit mempertanggung
jawabkannya secara ilmiah. Lebih sulit lagi untuk mengukur dan
mengevaluasi segala akibat dari suatu kematian karena telah
dilaksanakan suatu pidana mati. Kenyataan yang dapat diamat-
amati hanyalah manusia umumnya tidak jera dengan
diterapkannya pidana mati.8
Lawan para abolisionis juga tidak kering dengan alasan-
alasan mereka. Adanya mercusuar diatas sebuah batu karang
disamudra tidak pernah mengungkapkan berapa banyak kapal
yang tidak karam. Dengan perkataan lain, adanya ancaman pidana
8 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Ibid., hlm.150
95
mati tidak pernah mengungkapkan berapa banyak orang yang
takut, kuatir dan sebagainya sehingga tidak melakukan kejahatan
pembunuhan berencana. Para abolisionis pidana mati terlalu
gampang menyerang lembaga pidana mati dengan cuma
menghitung kapal-kapal yang karam saja. Ini berarti bahwa para
abolisionis hanya dapat membuktikan kegagalan pidana mati dan
bukan sebaliknya.9
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
prevensi umum, dalam teori hukum pidana sudah tidak relevan lagi
sebagai kebijakan legislatif dalam pembentukan undang-undang
pidana. Hal itu terbukti dari penerapan sanksi pidana mati sebagai
sanksi pidana paling berat yang dianggap gagal dalam mencapai
tujuan untuk prevensi umum, yaitu menimbulkan efek jera pada
masyarakat luas dengan suatu harapan, suatu antisipasi agar tidak
melakukan tindakan pidana, hal tersebut merupakan suatu cita-cita
yang terlalu muluk. Menurut Sahetapy,10 hukum pidana tidak
bertujuan untuk mengubah atau memperbaiki hidup manusia. Itu
bukan tugasnya, tugasnya untuk mengatur agar manusia berjalan
9 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Ibid., hlm.151 10 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Ibid., hlm.168
96
dalam jalur-jalur lalu lintas hukum yang sudah diatur dan
ditentukan berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang
dikehendaki oleh masyarakat sendiri dan atau oleh penguasa.
Peranan inilah yang harus dominan dan harus dilaksanakan secara
meyakinkan.
Lebih lanjut bahwa teori pidana relatif atau teori pidana
tujuan sebagai lawan dari teori pidana absolut atau teori pidana
pembalasan kurang tepat. Tidak tepat pula untuk menganggap teori
pidana relatif atau teori pidana tujuan sebagai lanjutan atas tidak
berhasilnya teori pidana absolut atau teori pidana pembalasan.
Jauh sebelum Imanuel Kant seorang tokoh pembalasan
yang termasyur itu muncul, maka dikalangan bangsa Romawi telah
dikenal pula tujuan pidana yang mengcakup berbagai aspek yaitu
perbaikan, menakutkan dan menghancurkan. Plato mengaris
bawahi bahwa tujuan pidana yaitu untuk melindungi, menakuti dan
memperbaiki. Jelasnya: melindungi masyarakat, menakuti calon
penjahat dan memperbaiki si penjahat. Bagi Plato tujuan pidana
bukalah pembalasan. Demikian pula Aristoteles: pidana bertujuan
untuk memperbaiki dan menakutkan. Kalau demikian dapatlah
disimpulakan bahwa Plato dan Aristoteles menolak pidana mati.
97
Meskipun demikian Leo Polak mengklasifikasikan teori
Plato dalam teori pembalasan. Namun ada pula serjana yang tidak
sependapat dengan pandangan Leo Palak. Demikian pula halnya
dengan teori Thomas van Aquino yang sebahagian serjana
digolongkan dalam teori pembalasan, kendatipun disini Thomas
van Aquino menekankan pada sifat atau tujuan memperbaiki
pidana.11
Menurut Buiskool sebagaimana dikutip Sahetapy bahwa
aspek menakutkan ini sebetulnya berpijak diatas pemikiran teori-
teori hukum kodrat. Kalau demikian halnya maka dapat digongkan
dalam teori menakutkan ini tokoh-tokoh seperti Grotius, Hobes,
Spinosa, Locke, von Pufendort, Thomasius, Rousseau dan
Beccaria. Manakala variasi di antara teori-teori tersebut di atas
seperti juga dalam teori pembalasan, tindaklah perlu
mengherankan. Tetapi pada dasarnya dapat di simpulkan bahwa
tujuan pidana menurut teori relatif atau tujuan yalah memperbaiki,
melindungi dan menakutkan.12
11 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Ibid.,hlm.169 12 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Ibid.,
98
Penelitian penulis tidak bertolak dari teori hukum pidana
sebagaimana dikemukakan diatas. Efek jera dalam Perppu sebagai
ratio legisnya akan penulis soroti dari aspek-aspek hukum tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan yang di dalamnya
ada asas kemanusiaan yang merupakan salah satu asas materi
muatan pembentukan perundang-undangan. Efek jera sebagai
dasar pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana
yang tampak dalam konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum
Perppu No. 1 Tahun 2016 merupakan kekuatan pendorong untuk
lahirnya sanksi pidana yang lebih keras (hukuman kebiri) bagi
pelaku kekerasan seksual terhadap anak, secara filosofis
mengandung masalah internal yang sangat serius. Efek jera
tersebut dijadikan sebagai dasar pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah upaya pemerintah untuk menakut-
nakuti masyarakat; sama halnya negara meneror masyarakat
melalui legislasinya. Hal tersebut merupakan pengabaian terhadap
aspek-aspek hukum tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan secara khusus asas kemanusiaan yang mengedepankan
perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai norma hukum tertinggi
yang membatasi kebijakan legislasi dalam membentuk undang-
99
undang sebagaimana telah dimanifestasikan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf b UU No. 12 Tahun 2011.
Bangsa Indonesia adalah negara hukum atau negara
berdasarkan hukum. Pernyataan ini memang merujuk pada
pernyataan tertulis di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
1945. Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan: ”Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat) dan ”Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).”13
Maka, prinsip-prinsip utama di dalam Negara hukum yang harus
dipenuhi adalah: Negara harus tunduk pada hukum; Pemerintah
menghormati hak-hak individu. Peradilan yang bebas dan tidak
memihak14 dengan berdasarkan putusan pengadilan yang
berbunyi: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
ungkapan tersebut jelas bersumber pada dan karenanya tidak dapat
terlepas dari falsafah Pancasila. Sebagai konsekuensi lebih lanjut
dari penjabaran dan terjemahan dari Pancasila. Dalam penentuan
pidana yang dijatuhkan terhadap si terdakwa seyogianya tercermin
13 Sri Pujiningsih, Konsep Hukum Indonesia di Masa Sekarang, diunduh
dari file:///C:/Users/user/Downloads/Documents/250-465-1-SM.pdf.
Dikunjunggi pada tanggal 31 Oktober 2017 pukul 17.56 14 Sri Pujiningsih, Konsep Hukum Indonesia ..., Ibid.,
100
gagasan pemasyarakatan dan pengayoman (falsafah) Pancasila.
Tentang hal tersebut menurut Sahetapy.
kalau demikian halnya, maka pengadilan casu quo
para hakim harus mencerminkan dan menghayati
Pancasila dalam menjatuhkan pidana. “... Jelaslah
bahwa hakim dalam berkonsultasi dengan insan
kamilnya harus selalu berpengang pada Pancasila
dan oleh karenanya tidak melupakan maksud dan
tujuan pidana yang akan dijatuhkan. Dengan berpijak
pada landasan Pancasila dan melalui proses
pemasyarakatan dan pengayoman pidana yang
hendak dijatuhkan itu harus bertujuan agar si
terpidana setelah selesai menjalani pidananya akan
dapat menjadi manusia yang beradab, berbudi, dan
berguna. Oleh karena itu, mustahil dengan
berlandaskan Pancasila hakim di Indonesia dapat
menjatuhkan pidana (mati). Dalam dimensi hakikat
Pancasila: Kasih dari Tuhan dan terhadap Tuhan,
maka hakim harus sadar bahwa yang dihadapinya
adalah makhluk Tuhan, kendatipun ia sudah
menyeleweng atau menyalahi peraturan-peraturan
hukum yang ada. Mahkluk yang telah distigma
penjahat ini dalam keadaan bagaimanapun ia adalah
ciptaan Tuhan dan oleh karena itu “dikasihi” oleh
Tuhan.15
Berdasarkan prinsip-prinsip utama di dalam negara hukum
sebagaimana dikemukakan diatas. Seyogianya negara memberikan
keadilan hukum atau persamaan dalam hukum (Equality before the
Law) dan tidak boleh membuat atau menciptakan rasa takut dan
meneror masyarakat melalui legislasinya. Adanya persamaan
15 Sahetapy, Ancaman Pidana Mati ..., Op.Cit., hlm. 256-257
101
kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam
rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui
sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan
‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu
untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.16 Oleh karena itu maka
Sub-judul selanjutnya penulis akan lebih memfokuskan argumen
pada penggunaan pertimbangan efek jera dalam konsideran
Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No. 1 Tahun 2016
bertentangan dengan asas kemanusiaan.
16 Jimly Asshiddiqi, Gagasan Negara Hukum Indonesia, diunduh dari
file:///C:/Users/user/Downloads/Documents/Konsep_Negara_Hukum_Indonesi
a.pdf. Dikunjunggi pada tanggal 31 Oktober 2017 pukul 19.41.
102
B. Penggunaan Pertimbangan Efek Jera dalam
Perppu No. 1 Tahun 2016 Bertentangan dengan
Asas Kemanusiaan
Pada Sub-judul ini akan dijelaskan isu yang lebih
substansial yaitu penggunaan pertimbangan efek jera dalam
konsideran Menimbang dan Penjelasan Umum Perppu No.1 Tahun
2016 bertentangan dengan asas kemanusiaan sebagai salah satu
materi muatan peraturan perundang-undangan yang
dimanfestasikan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun
2011 dimana asas tersebut seyogianya berlaku sama untuk semua
orang dan setiap proses pembentukan peraturan perundang-
undangan maupun termasuk ratio legis, legislative policy atau
kebijakan undang-undang tunduk kepada asas kemanusiaan.
Untuk itu, pertama-tama akan mengklarifikasi ratio legis yang
merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang ada dibelakang
legislative policy atau kebijakan undang-undang dalam
menentukan materi muatan undang-undang
Atas dasar itu, maka alur pembahasan Sub-judul ini adalah
(1) Keberlakuan asas materi muatan untuk menilai ratio legis
undang-undang. (2) Efek jera melanggar asas materi muatan
103
peraturan perundang-undangan yaitu asas kemanusiaan. (3)
Perppu No. 1 Tahun 2016 ditetapkan menjadi UU No. 17 Tahun
2016. Berdasarkan amanat ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945.
1. Keberlakuan Asas Materi Muatan Untuk Menilai
Ratio Legis Undang-Undang.
Pertama-tama yang perlu dikemukakan disini adalah proses
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia tunduk
pada UU No 12 Tahun 2011 yang mengatur tentang kaidah-kaidah
dalam rangka proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya, penulis akan menjawab dan menjelaskan
bahwa asas materi muatan peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011
dapat digunakan untuk menilai atau menguji ratio legis suatu
Undang-undang. Asas materi muatan pada hakikatnya merupakan
batasan tentang hal-hal apa yang dapat atau boleh dimuat dalam
peraturan perundang-undangan tersebut.17
17 Titon Slamet Kurnia, Sistem ...,Op.Cit. hlm.44.
104
UU No.12 Tahun 2011 mengatur kaidah dalam rangka
proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu kaidah formal (kaidah
yang menentukan rangkaian aktivitas dalam rangka pembentukan
peraturan perundang-undangan yang meliputi tahapan-tahapan
input – process – output) dan kaidah substantif (kaidah yang
menetukan materi muatan peraturan perundang-undangan).18
Kaidah formal yaitu asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.19 Asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Kaidah formal ini, yaitu asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, dijabarkan lebih lanjut dalam
ketentuan-ketentuan yang merupakan kaidah-kaidah yang
mengatur tentang segenap aktivitas yang meliputi tahapan-tahapan
18 Titon Slamet Kurnia, Sistem ...,Ibid., hlm. 41. 19 Titon Slamet Kurnia, Sistem ...,Ibid., hlm. 42
105
kegiatan berkenaan dengan proses pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dengan pengertian lain peraturan tersebut
adalah peraturan yang bersifat prosedural. Tahapan-tahapan ini
meliputi: input (perencanaan dan persiapan); tahapan process
(pembahasan dan pengundangan) dan tahapan output
(pengundangan dan penyebarluasan).20
Kaidah substantif yaitu asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan. Asas-asas materi muatan peraturan
perundang-undangan meliputi:
a. Pengayoman;
b. Kemanusiaan;
c. Kebangsaan;
d. Kekeluargaan;
e. Kenusantaraan;
f. Bhinneka tunggal ika;
g. Keadilan;
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
i. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Selain asas materi muatan peraturan perundang-undangan
yang bersifat umum sebagaimana yang dideskripsikan diatas, Pasal
6 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur lebih lanjut bahwa asas
lain sesuai bidang hukum dari peraturan perundang-undangan
20 Titon Slamet Kurnia, Sistem ...,Ibid., hlm. 43
106
yang bersangkutan juga menentukan materi muatan dari peraturan
perundang-undangan yang dibentuk.21 Asas-asas baik dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan maupun materi
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai mana telah
dijelaskan di atas, merupakan batasan tentang hal-hal apa yang
dapat atau boleh dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut Sajipto Rahardjo, dalam proses pembuatan
rancangan undang-undang harus memperhatikan peran dari asas
hukum. Sistem hukum termasuk peraturan perundang-undangan
yang dibangun tanpa asas hukum hanya akan berupa tumpukan
undang-undang. Asas hukum memberikan arah yang dibutuhkan
di waktu-waktu yang akan datang masalah dan bidang yang diatur
pasti semakin bertambah. Maka pada waktu hukum atau undang-
undang dikembangkan, asas hukum memberikan tuntunan dengan
cara bagaimana dan ke arah mana sistem tersebut akan
dikembangkan.22
21 Titon Slamet Kurnia, Sistem ...,Ibid. 22 Rustam Akili, Implementasi Pembentukan Kebijakan Hukum Melalui
Proses Legislasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum, diunduh dari
https://media.neliti.com/media/publications/12550-ID-implementasi-
pembentukan-kebijakan-hukum-melalui-proses-legislasi-dalam-rangka-p.pdf.
Dikunjunggi pada tanggal 02 November 2017 pukul 16.18.
107
Pendapat yang dikemukakan oleh Rahardjo tersebut di atas,
mengingatkan kepada kita semua bahwa asas hukum begitu
penting dan tidak boleh terabaikan sehingga harus dijadikan
sebagai dasar dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Asas hukum ditempatkan pada posisi dan kedudukan
yang amat penting dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, bahkan dapat dikatakan sebagai ‘jantung’nya peraturan
hukum. Alasan mengapa asas hukum dikatakan sebagai
‘jantung’nya peraturan hukum, yaitu: (1) asas hukum merupakan
landasan lahirnya peraturan hukum, artinya peraturan hukum pada
akhirnya dapat dikembalikan kepada asas hukum; (2) asas hukum
merupakan alasan/tujuan umum (ratio-legis) dari lahirnya
peraturan hukum, artinya asas hukum tidak akan habis
kekuatannya untuk melahirkan peraturan baru. Asas hukum akan
tetap ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.
Adapun fungsi dari asas hukum yaitu merealisasikan ukuran atau
kriteria nilai (kesusilaan) sebanyak mungkin dalam kaidah-kaidah
dari hukum positif dan penerapannya. Mewujudkan ukuran atau
kriteria nilai yang dimaksud tersebut secara sempurna dalam suatu
sistem positif adalah tidak mungkin, oleh sebab itu bagi pembentuk
108
undang-undang, asas hukum berfungsi sebagai pedoman kerja, dan
bagi para praktisi (khususnya hakim) untuk melakukan interpretasi
/ analogi / koreksi. Pada akhirnya asas hukum memiliki fungsi
ganda, yaitu sebagai pondasi dari sistem hukum positif dan sebagai
batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.
Selanjutnya, isu yang perlu dijawab dalam pembahasan ini
adalah apakah ratio legis dapat dinilai atau diuji dengan
menggunakan asas materi muatan peraturan perundang-undangan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU No. Tahun 2011.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis akan bertolak dari
pendekatan perundang-undangan yang bukan saja melihat kepada
bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan juga menelaah
materi muatannya. Sehingga dapat mempelajari dasar-dasar
ontologis, filosofis dan ratio legisnya (disini tidak termasuk
“peraturan perundang-undangan lainnya”, karena peraturan
perundang-undangan dibuat oleh para “wakil rakyat”, sedangkan
regulasi, hanyalah pendelegasian dari apa yang dikehendaki oleh
rakyat).23
23 Piter Mahmud Marzuki, Penelitian ..., Op.Cit., hlm. 142
109
Dasar ontologis undang-undang dapat dipahami dengan
mengacu pada latar belakang pembuatannya, yang bisa diketahui
dengan membaca naskah akademisnya. Didalam naskah akademis
juga dapat ditemukan landasan filosofis urgensi peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Kemudian, ratio
legisnya berkenaan dengan salah satu ketentuan undang-undang
yang diacu untuk menjawab isu hukum yang akan dipecahkan.
Ratio legis adalah alasan tentang “mengapa ketentuan itu ada”, dan
hal ini tidak bisa pula dilepaskan dari dasar ontologis dan landasan
filosofisnya (yang berkenaan dengan undang-undang secara
keseluruhan).24 Oleh karena itu ratio legis dapat dinilai atau diuji
oleh asas materi muatan peraturan perundang-undangan karena
ratio legis tersebut yang menentukan atau menghasilkan materi
muatan atau isi undang-undang secara keseluruhan. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa asas hukum memiliki 3 (tiga)
fungsi, yaitu: (1) sebagai pondasi dari sistem hukum positif. (2)
sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif dan. (3) asas
hukum dapat digunakan untuk menilai atau menguji ratio legis
suatu undang-undang.
24 Piter Mahmud Marzuki, Penelitian ..., Ibid.,
110
Atas dasar itulah, maka pembahasan selanjutnya penulis
akan membahas yang menjadi substansi dari permasalahan
penelitian ini yaitu efek jera melanggar asas materi muatan
peraturan perundang-undangan yaitu asas kemanusiaan sebagai
salah satu asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang
mencerminkan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai rumusan
preskripsi yang konkrit dan spesifik dalam ketentuan hukum.
2. Efek Jera Melanggar Asas Materi Muatan
Peraturan Perundang-Undangan yaitu Asas
Kemanusiaan.
Dalam pembahasan isu ini dijelaskan bahwa efek jera
melanggar asas materi muatan peraturan perundang-undangan
yaitu asas kemanusiaan sebagai salah satu asas materi muatan
peraturan perundang-undangan sebagaimana yang telah
dimanifestasikan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun
2011. Untuk itu, pertama-tama perlu dijelaskan bahwa ratio legis
Perppu No. 1 Tahun 2016 adalah efek jera yang dapat ditafsirkan
sebagai upaya pemerintah untuk menakut-nakuti masyarakat; sama
halnya negara meneror masyarakat melalui legislasinya.
Ratio legis pembentukan peraturan perundang-undangan
Perppu No. 1 Tahun 2016 yang mengubah ketentuan Pasal 81 dan
111
Pasal 82 dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, tampak dalam konsideran Menimbang Perppu No. 1 Tahun
2016 yang berbunyi:
bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan
efek jera dan belum mampu mencegah secara
komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak;
Konsideran Menimbang Perppu diatas menunjukkan ratio legisnya
beranjak dari efek jera yang merupakan rekonstruksi buah pikiran
yang ada dibelakang legislative policy atau kebijakan Undang-
undang. Efek jera tesebut dijadikan sebagai dasar pembentukan
Perppu No 1 Tahun 2016. Secara terminologi bahasa efek jera
berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yaitu
deterrence dan effect. Deterrence berarti menakutkan; supaya
jangan. Sedangkan effect berarti hasil atau sesuatu yang timbul
akibat sesuatu. Jadi secara istilah efek jera adalah rasa ketakutan,
kapok yang timbul akibat adanya hukuman yang diberikan
terhadap pelaku tindak pidana. Artinya, pemberian efek jera
tersebut bukan semata mata ditujukan kepada mereka
112
yang dikenakan sanksi atau hukuman. Namun justru efek jera
tersebut ditujukan kepada semua orang, agar tidak melakukan
kejahatan serupa.
Penggunaan pertimbangan efek jera sebagai dasar
pembentukan peraturan perundang-undangan Perppu No. 1 Tahun
2016 yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual
terhadap anak tidak tepat karena tujuan pemberian efek jera melalui
sanksi pidana tambahan tersebut, secara filosofis mengandung
masalah internal yang sangat serius. Sanksi tambahan tersebut
sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
sebagai upaya pemerintah untuk menakut-nakuti masyarakat; sama
halnya negara meneror masyarakat melalui legislasinya. Hal
tersebut, adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan (martabat
manusia) yang merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia yang
aksiomatis. Menurut penulis, bahwa setiap orang memiliki hak
untuk bebas dari rasa takut atas hukuman berat (hukuman kebiri)
yang dapat dijatuhkan oleh negara berdasarkan asas kemanusiaan
yang mencerminkan perlindungan Hak Asasi Manusia
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No 12
Tahun 2011 yaitu:
113
“asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.”25
Asas kemanusiaan tersebut diatas sebagai salah satu materi muatan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan
pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang
dari Hak Asasi Manusia yang terjelma dalam Konstitusi atau UUD
dan putusan hakim yang merupakan hukum dasar atau hokum
positif.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
pertimbangan efek jera dalam konsideran Menimbang dan
Penjelasan Umum Perppu No.1 Tahun 2016 tidak boleh digunakan
sebagai pertimbangan pembentukan peraturan perundang-
undangan karena melanggar asas materi muatan peraturan
perundang-undangan yaitu asas kemanusiaan yang mencerminkan
perlindungan Hak Asasi Manusia yaitu sebagai rumusan preskripsi
yang konkrit dan spesifik dalam ketentuan hukum. Hak Asasi
Manusia dalam konteks pembentukan peraturan perundang-
25 Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
114
undangan sebagai norma hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara. Karena letaknya dalam konstitusi yang merupakan basic
law, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati
dan dijamin pelaksanaannya oleh negara. Penghormatan terhadap
HAM adalah mutlak dan menjadi salah satu ukuran dalam
penegakan hukum. Atas dasar itulah, maka setiap proses
pembentukan peraturan perundang-undangan maupun termasuk
ratio legis, legislative policy atau kebijakan undang-undang tunduk
kepada asas kemanusiaan dalam hal pertimbangan Hak Asasi
Manusia.
3. Perppu No. 1 Tahun 2016 ditetapkan menjadi UU
No. 17 Tahun 2016.
Pada pokok bahasan ini isu yang dijelaskan adalah Perppu
No. 1 Tahun 2016 ditetapkan menjadi UU No. 17 Tahun 2016.
Berdasarkan amanat ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang berbunyi:
“Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Sehingga
Perppu No. 1 Tahun 2016 mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ditetapkan menjadi UU No. 17
115
tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang (Selanjutnya
disingkat UU No. 17 Tahun 2016). Pada tanggal 9 November 2016
diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2016 Nomor 237 oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.
UU No. 17 Tahun 2016 tersebut mengalami perubahan
pada konsideran Menimbang yang berbunyi:
bahwa kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke
tahun semakin meningkat dan mengancam peran
strategis anak sebagai generasi penerus masa depan
bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat
sanksi pidana dan memberikan tindakan terhadap
pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan
mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20l4
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Pada bagian Penjelasan Umum UU No. 17 Tahun 2016 di
tegaskan pentingnya diterbitkan undang-undang tersebut yaitu:
Kekerasan seksual terhadap anak merupakan
kejahatan serius (se'ious crimes) yang semakin
meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan
mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak
kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta
116
mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman,
keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan
undang-Undang Nomor 35 Tahun 20l4 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur
sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap
anak namun penjatuhan pidana tersebut belum
memberikan efek jera dan belum mampu mencegah
secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak.
Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual
terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku,
dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap
anak, Pemerintah perlu menambah pidana pokok
berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta
pidana tambahan berupa pengumuman identitas
pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan
mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan
alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Pada prinsipnya, bahwa kekerasan seksual terhadap anak
dari tahun ke tahun semakin meningkat secara signifikan yang
mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan
pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa
kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat
sehingga Perppu No. 1 Tahun 2016 ditetapkan menjadi UU No. 17
Tahun 2016. Hal tersebut berbeda dengan konsideran Menimbang
Perppu No.1 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa sanksi yang ada
dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, belum
117
mampu memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual
terhadap anak sehingga diterbitkan Perppu No. 1 Tahun 2016. Oleh
karena itu, dengan adanya perbedaan isi konsideran Menimbang
dari kedua aturan tersebut maka diperlukan kajian lebih lanjut oleh
peneliti selanjutnya yang melakukan penelitian berkaitan
perbedaan konsideran Menimbang dengan menggunakan teori
perundang-undangan dalam sistem hukum ketatanegaraan
Indonesia.