bab iv hasil penelitian dan pembahasan -...
TRANSCRIPT
113
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bagian ini mengemukakan hasil penelitian dan pembahasan tentang
pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian
anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Fokus utama
penelitian ini adalah apakah benar terdapat kecenderungan umum model pelatihan
kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dapat
memberikan pertumbuhan atau kemampuan dalam peningkatan kemandirian pada
anak tunalaras?
Penyajian pada bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian, bagian pertama
menyaikan data hasil penelitian dan bagian kedua menyajikan pembahasan hasil
penelitian.
A. Deskripsi Profil Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi
Putra Handayani Jakarta
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, penelitian ini
dilakukan terhadap Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, gambaran dari
hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk deskripsi hasil penelitian.
Hasil-hasil penelitian yang disajikan pada bagian ini berupa keterangan-
keterangan atau data-data kasus menyangkut tiga indikator kasus, untuk masing-
masing subjek penelitian. Indikator-indikator yang disajikan dan menjadi bahasan
dalam bagian ini, yaitu:
114
1. Data yang berhubungan dengan kondisi objektif pelatihan kecakapan hidup di
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta;
2. Data yang berhubungan dengan pengembangan model pelatihan kecakapan
hidup; dan
3. Data yang berhubungan dengan implementasi model pelatihan kecakapan
hidup.
Telaah penelitian terhadap kondisi objektif pelatihan kecakapan hidup dan
profil Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta akan berkenaan dengan
komponen-komponen pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup yang selama ini
dilaksanakan (analisis deskriptif).
Telaah penelitian mengenai pengembangan model pelatihan kecakapan
hidup, akan berkenaan dengan tiga komponen kegiatan yakni telaah terhadap:
1. Komponen perencanaan program;
2. Komponen pelaksanaan; dan
3. Komponen evaluasi kegiatan.
Pada komponen perencanaan program, hal-hal yang menjadi fokus kajian
penelitian ini adalah:
1. Jenis kegiatan pada tahap perencanaan,
2. Materi yang diprogramkan,
3. Alokasi waktu yang ditetapkan,
4. Tenaga yang dipersiapkan,
5. Pembiayaan,
6. Organisasi pelaksana kegiatan,
115
7. Evaluasi,
8. Sarana-prasarana yang dipersiapkan untuk kegiatan pelatihan.
Pada komponen pelaksanaan kegiatan, hal-hal yang menjadi fokus telaah
dalam penelitian ini diarahkan pada:
1. Materi-materi yang diberikan dalam PKH,
2. Metode yang digunakan dalam penyampaian materi,
3. Media yang digunakan dalam proses pelatihan,
4. Waktu yang digunakan dalam proses pelatihan,
5. Tenaga pembimbing atau nara sumber teknis, dan
6. Tingkat partisipasi peserta; meliputi kehadiran dan keaktifan selama
mengikuti proses pelatihan.
Pada komponen evaluasi, hal-hal yang menjadi fokus telaah dalam
penelitian ini diarahkan pada:
1. Jenis evaluasi;
2. Waktu pelaksanaan evaluasi; dan
3. Kriteria yang digunakan dalam melakukan evaluasi hasil penelitian terhadap
keterlibatan peserta dalam proses pelatihan dan kemandirian peserta setelah
mengikuti pelatihan.
1. Deskripsi Umum Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta
a. Sejarah Berdirinya Panti
Timbulnya masalah cross boys dan cross girls tahun 1957 di beberapa
kota besar di Indonesia, mendorong Departemen Sosial mendirikan suatu Camp
116
yang diresmikan tanggal 21 Desember 1959 dengan nama Pilot Proyek Karang
Taruna Marga Guna dengan Surat Keputusan Kepala Jawatan Pekerjaan Sosial
No. 3/BUL-DJPS-A/62.
Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-49/4479 tanggal 30
Oktober 1965 selanjutnya ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga
Guna yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation
Home untuk anak-anak Tuna Sosial, Camp pendidikan dan latihan kerja untuk
anak-anak mogok (drop out), serta Usaha Kesejahteraan Wanita/gadis desa/LSD.
Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48/144 tanggal 7 Oktober
1968 menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial
Wisma Handayani, Camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak mogol, Sanggar
rekreasi sehat Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja (termasuk Pramuka)
dari Jakarta dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading
petugas Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat
Departemen Sosial.
Pada rapat dinas staf Direktorat Kesejahteraan Anak dan Taruna dengan
staf Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna tanggal 18 Oktober, 30 Oktober dan 5
Nopember 1971, dihasilkan suatu keputusan bahwa mulai tanggal 1 Desember
1971 kegiatan proyek tersebut menjadi :
1) Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma Handayani sebagai
kegiatan pokok.
2) Pelayanan umum (community service) sebagai kegiatan
suplementer.
117
Terbitnya Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 10 Tahun 1975 yang
salah satunya melahirkan Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial di dalam Direktorat
Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial, maka nama Panti
Pendidikan Anak Tuna Sosial dirubah menjadi Panti Rehabilitasi Sosial Anak
Nakal (PRAN) Wisma Handayani. Tahun 1983 secara resmi PRAN Wisma
Handayani dialihkan statusnya dari pengolahan Direktorat Rehabilitasi Tuna
Sosial menjadi salah satu Unit Pelaksana Teknis Kantor Wilayah Departemen
Sosial DKI Jakarta.
Selanjutnya melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Rehabilitasi
Sosial Departemen Sosial RI Nomor : 06/KEP/BRS/IV/1994 tanggal 1 April 1994
dan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 14/HUK/1994 tanggal 23 April
1994 tentang pembakuan penamaan Panti/Sasana, Panti Rehabilitasi Anak Nakal
Wisma Handayani berubah menjadi Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP)
Handayani. Berdasarkan keputusan tersebut, garis koordinasi pertanggungjawaban
panti kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial DKIJakarta.
b. Maksud dan Tujuan
Dalam mengemban amanat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan
umum Departemen Sosial merupakan leading sector dalam mengembangkan
Usaha Kesejahteraan sosial.
Pengembangan Usaha tersebut diimplementasikan pada berbagai upaya
untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada serta mengembangkan kapasitas
sosial masyarakat.
118
PSMP Handayani adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis yang
menangani permasalahan anak nakal dengan maksud:
1) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial
serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup,
tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta
menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan
berkualitas, serta berakhlak mulia.
2) Menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat terhadap
anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk
berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat.
Maksud tersebut dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang
komprehensif dan berorientasi pada kepentingan penerima pelayanan.
Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP
Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan
kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam
suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan
sosialnya.
c. Fungsi
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif
dari sekian banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan
pelayanan sosial kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi.
Dalam Keputusan Menteri No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan Tata
119
Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial ditetapkan bahwa Panti
Sosial adalah Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Sosial yang
berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh para
Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tugas pokok dan fungsinya
adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat
preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental,
sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak
nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta
pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.
Departemen sosial RI (dalam Profil PSMP Handayani, 2006: 4-5)
menjabarkan peran, fungsi dan tugas panti sosial percontohan adalah sebagai
berikut:
1) Sebagai Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial, fungsi dan tugasnya adalah
sebagai berikut:
a) Menggugah, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sosial,
tanggung jawab sosial, prakarsa dan peran serta perorangan, kelompok
dan masyarakat.
b) Penyembuhan dan pemulihan sosial.
c) Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial.
d) Mengadakan bimbingan lanjut.
2) Sebagai Pusat Informasi masalah kesosialan, fungsi dan
tugasnya adalah sebagai berikut:
120
a) Menyiapkan dan menyebarluaskan informasi tentang
masalah kesejahteraan sosial.
b) Menyelenggarakan konsultasi sosial bagi masyarakat.
3) Sebagai Pusat Pengembangan Kesejahteraan Sosial, fungsi dan
tugasnya adalah :
a) Mengembangkan kebijaksanaan dan perencanaan sosial.
b) Mengembangkan metode pelayanan sosia.
Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian
menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan
Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (dalam Profil PSMP
Handayani, 2006: 5) sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam
sebuah Panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu
mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan, baik kepada klien secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti
dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial.
d. Sasaran Garapan
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani memberikan beberapa
alternatif penanganan permasalahan anak nakal. Pengertian anak nakal adalah
anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama
yang merugikan keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketentraman
dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat
(Kepmensos RI No 23/HUK/1996). Pelayanan yang diberikan tidak dapat lepas
dari kontribusi keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat dari anak
121
nakal. Dengan demikian partisipasi aktif dari keluarga dan masyarakat sangat
dibutuhkan bagi keberhasilan proses pelayanan. Sasaran garapan dalam
penanganan anak nakal meliputi :
1) Anak nakal
Anak nakal yang dapat memperoleh pelayanan di PSMP Handayani meliputi:
a) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan
pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) umum.
b) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah
menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka
diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan
kerja.
c) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi :
(1) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.
(2) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum.
(3) Menjalani putusan hakim.
(4) Setelah selesai menjalani pidana anak.
2) Orang tua anak nakal
Orang tua sebagai lingkungan terdekat anak perlu dipersiapkan
supaya mampu memberikan daya dukung bagi tumbuh kembangnya potensi
anak. Menghadapi permasalahan anak nakal, orang tua diharapkan dapat
menciptakan kondisi yang dapat menghindarkan anak dari perilaku nakal.
122
Untuk mencapai hal itu, maka PSMP Handayani melaksanakan kegiatan
motivasi dan konsultasi keluarga melalui home visit secara berkala.
3) Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting untuk mencegah
timbulnya permasalahan kenakalan anak. Ini dimungkinkan dengan adanya
berbagai upaya memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk
mengaktualisasikan diri mereka di dalam kehidupan masyarakat.
PSMP Handayani telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi kepada
masyarakat termasuk dunia usaha (bengkel-bengkel skala kecil dan
menengah) di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya agar dapat menerima eks
anak nakal mengikuti program magang. Lebih lanjut diharapkan dapat
memberikan lapangan kerja bagi mereka.
4) Instansi/lembaga yang berwenang menangani kasus anak yang
berkonflik dengan hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
BAPAS/RUTAN dan LAPAS Anak) yang memiliki tugas dan
kewenangan menangani kasus anak yang berkonflik dengan
hukum agar lebih cepat tertangani demi kepentingan terbaik
bagi anak.
e. Persyaratan dan Calon Klien
Anak nakal yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasiflkasi
rujukan:
1) Rujukan dari keluarga/tokoh masyarakat/ PSM/ LSM/ Organisasi
Sosial atau Organisasi masyarakat lainnya.
123
2) Rujukan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan
(RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan
HAM.
Bagi calon penerima pelayanan diharapkan dapat memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Laki-laki/Perempuan
2) Usia 10 s/d 21 tahun
3) Sehat fisik dan mental, tidak menderita penyakit kronis/menular
berdasarkan Surat Keterangan Sehat dari Dokter
Puskesmas/Rumah Sakit.
4) Menanda tangani surat pernyataan sanggup mengikuti program
rehabilitasi sosial.
5) Surat Penyerahan dari orang tua/wali/lembaga.
6) Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat
pindah dan raport.
7) Pas photo ukuran 4 x 6 (4 lembar) dan 2 x 3 (2 lembar).
8) Lulus Seleksi.
f. Pelayanan
Pelaksanaan kegiatan operasional pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal di
PSMP Handayani berpedoman pada Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 40/HUK/2004
tentang Prosedur Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial. Kegiatan
operasional dikoordinasikan ke dalam dua Seksi dan satu Sub Bagian, yaitu :
124
1) Sub Bagian Tata Usaha
Tugasnya mencakup persiapan sarana dan prasarana pelayanan seperti
sarana fisik dan SDM. Tugasnya meliputi penyiapan asrama, kebutuhan fisik
(makan) klien, sarana dan prasarana ketrampilan.
2) Seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS).
Tugasnya melakukan persiapan perencanaan program baik program yang
berkaitan dengan operasional perkantoran maupun program rehabilitasi sosial
secara keseluruhan.
3) Seksi Rehabilitasi Sosial
Tugasnya melakukan bimbingan rehabilitasi sosial langsung kepada
klien. Bimbingan yang dilaksanakan meliputi bimbingan fisik, mental, sosial
dan ketrampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Tahapan proses pelayanan rehabilitasi sosial di PSMP Handayani adalah
sebagai berikut:
1) Pendekatan Awal
Merupakan kegiatan penjangkauan (out reach) klien. Pendekatan awal
dilakukan dengan langsung mendatangi lokasi dimana terdapat permasalahan
anak nakal. PSMP Handayani bekerja sama dengan Pekerja Sosial
Masyarakat (PSM) dalam melakukan seleksi.
2) Penerimaan
Calon klien yang dinyatakan dapat mengikuti seleksi datang ke PSMP
Handayani. Calon klien diharuskan mengikuti tes berupa tes wawancara, tes
sosiometri, tes fisik, tes buta warna, dsb. Setelah dinyatakan lulus tes maka
125
dilakukan pemeriksaan berkas kelengkapan administrasi.
3) Pengasramaan
Calon klien yang telah lulus seleksi maupun sudah memenuhi
kelengkapan persyaratan ditempatkan di asrama. Pengasramaan di PSMP
menganut sistem kepengasuhan dimana klien tinggal bersama-sama keluarga
asuh sebagai keluarga pengganti.
4) Orientasi
Pada awal proses pelayanan, klien diwajibkan mengikuti orientasi selama
kurang lebih dua minggu. Materi pada saat orientasi bertujuan untuk
memberikan gemblengan disiplin kepada klien sehingga mereka dapat
menyesuaikan dengan pola pelayanan yang teratur dan sistematis. Pemberi
materi terdiri dari Pihak Koramil, Kepolisian Sektor Cipayung dan pegawai
yang ditunjuk.
5) Assesmen
Langkah awal dalam proses pelayanan adalah kegiatan assesmen dengan
tujuan untuk mengungkap dan memahami latar belakang permasalahan klien.
Tujuan assesmen adalah untuk dapat menentukan fokus masalah sehingga
dapat menentukan jenis pelayanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan
klien.
6) Perumusan Rencana Intervensi
Berdasarkan hasil assesmen pekerja sosial, maka dirumuskan rencana
intervensi pelayanan rehabilitasi untuk masing-masing klien. Rencana
intervensi diberikan sesuai dengan karakteristik masing-masing klien dan
126
berdasarkan tingkat kedalaman masalah.
7) Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan Ketrampilan
Berdasarkan rumusan rencana intervensi yang telah disusun
oleh pekerja sosial, klien selanjutnya memperoleh bimbingan
fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional sesuai dengan minat dan
bakatnya. Sedangkan bagi warga belajar usia sekolah diharuskan
mengikuti kegiatan belajar mengajar di SLB-E Handayani.
Bimbingan fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional di PSMP
Handayani dilaksanakan secara terintegrasi.
8) Resosialisasi
Pada tahap resosialisasi, PSMP Handayani melakukan sosialisasi
terhadap keluarga, masyarakat dan pihak dunia usaha yang dapat memberikan
dukungan bagi perkembangan maksimal klien. PSMP Handayani telah
menjalin kerjasama dengan berbagai bengkel kecil dan menengah di wilayah
DKI Jakarta untuk dapat menerima klien magang (praktik belajar kerja).
Selanjutnya diharapkan mereka dapat memberikan lapangan kerja bagi eks
klien.
9) Penyaluran
Klien yang telah selesai mengikuti program magang maka akan
disalurkan. Bentuk penyaluran disesuaikan dengan jenis bimbingan yang
diikuti. Bagi klien yang mengikuti program bimbingan pendidikan SLB-E
maka disalurkan kepada Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat.
Sedangkan untuk klien yang mengikuti bimbingan ketrampilan disalurkan
127
pada bengkel-bengkel yang menerima mereka bekerja.
10) Bimbingan Lanjut
Tahap ini merupakan tahap untuk mengadakan evaluasi dan monitoring
terhadap eks klien. Pihak PSMP Handayani melakukan bimbingan lanjut
secara berkala dalam waktu satu tahun setelah klien disalurkan. Tujuannya
adalah memantau perkembangan klien baik di lingkungan rumah maupun
lingkungan tempat kerja. PSMP Handayani harus mampu memaksimalkan
kondisi lingkungan yang dapat menjaga konsistensi perubahan perilaku.
11) Terminasi
Setelah melalui masa bimbingan lanjut selama satu tahun dan dinilai
bahwa eks klien sudah memiliki kemampuan untuk mandiri maka dilakukan
terminasi.
12) Pengarsipan data klien
Pengarsipan data klien dilakukan mulai tahap penerimaan. Untuk
persyaratan awal masuk panti file klien dihimpun oleh Seksi PAS dan
selanjutnya diserahkan kepada pekerja sosial yang menangani klien. Untuk
perkembangan selanjutnya sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab
pekerja sosial. Meskipun file klien lengkap ada di pekerja sosial tetapi
masing-masing bagian seperti Seksi Rehabilitasi Sosial, Tata Usaha dan PAS
juga melakukan pengarsipan.
g. Daya Tampung
Mengacu pada Keputusan Menteri Sosial No. 59/HUK/2003 tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja PSMP Handayani sebagai Panti dengan
128
eselonering III tipe A, kapasitas tampung ditetapkan sebanyak 100 klien.
Kapasitas tersebut terisi dari pelayanan yang sifatnya reguler dan pelayanan
pengembangan. Pelayanan reguler merupakan bentuk pelayanan yang diberikan
kepada anak nakal rujukan dari masyarakat dan BAPAS/LAPAS dalam suatu
periode tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing anak.
Pelayanan pengembangan sifatnya lebih multi sektoral yang meliputi
pelayanan bagi remaja putus sekolah terlantar, penyandang cacat rungu wicara,
karang taruna yang diselenggarakan secara insidental yang difokuskan pada
pelatihan kecakapan vokasional teknik pendingin, las dan service motor.
Pelayanan ini dilakukan bekerja sama dengan berbagai orsos/ormas/lembaga
pemerintah yang ada. Tujuannya agar dapat memberikan respon positif terhadap
masyarakat lingkungan sekitar panti.
h. Sarana dan Prasarana
Sebagai panti percontohan, PSMP Handayani telah dilengkapi berbagai
sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk mendukung proses pelayanan.
Berbagai upaya pembenahan sarana dan prasarana terus dilakukan agar pelayanan
yang diberikan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Beberapa sarana dan prasarana yang ada tersebut adalah:
1) Sarana gedung yang cukup representatif.
2) Sarana peralatan yang sesuai dengan tuntutan jaman.
3) Kondisi lingkungan yang cukup nyaman, asri dan jauh dari kebisingan.
Kondisi sarana dan prasarana PSMP Handayani dapat dilihat pada gambar
(lampiran).
129
i. Personalia
Daya Manusia merupakan penggerak utama suatu program. Dalam
melaksanakan pelayanan sosial terhadap anak nakal, diperlukan SDM dengan
kualitas yang cukup handal. Dukungan SDM/personalia di PSMP Handayani
dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini:
TABEL 4.1
DATA PERSONALIA PSMP HANDAYANI
TAHUN 2006
NO TINGKAT PENDIDIKAN / JURUSAN JUMLAH
1. S2 Kessos 2
2. Sl Kessos 4
3. Sl Hukum 1
4. D III Kessos 1
5. D III Pendidikan 3
6. SMA 7
7. SMK 12
8. SMP 2
9. SD 1
JUMLAH 33
Sumber : Data Kepegawaian, Tata Usaha 2006
Jumlah pegawai tersebut terbagi dalam berbagai jabatan antara lain jabatan
struktural, jabatan fungsional dan staf. Untuk lebih rincinya dapat dilihat pada
tabel 4.2 berikut :
TABEL 4.2
DATA PERSONALIA BERDASARKAN JABATAN
DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006
NO JABATAN JUMLAH
1. Jabatan Struktural 4
2. Jabatan fungsional pekerja sosial 12
3. Staff 17
JUMLAH 33 Sumber : Data Kepegawaian, Tata Usaha 2006
130
Jumlah pekerja sosial yang ada di PSMP Handayani adalah 12 orang.
Perbandingan pekerja sosial dengan jumlah klien adalah satu orang pekerja sosial
menangani delapan sampai sembilan orang klien.
j. Jaringan Kerja
Dalam mengembangkan profesionalisme pelayanan dan rehabilitasi sosial
bagi anak nakal, PSMP Handayani perlu mengembangkan jaringan kerja baik
dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, orsos, LSM maupun organisasi
kemasyarakatan. Sejalan dengan konsep multi layanan yang harus dilaksanakan
jaringan kerja menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan sasaran garapan yang
akan diberikan pelayanan. Jaringan kerja yang telah dikembangkan oleh PSMP
Handayani dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya adalah :
1) Instansi pemerintah lain seperti dengan Ditjen Pemasyarakatan Departemen
Hukum dan HAM dalam pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum.
Selain itu juga berkoordinasi dengan Depatrtemen Pendidikan Nasional
(Direktorat Pendidikan Dasar) dalam pembinaan anak SLB-E.
2) Dinas Sosial wilayah propinsi maupun Kabupaten/Kotamadya
dalam kegiatan penjangkauan klien.
3) Orsos/Ormas/LSM, Dewan Kelurahan, Sanggar Kegiatan Belajar dalam
kegiatan rujukan klien.
4) Dunia Usaha yang terdiri dari Perusahaan-perusahaan/bengkel- bengkel yang
bergerak dibidang service AC, service motor dan las dalam kegiatan Praktik
Belajar Kerja (PBK) atau magang klien.
131
5) Kalangan Akademisi seperti Universitas Indonesia, UPI Bandung, STKS
Bandung, IISIP Jakarta, Universitas Persada YAI dalam kegiatan Praktik
Kerja Lapangan bagi mahasiswa dan warga belajar.
k. Penyaluran Klien
Setelah melalui serangkaian proses pembinaan fisik, mental, sosial dan
kecakapan vokasional klien akan disalurkan. Untuk dapat disalurkan sebelumnya
klien mengikuti Program Praktik Belajar Kerja (PBK) di perusahaan/bengkel yang
sesuai dengan bidang kecakapan vokasional yang diperoleh. Selama menjalani
proses pembinaan dan mengikuti PBK, pekerja sosial melakukan pemantauan
terhadap perkembangan klien. Hasil pemantauan tersebut yang akan menjadi
dasar bagi penentuan penyaluran. Klien yang telah selesai masa pembinaan dapat
disalurkan pada :
1) Perusahaan/bengkel kerja
2) Sekolah-sekolah formal untuk melanjutkan jenjang pendidikan klien.
3) Organisasi sosial/ yayasan untuk mendapatkan pelayanan lanjutan.
4) Orang tua.
l. Indikator Kinerja
1) Semakin meningkatnya prosentase anak nakal yang telah
mendapat pelayanan dan rehabilitasi sosial.
2) Semakin meningkatnya jumlah Orsos/LSM/dunia usaha atau masyarakat
yang ikut terlibat dalam upaya pelayanan anak nakal.
132
3) Terbangunnya jaringan kerja yang dibentuk pemerintah dan masyarakat.
m. Peserta Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta
Anak nakal yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasiflkasi
rujukan:
1) Rujukan dari keluarga /tokoh masyarakat/ PSM/LSM/ Organisasi
Sosial atau Organisasi masyarakat lainnya.
2) Rujukan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan (RUTAN)
dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM.
Bagi calon penerima pelayanan diharapkan dapat memenuhi persyaratan
sebagai berikut, untuk laki – laki / perempuan:
1) Usia 10 s/d 21 tahun
2) Sehat fisik dan mental, tidak menderita penyakit kronis/menular
berdasarkan Surat Keterangan Sehat dari Dokter Puskesmas/ Rumah
Sakit.
3) Menanda tangani surat pernyataan sanggup mengikuti program
rehabilitasi sosial.
4) Surat penyerahan dari orang tua/wali/lembaga.
5) Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat
pindah dan raport.
6) Pas photo ukuran 4 x 6 (4 lembar) dan 2 x 3 (2 lembar).
7) Lulus Seleksi.
133
2. Kondisi Faktual Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi
Putra Handayani Jakarta
Pada bagian ini akan menyajikan deskripsi tentang pelaksanaan kegiatan
PKH di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang akan difokuskan
pada.aspek perencanaan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi kegiatan.
a. Perencanaan Program PKH
Kegiatan yang penulis lakukan untuk mengetahui tahap perencanaan yang
dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah melakukan
pertemuan dengan pengelola, warga belajar tunalaras, pekerja sosial, tutor, dan
orang tua asuh. Dalam pertemuan ini, peneliti menerima informasi dari Panti
Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta berkenaan dengan masalah-masalah
yang berhubungan dengan tujuan kegiatan, peran dan fungsi panti sosial dalam
program, waktu atau lamanya kegiatan, jumlah peserta kegiatan dan sebagainya.
Demikian pula sebaliknya, pihak pengelola panti sosial menerima penjelasan dari
pihak peneliti berkenaan dengan rencana peneliti mengadakan penelitian dan uji
coba model untuk membimbing dan membelajarkan warga belajar (anak
tunalaras) dalam mencapai tujuan model pelatihan kecakapan hidup, yakni
tercapainya kemandirian.
Materi-materi yang dipersiapkan PSMP Handayani Jakarta untuk
membekali warga belajar peserta kegiatan latihan adalah materi teknik las, teknik
pendingin, dan kecakapan vokasional otomotif. Menurut pengelola dan nara
sumber teknis materi ini lebih banyak dipersiapkan dalam bentuk praktik. Berikut
ini penulis sajikan rancangan pelatihan yang dibuat pada tahap perencanaan di
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani.
134
1) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Las
a) Nama Pelatihan : Tingkat Dasar Lanjutan
b) Lama Pelatihan : 715 Jam (@ 45 Menit)
c) Tempat Pelatihan : PSMP Handayani
d) Tujuan Umum Pelatihan : Pada akhir pelatihan peserta mampu :
(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja
mekanik/ listrik, las listrik maupun acetelyn.
(2) Memahami prinsip kerja las listrik dan acetelyn.
(3) Merawat dan memelihara peralatan las listrik maupun acetelyn.
(4) Mengetahui dan memahami simbol-simbol las.
(5) Merancang gambar dan perencanaan suatu bentuk pola.
(6) Membuat, mendesain, membending suatu produksi barang.
TABEL 4.3
MATERI PELATIHAN LAS DI PSMP HANDAYANI
No. Materi pelatihan Jam Pelatihan
Keterangan Teori Praktik Jumlah
1. Kerja bangku 12 14 36 @ 45 menit
2. Las acetelyn 40 204 244
3. Las listrik 40 203 243
4. Simbol-simbol las 16 32 48
5. Alat perkakas dan
pengukuran
16 32 48
6. Keselamatan kerja 16 32 48
7. Gambar tehnik 16 32 48
8. Ilmu bahan 16 32 48
9. Evaluasi 16 40 56
JUMLAH 188 627 715
Sumber: PSMP Handayani Jakarta
135
2) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Teknik Pendingin
a) Nama Pelatihan : Montir muda pendingin rumah tangga
b) Lama Pelatihan : 715 Jam (@ 45 Menit)
c) Tempat Pelatihan : PSMP Handayani
d) Tujuan Umum Pelatihan : Pada akhir pelatihan peserta mampu :
(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja
mekanik/listrik untuk perawatan dan perbaikan mesin pendingin /
AC rumah tangga dengan memperhatikan keselamatan kerjanya.
(2) Memahami prinsip kerja mesin pendingin/AC rumah tangga baik
mekanik maupun sistem listriknya.
(3) Merawat dan memperbaiki gangguan/kerusakan pada mesin
pendingin/AC rumah tangga, baik mekanik maupun system
listriknya untuk memperpanjang usia pakai.
TABEL 4.4
MATERI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP TEKNIK PENDINGIN
DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006
No Mata Latihan Jam Pelatihan
Keterangan Teori Praktik Jumlah
1 Dasar refigerasi 42 40 82 @ 45 menit
2 Alat dan bahan 40 120 160
3 Komponen 40 160 200
4 Listrik 45 80 125
5 Servis & reparasi 32 80 112
6 Evaluasi akhir 16 20 36
JUMLAH 215 500 715
Sumber: PSMP Handayani Jakarta
3) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Otomotif
a) Tempat Pelatihan : PSMP Handayani
136
b) Tujuan Umum Pelatihan : Pada akhir pelatihan peserta mampu :
(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja
mekanik/ listrik untuk perawatan dan perbaikan Mesin Sepeda Motor
dengan memperhatikan keselamatan kerja.
(2) Memahami prinsip kerja Mesin Sepeda Motor 2 tax dan 4 tax.
(3) Memahami kerusakan mesin sepeda motor baik kelistrikan, mesin
dan casis.
(4) Merawat dan memelihara mesin sepeda motor baik 4 tax maupun 2
tax.
TABEL 4.5
MATERI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP OTOMOTIF
DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006
No Materi Pelatihan Jumlah Pelatihan
Keterangan Teori Praktik Jumlah
1 Kerja Bangku 16 24 50 @ 45 menit
2 Keselamatan Kerja 16 - 16
3 Alat Perkakas dan
Pengukuran
16 24 50
4 Casis 24 127 151
5 Motor Bakar 32 118 150
6 Kelistrikan 32 118 150
7 Troubleshooting 24 48 72
8 Pemeliharaan 16 24 50
9 Evaluasi 8 48 5,6
Jumlah 184 531 715
Sumber: PSMP Handayani Jakarta
Mencermati uraian materi pada tiga jenis kecakapan vokasional tersebut,
tampak bahwa hampir keseluruhan materi yang disajikan berbentuk praktik.
137
Materi yang berbentuk informasi atau kecakapan akademik hanya sebagian kecil
saja.
Waktu yang ditetapkan dan dipersiapkan PSMP untuk melayani peserta
kegiatan pelatihan, adalah setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur nasional
mulai pukul 07.00 s/d 15.00 WIB. Menurut pengelola, penetapan waktu tersebut
bertujuan agar warga belajar dapat secara langsung terlibat aktif pada kegiatan-
kegiatan tersebut karena penentuan waktunya berdasarkan masukan dari warga
belajar.
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dalam rangka memberikan
pelayanan dan bimbingan terhadap warga belajar menunjuk 3 orang tutor. Ketiga
orang tutor yang ditunjuk tersebut, masing-masing memiliki keahlian khusus
terdiri atas: 1 orang tenaga ahli las, 1 orang tenaga ahli bidang teknik pendingin,
dan 1 orang teknik otomotif.
Pembiayaan kegiatan pelatihan Panti Sosial Marsudi Putra Handayani
Jakarta sepenuhnya ditanggung oleh Departemen Sosial. Untuk mendukung
kegiatan pelatihan pada tahap perencanaan, PSMP tidak secara khusus membuat
panitia atau organisasi pelaksana, namun hanya menunjuk dan mempersiapkan
orang-orang yang diberi tugas melayani dan membimbing hal-hal yang diperlukan
atau ditanyakan oleh para peserta kegiatan sebagaimana telah dikemukakan di
atas.
Kegiatan evaluasi untuk mengukur kecakapan vokasional dan keterlibatan
warga belajar selama dan setelah mengikuti program pelatihan, dilakukan melalui
evaluasi hasil oleh team tutorial dan nara sumber teknis dari PSMP selaku pihak
138
penyelenggara. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui penguasaan kecakapan
vokasional tertentu. Evaluasi dilaksanakan selama kegiatan tutorial berlangsung
dengan cara mengamati dan memperhatikan peningkatan kecakapan vokasional
pada setiap pertemuan.
Sarana-prasarana yang dipersiapkan PSMP untuk mendukung pelaksanaan
program pelatihan adalah berupa sarana atau peralatan yang ada di lingkungan dan
atau yang biasa digunakan sehari-hari oleh PSMP yakni bengkel, ruang praktik,
dan peralatan lain yang cukup memadai.
Agar lebih jelas alur pada tahap perencanaan tersebut, penulis sajikan
pemetaannya dalam bentuk skema berikut ini.
GAMBAR 4.1
ALUR TAHAP PERENCANAAN KEGIATAN PELATIHAN
DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
b. Pelaksanaan Program PKH
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, pelaksanaan kegiatan
pelatihan sebagian besar berjalan sesuai dengan rencana. Materi-materi yang
Pertemuan dengan
orang tua asuh
PSMP
Masukan dari
berbagai pihak
Warga Belajar
Tutor
Perancangan Program
- Penyusunan materi
pelatihan
- Penyusunan
tatalaksana proses
pelatihan
- Penyiapan sarana
dan prasarana
Pertemuan
dengan Perangkat Depsos, Pengurus, Tutor, dan WARGA
BELAJAR
139
disampaikan dan latihan sebagaimana telah ditentukan dalam kegiatan
perencanaan sebagian besar adalah materi-materi yang berhubungan dengan
kecakapan vokasional las, pendingin, dan otomotif.
Nara sumber teknis atau instruktur dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan
adalah nara sumber teknis yang telah berpengalaman dan menjadi tutor di
lingkungan PSMP Handayani Jakarta, yakni sebanyak 3 orang tersebut. Metode
yang digunakan dan kegiatan pelatihan sebagian besar adalah praktik yang
divariasi dengan kegiatan dialog dan diskusi. Kedua metode tambahan itu
dilakukan secara temporer dan kondisional yang tidak menyita waktu secara
signifikan.
Tingkat kehadiran peserta selama proses pelatihan sebagai salah satu
indikator partisipasi peserta dalam mengikuti kegiatan, menurut para pelaksana
kegiatan cukup baik. Angka partisipasi warga belajar menurut para pelaksana
dapat dikategorikan 90% hadir dalam setiap kegiatan. Menurut para pengelola dan
pelaksana, dalam proses pelatihan, peserta kegiatan cukup responsif dalam
mengikuti materi atau bahan latihan yang disampaikan oleh nara sumber atau
instruktur kegiatan. Bentuk-bentuk respon peserta menurutnya antara lain;
mengajukan pertanyaan, tanggapan, dan usulan sehingga kegiatan pelatihan yang
dilaksanakan tidak membosankan dan berlangsung dengan penuh semangat.
Agar lebih jelas alur pada tahap pelaksanaan tersebut, penulis sajikan
pemetaannya dalam bentuk skema berikut ini.
140
GAMBAR 4.2
ALUR TAHAP PELAKSANAAN KEGIATAN PELATIHAN
DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
c. Evaluasi Kegiatan
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa para
pengelola dan instruktur pelatihan PSMP Handayani Jakarta tidak mempersiapkan
secara khusus tentang rencana kegiatan evaluasi terhadap warga belajar, akan
tetapi bukan berarti kegiatan evaluasi tidak dilaksanakan.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap nara
sumber teknis yang ditunjuk untuk membimbing peserta, diperoleh informasi
bahwa sekalipun tidak secara tertulis, kegiatan evaluasi atau penilaian tetap
dilakukan. Menurut nara sumber teknis (pembimbing), mereka selalu bertanya dan
mengadakan ricek terhadap penguasaan kecakapan vokasional tertentu seperti:
sudah sampai mana materi yang dipelajari peserta, atau kemampuan apa yang
sudah dikuasai peserta? Pertanyaan-pertanyaan ini menurutnya sering dilontarkan
para instruktur bahkan hampir setiap hari. Oleh karena itu, nara sumber teknis
PELAKSANAAN
1. Materi: Las, Teknik
Pendingin, dan Otomotif
1. Metode: Praktik
2. Angka Partisipasi:
Kehadiran WARGA
BELAJAR 90% WARGA
BELAJAR
RANCANGAN
PROGRAM
TUTOR
141
pada tataran tertentu telah melakukan evaluasi dengan cara pengamatan. Fokus
materi evaluasi menurutnya secara garis besar dilakukan terhadap proses dan
melihat hasilnya. Dari sisi proses aspek yang dilihatnya antara lain kecakapan
vokasional menggunakan alat, ketelatenan, dan keuletan dalam mengerjakan
latihan, serta keseriusan dalam memperhatikan setiap materi yang diberikan.
Sedangkan dari sisi hasil, hal-hal yang dinilai menurutnya menyangkut kecepatan
pengerjaan dan kerapihan hasil pekerjaan.
Hasil evaluasi yang dilakukan melalui pengamatan, menurut pengelola dan
para intsruktur, PKH dapat memberikan manfaat yang cukup baik bagi warga
belajar atau peserta pelatihan. Pasca kegiatan PKH, menurutnya warga belajar
cukup menguasai kemampuan teknis kecakapan vokasional yang dilatihkan.
Palaksanaan evaluasi dilakukan dengan telah menggunakan teknik evaluasi
kinerja. Di samping itu, evaluasi pun dilakukan selama dan setelah mengikuti
program pelatihan atau evaluasi proses.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap nara
sumber teknis yang ditunjuk sebagai instruktur peserta, juga diperoleh informasi
bahwa setiap pertemuan dilakukan evaluasi. Evaluasi yang dimaksud adalah
evaluasi untuk menguji kecakapan vokasional yang dimiliki warga belajar pada
setiap pertemuan. Evaluasi proses juga dilakukan setiap kali pertemuan.
Pelaksanaannya kurang bervariasi dan baru pada tahap mengetes kemampuan
secara parsial. Ada kalanya evaluasi dilakukan dengan cara mengevaluasi hasil
kinerja warga belajar, misalnya: tutor mengevaluasi hasil reparasi motor, hasil
pengelasan atau hasil kinerja warga belajar tertentu. Secara bersama-sama dengan
142
warga belajar, hasil reparasi tersebut dievaluasi untuk mengetahui kekurangan dan
kelebihan produk tersebut. Hasil evalusi itu kemudian disimpulkan untuk
memperoleh informasi mengenai kelemahan tersebut yang selanjutnya dijadikan
model bagi peserta yang lain.
Secara garis besar, fokus materi evaluasi diarahkan pada proses dan
melihat hasilnya. Dari sisi proses aspek yang dilihatnya antara lain kecakapan
vokasional menggunakan alat, ketelitian, dan keuletan dalam mengerjakan latihan,
serta keseriusan dalam memperhatikan setiap materi yang diberikan. Sedangkan
dari sisi hasil, hal-hal yang dinilai menyangkut kecepatan pengerjaan dan
kerapihan hasil pekerjaan (produk). Hasil evaluasi yang dilakukan melalui
pengamatan, menurut nara sumber dan tutor, kegiatan pelatihan dapat
memberikan manfaat yang cukup bagi warga belajar. Alur tahap evaluasi dapat
dilihat pada skema berikut ini.
GAMBAR 4.3
ALUR TAHAP EVALUASI DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
Hasil analisis dan deskripsi pendidikan PKH di Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, kemudian
penulis tuangkan ke dalam gambar berikut ini.
Jenis Evaluasi:
Evaluasi Kinerja
Evaluasi Proses;
Setiap Pertemuan
Evaluasi
Feed Back
143
GAMBAR 4.4
MODEL PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP
DI PSMP HANDAYANI JAKARTA
PROGRAM
KERJA
DIKNAS
PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP
ANAK TUNALARAS DI PSMP HANDAYANI
JAKARTA
PROGRAM
KERJA
DEPSOS
Persiapan Awal
Program Pelatihan
Kecakapan Hidup
Pelaksanaan Program
Pelatihan Kecakapan Hidup
Bimbingan fisik
Bimbingan Mental
Bimbingan Sosial
Bimbingan
Keterampilan
Ekstrakurikuler
Bimbingan Kecakapan
Akademis
Penyaluran dan Pembinaan Lanjut
Program Pelatihan Kecakapan Hidup
Anak bekerja/
membuka usaha
Anak dapat melanjutkan
ke tingkat yang lebih
tinggi
144
B. Analisis Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta
Berikut ini akan penulis paparkan realisasi pelaksanaan pelatihan
kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial
Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara
dengan berbagai sumber data, observasi lapangan, dan analisis dengan pendekatan
SWOT.
1. Hasil Wawancara
a) Pelatihan kecakapan hidup menurut Kepala Panti PSMP Handayani Jakarta
PSMP Handayani adalah salah satu unit pelaksana teknis yang menangani
permasalahan anak nakal yang bermaksud untuk dapat memulihkan kondisi
psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat
hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta
menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan
berkualitas, serta berakhlak mulia. Menghilangkan label dan stigma negatif
masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk
berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut
dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga
dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada
kepentingan penerima pelayanan. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak
Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap
mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan
lingkungan sosialnya.
145
Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah lembaga Pemerintah
maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial kepada anak yang mengalami
gangguan perilaku dan emosi. Tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan
bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif,
rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan
ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu
mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan
penyiapan standar pelayanan dan rujukan.
Yang terlibat dalam pembuatan perecanaan program, menurut kepala
panti meliputi: Kepala panti, instruktur, dan nara sumber teknis. Kepala panti
berpendapat bahwa pelaksanaan pelatihan yang berjalan selama ini masih kurang
optimal. Kekurangan itu, berkenaan dengan:
a. Tidak tersusunnya program kerja pelatihan yang sistematis dan fleksibel
sesuai dengan tuntutan perkembangan pendidikan, terutama tentang:
kurikulum, standar keahlian intsruktur, sistem pelatihan yang efektif,
bimbingan mental yang optimal, biaya, dan sebagainya. Selama ini, pelatihan
berjalan sesuai dengan petunjuk teknis dari Departemen Sosial.
b. Tidak ada tindak lanjut dari pelatihan kecakapan hidup untuk masa depan
warga belajar, masih belum terealisasikan karena untuk sekarang ini panti
hanya dapat memberikan pelatihan yang berbentuk pembekalaan keaahlian
saja.
c. Tidak adanya pemisahan latar belakang sosial dan pendidikan secara
proporsional sehingga anak tunalaras diarahkana kepada pelatihan keahlian
146
yang sudah tersedia di panti (teknik otomotif, pengelasan, dan teknik
pendingin) sehingga ditemukan warga belajar yang kurang aktif karena bidang
keahliannya yang tidak sesuai.
b) Pelatihan kecakapan hidup Menurut Instruktur
Pelatihan kecakapan hidup adalah pengajaran keterampilan yang
diarahkan pada keterampilan warga belajar dalam menguasai bidang keahlian
yang dilatihkan. Pelatihan kecakapan hidup ini merupakan suatu usaha panti
dalam membekali warga belajar agar mempunyai kemampuan vokasional untuk
mengenal dan memasuki dunia kerja. Bekal keterampilan ini secara luas diberikan
kepada warga belajar. Kemudian kurikulum belum ada untuk pelatihan
kecakapan hidup, sehingga instruktur harus membuat kurikulum pelatihan
kecakapan hidup sendiri yang tidak memiliki konsistensi. Kemudian, tidak
adanya buku sumber atau panduan untuk anak dalam pelatihan keterampilan pun
menghambat pelaksanaan program pelatihan. Panduan tersebut mungkin berupa
modul yang efektif.
Di samping itu, Pelatihan kecakapan hidup merupakan salah satu program
penyiapan kerja bagi warga belajar untuk menghadapi lapangan kerja. Penyiapan
kerja secara sederhana belum diintegrasikan dalam materi pelatihan. Seperti yang
telah diutarakan, pemberian informasi tentang pentingnya mempelajari satu
keterampilan untuk masa depan anak wajib disampaikan tutor walaupun tidak
secara langsung dalam mengarahkan warga belajar pada satu pilihan program
keterampilan tertentu.
147
d) Pelatihan kecakapan hidup Menurut Warga Belajar
Pelatihan ini menurut saya sangat bermanfaat. Harapan saya dengan
mengikuti keterampilan ini, saya akan lebih mudah kembali ke masyarakat dan
memiliki keahluan yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan di masa datang.
2. Hasil Observasi
Hasil observasi lapangan menghasilkan beberapa data yang sangat penting
untuk diungkapkan. Melihat lingkungan sekitar PSMP Handayani Putera Jakarta,
yang sangat kondusf dan memadai, PSMP ini seharusnya mampu menjelma
menjadi salah satu panti yang dapt membantu warga belajar dalam menapaki masa
depannya agar lebih baik.
Kelengkapan sarana dan prasarana pelatihan kecakapan hidup sangat
memadai. Lingkungan yang cukup luas, sarana ibadah yang memadai, sarana
praktek yang optimal, dan kemapanan para pengelolanya, merupakan sebuah
modal dalam pengembangan pelatihan. Kegiatan pelatihan antara tutor dan warga
belajar terlihat berjalan dengan baik. Dari hasil pegamatan langsung penulis,
diketahui bahwa panti belum mempunyai kurikulum sendiri yang aplikatif yang
dijadikan pegangan untuk pelatihan kecakapan hidup. Selain itu, tidak adanya
buku sumber atau panduan pelatihan yang berstandar akan menghambat juga.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yang telah diuraikan di atas
dapat disimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani
memerlukan suatu perencanaan yang dituangkan dalam program kerja yang
kemudian direalisasikan dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, standar
kurikulum, standar keahlian tutor, dan sebagainya.
148
2. Hasil Analisis SWOT
Analisis model faktual pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani
Jakarat akan menggunakan pendekatan analisis SWOT (strength, weakness,
opportunity, threat). Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.
Kekuatan (strength) di PSMP Handayani Jakarta pada pelaksanaan
pelatihan kecakapan hidup, yakni adanya kesatupaduan dan struktur organisasi
manajemen lembaga yang sangat optimal. PSMP ini sudah memiliki kelengkapan
personal dan sumber daya yang memadai.
Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-49/4479 tanggal 30
Oktober 1965, PSMP ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna
yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation Home
untuk anak-anak Tuna Sosial, camp pendidikan dan latihan kerja untuk anak-anak
mogok (drop out), serta Usaha Kesejahteraan Wanita/gadis desa/LSD. Surat
Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48/144 tanggal 7 Oktober 1968
menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma
Handayani, camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak, Sanggar rekreasi sehat
Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja (termasuk Pramuka) dari Jakarta
dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading petugas
Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat Departemen
Sosial.
Kelemahan (weakness) atas pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup di
PSMP Handayani Jakarta, di antaranya: pertama, proses penyusunan rencana
program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga belajar secara intensif. Kedua,
149
tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak diketahui
keterampilan siap warga belajar. Ketiga, materi-materi program pelatihan yang
akan dikembangkan tidak dibuat secara terencana dan sistematis. Keempat, tidak
merumuskan tujuan kegiatan/program secara eksplisit yang diarahkan untuk
menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar. Kelima, nara
sumber teknis atau tutor tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk
tertulis baik dalam modul atau kemasan tertulis lainnya. Keenam, tidak
mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut antara lain
disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap aspek-aspek
pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi. Ketujuh, ada kecenderungan
nara sumber teknis (tutor) tidak menguasai azas-azas pelatihan dengan sistem
tutorial, baik pada tahapm perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kedelapan,
nara sumber teknis dalam setiap pertemuan, tidak pernah menjelaskan tujuan
pelatihannya secara detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga
belajar. Kesembilan, kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik
dan penguasaan keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif,
teknik pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan
warga belajar belum memiliki sikap kemandirian. Kesepuluh, proses pelatihan
tidak menggunakan metode pelatihan yang terpadu. Sebagian besar hanya
bertumpu pada kegiatan praktik sehingga tidak menampakkan proses pelatihan
dengan model tertentu. Kesebelas, tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara
terpadu atau terintegrasi yang komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria
penilaiannya tidak jelas.
150
PSMP Handayani Jakarta dalam beberapa segi memiliki kelemahan dan
keterbatasan. Akan tetapi, pada sisi lain, pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup
memiliki beberapa peluang (opportunity) yang memungkinkan terus
dikembangkan. Peluang tersebut antara lain: pertama, perhatian dan antusiasme
masyarakat sekitar sangat tinggi. Ini dibuktikan dari partisipasi masyarakat yang
turut andil sebagai partisipan dan sponsor pelaksana di PSMP Handayani Jakarta.
Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk menitipkan anaknya yang nakal
di PSMP. Di samping itu, sabagian anggotam masyarakat sekitar PSMP turut andil
dalam membantu kelancaran program. Misalnya, memanfaatkan jasa keterampilan
yang dimiliki warga belajar atau turut serta menjadi sponsor bengkel kerja
magang warga belajar. Antusiame yang tinggi tersebut menjadi bekal dan fondasi
pengembangan PSMP. Kedua, program pelatihan otomotif, teknik pengelasan, dan
teknik pendingin merupakan bidang kerja yang aplikatif dan berkembang pesat di
masyarakat yang pertumbuhannya sangat dinamis. Diharapkan dengan pemilihan
materi latih pada bidang tersebut, warga belajar dapat memanfaatkannya ketika
kembali ke masyarakat dan mampu bekerja atau embuka lahan usaha yang
produktif. Ketiga, perhatian pemerintah daerah daerah dan pusat sangat tinggi.
Perhatian tersebut berupa dukungan dana, manajemen, peralatan, dan personalia.
Keempat, Kinerja PSMP Handayani Jakarta sangat baik sehingga mempunyai
reputasi nasional dan daya tarik kepada masyarakat untuk turut serta
berpartisipasi. Profil dan berbagai kesuksesan dalam menjalankan program,
menjadi unggulan di mata masyarakat. Kelima, upaya untuk menjalin kerja sama
dengan pihak lain, telah dirintis sejak dulu dan kini berjalan dengan berbagai
151
instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka pengembangan PSMP
Handayani.
Ancaman (threat) terhadap keberlangsungan PSMP, yang perlu
diantisipasi di antaranya: pertama, keterbatasan dana operasional. Sementara ini,
PSMP mengandalkan dana subsidi pemerintah yang pada tataran tertentu dana
tersebut cukup memadai. Akan tetapi, pengembangan program yang lain
memerlukan suntikan dana tambahan sehingga PSMP dapat melakukan
pengembangan. Kedua, keterbatasan personalia, khususnya instruktur. Intrusktur
yang diberdayakan selama ini adalah rekruetmen yang berstatus PNS, honorer,
dan tenaga lapangan. Rekruetmen pada umumnya adalah alumni PSMP yang
mempunyai keahlian tertentu. Dengan keterbatasan anggaran, maka
pengembangan diri para personalia tersebut terbatas sehingga berimbas pula pada
keterbatasan pengembangan programnya.
C. Analisis Kebutuhan Model dan Pengembangan Model Pelatihan
Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta
1. Analisis Kebutuhan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial
Marsudi Putra Handayani Jakarta
Analisis kebutuhan pengembangan model bermaksud memberikan
gambaran mengenai strategi atau pendekatan dalam pengembangan model
pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta sehingga dapat
tergambarkan bentuk titik masuk atau aspek pelatihan di PSMP dan alternatif
strategi pengembangannya. Pendekatan yang dilakukan dalam menetapkan titik
masuk sebagai fokus peluang pengembangan model pendidikan kecakapan hidup
ini menggunakan pendekatan kelembagaan. Dapat dipahami secara teoritis,
152
apabila kita hendak memasuki dan memahami masyarakat hendaknya harus
masuk dengan cara memilih fokus yang dipandang strategis dan mudah
dimasukinya.
Secara kelembagaan, terdapat dua peluang yang akan dijadikan kunci ke
arah pengembangan model pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani
Jakarta, yaitu adanya peluang prospek usaha dan pengembangan potensi diri
warga belajar di masyarakat dan pengembangan pada keterikatan antara warga
belajar dengan lembaga (PSMP) dalam monitoring dan bimbingan terpadu kepada
warga belajar setelah warga belajar selesai mengikuti pelatihan di PSMP. Namun
dari hasil studi lapangan mengenai aspek peluang tersebut, berhasil diidentifikasi
bahwa peluang tersebut merupakan salah satu alternatif program yang dipandang
representatif dapat dikembangkan secara utuh dan berkesinambungan
(sustainable) melalui studi ini. Peluang pengembangan ini dimaksudkan aspek-
aspek pokok dari usaha lapangan masyarakat yang dipandang sebagai potensi
yang dapat mendukung terhadap model pengembangan pendidikan kecakapan
hidup yang akan diterapkan di PSMP Handayani Jakarta.
Berdasarkan dua peluang untuk penggambaran model, yaitu lapangan
usaha masyarakat dan jenis kelembagaan ekonomi PSMP, dapat diprediksi
alternatif strategi pengembangan seperti apa yang akan diterapkan.
Memperhatikan karakteristik dua kelembagaan di atas, yaitu: lapangan usaha
masyarakat sekitar PSMP Handayani Jakarta dan lembaga pengembangan
ekonomi, dihubungkan dengan karakteristik bidang keterampilan yang dapat
dikembangkan dalam rangka pengembangan model pelatihan kecakapan hidup
153
ini, maka strategi pengembangan yang dipandang tepat adalah melalui pelatihan
dengan model sinergi belajar dan usaha.
Merujuk pada analisis masalah model faktual yang dikemukakan pada
bagian sebelumnya, bahwa perencanaan di PSMP kurang optimal, terutama
berkenaan dengan aspek: penyusunan rencana program kegiatan; tes awal materi-
materi program; perumusan tujuan kegiatan/program; tidak ada rencana pelatihan
dalam bentuk tertulis; tidak mempersiapkan proses evaluasi; dan penguasaan
yang rendah nara sumber teknis (tutor) terhadap azas-azas pelatihan dengan
sistem tutorial. Dengan demikian, pada aspek perencanaan menunjukkan
perlunya ada sebuah perlakuan terapan bagi para warga belajar maupun nara
sumber teknis PSMP tentang materi-materi yang berkaitan dengan masalah
pendidikan khususnya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
perencanaan program.
Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek
pelaksanaan ditunjukkan oleh adanya gejala yang kurang optimal. Diidentifikasi
bahwa program pendidikan kecakapan hidup yang selama ini dilaksanakan di
PSMP Handayani Jakarta mengandung kelemahan berkenaan dengan:
penyampaian tujuan; pengemasan materi yang tidak dituangkan ke dalam modul
yang sistematis; proses pelatihan hanyalah berupa pelatihan dan penguasaan
keterampilan; dan proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang
integratif, yakni metode belajar dan usaha.
Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek evaluasi
ditunjukkan pula oleh aspek yang terkait dengan masalah: tidak adanya penduan
154
evaluasi standar untuk mengukur keterampilan warga belajar, tidak adanya proses
evaluasi intensif dan terukur selama kegiatan berlangsung, dan tidak dibuatkannya
rencana kegiatan evaluasi secara terpadu.
2. Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial
Marsudi Putra Handayani Jakarta
a. Rancangan Model Konseptual Pelatihan Kecakapan Hidup
Rancangan model konseptual merupakan kerangka model yang hendak
disusun ke dalam model yang lebih operasional dalam pelaksanaan uji coba
model. Model pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak
tunalaras dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta.
Tujuan yang ingin dicapai dalam rancangan model konseptual yang akan
dikembangkan dalam penelitian ini secara substansial meliputi tujuan jangka
panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah membantu anak
tunalaras untuk mengembangkan kemandirian diri sendiri dan kelompok dalam
belajar, bekerja, dan berusaha secara berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi
yang dimiliki warga belajar dan masyarakat dengan tetap memperhatikan
pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan dan
pembinaan maupun bantuan terhadap kelompok sasaran yang ada dimaksudkan
agar mereka (warga belajar) mampu berkembang menjadi insan yang mandiri
serta berkelanjutan dalam mengembangkan usaha dengan sikap yang mandiri.
Tujuan jangka pendek melalui pelatihan kecakapan hidup diharapkan
agar anak tunalaras (warga belajar) yang berasal dari berbagai latar belakang
memiliki kecakapan akademik dan kecakapan vokasional dalam mengembangkan
155
potensi yang dimiliki untuk bekerja, mengelola, dan mengolah sumber daya yang
ada dengan atau bersama orang lain sehingga menjadi usaha produktif.
Desain pengembangan model pelatihan kecakapan hidup mengandung 7
(tujuh) tahapan yang diajukan dalam pengembangan model ini. Bila disajikan
dalam bentuk narasi, ketujuh tahapan tersebut adalah:
a. Fase kajian teori; landasan teori dan penyusunan desain;
b. Fase penemuan model di lapangan (praksis);
c. Deskripsi sistem pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta;
d. Verifikasi Model/validasi ahli, praktisi dan uji coba terbatas; hasil validasi
gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup,
e. Implementasi Model (treatment);
f. Penerapan gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup,
g. Hasil Implementasi dan dampak (kemandirian); hasil pengembangan model
pelatihan kecakapan hidup.
Ketujuh fase di atas telah dideskripsikan pada bagian terdahulu/dalam
desain penelitian. Bagian ini berupaya mengemukakan alur proses penelitian
sebagai salah satu perwujudan dari proses menuju pada fase ke empat, yaitu
verifikasi model, terutama validasi ahli dan praktisi. Diharapkan dengan adanya
proses verifikasi dan validasi model, hasil penelitian ini memiliki
pertanggungjawaban ilmiah yang tinggi.
Pembahasan mengenai alur proses penelitian dan pengembangan model
kecakapan hidup pada bagian ini menggambarkan mengenai implementasi atau
156
pelaksanaan penelitian dan pengembangan model, sebagai bagian dari fase-fase
yang telah dirancang dalam desain secara makro, pada bagian ini berupaya
mendeskripsikan beberapa aspek.
Alur proses atau tahapan studi lapangan dalam rangka penelitian dan
pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta,
merentang sejak dilakukannya studi lapangan tahap 1 sampai dengan berhasil
diungkapkan hasil pengembangan modelnya itu sendiri.
Bertitik tolak dari kondisi faktual anak tunalaras yang tergabung dalam
PSMP Handayani Jakarta, serta analisis masalah, kebutuhan belajar dan
karakteristik anak tunalaras, maka program kegiatan pelatihan berbasis
kemandirian menjadi pertimbangan dalam mendesain model pelatihan kecakapan
hidup. Model konseptual yang disusun dalam program kemandirian anak tunalaras
melalui PKH ini secara umum sama dengan program-program pelatihan yang lain,
yaitu terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan diakhiri
dengan penilaian.
Berdasarkan tiga langkah pokok dalam model konseptual yang
dikembangkan, dapat dijelaskan aspek-aspek komponen model pelatihan
kemandirian anak tunalaras yang akan diujicobakan dan dikembangkan dalam
penelitian ini. Adapun aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut :
1) Perencanaan
Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak
tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon
peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai
157
hal yang terkait dengan perencanaan program.
Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan
fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di
PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan
kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam
suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan
sosialnya.
Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian
menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan
Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya
masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan
dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada klien secara langsung
maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan
kesejahteraan sosial.
Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan
kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak
akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua
instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk
koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung,
terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh
para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program
kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung
158
jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas)
menyatakan kesediaannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan
lanjutan.
Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan
disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan vokasional yaitu
perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif.
Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis
kecakapan vokasional ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu
yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi
teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan
acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan
pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur
yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Tujuan Pelatihan
Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan
kemandirian anak tunalaras di puast Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak
Nakal di PSMP Handayani adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan
kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya
dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan
lingkungan sosialnya. Secara khusus, program PKH di PSMP Handayani
bertujuan :
(a) Meningkatkan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional anak
tunalaras yang dapat dijadikan mata pencaharian.
159
(b) Menyebarluaskan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional
melalui peningkatan kecakapan hidup.
(c) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar
tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan
potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat.
(d) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial
serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup,
tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta
menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan
berkualitas, serta berakhlak mulia.
b) Kelompok Sasaran
Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria
sebagai berikut :
a) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum
menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan
pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) umum.
b) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah
menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka
diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan kerja.
c) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi :
(1) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.
160
(2) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum.
(3) Menjalani putusan hakim.
(4) Setelah selesai menjalani pidana anak.
c) Sumber Belajar/Fasilitator
Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk
program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut:
a) Berusia 20-50 tahun
b) Tingkat pendidikan minimal SMA
c) Alumni PSMP Handayani Jakarta.
d) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik
e) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih
f) Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan
d) Kurikulum
Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek
yang perlu dilakukan penguatan yaitu: (a) aspek personal, berupa
ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan
masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa
keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan
kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga
dan lingkungan sosialnya; dan (c) aspek vokasional, berupa keinginan anak
tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu
menjadi manusia yang produktif dan mandiri.
161
Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan
mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang
difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan
kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi
kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut:
a) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan
vokasional selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di
masyarakat setempat.
b) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan
pokok pengembangan kurikulum.
c) Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan
penekanan pada pengembangan kemandirian.
d) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan
kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar.
Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1)
Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan
akademik tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3)
Kecakapan akademik tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4)
Kecakapan akademik tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang
pengelolaan keuangan; (6) Kecakapan akademik tentang pengelolaan
organisasi/kelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan
akademik tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha
bersama.
162
e) Bahan Ajar dan Latihan
Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya
dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan
kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini
mencakup:
a) Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan
servis dan jasa.
b) Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan,
Sumberdaya Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan.
c) Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (Las, teknik
pendingin, dan otomotif).
f) Media Pelatihan Keterampilan
Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan-bahan
praktik.
g) Metode Pelatihan Keterampilan
Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan
kecakapan hidup adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode
ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik.
h) Waktu dan Tempat Pelatihan
Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh dari
tgl 14 Februari - 28 Maret 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu
pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6
hari dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit.
163
i) Evaluasi Akhir Pelatihan
Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a)
evaluasi prapelatihan (b) evaluasi proses pelatihan, dan (c) evaluasi akhir
pelatihan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a)
kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan.
b. Pelaksanaan
Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional
menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah
daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial,
Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader
organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat
diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan
program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan
pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan
kecakapan vokasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan
satu program pelatihan kecakapan hidup.
Dalam banyak hal, pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang
disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau
terbatasnya sumber daya manusia (Sumber Belajar dan atau tenaga pendamping)
yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang menganut
sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar
sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan setelah
kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri.
164
c. Evaluasi
Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada
kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan
kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan
vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi
hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar,
terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam
proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat
untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai
pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi,
penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan,
serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan
dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori
dan praktik).
Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup
selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber
belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas
tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar
yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan kecakapan hidup
dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills) untuk meningkatkan
kemandirian anak tunalaras (warga belajar), kesejahteran, dan taraf hidup mereka.
Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan dan
165
mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam
perspektif Pendidikan Luar Sekolah program pelatihan tersebut
diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini
juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki
kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan
model pada program pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya
kepercayaan yang melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam
menjalankan tugas sehari-hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang
memadai dan dapat dipertanggungjawabkan.
Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan hidup lebih
menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak
mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan
kecakapan vokasional orang dewasa kegiatan belajar kecakapan vokasional
praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan
dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan
"learning by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods)
adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu,
metode pelatihan kecakapan hidup juga akan menarik dan bermakna bagi warga
belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan
vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program
(calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama.
Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar
anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan
166
hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba
menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan
pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai
penguatan untuk kemandirian anak tunalaras sebagai warga belajar. Selain itu,
dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan
menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi.
Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat
(SDA, SDM dan nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga
belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan.
Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan-keunggulan komparatif
dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan
kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah.
Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi
warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui
pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan
vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam
penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan
pelayanan di bidang jasa.
Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang
menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan
dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan
belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga
167
memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok
sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan.
Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan
kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input,
environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan
output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap
kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan
dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga
belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan
menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan
pendekatan partisipatif dan kolaboratif.
Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah
suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya
mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan
model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang
diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan
pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti
sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman) antara lain:
menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model
pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari
peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu
langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi,
sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.
168
b. Validasi dan Revisi Rancangan Model Konseptual
Kegiatan validasi dilakukan setelah rancangan model konseptual selesai
disusun. Dalam upaya mendapatkan model akhir, model konseptual yang telah
disusun masih perlu mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan dengan
mendengarkan masukan dan pandangan dari kalangan pakar Pendidikan Luar
Sekolah dan pakar pelatihan serta praktisi program pelatihan. Secara khusus, juga
diminta masukan dari praktisi baik dari Dinas Sosial dan Diknas Jakarta untuk
visualisasi model sehingga menjadi visualisasi yang mudah dipahami dan
menarik. Langkah selanjutnya dari hasil penelitian dengan prosedur penelitian dan
pengembangannya, dilakukan diskusi dengan teman sejawat dan pihak yang
terlibat dalam program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan.
Diskusi dilakukan dengan cara memberikan rancangan model konseptual
pelatihan yang akan dikembangkan dan bahan belajar yang akan digunakan dalam
pelatihan untuk diberi catatan perbaikan dan penyempurnaan.
Hasil diskusi dengan para pakar dan praktisi disusun dan dikompilasikan
sebagai bahan untuk berdiskusi dan mengadakan pembahasan dengan nara
sumber lain agar semakin menyempurnakan dan memperbaiki model tersebut.
Dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan pengujian validasi, yakni teoritik dan
empirik. Berikut ini beberapa masukan yang penting dari nara sumber.
a. Penilaian Ahli terhadap Rancangan Model konseptual
Beberapa masukan penting dari nara sumber terhadap model yang akan
dikembangkan, antala lain sebagai berikut:
1) Model pelatihan kecakapan hidup cukup memadai dan sesuai dengan
169
kebutuhan dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras;
2) Model pelatihan kecakapan hidup selain memerlukan pelibatan berbagai
pihak, juga memerlukan pendekatan yang tepat sehinga bisa dijalin kerjasama
sejak dari mulai pelatihan sampai kegiatan berusaha;
3) Model pelatihan kecakapan hidup yang dibangun khusus bagi anak tunalaras
harus selalu direncanakan dari bawah dengan melibatkan calon warga belajar;
4) Model yang diajukan ini cukup memadai dan dapat menjadi panduan para
fasilitator/tutor dan pendamping dalam melakukan tugas pembinaan
kecakapan vokasional kepada anak tunalaras;
5) Sistem dan proses perencanaan program, pendekatan, media, materi serta
metode pelatihannya cukup memadai dengan prinsip kecakapan hidup,
pendekatan partisipatif sebagai upaya kemandirian anak tunalaras;
6) Model ini dapat diterima karena proses kemandirian anak tunalaras
dilakukan dengan basis masyarakat atau memanfaatkan sebagian sumber daya
lokal (alam, manusia dan budaya setempat);
7) Model ini dimungkinkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat umumnya
dan kelompok gabungan anak tunalaras khususnya dalam hal pelatihan
keterampilan;
8) Model ini dapat memberikan penguatan terhadap model pelatihan yang telah
ada, khususnya dalam program pelatihan ekonomi masyarakat yang selama
ini kurang memperoleh penekanan dalam melakukan identifikasi dan
penentuan prioritas kebutuhan belajar masyarakat; dan
9) Sistematika dan visualisasi, serta kerangka bahan belajar untuk pelatihan
170
kecakapan hidup melalui pelatihan sebagai upaya kemandirian anak tunalaras
sudah sesuai.
Komentar yang diberikan nara sumber memberikan penekanan pada empat
hal, yaitu: (1) rancangan model, media pelatihan, pemanfaatan sumber daya lokal
yang terkait dengan pelatihan kecakapan hidup, dan relevansinya dengan
kebutuhan anak tunalaras; (2) kerangka pikir, isi sistematika, alur dan visualisasi
model; dan (3) proses pengelolaan pelatihan; serta (4) bahan dan sumber belajar.
Beberapa hal yang perlu direvisi dari model pelatihan kecakapan hidup
bagi anak tunalaras berdasarkan masukan dari para ahli adalah (1) visualisasi
model dalam bentuk gambar disesuaikan dengan aspek-aspek komponen model
pelatihan kecakapan hidup supaya lebih spesifik; (2) arah program pelatihan
kecakapan hidup lebih ditekankan pada usaha untuk membangun kemandirian
anak tunalaras sehingga memiliki nilai tambah dalam pemberdayaannya; dan (3)
pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada vocational skills,
Beberapa masukan yang berasal dari nara sumber pada model konseptual
pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras,
kemudian dijadikan bahan perbaikan dan penyempurnaan, terutama terkait dengan
pelatihan kecakapan hidup yang lebih ditekankan pada “vocational skills” dan
pembentukan kemandirian.
b. Penilaian Praktisi terhadap Rancangan Model Konseptual
Komentar praktisi terhadap model konseptual yang akan dikembangkan
lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: (1) model, khususnya
relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras yang terkait dengan memberikan
171
bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif,
rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan
keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu
mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan
penyiapan standar pelayanan dan rujukan; (2) evaluasi dan monitoring; dan (3)
bahan belajar sebagai panduan warga belajar dan fasilitator/pembimbing.
Beberapa hal yang perlu direvisi dari model ini berdasarkan masukan dari
para praktisi adalah memperbaiki kekurangan dalam menentukan jenis-jenis
kecakapan vokasional terapan yang ekonomis disesuaikan dengan kebutuhan
belajar yang dipilih dan disepakati oleh calon warga belajar dengan
mempertimbangkan potensi setempat dan yang mungkin disediakan termasuk
fasilitas/peralatan praktik dan media pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan.
c. Tanggapan Warga Belajar terhadap Desain Model Konseptual
Tanggapan terhadap rancangan model konseptual pelatihan kecakapan
hidup terutama ditujukan dan diharapkan datang dari para anak tunalaras calon
warga belajar yang dijadikan peserta dalam penelitian ini. Komentar calon warga
belajar terhadap model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini
lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: (1) kesesuaian model pelatihan
kecakapan hidup dengan kebutuhan belajar dan potensi sumber daya yang ada di
daerah; (2) bahan belajar yang mereka butuhkan; (3) fasilitator/sumber belajar,
dan pembimbing.
Rancangan model konseptual terlebih dahulu direvisi berdasarkan
beberapa masukan yang diberikan para pembimbing, para ahli di luar
172
pembimbing, para praktisi pelatihan PLS, dan calon warga belajar sehingga
dihasilkan sebuah model konseptual yang siap untuk diimplementasikan.
Sebagaimana diungkapkan dalam bab III, bahwa model pengembangan penelitian
dilakukan dalam dua kegiatan (I dan II). Hasil model konseptual dari
pengembangan penelitian yang dilakukan pada kegiatan I, setelah divalidasi dan
direvisi atau yang siap untuk diimplementasikan dapat dilihat pada gambar 4.5
sebagai berikut.
174
Gagasan model pelatihan kecakapan hidup dilatarbelakngi oleh beberapa
masalah yang muncul sebagai hasil kajian lapangan melalui observasi dan studi
lapangan. Permasalahan pertama berkenaan dengan input warga belajar. Warga
belajar pada pelatihan kecakapan hidup berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah lengkap dengan berbagai
latar belakangnya. Karakteristik utama warga belajar tersebut adalah: (1) mereka
mempunyai penyimpangan perilaku; (2) memiliki permasalahan dalam belajar; (3)
membutuhkan pendidikan khusus; dan sebagainya.
Permasalahan kedua, berkenan dengan kompetensi vokasional yang
rendah. Kompetensi vokasional warga belajar tersebut hanya berkenaan dengan
keterampilan yang berhubungan dengan keperluan hidup yang kurang produkif.
Kompetensi vokasional yang produktif harus dimiliki oleh warga belajar agar
mereka mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomi bahkan mampu
mandiri secara wirausaha.
Permasalahan ketiga berkenaan dengan latar belakang ekonomi yang
beragam tetapi pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu.
Latar belakang ekonomi menjadi fokus perhatian penulis sebagai bahan kajian
penyusunan model karena berhubungan langsung dengan tujuan dan dampak
pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Tujuan akhir model ini adalah
terbentuknya warga belajar yang memiliki kecakapan hidup dan kemandirian.
Kondisi ekonomi yang kurang tentu akan berpengaruh pada karakteristik warga
belajar dalam berbagai sudut pandang.
Permasalahan berikutnya berkenan dengan perencanan, pelaksanaan,
175
evaluasi, dan sumber belajar (tutor) juga yang kurangmemahami azas-azas
pelaksanaan pelatihan. Keempat aspek tersebut tidak dikelola denganbaik
layaknya kegiatan pelatihan yang harus disusun dan silaksanakan dengan
sistematis.
Beberapa permasalahan dan latar belakang tersebut menjadi dasar
pemikiran penulis dalam mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan
hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Latar belakang tersebut
menjadi dasar penyusunan program dan dasar penyusunan teknis pelatihan
kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Program
pelatihan berkenaan dengan pengembangan pada aspek: kurikulum, pendekatan,
dan tujuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam pelatihan kecakapan hidup di
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah kurikulum terintegratif.
Kurikulum ini merupakan sebuah program kerja yang dikembangkan berdasarkan
aspek-aspek unsur-unsurnya secara terintegrasi yakni: kemandirian secara fisik,
mental, dan sosial; pengembangan sarana dan prasarana pendukung pelatihan,
uraian waktu, teknik evaluasi, dan sebagainya.
Pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan pelatihan partisipatif.
Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada anak tunalaras karena anak tunalaras
memiliki penyimpangan perilaku yang berbeda dari anak biasa sehingga
keterlibatan emosi dan sosialnya harus dikontrol. Pendekatan partisipatif mampu
mengakomodasi karakteristik anak tunalaras sehingga memungkinkan mereka
aktif dan turut berperan serta dalam pelatihan.
Tujuan pelatihan adalah agar anak tunalaras memiliki kecakapan
176
vokasional. Kecakapan vokasional yang dikembangkan melalui pelatihan ini
adalah kecakapan di bidang otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin.
Pada aspek teknis pelatihan berkenaan dengan manajemen, proses
belajaran mengajar (pelatihan), dan evaluasi serta pengembangannya. Manajemen
berkenaan dengan tata laksana pelatihan. Manajemen yang dimaksud adalah
manajemen dalam bidang: tata rancang personal, tata rancang materi pelatihan,
tata rancang sarana dan prasarana, tata rancang keuangan, dan sebagainya. PBM
berkenaan dengan teknik proses pelatihan. Evaluasi dan pengembangannya
berkenaan dengan teknik penentuan model evaluasi, jenis evaluasi, instrumen
evaluasi, dan teknik pengukurannya. Seluruh paparan di atas merupakan
pengembangan tahap perencanaan pelatihan. Tahap perencanaan ini akan menjadi
landasan pelaksanaan pelatihan.
Proses pelatihan kecakapan hidup dikembangkan berdasarkan beberapa
unsur yang turut berpengaruh pada pelaksanaannya. Pertama, pemberian tes awal.
Tes awal diterapkan untuk mengetahui kemampuan awal warga belajar yang
berkenaan dengan materi pelatihan yanag akan disampaikan. Melalui tes awal titik
tolak materi akan dikembangkan sesuai dengan hasilnya. Proses pelatihan juga
dipengaruhi oleh proses bimbingan fisik, mental, dan sosial yang sudah menjadi
program kerja Panti Sosial. Bimbingan tersebut biasanya dilaksanakan pada pagi
hari dan malam hari. Secara khusus, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi
input (warga belajar). Faktor-faktor tersebut adalah: lingkungan sekitar, keluarga,
ekonomi, dan sebagainya. Faktor tersebut merupakan faktor bawaan yang tidak
dapat dilepaskan pada diri warga belajar. Proses pelaksanaan pelatihan diakhiri
177
oleh pemberian tes akhir yang merupakan salah satu cara yang paling efekif untuk
menguji keberhasilan pelatihan lebih jauh lagi keberhasilan rancangan model.
Seluruh pelaksanaan tersebut merupakan tahap pelaksanaan model atau kegiatan
inti. Gambaran pelaksanaan pelatihan tersebut pun dapat dijadikan dasar dalam
merevisi program kegiatan. Revisi diperlukan pada saat menemukan bagian-
bagian pelatihan yang kurang optimal.
Proses pelatihan kecakapan hidup diharapkan mampu membentuk warga
belajar memiliki kemandirian secara fisik, mental, dan sosial. Di samping itu,
diharapkan juga dapat membentuk warga belajar yang memiliki kecakapan hidup
akademik, vokasional, sosial, dan personal. Semua karakteristik warga belajar
yang menjadi tujuan pelatihan tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi.
Hasil evaluasi perancangan pelatihan tersebut dapat mejadi dasar
pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Pengembangan dapat dilakukan
melalui pemberdayaan warga belajar ke bengkel-bengkel yang sudah menjalin
kerja sama, mendirikan koperasi, dan sebagainya. Paparan model pelatihan
tersebut merupakan dasar bagi pelaksanaan pelatihan (tahap implementasi model).
C. Implementasi Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial
Marsudi Putra Handayani Jakarta
1. Uji Coba Model Tahap I
Kegiatan implementasi (uji coba) model pelatihan kecakapan hidup dalam
peningkatan kemandirian anak tunalaras dilakukan melalui dua tahap. Pada uji
coba tahap 1, sumber belajar/tutor yang didampingi peneliti lebih aktif dalam
178
memberikan atau menyampaikan materi baik teori maupun praktik kepada warga
belajar selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Kegiatan ini dilakukan selain
untuk mengetahui hasil atau kesesuaian antara konsep dengan penerapannya, juga
untuk melihat kemungkinan adanya kelemahan dan hambatan yang akan segera
diperbaiki.
Pada uji coba tahap 2, sumber belajar/tutor mengurangi perannya dalam
kegiatan proses pelatihan. Sumber belajar yang tetap didampingi peneliti lebih
banyak melakukan pengamatan atau sebagai pemantau dan hanya sesekali
memberikan arahan bila dianggap masih ada kegiatan dari warga belajar yang
masih kurang sesuai. Pada tahap kedua ini lebih diarahkan agar setiap warga
belajar memiliki kemandirian dan pengalaman langsung dalam melakukan setiap
kegiatan.
a. Persiapan
Pada tahap persiapan, yaitu sebelum model konseptual diujicobkan atau
diimplementasikan, lagkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.
Pertama, melakukan diskusi dengan calon warga belajar yang diikuti oleh
aparatur Dinas Sosial Kota Jakarta sebagai pengelola (pekerja sosial), orang tua
asuh, dan instruktur. Fokus diskusi membahas tentang masalah-masalah sosial-
ekonomi, termasuk masalah pendidikan anak tunalaras, pelatihan yang efektif,
jalinan kerja sama dengan pihak luar (para penguasaha atau pemilik bengkel), dan
potensi-potensi ekonomi yang mungkin dan dapat dikembangkan.
Kedua, penentuan jensi-jenis kecakapan vokasional praktis yang dijadikan
materi pelatihan sesuai dengan kebutuhan belajar calon warga belajar pada
179
program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup.
Ketiga, melakukan koordinasi dengan pengelola Panti Asuhan Marsudi
Putra Handayani Jakarta, dalam hal ini ditujukan pada upaya menjalin kerja sama
dan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan program
kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup.
Keempat, penyiapan bahan belajar. Materi-materi pelatihan yang
dimasukan dalam program pelatihan keterampilan, disusun dalam bentuk bahan
belajar berdasarkan kebutuhan belajar calon warga belajar. Penyiapan materi-
materi bahan belajar dilakukan mulai bulan Juli sampai Agustus 2008. Peyusunan
bahan belajar tertulis dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa instansi
terkait, khususnya Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Jakarta yang
berkedudukan sebagai praktisi dalam penyusunan model bahan belajar. Setelah
melalui diskusi dan validasi, selanjutnya bahan belajar diperbanyak sesuai dengan
kebutuhan program pelatihan kecakapan hidup.
Kelima, penetapan nama calon warga belajar yang akan mengikuti
pelatihan kecakapan hidup. Jumlah seluruh warga belajar pelatihan sebanyak 60
orang. Keenampuluh warga belajar tersebut terbagi menjadi tiga kelompok, yakni
25 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional otomotif, 18 orang warga
belajar kelompok kecakapan vokasional pengelasan, dan 17 orang warga belajar
teknik pendingin.
Keenam, penetapan waktu dan tempat pelatihan. Sebelum kegiatan
pelatihan diselenggarakan, terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan
dengan tutor/fasilitator, dan perwakilan calon warga belajar Dari pertemuan
180
tersebut disepakati program dan jadwal kegiatan pelatihan untuk uji coba model
tahap I, sekaligus menyepakati jenis-jenis kecakapan vokasional yang akan
dipelajari dan menentukan tempat penyelenggaraan program pelatihan. Kegiatan
program pelatihan pada tahap I disepakai mulai tanggal 14 sampai 28 Pebruari
2008.
Ketujuh, persiapan peralatan pelatihan dan pelatihan, media/bahan
pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan, selain disiapkan sendiri oleh peneliti,
juga disiapkan oleh PSMP, dan fasilitator.
b. Pelaksanaan
Sebelum pelaksanaan eksperimen terlebih dahulu dilakukan tes awal
(pretest) kepada warga belajar sebagai subyek penelitian. Fokus tes yang
dilakukan secara tertulis hanya berorientasi pada dimensi pelatihan keterampilan.
Setelah warga belajar diberikan perlakuan dengan model program pelatihan
kecakapan hidup selanjutnya dilakukan tes akhir (posttest ).
Pemberian pretes, dilakukan secara tertulis, observasi, dan dengan
wawancara kepada seluruh warga belajar yang telah dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu kelompok pengelasan, kelompok teknik pendingin, dan kelompok teknik
otomotif. Materi yang diujicobakan berupa kegiatan praktik, dan aspek yang
diwawancarakan berkisar pada kemampuan awal atau yang telah dikuasai dari
masing-masing jenis kecakapan vokasional yang mereka ikuti. Materi pretes yang
diberikan kepada tiap kelompok terdiri dari materi kecakapan akademik sebanyak
15 item, materi kecakapan vokasional sebanyak 15 item, materi kecakapan
181
personal sebanyak 15 item, dan materi kecakapan sosial sebanyak 15 item.
Penilaian keempat aspek kecakapan tersebut dilakukan dengan menggunakan
pilihan berganda. Setiap item yang benar diberi skor 1 dan salah dengan skor 0,
serta benar semua diberi skor 15 (100%).
1) Kelompok Teknik Otomotif
Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah
dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya
dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan akademik
otomotif yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal
tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-
rata sebelum pelatihan sebesar 7,60 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7,
dan nilai maksimum 9.
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis
kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif
walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan
dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-
rata sebesar 7,28 nilai minimum 6 dan maksimum 9.
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan
informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah
secara kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang
yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan
182
kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 7
dan maksimum 8.
Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama
yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah
terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga
belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 6 dan
maksimum 9. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup otomotif dari keempat
aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan
kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis
kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.6 berikut:
TABEL 4.6
DATA HASIL PRETES
KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF
WB
Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33
2 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67
3 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67
4 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67
5 7 46.67 6 40.00 7 46.67 8 53.33
6 8 53.33 6 40.00 8 53.33 8 53.33
7 7 46.67 7 46.67 8 53.33 8 53.33
8 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67
9 7 46.67 6 40.00 7 46.67 7 46.67
10 8 53.33 7 46.67 8 53.33 7 46.67
11 8 53.33 6 40.00 8 53.33 8 53.33
12 9 60.00 7 46.67 8 53.33 8 53.33
13 9 60.00 8 53.33 8 53.33 8 53.33
183
1 2 3 4 5 6 7 8 9
14 8 53.33 8 53.33 7 46.67 8 53.33
15 8 53.33 7 46.67 7 46.67 8 53.33
16 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67
17 7 46.67 8 53.33 7 46.67 9 60.00
18 8 53.33 7 46.67 7 46.67 9 60.00
19 7 46.67 7 46.67 8 53.33 9 60.00
20 7 46.67 7 46.67 8 53.33 6 40.00
21 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 46.67
22 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33
23 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67
24 8 53.33 7 46.67 8 53.33 6 40.00
25 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67
Jumlah 190 1266.67 182 1213.333 189 1260 189 1260
Rata-
rata 7.60 50.67 7.28 48.53 7.56 50.40 7.56 50.40
2) Kelompok Teknik Pengelasan
Hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes
ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan
memerlukan pendalaman dari masing-masing materi teknik pengelasan.
Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga
belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,61
yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8.
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis
kecakapan praktis yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa
orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang
diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,28 nilai
minimum 6 dan maksimum 8.
184
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan
informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah
secara kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang
yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan
kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,44 nilai minimum 7
dan maksimum 8.
Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama
yang berkenaan dengan tekinik pengelasan walaupun ada beberapa orang yang
sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada
warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,33 nilai minimum 7 dan
maksimum 8.
Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pengelasan dari keempat
aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan
kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis
kecakapan hidup dapat dilihat dalam tabel 4.7 berikut.
TABEL 4.7
HASIL PRETES
KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33
2 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 46.67
3 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67
185
WB Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
4 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67
5 8 53.33 6 40.00 7 46.67 8 53.33
6 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33
7 7 46.67 7 46.67 8 53.33 8 53.33
8 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67
9 7 46.67 6 40.00 7 46.67 7 46.67
10 8 53.33 7 46.67 8 53.33 7 46.67
11 8 53.33 6 40.00 8 53.33 7 46.67
12 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67
13 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67
14 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67
15 8 53.33 7 46.67 7 46.67 8 53.33
16 7 46.67 7 46.67 7 46.67 7 46.67
17 7 46.67 7 46.67 7 46.67 8 53.33
18 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67
Jumlah 137.00 913.33 131.00 873.33 134.00 893.33 132.00 880.00
Rata-rata 7.61 50.74 7.28 48.52 7.44 49.63 7.33 48.89
3) Kelompok Teknik Pendingin
Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek
kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan
kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui
sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan
vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan
dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu
memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,88 yang menunjukkan
nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8.
186
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis
kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin
walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan
dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-
rata sebesar 7,76 nilai minimum 7 dan maksimum 9.
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan masih belum terampil menggali dan menemukan
informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah
secara kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa
orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan
kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,71 nilai minimum 7
dan maksimum 9.
Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama
yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang
sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada
warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,59 nilai minimum 7 dan
maksimum 9.
Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat
aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan
kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis
kecakapan ini dapat dilihat dalam tabel 4.8 berikut:
187
TABEL 4.8
HASIL PRETES
KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN
WB
Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 2 3 4 5 6 7
1 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67
2 9 60.00 7 46.67 7 46.67 9 60.00
3 8 53.33 8 53.33 9 60.00 8 53.33
4 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67
5 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67
6 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33
7 9 60.00 7 46.67 7 46.67 7 46.67
8 9 60.00 7 46.67 7 46.67 7 46.67
9 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67
10 9 60.00 9 60.00 8 53.33 7 46.67
11 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33
12 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67
13 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33
14 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67
15 9 60.00 9 60.00 8 53.33 9 60.00
16 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33
17 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33
Jumlah 134.00 893.33 132.00 880.00 131.00 873.33 129.00 860.00
Rata-rata 7.88 52.55 7.76 51.76 7.71 51.37 7.59 50.59
Setelah diketahui hasil dari tes awal, langkah selanjutnya dilakukan uji
coba model pelatihan dan pengujian bahan belajar. Kegiatan tes awal bertujuan
188
untuk mengetahui di bidang mana saja yang dianggap lemah oleh warga belajar,
yang selanjutnya akan diberikan penekanan-penekanan khusus pada bidang yang
dianggap lemah tersebut. Sebelum warga belajar mempraktikkan secara langsung,
masing-masing kelompok didampingi oleh para tutor dan sumber belajarnya.
Materi yang diberikan pada saat uji coba, diawali oleh nara sumber dengan
menjelaskan dan mempraktikkan masing-masing jenis keterampilan. Setiap akhir
penjelasan dari masing-masing keterampilan, warga belajar disuruh menanyakan
hal-hal yang dianggap kurang jelas. Kemudian tiap-tiap warga belajar disuruh
mempraktikkan materi yang telah diberikan dalam dan diujicobakan tutor.
Sedangkan untuk pengujian bahan belajar, kepada warga belajar juga dibagikan
satu buah bahan belajar atau modul dari masing-masing jenis keterampilan. Setiap
warga belajar diminta untuk memberikan tanggapan atas isi dan bentuk bahan
belajar yang telah dibagikan. Kalau materi teknis dari keempat jenis kecakapan
vokasional diberikan secara terpisah kepada masing-masing kelompok, maka
pemberian materi umum yang berkenaan kemandirian seperti kemandirian secara
fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), kemandirian secara mental (dapat
berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan
gagasan) dan kemandirian secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri).
c. Penilaian (Evaluasi)
Kegiatan penilaian (evaluasi) dilakukan sesuai rancangan dan persiapan
model yang telah ditetapkan. Penilaian selain bertujuan untuk melihat hasil
kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan melalui tes akhir
(postes), juga untuk melihat bagaimana proses dari keseluruhan kegiatan pelatihan
189
yang telah dilaksanakan. Kegiatan postes dilaksanakan dengan membagikan
lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan yang telah diberikan kepada
keempat kelompok sesuai jenis keterampilannya. Hasil tes dibantu dengan hasil
wawancara, dan hasil pengamatan atau observasi. Kegiatan pengamatan dilakukan
selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Hasil postes pada uji coba tahap
pertama adalah sebagai berikut.
1) Kelompok Otomotif
Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah
dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar sudah menunjukkan adanya
peningkatan kecakapan akademik. Peningkatan ini diperoleh setelah warga belajar
mengikuti proses pelatihan.
Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada aspek kecakapan
akademik warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan
sebesar 12,32 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum
13. Selanjutnya untuk menguji sigfikansinnya digunakan uji t karena data
merupakan skala interval dan berdasarkan uji normalitas diperoleh kesimpulan
baik data pretes dan postes mengikuti distribusi normal.
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan
akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada
beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal
yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,76 nilai
minimum 11 dan maksimum 14.
190
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara
kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang
sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan
kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,56 nilai minimum 11
dan maksimum 14.
Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
belajar dinyatakan masih terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang
berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil.
Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar,
diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,92 nilai minimum 11 dan maksimum 14.
Secara rinci, hasil postes kecakapan vokasional otomotif dari keempat
aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan
kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis
kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut.
TABEL 4.9
HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I
KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 12 80.00 13 86.67 14 93.33 10 66.67
2 12 80.00 13 86.67 12 80.00 12 80.00
3 12 80.00 11 73.33 11 73.33 11 73.33
191
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
4 11 73.33 11 73.33 11 73.33 13 86.67
5 11 73.33 12 80.00 12 80.00 12 80.00
6 12 80.00 13 86.67 13 86.67 13 86.67
7 12 80.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33
8 13 86.67 14 93.33 14 93.33 11 73.33
9 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67
10 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67
11 12 80.00 14 93.33 14 93.33 11 73.33
12 11 73.33 12 80.00 14 93.33 12 80.00
13 13 86.67 12 80.00 14 93.33 11 73.33
14 13 86.67 13 86.67 11 73.33 13 86.67
15 12 80.00 13 86.67 11 73.33 13 86.67
16 12 80.00 14 93.33 12 80.00 11 73.33
17 14 93.33 12 80.00 13 86.67 12 80.00
18 13 86.67 12 80.00 13 86.67 11 73.33
19 13 86.67 12 80.00 14 93.33 12 80.00
20 13 86.67 12 80.00 12 80.00 13 86.67
21 12 80.00 14 93.33 14 93.33 11 73.33
22 11 73.33 13 86.67 11 73.33 11 73.33
23 13 86.67 13 86.67 11 73.33 13 86.67
24 13 86.67 13 86.67 13 86.67 11 73.33
25 12 80.00 13 86.67 11 73.33 11 73.33
Jumlah 308 2053.3 319 2126.7 314 2093.3 298 1986.7
Rata-
rata 12.32 82.13 12.76 85.07 12.56 83.73 11.92 79.47
Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap pertama, ternyata warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan
penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan
postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.10 sebagai berikut.
192
TABEL 4.10
PENINGKATAN HASIL PRETES - POSTES UJI COBA TAHAP I
PADA KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF
WB
Jumlah Skor
Akademik Vokasional Personal Sosial
Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain
1 7 12 5.00 8 13 5.00 8 14 6.00 8 10 2.00
2 7 12 5.00 8 13 5.00 8 12 4.00 7 12 5.00
3 7 12 5.00 8 11 3.00 7 11 4.00 7 11 4.00
4 7 11 4.00 8 11 3.00 7 11 4.00 7 13 6.00
5 7 11 4.00 6 12 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00
6 8 12 4.00 6 13 7.00 8 13 5.00 8 13 5.00
7 7 12 5.00 7 14 7.00 8 13 5.00 8 14 6.00
8 8 13 5.00 7 14 7.00 7 14 7.00 7 11 4.00
9 7 13 6.00 6 13 7.00 7 13 6.00 7 13 6.00
10 8 13 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 7 13 6.00
11 8 12 4.00 6 14 8.00 8 14 6.00 8 11 3.00
12 9 11 2.00 7 12 5.00 8 14 6.00 8 12 4.00
13 9 13 4.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 11 3.00
14 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 8 13 5.00
15 8 12 4.00 7 13 6.00 7 11 4.00 8 13 5.00
16 7 12 5.00 8 14 6.00 7 12 5.00 7 11 4.00
17 7 14 7.00 8 12 4.00 7 13 6.00 9 12 3.00
18 8 13 5.00 7 12 5.00 7 13 6.00 9 11 2.00
19 7 13 6.00 7 12 5.00 8 14 6.00 9 12 3.00
20 7 13 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00 6 13 7.00
21 8 12 4.00 8 14 6.00 8 14 6.00 7 11 4.00
22 8 11 3.00 8 13 5.00 8 11 3.00 8 11 3.00
23 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 7 13 6.00
24 8 13 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 6 11 5.00
25 7 12 5.00 7 13 6.00 8 11 3.00 7 11 4.00
Jumlah 190 308 118.00 182 319 137.00 189 314 125.00 189 298 109.00
Rata-
rata 7.60 12.32 4.72 7.28 12.76 5.48 7.56 12.56 5.00 7.56 11.92 4.36
Dari hasil analisis uji coba lapangan ditemukan; bahwa secara deskriptif
model yang dikembangkan telah dianggap layak, namun masih ada beberapa
193
faktor yang perlu diperbaiki dalam implementasi tahap berikutnya, yaitu: (a)
waktu praktik bagi warga belajar yang perlu diperbanyak, (b) bahan belajar lebih
disederhanakan, dan (memperbanyak kegiatan praktik. Sedangkan setelah
pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup diidentifikasi: (a) perlunya program
pembinaan lanjutan dan (b) pembentukan jaringan kemitraan dalam pemagangan
dengan kelompok usaha.
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes,
kecakapan hidup warga belajar dianggap masih belum memuaskan. Hasil
penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah uji
coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,72 (31,47%); materi
kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,48 (36,53%); kecakapan
personal mengalami kenaikan sebesar 5 (33,33%); dan kecakapan sosial
mengalami kenaikan sebesar 4,36 (29,07%).
2) Kelompok Teknik Pengelasan
Sama halnya dengan kecakapan hidup yang lain, hasil pengujian pada
aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar
masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-
masing materi teknik pengelasan.
Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada aspek kecakapan
akademik warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan
sebesar 12,61 yang menunjukkan nilai minimum 11 dan nilai maksimum 14.
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan
194
akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pengelasan walaupun
ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal
yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,83 nilai
minimum 11 dan maksimum 14.
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara
kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang
sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan
kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,22 nilai minimum 11
dan maksimum 14.
Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
belajar dinyatakan masih belum terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang
berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil.
Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar,
diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,13 nilai minimum 11 dan maksimum 13.
Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat
aspek (kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial) pada tahap I
terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat
dilihat dalam tabel 4.11 berikut.
195
TABEL 4.11
HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I
KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN
WB
Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 13 86.67 14 93.33 12 80.00 12 80.00
2 13 86.67 12 80.00 12 80.00 12 80.00
3 12 80.00 14 93.33 11 73.33 13 86.67
4 13 86.67 13 86.67 11 73.33 11 73.33
5 11 73.33 12 80.00 12 80.00 12 80.00
6 12 80.00 13 86.67 12 80.00 13 86.67
7 12 80.00 13 86.67 13 86.67 13 86.67
8 13 86.67 12 80.00 11 73.33 11 73.33
9 14 93.33 13 86.67 12 80.00 13 86.67
10 13 86.67 12 80.00 13 86.67 12 80.00
11 12 80.00 14 93.33 12 80.00 11 73.33
12 11 73.33 12 80.00 11 73.33 12 80.00
13 13 86.67 14 93.33 14 93.33 11 73.33
14 14 93.33 12 80.00 11 73.33 12 80.00
15 12 80.00 14 93.33 12 80.00 13 86.67
16 12 80.00 12 80.00 14 93.33 12 80.00
17 13 86.67 11 73.33 13 86.67 12 80.00
18 14 93.33 14 93.33 14 93.33 11 73.33
Jumlah 227.00 1513.33 231.00 1540.00 220.00 1466.67 216.00 1440.00
Rata-
rata 12.61 84.07 12.83 85.56 12.22 81.48 12.00 80.00
Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap pertama, sebagian warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan
penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes
yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut ini.
196
TABEL 4.12
PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES UJI COBA TAHAP I
PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN
WB
Jumlah Skor
Akademik Vokasional Personal Sosial
Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain
1 7 13 6.00 8 14 6.00 8 12 4.00 8 12 4.00
2 8 13 5.00 8 12 4.00 8 12 4.00 7 12 5.00
3 8 12 4.00 8 14 6.00 7 11 4.00 7 13 6.00
4 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 7 11 4.00
5 8 11 3.00 6 12 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00
6 8 12 4.00 8 13 5.00 8 12 4.00 8 13 5.00
7 7 12 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 8 13 5.00
8 8 13 5.00 7 12 5.00 7 11 4.00 7 11 4.00
9 7 14 7.00 6 13 7.00 7 12 5.00 7 13 6.00
10 8 13 5.00 7 12 5.00 8 13 5.00 7 12 5.00
11 8 12 4.00 6 14 8.00 8 12 4.00 7 11 4.00
12 7 11 4.00 7 12 5.00 8 11 3.00 7 12 5.00
13 7 13 6.00 8 14 6.00 8 14 6.00 7 11 4.00
14 8 14 6.00 8 12 4.00 7 11 4.00 7 12 5.00
15 8 12 4.00 7 14 7.00 7 12 5.00 8 13 5.00
16 7 12 5.00 7 12 5.00 7 14 7.00 7 12 5.00
17 7 13 6.00 7 11 4.00 7 13 6.00 8 12 4.00
18 8 14 6.00 8 14 6.00 7 14 7.00 7 11 4.00
Jumlah 137 227 90.00 131 231 100.00 134 220 86.00 132 216 84.00
Rata-
rata 7.61 12.61 5.00 7.28 12.83 5.56 7.44 12.22 4.78 7.33 12.00 4.67
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes,
kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap masih belum
memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-
rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 5,00
(33,33%); materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,56
(37,07%); kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 4,78 (33,33%); dan
kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,67 (31,87%).
197
3) Kelompok Teknik Pendingin
Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek
kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan
kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui
sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan
vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan
dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu
memperoleh nilai rata-rata sesudah pelatihan tahap I sebesar 12,76 yang
menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum 14.
Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan
akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun
ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal
yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,59 nilai
minimum 11 dan maksimum 14.
Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh
warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi,
mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara
kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang
yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada
warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,71 nilai minimum 11 dan
maksimum 14.
Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga
198
belajar dinyatakan masih terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang
berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah
terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga
belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,41 nilai minimum 11 dan maksimum
14.
Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat
aspek (kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial) pada tahap I
terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan hidup dapat dilihat
dalam tabel 4.13 berikut.
TABEL 4.13
HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I
KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 12 80.00 13 86.67 11 73.33 12 80.00
2 14 93.33 12 80.00 13 86.67 13 86.67
3 14 93.33 12 80.00 14 93.33 14 93.33
4 11 73.33 11 73.33 12 80.00 11 73.33
5 11 73.33 13 86.67 11 73.33 13 86.67
6 13 86.67 13 86.67 12 80.00 13 86.67
7 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67
8 14 93.33 14 93.33 12 80.00 11 73.33
9 13 86.67 12 80.00 13 86.67 13 86.67
10 13 86.67 12 80.00 12 80.00 11 73.33
11 12 80.00 12 80.00 14 93.33 13 86.67
12 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67
13 12 80.00 12 80.00 14 93.33 12 80.00
14 14 93.33 12 80.00 14 93.33 12 80.00
15 13 86.67 14 93.33 12 80.00 13 86.67
16 12 80.00 12 80.00 12 80.00 12 80.00
199
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
17 12 80.00 14 93.33 13 86.67 12 80.00
Jumlah 217 1446.67 214 1426.7 216 1440 211 1406.7
Rata-rata 12.76 85.10 12.59 83.92 12.71 84.71 12.41 82.75
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap pertama, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan
adanya peningkatan penguasaan materi, baik pada aspek kecakapan akademik,
kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Peningkatan
aspek kecakapan akademik merujuk pada pengertian bahwa kecakapan akademik
warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan
vokasional menunjukkan pengertian bahwa keterampilan warga belajar pada
teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan personal menunjukkan
pengertian bahwa kecakapan menggali dan menemukan informasi, mengolah
informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif warga
belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan sosial
menunjukkan pengertian bahwa keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama
warga belajar pada teknik pendingin pun telah meningkat. Itu menunjukkan
bahwa para warga belajar telah mengalami peningkatan dalam berbagai aspek
kecakapan.
Penguasaan materi tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang
hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.14 sebagai berikut.
200
TABEL 4.14
PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES DARI UJI COBA TAHAP I
PADA KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN
WB
Jumlah Skor
Akademik Vokasional Personal Sosial
Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain
1 8 12 4.00 7 13 6.00 7 11 4.00 7 12 5.00
2 9 14 5.00 7 12 5.00 7 13 6.00 9 13 4.00
3 8 14 6.00 8 12 4.00 9 14 5.00 8 14 6.00
4 7 11 4.00 7 11 4.00 8 12 4.00 7 11 4.00
5 7 11 4.00 7 13 6.00 8 11 3.00 7 13 6.00
6 8 13 5.00 8 13 5.00 8 12 4.00 8 13 5.00
7 9 14 5.00 7 13 6.00 7 14 7.00 7 13 6.00
8 9 14 5.00 7 14 7.00 7 12 5.00 7 11 4.00
9 8 13 5.00 8 12 4.00 7 13 6.00 7 13 6.00
10 9 13 4.00 9 12 3.00 8 12 4.00 7 11 4.00
11 8 12 4.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 13 5.00
12 7 13 6.00 8 13 5.00 8 13 5.00 7 13 6.00
13 7 12 5.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 12 4.00
14 7 14 7.00 8 12 4.00 7 14 7.00 7 12 5.00
15 9 13 4.00 9 14 5.00 8 12 4.00 9 13 4.00
16 7 12 5.00 8 12 4.00 8 12 4.00 8 12 4.00
17 7 12 5.00 8 14 6.00 8 13 5.00 8 12 4.00
Jumlah 134 217 83.00 132 214 82.00 131 216 85.00 129 211 82.00
Rata-rata 7.88 12.76 4.88 7.76 12.59 4.82 7.71 12.71 5.00 7.59 12.41 4.82
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes,
kecakapan akademik dan kemampuan warga belajar dianggap cukup memuaskan.
Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah
uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,88 (32,53%); materi
kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 4,82 (32,13%); kecakapan
personal mengalami kenaikan sebesar 5 (33,33%); dan kecakapan sosial
mengalami kenaikan sebesar 4,82 (32,13%).
201
Hasil analisis dari kegiatan uji coba tahap pertama menunjukkan bahwa
kegiatan uji coba masih perlu ditingkatkan atau ditambah lagi. Dari hasil
pengamatan dan wawancara dengan para peserta, diketahui bahwa implementasi
dari model yang dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka. Metode
penilaian program yang penulis terapkan telah sesuai menurut pemahaman
mereka, ternyata program pelatihan kecakapan hidup melalui empat kecakapan
hidup tersebut yang diterapkan mampu memberikan kontribusi kepada para
peserta dalam menumbuhkan kemandirian warga belajar. Akan tetapi, apabila
dilihat dari skor yang dihasilkan masih terdapat beberapa kekurangan, seperti
belum adanya peserta yang belum mampu mencapai nilai sampai 100%. Tidak
maksimalnya perolehan skor lebih banyak disebabkan oleh waktu, keterlibatan
warga belajar yang terbatas, dan materi pelatihan yang belum optimal dalam
praktiknya. Oleh sebab itu, masih perlu diberikan beberapa pengulangan dan
penambahan materi lain yang berkaitan dengan program pembinaan lanjutan agar
warga belajar memiliki kecakapan hidup pada empat kecakapan hidup tersebut
yang pada akhirnya mampu mencapai kemandirian secara ekonomi (mencukupi
kebutuhan sendiri).
2. Uji Coba Model Tahap II
a. Persiapan
Sebagaimana yang dilakukan pada tahap uji coba tahap I, persiapan
kegiatan untuk pelaksanaan uji coba model pada tahap II hampir sama dengan
tahap pertama. Hanya saja pada tahap II langkah-langkahnya yang ditempuh
202
sedikit lebih praktis, yaitu sebagai berikut.
Pertama, memeriksa hasil uji coba tahap I dan melakukan pertemuan
dengan petugas-petugas yang terlibat dalam kegiatan pelatihan untuk merevisi
hal-hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan uji coba tahap II.
Kedua, mengadakan pertemuan dengan warga belajar untuk menentukan
dan menyepakati hal-hal dari jenis kecakapan vokasional yang masih dianggap
kurang dan perlu diperdalam. Uji coba tahap II dimulai pada tanggal 14 - 28
Maret 2008 yang tetap diikuti oleh 60 orang warga belajar, yang selanjutnya
kembali dibagi menjadi tiga kelompok kecil sesuai jenis kecakapan hiidup yang
diikuti yaitu: otomotif, pengelasan, dan teknik pendingin.
Ketiga, peneliti kembali menyiapkan berbagai keperluan kegiatan program
pelatihan kecakapan vokasional bersama warga belajar, tutor, dan para pengelola
yang terlibat. Berbagai keperluan tersebut antara lain; tempat, kurikulum, dan
peralatan/bahan-bahan yang diperlukan.
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan eksperimen (uji coba tahap II) tanpa tes awal (pretes t),
karena pesertanya yang masih sama maka tetap menggunakan atau mengambil
hasil postes pada tahap I.
Program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup
berbasis masyarakat, dirancang agar warga belajar dapat mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan serta profesionalisme dalam bekerja. Kemampuan ini
bersifat makro, yang perlu dijabarkan dalam seperangkat kecakapan seperti;
akademik, vokasional, personal, dan sosial sehingga strategi pelatihan yang
203
diterapkan dalam pelatihannya adalah untuk:
1) mengembangkan wawasan baru tentang pentingnya kemandirian hidup
secara fisik, mental, dan sosial demi keberlangsungan hidup di
masyarakat dan menjalankan usaha;
2) memotivasi warga belajar agar mampu memanfaatkan kecakapan
akademik dan keterampilannya, serta dapat menganalisis dan
mengkonstruksikan rencana pengembangannya setelah kembali ke
masyarakat; dan
3) mengupayakan agar warga belajar (anak tunalaras) memiliki kemampuan
dalam merencanakan dan menggunakan kecakapan vokasional yang
dikuasainya dan mendorong diaplikasikannya kecakapan hidup tersebut
sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Proses pelatihan melalui pelatihan kecakapan hidup lebih banyak
dilakukan untuk praktik dan pendalaman. Secara tutorial, kepada warga belajar
juga diberikan pemantapan kembali mengenai materi kecakapan akademik
tentang kegiatan teknis atau praktik yang dirasa waktunya masih kurang, serta
materi tentang cara menjadi karyawan yang baik, pembinaan
lanjutan/pendampingan dan kemitraan yang juga sangat diperlukan peserta
terutama dalam menjalankan usaha.
c. Penilaian (Evaluasi)
Kegiatan penilaian dilakukan dengan tujuan untuk melihat hasil
kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan sejak dari mulai tahap I
204
sampai tahap II. Pada tahap II ini, kegiatan penilaian dilakukan untuk melihat
hasil dari proses pelatihan terhadap peningkatan kecakapan akademik, kecakapan
vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial warga belajar, yang cara
penilaiannya dilakukan melalui tes akhir (postes ). Kegiatan postes dilaksanakan
dengan membagikan lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan hidup
yang telah diberikan kepada ketiga kelompok sesuai jenis kecakapan hidup
masing-masing. Hasil tes tetap dibantu dengan hasil wawancara, dan pengamatan
atau observasi.
Hasil dari kegiatan evaluasi akhir menunjukkan bahwa warga belajar
setelah mengikuti pelatihan kecakapan hidup, telah dapat meningkatkan
kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan
sosial seperti kesadaran memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam mengikuti
pelatihan dan kesediaan untuk beradaptasi di masyarakat serta berkeinginan untuk
mandiri. Hasil evaluasi akhir terhadap 60 orang warga belajar ternyata telah
menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Gambaran hasil peningkatan yang
diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan
Peningkatan tersebut juga dapat dilihat dari nilai minimum dan maksimum
yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan atau setelah akhir uji coba
tahap kedua. Berdasarkan hasil evaluasi akhir dari dua uji coba yang telah
dilaksanakan, ternyata kegiatan pelatihan kecakapan hidup secara umum mampu
meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan persoal,
dan kecakapan sosial warga belajar. Untuk melihat hasil yang diperoleh dari
kedua kelompok setelah mengikuti pelatihan dapat dilihat sebagai berikut.
205
1) Kelompok Teknik Otomotif
a) Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,44
(89,60%).
b) Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,84
(92,70%).
c) Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,76
(91,71%).
d) Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,04
(86,93%).
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan
adanya peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat dari hasil tes akhir yang dapat
dilihat pada tabel 4.15 sebagai berikut.
TABEL 4.15
HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II
KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 13 86.67 15 100.00 14 93.33 13 86.67
2 14 93.33 14 93.33 14 93.33 12 80.00
3 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67
4 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33
206
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
5 13 86.67 14 93.33 13 86.67 13 86.67
6 13 86.67 14 93.33 14 93.33 13 86.67
7 13 86.67 15 100.00 13 86.67 14 93.33
8 14 93.33 15 100.00 14 93.33 13 86.67
9 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67
10 14 93.33 14 93.33 13 86.67 13 86.67
11 12 80.00 15 100.00 14 93.33 13 86.67
12 13 86.67 13 86.67 14 93.33 12 80.00
13 13 86.67 14 93.33 14 93.33 13 86.67
14 14 93.33 13 86.67 13 86.67 13 86.67
15 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67
16 12 80.00 15 100.00 12 80.00 14 93.33
17 14 93.33 14 93.33 15 100.00 12 80.00
18 13 86.67 12 80.00 14 93.33 14 93.33
19 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33
20 14 93.33 12 80.00 14 93.33 13 86.67
21 13 86.67 15 100.00 14 93.33 13 86.67
22 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67
23 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33
24 14 93.33 13 86.67 14 93.33 12 80.00
25 13 86.67 15 100.00 13 86.67 12 80.00
Jumlah 336 2240 346 2306.7 344 2293.3 326 2173.3
Rata-rata 13.44 89.60 13.84 92.27 13.76 91.73 13.04 86.93
2) Kelompok Teknik Pengelasan
a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,11
(94,070%).
b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,39
207
(95,93%).
c. Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,89
(92,59%).
d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,61
(90,74%).
Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan
adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut
terlihat dari hasil tes akhir uji coba tahap II yang dapat dilihat pada tabel 4.16
sebagai berikut.
TABEL 4.16
HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II
KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 14 93.33 15 100.00 13 86.67 12 80.00
2 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67
3 15 100.00 15 100.00 13 86.67 14 93.33
4 14 93.33 14 93.33 13 86.67 12 80.00
5 14 93.33 14 93.33 14 93.33 12 80.00
6 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33
7 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67
8 15 100.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33
9 15 100.00 14 93.33 14 93.33 14 93.33
10 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33
11 13 86.67 15 100.00 15 100.00 14 93.33
12 13 86.67 15 100.00 15 100.00 15 100.00
13 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67
208
WB Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
14 15 100.00 13 86.67 13 86.67 15 100.00
15 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33
16 14 93.33 15 100.00 13 86.67 14 93.33
17 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33
18 15 100.00 14 93.33 15 100.00 14 93.33
Jumlah 254.00 1693.33 259.00 1726.67 250.00 1666.67 245.00 1633.33
Rata-rata 14.11 94.07 14.39 95.93 13.89 92.59 13.61 90.74
3) Kelompok Teknik Pendingin
a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,41
(96,08%).
b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,94
(92,94%).
c. Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 14,29
(95,29%).
d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai
minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,88
(95,55%).
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan
adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut
terlihat dari hasil tes akhir yang dapat dilihat pada tabel 4.17 sebagai berikut:
209
TABEL 4.17
HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II
KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN
WB Jumlah Skor
Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %
1 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33
2 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33
3 15 100.00 15 100.00 15 100.00 15 100.00
4 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33
5 15 100.00 14 93.33 15 100.00 14 93.33
6 15 100.00 13 86.67 14 93.33 13 86.67
7 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33
8 15 100.00 14 93.33 12 80.00 14 93.33
9 15 100.00 14 93.33 15 100.00 13 86.67
10 15 100.00 12 80.00 13 86.67 14 93.33
11 15 100.00 13 86.67 15 100.00 15 100.00
12 15 100.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33
13 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33
14 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33
15 13 86.67 14 93.33 15 100.00 13 86.67
16 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33
17 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67
Jumlah 245.00 1633.33 237.00 1580.00 243.00 1620.00 236.00 1573.33
Rata-
rata 14.41 96.08 13.94 92.94 14.29 95.29 13.88 92.55
D. Deskripsi Uji Efektivitas Model
1. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kuantitatif
(Statistik)
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian
(warga belajar) sebanyak 60 orang yang telah menerima pretes dan postes, maka
diadakan pengolahan data dengan penghitungan statistik untuk mengetahui
210
perbedaan kemampuan yang berkenaan dengan kemampuan kecakapan akademik,
kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial bidang
kecakapan hidup (teknik otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin).
Berikut akan diuraikan hasil pengujian untuk keempat aspek tersebut.
a. Teknik Otomotif
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba baik
tahap 1 maupun tahap 2 sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan
materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil postes yang
hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.18 sebagai berikut:
TABEL 4.18
PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II
KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF
WB
Jumlah Skor
Akademik Vokasional Personal Sosial
Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain
1 12 13 1.00 13 15 2.00 14 14 0.00 10 13 3.00
2 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 12 12 0.00
3 12 14 2.00 11 13 2.00 11 14 3.00 11 13 2.00
4 11 14 3.00 11 13 2.00 11 14 3.00 13 14 1.00
5 11 13 2.00 12 14 2.00 12 13 1.00 12 13 1.00
6 12 13 1.00 13 14 1.00 13 14 1.00 13 13 0.00
7 12 13 1.00 14 15 1.00 13 13 0.00 14 14 0.00
8 13 14 1.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00
9 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 13 13 0.00
10 13 14 1.00 13 14 1.00 13 13 0.00 13 13 0.00
11 12 12 0.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00
12 11 13 2.00 12 13 1.00 14 14 0.00 12 12 0.00
13 13 13 0.00 12 14 2.00 14 14 0.00 11 13 2.00
14 13 14 1.00 13 13 0.00 11 13 2.00 13 13 0.00
15 12 13 1.00 13 13 0.00 11 13 2.00 13 13 0.00
16 12 12 0.00 14 15 1.00 12 12 0.00 11 14 3.00
17 14 14 0.00 12 14 2.00 13 15 2.00 12 12 0.00
18 13 13 0.00 12 12 0.00 13 14 1.00 11 14 3.00
19 13 14 1.00 12 14 2.00 14 14 0.00 12 14 2.00
211
WB Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
Jumlah
Skor WB
20 13 14 1.00 12 12 0.00 12 14 2.00 13 13 0.00
21 12 13 1.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00
22 11 14 3.00 13 15 2.00 11 15 4.00 11 13 2.00
23 13 14 1.00 13 13 0.00 11 14 3.00 13 14 1.00
24 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 11 12 1.00
25 12 13 1.00 13 15 2.00 11 13 2.00 11 12 1.00
Jumlah 308 336 28.00 319 346 27.00 314 344 30.00 298 326 28.00
Rata-
rata 12.32 13.44 1.12 12.76 13.84 1.08 12.56 13.76 1.20 11.92 13.04 1.12
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan
tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah
memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-
rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,12
(7,46%); kecakapan vokasional sebesar 1,08 (7,2%); kecakapan personal sebesar
1,20 (8%); kecakapan sosial sebesar 1,12 (7,46%).
Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa
rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,56 : 4 = 12,39 atau (12,32 + 12,76 + 12,56
+11,92): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 54,08: 4 =
13,52 atau (13,44+13,84+13,76+13,04): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa
kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka.
Berdasarkan hasil Uji t terhadap 25 orang warga belajar sebelum dan sesudah
PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.19. berikut.
212
Tabel 4.19
Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II
N Mean Min Max
Tahap I 25 12,39 12 14
Tahap II 25 13,52 12 15
Dari tabel 4.21. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 13,52
ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,39. Dengan demikian, terdapat
perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 4,32
sedangkan t tabel (0,005) = 2,80. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada
perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan Tes tahap II.
b. Teknik Pengelasan
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi.
Peningkatan penguasaan materi tersebut secara umum menunnjukkan bahwa
model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak
tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diujicobakan
berhasil. Keberhasilan tersebut terlihat dari hasil postes tahap 2 yang hasilnya
dapat dilihat pada tabel 4.20 sebagai berikut:
213
TABEL 4.20
PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II
PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN
WB
Jumlah Skor
Akademik Vokasional Personal Sosial
Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain
1 13 14 1.00 14 15 1.00 12 13 1.00 12 12 0.00
2 13 13 0.00 12 13 1.00 12 13 1.00 12 13 1.00
3 12 15 3.00 14 15 1.00 11 13 2.00 13 14 1.00
4 13 14 1.00 13 14 1.00 11 13 2.00 11 12 1.00
5 11 14 3.00 12 14 2.00 12 14 2.00 12 12 0.00
6 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00
7 12 14 2.00 13 15 2.00 13 15 2.00 13 13 0.00
8 13 15 2.00 12 14 2.00 11 13 2.00 11 14 3.00
9 14 15 1.00 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00
10 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00
11 12 13 1.00 14 15 1.00 12 15 3.00 11 14 3.00
12 11 13 2.00 12 15 3.00 11 15 4.00 12 15 3.00
13 13 14 1.00 14 15 1.00 14 15 1.00 11 13 2.00
14 14 15 1.00 12 13 1.00 11 13 2.00 12 15 3.00
15 12 14 2.00 14 15 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00
16 12 14 2.00 12 15 3.00 14 13 -1.00 12 14 2.00
17 13 14 1.00 11 15 4.00 13 14 1.00 12 14 2.00
18 14 15 1.00 14 14 0.00 14 15 1.00 11 14 3.00
Jumlah 227 254 27.00 231 259 28.00 220 250 30.00 216 245 29.00
Rata-
rata 12.61 14.11 1.50 12.83 14.39 1.56 12.22 13.89 1.67 12.00 13.61 1.61
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan
tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah
memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-
rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,50 (10%);
kecakapan vokasional sebesar 1,56 (10,4%); kecakapan personal sebesar 1,67
(11,13%); kecakapan sosial sebesar 1,61 (10,73%).
Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa
214
rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,66 : 4 = 12,415 atau (12,61 + 12,83 + 12,22
+12,00): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56: 4 = 14
atau (14,11+14,39+13,89+13,61): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan
PKH terhadap warga belajar pada teknik pengelasan memiliki pengaruh kepada
mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 18 orang warga belajar sebelum dan
sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.21. berikut :
Tabel 4.21
Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II
N Mean Min Max
Tahap I 18 12,415 11 14
Tahap II 18 14 12 15
Dari tabel 4.22. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 14,00
ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,415. Dengan demikian, terdapat
perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 8,78
sedangkan t tabel (0,005) = 2,90. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada
perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.
c. Teknik Pendingin
Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada
tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan kecakapan. Peningkatan
Peningkatan tersebut terlihat dari hasil postes yang hasilnya dapat dilihat pada
tabel 4.22 sebagai berikut:
215
TABEL 4.22
PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II
KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN
WB
Jumlah Skor
Akademik Vokasional Personal Sosial
Tahap
1 Tahap 2 Gain
Tahap
1 Tahap 2 Gain
Tahap
1 Tahap 2 Gain
Tahap
1 Tahap 2 Gain
1 12 14 2.00 13 15 2.00 11 14 3.00 12 14 2.00
2 14 14 0.00 12 15 3.00 13 14 1.00 13 14 1.00
3 14 15 1.00 12 15 3.00 14 15 1.00 14 15 1.00
4 11 14 3.00 11 14 3.00 12 15 3.00 11 14 3.00
5 11 15 4.00 13 14 1.00 11 15 4.00 13 14 1.00
6 13 15 2.00 13 13 0.00 12 14 2.00 13 13 0.00
7 14 14 0.00 13 14 1.00 14 15 1.00 13 14 1.00
8 14 15 1.00 14 14 0.00 12 12 0.00 11 14 3.00
9 13 15 2.00 12 14 2.00 13 15 2.00 13 13 0.00
10 13 15 2.00 12 12 0.00 12 13 1.00 11 14 3.00
11 12 15 3.00 12 13 1.00 14 15 1.00 13 15 2.00
12 13 15 2.00 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00
13 12 14 2.00 12 14 2.00 14 15 1.00 12 14 2.00
14 14 14 0.00 12 13 1.00 14 14 0.00 12 14 2.00
15 13 13 0.00 14 14 0.00 12 15 3.00 13 13 0.00
16 12 14 2.00 12 14 2.00 12 14 2.00 12 14 2.00
17 12 14 2.00 14 15 1.00 13 15 2.00 12 13 1.00
Jumlah 217 245 28.00 214 237 23.00 216 243 27.00 211 236 25.00
Rata-rata 12.76 14.41 1.65 12.59 13.94 1.35 12.71 14.29 1.59 12.41 13.88 1.47
Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan
tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah
memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-
rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,65 (11%);
kecakapan vokasional sebesar 1,35 (9%); kecakapan personal sebesar 1,59
(10,6%); kecakapan sosial sebesar 1,47 (9,8%).
Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa
rata-rata hasil tes tahap I sebesar 50,47 : 4 = 12,62 atau (12,76 + 12,59 + 12,71
216
+12,41): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56,52: 4 =
14,13 atau (14,41+13,94+14,29+13,88): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa
kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka.
Berdasarkan hasil Uji t terhadap 17 orang warga belajar sebelum dan sesudah
PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.23. berikut.
Tabel 4.23
Rekapitulasi Hasil tes tahap I dan II
N Mean Min Max
Tahap I 17 12,62 11 14
Tahap II 17 14,13 12 15
Dari tabel 4.23. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 12,62
ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 14,13. Dengan demikian, terdapat
perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar.
Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 5,65
sedangkan t tabel (0,005) = 2,92. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada
perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.
2. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kualitatif
Deskripsi efektivitas model pada penelitian ini pun akan menyertakan
deskripsi hasil analisis kualitatif berupa respon atau tanggapan dari pihak-pihak
yang terlibat dengan pelaksanaan pelatihan di PSMP Handayani Jakarta.
a. Tangapan atau Respon Kepala PSMP Handayani
Modal pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak
217
tunalaras yang telah diterapkan dan dikembangkan di Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta merupakan sebuah model pelatihan yang baik. Pelaksana
pelatihan dapat mengikuti dan melaksanakan setiap tahapan pelatihan ini dengan
terencana, tepat, dan terstruktur. Pelaksana pelatihan kecakapan hidup di PSMP
menjadi berhasil.
Pada tahap perencanaan, mode tersebut mampu menyuguhkan persiapan
yang lengkap dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Tahap perencanaan
yang meliputi tujuan, sasaran, kurikulum, dan tata laksana pelatihan sangat tertata
sehingga segala persiapan yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan pelatihan
tersebut menjadi lengkap.
Pada tahap pelaksanaan, model tersebut mampu menyelenggarakan
pelatihan yang komunikatif, integratif, dan efesien. Tatanan pelatihan mulai tutor,
warga belajar, dan suasana pelatihan mampu memberi kesan bahwa pelatihan
tersebut terselengara dengan baik. Penambahan materi kecakapan hidup dan
kewirausahaan, memungkinkan warga belajar siap menhgadapi dunianya di masa
yang akan datang.
Pada tahap evaluasi, peltihan dengan model tersebut mampu mengukur
kemampuan siswa secara lengkap dan utuh. Dengan sistem penilaian yang
komprehensif, meliputi empat kecakapan hidup, maka hasil evaluasi ini dapat
menggambarkan kondisi nyata para warga belajar.
Warga belajar belajar di PSMP ini adalah anak tunalaras. Salah satu
karakteristik anak tunalaras adalah adanya penyimpangan perilaku yang
memerlukan bimbingan dari berbagai pihak, orang tua, masyarakat, pemerintah,
218
khusunya panti-panti. Oleh karena itu, model pelatihan kecakapan hidup yang
diterapkan oleh peneliti akan kurang lengkap apabila tidak disertasi oleh adanya
keberlanjutan atau kesinambungan berbagai pihak. Model ini apabila diterapkan
dapat dikembangkan dengan melibatkan keluarga, masyarakat, dan lembaga
(instansi pemerintah) untuk mengontrol para warga belajar. Ada pun bentuk dan
strateginya dapat dikembangkan kemudian hari. Yang penting, kontrol atau
pengawasan dari pihak tersebut menjadi sebuah faktor penambah kelengkapan
model tersebut.
Di sisi lain, warga belajar yang tunalaras tersebut pun, memerlukan adanya
sarana untuk pengembangan potensi diri bahkan jika memungkinkan adanya
pengembangan usaha. Potensi diri berkenaan dengan penyediaan peluang dalam
bentuk pemberian pekerjaan. Denga bekal pelatihan yang dilaksanakan di PSMP,
warga belajar telah memiliki potensi berupa keahlian yang dipilihnya sehingga
tidak akan bermanfaat apabila tidak dikembangkan. Di pihak lain, jika warga
belajar tidak mau bekerja, maka patut pula diberi kesempatan untuk
mengembangkan usaha. Pengembangan usaha yang sesuai dengan karakteristik
warga belajar. Selain itu, dapat pula kembangkan usaha secara berkelompok
dalam sebuah ikatan usaha bersama.
b. Ketua Pelaksana Program Pelatihan Kecakapan Hidup
Pendidikan kecakapan hidup merupakan ragam kemampuan yang
diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan
bermartabat. Kecakapan hidup merupakan kemampuan berkomunikasi secara
efektif, kemampuan mengembangkan kerja sama, melaksanakan peranan sebagai
219
warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk
bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja.
Kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan kecakapn hidup yang telah
dilaksanakan di PSMP ini, penyelenggaraannya telah sesuai dengan konsep
tersebut. Keterampilan warga belajar yang dikembangkan meningkat baik secara
terjemahan angka-angka, maupun dengan hasil unjuk kerja berupa hasil tes
keterampilan.
Bagi kami, model pelatihan tersebut sangat aplikatif, sistematis,
komprehensif, dan mudah dilaksanakan. Model ini akan menjadi panduan bagi
kami dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Akan tetapi, agar pelatihan ini
menjadi lebih efektif dan dengan dasar pengalaman menyelenggarakan pelatihan
selama ini, warga belajar hendaknya tidak dijadikan sebagai objek pelatihan
seperti siswa di sekolah. Dalam pelatihan tersebut warga belajar tidak ditargetkan
untuk mencapai tujuan tertentu saja akan tetapi yang perlu ditargetkan adalah
dampak pelatihan untuk masa depan warga belajar. Oleh karena itu, model ini
harus menyertakan adanya pengawasan secara berkelanjutan, membina
komunikasi dengan warga belajar sampai batas wajtu tertentu, dan adanya fasilitas
dari penyelenggara pelatihan (PSMP) agar warga belajar memiliki peluang untk
bekerja atau menciptakan lapangan usaha.
c. Pengurus Asrama Program Pelatihan
Salah satu karakteristik anak tunalaras adalah perilakunya yang tidak
diharapkan oleh lingkungan, sering bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat tempat dia berada. Tingkah lakunya sering membuat
220
orang menjadi marah karena merasa terganggu atau dirugikan, dan mereka
cenderung berhubungan dengan otorita, seperti polisi, pengadilan, guru atau orang
tua. Anak tunalaras ini prestasinya di sekolah cenderung menurun dan dijauhi oleh
teman-temannya sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan secara
khusus. Anak tunalaras yang ditampung di panti rehabilitasi sosial diharapkan
mereka memiliki seperangkat keterampilan teknis yang harus dimiliki anak untuk
melaksanakan tugas perkembangannya sebagai individu yang memiliki kualitas
SDM yang bisa bersanding dan bersaing.
Pelatihan kecakapan hidup yang diselenggarakan peneliti secara psikologis
mampu mengurangi perilaku warga belajar yang kurang baik. Dengan adanya
kesibukan berupa latihan-latihan, maka perilaku warga belajar menjadi terkontrol.
Pelatihan ini mampu mewadahi warga belajar dalam mengembangkan potensi dan
keterampilannya. Akan tetapi, pelatihan ini harus mampu menjaga sikap warga
belajar agar tidak kembali menjadi anak tunalaras. Oleh karena itu, hendaknya
lembaga penyelenggara pelatihan menjadi jembatan penghubung kelangsungan
hidup warga belajar setelah terjun ke masyarakat melalui program monitoring atau
bimbingan terpimpin. Program monitoring ini diperkukan agar warga belajar
mampu mengembangkan segala potensinya dengan arahan dan bimbingan
lembaga sebagai pengendalinya.
d. Tutor dan Sumber Belajar Program Pelatihan Kecakapan Hidup
Interaksi tutor sebagai sumber belajar dengan warga belajar tunalaras
berlangsung dengan baik. Dalam kemasan model pelatihan kecakapan hidup yang
telah diselenggarakan oleh peneliti, pelatihan berlangsung dengan baik dan lancar.
221
Keterampilan warga belajar meningkat dengan cepat. Keterampilan teknik las,
teknik otomotif, dan teknik pendingin pada setiap kelompok warga belajar dapat
dikuasai dengan baik sehingga apabila bekerja atau terjun membuka usaha pada
tingkatan standar sudah cukup.
Modal keterampilan yang telah dimiliki warga belajar akan menjadi lebih
baik lagi apabila lembaga (pemerintah atau swasta) mampu memfasilitasi warga
belajar dalam mengembangkan potensinya. Lembaga tersebut hendaknya menjadi
sarana suksesnya warga belajar. Salah satu langkahnya adalah mengadakan
pengawasan perilaku warga belajar setelah dilepas dari panti dan membuka
peluang untuk mengembangkan potensinya.
Pemikiran tersebut lahir dari keyakinan bahwa warga belajar akan
berkembang kecakapan hidupnya apabila difasilitasi oleh lembaga dan adanya
keberlanjutan pengawasan perilakunya. Kalau tidak diarahkan warga belajar
tunalaras bukan tidak mungkin akan kembali menjadi sosok manusia yang
mempunya penyimpangan perilaku.
E. Model yang Direkomendasikan
1. Rasional
Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin hari semakin
bertambah dengan pesat, berdasarkan data sheet keadaan jumlah penduduk tahun
2005 diperkirakan berjumlah 221.900.000 orang. Berdasarkan data tersebut
apabila jumlah anak usia sekolah berkisar 40 % dari populasi penduduk, maka
diperkirakan anak usia sekolah berjumlah 88.750.000 orang. Kauffman J. M dan
Hallahan D. P (1982) menyebutkan prevalensi anak tunalaras berjumlah 2 % dari
222
anak usia sekolah, sehingga berdasarkan pendapat tersebut di Indonesia anak
tunalaras diperkirakan berjumlah 1.775.000 orang. Berdasarkan data Direktorat
Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah DEPDIKNAS, Th 2006
Anak Tunalaras (Anak Nakal) yang berjumlah 1.775.000 orang ini baru
tertampung 788 orang yang tersebar di 13 Sekolah Luar Biasa (SLB/E) se-
Indonesia jadi pada dasarnya belum seluruhnya tertampung dalam pendidikan
formal apalagi nonformal, ini menandakan bahwa Pendidikan Luar Sekolah untuk
anak tunalaras masih dianggap hutan belantara, mengingat belum banyak yang
membuka secara khusus tentang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi
anak tunalaras, kebanyakan baru pada taraf pendidikan formal.
Secara kualitas dan kuantitas saat ini para remaja yang melakukan
pelanggaran hukum di negara Indonesia semakin meningkat, hal tersebut di
sinyalir dalam pernyataan resmi pejabat negara dalam arti penegak hukum. Data
menunjukkan bahwa daya tampung LP anak di Tangerang isinya sudah melebihi
kapasitas yang seharusnya bahkan mencapai empat kali lipat. Akhir tahun 2007
kenakalan yang dilakukan remaja dalam Gang Motor menujukkan kriminalitas
yang sadisme, dengan melakukan penganiayaan dan perampokan di jalanan tanpa
pilih bulu. Romli Atmasasmita (1985:23) mengatakan :“Delinquency adalah
suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang anak yang dianggap
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara
dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan
tercela.”
Para remaja nakal banyak yang terlibat dalam pelanggaran norma hukum
223
dan sosial yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena
itu, anak tunalaras perlu diberikan layanan rehabilitasi melalui berbagai
bimbingan, seperti bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, dan
bimbingan kecakapan vokasional yang terangkum dalam pelatihan kecakapan
hidup / life skills education. Setelah mengikuti program pelatihan kecakapan
hidup diharapkan mereka dapat meningkatkan kemandirian dan dapat berprilaku
humanis, sehingga mereka dapat memperoleh bekal kecakapan vokasional yang
praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi
ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pelatihan kecakapan hidup sangat
perlu diberikan kepada anak tunalaras, mengingat pandangan masyarakat terhadap
anak yang telah diberi label “anak nakal / tunalaras” lebih-lebih mereka diketahui
pernah berada pada lembaga pendidikan atau penampungan anak nakal masih
dipandang negatif, walaupun anak tersebut sudah tidak memiliki label anak nakal
/ tunalaras. Diharapkan dengan bekal kecakapan vokasional hidup yang diperoleh
melalui program pelatihan kecakapan hidup, anak tersebut dapat memiliki sikap
kemandirian yang diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara
berhak mendapat pengajaran” yang diperkuat lagi oleh Undang-undang
Pendidikan tentang Pendikan dan pengajaran luar biasa, serta Deklarasi hak anak
yang berbunyi :
The child that is hungry must be fed. The child that is sick must be nursed.
The child that is physically and mentally handicapped must be helped. The
maladjusted child must be reeducated. The orphan and the waif must be
sheltered and secured.
Dengan demikian jelas bahwa para remaja yang berstatus sebagai anak
224
tunalaras baik yang ditampung di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa
Bagian E, di Panti Panti Sosial mapun narapidana dalam Lembaga
Pemasyarakatan anak (LP) harus diberikan pelayanan pendidikan serta bimbingan
sesuai dengan deklarasi tersebut.
Masalah Kenakalan remaja merupakan masalah yang sangat kompleks,
yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kerangka Pembangunan Nasional.
Sehingga menuntut adanya upaya penanggulangan baik yang bersifat preventif,
represif maupun rehabilitasi. Untuk menangani hal tersebut diperlukan suatu
kebijakan tertentu didalam melakukan rehabilitasi para remaja, salah satu
diantaranya melalui proses pendidikan melalui jalur Pendidikan Luar Sekolah.
Kenyataan di lapangan pendidikan yang bermuatan pelatihan pendidikan
kecakapan hidup (Life skills education) yang diberikan kepada anak tunalaras baik
yang ditampung di Panti Panti Sosial, di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar
Biasa Bagian E, mapun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak,
diselenggarakan secara paralel antara pendidikan formal dengan pendidikan luar
sekolah, tetapi penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunalaras akan lebih efektif
apabila diselenggarakan dengan integrated model antara Pendidikan Luar Sekolah
dengan pendidikan formal, artinya model ini menggabungkan kedua jalur
pendidikan tersebut kedalam suatu system yang terpadu. Sistem terpadu meliputi
pengintegrasian kurikulum, proses pendidikan dan pengelolaan, serta koponen-
komponen lainnya dari kedua jalur pendidikan tersebut. Sistem pendidikan
terpadu diharapkan akan lebih fleksibel dan akan berorientasi pada kebutuhan
masyarakat dan erat relevansinya dengan perkembangan pembangunan bangsa.
225
Mengingat ragamnya keberadaan dan latar belakang pendidikan yang telah di
peroleh anak tunalaras sebelumnya, semua program PLS pada dasarnya dapat
dilaksanakan dan diikuti oleh semua anak tunalaras.
Dalam konteks pendidikan yang berkelanjutan, program pelatihan
kecakapan hidup merupakan kegiatan yang secara khusus dikembangkan untuk
warga belajar yang membutuhkan. Program ini dirancang untuk membantu warga
belajar dalam meningkatkan kemampuan berwirausaha dan menguasai kecakapan
vokasional tertentu sehingga menjadi terampil dan mampu hidup di masyarakat
dengan layak. Program ini pun merupakan: (a) pendidikan berkelanjutan untuk
orang dewasa; (b) merespon kebutuhan dan keinginan; dan (c) mencakup
pengalaman yang diberikan sebagai sub-sistem pendidikan formal, nonformal, dan
informal.
Sebagai program, pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan
kemandirian anak tunalaras yang bertujuan agar:
a. Kesehatan dan kebugaran jasmani anak nakal tetap terjaga, sekaligus
menanamkan disiplin diri. Pelaksanaannya dilakukan sejak awal proses
rehabilitasi secara teratur setiap pagi dan sore hari.
b. Tumbuh dan terbentuknya kondisi psikis atau kepribadian klien dan
mantapnya sikap mental, integritas dan disiplin diri.
c. Meningkatkan kemampuan menjalankan ibadah agama, dan meningkatkan
ketahanan sosial anak nakal terhadap pengaruh buruk lingkungan.
d. Memulihkan dan mengembangkan tingkah laku positif anak tunalaras,
sehingga mampu melaksanakan tugas, fungsi dan peran sosialnya secara
226
wajar dan dapat menjadi relasi dengan anggota keluarga dan masyarakat
dimana ia tinggal, dalam arti dapat menjalankan fungsi sosialnya secara
wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat
e. Meningkatkan kemampuan anak tunalaras dalam berbagai jenis kecakapan
vokasional usaha/kerja untuk menunjang kebutuhan masa depannya. Secara
teknis dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuannya. Jenis
kecakapan vokasional yang diselenggarakan meliputi las, otomotif, salon,
elektronika, menjahit, hasta karya, komputer, mengetik, mix farming.
f. Agar anak nakal dapat dipantau dan tidak terpengaruh lingkungan yang
kurang baik atau pengaruh yang kurang baik dari teman sebaya.
Program ini juga dimaksudkan untuk: (a) menumbuhkan kecakapan
vokasional bermata pencaharian; (b) mengajarkan kecakapan vokasional ekonomi;
(c) mendapatkan akses pada informasi baru untuk memperbaiki kualitas hidup; (d)
menumbuhkan kesadaran kritis tenang peristiwa mutakhir di lingkungannya; (e)
membantu mengembangkan sikp rasional dan ilmiah, (f) mengorientasikan pada
nilai-nilai dan sikap baru yang dibutuhkan dalam pembangunan; dan (g) untuk
hiburan dan kegembiraan (diadaptasi dari Sakya, 1986: 8).
Dalam program kemandirian anak tunalaras dengan menerapkan
model PKH, konsep dasar yang harus dibangun adalah:
a. berorientasi pada warga belajar;
b. program pelatihan memberi kesadaran bahwa PKH tersebut sangat penting
bagi warga belajar; dan
227
c. memberikan manfaat yang riil dan dapat dirasakan sejalan dengan proses
berlangsungnya program pelatihan.
Dengan kata lain, apa yang dipelajari dalam kegiatan PKH yang
berorientasi pada kemandirian, merupakan materi kegiatan yang dibutuhkan
atau sesuai dengan harapan peserta pelatihan. Melalui pendekatan pelatihan
tersebut, seluruh tahapan kegiatan, materi kegiatan maupun dampak akhir
kegiatan, betul-betul dirumuskan dan dilaksanakan bagi kepentingan warga
belajar. Pengembangan model PKH yang berorientasi pada kemandirian
sangat relevan dan dapat dilaksanakan secara efektif.
2. Komponen Model
Unsur-unsur komponen model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam
Peningkatan kemandirian anak tunalaras dikembangkan setelah melalui revisi
dan penyempurnaan, selanjutnya dijadikan sebagai konsep model akhir atau
disebut model empirik.
a. Perencanaan
Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak
tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon
peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai
hal yang terkait dengan perencanaan program.
Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan
fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di
PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan
kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam
228
suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan
sosialnya.
Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian
menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan
Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya
masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan
dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada anak tunalaras secara
langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan
pelayanan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan
kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak
akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua
instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk
koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung,
terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh
para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program
kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung
jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas)
menyatakan kesediannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan
lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan
disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan yaitu perbengkelan las,
teknik pendingin, dan otomotif.
229
Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis
kecakapan ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang
bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis
atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara
penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan
program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
b. Tujuan Pelatihan
Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan
kemandirian anak tunalaras di pusat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak
Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap
mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan
lingkungan sosialnya. Secara khusus, program ini bertujuan untuk:
1) Meningkatkan kecakapan hidup anak tunalaras yang dapat dijadikan sarana
untuk pengembangan diri dan memenuhi mata pencaharian.
2) Menyebarluaskan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan
personal, dan kecakapan sosial melalui peningkatan kecakapan hidup.
3) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar
tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi
sumber daya dan kelembagaan masyarakat.
4) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi
sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang
230
secara wajar di masyarakat sertamenjadi sumber daya manusia yang berguna,
produktif dan berkualitas, serta berakhlak mulia.
c. Kelompok Sasaran
Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria
sebagai berikut :
1) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum menamatkan pendidikan
dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah
Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum.
2) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah
menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka
diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan
kerja.
3) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi :
a) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.
b) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum.
c) Menjalani putusan hakim.
d) Setelah selesai menjalani pidana anak.
d. Sumber Belajar/Fasilitator
Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk
program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut:
1) Berusia 20-50 tahun
2) Tingkat pendidikan minimal SMA
231
3) Alumni PSMP Handayani Jakarta.
4) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik
5) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih
6) Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan
e. Kurikulum
Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek
yang perlu dilakukan penguatan yaitu: (a) aspek personal, berupa
ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan
masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa
keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan
anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana
tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan
(c) aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai
kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif
dan mandiri.
Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan mempertimbangkan
kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada
pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional.
Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan
kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut:
1) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan selalu
diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat.
2) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok
232
pengembangan kurikulum.
3) Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan
penekanan pada pengembangan kemandirian.
4) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan
kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar.
Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1)
Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan vokasional
tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3) Kecakapan vokasional
tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4) Kecakapan vokasional
tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; (6)
Kecakapan personal tentang pengelolaan organisasi/kelompok yang terlibat dalam
kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan sosial tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan
dalam menjalankan usaha bersama.
f. Bahan Ajar dan Latihan
Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya
dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan
kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup :
1) Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan
service dan jasa.
2) Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan, Sumberdaya
Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan.
3) Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (las, teknik pendingin,
dan otomotif).
233
g. Media pelatihan keterampilan
Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan-
bahan praktik.
h. Metode pelatihan keterampilan
Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan
kecakapan hiudp adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode
ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik.
i. Waktu dan tempat pelatihan
Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh
dari tgl 14 sampai 26 Februari 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu
pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari.
Kegiatan pelatihan dipusatkan di PSMP Handayani Jakarta, dengan jumlah jam
pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit.
j. Evaluasi akhir pelatihan
Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a) evaluasi
pra-pelatihan; (b) evaluasi proses pelatihan keterampilan; dan (c) evaluasi akhir
pelatihan keterampilan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a)
kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan.
k. Pelaksanaan
Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional
menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah
daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial,
234
Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader
organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat
diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan
program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan
pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan
kecakapan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu
program pelatihan kecakapan hidup.
Dalam banyak hal pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang
disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau
terbatasnya sumber daya manusia (sumber belajar dan atau tenaga pendamping)
yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang
menganut sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga
belajar sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan
setelah kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar
sendiri.
l. Evaluasi
Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada
kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan
kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan
vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi
hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar,
terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam
proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat
235
untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai
pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi,
penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan,
serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan
dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori
dan praktik).
Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup
selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber
belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas
tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar
yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan pelatihan
kecakapan hidup dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills)
dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras (warga belajar),
kesejahteran, dan taraf hidup mereka.
Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan
mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam
perspektif pendidikan luar sekolah program pelatihan tersebut diimplementasikan
melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam
program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan
usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program
pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang
melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-
236
hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan vokasional lebih
menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak
mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan
kecakapan hidup orang dewasa, kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis
akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan
metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan "learning
by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods) adalah
motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode
pelatihan kecakapan vokasional juga akan menarik dan bermakna bagi warga
belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan
vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program
(calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama.
Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar
anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan
hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya adalah sebagai
berikut. Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba
menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan
pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai
penguatan untuk kemandirian anak tunalaras. Selain itu, dipaparkan juga
mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem
penghantaran secara terintegrasi.
237
Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat
(SDA, SDM dan nilai-nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan
warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau
pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan-
keunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan
perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan
nilai tambah.
Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi
warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui
pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan
vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam
penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan
pelayanan di bidang jasa.
Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang
menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan
dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan
belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga
memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok
sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan.
Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan
kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input,
environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan
output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap
238
kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan
dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga
belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan
menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan
pendekatan partisipatif dan kolaboratif.
Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah
suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya
mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan
model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang
diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan
pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti
sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman, antara lain:
menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model
pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari
peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu
langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi,
sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.
3. Asumsi Model
Model pelatihan kecakapan hidup memiliki beberapa asumsi sebagai
landasan agar betul-betul sesuai dengan karakteristik fungsional model yang
dikembangkan.
239
a. Kepemilikan kecakapan vokasional dan penguasaan faktor-faktor
pendukungnya merupakan instrumen efektif untuk membentuk kemandirian
sosial dan ekonomi para warga belajar.
b. Warga belajar merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh
adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan
sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya.
Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan
lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ide-
idenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri
melalui refleksi kolektif.
c. Pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup merupakan proses pemberdayaan
(empowering) yang memungkinkan warga belajar mampu mengenali faktor-
faktor yang menghalangi perubahan atau perkembangannya yang meliputi:
Pertama individu merasa adekkuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini
didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan
kecakapan vokasional yang dimiliki. Kedua, individu merasa dapat diterima
oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap
kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa
kelompoknya atau orang lain menyukainya. Ketiga, individu memiliki
ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan
dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai
situasi.
240
d. Proses pelatihan kecakapan hidup memerlukan suasana saling membutuhkan,
saling belajar, suasana aman, hangat, suasana saling menghargai, dan saling
percaya. Model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu model yang kaku
akan tetapi memerlukan jaringan hubungan antara warga belajar dan sumber
belajar serta bersama lingkungannya.
e. Kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik, yaitu
mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara
mental (dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan
mengekspresikan gagasan) dan mandiri secara emosional (nilai yang ada
dalam diri sendiri).
4. Pendekatan Model
Agar model pendidikan kecakapan hidup yang dikembangkan efektif,
maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan permasalahan dan
tujuan yang dikembangkan dalam konseptualisasi dan implementasi model, antara
lain: pendekatan partisipatif, kolaboratif, dan berkelanjutan.
5. Prosedur Penerapan Model
Langkah-langkah penerapan model program pemberdayaan melalui
pelatihan integratif ini dapat diterapkan dengan prosedur yang dapat dilihat pada
Tabel 4.24.berikut.
241
TABEL 4.24
PROSEDUR PENERAPAN MODEL
No Tahap Langkah
1 Perencanaan a. Melakukan koordinasi dengan instansi
terkait pada pemerintah daerah; Dinsos dan
Dinkes.
b. Identifikasi kebutuhan warga belajar
c. Identifikasi taraf kecakapan vokasional
warga belajar
d. Menetapkan kriteria WB
e. Menetapkan kriteria tutor
f. Menetapkan tujuan
g. Mengembangkan kerangka kurikulum
h. Mengidentifikasi media pelatihan
i. Merancang dan mengembangkan bahan ajar
j. Merancang teknik penyampaian (delivery
system)
k. Menetapkan teknik evaluasi
2 Pelaksanaan a. Pelatihan kecakapan hidup otomotif,
pengelasan, dan teknik pendingin
b. Proses Pelatihan Keterampilan
c. Monitoring kegiatan pelatihan pelatihan
kecakapan hidup (kecakapan vokasional)
3 Evaluasi a. Evaluasi awal (pretest)
b. Evaluasi proses
c. Evaluasi akhir
6. Indikator Keberhasilan
Pengembanggan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan
kemandirian anak tunalaras lebih ditekankan pada vocational skills. Oleh
karena itu, keberhasilan program pelatihan kecakapan hidup ini adalah sebagai
berikut :
a. Program pelatihan ini memiliki tingkat kesesuaian kebutuhan warga
belajar dalam peningkatan kecakapan akademik, kecakapan vokasional,
242
kecakapan personal, dan kecakapan sosial sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya serta sumber daya yang ada di masyarakat;
b. Kebermaknaan model program kemandirian melalui pelatihan kecakapan
hidup yang dikembangkan agar para warga belajar memiliki motivasi
untuk belajar dan berusaha sehingga muncul keberdayaan dalam dirinya
untuk berubah dari diri-sendiri dan bersama orang lain. Refleksinya adalah
terbentuknya kemandirian warga belajar, yaitu mandiri secara fisik (dapat
bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara mental (dapat berpikir secara
kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan) dan
mandiri secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri). Model
pendidikan kecakapan hidup yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat
pada visualisasi gambar sebagai berikut.
244
Model empirik yang menjadi produk akhir penelitian ini dikembangkan
berdasarkan model konseptual yang telah melalui berbagai tahap validasi dan uji
coba. Secara umum model empirik tidak jauh berbeda dengan model konseptual.
Pengembangan model empirik terjadi pada bagian dampak pelatihan atau
outcomes. Secara sistematika atau alur pelatihan yang dikembangkan, model
empirik memiliki kesepadanan dengan model konseptual, maka penjelasan model
empirik hanya dipaparkan yang berkenaan dengan dampak pengembangan model
saja.
Tujuan pelatihan model pelatihan kecakapan hidup adalah membentuk
warga belajar agar memiliki kecakapan hidup sesuai dengan keahliannya masing-
masing. Akan tetapi, kecakapan hidup tersebut harus dikembangkan dalam bentuk
program nyata melalui berbagai bentuk usaha. Oleh karena itu, model pelatihan
yang dikembangkan penulis merekomendasikan agar pelatihan kecakapan hidup
dilanjutkembangkan melalui kegiatan pengembangan pelatihan kecakapan hidup.
Pengembangan yang dimaksud adalah: (1) Adanya kontrol yang intensif dan
berkelanjutan dari pihak keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait.
Kontrol terhadap anak tunalaras yang sudah dilatih melalui pelatihan ini belum
tentu akan mencapai keberhasilan yang memadai apabila tidak dikontrol melalui
berbagai bentuk. (2) Pelatihan kecakapan hidup harus dilandasi oleh
pengembangan potensi diri anak tunalaras dalam bentuk penyaluran kerja atau
pengembangan usaha yang difasilitasi oleh lembaga, baik swasta maupun
pemerintah. Anak tunalaras memiliki keterbatasan dalam mengaktualisasikan
dirinya di masyarakat. Oleh karena itu, pelatihan ini menyarankan agar
245
pengembangan potensi diri anak tunalaras dan pengembangan usaha menjadi
program intensif dampak pengembangan model.
F. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pembahasan Umum
Berdasarkan PP 73 Bab II Pasal 2 tentang tujuan PLS, menyatakan
bahwa tujuan Pendidikan Luar Sekolah memiliki makna: (1) melayani warga
belajar supaya tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna
meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. (2) Membina warga belajar agar
memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk
mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan pendidikan ke
tingkat dan/atau jenjang yang lebih tinggi. (3) Memenuhi kebutuhan belajar
masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Tujuan
PLS tiada lain untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-
nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta
secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya,
masyarakat dan bahkan negaranya.
Pendidikan Luar Sekolah sebagai sebuah proses pendidikan berbasis
masyarakat, memiliki keleluasaan dalam mengembangkan dan membina program-
programnya. Hal ini disebabkan pendidikan luar sekolah pada prosesnya bertujuan
menjangkau semua lapisan masyarakat pada kondisi apapun. Sesuai dengan
prinsip tersebut, hasil penelitian dan pengembangan model yang dilakukan dalam
studi ini, menunjukkan bahwa PLS memiliki keluasan dalam hal pengembangan
246
dan pengendalian konsep-konsep yang selalu menjadi acuan dalam prinsip
pembelajarannya. Sebagaimana prinsip pembelajaran sepanjang hayat yang
dikemukakn Gonzales dan Pijono (1997:232) bahwa konsep dasar hakekat
pendidikan sepanjang hayat, yaitu : 1) setiap orang harus didorong untuk menjadi
pelajar yang mengarahkan diri sendiri dan menjadi agen-agen aktif untuk
pendidikan mereka sendiri, 2) Banyak sumber-sumber pendidikan alternatif
disamping sekolah yang melayani kebutuhan pendidikan mereka, 3) semua
pengalaman dan sumber belajar itu tersedia buat semua orang, setiap saat, baik
yang belajar paruh waktu.
Program-program PLS yang dijalankan pada satu negara pada umumnya
merupakan jawaban terhadap permasalahan (sosial) yang dihadapi negara
tersebut. Selama ini PLS dipandang memberikan solusi terhadap permasalahan
karena pendidikan luar sekolah merupakan alternatif solusi yang baik untuk
memecahkan berbagai permasalahan tersebut. Peran PLS sebagaimana
diungkapkan di atas, sejalan dengan pendapat Sutaryat Trisnamansyah (2003: 19),
bahwa PLS bertujuan untuk: (1) memperoleh keterampilan yang segera akan
dipergunakan, (2) berpusat pada peserta didik, (3) waktu penyelenggaraan relatif
singkat, dan pada umumnya tidak berkesinambungan, (4) menggunakan
kurikulum kafetaria, (5) menggunakan metode pembelajaran partisifatif, dengan
penekanan pada belajar mandiri, (6) hubungan pendidik dengan peserta didik
bersifat mendatar, (7) penggunaan sumber-sumber lokal.
Berdasarkan paparan di atas, PLS memiliki banyak keunggulan yaitu;
memiliki program yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat.
247
Oleh karena itu, dalam aplikasinya penggunaan kurikulum dan proses
pembelajaran ditetapkan bersama peserta didik.
Karakteristik pendidikan luar sekolah tersebut merupakan rujukan konsep
bagi pengembangan pendidikan kecakapan hidup. Peningkatan mutu pendidikan
merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik
sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, agar dapat
hidup sejajar dengan bangsa lain di dunia ini. Dalam merealisasikan komitmen
tersebut di atas, Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) telah
mengupayakan berbagai inovasi dan program pendidikan, antara lain Program
Pendidikan beorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education).
Tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah untuk mempersiapkan
peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang
dikembangkan dalam menjaga kelangsungan hidup dan mengembangkan dirinya.
Meskipun bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup,
namun konvergensinya cukup jelas yaitu bahwa tujuan utama pembelajaran
kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan
mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan
perkembangannya di masa datang. Esensi dari pembelajaran kecakapan hidup
adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan
nyata, baik preservatif maupun progresif. Lebih spesifiknya, tujuan pendidikan
kecakapan hidup dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, memberdayakan
aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui
pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos) nilai-nilai
248
kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan
hidup dan perkembangannya. Kedua, memberikan wawasan yang luas tentang
pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi
karir, dan penyiapan karir. Ketiga, memberikan bekal dasar dan latihan-latihan
yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang
dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa
depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Keempat, mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis
sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi
stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. Kelima,
memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang
dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan pisik, kemiskinan, kriminal,
pengangguran, lingkungan sosial dan pisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan
iptek.
Salah satu latar belakang penelitian ini adalah mewujudkan konsep PLS
dan pendidikan kecakapan hidup dalam konteks pengembangan model.
Pengembangan model yang dimaksud adalah pengembangan model pelatihan
kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial
Marsudi Putra Handayani Jakarta. Penelitian ini diterapkan pada sekelompok
warga belajar tunalaras. Pelatihan dalam konteks kelompok didasari oleh
pemikiran bahwa kegiatan belajar dalam kelompok lebih bermakna dan
memberikan kekuatan kolektivitas. Oleh karena itu, kelompok belajar dapat
berfungsi: (1) sebagai metode, (2) sebagai media, (3) sebagai sarana
249
pembelajaran, dan (4) sebagai agen perubahan. Dalam pandangan lain,
Kindervatter (1979:207) menyatakan peran kelompok belajar sangat penting
sebagai agen pembaharuan dalam rangka pemberdayaan (empowering process).
Manfaat yang dapat diperoleh dari kelompok belajar adalah dapat dengan mudah
membelajarkan anggotanya, mengubah tingkah lakunya, bahkan mengembangkan
masyarakat sampai dengan berdirinya lembaga keuangan lokal (the local bank).
Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup pun berkenaan dengan
konsep pelatihan. Pelatihan (training) merupakan pembelajaran pengembangan
individual yang bersifat mendesak karena munculnya suatu kebutuhan saat ini.
Menurut Robinson dalam Anwar (2004: 163) pelatihan sebagai suatu instruksi
atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan
pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki. Pengertian pelatihan tersebut
memiliki makna bahwa tujuan dasar pelatihan untuk membangun dan
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan individu agar dapat mencapai
tingkat yang diharapkan. Selanjutnya Anwar (2004: 169), menegaskan bahwa
pelatihan adalah usaha berencana yang diselenggarakan supaya dicapai
penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relevan dengan kebutuhan
peserta pelatihan. Dari definisi tersebut dapat ditafsirkan bila pelatihan kecakapan
hidup diberikan kepada anak tunalaras dapat meningkatkan kualitas sikap anak
tunalaras dalam meningkatkan kemandiriannya untuk hidup bermasyarakat secara
wajar.
Pelatihan pada hakikatnya pun merupakan salah satu wujud konkret
250
pendidikan. Tilaar (1999) menegaskan bahwa hakikat pendidikan berkenaan
dengan konsep pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif.
Sejalan dengan pendapat tersebut, pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani
merupakan refleksi hakikat pendidikan melalui pendekatan holistik integratif. Bila
pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta didik, dan
keseluruhan perbuatan pendidikan termasuk lembaga pendidikan tidak secara
utuh, maka pendekatan holistik integratif memandang bahwa hakikat pendidikan
memiliki komponen: pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan;
proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi; eksistensi manusia
yang memasyarakat; proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya; dan
proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan
ruang.
Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani
Jakarta, dilakukan melalui langkah-langkah: 1) mengadakan pendekatan terhadap
pihak panti ; 2) koordinasi dengan sumber belajar; 3) penyiapan lingkungan; dan
4) penyiapan panduan model pelatihan kecakapan hidup. Pendekatan terhadap
pihak panti, bertujuan untuk memperoleh izin untuk mengadakan dan menerapkan
pengembangan PKH. Pendekatan terhadap pihak panti dilakukan sejak di awal
kegiatan. Dukungan pihak panti terhadap pengembangan model pelatihan
kecakapan hidup ini ditunjukkan dengan: 1) menerima dengan baik kehadiran
peneliti; 2) mengadakan dialog secara terbuka bersama peneliti tentang hal-hal
yang berhubungan dengan program PKH; 3) menyambut baik dan merespon
dengan segala tawaran peneliti untuk mengembangkan model pelatihan kecakapan
251
hidup yang ditunjukkan dengan sikap dan tindakannya yang kondusif; 4)
menyediakan dan melengkapi fasilitas yang diperlukan bagi terselenggaranya
pengembangan model; dan 5) memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada
peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan model pelatihan
kecakapan hidup sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak
tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta merupakan bentuk
pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan kepada anak tunalaras meliputi:
pembinaan fisik, bimbingan mental dan sosial, pelatihan ketarampilan, serta
resosialisasi serta pembinaan lanjut anak nakal agar dapat menjalankan fungsi
sosialnya secara wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan
bermasyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa dalam pengembangan pelatihan
kecakapan hidup juga termasuk juga ada proses rehabilitasi. Departemen Sosial
dalam Sunaryo (1995: 108) memberi pengertian bahwa “rehabilitasi adalah suatu
proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat
mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan
masyarakat”. Secara lebih spesifik rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai suatu
proses perbaikan yang ditujukan pada anak luar biasa khususnya anak tunalaras
agar mereka cakap berbuat dalam menjalani hidup dan kehidupannya di
masyarakat secara lebih bermakna.
Sebelum uji lapangan dimulai, peneliti terlebih dahulu mengadakan
sosialisasi tentang pengembangan model pelatihan kecakapan hidup yang akan
252
dilaksanakan, melalui tanya jawab dan diskusi terhadap pihak yang terkait di
panti. Kegiatan ini dilakukan selama kegiatan penelitian tahap satu dan tahap dua,
dan seminggu sebelum pelaksanaan uji lapangan II kegiatan sosialisasi lebih
diintensifkan. Kegiatan yang dilakukan dalam uji lapangan II adalah menerapkan
pengembangan model pelatihan kecakapan hidup diPanti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta.
Pada tahap pelaksanaan uji lapangan II, para sumber belajar dan peserta
program menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti setiap tahapan kegiatan
pada pengembangan model PKH. Tahapan-tahapan penerapan model pelatihan
kecakapan hidup yang diikutinya secara sungguh-sungguh adalah sebagai berikut:
1. kegiatan pada tahap perencanaan, meliputi; kegiatan mengidentifikasi
kebutuhan belajar, merumuskan dan mengadakan kontrak belajar,
merumuskan materi belajar, dan merumuskan/memilih alat dan media belajar;
2. tahap pelaksanaan, meliputi; a) menciptakan iklim pelatihan yang harmonis
sehingga terjalin hubungan akrab antara sumber belajar dengan peserta
program; dan b) sumber belajar dan peserta program bersama-sama dalam
mengisi kegiatan pelatihan sehingga terjadi proses interaksi saling
membelajarkan secara dinamis;
3. pada tahap evaluasi, sumber belajar maupun peserta program sama-sama
melakukan kegiatan evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pelatihan,
sehingga kegiatan evaluasi benar-benar bertumpu pada sumber belajar dan
peserta program; dan
253
4. membahas dampak model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan/
pengembangan usaha maupun terhadap kecakapan akademik , keterampilan,
serta sikap kemandirian peserta program.
Monitoring dan evaluasi dilakukan pada saat model pelatihan kecakapan
hidup berlangsung, kegiatan ini dilakukan terutama untuk menilai kelayakan dan
efektivitas model yang dikembangkan. Setiap selesai penyajian, peneliti bersama-
sama dengan sumber belajar dan peserta program mendiskusikan hasil uji
lapangan yang dilakukan. Peneliti mengikuti setiap perubahan dan perkembangan
sebagai pengaruh dari penerapan model pelatihan kecakapan hidup terhadap
peserta program. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut, dijadikan sebagai bahan
diskusi bersama dengan sumber belajar dan peserta program, setiap satu minggu
selama pelaksanaan uji lapangan II.
Hasil monitoring, evaluasi dan diskusi bersama dengan sumber belajar
dan peserta program, menunjukkan bahwa model pelatihan kecakapan hidup dapat
dikembangkan secara efektif dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Beberapa indikator yang
menunjukkan keefektifan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Nara sumber belajar dan peserta program telah memperoleh dan memiliki
pemahaman yang lebih tinggi tentang isi dan prinsip-prinsip model pelatihan
kecakapan hidup yang dikembangkan.
2. Pihak panti dan peserta program dapat mengembangkan model pelatihan
kecakapan hidup sesuai dengan prosedur yang didesain dalam model.
254
3. Sumber belajar dan peserta program dapat menumbuhkan iklim pelatihan
yang harmonis dan akrab.
4. Adanya kesanggupan dari sumber belajar dan peserta program untuk
menerapkan model PKH dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta.
5. Model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak
tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang
dikembangkan dapat meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan
vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial, serta menumbuhkan
kemandirian warga belajar.
Implikasi teoritis dari pengembangan model pelatihan kecakapan hidup
dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani Jakarta ini, memperkuat teori-teori kemandirian sebelumnya. Pendapat
tersebut diartikan kemandirian adalah penggunaan daya sendiri untuk bertindak
dan membuat keputusan atau mempertimbangkan tanpa bergantung kepada orang
lain. Brookfield (1993) mengemukakan bahwa kemandirian sebagai kekuatan
seseorang di dalam memahami dan menyadari alternatif – alternatif pilihan bagi
dirinya. Covey (1989:49) menegaskan pula bahwa Independence is the paradigma
of I-I can do it; Iam responsible: I am self-reliant: I can choose..
Interdependence is the paradigma of We-We can do it: We can cooperate: We can
combine our talents and abilities and create something greatertogether.
Wetherington (Rifaid,2000) mengemukakan bahwa kemandirian ditunjukan oleh
adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kreatif, kemampuan mengatasi
255
masalah, penuh ketekunan, merasa puas atas usahanya dan berkeinginan
mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Havighurst (1972) menambahkan
bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: (a) emosi, aspek ini
ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya
kebutuhan emosi dari orang tua; (b) ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan
kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada
orang tua; (c) Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapi; dan (d) sosial, aspek ini ditunjukan
dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak
tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Model pelatihan kecakapan hidup
dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang dikembangkan secara
nyata telah dapat meningkatkan empat kecakapan hidup, yakni kecakapan
akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial.
Implikasi teoritis pada model pelatihan kecakapan hidup dalam
meningkatkan kemandirian anak tunalaras terletak pada: pertama, aspek
relevansinya dengan kebutuhan. Berdasarkan temuan empiris, penerapan model
pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di
Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta menunjukkan efektivitasnya bagi
terpenuhinya kebutuhan pelatihan warga belajar sehingga dapat menumbuhkan
motivasi belajar dan kreativitas. Kedua, aspek inovasinya dalam pengembangan
anak tunalaras di masyarakat. Dalam penerapannya, model pelatihan kecakapan
hidup mampu memberikan rehabilitasi dan peningkatan kecakapan hidup anak
tunalaras yang positif. Warga belajar tunalaras merupakan salah satu komponen
256
bangsa yang perlu mendapat perhatian serius melalui cara-cara yang tepat dan
akurat agar mampu memperbaiki kehidupan dan penghidupannya. Upaya untuk
memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dilakukan melalui jalur pendidikan
nonformal yang merupakan alternatif terbaik dan paling tepat.
2. Pembahasan Khusus
PSMP Handayani adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis yang
menangani permasalahan anak nakal dengan maksud untuk dapat memulihkan
kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga
mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta
menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan
berkualitas, serta berakhlak mulia. Menghilangkan label dan stigma negatif
masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk
berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut
dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga
pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi
pada kepentingan penerima pelayanan.
Tujuan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal di PSMP Handayani
secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak
nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan
kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti
Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif dari sekian
banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial
257
kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi.
Dalam Keputusan Menteri No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial ditetapkan bahwa Panti
Sosial adalah Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Sosial yang
berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh para
Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tugas pokok dan fungsinya
adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat
preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental,
sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak
nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta
pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.
Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan
kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta
bertujuan agar warga belajar diharapkan menguasai empat kecakapan secara
komprehensif yakni kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan
personal, dan kecakapan sosial. Melalui pelatihan kecakapan hidup ini
diharapkan warga belajar memiliki kemandirian untuk memasuki dunia kerja atau
berusaha mandiri minimal untuk dirinya sendiri dan keluarganya serta dapat
dikembangkan untuk membuka lapangan kerja sehingga warga belajar
memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak.
Berdasarkan hasil studi terhadap objek penelitian dan beberapa literatur
yang berkenaan dengan penyelenggaraaan kecakapan hidup di PSMP Handayani
258
Jakarta, ternyata masih menghadapi berbagai masalah dalam pengembangannya.
Secara mendetail permasalahan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Proses penyusunan rencana program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga
belajar secara intensif.
b. Tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak
diketahui keterampilan siap warga belajar.
c. Materi-materi program pelatihan yang akan dikembangkan tidak dibuat
secara terencana dan sistematis.
d. Tidak merumuskan tujuan kegiatan/program secara eksplisit yang diarahkan
untuk menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar.
e. Nara sumber teknis tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk
tertulis baik dalam modul atau kemasan lainnya.
f. Tidak mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut
antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap aspek-
aspek pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi.
g. Ada kecenderungan nara sumber teknis (tutor) tidak menguasai azas-azas
pelatihan dengan sistem tutorial, baik pada tahapm perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
h. Nara sumber teknis tidak pernah menjelaskan tujuan pelatihan nya secara
detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga belajar.
i. Kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik dan penguasaan
keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif, teknik
pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan warga
259
belajar belum memiliki sikap kemandirian.
j. Proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang terpadu.
Sebagian besar hanya bertumpu pada kegiatan praktek sehingga tidak
menampakkan proses pelatihan dengan model tertentu.
k. Tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara terpadu atau terintegrasi yang
komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria penilaiannya tidak jelas.
Permasalahan tersebut di atas, akan menjadi faktor-faktor penghambat atau
kendala perkembangan PSMP dalam menunjang pendidikan di Indonesia,
khususnya pendidikan nonformal. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya
pencapaian tujuan pendidikan nasional pada jalur PLS, khususnya pada PSMP
banyak bergantung kepada berbagai faktor, baik secara internal sistem PSMP
maupun faktor-faktor eksternal sistem PSMP. Salah satu faktor kunci (the key
factor) yang berasal dari “internal sistem " PSMP adalah pola pengembangan
program dan efesiensinya terutama yang berkenaan dengan pendidikan kecakapan
hidup.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecakapan hidup warga belajar
melalui model tersebut memberikan manfaat bagi upaya peningkatan pemerolehan
dan peningkatan keterampilan warga belajar. Untuk memberikan penilaian atas
model pelatihan kecakapan hidup sebagai suatu altematif pendidikan luar
sekolah, perlu diapresiasi melalui kajian teoritis. Untuk kepentingan itu,
efektivitas model dapat analisis dengan menggunakan pendekatan dan keterkaitan
komponen pendidikan luar sekolah antara lain yaitu: masukan (input), proses
(process), keluaran (output), masukan lain (other input) dan dampak (impact).
260
Melalui pendekatan andragogik yang dikembangkan dalam model pelatihan
kecakapan hidup, setahap demi setahap terjadi perubahan orientasi pada diri
warga belajar mulai bergeser. Kondisi tersebut tampak pada tingginya minat
mereka untuk belajar berbagai hal yang berkenaan dengan upaya-upaya yang
sekiranya dapat mengembangkan usaha produktifnya. Perubahan sebagaimana
diuraikan di atas, tidak terlepas dari peran dan posisi sumber belajar. Fasilitator
dalam proses belajar aktif berbeda dengan guru dalam pengajaran secara
tradisional. Dalam pengajaran tradisional seorang guru menyampaikan
pengetahuannya kepada murid. Sedangkan dalam proses belajar aktif, seorang
fasilitator membantu kelompok (memfasilitasi) peserta pelatihan mencari dan
menemukan ide-ide sendiri serta menyimpulkannya.
Hasil pengamatan, peran fasilitator sudah menjalankan fungsinya sebagai
pihak yang memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar sesuai prosedur yang
ditetapkan dalam model yang dikembangkan. Dalam praktiknya, fasilitator
memberikan bantuan kepada warga belajar untuk memecahkan masalah yang
menjadi kendala dan tidak pernah mendahului dalam membuat kesimpulan.
Selama proses, fasilitator senantiasa memperbaiki pandangan-pandangan yang
salah pada saat yang tepat dalam proses diskusi maupun kegiatan lain selama
pembelajaran berlangsung. Kehadiran fasilitator dalam proses pelatihan hidup
sangat menentukan motivasi belajar peserta dan keberlangsungannya.