bab iv implikasi putusan mahkamah konstitusi nomor...

30
60 BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-X/2012 TERHADAP PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA A. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 1. Pokok Permohonan Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41 Undang- Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan alasan sebagai berikut: a. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 telah memusatkan pengelolaan zakat nasional di tangan pemerintah melalui BAZNAS, sehingga berpotensi mematikan lebih dari 300 LAZ di Indonesia; b. Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ yang dibentuk masyarakat menjadi berada di bawah BAZNAS; c. Pasal 18 yang mengatur bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, telah membuka kesempatan bagi negara untuk sewenang-wenang dengan menambahkan syarat-syarat baru; d. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mengatur izin pendirian LAZ hanya diberikan bagi organisasi kemasyarakatan Islam, adalah bersifat diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang ada,

Upload: others

Post on 09-Sep-2019

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

60

BAB IV

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

86/PUU-X/2012 TERHADAP PENGELOLAAN ZAKAT DI INDONESIA

A. Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012

1. Pokok Permohonan

Pemohon memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 5, Pasal 6,

Pasal 7, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41 Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat terhadap Pasal

28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3),

Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia dengan alasan sebagai berikut:

a. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 telah memusatkan pengelolaan zakat

nasional di tangan pemerintah melalui BAZNAS, sehingga

berpotensi mematikan lebih dari 300 LAZ di Indonesia;

b. Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ

yang dibentuk masyarakat menjadi berada di bawah BAZNAS;

c. Pasal 18 yang mengatur bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat

izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, telah membuka

kesempatan bagi negara untuk sewenang-wenang dengan

menambahkan syarat-syarat baru;

d. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mengatur izin pendirian LAZ hanya

diberikan bagi organisasi kemasyarakatan Islam, adalah bersifat

diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang ada,

Page 2: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

61

karena hampir seluruh LAZ berbadan hukum Yayasan yang secara

hukum tidak dapat didaftarkan sebagai Ormas. Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan menyatakan bahwa yayasan

adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota, sedangkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan menyatakan ormas sebagai entitas yang berbasis

keanggotaan;

e. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mensyaratkan LAZ harus berbentuk

ormas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang

sejak tiga dekade terakhir telah membangkitkan zakat nasional;

f. Pasal 18 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa pendirian LAZ harus

mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS yang sekaligus bertindak

sebagai operator zakat;

g. Pasal 38 melarang setiap orang untuk dengan sengaja bertindak

selaku amil zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Terhadap

pelanggarnya, Pasal 41 memberikan ancaman pidana berupa pidana

kurungan dan/atau pidana denda. Pasal 38 junctoPasal 41 membuka

potensi terjadinya kriminalisasi terhadap amil zakat yang tidak

memiliki izin pejabat berwenang;

h. LAZ yang telah memperoleh izin dari Menteri diberi kesempatan

selama lima tahun untuk menyesuaikan diri, namun UU 23/2011

tidak menyediakan payung hukum bagi upaya perubahan badan

hukum dimaksud.

2. Kesimpulan

Page 3: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

62

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan

di atas, Mahkamah berkesimpulan:

a. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;

b. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan permohonan a quo;

c. Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5076).

3. Amar Putusan

a. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1) Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255) yang

menyatakan, ”a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan

Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial”;

Page 4: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

63

“b. berbentuk lembaga berbadan hukum” bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi

kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,

dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum, harus

mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan untuk

perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim

ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu

komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan

LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat

dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;

2) Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255) yang

menyatakan, ”a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan

Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial”;

huruf b yang menyatakan, ”berbentuk lembaga berbadan

hukum”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan

Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial,

atau lembaga berbadan hukum harus mendapatkan izin dari

pejabat yang berwenang, sedangkan untuk perkumpulan orang,

perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau

Page 5: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

64

pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan

wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, cukup

dengan memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud

kepada pejabat yang berwenang”;

3) Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki

pengawas syariat” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak

dimaknai, ”pengawas syariat, baik internal, atau eksternal”;

4) Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki

pengawas syariat” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

sepanjang tidak dimaknai, ”pengawas syariat, baik internal, atau

eksternal”;

5) Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115,

Tambahan Lembaran 109 Negara Republik Indonesia Nomor

5255) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai

Page 6: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

65

dengan “mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan tokoh

umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla

di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ

dan LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat

dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;

6) Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5255)

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak

dimaknai dengan “mengecualikan perkumpulan orang,

perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau

pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan

wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah

memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada

pejabat yang berwenang”;

b. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara

Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

c. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012

terhadap Pengelolaan Zakat di Indonesia

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang mengatur

mengenai zakat, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat, zakat diartikan sebagai harta yang wajib dikeluarkan

Page 7: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

66

oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak

menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Dalam ajaran islam, zakat

merupakan salah satu sendi utama keislaman seseorang karena posisinya

yang merupakan rukun islam bersamaan dengan syahadat, shalat, puasa, dan

haji. Dalam posisi tersebut, zakat dianggap sebagai ma’lûm min al dîn

biddhdharûrahatau diketahui adanya secara otomatis dan merupakan bagian

mutlak dari keislaman seseorang (Siradj, 2014: 410).

Zakat juga memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya

pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan

sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki

dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap pahala dari Allah semata

(Sartika, 2008: 76). Zakat bagi kepentingan masyarakat juga bertujuan

untuk menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas

sosial di kalangan masyarakat islam. Selain itu, zakat juga dapat merapatkan

dan mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat.

Landasan legal formal awal mengenai pelaksanaan zakat di

Indonesia dimulai pada masa reformasi dengan dibentuknya Undang-

Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Berdasarkan

undang-undang ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat

(BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan

unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan lembaga amil zakat (LAZ)

yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang terhimpun dalam berbagai

ORMAS (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan institusi lainnya.

Page 8: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

67

Pada awalnya, sejak berlakunya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999

tentang Pengelolaan Zakat, pertumbuhan zakat di Indonesia mengalami

perubahan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dengan kenyataan di

masyarakat baik swasta maupun pemerintah yang berlomba untuk

membentuk organisasi pengelola zakat baru. Akan tetapi, sangat

disayangkan banyaknya organisasi pengelola zakat ternyata belum

diantisipasi oleh Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, akibatnya meskipun

banyak lembaga zakat namun penghimpunan dan penyaluran zakat masih

belum efektif. Begitu juga dalam hal koordinasi dan pembagian tugas dan

fungsi, antara satu dengan lainnya tidak ada garis koordinasi yang jelas,

antara pemerintah, BAZNAS, Laznas, Bazda dan LAZ, masing-masing

berjalan sendiri-sendiri, semua lembaga zakat ingin menjadi pengelola,

sementara tidak ada yang berperan sebagai pengawas dan pembuat aturan

kebijakan.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat berlakunya

Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, akhirnya

mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap undang-

undang tersebut. Hal ini karena Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan

kebutuhan hukum dalam masyarakat, sehingga diterbitkanlah Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat untuk

menyempurnakan undang-undang sebelumnya yang masih menuai kontra

dari masyarakat terutama lembaga-lembaga amil zakat swasta.

Page 9: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

68

Hal ini sesuai dengan objek utama lain dari kajian sosiologi hukum

adalah pembahasan tentang perubahan, yang mencakup perubahan hukum

dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya.

salah satu persepsi penting dari kajian sosiologi hukum ialah perubahan

yang terjadi dalam masyarakat dapat direkayasa, dalam hal ini direncanakan

terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum

sebagai alatnya (Hendra Akhdhiat, 2011:1).

Selanjutnya pengelolaan zakat di Indonesia mulai memasuki dimensi

baru dalam pengaturannya dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Perbedaan yang mencolok

dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya adalah bahwa pemerintah

bermaksud untuk memusatkan pengelolaan zakat secara nasional melalui

BAZNAS sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Atau dapat

diartikan juga bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, terjadi sentralisasi pengelolaan

zakat yang dilakukan oleh pemerintah melalui BAZNAS.

Pelaksanaan pengelolaan zakat yang dilakukan secara terpusat oleh

pemerintah melalui BAZNAS tersebut, ternyata justru menuai kontroversi.

Bukti konkret kontroversi tersebut adalah dengan dilakukannya uji materi

terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ke

Mahkamah Konstitusi oleh lembaga-lembaga yang tergabung dalam Koalisi

Masyarakat Zakat (Komaz), antara lain Yayasan Dompet Dhuafa, Yayasan

Rumah Zakat Indonesia, Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang, dan

Page 10: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

69

Yayasan Yatim Mandiri. Para pemohon uji materi Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut, berpendapat bahwa dengan

dilakukannya pengelolaan zakat secara sentraliasi, maka akan mematikan

banyaknya lembaga-lembaga pengelolaan zakat yang sudah terbentuk di

Indonesia.

Para pemohon uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat, selain melakukan yudicial review terhadap

permasalahan sentralisasi pengelolaan zakat di Indonesia sebagaimana

diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun

2011 tentang Pengelolaan Zakat, juga melakukan review terhadap beberapa

pasal lainnya, yaitu Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38, dan Pasal 41

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Mereka

berpendapat bahwa pasal-pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan

pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2),

Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28H ayat (3).

Pengajuan dan alasan yang dilakukan oleh para pemohon untuk

melakukan uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat kepada Mahkamah Konstitusi, menurut Penulis

merupakan tindakan yang tepat. Hal ini sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri yaitu untuk menguji undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar serta mengaitkannya dengan pasal-

pasal berkenaan dengan hak konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Dasar. Sebab, lebih jauh dari itu, karena Mahkamah Konstitusi juga

Page 11: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

70

dibebani kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia dan mengawal

demokrasi dalam kerangka negara hukum.

Alasan-alasan pengajuan uji materi tersebut, dapat disampaikan

kembali sebagai berikut:

a. Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 telah memusatkan pengelolaan zakat

nasional di tangan pemerintah melalui BAZNAS, sehingga berpotensi

mematikan lebih dari 300 LAZ di Indonesia;

b. Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 mensubordinasikan kedudukan LAZ

yang dibentuk masyarakat menjadi berada di bawah BAZNAS;

c. Pasal 18 yang mengatur bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat izin

Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri, telah membuka

kesempatan bagi negara untuk sewenang-wenang dengan menambahkan

syarat-syarat baru;

d. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mengatur izin pendirian LAZ hanya

diberikan bagi organisasi kemasyarakatan Islam, adalah bersifat

diskriminatif dan dapat mematikan lebih dari 300 LAZ yang ada, karena

hampir seluruh LAZ berbadan hukum Yayasan yang secara hukum tidak

dapat didaftarkan sebagai Ormas. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001

tentang Yayasan menyatakan bahwa yayasan adalah badan hukum yang

tidak mempunyai anggota, sedangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan menyatakan ormas sebagai

entitas yang berbasis keanggotaan;

Page 12: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

71

e. Pasal 18 ayat (2) huruf a yang mensyaratkan LAZ harus berbentuk ormas

Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga

dekade terakhir telah membangkitkan zakat nasional;

f. Pasal 18 ayat (2) huruf c menetapkan bahwa pendirian LAZ harus

mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS yang sekaligus bertindak

sebagai operator zakat;

g. Pasal 38 melarang setiap orang untuk dengan sengaja bertindak selaku

amil zakat tanpa izin pejabat yang berwenang. Terhadap pelanggarnya,

Pasal 41 memberikan ancaman pidana berupa pidana kurungan dan/atau

pidana denda. Pasal 38 juncto Pasal 41 membuka potensi terjadinya

kriminalisasi terhadap amil zakat yang tidak memiliki izin pejabat

berwenang;

h. LAZ yang telah memperoleh izin dari Menteri diberi kesempatan selama

lima tahun untuk menyesuaikan diri, namun UU 23/2011 tidak

menyediakan payung hukum bagi upaya perubahan badan hukum

dimaksud.

Berdasarkan alasan-alasan pengajuan uji materi Undang-Undang No.

23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tersebut, maka pada dasarnya

terdapat tiga hal yang menjadi perdebatan dalam Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu yaitu sentralisasi pengelolaan

zakat, kriminalisasi lembaga amil zakat, dan persyaratan lembaga pengelola

zakat. Terhadap alasan dan permasalah yang diajukan oleh pemohon,

Mahkamah Konstitusi sendiri berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum

menyimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili

Page 13: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

72

permohonan a quo dan menyimpulkan bahwa para pemohon memiliki

kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

Penilaian atas fakta dan hukum tersebut merupakan penilaian

Mahkamah Konstitusi yang dilakukan secara formal. Adapun secara

materiil, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa sebagian pasal-pasal

yang diajukan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat khususnya Pasal 18 ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 41,

sementara pasal-pasal lainnya, yaitu Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17,

Pasal 18, dan Pasal 19 ditolak untuk selain dan selebihnya. Berdasarkan

penilaian Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang diterima

sebagaimana disebutkan dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

86/PUU-X/2012 ditafsirkan sebagai berikut:

a. Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, ”a. terdaftar sebagai

organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,

dakwah, dan sosial”; “b. berbentuk lembaga berbadan hukum”

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi

kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan

sosial, atau lembaga berbadan hukum, harus mendapatkan izin dari

pejabat yang berwenang, sedangkan untuk perkumpulan orang,

perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir

Page 14: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

73

masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau

oleh BAZ dan LAZ, cukup dengan memberitahukan kegiatan

pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;

b. Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5255) yang menyatakan, ”a. terdaftar sebagai

organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan,

dakwah, dan sosial”; huruf b yang menyatakan, ”berbentuk lembaga

berbadan hukum”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

tidak dimaknai “terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang

mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga

berbadan hukum harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang,

sedangkan untuk perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam

(alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas

dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, cukup dengan

memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat

yang berwenang”;

c. Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki pengawas syariat”

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Page 15: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

74

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, ”pengawas syariat, baik internal,

atau eksternal”;

d. Pasal 18 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011

tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5255) yang menyatakan, “Memiliki pengawas syariat” tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,

”pengawas syariat, baik internal, atau eksternal”;

e. Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran 109

Negara Republik Indonesia Nomor 5255) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak

dimaknai dengan “mengecualikan perkumpulan orang, perseorangan

tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla di

suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan

LAZ, dan telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud

kepada pejabat yang berwenang”;

f. Frasa, “Setiap orang”dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 115, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5255) tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “mengecualikan

perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau

Page 16: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

75

pengurus/takmir masjid/musholla di suatu komunitas dan wilayah yang

belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan telah memberitahukan

kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang berwenang”;

Memperhatikan bunyi Amar Putusan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dalam Putusan Nomor 86/PUU-X/2012, menurut Penulis pada

pokoknya permasalahan yang terkandung dalam putusan tersebut ditafsirkan

sebagai berikut:

1. Syarat terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan berbentuk

lembaga berbadan hukum untuk Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus

dibaca merupakan pilihan atau alternatif;

2. Pengawas syariah untuk LAZ harus dimaknai internal atau eksternal; dan

3. Pengecualian izin pejabat berwenang terhadap pengelola zakat

perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau

pengurus/takmir masjid/mushalla yang tidak terjangkau oleh BAZ atau

LAZ.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa sifat Putusan Mahkamah

Konstitusi merupakan putusan yang final. Sama halnya dengan putusan-

putusan pada badan peradilan lain, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

merupakan sumber hukum. Artinya, putusan tersebut berakibat atau

berimplikasi terhadap undang-undang yang sedang diujikan. Tak terkecuali

juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 berimplikasi

terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan berdampak terhadap

pengelolaan zakat di Indonesia.

Page 17: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

76

Tafsiran syarat terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam

dan berbentuk lembaga berbadan hukum untuk Lembaga Amil Zakat (LAZ)

harus dibaca merupakan pilihan atau alternatif dan pengecualian izin pejabat

berwenang terhadap pengelola zakat perkumpulan orang, perseorangan

tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushalla yang

tidak terjangkau oleh BAZ atau LAZ sebagaimana disimpulkan dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, menurut Penulis akan

memperlonggar syarat pendirian Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan membuka

lebar peran pengelolaan zakat oleh lembaga milik masyarakat, serta

pengecualian keharusan perizinan untuk amil zakat perkumpulan orang atau

perseorangan sepanjang memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat kepada

pejabat yang berwenang. Hal ini akan mempersulit pengawasan yang

dilakukan pemerintah terhadap lembaga pengelola zakat di Indonesia.

Hal ini karena dengan tafsiran tersebut untuk mendirikan Lembaga

Amil Zakat (LAZ) dapat dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan Islam

atau berbentuk lembaga berbadan hukum. Berbeda dengan syarat dalam

undang-undang sebelumnya yang mensyaratkan bahwa untuk mendirikan

LAZ adalah harus dilakukan organisasi kemasyarakatan Islam dan

berbentuk lembaga berbadan hukum. Selain itu, untuk wilayah-wilayah

yang tidak terjangka BAZ dan LAZ, terhadap pengelola zakat perkumpulan

orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir

masjid/mushalla dikecualikan izin dari pejabat yang berwenang sepanjang

memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat kepada pejabat yang

berwenang.

Page 18: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

77

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012

diartikan juga bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat,

berbagai elemen masyarakat, baik terdaftar sebagai organisasi

kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan

sosial, atau lembaga berbadan hukum seperti yayasan dan sebagainya,

maupun perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama),

atau pengurus/takmir masjid/mushalla dapat menjadi pengelola zakat yang

legal. Perlindungan hukum terhadap pengelola zakat di luar Lembaga Amil

Zakat (LAZ) yang memenuhi persyaratan administratif, bersifat kondisional,

yaitu di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ atau

LAZ.

Akan tetapi, apabila dikaji secara mendalam, dengan banyak dan

longgarnya pendirian LAZ sampai dengan wilayah-wilayah yang belum

terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dapat juga berimplikasi secara positif

terhadap pengelolaan zakat di Indonesia. Dengan hadirnya LAZ sampai ke

wilayah yang belum terjangkau, maka akan memudahkan masyarakat untuk

melakukan pembayaran zakat yang pada akhirnya memaksimalkan

penarikan dan penggunaan dana zakat bagi yang membutuhkan. Hal ini

karena tentu tidak wajar memaksakan muzakki di suatu wilayah mendatangi

Bazda, LAZ, atau unit pelayanan zakat terdekat jika jaraknya cukup jauh.

Kondisi ini tentu mengakibatkan terhalanginya hak warga negara untuk

membayar/menyalurkan zakat sebagai bagian dari ibadah. Terhalanginya

hak-hak warga negara untuk membayar atau menyalurkan zakat akibat

Page 19: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

78

belum terjangkaunya pelayanan pemerintah dalam pelaksanaan Undang-

Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ini, maka perumusan

Pasal 38 dan Pasal 41 tidak tepat secara sosiologis. Karena itu, setiap amil

zakat seperti perkumpulan orang, tokoh umat Islam (alim ulama), atau

pengurus/takmir masjid/musholla di suatu wilayah yang belum terjangkau

oleh BAZ dan LAZ boleh mengelola dan menyalurkan zakatnya tanpa

dikenai sanksi pidana.

C. Solusi Alternatif Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Bidang

Pengelolaan Zakat

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang

berdampak kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan berimplikasi

terhadap pengeloaan zakat di Indonesia, maka akan semakin mempermudah

lahirnya LAZ yang terdapat di daerah-daerah. Hal ini karena selain syarat

untuk mendirikan LAZ semakin dipermudah, yaitu dapat dilakukan oleh

organisasi kemasyarakatan Islam atau berbentuk lembaga berbadan hukum,

juga terdapat pengecualian izin dari pejabat yang berwenang terhadap

pengelola zakat perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat Islam (alim

ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushalla sepanjang memberitahukan

kegiatan pengelolaan zakat kepada pejabat yang berwenang.

Ditetapkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-

X/2012, tetap tidak merubah peran BAZNAS sebagai koordinator

pengelolaan zakat nasional. Pemerintah selaku regulator dan BAZNAS

sebagai koordinator tidak dirugikan dengan adanya putusan tersebut.

Tindakan mendasar yang harus dilakukan selanjutnya ialah menyusun

Page 20: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

79

strategi integrasi pelaporan dan pertanggungjawaban pengumpulan,

pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh banyak lembaga dan

perseorangan yang menjadi amil zakat. Jika dibaca dengan cermat, putusan

Mahkamah Konstitusi menyangkut pasal 18 ayat (2) Undang-Undang No.

23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dapat dimaknai memberi peluang

kepada Menteri Agama apabila diperlukan untuk mengangkat atau

menugaskan pengawas syariah eksternal untuk mengaudit LAZ.

Putusan judicial review Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang

Pengelolaan Zakat tidak mengubah fungsi koordinatif BAZNAS. Lembaga

ini tetap berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional dan

menghimpun laporan dari semua lembaga zakat. Dalam praktik, koordinasi

BAZNAS dengan BAZNAS provinsi dan kabupaten/kota, serta dengan

Lembaga Amil Zakat (LAZ) sampai saat ini belum terealisasi secara

paripurna karena berbagai kendala internal dan eksternal. Dalam kaitan ini,

penerapan asas pengelolaan zakat yang terintegrasi, memerlukan kearifan

ketika menyikapi dan memaknai putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu

perlu dirumuskan seperti apa bentuk koordinasi dan sinergi antara UPZ

kecamatan, UPZ desa/kelurahan serta UPZ Masjid sebagai satuan organisasi

yang dibentuk oleh BAZNAS di satu sisi, dan para amil zakat kumpulan

orang atau perorangan di sisi lain.

Oleh karena itu, sebaliknya perlu diatur mekanisme pelaporan oleh

para amil zakat perkumpulan orang atau perseorangan kepada BAZNAS.

Pengaturan mengenai hal itu perlu ditetapkan dengan regulasi di bawah

undang-undang, sehingga setiap kegiatan pengelolaan zakat tetap

Page 21: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

80

terintegrasi dalam satu kesatuan sistem (unified system) pengelolaan zakat

nasional. Pengaturan mengenai mekanisme pelaporan pada tingkat Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Menteri, karena tidak ingin fungsi koordinatif

BAZNAS berjalan efektif hanya terhadap BAZNAS daerah, sedangkan

terhadap LAZ dan amil zakat kumpulan orang dan perorangan tidak

tersentuh. Selain itu, yang terpenting adalah juga berkenaan dengan

akuntabilitas lembaga zakat. Bahwa setiap orang yang bertindak sebagai

amil zakat perlu menyadari bahwa uang zakat, infaq dan sedekah yang

dihimpunnya merupakan milik mustahik yang tidak bisa digunakan

semaunya dan hati-hati dengan hak orang miskin.

Setelah menganalisa dari sudut pandang isi putusan MK diatas

selanjutnya penulis menganalisa dari sudut pandang sosiologi hukum bahwa

lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang

berdampak kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan berimplikasi

terhadap pengeloaan zakat di Indonesia adalah akibat dari semakin

tingginya kesadaran dan perhatian hukum di tengah masyarakat Indonesia

terutama terhadap hukum Islam yang seiring berjalannya waktu memang

mengalami pasang surut, hal ini juga dijelaskan Dijelaskan Ismatullah

(Ismatullah, 2011:370):

Hukum Islam di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang cukup

berliku. Setelah pernah menjadi rujukan dan pegangan sistem hukum

kesultanan masa lalu, hukum Islam di Indonesia pernah mengalami

pemarginalan, yaitu pada masa penjajahan Belanda, pada masa Orde

Lama dan beberapa dekade Orde Baru. Setelah itu Hukum Islam di

Indonesia menemukan bentuknya secara khusus sejak tahun 1990-

an. Hukum Islam menemukan bentuknya yang cukup sempurna

ketika ia dirumuskan sebagai Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan

diberlakukan berdasarkan iInpres pada tahun 1991 dan masuk dalam

perundang-undangan. Transformasi hukum Islam ke dalam peraturan

Page 22: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

81

perundang-undangan merupakan salah satu usaha yang dilakukan

oleh para pemimpin ormas. Dalam penyusunan dan pembahasan UU

nomor 1 tahun 1974 peran para pemimpin ormas Islam sangat

penting. Hal itu mereka lakukan melalui pertemuan dan pendekatan

dengan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.

Ormas Islam memiliki peran penting dalam proses perumusan UU

Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pndidikan Nasional, karena hal

itu menyentuh kepentingan umat dan bangsa, yaitu pendidikan

agama. Peran ormas Islam yang cukup penting adalah dalam

perumusan UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Setelah sebuah hukum Islam atau disebut fiqih menjadi undang-

undang maka konsekuensi hukum yang terjadi adalah peraturan tersebut

menjadi mengikat, mengandung sanksi dan tidak seperti sebelumnya, begitu

pula dengan pengelolaan zakat setelah bertransformasi dari fiqih Islam

menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, hal ini dijelaskan Ismatullah

(Ismatullah, 2011:372):

Transformasi dari fiqih ke qanun adalah terintegrasinya hukum Islam

ke dalam hukum nasional. Ketika sudah mengalami transformasi,

fikih menjadi hukum yang mengikat, mengatur dan berdampak

sanksi padahal sebelumnya tidak demikian. Selain itu fikih

mengalami transformasi yang cukup signifikan dalam bidang

administrasi pemerintahan. Transformasi tersebut tampak dalam

administrasi perkawinan, perwakafan, pengelolaan zakat, haji dan

sertifikasi halal makanan dan minuman.

Penulis yakin apabila peraturan pengelolaan zakat hanya sebatas

fikih Islam dan tidak sampai menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011

maka tidak ada pihak yang memprotes, terbukti bahwa fikih zakat yang

sudah berabad-abad lalu ada sampai sebelum menjadi Undang-Undang No.

23 Tahun 2011 tidak pernah ada pihak yang memprotes. Terdapat interaksi

yang berbeda ketika peraturan pengelolaan zakat masih menjadi kaedah

fikih dengan setelah menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Hal ini

bila dilihat dari analisis sosiologi hukum adalah menjadi suatu kewajaran

Page 23: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

82

dimana dapat dipastikan bahwa terdapat interaksi antara perubahan hukum

dengan perubahan sosial di tengah masyarakat dan bahkan interaksi dengan

rezim penguasa pada tiap periode, sejalan dengan itu dijelaskan Saifullah

(Saifullah, 2007:31):

Interaksi perubahan sosial di satu sisi dan perubahan hukum di sisi

lain merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan seperti dua sisi

keping mata uang. Interaksi tersebut membawa konsekuensi ilmiah

karena akan dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Perjalanan

Syari’ah Islam di Indonesia jika dilihat dari perspektif historis,

yuridis dan sosiologis menghadapi berbagai kekimpleksitasan

masalah, baik itu yang bersumber dari multi interpretasi atas situasi

maupun perubahan zaman berupa politisasi Syari’ah Islam,

khususnya dalam koridor pembentukan perundang-undangan.

Perjuangan kaum muslimin yang tiada henti sebagai upaya

penerapan Syari’ah Islam dalam hukum positif di Indonesia secara

kaffah sesungguhnya alur yang dibentuk atas responsifitas simbolik

dari rezim yang berkuasa.

Penulis berpendapat bahwa interaksi yang terjalin antara perubahan

sosial dan perubahan hukum merupakan sebuah keniscayaan karena

memang adanya hukum adalah untuk masyarakat sehingga perubahan

apapun yang terjadi pada masyarakat harus direspon oleh hukum, begitu

juga sebaliknya perubahan apapun yang terjadi pada hukum maka

masyarakat pasti akan meresponnya. Terlepas apakah sebuah perubahan

hukum terjadi dulu yang dibuat untuk merubah atau merekayasa sebuah

masyarakat ataupun sebaliknya masyarakat dulu yang berubah sehingga

kemudian mempengaruhi proses terjadinya perubahan hukum, penulis

berpendapat bahwa yang terjadi terlebih dahulu adalah perubahan pada

masyarakat sehingga hukum merespon untuk ikut pula dirubah. Seperti

halnya terkait dengan Undang-Undang Pengelolaan zakat di Indonesia,

jauh sebelum adanya aturan perundang-undangan yang mengatur

Page 24: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

83

pengelolaan zakat, masyarakat sudah mengelolanya secara sederhana,

kemudian pemerindah merasa perlu untuk mengaturnya sehingga lahirlah

perundang-undangan pengelolaan zakat. Untuk lebih jelasnya, bagaimana

interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum terlihat pada bagan

sebagai berikut (Saifullah, 2007: 34):

Bagan 1: Interaksi Perubahan Sosial Dan Perubahan Hukum

PERUBAHAN SOSIAL PERUBAHAN HUKUM

MENGHASILKAN DUA

PARADIGMA

Hukum Melayani Kebutuhan

masyarakat, agar hukum tidak

akan menjadi ketinggalan oleh

karena lajunya perkembangan

masyarakat.

Hukum dapat menciptakan

perubahan sosial dalam

masyarakat atau setidak-

tidaknya dapat memacu

perubahan-perubahan yang

berlangsung dalam masyarakat.

- Perubahan yang cenderung

diikuti oleh sistem lain

karena dalam kondisi

ketergantungan.

- Ketertinggalan hukum

dibelakang perubahan sosial.

- Penyesuaian yang cepat dari

hukum kepada keadaan baru

- Hukum sebagai fungsi

pengabdian

- Hukum berkembang

mengikuti kejadian berarti

ditempatnya adalah

dibelakang peristiwa bukan

mendahuluinya.

- Law as a tool of social

engineering

- Law as a tool of direct social

change

- Berorientasi ke masa depan

(forward look-ing)

- Ius constituendum

- Hukum beperan aktif

- Tidak hanya sekedar

menciptakan ketertiban tetapi

menciptakan dan mendorong

terjadinya perubahan dan

perkembangan tersebut

- Per-UU-an

- Pengkajian Hukum

- Pendidikan Hukum

Page 25: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

84

Terjadinya transformasi hukum-hukum Islam atau fikih Islam

menjadi Undang-Undang, seperti halnya Pengelolaan zakat dan juga

beberapa Undang-undang lainnya membuktikan bahwa sistem hukum yang

diterapkan di Indonesia tidak hanya menganut eropa continental secara

murni namun sistem hukum di Indonesia sudah menerapkan perpaduan dari

dua sistem hukum, baik itu Civil Law System maupun Common Law

System, hal ini Dijelaskan Saifullah (Saifullah, 2007:76):

Menelaah transformasi Syariah Islam dalam hukum positif di

Indonesia , yang dijembatani oleh pengakuan yuridis formal dan

kebebasan kreatifitas hakim dalam mengkonstruksi (rechtsverfijning

atau argumentum a contrario), menafsirkan dan menemukan kasus

hukum (rechtsvinding), merupakan bukti empiris bahwa sistem

hukum di Indonesia tidak menganut sistem hukum Eropa

Ckontinental atau Civil Law System secara murni seperti yang

selama ini diyakini dan ditulis dalam berbagai literatur hukum, tetapi

sistem hukum di Indonesia sudah menerapkan perpaduan dari dua

sistem hukum, baik itu Civil Law System maupun Common Law

System. Sistem hukum tertulis dan sistem hukum tidak tertulis.

Proses transformasi hukum Islam bukannya tidak ada hambatan,

namun terdapat hambatan seperti, dijelaskan Ismatullah (2011:369):

Berdasarkan fakta sosiologis, hukum Islam di Indonesia memeiliki

hambatan konseptual, baik yang datang dari luar maupun dari dalam.

Hambatan konseptual yang datang dari luar adalah adanya upaya

penganut teori resepsi yang menolak hukum Islam masuk pada

sistem hukum nasional. Para penganut teori resepsi berusaha dengan

berbagai jalan agar umat Islam tidak melaksanakan hukum Islam.

Memang, kehadiran Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974,

yang berlaku efektif sejak 1Oktober 1975, mematikan teori resepsi.

Akan tetapi, teori ini masih dianut di kalangan para sarjana hukum di

Indonesia, terutama bagi mereka yang tidak tahu dan tidak paham

hukum Islam. Sementara itu hambatan dari dalam terhadap hukum

Islam adalah tidak tertatanya konsep-konsep hukum Islam secara

sistematis. Hal ini terkait dengan keberadaan kitab kuning sebagai

referensi hukum Islam di Indonesia yang penulisannya berceceran.

Hal ini wajar karena kitab kuning bukan produk kebijakan

kelembagaan, melainkan produk pemikiran perseorangan yang

dilandaskan Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Page 26: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

85

Oleh karena itu, ada pembagian secara umum terhadap hukum Islam

yang diterapkan di Indonesia, Dijelaskan Ismatullah (Ismatullah, 2011:369):

Dalam perjalanan sejarahnya, hukum Islam yang berlaku di

Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, hukum Islam

yang berlaku secara formal. Hukum Islam kategori pertama ini

masuk pada wilayah hukum nasional, baik sebagai bahan bakunya

maupun sebagai materinya. Hukum Islam kategori pertama

manjadikan hukum Islam sebagai hukum positif atau hukum lokal.

Kedua, hukum Islam yang berlaku secara normatif. Hukum Islam

kategori kedua ini adalah hukum Islam yangg menyangkut praktik

keagamaan individu, seperti shalat, puasa dan ibadah individu

lainnya. Untuk melaksanakan hukum Islam yang berlaku secara

formal di Indonesia diperlukan banyuan dari penyelenggara negara.

Adapun untuk melaksanakan hukum Islam yang bersifat normatif,

bantuan penyelenggara negara tidak diperlukan

Selanjutnya penulis berpendapat bahwa tranformasi hukum

pengelolaan zakat dari fikih menjadi Undang-Undang adalah sebagai bagian

dari usaha pemerintah untuk merekayasa masyarakat agar hukum dapat

menjawab tantangan dan perubahan zaman. Sejalan dengan itu Prof.Dr.

Zainuddin Ali menjelaskan (Ali,2006:38):

Ada 4 (empat) faktor minimal yang perlu diperhatikan dalam hal

penggunaan hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Faktor

dimaksud diungkapkan sebagai berikut:

1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta

ajaran-ajaran hukum.

2. Melakukan studi sosiologis dalam mempersiapkan peraturan

perundang-undangan serta dampak yang ditimbulkan dari

undang-undang itu.

3. Melakukan studi tentang peraturan perundang-undangan yang

efektif.

4. Memperhatikan sejarah hukum tentang bagaimana suatu hukum

itu muncul dan bagaimana diterapkan dalam masyarakat.

Seperti yang penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa lahirnya

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 yang berdampak

kepada Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan berimplikasi terhadap

pengeloaan zakat di Indonesia merupakan hasil dari judicial review

Page 27: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

86

Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 dan lahirnya Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 adalah menjadi bagaian dari usaha pemerintah untuk

menyempurnakan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No.

38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Hal inilah yang penulis sebut dengan Undang-Undang No. 23 Tahun

2011 tentang pengelolaan zakat sebenarnya adalah upaya rekayasa

pemerintah untuk merubah masyarakat terutama terkait pengelolaan zakat

agar lebih efektif dan sesuai harapan. Seperti yang sudah diketahui bahwa

sejak berlakunya Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat, pertumbuhan zakat di Indonesia mengalami perubahan signifikan di

masyarakat, baik swasta maupun pemerintah berlomba untuk membentuk

organisasi pengelola zakat baru. Akan tetapi, sangat banyaknya organisasi

pengelola zakat ternyata belum diantisipasi oleh Undang-Undang No. 38

Tahun 1999, akibatnya meskipun banyak lembaga zakat namun

penghimpunan dan penyaluran zakat masih belum efektif. Begitu juga

dalam hal koordinasi dan pembagian tugas dan fungsi, antara satu dengan

lainnya tidak ada garis koordinasi yang jelas, antara pemerintah, BAZNAS,

Laznas, Bazda dan LAZ, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, semua

lembaga zakat ingin menjadi pengelola, sementara tidak ada yang berperan

sebagai pengawas dan pembuat aturan kebijakan.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat berlakunya

Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mendorong

pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang tersebut

karena dinilai sudah tidak memadai lagi dengan perkembangan kebutuhan

Page 28: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

87

hukum dalam masyarakat, sehingga diterbitkanlah Undang-Undang No. 23

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Selain itu secara teori memang

begitulah hukum bekerja, yaitu sebagi kontrol sosial di masyarakat. Untuk

lebih jelasnya terlihat pada bagan seperti berikut (Saifullah, 2007: 30):

Bagan 2:Reorientasi Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat

Interaksi Kehidupan Manusia

Dalam Masyarakat

Kaidah Agama Kaidah Sosial

Social Control

Sanksi Sosial

Sistem Hukum

Struktur Hukum,Subtansi

Hukum, Kultur Hukum Kaidah Normatif

Modernisasi Timbul Perubahan Sosial

Kesenjangan

Terjadi Perubahan Hukum Evolusi Revolusi

Kesadaran Hukum

Fungsi Hukum Sebagai Sarana

Pengendalian Sosial Dan Sarana Sosial

Dibutuhkan Pengaturan

Hukum Formal

Kepastian Hukum

Kekakuan

Implementasi Pengaturan Pengaruh Faktor

Sosial

Penafsiran

Metode Penafsiran Hukum

Dibutuhkan Pengaturan

Page 29: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

88

Tarik menarik antara hukum Islam dengan Hukum Umum haruslah

disikapi dengan arif dan bijak, jangan sampai proses transformasi hukum

Islam kedalam Perundang-undangan juga menjadi formalisasi hukum Islam

yang keblabasan tanpa memperhatikan perkembangan ditengah-tengah

masyarakat, maka itulah Eklektisisme hukum nasional menjadi jawaban

tengah, logis dan aman untuk ditindak lanjuti di Indonesia.

Sudah saatnya setelah ide eklektisisme hukum nasional dilontarkan,

para ilmuan hukum Islam menyambut dan meneruskannya sebagai projek

luhur sehingga menjadi solusi penengah antara tarik-menariknya ekslusifnya

hukum Islam dengan formalisasi hukum Islam. Bukan malahan terbawa arus

ekslusifisme maupun konservatisme hukum Islam. Hal ini sudah diingatkan

dan disindir 13 tahun silam oleh Prof. Dr. Qodry Azizy (Azizy, 2002:180):

Para ahli hukum enggan atau bahkan takut untuk mengkaji Islam

yang berkaitan dengan hukum atau dengan istilah baku “hukumk

Islam”, karena “Islam phobia” penguasa selama beberapa dekade.

Keengganan ini juga mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa

banyak ahli hukum kita sangat taat menjadi pengikut setia ilmu

hukum Belanda. Namun dalam waktu bersamaan juga tidak sedikit

muncul ahli hukum umum yang berbalikan, yaitu bersikap

konservatif terhadap agama, yang memproklamirkan hukum Islam

secara normatif dan bahkan juga ideologis.

Lebih lanjut lagi memang yang terlihat sampai sekarang masih

terjadi kesenjangan antara hukum umum dan huklum Islam, baik secara

fisik maupun non fisik. Yang dimaksud fisik oleh penulis adalah bagaimana

penulis lihat sangat jelas perbedaan antara kajian hukum di perguruan tinggi

atau universitas umum dan universitas Islam. Walaupun penelitian atau

karya ilmiah dari kedua perguruan tinggi atau universitas tersebut tidak

membatasi kajian hukum Islam sendiri dan hukum umum tersendiri. Hal ini

Page 30: BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR …eprints.walisongo.ac.id/7498/5/115112016_Bab4.pdformas Islam adalah pengingkaran terhadap peran masyarakat yang sejak tiga dekade

89

terbukti bahwa banyak karya ilmiah dari universitas atau perguruan tinggi

umum yang tidak sedikit mulai membahas tentang hukum Islam begitu pula

sebaliknya mulai banyak pula karya ilmiah dari universitas atau perguruan

tinggi Islam yang membahas tentang hukum Umum. Hal perbedaan tajam

tersebut juga pernah dijelaskan Qodry Azizy (Azizy, 2002:181):

Masih terjadi dualisme terminologi, bahkan juga kesenjangan antara

terminologi hukum umum dan terminologi hukum Islam. Yang

terakhir ini adalah wilayah akademik dan menjadi tanggung jawab

para akademisi atau ilmuwan baik akademisi ilmu hukum umum

maupun ilmu hukum Islam. Dikotomi yang tajam antara hukum

umum dan hukum Islam mendominasi dunia ilmu hukum di

Indonesia dan keduanya seolah tidak dapat bertemu apalagi saling

mengisi (eklektik).

Oleh kerana itu dalam anasisis ini penulis membatasi diri untuk tidak

terlalu jauh membahas ekslusivisme dan konservatisme hukum Islam,

karena itu berharap dapat dikaji lebih lanjut oleh penelitian-penelitian yang

lain dalam bidang hukum Islam baik itu tesis bahkan disertasi.