bab iv metode istinbat{{ dan kesimpulan...
TRANSCRIPT
110
BAB IV
METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUM
Pada bagian ini, penulis mendeskripsikan metode istinbat{{ yang dipakai
majelis hakim untuk menghasilkan kesimpulan hukum tentang anak hasil zina.
Setelah itu, penulis mengkritisi metode istinbat{{ dan hasil kesimpulan hukum oleh
majelis hakim. Sebagai kontribusinya, penulis menawarkan metode istinbat{{
alternatif yang seharusnya digunakan untuk menghasilkan kesimpulan hukum
tentang anak hasil zina. Kalau kesimpulan hukum oleh majelis hakim terlalu
berpihak kepada perlindungan anak sehingga mengabaikan sakralitas perkawinan,
alternatif yang penulis tawarkan adalah mengupayakan dialektika kepentingan
anak tanpa mengabaikan sakralitas perkawinan.
A. Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan Hukum oleh Majelis Hakim
Kelahiran penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan
Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn tidaklah hanya memberi pelajaran mengenai
konstruksi pertimbangan yuridis normatif. Kesimpulan hukum yang dibangun
kedua produk pengadilan tersebut juga menunjukkan ciri khas metode istinbat{{
yang dikembangkan dalam mengoperasionalkan dasar perumusan hukum Islam
(mas{a@di@r at-tasyri@’).
Dari kedua produk hukum tersebut, penulis sama sekali tidak menemukan
dalil –baik ayat Al-Quran maupun hadits– yang langsung berbicara mengenai
kedudukan anak hasil zina. Padahal, dalil tekstual mengenai kedudukan anak
hasil zina tersedia dalam hadits. Pengesampingan tersebut merupakan anomali
tersendiri karena kedua dalil teks tersebut menempati urutan utama sebagai
111
mas{a@di@r at-tasyri@’.39 Sementara itu, dalil yang lebih diprioritaskan mempengaruhi
proses istinbat{{ majelis hakim adalah dalil di luar teks, yakni pengakuan dari laki-
laki yang menganggap sebagai bapak dari anak hasil zina dan hasil test DNA.
Secara kerangka berfikir, majelis hakim lebih menempatkan kekhususan
kebutuhan anak hasil zina sebagai faktor dominan dalam proses istinbat{. Majelis
hakim tidak menempatkan keumuman dalil tentang kedudukan anak hasil zina
dalam konstruksi istinbat{nya. Dalam hal ini, kaidah yang berlaku adalah “yang
menjadi pertimbangan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafadz”.
Dalam bahasa metode istinbat{{ , pendekatan yang digunakan majelis hakim
tersebut adalah istislahi yang liberal. Pendekatan tersebut lebih menggunakan
pertimbangan sosiologis dan empiris sebagai dasar istinbat{nya. Faktor sosiologis
dan empiris yang dimaksud di sini adalah pengakuan laki-laki yang menganggap
sebagai ayah dan hasil test DNA. Dalam bahasa sederhanya, majelis hakim lebih
mengutamakan kebenaran rasional dibandingkan dengan kebenaran doktrinal.
Meskipun pada dasarnya kedua putusan tersebut juga menyebut sebuah
hadits dan satu ayat Al-Qur’an, akan tetapi dalil yang dipilih kurang relevan
dengan objek hukum yang dibicarakan. Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn
mengutip tentang bolehnya wanita hamil menikah dengan laki-laki yang
menghamilinya. Dalil ini tentunya berbicara mengenai status wanita hamil.
Padahal, argumentasi yang dibutuhkan di sini mengenai boleh atau tidaknya
pengesahan hubungan keperdataan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang
membuahi ibunya. Masalah relevansi dalil juga terjadi dengan Penetapan
39 Al-Quran, Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah (maqasyid syari’ah), adat,
istishab, syar’u man qoblana dan pemikiran sahabat (Wahhab Khallaf: tt, 22)
112
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg. Dalam hal ini, majelis hakim mengutip
hadits tentang keberadaan anak sebagai individu yang suci (fitrah) sejak lahir.
Padahal, hadits tersebut berbicara pada konteks aqidah. Sekali lagi, dalil yang
disuguhkan majelis hakim tidak relevan dengan objek hukum yang diperkarakan.
Kalau mengikuti logika majelis hakim yang menggunakan dua dalil di atas,
konklusi yang diperoleh adalah ayat Al-Quran dan hadits memiliki kedudukan
yang setara dengan hukum materil dalam pemeriksaan perkara yang menjadi
kewenangan pengadilan agama. Dengan demikian, jika majelis hakim
menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,
maka kesimpulan hukum yang dihasilkan majelis hakim patut dikritik dan
dikecam batal demi hukum. Penggunaan hadits tentang kedudukan anak zina
dalam mengadili permohonan pengesahan asal usul anak zina merupakan suatu
kewajiban.
Dengan pendekatan istislahi yang liberal tersebut, kesimpulan hukum yang
dihasilkan berbeda dengan kesimpulan hukum yang selama ini mapan berkaitan
dengan kedudukan anak hasil zina. Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg mempunyai amar penetapan dengan bunyi
“NPS adalah anak biologis Pemohon I dan Pemohon II”. Sementara itu, Putusan
Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn mempunyai amar putusan dengan redaksi
“RDAN sebagai anak syah dari Pemohon”. Meskipun secara redaksional, kedua
amarnya berbeda, kata-kata tersebut membawa konsekuensi kesimpulan hukum
yang secara substansi sama, yakni mengesahkan hubungan anak-bapak antara
anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya. Dengan redaksi semacam
itu, para Pemohon bisa mendaftarkan perolehan akta kelahiran baru. Hal ini
113
sebagaimana mengutip Pasal 103 (3) KHI yang menyatakan bahwa atas dasar
ketetapan pengadilan agama tersebut, instansi pencatatan kelahiran yang ada
dalam daerah hukum pengadilan agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Penulis menganggap argumentasi tersebut sebagai rasionalisasi yag logis.
Hal ini didukung dengan format redaksi yang telah baku di beberapa akta
kelahiran adalah “.....telah lahir...nama...anak perempuan/laki-laki dari pasangan
suami istri A dan B”. Dalam hal ini, akta hanya menjelaskan hubungan anak-
bapak. Akta kelahiran pun tidak membedakan antara anak biologis dengan anak
sah. Dengan demikian, sebagai pelaksana executive heavy, Dinas Pendudukan dan
Catatan Sipil secara otomatis mengikuti penetapan pengadilan yang telah
menyatakan adanya hubungan antara Nicolas Santanu dan WS dengan bapaknya.
Dari kerangka amar putusan kedua putusan pengadilan tersebut, putusan
tersebut sudah sangat jelas berkonsekuensi melegalkan hubungan hubungan
bapak-anak dan memberikan payung hukum bagi kelahiran hubungan keperdataan
secara sempurna selayaknya anak sah. Penjelasan tersebut masuk akal. Penulis
mencoba menjelaskan rasionalisasinya di bawah ini.
Lahirnya putusan yang menyatakan hubungan sebagai anak-bapak kepada
anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya tidaklah jauh berbeda
dengan penetapan nasab antara kedua belah pihak oleh hukum negara. Dalam kata
lain, kesimpulan seperti ini didukung fakta bahwa akta telah menjadi payung
hukum bagi pemegangnya (anak) untuk menuntut hak atau dituntut
tanggungjawab berhubungan dengan pihak-pihak terhubung (bapak-ibu) di dalam
akta tersebut. Selanjutnya, dokumen administratif tersebut telah sah secara
114
hukum sebagai bukti bagi anak hasil zina untuk mengajukan gugatan pewarisan
atas harta bapaknya. Di samping itu, bapak juga berhak menjadi wali pernikahan
karena secara dokumen hukum telah memenuhi syarat dianggap sebagai bapak
dari anak tersebut. Begitu problematisnya putusan pengadilan yang telah
menyatakan bahwa anak hasil zina adalah anak dari laki-laki yang membuahi
ibunya. Dengan demikian, Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn dan
Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dikatakan kesimpulan hukum
yang sangat memicu konflik di mata munakah}a>t Islam.
Bukannya Islam tidak mempunyai misi perlindungan anak. Sebagai agama
yang membawa rahmat bagi penduduk seluruh alam, Islam tentunya sangat
mengapresiasi terhadap perlindungan anak. Akan tetapi, perlindungan anak dalam
Islam berbeda dengan perlindungan anak dalam perspektif HAM. Dalam Islam,
perlindungan anak harus diberlakukan dalam koridor pembedaan antara hak yang
mengandung unsur kewenangan (taken for granted) Tuhan dan hak yang sekedar
rasionalisasi manusia. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensinya, hukum Islam
membedakan antara hak anak sah dengan hak keperdataan anak zina . Pembedaan
tersebut disebabkan faktor proses pembuahan; antara yang sesuai dan yang tidak
sesuai syari’at.
B. Kritik atas Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan hukum Majelis
Dalam kegiatan kesimpulan hukum, terdapat tiga elemen utama yang tidak
bisa terpisahkan, yakni dalil, metode istinbat{{ dan kesimpulan hukumnya.
Metode istinbat majelis hakim yang dipakai adalah istislahi yang liberal.
Seharusnya istislahi sekalipun harus memperhatikan ketentuan (1) tidak
115
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dalam Al Qur’an maupun hadis; (2)
kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti; (3) kemaslahatan itu menyangkut
kepentingan orang banyak (Zuhri, 2011: 161-162).
Keberadaan Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan
Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda
dengan ijtihad yang selama ini telah dirumuskan fukaha’. Oleh sebab itu,
perbedaan tersebut menggoda pertanyaan bagaimanakah dalil dan metode istinbat{{
yang digunakan majelis hakim, sehingga kesimpulan hukumnya berbeda dengan
mayoritas fukaha’. Karena menggunakan istislahi yang liberal, maka dalam
metode istinbatnya, majelis hakim melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Pengesampingan Dalil Naqli
Sebagai buah dari sudut pandang liberal dalam berijtihad, Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn telah menghasilkan kesimpulan hukum yang kontraproduktif
terhadap prinsip munakah}a>t Islam. Dalam hal ini, pertimbangan hukum
berdasarkan dalil aqli (rasionalitas manusia) lebih diunggulkan dibanding dengan
naqli (sakralitas teks). Dengan kata lain, majelis hakim berani mengesampingkan
ketentuan dalam Al-Quran dan Hadits mengenai sakralitas nasab demi
mengapresiasi hak keperdataan sebagai hak asasi bagi setiap anak.
Baik Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg maupun Putusan
Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn, keduanya tidak mengantisipasi dampak
destruktif produk hukumnya terhadap hak nasab. Mengesahkan hubungan anak-
bapak antara anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya telah
116
membangun generalisasi hubungan keperdataan, sehingga berkonsekuensi
destruktif pada sakralitas hubungan nasab. Dampak destruktif tersebut tidak
seharusnya terjadi apabila majelis hakim memperhatikan beberapa ayat Al-Quran
dan Hadits membahas tentang nilai sakralitas nasab. Majelis hakim tidak
menyentuh sama sekali beberapa komponen dalil naqli tentang sakralitas nasab;
baik dalam pertimbangan secara tertulis maupun penjelasan secara lisan.
Sebagai perbandingan, dengan pendekatan deduksi (istidla>l), sebenarnya
sudah jelas mengenai sakralitas nasab. Al-Furqan ayat 54 menyatakan bahwa
Allahlah yang yang telah menciptakan manusia dari air, lalu Tuhan menjadikan
manusia mempunyai keturunan dan mushaharah40. Berdasarkan amanat surat
tersebut, logikanyanya adalah karena nasab merupakan anugerah Allah, maka
ketika seseorang melahirkan anak tidak melalui mekanisme yang ditentukan
Tuhan, anak tersebut tidak bisa mendapatkan sesuatu yang menjadi anugerah
istimewa dari Allah.
Allah juga menyatakan tentang sakralitas nasab dalam ayat yang lain.
Pemberian nasab bukanlah kewenangan bebas manusia semata. QS. Al-Ahzab
ayat 4 – 5 menceritakan tentang ketegasan Allah melarang Nabi-Nya sendiri
untuk menjadikan anak angkatnya selevel dengan anak kandung. Ayat tersebut
menyatakan bahwa Allah tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak
kandung (sendiri). Yang demikian itu hanyalah kemauan manusia semata.
Berdasarkan ayat ini, logikanya adalah memanggilkan ayah angkat sebagai ayah
kandung saja tidak diperbolehkan oleh Islam, apalagi memanggilkan ayah bagi
laki-laki yang telah membuahi ibu (anak tersebut).
وهو الذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا وكان ربك قديرا 40
117
Melalui pendekatan deduktif (istidla>l) lagi, nilai sakralitas nasab juga bisa
disimpulkan dari sabda Nabi, yang kekuatan dalilnya setara dengan wahyu. Hadits
tersebut menunjukkan betapa tidak adanya kemungkinan bagi anak hasil zina
untuk mendapatkan hubungan keperdataan dengan laki-laki yang membuahi
ibunya. Rasulullah Saw menyatakan bahwa anak adalah bagi pemilik kasur/suami
dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu.
Secara tegas, hadits ini menjelaskan bahwa status anak hanya bisa dikaitkan
dengan pemilik kasur (tempat tidur), sedangkan orang yang berzina mendapat
kerugian.
Dua ayat dan satu hadits di atas bisa dikatakan sebagai dalil naqli (ilahi)
tentang nasab. Beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah hubungan nasab bukan
semata-mata hasil penalaran akal. Manusia tidak mempunyai kewenangan bebas
dalam menentukan nasab. Hubungan nasab hanya diberikan kepada keturunan
dari para pihak yang hubungan badannya dilaksanakan sesuai ketentuan syari’at.
Pendekatan deduktif di atas tidak dipergunakan, baik oleh majelis hakim
dalam Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn maupun Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg. Mereka lebih memilih pertimbangan di luar
teks (putusan yang pertama menjadikan pengakuan sebagai dasar kesimpulan,
sedangkan penetapan yang kedua menjadikan bukti test DNA sebagai dasar
kesimpulan hukum).
Berikut adalah pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor:
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn dalam bentuk aslinya:
“Menimbang, bahwa fakta-fakta yang telah terbukti sebagaimana pertimbangan tersebut di atas telah memenuhi Pasal 3 Undang-undang
118
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak......,maka oleh karenanya permohonan Pemohon dapat dikabulkan. Menimbang, bahwa karena permohonan, pengakuan Pemohon terhadap anak bernama RDAN tersebut dikabulkan , maka harus ditetapkan bahwa anak bernama RDAN, adalah diakui sebagai anak syah dari Pemohon dan Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon”. Selanjutnya, berikut adalah pertimbangan majelis hakim dalam Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg. dalam bentuk aslinya:
“Menimbang bahwa berdasarkan bukti P.9, telah terbukti Pemohon I dan Pemohon II sekaligus putranya yang bernama NPS telah dites Deoxyribo Nucleid Acid (DNA).....memberi petunjuk bahwa sel-sel yang ada pada Pemohon I dan Pemohon II telah sesuai dengan sel sel yang ada pada anak yang bernama NPS.............dengan demikian dapat disimpulkan anak laki laki yang bernama NPS yang lahir di Malang pada tanggal 31 Agustus 2001 adalah anak biologis Pemohon I dan Pemohon II (PJS dan WS)”
Pendekatan liberal ini berbeda dengan tekstual. Kalau kesimpulan
berdasarkan pendekatan pertama memberi pemahaman bahwa anak adalah bagian
dari hak asasinya, sementara kesimpulan berdasarkan pendekatakan kedua
memberi pemahaman bahwa posisi anak tergantung kepada keabsahan
pernikahan, termasuk hak keperdataannya. Sebagai pembanding, argumentasi dan
proses ijtihad Syaikh 'Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di bisa menjadi contoh yang
tepat penggunaan deduksi. Berdasarkan hadits di atas, menurutnya, ketika seorang
perempuan telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak perempuan,
kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi milik pemilik
firâsy (as-Sa’di,1968: 530-532). Yang dimaksud firasy di sini adalah keberadaan
perempuan yang sudah dimiliki oleh seoarng laki-laki (suami) secara sah
(Jurjani,tt: 139), atau dalam bahasa lain bermakna laki-laki yang memiliki istri
atau budak perempuan yang sudah pernah digaulinya (Ibnu Hajar,1421H: 32-33).
119
Menurutnya, hadits nabi tersebut telah melahirkan suatu kaidah umum.
Barang siapa yang istrinya melahirkan sesuatu (individu) dari keberadaaanya
maka dia langsung bisa mengakuinya. Kata “istri” di sini bermakna perempuan
yang keberadaannya dengan laki-laki yang membuahinya telah terikat dalam akad
yang sah. Makna kata “mengakui” dalam kalimat yang sama bermaksud “menjadi
anak yang sah” (Utsaimin, 1428 H: 307-310). Ketentuan ini bermakna bahwa
hanyalah anak yang terlahir dari sebuah perkawinan sah yang secara otomatis
langsung mendapatkan hubungan nasab dari ayahnya; tanpa memerlukan
pengakuan atau cara-cara penentuan nasab lainnya.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, penulis mencoba mengeksplorasi
lebih jauh. Menurut pemahaman penulis, keotomatisan tersebut berangkat dari
logika bahwa tidak ada yang berhak memiliki kasur (tempat tidur) tersebut kecuali
oleh si pemakai (perempuan yang meniduri); kemudian tidak ada yang berhak
memiliki pemakai kasur (perempuan yang meniduri) kecuali suaminya sendiri.
Oleh sebab itu, jika si perempuan mengalami hamil akibat berhubungan dengan
laki-laki yang belum menjadi suaminya, anak tersebut tidak bisa menjadi milik
bagi laki-laki yang menghamili ibunya. Hubungan badan yang dilakukan
perempuan (yang sebagai ibu kandung anak zina tersebut) dengan laki-laki (yang
bukan suami sah perempuan tersebut) bukanlah hubungan yang sah. Hubungan
tersebut adalah hubungan yang ilegal. Pengistilahan tersebut sesuai dengan
penyebutan bagi orang selingkuh atau orang berzina yang selama ini berkembang
di masyarakat, yakni “maling, yang berarti meniduri perempuan secara tidak sah”.
Karena laki-lakinya berstatus maling (melakukan hubungan badan tidak sah),
anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepadanya.
120
Pertimbangan lain sebagai alasan menggunakan pendekatan deduktif
(istidla>l) dalam menyikapi status anak hasil zina adalah dalam rangka menerapkan
strategi preventif (sadd az\-z\ari@’ah) mencegah membludaknya kasus zina. Dalam
sebuah ayat, Allah telah menegaskan strategi preventif mencegah perbuatan zina.
Al-Isra ayat 32 secara implisit mengisyaratkan begitu berbahayanya perbuatan
zina, dengan memberikan preventif (sadd az\-z\ari@’ah) bagi manusia untuk tidak
mendekati zina. Karena zina sangat berbahaya, Al Quran sudah memprevensi
agar seluruh umat Islam menjauhi bahkan hal-hal yang mendekatkan diri kepada
zina sekalipun.
Berkaitan dengan strategi preventif (sadd az\-z\ari@’ah) mencegah zina,
hukuman atas pelaku perzinaan dan konsekuensi hukum yang timbul akibat
perzinaan harus ditegakkan dengan tegas. Memberikan hubungan keperdataan
kepada anak hasil zina, sementara di sisi lain, Islam dengan tegas melarang
mendekati zina, dengan demikian menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Kalau
melarang perbuatannya, berarti harus konsisten memperlakukan orang yang
melanggar tersebut. Tidak boleh karena kasihan lalu tidak menerapkan aturan
yang telah dibuatnya sendiri.
Sebagai bagian dari ketegasan hukum Islam, hadits Nabi yang lain juga
menegaskan secara eksplisit bahwa anak hasil zina hanya mempunyai hubungan
nasab kepada ibunya. Hadits yang diriwayatkan Dawud menyatakan bahwa Nabi
saw bersabda tentang anak hasil zina “mereka adalah bagi keluarga ibunya”41.
Sebagai konsekuensi terputusnya hubungan nasab, hukum Islam juga
memutuskan hubungan waris. Sebuah Hadis Nabi telah menerangkan tidak
رواه أبو داود" . لأهل أمه من كانوا" قال النبي صلى االله عليه وسلم في ولد الزنا 41
121
adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang
mengakibatkan kelahirannya. Hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari ‘Amr bin
Syu’aib menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda “setiap orang yang
membuahi perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak
hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan”42. Dalil di atas bisa ditempatkan
sebagai dalil menegaskan adanya hubungan beratnya konsekuensi yang dipikul
oleh anak sebagai hasil perzinaan dengan pesan peringatan kepada masyarakat
luas untuk tidak sekali-kali mencoba mendekati bahkan melakukan perzinaan.
Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan pendekatan liberal, hakim yang
menangani perkara Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan
Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn menolak pesan preventif (sadd az\-z\ari@’ah)
mencegah merebaknya perzinaan melalui hukuman terhadap anak. Menurutnya,
ketentuan tentang zina dalam Al-Quran bertujuan untuk orang yang melakukan
zina. Sementara itu, beratnya hukuman zina tidak secara otomatis harus dijadikan
bangunan perspektif untuk memberi hukuman yang sama beratnya kepada anak
hasil zina. Berdasarkan pertimbangan tersebut, mengikuti pemikiran hakim,
majelis hakim telah menyimpulkan bahwa tidak sepantasnya RDAN dan NPS
menanggung hukuman berupa kehilangan hak keperdataannya karena kesalahan
orang tua. Meskipun dia lahir di luar perkawinan yang sah, sebagai bagian dari
jiwa yang mempunyai hak asasi, dia juga harus diberikan hak hubungan
keperdataannya. Singkatnya, anak hasil zina tidak sepatutnya menerima perlakuan
diskriminasi akibat peristiwa zina bapak-ibunya, yang mana dia sendiri (anak
رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث أيما : " عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول االله صلى االله عليه وسلم قال 42
سنن الترمذى -رواه الترمذى
122
hasil zina) tidak menghendaki lahir dari peristiwa tersebut sekaligus tidak tahu-
menahu mengenai konsekuensi peristiwa tersebut.
Pembedaan tersebut bertujuan untuk menggunakan langkah konstruktif
peran hukum sebagai sarana rekaya sosial untuk melindungi pihak yang lemah
(dalam hal ini anak luar kawin). Penggunaan metode yang bertolak dari realitas
empiris (bahwa anak hasil zina juga mempunyai hak asasi) telah mendorong
penyimpulan hukum yang menguntungkan anak hasil zina. Berdasarkan metode
tersebut, bangunan konstruksi hukumnya adalah kesimpulan mengenai urgensinya
perlindungan anak.
Perlindungan yang dimaksud seperti tertuang dalam Pasal 13 UU
Perlindungan Anak, yakni ayat (1) mencakup perlindungan dari diskriminasi,
eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan,
dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya; dan ayat (2)
menjelaskan bahwa orang tua, wali atau pengasuh anak harus dikenakan
pemberatan hukuman jikalau melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1). Kata “orang tua” dalam Pasal 13 UU Perlindungan
Anak telah dimaknai sebagai orang tua secara biologis sejauh dapat dibuktikan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti sah lain menurut hukum.
Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn telah berlebihan dalam beristislahi liberal. Tidak adanya
pengkategorian hubungan hak apakah yang diberikan kedua putusan tersebut
kepada RDAN dan NPS sebagai anak hasil zina mengkonsekuensikan hubungan
sempurna. Padahal, terdapat hubungan hak yang tidak lahir semata-mata karena
123
pertimbangan rasional dan terdapat hak yang memang bagian dari pertimbangan
rasional.
Generalisasi hubungan justru melahirkan dampak yang kontraproduktif,
yang mana secara otomatis langsung mempengaruhi munculnya kontradiksi antara
mafsadat dan masalahat. Kalau hak hubungan keperdataan diberikan secara
sempurna (meliputi hak nafkah, nasab, waris dan perwalian), pemberian level ini
mendatangkan konflik antara kemaslahatan (terpenuhinya semua hak hubungan
keperdataan anak zina) dan kemafsadatan bagi kesucian ritus pernikahan
(tersamakannya hak mereka dengan anak sah). Apabila keadaannya seperti ini,
induksi yang dilakukan para hakim dalam perkara Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn gagal menempatkan secara proporsional manakah yang seharusnya
hakim harus tetap berpegang teguh kepada pertimbangan wahyu (naqli/tekstual)
dan manakah yang memungkinkan hakim bisa beralih kepada pertimbangan akal
(aqli/rasional).
2. Problem Relevansi Dalil dan Pengesampingan Moralitas
Pengesampingan relevansi dalil selama proses ijtihad Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn bisa dilihat dalam pertimbangan dalil yang digunakan majelis
hakim. Dalam perkara Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg, proses
liberalisasi ijtihad (pengesampingan relevansi dalil) ditunjukkan dengan
mengesampingkan hadits tentang terputusanya nasab anak hasil zina dari laki-laki
yang membuahi ibunya. Sebagai gantinya, majelis hakim lebih memilih hadits
124
dari Abu Hurairah mengenai kefitrahan setiap anak dan test DNA untuk
menyambungkan kembali hubungan tersebut.
Dengan pertimbangan rasio yang logis, dalam rangka menjaga spirit
perlindungan anak, Abdul Qodir menganjurkan untuk melihat pula hadits lain
mengenai kesucian anak. Dia menunjukkan hadits yang dikutip majelis hakim.
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim dari Abu Hurairah menyatakan
bahwa Nabi saw bersabda “setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah”. Berangkat
dari hadits tersebut, dia meyakini kebenaran putusannya dalam rangka melindungi
hak anak.43
Penggunaan hadits tersebut masih terbuka untuk dipertanyakan
relevansinya. Kalau dilihat redaksi hadits tersebut secara utuh, hadits tersebut
tidak berbicara mengenai hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya.
Hadits ini secara spesifik berbicara mengenai hubungan akidah anak dengan orang
tua. Redaksi lengkap hadits tersebut adalah:
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR al-Bukhari dan Muslim)44
Liberalisasi pertimbangan hukum juga ditunjukkan oleh putusan hakim
yang menangani perkara Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn. Hakim
mengesampingkan hadits tentang terputusanya nasab anak hasil zina dari laki-laki
yang membuahi ibunya. Sebagai gantinya, majelis hakim lebih memilih
pengakuan pemohon untuk menyambungkan kembali hubungan tersebut. Untuk
43 Wawancara dengan Drs.Abdul Qodir, SH. MH (hakim yang dulu memeriksa Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg ) di Pengadilan Agama Kota Surakarta pada 29 April 2014 Pukul 09.00 WIB.
رواه . كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه صلى االله عليه وسلم قال النبي رضي االله عنه قال أبي هريرة عن 44 البخارى ومسلم
125
menguatkan rasionalisasi, hakim telah mengambil ayat lain yang bisa mendukung
justifikasinya. Sayangnya ayat ini tidak ditemukan dalam salinan putusan. Tetapi
dari pengakuan hakim saat wawancara, sebenarnya pada saat diskusi, majelis
hakim juga mempertimbangkan ayat tersebut sebagai dasar justifikasi urgensi
perlindungan anak. Ayat tersebut berbicara sekitar bahwa “seseorang tidak
memikul dosa orang lain” (QS. Al-Zumar: 7 dan QS. Al-An’am : 164).45
Lanjarto juga menambahkan bahwa Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn tersebut juga berdasarkan kepada pendapat Ibnu Taimiyah. Dia
tidak bisa menceritakan secara persis argumentasi Ibnu Taimiyah dalam
memberikan pemikiran yang menguntungkan anak hasil zina. Setelah melacak
dari berbagai literatur, penulis menemukan pemikiran Ibnu Taimiyah yang
dimaksud. Dalam sebuah kitabnya, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
sebenarnya ada dua pendapat dalam menyikapi hal ini. Pendapat yang pertama
adalah pendapat mayoritas yang tidak memberikan hubungan antara anak hasil
zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya. Pendapat yang kedua mengatakan
bahwa anak zina bisa diberikan pengakuan kepada laki-laki yang membuahi
(ibunya) jika laki-laki tersebut meminta pengakuan. Hal ini adalah pendapat Ibnu
Sirin, Nakhai, Hasan Basri, Ishaq bin Rahawiyah. Inilah pendapat yang dipilih
oleh Ibnu Taimiyah serta oleh muridnya bernama Ibnu Qoyyim (Ibnu Taimiyah,
1429H: 185-186). Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar
bin Khathab dengan redaksi: “Umar bin al-Khaththab dahulu menasabkan anak-
anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam”46.
كم مرجعكم ولا تزر وازرة وزر أخرى ثم إلى رب 45
كان يليط أولاد الجاهلية بمن ادعاهم في الإسلام -رضي االله عنه -أن عمر بن الخطاب 46
126
Akan tetapi, menurut penulis, pernyataan Ibnu Taimiyah yang dikutip
Lanjarto tersebut perlu diuji ulang relevansinya. Ada hadits yang menyatakan
telah lewatnya urusan Jahiliyah semenjak Islam datang. Riwayat Abu Daud dari
‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dan kakeknya menceritakan: ada seseorang
bertanya kepada Rasulullah “Ya Rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya,
saya membuahi ibunya ketika masih masa jahiliyyah”. Ternyata Rasulullah saw
menjawab bahwa tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di
masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang
melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)47.
Berdasarkan analisis di atas, majelis hakim yang memeriksa perkara
Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn bisa dikatakan lebih cenderung menggunakan semangat liberalisasi
pertimbangan dibanding dengan menggunakan dalil yang otoritatif. Oleh sebab
itu, kesimpulan hukum yang diputuskan telah membawa perspektif bertolak-
belakang dibanding pemikiran fukaha’. Liberalisasi menyebabkan
pengesampingan unsur sakralitas. Dengan terjerumus pada liberalisasi, hakim
gagal mengkompromikan kedudukan unsur profanitas (kemanusiaan) di hadapan
sakralitas. Hakim cenderung hanya mengesampingkan unsur sakralitas atas nama
perlindungan terhadap hak asasi anak.
Di samping masalah relevansi dalil, Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn menyimpan konflik masalah relevansi penggunaan kaidah fikih.
لجاهلية، فقال رسول االله صلى االله يا رسول االله، إن فلانا ابني، عاهرت بأمه في ا: قام رجل فقال: عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال 47
رواه أبو داود. لا دعوة في الإسلام، ذهب أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر: عليه وسلم
127
Ketika mayoritas fukaha’ memilih tidak ada hubungan nasab, waris dan perwalian
antara anak hasil zina dengan laki-laki yang sebagai laki-laki yang membuahi
ibunya, ijtihad semacam itu bisa dihubungkan dengan kaidah fikih yang
menyatakan bahwa “tidak ada ijtihad di hadapan nash”48 (Fatwa MUI).
Sementara itu, majelis hakim memakai kaidah lain yang masih perlu
dipertanyakan relevansi penerapannya dalam menangani status anak hasil zina.
Sebagai contoh, majelis hakim yang menangani perkara Putusan Nomor:
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn menggunakan kaidah fikih “hukum itu mengikuti
kemaslahatan yang ada”49. Sebenarnya kemaslahatan yang dimaksud di sini
adalah kemaslahatan personal anak hasil zina. Seharusnya keinginan
mengakomodasi kemaslahatan personal anak zina perlu disinkronkan dengan
kemaslahatan yang dimaksud dalam kaidah fikih lainnya yang berbunyi
“menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat”50, dan
“kerugian yang bersifat khusus (satu anak hasil zina) harus ditanggung untuk
menghindarkan bahaya yang bersifat umum (tidak adanya pembelajaran preventif
‘sadd az\-z\ari@’ah’ pencegahan zina)”51.
Selanjutnya ketika mayoritas fukaha’ sepakat tidak ada hubungan yang
serupa antara anak zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya, ijtihad semacam
لا اجتهاد في مورد النص 48
الحكم يتبع المصلحة الراجحة 49Dalam hal ini, terjemahan majelis hakim Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn kurang
akurat, karena “rajih” di sini bermakna kuat tidak hanya “yang ada” م على جلب المصالح 50 درء المفاسد مقد
Dalam hal ini, alasan lebih mengutamakan menghindari mafasadat karena kerusakan akan meluas dan menjalar ke mana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. (Abdurrahman, tt: 75)
يـتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام 51Dalam hal ini, alasan lebih mengutamakan kemudharatan kusus adalah untuk melokalisasi
atau menekan sedikit mungkin dampak destruktifnya (Abdurrahman, tt: 133-134).
128
itu bisa dimaknai sebagai upaya fukaha’ untuk tidak terpaksa mendatangkan
maslahat yang sebenarnya juga sekaligus membawa madharat. Pilihan seperti ini
sesuai dengan kaidah “bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan
bahaya yang lain”52(Suyuthhi, 1965: 113), “menghindarkan mafsadat lebih
didahulukan atas mendatangkan maslahat”, dan “kerugian yang bersifat khusus
(satu anak hasil zina) harus ditanggung untuk menghindarkan bahaya yang
bersifat umum (tidak adanya pembelajaran preventif ‘sadd az\-z\ari@’ah’ pencegahan
zina)”.
Tiga kaidah fikih di atas mengandung tuntutan sikap yang idealnya harus
dipilih majelis hakim dalam menghadapi paradoks antara maslahat dan mafsadat,
antara ketegasan dan toleransi. Ketika suatu hukum secara tegas membebani
seseorang (pemutusan hubungan membawa situasi yang sulit bagi anak hasil
zina), maka tidak seharusnya ada upaya mentoleransinya (menyambungkan
kembali hubungan tersebut).
Dalam rangka menghadapi paradoks antara mafsadat dan maslahat, ijtihad
hukum yang seharusnya dilaksanakan demi mengaplikasikan prinsip hukum ideal
adalah: pertama, bahaya (terputusnya hubungan anak hasil zina) itu tidak boleh
dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain (merusak sakralitas
perkawinan); kedua, menghindarkan mafsadat (merusak sakralitas perkawinan)
harus lebih didahulukan atas mendatangkan maslahat (memberikan hubungan bagi
anak hasil zina); dan ketiga, kerugian yang bersifat khusus (terputusnya hubungan
anak hasil zina) harus ditanggung untuk menghindarkan bahaya yang bersifat
الضرر لا يـزال بالضرر 52Prinsip yang diajarkan oleh kaidah ini adalah larangan menghilangkan kemadharatan
dengan kemadharatan lain yang sepadan. Menurut penulis, sepadan dan madharat yang lebih tinggi.
129
umum lebih luas (rusaknya sakralitas perkawinan dan potensi membuka
keberanian masyarakat luas melakukan zina).
Selain masalah relevansi dalil dan penggunaan kaidah fikih, Putusan
Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn dan Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg mempunyai masalah konflik antara dimensi
moral dan hukum. Kalau melihat pertimbangan pemikiran fukaha’ tentang status
anak hasil zina, ijtihad mereka tidak semata-mata dalam kerangka mendeduksi
hukum tetapi juga dalam kerangka mempertimbangakan moral. Selain merupakan
dosa yang besar, Islam memandang zina sebagai perbuatan yang amat amoral.
Sementara itu, kalau melihat pertimbangan majelis yang memeriksa perkara
Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn, terlihat misi yang dibawanya semata-mata untuk kepastian hukum
anak.
Pertimbangan moral dalam hukum agama sangatlah penting. Ini
disebabkan karena salah satu pondasi yang sangat krusial dalam beragama adalah
moral. Sebagai contoh pertimbangan pengutusan Nabi untuk menyempurnakan
akhlak, pertimbangan malu adalah sebagian dari iman. Peringkat analisis yang
fundamental untuk menentukan baik buruknya aturan hukum atau sistem hukum
adalah peringkat analisis moral. Kriteria untuk mengevaluasi hukum positif dapat
ditemukan dalam peringkat berpikir moralitas.
Pemikiran fukaha’ tentang kedudukan anak hasil zina adalah
sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang
belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya). Hukum Islam
menjelmakan prinsip-prinsip pelaksanaan undang-undang yang ketat atas
130
moralitas seksual dalam hukuman yang berat yang ditentukan bagi pelanggaran
zina atau persetubuhan di luar nikah.
Zawajir dan mawani’ tersebut terkait dengan strategi keteladanan.
Keteladanan adalah mencontohkan apa yang harus dilakukan dan tidak melakukan
hal-hal yang tidak boleh dilakukan, baik karena keterikatan kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku maupun karena limitasi yang ditentukan oleh
nilai-nilai moral, etika, dan sosial. Oleh karena itu, keteladanan diartikan sebagai
hal-hal yang patut diambil pelajaran dari suatu peristiwa.
Keteladanan dalam penegakan hukum merupakan bagian yang sangat
penting. Keteladanan tersebut merupakan metode yang paling meyakinkan
keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral spiritual dan sosial
masyarakat. Otoritas yang ada pada pembuat dan penegakan hukum seharusnya
dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri
kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan
formal. Memang dalam konstruksi hukum positif Indonesia, masalah moralitas
belum mendapatkan perhatian yang seirus. Sebagai contoh adalah perbedaan
pengertian zina antara definisi yang dipegangi oleh KUH Pidana dengan konsep
yang dipakai oleh hukum Islam.
Karena itu, seharusnya apa pun perintah yang datang dari al-Quran dan
Hadits wajib ditaati, terlepas bagaimana perdebatan nantinya dalam
mengkonstruksikan aspek moralitas dalam hukum. Sebaliknya, apa saja yang
diatur dalam peraturan hukum positif seharusnya harus selalu beregang kepada
perintah Allah dalam al-Quran. Syari’ah Islam adalah kode hukum dan kode
moral sekaligus. Ia merupakan suatu pola yang luas tentang tingkah laku manusia
131
yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi; sehingga garis pemisah
antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti
dalam masyarakat Barat pada umumnya. Itulah sebabnya mengapa, misalnya,
kepentingan dan signifikansi semacam itu melekat pada keputusan ulama
mengenai masalah sekarang ini, seperti alat pengontrol pencegah kehamilan.
Islam juga benar-benar memperhatikan perbedaan, dalam tingkah laku seksual
yang sempit, antara peraturan yang ditegakkan dengan hukum seperti yang
diaplikasikan di pengadilan dan peraturan yang sanksinya sampai di hari kiamat
(Muslehuddin, 1997 :179).
Dalam penggunaan kaidah fikih, penulis berpendapat seharusnya majelis
hakim menggunakan kaidah fikih yang bertujuan menerapkan sikap preventif
‘sadd az\-z\ari@’ah’ atas potensi mafsadat sosial (tidak adanya pembelajaran bagi
perzinaan) meskipun harus mengorbankan maslahat personal (hubungan nasab,
waris dan perwalian anak hasil zina). Semangat ini sesuai dengan kaidah fikih
yang mengatakan bahwa “segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat
mungkin”53 (Abdurahma, tt:84). Selain itu, pilihan tersebut juga bisa
dihubungkan upaya preventif ‘sadd az\-z\ari@’ah’ agar muncul tidak ada lagi yang
berani melakukan zina. Strategi preventif (sadd az\-z\ari@’ah) dalam hukum Islam
tersebut sesuai dengan bunyi kaidah fikih “pada dasarnya, di dalam larangan
tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut54”
(Fatwa MUI), dan “hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan
مكان 53 الضرر يدفع بقدر الإ
الأ صل في النهي يقتضي فساد المنهي عنه54
132
dituju55” (Fatwa MUI). Preventif (sadd az\-z\ari@’ah) tersebut mengandung arti
sekaligus tujuan untuk menghindarkan sebanyak mungkin orang memikul
kerusakan, yakni peringatan bagi pelaku zina dan akibat yang dihasilkan oleh
perbuatan tersebut; pelakunya mendapatkan hukuman-dosa, sedang anak yang
dilahirkan tidak mendapat hak seperti anak sah pada umumnya.
C. Tawaran Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan hukum
Sebagaimana penjelasan sub bab seselumnya, kesimpulan hukum mengenai
status anak hasil zina yang dihasilkan oleh majelis hakim menuai konflik terhadap
prinsip munakah}a>t Islam. Kedua putusan tersebut telah menyatakan anak hasil
zina sebagai anak dari laki-laki yang membuahi ibunya dengan pertimbangan
perlindungan anak. Sebenarnya perlindungan anak zina tetap bisa dilaksanakan
tanpa harus mengesahkan hubungan bapak-anak antara anak hasil zina dengan
laki-laki yang membuahinya. Berikut adalah tawaran dari penulis.
1. Tawaran Metode Istinbat{{
Mengoeprasionalkan maslahah mursalah tersebut adalah menjadikan
maqa>s}id syari>’ah sebagai metode dan tidak sekedar doktrin. Kelemahan
metodologis majelis hakim di atas harus diperbaiki. Sebagai metode istinbat{{
alternatif, istislahi yang tekstual dan berdasarkan maslahah mursalah diasumsikan
mampu mengatasi keterbatasan metode istinbat{{ majelis hakim di satu sisi dan
munakahat Islam di sisi lain. Selanjutnya karena ide tersebut masihlah konsep
yang abstrak, Yudian menyarankan aplikasinya melalui penggunaan maqa>s}id
syari>’ah sebagai metode. Prinsip dialektika di sini adalah kemaslahatan
للوسائل حكم المقاصد 55
133
seharusnya dilihat dalam kepentingan komprehensif dan holistik. Upaya tersebut
tidak mungkin terlaksana kecuali dengan menggunakan maqa>s}id syari>’ah sebagai
metode. Alasan mengapa perlu dilihat sebagai metode adalah berdasarkan
pengalaman selama ini; maqa>s}id syari>’ah hanya akan menawarkan maslahat
parsial kalau hanya dilihat sebagai doktrin.
Penggunaan maqa>s}id syari>’ah harus diterapkan dalam bentuk metode
bukan sekedar doktrin. Selama ini penggunaan maqa>s}id syari>’ah hanya berhenti
kepada doktrin. Kelemahan mereka yang menganggap maqosid syari’ah sebagai
doktrin adalah mereka gagal mengelaborasi maqa>s}id khomsah (perlindungan
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan) sebagai suatu tujuan yang terintegrasi.
Mereka justru menggunakan maqa>s}id khomsah tersebut secara dikotomis56.
Sebagai contoh penggunaan maqa>s}id syari>’ah yang hanya sebagai doktrin
adalah melihat persoalan hukum dengan memprioritaskan sebagian dengan
mengabaikan elemen lain. Yudian mencontohkan tentang olah raga. Olah raga
selama ini hanya dipahami sebagai instrumen mengalipaksikan maqa>s}id khomsah
dalam tataran perlindungan jiwa (kesehatan) semata. Padahal point tersebut juga
mencakup perlindungan bagi keturunan, akal, harta dan bahkan agama sekalipun.
Seorang yang sakit karena tidak pernah olah raga, dia mengalami kerugian
beruntun seperti harus berobat (harta), impoten (keturunan), tidak maksimal
belajar (akal) dan tidak maksimal beribadah (agama). Oleh sebab itu, dengan
memaknai maqa>s}id syari>’ah sebagai metode, Yudian menyimpulkan, jika
seseorang berolahraga dengan niat menjaga perlindungan maqa>s}id khomsah
56 Wawancara dengan Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D pada tanggal 11 Mei 2014 Pukul 20.00
WIB.
134
sebagai bagian terintegrasi, kemudian di tengah jalan mendapat kecelakaan, maka
dia mati dalam keadaan syahid yang sama kedudukannya seperti orang gugur
dalam berjihad57. Melihat manfaat olah raga yang sama besarnya dengan manfaat
jihad, anugerah bagi orang yang mengalami kecelakaan olah raga tidak boleh
diberlakukan secara diskriminatif dari anugerah orang yang mengalami
kecelakaan jihad. Ide penggunaan maqa>s}id syari>’ah sebagai metode yang
disarankan Yudian di atas senafas dengan maqa>s}id syari>’ah sebagai pendekatan
sistem versi Jasser Audah. Paling tidak memincam pendekatan sistemnya Jasser
Audah, sebuah kemaslahatan yang diproyeksikan mujtahid harus dikonsepsikan
secara utuh dan multidimensi (2008: 250).
Berdasarkan contoh yang dikemukakan Yudian, kemudian dihubungkan
dengan pertimbangan hukum dalam Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn, penulis melihat bahwa majelis hakim telah mengoperasionalkan
secara parsial atas penggunaan maslahat dalam menyimpulkan ijtihad. Majelis
hakim tidak melihat hubungan antara maslahat yang direncanakan oleh “amar
putusan yang dibuatnya” dengan maslahat yang sebagai upaya menjaga sakralitas
munakah}a>t Islam”.
Sebagai aplikasi maslahah mursalah, kesimpulan ijtihad diproyeksikan
mendatangkan maslahat terintegrasi dalam perlindungan kepada maqosidul
khomsah sekaligus; tidak hanya bersemangat melindungi jiwa anak hasil zina,
harta anak hasil zina, masa depan (posisinya sebagai keturunan) anak hasil zina,
tetapi juga memperhatikan semangat sakralitas perkawinan (agama) dan
57 Wawancara dengan Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D pada tanggal 11 Mei 2014 Pukul 20.00 WIB.
135
pembelajaran bagi yang lain (akal). Dalam hal ini, kesimpulan ijtihad semacam itu
telah menyambungkan maslahat sesuai dalil naqli maupun aqli; atau
menyambungkan antara penalaran yang sesuai kemauan rasional dengan batasan
yang dikontrol oleh dalil tekstual.
Selain tawaran metodologis, kecermatan memilih dalil juga sangat
mempengaruhi keberadaan ijtihad. Dalam Penetapan
Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg, hadits yang diambil tidak berhubungan
dengan nasab. Setelah meninjau ulang bunyi hadits tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa hadits tersebut perlu mendapat kritik. Hadits “setiap anak
di lahirkan dalam keadaan fitrah” sebenarnya membahas kefitrahan anak dalam
level aqidah, karea memang terusan hadits tersebut adalah ... orang tuanyalah
yang menjadikan dia Majusi, Nashrani dan Yahudi. Dalil yang dipilih untuk
mendukung ijtihad terkesan dipaksakan sehingga kelihatan kurang relevan. Oleh
sebab itu, hadits yang dijadikan pertimbangan ijtihad harus berdasarkan kepada
hadits yang berbicara secara eksplisit hubungan antara anak hasil zina dengan
laki-laki yang membuahi ibunya.
Dalam Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn, ayat yang dikutip
adalah Surat An Nur Ayat 3; laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.58
Maksud ayat tersebut adalah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang
berzina, demikian pula sebaliknya. Ayat ini telah digunakan untuk mengambil
ك على المؤمنين الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذل 58
136
kesimpulan bahwa anak hasil zina boleh dihubungkan kepada laki-laki yang
membuahi ibunya karena ayat Al-Quran tersebut membolehkan laki-laki pezina
menikahi perempuan yang telah dizinainya. Logika seperti ini tentunya telah
menjadikan satu dalil untuk menghukumi dua perbuatan hukum yang sebenarnya
membutuhkan dalil sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, dalil yang dipilih haruslah ayat
Al Quran yang berbicara secara eksplisit tentang sakralitas nasab.
Kembali kepada tawaran metodologis, dalam menghadirkan maslahah
mursalah, kata-kata “perlindungan anak” tersebut tidak seharusnya digeneralisir.
Mujtahid harus menyeleksi spesifikasi perlindungan anak yang karakternya benar-
benar bisa diterima oleh lima maqosid syariah. Pertimbangan perlindungan anak
dan penggunaan kaidah “hukum mengikuti kemaslahatan yang rojih” harus
dilaksanakan seiring dengan pertimbangan sakralitas pernikahan dan kaidah
“menghindari kemafsadatan lebih diutamakan dibanding dengan mengambil
kemaslahatan”. Berangkat dari kesadaran tersebut, majelis hakim seharusnya
menemukan kebijaksanaan bahwa istilah “perlindungan anak” merupakan kata
umum yang mempunyai banyak macam dan jenis, yang terdiri dari: keberadaan
nasab, jaminan waris, jaminan perwalian, dan jaminan kemanusiaan (yang terdiri
dari biaya pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan lain-lain).
2. Tawaran Kesimpulan hukum
Sebagai buah dari tawaran dari metode istinbat{, kesimpulan hukum yang
ditawarkan adalah berbasiskan kemaslahatan umum. Yakni dimaksudkan untuk
mendatangkan kebaikan bagi banyak orang dan menjauhi kerusakan. Ukuran
utama mas}lah}ah adalah (1) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran
dalam Al Qur’an maupun hadis; (2) kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti;
137
(3) kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak (Zuhri, 2011: 161-
162).
Dengan demikian, penulis memilih Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012.
Menurut Penulis, fatwa tersebut telah membawa spirit perlindungan anak tanpa
melakukan destruktif terhadap prinsip munakah}a>t Islam. Berdasarkan semangat
kategorisasi hak59, rasionalisasi penerapan Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012
bisa dijelaskan berikut ini.
Kategorisasi di sini dimaksudkan untuk memberikan keadilan baik bagi
anak maupun kepada laki-laki yang membuahi ibunya, tentunya dengan koridor
tidak menabrak munakah}a>t Islam. Kategorisasi ini bermanfaat agar hukum tidak
hanya memberikan maslahat individual kepada anak yang bersangkutan, tetapi
juga memberikan maslahat jama’i (tetap sakralnya pernikahan dan menjadi
pembelajaran bagi masyarakat luas). Hubungan keperdataan yang diberikan
kepada anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya bukanlah
hubungan yang pada akhirnya menyamakan mereka sebagaimana anak sah.
Kategorisasi tersebut mencanangkan bahwa hak hubungan keperdataan
dalam diri anak hasil zina tidak bisa dilihat secara global. Ada hak yang kalau
tidak diberikan akan memberi dampak langsung dan konkrit bagi kehidupannya
(seperti pemenuhan kebutuhan hidup), yang disebut hak yang tidak bisa
ditangguhkan atau d}aru>riyat. Ada juga hak yang jika ditangguhkan tidak memberi
59 Berdasarkan karya pada makalah ujian komprehensif, penulis mengkritisi mengenai
bagaimana seharusnya memperlakukan Putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010. Salah satu saran yang penulis ajukan adalah kita harus mampu melakukan kategorisasi hak keperdataan yang tepat diberikan sesuai kategorisasi anak luar nikah. Kalau untuk anak hasil nikah sirri, berlakulah pemberian hak keperdataan. Akan tetapi kalau untuk anak hasil zina atau li’an, pemberian hubungan keperdataan sempurna tidak berlaku. Kategorisasi tersebut sangat diperlukan agar jangan sampai semangat perlindungan anak kontraproduktif terhadap semangat munakah}a>t Islam.
138
dampak langsung dan konkrit bagi kehidupannya, karena pada dasarnya piranti
hukum telah memberikan alternatif pemenuhannya (seperti hak nasab, perwalian
dan pewarisan), yang disebut hak yang bisa ditangguhkan atau h}a>jiyat.
Pemberian hak keperdataan yang sempurna terhadap anak zina justru
merupakan pelemahan terhadap prinsip munakah}a>t Islam. Ini artinya negara telah
sengaja mengabaikan hukum yang dibuatnya sendiri. Prinsip semula adalah jika
terdapat pelanggaran terhadap hukum yang dibuat negara, yang melanggar patut
mendapatkan hukuman pencabutan beberapa hak tertentu, yang asalkan tidak
sampai merugikan hak dasar. Oleh sebab itu, patutnya untuk anak zina tersebut,
negara cukup menjaga haknya hanya pada tingkatan untuk pemenuhan kebutuhan
hidup.
Melalui pemenuhan kebutuhan hidup kepada anak hasil zina, ijtihad
semacam itu telah sekaligus mencakup maqa>s}id khomsah, yakni jaminan
kehidupan (harta), pendidikan (harta), kesehatan (jiwa), masa depan (keturunan)
serta aktivitasya sebagai orang beragama (agama). Di samping itu, hak
pemenuhan kebutuhan hidup tidak bertentangan dengan sakralitas perkawinan
(sakralitas ajaran agama) yang hanya mencakup nasab, perwalian dan waris.
Melalui kategorisasi ini, anak hasil zina memang masih berhak
mempunyai hak keperdataan mengenai nafkah dan penghidupan sampai
menginjak masa remaja, tetapi tidak harus dipaksakan mendapatkan hak nasab,
perwalian dan pewarisan. Seorang anak tidak akan akan terganggu kebutuhan
hidupnya dan pendidikannya jika tidak mendapatkan hubungan penasaban
terhadap biologisnya, karena pada dasarnya masih bisa mendapatkan perhatian
139
dari laki-laki yang membuahi ibunya melalui pemberian hak pemenuhan
kebutuhan hidup.
Seorang anak juga tidak akan gagal pernikahannya kalau tidak
mendapatkan perwalian dari laki-laki yang membuahi ibunya, karena pada
dasarnya negara juga memberikan alternatif berupa wali hakim. Seorang anak
juga tidak akan mengalami kerugian tidak mendapatkan harta peninggalan dari
laki-laki yang membuahi ibunya, karena pada dasarnya ada alternatif pengalihan
harta peninggalan melalui wasiat wajibah atau hibah.
Pelarangan pemberian hak keperdataan sempurna kepada anak zina masih
dalam koridor yang normal. Pemberian hak keperdataan berupa pemenuhan
kebutuhan hidup saja sudah bisa menjawab kebutuhan hak d}aru>riyat. Oleh sebab
itu, tidak usah ada pemaksaan untuk memberikan hak keperdataan sempurna,
karena di satu sisi hanyalah hak h}a>jiyat, dan di sisi lain kontradiksi dengan
munakah}a>t Islam. Orang yang memberikan hak keperdataan sempurna
sebenarnya telah menjadikan d}aru>riyat terhadap hak yang sebenarnya h}a>jiyat dan
menjadikan h}a>jiyat terhadap hak yang sebenarnya d}aru>riyat (kesucian institusi
perkawinan).
Pemenuhan kebutuhan hidup dan wasiat wajibah sudah mencukupi
perlindungan terhadap jiwa, harta dan keturunan anak sekaligus tidak menghadapi
paradoks terhadap semangat perlindungan agama dan akal. Prinsipnya dalam usul
fikih adalah istis}lahi (penyimpulan hukum berbasis maslahat) harus kembali
dalam batasan sesuai Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’ (Ghazali, tt: 502); dan
perlindungan terhadap agama-akal-jiwa-harta-kehormatan haruslah menempatkan
urusan diniyyah sebagai pangkalnya (al-Syatibi, 1997: 32).
140
Prinsip lainnya adalah الضرر يـزال serta الضرر لا يـزال بالضرر, artinya bahaya harus
dihilangkan dan bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya
yang lain. (Suyuthhi, 1965: 113 dan Abdurrahman, 1992: 83-85). Perubahan
hukum terhadap anak luar nikah tanpa perkawinan tersebut harus didasarkan
kepada adanya solusi yang tidak membahawa bahaya lainnya. Di sini terdapat hak
pada anak hasil zina yang jika diberikan justru merusak sakralitas perkawinan
(nasab, perwalian dan pewarisan). Pemberian hak pemenuhan kebutuhan hidup
dan penggantian hak waris melalui wasiat wajibah masihlah logis dan tidak
mengancam sakralitas perkawinan sesuai Fatwa MUI.
Pemberian hubungan seperti ini tidak ada bedanya dengan keadaan
seseorang yang selalu membantu orang lain yang membutuhkan. Memberi
bantuan kepada pihak yang membutuhkan adalah perbuatan mulia dan anjuran
agama. Penulis menilai hubungan seperti ini pulalah yang berlaku antara anak
angkat dengan orang tua angkatya ataupun orang lain biasa. Mereka tidak
mempunyai hubungan nasab, perwalian dan bahkan pewarisan. Kalau pemenuhan
kebutuhan hidup dan harta peninggalan melalui wasiat yang ditujukan kepada
orang lain saja dihitung sebagai amal sholeh oleh Al-Quran dan Sunnah,
pemberian serupa kepada darah daging –yang malangnya tidak ada hubungan
nasab secara syar’iy– seharusnya dianggap lebih sholeh lagi.
Melalui pendekatan seperti ini, unsur kebaruan ijtihadnya adalah
kesimpulan hukum yang tetap memberikan hubungan tanggungjawab laki-laki
yang membuahi ibunya kepada anaknya yang hasil zina, akan tetapi tidak sampai
menimbulkan konflik terhadap munakah}a>t Islam. Melalui kategorisasi ini, penulis
141
juga berpendapat bahwa tidak sepatutnya hukum membebaskan sama sekali
hubungan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya. Sebagai
perbandingan, penulis tidak setuju dengan Putusan Nomor :
1308/Pdt.G/2012/PA.Bbs.
Singkat ceritanya putusan tersebut adalah sebagai berikut: Penggugat adalah isteri sah tergugat yang melangsungkan pernikahannya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kec. Brebes Kab. Brebes pada hari Selasa tanggal 01 Nopember 2011 sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 1850/003/XI/2011, tanggal 01 Nopember 2011. Sebelum perkawinan antara penggugat dengan tergugat dilangsungkan, penggugat dalam keadan hamil atau mengandung akibat pergaulan bebas dengan tergugat, yang untuk kemudian anak hasil hubungan dengan tergugat tersebut telah lahir pada 11 Desember 2010. anak tersebut sekarang dalam asuhan penggugat. Oleh sebab itu, penggugat mohon kepada majelis hakim agar memutuskan sebagai berikut: 1) mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya; 2) menetapkan jatuh talak satu ba’in sughro tergugat (tergugat) terhadap penggugat (penggugat); 3) menetapkan sebagai hukumnya anak tersebut adalah anak yang diakui dalam perkawinan antara penggugat dengan tergugat dan mempunyai hubungan keperdataan dengan tergugat; 4) menetapkan sebagai hukumnya hak asuh anak jatuh pada penggugat; 5) menghukum tergugat untuk membayar biaya kebutuhan hidup anak tersebut untuk setiap bulannya sebesar rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) secara terus menerus sampai anak tersebut berusia 21 tahun atau sudah menikah; 6) membebankan biaya perkara ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Akan tetapi, majelis hakim mengadili: 1) mengabulkan gugatan penggugat sebagian; 2) menjatuhkan talak satu bain sughro tergugat (tergugat) terhadap penggugat (penggugat); 3) menyatakan gugatan penggugat selain dan selebihnya tidak dapat diterima; 5) membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar rp. 341.000,- (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah).
Putusan tersebut pastinya mengindikasikan semangat anti perlindungan
anak. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang telah membuahi seorang
perempuan, yang kemudian pembuahan tersebut menjadi seorang anak secara
142
nyata, lalu hukum tidak memberi hukuman bagi laki-laki tersebut untuk
mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut? Bagaimana mungkin hukum justru
hanya memberi pembebanan kebutuhan hidup tersebut kepada seorang perempuan
sendirian?
Sebagai pembanding, di bawah ini terdapat contoh dua putusan pengadilan
yang telah membedakan antara hak yang sakral dengan yang berdimensi
kemanusiaan bagi anak hasil zina.Yang masuk kategori pertama adalah adalah
hubungan nasab, perwalian, dan waris. Sementara hak yang masuk kategori kedua
adalah pemenuhan kebutuhan hidup dan wasiat.
Bedasarkan salinan Penetapan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA JS diperoleh
informasi bahwa para pemohon adalah pasangan suami isteri yang telah
melangsungkan pernikahan menurut agama Islam pada tanggal 31 Maret 2013
dan telah dicatat pernikahannya di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran
Lama. Pada tanggal 02 Maret 2013, yakni 29 hari sebelum pernikahan tersebut
diatas, Pemohon II (perempuan) telah melahirkan seorang anak perempuan hasil
hubungannya dengan Pemohon I (laki-laki). Dalam Kutipan Akta Kelahiran No.
171/KLU/DINAS/2013 tertanggal 19 Juli 2013, Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa anak tersebut hanyalah
adalah anak hanya dari seorang ibu yaitu Pemohon II. Oleh sebab itu, mereka
memohon penetapan anak perempuan yang lahir pada tanggal 02 Maret 2013
sebagai anak dari Pemohon I dan Pemohon II.
Kesimpulan hukum oleh majelis hakim yang menandakan semangat
kategorisasi hak keperdataan anak zina adalah pemisahan antara tanggungjawab
pemenuhan kehidupan sehari-hari dengan hubungan nasab. Majelis hakim pada
143
Penetapan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA JS menetapkan anak yang lahir pada
tanggal 02 Maret 2013 tersebut sebagai anak dari hasil hubungan diluar nikah
Pemohson I (laki-laki) dengan Pemohon II (ibu) ; dan oleh sebab itu, menetapkan
anak tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan yang sempurna dengan
Pemohon II (ibu). Penetapan tersebut menunjukkan majelis hakim masih menjaga
sakralitas nasab, waris dan perwalian. Selanjutnya, sebagai sarana melindungi hak
anak, majelis hakim menetapkan anak tersebut memiliki hubungan keperdataan
dengan Pemohon I (laki-laki) sebatas kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak
tersebut sampai dewasa atau berdiri sendiri dan washiat wajibah maksimal 1/3
bagian.
Strategi kategorisasi hak anak juga diterapkan dalam penetapan Nomor
0008/Pdt.P/2013/PA.Yk. Berdasarkan salinannya diperoleh informasi bahwa para
pemohon adalah suami dan istri. Pada tanggal 3 Januari 2009, para Pemohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. Kurang lebih satu tahun
lebih lima bulan sebelum tanggal pernikahan tersebut, atau tepatnya pada tanggal
25 Juli 2007, Pemohon II (perempuan) telah melahirkan 1 orang anak berjenis
kelamin perempuan.
Oleh sebab itu, mereka memohon: 1) mengabulkan pemohon para
pemohon; dan 2) menetapkan anak tersebut diakui sebagai anak sah para
pemohon berdasarkan pengakuan para pemohon. Akan tetapi, majelis hakim
menetapkan: 1) menolak permohonan para pemohon; dan 2) menyatakan anak
lahir di Yogyakarta pada Tanggal 25 Juli 2007 hanya dapat dinasabkan kepada
Pemohon II selaku ibu kandungnya. Selain itu, majelis hakim juga memberi
144
catatan bahwa meskipun anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan
Pemohon II selaku ibu kandungnya, akan tetapi anak tersebut memiliki hubungan
keperdataan dengan Pemohon I sebagai laki-laki yang membuahi ibunya sebatas
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anak
tersebut sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.