bab iv kedudukan perempuan dalam keluarga...

43
153 BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA Perilaku Masyarakat Nias Terhadap Perempuan Keluarga Dan Hierarki Kekusaan Sebelum masuk dalam pembahasan tentang “bagaimana” kedudukan perempuan dan mengapa perempuan memiliki kedudukan seperti itu, terlbih dahulu penulis mengajak pembaca memahami “keluarga” sebagai tempat pertama pembentukan “karakter manusia” dan penerapan konstruksi sosial terhadap gender serta hierarki kekuasaan yang terdapat dalam sebuah keluarga. Pada umumnya keluarga adalah lembaga yang sangat penting dan utama dalam kehidupan masyarakat dan pribadi. Dikatakan penting dan utama karena fungsinya sebabagai lembaga reproduksi dan sebagai tempat untuk mendapatkan perlindungan, kedamaian, kasih sayang, tempat mempersiapkan setiap individu untuk terjun ke lingkungan masyarakat atau tempat mendapatkan nilai-nilai melalui sosialisasi yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung (melalui keteladanan hidup) dari orang-orang yang lebih tua dalam sebuah keluarga. Selain itu, keluarga akan melakukan fungsinya mengamati perkembangan emosional dan karakter anggotanya terutama anak-anak. Tanpa melakukan fungsi-fungsi ini, maka terjadilah disfungsional sebuah keluarga sebagaimana bahasa fungsional

Upload: nguyenkiet

Post on 03-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

153

BAB IV

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA

Perilaku Masyarakat Nias Terhadap Perempuan

Keluarga Dan Hierarki Kekusaan

Sebelum masuk dalam pembahasan tentang “bagaimana” kedudukan

perempuan dan mengapa perempuan memiliki kedudukan seperti itu, terlbih

dahulu penulis mengajak pembaca memahami “keluarga” sebagai tempat pertama

pembentukan “karakter manusia” dan penerapan konstruksi sosial terhadap

gender serta hierarki kekuasaan yang terdapat dalam sebuah keluarga.

Pada umumnya keluarga adalah lembaga yang sangat penting dan utama

dalam kehidupan masyarakat dan pribadi. Dikatakan penting dan utama karena

fungsinya sebabagai lembaga reproduksi dan sebagai tempat untuk mendapatkan

perlindungan, kedamaian, kasih sayang, tempat mempersiapkan setiap individu

untuk terjun ke lingkungan masyarakat atau tempat mendapatkan nilai-nilai

melalui sosialisasi yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung (melalui

keteladanan hidup) dari orang-orang yang lebih tua dalam sebuah keluarga. Selain

itu, keluarga akan melakukan fungsinya mengamati perkembangan emosional

dan karakter anggotanya terutama anak-anak. Tanpa melakukan fungsi-fungsi ini,

maka terjadilah disfungsional sebuah keluarga sebagaimana bahasa fungsional

Page 2: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

154

stuktural (Parson, Marton, Cohen dan Ihromi), artinya bahwa timbul

ketidakseimbangan sistem yang bisa berakibat percerian, kekerasan, konflik dan

bahkan akan menghasilkan generasi muda yang berkepribadian buruk.

Bagi masyarakat Nias, keluarga adalah segalanya, keluarga adalah lembaga

pertama dalam utama. Hal ini dibutktikan dengan perjuangan setiap keluarga

besar dalam membentuk sebuah keluarga batih yang baru dengan mengorbankan

materi dalam jumlah yang banyak, pemikiran dan dengan setiap mengikuti

tahapan dan proses ritual pernikahan.

Dalam tradisi yang dikristalkan menjadi adat, setiap pribadi akan melakukan

fungsinya sesuai dengan diferensiasi peran sehingga terjadi suatu keseimbangan

sebagaimana Parson maksudkan dalam teori structural fungsional keluarga.

Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa dalam menjalani fungsi sering terjadi

konflik akibat disfungsional keluarga. Konflik akan selalu berujung pada

kekerasan terhadap yang lemah—kelompok yang lemah adalah anak dan

perempuan sebagaimana tesis teori konflik keluarga. Beberapa faktor terjadinya

suatu konflik dalam sebuah keluarga;

1. Hilangnya suatu solidaritas dalam sebuah keluarga. Artinya adalah motivasi

dan kesiapan setiap anggota keluarga untuk merasa memiliki sebagai anggota

sistem dan saling percaya untuk memenuhi harapan bersama yang melekat

pada keanggotaan dalam peran masing-masing.

2. Hilangnya keteraturan fungsi masing masing-masing-masing anggota

(hilangnya diferensiasi peran) atau pribadi sebagai subsistem dari kelurga

yang menciptakan disfungsional

Page 3: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

155

3. Adanya ketidaksiapan dan ketidak mampuan masing-masing anggota

keluarga sebagai subsistem untuk menerima dan memehami setiap perbedaan

4. Faktor pertama sampai ketiga adalah faktor internal (dari dalam diri setiap

orang). Faktor eksternal artinya faktor dari luar berupa tradisi/budaya dan

agama. Setiap pribadi dikondisikan oleh tatanan yang telah diatur dalam

suatu aturan adat dan agama yang mendorong setiap pribadi dalam setiap

keluarga menempatkan orang lain pada posisi kemanusiaan yang lebih

rendah—dalam tataran inilah terjadi diskriminasi, penindasan pribadi-pribadi

yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud tidak

didasari oleh kepemilikan akses terhadap hal-hal yang dianggap bernilai

seperti ekonomi dalam sebuah keluarga sebagaimana anggapan teori konflik

keluarga, tetapi adanya legitimasi adat dan agama untuk melakukan

diskriminasi dan penindasan sehingga menempatkan orang yang lemah

(objek) menjadi subaltern atau subordinat.

Dalam berbagai teori Feminis, feminis Sosialis dan Marxisme yang

meminjam teori Marx dan Engel, tentang perempuan yang ditindas oleh budaya

patriakhi dan kapitalis maupun teori poskolonial Feminis yang melihat

ketertindasan dunia ketiga dari bebrapa sudut yaitu keterjajahan dari penjajah,

budaya patriakhi, agama dan budaya memahami “kekuasaan” yang digunakan

laki-laki bagi perempuan dan perempuan bagi perempuan sebagai alat untuk

menundukan perempuan yang dianggap sebagai pribadi yang lemah, karena di

satu sisi adanya stereotipe fisik dan karakter perempuan yang lemah, di sisi lain

karena akses terhadap hal-hal yang dinilai berharga.

Page 4: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

156

Meminjam konsep kekuasaan Foucalt, kekuasaan suami terhadap istri,

perempuan terhadap perempuan lain adalah sikap tunduk perempuan pada

pengendalian laki-laki sebagai suami dan ketergantungan pada suami sebagai

kepala rumah tangga, atau ibu mertua terhadap menantu—istri tidak bisa

melakukan dan memutuskan karena perempuan hanyalah bȍli gana’a dan atau

ono alawe. Berkaitan dengan kuasa, ibu mertua atau suami sebagai subjek

diproduksi melalui wacana adat yang disakralkan dalam sebuah fondrakȍ.

Perempuan yang sebenarnya bersama dengan suami menjadi subjek berubah

menjadi objek melalui jalinan kuasa budaya patriakal, karena itu subjek yang adalah

suami dilihat sebagai individu yang superior, sedangkan objek yang adalah istri

sebaliknya berada dalam posisi yang ditaklukkan oleh subjek.

Dalam sebuah keluarga adat terjadi hierarki kekuasan terhadap perempuan.

Pertama, sebagai subjek, suami memiliki kekuasaan dan kendali terhadap objek

(istri). Kedua adalah bagi perempuan muda yang yang baru diperistri, maka

perempuan sebagai objek dikendalikan dan harus hidup ketergantungan terhadap

suami dan mertua (dalam hal ini ibu meretua lebih berperan aktif); ketiga adalah

perempuan sebagai anak, berada dibawah kekuasaan orang tua dalam sebuah

keluarga. Lebih jelas digambarkan dalam bagan di bawah ini;

Page 5: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

157

Bagan 1. Suami/laki-laki menjadi pimpinan tertinggi dalam sebuah keluarga

Keluarga berada dalam sebuah lingkaran adat yang ketat (segala sesuatu harus

berdasarkan adat), dalam konsep keluarga dalam masyarakat Nias, sebuah keluarga yang

disebut fongambatȍ terdiri dari laki-laki dewasa (suami yang kemudian disebut ayah)

dan perempuan (istri yang kemudian disebut ibu) serta anak-anak, baik laki-laki dan

perempuan. Ayah berperan sebagai kepala rumah tangga karena itu dalam hirarkhi

kekuasaan sebagai subjek dan istri sebagai objek. Namun bersama-sama menjadi subjek

bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Kekuasan penuh akan berada ditangan seorang

laki-laki di saat mertua telah meninggal.

Page 6: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

158

Bagan 2. Ibu Mertua berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah

keluarga

Bagan ke dua mau menjelaskan bahwa setelah seorang anak laki-laki

membentuk sebuah keluarga maka laki-laki tersebut keluar dari keluarga batih

ayah dan ibunya, dan membentuk sebuah keluarga batih yang baru, namun

hierarki kekuasaan dalam keluarga baru itu pimpinan teratas bukanlah suami,

tetapi mertua—umumnya ibu mertualah yang memegang kendali dan bersikap

sebagai subjek kekuasaan pertama, kemudian laki-laki atau suami menjadi objek

kekuasaan ibunya dan subjek kekuasaan atas istrinya. Itulah sebabnya sebagian

keluarga baru sering mengalami percekcokan akibat kekuasaan ibu laki-laki.

Jadi dalam sebuah jaringan kekuaasaan dalam sebuah keluarga, perempuan

muda yang baru diperistri akan hidup di bawah kekuasaan ibu mertuanya dan

suami, sehingga mendapatkan banyak tekanan dan selalu dikondisikan pada

oposisi biner di mana perempuan sebagai istri yang belum dewasa mengalami

diskriminasi dan dianggap sebagai pribadi kedua dalam sebuah keluarga. Sebagai

Page 7: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

159

istri dan menantu dalam sebuah keluarga harus patuh, kreatif dan rajin, serta

menggantungkan nasib terhadap subjek.

Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga.

Di atas telah dijelaskan bahwa Kedudukan peremupuan adalah kekuasaan

perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial); di dalam atau di

luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan

dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan

anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri. Kekuasaan ini

bersumber dari beberapa bentuk, yakni; harta, status sosial dan budaya.

kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu konteks sosio-budaya

dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa berdasarkan jenis kelamin

yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi pendidikan, pengalaman,

ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku dalam masyarakat dalam

kategori perilaku dan segi ideology.

Dari konsep tersebut maka berdasarkan hasil penelitian (Baca Bab 3) maka

perempuan berada dalam dua kedudukan yang saling bertentangan, di satu sisi

perempuan sebagai anak hanyalah sebagai pribadi titipan, dan sebagai istri,

mendapat kedudukan sebagai kuda pekerja yang tidak pernah berhenti bekerja dan

selalu berada pada posisi yang subordinat di sisi lain, perempuan dianggap

sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata, karena itu perempuan selalu

diagungkan, dimuliakan dan dilindungi. Kedudukan perempuan tersebut dalam

keluarga, bisa dilihat dalam perilaku masyarakat terhadap perempuan. Berikut

uraian kedudukan perempuan sebagai anak, istri, dan janda.

Page 8: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

160

A. Perempuan Sebagai Anak dalam Keluarga

Menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dalam sebuah

masyarakat sangat lebih baik, jika analisanya dilakukan secara menyeluruh.

Artinya bahwa sejarah dari perempuan dalam sebuah keluarga harus dikupas

mulai dari kecil bahkan sejak dari kandungan sampai perempuan tersebut menjadi

janda bahkan setelah meninggal.

Dalam berbagai teori feminis, perilaku dan kedudukan anak dalam keluarga

tidak menjadi perhatian, yang dilakukan hanya menganalisi perlaku keluarga atau

sosial terhadap perempuan secara umum. Namun pada tahap analisa ini, penulis

akan memilah-milah bagaimana kedudukan perempuan dalam keluarga menurut

tahap tahap sejarah yang dijalani oleh perempuan itu sendiri seumur hidupnya.

Sebuah filosophi Nias mengungkapkan bahwa “ndro hȍrȍ gana’a ba ndro

dȍdȍ ndraono” artinya bahwa harta hanya kesenangan mata semata, sementara

anak adalah buah hati yang sangat dirindukan kehadirannya dalam sebuah

keluarga. Kehadiran seorang anak dalam sebah keluarga adalah suatu peristiwa

yang sangat dinanti-nantikan, karena itu, bila seorang anak tidak kunjung

dikaruniai dalam sebuah keluarga, keluarga kecil tersebut akan melakukan

berbagai ritus adat yang melelahkan dan menghabiskan uang. Tetapi buat orang

Nias, uang adalah sesuatu yang bisa dicari, diperjuangkan—materi yang bisa

dicari dengan hasil keringat, tetapi anak adalah pemberian sang Pengada. Karena

itu jika sebuah keluarga belum kunjung mendapat anak, berarti ada sesuatu yang

menjadi penghalang berkat Sang Pengada itu. Untuk itu perlu ada ritus.

Kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga sangat mempengaruhi

wibawa atau harga diri sebuah keluarga besar, bila sebuah keluarga kecil sudah

Page 9: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

161

terbentuk 3 bulan, namun belum ada tanda-tanda kehamilan bagi seorang istri,

maka hal itu menjadi sebuah gunjingan di masyarakat, bahwa istri si-A mandul,

kemandulan bagi seorang istri adalah sebuah aib karena pertanda bahwa

perempuan tersebut tidaklah sempurna. Tetapi bila seorang anak lahir, maka cinta

dan suasana sebuah keluarga semakin hangat, wibawa dan harga diri sebuah

keluarga di lingkungan sosial semakin meningkat.

Suasana sukacita yang hadir dalam sebuah keluarga sangat berbeda—

tergantug dari jenis kelamin; bila anak yang lahir seorang anak perempuan, maka

keluarga menyebutnya sebagai ana`a jatua (harta bagi keluarga), karena itu dalam

proses pertumbuhanya, anak ini akan dijaga dengan ketat agar tidak ada orang

yang mendatangkan aib dan atau menghilangkan “harta” tersebut.

Bagi masyarakat Nias, memiliki sepuluh anak perempuan dianggap tidak

sempurna bila belum memiliki anak laki-laki walaupun hanya satu orang, karena

itu suami/ayah bisa menikah kembali atau akan mengadopsi anak laki-laki sebagi

pewaris. Logikanya adalah hidup sangat tidak berarti bila memilki harta yang

banyak (anak perempuan identik dengan harta), tetapi tidak memiliki pewaris

dan pelindung (anak laki-laki). Karena itu seorang suami harus menikah kembali

atau setelah Kekristenan menjadi agama suku Nias, maka sebuah keluarga harus

mengadopsi seorang anak laki-laki sebagai pewaris bagi sebuah keluarga.

Bila seorang anak laki-laki terlahir dalam sebuah keluarga, maka

kebahagiaan, sukacita dan harga diri sebuah keluarga, terkhusus bagi seorang

suami dalam lingkungan sosial, karena seorang pewaris telah lahir baginya. Hal

ini disebut dengan fangali mbȍrȍ jisi, fangali mbu’u kawongo.

Page 10: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

162

Penulis senang meminjam istilah Mahatma Gandhi, bahwa anak perempuan

semasa kecil sampai remaja, hanyalah sebagai pribadi titipan, atau dalam bahasa

gender dan feminis perempuan termarginalisasi, dan subordinat, artinya bahwa

adanya anggapan, sikap dan tindakan masyarakat dan atau keluarga yang

menempatkan perempuan sebagai pribadi pelengkap atau lebih rendah dari pada

laki-laki. Masyarakat Nias melalui tradisi menempatkan anak perempuan dalam

keluarga sebagai kelas subordinat.

Sebagai pribadi titipan pribadi ini tidak memiliki hak dalam sebuah

keluarga, kecuali hak mendapatkan kebutuhan dasar, namun memiliki segudang

kewajiban. Ada empat alasan hak-hak anak perempuan dalam masyarakat Nias

sangat di batasi sehingga terkesan bahwa perempuan sebagai anak

termarginalisasi dalam sebuah keluarga;

1. Karena anak perempuan adalah “harta”, maka ada kekhuatiran bahwa di

luar rumah ada banyak ancaman bagi harta tersebut, sehingga harta

keluarga ini bisa hilang. Harta ini bisa hilang karena anak perempuan

diculik orang, atau dilecehkan atau diperkosa. Bila hal itu terjadi maka

proses adat pernikahan bagi anak perempuan tidak bisa dilakukan, dan bila

proses adat tidak dilakukan maka “bȍwȍ” untuk seorang perempuan hilang.

Seorang perempuan yang dilecehkan atau diperkosa tidak dianggap sebagai

anak gadis, karena itu keluarga besar akan memaksa pelaku kekerasan

(perkosaan atau pelecehan) untuk memperistri perempuan tersebut tanpa

“bȍwȍ”. yang dibayar hanya denda adat dan sangsi berupa kekerasan fisik.

2. Rentan-nya perempuan dari tindakan kekerasan; seksual, pelecehean,

kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan oleh lingkungan. Hasil penelitian

Page 11: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

163

yang pernah dilakukan PKPA menunujukan bahwa perempuan lebih rawan

mengalami berbagai bentuk kekerasan dari orang terdekat atau orang yang

tidak dikenal karena identitasnya sebagai perempuan yang diidendikan

sebagi pribadi penggoda, lemah, dan tidak berdaya.

3. Seorang anak perempuan tidak didorong untuk sekolah karena perempuan

kelak domisilinya hanya di dapur, sumur dan kasur.

4. Dilihat dari sisi kemampuan intelektual, sebagaimana perempuan India

dalam perjuangan Spivak dalam teori feminis poskolonial, Orang Nias

beranggapan bahwa anak laki-laki di dorong mengenyam pendidikan

setinggi-tingginya karena laki-laki lebih pintar dari pada perempuan, lebih

bijak dan berani. Namun dari sisi ilmu pengetahuan, anggapan tersebut bisa

dibuktikan salah, karena itu, Heymans mengatakan bahwa “kita tidak

memiliki hak sedikitpun untuk mengfonis bahwa laki-laki lebih pintar dari

perempuan” hal ini dasari dari pengalamanya mengajar bahwa ternyata

perempuan jauh lebih unggul dari pada laki-laki. Ir. Soekarna mengakui hal

ini, dalam cerita pengalamanya menjadi guru di H.B.S. dan sekolah

mengengah bahwa perempuan memiliki prestasi yang jauh cemerlang

dibanding dengan laki-laki. Pengakuan yang sama disampaikan oleh

Freunlich seorang asisten Eisntein mengaku bahwa pelajar-pelajar

perempuan bisa dipacu untuk memutar otak untuk berpikir dan

menyelesaikan sosal-soal yang sangat sulit1. Bila ada yang mengatakan

bahwa otak laki-laki lebih besar dari otak perempuan, maka ilmu

pengetahuan membuktikan bahwa bahwa otak perempuan lebih besar

1 Ir. Soekarno, Sarinah, 25-27

Page 12: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

164

dibanding dengan laki-laki. Setiap perempuan memiliki otak sebesar 23,8

gr per kilogram tubuh manusia, sementara laki-laki hanya memiliki 21,6 gr

perkilogram tubuh manusia, tetapi ketajaman pikiran dan kepandaian tidak

didasari pada besar kecilnya otak2, tetapi lebih pada bawaan intelektual,

pelatihan atau pengasahan ketajaman berpikir. Pada umunya prestasi

perempuan lebih unggul dari laki-laki karena perempuan lebih telaten dan

serius melakukan apapun di banding dengan laki-laki.

Sebagai pribadi titipan, setelah anak perempuan menginjak umur dewasa

akan dilamar dan dinikahi seorang pemuda, saat itu perempuan akan dipindahkan

dari keluarga “orangtua yang melahirkanya” masuk dalam keluarganya yang

“sebenarnya”. Di dalam keluarga batihnya nanti perempuan memiliki hak

sebagai solaya ngai mbatȍ. Dalam pemindahan pribadi titipan ke dalam sebuah

keluarga batih, orangtua meminta sebuah pengorbanan materi dari keluarga laki-

laki yang melamar—sebagian kaum perempuan yang memiliki kesadaran

separate knower (sebagaimana teori kesadaran epistimologis Belenky) menyebut

bahwa bȍwȍ yang diminta oleh keluarga pengantin perempuan merupakan

transaksional kapitalis—menjual anak perempuan, hal ini sepadan dengan

filosophi anak perempuan sebagai ana`a zatua.

Dalam posisinya sebagai “ana’a zatua”, rupanya tidak hanya terletak pada

“bȍwȍ” yang diterima oleh orang tua saat pernikahan anaknya, tetapi yang

menjadikan perempuan sebagai “ana’a zatua” adalah peranya dalam mendorong

dan menyokong perekonomian keluarga melalui tenaganya. Seorang anak

2 Soekarno, 26-28

Page 13: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

165

perempuan tidak didorong untuk sekolah, supaya mengapdikan diri dan tenaganya

untuk membangun perekonomian keluarga.

Kalau Engels menyebut bahwa perempuan-perempuan menjadi kepala

pembantu atau bahkan budak dalam keluarga, namun bila dilihat dalam konteks

Engels bahwa yang dimaksud dengan kepala pembantu atau budak dalam

keluarga adalah para perempuan-perempuan dewasa atau para istri yang memiliki

segudang pekerjaan namun tidak mendapat bayaran. Dalam konteks budaya Nias,

anak perempuan bukanlah kepala pembantu melainkan budak-budak kecil.

Perempuan-perempuan kecil dalam sebuah keluarga yang diwajibkan bekerja di

sawah, mengurus ternak (mengambil makanan babi dan memberi makan babi-

babi), berkebun. Bersama dengan ibu dan ayahnya bekerja membangun ekonomi

keluarga—bila perekonomian semakin mapan, maka ayahnya akan melakukan

owasa (pesta adat) dan strata sosial keluarga tersebut akan meningkat. Namun di

saat perempuan menikah, orang tua bersama keluarga besar mengambil Bȍwȍ

(mahar) sesuai dengan strata sosial ayahnya; semua harta dan jabatan (strata

sosial) orang tua yang telah dibangun bersama tidak diwariskan kepada anak

perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan akan mendapatkan segalanya

di rumah keluargangya yang “sebenarnya.”

B. Perempuan Sebagai Istri

1. Istri sebagai Pribadi yang kedua dalam Kelurga

Tradisi Nias telah membangun suatu streotipe tentang laki-laki dan

perempuan serta membangun suatu oposisi binner bahwa laki-laki adalah jenis

kelamin yang utama dalam keluarga, sementara perempuan sebagai kelas

subordinat—baik sebagai anak maupun sebagai orang tua dalam sebuah

Page 14: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

166

keluarga—hal ini terjadi atas konstruksi sosial melalui tradisi yang telah

ditetapkan melalui fondrakȍ. Baik sebagai anak atau sebagai orang tua, laki-

laki adalah pribadi yang diutamakah, sementara perempuan sebagai kelas dua

atau pelengkap hidup laki-laki—namanya pelengkap bisa ada bisa tidak dalam

kehidupan keluarga. Kedudukan perempuan sebagai subordinat dalam

keluarga dalam berbagai bentuk sebagaimana tradisi memposisikan

perempuan Nias pada kedudukan tersebut;

* Perempuan Dalam Pertemuan Penentuan Adat.

Dalam Nias tradisional, fondrakȍ atau famatȍ Harimao tempat pertama

sekali posisi perempuan dalam keluarga, lingkungan sosial, ditentukan.

Spivak mengkritik keterlibatan Inggris sebagai Negara Kolonial yang

membuat undang-undang pelarangan praktek sati di India tanpa melibatkan

perempuan pribumi, sehingga melahirkan sati-sati yang baru dan lebih

menyiksa perempuan India. Karena itu menurut Spivak, dalam proses

konstruksi atau bahkan rekonstruuksi sebuah kebenaran harus melibatkan

perempuan untuk menentukan nasibnya.

Hal yang sama terjadi di Nias, dalam merancang dan memutuskan

aturan adat adalah laki-laki. Para laki-laki terlibat aktif merencanakan dan

memutuskan segala peraturan demi terciptanya keteraturan dalam sebuah

proses Fondrakȍ atau famatȍ harimao tanpa melibatkan perempuan. Segala

hasil Fondrakȍ tidak boleh dilanggar. Dalam proses ini perempuan dianggap

subordinat—pelengkap laki-laki di rumah, perempuan tidak diijinkan

Page 15: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

167

bersama suaminya dalam sebuah pertemuan adat terlebih pada sebuah

“sidang” fondrakȍ.

* Perempuan dalam Penerimaan Lamaran

Proses pembentukan keluarga di dahului dengan pelamaran, ironisnya

keluarga yang akan dibentuk dan dijalani oleh sepasang laki-laki dan

perempuan dikendalikan dan dirancang oleh para orang tua. Perempuan yang

dilamar tidak berhak menerima atau menolak sebuah lamaran dari sebuah

keluarga, bahkan setelah lamaran diterima, seorang perempuan dilarang untuk

membangun komunikasi dengan calon suaminya—hal itu dianggap tabu.

Tradisi menggariskan bahwa perempuan sebagai pribadi yang harus

menurut, orang tua lebih mengetahui yang terbaik bagi anaknya, walaupun

kemudian hari, yang menjalani keluarga baru tersebut adalah anak

perempuan. Anak perempuan dilarang membantah, sehingga pada umumnya

perempuan yang akan menikah depresi, jarang makan dan di hari

pernikahanya yang seharusnya adalah hari kebahagiaan menjadi hari yang

terkutuk bagi perempuan—tidak sedikit pengantin perempuan di hari

pernikahannya jatuh pingsan dan di saat pengantin perempuan diangkat

disebuah kursi kebesaran dimana dia dianggap sebagai ratu menangis

histeris—adanya ketakutan untuk menuju sebuah keluarga baru, keluarga

besar yang belum diketahui karakternya, laki-laki asing yang akan satu

tempat tidur denganya.

Page 16: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

168

* Perempuan Dalam Penentuan Bȍwȍ

Dalam penentuan besar kecilnya bȍwȍ sebuah pernikahan ditentukan

keluarga besar yang disebut iwa atau talifusȍ, bersama ayah dan kepala adat.

Besar kecil suatu bȍwȍ pernikahan sangat dipengaruhi oleh strata sosial

kepala keluarga (ayah) sebagaimana telah ditentukan dalam fondrakȍ. Dalam

penentuan besaran bȍwȍ ini, perempuan sebagai ibu atau sebagai calon

pengantin tidak dilibatkan.

Seorang ibu tidak memiliki hak untuk bernegosiasi dengan bȍwȍ

anaknya karena mungkin adanya sebuah belas kasihan, atau sebagai calon

pengantin tidak berhak mengetahui atau bernegosiasi (supaya bisa dikurangi)

besaran bȍwȍ yang diminta oleh ayahnya karena hal itu dianggap tabu dalam

tradisi Nias.

* Peranan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga

Perempuan baik sebagai istri atau janda atau anak dalam keluarga

dianggap sebagai pribadi pelengkap laki-laki. Sebagai istri harus menghargai,

mendengar, melakukan segala bentuk keputusan suami—tanpa suatu

bantahan. Sebagai janda, perempuan dilarang mengambil keputusan dalam

sebuah pertemuan keluarga besar dengan alasan;

1. Tebai tobali saita jimbi jigelo (rahang babi betina tidak bisa menjadi

gantungan barang), artinya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin dan

pengambil keputusan, karena perempuan dalam pengambilan keputusan

tidak didasari pada logika dan pertimbangan yang matang, melainkan

selalu di dasari pada emosional

Page 17: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

169

2. Ira alawe ha ni’ȍli tȍla hȍgȍ (perempuan hanyalah pribali yang dibeli),

artinya bahwa seorang perempuan dalam sebuah keluarga dianggap

memiliki nilai yang sama dengan harta—saat pernikahan bȍwȍ dianggap

sebagai transaksi ekonomi untuk membayar harga perempuan, sehingga

setelah menikah, perempuan menjadi milik pribadi suami sebagaimana

bahasa Engel. Sebagai milik pribadi, pribadi ini hanyalah benda karena itu

tidak berhak membuat sebuah keputusan.

Perempuan yang telah menikah (berstatus istri dan ibu) masih tetap

berstatus sebagai anak di rumah ayah kandungnya dan saudari dari saudara-

saudaranya. Statusnya sebagai anak di sebuat sebagai ono alawe.

Kedudukan ono alawe di rumah ayahnya tidak lebih dari seorang tamu bila

berkunjung, namun bila ada acara yang diadakan keluarga besar ayahnya

yang disebut sitenga bȍ`ȍ dan uwu, maka ono alawe diwajibkan mendukung

dari segi dana berupa bȍwȍ, dan dukungan tenaga, karena perempuan

hanyalah pekerja. Di sisi lain Ono alawe (perempuan beserta suaminya) tidak

memiliki hak bersuara dalam setiap pertemuan keluarga, karena dia hanyalah

perempuan (ono alawe)—domisili ono alawe hanyalah di dapur, bukan

diruang para lelaki. Domisili kekuasaan ono alawe adalah di keluarga besar

suaminya, di mana di sana tidak berstatus sebagai ono alawe, tetapi sebagai

pemilik dan penguasa dalam sebuah keluarganya.

Sebagai ono alawe tidak pernah diperhitungkan dalam sebuah garis

keturunan, melainkan sebagai pribadi yang menyatu dengan garis keturunan

suaminya, bukan garis keturunan ayah kandungnya, karena itu, bila seorang

Page 18: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

170

perempuan tidak pernah berkeluarga, maka lambat laun namanya akan hilang

dalam sejarah keluarga.

Walaupun dalam bahasa adat bahwa seorang perempuan tidak memiliki

hak dalam rumah orang tuanya, karena segala sesuatunya di dapatkan di rumah

suaminya, dimana perempuan tersebut menjadi solaya ngai mbatȍ, termasuk

kekuasaan dalam keluarga, tetapi kenyataannya bahwa tidaklah demikian. Adat

masyarakat Nias telah menentukan bahwa seorang perempuan yang menjadi istri

harus patuh, terhadap kepala keluarga yakni suaminya, dan kepada mertuanya.

Beberapa nama perempuan yang menunjukan perempuan sebagai pribadi

subordinat dalam keluarga setelah menjadi istri dan atau sesampainya dirumah

suaminya;

2. Istri sebagai pribadi subordinat pada namanya sebagai bȍli gana’a

Setelah pernikahan dan sesampainya dirumah suami, maka mertua

menyebut perempuan yang telah menjadi istri anaknya adalah bȍli gana`a (pribadi

belian) karena keluarga besar suami telah memberi bȍwȍ (mahar), selanjutnya

tubuh istri menjadi milik pribadi suami, tetapi tenaganya (pekerjaanya) milik

keluarga (mertua dan ipar) dan suami.

Sebagai bȍli gana’a, istri dianggap sebagai pribadi kedua—pelengkap

suami, menjadi pembantu bahkan budak dalam keluarga suaminya. Seorang istri

akan dipaksa untuk bekerja keras untuk membayar utang yang telah dipinjam

untuk membayar bȍwȍ, selanjutnya kalau utang telah lunas maka yang dipikirkan

adalah peningkatan strata sosial sebuah keluarga melalui owasa (pesta adat).

Kalau Feminis sosiali dan Marxis menggunakan teori Marx dan Engel yang

melihat bahwa kepemilikan materi berpengaruh besar dalam perolehan kekuasaan

Page 19: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

171

seseorang atas orang lain (terutama suami terhadap perempuan istri), laki-laki

atau suami melakukan pekerjaan di luar rumah di luar rumah untuk mencari

nafkah berupa materi, sementara perempuan sebagai istri melakukan pekerjaan

domestik, di mana pekerjaan ini tidak mengahasilkan uang (materi), karena itu

istri tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga. Namun konteks dan budaya Nias

laki-laki memiliki kekuasaan terhadap istri bukan karena laki-laki bekerja diluar

rumah untuk mencari nafkah dan menghasilkan materi. Istri bersama dengan

suami bekerja bersama di luar rumah, beternak untuk mendapatkan materi (uang)

dan istri justru memiliki kekuasaan mengelola keuangan keluarga, karena

posisinya sebagai solaya ngai mbatȍ (bendahara keluarga), tetapi segala sesuatu

materi yang diperoleh, selain untuk kebutuhan setiap hari, tetapi juga untuk tujuan

peningkatan strata sosial melalui upacara adat—bila strata sosial dilakukan maka

“nama” seorang suami akan tersiar diberbagai belahan desa, dan akan selalu

dihargai. Bagi masyarakat Nias, nama, integritas, wibawa, kemuliaan adalah hal

yang utama, karena itu, hal inilah yang menjadi tujuan hidup.

Bentuk pengeluaran lain dari keluarga adalah pembayaran bȍwȍ dolo-tolo

(dukungan secara bȍwȍ baik kepada keluarga istri atau keluarga suami), yang

semuanya itu adalah demi kemuliaan dan kebanggaan suami/laki-laki sekaligus

membangun integritas dalam keluarga mertua. Artinya bahwa kekuasaan dalam

keluarga bukan siapa yang mengasilkan banyak, atau siapa yang memiliki akses

ekonomi sebagaimana teori Marx dan Engels, tetapi siapa yang mengeluarkan

atau memanfaatkan materi itulah yang berkuasa. Perempuan hanya sebagai

pekerja bukan pengguna materi dalam kelurga.

Page 20: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

172

Sebagai pribadi kedua dalam sebuah keluarga, istri dianggap sebagai harta

milik pribadi suami. Sebagai harta milik yang memiliki hak khusus sebagai

solaya ngai mbatȍ memiliki kelelaluasaan mengelola ekonomi keluarga dengn

baik; sebagai pegelola, perempuan tidak hanya duduk diam di rumah, menunggu

apa yang di hasilkan oleh suami, tetapi bersama dengan suami bekerja keras

meningkatkan perekonomian keluarga atau jumlah harta keluarga yang semuanya

itu digunakan selain untuk kebutuhan setiap hari tetapi juga untuk menaikan strata

suami dalam adat.

Jadi apa yang menjadi tesis feminisme sosialis dan Marxis bahwa

perempuan dalam keluarga terekploitasi karena budaya patriakhi dan kapitalis,

tidak seutuhnya cocok untuk perempuan Nias. Kalau perempuan Nias

tereksploitasi karena budaya patraikhi, ada benarnya, tetapi bukan karena budaya

kapitalis (yang memiliki akses ekonomi itulah yang berkuasa), melainkan siapa

yang mengeluarkan uang lebih untuk “nama dan wibawa” keluarga itulah yang

berkuasa. Di sinilah letaknya perempuan sebagai pribadi yang disubordinat.

3. Istri sebagai pribadi subordinat pada namanya sebagai bene`ȍ

Selain sebagai bȍli gana’a ȍ, sesampainya pengantin perempuan di rumah

suaminya, maka keluarga besar dan masyarakat menyebutnya sebagai bene’ȍ.

Bene`ȍ berasal dari kata bene artinya bunga, bila ditambahkan kata kerja mo-

bene (berbunga). Jadi kata bene’ȍ bisa diartikan dengan berbunga. Kata bene’ȍ

biasanya disandangkan atau digunakan pada kontek tumbuhan yang berbunga

atau berbuah. Perempuan sebagai istri diberi nama sebagai bene’ȍ, karena dalam

sebuah keluarga perempuan diidentikan sebagai tumbuhan yang menghasilkan

Page 21: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

173

bunga atau buah dan daun sebagai penyejuk dan membawa rasa aman bagi

angoota keluarga (pada tahap inilah perempuan melakukan peran ekspresif

sebagaimana teori fungsional structural)

Bagi masyarakat Nias, daun yang rimbun tidak bermafaat bila sebatang

pohon tidak menghasilkan buah. Buah dari seorang perepuan adalah anak-anak

laki-laki yang dilahirkan sebagai pewaris bagi suami yang disebut sebagai

fangali mbȍrȍ jisi ba fangali mbu’u kawongo dan anak-anak perempuan sebagai

ana’a zatua dan famakhai jitenga bȍ’ȍ. Perempuan dianggap sebagai pribadi

yang sempurna bila melahirkan anak laki-laki dan perempuan. Namun bila

hanya melahirkan anak perempuan atau tidak memiliki anak sama sekali, maka

hal itu dianggap sebagai aib dalam sebuah keluarga tersebut, karena itu keluarga

harus mencari solusi, suami menikah kembali dan atau mengadopsi anak sebagai

pewaris.

Istri sebagai bene`ȍ dianggap hanya sebagai “ mesin pencetak anak”,

seakan-akan perempuanlah yang mengatur jenis kelamin anaknya yang akan

lahir, atau seakan-akan hormone seorang perempuan yang bermasalah.

Masyarakat Nias dengan budaya patriakhinya tidak pernah mengenal kesalahan

berada pada pihak laki-laki. Laki-laki selalu sempurna. Tanpa melahirkan,

perempuan bukanlah sebagai “manusia” sempuarna, karena itu tidak disebut

sebagai seorang ibu, dan kurang layak dihargai sebagai seorang istri.

Dalam hal ini kedudukan perempuan sebagai istri terancam dalam

kekuasaan suami yang digariskan dalam sebuah tradisi yang berbudaya

patriakhi. Bila keluarga memiliki ekonomi yang cukup mapan (harta yang

dimiliki oleh sebuah keluarga adalah hasil kerja suami bersama dengan istri dan

Page 22: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

174

warisan) maka ancamanya adalah suami akan menikah kembali; istri akan

dimadu atau diceraikan dengan menggunakan harta yang mereka kumpulkan.

Dalam posisi ini perempuan sebagai istri tidak hanya berada pada posisi yang

disubordinat, tetapi juga dimarjinalkan, bahkan menurut bahasa pokolonial

Feminis, perempuan sebagai istri ditindas atau dijajah bukan oleh Negara, tetapi

oleh budaya yang memberi keleluasaan bagi suami dalam keluarga untuk

melakukan penjajahan kepada istrinya.

C. Istri Sebagai Kuda Beban Yang Tidak Berhenti Bekerja

Van Kol seorang pemimpin belanda yang sngat senang dengan budaya

jepang menyebut perempuan Jepang sebagai satu “Werkdier” artinya satu kuda

beban yang tidak bisa berhenti bekerja”. Werkdier disandangkan bagi

perempuan jepang mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang sangat besar

dalam sebuah keuarga, sementara hak-haknya tidak sama dengan laki-

laki/suaminya3.

Istilah yang sama “Kuda Beban yang tidak berhenti bekerja” atau dalam

bahasa Feminis “beban ganda” bisa disandangkan kepada perempuan sebagai

istri di masyarakat Nias. Perempuan sebagai istri memiliki kedudukan penting

dalam sebuah keluarga yaitu sebagai solaya ngai mbatȍ. Namun kedudukanya

sebagai solaya ngai mbatȍ secara penuh akan dilakukan saat pisah rumah

dengan rumah induk (rumah orangtua suami) atau saat orang tua melakukan

fa`asambua terhadap anaknya yang telah berkeluarga. Fa`asambua ini artinya

pemisahan semua; pemisahan pendapatan, dapur (semua biaya hidup) sebuah

3 Soekarno, 132

Page 23: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

175

keluarga batih terhadap keluarga batih orang tuanya—menjadi keluarga batih

yang mandiri.

Jika masih bergabung dalam keluarga batih orang tua, maka yang menjadi

solaya ngai mbatȍ adalah perempuan sebagai ibu mertua (ibu dari suami). Selain

sebagai solaya ngai mbatȍ, ibu juga sebagai subjek kekuasaan dalam keluarga

batih anaknya, sementara istri (menantu) sebagai objek dan sebagai pekerja yang

hanya memiliki hak untuk makan, tetapi memiliki sebagai segudang pekerjaan.

Untuk memahami dengan sederhana, penulis akan menguraikan pekerjaan ganda

yang dilakukan oleh perempuan sebagai solaya ngai mbatȍ kemudian

perempuan sebagai istri yang belum berkedudukan sebagai solaya ngai mbatȍ

1. Pekerjaan Ganda perempuan sebagai Solaya Ngai Mbatȍ

Sebagai solaya ngai mbatȍ, perempuan dalam sebuah rumah tangga

bertugas sebagai kepala pembantu. Bersama dengan suami dan anak-anaknya

mengerjakan pekerjaan di luar rumah seperti berladang, bersawah, walaupun

sesampainya di ladang atau di sawah lelaki/suami hanya mengerjakan

pekerjaan yang dianggap tidak bisa dilakukan oleh perempuan, misalnya

memanjat, menebang pohon. Jika pekerjaan yang dianggap berat selesai

dikerjakan, selanjutnya laki-laki akan istrahat disebuah pondok yang telah

dibangun diladang/di sawah atau pergi berburu. Sesampainya di rumah

bersama dengan anak-anak perempuan, solaya ngai mbatȍ mengurus ternak

dan memasak. Selesai makan malam, solaya ngai mbatȍ tidak langsung tidur,

tetapi bekerja lagi menganyam tikar, bola nafo, karung dll. Subuhnya bangun

Page 24: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

176

bersama dengan anak-anak mengurus ternak, memasak dan mempersiapkan

bekal di ladang atau di sawah.

Sebagai ibu, perempuan bertanggung jawab untuk melatih anak-anaknya

bekerja serta mensosialisasikn nilai-nilai (karakter) yang harus dimiliki oleh

seorang perempuan sebagai solaya ngai mbatȍ yang baik, perempuan sebagai

agen perdamaian, dan ibu yang memiliki nama Barasi dalam keluarga dan

dalam lingkungan sosial bagi anak-anak perempuanya. Jika seorang solaya

ngai mbatȍ gagal mensosialisasikan nilai-nilai tersebut terhadap anak

perempuanya, maka kelak di saat anak gadisnya diperistri orang dan ternyata

tidak mampu menjadi Barasi, agen perdamaian, dan solaya ngai mbatȍ maka

anaknya akan menjadi objek kekerasan dan namanya selalu dibawa-bawa

dengan ungkapan “lȍ nifotu ninau ndraugȍ mege (ibumu tidak pernah

mengajari kamu dulu semasa gadis), ungkapan ini memiliki makna bahwa jika

seorang perempuan memiliki karakter yang baik, terampil, kreatif, maka sudah

pasti anaknya akan mengikuti jejak ibunya. Karena dari ibulah pendidikan

seumur hidup dijalani oleh seorang anak.

Sebagai perempuan (solaya ngai mbatȍ) memiliki segudang tanggung

jawab, tanggung jawab moral dalam mensosialisasikan kepribadian seorang

perempuan Barasi, tanggung jawab untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, dan

tanggung jawab pengembangan perekonomian keluarga—perekonomian

keluarga semakin mapan maka strata sosial suami akan semakin naik, nama

suami semakin dikenal dan dihargai. Istri tidak bekerja untuk dirinya sendiri,

tetapi untuk menjaga atau menaikan martabat, nama suami.

Page 25: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

177

Perempuan Nias menjadikan keluarga, suami sebagai prioritas hidup,

kesetiaan adalah nomor satu. Hal inilah yang menjadi khas perempuan dunia

ketiga dan menjadi bagian perjuangan femisnis poskolonial, namun selalu

ditolak oleh kaum feminis liberal dan atau kaum feminis sosialis dan marxisme

karena menurut mereka, perempuan di dalam keluarga mengalami penjajahan,

menjadi kepala pembantu rumah tangga.

2. Pekerjaan Ganda perempuan sebagai Menantu

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa seorang perempuan yang nikah

akan disebut sebagai bȍli gana`a dalam keluarga suaminya. Sebagai

beligana’a perempuan layaknya disebut sebagai pekerja atau bahkna budak

sebagaimana dalam bahasa Zeretsky yang mengatakan bahwa perempuan

hanyalah sebagai budak yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam

institusi keluarga, karena kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai

kepala keluarga.

Sebagai bȍli gana’a perempuan di tuntut untuk bekerja keras melebihi

perempuan solaya ngai mbatȍ untuk membayar berbagai utang dari bȍwȍ

pernikahanya. Dari pagi sampai sore bekerja bersama solaya ngai mbatȍ di

ladang dan di sawah, sesampai di rumah memasak dan mengurus ternak yang

banyak, malamnya bekerja menumbuk padi untuk kebutuhan setiap hari.

Biasanya di saat seorang solaya ngai mbatȍ telah memiliki menantu, maka

segala urusan dapur (memasak) dan urusan ternak menjadi tanggung jawab

menantu besarta para perempuan yang belum menikah (saudari suaminya).

Page 26: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

178

Bila solawa ngai mbatȍ berhalangan, maka bȍli gana`a bersama dengan

suaminya bekerja dengan mandiri.

Setelah memiliki anak, maka tanggung jawab semakin bertambah, harus

mampu menyisihkan waktu mengurus anak (menyusui, memberi makan,

memandikan dan mengkloning untuk tidur), hal ini dilakukan siang dan malam,

saat sehat atau tidak sehat, ditambah lagi pelayanan terhadap suami. Pada tahap

ini posisi perempuan sebagai subaltern sebagaimana bahasa Spivak.

Perempuan Nias tidak bisa melepaskan diri dari situasi ini karena menurut

tradisi bahwa memang seperti inilah kodratnya perempuan.

3. Pekerjaan Ganda Perempuan Pada Namanya Sebagai Ni’owalu

Salah satu panggilan bagi perempuan dalam sbuah keluarga adalah

ni’owalu, dari kata ni’ofalu, dari kata dasar falu, artinya carmin, gambaran.

Perempuan sebagai seorang istri harus cermin bagi suami dalam hal

perencanaan masa depan keluarga dan pengambilan keputusan dalam

masyarakat dan keluarga. Sebagai seorang suami tidak akan pernah

memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepada istrinya yang

adalah cermin bagi dirinya. Hal inilah yang menjadi filosophi kedudukan

perempuan sebagai Barasi dalam sebuah keluarga.

Filosophi ini mengalami pergeseran makna dalam kehidupan

berkeluarga. Bagi masyarakat Nias, perempuan sebagai ni’owalu adalah

pribadi yang telah diperistri dan menjadi milik pribadi laki-laki yang memiliki

tugas memenuhi kebutuhan suami dalam berbagai bidang, terutama kebutuhan

seksual. Kepuasan dan kebahagiaan suami adalah prioritas utama, karena itu,

Page 27: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

179

walaupun istri sakit, sibuk mengurus anak, pekerjaan di dalam dan di luar

rumah menumpuk, tetapi tugas utama yakni tempat tidur harus diprioritaskan,

karena perempuan adalah ni’owalu.

Kekerasan Terhadap Perempuan

1. Kekerasan Terhadap Beligana’a Atau Ni’owalu

Menurut Spivak, perempuan India adalah sebagai subaltern, karena

pengalaman hidupnya yang tertindas, yang dimarginalkan, mengalami

beban ganda serta adanya tuntutan sati. Pengalaman perempuan Nias

sebagai dunia ketiga mengalami pengalaman yang sama—sebagai subaltern

walaupun belum sampai praktek sati—Nias tidak melakukan budaya yang

demikian.

Beligana`a atau ni’owalu sebagai subaltern mengalami pengalaman

berbagai bentuk kekerasan dala keluarga; kekerasan seksual, kekerasan

psikis, kekerasan fisik. Kekerasan yang terjadi dalam keluarga sangat

memiliki hubungan erat dengan hierarki kekuasaan dalam keluarga—pelaku

kekerasan adalah subjek dan yang menjadi korban kekerasan adalah objek.

Beligana`a atau ni’owalu mengalami kekerasan dari dua arah (dari

ibu mertua/solaya ngai mbatȍ dan suami). Kekerasan yang dilakukan oleh

solaya ngai mbatȍ pada umumnya hanya dalam bentuk psikis, walaupun

sebagian kecil melakukan kekerasan fisik, namun bila solaya ngai mbatȍ

tidak mampu menahan diri, maka amarahnya akan diarahkan kepada

anaknya (suami dari perempuan), atau mengadukan bahkan mempropaganda

perilaku beligana`a terhadap anaknya dan kemudian anaknya akan

Page 28: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

180

menindaklanjuti amarah atau propaganda tersebut dengan kekerasan fisik

terhadap istrinya.

Seorang anak lebih patuh dan percaya kepada ibunya daripada

istrinya, hal ini di dasari pada sebuah ungkapan “tola musȍndra ma mu’alui

ndronga, hiza na talifusȍ ba satua tebai mu’alui” (istri bisa didapat, tetapi

saudara dan orang tua tidak) artinya seorang suami/anak harus mematuhi

dan percaya dan patuh terhadap perintah ibunya, karena seorang ibu tidak

akan bisa digantikan, sementara seorang istri yang adalah beligana’a dan

ni’owalu menjadi milik suami bisa diganti dengan perempuan yang lain.

Suami/anak bisa dinikahkan kembali dengan perempuan lain asalkan ada

uang.

Bila dipahami secara psikologis, beberapa alasan yang perlu di dalami

berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan solaya ngai mbatȍ terhadap

beligana`a atau ni’owalu;

a. Ada sebuah kecemburuan solaya ngai mbatȍ terhadap ni’owalu.

Kecemburuan yang dimaksud tidak terarah pada sesksual, melainkan

pada “cinta”. Sejak kecil, sampai sebelum menikah curahan kasih

seorang anak laki-laki adalah kepada ibunya, terkadang berbagi dengan

ibunya; menikmati masakan ibunya; bila pergi kemana-mana, pakaian

anak laki-laki selalu dikontrol (yang kotor ditempatkan di tempat kain

kotor untuk dicuci oleh anak-anak perempuan, yang bersih dilipat);

anak laki-laki yang mengantar atau menemani ibunya kekebun,

belanja, bergereja bila ayahnya berhalangan. Ikatan batin anak dengan

ibu sangat kuat. Namun setelah anak laki-laki menikah, hubungan

Page 29: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

181

tersebut murai berkurang, tempat bercerita bercerita anak beralih dari

ibu ke ni’owalu, yang mengontrol segala kebutuhan anak; pakaian,

makanan adalah ni’owalu, yang ditemani kemana-mana adalah

niowalu

b. Sebelum menikah, segala pendapatan dan keuangan anak laki-laki

dikelola oleh ibu (solaya ngai mbatȍ), tetapi setelah menikah fungsi

ibu diambil alih oleh ni’owalu sebagai istri dari anak laki-laki.

Rasa kecemburuan ini muncul dari ketidaksiapan seorang ibu

melepaskan perhatian dan cinta kasih anaknya serta fungsinya untuk

mengelola keuangan dan pendapatan anaknya. Ketidaksiapan ini

melahirkan sebuah konflik yang berujung pada kekerasan terhadap

ni’owalu.

2. Kekerasan Terhadap Solaya ngai Mbatȍ

Baik sebagai ni’owalu atau solaya ngai mbatȍ, perempuan Nias tidak

bisa menghindar dari kekerasasan suami sebagai subjek kekuasaan.

Walaupun memiliki kedudukan strategis dalam sebuah keluarga yakni sebagai

solaya ngai mbatȍ, tetapi sebagai milik pribadi suami, istri pada suatu watku

bisa diperlakukan tidak manusiawi oleh suaminya karena ketidak dewasaan

berpikir sehingga mempengaruhi komunikasi dalam sebuah keluarga yang

kurang harmonis (Baca: kekerasan dalam keluarga).

Laki-laki adalah tuhan dalam keluarga—sebagai tuhan tidak pernah

salah, karena itu setiap kasalahan selalu diarahkan kepada istri sebagai miliki

pribadi suami. Karena itu, setiap kesalahan selalu mendapat ganjaran—yang

Page 30: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

182

mendapat hukuman adalah perempuan, karena perempuan adalah istri.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam keluarga;

1. Pernikahan dini. Dua tahun setelah seorang anak laki-laki di boto (sunat)

akan dinikahkan. Seorang anak laki-laki disunat pada umur empat belas

atau lima belas tahun. Jika anak tidak dinikahkan pada umur 17 tahun,

maka hal itu dianggap sebagai aib. Seorang anak perempuan bisa

dinikahkan setelah mendapat menstruasi pertama. Seorang anak

perempuan anak perempuan yang belum nikah pada umur 18 tahun

dianggap sudah tua, dan kemungkinan tidak ada orang yang akan

melamarnya lagi. Umur pernikahan normal Nias masa dulu, laki-laki 15-

18 tahun, sedangkan perempuan berumur 13-16 tahun. Hal ini mash

terjadi di desa-desa dan daerah terpencil.

Anak-anak yang masih remaja (berumur 15-18 tahun untuk laki-

laki dan 13-16 tahun untuk perempuan) sebenarnya masih tahap

perkembangan dan penyesuaian diri untuk memasuki masa pemuda

dewasa. Umur ini masih tahap transisi dan mencari jati diri, sehingga di

saat dipaksa untuk menikah, mereka belum memahami bagaimana

mengespresikan cinta terhadap pasanganya, belum mampu menyesuaikan

diri dengan lingkungan baru, dan belum mampu membangun komunikasi

dengan baik dengan orang lain, singkatnya umur remaja belum memasuki

kemapaman berpikir dalam berumah tangga, akibatnya ungkapan bentuk

cinta lebih didominasi oleh perasaan dan emosional. Saat perasaan dan

emosional mengendalikan tindakan seseorang maka konflikpun tidak bisa

dihindari, dan yang menjadi korban konflik adalah perempuan.

Page 31: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

183

2. Bȍwȍ yang tinggi. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa

dalam pembentukan sebuah keluarga baru membutuhkan pengorbanan

yang sangat besar. Hal ini sesuatu yang lumrah dalam budaya Nias.

Karena itu, bila anak laki-laki akan dinikahkan, maka walaupun

orangtuanya tidak memiliki harta, pernikahan tetap akan terjadi, karena

keluarga tersebut akan meminjam uang dan atau babi dari kerabat dengan

model berbunga dan atau tanpa berbunga

Setelah pernikahan seorang perempuan akan disebut beligana’a.

sebagai beli ganaa’a harus bekerja keras untuk membayar utang-utang

dari bȍwȍ yang dibayarkan kepada orang tua perempuan. Sulitnya

perekonomian membuat utang tidak kunjung terbayar selama bertahun-

tahun, bahkan di atas sepuluh tahun, akibatnya bila perjanjian peminjaman

dengan menggunakan bunga, maka utang akan semakin bertambah

banyak. Seseorang yang teleh membentuk keluarga lebih lima tahun,

namun masih terlilit utang pernikahan tidak akan mendapat strata sosial

yang lebih tinggi serta selalu mendapat penghinaan dari lingkungan

sekitar, terlebih dari kerabat yang memiliki piutang. Untuk itu ada suatu

tekanan berat dari keluarga agar keluarga batih yang baru tersebut bekerja

keras, dengan sebuah motto “la`a jitebai I’a asu, laduhȍ hȍrȍra wangi’ila

sisȍkhi” artinya bekerja keras, makan apa adanya dan selalu

mengendalikan diri untuk hal-hal yang tidak penting demi pembayaran

utang.

Sebagaimana dibahas diatas bahwa hal utama dalam kehidupan

masyarakat Nias adalah “nama, wibawa”. Hal ini akan terinjak-injak disaat

Page 32: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

184

masih berlarut dalam lilitan utang. Ketidakmampuan seorang suami dan

ibu mertua dalam mengelola sebuah masalah—tekanan utang akan

dilampiaskan menjadi bentuk kekerasan psikis dan fisik terhadap istri/bȍli

gana’a.

3. Pendidikan. Faktor yang sangat utama terjadinya kekerasan dalam

keluarga adalah pendidikan yang rendah atau tidak berpendidikan sama

sekali. Pada umumnya semakin rendahnya pendidikan sesorang, semakin

rendah juga kemampuan untuk memilah-milah, mengelolah sebuah

persoalan (dalam sebuah keluarga). Rendahnya kemampuan mengelolah

sebuah masalah dalam keluarga akan mendorong tingkat kekerasan

semakin tinggi.

Dengan tidak bersekolah tentu mengkondisikan anaknya untuk

dinikahkan pada usia yang dini. Sehingga orientasi dalam pembentukan

sebuah keluarga baru bukan kebahagiaan yang didasari oleh cinta yang

dibangun atas kesadaran diri, tetapi kebahagiaan yang didasari oleh

perasaan dan emosional.

Yang menjadi inti dari beberapa faktor pemicu kekerasan tersebut adalah

ketidaksiapan ketidak mampuan individu menerima setiap perbedaan “karakter”

dari masing-masing pasangan, yang dilatarbelakangi oleh kemampuan memahami

dan memilah-milah masalah. Serta adanya pergeseran makna bȍwȍ dan nama

perempuan sebagai bȍli gana’a, ni’owalu. Disinilah peran pendidikan dan

kedewasaan berpikir hadir.

Page 33: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

185

Janda Sebagai Yang Kedua Tanpa Yang Pertama

Perempuan sebagai janda memilki fungsi ganda dalam sebuah keluarga

yakni fungsi ayah bagi anak-anak; sebagai kepala keluarga dan fungsi ibu

sebagai solaya ngai mbatȍ. Sebagai janda tidak akan pernah mengalami

berbagai bentuk kekerasan—terlebih jika ibu mertua telah meninggal, selain itu

janda akan leluasa mengelolah, menggunakan, perekonomian keluarga tanpa

kendali suami. Itulah sebabnya sebagian besar janda tidak pernah mau menikah

lagi sepeninggal suaminya. Namun perempuan sebagai janda akan akan

kehilangan hak mengelola warisan mendiang suaminya jika tidak memilki anak

laki-laki atau tidak memiliki anak sama sekali. Bagi yang memiliki anak laki-

laki, maka seorang janda memiliki hak sebagai pengelola warisan demi anak-

anaknya sampai akhir hayatnya.

Sebagai seorang janda tidak terlepas dari identitasnya sebagai bȍli gana’a

dan ono alawe di keluarganya. Artinya bahwa sebagaia sorang beligana’a,

janda adalah seorang belian dan harta milik mendiang suaminya. Sebagai “hak

milik” kedudukanya tidak lebih dari “harta”, di mana sebagai harta tidak

memilki hak untuk berbicara dan mengambil keputusan dalam sebuah petemuan

keluarga besar. Sebagai ono alawe, janda hanyalah seorang tamu bila

berkunjung ke rumah ayahnya dan sebagai pekerja yang ditntut kecekatanya.

Perempuan Sebagai Manifestasi Dewi Yang Selalu Dimuliakan

Beberapa bahkan hampir semua teori feminis melihat posisi perempuan

sebagai kepala pembantu bahkan budak (feminis Sosialis dan Marxisme)—hal ini

merupakan kesadaran diri para laki-laki dan perempuan dibeberapa negara yang

Page 34: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

186

ingin membebaskan perempuan dari kondisi seperti itu—penindasan terjadi

karena dikondisikan oleh sebuah budaya atau tradisi. Spivak dalam teori feminis

poskolonial melihat perempuan India sebagai subaltern. Hal ini terjadi karena

budaya India yang dikuatkan oleh perintah agama, terutama dalam praktek sati

untuk melakukan seperti itu. Namun dalam konteks kedudukan perempuan Nias

dalam keluarga di satu sisi berada pada kedudukan budak dan subaltern (tanpa

sati), namun di sisi lain berada pada kedudukan yang paling tinggi, pribadi yang

selalu dimuliakan karena pribadinya sebagai manifestasi Inada Silewe Hai

Nazarata (nama seorang dewi).

Beberapa tindakan yang menempatkan perempuan sebagai manifestasi

Silewe Hai Nazarata dalam masyarakat Nias;

1. Ibu Sebagai Penentu Hari Yang Baik Bagi Anak

Sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata, seorang ibu diberi penghargaan

dalam menentukan masa depan Anaknya. Dalam tradisi Nias untuk

menentukan hari pernikahan ada tiga keputusan. keputusan pertama yakni hari

pernikahan yang disepekati oleh para penetua adat. Keputusan kedua adalah

hari pernikahan yang disepakati oleh keluarga besar. Keputusan pertama dan

kedua tidak harus ditepati (dengan berbagai pertimbangan atau halangan),

namun keputusan katiga adalah keputusan seorang ibu kandung calon

pengantin pererempuan.

Keputusan seorang ibu dalam menentukan hari pernikahan anaknya

sifatnya final dan tidak bisa berubah sehingga disebut luo adulo. Penghargaan

kepada seorang ibu menentukan hari pernikahan menjadi final karena;

Page 35: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

187

1. Seorang ibu mengetahui dengan benar siklus kesehatan (menstruasi)

anaknya, karena disaat anaknya mengalami menstruasi, maka pernikahan

tidak bisa dilangsungkan4.

2. Seorang ibu mengetahui apakah anak perempuanya sudah menstruasi

atau belum, jika belum maka pernikahan belum bisa dilangsungkan.

Sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata, seorang Ibu memiliki

pengetahuan yang benar tentang kondisi kesehatan reproduksi anak-anaknya.

Pegetahuan ini dianggap tidak dimiliki oleh laki-laki atau ayah.

2. Perempuan sebagai manifestasi dewi bisa diamati dalam perilaku masyarakat,

anggota keluarga terhadap seorang perempuan yang dianggap sebagai ibu.

Sebagai seorang ibu, dari tubuhnya laki-laki dilahirkan, dari daging dan

tulangnyanya laki-laki diciptakan dan dibesarkan. Dalam keseharian seorang

ibu “Barasi” dianggap sebagai sumber kehidupan, memancarkan kasih tanpa

pamrih dan tidak berpihak, sumber kedamaian dan keharmonisan keluarga

serta sosial—melalui tangan seorang perempuan akan menciptakan

keharmonisan keluarga dan sosial yang harmonis melalui afo.

3. Karena perempuan adalah pribadi yang dimuliakan, maka tidak gampang bagi

sebuah keluarga untuk memindahkan seorang perempuan (gadis) dari statusnya

sebagai anak dari rumah orang tuanya menjadi seorang “istri” bagi seorang

laki-laki yang belum dikenal. Karena itu seorang laki-laki (melalui keluarga

besarnya) harus melakukan berbagai ritus (pernikahan) dan berkorban berupa

4 Bdk. Marfuah Panji Astuti “Yang Tidak Boleh Selagi Menstruasi” dalam,

http://nasional.kompas.com/read/2008/11/10/16392823/yang.tidak.boleh.selagi.menstru

asi, diupload 10 Nopember 2008, diakses 23 Juli 2017

Page 36: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

188

materi yang sangat banyak. Hal ini bukan untuk memperkaya keluarga

perempuan tetapi sebagai bȍwȍ dalam artian pemberian dan budi, tanpa paksa

namun sesuai dengan ketentuan adat ( sesuai strata sosial) untuk kemuliaan

seorang perempuan. Sebagala bȍwȍ yang diberikan semata-mata sebatas

“kebutuhan” selama proses ritual pernikahan dilangsungkan. Orang tua

perempua akan memuliakan anaknya melalui pengorbanan “materi” dengan

memberi perhiasan-perhiasan barupa emas.

Namun filosphi “memuliakan perempuan” ini mengalami pergeseran

makna, dimana bȍwȍ tidak diangga sebagai pengorbanan untuk memindahkan

seorang yang dimuliakan, tetapi sebagi beban, sehingga setibanya seorang

pengantin perempuan dirumah suaminya akan diberi nama sebagai bȍligana’a,

dan menjadi milik pribadi suaminya (baca: perepuan sebagai beligana’a).

filosophi beliganaa`a sebenarnya sebagai kebanggaan bagi perempuan yang

pernah dimuliakan melalui kursi pengantin dan baju kebesaran, perempuan

yang disebut sebagai beligana`a adalah perempuan sebagai istri yang

dimuliakan. Tidak semua perempuan menjadi beligana’a—walaupun telah

menjadi istri. Istri yang tidak layak disebut sebagai beliganaa’a adalah

perempuan yang hamil diluar nikah, dan istri sebagi budak karena baginya

tidak pernah dibayar bȍwȍ, tidak pernah mendengar “fotu” (bimbingan

konseling pra nikah vesi budaya Nias), tidak pernah disandingkan dalam kursi

kebesaran pernikahan dan tidak pernah menggunakan pakaian kebesaran

seorang permaisuri

4. Ni’owalu. Seorang perempuan yang telah menikah akan disebut sebagai

ni’owalu, dari kata falu; artinya cermin. Sebagai seorang jelmaan Silewe Hai

Page 37: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

189

Nazarata, perempuan dianggap memiliki jiwa dan pemikiran yang murni, serta

kepribadian yang anggun, karena itu perempuan menjadi cermin bagi suami

dan anak-anak. seorang suami tidak akan mengambil sebuah keputusan tanpa

berdiskusi terlebih dahulu kepada istri. Seorang anak akan selalu meneladani

segala perilaku ibunya yang berfungsi sebagai pribadi yang mensosialisasikan

nilai-nilai luhur.

5. Ekspresi pengagungan seorang perempuan terjadi saat seorang perempuan

menjadi pengantin—diberi pakaian kebesaran dan saat acara selesai pengantin

perempuan tidak diperbolehkan berjalan, melainkan digotong dalam sebuah

kursi kebesaran perempuan sebagi permaisuri dan dewi.

6. Sebagai Solaya Ngai Mbatȍ. Seorang ibu, perempuan dianggap mampu

mengelola perekonomian keluarga dengan baik. Seorang laki-laki tidak

berhak memegang kas keluarga.

Sebagai pribadi yang dimuliakan, maka maysarakat membuat berbagai

aturan yang sangat keras dalam bentuk adat untuk melindungi perempuan—bagi

yang melanggarnya akan dihukum. Beberapa contoh peraturan perlindungan

terhadap perempuan di lingkungan sosial;

1. Seseorang yang melakukan kia hȍrȍ (main mata) atau mȍkȍ ikhu (kode

hidung), ko`e duru (mencolek tangan saat bersalaman) akan lakhau

(dihukum) denda berupa 1 ekor babi 5 alisi (50 kilo gram) dan emas 5

fanulo—hal ini ini berupa perlindungan perempuan terhadap pelecehan

seksual

2. Seseorang yang mengintip perempuan mandi akan dihukum seperti di atas

Page 38: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

190

3. Seorang yang menyampaikan kata kata kotor terhadap perempuan akan

dihukum seperti di atas

4. Khusus di Nias Selatan, bila di suatu tempat terjadi pertikaian antara laki-

laki, kemudian tanpa sengaja seorang Inada yomo (perempuan Barasi)

melewati tempat tersebut, maka orang-orang yang sedang bertikai haris

menghentikan pertikaianya karenaInada yomo mau lewat, jika tidak

beberapa jam kemudian tua-tua adat mengadakan pertemuan untuk

menghukum pelaku pertikaian

5. Bagi laki-laki pelaku perkosaan akan dipenggal atau ditenggelamkan

6. Dll.

Perlakuan ganda ini demikan adanya dalam sebuah tradisi yang belum bisa

dianalisa dalam berbagai teori feminis, karena tradisi ini unik dan tidak memilki

padanan diberbagai suku yang ada di dunia. Sebuah literatur menjelaskan

bagaimana kedudukan perempuan dalam tradisi Jepang kuno. Soekarno menulis

bahwa ratusan tahun yang lalu, Jepang menganut sistem matriakal, perempuan

menjadi pemimpin masyarakat, pemuka ilmu pengetahuan, pembuat hukum,

menjadi raja-putri di atas singgasana Negara, sehingga perempuan disebut

semenya masyarakat, dan jepang disebut negeri wanita atau negerei raja-raja

wanita. Orang-orang dari luar Jepang melihat perempuan-perempuan bagaikan

dewi kebaikan, putri-putri kehalusan, karena itu, dalam setiap pertemuan atau

dalam rumah, seorang prmpuan tidak akan duduk di kursi sebelum dipersilahkan

duduk oleh suaminya yang telah duduk terlebih dahulu disebuah kursi5.

5 Ir. Soekarno, 128-132

Page 39: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

191

Hal itu adalah masa lalu budaya Jepang yang matriakal, hal yang hampir

sama terjadi diberbagai suku bangsa di dunia, di mana para perempuan menjadi

penguasa di rumah. Setelah terjadi pergeseran, di mana sebuah suku bangsa

menganut sistem patriakal maka laki-laki penjadi penguasa dan perempuan

menjadi pelayan bagi laki-laki. Hal ini terjadi sekarang di Jepang. O’Conroy

seorang penulis yang pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun melihat

bahwa peremuan hanya sebagai “benda-zaliman suaminya” dan seorang pengurus

rumah tangga yang tidak dibayar, serta menjadi alat untuk melahirkan anak.

menurut Van Koi bahwa kalau dulu perempuan Jepang tidak pernah menekuk

lutut di depan seorang laki-laki, tetapi sekarang harus memandang suaminya itu

sebagai yang dipertuan yang mana perempuan wajib menjadi pelayan dengan

segala kehormatan dan dengan segala pengagungan yang bisa diberikan kepada

suaminya. Sekarang seorang istri tidak boleh berjalan di depan suaminya tetapi

mengikuti dari belakang. Tata bahasa yang digunakan saat berbicara dengan

suami berbeda dengan masyarakat secara umum atau terhadap anak-anaknya.

Perempuan dianggap sebagai kuda beban yang tidak berhenti bekerja.6

Berbeda dengan perempuan Nias, perilaku terhadap perempuan dari dulu

sampai sekarang sama (walaupun mengalami pergeseran karena perubahan

zaman, hal itu tidak berubah secara signifikan). Di satu sisi perempuan dianggap

sebagai kuda beban yang tidak pernah berhenti, mesin pencetak anak, pribadi

kedua dan pribadi titipan di saat kecil, di sisi lain perempuan sebagai ibu yang

harus dimuliakan dalam kehidupan sehari-hari, perempuan diangga sebagai Inada

6 Ir. Soekarno

Page 40: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

192

Silewe Hai Nazarata yang menciptakan sebuah keharmonisan dalam keluarga dan

lingkungan masyarakat.

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah kedudukan

perempuan sebagai ibu dan jelmaan dewi hanya bagi perempuan yang mampu

menempatkan diri sebagai perempuan Barasi—nama seorang istri Balugu atau

Tuhenȍri. Seorang yang mencapai strata sosial yang paling tinggi dalam

masyarakat Nias. Artinya mampu menempatkan diri sebagai perempua Barasi

adalah, perempuan yang memililki pola piker dan perilaku seperti seorang Barasi,

bukan karena stratanya, melainkan karena kepribadianya. Sekalipun seorang

perempuan sebagai istri Balugu tetapi kalau berperilaku seperti Ria, maka dia

dianggap bukanlah perempuan Barasi, begitu sebaliknya.

Kedudukan Yang Ganda; Mengapa Demikian?

Pertanyaanya adalah mengapa kedudukan perempuan dalam keluarga di

masyarakat Nias terkesan ganda dan saling bertentangan, sehingga sangat sulit

untuk dipahami. Namun harus diakui bahwa ada banyak hal yang tidak bisa

dijawab dari pertanyaan mengapa, jawaban yang selalu terdengar “mungkin

karena begitulah adanya”. Namun beberapa hal bisa diurakanberkaitan dengan

“mengapa kedudukan perempuan seperti terurai di atas”. Ada 3 argumen untuk

menjawab pertayaan tersebut;

1. Ketentutan Hukum

Sebelum agama Kristen masuk di Nias, maka yang menjadi agama suku

Nias adalah fanȍmba adu jatua (penyembahan berhala—roh-roh nenek

moyang). Agama suku menyatu dengan budaya, segala sesuatu telah

Page 41: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

193

ditetapkan lewat Fondrakȍ atau famatȍ harimao yang berjalan dalam garis

budaya patriakhi. Segala sesuatu yang telah diputuskan tidak boleh di langgar.

Bagi yang melanggar akan mendapat ganjaran yang berat.

Setelah kekristenan masuk di Nias, maka terjadi suatu pergeseran

kepercayaan, Kekristenan menjadi agama suku Nias. Kemudian, segala hal

yang berhubungan dengan berhala dibuang dan dihapus dari kehidupan

masyarakat. Dalam banyak hal, masyarakat mengalami perubahan.

Satu hal yang tidak berubah dalam masyarakat adalah perilaku terhadap

perempuan dalam keluarga. Kalau dulunya kedudukan perempuan dalam

keluarga semasa kecil hanyalah sebagai pribadi titipan, setelah seorang

perempuan menjadi istri maka kedudukanya sebagai beligana’a dan bene’ȍ.

Dalam bahasa feminis sosialis dan marxisme menyebut hal ini sebagai kepala

pembantu atau bahkan budak, sementara feminism poskolonial menyebutnya

sebagai subaltern, atau sebagai kuda beban yang tidak berhenti bekerja.

Sebagai anak dan bene’ȍ sering mengalami kekerasan psikis dan fisik

Setelah ajaran Kekristenan mengakar dalam kehidupan masyarakat,

kedudukan perempuan yang “direndahkan”—sebagai pribadi kelas dua tidak

terangkat menjadi setara dengan laki-laki, tetapi justru melalui ajaran agama,

perempuan semakin dituntut untuk patuh pada tradisi patriakhi. Masyarakat,

terutama para laki-laki dan bahkan para perempuan senang mengutip ayat-ayat

Alkitab untuk melegitimasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Ayat-ayat

alkitab yang menjadi ayat “emas” masyarakat adalah Efesus 5:22 “Hai isteri,

tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”; Kol 3:18 “Hai isteri-isteri,

tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan”.

Page 42: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

194

Kalimat “tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” adalah merupakan

kalimat kunci yang memiliki kekuatan ajaib dalam menundukan seorang

perempuan di bawah telapak kaki laki-laki/suaminya. Dengan logika

sederhana masyarakat memahami bahwa setiap orang yang mengaku beriman

dan percaya pada Yesus Kristus dan Alkitab sebagai firman Tuhan maka harus

taat dan melakukan apa yang telah diperintahkan; Taat kepada suami seperti

ketaatan kepada Tuhan. Ayat ini bukan hanya digunakan oleh suami/laki-laki,

tetapi juga oleh perempuan (ibu mertua) untuk menundukan menantunya pada

kepemimpinan anaknya (laki-laki).

Singkatnya adalah kedudukan perempuan yang direndahkan adalah

akibat budaya patriakhi yang dilegitimasi oleh tradisi yang disakralkan melalui

fondarakȍ atau famatȍ harimao dan kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat

alkitab untuk melegitimasi kekuasaan laki-laki dan ibu mertua terhadap

perempuan.

2. Keterbatasan ekonomi (pergulatan dalam kemiskinan), Pendidikan yang rendah

atau karena tidak berpendidikan sama sekali mempengaruhi pola pikir sehingga

sebagian filosophi budaya (seperti bȍwȍ, bene’ȍ, ni’ofalu) mengalami

pergeseran magna. Pereseran tersebut telah menjadi perilaku yang mengkristal

dan menjadi budaya.

3. Mitos kosmologi dan penciptaan. Adanya kepercayaan atas Mitos tentang

kosmologi dan penciptaan di mana segala sesuatunya adalah dari seorang dewi

matahari (Inada samihara Luo), pada generasi ke 3 yakni Lowalangi dengan

pasanganya Silewe Hai Nazarata menjadi nenek moyang orang Nias. Silewe

Hai Nazarata dipercaya sebagai perancang segala pranata dan harmoni

Page 43: BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13355/4/T2_752016014_BAB IV... · BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN ... kekuasaan suami terhadap istri,

195

kehidupan untuk masyarakat Nias. Silewe Hai Nazarata adalah seorang dewi

yang memiliki kehidupan dan cinta yang tidak bersayarat. Sebagai dewi selalu

dimuliakan bahkan sebelum kekristenan masuk di Nias, Silewe Hai Nazarata

beserta Lowalangi disembah sebagai salah satu objek ilahi. Sebagai manifestasi

dewi adalah perempuan dalam masyarakat Nias. Nama Lowalangi kemudian

diadobsi dalam terjemahan Tuhan dalam agama Kekristenan Nias.