bab iv hasil penelitian dan pembahasan...

60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.Pelaksanaan Penelitian 4.1.1. Persiapan Penelitian Dalam penelitian ini, persiapan penelitian dilakukan dengan membuat rancangan penelitian. Rancangan penelitian ini dimulai dengan langkah menetapkan kancah penelitian yaitu penerapan pola komunikasi ibu single parent pada remaja. Pada awal bulan Maret 2014 peneliti mencari subjek dengan mendatangi PPA IO- 975 yang peneliti gunakan sebagai PPL Konseling, berdasar laporan PPL Konseling peneliti bahwa salah satu remaja yang dilayani oleh peneliti merupakan remaja yang memiliki ibu single parent. Berdasar pada laporan hasil PPL Konseling, peneliti mengidentifikasi pola komunikasi yang dibangun oleh ibu single parent dengan remaja. Pada tanggal 20 Maret 2014 (pukul 16.00 WIB), peneliti mengadakan pertemuan pertama dengan calon subjek I yaitu remaja berinisial MR dan kemudian dilanjutkan bertemu dengan ibu SS yang merupakan ibu dari remaja. Dalam pertemuan tersebut, peneliti ingin memastikan bahwa ibu SS dan remaja MR adalah subjek yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah dipastikan bahwa ibu SS dan remaja MR memenuhi kriteria yang ada, ibu SS dan remaja MR menandatangani informed consent, yang menyatakan bahwa ibu SS dan remaja MR bersedia menjadi subjek. Dari pertemuan dengan subjek I, subjek I menginformasikan bahwa subjek I memiliki teman yang juga mempunyai ibu single parent sehingga subjek yang peneliti harapkan menjadi berkembang. Menurut informasi subjek I, peneliti kemudian pada tanggal 3 April 2014 melanjutkan menemui calon subjek II yaitu remaja PP dan ibu P.

Upload: phunghuong

Post on 08-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Pelaksanaan Penelitian

4.1.1. Persiapan Penelitian

Dalam penelitian ini, persiapan penelitian dilakukan dengan membuat rancangan

penelitian. Rancangan penelitian ini dimulai dengan langkah menetapkan kancah

penelitian yaitu penerapan pola komunikasi ibu single parent pada remaja.

Pada awal bulan Maret 2014 peneliti mencari subjek dengan mendatangi PPA IO-

975 yang peneliti gunakan sebagai PPL Konseling, berdasar laporan PPL Konseling

peneliti bahwa salah satu remaja yang dilayani oleh peneliti merupakan remaja yang

memiliki ibu single parent. Berdasar pada laporan hasil PPL Konseling, peneliti

mengidentifikasi pola komunikasi yang dibangun oleh ibu single parent dengan remaja.

Pada tanggal 20 Maret 2014 (pukul 16.00 WIB), peneliti mengadakan pertemuan

pertama dengan calon subjek I yaitu remaja berinisial MR dan kemudian dilanjutkan

bertemu dengan ibu SS yang merupakan ibu dari remaja. Dalam pertemuan tersebut,

peneliti ingin memastikan bahwa ibu SS dan remaja MR adalah subjek yang sesuai

dengan kriteria yang telah ditentukan. Setelah dipastikan bahwa ibu SS dan remaja MR

memenuhi kriteria yang ada, ibu SS dan remaja MR menandatangani informed consent,

yang menyatakan bahwa ibu SS dan remaja MR bersedia menjadi subjek. Dari

pertemuan dengan subjek I, subjek I menginformasikan bahwa subjek I memiliki teman

yang juga mempunyai ibu single parent sehingga subjek yang peneliti harapkan menjadi

berkembang. Menurut informasi subjek I, peneliti kemudian pada tanggal 3 April 2014

melanjutkan menemui calon subjek II yaitu remaja PP dan ibu P.

Hal ini juga yang dilakukan oleh ibu P dan remaja PP yang merupakan subjek II.

Setelah menetapkan ibu SS dan remaja MR sebagai subjek I serta ibu P dan remaja PP

sebagai subjek II dalam riset ini, dilanjutkan peneliti kemudian meminta kesediaan dari

kedua subjek untuk melakukan wawancara. Peneliti disambut dengan sangat baik dan

kedua subjek sangat terbuka serta bersedia kapan saja peneliti akan melakukan

wawancara.

Selanjutnya melalui informasi dari remaja PP, bahwa PP memiliki teman yang

juga memiliki kriteria yang peneliti butuhkan, bahwa peneliti melanjutkan bertemu

dengan remaja SV yang kemudian bersama ibu EN bersedia menjadi subjek dalam

penelitian ini, dengan menandatangani informed consent serta bersedia untuk

diwawancarai.

Tabel 4.1.1. Karakteristik Subjek Ibu Single Parent

Karakteristik Subjek I Subjek II Subjek III

Nama subjek Ibu SS P EN

Tingkat

Pendidikan

SD SD SMA

Umur 49 tahun 39 tahun 37 tahun

Pekerjaan Single

Parent

Karyawan

Damatex

Swasta (Momong

anak tetangga)

Swasta (tukang

masak di Kantin

Yonif 411)

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Kristen Protestan

Alamat Ds. Ngaglik Rt.

01/ Rw. 11

Perum Mekar Elok

Rt. 04/06 Tingkir

Tengah Salatiga

Jl. Tirtoning III Rt.

3/3 Tegalrejo

Salatiga

Lama single

parent 14 tahun

2 tahun 10 tahun

Penyebab single

parent

Meninggal karena

kecelakaan

Meninggal karena

sakit

Perceraian

Tabel 4.1.1. Karakteristik Remaja

Karakteristik Subjek I Subjek II Subjek III

Nama Subjek

Remaja

MR PP SV

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan

Sekolah SMK N 1 Salatiga SMK Negeri 1

Salatiga

SMP Negeri 6

Salatiga

Umur 15 tahun 15 tahun 14 tahun

Agama Kristen Protestan Kristen Protestan Kristen Protestan

Alamat Ds. Ngaglik Rt.

01/ Rw. 11

Perum Mekar Elok

Rt. 04/06 Tingkir

Tengah Salatiga

Jl. Tirtoning III Rt.

3/3 Tegalrejo

Salatiga

4.1.2. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data dilakukan di rumah subjek dan berlangsung dari bulan Maret

2014 sampai dengan awal bulan April 2014. Selama pengambilan data peneliti

menggunakan pedoman wawancara dengan menggali informasi dari ibu single parent

serta data akan dilengkapi dengan melakukan wawancara dengan remaja.

Dari ketiga subjek sangat terbuka dan bersedia kapan saja melakukan wawancara,

dan subjek menawarkan melakukan wawancara usai menandatangani informed consent.

Sehingga setelah usai menandatangani informed consent, kemudian dilanjutkan

wawancara kepada subjek ibu single parent I yaitu ibu SS pada tanggal 19 Maret 2014

dan subjek ibu single parent II yaitu ibu P dilaksanakan pada tanggal 2 April 2014.

Wawancara kedua remaja subjek dilakukan pada saat remaja usai mengikuti kegiatan

PPA bertempat di PPA IO-975, yaitu remaja MR pada 20 Maret dan remaja PP pada

tanggal 3 April. Sedangkan peneliti membuat janji untuk melaksanakan wawancara

dengan remaja SV seusai remaja SV pulang sekolah yaitu pada tanggal 22 Maret 2014

pada pukul 14.00 WIB, wawancara dilanjutkan dengan ibu EN yang sebelumnya peneliti

bertemu dengan ibu EN terlebih dahulu sehingga pada tanggal 7 April 2014 seusai ibu

EN pulang dari bekerja yaitu pada pukul 18. 00 WIB, ibu EN menyatakan bersedia untuk

menjadi subjek III dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent.

Selanjutnya pada bulan awal Juni, peneliti datang kembali menemui ketiga subjek ibu

single parent untuk melengkapi data dalam penelitian ini.

4.1.2.1. Wawancara

Wawancara yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan wawancara

terbuka dan tertutup. Peneliti lakukan pada tahap pendahuluan karena peneliti

belum mendapat informasi secara mandalam tentang subjek. Pada tahap

pendahuluan ini peneliti memperoleh informasi awal tentang berbagai isu atau

permasalahan yang ada pada subjek. Wawancara dilakukan dalam suasana yang

santai sehingga tidak terasa kaku. Dalam pelaksanaannya peneliti banyak

menggunakan menggunakan bentuk wawancara terbuka untuk menggali

informasi lebih lanjut tentang pola komunikasi yang dibangun oleh subjek.

Pada saat wawancara dilaksanakan peneliti menggunakan pedoman

wawancara, kertas kosong, alat perekam dan alat tulis.

Jenis pertanyaan yang diajukan dalam wawancara ada lima aspek

yang akan diungkap serta disesuaikan dengan kedalaman data yang harus

penulis peroleh pada setiap aspek komunikasi interpersonal antara orangtua dan

remaja.

4.1.2.2. Dokumentasi

Dari hasil wawancara, peneliti kemudian membuat transkrip

wawancara sebagai dokumentasi dari penelitian selain itu peneliti memperoleh

latarbelakang penyebab ibu menjadi single parent dengan meminta fotokopian

atau surat akta perceraian dari ibu single parent untuk melengkapi data.

4.1.2.3. Observasi non Partisipan

Dari data hasil observasi peneliti mengidentifikasi perilaku komunikasi

subjek terkait dengan pola komunikasi yang diterapkan oleh ibu single parent

terhadap remaja. Observasi non partisipatif dilakukan pada saat peneliti

mengadakan wawancara untuk melengkapi data dan mengikuti kegiatan di

rumah subjek. Peneliti menggunakan alat bantu observasi yaitu daftar cek

observasi sebagai pedoman observasi untuk mendeskripsikan perilaku

komunikasi yang nampak pada ibu single parent dan remajayang

teridentifikasi oleh peneliti.

4.1.2.4. Kuesioner

Pada tanggal 12 Juni 2014, peneliti menggunakan kuesioner pola

komunikasi keluarga untuk mengetahui pola komunikasi yang dominan

digunakan oleh ibu single parent terhadap remaja. Peneliti meminta subjek

untuk mengisi 64 pernyataan sesuai dengan intruksiSetelah subjek selesai

mengisi, peneliti menanyakan kembali kepada subjek pernyataan-pernyataan

yang mempunyai skor tinggi dan pernyataan yang jawabannya tidak konsisten

antara pernyataan yang satu dengan yang lainnya. Hal ini peneliti lakukan

untuk menambah pemahaman peneliti mengenai gambaran pola komunikasi

subjek yang sebenarnya.

4.2. Gambaran Umum Subjek

4.2.1. Subjek I

Wawancara dilakukan di rumah ibu SS yang terlihat sangat sederhana.

Wawancara tepatnya dilakukan di ruang. Ruangan berdinding tembok dan

terdapat kursi tamu seadanya.

Saat wawancara berlangsung, suasana tempat wawancara tenang dan

sepi karena rumah yang terletak jauh dari jalan raya, dan rumah yang berada

dekat dengan kebun- kebun. Subjek sangat ramah dan terbuka dengan peneliti,

wawancara dilakukan berdua antara subjek dengan peneliti, sedangkan remaja

sedang menonton TV di dalam rumah.

Ibu SS memiliki rambut hitam dan sudah memiliki uban, rambut yang

diikat serta kulit sawo matang. Pada saat wawancara berlangsung subjek

mengenakan kaos dan celana pendek, terlihat telah melakukan beberapa

aktivitas pekerjaan ibu rumah tangga. Sedangkan remaja MR memiliki rambut

panjang yang ngombak dan kulit sawo matang mengenakan kaos dan celana

panjang. Padaa saat wawancara, subjek duduk disebelah kiri peneliti, dengan

tangan yang diletakan di bahu kursi dan badannya disandarkan pada kursi.

Pada saat wawancara akan berlangsung, peneliti meminta izin untuk

bertanya kepada subjek tentang kehidupan subjek kepada anaknya dan

komunikasi yang terjalin antara subjek kepada anaknya. Dengan senang hati

subjek mengijinkan peneliti untuk mencari tahu tentang informasi yang ingin

diketahui. Subjek terlihat tenang ketika diwawancarai, hal ini terlihat dari

jawaban yang diberikan kepada peneliti dengan suara yang jelas dan keras.

Ketika subjek menceritakan kisah kehidupannya, dan pandangan mata subjek

tetap tertuju ke arah peneliti.

Ibu SS menikah dengan suaminya, dan dikaruniai seorang anak

perempuan yang cantik yaitu MR, namun ketika MR berusia 2 tahun, pada

suatu hari suaminya ketika perjalanan pulang dari bekerja mengalami

kecelakaan dan meninggal dunia. Pada waktu itu ibu SS sangat terpukul

karena sedang merasakan pernikahan yang bahagia karena baru saja memiliki

anak pertamanya. Semenjak suaminya meninggal, ibu SS dibantu oleh

keluarganya untuk mengasuh MR dan sejak itu pula ibu SS menumpang

dirumah orangtuanya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harin dengan

anaknya , ibu SS mencari nafkah seorang diri yaitu dengan bekerja sebagai

karyawan Damatex dan mengontrakkan rumah yang dimilikinya dengan

suami.

Ibu SS dengan mandiri dan bekerja keras mencoba mencukupi

kebutuhan anaknya yang semakin hari semakin bertumbuh dewasa. Hingga

pada suatu hari orangtuanya meninggal dunia dan rumah yang ibu SS tempati

akan dikontrakan untuk setiap bulannya, hasilnya akan dibagi dengan saudara-

saudaranya, sehingga akhirnya ibu SS harus kembali kerumah miliknya

sendiri. Semenjak saat itu, ibu SS semakin giat bekerja untuk mencukupi

kebutuhan anaknya yang saat ini beranjak remaja. Setiap harinya ibu SS harus

menyisihkan uang agar supaya ada persediaan uang sewaktu-waktu apabila

ada kebutuhan mendesak atau sehari-harinya seperti untuk uang saku dan uang

praktek sekolah anaknya. Ibu SS terkadang harus berhutang kepada tetangga-

tetangganya ketika harus mendaftarkan sekolah anaknya.

Sebagai anak tunggal yang berada pada usia remaja, MR merupakan

anak yang baik. MR selalu membantu ibunya untuk mengerjakan pekerjaan-

pekerjaan rumah. MR sangat dekat dengan ibunya, sehingga tidak jarang

sering menceritakan permasalahannya dengan ibunya. Untuk menjaga putri

satu-satunya itu, ibu SS membiasakan diri untuk dapat menjadi teman untuk

MR, sehingga kebiasaan atau pola perilaku komunikais yang demikian

membuat MR merasa betah dirumah. Ibu SS juga membiasakan MR untuk

mengajak teman-temannya bermain dirumah dengan begitu menurut ibu SS,

ibu SS bisa memantau pergaulan anaknya.

Remaja MR yang mengambil jurusan pemasaran/ penjualan

sehinggamemiliki bakat yaitu pada bidang enterpheunership. Untuk

membantu ibunya memenuhi kebutuhan sehari-hari, terkadang MR mencari

uang jajan sendiri melalui berdagang gorengan atau sembako. Dengan begitu,

MR terkadang tidak perlu meminta uang saku pada ibunya. Melihat bakat

yang dimiliki oleh MR, ibu SS sangat mendukung, sehingga terkadang ketika

melihat MR mengalami kesulitan dalam berdagang, maka ibu SS akan

membantu dengan memberi sedikit modal sehingga selain melatih MR dapat

mencari uang saku sendiri, ibu SS juga melatih MR untuk mengembangkan

bakat berdagangnya.

Dalam hal mendidik anak, ibu SS selalu memperlakukan MR seperti

teman, sehingga ketika dirumah tidak jarang MR mengajukan pendapat

bahkan memberi masukan kepada ibu SS, begitupun dengan MR yang sering

meminta solusi ketika sedang memilii masalah dengan teman sebaya seperti

sahabat atau pacar.

Ibu SS dan MR sering menghabiskan waktu bersama, bercerita dan

bercanda ketika akan menjelang tidur dan tidur bersama-sama. Melalui

kebiasaan seperti itu, hubungan ibu SS dan MR semakin dekat dan ibu SS

dapat mengikuti perkembangan anaknya dengan baik, walau mungkin

dikarenakan pekerjaan ibu SS memiliki tidak banyak waktu untuk bertemu

dengan anaknya. Namun menurut ibu SS komunikasi bisa dilanjutkan dengan

mengirimkan pesan atau telepon melalui handphone.

4.2.2. Subjek II

Wawancara dilakukan di rumah ibu P yang terlihat sederhana.

Wawancara dilakukan di ruang tamu, berdinding tembok berwarna hijau dan

terdapat 2 kursi yang biasa digunakan menerima tamu. rumah ibu P berada

pada komplek perumahan sehingga saat wawancara sedikit bising

dikarenakan aktivitas tetangga sekitarnya dan subjek memiliki anak berusia 4

tahun yang bermain dirumah.

Subjek berambut lurus pendek serta memiliki kulit putih bersih. Ketika

subjek bertemu dengan peneliti, subjek tersenyum dan dengan ramah

mempersilahkan peneliti untuk masuk rumah. Pada saat wawancara subjek

duduk di sebelah kanan peneliti, dengan posisi duduk berhadapan dengan

peneliti.

Pada saat wawancara, peneliti meminta izin untuk bertanya kepada

subjek kehidupan subjek kepada anaknya dan komunikasi yang terjalin antara

subjek dengan anaknya. Ibu P sangat terbuka sehingga ibu P bersedia dengan

terbuka menceritakan kehidupan dan komunikasi yang terjalin antara ibu P

dengan anaknya. Subjek terlihat tenang ketika diwawancarai, hal ini terlihat

dari jawaban yang diberikan kepada peneliti dengan suara yang jelas. Ketika

subjek menceritakan kisah kehidupannya. Pandangan mata subjek tetap tertuju

ke arah peneliti, namun sesekali subjek melihat kedua anaknya yang sedang

duduk menonton televisi diruang tamu.

Ibu P menikah dengan seorang yang memiliki pekerjaan yang

berprofesi di proyek bangunan. Ibu P menikah dengan berbeda keyakinan,

namun ibu R dan suami telah sepakat untuk tetap melaksanakan keyakinan

masing-masing, yaitu ibu P memiliki keyakinan Kristen Protestan dan

suaminya Islam. Selama menjalani kehidupan berumah tangga, ibu P di

karuniai dua orang anak yaitu perempuan dan laki-laki. Anak pertama di beri

nama PP (15 tahun) dan anak ke dua di beri nama M (4 tahun). Ibu P dan

suaminya hidup bahagia. Dalam menjalani rumah tangga, mereka sepakat

untuk anak perempuan akan megikuti keyakinan ibu P dan anak laki-lakinya

akan mengikuti keyakinan suaminya. Dan mereka membagi tugas untuk

mengasuh anaknya.

Sebagia orang tua, ibu P dan suami memiliki hubungan yang sangat

dekat dengan anak-anaknya. Hal ini ditunjukkan, walau suami berbeda

keyakinan dengan ibu P dan remaja PP , namun suaminya memberikan

kebebasan kepada istri dan anaknya untuk menjalankan kewajiban ibadah, dan

suami ibu P sering mengantarnya ke gereja.

Masalah pendidikan anak, ibu P dan suami sepakat untuk

menyekolahkan remaja PP sesuai dengan minatnya dan mendukung remaja PP

untuk terlibat dalam PPA, sedangkan anak keduanya yaitu M disekolahkan di

Madrasah. Hal itu dengan tujuan agar kebutuhan rohani anak-anaknya dapat

berkembang dengan baik.

Namun pada tanggal 17 Oktober 2012, suami ibu P meninggal dunia

dikarenakan penyakit Trombositopenia yang baru diketahui oleh keluarga 3

bulan sebelum suami ibu P meninggal dunia. Sejak saat itu ibu P menjadi

single parent bagi anak-anaknya. Saat ibu P harus menghadapi suaminya

meninggal, ibu P sangat terpukul dan sempat mengalami stress karena ibu P

bingung bagaimana harus menghidupi kedua anaknya. Selain itu, ibu P kuatir

dalam mengasuh anaknya seorang diri, dan merasa takut tidak mampu

menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang pendidikan yang tinggi. Sebagai

sumber penghasilan, ibu P mengasuh anak tetangga dan menjadi tukang masak

apabila ada tetangga yang sedang memiliki hajatan. Ibu P juga semakin kuatir,

apabila anak-anaknya tidak mencapai cita-cita yang diharap hanya karena

masalah perekonomian yang saat ibu P dan anak-anaknya alami.

Remaja PP merupakan anak yang aktif dan terlibat menjadi pengurus

kelas disekolahnya. Ibu P sangat menyanyangi kedua anaknya, dan selalu

bersemangat bekerja setiap melihat kedua anaknya dan mengingat suaminya.

Ibu P sangat dekat dengan kedua anaknya. PP sering menceritakan

permasalahan yang dialaminya kepada ibu P, dan ibu P sering memberikan

nasihat dan solusi kepada remaja PP. Kedekatan yang dibangun oleh Ibu P

membuat remaja PP merasa nyaman dirumah. ibu P dan remaja PP sering

menghabiskan waktu bersama dengan memasak bersama.

Ibu PP memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam berteman

dan bergaul namun tetap dalam pantauan atau pengawasan. Selain itu, ibu P

berserah diri kepada Tuhan untuk membimbing dan mengasuh anaknya

sampai berhasil.

4.2.3. Subjek III

Wawancara dilakukan di rumah ibu EN yang terlihat sederhana.

Wawancara dilakukan di ruang tamu, dan terdapat 1 set kuris tamu yang biasa

digunakan menerima tamu. Semenjak ibu EN berpisah dengan suaminya, ibu

EN menumpang dan tinggal bersama dengan orangtua, adik dan anak-anaknya

sehingga pada saat wawancara sedikit bising dan ibu EN merasa kurang

nyaman dikarenakan aktivitas keluarganya dan subjek memiliki anak berusia 3

tahun yang bermain dirumah. Sehingga perhatian ibu EN ketika diwawancarai

kurang fokus, sebab memperhatikan ketiga anak-anaknya yang juga duduk

bersama subjek.

Subjek berambut lurus pendek serta memiliki kulit putih bersih. Subjek

merupakan sosok pribadi yang lemah lembut. Ketika subjek bertemu dengan

peneliti, subjek tersenyum dan dengan ramah mempersilahkan peneliti untuk

masuk rumah. Pada saat wawancara subjek duduk di sebelah kanan peneliti,

dengan posisi duduk berhadapan dengan peneliti.

Pada saat wawancara, peneliti meminta izin untuk bertanya kepada

subjek kehidupan subjek kepada anaknya dan komunikasi yang terjalin antara

subjek kepada anaknya. Ibu EN sangat terbuka sehingga ibu EN bersedia

dengan terbuka menceritakan kehidupan dan komunikasi yang terjalin antara

ibu EN dengan anaknya. Subjek terlihat sedikit tidak nyaman ketika

diwawancarai, hal ini terlihat dari jawaban yang diberikan kepada peneliti

dengan suara yang sangat pelan dikarenakan subjek yang tinggal bersama

orangtuanya sering mengalami pertengkaran masalah anak-anaknya. Ketika

subjek menceritakan kisah kehidupannya pandangan mata subjek selalu tertuju

kearah anak dan sesekali melihat kedalam rumah.

Ibu EN menikah dengan seorang pria yang memiliki pekerjaan

berprofesi TNI AD. Ibu EN menikah pada tahun 2000, pada saat itu karena

suaminya yang berprofesi sebagai TNI AD maka ibu EN harus tinggal

bersama dengan suaminya di asrama Yonif 411. Pada saat itu, ibu EN merasa

sangat bahagia karena ketika tidak lama menikah langsung dikarunia seorang

anak perempuan yang cantik, memasuki usia pernikahan yang 2 tahun ibu EN

kembali dikarunia seorang ank perempuan. Ibu EN merasa bahagia dan

sepakat dengan suminya untuk membesarkan bersama-sama anak mereka.

Suami ibu EN sangat dekat dengan kedua anaknya, setiap suami ibu EN

bekerja, suaminya sering membawa anaknya untuk ikut, dan setiap sore selalu

ada kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan anak-anaknya seperti

jalan-jalan disekitar asrama Yonif 411. Selama menjalani kehidupan berumah

tangga, ibu EN dan suaminya merasa sangat bahagia.

Memasuki usia pernikahan tahun ke enam, suami ibu EN pergi ke

Ambon untuk melaksanakan tugas, tugas tersebut akan harus dilaksanakan

selama 2 tahun. Selama suami bertugas di Ambon, komunikasi yang ibu EN

lakukan dengan suami sangat lancar, suami ibu EN sering menanyakan

keadaannya dan kabar anak-anaknya. Ibu EN juga sering memberikan

informasi tentang perkembangan anak-anaknya. Memasuki menjelang

suaminya selesai menyelesaikan tugasnya di Ambon, ibu EN selalu melakukan

komunikasi, namun permasalahan rumah tangganya terjadi ketika seluruh

anggota TNI AD yang ditugaskan di Ambon pulang kembali ke asrama Yonif

411, tetapi suami ibu EN tidak ikut pulang bersama anggota yang lainnya.

Menurut informasi dari salah satu teman dari suaminya bahwa suami ibu EN

hanya kembali ke kapal untuk menaruh seragam, barang dan perlengkapannya

sebagai TNI AD namun tidak bersedia ikut pulang bersama anggota lainnya.

Informasi itu pula diperjelas oleh atasan suami ibu EN bahwa sesuai

ketentuan dan peraturan yang berlaku di tempat pekerjaan suami ibu EN,

suami ibu EN dinyatakan dipecat secara tidak hormat dan meminta ibu EN

untuk meninggalkan asrama Yonif 411 dikarenakan sudah tidak memiliki

keterikatan tugas tanggungjawab sebagai Persatuan Istri Tentara (Persit).

Sejak itu, ibu EN dan anak-anaknya pulang kembali kerumah orang

tuanya yang tidak jauh dari asrama Yonif 411. Semenjak suaminya yang tidak

kembali pulang, ibu EN berusaha untuk menghubungi suami dan keluarga

suaminya yang berada di Ambon, namun ibu EN tidak pula mendapatkan

jawaban yang pasti. Suami ibu EN hanya memberitahukan bahwa tidak dapat

kembali lagi pulang kerumah tanpa memberikan alasan yang jelas. Semenjak

itu, ibu EN mengalami kesulitan untuk menghubungi suaminya, ibu EN juga

kekurangan informasi tentang suaminya dan pekerjaan suaminya saat ini.

Sampai saat ini ibu EN hidup menumpang bersama orang tua dan adiknya.

Semenjak ibu EN ditinggalkan oleh suaminya, ibu EN sering

mengalami pertengkaran dengan orangtuanya karena orangtuanya merasa ibu

EN dan anak-anaknya menjadi beban. Tidak jarang ketika orangtua ibu EN

marah, ibu EN dan anak-anaknya sering diusir dari rumah. Untuk membiayai

anka-anaknya, ibu EN bekerja serabutan yaitu seperti menjadi tukang masak

di kantin Yonif 411, menyetrika atau mencuci baju tetangga, mengambil

jahitan dari pabrik garmen. Semua pekerjaan dilakukan ibu EN agar dapat

membiayai anak-anaknya dan tidak merepotkan orangtuanya. Suami ibu EN

sempat pulang menemui ibu EN dan anak-anaknya, dan ibu EN hamil anak

ketiganya yang saat ini berusia 4 tahun.

Pada tanggal 14 Januari 2009, ketika ibu EN mendapat informasi bahwa

suaminya telah berkeluarga di Ambon dan kemudian ibu EN memutuskan

untuk bercerai dengan suaminya. Selama 5 tahun bercerai, mantan suami ibu

EN terkadang datang menjenguk ibu EN dan anak-anaknya, mantan suami ibu

EN juga bersedia memberikan biaya pendidikan dan keperluan untuk ketiga

anaknya. Namun bantuan finansial dari mantan suaminya juga tidak cukup,

sehingga ibu EN harus bekerja keras untuk mencukupinya. Tidak jarang ibu

EN harus meminta bantuan dari orangtua dan adiknya, namun ketika ibu EN

meminta bantuan, ibu EN sering mendapatkan kata-kata yang kurang enak

didengar dari orangtua dan adiknya. Dan tidak sering orangtuanya mengatakan

bahwa ibu EN adalah anak yang selalu merepotkan orang tua.

Ibu EN yang merupakan single parent bagi anak-anaknya. Ibu EN

sempat mengalami stress karena ibu EN bingung bagaimana harus

menghidupi ketiga anaknya. Selain itu, ibu EN kuatir dalam mengasuh

anaknya seorang diri, dan merasa takut tidak mampu menyekolahkan anak-

anaknya sampai jenjang pendidikan yang tinggi. Sebagai sumber penghasilan

ibu EN yang tidak tetap dan tekanan dari keluarga yang sering mengusirnya.

Remaja SV yang merupakan anak pertama dari ibu EN merupakan anak

yang sangat mandiri. Remaja R selain mengikuti kegiatan PPA, SV juga

memiliki bakat dalam bidang olahraga yaitu lempar takram. SV sangat dekat

dengan ayahnya sehingga SV memiliki cita-cita menjadi KOWAD. Cita-cita

SV sangat didukung oleh ibu EN. Hubungan SV yang sangat dekat ayahnya,

membuat SV menjadi tertutup semenjak SV kehilangan ayahnya. Hubungan

SV dengan ibu EN kurang dekat, sehingga ibu EN berusaha keras untuk

membuat SV untuk mau terbuka. SV lebih sering bercerita dengan teman-

teman ayahnya yang dirasa dekat dengannya, sehingga SV lebih senang

menghabiskan waktu diluar rumah dan senang bermain di lingkungan asrama

Yonif 411. Ibu EN tidak jarang bertanya dengan teman-teman mantan

suaminya yang dekat dengan SV untuk mendapatkan informasi apa saja

tentang anaknya. Selain itu karena ibu EN yang harus bekerja, maka intensitas

pertemuan dengan anak- anaknya terutama SV sangat kurang dan SV merasa

tidak nyaman berada dirumah karena sering bertengkar dengan neneknya.

4.3.Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini mengungkapkan penerapan pola komunikasi ibu single parent pada

remaja dengan menggunakan indikator-indikator dari Pola Komunikasi yang diungkapkan

oleh Devito (2009). Selain wawancara dilakukan kepada ibu single parent untuk mengetahui

penerapan pola komunikasi ibu single parent terhadap remaja, peneliti juga melakukan

wawancara kepada remaja untuk menggali informasi lebih lanjut dan mengungkapkan

penerapan pola komunikasi ibu single parent terhadap remaja di kehidupan sehari-hari.

Teknik ini membantu peneliti dalam mendapatkan informasi mendalam tentang penerapan

pola komunikasi yang dilakukan oleh ibu single parent terhadap remaja dalam kegiatan

kehidupan sehari-hari yang mencakup indikator diatas.

4.3.1. Deskripsi Penemuan

4.3.1.1.Data Hasil Wawancara

A. Subjek I

1) Indikator Kesetaraan Antar Anggota Keluarga

Subjek juga memiliki tingkat kesetaraan komunikasi yaitu menjadikan

anak seperti teman. Remaja merasa nyaman sehingga remaja merasa tidak

ada keraguan untuk menceritakan permasalahnnya kepada ibu single

parent.

“nganu ok mbak, masalahe udah terbiasa gitu lho cerita

sama ibu, cerita pacar gitu udah biasa, udah kayak temen

gitu lho mbak.. trus kalo aku ada temen gitu yang maen

kerumahku, cewek atau cowok gitu disuruh ibu dirumah

daripada ketemuan dijalan, gak bagus gitu.. maksud’e cerita

ke ibu “ buk, iki temenku, gini-gini”. Itu mesti cerita nek

ada masalah sama cowokku atau gimana gitu tu mesti aku

cerita sama ibu”. (A.2.4)

Perbedaan pendapat ditanggapi oleh ibu single parent dan remaja dengan

saling mendengarkan pendapat masing-masing.

“pernah mbak, ya nanti ibu pendapatnya gimana, nanti aku

pendapatnya kayak gimana nanti kalo udah kayak gitu nanti

dipikirkan to mbak, gimana ben pendapat’e kita tu bisa

sama. Mesti kayak gitu” (A.2.26)

“ya, biasane kalo aku cerita “buk, aku gini-gini”.. trus nanti

ibu jawab,” yawis to rak sah pacaran sek wae, sekolah sek,

nek nganu gek pacaran meneh”. Ibu suka terbuka mbak

gitu lho mbak, trus ibu biasane cerita pengalaman –

pengalamane dulu-dulu kayak gimana gitu” (A.2.10)

“ya pernah mbak, kan aku gimana ya mbak.. aku kan udah

pernah punya pacar trus ibuk gak suka sama pacarku, trus

jelek-jelekin, aku juga gak suka caranya ibu gitu, apa

maksude orang tu gak ada yang sempurna git lho mbak.

Lha aku trus bentak ibu, “ kabeh wong ki rak podo buk,

saiki ndeknen carane kayak ngono, padahal nek

seumpamane meh ngapik’i aku kan yo bedho to buk, ora

podho karo ibu, ra iso sing koyok ibu”. Aku mesti kayak

gitu mbak. mbantah ibu gitu lho mbak..kan aku juga bener

gitu to, mesti kayak gitu sih mbak.. ibu ya tau diri lah, kalo

udah tak bantah gitu, aku kan gimana ya mbak, aku jarang

ngamuk ibu, atau bantah ibu tu jarang tapi kao ibu bener-

bener salah, aku mesti bantah gitu ok mbak.. gak pandang

itu ibukku, tapi kan aku bener gitu lho mbak..aku orangnya

gitu mbak..hehehe” (A.1.12)

Mendengarkan pandangan-pandangan dari remaja dilakukan sambil duduk

bersantai dan melakukan aktivitas yang menyenangkan secara bersama-

sama.

“ya nonton tv berdua gitu.. “bu, temenku tu disekolah

gini..gini..” “tenane? Nopo ek dek?” “lha aku kan pas gi

sakit gondongen ndisik kae kan ra’ omong bu..” “wah nek

ra’ eneng MR ki sepi” terus temen-temennya pada kesini,

“buk, MR tu lho buk..disekolahan nakal..” hehehehe..wah,

rame sekali gitu mbak.. ya itu, kalo ada masalah gitu curhat,

TVnya dimatiin, terus berdua gitu” (A.1.30)

“ iyaa mbak, kemarin itu dek MR sini, saya sini. Terus kok

gak bisa curhat, terus “ adem ek yo buk?” he’em thoo” saya

ya gitu.. “buk’e ngono anget, nganu guling” “ihh, yo

enak..ono guling ok buk..” “yo kene, bobok karo buk’e opo

piye?” “pareng to buk?” “yo wis kenee..” terus bercerita

gitu mbak”. (A.1.24)

2) Indikator Pembagian Tugas pada Tiap Anggota Keluarga

Keseteraan yang dilakukan oleh ibu single parent dengan remaja nampak

pada kesediaan untuk bekerjasama antara ibu single parent dengan remaja

yaitu dengan melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama.

“ada mbak, ya itu.. kalo bersih-bersih, “dek,

nganu..sepatunya udah berapa…” “ya besok bu, tak

kumbahi sek yo buk..” “yo sesok wae..” saya bilang gitu..

trus “dek, sesuk buk’e prei” “ngopo ek buk?” “bar soko

gereja, nganu yaa dek.. ngresik’i kaca” saya bilang gitu..

“apa kowe sing ngeresik’i kaca, buk’e sing bubut- bubut

suket?” “yon ngene wae tho buk, ibuk’e ngresiki’i kaca

sebalah kono, aku kono. Lek bareng-bareng, engko nek wis

bar, gek bubut-bubut suket”.. “oww yooo” saya bilang gitu

.. (A.1.23)

“iyaa.. ya gini mbak, kalo banyak kegiatan, “udah dek, sing

ngerjake bu’e”.. gitu.. tapi kalo ibu masuk siang, saya sms

“dek, kumbahane iseh nganu.. sing loro..engko dilebok’ke”,

apa gini “dek, engko nek arep maem, ono lauk mau wis tak

tukok’e iwak, engko nek dianu tikus” “ow, iya buk”.. “nanti

nganu ya dek, nganu..lampu belakang dinyalakan” gitu

mbak.. kalo sekolah, udah capek gitu to satu hari, saya ya

nyadari gitu mbak, tapi kalo dirumah, “dek, mbok ibuk

dibantu to dek..disapu” dia nyapu mbak.. kemarin lak

liburan, ibu masuk malam, dia bangun pagi-pagi, ibu pulang

udah bersih.. “buk, wis tak sapu” udah nyuci, udah mandi,

udah nanak nasi, “buk, nasine nganu ik buk..lembek” “dah,

gak apa-apa” saya bilang gitu.. “ora opo-opo, yo dimaem.

Dihabisin ayo, mengko nek kurang ngliwet neh”. Saya

bilang gitu ok mbak.. ndak usah “nganuu..nganu..” ndak

usah.. “besok, kalo masak dek, berase semene, banyune

semene iki”.. “ow iya buk” gitu..udah” (A.1.41)

3) Indikator Pengambilan Keputusan di dalam Keluarga

Dalam mengambil keputusan ibu single parent sering meminta

pertimbangan dari remaja.

“ ya sering, “dek nganu..nek seumpamane ibuk sok..nganu

ee dek, magicjar’e wis ra nganu..wis rusak e dek. Nek sok

utang gono piye? “sok wae to buk, nek bayaran ben ora

usah utang. Sok nek nduwe rejeki, gi mundhut sing cilik wae

buk”.bilang gitu.. “beli sing dingo satu liter buk” gitu.. “ow

yoo”..saya bilang gitu.. terus gini, “buk sok nek wis kerjo,

engko tak cet’e, terus iki diganti”.. “ow iyaaa” ya saya

bilang gitu mbak.. “yo nek ibu’e dhewe, ibuk’e wis ra kuat

nek ning sok bantu kowe, ibuk iso yak’e dek” (A.1.44).

Dalam aspek ini, remaja juga melibatkan ibu single parent dalam

mengambil keputusan secara bersama-sama.

“ya pernah mbak, kan aku gimana ya mbak.. aku kan udah

pernah punya pacar trus ibuk gak suka sama pacarku, trus

jelek-jelekin, aku juga gak suka caranya ibu gitu, apa

maksude orang tu gak ada yang sempurna git lho mbak. Lha

aku trus bentak ibu, “ kabeh wong ki rak podo buk, saiki

ndeknen carane kayak ngono, padahal nek seumpamane

meh ngapik’i aku kan yo bedho to buk, ora podho karo ibu,

ra iso sing koyok ibu”. Aku mesti kayak gitu mbak. mbantah

ibu gitu lho mbak..kan aku juga bener gitu to, mesti kayak

gitu sih mbak.. ibu ya tau diri lah, kalo udah tak bantah gitu,

aku kan gimana ya mbak, aku jarang ngamuk ibu, atau

bantah ibu tu jarang tapi kao ibu bener-bener salah, aku

mesti bantah gitu ok mbak.. gak pandang itu ibukku, tapi kan

aku bener gitu lho mbak..aku orangnya gitu mbak..hehehe”

(A.2.11)

“ya responnya mesti, “yawislah, terserah kowe. Nek sing

gawe apik go kowe yo iku karepmu, ibu si isone mung

ngomongi tok”. Mesti kayak gitu.. aku yaa, tau sendirilah

mbak, aku kayak piye, tapi aku kan, yaudahlah, nanti

marahan sebentar, nanti baikan lagi.. ibu gitu mesti ok

mbak”. (A.2.12)

“ya nanti ibu pendapatnya gimana, nanti aku pendapatnya

kayak gimana nanti kalo udah kayak gitu nanti dipikirkan to

mbak, gimana ben pendapat’e kita tu bisa sama. Mesti kayak

gitu”. (A.2.26)

“pernah mbak, aku tu kalo buat keputusan gini ok mbak,

keputusan atau punya cita-cita bareng sama ibu tu gini,

rumahku tu dibelakang masih ada lahan gitu lho mbak, lha

sama ibu punya cita-cita “ sok nek ibu wis pensiun, kowe

wes kerjo sok iki dibangun neh yoo, digawe warung opo

kost-kostan ben ono penghasilan ben nek ning omah, ben

oran ning omah tok”. Gitu.. ya ibu pengennya kayak gitu, ya

muga-muga aku bisa ndang lulus dan bisa bantuin ibu seko

sithik-sithik sing tak klumpuk’e gitu lho mbak.. itu sih mbak”

(A.2.39)

4) Indikator Keleluasaan dan Keterbukaan dalam Keluarga

Subjek menyatakan bahwa komunikasi yang terjalin dengan remaja sangat

terbuka, hal ini nampak dari kesediaan remaja untuk menyampaikan

permasalahan-permasalahan yang dialaminnya, kesediaan remaja

menyampaikan pendapat. Subjek dari remaja merasa tidak ada keraguan

dalam menyampaikan perasaan-perasaan yang dimilikinya. Ini seperti yang

dinyatakan oleh subjek:

“kalo malam, tidur berdua, saya dulu “ibuk, ki ndisek gek

cilik rekoso, ket cilik, wis arep nduwe bojo, gek nduwe bojo

dipenak’e, pak’mu wis ra’ ono. Kowe ojo nglanggar wong

tua ya dek”. Saya bilang gitu, koyo ibuk’e”. (A.1.1)

iya, pengalaman saya sendiri. Gak lain-lain lho

mbak..gitu..terus dia kalo kok ada apa, masalah apa, dia

curhat sama saya. Gitu.. (A.1.2)

“iya, dibiasakan. ada masalah, saya pun kalo punya hutang,

nganu ya curhatnya sama ini (MR) mbak, “dek, nganu

ik..wis ra’ nduwe sangu . sesok ngge sangu opo yo dek? Ibu

utang tanggane e dek, ning sesuk ada jagane lho mbak..

ning sesuk ibuk bayaran”. Gitu..saya bilang gitu.. ini ya

nyadari ibu, “yawis buk, gak po-po”. Gitu” (A.1.4)

“ya gini..curhat sama ini (MR), “dek, kamu punya uang

ndak?” saya bilang gitu.. “eeeemm, punya buk, 10 ribu”.. “

ibu pinjem dulu, besok pas ibu bayaran, nanti saya tambahi

lagi” gitu..saya bilang gitu, apa dapat sisa gitu uang dari

mana, “ayo dek yoo, jalan-jalan, beli sego goreng”gitu

saya.. tapi nanti saya ya bicara suk nek ini “dek anu.. nek

berteman, jangan milih-milih semua itu bagus.. tapi satu

jangan kau langgar”. Ibu bilang gitu.. (A.1.11)

ya, kayak masalah kakak saya. kalo ada apa-apa, pasti.. ada

masalah, utang wae pasti saya cerita ke MR. Ndak rahasia-

rahasianan. MR kadang kalo jajan gitu “buk’e kok nduwe

duit soko endi buk?” Kalo belum bayaran, “kok ibu kok

nduwe duit ki soko ngendi”.. bilang gitu ok mbak.. dia

sebelum melangkah keluar, itu dia pasti tanya. “buk’e tu

uange darimana? Kalo utang, mending gak usah to buk..

wong buat jajan kok utang, besok aja kalo udah punya bu”

gitu.. (A.1.45)

Indikator keleluasaan dan keterbukaan dalam komunikasi keluarga juga

dirasakan oleh remaja, yaitu remaja tidak memiliki keraguan untuk bercerita

kepada ibu serta membagikan pengalaman dan permasalahan yang

dimilikinya.

“iya.. ya maksud’e cerita nek ada masalah atau bertengkar

sama pacare gitu, mesti cerita kok mbak”. (A.2.5)

“ ya tergantung ada masalah apa gak gitu mbak, kalo ada

masalah apa ya nanti maksude kalo ada masalah sama

pacar gitu yaa mbak, pagi nanti rebut, biasane aku ngomel-

ngomel dulu gitu lho mbak, nanti ibu “ opo meneh?”, nanti

siang ngomel-ngomel lagi, nanti ibu Tanya lagi, trus aku

cerita lagi, nanti kalo mau tidur ya cerita lagi

mbak..hehehe..gitu ok mbak” (A.2.41)

“ya kalo ketemu ya gitu mbak, cerita terus.. gak ada

spasinya..hehehe” (A.2.42)

B. Subjek II

1) Indikator Kesetaraan antar anggota Keluarga

Ibu single parent dengan remaja sering memiliki beda pendapat dalam

sehari-harinya, perbedaan pendapat terjadi dikarenakan remaja yang

menurut ibu single parent berubah-ubah dalam membuat keputusan.

ya sering mbak. Sering sekali..hahahaha.. ya kadang tu dek

PP kepengennya begini, ibu kepengennya begini kan suka

ada perbedaan gitu lho mbak. Ibu pengennya ini, tapi kok

Putri kepengennya itu. Putri itu keras kepala lho mbak.

Pokoknya kalo udah A ya A, nggak mau berubah lagi. Gitu

lho.. jadine ibu sebagai orang tua ya harus ngalah wae lah.

“yawis, sakarpemu. Ibu manut wes”. Daripada marah-

marah to mbak. “wis sakarepmu wis, manut.. ayoo”. Tapi

nek udah, bar ya bar mbak. Nggak ada ngambek sampe

lama tu nggak ada. Itu nggak bisa, ibu nggak bisa. (B.1.20)

Perasaan nyaman dan terbuka juga dirasakan oleh remaja yaitu terbukti

remaja merasa tidak ragu-ragu untuk menceritakan permasalahnnya kepada

subjek dan mendiskusikannya bersama-sama.

“sering.. lha dirumah adanya ibu, jadi sering cerita to

mbak”. (B.2.1)

“ganti- gantian.. kadang aku dulu yang cerita, kadang ibu.

masalah keuangan disekolah, terus ekonomi dirumah juga”.

(B.2.2)

biasanya kalo mau tidur gitu.. diajak cerita-cerita dulu, terus

biasanya “kenapa beda?” kan biasanya aku dirumah gak

pernah diem ya mbak, terus kalo ada masalah aku kan

diem.. mesti ibuk udah tau.. terus kalo masalah..masalah,

paling masalah sama teman kalo sama cowok, gak pernah..

ya jarang lah.. (B.2.4)

kalo aku sih biasane tak Tanya ya mbak.. “ ibu nopo kok

gini..gini..gini..” terus nanti ibu cerita.. “yo iku to, masalah

biasa.. “ udah terbuka sih mbak dari dulu, tapi sebelum

bapak nggak ada, aku ceritanya mesti sama bapak.. iya,

semuanya sama bapak.. (B.2.5)

ibu Tanya dulu.. sampai dalam-dalamnya banget, ibu Tanya

dulu “ada apa?” gitu.. pokoknya sampe aku jujur dulu,

baru ibu ngasih tau.. “jangan gini..gitu.. harusnya kamu

gini..gini..gini..” pokoknya ibu yang jarang apa ya mbak,

jarang nuntut gitu lho mbak.. “ kamu tu ginilah.. gitulah..”..

(B.2.14)

“gimana ya mbak, misalnya ke temen, kalo dipikir-pikir

masalah apapun kalo dibilang deket, ya lebih deketnya

sama ibu, kalo sama pacar juga sesayang-sayangnya sama

pacar kan tetep lebih sayang sama ibu mbak.. jadi ya di

ibu”. (B.2.18)

2) Indikator Pembagian Tugas Pada Setiap Anggota Keluarga

Kesediaan ibu single parent untuk bekerjasama dengan remaja yaitu dengan

melakukan pekerjaan rumah secara bersama-sama.

iya, ya kita masak bareng-bareng gitu lho mbak. Seandainya

PP kepengennya masak ya ibu yang bersih-bersih. Kalo

seandainya ibu masak ya dia yang bersih-bersih. Tapi kalo

seandainya PP baru males, keset gitu ya kadang dia yang

asah-asah nanti ibu yang masak. Tapi seringnya dia yang

masak. Pokoknya ibu Cuma beli, belanja taruh dirumah

nanti tau-tau udah mateng. Tinggal menikmati..hahahaha..

kalo seumpamanya nggak enak ya ibu kritik. “Iki kurang

gini..gini..gini..” “ibuk ki mesti ngono” “lho aku kan koyo

jurine, aku masterchef’e ” hahahaha..kadang ibu bilang,

“nek ibu ngeritik, ora entuk nesu” wong nyambel aja kan

kelihatan mbak, enak atau nggak enak, gitu ya “Put, kie

nyambel’e kurang asin sithik”. Ya ibu bilang mbak. Jadinya

kita saling terbuka gitu lho mbak. Seandainya ini..ini kan

kadang ada yang ora wani mengutarakan tapi karo ibu ndak,

“pokok’e nek PPi durung pinter masak ya ibu kritik” jadine

dia kalo praktek kan bisa belajara sendiri gitu lho mbak. “yo

dikira-kira segini pas’e”. kan gitu bisa. (B.1.18)

“apa ya mbak, selain masak itu.. nonton TV, santai.. kalo ke

warung belanja gitu ya setahun..hehehe. ini (PP) itu nggak

bisa kalo nggak sama ibu. Kalo kemanapun ibu tu lho mesti

ikut ok mbak. Jadine dia itu kalo bisa mandiri kalo retreat

dari PPA, acara PPA atau kemah gitu baru mandiri. Kan

nggak boleh diikutin sama ibuknya. Setiap warung belakang

itu lho mbak, itu aja ikut. Setiap mau jalan itu lho kesitu,

cuman maen ya ngintil mbak. Lawange tutupi kabeh, TVne

dipateni. “kowe jane ki nopo to Put? Ibu ki yo pengen dolan

dhewe mosok kok yo diintili anak’e terus. Ibu ki yo pengen

refresing barang”. “masalahe nek ning omah nggak ono ibu

ki sepi”. “halah, lha wong ni omah mbok jak padhu wae”.

Setiap ibu keluar rumah, dia mesti ikut. Apalagi M, sama PP

itu sama mbak. Nggak bisa kalo ibuknya nggak kelihatan

dirumah. Itu pasti nggak bisa. Dicari pasti ya dapat mbak.

“ibu ki ngelimpek’ke” “lha pancen aku ngelimpe kok”

hahahaha..” (B.1.25)

“ya kadang kalo pas ada apa gitu, ya kami kerjain bareng-

bareng ntah njemur kasur ntah njemur apa gitu. Pokoknya

kita selalu bareng-bareng gitu mbak.. “pokok’e nek kowe ora

gelem yo ora usah bobok”. Ya itu.. terus ada apa, ada

cucian, yang seharusnya dikeluarke, tapi nggak dikeluarke,

ibu suruh gitu.. kadang “wek’e sopo ek?” “Yawis, saiki

wek’mu, wek’ku. Itung-itung yaa.. sekolah bayar dhewe,

sangu dhewe” “yo ojo ngono to bu, “yowis ayo bareng-

bareng”..hahahahaha.. dia ketakutan mbak kalo udah gitu”.

(B.1.27)

Aktivitas yang dikerjakan bersama dengan ibu, remaja lebih sering

melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah secara bersama-sama,

“apa yaa, tidur itu kan juga bareng ya mbak yaa.. ya

mungkin nonton tv bareng.. kalo mau kewarung gitu bareng.

Ya itu masak sama ibu.. terus bantuin ibu dirumah”. (B.2.30)

3) Indikator Pengambilan Keputusan di dalam Keluarga

Ibu sering melibatkan remaja dalam mengambil keputusan bersama-sama,

dalam bentuk aktivitas apapun ibu single parent sering meminta penapat dari

remaja yang kemudian disepakati bersama-sama.

“pernah..keputusan kalo mau pergi gitu.. keputusan bareng-

bareng..misalnya, rumahnya mau dicat ini gitu, “iyaa” gitu”.

(B.2.43)

“dipancing-pancing.. “piye? Enak’e piye?” terus nanti kalo

kiranya keputusannya tepat, ya ibu manut.. terus kalo nggak

tepat nanti diralat dikit sama ibu” (B.2.44)

4) Indikator Keleluasaan dan Keterbukaan dalam Keluarga

Riset pasrtisipan menyatakan bahwa sangat terbuka dengan remaja, sehingga

remaja sering menceritakan permasalah yang dialaminya.

“ya cerita mbak..hehehe.. kalo ada apa-apa ya mesti cerita..

tapi dia itu cuek, cueknya minta ampun, seandainya aja ada

sampah gitu ya mbak yaa, ya adeknya, ya punya ibu, gitu tu

ya yang diambil, yang dibuang ya punyanya dia, punya ibu

sama adek, ya nggak dibuang.. memang anaknya cuek, kalo

punyanya dia sendiri, ya dia sendiri..gitu..” (B.1.3)

ya tentang apa ya mbak..hehehe.. ya saya kan juga sambil

momong, kan kemarin-kemarin juga bicara ya tentang

semuanya mbak.. tentang ibu punya ini, kerja juga ini,

penghasilan Cuma segini.. gitu.. ya ibu cerita, “kamu ya

maem seadane” ibu kan bilang gitu, terus “adek juga gitu,

nggak boleh nakal, nek jajan ndak usah banyak-banyak” ibu

kan bilang gitu, soalnya ibu kan nggak ada yang nyariin duit

to mbak, kan Cuma cari sendiri, bisa buat sekolah, bisa buat

sangu sekolah, buat jajan, kan gitu.. ya ibu cerita, kan ibu tu

kerjanya nggak tetap, ibu kan Cuma momong anaknya orang

kan, sewaktu-waktu anak itu diambil kan, ibu kan juga

nggak kerja, berarti nggak ada pengasilan, kan gitu.. (B.1.7)

C. Subjek III

1) Indikator Kesetaraan antar Anggota Keluarga

Perbedaan pendapat sering dialami oleh ibu single parent dengan remaja

dikarenakan remaja yang memiliki banyak aktivitas diluar rumah dan

permasalah dengan keluarga besar.

“sering. Kalo lagi pas ada masalah sama mbah’e, itu sering.

Seringnya karena saya kan selalu bilang, “dek SV, walau

mbah salah sek SV harus tetap hormat, itukan orang tua”.

“mamah tu selalu gitu, mamah mau kita di injak-injak

terus” gitu.. “ya nggak gitu dek, dek SV ngalah aja kalo

ada masalah sama mbah” “mamah tu selalu gitu, ngak

pernah mau ngelawan mbah”. Ya seringnya gitu. Ya tapi

yam au gimana lagi mbak, mosok didepan orang tua saya,

saya bilang gitu.. kayak gitu kan ya nggak mungkin, Cuma

nanti saya nasihati SV, SVnya yang nggak terima. Nanti SV

ngiranya saya nggak sayang mbak. “aku tu nggak mau

diinjak-injak terus mah”. Itu.. “ya sama, tapi kita cara

menghadapinya nggak kayak gitu”. Saya bilangnya gitu.

Tapi memang anaknya gitu mbak, mungkin baru masa

mencari jati diri. Jadi emosinya tok yang dijok’ke. Ya

repotnya disitu mbak. Kan dia baru masa transisi to mbak.

Jadi saya serba salah ngadepinya, di lus, nggak mudeng,

nanti nek dikasar ya salah”. (C.1.13)

“Jujur mbak, dibanding sama adik-adiknya, saya lebih

kesulitan ngadepin SV mbak” (C.1.31)

Perbedaan pendapat dirasakan pula oleh remaja, yaitu perbedaan pendapat

dalam menanggapi aktivitas yang dimiliki oleh remaja.

“tau. Mama bilang gini, “kamu itu kalo mau ikut kegiatan

sebaiknya kamu ngatur waktu. Nanti kalo kamu nggak bisa

ngatur waktu, kamu keteteran. Keteteran, capek, akhirnya

sakit semuane nanti buyar semua belajarmu. Jadi nek kamu

ngapa-ngapa mbok yo milih mana sing paling pokok.

Sakjane, kamu ikut ekstrakurikuler itu dula ah, soale kamu

udah latihan..gini..gini..” gitu.. mamah sebenere itu batasi

apalagi kalo ekstrakurikuler tapi akune kan nggak mau. Nek

disuruh diem tok nggak ikut ekstra kurikuler sing bisa bikin

seneng itu kan ndak mau. Contohne Pramuka kan didik itu

bikin seneng, terus Paskibra, terus Jurnaslistik, itu

kegiatanku” (C.2.19)

“ya bilang sama mama, “aku tu nggak suka mah kalo

misale dibatasi gini. Aku tu anak’e mamah sendiri, aku tu

nggak bisa diem. Saat aku punya keinginan dan aku pengen

nyoba itu ya harus meskipun itu bercabang-cabang kesana

kesini..kesana kesini.. supaya aku bisa belajar, aku juga ya

ndak main-main. Kalo ikut disana, apa apa apalah nek aku

nggak serius tu sama aja, aku tu serius mah. Aku tu pengen

belajar supaya aku bisa itu nggak disatu bidang, tapi

diberbagai bidang” aku bilang gitu. “kamu tu nek

dibilangin mesti ngeyel. Satu-satu dulu, nanti nek wis baru

yang lain. Kamu tu susah bagi jadwale, ya belajarmu,

latihanmu, terus PPAmu, kegiatan gereja, ini..itu”. (C.2.20)

Dalam indikator ini remaja sering menyampaikan pendapat kepada ibu

single parent tentang permasalahn yang dihadapi oleh ibu single parent

yaitu masalah keluarga.

ya sering mbak. Biasanya tu kalo ada masalah sama

mbahnya. Kan ya wong namanya dalam lingkup keluarga

besar ya mbak ya, pasti kan sering terjadi masalah. Jadi

kalo ada apa-apa sedikit, semua tau dan semua jadi kena.

Ntah itu masalah si kecil, kadang ya masalah SV. Kan

disini itu kan sama saja seperti numpang mbak, jadi kadang

kalo SV itu buat mbahnya marah, saya sering bilang, “dek

SV itu mbok ya nurut” “aku tu suntuk mah, setiap hari

selalu aja ada masalah sama mbah”. Kadang saya itu ya

stress sendiri mbak gitu mbak. Pusing sendiri. Serba salah.

Karena saya juga nggak bisa nungguin SV terus, karena

saya ya harus kerja. Tapi kalo ditinggal, ya sering nggak

cocoknya. Nanti kalo saya nggak kerja ya piye. Ya serba

salah lah mbak saya ini. Sering terjadi konflik gitu mbak.

Tapi ya SV udah mudeng mbak, jadi kadang ya ngasih

masukan juga ke saya, “udah mah yang sabar”. Kan

biasanya saya sama anak-anak ngumpul bareng, tidur

bareng, saya pernah bilang gini, “piye kalo nanti ibu cari

kost aja, kita hidup berempat ngekost aja, biar mbah nggak

marah-marah terus”. Terus SV bilang, “nggak usah mah,

nggak apa-apa kok. Kasihan mamah kalo nanti sewa kost

pasti uangnya banyak. Belum sekolahku sama adek. Buat

sementara dibetahke aja disini sama mbah”. (C.1.30)

Namun salah satu faktor penghambat komunikasi ibu single parent dan

remaja dikarenakan ibu single parent beserta remaja yang menumpang

dirumah nenek dan berkumpul dengan keluarga besar sehingga membuat

remaja merasa tidak nyaman berada dirumah.

“hehehehe.. tapi aku pengennya begitu. Pengen jarang

dirumah. Ya karena itu, kan aku numpang jadinya aku tu

nggak enak, terus dirumah itu orangnya banyak, dan punya

tekanannya masing-masing. Terus nanti nek belum mereka

marah, kalo satu marah satu rumah kena, dan marah’e sampe

kemana-mana. Jadine aku nggak suka dirumah. Yang buat

aku nggak nyaman dirumah tu itu. Terus kurang komunikasi

itu tadi sama mama”. (C.2.23)

2) Pembagian Tugas Pada Tiap Anggota Keluarga

Ibu single parent menerapkan pembagian tugas pada remaja, hanya saja

remaja memberikan respon balik yang kurang sehingga pembagian tugas

diberikan ketika remaja bersedia saja.

“nggak ada sama sekali”. (C.1.22)

“nggak ada mbak, kalo saya ya paling nyuruh ngerapiin

tempat tidurnya. Udah gitu tok. Tiap harinya ya itu, “dilipet

selimute” ya Cuma gitu tok. Nek harus gini gitu, anak’e

nanti terus marah mbak. Jadi Cuma nginget-ngingetke.

Karena kalo dia baru nggak mood, nanti malah anak’e nesu

sampe seharian mbak, nanti malah berantem”. (C.1.29)

“kalo saya sering mbak, Cuma anaknya itu kadang nggak

mau. Kadang saya minta buat dibantuin. Paling gitu.. ya

kadang, “Nok bantuin ibu cuci piring yuk” nanti saya yang

nyuci, nanti dia yang ngurep-ngurepke piring gitu. Misale

kalo nyuci, “sing nyucike mamah, kamu sing njemur”.

Cuma kadang anak’e sing susah mbak”. (C.1.28)

Pembagian tugas kurang terlihat jelas pada Subjek III dikarenakan anak

banyak memiliki kegiatan diluar rumah.

“nggak ada sih mbak May..kalo diluar rumah ya itu bantuin

kerja tadi. Kalo ngerjain sesuatu dirumah itu paling

nyelesein jahitan, karena mamahku kan selain di Yonif, jadi

kerjanya nyabang gitu lho mbak May. Pagi sampe sore

masak, nanti kalo pulang itu jahitan. Mamah ngambil

jahitan, paling aku bantuin satu atau dua jam. Terus nanti

kalo capek ya tidur. Nanti mamahku nyelesein sampe jam

12, gitu.. kayak bersihke benang gitu lho Mbak, satu baju tu

sekitar 50rupiah atau 100 rupiah gitu.. kadang ya mamah

ambil 15, nggak mesti sih. Kadang ya satu karung”. (C.2.53)

3) Pengambilan Keputusan di dalam Keluarga

Ibu dan remaja sering melakukan kesepakatan dan berdiskusi bersama-sama

serta saling mendengarkan masing-masing pandanganya.

“sering mbak, masalah sama embahnya mbak. Kan kami

disini numpang terus sering terjadi masalah gitu lho mbak.

Terus saya bilang, “apa kita pindah aja. Ibu tak cari kost-

kostan? Tapi nek nanti kita ngekost, adek nggak bisa sangu.

Piye?” “jangan to mah, nanti nek mamah jadi susah piye?”

“nggak apa-apa, sing penting bareng-bareng”. Ya

seringnya ya pas gitu tok” (C.1.30)

“ya misale kayak mau piknik gitu, butuh biaya sing banyak.

Kayak kemarin itu ke Bali, “Nok, misale kalo nggak ke Bali

piye?” “harus a mah” “yaudah, nanti tak coba telepon

papah” kan kalo telepon papahe jarang bisa gitu mbak,

biasanya harus sana dulu sing ngebel. Terus saya bilang

sama adik saya, “yawis tak bayari, ning kowe sing sanguine

yo kowe dhewe yo mbak” “iyo” terus saya bilang di SV,

“bayare bisa, tapi sanguine nek nggak ada piye?” saya

bilang gitu “Kalo mau berangkat ya monggo, tapi kalo ada

pilihan lain, ya pilih sing lain wae”. Maksude kan yang

nggak bisa ke Bali, mungkin ke Jogja atau gimana gitu.

“piye Nok, ditimbang-timbang sek, mumpung belum

berangkat. Kan kira-kira yang bisa kamu berangkat dan

punya sangu juga. Nek mamah nyaranke kie nek iso sing

cedhak wae jadi mamah bisa bayarke dan bisa nyangoni”

“yawis mah, keputusane sesuk, tak pikir-pikir dulu”. Terus

akhirnya, “yawislah mah, tak ke jogja wae”. Terus pernah

mbak, mau diajak pulang papahnya ke Ambon, ya saya

sebenernya berat mbak, tapi saya mikir kalo mungkin aja

kalo dia sama bapaknya jadi mau terbuka. Terus saya Tanya,

“apa kamu ikut papa kesana? Piye nggak apa-apa ya nok,

nanti kalo SMA balik sini lagi, disana mung ngehabiske

SMP tok” terus dia, “tak pikir-pikire meneh mah”. Terus

setelah itu anaknya udah mau, selang beberapa hari saya

malah jadi kepikiran mbak, nanti kalo disana diopeni tenan

opo nggak, wong namanya dari kecil ya mbak ya, kan dia

juga cewek to mbak, lingkungan di Ambon kan

lingkungannya nggak kayak disini gitu lho mbak, takute

nanti kalo baru ken apa sama bapak’e takute lari ke hal-hal

sing negative, apalagi disana bapake juga udah ada istri dan

takutnya nanti istrine ora gemati malah nanti nggak diopeni.

Dia bilang, “aku malah bingung ik mah” “lha nek bingung

yo dimantepke dulu” saya bilang gitu. “udah ah mah, aku

nggak mau disana” “yaudah nek disini, ya disini wae.

Besok-besok kalo papahmu kesini, ya ngomong aja kamu

nggak mau kesana”. Dia ya bilang ke saya, “besok pokoknya

kalo aku lulus SMP, aku masuke di SMA Kartika yo mah ya

di Ambarawa itu?” “iya, yang penting kamu prestasinya

apik kan bisa membantu, kalo masalah biaya kamu kan tau

dhewe dibagi-bagi sama adik’e. siapa tau nanti papahmu

mau bantu opo piye, yang penting kan kalo kamu punya

prestasi kan masuk’e gampang sek” saya bilang gitu”.

(C.1.31)

4) Indikator Keleluasaan dan Keterbukaan dalam Keluarga

Ibu single parent merasa kesulitan untuk terbuka dengan remaja,

dikarenakan remaja memiliki latarbelakang merasa lebih dekat dengan

ayahnya serta pekerjaan ibu single parent yang membuat intensitas

pertemuan dengan remaja sangat sedikit.

“susah mbak, SV itu keras orangnya.. ya dibilangin pelan-

pelan, kadang ya ibu Tanya pelan-pelan. Gitu mbak. Kadang

ya dia cerita duluan. Tapi kadang kalo saya lihat kok

sikapnya SV kayak gimana , ada perubahan ya saya yang

dekati terus saya Tanya. Tapi ya itu susah.” (C.1.3)

“nggak tau mbak, tapi kadang ya sama om Hasan itu. Orang

411, tapi ya kurang tau, kalo cerita-cerita malah sama Hasan

itu. Kalo dirumah dia nggak terbuka mbak, padahal saya itu

ya udah usaha supaya saya itu bisa temenne, sahabat’e ya

sebagai mamahe juga tapi ya mungkin dia belum

mempercayai saya atau mungkin merasa takut. Tantene juga

jarang cerita”. (C.1.4)

ya itu mbak, paling pas nonton tv bareng, tapi akhir-akhir ini

kami bobo bareng gitu tu tak tanya’i mbak. Tapi yo tiap kali

saya Tanya, “kamu kenapa dek? Mbok kalo ada apa-apa tu

mbok cerita ke mamah to dek, mamah kan orangtuamu, ya

pengen tau juga tentang masalahmu dek”. Kadang saya bilang

gitu mbak, sampe nggak tau harus gimana lagi. Tapi memang

anak’e gitu, jarang mau terbuka” (C.1.5)

“kalo Tanya sama Pak Hasan belum mbak, tapi kadang saya

Tanya di yang lainnya, kadn dia deket sama banyak tentara

yang dulu temennya papahnya. Kadang ya saya minta ke dia

untuk dikenalin sama temen tentaranya mbak, karena kan saya

nggak begitu paham yang mana aja. Kadang nanti kalo saya

udah tau orangnya gitu, nanti saya Tanya-tanya mbak. Kan

maksudnya kalo udah saling kenal, atau punya nonya kan bisa

saling sharing gitu mbak. Mungkin kalo sama dia lebih

terbuka, atau mungkin kalo SV punya ganjelan sama saya,

nanti cerita ke dia atau gimana. Nanti kan saya biar tau,

gimana carane menemukan solusi biar bisa deket sama SV.

Tapi sampe sekarang belum nemu solusinya mbak. SV itu

kaku orangnya mbak, sering sendiri mbak”. (C.1.8)

“iya mbak. Saya tu kalo ngobrol sama dia itu nyambung sih

mbak, enak. Cuma ya itu, dia tu kalo ada masalah-masalah apa

gitu susahnya minta ampun. Nggak mau cerita. Apalagi kalo

ada masalah sama keluarga gini, nanti dia “mamah itu lho..”

nanti daripada dia tambah ngotot, nanti berantem, semuanya

jadi keikut-ikut mbak. Jadi saya itu ya bingung mbak, yang

satu keluarga yang satu ya anak, malah mentok sendiri. Terus

terang bingung sendiri mbak, mau gimana. Nanti kalo belain

ibu, yang satu ini ya kasihan, nanti kalo bela anak ya yang ibu

malah marahnya sampe kemana-mana. Malah piye mbak.

Serba salah mbak” (C.1.9)

“kalo sama temene, dia pernah cerita, terus saya bilang gini

“ya jangan gitu harusnya dek, diomongin baik-baik” saya

bilang gitu. “Ya puji Tuhan udah kelar mah, ini karena salah

paham ok mah”. Cuma kalo masalah cowok, nggak tau dia

punya pacar atau nggak mbak..hehehe.. setau saya, nggak

punya kayak’e mbak. Kalo dulu tu sempat mbak, tapi ngak

sampe berlanjut gitu lho mbak. Kan tak kasih tau, “dek SV,

masih kecil nggak boleh pacaran dulu ya”. Waktu masih kelas

1 malah mbak, dulu itu sama kakak kelasnya. Kan sering

ngehubungi di HP saya juga, terus ya saya kasih tau juga sama

anaknya itu “maaf ya mas, SV masih kecil wong baru aja

masuk sekolah. Mikir sekolah dulu aja” saya bilang gitu. Ya

treus SV nurut itu mbak. Ya nggak tau kalo mungkin masih

bertemen atau gimana. Cuma nggak pernah nyinggung-

nyinggung. Saya taunya malah dari adik’e. (C.1.15)

Remaja mengaku jarang terbuka dengan ibu single parent dikarenakan

hubungan antara remaja dan ibu single parent kurang dekat sebab sebelum

ibu single parent bercerai, remaja merasa lebih dekat dengan ayah. Selain itu

remaja merasa tidak ingin membebani ibu single parent tentang masalahnya,

karena remaja melihat ibu single parent penuh dengan tekanan ekonomi dan

keluarga yang harus dihadapinya, sehingga remaja semakin kurang untuk

terbuka.

“jarang banget.. kalo sharing itu paling Cuma masalah

rutinitas latihan. Udah. Kalo rutinitas disekolah, sama

temen-temenku tu nggak pernah cerita” (C.2.7)

“karena kalo aku cerita sama mama, kan mama itu single

jadi kalo aku cerita itu.. soalnya aku mesti kalo punya

masalah itu yang berat-berat. Sampe berantem, sampe ini..

sampe ini.. kalo aku bilang mamaku kan mamaku tambah

repot. Gitu.. mamahku jadi tambah kayak pikirannya

terbebani. Jadine aku jarang cerita sama mama itu karena itu,

pikirane mamah itu kan udah numpang, gimana carane

ngasih makan, nyari nafkah. Nanti kalo aku bilang gitu,

tambah susah lagi. Kedepane masalahku tambah panjang.

Nanti mamah bisa-bisa sakit, soale mamahku tu kalo ada

pikiran sedikit nanti mesti sakit. Jadi aku nggak pernah

bilang sama mama” (C.2.8)

“Ya seneng, tapi nggak nyaman karena aku dekete sama

papah”. (C.2.11)

“jarang banget.. mamah itu banyak pikiran, juga mesti

capek. Jadi nggak enaklah cerita sama mama, jadine cerita

ke temene papah. Apalagi yang belum keluarga, mereka

masih bisa beri aku ruang buat aku cerita nanti mereka

ngasih solusi. Gitu.. kalo sama mama kan udah banyak

pikiran. Jadi nggak enak”. (C.2.33)

Untuk mendapatkan informasi tentang remaja, ibu single parent sering

sekali mencari informasi dengan bertanya orang-orang yang dekat dengan

remaja dan sesekali bertanya kepada remaja.

“kalo untuk SV, ini.. saya ya sering nanya-nanya temannya

SV yang ada di HP saya. Sama dia kan punya temen yang

pak tentara-tentara di Yonif itu, ya saya sering pantau, cari-

cari info. Ya saya Cuma tau jadwalnya dia setiap hari, dia

pulang sekolah jam segini, terus nanti habis itu latihan

sampe jam segini, terus nanti pulang, yaudah taunya Cuma

segitu tok. Cuma pas kalo jadwalnya latihan, tapi kok nggak

latihan ya saya Tanya, “kenapa kok nggak latihan? Kamu

kenapa dek?” gitu”. (C.1.10)

Remaja merasa ibu single parent tidak begitu memahaminya perasaan serta

permasalahan yang dimiliki oleh remaja. Remaja merasa ibu single parent

kurang memahaminya secara mendalam karena remaja mengaku lebih sering

mengungkapkan perasaan kepada orang lain dibanding dengan ibu single

parent.

“sebenernya mamah tu tau gimana parasaanku Cuma mamah

tu taunya nggak detail. Soalnya tu aku ada masalah, ya

ceritanya malah sama orang lain bukan sama mamahku.

Mamah hanya sekedar taulah gimana perasaanku, perasaan

yang bener-bener tak rasain itu mamah tau Cuma nggak

secara detail”. (C.2.41)

“pernah.. ya masalah temen, jadi temen ngerebut temen, aku

kan nggak terima terus masuk kamar,marah-marah, “kamu

kenapa to?” terus cerita, “temenku gini..gini” “yawis itu

berarti harus mbok selesaike dengan deawasa, kalo kamu

dari dulu nyelesaike pake emosi kapan ketemune titik

terange. Berarti Tuhan mau mendewasakan kamu.” selalu

jawabane itu.. “kamu nyelesaikene jangan pakai emosi”. Itu

sing jelas”. (C.2.34)

“ada. Ya kalo pas aku emosi gitu, ya itu mama sing

ngeredam emosiku, nanti beliin aku.. misalnya aku kepengen

baju nanti mama usaha beliin aku baju. Terus kalo aku suka

makanan ini, ya mama buatin terus nganterin sekolah,

ngajak cerita.. gitu”

“ya sambil gojek gitu.. gojek-gojek waktu kerja. Atau pas

lihat acara TV. Waktu itu lihat acara TV yang itu lho

wartawan sakit parah karena kebanyakan kerja sekian puluh

jam, terus dari situ mamahku bilang, “kamu mau kayak gitu?

Kebanyakan jadine sakit” “yo nggak mau, tapi aku kan

nggak mau nek diem terus to mah”. “ahh, terserah”..

(C.2.10)

Ketika remaja mengalami permasalah, remaja enggan menceritakan dan

meminta bantuan kepada ibu single parent.

“kadang.. jarang banget.. soale aku nggak suka. Aku tu udah

besar, dan misale kalo aku bisa nyelesaike sendiri kenapa

harus aku cerita ke mamaku. Gitu” (C.2.29)

Remaja merasa lebih dekat dengan teman-teman ayahnya, sehingga remaja

merasa lebih terbuka dengan teman-teman ayahnya dibandingkan dengan

ibu.

“banyak tanya. Selalu Tanya kayak, “tadi kamu disekolah

ada masalah apa ndak?” ya diperhatiin. Mama tu perhatian,

“udah belajar belum? Disekolah kamu piye? Kamu ada

masalah ndak? Kamu kalo pake kaos kaki gimana?

Seragammu udah lengkap belum?” gitu.. tapi ya umpamane

aja nggak deket sama mama, ya nggak pernah cerita”.

(C.2.9)

“eee….diajak cerita tentang tentara, “tadi kamu ketemu

siapa? Kamu ketemu sama orang yang mbok jengkelin

nggak? Kamu tadi mainnya sama siapa?” gitu.. kalo aku

mau terbuka itu diajakin cerita tentang tentara itu bisa

terbuka. Soale 60% kegiatanku tu sama mereka. Misalnya

jogging, atau senam sama mereka, sharing ya sama mereka

jadi mama tau “oh mungkin lewat orang ini, aku bisa

terbuka sama mama”. Gitu caranya”. (C.2.13)

“ya aku sama temen-temene papahku... aku dekete sama

tentara-tentara karena mereka udah tau problemku, problem

keluargaku dan dari awal sampe keluargaku keluar dari

asrama itu kan mereka udah tau jadine aku lebih deket sama

mereka. Terus mereka itu kayak’e nggak merasa terbebani

meskipun mereka terbebani. Ya enak aja, dinasihatin

“Kamu tu seharusnya gini..gini..gini..” ya nyaman aja.

Kalo sama mama kan mungkin karena mamaku terlalu

lembut jadinde aku kasihan” (C. 2.12)

“he’e.. karena ya kegiatanku tadi kan kebanyakan

ketemunya sama mereka. Dan mereka itu ramah-ramah.

Jadine sharing, kadang mereka Tanya, “kamu gini..gini

kenapa? Tumben kamu semangat, tumben kamu kamu

wangi rapi kenapa? Kok kamu diem dari tadi biasanya

cerewet banyakan tingkah kenapa?” gitu”. (C.2.31)

4.3.1.2. Data Hasil Observasi non Partisipan

No Indikator Deskripsi Observasi

SUBJEK I

1. Kesetaraan antar

anggota keluarga

Indikator kesetaraan nampak dari ibu secara terbuka

menceritakan tentang pekerjaan dan aktivitas yang

dikerjakan oleh ibu single parent kepada remaja, serta

remaja tanpa ragu memberikan respon yang sama

dengan menceritakan kegiatan belajar dan soial

disekolah maupun diluar sekolah.

Ibu memberikan kebebasan kepada remaja untuk

menyampaikan pendapat secara terbuka. dari

pengamatan peneliti, komunikasi yang terjadi sangat

terbuka serta ibu sempat meminta pendapat kepada

remaja ketika memiliki permasalahan seperti masalah

pekerjaan ibu.

2.

Pembagian tugas

pada tiap anggota

keluarga

Ibu sangat melibatkan remaja ketika melaksanakan

tugas pekerjaan rumah serta pekerjaan banyak

dilakukan secara bersama-sama. Selain itu, remaja

secara sadar melaksanakan tugas pekerjaan rumah

seperti menyapu , memasak nasi, membersihkan tempat

idur dan membereskan perlengkapan pribadinya.

3. Pengambilan

keputusan

Pengambilan keputusan nampak dipecahkan bersama-

sama walau dalam skala yang kecil seperti menyangkut

kebutuhan remaja yaitu membeli perlengkapan pribadi

remaja.

4.

Keleluasaan dan

keterbukaan

didalam

komunikasi

keluarga.

Peneliti mengidentifikasi bahwa subyek memiliki

tingkat keterbukaan yang tinggi. Subjek duduk bersama

dengan remaja serta secara terbuka saling

menyampaikan pandangan. Komunikasi yang terjadi

cukup reflektif, sehingga pengalaman atau permasalahn

yang dialami oleh ibu single parent maupun remaja

diceritakan secara bebas, langsung dan terbuka.

Remaja juga secara terbuka menceritakan

permasalahan pribadi seperti hubungan dengan teman

sebaya atau pacar.

No Indikator Deskripsi Observasi

SUBJEK II

1. Kesetaraan antar

anggota keluarga

Kesetaraan nampak dari komunikasi yang terjadi antara

ibu dengan remaja yaitu dengan menjadikan remaja

sebagai rekan diskusi seperti mendiskusikan masalah

pekerjaan ibu. Konflik dalam berkomunikasi karena

remaja sering mengganggu adik laki-lakinya sehingga

konflik yang terjadi berupa perkelahian yang

ditanggapi oleh ibu merupakan suatu hal yang wajar

terjadi setiap harinya karena adik laki-laki remaja yang

masih balita serta remaja yang dirasa sering berbuat

usil. Perbedaan pendapat muncul ketika berkomunikasi

antara ibu single parent dengan remaja karena ibu

merasa remaja sering bersikap cuek terhadap adiknya.

2.

Pembagian tugas

pada tiap anggota

keluarga

Remaja secara sadar melakukan tugas pekerjaan rumah

seperti mencuci baju sendiri yang menurut remaja, rutin

dilakukannya setiap hari seusai mandi. Selain itu

keterampilan memasak yang dimiliki oleh remaja,

menjadikan pekerjaan memasak juga merupakan

kegiatan rutin yang dilakukannya.

3. Pengambilan Dalam pengambilan keputusan, ibu intens melibatkan

keputusan remaja dalam kegiatan apapun. Seperti pembagian tugas

atau melaksanakan pekerjaan rumah diputuskan secara

bersama-sama dengan remaja.

4.

Keleluasaan dan

keterbukaan

didalam

komunikasi

keluarga.

Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti,

komunikasi yang dilakukan oleh remajadengan ibu

single parent cukup terbuka. Remaja komunikasi

cukup aktif dalam memberikan respon timbal balik

kepada ibu single parent. Remaja tidak sungkan untuk

menceritakan pengalaman yang dialaminya saat berada

disekolah serta permasalahan yang dialaminya dengan

pacarnya.

No Indikator Deskripsi Observasi

SUBJEK III

1. Kesetaraan antar

anggota keluarga

Kesetaraan dalam berkomunikasi terlihat tidak adanya

batas pemisah antara orang tua dengan remaja, nampak

dari komunikasi yang berlangsung terjadi dengan

melakukan aktivitas bersama-sama ketika bertemu

yaitu hanya menonton tv atau mengobrol dikamar.

Dalam berkomunikasi ibu lebih sering mendengarkan

pandangan serta pendapat dari remaja disbanding

memberikan wejangan.

2.

Pembagian tugas

pada tiap anggota

keluarga

Remaja merupakan anak yang mandiri sehingga remaja

selalu melakukan aktivitas dan keperluan-keperluan

remaja sendiri seperti mencuci baju dan menyiapkan

perlengkapan sekolahnya secara mandiri.

3. Pengambilan

keputusan

Ibu melibatkan remaja dalam mengambil keputusan

seperti masalah keluarga yang seringkali dialami oleh

remaja. Pengambilan keputusan juga dilakukan dalam

rangka menyangkut kebutuhan remaja seperti kebutuhan

pendidikan.

4.

Keleluasaan dan

keterbukaan

didalam

komunikasi

keluarga.

Berdasar pengamatan peneliti, remaja jarang berada

dirumah dikarenakan banyaknya aktivitas diluar rumah.

Ibu single parent memiliki waktu yang terbatas untuk

bertemu dengan remaja. Dalam percakapan, ibu yang

lebih aktif bertanya kepada remaja tentang permasalahan

atau kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh remaja. Sesekali

remaja menceritakan tentang teman-temannya yang

dominan berprofesi tentara, sehingga ibu sering

menggunakannya untuk memberikan stimulus kepada

remaja agar bersedia terbuka.

4.3.1.3. Data Hasil Kuesioner

Tabel 4.3.1.3. Hasil Kuesioner

POLA KOMUNIKASI SUBJEK I SUBJEK II SUBJEK III

Equality Pattern 62 46 49

Balance Pattern 37 43 42

Unbalance Pattern 37 44 47

Monopoly Pattern 19 40 28

Berdasarkan hasil pada tabel diatas, ketiga subjek penelitian

menunjukkan skor yang lebih tinggi pada pola komunikasi yaitu pada pola

komunikasi persamaan (Equality Pattern) dibanding pada pola komunikasi

yang lainnya. Subjek I menujukkan skor paling tinggi yaitu sebesar 62,

selanjutnya Subjek II menunjukkan sebesar 46, serta Subjek III yang

menunjukkan sebesar 49. Maka berdasarkan pada hasil kuesioner yang

diberikan oleh peneliti kepada subjek penelitian menunjukkan bahwa ketiga

ibu single parent dominan menggunakan pola komunikasi Persamaan

(Equality Pattern).

4.4. Analisis Data

Analisis penulis lakukan mulai dari pengumpulan data sampai data yang

terkumpul telah jenuh dan kredibel. Setelah data-data terkumpul penulis

mengorganisasikannya dengan menggubah hasil wawancara ke dalam bentuk

transkrip wawancara. Berikut ini langkah-langkah analisis data dalam penelitian

ini, yaitu:

4.4.1.Reduksi Data

Penulis memberi kode pada setiap pasang percakapan antara penulis

dengan subyek berupa huruf kapital A untuk data hasil wawancara dengan

ibu single parent I (A.1.1 untuk wawancara pada data pertama, A.1.2

untuk wawancara kedua data pertama, dst). Kemudian kode yang

diberikan untuk hasil wawancara dengan remaja I menggunakan kode

A.2.1. Selanjutnya untuk ibu simgle parent II data wawancara pada data

pertama, B.1.1, untuk data kedua B.1.2 , dan seterusnya. Setelah itu data

dipilah-pilah, memilih yang penting dan membuang yang tidak perlu.

Kemudian penulis mengkategorikan data-data tersebut dengan

memasukkan setiap data ke masing-masing indikator yang terdapat pada

empat pola komunikasi keluarga pada umumnya menurut Devito (2009).

Tabel 4.4.1. Kategorisasi dan Klasifikasi Data

Variabel Indikator Bagian Transkrip

Subjek I Ibu Single Parent Remaja

Pola

Komunikasi

1. Kesetaraan antar

anggota keluarga

A.1.6, A.1.24,

A.1.25, A.1.27,

A.1.28, A.1.10,

A.1.26

A.2.24, A.2.25,

A.2.27, A.2.28,

A.2.29, A.2.12,

A.2.13, A.2.26

2. Pembagian tugas pada

setiap anggota keluarga

A.1.23, A.1.29,

A.1.41, A.1.42,

A.2.23, A.2.37

A.2.38,

3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

A.1.43, A.1.44, A.2.39, A.2.40

4. Keleluasaan dan

keterbukaan didalam

komunikasi keluarga

A.1.30, A.1.33,

A.1.1, A.1.2,

A.1.11, A.1.45,

A.1.3, A.1.4, A.1.8,

A.1.16

A.2.31, A.2.32,

A.2.4, A.2.5, A.2.41,

A.2.42, A.2.45,

A.2.33

Variabel Indikator Bagian Transkrip

Subjek II Ibu Single Parent Remaja

Pola

Komunikasi

1. Kesetaraan antar

anggota keluarga

B.1.27, B.1.18,

B.1.19, B.1.22

B.2.25, B.2.32,

B.2.21, B.2.22,

B.2.23, B.2.28,

B.2.29, B.2.48,

B.2.49

2. Pembagian tugas pada

setiap anggota keluarga

B.1.23, B.1.25,

B.1.29, B.1.30

B.2.20, B.2.30,

B.2.39, B.2.40,

B.2.41, B.2.42,

3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

B.1.24, B.2.43. B.2.44

4. Keleluasaan dan

keterbukaan didalam

komunikasi keluarga

B.1.3, B.1.7, B.1.4,

B.1.8, B.1.9, B.1.10,

B.1.6, B.1.20,

B.1.21

B.2.1, B.2.3, B.2.2,

B.2.4, B.2.17,

B.2.18, B.2.7,

B.2.19, B.2.24,

B.2.26, B.2.27

Variabel Indikator Bagian Transkrip

Subjek III Ibu Single Parent Remaja

Pola

Komunikasi

1. Kesetaraan antar

anggota keluarga

C.1.11, C.1.23,

C.1.26, C.1.27

C.2.22,C.2.55,

C.2.16, C.2.17,

C.2.45, C.2.48,

C.2.49, C.2.50,

C.2.51, C.2.52,

C.2.61, C.2.72

2. Pembagian tugas pada

setiap anggota keluarga

C.1.22, C.1.28,

C.1.29.

C.2.43, C.2.53,

C.2.64, C.2.65,

C.2.66, C.2.71

3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

C.1.30, C.1.31. C.2.67, C.2.70

4. Keleluasaan dan

keterbukaan didalam

komunikasi keluarga

C.1.3, C.1.4, C.1.5,

C.1.7, C.1.9,

C.1.32, C.2.8,

C.2.9, C.2.10,

C.2.11, C.2.13,

C.2.15, C.2.32,

C.2.69, C.1.8,

C.1.10, C.1.9,

C.1.13

C.2.5, C.2.6, C.2.7,

C.2.24, C.2.25,

C.2.30, C.2.31,

C.2.33, C.2.41,

C.2.47, C.2.56,

C.2.57

4.4.2. Penyajian Data

Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan

antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Miles and Huberman (dalam

Sugiyono, 2011), menyatakan yang paling sering digunakan untuk

menyajikan dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat

naratif. Peneliti menyajikannya dalam bentuk naratif di mana semua data

yang diperoleh dimasukkan ke dalam setiap indikator-indikator pola

komunikasi menurut Devito (2009) sebagaimana ditunjukkan pada lampiran.

4.5. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Data

Dari uraian data diatas dan analisis data dari tiap- tiap indikator pola komunikasi

keluarga, maka peneliti menarik kesimpulan serta mengklasifikasikan pola

komunikasi apa saja yang digunakan oleh ibu single parent terhadap remaja.

Latar belakang penyebab terjadinya single parent memberikan dampak pada pola

komunikasi yang dibangun dengan remaja.

4.5.1. Subjek I

Penerapan pola komunikasi yang diterapkan oleh kedua ibu single parent

yaitu ibu SS kepada remaja MR menunjukkan penerapan pola komunikasi

persamaan (Equallity Pattern), yaitu komunikasi yang terjadi tidak hanya

dari salah satu pihak saja yaitu ibu single parent namun juga dari remaja.

Dalam pola ini, tiap individu membagi kesempatan komunikasi secara

merata dan seimbang, peran yang dimainkan tiap orang dalam keluarga

adalah sama. Hal ini dapat dilihat bahwa komunikasi yang terjadi berjalan

dengan jujur, terbuka, langsung, dan bebas dari pemisahan kekuasaan

yang terjadi pada hubungan ibu single parent dengan remaja. Dari

beberapa indikator yang terungkap dari beberapa pernyataan diatas yaitu

pernyataan indikator keleluasaan dan keterbukaan di dalam keluarga

yang dimiliki oleh ibu single parent dan remaja yang telah terbangun, hal

ini nampak dari remaja memiliki kebebasan untuk menyampaikan

pendapat dan pandangannya. Keleluasaan dan keterbukaan yang

dimilikinya, menjadikan komunikasi dan interaksi yang berlangsung

antara ibu single parent dan remaja menjadi aktif, reflektif dalam

memaknai pesan yang dikomunikasikan, serta pesan yang disampaikan

lancar. Komunikasi yang dilakukan oleh ibu single paret dengan remaja

memperdalam pengenalan satu sama lain, melalui intensitas, kedalaman

dan frekuensi pengenalan diri masing-masing. Selain itu ibu single parent

memposisikan remaja sebagai “teman” sehingga kesetaraan antar anggota

keluarga nampak pada pola ini. Dalam pembagian tugas pada setiap

anggota keluarga, ibu single parent melakukan pekerjaan rumah secara

bersama-sama. Komunikasi yag berjalan tidak ada pemisahan kekuasaan

sehingga tugas pekerjaan rumah dilakukan secara bersama. Perbedaan

pendapat diantara ibu single parent dengan remaja ditanggapi dengan

saling mengemukakan serta mendengarkan dari setiap pandangan

menjadikan komunikasi tidak hanya bersifat satu arah saja yaitu dari

orang tua atau anak saja namun terjadi timbal balik yang aktif sehingga

suasana keluarga menjadi dinamis, terbuka serta aktif dalam interaksi.

4.5.2. Subjek II

Ibu P kepada remaja PP menggunakan pola komunikasi yang sejenis

dengan Subjek I, yaitu menggunakan pola komunikasi persamaan

(Equallity Pattern). Kesetaraan antar anggota keluarga pada pola ini,

memberikan kesempatan kepada remaja untuk menyampaikan pendapat

dan masukan kepada ibu single parent sehingga tercipta suasana

keleluasaan dan keterbukaan dalam keluarga sehingga menjadi aktif dan

dinamis serta lebih terbuka dalam menyampaikan pesan tertentu dan

berinteraksi. Pembagian tugas yang dilakukan oleh ibu single parent

dengan remaja dengan melakukanpekerjaan ruma secara bersama-sama,

indikator ini nampak dari uraian pernyataan di atas bahwa ibu single

parent melakukan tugas pekerjaan rumah secara bersama-sama dengan

remaja. Dalam kehidupan sehari-hari ibu single parent juga melibatkan

remaja dalam pengambil keputusan secara bersama-sama, ibu juga

melatih remaja agar mandiri dalam mengambil keputusannya sendiri.

Dari hasil wawancara, Subjek II mengatakan sering mengalami perbedaan

pendapat, namun perbedaan dianggap sesuatu hal yang wajar oleh ibu

single parent sebab perbedaan pendapat tidak dilihat sebagai salah satu

kurang dari yang lain tetapi sebagai benturan yang tak terhindarkan dari

ide-ide atau perbedaan nilai dan persepsi yang merupakan bagian dari

hubungan jangka panjang. Dalam pola komunikasi ini, perbedaan

pendapat merupakan pertanda yang berarti komunikasi berjalan secara

timbal balik dan seimbang.

4.5.3. Subjek III

Penerapan pola komunikasi persamaan (Equallity Pattern) nampak juga

pada subjek ketiga yaitu ibu EN kepada remaja SV. Dalam pola

komunikasi ibu single parent memberi kesempatan kepada remaja untuk

secara terbuka dan leluasa dalam berkomunikasi. Sikap keterbukaan dan

empati yang diberikan oleh ibu single parent nampak pada beberapa

pernyataan ibu single parent yang memberikan stimulus kepada remaja

untuk terbuka. Selain itu ibu EN dalam mendapatkan informasi tentang

Remaja SV, ibu EN juga menggali atau mendapatkan informasi dari

orang-orang yang dirasa dekat dengan SV. Pada pola ini, ibu single

parent mengalami kendala yaitu kurangnya sikap terbuka remaja kepada

ibu single parent yang dilatarbelakangi karena remaja merasa lebih dekat

dengan ayah sehingga ketika perceraian terjadi, memberikan kesulitan ibu

single parent dalam berkomunikasi dengan remaja. Komunikasi yang

berlangsung kurang mendapat respon dan timbal balik dari remaja.

Ibu single parent melibatkan remaja dalam pengambilan keputusan

tentang masalah yang sering dihadapi yaitu masalah dengan keluarga

besar, serta ibu single parent berdiskusi dengan remaja untuk mencari

solusi secara bersama-sama. Ibu single parent nampaknya harus lebih

proaktif dan kreatif untuk memberikan rangsangan kepada remaja,

sehingga kepekaan remaja atas rangsangan untuk berkomunikasi dengan

baik menjadi semakin baik.

Dalam pembagian tugas di dalam keluarga, ibu memberikan tugas kepada

remaja, namun ibu mengalami kendala karena remaja lebih banyak

memiliki kegiatan diluar rumah, serta remaja yang cenderung tidak mau

melaksanakan tugas yang diberikan ibu. Dari ketiga subjek ibu single

parent, latarbelakang terjadinya single parent memiliki dampak pada pola

komunikasi yang dibangun. Faktor perpisahan orangtua yang terjadi

karena perceraian, yang menurut Hurlock (1990) lebih merusak hubungan

anak dengan orang tua. Periode penyesuaian terhadap perceraian lebih

lama dan sulit bagi remaja daripada penyesuaian remaja yang kehilangan

orangtuanya karena kematian. Faktor lain adalah karena kedekatan antara

ayah dengan remaja SV memberikan dampak perasaan kehilangan yang

sangat dalam sehingga ketika perceraian terjadi membuat hubungan

antara remaja dengan ibu single parent mengalami kendala. Hal ini

nampak dari pernyataan ibu EN yang mengalami kesulitan membuat

remaja SV untuk memiliki keleluasaan dan keterbukaan dengan remaja

SV yang kurang dapat terbuka dengan ibu EN, sehingga ibu EN harus

lebih proaktif agar pola komunikasi yang sudah terbangun menjadikan

hubungan antara ibu EN dan remaja SV lebih erat lagi.

4.6. Uji keabsahan Data

Tabel 4.6. Uji Keabsahan Data dengan Triangulasi Sumber

Indikator Pola Komunikasi Hasil Wawancara

Ibu Single Parent I Remaja I

1. Kesetaraan antar anggota

keluarga

A.1.6, A.1.24, A.1.25,

A.1.27, A.1.28, A.1.10,

A.1.26

A.2.24, A.2.25, A.2.27,

A.2.28, A.2.29, A.2.12,

A.2.13, A.2.26

2. Pembagian tugas pada tiap

anggota keluarga

A.1.23, A.1.29, A.1.41,

A.1.42,

A.2.23, A.2.37 A.2.38,

3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

A.1.43, A.1.44, A.2.39, A.2.40

4. Keleluasaan dan keterbukaan

di dalam komunikasi

keluarga

A.1.30, A.1.33, A.1.1,

A.1.2, A.1.11, A.1.45,

A.1.3, A.1.4, A.1.8,

A.1.16

A.2.31, A.2.32, A.2.4,

A.2.5, A.2.41, A.2.42,

A.2.45, A.2.33

Indikator Pola Komunikasi Hasil Wawancara

Ibu Single Parent II Remaja II

1. Kesetaraan antar anggota

keluarga

B.1.27, B.1.18, B.1.19,

B.1.22

B.2.25, B.2.32, B.2.21,

B.2.22, B.2.23, B.2.28,

B.2.29, B.2.48, B.2.49

2. Pembagian tugas pada tiap

anggota keluarga

B.1.23, B.1.25, B.1.29,

B.1.30

B.2.20, B.2.30, B.2.39,

B.2.40, B.2.41, B.2.42,

3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

B.1.24, B.2.43. B.2.44

4. Keleluasaan dan

keterbukaan di dalam

komunikasi keluarga

B.1.3, B.1.7, B.1.4, B.1.8,

B.1.9, B.1.10, B.1.6,

B.1.20, B.1.21

B.2.1, B.2.3, B.2.2, B.2.4,

B.2.17, B.2.18, B.2.7,

B.2.19, B.2.24, B.2.26,

B.2.27

Indikator Pola Komunikasi Hasil Wawancara

Ibu Single Parent III Remaja III

1. Kesetaraan antar anggota

keluarga

C.1.11, C.1.23, C.1.26,

C.1.27

C.2.22,C.2.55, C.2.16,

C.2.17, C.2.45, C.2.48,

C.2.49, C.2.50, C.2.51,

C.2.52, C.2.61, C.2.72

2. Pembagian tugas pada tiap

anggota keluarga

C.1.22, C.1.28, C.1.29. C.2.43, C.2.53, C.2.64,

C.2.65, C.2.66, C.2.71

3. Pengambilan keputusan

didalam keluarga

C.1.30, C.1.31. C.2.67, C.2.70

4. Keleluasaan dan keterbukaan

di dalam komunikasi

keluarga

C.1.3, C.1.4, C.1.5, C.1.7,

C.1.9, C.1.32, C.2.8,

C.2.9, C.2.10, C.2.11,

C.2.13, C.2.15, C.2.32,

C.2.69, C.1.8, C.1.10,

C.1.9, C.1.13

C.2.5, C.2.6, C.2.7, C.2.24,

C.2.25, C.2.30, C.2.31,

C.2.33, C.2.41, C.2.47,

C.2.56, C.2.57

4.7. Pembahasan Hasil Penelitian

Pengungkapan indikator-indikator dalam pola komunikasi keluarga pada

umumnya menurut Devito (2009). Berdasar hasil penelitian terdapat satu pola

komunikasi yang paling dominan digunakan oleh ketiga subjek ibu single parent,

yaitu pola komunikasi persamaan (Equallity Pattern). Pada pola komunikasi ini, anak

dapat menyampaikan keinginan dan pendapatnya secara terbuka dan leluasa. Anak

diberikan kesempatan untuk berperan serta dalam memutuskan sesuatu dalam porsi

yang seimbang dan setara dengan orang tua. Dalam pola ini, komunikasi yang

berjalan berlangsung secara merata, jujur, terbuka, langsung dan bebas serta interaksi

yang terjadi secara aktif dan rekflektif dari ibu single parent dan remaja. Dalam pola

ini menuntut terjadinya timbal balik dari kedua arah serta frekuensi komunikasi non

verbal sering terjadi.

Dalam pola komunikasi persamaan (Equallity Pattern) antara orang tua dan

remaja akan terjadi interaksi. Interakasi yang muncul pada pola komunikasi yang

berlangsung,yaitu dengan tercipatnya kesetaraan serta tidak adanya batas komunikasi

didalam keluarga seperti berbicang-bincang dengan remaja secara pribadi, duduk

santai, bersenda gurau dalam suasana akrab akan nampak pada pola komunikasi

persamaan (Equallity Pattern). Keinginan remaja untuk berbicara dengan ibu single

parent dari hati ke hati yang dilandasi rasa kepercayaan, dengan kepercayaan tersebut

remaja akan berusaha membangun keyakinan untuk membuka diri pada orang tuanya.

Dari ketiga ibu single parent, dua diantaranya memiliki latarbelakang dikarenakan

kematian dan satu ibu single parent dikarenakan perceraian. Peneliti menganalisis bahwa

latarbelakang dari ketiga ibu single parent memberikan dampak pola komunikasi yang

dibangun dengan remaja. Menurut Djiwandono (2005) perceraian mengakibatkan anak akan

menderita kekurangan dukungan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang sehat karena

terdapat perasaan kehilangan yang dalam. Wallerstein (dalam Djiwandono, 2005)

merumuskan bahwa perceraian orangtua secara emosional dapat dibandingkan dengan

kematian orang tua. Anak tidak hanya sedih karena kehilangan kontak sehari-hari dengan

ayah serta juga sedih karena kehilangan rasa aman dan nyaman dengan keluarga yang utuh

atau lengkap. Sedangkan faktor yang lain seperti perpisahan orang tua yang dikarenakan

kematian memberikan dampak bahwa remaja tidak akan pernah bertemu denga ayahnya

kembali, sehingga menurut Hurlock (1991) remaja akan mengalihkan kasih sayang mereka

pada orang tua yang masih ada.

Ketiga subjek pada penelitian ini, merupakan bersuku jawa serta beragama Kristen

Protestan, peneliti menganalisis faktor kebudayaan memberikan pengaruh pada penerapan

pola komunikasi yang diterapkan oleh ibu single parent. Kecenderungan remaja dalam

mengeskpresikan serta berkomunikasi dengan lawan dialog dalam bentuk mengedepankan

penanaman nilai-nilai suku jawa seperti gotong royong sehingga pembagian tugas serta

pengambilan keputusan di dalam keluarga dilakukan secara bersama-sama. Serta keleluasaan

dan keterbukaan di dalam komunikasi merupakan bentuk dari penanaman nilai-nilai jawa

dalam mengelola konflik komunikasi dengan mengedepankan musyawarah dan

kekeluargaan.

Serta dari sudut pandang faktor spiritualitas, peneliti memberikan analisis bahwa

ketika remaja menghadapi keadaan kematian salah satu orangtuanya, remaja cenderung

mempercayai dalam sudut pandang sebagai “kehendak Tuhan” yang merupakan rencana baik

bagi kehidupan keluarga, membuat penyesuaian diri remaja dalam menghadapi ketiadaan

peran salah satu orangtuanya berbeda dengan remaja yang harus menghadapi perceraian

orangtuanya. Hal berbeda terlihat dari respon remaja yang menghadapi orangtuanya karena

disebabkan perceraian, remaja merasa menjadi “korban” dari sebuah keadaan yang dialami

oleh orangtuanya yaitu perceraian sehingga remaja cenderung kurang dapat menerima

perceraian sebagai keadaan dimana remaja dipaksa berpisah dengan salah satu orangtuanya.

Hal ini nampak dari respon timbal balik yang diberikan oleh remaja kepada ibu single parent

ketika berkomunikasi yaitu remaja yang merasa lebih dekat dengan ayah sehingga

memberikan kendala kepada ibu single parent dalam menerapkan pola komunikasi tertentu

terhadap remaja. Kondisi ini didukung dengan remaja yang lebih nyaman menyampaikan

permasalahan yang dialaminya kepada orang lain bukan kepada ibu single parent.

Selain dari kedua faktor diatas, peneliti memberikan analisis bahwa selain faktor

kebudayaan dan spiritualitas, terdapat faktor gender yang mempengaruhi pada penerapan

pola komunikasi keluarga. Anak memilih untuk meniru model dari jenis kelamin yang sama

dari lingkungan terdekat yaitu keluarga. Mengamati dan meniru model dilihat sebagai bentuk

usaha remaja dalam menyerap nilai gender. Pengembangan nilai gender yang dialami remaja

berkaitan dengan pola komunikasi yang terjadi dalam keluarganya, karena konsep gender itu

sendiri dipahami oleh anak melalui suatu pola komunikasi. Karena pola komunikasi pada tiap

keluarga berbeda, maka penanaman dan pengembangan nilai gender pada remaja tentunya

akan berlainan pula cara dan penerimaannya.

Hubungan antara orang tua dengan remaja akan sangat ditentukan oleh pola

komunikasi yang dibangun, apabila pola komunikasi yang dibangun baik, maka baik pula

hubungan yang tercipta di dalam keluarga. Kondisi keluarga yang tidak utuh, menjadikan ibu

ketiga subjek sebagai single parent harus dapat bersikap fleksible terhadap pola komunikasi

yang diterapkan mengingat remaja memasuki masa yang membutuhkan banyak perhatian dan

tumbuhkembang yang pesat dalam rangka memasuki usia dewasa serta tantangan dalam

pengasuhan yang hanya dilakukan oleh satu orang tua yaitu ibu single parent.

Pola komunikasi yang terganggu, dapat mengganggu komunikasi antara ibu single

parent dengan remaja sehingga dapat memicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku

dan perbuatan negatif yang dilakukan oleh remaja untuk mendapatkan perhatian dan kasih

sayang dari lingkungan sekitarnya. Djamarah (2004) menjelaskan bahwa pola komunikasi

memegang peranan yang sangat penting, didalam pola komunikasi terbangun hubungan

antara orang tua dengan remaja untuk pembinaan kepribadian dan pengembangan bakat

remaja.