bab iv metode istinbat{{ dan kesimpulan...

35
110 BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUM Pada bagian ini, penulis mendeskripsikan metode istinbat{ yang dipakai majelis hakim untuk menghasilkan kesimpulan hukum tentang anak hasil zina. Setelah itu, penulis mengkritisi metode istinbat{ dan hasil kesimpulan hukum oleh majelis hakim. Sebagai kontribusinya, penulis menawarkan metode istinbat{ { alternatif yang seharusnya digunakan untuk menghasilkan kesimpulan hukum tentang anak hasil zina. Kalau kesimpulan hukum oleh majelis hakim terlalu berpihak kepada perlindungan anak sehingga mengabaikan sakralitas perkawinan, alternatif yang penulis tawarkan adalah mengupayakan dialektika kepentingan anak tanpa mengabaikan sakralitas perkawinan. A. Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan Hukum oleh Majelis Hakim Kelahiran penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn tidaklah hanya memberi pelajaran mengenai konstruksi pertimbangan yuridis normatif. Kesimpulan hukum yang dibangun kedua produk pengadilan tersebut juga menunjukkan ciri khas metode istinbat{ yang dikembangkan dalam mengoperasionalkan dasar perumusan hukum Islam (mas{a@di@r at-tasyri@’). Dari kedua produk hukum tersebut, penulis sama sekali tidak menemukan dalil –baik ayat Al-Quran maupun hadits– yang langsung berbicara mengenai kedudukan anak hasil zina. Padahal, dalil tekstual mengenai kedudukan anak hasil zina tersedia dalam hadits. Pengesampingan tersebut merupakan anomali tersendiri karena kedua dalil teks tersebut menempati urutan utama sebagai

Upload: others

Post on 05-Nov-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

110

BAB IV

METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUM

Pada bagian ini, penulis mendeskripsikan metode istinbat{{ yang dipakai

majelis hakim untuk menghasilkan kesimpulan hukum tentang anak hasil zina.

Setelah itu, penulis mengkritisi metode istinbat{{ dan hasil kesimpulan hukum oleh

majelis hakim. Sebagai kontribusinya, penulis menawarkan metode istinbat{{

alternatif yang seharusnya digunakan untuk menghasilkan kesimpulan hukum

tentang anak hasil zina. Kalau kesimpulan hukum oleh majelis hakim terlalu

berpihak kepada perlindungan anak sehingga mengabaikan sakralitas perkawinan,

alternatif yang penulis tawarkan adalah mengupayakan dialektika kepentingan

anak tanpa mengabaikan sakralitas perkawinan.

A. Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan Hukum oleh Majelis Hakim

Kelahiran penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan

Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn tidaklah hanya memberi pelajaran mengenai

konstruksi pertimbangan yuridis normatif. Kesimpulan hukum yang dibangun

kedua produk pengadilan tersebut juga menunjukkan ciri khas metode istinbat{{

yang dikembangkan dalam mengoperasionalkan dasar perumusan hukum Islam

(mas{a@di@r at-tasyri@’).

Dari kedua produk hukum tersebut, penulis sama sekali tidak menemukan

dalil –baik ayat Al-Quran maupun hadits– yang langsung berbicara mengenai

kedudukan anak hasil zina. Padahal, dalil tekstual mengenai kedudukan anak

hasil zina tersedia dalam hadits. Pengesampingan tersebut merupakan anomali

tersendiri karena kedua dalil teks tersebut menempati urutan utama sebagai

Page 2: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

111

mas{a@di@r at-tasyri@’.39 Sementara itu, dalil yang lebih diprioritaskan mempengaruhi

proses istinbat{{ majelis hakim adalah dalil di luar teks, yakni pengakuan dari laki-

laki yang menganggap sebagai bapak dari anak hasil zina dan hasil test DNA.

Secara kerangka berfikir, majelis hakim lebih menempatkan kekhususan

kebutuhan anak hasil zina sebagai faktor dominan dalam proses istinbat{. Majelis

hakim tidak menempatkan keumuman dalil tentang kedudukan anak hasil zina

dalam konstruksi istinbat{nya. Dalam hal ini, kaidah yang berlaku adalah “yang

menjadi pertimbangan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafadz”.

Dalam bahasa metode istinbat{{ , pendekatan yang digunakan majelis hakim

tersebut adalah istislahi yang liberal. Pendekatan tersebut lebih menggunakan

pertimbangan sosiologis dan empiris sebagai dasar istinbat{nya. Faktor sosiologis

dan empiris yang dimaksud di sini adalah pengakuan laki-laki yang menganggap

sebagai ayah dan hasil test DNA. Dalam bahasa sederhanya, majelis hakim lebih

mengutamakan kebenaran rasional dibandingkan dengan kebenaran doktrinal.

Meskipun pada dasarnya kedua putusan tersebut juga menyebut sebuah

hadits dan satu ayat Al-Qur’an, akan tetapi dalil yang dipilih kurang relevan

dengan objek hukum yang dibicarakan. Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn

mengutip tentang bolehnya wanita hamil menikah dengan laki-laki yang

menghamilinya. Dalil ini tentunya berbicara mengenai status wanita hamil.

Padahal, argumentasi yang dibutuhkan di sini mengenai boleh atau tidaknya

pengesahan hubungan keperdataan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang

membuahi ibunya. Masalah relevansi dalil juga terjadi dengan Penetapan

39 Al-Quran, Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah (maqasyid syari’ah), adat,

istishab, syar’u man qoblana dan pemikiran sahabat (Wahhab Khallaf: tt, 22)

Page 3: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

112

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg. Dalam hal ini, majelis hakim mengutip

hadits tentang keberadaan anak sebagai individu yang suci (fitrah) sejak lahir.

Padahal, hadits tersebut berbicara pada konteks aqidah. Sekali lagi, dalil yang

disuguhkan majelis hakim tidak relevan dengan objek hukum yang diperkarakan.

Kalau mengikuti logika majelis hakim yang menggunakan dua dalil di atas,

konklusi yang diperoleh adalah ayat Al-Quran dan hadits memiliki kedudukan

yang setara dengan hukum materil dalam pemeriksaan perkara yang menjadi

kewenangan pengadilan agama. Dengan demikian, jika majelis hakim

menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

maka kesimpulan hukum yang dihasilkan majelis hakim patut dikritik dan

dikecam batal demi hukum. Penggunaan hadits tentang kedudukan anak zina

dalam mengadili permohonan pengesahan asal usul anak zina merupakan suatu

kewajiban.

Dengan pendekatan istislahi yang liberal tersebut, kesimpulan hukum yang

dihasilkan berbeda dengan kesimpulan hukum yang selama ini mapan berkaitan

dengan kedudukan anak hasil zina. Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg mempunyai amar penetapan dengan bunyi

“NPS adalah anak biologis Pemohon I dan Pemohon II”. Sementara itu, Putusan

Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn mempunyai amar putusan dengan redaksi

“RDAN sebagai anak syah dari Pemohon”. Meskipun secara redaksional, kedua

amarnya berbeda, kata-kata tersebut membawa konsekuensi kesimpulan hukum

yang secara substansi sama, yakni mengesahkan hubungan anak-bapak antara

anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya. Dengan redaksi semacam

itu, para Pemohon bisa mendaftarkan perolehan akta kelahiran baru. Hal ini

Page 4: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

113

sebagaimana mengutip Pasal 103 (3) KHI yang menyatakan bahwa atas dasar

ketetapan pengadilan agama tersebut, instansi pencatatan kelahiran yang ada

dalam daerah hukum pengadilan agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi

anak yang bersangkutan.

Penulis menganggap argumentasi tersebut sebagai rasionalisasi yag logis.

Hal ini didukung dengan format redaksi yang telah baku di beberapa akta

kelahiran adalah “.....telah lahir...nama...anak perempuan/laki-laki dari pasangan

suami istri A dan B”. Dalam hal ini, akta hanya menjelaskan hubungan anak-

bapak. Akta kelahiran pun tidak membedakan antara anak biologis dengan anak

sah. Dengan demikian, sebagai pelaksana executive heavy, Dinas Pendudukan dan

Catatan Sipil secara otomatis mengikuti penetapan pengadilan yang telah

menyatakan adanya hubungan antara Nicolas Santanu dan WS dengan bapaknya.

Dari kerangka amar putusan kedua putusan pengadilan tersebut, putusan

tersebut sudah sangat jelas berkonsekuensi melegalkan hubungan hubungan

bapak-anak dan memberikan payung hukum bagi kelahiran hubungan keperdataan

secara sempurna selayaknya anak sah. Penjelasan tersebut masuk akal. Penulis

mencoba menjelaskan rasionalisasinya di bawah ini.

Lahirnya putusan yang menyatakan hubungan sebagai anak-bapak kepada

anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya tidaklah jauh berbeda

dengan penetapan nasab antara kedua belah pihak oleh hukum negara. Dalam kata

lain, kesimpulan seperti ini didukung fakta bahwa akta telah menjadi payung

hukum bagi pemegangnya (anak) untuk menuntut hak atau dituntut

tanggungjawab berhubungan dengan pihak-pihak terhubung (bapak-ibu) di dalam

akta tersebut. Selanjutnya, dokumen administratif tersebut telah sah secara

Page 5: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

114

hukum sebagai bukti bagi anak hasil zina untuk mengajukan gugatan pewarisan

atas harta bapaknya. Di samping itu, bapak juga berhak menjadi wali pernikahan

karena secara dokumen hukum telah memenuhi syarat dianggap sebagai bapak

dari anak tersebut. Begitu problematisnya putusan pengadilan yang telah

menyatakan bahwa anak hasil zina adalah anak dari laki-laki yang membuahi

ibunya. Dengan demikian, Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn dan

Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dikatakan kesimpulan hukum

yang sangat memicu konflik di mata munakah}a>t Islam.

Bukannya Islam tidak mempunyai misi perlindungan anak. Sebagai agama

yang membawa rahmat bagi penduduk seluruh alam, Islam tentunya sangat

mengapresiasi terhadap perlindungan anak. Akan tetapi, perlindungan anak dalam

Islam berbeda dengan perlindungan anak dalam perspektif HAM. Dalam Islam,

perlindungan anak harus diberlakukan dalam koridor pembedaan antara hak yang

mengandung unsur kewenangan (taken for granted) Tuhan dan hak yang sekedar

rasionalisasi manusia. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensinya, hukum Islam

membedakan antara hak anak sah dengan hak keperdataan anak zina . Pembedaan

tersebut disebabkan faktor proses pembuahan; antara yang sesuai dan yang tidak

sesuai syari’at.

B. Kritik atas Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan hukum Majelis

Dalam kegiatan kesimpulan hukum, terdapat tiga elemen utama yang tidak

bisa terpisahkan, yakni dalil, metode istinbat{{ dan kesimpulan hukumnya.

Metode istinbat majelis hakim yang dipakai adalah istislahi yang liberal.

Seharusnya istislahi sekalipun harus memperhatikan ketentuan (1) tidak

Page 6: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

115

bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran dalam Al Qur’an maupun hadis; (2)

kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti; (3) kemaslahatan itu menyangkut

kepentingan orang banyak (Zuhri, 2011: 161-162).

Keberadaan Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan

Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn menghasilkan kesimpulan hukum yang berbeda

dengan ijtihad yang selama ini telah dirumuskan fukaha’. Oleh sebab itu,

perbedaan tersebut menggoda pertanyaan bagaimanakah dalil dan metode istinbat{{

yang digunakan majelis hakim, sehingga kesimpulan hukumnya berbeda dengan

mayoritas fukaha’. Karena menggunakan istislahi yang liberal, maka dalam

metode istinbatnya, majelis hakim melakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengesampingan Dalil Naqli

Sebagai buah dari sudut pandang liberal dalam berijtihad, Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn telah menghasilkan kesimpulan hukum yang kontraproduktif

terhadap prinsip munakah}a>t Islam. Dalam hal ini, pertimbangan hukum

berdasarkan dalil aqli (rasionalitas manusia) lebih diunggulkan dibanding dengan

naqli (sakralitas teks). Dengan kata lain, majelis hakim berani mengesampingkan

ketentuan dalam Al-Quran dan Hadits mengenai sakralitas nasab demi

mengapresiasi hak keperdataan sebagai hak asasi bagi setiap anak.

Baik Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg maupun Putusan

Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn, keduanya tidak mengantisipasi dampak

destruktif produk hukumnya terhadap hak nasab. Mengesahkan hubungan anak-

bapak antara anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya telah

Page 7: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

116

membangun generalisasi hubungan keperdataan, sehingga berkonsekuensi

destruktif pada sakralitas hubungan nasab. Dampak destruktif tersebut tidak

seharusnya terjadi apabila majelis hakim memperhatikan beberapa ayat Al-Quran

dan Hadits membahas tentang nilai sakralitas nasab. Majelis hakim tidak

menyentuh sama sekali beberapa komponen dalil naqli tentang sakralitas nasab;

baik dalam pertimbangan secara tertulis maupun penjelasan secara lisan.

Sebagai perbandingan, dengan pendekatan deduksi (istidla>l), sebenarnya

sudah jelas mengenai sakralitas nasab. Al-Furqan ayat 54 menyatakan bahwa

Allahlah yang yang telah menciptakan manusia dari air, lalu Tuhan menjadikan

manusia mempunyai keturunan dan mushaharah40. Berdasarkan amanat surat

tersebut, logikanyanya adalah karena nasab merupakan anugerah Allah, maka

ketika seseorang melahirkan anak tidak melalui mekanisme yang ditentukan

Tuhan, anak tersebut tidak bisa mendapatkan sesuatu yang menjadi anugerah

istimewa dari Allah.

Allah juga menyatakan tentang sakralitas nasab dalam ayat yang lain.

Pemberian nasab bukanlah kewenangan bebas manusia semata. QS. Al-Ahzab

ayat 4 – 5 menceritakan tentang ketegasan Allah melarang Nabi-Nya sendiri

untuk menjadikan anak angkatnya selevel dengan anak kandung. Ayat tersebut

menyatakan bahwa Allah tidak menjadikan anak-anak angkat sebagai anak

kandung (sendiri). Yang demikian itu hanyalah kemauan manusia semata.

Berdasarkan ayat ini, logikanya adalah memanggilkan ayah angkat sebagai ayah

kandung saja tidak diperbolehkan oleh Islam, apalagi memanggilkan ayah bagi

laki-laki yang telah membuahi ibu (anak tersebut).

وهو الذي خلق من الماء بشرا فجعله نسبا وصهرا وكان ربك قديرا 40

Page 8: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

117

Melalui pendekatan deduktif (istidla>l) lagi, nilai sakralitas nasab juga bisa

disimpulkan dari sabda Nabi, yang kekuatan dalilnya setara dengan wahyu. Hadits

tersebut menunjukkan betapa tidak adanya kemungkinan bagi anak hasil zina

untuk mendapatkan hubungan keperdataan dengan laki-laki yang membuahi

ibunya. Rasulullah Saw menyatakan bahwa anak adalah bagi pemilik kasur/suami

dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu.

Secara tegas, hadits ini menjelaskan bahwa status anak hanya bisa dikaitkan

dengan pemilik kasur (tempat tidur), sedangkan orang yang berzina mendapat

kerugian.

Dua ayat dan satu hadits di atas bisa dikatakan sebagai dalil naqli (ilahi)

tentang nasab. Beberapa hal yang bisa disimpulkan adalah hubungan nasab bukan

semata-mata hasil penalaran akal. Manusia tidak mempunyai kewenangan bebas

dalam menentukan nasab. Hubungan nasab hanya diberikan kepada keturunan

dari para pihak yang hubungan badannya dilaksanakan sesuai ketentuan syari’at.

Pendekatan deduktif di atas tidak dipergunakan, baik oleh majelis hakim

dalam Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn maupun Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg. Mereka lebih memilih pertimbangan di luar

teks (putusan yang pertama menjadikan pengakuan sebagai dasar kesimpulan,

sedangkan penetapan yang kedua menjadikan bukti test DNA sebagai dasar

kesimpulan hukum).

Berikut adalah pertimbangan majelis hakim dalam Putusan Nomor:

408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn dalam bentuk aslinya:

“Menimbang, bahwa fakta-fakta yang telah terbukti sebagaimana pertimbangan tersebut di atas telah memenuhi Pasal 3 Undang-undang

Page 9: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

118

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak......,maka oleh karenanya permohonan Pemohon dapat dikabulkan. Menimbang, bahwa karena permohonan, pengakuan Pemohon terhadap anak bernama RDAN tersebut dikabulkan , maka harus ditetapkan bahwa anak bernama RDAN, adalah diakui sebagai anak syah dari Pemohon dan Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon”. Selanjutnya, berikut adalah pertimbangan majelis hakim dalam Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg. dalam bentuk aslinya:

“Menimbang bahwa berdasarkan bukti P.9, telah terbukti Pemohon I dan Pemohon II sekaligus putranya yang bernama NPS telah dites Deoxyribo Nucleid Acid (DNA).....memberi petunjuk bahwa sel-sel yang ada pada Pemohon I dan Pemohon II telah sesuai dengan sel sel yang ada pada anak yang bernama NPS.............dengan demikian dapat disimpulkan anak laki laki yang bernama NPS yang lahir di Malang pada tanggal 31 Agustus 2001 adalah anak biologis Pemohon I dan Pemohon II (PJS dan WS)”

Pendekatan liberal ini berbeda dengan tekstual. Kalau kesimpulan

berdasarkan pendekatan pertama memberi pemahaman bahwa anak adalah bagian

dari hak asasinya, sementara kesimpulan berdasarkan pendekatakan kedua

memberi pemahaman bahwa posisi anak tergantung kepada keabsahan

pernikahan, termasuk hak keperdataannya. Sebagai pembanding, argumentasi dan

proses ijtihad Syaikh 'Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di bisa menjadi contoh yang

tepat penggunaan deduksi. Berdasarkan hadits di atas, menurutnya, ketika seorang

perempuan telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak perempuan,

kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi milik pemilik

firâsy (as-Sa’di,1968: 530-532). Yang dimaksud firasy di sini adalah keberadaan

perempuan yang sudah dimiliki oleh seoarng laki-laki (suami) secara sah

(Jurjani,tt: 139), atau dalam bahasa lain bermakna laki-laki yang memiliki istri

atau budak perempuan yang sudah pernah digaulinya (Ibnu Hajar,1421H: 32-33).

Page 10: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

119

Menurutnya, hadits nabi tersebut telah melahirkan suatu kaidah umum.

Barang siapa yang istrinya melahirkan sesuatu (individu) dari keberadaaanya

maka dia langsung bisa mengakuinya. Kata “istri” di sini bermakna perempuan

yang keberadaannya dengan laki-laki yang membuahinya telah terikat dalam akad

yang sah. Makna kata “mengakui” dalam kalimat yang sama bermaksud “menjadi

anak yang sah” (Utsaimin, 1428 H: 307-310). Ketentuan ini bermakna bahwa

hanyalah anak yang terlahir dari sebuah perkawinan sah yang secara otomatis

langsung mendapatkan hubungan nasab dari ayahnya; tanpa memerlukan

pengakuan atau cara-cara penentuan nasab lainnya.

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, penulis mencoba mengeksplorasi

lebih jauh. Menurut pemahaman penulis, keotomatisan tersebut berangkat dari

logika bahwa tidak ada yang berhak memiliki kasur (tempat tidur) tersebut kecuali

oleh si pemakai (perempuan yang meniduri); kemudian tidak ada yang berhak

memiliki pemakai kasur (perempuan yang meniduri) kecuali suaminya sendiri.

Oleh sebab itu, jika si perempuan mengalami hamil akibat berhubungan dengan

laki-laki yang belum menjadi suaminya, anak tersebut tidak bisa menjadi milik

bagi laki-laki yang menghamili ibunya. Hubungan badan yang dilakukan

perempuan (yang sebagai ibu kandung anak zina tersebut) dengan laki-laki (yang

bukan suami sah perempuan tersebut) bukanlah hubungan yang sah. Hubungan

tersebut adalah hubungan yang ilegal. Pengistilahan tersebut sesuai dengan

penyebutan bagi orang selingkuh atau orang berzina yang selama ini berkembang

di masyarakat, yakni “maling, yang berarti meniduri perempuan secara tidak sah”.

Karena laki-lakinya berstatus maling (melakukan hubungan badan tidak sah),

anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepadanya.

Page 11: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

120

Pertimbangan lain sebagai alasan menggunakan pendekatan deduktif

(istidla>l) dalam menyikapi status anak hasil zina adalah dalam rangka menerapkan

strategi preventif (sadd az\-z\ari@’ah) mencegah membludaknya kasus zina. Dalam

sebuah ayat, Allah telah menegaskan strategi preventif mencegah perbuatan zina.

Al-Isra ayat 32 secara implisit mengisyaratkan begitu berbahayanya perbuatan

zina, dengan memberikan preventif (sadd az\-z\ari@’ah) bagi manusia untuk tidak

mendekati zina. Karena zina sangat berbahaya, Al Quran sudah memprevensi

agar seluruh umat Islam menjauhi bahkan hal-hal yang mendekatkan diri kepada

zina sekalipun.

Berkaitan dengan strategi preventif (sadd az\-z\ari@’ah) mencegah zina,

hukuman atas pelaku perzinaan dan konsekuensi hukum yang timbul akibat

perzinaan harus ditegakkan dengan tegas. Memberikan hubungan keperdataan

kepada anak hasil zina, sementara di sisi lain, Islam dengan tegas melarang

mendekati zina, dengan demikian menunjukkan sikap yang tidak konsisten. Kalau

melarang perbuatannya, berarti harus konsisten memperlakukan orang yang

melanggar tersebut. Tidak boleh karena kasihan lalu tidak menerapkan aturan

yang telah dibuatnya sendiri.

Sebagai bagian dari ketegasan hukum Islam, hadits Nabi yang lain juga

menegaskan secara eksplisit bahwa anak hasil zina hanya mempunyai hubungan

nasab kepada ibunya. Hadits yang diriwayatkan Dawud menyatakan bahwa Nabi

saw bersabda tentang anak hasil zina “mereka adalah bagi keluarga ibunya”41.

Sebagai konsekuensi terputusnya hubungan nasab, hukum Islam juga

memutuskan hubungan waris. Sebuah Hadis Nabi telah menerangkan tidak

رواه أبو داود" . لأهل أمه من كانوا" قال النبي صلى االله عليه وسلم في ولد الزنا 41

Page 12: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

121

adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang

mengakibatkan kelahirannya. Hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari ‘Amr bin

Syu’aib menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda “setiap orang yang

membuahi perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak

hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan”42. Dalil di atas bisa ditempatkan

sebagai dalil menegaskan adanya hubungan beratnya konsekuensi yang dipikul

oleh anak sebagai hasil perzinaan dengan pesan peringatan kepada masyarakat

luas untuk tidak sekali-kali mencoba mendekati bahkan melakukan perzinaan.

Akan tetapi, berdasarkan pertimbangan pendekatan liberal, hakim yang

menangani perkara Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan

Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn menolak pesan preventif (sadd az\-z\ari@’ah)

mencegah merebaknya perzinaan melalui hukuman terhadap anak. Menurutnya,

ketentuan tentang zina dalam Al-Quran bertujuan untuk orang yang melakukan

zina. Sementara itu, beratnya hukuman zina tidak secara otomatis harus dijadikan

bangunan perspektif untuk memberi hukuman yang sama beratnya kepada anak

hasil zina. Berdasarkan pertimbangan tersebut, mengikuti pemikiran hakim,

majelis hakim telah menyimpulkan bahwa tidak sepantasnya RDAN dan NPS

menanggung hukuman berupa kehilangan hak keperdataannya karena kesalahan

orang tua. Meskipun dia lahir di luar perkawinan yang sah, sebagai bagian dari

jiwa yang mempunyai hak asasi, dia juga harus diberikan hak hubungan

keperdataannya. Singkatnya, anak hasil zina tidak sepatutnya menerima perlakuan

diskriminasi akibat peristiwa zina bapak-ibunya, yang mana dia sendiri (anak

رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث أيما : " عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول االله صلى االله عليه وسلم قال 42

سنن الترمذى -رواه الترمذى

Page 13: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

122

hasil zina) tidak menghendaki lahir dari peristiwa tersebut sekaligus tidak tahu-

menahu mengenai konsekuensi peristiwa tersebut.

Pembedaan tersebut bertujuan untuk menggunakan langkah konstruktif

peran hukum sebagai sarana rekaya sosial untuk melindungi pihak yang lemah

(dalam hal ini anak luar kawin). Penggunaan metode yang bertolak dari realitas

empiris (bahwa anak hasil zina juga mempunyai hak asasi) telah mendorong

penyimpulan hukum yang menguntungkan anak hasil zina. Berdasarkan metode

tersebut, bangunan konstruksi hukumnya adalah kesimpulan mengenai urgensinya

perlindungan anak.

Perlindungan yang dimaksud seperti tertuang dalam Pasal 13 UU

Perlindungan Anak, yakni ayat (1) mencakup perlindungan dari diskriminasi,

eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan,

dan penganiayaan, ketidakadilan, perlakuan salah lainnya; dan ayat (2)

menjelaskan bahwa orang tua, wali atau pengasuh anak harus dikenakan

pemberatan hukuman jikalau melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1). Kata “orang tua” dalam Pasal 13 UU Perlindungan

Anak telah dimaknai sebagai orang tua secara biologis sejauh dapat dibuktikan

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti sah lain menurut hukum.

Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn telah berlebihan dalam beristislahi liberal. Tidak adanya

pengkategorian hubungan hak apakah yang diberikan kedua putusan tersebut

kepada RDAN dan NPS sebagai anak hasil zina mengkonsekuensikan hubungan

sempurna. Padahal, terdapat hubungan hak yang tidak lahir semata-mata karena

Page 14: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

123

pertimbangan rasional dan terdapat hak yang memang bagian dari pertimbangan

rasional.

Generalisasi hubungan justru melahirkan dampak yang kontraproduktif,

yang mana secara otomatis langsung mempengaruhi munculnya kontradiksi antara

mafsadat dan masalahat. Kalau hak hubungan keperdataan diberikan secara

sempurna (meliputi hak nafkah, nasab, waris dan perwalian), pemberian level ini

mendatangkan konflik antara kemaslahatan (terpenuhinya semua hak hubungan

keperdataan anak zina) dan kemafsadatan bagi kesucian ritus pernikahan

(tersamakannya hak mereka dengan anak sah). Apabila keadaannya seperti ini,

induksi yang dilakukan para hakim dalam perkara Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn gagal menempatkan secara proporsional manakah yang seharusnya

hakim harus tetap berpegang teguh kepada pertimbangan wahyu (naqli/tekstual)

dan manakah yang memungkinkan hakim bisa beralih kepada pertimbangan akal

(aqli/rasional).

2. Problem Relevansi Dalil dan Pengesampingan Moralitas

Pengesampingan relevansi dalil selama proses ijtihad Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn bisa dilihat dalam pertimbangan dalil yang digunakan majelis

hakim. Dalam perkara Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg, proses

liberalisasi ijtihad (pengesampingan relevansi dalil) ditunjukkan dengan

mengesampingkan hadits tentang terputusanya nasab anak hasil zina dari laki-laki

yang membuahi ibunya. Sebagai gantinya, majelis hakim lebih memilih hadits

Page 15: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

124

dari Abu Hurairah mengenai kefitrahan setiap anak dan test DNA untuk

menyambungkan kembali hubungan tersebut.

Dengan pertimbangan rasio yang logis, dalam rangka menjaga spirit

perlindungan anak, Abdul Qodir menganjurkan untuk melihat pula hadits lain

mengenai kesucian anak. Dia menunjukkan hadits yang dikutip majelis hakim.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim dari Abu Hurairah menyatakan

bahwa Nabi saw bersabda “setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah”. Berangkat

dari hadits tersebut, dia meyakini kebenaran putusannya dalam rangka melindungi

hak anak.43

Penggunaan hadits tersebut masih terbuka untuk dipertanyakan

relevansinya. Kalau dilihat redaksi hadits tersebut secara utuh, hadits tersebut

tidak berbicara mengenai hubungan keperdataan antara anak dengan orang tuanya.

Hadits ini secara spesifik berbicara mengenai hubungan akidah anak dengan orang

tua. Redaksi lengkap hadits tersebut adalah:

Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi”. (HR al-Bukhari dan Muslim)44

Liberalisasi pertimbangan hukum juga ditunjukkan oleh putusan hakim

yang menangani perkara Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn. Hakim

mengesampingkan hadits tentang terputusanya nasab anak hasil zina dari laki-laki

yang membuahi ibunya. Sebagai gantinya, majelis hakim lebih memilih

pengakuan pemohon untuk menyambungkan kembali hubungan tersebut. Untuk

43 Wawancara dengan Drs.Abdul Qodir, SH. MH (hakim yang dulu memeriksa Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg ) di Pengadilan Agama Kota Surakarta pada 29 April 2014 Pukul 09.00 WIB.

رواه . كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه صلى االله عليه وسلم قال النبي رضي االله عنه قال أبي هريرة عن 44 البخارى ومسلم

Page 16: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

125

menguatkan rasionalisasi, hakim telah mengambil ayat lain yang bisa mendukung

justifikasinya. Sayangnya ayat ini tidak ditemukan dalam salinan putusan. Tetapi

dari pengakuan hakim saat wawancara, sebenarnya pada saat diskusi, majelis

hakim juga mempertimbangkan ayat tersebut sebagai dasar justifikasi urgensi

perlindungan anak. Ayat tersebut berbicara sekitar bahwa “seseorang tidak

memikul dosa orang lain” (QS. Al-Zumar: 7 dan QS. Al-An’am : 164).45

Lanjarto juga menambahkan bahwa Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn tersebut juga berdasarkan kepada pendapat Ibnu Taimiyah. Dia

tidak bisa menceritakan secara persis argumentasi Ibnu Taimiyah dalam

memberikan pemikiran yang menguntungkan anak hasil zina. Setelah melacak

dari berbagai literatur, penulis menemukan pemikiran Ibnu Taimiyah yang

dimaksud. Dalam sebuah kitabnya, Imam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa

sebenarnya ada dua pendapat dalam menyikapi hal ini. Pendapat yang pertama

adalah pendapat mayoritas yang tidak memberikan hubungan antara anak hasil

zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya. Pendapat yang kedua mengatakan

bahwa anak zina bisa diberikan pengakuan kepada laki-laki yang membuahi

(ibunya) jika laki-laki tersebut meminta pengakuan. Hal ini adalah pendapat Ibnu

Sirin, Nakhai, Hasan Basri, Ishaq bin Rahawiyah. Inilah pendapat yang dipilih

oleh Ibnu Taimiyah serta oleh muridnya bernama Ibnu Qoyyim (Ibnu Taimiyah,

1429H: 185-186). Ibnu Taimiyah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar

bin Khathab dengan redaksi: “Umar bin al-Khaththab dahulu menasabkan anak-

anak jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam”46.

كم مرجعكم ولا تزر وازرة وزر أخرى ثم إلى رب 45

كان يليط أولاد الجاهلية بمن ادعاهم في الإسلام -رضي االله عنه -أن عمر بن الخطاب 46

Page 17: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

126

Akan tetapi, menurut penulis, pernyataan Ibnu Taimiyah yang dikutip

Lanjarto tersebut perlu diuji ulang relevansinya. Ada hadits yang menyatakan

telah lewatnya urusan Jahiliyah semenjak Islam datang. Riwayat Abu Daud dari

‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dan kakeknya menceritakan: ada seseorang

bertanya kepada Rasulullah “Ya Rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya,

saya membuahi ibunya ketika masih masa jahiliyyah”. Ternyata Rasulullah saw

menjawab bahwa tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di

masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang

melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)47.

Berdasarkan analisis di atas, majelis hakim yang memeriksa perkara

Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn bisa dikatakan lebih cenderung menggunakan semangat liberalisasi

pertimbangan dibanding dengan menggunakan dalil yang otoritatif. Oleh sebab

itu, kesimpulan hukum yang diputuskan telah membawa perspektif bertolak-

belakang dibanding pemikiran fukaha’. Liberalisasi menyebabkan

pengesampingan unsur sakralitas. Dengan terjerumus pada liberalisasi, hakim

gagal mengkompromikan kedudukan unsur profanitas (kemanusiaan) di hadapan

sakralitas. Hakim cenderung hanya mengesampingkan unsur sakralitas atas nama

perlindungan terhadap hak asasi anak.

Di samping masalah relevansi dalil, Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn menyimpan konflik masalah relevansi penggunaan kaidah fikih.

لجاهلية، فقال رسول االله صلى االله يا رسول االله، إن فلانا ابني، عاهرت بأمه في ا: قام رجل فقال: عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال 47

رواه أبو داود. لا دعوة في الإسلام، ذهب أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر: عليه وسلم

Page 18: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

127

Ketika mayoritas fukaha’ memilih tidak ada hubungan nasab, waris dan perwalian

antara anak hasil zina dengan laki-laki yang sebagai laki-laki yang membuahi

ibunya, ijtihad semacam itu bisa dihubungkan dengan kaidah fikih yang

menyatakan bahwa “tidak ada ijtihad di hadapan nash”48 (Fatwa MUI).

Sementara itu, majelis hakim memakai kaidah lain yang masih perlu

dipertanyakan relevansi penerapannya dalam menangani status anak hasil zina.

Sebagai contoh, majelis hakim yang menangani perkara Putusan Nomor:

408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn menggunakan kaidah fikih “hukum itu mengikuti

kemaslahatan yang ada”49. Sebenarnya kemaslahatan yang dimaksud di sini

adalah kemaslahatan personal anak hasil zina. Seharusnya keinginan

mengakomodasi kemaslahatan personal anak zina perlu disinkronkan dengan

kemaslahatan yang dimaksud dalam kaidah fikih lainnya yang berbunyi

“menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat”50, dan

“kerugian yang bersifat khusus (satu anak hasil zina) harus ditanggung untuk

menghindarkan bahaya yang bersifat umum (tidak adanya pembelajaran preventif

‘sadd az\-z\ari@’ah’ pencegahan zina)”51.

Selanjutnya ketika mayoritas fukaha’ sepakat tidak ada hubungan yang

serupa antara anak zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya, ijtihad semacam

لا اجتهاد في مورد النص 48

الحكم يتبع المصلحة الراجحة 49Dalam hal ini, terjemahan majelis hakim Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn kurang

akurat, karena “rajih” di sini bermakna kuat tidak hanya “yang ada” م على جلب المصالح 50 درء المفاسد مقد

Dalam hal ini, alasan lebih mengutamakan menghindari mafasadat karena kerusakan akan meluas dan menjalar ke mana-mana, sehingga akan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. (Abdurrahman, tt: 75)

يـتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام 51Dalam hal ini, alasan lebih mengutamakan kemudharatan kusus adalah untuk melokalisasi

atau menekan sedikit mungkin dampak destruktifnya (Abdurrahman, tt: 133-134).

Page 19: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

128

itu bisa dimaknai sebagai upaya fukaha’ untuk tidak terpaksa mendatangkan

maslahat yang sebenarnya juga sekaligus membawa madharat. Pilihan seperti ini

sesuai dengan kaidah “bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan

bahaya yang lain”52(Suyuthhi, 1965: 113), “menghindarkan mafsadat lebih

didahulukan atas mendatangkan maslahat”, dan “kerugian yang bersifat khusus

(satu anak hasil zina) harus ditanggung untuk menghindarkan bahaya yang

bersifat umum (tidak adanya pembelajaran preventif ‘sadd az\-z\ari@’ah’ pencegahan

zina)”.

Tiga kaidah fikih di atas mengandung tuntutan sikap yang idealnya harus

dipilih majelis hakim dalam menghadapi paradoks antara maslahat dan mafsadat,

antara ketegasan dan toleransi. Ketika suatu hukum secara tegas membebani

seseorang (pemutusan hubungan membawa situasi yang sulit bagi anak hasil

zina), maka tidak seharusnya ada upaya mentoleransinya (menyambungkan

kembali hubungan tersebut).

Dalam rangka menghadapi paradoks antara mafsadat dan maslahat, ijtihad

hukum yang seharusnya dilaksanakan demi mengaplikasikan prinsip hukum ideal

adalah: pertama, bahaya (terputusnya hubungan anak hasil zina) itu tidak boleh

dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain (merusak sakralitas

perkawinan); kedua, menghindarkan mafsadat (merusak sakralitas perkawinan)

harus lebih didahulukan atas mendatangkan maslahat (memberikan hubungan bagi

anak hasil zina); dan ketiga, kerugian yang bersifat khusus (terputusnya hubungan

anak hasil zina) harus ditanggung untuk menghindarkan bahaya yang bersifat

الضرر لا يـزال بالضرر 52Prinsip yang diajarkan oleh kaidah ini adalah larangan menghilangkan kemadharatan

dengan kemadharatan lain yang sepadan. Menurut penulis, sepadan dan madharat yang lebih tinggi.

Page 20: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

129

umum lebih luas (rusaknya sakralitas perkawinan dan potensi membuka

keberanian masyarakat luas melakukan zina).

Selain masalah relevansi dalil dan penggunaan kaidah fikih, Putusan

Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn dan Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg mempunyai masalah konflik antara dimensi

moral dan hukum. Kalau melihat pertimbangan pemikiran fukaha’ tentang status

anak hasil zina, ijtihad mereka tidak semata-mata dalam kerangka mendeduksi

hukum tetapi juga dalam kerangka mempertimbangakan moral. Selain merupakan

dosa yang besar, Islam memandang zina sebagai perbuatan yang amat amoral.

Sementara itu, kalau melihat pertimbangan majelis yang memeriksa perkara

Penetapan Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn, terlihat misi yang dibawanya semata-mata untuk kepastian hukum

anak.

Pertimbangan moral dalam hukum agama sangatlah penting. Ini

disebabkan karena salah satu pondasi yang sangat krusial dalam beragama adalah

moral. Sebagai contoh pertimbangan pengutusan Nabi untuk menyempurnakan

akhlak, pertimbangan malu adalah sebagian dari iman. Peringkat analisis yang

fundamental untuk menentukan baik buruknya aturan hukum atau sistem hukum

adalah peringkat analisis moral. Kriteria untuk mengevaluasi hukum positif dapat

ditemukan dalam peringkat berpikir moralitas.

Pemikiran fukaha’ tentang kedudukan anak hasil zina adalah

sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang

belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya). Hukum Islam

menjelmakan prinsip-prinsip pelaksanaan undang-undang yang ketat atas

Page 21: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

130

moralitas seksual dalam hukuman yang berat yang ditentukan bagi pelanggaran

zina atau persetubuhan di luar nikah.

Zawajir dan mawani’ tersebut terkait dengan strategi keteladanan.

Keteladanan adalah mencontohkan apa yang harus dilakukan dan tidak melakukan

hal-hal yang tidak boleh dilakukan, baik karena keterikatan kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku maupun karena limitasi yang ditentukan oleh

nilai-nilai moral, etika, dan sosial. Oleh karena itu, keteladanan diartikan sebagai

hal-hal yang patut diambil pelajaran dari suatu peristiwa.

Keteladanan dalam penegakan hukum merupakan bagian yang sangat

penting. Keteladanan tersebut merupakan metode yang paling meyakinkan

keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral spiritual dan sosial

masyarakat. Otoritas yang ada pada pembuat dan penegakan hukum seharusnya

dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri

kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan

formal. Memang dalam konstruksi hukum positif Indonesia, masalah moralitas

belum mendapatkan perhatian yang seirus. Sebagai contoh adalah perbedaan

pengertian zina antara definisi yang dipegangi oleh KUH Pidana dengan konsep

yang dipakai oleh hukum Islam.

Karena itu, seharusnya apa pun perintah yang datang dari al-Quran dan

Hadits wajib ditaati, terlepas bagaimana perdebatan nantinya dalam

mengkonstruksikan aspek moralitas dalam hukum. Sebaliknya, apa saja yang

diatur dalam peraturan hukum positif seharusnya harus selalu beregang kepada

perintah Allah dalam al-Quran. Syari’ah Islam adalah kode hukum dan kode

moral sekaligus. Ia merupakan suatu pola yang luas tentang tingkah laku manusia

Page 22: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

131

yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang tertinggi; sehingga garis pemisah

antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas seperti

dalam masyarakat Barat pada umumnya. Itulah sebabnya mengapa, misalnya,

kepentingan dan signifikansi semacam itu melekat pada keputusan ulama

mengenai masalah sekarang ini, seperti alat pengontrol pencegah kehamilan.

Islam juga benar-benar memperhatikan perbedaan, dalam tingkah laku seksual

yang sempit, antara peraturan yang ditegakkan dengan hukum seperti yang

diaplikasikan di pengadilan dan peraturan yang sanksinya sampai di hari kiamat

(Muslehuddin, 1997 :179).

Dalam penggunaan kaidah fikih, penulis berpendapat seharusnya majelis

hakim menggunakan kaidah fikih yang bertujuan menerapkan sikap preventif

‘sadd az\-z\ari@’ah’ atas potensi mafsadat sosial (tidak adanya pembelajaran bagi

perzinaan) meskipun harus mengorbankan maslahat personal (hubungan nasab,

waris dan perwalian anak hasil zina). Semangat ini sesuai dengan kaidah fikih

yang mengatakan bahwa “segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat

mungkin”53 (Abdurahma, tt:84). Selain itu, pilihan tersebut juga bisa

dihubungkan upaya preventif ‘sadd az\-z\ari@’ah’ agar muncul tidak ada lagi yang

berani melakukan zina. Strategi preventif (sadd az\-z\ari@’ah) dalam hukum Islam

tersebut sesuai dengan bunyi kaidah fikih “pada dasarnya, di dalam larangan

tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut54”

(Fatwa MUI), dan “hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan

مكان 53 الضرر يدفع بقدر الإ

الأ صل في النهي يقتضي فساد المنهي عنه54

Page 23: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

132

dituju55” (Fatwa MUI). Preventif (sadd az\-z\ari@’ah) tersebut mengandung arti

sekaligus tujuan untuk menghindarkan sebanyak mungkin orang memikul

kerusakan, yakni peringatan bagi pelaku zina dan akibat yang dihasilkan oleh

perbuatan tersebut; pelakunya mendapatkan hukuman-dosa, sedang anak yang

dilahirkan tidak mendapat hak seperti anak sah pada umumnya.

C. Tawaran Metode Istinbat{{ dan Kesimpulan hukum

Sebagaimana penjelasan sub bab seselumnya, kesimpulan hukum mengenai

status anak hasil zina yang dihasilkan oleh majelis hakim menuai konflik terhadap

prinsip munakah}a>t Islam. Kedua putusan tersebut telah menyatakan anak hasil

zina sebagai anak dari laki-laki yang membuahi ibunya dengan pertimbangan

perlindungan anak. Sebenarnya perlindungan anak zina tetap bisa dilaksanakan

tanpa harus mengesahkan hubungan bapak-anak antara anak hasil zina dengan

laki-laki yang membuahinya. Berikut adalah tawaran dari penulis.

1. Tawaran Metode Istinbat{{

Mengoeprasionalkan maslahah mursalah tersebut adalah menjadikan

maqa>s}id syari>’ah sebagai metode dan tidak sekedar doktrin. Kelemahan

metodologis majelis hakim di atas harus diperbaiki. Sebagai metode istinbat{{

alternatif, istislahi yang tekstual dan berdasarkan maslahah mursalah diasumsikan

mampu mengatasi keterbatasan metode istinbat{{ majelis hakim di satu sisi dan

munakahat Islam di sisi lain. Selanjutnya karena ide tersebut masihlah konsep

yang abstrak, Yudian menyarankan aplikasinya melalui penggunaan maqa>s}id

syari>’ah sebagai metode. Prinsip dialektika di sini adalah kemaslahatan

للوسائل حكم المقاصد 55

Page 24: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

133

seharusnya dilihat dalam kepentingan komprehensif dan holistik. Upaya tersebut

tidak mungkin terlaksana kecuali dengan menggunakan maqa>s}id syari>’ah sebagai

metode. Alasan mengapa perlu dilihat sebagai metode adalah berdasarkan

pengalaman selama ini; maqa>s}id syari>’ah hanya akan menawarkan maslahat

parsial kalau hanya dilihat sebagai doktrin.

Penggunaan maqa>s}id syari>’ah harus diterapkan dalam bentuk metode

bukan sekedar doktrin. Selama ini penggunaan maqa>s}id syari>’ah hanya berhenti

kepada doktrin. Kelemahan mereka yang menganggap maqosid syari’ah sebagai

doktrin adalah mereka gagal mengelaborasi maqa>s}id khomsah (perlindungan

agama, jiwa, akal, harta dan keturunan) sebagai suatu tujuan yang terintegrasi.

Mereka justru menggunakan maqa>s}id khomsah tersebut secara dikotomis56.

Sebagai contoh penggunaan maqa>s}id syari>’ah yang hanya sebagai doktrin

adalah melihat persoalan hukum dengan memprioritaskan sebagian dengan

mengabaikan elemen lain. Yudian mencontohkan tentang olah raga. Olah raga

selama ini hanya dipahami sebagai instrumen mengalipaksikan maqa>s}id khomsah

dalam tataran perlindungan jiwa (kesehatan) semata. Padahal point tersebut juga

mencakup perlindungan bagi keturunan, akal, harta dan bahkan agama sekalipun.

Seorang yang sakit karena tidak pernah olah raga, dia mengalami kerugian

beruntun seperti harus berobat (harta), impoten (keturunan), tidak maksimal

belajar (akal) dan tidak maksimal beribadah (agama). Oleh sebab itu, dengan

memaknai maqa>s}id syari>’ah sebagai metode, Yudian menyimpulkan, jika

seseorang berolahraga dengan niat menjaga perlindungan maqa>s}id khomsah

56 Wawancara dengan Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D pada tanggal 11 Mei 2014 Pukul 20.00

WIB.

Page 25: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

134

sebagai bagian terintegrasi, kemudian di tengah jalan mendapat kecelakaan, maka

dia mati dalam keadaan syahid yang sama kedudukannya seperti orang gugur

dalam berjihad57. Melihat manfaat olah raga yang sama besarnya dengan manfaat

jihad, anugerah bagi orang yang mengalami kecelakaan olah raga tidak boleh

diberlakukan secara diskriminatif dari anugerah orang yang mengalami

kecelakaan jihad. Ide penggunaan maqa>s}id syari>’ah sebagai metode yang

disarankan Yudian di atas senafas dengan maqa>s}id syari>’ah sebagai pendekatan

sistem versi Jasser Audah. Paling tidak memincam pendekatan sistemnya Jasser

Audah, sebuah kemaslahatan yang diproyeksikan mujtahid harus dikonsepsikan

secara utuh dan multidimensi (2008: 250).

Berdasarkan contoh yang dikemukakan Yudian, kemudian dihubungkan

dengan pertimbangan hukum dalam Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg dan Putusan Nomor: 408/Pdt.G/

2006/PA.Smn, penulis melihat bahwa majelis hakim telah mengoperasionalkan

secara parsial atas penggunaan maslahat dalam menyimpulkan ijtihad. Majelis

hakim tidak melihat hubungan antara maslahat yang direncanakan oleh “amar

putusan yang dibuatnya” dengan maslahat yang sebagai upaya menjaga sakralitas

munakah}a>t Islam”.

Sebagai aplikasi maslahah mursalah, kesimpulan ijtihad diproyeksikan

mendatangkan maslahat terintegrasi dalam perlindungan kepada maqosidul

khomsah sekaligus; tidak hanya bersemangat melindungi jiwa anak hasil zina,

harta anak hasil zina, masa depan (posisinya sebagai keturunan) anak hasil zina,

tetapi juga memperhatikan semangat sakralitas perkawinan (agama) dan

57 Wawancara dengan Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D pada tanggal 11 Mei 2014 Pukul 20.00 WIB.

Page 26: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

135

pembelajaran bagi yang lain (akal). Dalam hal ini, kesimpulan ijtihad semacam itu

telah menyambungkan maslahat sesuai dalil naqli maupun aqli; atau

menyambungkan antara penalaran yang sesuai kemauan rasional dengan batasan

yang dikontrol oleh dalil tekstual.

Selain tawaran metodologis, kecermatan memilih dalil juga sangat

mempengaruhi keberadaan ijtihad. Dalam Penetapan

Nomor:415/Pdt.P/2010/PA.Kab.Mlg, hadits yang diambil tidak berhubungan

dengan nasab. Setelah meninjau ulang bunyi hadits tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa hadits tersebut perlu mendapat kritik. Hadits “setiap anak

di lahirkan dalam keadaan fitrah” sebenarnya membahas kefitrahan anak dalam

level aqidah, karea memang terusan hadits tersebut adalah ... orang tuanyalah

yang menjadikan dia Majusi, Nashrani dan Yahudi. Dalil yang dipilih untuk

mendukung ijtihad terkesan dipaksakan sehingga kelihatan kurang relevan. Oleh

sebab itu, hadits yang dijadikan pertimbangan ijtihad harus berdasarkan kepada

hadits yang berbicara secara eksplisit hubungan antara anak hasil zina dengan

laki-laki yang membuahi ibunya.

Dalam Putusan Nomor: 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn, ayat yang dikutip

adalah Surat An Nur Ayat 3; laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan

perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang

berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki

musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.58

Maksud ayat tersebut adalah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang

berzina, demikian pula sebaliknya. Ayat ini telah digunakan untuk mengambil

ك على المؤمنين الزاني لا ينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لا ينكحها إلا زان أو مشرك وحرم ذل 58

Page 27: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

136

kesimpulan bahwa anak hasil zina boleh dihubungkan kepada laki-laki yang

membuahi ibunya karena ayat Al-Quran tersebut membolehkan laki-laki pezina

menikahi perempuan yang telah dizinainya. Logika seperti ini tentunya telah

menjadikan satu dalil untuk menghukumi dua perbuatan hukum yang sebenarnya

membutuhkan dalil sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, dalil yang dipilih haruslah ayat

Al Quran yang berbicara secara eksplisit tentang sakralitas nasab.

Kembali kepada tawaran metodologis, dalam menghadirkan maslahah

mursalah, kata-kata “perlindungan anak” tersebut tidak seharusnya digeneralisir.

Mujtahid harus menyeleksi spesifikasi perlindungan anak yang karakternya benar-

benar bisa diterima oleh lima maqosid syariah. Pertimbangan perlindungan anak

dan penggunaan kaidah “hukum mengikuti kemaslahatan yang rojih” harus

dilaksanakan seiring dengan pertimbangan sakralitas pernikahan dan kaidah

“menghindari kemafsadatan lebih diutamakan dibanding dengan mengambil

kemaslahatan”. Berangkat dari kesadaran tersebut, majelis hakim seharusnya

menemukan kebijaksanaan bahwa istilah “perlindungan anak” merupakan kata

umum yang mempunyai banyak macam dan jenis, yang terdiri dari: keberadaan

nasab, jaminan waris, jaminan perwalian, dan jaminan kemanusiaan (yang terdiri

dari biaya pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan lain-lain).

2. Tawaran Kesimpulan hukum

Sebagai buah dari tawaran dari metode istinbat{, kesimpulan hukum yang

ditawarkan adalah berbasiskan kemaslahatan umum. Yakni dimaksudkan untuk

mendatangkan kebaikan bagi banyak orang dan menjauhi kerusakan. Ukuran

utama mas}lah}ah adalah (1) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran

dalam Al Qur’an maupun hadis; (2) kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti;

Page 28: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

137

(3) kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak (Zuhri, 2011: 161-

162).

Dengan demikian, penulis memilih Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012.

Menurut Penulis, fatwa tersebut telah membawa spirit perlindungan anak tanpa

melakukan destruktif terhadap prinsip munakah}a>t Islam. Berdasarkan semangat

kategorisasi hak59, rasionalisasi penerapan Fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012

bisa dijelaskan berikut ini.

Kategorisasi di sini dimaksudkan untuk memberikan keadilan baik bagi

anak maupun kepada laki-laki yang membuahi ibunya, tentunya dengan koridor

tidak menabrak munakah}a>t Islam. Kategorisasi ini bermanfaat agar hukum tidak

hanya memberikan maslahat individual kepada anak yang bersangkutan, tetapi

juga memberikan maslahat jama’i (tetap sakralnya pernikahan dan menjadi

pembelajaran bagi masyarakat luas). Hubungan keperdataan yang diberikan

kepada anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya bukanlah

hubungan yang pada akhirnya menyamakan mereka sebagaimana anak sah.

Kategorisasi tersebut mencanangkan bahwa hak hubungan keperdataan

dalam diri anak hasil zina tidak bisa dilihat secara global. Ada hak yang kalau

tidak diberikan akan memberi dampak langsung dan konkrit bagi kehidupannya

(seperti pemenuhan kebutuhan hidup), yang disebut hak yang tidak bisa

ditangguhkan atau d}aru>riyat. Ada juga hak yang jika ditangguhkan tidak memberi

59 Berdasarkan karya pada makalah ujian komprehensif, penulis mengkritisi mengenai

bagaimana seharusnya memperlakukan Putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010. Salah satu saran yang penulis ajukan adalah kita harus mampu melakukan kategorisasi hak keperdataan yang tepat diberikan sesuai kategorisasi anak luar nikah. Kalau untuk anak hasil nikah sirri, berlakulah pemberian hak keperdataan. Akan tetapi kalau untuk anak hasil zina atau li’an, pemberian hubungan keperdataan sempurna tidak berlaku. Kategorisasi tersebut sangat diperlukan agar jangan sampai semangat perlindungan anak kontraproduktif terhadap semangat munakah}a>t Islam.

Page 29: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

138

dampak langsung dan konkrit bagi kehidupannya, karena pada dasarnya piranti

hukum telah memberikan alternatif pemenuhannya (seperti hak nasab, perwalian

dan pewarisan), yang disebut hak yang bisa ditangguhkan atau h}a>jiyat.

Pemberian hak keperdataan yang sempurna terhadap anak zina justru

merupakan pelemahan terhadap prinsip munakah}a>t Islam. Ini artinya negara telah

sengaja mengabaikan hukum yang dibuatnya sendiri. Prinsip semula adalah jika

terdapat pelanggaran terhadap hukum yang dibuat negara, yang melanggar patut

mendapatkan hukuman pencabutan beberapa hak tertentu, yang asalkan tidak

sampai merugikan hak dasar. Oleh sebab itu, patutnya untuk anak zina tersebut,

negara cukup menjaga haknya hanya pada tingkatan untuk pemenuhan kebutuhan

hidup.

Melalui pemenuhan kebutuhan hidup kepada anak hasil zina, ijtihad

semacam itu telah sekaligus mencakup maqa>s}id khomsah, yakni jaminan

kehidupan (harta), pendidikan (harta), kesehatan (jiwa), masa depan (keturunan)

serta aktivitasya sebagai orang beragama (agama). Di samping itu, hak

pemenuhan kebutuhan hidup tidak bertentangan dengan sakralitas perkawinan

(sakralitas ajaran agama) yang hanya mencakup nasab, perwalian dan waris.

Melalui kategorisasi ini, anak hasil zina memang masih berhak

mempunyai hak keperdataan mengenai nafkah dan penghidupan sampai

menginjak masa remaja, tetapi tidak harus dipaksakan mendapatkan hak nasab,

perwalian dan pewarisan. Seorang anak tidak akan akan terganggu kebutuhan

hidupnya dan pendidikannya jika tidak mendapatkan hubungan penasaban

terhadap biologisnya, karena pada dasarnya masih bisa mendapatkan perhatian

Page 30: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

139

dari laki-laki yang membuahi ibunya melalui pemberian hak pemenuhan

kebutuhan hidup.

Seorang anak juga tidak akan gagal pernikahannya kalau tidak

mendapatkan perwalian dari laki-laki yang membuahi ibunya, karena pada

dasarnya negara juga memberikan alternatif berupa wali hakim. Seorang anak

juga tidak akan mengalami kerugian tidak mendapatkan harta peninggalan dari

laki-laki yang membuahi ibunya, karena pada dasarnya ada alternatif pengalihan

harta peninggalan melalui wasiat wajibah atau hibah.

Pelarangan pemberian hak keperdataan sempurna kepada anak zina masih

dalam koridor yang normal. Pemberian hak keperdataan berupa pemenuhan

kebutuhan hidup saja sudah bisa menjawab kebutuhan hak d}aru>riyat. Oleh sebab

itu, tidak usah ada pemaksaan untuk memberikan hak keperdataan sempurna,

karena di satu sisi hanyalah hak h}a>jiyat, dan di sisi lain kontradiksi dengan

munakah}a>t Islam. Orang yang memberikan hak keperdataan sempurna

sebenarnya telah menjadikan d}aru>riyat terhadap hak yang sebenarnya h}a>jiyat dan

menjadikan h}a>jiyat terhadap hak yang sebenarnya d}aru>riyat (kesucian institusi

perkawinan).

Pemenuhan kebutuhan hidup dan wasiat wajibah sudah mencukupi

perlindungan terhadap jiwa, harta dan keturunan anak sekaligus tidak menghadapi

paradoks terhadap semangat perlindungan agama dan akal. Prinsipnya dalam usul

fikih adalah istis}lahi (penyimpulan hukum berbasis maslahat) harus kembali

dalam batasan sesuai Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma’ (Ghazali, tt: 502); dan

perlindungan terhadap agama-akal-jiwa-harta-kehormatan haruslah menempatkan

urusan diniyyah sebagai pangkalnya (al-Syatibi, 1997: 32).

Page 31: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

140

Prinsip lainnya adalah الضرر يـزال serta الضرر لا يـزال بالضرر, artinya bahaya harus

dihilangkan dan bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya

yang lain. (Suyuthhi, 1965: 113 dan Abdurrahman, 1992: 83-85). Perubahan

hukum terhadap anak luar nikah tanpa perkawinan tersebut harus didasarkan

kepada adanya solusi yang tidak membahawa bahaya lainnya. Di sini terdapat hak

pada anak hasil zina yang jika diberikan justru merusak sakralitas perkawinan

(nasab, perwalian dan pewarisan). Pemberian hak pemenuhan kebutuhan hidup

dan penggantian hak waris melalui wasiat wajibah masihlah logis dan tidak

mengancam sakralitas perkawinan sesuai Fatwa MUI.

Pemberian hubungan seperti ini tidak ada bedanya dengan keadaan

seseorang yang selalu membantu orang lain yang membutuhkan. Memberi

bantuan kepada pihak yang membutuhkan adalah perbuatan mulia dan anjuran

agama. Penulis menilai hubungan seperti ini pulalah yang berlaku antara anak

angkat dengan orang tua angkatya ataupun orang lain biasa. Mereka tidak

mempunyai hubungan nasab, perwalian dan bahkan pewarisan. Kalau pemenuhan

kebutuhan hidup dan harta peninggalan melalui wasiat yang ditujukan kepada

orang lain saja dihitung sebagai amal sholeh oleh Al-Quran dan Sunnah,

pemberian serupa kepada darah daging –yang malangnya tidak ada hubungan

nasab secara syar’iy– seharusnya dianggap lebih sholeh lagi.

Melalui pendekatan seperti ini, unsur kebaruan ijtihadnya adalah

kesimpulan hukum yang tetap memberikan hubungan tanggungjawab laki-laki

yang membuahi ibunya kepada anaknya yang hasil zina, akan tetapi tidak sampai

menimbulkan konflik terhadap munakah}a>t Islam. Melalui kategorisasi ini, penulis

Page 32: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

141

juga berpendapat bahwa tidak sepatutnya hukum membebaskan sama sekali

hubungan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang membuahi ibunya. Sebagai

perbandingan, penulis tidak setuju dengan Putusan Nomor :

1308/Pdt.G/2012/PA.Bbs.

Singkat ceritanya putusan tersebut adalah sebagai berikut: Penggugat adalah isteri sah tergugat yang melangsungkan pernikahannya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kec. Brebes Kab. Brebes pada hari Selasa tanggal 01 Nopember 2011 sesuai dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 1850/003/XI/2011, tanggal 01 Nopember 2011. Sebelum perkawinan antara penggugat dengan tergugat dilangsungkan, penggugat dalam keadan hamil atau mengandung akibat pergaulan bebas dengan tergugat, yang untuk kemudian anak hasil hubungan dengan tergugat tersebut telah lahir pada 11 Desember 2010. anak tersebut sekarang dalam asuhan penggugat. Oleh sebab itu, penggugat mohon kepada majelis hakim agar memutuskan sebagai berikut: 1) mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya; 2) menetapkan jatuh talak satu ba’in sughro tergugat (tergugat) terhadap penggugat (penggugat); 3) menetapkan sebagai hukumnya anak tersebut adalah anak yang diakui dalam perkawinan antara penggugat dengan tergugat dan mempunyai hubungan keperdataan dengan tergugat; 4) menetapkan sebagai hukumnya hak asuh anak jatuh pada penggugat; 5) menghukum tergugat untuk membayar biaya kebutuhan hidup anak tersebut untuk setiap bulannya sebesar rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) secara terus menerus sampai anak tersebut berusia 21 tahun atau sudah menikah; 6) membebankan biaya perkara ini sesuai dengan hukum yang berlaku. Akan tetapi, majelis hakim mengadili: 1) mengabulkan gugatan penggugat sebagian; 2) menjatuhkan talak satu bain sughro tergugat (tergugat) terhadap penggugat (penggugat); 3) menyatakan gugatan penggugat selain dan selebihnya tidak dapat diterima; 5) membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar rp. 341.000,- (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah).

Putusan tersebut pastinya mengindikasikan semangat anti perlindungan

anak. Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang telah membuahi seorang

perempuan, yang kemudian pembuahan tersebut menjadi seorang anak secara

Page 33: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

142

nyata, lalu hukum tidak memberi hukuman bagi laki-laki tersebut untuk

mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut? Bagaimana mungkin hukum justru

hanya memberi pembebanan kebutuhan hidup tersebut kepada seorang perempuan

sendirian?

Sebagai pembanding, di bawah ini terdapat contoh dua putusan pengadilan

yang telah membedakan antara hak yang sakral dengan yang berdimensi

kemanusiaan bagi anak hasil zina.Yang masuk kategori pertama adalah adalah

hubungan nasab, perwalian, dan waris. Sementara hak yang masuk kategori kedua

adalah pemenuhan kebutuhan hidup dan wasiat.

Bedasarkan salinan Penetapan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA JS diperoleh

informasi bahwa para pemohon adalah pasangan suami isteri yang telah

melangsungkan pernikahan menurut agama Islam pada tanggal 31 Maret 2013

dan telah dicatat pernikahannya di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran

Lama. Pada tanggal 02 Maret 2013, yakni 29 hari sebelum pernikahan tersebut

diatas, Pemohon II (perempuan) telah melahirkan seorang anak perempuan hasil

hubungannya dengan Pemohon I (laki-laki). Dalam Kutipan Akta Kelahiran No.

171/KLU/DINAS/2013 tertanggal 19 Juli 2013, Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta menyatakan bahwa anak tersebut hanyalah

adalah anak hanya dari seorang ibu yaitu Pemohon II. Oleh sebab itu, mereka

memohon penetapan anak perempuan yang lahir pada tanggal 02 Maret 2013

sebagai anak dari Pemohon I dan Pemohon II.

Kesimpulan hukum oleh majelis hakim yang menandakan semangat

kategorisasi hak keperdataan anak zina adalah pemisahan antara tanggungjawab

pemenuhan kehidupan sehari-hari dengan hubungan nasab. Majelis hakim pada

Page 34: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

143

Penetapan Nomor 0156/Pdt.P/2013/PA JS menetapkan anak yang lahir pada

tanggal 02 Maret 2013 tersebut sebagai anak dari hasil hubungan diluar nikah

Pemohson I (laki-laki) dengan Pemohon II (ibu) ; dan oleh sebab itu, menetapkan

anak tersebut hanya memiliki hubungan keperdataan yang sempurna dengan

Pemohon II (ibu). Penetapan tersebut menunjukkan majelis hakim masih menjaga

sakralitas nasab, waris dan perwalian. Selanjutnya, sebagai sarana melindungi hak

anak, majelis hakim menetapkan anak tersebut memiliki hubungan keperdataan

dengan Pemohon I (laki-laki) sebatas kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak

tersebut sampai dewasa atau berdiri sendiri dan washiat wajibah maksimal 1/3

bagian.

Strategi kategorisasi hak anak juga diterapkan dalam penetapan Nomor

0008/Pdt.P/2013/PA.Yk. Berdasarkan salinannya diperoleh informasi bahwa para

pemohon adalah suami dan istri. Pada tanggal 3 Januari 2009, para Pemohon

melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor

Urusan Agama Kecamatan Mantrijeron Kota Yogyakarta. Kurang lebih satu tahun

lebih lima bulan sebelum tanggal pernikahan tersebut, atau tepatnya pada tanggal

25 Juli 2007, Pemohon II (perempuan) telah melahirkan 1 orang anak berjenis

kelamin perempuan.

Oleh sebab itu, mereka memohon: 1) mengabulkan pemohon para

pemohon; dan 2) menetapkan anak tersebut diakui sebagai anak sah para

pemohon berdasarkan pengakuan para pemohon. Akan tetapi, majelis hakim

menetapkan: 1) menolak permohonan para pemohon; dan 2) menyatakan anak

lahir di Yogyakarta pada Tanggal 25 Juli 2007 hanya dapat dinasabkan kepada

Pemohon II selaku ibu kandungnya. Selain itu, majelis hakim juga memberi

Page 35: BAB IV METODE ISTINBAT{{ DAN KESIMPULAN HUKUMeprints.walisongo.ac.id/2548/6/125112084_Tesis_Bab4.pdf · menerapkan ayat Al-Quran dan hadits yang tidak relevan dengan objek hukum,

144

catatan bahwa meskipun anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan

Pemohon II selaku ibu kandungnya, akan tetapi anak tersebut memiliki hubungan

keperdataan dengan Pemohon I sebagai laki-laki yang membuahi ibunya sebatas

berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anak

tersebut sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.