bab iv hasil penelitian dan pembahasan -...

148
113 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bagian ini mengemukakan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Fokus utama penelitian ini adalah apakah benar terdapat kecenderungan umum model pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dapat memberikan pertumbuhan atau kemampuan dalam peningkatan kemandirian pada anak tunalaras? Penyajian pada bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian, bagian pertama menyaikan data hasil penelitian dan bagian kedua menyajikan pembahasan hasil penelitian. A. Deskripsi Profil Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, penelitian ini dilakukan terhadap Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, gambaran dari hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk deskripsi hasil penelitian. Hasil-hasil penelitian yang disajikan pada bagian ini berupa keterangan- keterangan atau data-data kasus menyangkut tiga indikator kasus, untuk masing- masing subjek penelitian. Indikator-indikator yang disajikan dan menjadi bahasan dalam bagian ini, yaitu:

Upload: lythuan

Post on 06-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

113

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian ini mengemukakan hasil penelitian dan pembahasan tentang

pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian

anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Fokus utama

penelitian ini adalah apakah benar terdapat kecenderungan umum model pelatihan

kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dapat

memberikan pertumbuhan atau kemampuan dalam peningkatan kemandirian pada

anak tunalaras?

Penyajian pada bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian, bagian pertama

menyaikan data hasil penelitian dan bagian kedua menyajikan pembahasan hasil

penelitian.

A. Deskripsi Profil Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi

Putra Handayani Jakarta

Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, penelitian ini

dilakukan terhadap Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, gambaran dari

hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk deskripsi hasil penelitian.

Hasil-hasil penelitian yang disajikan pada bagian ini berupa keterangan-

keterangan atau data-data kasus menyangkut tiga indikator kasus, untuk masing-

masing subjek penelitian. Indikator-indikator yang disajikan dan menjadi bahasan

dalam bagian ini, yaitu:

114

1. Data yang berhubungan dengan kondisi objektif pelatihan kecakapan hidup di

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta;

2. Data yang berhubungan dengan pengembangan model pelatihan kecakapan

hidup; dan

3. Data yang berhubungan dengan implementasi model pelatihan kecakapan

hidup.

Telaah penelitian terhadap kondisi objektif pelatihan kecakapan hidup dan

profil Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta akan berkenaan dengan

komponen-komponen pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup yang selama ini

dilaksanakan (analisis deskriptif).

Telaah penelitian mengenai pengembangan model pelatihan kecakapan

hidup, akan berkenaan dengan tiga komponen kegiatan yakni telaah terhadap:

1. Komponen perencanaan program;

2. Komponen pelaksanaan; dan

3. Komponen evaluasi kegiatan.

Pada komponen perencanaan program, hal-hal yang menjadi fokus kajian

penelitian ini adalah:

1. Jenis kegiatan pada tahap perencanaan,

2. Materi yang diprogramkan,

3. Alokasi waktu yang ditetapkan,

4. Tenaga yang dipersiapkan,

5. Pembiayaan,

6. Organisasi pelaksana kegiatan,

115

7. Evaluasi,

8. Sarana-prasarana yang dipersiapkan untuk kegiatan pelatihan.

Pada komponen pelaksanaan kegiatan, hal-hal yang menjadi fokus telaah

dalam penelitian ini diarahkan pada:

1. Materi-materi yang diberikan dalam PKH,

2. Metode yang digunakan dalam penyampaian materi,

3. Media yang digunakan dalam proses pelatihan,

4. Waktu yang digunakan dalam proses pelatihan,

5. Tenaga pembimbing atau nara sumber teknis, dan

6. Tingkat partisipasi peserta; meliputi kehadiran dan keaktifan selama

mengikuti proses pelatihan.

Pada komponen evaluasi, hal-hal yang menjadi fokus telaah dalam

penelitian ini diarahkan pada:

1. Jenis evaluasi;

2. Waktu pelaksanaan evaluasi; dan

3. Kriteria yang digunakan dalam melakukan evaluasi hasil penelitian terhadap

keterlibatan peserta dalam proses pelatihan dan kemandirian peserta setelah

mengikuti pelatihan.

1. Deskripsi Umum Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta

a. Sejarah Berdirinya Panti

Timbulnya masalah cross boys dan cross girls tahun 1957 di beberapa

kota besar di Indonesia, mendorong Departemen Sosial mendirikan suatu Camp

116

yang diresmikan tanggal 21 Desember 1959 dengan nama Pilot Proyek Karang

Taruna Marga Guna dengan Surat Keputusan Kepala Jawatan Pekerjaan Sosial

No. 3/BUL-DJPS-A/62.

Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-49/4479 tanggal 30

Oktober 1965 selanjutnya ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga

Guna yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation

Home untuk anak-anak Tuna Sosial, Camp pendidikan dan latihan kerja untuk

anak-anak mogok (drop out), serta Usaha Kesejahteraan Wanita/gadis desa/LSD.

Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48/144 tanggal 7 Oktober

1968 menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial

Wisma Handayani, Camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak mogol, Sanggar

rekreasi sehat Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja (termasuk Pramuka)

dari Jakarta dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading

petugas Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat

Departemen Sosial.

Pada rapat dinas staf Direktorat Kesejahteraan Anak dan Taruna dengan

staf Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna tanggal 18 Oktober, 30 Oktober dan 5

Nopember 1971, dihasilkan suatu keputusan bahwa mulai tanggal 1 Desember

1971 kegiatan proyek tersebut menjadi :

1) Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma Handayani sebagai

kegiatan pokok.

2) Pelayanan umum (community service) sebagai kegiatan

suplementer.

117

Terbitnya Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 10 Tahun 1975 yang

salah satunya melahirkan Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial di dalam Direktorat

Jenderal Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial Departemen Sosial, maka nama Panti

Pendidikan Anak Tuna Sosial dirubah menjadi Panti Rehabilitasi Sosial Anak

Nakal (PRAN) Wisma Handayani. Tahun 1983 secara resmi PRAN Wisma

Handayani dialihkan statusnya dari pengolahan Direktorat Rehabilitasi Tuna

Sosial menjadi salah satu Unit Pelaksana Teknis Kantor Wilayah Departemen

Sosial DKI Jakarta.

Selanjutnya melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Rehabilitasi

Sosial Departemen Sosial RI Nomor : 06/KEP/BRS/IV/1994 tanggal 1 April 1994

dan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 14/HUK/1994 tanggal 23 April

1994 tentang pembakuan penamaan Panti/Sasana, Panti Rehabilitasi Anak Nakal

Wisma Handayani berubah menjadi Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP)

Handayani. Berdasarkan keputusan tersebut, garis koordinasi pertanggungjawaban

panti kepada Kantor Wilayah Departemen Sosial DKIJakarta.

b. Maksud dan Tujuan

Dalam mengemban amanat UUD 1945 untuk memajukan kesejahteraan

umum Departemen Sosial merupakan leading sector dalam mengembangkan

Usaha Kesejahteraan sosial.

Pengembangan Usaha tersebut diimplementasikan pada berbagai upaya

untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada serta mengembangkan kapasitas

sosial masyarakat.

118

PSMP Handayani adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis yang

menangani permasalahan anak nakal dengan maksud:

1) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial

serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup,

tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta

menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan

berkualitas, serta berakhlak mulia.

2) Menghilangkan label dan stigma negatif masyarakat terhadap

anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk

berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat.

Maksud tersebut dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

masyarakat sehingga pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang

komprehensif dan berorientasi pada kepentingan penerima pelayanan.

Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP

Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan

kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam

suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan

sosialnya.

c. Fungsi

Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif

dari sekian banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan

pelayanan sosial kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi.

Dalam Keputusan Menteri No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan Tata

119

Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial ditetapkan bahwa Panti

Sosial adalah Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Sosial yang

berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh para

Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tugas pokok dan fungsinya

adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat

preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental,

sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak

nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta

pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.

Departemen sosial RI (dalam Profil PSMP Handayani, 2006: 4-5)

menjabarkan peran, fungsi dan tugas panti sosial percontohan adalah sebagai

berikut:

1) Sebagai Pusat Pelayanan Kesejahteraan Sosial, fungsi dan tugasnya adalah

sebagai berikut:

a) Menggugah, meningkatkan dan mengembangkan kesadaran sosial,

tanggung jawab sosial, prakarsa dan peran serta perorangan, kelompok

dan masyarakat.

b) Penyembuhan dan pemulihan sosial.

c) Penyantunan dan penyediaan bantuan sosial.

d) Mengadakan bimbingan lanjut.

2) Sebagai Pusat Informasi masalah kesosialan, fungsi dan

tugasnya adalah sebagai berikut:

120

a) Menyiapkan dan menyebarluaskan informasi tentang

masalah kesejahteraan sosial.

b) Menyelenggarakan konsultasi sosial bagi masyarakat.

3) Sebagai Pusat Pengembangan Kesejahteraan Sosial, fungsi dan

tugasnya adalah :

a) Mengembangkan kebijaksanaan dan perencanaan sosial.

b) Mengembangkan metode pelayanan sosia.

Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian

menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan

Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (dalam Profil PSMP

Handayani, 2006: 5) sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam

sebuah Panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu

mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan

pelatihan, baik kepada klien secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti

dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial.

d. Sasaran Garapan

Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani memberikan beberapa

alternatif penanganan permasalahan anak nakal. Pengertian anak nakal adalah

anak yang berperilaku menyimpang dari norma-norma sosial, moral dan agama

yang merugikan keselamatan dirinya, mengganggu dan meresahkan ketentraman

dan ketertiban masyarakat serta kehidupan keluarga dan atau masyarakat

(Kepmensos RI No 23/HUK/1996). Pelayanan yang diberikan tidak dapat lepas

dari kontribusi keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan terdekat dari anak

121

nakal. Dengan demikian partisipasi aktif dari keluarga dan masyarakat sangat

dibutuhkan bagi keberhasilan proses pelayanan. Sasaran garapan dalam

penanganan anak nakal meliputi :

1) Anak nakal

Anak nakal yang dapat memperoleh pelayanan di PSMP Handayani meliputi:

a) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum

menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan

pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTP) umum.

b) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah

menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka

diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan

kerja.

c) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi :

(1) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.

(2) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum.

(3) Menjalani putusan hakim.

(4) Setelah selesai menjalani pidana anak.

2) Orang tua anak nakal

Orang tua sebagai lingkungan terdekat anak perlu dipersiapkan

supaya mampu memberikan daya dukung bagi tumbuh kembangnya potensi

anak. Menghadapi permasalahan anak nakal, orang tua diharapkan dapat

menciptakan kondisi yang dapat menghindarkan anak dari perilaku nakal.

122

Untuk mencapai hal itu, maka PSMP Handayani melaksanakan kegiatan

motivasi dan konsultasi keluarga melalui home visit secara berkala.

3) Masyarakat

Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting untuk mencegah

timbulnya permasalahan kenakalan anak. Ini dimungkinkan dengan adanya

berbagai upaya memberikan kesempatan kepada anak nakal untuk

mengaktualisasikan diri mereka di dalam kehidupan masyarakat.

PSMP Handayani telah melakukan berbagai bentuk sosialisasi kepada

masyarakat termasuk dunia usaha (bengkel-bengkel skala kecil dan

menengah) di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya agar dapat menerima eks

anak nakal mengikuti program magang. Lebih lanjut diharapkan dapat

memberikan lapangan kerja bagi mereka.

4) Instansi/lembaga yang berwenang menangani kasus anak yang

berkonflik dengan hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

BAPAS/RUTAN dan LAPAS Anak) yang memiliki tugas dan

kewenangan menangani kasus anak yang berkonflik dengan

hukum agar lebih cepat tertangani demi kepentingan terbaik

bagi anak.

e. Persyaratan dan Calon Klien

Anak nakal yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasiflkasi

rujukan:

1) Rujukan dari keluarga/tokoh masyarakat/ PSM/ LSM/ Organisasi

Sosial atau Organisasi masyarakat lainnya.

123

2) Rujukan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan

(RUTAN) dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan

HAM.

Bagi calon penerima pelayanan diharapkan dapat memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

1) Laki-laki/Perempuan

2) Usia 10 s/d 21 tahun

3) Sehat fisik dan mental, tidak menderita penyakit kronis/menular

berdasarkan Surat Keterangan Sehat dari Dokter

Puskesmas/Rumah Sakit.

4) Menanda tangani surat pernyataan sanggup mengikuti program

rehabilitasi sosial.

5) Surat Penyerahan dari orang tua/wali/lembaga.

6) Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat

pindah dan raport.

7) Pas photo ukuran 4 x 6 (4 lembar) dan 2 x 3 (2 lembar).

8) Lulus Seleksi.

f. Pelayanan

Pelaksanaan kegiatan operasional pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal di

PSMP Handayani berpedoman pada Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 40/HUK/2004

tentang Prosedur Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial. Kegiatan

operasional dikoordinasikan ke dalam dua Seksi dan satu Sub Bagian, yaitu :

124

1) Sub Bagian Tata Usaha

Tugasnya mencakup persiapan sarana dan prasarana pelayanan seperti

sarana fisik dan SDM. Tugasnya meliputi penyiapan asrama, kebutuhan fisik

(makan) klien, sarana dan prasarana ketrampilan.

2) Seksi Program dan Advokasi Sosial (PAS).

Tugasnya melakukan persiapan perencanaan program baik program yang

berkaitan dengan operasional perkantoran maupun program rehabilitasi sosial

secara keseluruhan.

3) Seksi Rehabilitasi Sosial

Tugasnya melakukan bimbingan rehabilitasi sosial langsung kepada

klien. Bimbingan yang dilaksanakan meliputi bimbingan fisik, mental, sosial

dan ketrampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Tahapan proses pelayanan rehabilitasi sosial di PSMP Handayani adalah

sebagai berikut:

1) Pendekatan Awal

Merupakan kegiatan penjangkauan (out reach) klien. Pendekatan awal

dilakukan dengan langsung mendatangi lokasi dimana terdapat permasalahan

anak nakal. PSMP Handayani bekerja sama dengan Pekerja Sosial

Masyarakat (PSM) dalam melakukan seleksi.

2) Penerimaan

Calon klien yang dinyatakan dapat mengikuti seleksi datang ke PSMP

Handayani. Calon klien diharuskan mengikuti tes berupa tes wawancara, tes

sosiometri, tes fisik, tes buta warna, dsb. Setelah dinyatakan lulus tes maka

125

dilakukan pemeriksaan berkas kelengkapan administrasi.

3) Pengasramaan

Calon klien yang telah lulus seleksi maupun sudah memenuhi

kelengkapan persyaratan ditempatkan di asrama. Pengasramaan di PSMP

menganut sistem kepengasuhan dimana klien tinggal bersama-sama keluarga

asuh sebagai keluarga pengganti.

4) Orientasi

Pada awal proses pelayanan, klien diwajibkan mengikuti orientasi selama

kurang lebih dua minggu. Materi pada saat orientasi bertujuan untuk

memberikan gemblengan disiplin kepada klien sehingga mereka dapat

menyesuaikan dengan pola pelayanan yang teratur dan sistematis. Pemberi

materi terdiri dari Pihak Koramil, Kepolisian Sektor Cipayung dan pegawai

yang ditunjuk.

5) Assesmen

Langkah awal dalam proses pelayanan adalah kegiatan assesmen dengan

tujuan untuk mengungkap dan memahami latar belakang permasalahan klien.

Tujuan assesmen adalah untuk dapat menentukan fokus masalah sehingga

dapat menentukan jenis pelayanan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan

klien.

6) Perumusan Rencana Intervensi

Berdasarkan hasil assesmen pekerja sosial, maka dirumuskan rencana

intervensi pelayanan rehabilitasi untuk masing-masing klien. Rencana

intervensi diberikan sesuai dengan karakteristik masing-masing klien dan

126

berdasarkan tingkat kedalaman masalah.

7) Bimbingan Fisik, Mental, Sosial dan Ketrampilan

Berdasarkan rumusan rencana intervensi yang telah disusun

oleh pekerja sosial, klien selanjutnya memperoleh bimbingan

fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional sesuai dengan minat dan

bakatnya. Sedangkan bagi warga belajar usia sekolah diharuskan

mengikuti kegiatan belajar mengajar di SLB-E Handayani.

Bimbingan fisik, mental, sosial dan kecakapan vokasional di PSMP

Handayani dilaksanakan secara terintegrasi.

8) Resosialisasi

Pada tahap resosialisasi, PSMP Handayani melakukan sosialisasi

terhadap keluarga, masyarakat dan pihak dunia usaha yang dapat memberikan

dukungan bagi perkembangan maksimal klien. PSMP Handayani telah

menjalin kerjasama dengan berbagai bengkel kecil dan menengah di wilayah

DKI Jakarta untuk dapat menerima klien magang (praktik belajar kerja).

Selanjutnya diharapkan mereka dapat memberikan lapangan kerja bagi eks

klien.

9) Penyaluran

Klien yang telah selesai mengikuti program magang maka akan

disalurkan. Bentuk penyaluran disesuaikan dengan jenis bimbingan yang

diikuti. Bagi klien yang mengikuti program bimbingan pendidikan SLB-E

maka disalurkan kepada Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat.

Sedangkan untuk klien yang mengikuti bimbingan ketrampilan disalurkan

127

pada bengkel-bengkel yang menerima mereka bekerja.

10) Bimbingan Lanjut

Tahap ini merupakan tahap untuk mengadakan evaluasi dan monitoring

terhadap eks klien. Pihak PSMP Handayani melakukan bimbingan lanjut

secara berkala dalam waktu satu tahun setelah klien disalurkan. Tujuannya

adalah memantau perkembangan klien baik di lingkungan rumah maupun

lingkungan tempat kerja. PSMP Handayani harus mampu memaksimalkan

kondisi lingkungan yang dapat menjaga konsistensi perubahan perilaku.

11) Terminasi

Setelah melalui masa bimbingan lanjut selama satu tahun dan dinilai

bahwa eks klien sudah memiliki kemampuan untuk mandiri maka dilakukan

terminasi.

12) Pengarsipan data klien

Pengarsipan data klien dilakukan mulai tahap penerimaan. Untuk

persyaratan awal masuk panti file klien dihimpun oleh Seksi PAS dan

selanjutnya diserahkan kepada pekerja sosial yang menangani klien. Untuk

perkembangan selanjutnya sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab

pekerja sosial. Meskipun file klien lengkap ada di pekerja sosial tetapi

masing-masing bagian seperti Seksi Rehabilitasi Sosial, Tata Usaha dan PAS

juga melakukan pengarsipan.

g. Daya Tampung

Mengacu pada Keputusan Menteri Sosial No. 59/HUK/2003 tentang

Struktur Organisasi dan Tata Kerja PSMP Handayani sebagai Panti dengan

128

eselonering III tipe A, kapasitas tampung ditetapkan sebanyak 100 klien.

Kapasitas tersebut terisi dari pelayanan yang sifatnya reguler dan pelayanan

pengembangan. Pelayanan reguler merupakan bentuk pelayanan yang diberikan

kepada anak nakal rujukan dari masyarakat dan BAPAS/LAPAS dalam suatu

periode tertentu sesuai dengan kemampuan masing-masing anak.

Pelayanan pengembangan sifatnya lebih multi sektoral yang meliputi

pelayanan bagi remaja putus sekolah terlantar, penyandang cacat rungu wicara,

karang taruna yang diselenggarakan secara insidental yang difokuskan pada

pelatihan kecakapan vokasional teknik pendingin, las dan service motor.

Pelayanan ini dilakukan bekerja sama dengan berbagai orsos/ormas/lembaga

pemerintah yang ada. Tujuannya agar dapat memberikan respon positif terhadap

masyarakat lingkungan sekitar panti.

h. Sarana dan Prasarana

Sebagai panti percontohan, PSMP Handayani telah dilengkapi berbagai

sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk mendukung proses pelayanan.

Berbagai upaya pembenahan sarana dan prasarana terus dilakukan agar pelayanan

yang diberikan dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.

Beberapa sarana dan prasarana yang ada tersebut adalah:

1) Sarana gedung yang cukup representatif.

2) Sarana peralatan yang sesuai dengan tuntutan jaman.

3) Kondisi lingkungan yang cukup nyaman, asri dan jauh dari kebisingan.

Kondisi sarana dan prasarana PSMP Handayani dapat dilihat pada gambar

(lampiran).

129

i. Personalia

Daya Manusia merupakan penggerak utama suatu program. Dalam

melaksanakan pelayanan sosial terhadap anak nakal, diperlukan SDM dengan

kualitas yang cukup handal. Dukungan SDM/personalia di PSMP Handayani

dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini:

TABEL 4.1

DATA PERSONALIA PSMP HANDAYANI

TAHUN 2006

NO TINGKAT PENDIDIKAN / JURUSAN JUMLAH

1. S2 Kessos 2

2. Sl Kessos 4

3. Sl Hukum 1

4. D III Kessos 1

5. D III Pendidikan 3

6. SMA 7

7. SMK 12

8. SMP 2

9. SD 1

JUMLAH 33

Sumber : Data Kepegawaian, Tata Usaha 2006

Jumlah pegawai tersebut terbagi dalam berbagai jabatan antara lain jabatan

struktural, jabatan fungsional dan staf. Untuk lebih rincinya dapat dilihat pada

tabel 4.2 berikut :

TABEL 4.2

DATA PERSONALIA BERDASARKAN JABATAN

DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006

NO JABATAN JUMLAH

1. Jabatan Struktural 4

2. Jabatan fungsional pekerja sosial 12

3. Staff 17

JUMLAH 33 Sumber : Data Kepegawaian, Tata Usaha 2006

130

Jumlah pekerja sosial yang ada di PSMP Handayani adalah 12 orang.

Perbandingan pekerja sosial dengan jumlah klien adalah satu orang pekerja sosial

menangani delapan sampai sembilan orang klien.

j. Jaringan Kerja

Dalam mengembangkan profesionalisme pelayanan dan rehabilitasi sosial

bagi anak nakal, PSMP Handayani perlu mengembangkan jaringan kerja baik

dengan instansi pemerintah, pemerintah daerah, orsos, LSM maupun organisasi

kemasyarakatan. Sejalan dengan konsep multi layanan yang harus dilaksanakan

jaringan kerja menjadi sangat penting. Ini berkaitan dengan sasaran garapan yang

akan diberikan pelayanan. Jaringan kerja yang telah dikembangkan oleh PSMP

Handayani dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya adalah :

1) Instansi pemerintah lain seperti dengan Ditjen Pemasyarakatan Departemen

Hukum dan HAM dalam pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum.

Selain itu juga berkoordinasi dengan Depatrtemen Pendidikan Nasional

(Direktorat Pendidikan Dasar) dalam pembinaan anak SLB-E.

2) Dinas Sosial wilayah propinsi maupun Kabupaten/Kotamadya

dalam kegiatan penjangkauan klien.

3) Orsos/Ormas/LSM, Dewan Kelurahan, Sanggar Kegiatan Belajar dalam

kegiatan rujukan klien.

4) Dunia Usaha yang terdiri dari Perusahaan-perusahaan/bengkel- bengkel yang

bergerak dibidang service AC, service motor dan las dalam kegiatan Praktik

Belajar Kerja (PBK) atau magang klien.

131

5) Kalangan Akademisi seperti Universitas Indonesia, UPI Bandung, STKS

Bandung, IISIP Jakarta, Universitas Persada YAI dalam kegiatan Praktik

Kerja Lapangan bagi mahasiswa dan warga belajar.

k. Penyaluran Klien

Setelah melalui serangkaian proses pembinaan fisik, mental, sosial dan

kecakapan vokasional klien akan disalurkan. Untuk dapat disalurkan sebelumnya

klien mengikuti Program Praktik Belajar Kerja (PBK) di perusahaan/bengkel yang

sesuai dengan bidang kecakapan vokasional yang diperoleh. Selama menjalani

proses pembinaan dan mengikuti PBK, pekerja sosial melakukan pemantauan

terhadap perkembangan klien. Hasil pemantauan tersebut yang akan menjadi

dasar bagi penentuan penyaluran. Klien yang telah selesai masa pembinaan dapat

disalurkan pada :

1) Perusahaan/bengkel kerja

2) Sekolah-sekolah formal untuk melanjutkan jenjang pendidikan klien.

3) Organisasi sosial/ yayasan untuk mendapatkan pelayanan lanjutan.

4) Orang tua.

l. Indikator Kinerja

1) Semakin meningkatnya prosentase anak nakal yang telah

mendapat pelayanan dan rehabilitasi sosial.

2) Semakin meningkatnya jumlah Orsos/LSM/dunia usaha atau masyarakat

yang ikut terlibat dalam upaya pelayanan anak nakal.

132

3) Terbangunnya jaringan kerja yang dibentuk pemerintah dan masyarakat.

m. Peserta Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta

Anak nakal yang dapat diberikan pelayanan memiliki dua klasiflkasi

rujukan:

1) Rujukan dari keluarga /tokoh masyarakat/ PSM/LSM/ Organisasi

Sosial atau Organisasi masyarakat lainnya.

2) Rujukan dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Rumah Tahanan (RUTAN)

dan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM.

Bagi calon penerima pelayanan diharapkan dapat memenuhi persyaratan

sebagai berikut, untuk laki – laki / perempuan:

1) Usia 10 s/d 21 tahun

2) Sehat fisik dan mental, tidak menderita penyakit kronis/menular

berdasarkan Surat Keterangan Sehat dari Dokter Puskesmas/ Rumah

Sakit.

3) Menanda tangani surat pernyataan sanggup mengikuti program

rehabilitasi sosial.

4) Surat penyerahan dari orang tua/wali/lembaga.

5) Bila masih sekolah (kelas V SD s/d kelas III SLTP), harus melampirkan surat

pindah dan raport.

6) Pas photo ukuran 4 x 6 (4 lembar) dan 2 x 3 (2 lembar).

7) Lulus Seleksi.

133

2. Kondisi Faktual Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi

Putra Handayani Jakarta

Pada bagian ini akan menyajikan deskripsi tentang pelaksanaan kegiatan

PKH di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang akan difokuskan

pada.aspek perencanaan, pelaksanaan pelatihan, dan evaluasi kegiatan.

a. Perencanaan Program PKH

Kegiatan yang penulis lakukan untuk mengetahui tahap perencanaan yang

dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah melakukan

pertemuan dengan pengelola, warga belajar tunalaras, pekerja sosial, tutor, dan

orang tua asuh. Dalam pertemuan ini, peneliti menerima informasi dari Panti

Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta berkenaan dengan masalah-masalah

yang berhubungan dengan tujuan kegiatan, peran dan fungsi panti sosial dalam

program, waktu atau lamanya kegiatan, jumlah peserta kegiatan dan sebagainya.

Demikian pula sebaliknya, pihak pengelola panti sosial menerima penjelasan dari

pihak peneliti berkenaan dengan rencana peneliti mengadakan penelitian dan uji

coba model untuk membimbing dan membelajarkan warga belajar (anak

tunalaras) dalam mencapai tujuan model pelatihan kecakapan hidup, yakni

tercapainya kemandirian.

Materi-materi yang dipersiapkan PSMP Handayani Jakarta untuk

membekali warga belajar peserta kegiatan latihan adalah materi teknik las, teknik

pendingin, dan kecakapan vokasional otomotif. Menurut pengelola dan nara

sumber teknis materi ini lebih banyak dipersiapkan dalam bentuk praktik. Berikut

ini penulis sajikan rancangan pelatihan yang dibuat pada tahap perencanaan di

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani.

134

1) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Las

a) Nama Pelatihan : Tingkat Dasar Lanjutan

b) Lama Pelatihan : 715 Jam (@ 45 Menit)

c) Tempat Pelatihan : PSMP Handayani

d) Tujuan Umum Pelatihan : Pada akhir pelatihan peserta mampu :

(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja

mekanik/ listrik, las listrik maupun acetelyn.

(2) Memahami prinsip kerja las listrik dan acetelyn.

(3) Merawat dan memelihara peralatan las listrik maupun acetelyn.

(4) Mengetahui dan memahami simbol-simbol las.

(5) Merancang gambar dan perencanaan suatu bentuk pola.

(6) Membuat, mendesain, membending suatu produksi barang.

TABEL 4.3

MATERI PELATIHAN LAS DI PSMP HANDAYANI

No. Materi pelatihan Jam Pelatihan

Keterangan Teori Praktik Jumlah

1. Kerja bangku 12 14 36 @ 45 menit

2. Las acetelyn 40 204 244

3. Las listrik 40 203 243

4. Simbol-simbol las 16 32 48

5. Alat perkakas dan

pengukuran

16 32 48

6. Keselamatan kerja 16 32 48

7. Gambar tehnik 16 32 48

8. Ilmu bahan 16 32 48

9. Evaluasi 16 40 56

JUMLAH 188 627 715

Sumber: PSMP Handayani Jakarta

135

2) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Teknik Pendingin

a) Nama Pelatihan : Montir muda pendingin rumah tangga

b) Lama Pelatihan : 715 Jam (@ 45 Menit)

c) Tempat Pelatihan : PSMP Handayani

d) Tujuan Umum Pelatihan : Pada akhir pelatihan peserta mampu :

(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja

mekanik/listrik untuk perawatan dan perbaikan mesin pendingin /

AC rumah tangga dengan memperhatikan keselamatan kerjanya.

(2) Memahami prinsip kerja mesin pendingin/AC rumah tangga baik

mekanik maupun sistem listriknya.

(3) Merawat dan memperbaiki gangguan/kerusakan pada mesin

pendingin/AC rumah tangga, baik mekanik maupun system

listriknya untuk memperpanjang usia pakai.

TABEL 4.4

MATERI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP TEKNIK PENDINGIN

DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006

No Mata Latihan Jam Pelatihan

Keterangan Teori Praktik Jumlah

1 Dasar refigerasi 42 40 82 @ 45 menit

2 Alat dan bahan 40 120 160

3 Komponen 40 160 200

4 Listrik 45 80 125

5 Servis & reparasi 32 80 112

6 Evaluasi akhir 16 20 36

JUMLAH 215 500 715

Sumber: PSMP Handayani Jakarta

3) Jenis Pelatihan kecakapan hidup Otomotif

a) Tempat Pelatihan : PSMP Handayani

136

b) Tujuan Umum Pelatihan : Pada akhir pelatihan peserta mampu :

(1) Mengidentifikasikan, menggunakan dan memelihara peralatan kerja

mekanik/ listrik untuk perawatan dan perbaikan Mesin Sepeda Motor

dengan memperhatikan keselamatan kerja.

(2) Memahami prinsip kerja Mesin Sepeda Motor 2 tax dan 4 tax.

(3) Memahami kerusakan mesin sepeda motor baik kelistrikan, mesin

dan casis.

(4) Merawat dan memelihara mesin sepeda motor baik 4 tax maupun 2

tax.

TABEL 4.5

MATERI PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP OTOMOTIF

DI PSMP HANDAYANI TAHUN 2006

No Materi Pelatihan Jumlah Pelatihan

Keterangan Teori Praktik Jumlah

1 Kerja Bangku 16 24 50 @ 45 menit

2 Keselamatan Kerja 16 - 16

3 Alat Perkakas dan

Pengukuran

16 24 50

4 Casis 24 127 151

5 Motor Bakar 32 118 150

6 Kelistrikan 32 118 150

7 Troubleshooting 24 48 72

8 Pemeliharaan 16 24 50

9 Evaluasi 8 48 5,6

Jumlah 184 531 715

Sumber: PSMP Handayani Jakarta

Mencermati uraian materi pada tiga jenis kecakapan vokasional tersebut,

tampak bahwa hampir keseluruhan materi yang disajikan berbentuk praktik.

137

Materi yang berbentuk informasi atau kecakapan akademik hanya sebagian kecil

saja.

Waktu yang ditetapkan dan dipersiapkan PSMP untuk melayani peserta

kegiatan pelatihan, adalah setiap hari kecuali hari Minggu dan hari libur nasional

mulai pukul 07.00 s/d 15.00 WIB. Menurut pengelola, penetapan waktu tersebut

bertujuan agar warga belajar dapat secara langsung terlibat aktif pada kegiatan-

kegiatan tersebut karena penentuan waktunya berdasarkan masukan dari warga

belajar.

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta dalam rangka memberikan

pelayanan dan bimbingan terhadap warga belajar menunjuk 3 orang tutor. Ketiga

orang tutor yang ditunjuk tersebut, masing-masing memiliki keahlian khusus

terdiri atas: 1 orang tenaga ahli las, 1 orang tenaga ahli bidang teknik pendingin,

dan 1 orang teknik otomotif.

Pembiayaan kegiatan pelatihan Panti Sosial Marsudi Putra Handayani

Jakarta sepenuhnya ditanggung oleh Departemen Sosial. Untuk mendukung

kegiatan pelatihan pada tahap perencanaan, PSMP tidak secara khusus membuat

panitia atau organisasi pelaksana, namun hanya menunjuk dan mempersiapkan

orang-orang yang diberi tugas melayani dan membimbing hal-hal yang diperlukan

atau ditanyakan oleh para peserta kegiatan sebagaimana telah dikemukakan di

atas.

Kegiatan evaluasi untuk mengukur kecakapan vokasional dan keterlibatan

warga belajar selama dan setelah mengikuti program pelatihan, dilakukan melalui

evaluasi hasil oleh team tutorial dan nara sumber teknis dari PSMP selaku pihak

138

penyelenggara. Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui penguasaan kecakapan

vokasional tertentu. Evaluasi dilaksanakan selama kegiatan tutorial berlangsung

dengan cara mengamati dan memperhatikan peningkatan kecakapan vokasional

pada setiap pertemuan.

Sarana-prasarana yang dipersiapkan PSMP untuk mendukung pelaksanaan

program pelatihan adalah berupa sarana atau peralatan yang ada di lingkungan dan

atau yang biasa digunakan sehari-hari oleh PSMP yakni bengkel, ruang praktik,

dan peralatan lain yang cukup memadai.

Agar lebih jelas alur pada tahap perencanaan tersebut, penulis sajikan

pemetaannya dalam bentuk skema berikut ini.

GAMBAR 4.1

ALUR TAHAP PERENCANAAN KEGIATAN PELATIHAN

DI PSMP HANDAYANI JAKARTA

b. Pelaksanaan Program PKH

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, pelaksanaan kegiatan

pelatihan sebagian besar berjalan sesuai dengan rencana. Materi-materi yang

Pertemuan dengan

orang tua asuh

PSMP

Masukan dari

berbagai pihak

Warga Belajar

Tutor

Perancangan Program

- Penyusunan materi

pelatihan

- Penyusunan

tatalaksana proses

pelatihan

- Penyiapan sarana

dan prasarana

Pertemuan

dengan Perangkat Depsos, Pengurus, Tutor, dan WARGA

BELAJAR

139

disampaikan dan latihan sebagaimana telah ditentukan dalam kegiatan

perencanaan sebagian besar adalah materi-materi yang berhubungan dengan

kecakapan vokasional las, pendingin, dan otomotif.

Nara sumber teknis atau instruktur dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan

adalah nara sumber teknis yang telah berpengalaman dan menjadi tutor di

lingkungan PSMP Handayani Jakarta, yakni sebanyak 3 orang tersebut. Metode

yang digunakan dan kegiatan pelatihan sebagian besar adalah praktik yang

divariasi dengan kegiatan dialog dan diskusi. Kedua metode tambahan itu

dilakukan secara temporer dan kondisional yang tidak menyita waktu secara

signifikan.

Tingkat kehadiran peserta selama proses pelatihan sebagai salah satu

indikator partisipasi peserta dalam mengikuti kegiatan, menurut para pelaksana

kegiatan cukup baik. Angka partisipasi warga belajar menurut para pelaksana

dapat dikategorikan 90% hadir dalam setiap kegiatan. Menurut para pengelola dan

pelaksana, dalam proses pelatihan, peserta kegiatan cukup responsif dalam

mengikuti materi atau bahan latihan yang disampaikan oleh nara sumber atau

instruktur kegiatan. Bentuk-bentuk respon peserta menurutnya antara lain;

mengajukan pertanyaan, tanggapan, dan usulan sehingga kegiatan pelatihan yang

dilaksanakan tidak membosankan dan berlangsung dengan penuh semangat.

Agar lebih jelas alur pada tahap pelaksanaan tersebut, penulis sajikan

pemetaannya dalam bentuk skema berikut ini.

140

GAMBAR 4.2

ALUR TAHAP PELAKSANAAN KEGIATAN PELATIHAN

DI PSMP HANDAYANI JAKARTA

c. Evaluasi Kegiatan

Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa para

pengelola dan instruktur pelatihan PSMP Handayani Jakarta tidak mempersiapkan

secara khusus tentang rencana kegiatan evaluasi terhadap warga belajar, akan

tetapi bukan berarti kegiatan evaluasi tidak dilaksanakan.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap nara

sumber teknis yang ditunjuk untuk membimbing peserta, diperoleh informasi

bahwa sekalipun tidak secara tertulis, kegiatan evaluasi atau penilaian tetap

dilakukan. Menurut nara sumber teknis (pembimbing), mereka selalu bertanya dan

mengadakan ricek terhadap penguasaan kecakapan vokasional tertentu seperti:

sudah sampai mana materi yang dipelajari peserta, atau kemampuan apa yang

sudah dikuasai peserta? Pertanyaan-pertanyaan ini menurutnya sering dilontarkan

para instruktur bahkan hampir setiap hari. Oleh karena itu, nara sumber teknis

PELAKSANAAN

1. Materi: Las, Teknik

Pendingin, dan Otomotif

1. Metode: Praktik

2. Angka Partisipasi:

Kehadiran WARGA

BELAJAR 90% WARGA

BELAJAR

RANCANGAN

PROGRAM

TUTOR

141

pada tataran tertentu telah melakukan evaluasi dengan cara pengamatan. Fokus

materi evaluasi menurutnya secara garis besar dilakukan terhadap proses dan

melihat hasilnya. Dari sisi proses aspek yang dilihatnya antara lain kecakapan

vokasional menggunakan alat, ketelatenan, dan keuletan dalam mengerjakan

latihan, serta keseriusan dalam memperhatikan setiap materi yang diberikan.

Sedangkan dari sisi hasil, hal-hal yang dinilai menurutnya menyangkut kecepatan

pengerjaan dan kerapihan hasil pekerjaan.

Hasil evaluasi yang dilakukan melalui pengamatan, menurut pengelola dan

para intsruktur, PKH dapat memberikan manfaat yang cukup baik bagi warga

belajar atau peserta pelatihan. Pasca kegiatan PKH, menurutnya warga belajar

cukup menguasai kemampuan teknis kecakapan vokasional yang dilatihkan.

Palaksanaan evaluasi dilakukan dengan telah menggunakan teknik evaluasi

kinerja. Di samping itu, evaluasi pun dilakukan selama dan setelah mengikuti

program pelatihan atau evaluasi proses.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap nara

sumber teknis yang ditunjuk sebagai instruktur peserta, juga diperoleh informasi

bahwa setiap pertemuan dilakukan evaluasi. Evaluasi yang dimaksud adalah

evaluasi untuk menguji kecakapan vokasional yang dimiliki warga belajar pada

setiap pertemuan. Evaluasi proses juga dilakukan setiap kali pertemuan.

Pelaksanaannya kurang bervariasi dan baru pada tahap mengetes kemampuan

secara parsial. Ada kalanya evaluasi dilakukan dengan cara mengevaluasi hasil

kinerja warga belajar, misalnya: tutor mengevaluasi hasil reparasi motor, hasil

pengelasan atau hasil kinerja warga belajar tertentu. Secara bersama-sama dengan

142

warga belajar, hasil reparasi tersebut dievaluasi untuk mengetahui kekurangan dan

kelebihan produk tersebut. Hasil evalusi itu kemudian disimpulkan untuk

memperoleh informasi mengenai kelemahan tersebut yang selanjutnya dijadikan

model bagi peserta yang lain.

Secara garis besar, fokus materi evaluasi diarahkan pada proses dan

melihat hasilnya. Dari sisi proses aspek yang dilihatnya antara lain kecakapan

vokasional menggunakan alat, ketelitian, dan keuletan dalam mengerjakan latihan,

serta keseriusan dalam memperhatikan setiap materi yang diberikan. Sedangkan

dari sisi hasil, hal-hal yang dinilai menyangkut kecepatan pengerjaan dan

kerapihan hasil pekerjaan (produk). Hasil evaluasi yang dilakukan melalui

pengamatan, menurut nara sumber dan tutor, kegiatan pelatihan dapat

memberikan manfaat yang cukup bagi warga belajar. Alur tahap evaluasi dapat

dilihat pada skema berikut ini.

GAMBAR 4.3

ALUR TAHAP EVALUASI DI PSMP HANDAYANI JAKARTA

Hasil analisis dan deskripsi pendidikan PKH di Panti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta, kemudian

penulis tuangkan ke dalam gambar berikut ini.

Jenis Evaluasi:

Evaluasi Kinerja

Evaluasi Proses;

Setiap Pertemuan

Evaluasi

Feed Back

143

GAMBAR 4.4

MODEL PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP

DI PSMP HANDAYANI JAKARTA

PROGRAM

KERJA

DIKNAS

PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP

ANAK TUNALARAS DI PSMP HANDAYANI

JAKARTA

PROGRAM

KERJA

DEPSOS

Persiapan Awal

Program Pelatihan

Kecakapan Hidup

Pelaksanaan Program

Pelatihan Kecakapan Hidup

Bimbingan fisik

Bimbingan Mental

Bimbingan Sosial

Bimbingan

Keterampilan

Ekstrakurikuler

Bimbingan Kecakapan

Akademis

Penyaluran dan Pembinaan Lanjut

Program Pelatihan Kecakapan Hidup

Anak bekerja/

membuka usaha

Anak dapat melanjutkan

ke tingkat yang lebih

tinggi

144

B. Analisis Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta

Berikut ini akan penulis paparkan realisasi pelaksanaan pelatihan

kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara

dengan berbagai sumber data, observasi lapangan, dan analisis dengan pendekatan

SWOT.

1. Hasil Wawancara

a) Pelatihan kecakapan hidup menurut Kepala Panti PSMP Handayani Jakarta

PSMP Handayani adalah salah satu unit pelaksana teknis yang menangani

permasalahan anak nakal yang bermaksud untuk dapat memulihkan kondisi

psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat

hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta

menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan

berkualitas, serta berakhlak mulia. Menghilangkan label dan stigma negatif

masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk

berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut

dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga

dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi pada

kepentingan penerima pelayanan. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak

Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap

mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi

sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan

lingkungan sosialnya.

145

Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah lembaga Pemerintah

maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial kepada anak yang mengalami

gangguan perilaku dan emosi. Tugas pokok dan fungsinya adalah memberikan

bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif,

rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan

ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu

mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan

penyiapan standar pelayanan dan rujukan.

Yang terlibat dalam pembuatan perecanaan program, menurut kepala

panti meliputi: Kepala panti, instruktur, dan nara sumber teknis. Kepala panti

berpendapat bahwa pelaksanaan pelatihan yang berjalan selama ini masih kurang

optimal. Kekurangan itu, berkenaan dengan:

a. Tidak tersusunnya program kerja pelatihan yang sistematis dan fleksibel

sesuai dengan tuntutan perkembangan pendidikan, terutama tentang:

kurikulum, standar keahlian intsruktur, sistem pelatihan yang efektif,

bimbingan mental yang optimal, biaya, dan sebagainya. Selama ini, pelatihan

berjalan sesuai dengan petunjuk teknis dari Departemen Sosial.

b. Tidak ada tindak lanjut dari pelatihan kecakapan hidup untuk masa depan

warga belajar, masih belum terealisasikan karena untuk sekarang ini panti

hanya dapat memberikan pelatihan yang berbentuk pembekalaan keaahlian

saja.

c. Tidak adanya pemisahan latar belakang sosial dan pendidikan secara

proporsional sehingga anak tunalaras diarahkana kepada pelatihan keahlian

146

yang sudah tersedia di panti (teknik otomotif, pengelasan, dan teknik

pendingin) sehingga ditemukan warga belajar yang kurang aktif karena bidang

keahliannya yang tidak sesuai.

b) Pelatihan kecakapan hidup Menurut Instruktur

Pelatihan kecakapan hidup adalah pengajaran keterampilan yang

diarahkan pada keterampilan warga belajar dalam menguasai bidang keahlian

yang dilatihkan. Pelatihan kecakapan hidup ini merupakan suatu usaha panti

dalam membekali warga belajar agar mempunyai kemampuan vokasional untuk

mengenal dan memasuki dunia kerja. Bekal keterampilan ini secara luas diberikan

kepada warga belajar. Kemudian kurikulum belum ada untuk pelatihan

kecakapan hidup, sehingga instruktur harus membuat kurikulum pelatihan

kecakapan hidup sendiri yang tidak memiliki konsistensi. Kemudian, tidak

adanya buku sumber atau panduan untuk anak dalam pelatihan keterampilan pun

menghambat pelaksanaan program pelatihan. Panduan tersebut mungkin berupa

modul yang efektif.

Di samping itu, Pelatihan kecakapan hidup merupakan salah satu program

penyiapan kerja bagi warga belajar untuk menghadapi lapangan kerja. Penyiapan

kerja secara sederhana belum diintegrasikan dalam materi pelatihan. Seperti yang

telah diutarakan, pemberian informasi tentang pentingnya mempelajari satu

keterampilan untuk masa depan anak wajib disampaikan tutor walaupun tidak

secara langsung dalam mengarahkan warga belajar pada satu pilihan program

keterampilan tertentu.

147

d) Pelatihan kecakapan hidup Menurut Warga Belajar

Pelatihan ini menurut saya sangat bermanfaat. Harapan saya dengan

mengikuti keterampilan ini, saya akan lebih mudah kembali ke masyarakat dan

memiliki keahluan yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan di masa datang.

2. Hasil Observasi

Hasil observasi lapangan menghasilkan beberapa data yang sangat penting

untuk diungkapkan. Melihat lingkungan sekitar PSMP Handayani Putera Jakarta,

yang sangat kondusf dan memadai, PSMP ini seharusnya mampu menjelma

menjadi salah satu panti yang dapt membantu warga belajar dalam menapaki masa

depannya agar lebih baik.

Kelengkapan sarana dan prasarana pelatihan kecakapan hidup sangat

memadai. Lingkungan yang cukup luas, sarana ibadah yang memadai, sarana

praktek yang optimal, dan kemapanan para pengelolanya, merupakan sebuah

modal dalam pengembangan pelatihan. Kegiatan pelatihan antara tutor dan warga

belajar terlihat berjalan dengan baik. Dari hasil pegamatan langsung penulis,

diketahui bahwa panti belum mempunyai kurikulum sendiri yang aplikatif yang

dijadikan pegangan untuk pelatihan kecakapan hidup. Selain itu, tidak adanya

buku sumber atau panduan pelatihan yang berstandar akan menghambat juga.

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yang telah diuraikan di atas

dapat disimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani

memerlukan suatu perencanaan yang dituangkan dalam program kerja yang

kemudian direalisasikan dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, standar

kurikulum, standar keahlian tutor, dan sebagainya.

148

2. Hasil Analisis SWOT

Analisis model faktual pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani

Jakarat akan menggunakan pendekatan analisis SWOT (strength, weakness,

opportunity, threat). Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dijelaskan berikut ini.

Kekuatan (strength) di PSMP Handayani Jakarta pada pelaksanaan

pelatihan kecakapan hidup, yakni adanya kesatupaduan dan struktur organisasi

manajemen lembaga yang sangat optimal. PSMP ini sudah memiliki kelengkapan

personal dan sumber daya yang memadai.

Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-49/4479 tanggal 30

Oktober 1965, PSMP ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna

yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation Home

untuk anak-anak Tuna Sosial, camp pendidikan dan latihan kerja untuk anak-anak

mogok (drop out), serta Usaha Kesejahteraan Wanita/gadis desa/LSD. Surat

Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48/144 tanggal 7 Oktober 1968

menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma

Handayani, camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak, Sanggar rekreasi sehat

Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja (termasuk Pramuka) dari Jakarta

dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading petugas

Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat Departemen

Sosial.

Kelemahan (weakness) atas pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup di

PSMP Handayani Jakarta, di antaranya: pertama, proses penyusunan rencana

program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga belajar secara intensif. Kedua,

149

tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak diketahui

keterampilan siap warga belajar. Ketiga, materi-materi program pelatihan yang

akan dikembangkan tidak dibuat secara terencana dan sistematis. Keempat, tidak

merumuskan tujuan kegiatan/program secara eksplisit yang diarahkan untuk

menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar. Kelima, nara

sumber teknis atau tutor tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk

tertulis baik dalam modul atau kemasan tertulis lainnya. Keenam, tidak

mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut antara lain

disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap aspek-aspek

pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi. Ketujuh, ada kecenderungan

nara sumber teknis (tutor) tidak menguasai azas-azas pelatihan dengan sistem

tutorial, baik pada tahapm perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kedelapan,

nara sumber teknis dalam setiap pertemuan, tidak pernah menjelaskan tujuan

pelatihannya secara detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga

belajar. Kesembilan, kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik

dan penguasaan keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif,

teknik pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan

warga belajar belum memiliki sikap kemandirian. Kesepuluh, proses pelatihan

tidak menggunakan metode pelatihan yang terpadu. Sebagian besar hanya

bertumpu pada kegiatan praktik sehingga tidak menampakkan proses pelatihan

dengan model tertentu. Kesebelas, tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara

terpadu atau terintegrasi yang komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria

penilaiannya tidak jelas.

150

PSMP Handayani Jakarta dalam beberapa segi memiliki kelemahan dan

keterbatasan. Akan tetapi, pada sisi lain, pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup

memiliki beberapa peluang (opportunity) yang memungkinkan terus

dikembangkan. Peluang tersebut antara lain: pertama, perhatian dan antusiasme

masyarakat sekitar sangat tinggi. Ini dibuktikan dari partisipasi masyarakat yang

turut andil sebagai partisipan dan sponsor pelaksana di PSMP Handayani Jakarta.

Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk menitipkan anaknya yang nakal

di PSMP. Di samping itu, sabagian anggotam masyarakat sekitar PSMP turut andil

dalam membantu kelancaran program. Misalnya, memanfaatkan jasa keterampilan

yang dimiliki warga belajar atau turut serta menjadi sponsor bengkel kerja

magang warga belajar. Antusiame yang tinggi tersebut menjadi bekal dan fondasi

pengembangan PSMP. Kedua, program pelatihan otomotif, teknik pengelasan, dan

teknik pendingin merupakan bidang kerja yang aplikatif dan berkembang pesat di

masyarakat yang pertumbuhannya sangat dinamis. Diharapkan dengan pemilihan

materi latih pada bidang tersebut, warga belajar dapat memanfaatkannya ketika

kembali ke masyarakat dan mampu bekerja atau embuka lahan usaha yang

produktif. Ketiga, perhatian pemerintah daerah daerah dan pusat sangat tinggi.

Perhatian tersebut berupa dukungan dana, manajemen, peralatan, dan personalia.

Keempat, Kinerja PSMP Handayani Jakarta sangat baik sehingga mempunyai

reputasi nasional dan daya tarik kepada masyarakat untuk turut serta

berpartisipasi. Profil dan berbagai kesuksesan dalam menjalankan program,

menjadi unggulan di mata masyarakat. Kelima, upaya untuk menjalin kerja sama

dengan pihak lain, telah dirintis sejak dulu dan kini berjalan dengan berbagai

151

instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka pengembangan PSMP

Handayani.

Ancaman (threat) terhadap keberlangsungan PSMP, yang perlu

diantisipasi di antaranya: pertama, keterbatasan dana operasional. Sementara ini,

PSMP mengandalkan dana subsidi pemerintah yang pada tataran tertentu dana

tersebut cukup memadai. Akan tetapi, pengembangan program yang lain

memerlukan suntikan dana tambahan sehingga PSMP dapat melakukan

pengembangan. Kedua, keterbatasan personalia, khususnya instruktur. Intrusktur

yang diberdayakan selama ini adalah rekruetmen yang berstatus PNS, honorer,

dan tenaga lapangan. Rekruetmen pada umumnya adalah alumni PSMP yang

mempunyai keahlian tertentu. Dengan keterbatasan anggaran, maka

pengembangan diri para personalia tersebut terbatas sehingga berimbas pula pada

keterbatasan pengembangan programnya.

C. Analisis Kebutuhan Model dan Pengembangan Model Pelatihan

Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta

1. Analisis Kebutuhan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta

Analisis kebutuhan pengembangan model bermaksud memberikan

gambaran mengenai strategi atau pendekatan dalam pengembangan model

pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta sehingga dapat

tergambarkan bentuk titik masuk atau aspek pelatihan di PSMP dan alternatif

strategi pengembangannya. Pendekatan yang dilakukan dalam menetapkan titik

masuk sebagai fokus peluang pengembangan model pendidikan kecakapan hidup

ini menggunakan pendekatan kelembagaan. Dapat dipahami secara teoritis,

152

apabila kita hendak memasuki dan memahami masyarakat hendaknya harus

masuk dengan cara memilih fokus yang dipandang strategis dan mudah

dimasukinya.

Secara kelembagaan, terdapat dua peluang yang akan dijadikan kunci ke

arah pengembangan model pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani

Jakarta, yaitu adanya peluang prospek usaha dan pengembangan potensi diri

warga belajar di masyarakat dan pengembangan pada keterikatan antara warga

belajar dengan lembaga (PSMP) dalam monitoring dan bimbingan terpadu kepada

warga belajar setelah warga belajar selesai mengikuti pelatihan di PSMP. Namun

dari hasil studi lapangan mengenai aspek peluang tersebut, berhasil diidentifikasi

bahwa peluang tersebut merupakan salah satu alternatif program yang dipandang

representatif dapat dikembangkan secara utuh dan berkesinambungan

(sustainable) melalui studi ini. Peluang pengembangan ini dimaksudkan aspek-

aspek pokok dari usaha lapangan masyarakat yang dipandang sebagai potensi

yang dapat mendukung terhadap model pengembangan pendidikan kecakapan

hidup yang akan diterapkan di PSMP Handayani Jakarta.

Berdasarkan dua peluang untuk penggambaran model, yaitu lapangan

usaha masyarakat dan jenis kelembagaan ekonomi PSMP, dapat diprediksi

alternatif strategi pengembangan seperti apa yang akan diterapkan.

Memperhatikan karakteristik dua kelembagaan di atas, yaitu: lapangan usaha

masyarakat sekitar PSMP Handayani Jakarta dan lembaga pengembangan

ekonomi, dihubungkan dengan karakteristik bidang keterampilan yang dapat

dikembangkan dalam rangka pengembangan model pelatihan kecakapan hidup

153

ini, maka strategi pengembangan yang dipandang tepat adalah melalui pelatihan

dengan model sinergi belajar dan usaha.

Merujuk pada analisis masalah model faktual yang dikemukakan pada

bagian sebelumnya, bahwa perencanaan di PSMP kurang optimal, terutama

berkenaan dengan aspek: penyusunan rencana program kegiatan; tes awal materi-

materi program; perumusan tujuan kegiatan/program; tidak ada rencana pelatihan

dalam bentuk tertulis; tidak mempersiapkan proses evaluasi; dan penguasaan

yang rendah nara sumber teknis (tutor) terhadap azas-azas pelatihan dengan

sistem tutorial. Dengan demikian, pada aspek perencanaan menunjukkan

perlunya ada sebuah perlakuan terapan bagi para warga belajar maupun nara

sumber teknis PSMP tentang materi-materi yang berkaitan dengan masalah

pendidikan khususnya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan

perencanaan program.

Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek

pelaksanaan ditunjukkan oleh adanya gejala yang kurang optimal. Diidentifikasi

bahwa program pendidikan kecakapan hidup yang selama ini dilaksanakan di

PSMP Handayani Jakarta mengandung kelemahan berkenaan dengan:

penyampaian tujuan; pengemasan materi yang tidak dituangkan ke dalam modul

yang sistematis; proses pelatihan hanyalah berupa pelatihan dan penguasaan

keterampilan; dan proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang

integratif, yakni metode belajar dan usaha.

Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek evaluasi

ditunjukkan pula oleh aspek yang terkait dengan masalah: tidak adanya penduan

154

evaluasi standar untuk mengukur keterampilan warga belajar, tidak adanya proses

evaluasi intensif dan terukur selama kegiatan berlangsung, dan tidak dibuatkannya

rencana kegiatan evaluasi secara terpadu.

2. Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta

a. Rancangan Model Konseptual Pelatihan Kecakapan Hidup

Rancangan model konseptual merupakan kerangka model yang hendak

disusun ke dalam model yang lebih operasional dalam pelaksanaan uji coba

model. Model pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak

tunalaras dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta.

Tujuan yang ingin dicapai dalam rancangan model konseptual yang akan

dikembangkan dalam penelitian ini secara substansial meliputi tujuan jangka

panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah membantu anak

tunalaras untuk mengembangkan kemandirian diri sendiri dan kelompok dalam

belajar, bekerja, dan berusaha secara berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi

yang dimiliki warga belajar dan masyarakat dengan tetap memperhatikan

pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan dan

pembinaan maupun bantuan terhadap kelompok sasaran yang ada dimaksudkan

agar mereka (warga belajar) mampu berkembang menjadi insan yang mandiri

serta berkelanjutan dalam mengembangkan usaha dengan sikap yang mandiri.

Tujuan jangka pendek melalui pelatihan kecakapan hidup diharapkan

agar anak tunalaras (warga belajar) yang berasal dari berbagai latar belakang

memiliki kecakapan akademik dan kecakapan vokasional dalam mengembangkan

155

potensi yang dimiliki untuk bekerja, mengelola, dan mengolah sumber daya yang

ada dengan atau bersama orang lain sehingga menjadi usaha produktif.

Desain pengembangan model pelatihan kecakapan hidup mengandung 7

(tujuh) tahapan yang diajukan dalam pengembangan model ini. Bila disajikan

dalam bentuk narasi, ketujuh tahapan tersebut adalah:

a. Fase kajian teori; landasan teori dan penyusunan desain;

b. Fase penemuan model di lapangan (praksis);

c. Deskripsi sistem pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta;

d. Verifikasi Model/validasi ahli, praktisi dan uji coba terbatas; hasil validasi

gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup,

e. Implementasi Model (treatment);

f. Penerapan gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup,

g. Hasil Implementasi dan dampak (kemandirian); hasil pengembangan model

pelatihan kecakapan hidup.

Ketujuh fase di atas telah dideskripsikan pada bagian terdahulu/dalam

desain penelitian. Bagian ini berupaya mengemukakan alur proses penelitian

sebagai salah satu perwujudan dari proses menuju pada fase ke empat, yaitu

verifikasi model, terutama validasi ahli dan praktisi. Diharapkan dengan adanya

proses verifikasi dan validasi model, hasil penelitian ini memiliki

pertanggungjawaban ilmiah yang tinggi.

Pembahasan mengenai alur proses penelitian dan pengembangan model

kecakapan hidup pada bagian ini menggambarkan mengenai implementasi atau

156

pelaksanaan penelitian dan pengembangan model, sebagai bagian dari fase-fase

yang telah dirancang dalam desain secara makro, pada bagian ini berupaya

mendeskripsikan beberapa aspek.

Alur proses atau tahapan studi lapangan dalam rangka penelitian dan

pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta,

merentang sejak dilakukannya studi lapangan tahap 1 sampai dengan berhasil

diungkapkan hasil pengembangan modelnya itu sendiri.

Bertitik tolak dari kondisi faktual anak tunalaras yang tergabung dalam

PSMP Handayani Jakarta, serta analisis masalah, kebutuhan belajar dan

karakteristik anak tunalaras, maka program kegiatan pelatihan berbasis

kemandirian menjadi pertimbangan dalam mendesain model pelatihan kecakapan

hidup. Model konseptual yang disusun dalam program kemandirian anak tunalaras

melalui PKH ini secara umum sama dengan program-program pelatihan yang lain,

yaitu terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan diakhiri

dengan penilaian.

Berdasarkan tiga langkah pokok dalam model konseptual yang

dikembangkan, dapat dijelaskan aspek-aspek komponen model pelatihan

kemandirian anak tunalaras yang akan diujicobakan dan dikembangkan dalam

penelitian ini. Adapun aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut :

1) Perencanaan

Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak

tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon

peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai

157

hal yang terkait dengan perencanaan program.

Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan

fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di

PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan

kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam

suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan

sosialnya.

Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian

menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan

Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya

masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan

dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat

penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada klien secara langsung

maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan

kesejahteraan sosial.

Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan

kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak

akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua

instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk

koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung,

terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh

para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program

kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung

158

jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas)

menyatakan kesediaannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan

lanjutan.

Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan

disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan vokasional yaitu

perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif.

Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis

kecakapan vokasional ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu

yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi

teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan

acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan

pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur

yang dapat diuraikan sebagai berikut :

a) Tujuan Pelatihan

Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan

kemandirian anak tunalaras di puast Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak

Nakal di PSMP Handayani adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan

kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya

dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan

lingkungan sosialnya. Secara khusus, program PKH di PSMP Handayani

bertujuan :

(a) Meningkatkan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional anak

tunalaras yang dapat dijadikan mata pencaharian.

159

(b) Menyebarluaskan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional

melalui peningkatan kecakapan hidup.

(c) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar

tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan

potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat.

(d) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial

serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup,

tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta

menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan

berkualitas, serta berakhlak mulia.

b) Kelompok Sasaran

Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria

sebagai berikut :

a) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum

menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan

pendidikan setaraf Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTP) umum.

b) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah

menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka

diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan kerja.

c) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi :

(1) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.

160

(2) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum.

(3) Menjalani putusan hakim.

(4) Setelah selesai menjalani pidana anak.

c) Sumber Belajar/Fasilitator

Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk

program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut:

a) Berusia 20-50 tahun

b) Tingkat pendidikan minimal SMA

c) Alumni PSMP Handayani Jakarta.

d) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik

e) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih

f) Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan

d) Kurikulum

Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek

yang perlu dilakukan penguatan yaitu: (a) aspek personal, berupa

ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan

masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa

keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan

kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi

sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga

dan lingkungan sosialnya; dan (c) aspek vokasional, berupa keinginan anak

tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu

menjadi manusia yang produktif dan mandiri.

161

Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan

mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang

difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan

kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi

kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut:

a) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan

vokasional selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di

masyarakat setempat.

b) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan

pokok pengembangan kurikulum.

c) Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan

penekanan pada pengembangan kemandirian.

d) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan

kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar.

Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1)

Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan

akademik tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3)

Kecakapan akademik tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4)

Kecakapan akademik tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang

pengelolaan keuangan; (6) Kecakapan akademik tentang pengelolaan

organisasi/kelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan

akademik tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha

bersama.

162

e) Bahan Ajar dan Latihan

Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya

dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan

kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini

mencakup:

a) Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan

servis dan jasa.

b) Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan,

Sumberdaya Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan.

c) Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (Las, teknik

pendingin, dan otomotif).

f) Media Pelatihan Keterampilan

Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan-bahan

praktik.

g) Metode Pelatihan Keterampilan

Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan

kecakapan hidup adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode

ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik.

h) Waktu dan Tempat Pelatihan

Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh dari

tgl 14 Februari - 28 Maret 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu

pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6

hari dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit.

163

i) Evaluasi Akhir Pelatihan

Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a)

evaluasi prapelatihan (b) evaluasi proses pelatihan, dan (c) evaluasi akhir

pelatihan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a)

kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan.

b. Pelaksanaan

Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional

menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah

daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial,

Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader

organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat

diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan

program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan

pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan

kecakapan vokasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan

satu program pelatihan kecakapan hidup.

Dalam banyak hal, pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang

disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau

terbatasnya sumber daya manusia (Sumber Belajar dan atau tenaga pendamping)

yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang menganut

sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar

sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan setelah

kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri.

164

c. Evaluasi

Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada

kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan

kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan

vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi

hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar,

terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam

proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat

untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai

pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi,

penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan,

serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan

dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori

dan praktik).

Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup

selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber

belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas

tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar

yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui

tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan kecakapan hidup

dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills) untuk meningkatkan

kemandirian anak tunalaras (warga belajar), kesejahteran, dan taraf hidup mereka.

Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan dan

165

mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam

perspektif Pendidikan Luar Sekolah program pelatihan tersebut

diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini

juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki

kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan

model pada program pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya

kepercayaan yang melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam

menjalankan tugas sehari-hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang

memadai dan dapat dipertanggungjawabkan.

Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan hidup lebih

menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak

mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan

kecakapan vokasional orang dewasa kegiatan belajar kecakapan vokasional

praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan

dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan

"learning by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods)

adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu,

metode pelatihan kecakapan hidup juga akan menarik dan bermakna bagi warga

belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan

vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program

(calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama.

Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar

anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan

166

hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya sebagai berikut:

Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba

menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan

pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai

penguatan untuk kemandirian anak tunalaras sebagai warga belajar. Selain itu,

dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan

menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi.

Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat

(SDA, SDM dan nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga

belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan.

Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan-keunggulan komparatif

dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan

kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah.

Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi

warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui

pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan

vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam

penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan

pelayanan di bidang jasa.

Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang

menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan

dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan

belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga

167

memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok

sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan.

Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan

kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input,

environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan

output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap

kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan

dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga

belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan

menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan

pendekatan partisipatif dan kolaboratif.

Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah

suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya

mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan

model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang

diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan

pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti

sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman) antara lain:

menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model

pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari

peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu

langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi,

sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.

168

b. Validasi dan Revisi Rancangan Model Konseptual

Kegiatan validasi dilakukan setelah rancangan model konseptual selesai

disusun. Dalam upaya mendapatkan model akhir, model konseptual yang telah

disusun masih perlu mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan dengan

mendengarkan masukan dan pandangan dari kalangan pakar Pendidikan Luar

Sekolah dan pakar pelatihan serta praktisi program pelatihan. Secara khusus, juga

diminta masukan dari praktisi baik dari Dinas Sosial dan Diknas Jakarta untuk

visualisasi model sehingga menjadi visualisasi yang mudah dipahami dan

menarik. Langkah selanjutnya dari hasil penelitian dengan prosedur penelitian dan

pengembangannya, dilakukan diskusi dengan teman sejawat dan pihak yang

terlibat dalam program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan.

Diskusi dilakukan dengan cara memberikan rancangan model konseptual

pelatihan yang akan dikembangkan dan bahan belajar yang akan digunakan dalam

pelatihan untuk diberi catatan perbaikan dan penyempurnaan.

Hasil diskusi dengan para pakar dan praktisi disusun dan dikompilasikan

sebagai bahan untuk berdiskusi dan mengadakan pembahasan dengan nara

sumber lain agar semakin menyempurnakan dan memperbaiki model tersebut.

Dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan pengujian validasi, yakni teoritik dan

empirik. Berikut ini beberapa masukan yang penting dari nara sumber.

a. Penilaian Ahli terhadap Rancangan Model konseptual

Beberapa masukan penting dari nara sumber terhadap model yang akan

dikembangkan, antala lain sebagai berikut:

1) Model pelatihan kecakapan hidup cukup memadai dan sesuai dengan

169

kebutuhan dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras;

2) Model pelatihan kecakapan hidup selain memerlukan pelibatan berbagai

pihak, juga memerlukan pendekatan yang tepat sehinga bisa dijalin kerjasama

sejak dari mulai pelatihan sampai kegiatan berusaha;

3) Model pelatihan kecakapan hidup yang dibangun khusus bagi anak tunalaras

harus selalu direncanakan dari bawah dengan melibatkan calon warga belajar;

4) Model yang diajukan ini cukup memadai dan dapat menjadi panduan para

fasilitator/tutor dan pendamping dalam melakukan tugas pembinaan

kecakapan vokasional kepada anak tunalaras;

5) Sistem dan proses perencanaan program, pendekatan, media, materi serta

metode pelatihannya cukup memadai dengan prinsip kecakapan hidup,

pendekatan partisipatif sebagai upaya kemandirian anak tunalaras;

6) Model ini dapat diterima karena proses kemandirian anak tunalaras

dilakukan dengan basis masyarakat atau memanfaatkan sebagian sumber daya

lokal (alam, manusia dan budaya setempat);

7) Model ini dimungkinkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat umumnya

dan kelompok gabungan anak tunalaras khususnya dalam hal pelatihan

keterampilan;

8) Model ini dapat memberikan penguatan terhadap model pelatihan yang telah

ada, khususnya dalam program pelatihan ekonomi masyarakat yang selama

ini kurang memperoleh penekanan dalam melakukan identifikasi dan

penentuan prioritas kebutuhan belajar masyarakat; dan

9) Sistematika dan visualisasi, serta kerangka bahan belajar untuk pelatihan

170

kecakapan hidup melalui pelatihan sebagai upaya kemandirian anak tunalaras

sudah sesuai.

Komentar yang diberikan nara sumber memberikan penekanan pada empat

hal, yaitu: (1) rancangan model, media pelatihan, pemanfaatan sumber daya lokal

yang terkait dengan pelatihan kecakapan hidup, dan relevansinya dengan

kebutuhan anak tunalaras; (2) kerangka pikir, isi sistematika, alur dan visualisasi

model; dan (3) proses pengelolaan pelatihan; serta (4) bahan dan sumber belajar.

Beberapa hal yang perlu direvisi dari model pelatihan kecakapan hidup

bagi anak tunalaras berdasarkan masukan dari para ahli adalah (1) visualisasi

model dalam bentuk gambar disesuaikan dengan aspek-aspek komponen model

pelatihan kecakapan hidup supaya lebih spesifik; (2) arah program pelatihan

kecakapan hidup lebih ditekankan pada usaha untuk membangun kemandirian

anak tunalaras sehingga memiliki nilai tambah dalam pemberdayaannya; dan (3)

pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada vocational skills,

Beberapa masukan yang berasal dari nara sumber pada model konseptual

pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras,

kemudian dijadikan bahan perbaikan dan penyempurnaan, terutama terkait dengan

pelatihan kecakapan hidup yang lebih ditekankan pada “vocational skills” dan

pembentukan kemandirian.

b. Penilaian Praktisi terhadap Rancangan Model Konseptual

Komentar praktisi terhadap model konseptual yang akan dikembangkan

lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: (1) model, khususnya

relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras yang terkait dengan memberikan

171

bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif,

rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan

keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu

mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan

penyiapan standar pelayanan dan rujukan; (2) evaluasi dan monitoring; dan (3)

bahan belajar sebagai panduan warga belajar dan fasilitator/pembimbing.

Beberapa hal yang perlu direvisi dari model ini berdasarkan masukan dari

para praktisi adalah memperbaiki kekurangan dalam menentukan jenis-jenis

kecakapan vokasional terapan yang ekonomis disesuaikan dengan kebutuhan

belajar yang dipilih dan disepakati oleh calon warga belajar dengan

mempertimbangkan potensi setempat dan yang mungkin disediakan termasuk

fasilitas/peralatan praktik dan media pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan.

c. Tanggapan Warga Belajar terhadap Desain Model Konseptual

Tanggapan terhadap rancangan model konseptual pelatihan kecakapan

hidup terutama ditujukan dan diharapkan datang dari para anak tunalaras calon

warga belajar yang dijadikan peserta dalam penelitian ini. Komentar calon warga

belajar terhadap model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini

lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: (1) kesesuaian model pelatihan

kecakapan hidup dengan kebutuhan belajar dan potensi sumber daya yang ada di

daerah; (2) bahan belajar yang mereka butuhkan; (3) fasilitator/sumber belajar,

dan pembimbing.

Rancangan model konseptual terlebih dahulu direvisi berdasarkan

beberapa masukan yang diberikan para pembimbing, para ahli di luar

172

pembimbing, para praktisi pelatihan PLS, dan calon warga belajar sehingga

dihasilkan sebuah model konseptual yang siap untuk diimplementasikan.

Sebagaimana diungkapkan dalam bab III, bahwa model pengembangan penelitian

dilakukan dalam dua kegiatan (I dan II). Hasil model konseptual dari

pengembangan penelitian yang dilakukan pada kegiatan I, setelah divalidasi dan

direvisi atau yang siap untuk diimplementasikan dapat dilihat pada gambar 4.5

sebagai berikut.

173

Model konseptual (lihat di file gambar model)

174

Gagasan model pelatihan kecakapan hidup dilatarbelakngi oleh beberapa

masalah yang muncul sebagai hasil kajian lapangan melalui observasi dan studi

lapangan. Permasalahan pertama berkenaan dengan input warga belajar. Warga

belajar pada pelatihan kecakapan hidup berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah lengkap dengan berbagai

latar belakangnya. Karakteristik utama warga belajar tersebut adalah: (1) mereka

mempunyai penyimpangan perilaku; (2) memiliki permasalahan dalam belajar; (3)

membutuhkan pendidikan khusus; dan sebagainya.

Permasalahan kedua, berkenan dengan kompetensi vokasional yang

rendah. Kompetensi vokasional warga belajar tersebut hanya berkenaan dengan

keterampilan yang berhubungan dengan keperluan hidup yang kurang produkif.

Kompetensi vokasional yang produktif harus dimiliki oleh warga belajar agar

mereka mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomi bahkan mampu

mandiri secara wirausaha.

Permasalahan ketiga berkenaan dengan latar belakang ekonomi yang

beragam tetapi pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu.

Latar belakang ekonomi menjadi fokus perhatian penulis sebagai bahan kajian

penyusunan model karena berhubungan langsung dengan tujuan dan dampak

pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Tujuan akhir model ini adalah

terbentuknya warga belajar yang memiliki kecakapan hidup dan kemandirian.

Kondisi ekonomi yang kurang tentu akan berpengaruh pada karakteristik warga

belajar dalam berbagai sudut pandang.

Permasalahan berikutnya berkenan dengan perencanan, pelaksanaan,

175

evaluasi, dan sumber belajar (tutor) juga yang kurangmemahami azas-azas

pelaksanaan pelatihan. Keempat aspek tersebut tidak dikelola denganbaik

layaknya kegiatan pelatihan yang harus disusun dan silaksanakan dengan

sistematis.

Beberapa permasalahan dan latar belakang tersebut menjadi dasar

pemikiran penulis dalam mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan

hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Latar belakang tersebut

menjadi dasar penyusunan program dan dasar penyusunan teknis pelatihan

kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Program

pelatihan berkenaan dengan pengembangan pada aspek: kurikulum, pendekatan,

dan tujuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam pelatihan kecakapan hidup di

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah kurikulum terintegratif.

Kurikulum ini merupakan sebuah program kerja yang dikembangkan berdasarkan

aspek-aspek unsur-unsurnya secara terintegrasi yakni: kemandirian secara fisik,

mental, dan sosial; pengembangan sarana dan prasarana pendukung pelatihan,

uraian waktu, teknik evaluasi, dan sebagainya.

Pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan pelatihan partisipatif.

Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada anak tunalaras karena anak tunalaras

memiliki penyimpangan perilaku yang berbeda dari anak biasa sehingga

keterlibatan emosi dan sosialnya harus dikontrol. Pendekatan partisipatif mampu

mengakomodasi karakteristik anak tunalaras sehingga memungkinkan mereka

aktif dan turut berperan serta dalam pelatihan.

Tujuan pelatihan adalah agar anak tunalaras memiliki kecakapan

176

vokasional. Kecakapan vokasional yang dikembangkan melalui pelatihan ini

adalah kecakapan di bidang otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin.

Pada aspek teknis pelatihan berkenaan dengan manajemen, proses

belajaran mengajar (pelatihan), dan evaluasi serta pengembangannya. Manajemen

berkenaan dengan tata laksana pelatihan. Manajemen yang dimaksud adalah

manajemen dalam bidang: tata rancang personal, tata rancang materi pelatihan,

tata rancang sarana dan prasarana, tata rancang keuangan, dan sebagainya. PBM

berkenaan dengan teknik proses pelatihan. Evaluasi dan pengembangannya

berkenaan dengan teknik penentuan model evaluasi, jenis evaluasi, instrumen

evaluasi, dan teknik pengukurannya. Seluruh paparan di atas merupakan

pengembangan tahap perencanaan pelatihan. Tahap perencanaan ini akan menjadi

landasan pelaksanaan pelatihan.

Proses pelatihan kecakapan hidup dikembangkan berdasarkan beberapa

unsur yang turut berpengaruh pada pelaksanaannya. Pertama, pemberian tes awal.

Tes awal diterapkan untuk mengetahui kemampuan awal warga belajar yang

berkenaan dengan materi pelatihan yanag akan disampaikan. Melalui tes awal titik

tolak materi akan dikembangkan sesuai dengan hasilnya. Proses pelatihan juga

dipengaruhi oleh proses bimbingan fisik, mental, dan sosial yang sudah menjadi

program kerja Panti Sosial. Bimbingan tersebut biasanya dilaksanakan pada pagi

hari dan malam hari. Secara khusus, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi

input (warga belajar). Faktor-faktor tersebut adalah: lingkungan sekitar, keluarga,

ekonomi, dan sebagainya. Faktor tersebut merupakan faktor bawaan yang tidak

dapat dilepaskan pada diri warga belajar. Proses pelaksanaan pelatihan diakhiri

177

oleh pemberian tes akhir yang merupakan salah satu cara yang paling efekif untuk

menguji keberhasilan pelatihan lebih jauh lagi keberhasilan rancangan model.

Seluruh pelaksanaan tersebut merupakan tahap pelaksanaan model atau kegiatan

inti. Gambaran pelaksanaan pelatihan tersebut pun dapat dijadikan dasar dalam

merevisi program kegiatan. Revisi diperlukan pada saat menemukan bagian-

bagian pelatihan yang kurang optimal.

Proses pelatihan kecakapan hidup diharapkan mampu membentuk warga

belajar memiliki kemandirian secara fisik, mental, dan sosial. Di samping itu,

diharapkan juga dapat membentuk warga belajar yang memiliki kecakapan hidup

akademik, vokasional, sosial, dan personal. Semua karakteristik warga belajar

yang menjadi tujuan pelatihan tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi.

Hasil evaluasi perancangan pelatihan tersebut dapat mejadi dasar

pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Pengembangan dapat dilakukan

melalui pemberdayaan warga belajar ke bengkel-bengkel yang sudah menjalin

kerja sama, mendirikan koperasi, dan sebagainya. Paparan model pelatihan

tersebut merupakan dasar bagi pelaksanaan pelatihan (tahap implementasi model).

C. Implementasi Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta

1. Uji Coba Model Tahap I

Kegiatan implementasi (uji coba) model pelatihan kecakapan hidup dalam

peningkatan kemandirian anak tunalaras dilakukan melalui dua tahap. Pada uji

coba tahap 1, sumber belajar/tutor yang didampingi peneliti lebih aktif dalam

178

memberikan atau menyampaikan materi baik teori maupun praktik kepada warga

belajar selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Kegiatan ini dilakukan selain

untuk mengetahui hasil atau kesesuaian antara konsep dengan penerapannya, juga

untuk melihat kemungkinan adanya kelemahan dan hambatan yang akan segera

diperbaiki.

Pada uji coba tahap 2, sumber belajar/tutor mengurangi perannya dalam

kegiatan proses pelatihan. Sumber belajar yang tetap didampingi peneliti lebih

banyak melakukan pengamatan atau sebagai pemantau dan hanya sesekali

memberikan arahan bila dianggap masih ada kegiatan dari warga belajar yang

masih kurang sesuai. Pada tahap kedua ini lebih diarahkan agar setiap warga

belajar memiliki kemandirian dan pengalaman langsung dalam melakukan setiap

kegiatan.

a. Persiapan

Pada tahap persiapan, yaitu sebelum model konseptual diujicobkan atau

diimplementasikan, lagkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut.

Pertama, melakukan diskusi dengan calon warga belajar yang diikuti oleh

aparatur Dinas Sosial Kota Jakarta sebagai pengelola (pekerja sosial), orang tua

asuh, dan instruktur. Fokus diskusi membahas tentang masalah-masalah sosial-

ekonomi, termasuk masalah pendidikan anak tunalaras, pelatihan yang efektif,

jalinan kerja sama dengan pihak luar (para penguasaha atau pemilik bengkel), dan

potensi-potensi ekonomi yang mungkin dan dapat dikembangkan.

Kedua, penentuan jensi-jenis kecakapan vokasional praktis yang dijadikan

materi pelatihan sesuai dengan kebutuhan belajar calon warga belajar pada

179

program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup.

Ketiga, melakukan koordinasi dengan pengelola Panti Asuhan Marsudi

Putra Handayani Jakarta, dalam hal ini ditujukan pada upaya menjalin kerja sama

dan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan program

kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup.

Keempat, penyiapan bahan belajar. Materi-materi pelatihan yang

dimasukan dalam program pelatihan keterampilan, disusun dalam bentuk bahan

belajar berdasarkan kebutuhan belajar calon warga belajar. Penyiapan materi-

materi bahan belajar dilakukan mulai bulan Juli sampai Agustus 2008. Peyusunan

bahan belajar tertulis dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa instansi

terkait, khususnya Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Jakarta yang

berkedudukan sebagai praktisi dalam penyusunan model bahan belajar. Setelah

melalui diskusi dan validasi, selanjutnya bahan belajar diperbanyak sesuai dengan

kebutuhan program pelatihan kecakapan hidup.

Kelima, penetapan nama calon warga belajar yang akan mengikuti

pelatihan kecakapan hidup. Jumlah seluruh warga belajar pelatihan sebanyak 60

orang. Keenampuluh warga belajar tersebut terbagi menjadi tiga kelompok, yakni

25 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional otomotif, 18 orang warga

belajar kelompok kecakapan vokasional pengelasan, dan 17 orang warga belajar

teknik pendingin.

Keenam, penetapan waktu dan tempat pelatihan. Sebelum kegiatan

pelatihan diselenggarakan, terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan

dengan tutor/fasilitator, dan perwakilan calon warga belajar Dari pertemuan

180

tersebut disepakati program dan jadwal kegiatan pelatihan untuk uji coba model

tahap I, sekaligus menyepakati jenis-jenis kecakapan vokasional yang akan

dipelajari dan menentukan tempat penyelenggaraan program pelatihan. Kegiatan

program pelatihan pada tahap I disepakai mulai tanggal 14 sampai 28 Pebruari

2008.

Ketujuh, persiapan peralatan pelatihan dan pelatihan, media/bahan

pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan, selain disiapkan sendiri oleh peneliti,

juga disiapkan oleh PSMP, dan fasilitator.

b. Pelaksanaan

Sebelum pelaksanaan eksperimen terlebih dahulu dilakukan tes awal

(pretest) kepada warga belajar sebagai subyek penelitian. Fokus tes yang

dilakukan secara tertulis hanya berorientasi pada dimensi pelatihan keterampilan.

Setelah warga belajar diberikan perlakuan dengan model program pelatihan

kecakapan hidup selanjutnya dilakukan tes akhir (posttest ).

Pemberian pretes, dilakukan secara tertulis, observasi, dan dengan

wawancara kepada seluruh warga belajar yang telah dibagi menjadi tiga kelompok

yaitu kelompok pengelasan, kelompok teknik pendingin, dan kelompok teknik

otomotif. Materi yang diujicobakan berupa kegiatan praktik, dan aspek yang

diwawancarakan berkisar pada kemampuan awal atau yang telah dikuasai dari

masing-masing jenis kecakapan vokasional yang mereka ikuti. Materi pretes yang

diberikan kepada tiap kelompok terdiri dari materi kecakapan akademik sebanyak

15 item, materi kecakapan vokasional sebanyak 15 item, materi kecakapan

181

personal sebanyak 15 item, dan materi kecakapan sosial sebanyak 15 item.

Penilaian keempat aspek kecakapan tersebut dilakukan dengan menggunakan

pilihan berganda. Setiap item yang benar diberi skor 1 dan salah dengan skor 0,

serta benar semua diberi skor 15 (100%).

1) Kelompok Teknik Otomotif

Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah

dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya

dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan akademik

otomotif yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal

tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-

rata sebelum pelatihan sebesar 7,60 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7,

dan nilai maksimum 9.

Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis

kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif

walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan

dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-

rata sebesar 7,28 nilai minimum 6 dan maksimum 9.

Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan

informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah

secara kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang

yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan

182

kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 7

dan maksimum 8.

Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga

belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama

yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah

terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga

belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 6 dan

maksimum 9. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup otomotif dari keempat

aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan

kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis

kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.6 berikut:

TABEL 4.6

DATA HASIL PRETES

KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF

WB

Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33

2 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67

3 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67

4 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67

5 7 46.67 6 40.00 7 46.67 8 53.33

6 8 53.33 6 40.00 8 53.33 8 53.33

7 7 46.67 7 46.67 8 53.33 8 53.33

8 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67

9 7 46.67 6 40.00 7 46.67 7 46.67

10 8 53.33 7 46.67 8 53.33 7 46.67

11 8 53.33 6 40.00 8 53.33 8 53.33

12 9 60.00 7 46.67 8 53.33 8 53.33

13 9 60.00 8 53.33 8 53.33 8 53.33

183

1 2 3 4 5 6 7 8 9

14 8 53.33 8 53.33 7 46.67 8 53.33

15 8 53.33 7 46.67 7 46.67 8 53.33

16 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67

17 7 46.67 8 53.33 7 46.67 9 60.00

18 8 53.33 7 46.67 7 46.67 9 60.00

19 7 46.67 7 46.67 8 53.33 9 60.00

20 7 46.67 7 46.67 8 53.33 6 40.00

21 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 46.67

22 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33

23 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67

24 8 53.33 7 46.67 8 53.33 6 40.00

25 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67

Jumlah 190 1266.67 182 1213.333 189 1260 189 1260

Rata-

rata 7.60 50.67 7.28 48.53 7.56 50.40 7.56 50.40

2) Kelompok Teknik Pengelasan

Hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes

ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan

memerlukan pendalaman dari masing-masing materi teknik pengelasan.

Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga

belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,61

yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8.

Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis

kecakapan praktis yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa

orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang

diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,28 nilai

minimum 6 dan maksimum 8.

184

Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan

informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah

secara kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang

yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan

kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,44 nilai minimum 7

dan maksimum 8.

Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga

belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama

yang berkenaan dengan tekinik pengelasan walaupun ada beberapa orang yang

sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada

warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,33 nilai minimum 7 dan

maksimum 8.

Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pengelasan dari keempat

aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan

kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis

kecakapan hidup dapat dilihat dalam tabel 4.7 berikut.

TABEL 4.7

HASIL PRETES

KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33

2 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 46.67

3 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67

185

WB Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

4 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67

5 8 53.33 6 40.00 7 46.67 8 53.33

6 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33

7 7 46.67 7 46.67 8 53.33 8 53.33

8 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67

9 7 46.67 6 40.00 7 46.67 7 46.67

10 8 53.33 7 46.67 8 53.33 7 46.67

11 8 53.33 6 40.00 8 53.33 7 46.67

12 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67

13 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67

14 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67

15 8 53.33 7 46.67 7 46.67 8 53.33

16 7 46.67 7 46.67 7 46.67 7 46.67

17 7 46.67 7 46.67 7 46.67 8 53.33

18 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67

Jumlah 137.00 913.33 131.00 873.33 134.00 893.33 132.00 880.00

Rata-rata 7.61 50.74 7.28 48.52 7.44 49.63 7.33 48.89

3) Kelompok Teknik Pendingin

Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek

kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan

kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui

sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan

vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan

dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu

memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,88 yang menunjukkan

nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8.

186

Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis

kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin

walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan

dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-

rata sebesar 7,76 nilai minimum 7 dan maksimum 9.

Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan masih belum terampil menggali dan menemukan

informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah

secara kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa

orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan

kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,71 nilai minimum 7

dan maksimum 9.

Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga

belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama

yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang

sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada

warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,59 nilai minimum 7 dan

maksimum 9.

Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat

aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan

kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis

kecakapan ini dapat dilihat dalam tabel 4.8 berikut:

187

TABEL 4.8

HASIL PRETES

KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN

WB

Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 2 3 4 5 6 7

1 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67

2 9 60.00 7 46.67 7 46.67 9 60.00

3 8 53.33 8 53.33 9 60.00 8 53.33

4 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67

5 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67

6 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33

7 9 60.00 7 46.67 7 46.67 7 46.67

8 9 60.00 7 46.67 7 46.67 7 46.67

9 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67

10 9 60.00 9 60.00 8 53.33 7 46.67

11 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33

12 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67

13 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33

14 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67

15 9 60.00 9 60.00 8 53.33 9 60.00

16 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33

17 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33

Jumlah 134.00 893.33 132.00 880.00 131.00 873.33 129.00 860.00

Rata-rata 7.88 52.55 7.76 51.76 7.71 51.37 7.59 50.59

Setelah diketahui hasil dari tes awal, langkah selanjutnya dilakukan uji

coba model pelatihan dan pengujian bahan belajar. Kegiatan tes awal bertujuan

188

untuk mengetahui di bidang mana saja yang dianggap lemah oleh warga belajar,

yang selanjutnya akan diberikan penekanan-penekanan khusus pada bidang yang

dianggap lemah tersebut. Sebelum warga belajar mempraktikkan secara langsung,

masing-masing kelompok didampingi oleh para tutor dan sumber belajarnya.

Materi yang diberikan pada saat uji coba, diawali oleh nara sumber dengan

menjelaskan dan mempraktikkan masing-masing jenis keterampilan. Setiap akhir

penjelasan dari masing-masing keterampilan, warga belajar disuruh menanyakan

hal-hal yang dianggap kurang jelas. Kemudian tiap-tiap warga belajar disuruh

mempraktikkan materi yang telah diberikan dalam dan diujicobakan tutor.

Sedangkan untuk pengujian bahan belajar, kepada warga belajar juga dibagikan

satu buah bahan belajar atau modul dari masing-masing jenis keterampilan. Setiap

warga belajar diminta untuk memberikan tanggapan atas isi dan bentuk bahan

belajar yang telah dibagikan. Kalau materi teknis dari keempat jenis kecakapan

vokasional diberikan secara terpisah kepada masing-masing kelompok, maka

pemberian materi umum yang berkenaan kemandirian seperti kemandirian secara

fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), kemandirian secara mental (dapat

berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan

gagasan) dan kemandirian secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri).

c. Penilaian (Evaluasi)

Kegiatan penilaian (evaluasi) dilakukan sesuai rancangan dan persiapan

model yang telah ditetapkan. Penilaian selain bertujuan untuk melihat hasil

kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan melalui tes akhir

(postes), juga untuk melihat bagaimana proses dari keseluruhan kegiatan pelatihan

189

yang telah dilaksanakan. Kegiatan postes dilaksanakan dengan membagikan

lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan yang telah diberikan kepada

keempat kelompok sesuai jenis keterampilannya. Hasil tes dibantu dengan hasil

wawancara, dan hasil pengamatan atau observasi. Kegiatan pengamatan dilakukan

selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Hasil postes pada uji coba tahap

pertama adalah sebagai berikut.

1) Kelompok Otomotif

Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah

dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar sudah menunjukkan adanya

peningkatan kecakapan akademik. Peningkatan ini diperoleh setelah warga belajar

mengikuti proses pelatihan.

Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada aspek kecakapan

akademik warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan

sebesar 12,32 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum

13. Selanjutnya untuk menguji sigfikansinnya digunakan uji t karena data

merupakan skala interval dan berdasarkan uji normalitas diperoleh kesimpulan

baik data pretes dan postes mengikuti distribusi normal.

Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan

akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada

beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal

yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,76 nilai

minimum 11 dan maksimum 14.

190

Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi,

mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara

kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang

sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan

kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,56 nilai minimum 11

dan maksimum 14.

Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga

belajar dinyatakan masih terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang

berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil.

Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar,

diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,92 nilai minimum 11 dan maksimum 14.

Secara rinci, hasil postes kecakapan vokasional otomotif dari keempat

aspek (kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan

kecakapan sosial) pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis

kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut.

TABEL 4.9

HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I

KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 12 80.00 13 86.67 14 93.33 10 66.67

2 12 80.00 13 86.67 12 80.00 12 80.00

3 12 80.00 11 73.33 11 73.33 11 73.33

191

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

4 11 73.33 11 73.33 11 73.33 13 86.67

5 11 73.33 12 80.00 12 80.00 12 80.00

6 12 80.00 13 86.67 13 86.67 13 86.67

7 12 80.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33

8 13 86.67 14 93.33 14 93.33 11 73.33

9 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67

10 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67

11 12 80.00 14 93.33 14 93.33 11 73.33

12 11 73.33 12 80.00 14 93.33 12 80.00

13 13 86.67 12 80.00 14 93.33 11 73.33

14 13 86.67 13 86.67 11 73.33 13 86.67

15 12 80.00 13 86.67 11 73.33 13 86.67

16 12 80.00 14 93.33 12 80.00 11 73.33

17 14 93.33 12 80.00 13 86.67 12 80.00

18 13 86.67 12 80.00 13 86.67 11 73.33

19 13 86.67 12 80.00 14 93.33 12 80.00

20 13 86.67 12 80.00 12 80.00 13 86.67

21 12 80.00 14 93.33 14 93.33 11 73.33

22 11 73.33 13 86.67 11 73.33 11 73.33

23 13 86.67 13 86.67 11 73.33 13 86.67

24 13 86.67 13 86.67 13 86.67 11 73.33

25 12 80.00 13 86.67 11 73.33 11 73.33

Jumlah 308 2053.3 319 2126.7 314 2093.3 298 1986.7

Rata-

rata 12.32 82.13 12.76 85.07 12.56 83.73 11.92 79.47

Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap pertama, ternyata warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan

penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan

postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.10 sebagai berikut.

192

TABEL 4.10

PENINGKATAN HASIL PRETES - POSTES UJI COBA TAHAP I

PADA KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF

WB

Jumlah Skor

Akademik Vokasional Personal Sosial

Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain

1 7 12 5.00 8 13 5.00 8 14 6.00 8 10 2.00

2 7 12 5.00 8 13 5.00 8 12 4.00 7 12 5.00

3 7 12 5.00 8 11 3.00 7 11 4.00 7 11 4.00

4 7 11 4.00 8 11 3.00 7 11 4.00 7 13 6.00

5 7 11 4.00 6 12 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00

6 8 12 4.00 6 13 7.00 8 13 5.00 8 13 5.00

7 7 12 5.00 7 14 7.00 8 13 5.00 8 14 6.00

8 8 13 5.00 7 14 7.00 7 14 7.00 7 11 4.00

9 7 13 6.00 6 13 7.00 7 13 6.00 7 13 6.00

10 8 13 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 7 13 6.00

11 8 12 4.00 6 14 8.00 8 14 6.00 8 11 3.00

12 9 11 2.00 7 12 5.00 8 14 6.00 8 12 4.00

13 9 13 4.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 11 3.00

14 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 8 13 5.00

15 8 12 4.00 7 13 6.00 7 11 4.00 8 13 5.00

16 7 12 5.00 8 14 6.00 7 12 5.00 7 11 4.00

17 7 14 7.00 8 12 4.00 7 13 6.00 9 12 3.00

18 8 13 5.00 7 12 5.00 7 13 6.00 9 11 2.00

19 7 13 6.00 7 12 5.00 8 14 6.00 9 12 3.00

20 7 13 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00 6 13 7.00

21 8 12 4.00 8 14 6.00 8 14 6.00 7 11 4.00

22 8 11 3.00 8 13 5.00 8 11 3.00 8 11 3.00

23 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 7 13 6.00

24 8 13 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 6 11 5.00

25 7 12 5.00 7 13 6.00 8 11 3.00 7 11 4.00

Jumlah 190 308 118.00 182 319 137.00 189 314 125.00 189 298 109.00

Rata-

rata 7.60 12.32 4.72 7.28 12.76 5.48 7.56 12.56 5.00 7.56 11.92 4.36

Dari hasil analisis uji coba lapangan ditemukan; bahwa secara deskriptif

model yang dikembangkan telah dianggap layak, namun masih ada beberapa

193

faktor yang perlu diperbaiki dalam implementasi tahap berikutnya, yaitu: (a)

waktu praktik bagi warga belajar yang perlu diperbanyak, (b) bahan belajar lebih

disederhanakan, dan (memperbanyak kegiatan praktik. Sedangkan setelah

pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup diidentifikasi: (a) perlunya program

pembinaan lanjutan dan (b) pembentukan jaringan kemitraan dalam pemagangan

dengan kelompok usaha.

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes,

kecakapan hidup warga belajar dianggap masih belum memuaskan. Hasil

penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah uji

coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,72 (31,47%); materi

kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,48 (36,53%); kecakapan

personal mengalami kenaikan sebesar 5 (33,33%); dan kecakapan sosial

mengalami kenaikan sebesar 4,36 (29,07%).

2) Kelompok Teknik Pengelasan

Sama halnya dengan kecakapan hidup yang lain, hasil pengujian pada

aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar

masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-

masing materi teknik pengelasan.

Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada aspek kecakapan

akademik warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan

sebesar 12,61 yang menunjukkan nilai minimum 11 dan nilai maksimum 14.

Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan

194

akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pengelasan walaupun

ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal

yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,83 nilai

minimum 11 dan maksimum 14.

Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi,

mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara

kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang

sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan

kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,22 nilai minimum 11

dan maksimum 14.

Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga

belajar dinyatakan masih belum terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang

berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil.

Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar,

diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,13 nilai minimum 11 dan maksimum 13.

Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat

aspek (kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial) pada tahap I

terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat

dilihat dalam tabel 4.11 berikut.

195

TABEL 4.11

HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I

KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN

WB

Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 13 86.67 14 93.33 12 80.00 12 80.00

2 13 86.67 12 80.00 12 80.00 12 80.00

3 12 80.00 14 93.33 11 73.33 13 86.67

4 13 86.67 13 86.67 11 73.33 11 73.33

5 11 73.33 12 80.00 12 80.00 12 80.00

6 12 80.00 13 86.67 12 80.00 13 86.67

7 12 80.00 13 86.67 13 86.67 13 86.67

8 13 86.67 12 80.00 11 73.33 11 73.33

9 14 93.33 13 86.67 12 80.00 13 86.67

10 13 86.67 12 80.00 13 86.67 12 80.00

11 12 80.00 14 93.33 12 80.00 11 73.33

12 11 73.33 12 80.00 11 73.33 12 80.00

13 13 86.67 14 93.33 14 93.33 11 73.33

14 14 93.33 12 80.00 11 73.33 12 80.00

15 12 80.00 14 93.33 12 80.00 13 86.67

16 12 80.00 12 80.00 14 93.33 12 80.00

17 13 86.67 11 73.33 13 86.67 12 80.00

18 14 93.33 14 93.33 14 93.33 11 73.33

Jumlah 227.00 1513.33 231.00 1540.00 220.00 1466.67 216.00 1440.00

Rata-

rata 12.61 84.07 12.83 85.56 12.22 81.48 12.00 80.00

Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap pertama, sebagian warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan

penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes

yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut ini.

196

TABEL 4.12

PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES UJI COBA TAHAP I

PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN

WB

Jumlah Skor

Akademik Vokasional Personal Sosial

Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain

1 7 13 6.00 8 14 6.00 8 12 4.00 8 12 4.00

2 8 13 5.00 8 12 4.00 8 12 4.00 7 12 5.00

3 8 12 4.00 8 14 6.00 7 11 4.00 7 13 6.00

4 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 7 11 4.00

5 8 11 3.00 6 12 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00

6 8 12 4.00 8 13 5.00 8 12 4.00 8 13 5.00

7 7 12 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 8 13 5.00

8 8 13 5.00 7 12 5.00 7 11 4.00 7 11 4.00

9 7 14 7.00 6 13 7.00 7 12 5.00 7 13 6.00

10 8 13 5.00 7 12 5.00 8 13 5.00 7 12 5.00

11 8 12 4.00 6 14 8.00 8 12 4.00 7 11 4.00

12 7 11 4.00 7 12 5.00 8 11 3.00 7 12 5.00

13 7 13 6.00 8 14 6.00 8 14 6.00 7 11 4.00

14 8 14 6.00 8 12 4.00 7 11 4.00 7 12 5.00

15 8 12 4.00 7 14 7.00 7 12 5.00 8 13 5.00

16 7 12 5.00 7 12 5.00 7 14 7.00 7 12 5.00

17 7 13 6.00 7 11 4.00 7 13 6.00 8 12 4.00

18 8 14 6.00 8 14 6.00 7 14 7.00 7 11 4.00

Jumlah 137 227 90.00 131 231 100.00 134 220 86.00 132 216 84.00

Rata-

rata 7.61 12.61 5.00 7.28 12.83 5.56 7.44 12.22 4.78 7.33 12.00 4.67

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes,

kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap masih belum

memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-

rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 5,00

(33,33%); materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,56

(37,07%); kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 4,78 (33,33%); dan

kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,67 (31,87%).

197

3) Kelompok Teknik Pendingin

Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek

kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan

kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui

sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan

vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan

dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu

memperoleh nilai rata-rata sesudah pelatihan tahap I sebesar 12,76 yang

menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum 14.

Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan

akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun

ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal

yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,59 nilai

minimum 11 dan maksimum 14.

Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh

warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi,

mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara

kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang

yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada

warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,71 nilai minimum 11 dan

maksimum 14.

Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga

198

belajar dinyatakan masih terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang

berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah

terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga

belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,41 nilai minimum 11 dan maksimum

14.

Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat

aspek (kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial) pada tahap I

terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan hidup dapat dilihat

dalam tabel 4.13 berikut.

TABEL 4.13

HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I

KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 12 80.00 13 86.67 11 73.33 12 80.00

2 14 93.33 12 80.00 13 86.67 13 86.67

3 14 93.33 12 80.00 14 93.33 14 93.33

4 11 73.33 11 73.33 12 80.00 11 73.33

5 11 73.33 13 86.67 11 73.33 13 86.67

6 13 86.67 13 86.67 12 80.00 13 86.67

7 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67

8 14 93.33 14 93.33 12 80.00 11 73.33

9 13 86.67 12 80.00 13 86.67 13 86.67

10 13 86.67 12 80.00 12 80.00 11 73.33

11 12 80.00 12 80.00 14 93.33 13 86.67

12 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67

13 12 80.00 12 80.00 14 93.33 12 80.00

14 14 93.33 12 80.00 14 93.33 12 80.00

15 13 86.67 14 93.33 12 80.00 13 86.67

16 12 80.00 12 80.00 12 80.00 12 80.00

199

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

17 12 80.00 14 93.33 13 86.67 12 80.00

Jumlah 217 1446.67 214 1426.7 216 1440 211 1406.7

Rata-rata 12.76 85.10 12.59 83.92 12.71 84.71 12.41 82.75

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap pertama, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan

adanya peningkatan penguasaan materi, baik pada aspek kecakapan akademik,

kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Peningkatan

aspek kecakapan akademik merujuk pada pengertian bahwa kecakapan akademik

warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan

vokasional menunjukkan pengertian bahwa keterampilan warga belajar pada

teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan personal menunjukkan

pengertian bahwa kecakapan menggali dan menemukan informasi, mengolah

informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif warga

belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan sosial

menunjukkan pengertian bahwa keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama

warga belajar pada teknik pendingin pun telah meningkat. Itu menunjukkan

bahwa para warga belajar telah mengalami peningkatan dalam berbagai aspek

kecakapan.

Penguasaan materi tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang

hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.14 sebagai berikut.

200

TABEL 4.14

PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES DARI UJI COBA TAHAP I

PADA KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN

WB

Jumlah Skor

Akademik Vokasional Personal Sosial

Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain

1 8 12 4.00 7 13 6.00 7 11 4.00 7 12 5.00

2 9 14 5.00 7 12 5.00 7 13 6.00 9 13 4.00

3 8 14 6.00 8 12 4.00 9 14 5.00 8 14 6.00

4 7 11 4.00 7 11 4.00 8 12 4.00 7 11 4.00

5 7 11 4.00 7 13 6.00 8 11 3.00 7 13 6.00

6 8 13 5.00 8 13 5.00 8 12 4.00 8 13 5.00

7 9 14 5.00 7 13 6.00 7 14 7.00 7 13 6.00

8 9 14 5.00 7 14 7.00 7 12 5.00 7 11 4.00

9 8 13 5.00 8 12 4.00 7 13 6.00 7 13 6.00

10 9 13 4.00 9 12 3.00 8 12 4.00 7 11 4.00

11 8 12 4.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 13 5.00

12 7 13 6.00 8 13 5.00 8 13 5.00 7 13 6.00

13 7 12 5.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 12 4.00

14 7 14 7.00 8 12 4.00 7 14 7.00 7 12 5.00

15 9 13 4.00 9 14 5.00 8 12 4.00 9 13 4.00

16 7 12 5.00 8 12 4.00 8 12 4.00 8 12 4.00

17 7 12 5.00 8 14 6.00 8 13 5.00 8 12 4.00

Jumlah 134 217 83.00 132 214 82.00 131 216 85.00 129 211 82.00

Rata-rata 7.88 12.76 4.88 7.76 12.59 4.82 7.71 12.71 5.00 7.59 12.41 4.82

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes,

kecakapan akademik dan kemampuan warga belajar dianggap cukup memuaskan.

Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah

uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,88 (32,53%); materi

kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 4,82 (32,13%); kecakapan

personal mengalami kenaikan sebesar 5 (33,33%); dan kecakapan sosial

mengalami kenaikan sebesar 4,82 (32,13%).

201

Hasil analisis dari kegiatan uji coba tahap pertama menunjukkan bahwa

kegiatan uji coba masih perlu ditingkatkan atau ditambah lagi. Dari hasil

pengamatan dan wawancara dengan para peserta, diketahui bahwa implementasi

dari model yang dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka. Metode

penilaian program yang penulis terapkan telah sesuai menurut pemahaman

mereka, ternyata program pelatihan kecakapan hidup melalui empat kecakapan

hidup tersebut yang diterapkan mampu memberikan kontribusi kepada para

peserta dalam menumbuhkan kemandirian warga belajar. Akan tetapi, apabila

dilihat dari skor yang dihasilkan masih terdapat beberapa kekurangan, seperti

belum adanya peserta yang belum mampu mencapai nilai sampai 100%. Tidak

maksimalnya perolehan skor lebih banyak disebabkan oleh waktu, keterlibatan

warga belajar yang terbatas, dan materi pelatihan yang belum optimal dalam

praktiknya. Oleh sebab itu, masih perlu diberikan beberapa pengulangan dan

penambahan materi lain yang berkaitan dengan program pembinaan lanjutan agar

warga belajar memiliki kecakapan hidup pada empat kecakapan hidup tersebut

yang pada akhirnya mampu mencapai kemandirian secara ekonomi (mencukupi

kebutuhan sendiri).

2. Uji Coba Model Tahap II

a. Persiapan

Sebagaimana yang dilakukan pada tahap uji coba tahap I, persiapan

kegiatan untuk pelaksanaan uji coba model pada tahap II hampir sama dengan

tahap pertama. Hanya saja pada tahap II langkah-langkahnya yang ditempuh

202

sedikit lebih praktis, yaitu sebagai berikut.

Pertama, memeriksa hasil uji coba tahap I dan melakukan pertemuan

dengan petugas-petugas yang terlibat dalam kegiatan pelatihan untuk merevisi

hal-hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan uji coba tahap II.

Kedua, mengadakan pertemuan dengan warga belajar untuk menentukan

dan menyepakati hal-hal dari jenis kecakapan vokasional yang masih dianggap

kurang dan perlu diperdalam. Uji coba tahap II dimulai pada tanggal 14 - 28

Maret 2008 yang tetap diikuti oleh 60 orang warga belajar, yang selanjutnya

kembali dibagi menjadi tiga kelompok kecil sesuai jenis kecakapan hiidup yang

diikuti yaitu: otomotif, pengelasan, dan teknik pendingin.

Ketiga, peneliti kembali menyiapkan berbagai keperluan kegiatan program

pelatihan kecakapan vokasional bersama warga belajar, tutor, dan para pengelola

yang terlibat. Berbagai keperluan tersebut antara lain; tempat, kurikulum, dan

peralatan/bahan-bahan yang diperlukan.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan eksperimen (uji coba tahap II) tanpa tes awal (pretes t),

karena pesertanya yang masih sama maka tetap menggunakan atau mengambil

hasil postes pada tahap I.

Program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup

berbasis masyarakat, dirancang agar warga belajar dapat mengembangkan dan

meningkatkan kemampuan serta profesionalisme dalam bekerja. Kemampuan ini

bersifat makro, yang perlu dijabarkan dalam seperangkat kecakapan seperti;

akademik, vokasional, personal, dan sosial sehingga strategi pelatihan yang

203

diterapkan dalam pelatihannya adalah untuk:

1) mengembangkan wawasan baru tentang pentingnya kemandirian hidup

secara fisik, mental, dan sosial demi keberlangsungan hidup di

masyarakat dan menjalankan usaha;

2) memotivasi warga belajar agar mampu memanfaatkan kecakapan

akademik dan keterampilannya, serta dapat menganalisis dan

mengkonstruksikan rencana pengembangannya setelah kembali ke

masyarakat; dan

3) mengupayakan agar warga belajar (anak tunalaras) memiliki kemampuan

dalam merencanakan dan menggunakan kecakapan vokasional yang

dikuasainya dan mendorong diaplikasikannya kecakapan hidup tersebut

sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Proses pelatihan melalui pelatihan kecakapan hidup lebih banyak

dilakukan untuk praktik dan pendalaman. Secara tutorial, kepada warga belajar

juga diberikan pemantapan kembali mengenai materi kecakapan akademik

tentang kegiatan teknis atau praktik yang dirasa waktunya masih kurang, serta

materi tentang cara menjadi karyawan yang baik, pembinaan

lanjutan/pendampingan dan kemitraan yang juga sangat diperlukan peserta

terutama dalam menjalankan usaha.

c. Penilaian (Evaluasi)

Kegiatan penilaian dilakukan dengan tujuan untuk melihat hasil

kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan sejak dari mulai tahap I

204

sampai tahap II. Pada tahap II ini, kegiatan penilaian dilakukan untuk melihat

hasil dari proses pelatihan terhadap peningkatan kecakapan akademik, kecakapan

vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial warga belajar, yang cara

penilaiannya dilakukan melalui tes akhir (postes ). Kegiatan postes dilaksanakan

dengan membagikan lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan hidup

yang telah diberikan kepada ketiga kelompok sesuai jenis kecakapan hidup

masing-masing. Hasil tes tetap dibantu dengan hasil wawancara, dan pengamatan

atau observasi.

Hasil dari kegiatan evaluasi akhir menunjukkan bahwa warga belajar

setelah mengikuti pelatihan kecakapan hidup, telah dapat meningkatkan

kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan

sosial seperti kesadaran memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam mengikuti

pelatihan dan kesediaan untuk beradaptasi di masyarakat serta berkeinginan untuk

mandiri. Hasil evaluasi akhir terhadap 60 orang warga belajar ternyata telah

menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Gambaran hasil peningkatan yang

diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan

Peningkatan tersebut juga dapat dilihat dari nilai minimum dan maksimum

yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan atau setelah akhir uji coba

tahap kedua. Berdasarkan hasil evaluasi akhir dari dua uji coba yang telah

dilaksanakan, ternyata kegiatan pelatihan kecakapan hidup secara umum mampu

meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan persoal,

dan kecakapan sosial warga belajar. Untuk melihat hasil yang diperoleh dari

kedua kelompok setelah mengikuti pelatihan dapat dilihat sebagai berikut.

205

1) Kelompok Teknik Otomotif

a) Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,44

(89,60%).

b) Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,84

(92,70%).

c) Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,76

(91,71%).

d) Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,04

(86,93%).

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan

adanya peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat dari hasil tes akhir yang dapat

dilihat pada tabel 4.15 sebagai berikut.

TABEL 4.15

HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II

KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 13 86.67 15 100.00 14 93.33 13 86.67

2 14 93.33 14 93.33 14 93.33 12 80.00

3 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67

4 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33

206

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

5 13 86.67 14 93.33 13 86.67 13 86.67

6 13 86.67 14 93.33 14 93.33 13 86.67

7 13 86.67 15 100.00 13 86.67 14 93.33

8 14 93.33 15 100.00 14 93.33 13 86.67

9 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67

10 14 93.33 14 93.33 13 86.67 13 86.67

11 12 80.00 15 100.00 14 93.33 13 86.67

12 13 86.67 13 86.67 14 93.33 12 80.00

13 13 86.67 14 93.33 14 93.33 13 86.67

14 14 93.33 13 86.67 13 86.67 13 86.67

15 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67

16 12 80.00 15 100.00 12 80.00 14 93.33

17 14 93.33 14 93.33 15 100.00 12 80.00

18 13 86.67 12 80.00 14 93.33 14 93.33

19 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33

20 14 93.33 12 80.00 14 93.33 13 86.67

21 13 86.67 15 100.00 14 93.33 13 86.67

22 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67

23 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33

24 14 93.33 13 86.67 14 93.33 12 80.00

25 13 86.67 15 100.00 13 86.67 12 80.00

Jumlah 336 2240 346 2306.7 344 2293.3 326 2173.3

Rata-rata 13.44 89.60 13.84 92.27 13.76 91.73 13.04 86.93

2) Kelompok Teknik Pengelasan

a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,11

(94,070%).

b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,39

207

(95,93%).

c. Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,89

(92,59%).

d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,61

(90,74%).

Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan

adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut

terlihat dari hasil tes akhir uji coba tahap II yang dapat dilihat pada tabel 4.16

sebagai berikut.

TABEL 4.16

HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II

KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 14 93.33 15 100.00 13 86.67 12 80.00

2 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67

3 15 100.00 15 100.00 13 86.67 14 93.33

4 14 93.33 14 93.33 13 86.67 12 80.00

5 14 93.33 14 93.33 14 93.33 12 80.00

6 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33

7 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67

8 15 100.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33

9 15 100.00 14 93.33 14 93.33 14 93.33

10 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33

11 13 86.67 15 100.00 15 100.00 14 93.33

12 13 86.67 15 100.00 15 100.00 15 100.00

13 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67

208

WB Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

14 15 100.00 13 86.67 13 86.67 15 100.00

15 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33

16 14 93.33 15 100.00 13 86.67 14 93.33

17 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33

18 15 100.00 14 93.33 15 100.00 14 93.33

Jumlah 254.00 1693.33 259.00 1726.67 250.00 1666.67 245.00 1633.33

Rata-rata 14.11 94.07 14.39 95.93 13.89 92.59 13.61 90.74

3) Kelompok Teknik Pendingin

a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,41

(96,08%).

b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,94

(92,94%).

c. Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 14,29

(95,29%).

d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai

minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,88

(95,55%).

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan

adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut

terlihat dari hasil tes akhir yang dapat dilihat pada tabel 4.17 sebagai berikut:

209

TABEL 4.17

HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II

KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN

WB Jumlah Skor

Akademik % Vokasional % Personal % Sosial %

1 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33

2 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33

3 15 100.00 15 100.00 15 100.00 15 100.00

4 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33

5 15 100.00 14 93.33 15 100.00 14 93.33

6 15 100.00 13 86.67 14 93.33 13 86.67

7 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33

8 15 100.00 14 93.33 12 80.00 14 93.33

9 15 100.00 14 93.33 15 100.00 13 86.67

10 15 100.00 12 80.00 13 86.67 14 93.33

11 15 100.00 13 86.67 15 100.00 15 100.00

12 15 100.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33

13 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33

14 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33

15 13 86.67 14 93.33 15 100.00 13 86.67

16 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33

17 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67

Jumlah 245.00 1633.33 237.00 1580.00 243.00 1620.00 236.00 1573.33

Rata-

rata 14.41 96.08 13.94 92.94 14.29 95.29 13.88 92.55

D. Deskripsi Uji Efektivitas Model

1. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kuantitatif

(Statistik)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian

(warga belajar) sebanyak 60 orang yang telah menerima pretes dan postes, maka

diadakan pengolahan data dengan penghitungan statistik untuk mengetahui

210

perbedaan kemampuan yang berkenaan dengan kemampuan kecakapan akademik,

kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial bidang

kecakapan hidup (teknik otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin).

Berikut akan diuraikan hasil pengujian untuk keempat aspek tersebut.

a. Teknik Otomotif

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba baik

tahap 1 maupun tahap 2 sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan

materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil postes yang

hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.18 sebagai berikut:

TABEL 4.18

PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II

KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF

WB

Jumlah Skor

Akademik Vokasional Personal Sosial

Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain

1 12 13 1.00 13 15 2.00 14 14 0.00 10 13 3.00

2 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 12 12 0.00

3 12 14 2.00 11 13 2.00 11 14 3.00 11 13 2.00

4 11 14 3.00 11 13 2.00 11 14 3.00 13 14 1.00

5 11 13 2.00 12 14 2.00 12 13 1.00 12 13 1.00

6 12 13 1.00 13 14 1.00 13 14 1.00 13 13 0.00

7 12 13 1.00 14 15 1.00 13 13 0.00 14 14 0.00

8 13 14 1.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00

9 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 13 13 0.00

10 13 14 1.00 13 14 1.00 13 13 0.00 13 13 0.00

11 12 12 0.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00

12 11 13 2.00 12 13 1.00 14 14 0.00 12 12 0.00

13 13 13 0.00 12 14 2.00 14 14 0.00 11 13 2.00

14 13 14 1.00 13 13 0.00 11 13 2.00 13 13 0.00

15 12 13 1.00 13 13 0.00 11 13 2.00 13 13 0.00

16 12 12 0.00 14 15 1.00 12 12 0.00 11 14 3.00

17 14 14 0.00 12 14 2.00 13 15 2.00 12 12 0.00

18 13 13 0.00 12 12 0.00 13 14 1.00 11 14 3.00

19 13 14 1.00 12 14 2.00 14 14 0.00 12 14 2.00

211

WB Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

Jumlah

Skor WB

20 13 14 1.00 12 12 0.00 12 14 2.00 13 13 0.00

21 12 13 1.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00

22 11 14 3.00 13 15 2.00 11 15 4.00 11 13 2.00

23 13 14 1.00 13 13 0.00 11 14 3.00 13 14 1.00

24 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 11 12 1.00

25 12 13 1.00 13 15 2.00 11 13 2.00 11 12 1.00

Jumlah 308 336 28.00 319 346 27.00 314 344 30.00 298 326 28.00

Rata-

rata 12.32 13.44 1.12 12.76 13.84 1.08 12.56 13.76 1.20 11.92 13.04 1.12

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan

tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah

memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-

rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,12

(7,46%); kecakapan vokasional sebesar 1,08 (7,2%); kecakapan personal sebesar

1,20 (8%); kecakapan sosial sebesar 1,12 (7,46%).

Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa

rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,56 : 4 = 12,39 atau (12,32 + 12,76 + 12,56

+11,92): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 54,08: 4 =

13,52 atau (13,44+13,84+13,76+13,04): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa

kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka.

Berdasarkan hasil Uji t terhadap 25 orang warga belajar sebelum dan sesudah

PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.19. berikut.

212

Tabel 4.19

Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II

N Mean Min Max

Tahap I 25 12,39 12 14

Tahap II 25 13,52 12 15

Dari tabel 4.21. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 13,52

ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,39. Dengan demikian, terdapat

perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 4,32

sedangkan t tabel (0,005) = 2,80. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada

perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan Tes tahap II.

b. Teknik Pengelasan

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi.

Peningkatan penguasaan materi tersebut secara umum menunnjukkan bahwa

model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak

tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diujicobakan

berhasil. Keberhasilan tersebut terlihat dari hasil postes tahap 2 yang hasilnya

dapat dilihat pada tabel 4.20 sebagai berikut:

213

TABEL 4.20

PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II

PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN

WB

Jumlah Skor

Akademik Vokasional Personal Sosial

Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain

1 13 14 1.00 14 15 1.00 12 13 1.00 12 12 0.00

2 13 13 0.00 12 13 1.00 12 13 1.00 12 13 1.00

3 12 15 3.00 14 15 1.00 11 13 2.00 13 14 1.00

4 13 14 1.00 13 14 1.00 11 13 2.00 11 12 1.00

5 11 14 3.00 12 14 2.00 12 14 2.00 12 12 0.00

6 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00

7 12 14 2.00 13 15 2.00 13 15 2.00 13 13 0.00

8 13 15 2.00 12 14 2.00 11 13 2.00 11 14 3.00

9 14 15 1.00 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00

10 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00

11 12 13 1.00 14 15 1.00 12 15 3.00 11 14 3.00

12 11 13 2.00 12 15 3.00 11 15 4.00 12 15 3.00

13 13 14 1.00 14 15 1.00 14 15 1.00 11 13 2.00

14 14 15 1.00 12 13 1.00 11 13 2.00 12 15 3.00

15 12 14 2.00 14 15 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00

16 12 14 2.00 12 15 3.00 14 13 -1.00 12 14 2.00

17 13 14 1.00 11 15 4.00 13 14 1.00 12 14 2.00

18 14 15 1.00 14 14 0.00 14 15 1.00 11 14 3.00

Jumlah 227 254 27.00 231 259 28.00 220 250 30.00 216 245 29.00

Rata-

rata 12.61 14.11 1.50 12.83 14.39 1.56 12.22 13.89 1.67 12.00 13.61 1.61

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan

tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah

memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-

rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,50 (10%);

kecakapan vokasional sebesar 1,56 (10,4%); kecakapan personal sebesar 1,67

(11,13%); kecakapan sosial sebesar 1,61 (10,73%).

Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa

214

rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,66 : 4 = 12,415 atau (12,61 + 12,83 + 12,22

+12,00): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56: 4 = 14

atau (14,11+14,39+13,89+13,61): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan

PKH terhadap warga belajar pada teknik pengelasan memiliki pengaruh kepada

mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 18 orang warga belajar sebelum dan

sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.21. berikut :

Tabel 4.21

Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II

N Mean Min Max

Tahap I 18 12,415 11 14

Tahap II 18 14 12 15

Dari tabel 4.22. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 14,00

ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,415. Dengan demikian, terdapat

perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 8,78

sedangkan t tabel (0,005) = 2,90. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada

perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.

c. Teknik Pendingin

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada

tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan kecakapan. Peningkatan

Peningkatan tersebut terlihat dari hasil postes yang hasilnya dapat dilihat pada

tabel 4.22 sebagai berikut:

215

TABEL 4.22

PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II

KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN

WB

Jumlah Skor

Akademik Vokasional Personal Sosial

Tahap

1 Tahap 2 Gain

Tahap

1 Tahap 2 Gain

Tahap

1 Tahap 2 Gain

Tahap

1 Tahap 2 Gain

1 12 14 2.00 13 15 2.00 11 14 3.00 12 14 2.00

2 14 14 0.00 12 15 3.00 13 14 1.00 13 14 1.00

3 14 15 1.00 12 15 3.00 14 15 1.00 14 15 1.00

4 11 14 3.00 11 14 3.00 12 15 3.00 11 14 3.00

5 11 15 4.00 13 14 1.00 11 15 4.00 13 14 1.00

6 13 15 2.00 13 13 0.00 12 14 2.00 13 13 0.00

7 14 14 0.00 13 14 1.00 14 15 1.00 13 14 1.00

8 14 15 1.00 14 14 0.00 12 12 0.00 11 14 3.00

9 13 15 2.00 12 14 2.00 13 15 2.00 13 13 0.00

10 13 15 2.00 12 12 0.00 12 13 1.00 11 14 3.00

11 12 15 3.00 12 13 1.00 14 15 1.00 13 15 2.00

12 13 15 2.00 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00

13 12 14 2.00 12 14 2.00 14 15 1.00 12 14 2.00

14 14 14 0.00 12 13 1.00 14 14 0.00 12 14 2.00

15 13 13 0.00 14 14 0.00 12 15 3.00 13 13 0.00

16 12 14 2.00 12 14 2.00 12 14 2.00 12 14 2.00

17 12 14 2.00 14 15 1.00 13 15 2.00 12 13 1.00

Jumlah 217 245 28.00 214 237 23.00 216 243 27.00 211 236 25.00

Rata-rata 12.76 14.41 1.65 12.59 13.94 1.35 12.71 14.29 1.59 12.41 13.88 1.47

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan

tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah

memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-

rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,65 (11%);

kecakapan vokasional sebesar 1,35 (9%); kecakapan personal sebesar 1,59

(10,6%); kecakapan sosial sebesar 1,47 (9,8%).

Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa

rata-rata hasil tes tahap I sebesar 50,47 : 4 = 12,62 atau (12,76 + 12,59 + 12,71

216

+12,41): 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56,52: 4 =

14,13 atau (14,41+13,94+14,29+13,88): 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa

kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka.

Berdasarkan hasil Uji t terhadap 17 orang warga belajar sebelum dan sesudah

PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.23. berikut.

Tabel 4.23

Rekapitulasi Hasil tes tahap I dan II

N Mean Min Max

Tahap I 17 12,62 11 14

Tahap II 17 14,13 12 15

Dari tabel 4.23. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 12,62

ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 14,13. Dengan demikian, terdapat

perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 5,65

sedangkan t tabel (0,005) = 2,92. Jadi t hitung > t tabel. Dengan demikian, ada

perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.

2. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kualitatif

Deskripsi efektivitas model pada penelitian ini pun akan menyertakan

deskripsi hasil analisis kualitatif berupa respon atau tanggapan dari pihak-pihak

yang terlibat dengan pelaksanaan pelatihan di PSMP Handayani Jakarta.

a. Tangapan atau Respon Kepala PSMP Handayani

Modal pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak

217

tunalaras yang telah diterapkan dan dikembangkan di Panti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta merupakan sebuah model pelatihan yang baik. Pelaksana

pelatihan dapat mengikuti dan melaksanakan setiap tahapan pelatihan ini dengan

terencana, tepat, dan terstruktur. Pelaksana pelatihan kecakapan hidup di PSMP

menjadi berhasil.

Pada tahap perencanaan, mode tersebut mampu menyuguhkan persiapan

yang lengkap dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Tahap perencanaan

yang meliputi tujuan, sasaran, kurikulum, dan tata laksana pelatihan sangat tertata

sehingga segala persiapan yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan pelatihan

tersebut menjadi lengkap.

Pada tahap pelaksanaan, model tersebut mampu menyelenggarakan

pelatihan yang komunikatif, integratif, dan efesien. Tatanan pelatihan mulai tutor,

warga belajar, dan suasana pelatihan mampu memberi kesan bahwa pelatihan

tersebut terselengara dengan baik. Penambahan materi kecakapan hidup dan

kewirausahaan, memungkinkan warga belajar siap menhgadapi dunianya di masa

yang akan datang.

Pada tahap evaluasi, peltihan dengan model tersebut mampu mengukur

kemampuan siswa secara lengkap dan utuh. Dengan sistem penilaian yang

komprehensif, meliputi empat kecakapan hidup, maka hasil evaluasi ini dapat

menggambarkan kondisi nyata para warga belajar.

Warga belajar belajar di PSMP ini adalah anak tunalaras. Salah satu

karakteristik anak tunalaras adalah adanya penyimpangan perilaku yang

memerlukan bimbingan dari berbagai pihak, orang tua, masyarakat, pemerintah,

218

khusunya panti-panti. Oleh karena itu, model pelatihan kecakapan hidup yang

diterapkan oleh peneliti akan kurang lengkap apabila tidak disertasi oleh adanya

keberlanjutan atau kesinambungan berbagai pihak. Model ini apabila diterapkan

dapat dikembangkan dengan melibatkan keluarga, masyarakat, dan lembaga

(instansi pemerintah) untuk mengontrol para warga belajar. Ada pun bentuk dan

strateginya dapat dikembangkan kemudian hari. Yang penting, kontrol atau

pengawasan dari pihak tersebut menjadi sebuah faktor penambah kelengkapan

model tersebut.

Di sisi lain, warga belajar yang tunalaras tersebut pun, memerlukan adanya

sarana untuk pengembangan potensi diri bahkan jika memungkinkan adanya

pengembangan usaha. Potensi diri berkenaan dengan penyediaan peluang dalam

bentuk pemberian pekerjaan. Denga bekal pelatihan yang dilaksanakan di PSMP,

warga belajar telah memiliki potensi berupa keahlian yang dipilihnya sehingga

tidak akan bermanfaat apabila tidak dikembangkan. Di pihak lain, jika warga

belajar tidak mau bekerja, maka patut pula diberi kesempatan untuk

mengembangkan usaha. Pengembangan usaha yang sesuai dengan karakteristik

warga belajar. Selain itu, dapat pula kembangkan usaha secara berkelompok

dalam sebuah ikatan usaha bersama.

b. Ketua Pelaksana Program Pelatihan Kecakapan Hidup

Pendidikan kecakapan hidup merupakan ragam kemampuan yang

diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan

bermartabat. Kecakapan hidup merupakan kemampuan berkomunikasi secara

efektif, kemampuan mengembangkan kerja sama, melaksanakan peranan sebagai

219

warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk

bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja.

Kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan kecakapn hidup yang telah

dilaksanakan di PSMP ini, penyelenggaraannya telah sesuai dengan konsep

tersebut. Keterampilan warga belajar yang dikembangkan meningkat baik secara

terjemahan angka-angka, maupun dengan hasil unjuk kerja berupa hasil tes

keterampilan.

Bagi kami, model pelatihan tersebut sangat aplikatif, sistematis,

komprehensif, dan mudah dilaksanakan. Model ini akan menjadi panduan bagi

kami dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Akan tetapi, agar pelatihan ini

menjadi lebih efektif dan dengan dasar pengalaman menyelenggarakan pelatihan

selama ini, warga belajar hendaknya tidak dijadikan sebagai objek pelatihan

seperti siswa di sekolah. Dalam pelatihan tersebut warga belajar tidak ditargetkan

untuk mencapai tujuan tertentu saja akan tetapi yang perlu ditargetkan adalah

dampak pelatihan untuk masa depan warga belajar. Oleh karena itu, model ini

harus menyertakan adanya pengawasan secara berkelanjutan, membina

komunikasi dengan warga belajar sampai batas wajtu tertentu, dan adanya fasilitas

dari penyelenggara pelatihan (PSMP) agar warga belajar memiliki peluang untk

bekerja atau menciptakan lapangan usaha.

c. Pengurus Asrama Program Pelatihan

Salah satu karakteristik anak tunalaras adalah perilakunya yang tidak

diharapkan oleh lingkungan, sering bertentangan dengan norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat tempat dia berada. Tingkah lakunya sering membuat

220

orang menjadi marah karena merasa terganggu atau dirugikan, dan mereka

cenderung berhubungan dengan otorita, seperti polisi, pengadilan, guru atau orang

tua. Anak tunalaras ini prestasinya di sekolah cenderung menurun dan dijauhi oleh

teman-temannya sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan secara

khusus. Anak tunalaras yang ditampung di panti rehabilitasi sosial diharapkan

mereka memiliki seperangkat keterampilan teknis yang harus dimiliki anak untuk

melaksanakan tugas perkembangannya sebagai individu yang memiliki kualitas

SDM yang bisa bersanding dan bersaing.

Pelatihan kecakapan hidup yang diselenggarakan peneliti secara psikologis

mampu mengurangi perilaku warga belajar yang kurang baik. Dengan adanya

kesibukan berupa latihan-latihan, maka perilaku warga belajar menjadi terkontrol.

Pelatihan ini mampu mewadahi warga belajar dalam mengembangkan potensi dan

keterampilannya. Akan tetapi, pelatihan ini harus mampu menjaga sikap warga

belajar agar tidak kembali menjadi anak tunalaras. Oleh karena itu, hendaknya

lembaga penyelenggara pelatihan menjadi jembatan penghubung kelangsungan

hidup warga belajar setelah terjun ke masyarakat melalui program monitoring atau

bimbingan terpimpin. Program monitoring ini diperkukan agar warga belajar

mampu mengembangkan segala potensinya dengan arahan dan bimbingan

lembaga sebagai pengendalinya.

d. Tutor dan Sumber Belajar Program Pelatihan Kecakapan Hidup

Interaksi tutor sebagai sumber belajar dengan warga belajar tunalaras

berlangsung dengan baik. Dalam kemasan model pelatihan kecakapan hidup yang

telah diselenggarakan oleh peneliti, pelatihan berlangsung dengan baik dan lancar.

221

Keterampilan warga belajar meningkat dengan cepat. Keterampilan teknik las,

teknik otomotif, dan teknik pendingin pada setiap kelompok warga belajar dapat

dikuasai dengan baik sehingga apabila bekerja atau terjun membuka usaha pada

tingkatan standar sudah cukup.

Modal keterampilan yang telah dimiliki warga belajar akan menjadi lebih

baik lagi apabila lembaga (pemerintah atau swasta) mampu memfasilitasi warga

belajar dalam mengembangkan potensinya. Lembaga tersebut hendaknya menjadi

sarana suksesnya warga belajar. Salah satu langkahnya adalah mengadakan

pengawasan perilaku warga belajar setelah dilepas dari panti dan membuka

peluang untuk mengembangkan potensinya.

Pemikiran tersebut lahir dari keyakinan bahwa warga belajar akan

berkembang kecakapan hidupnya apabila difasilitasi oleh lembaga dan adanya

keberlanjutan pengawasan perilakunya. Kalau tidak diarahkan warga belajar

tunalaras bukan tidak mungkin akan kembali menjadi sosok manusia yang

mempunya penyimpangan perilaku.

E. Model yang Direkomendasikan

1. Rasional

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin hari semakin

bertambah dengan pesat, berdasarkan data sheet keadaan jumlah penduduk tahun

2005 diperkirakan berjumlah 221.900.000 orang. Berdasarkan data tersebut

apabila jumlah anak usia sekolah berkisar 40 % dari populasi penduduk, maka

diperkirakan anak usia sekolah berjumlah 88.750.000 orang. Kauffman J. M dan

Hallahan D. P (1982) menyebutkan prevalensi anak tunalaras berjumlah 2 % dari

222

anak usia sekolah, sehingga berdasarkan pendapat tersebut di Indonesia anak

tunalaras diperkirakan berjumlah 1.775.000 orang. Berdasarkan data Direktorat

Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah DEPDIKNAS, Th 2006

Anak Tunalaras (Anak Nakal) yang berjumlah 1.775.000 orang ini baru

tertampung 788 orang yang tersebar di 13 Sekolah Luar Biasa (SLB/E) se-

Indonesia jadi pada dasarnya belum seluruhnya tertampung dalam pendidikan

formal apalagi nonformal, ini menandakan bahwa Pendidikan Luar Sekolah untuk

anak tunalaras masih dianggap hutan belantara, mengingat belum banyak yang

membuka secara khusus tentang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi

anak tunalaras, kebanyakan baru pada taraf pendidikan formal.

Secara kualitas dan kuantitas saat ini para remaja yang melakukan

pelanggaran hukum di negara Indonesia semakin meningkat, hal tersebut di

sinyalir dalam pernyataan resmi pejabat negara dalam arti penegak hukum. Data

menunjukkan bahwa daya tampung LP anak di Tangerang isinya sudah melebihi

kapasitas yang seharusnya bahkan mencapai empat kali lipat. Akhir tahun 2007

kenakalan yang dilakukan remaja dalam Gang Motor menujukkan kriminalitas

yang sadisme, dengan melakukan penganiayaan dan perampokan di jalanan tanpa

pilih bulu. Romli Atmasasmita (1985:23) mengatakan :“Delinquency adalah

suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang anak yang dianggap

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara

dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan

tercela.”

Para remaja nakal banyak yang terlibat dalam pelanggaran norma hukum

223

dan sosial yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena

itu, anak tunalaras perlu diberikan layanan rehabilitasi melalui berbagai

bimbingan, seperti bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, dan

bimbingan kecakapan vokasional yang terangkum dalam pelatihan kecakapan

hidup / life skills education. Setelah mengikuti program pelatihan kecakapan

hidup diharapkan mereka dapat meningkatkan kemandirian dan dapat berprilaku

humanis, sehingga mereka dapat memperoleh bekal kecakapan vokasional yang

praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi

ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pelatihan kecakapan hidup sangat

perlu diberikan kepada anak tunalaras, mengingat pandangan masyarakat terhadap

anak yang telah diberi label “anak nakal / tunalaras” lebih-lebih mereka diketahui

pernah berada pada lembaga pendidikan atau penampungan anak nakal masih

dipandang negatif, walaupun anak tersebut sudah tidak memiliki label anak nakal

/ tunalaras. Diharapkan dengan bekal kecakapan vokasional hidup yang diperoleh

melalui program pelatihan kecakapan hidup, anak tersebut dapat memiliki sikap

kemandirian yang diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara

berhak mendapat pengajaran” yang diperkuat lagi oleh Undang-undang

Pendidikan tentang Pendikan dan pengajaran luar biasa, serta Deklarasi hak anak

yang berbunyi :

The child that is hungry must be fed. The child that is sick must be nursed.

The child that is physically and mentally handicapped must be helped. The

maladjusted child must be reeducated. The orphan and the waif must be

sheltered and secured.

Dengan demikian jelas bahwa para remaja yang berstatus sebagai anak

224

tunalaras baik yang ditampung di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa

Bagian E, di Panti Panti Sosial mapun narapidana dalam Lembaga

Pemasyarakatan anak (LP) harus diberikan pelayanan pendidikan serta bimbingan

sesuai dengan deklarasi tersebut.

Masalah Kenakalan remaja merupakan masalah yang sangat kompleks,

yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kerangka Pembangunan Nasional.

Sehingga menuntut adanya upaya penanggulangan baik yang bersifat preventif,

represif maupun rehabilitasi. Untuk menangani hal tersebut diperlukan suatu

kebijakan tertentu didalam melakukan rehabilitasi para remaja, salah satu

diantaranya melalui proses pendidikan melalui jalur Pendidikan Luar Sekolah.

Kenyataan di lapangan pendidikan yang bermuatan pelatihan pendidikan

kecakapan hidup (Life skills education) yang diberikan kepada anak tunalaras baik

yang ditampung di Panti Panti Sosial, di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar

Biasa Bagian E, mapun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak,

diselenggarakan secara paralel antara pendidikan formal dengan pendidikan luar

sekolah, tetapi penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunalaras akan lebih efektif

apabila diselenggarakan dengan integrated model antara Pendidikan Luar Sekolah

dengan pendidikan formal, artinya model ini menggabungkan kedua jalur

pendidikan tersebut kedalam suatu system yang terpadu. Sistem terpadu meliputi

pengintegrasian kurikulum, proses pendidikan dan pengelolaan, serta koponen-

komponen lainnya dari kedua jalur pendidikan tersebut. Sistem pendidikan

terpadu diharapkan akan lebih fleksibel dan akan berorientasi pada kebutuhan

masyarakat dan erat relevansinya dengan perkembangan pembangunan bangsa.

225

Mengingat ragamnya keberadaan dan latar belakang pendidikan yang telah di

peroleh anak tunalaras sebelumnya, semua program PLS pada dasarnya dapat

dilaksanakan dan diikuti oleh semua anak tunalaras.

Dalam konteks pendidikan yang berkelanjutan, program pelatihan

kecakapan hidup merupakan kegiatan yang secara khusus dikembangkan untuk

warga belajar yang membutuhkan. Program ini dirancang untuk membantu warga

belajar dalam meningkatkan kemampuan berwirausaha dan menguasai kecakapan

vokasional tertentu sehingga menjadi terampil dan mampu hidup di masyarakat

dengan layak. Program ini pun merupakan: (a) pendidikan berkelanjutan untuk

orang dewasa; (b) merespon kebutuhan dan keinginan; dan (c) mencakup

pengalaman yang diberikan sebagai sub-sistem pendidikan formal, nonformal, dan

informal.

Sebagai program, pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan

kemandirian anak tunalaras yang bertujuan agar:

a. Kesehatan dan kebugaran jasmani anak nakal tetap terjaga, sekaligus

menanamkan disiplin diri. Pelaksanaannya dilakukan sejak awal proses

rehabilitasi secara teratur setiap pagi dan sore hari.

b. Tumbuh dan terbentuknya kondisi psikis atau kepribadian klien dan

mantapnya sikap mental, integritas dan disiplin diri.

c. Meningkatkan kemampuan menjalankan ibadah agama, dan meningkatkan

ketahanan sosial anak nakal terhadap pengaruh buruk lingkungan.

d. Memulihkan dan mengembangkan tingkah laku positif anak tunalaras,

sehingga mampu melaksanakan tugas, fungsi dan peran sosialnya secara

226

wajar dan dapat menjadi relasi dengan anggota keluarga dan masyarakat

dimana ia tinggal, dalam arti dapat menjalankan fungsi sosialnya secara

wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat

e. Meningkatkan kemampuan anak tunalaras dalam berbagai jenis kecakapan

vokasional usaha/kerja untuk menunjang kebutuhan masa depannya. Secara

teknis dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuannya. Jenis

kecakapan vokasional yang diselenggarakan meliputi las, otomotif, salon,

elektronika, menjahit, hasta karya, komputer, mengetik, mix farming.

f. Agar anak nakal dapat dipantau dan tidak terpengaruh lingkungan yang

kurang baik atau pengaruh yang kurang baik dari teman sebaya.

Program ini juga dimaksudkan untuk: (a) menumbuhkan kecakapan

vokasional bermata pencaharian; (b) mengajarkan kecakapan vokasional ekonomi;

(c) mendapatkan akses pada informasi baru untuk memperbaiki kualitas hidup; (d)

menumbuhkan kesadaran kritis tenang peristiwa mutakhir di lingkungannya; (e)

membantu mengembangkan sikp rasional dan ilmiah, (f) mengorientasikan pada

nilai-nilai dan sikap baru yang dibutuhkan dalam pembangunan; dan (g) untuk

hiburan dan kegembiraan (diadaptasi dari Sakya, 1986: 8).

Dalam program kemandirian anak tunalaras dengan menerapkan

model PKH, konsep dasar yang harus dibangun adalah:

a. berorientasi pada warga belajar;

b. program pelatihan memberi kesadaran bahwa PKH tersebut sangat penting

bagi warga belajar; dan

227

c. memberikan manfaat yang riil dan dapat dirasakan sejalan dengan proses

berlangsungnya program pelatihan.

Dengan kata lain, apa yang dipelajari dalam kegiatan PKH yang

berorientasi pada kemandirian, merupakan materi kegiatan yang dibutuhkan

atau sesuai dengan harapan peserta pelatihan. Melalui pendekatan pelatihan

tersebut, seluruh tahapan kegiatan, materi kegiatan maupun dampak akhir

kegiatan, betul-betul dirumuskan dan dilaksanakan bagi kepentingan warga

belajar. Pengembangan model PKH yang berorientasi pada kemandirian

sangat relevan dan dapat dilaksanakan secara efektif.

2. Komponen Model

Unsur-unsur komponen model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam

Peningkatan kemandirian anak tunalaras dikembangkan setelah melalui revisi

dan penyempurnaan, selanjutnya dijadikan sebagai konsep model akhir atau

disebut model empirik.

a. Perencanaan

Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak

tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon

peserta, pekerja sosial (peksos), dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai

hal yang terkait dengan perencanaan program.

Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan

fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di

PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan

kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam

228

suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan

sosialnya.

Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian

menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan

Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI (2003), sesungguhnya

masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan

dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat

penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada anak tunalaras secara

langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan

pelayanan kesejahteraan sosial.

Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan

kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak

akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua

instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk

koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung,

terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh

para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program

kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung

jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat (Depsos dan Depdiknas)

menyatakan kesediannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan

lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan

disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan yaitu perbengkelan las,

teknik pendingin, dan otomotif.

229

Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis

kecakapan ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang

bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis

atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara

penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan

program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat

diuraikan sebagai berikut.

b. Tujuan Pelatihan

Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan

kemandirian anak tunalaras di pusat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak

Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap

mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi

sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan

lingkungan sosialnya. Secara khusus, program ini bertujuan untuk:

1) Meningkatkan kecakapan hidup anak tunalaras yang dapat dijadikan sarana

untuk pengembangan diri dan memenuhi mata pencaharian.

2) Menyebarluaskan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan

personal, dan kecakapan sosial melalui peningkatan kecakapan hidup.

3) Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar

tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi

sumber daya dan kelembagaan masyarakat.

4) Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi

sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang

230

secara wajar di masyarakat sertamenjadi sumber daya manusia yang berguna,

produktif dan berkualitas, serta berakhlak mulia.

c. Kelompok Sasaran

Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria

sebagai berikut :

1) Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum menamatkan pendidikan

dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah

Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) umum.

2) Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah

menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Bagi mereka

diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan

kerja.

3) Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi :

a) Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi.

b) Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum.

c) Menjalani putusan hakim.

d) Setelah selesai menjalani pidana anak.

d. Sumber Belajar/Fasilitator

Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar (SB) yang direkrut untuk

program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut:

1) Berusia 20-50 tahun

2) Tingkat pendidikan minimal SMA

231

3) Alumni PSMP Handayani Jakarta.

4) Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik

5) Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih

6) Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan

e. Kurikulum

Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 (tiga) aspek

yang perlu dilakukan penguatan yaitu: (a) aspek personal, berupa

ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan

masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; (b) aspek sosial, berupa

keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan

anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana

tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan

(c) aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai

kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif

dan mandiri.

Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan mempertimbangkan

kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada

pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional.

Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan

kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut:

1) Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan selalu

diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat.

2) Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok

232

pengembangan kurikulum.

3) Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan

penekanan pada pengembangan kemandirian.

4) Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan

kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar.

Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: (1)

Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; (2) Kecakapan vokasional

tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; (3) Kecakapan vokasional

tentang pengelolaan/proses perbengkelan dan jasa; (4) Kecakapan vokasional

tentang pemasaran; (5) Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; (6)

Kecakapan personal tentang pengelolaan organisasi/kelompok yang terlibat dalam

kegiatan usaha; dan (7) Kecakapan sosial tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan

dalam menjalankan usaha bersama.

f. Bahan Ajar dan Latihan

Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya

dituangkan dalam bentuk diktat/modul yang mencakup bahan ajar kegiatan

kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup :

1) Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan

service dan jasa.

2) Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan, Sumberdaya

Manusia (SDM) dan Pengelolaan Keuangan.

3) Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan (las, teknik pendingin,

dan otomotif).

233

g. Media pelatihan keterampilan

Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan-

bahan praktik.

h. Metode pelatihan keterampilan

Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan

kecakapan hiudp adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode

ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik.

i. Waktu dan tempat pelatihan

Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh

dari tgl 14 sampai 26 Februari 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu

pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari.

Kegiatan pelatihan dipusatkan di PSMP Handayani Jakarta, dengan jumlah jam

pelajaran sebanyak 96 jam @ 45 menit.

j. Evaluasi akhir pelatihan

Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan (a) evaluasi

pra-pelatihan; (b) evaluasi proses pelatihan keterampilan; dan (c) evaluasi akhir

pelatihan keterampilan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek (a)

kemampuan memahami materi dan (b) kemampuan mempraktikkan.

k. Pelaksanaan

Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional

menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah

daerah melalui dinas/instansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial,

234

Disnakertrans, sumber belajar/fasilitator, tokoh masyarakat dan para kader

organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat

diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan

program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan

pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan

kecakapan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu

program pelatihan kecakapan hidup.

Dalam banyak hal pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang

disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau

terbatasnya sumber daya manusia (sumber belajar dan atau tenaga pendamping)

yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang

menganut sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga

belajar sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan

setelah kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar

sendiri.

l. Evaluasi

Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada

kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan

kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan

vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi

hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar,

terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam

proses pelatihan. Bagi sumber belajar/fasilitator evaluasi tersebut bermanfaat

235

untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja (performance) sebagai

pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi,

penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitas/sarana pelatihan,

serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan

dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar (teori

dan praktik).

Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup

selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber

belajar sekaligus melakukan pemantauan (monitoring). Kegiatan para petugas

tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar

yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui

tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan pelatihan

kecakapan hidup dalam menguasai kecakapan vokasional (vocational skills)

dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras (warga belajar),

kesejahteran, dan taraf hidup mereka.

Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan

mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa (adult learning) ini, dalam

perspektif pendidikan luar sekolah program pelatihan tersebut diimplementasikan

melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam

program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan

usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program

pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang

melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-

236

hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan vokasional lebih

menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak

mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan

kecakapan hidup orang dewasa, kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis

akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan

metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan "learning

by doing" dan metode pemecahan masalah (problem solving methods) adalah

motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode

pelatihan kecakapan vokasional juga akan menarik dan bermakna bagi warga

belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan

vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program

(calon warga belajar) melalui kesepakatan bersama.

Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar

anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan

hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya adalah sebagai

berikut. Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba

menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan

pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai

penguatan untuk kemandirian anak tunalaras. Selain itu, dipaparkan juga

mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem

penghantaran secara terintegrasi.

237

Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat

(SDA, SDM dan nilai-nilai budaya), yang menjadi basis dan sumber pelatihan

warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau

pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan-

keunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan

perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan

nilai tambah.

Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi

warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui

pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan

vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam

penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan

pelayanan di bidang jasa.

Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang

menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan

dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan

belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga

memperhatikan karakteristik warga belajar (anak tunalaras) sebagai kelompok

sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran (produk) yang dihasilkan.

Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan

kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input,

environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan

output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap

238

kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan

dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga

belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan

menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan

pendekatan partisipatif dan kolaboratif.

Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah

suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya

mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan

model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang

diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan

pengembangan model, baik yang bersifat internal (bersumber dari diri peneliti

sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman, antara lain:

menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model

pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal (bersumber dari

peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan). Oleh karena itu, perlu

langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi,

sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.

3. Asumsi Model

Model pelatihan kecakapan hidup memiliki beberapa asumsi sebagai

landasan agar betul-betul sesuai dengan karakteristik fungsional model yang

dikembangkan.

239

a. Kepemilikan kecakapan vokasional dan penguasaan faktor-faktor

pendukungnya merupakan instrumen efektif untuk membentuk kemandirian

sosial dan ekonomi para warga belajar.

b. Warga belajar merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh

adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan

sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya.

Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan

lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ide-

idenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri

melalui refleksi kolektif.

c. Pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup merupakan proses pemberdayaan

(empowering) yang memungkinkan warga belajar mampu mengenali faktor-

faktor yang menghalangi perubahan atau perkembangannya yang meliputi:

Pertama individu merasa adekkuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini

didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan

kecakapan vokasional yang dimiliki. Kedua, individu merasa dapat diterima

oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap

kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa

kelompoknya atau orang lain menyukainya. Ketiga, individu memiliki

ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan

dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai

situasi.

240

d. Proses pelatihan kecakapan hidup memerlukan suasana saling membutuhkan,

saling belajar, suasana aman, hangat, suasana saling menghargai, dan saling

percaya. Model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu model yang kaku

akan tetapi memerlukan jaringan hubungan antara warga belajar dan sumber

belajar serta bersama lingkungannya.

e. Kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik, yaitu

mandiri secara fisik (dapat bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara

mental (dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan

mengekspresikan gagasan) dan mandiri secara emosional (nilai yang ada

dalam diri sendiri).

4. Pendekatan Model

Agar model pendidikan kecakapan hidup yang dikembangkan efektif,

maka dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan permasalahan dan

tujuan yang dikembangkan dalam konseptualisasi dan implementasi model, antara

lain: pendekatan partisipatif, kolaboratif, dan berkelanjutan.

5. Prosedur Penerapan Model

Langkah-langkah penerapan model program pemberdayaan melalui

pelatihan integratif ini dapat diterapkan dengan prosedur yang dapat dilihat pada

Tabel 4.24.berikut.

241

TABEL 4.24

PROSEDUR PENERAPAN MODEL

No Tahap Langkah

1 Perencanaan a. Melakukan koordinasi dengan instansi

terkait pada pemerintah daerah; Dinsos dan

Dinkes.

b. Identifikasi kebutuhan warga belajar

c. Identifikasi taraf kecakapan vokasional

warga belajar

d. Menetapkan kriteria WB

e. Menetapkan kriteria tutor

f. Menetapkan tujuan

g. Mengembangkan kerangka kurikulum

h. Mengidentifikasi media pelatihan

i. Merancang dan mengembangkan bahan ajar

j. Merancang teknik penyampaian (delivery

system)

k. Menetapkan teknik evaluasi

2 Pelaksanaan a. Pelatihan kecakapan hidup otomotif,

pengelasan, dan teknik pendingin

b. Proses Pelatihan Keterampilan

c. Monitoring kegiatan pelatihan pelatihan

kecakapan hidup (kecakapan vokasional)

3 Evaluasi a. Evaluasi awal (pretest)

b. Evaluasi proses

c. Evaluasi akhir

6. Indikator Keberhasilan

Pengembanggan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan

kemandirian anak tunalaras lebih ditekankan pada vocational skills. Oleh

karena itu, keberhasilan program pelatihan kecakapan hidup ini adalah sebagai

berikut :

a. Program pelatihan ini memiliki tingkat kesesuaian kebutuhan warga

belajar dalam peningkatan kecakapan akademik, kecakapan vokasional,

242

kecakapan personal, dan kecakapan sosial sesuai dengan kondisi sosial,

ekonomi dan budaya serta sumber daya yang ada di masyarakat;

b. Kebermaknaan model program kemandirian melalui pelatihan kecakapan

hidup yang dikembangkan agar para warga belajar memiliki motivasi

untuk belajar dan berusaha sehingga muncul keberdayaan dalam dirinya

untuk berubah dari diri-sendiri dan bersama orang lain. Refleksinya adalah

terbentuknya kemandirian warga belajar, yaitu mandiri secara fisik (dapat

bekerja sendiri dengan baik), mandiri secara mental (dapat berpikir secara

kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan) dan

mandiri secara emosional (nilai yang ada dalam diri sendiri). Model

pendidikan kecakapan hidup yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat

pada visualisasi gambar sebagai berikut.

243

Model empirik (lihat di file gambar model)

244

Model empirik yang menjadi produk akhir penelitian ini dikembangkan

berdasarkan model konseptual yang telah melalui berbagai tahap validasi dan uji

coba. Secara umum model empirik tidak jauh berbeda dengan model konseptual.

Pengembangan model empirik terjadi pada bagian dampak pelatihan atau

outcomes. Secara sistematika atau alur pelatihan yang dikembangkan, model

empirik memiliki kesepadanan dengan model konseptual, maka penjelasan model

empirik hanya dipaparkan yang berkenaan dengan dampak pengembangan model

saja.

Tujuan pelatihan model pelatihan kecakapan hidup adalah membentuk

warga belajar agar memiliki kecakapan hidup sesuai dengan keahliannya masing-

masing. Akan tetapi, kecakapan hidup tersebut harus dikembangkan dalam bentuk

program nyata melalui berbagai bentuk usaha. Oleh karena itu, model pelatihan

yang dikembangkan penulis merekomendasikan agar pelatihan kecakapan hidup

dilanjutkembangkan melalui kegiatan pengembangan pelatihan kecakapan hidup.

Pengembangan yang dimaksud adalah: (1) Adanya kontrol yang intensif dan

berkelanjutan dari pihak keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga terkait.

Kontrol terhadap anak tunalaras yang sudah dilatih melalui pelatihan ini belum

tentu akan mencapai keberhasilan yang memadai apabila tidak dikontrol melalui

berbagai bentuk. (2) Pelatihan kecakapan hidup harus dilandasi oleh

pengembangan potensi diri anak tunalaras dalam bentuk penyaluran kerja atau

pengembangan usaha yang difasilitasi oleh lembaga, baik swasta maupun

pemerintah. Anak tunalaras memiliki keterbatasan dalam mengaktualisasikan

dirinya di masyarakat. Oleh karena itu, pelatihan ini menyarankan agar

245

pengembangan potensi diri anak tunalaras dan pengembangan usaha menjadi

program intensif dampak pengembangan model.

F. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pembahasan Umum

Berdasarkan PP 73 Bab II Pasal 2 tentang tujuan PLS, menyatakan

bahwa tujuan Pendidikan Luar Sekolah memiliki makna: (1) melayani warga

belajar supaya tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna

meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. (2) Membina warga belajar agar

memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk

mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan pendidikan ke

tingkat dan/atau jenjang yang lebih tinggi. (3) Memenuhi kebutuhan belajar

masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Tujuan

PLS tiada lain untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-

nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta

secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya,

masyarakat dan bahkan negaranya.

Pendidikan Luar Sekolah sebagai sebuah proses pendidikan berbasis

masyarakat, memiliki keleluasaan dalam mengembangkan dan membina program-

programnya. Hal ini disebabkan pendidikan luar sekolah pada prosesnya bertujuan

menjangkau semua lapisan masyarakat pada kondisi apapun. Sesuai dengan

prinsip tersebut, hasil penelitian dan pengembangan model yang dilakukan dalam

studi ini, menunjukkan bahwa PLS memiliki keluasan dalam hal pengembangan

246

dan pengendalian konsep-konsep yang selalu menjadi acuan dalam prinsip

pembelajarannya. Sebagaimana prinsip pembelajaran sepanjang hayat yang

dikemukakn Gonzales dan Pijono (1997:232) bahwa konsep dasar hakekat

pendidikan sepanjang hayat, yaitu : 1) setiap orang harus didorong untuk menjadi

pelajar yang mengarahkan diri sendiri dan menjadi agen-agen aktif untuk

pendidikan mereka sendiri, 2) Banyak sumber-sumber pendidikan alternatif

disamping sekolah yang melayani kebutuhan pendidikan mereka, 3) semua

pengalaman dan sumber belajar itu tersedia buat semua orang, setiap saat, baik

yang belajar paruh waktu.

Program-program PLS yang dijalankan pada satu negara pada umumnya

merupakan jawaban terhadap permasalahan (sosial) yang dihadapi negara

tersebut. Selama ini PLS dipandang memberikan solusi terhadap permasalahan

karena pendidikan luar sekolah merupakan alternatif solusi yang baik untuk

memecahkan berbagai permasalahan tersebut. Peran PLS sebagaimana

diungkapkan di atas, sejalan dengan pendapat Sutaryat Trisnamansyah (2003: 19),

bahwa PLS bertujuan untuk: (1) memperoleh keterampilan yang segera akan

dipergunakan, (2) berpusat pada peserta didik, (3) waktu penyelenggaraan relatif

singkat, dan pada umumnya tidak berkesinambungan, (4) menggunakan

kurikulum kafetaria, (5) menggunakan metode pembelajaran partisifatif, dengan

penekanan pada belajar mandiri, (6) hubungan pendidik dengan peserta didik

bersifat mendatar, (7) penggunaan sumber-sumber lokal.

Berdasarkan paparan di atas, PLS memiliki banyak keunggulan yaitu;

memiliki program yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat.

247

Oleh karena itu, dalam aplikasinya penggunaan kurikulum dan proses

pembelajaran ditetapkan bersama peserta didik.

Karakteristik pendidikan luar sekolah tersebut merupakan rujukan konsep

bagi pengembangan pendidikan kecakapan hidup. Peningkatan mutu pendidikan

merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik

sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, agar dapat

hidup sejajar dengan bangsa lain di dunia ini. Dalam merealisasikan komitmen

tersebut di atas, Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) telah

mengupayakan berbagai inovasi dan program pendidikan, antara lain Program

Pendidikan beorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education).

Tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah untuk mempersiapkan

peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang

dikembangkan dalam menjaga kelangsungan hidup dan mengembangkan dirinya.

Meskipun bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup,

namun konvergensinya cukup jelas yaitu bahwa tujuan utama pembelajaran

kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan

mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan

perkembangannya di masa datang. Esensi dari pembelajaran kecakapan hidup

adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan

nyata, baik preservatif maupun progresif. Lebih spesifiknya, tujuan pendidikan

kecakapan hidup dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, memberdayakan

aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui

pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos) nilai-nilai

248

kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan

hidup dan perkembangannya. Kedua, memberikan wawasan yang luas tentang

pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi

karir, dan penyiapan karir. Ketiga, memberikan bekal dasar dan latihan-latihan

yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang

dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa

depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Keempat, mengoptimalkan

pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis

sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi

stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. Kelima,

memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang

dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan pisik, kemiskinan, kriminal,

pengangguran, lingkungan sosial dan pisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan

iptek.

Salah satu latar belakang penelitian ini adalah mewujudkan konsep PLS

dan pendidikan kecakapan hidup dalam konteks pengembangan model.

Pengembangan model yang dimaksud adalah pengembangan model pelatihan

kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta. Penelitian ini diterapkan pada sekelompok

warga belajar tunalaras. Pelatihan dalam konteks kelompok didasari oleh

pemikiran bahwa kegiatan belajar dalam kelompok lebih bermakna dan

memberikan kekuatan kolektivitas. Oleh karena itu, kelompok belajar dapat

berfungsi: (1) sebagai metode, (2) sebagai media, (3) sebagai sarana

249

pembelajaran, dan (4) sebagai agen perubahan. Dalam pandangan lain,

Kindervatter (1979:207) menyatakan peran kelompok belajar sangat penting

sebagai agen pembaharuan dalam rangka pemberdayaan (empowering process).

Manfaat yang dapat diperoleh dari kelompok belajar adalah dapat dengan mudah

membelajarkan anggotanya, mengubah tingkah lakunya, bahkan mengembangkan

masyarakat sampai dengan berdirinya lembaga keuangan lokal (the local bank).

Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup pun berkenaan dengan

konsep pelatihan. Pelatihan (training) merupakan pembelajaran pengembangan

individual yang bersifat mendesak karena munculnya suatu kebutuhan saat ini.

Menurut Robinson dalam Anwar (2004: 163) pelatihan sebagai suatu instruksi

atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan

pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki. Pengertian pelatihan tersebut

memiliki makna bahwa tujuan dasar pelatihan untuk membangun dan

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan individu agar dapat mencapai

tingkat yang diharapkan. Selanjutnya Anwar (2004: 169), menegaskan bahwa

pelatihan adalah usaha berencana yang diselenggarakan supaya dicapai

penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relevan dengan kebutuhan

peserta pelatihan. Dari definisi tersebut dapat ditafsirkan bila pelatihan kecakapan

hidup diberikan kepada anak tunalaras dapat meningkatkan kualitas sikap anak

tunalaras dalam meningkatkan kemandiriannya untuk hidup bermasyarakat secara

wajar.

Pelatihan pada hakikatnya pun merupakan salah satu wujud konkret

250

pendidikan. Tilaar (1999) menegaskan bahwa hakikat pendidikan berkenaan

dengan konsep pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif.

Sejalan dengan pendapat tersebut, pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani

merupakan refleksi hakikat pendidikan melalui pendekatan holistik integratif. Bila

pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta didik, dan

keseluruhan perbuatan pendidikan termasuk lembaga pendidikan tidak secara

utuh, maka pendekatan holistik integratif memandang bahwa hakikat pendidikan

memiliki komponen: pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan;

proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi; eksistensi manusia

yang memasyarakat; proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya; dan

proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan

ruang.

Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani

Jakarta, dilakukan melalui langkah-langkah: 1) mengadakan pendekatan terhadap

pihak panti ; 2) koordinasi dengan sumber belajar; 3) penyiapan lingkungan; dan

4) penyiapan panduan model pelatihan kecakapan hidup. Pendekatan terhadap

pihak panti, bertujuan untuk memperoleh izin untuk mengadakan dan menerapkan

pengembangan PKH. Pendekatan terhadap pihak panti dilakukan sejak di awal

kegiatan. Dukungan pihak panti terhadap pengembangan model pelatihan

kecakapan hidup ini ditunjukkan dengan: 1) menerima dengan baik kehadiran

peneliti; 2) mengadakan dialog secara terbuka bersama peneliti tentang hal-hal

yang berhubungan dengan program PKH; 3) menyambut baik dan merespon

dengan segala tawaran peneliti untuk mengembangkan model pelatihan kecakapan

251

hidup yang ditunjukkan dengan sikap dan tindakannya yang kondusif; 4)

menyediakan dan melengkapi fasilitas yang diperlukan bagi terselenggaranya

pengembangan model; dan 5) memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada

peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan model pelatihan

kecakapan hidup sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak

tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta merupakan bentuk

pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan kepada anak tunalaras meliputi:

pembinaan fisik, bimbingan mental dan sosial, pelatihan ketarampilan, serta

resosialisasi serta pembinaan lanjut anak nakal agar dapat menjalankan fungsi

sosialnya secara wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa dalam pengembangan pelatihan

kecakapan hidup juga termasuk juga ada proses rehabilitasi. Departemen Sosial

dalam Sunaryo (1995: 108) memberi pengertian bahwa “rehabilitasi adalah suatu

proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat

mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan

masyarakat”. Secara lebih spesifik rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai suatu

proses perbaikan yang ditujukan pada anak luar biasa khususnya anak tunalaras

agar mereka cakap berbuat dalam menjalani hidup dan kehidupannya di

masyarakat secara lebih bermakna.

Sebelum uji lapangan dimulai, peneliti terlebih dahulu mengadakan

sosialisasi tentang pengembangan model pelatihan kecakapan hidup yang akan

252

dilaksanakan, melalui tanya jawab dan diskusi terhadap pihak yang terkait di

panti. Kegiatan ini dilakukan selama kegiatan penelitian tahap satu dan tahap dua,

dan seminggu sebelum pelaksanaan uji lapangan II kegiatan sosialisasi lebih

diintensifkan. Kegiatan yang dilakukan dalam uji lapangan II adalah menerapkan

pengembangan model pelatihan kecakapan hidup diPanti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta.

Pada tahap pelaksanaan uji lapangan II, para sumber belajar dan peserta

program menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti setiap tahapan kegiatan

pada pengembangan model PKH. Tahapan-tahapan penerapan model pelatihan

kecakapan hidup yang diikutinya secara sungguh-sungguh adalah sebagai berikut:

1. kegiatan pada tahap perencanaan, meliputi; kegiatan mengidentifikasi

kebutuhan belajar, merumuskan dan mengadakan kontrak belajar,

merumuskan materi belajar, dan merumuskan/memilih alat dan media belajar;

2. tahap pelaksanaan, meliputi; a) menciptakan iklim pelatihan yang harmonis

sehingga terjalin hubungan akrab antara sumber belajar dengan peserta

program; dan b) sumber belajar dan peserta program bersama-sama dalam

mengisi kegiatan pelatihan sehingga terjadi proses interaksi saling

membelajarkan secara dinamis;

3. pada tahap evaluasi, sumber belajar maupun peserta program sama-sama

melakukan kegiatan evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pelatihan,

sehingga kegiatan evaluasi benar-benar bertumpu pada sumber belajar dan

peserta program; dan

253

4. membahas dampak model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan/

pengembangan usaha maupun terhadap kecakapan akademik , keterampilan,

serta sikap kemandirian peserta program.

Monitoring dan evaluasi dilakukan pada saat model pelatihan kecakapan

hidup berlangsung, kegiatan ini dilakukan terutama untuk menilai kelayakan dan

efektivitas model yang dikembangkan. Setiap selesai penyajian, peneliti bersama-

sama dengan sumber belajar dan peserta program mendiskusikan hasil uji

lapangan yang dilakukan. Peneliti mengikuti setiap perubahan dan perkembangan

sebagai pengaruh dari penerapan model pelatihan kecakapan hidup terhadap

peserta program. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut, dijadikan sebagai bahan

diskusi bersama dengan sumber belajar dan peserta program, setiap satu minggu

selama pelaksanaan uji lapangan II.

Hasil monitoring, evaluasi dan diskusi bersama dengan sumber belajar

dan peserta program, menunjukkan bahwa model pelatihan kecakapan hidup dapat

dikembangkan secara efektif dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Beberapa indikator yang

menunjukkan keefektifan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Nara sumber belajar dan peserta program telah memperoleh dan memiliki

pemahaman yang lebih tinggi tentang isi dan prinsip-prinsip model pelatihan

kecakapan hidup yang dikembangkan.

2. Pihak panti dan peserta program dapat mengembangkan model pelatihan

kecakapan hidup sesuai dengan prosedur yang didesain dalam model.

254

3. Sumber belajar dan peserta program dapat menumbuhkan iklim pelatihan

yang harmonis dan akrab.

4. Adanya kesanggupan dari sumber belajar dan peserta program untuk

menerapkan model PKH dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta.

5. Model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak

tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang

dikembangkan dapat meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan

vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial, serta menumbuhkan

kemandirian warga belajar.

Implikasi teoritis dari pengembangan model pelatihan kecakapan hidup

dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra

Handayani Jakarta ini, memperkuat teori-teori kemandirian sebelumnya. Pendapat

tersebut diartikan kemandirian adalah penggunaan daya sendiri untuk bertindak

dan membuat keputusan atau mempertimbangkan tanpa bergantung kepada orang

lain. Brookfield (1993) mengemukakan bahwa kemandirian sebagai kekuatan

seseorang di dalam memahami dan menyadari alternatif – alternatif pilihan bagi

dirinya. Covey (1989:49) menegaskan pula bahwa Independence is the paradigma

of I-I can do it; Iam responsible: I am self-reliant: I can choose..

Interdependence is the paradigma of We-We can do it: We can cooperate: We can

combine our talents and abilities and create something greatertogether.

Wetherington (Rifaid,2000) mengemukakan bahwa kemandirian ditunjukan oleh

adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kreatif, kemampuan mengatasi

255

masalah, penuh ketekunan, merasa puas atas usahanya dan berkeinginan

mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Havighurst (1972) menambahkan

bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: (a) emosi, aspek ini

ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya

kebutuhan emosi dari orang tua; (b) ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan

kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada

orang tua; (c) Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk

mengatasi berbagai masalah yang dihadapi; dan (d) sosial, aspek ini ditunjukan

dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak

tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Model pelatihan kecakapan hidup

dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang dikembangkan secara

nyata telah dapat meningkatkan empat kecakapan hidup, yakni kecakapan

akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial.

Implikasi teoritis pada model pelatihan kecakapan hidup dalam

meningkatkan kemandirian anak tunalaras terletak pada: pertama, aspek

relevansinya dengan kebutuhan. Berdasarkan temuan empiris, penerapan model

pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di

Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta menunjukkan efektivitasnya bagi

terpenuhinya kebutuhan pelatihan warga belajar sehingga dapat menumbuhkan

motivasi belajar dan kreativitas. Kedua, aspek inovasinya dalam pengembangan

anak tunalaras di masyarakat. Dalam penerapannya, model pelatihan kecakapan

hidup mampu memberikan rehabilitasi dan peningkatan kecakapan hidup anak

tunalaras yang positif. Warga belajar tunalaras merupakan salah satu komponen

256

bangsa yang perlu mendapat perhatian serius melalui cara-cara yang tepat dan

akurat agar mampu memperbaiki kehidupan dan penghidupannya. Upaya untuk

memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dilakukan melalui jalur pendidikan

nonformal yang merupakan alternatif terbaik dan paling tepat.

2. Pembahasan Khusus

PSMP Handayani adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis yang

menangani permasalahan anak nakal dengan maksud untuk dapat memulihkan

kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga

mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta

menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan

berkualitas, serta berakhlak mulia. Menghilangkan label dan stigma negatif

masyarakat terhadap anak yang menghambat tumbuh kembang mereka untuk

berpartisipasi dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Maksud tersebut

dikembangkan lagi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat sehingga

pada akhirnya dapat tercipta suatu pelayanan yang komprehensif dan berorientasi

pada kepentingan penerima pelayanan.

Tujuan pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal di PSMP Handayani

secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak

nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan

kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti

Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani adalah salah satu alternatif dari sekian

banyak lembaga Pemerintah maupun swasta yang memberikan pelayanan sosial

257

kepada anak yang mengalami gangguan perilaku dan emosi.

Dalam Keputusan Menteri No. 59/HUK/2003 tentang Organisasi dan Tata

Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen Sosial ditetapkan bahwa Panti

Sosial adalah Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Sosial yang

berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, sehari-hari secara fungsional dibina oleh para

Direktur terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Tugas pokok dan fungsinya

adalah memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat

preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental,

sosial dan pelatihan ketrampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak

nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta

pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan.

Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan

kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta

bertujuan agar warga belajar diharapkan menguasai empat kecakapan secara

komprehensif yakni kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan

personal, dan kecakapan sosial. Melalui pelatihan kecakapan hidup ini

diharapkan warga belajar memiliki kemandirian untuk memasuki dunia kerja atau

berusaha mandiri minimal untuk dirinya sendiri dan keluarganya serta dapat

dikembangkan untuk membuka lapangan kerja sehingga warga belajar

memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang layak.

Berdasarkan hasil studi terhadap objek penelitian dan beberapa literatur

yang berkenaan dengan penyelenggaraaan kecakapan hidup di PSMP Handayani

258

Jakarta, ternyata masih menghadapi berbagai masalah dalam pengembangannya.

Secara mendetail permasalahan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

a. Proses penyusunan rencana program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga

belajar secara intensif.

b. Tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak

diketahui keterampilan siap warga belajar.

c. Materi-materi program pelatihan yang akan dikembangkan tidak dibuat

secara terencana dan sistematis.

d. Tidak merumuskan tujuan kegiatan/program secara eksplisit yang diarahkan

untuk menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar.

e. Nara sumber teknis tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk

tertulis baik dalam modul atau kemasan lainnya.

f. Tidak mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut

antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap aspek-

aspek pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi.

g. Ada kecenderungan nara sumber teknis (tutor) tidak menguasai azas-azas

pelatihan dengan sistem tutorial, baik pada tahapm perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi.

h. Nara sumber teknis tidak pernah menjelaskan tujuan pelatihan nya secara

detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga belajar.

i. Kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik dan penguasaan

keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif, teknik

pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan warga

259

belajar belum memiliki sikap kemandirian.

j. Proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang terpadu.

Sebagian besar hanya bertumpu pada kegiatan praktek sehingga tidak

menampakkan proses pelatihan dengan model tertentu.

k. Tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara terpadu atau terintegrasi yang

komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria penilaiannya tidak jelas.

Permasalahan tersebut di atas, akan menjadi faktor-faktor penghambat atau

kendala perkembangan PSMP dalam menunjang pendidikan di Indonesia,

khususnya pendidikan nonformal. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya

pencapaian tujuan pendidikan nasional pada jalur PLS, khususnya pada PSMP

banyak bergantung kepada berbagai faktor, baik secara internal sistem PSMP

maupun faktor-faktor eksternal sistem PSMP. Salah satu faktor kunci (the key

factor) yang berasal dari “internal sistem " PSMP adalah pola pengembangan

program dan efesiensinya terutama yang berkenaan dengan pendidikan kecakapan

hidup.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecakapan hidup warga belajar

melalui model tersebut memberikan manfaat bagi upaya peningkatan pemerolehan

dan peningkatan keterampilan warga belajar. Untuk memberikan penilaian atas

model pelatihan kecakapan hidup sebagai suatu altematif pendidikan luar

sekolah, perlu diapresiasi melalui kajian teoritis. Untuk kepentingan itu,

efektivitas model dapat analisis dengan menggunakan pendekatan dan keterkaitan

komponen pendidikan luar sekolah antara lain yaitu: masukan (input), proses

(process), keluaran (output), masukan lain (other input) dan dampak (impact).

260

Melalui pendekatan andragogik yang dikembangkan dalam model pelatihan

kecakapan hidup, setahap demi setahap terjadi perubahan orientasi pada diri

warga belajar mulai bergeser. Kondisi tersebut tampak pada tingginya minat

mereka untuk belajar berbagai hal yang berkenaan dengan upaya-upaya yang

sekiranya dapat mengembangkan usaha produktifnya. Perubahan sebagaimana

diuraikan di atas, tidak terlepas dari peran dan posisi sumber belajar. Fasilitator

dalam proses belajar aktif berbeda dengan guru dalam pengajaran secara

tradisional. Dalam pengajaran tradisional seorang guru menyampaikan

pengetahuannya kepada murid. Sedangkan dalam proses belajar aktif, seorang

fasilitator membantu kelompok (memfasilitasi) peserta pelatihan mencari dan

menemukan ide-ide sendiri serta menyimpulkannya.

Hasil pengamatan, peran fasilitator sudah menjalankan fungsinya sebagai

pihak yang memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar sesuai prosedur yang

ditetapkan dalam model yang dikembangkan. Dalam praktiknya, fasilitator

memberikan bantuan kepada warga belajar untuk memecahkan masalah yang

menjadi kendala dan tidak pernah mendahului dalam membuat kesimpulan.

Selama proses, fasilitator senantiasa memperbaiki pandangan-pandangan yang

salah pada saat yang tepat dalam proses diskusi maupun kegiatan lain selama

pembelajaran berlangsung. Kehadiran fasilitator dalam proses pelatihan hidup

sangat menentukan motivasi belajar peserta dan keberlangsungannya.