bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. kondisi...
TRANSCRIPT
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis Desa Kebonbimo
Desa Kebonbimo masuk wilayah di Kecamatan Boyolali,
Kabupaten Boyolali. Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pager
Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Semarang, sebelah Timur berbatasan
dengan Desa Dlingo Kecamatan Mojosongo Kabupaten Boyolali, sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Mudal Kecamatan Boyolali Kabupaten
Boyolali, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ngargosari
Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali. Desa Kebonbimo terletak sekitar
4 KM ke arah Utara dari pusat kota Boyolali. Desa ini beriklim tropis dan
kaya akan sumber mata air yang pada masa pemerintah Hindia Belanda
sampai tahun 1945 sumber mata air tersebut dijadikan tempat untuk
mencuci Serat, karena di lokasi dekat sumber mata air itu dahulu berdiri
sebuah pabrik Serat yang dibangun tahun 1918 dan mulai beroperasi dari
tahun 1922 - 1945 (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober
2013).
Menurut penuturan dari Minto Suwarno yang didapat dari cerita
orang tuanya yang bernama Marto Rejo, mengatakan bahwa sebelum
Republik Indonesia berdiri. Tanah Desa Kebonbimo dulunya merupakan
tanah milik Keraton Kasunanan Surakarta. Karena Raja yang berkuasa
pada masa itu lebih berpihak dengan Belanda, melalui politik sewa tanah
28
yang dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda membuat proyek di wilayah
Desa Kebonbimo dengan mendirikan perkebunan Kopi, namun dalam
perkembangannya mulai tahun 1918 perkebunan Kopi diganti dengan
ditanami Serat dan dibarengi dengan membangun Pabrik Serat yang
berada di Dukuh Tlatar yang dapat digunakan mulai tahun 1922. Karena
secara kebetulan orang tua dari Minto Suwarno yang bernama Marto Rejo
merupakan salah satu pegawai pabrik sejak awal berdiri dari perkebunan
kopi sampai dengan perkebunan Serat. Selain sebagai kaki tangan orang
Belanda yaitu dijadikan “Jongos” (pembantu Laki-laki), Marto Rejo juga
sebagai perawat dan penebang di perkebunan (Wawancara dengan Minto
Suwarno, 13 Oktober 2013).
Luas wilayah Desa Kebonbimo sebagian besar masih berupa tanah
bekas perkebunan Serat yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tanaman serat memiliki bentuk menyerupai tanaman nanas, karena hanya
dapat melihat dan menyebutkan ciri-ciri bentuk fisiknya yang menyerupai
pohon nanas maka masyarakat Desa Kebonbimo dan sekitarnya sering
menyebut dengan nama Serat nanas. Sebelum banyaknya tali tambang
yang terbuat dari bahan plastik dan senar, pada masa penjajahan Belanda
dalam membuat tali tambang menggunakan bahan dari serat. Jenis
tanaman serat yang ditanam di perkebunan milik Belanda di Desa
Kebonbimo dan sekitarnya dari tahun 1918-1945 di produksi sebagai
bahan pembuatan tali tambang Dadung dengan ukuran besar yang
digunakan untuk kebutuhan kapal-kapal Belanda. Khusus pada masa
29
Jepang ditambah dengan jenis produksi yang tidak hanya membuat tali
tambang tetapi juga membuat karung goni dan selendang serat. Berikut
ciri-ciri fisik dari pohon serat yang ditanam di perkebunan milik Belanda
di Desa Kebonbimo diantaranya sebagai berikut (Wawancara dengan
Henri Sugiman, 12 Mei 2014):
a. Bentuk pohon serat seperti pohon nanas, tetapi pohon serat lebih
besar dan tinggi.
b. Tebal daun serat, kurang lebih 1 cm.
c. Mempunyai bunga warna putih dan jika sudah tua tangkai bunga
tinggi menjorok ke atas.
d. Tinggi pohon serat, kurang lebih 150 cm.
e. Panjang helai daun serat, kurang lebih 100 cm.
f. Pohon serat tidak berbuah.
g. Daun serat berduri dibagian tepi dan di bagian pucuk depan berduri
dengan warna hitam.
h. Lebar daun serat, kurang lebih 10-15 cm.
i. Setiap pohon serat mempunyai daun kurang lebih berjumlah 20
helai daun.
j. Daun serat yang digunakan yaitu daun yang sudah tua untuk
diproses produksi di pabrik serat di Dukuh Tlatar.
k. Daun serat berwarna hijau keputih-putihan.
Pada tahun 1948 Desa Kebonbimo terdiri dari 10 padukuhan,
diantaranya yaitu: Wates, Gombol, Tlatar, Gatak, Baturan, Dukuh, Titang,
30
Kebonbimo, Karang Tengah, dan Ngablak. Dukuh Tlatar mempunyai
jumlah kepala keluarga paling banyak dibandingkan dengan dukuh lain di
wilayah Desa Kebonbimo yakni sekitar 30 kepala keluarga, sedangkan
dukuh yang lainnya rata-rata sekitar 10 kepala keluarga. Jumlah penduduk
Desa Kebonbimo kurang lebih 500 orang (Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014).
Dukuh Tlatar memiliki jumlah penduduk paling banyak, hal ini
dikarenakan Dukuh Tlatar berfungsi sebagai pusat pemerintahan Desa
Kebonbimo dan terdapat pabrik Serat yang pada waktu masih aktif
berproduksi memiliki tenaga kerja yang cukup banyak sehingga
mempengaruhi peningkatan jumlah warga (Wawancara dengan Haryono, 3
Februari 2014). Menurut Henri Sugiman, di lokasi sekitar pabrik Serat di
Dukuh Tlatar terdapat perumahan atau mess. Mess tersebut pada waktu
pabrik masih aktif berproduksi digunakan untuk tempat tinggal bagi
karyawan-karyawan pabrik Serat yang berasal dari luar daerah seperti:
Klaten dan Tasikmadu, yang bekerja di bagian teknisi mesin pabrik.
Pabrik Serat berproduksi sampai kekuasaan Jepang berakhir di Indonesia
tahun 1945. Selama periode tahun 1942-1945 pabrik Serat tetap
memproduksi seperti biasanya, tetapi tidak seaktif pada masa hindia
Belanda. Setelah kekuasaan Jepang di Indonesia berakhir pada tahun 1945,
bangunan pabrik Serat tersebut pada masa Agresi Militer Belanda I
dijadikan asrama sementara dari pasukan Pesindo. Menjelang terjadinya
Agresi Militer Belanda II tahun 1948 komplek bangunan pabrik Serat
31
dibumihanguskan oleh masyarakat Desa Kebonbimo dibarengi dengan
penghancuran Jembatan Tlatar yang di bangun pada tahun 1922. Tujuan
bumihangus kawasan pabrik dan penghancuran jembatan adalah supaya
Belanda tidak kembali lagi ke Desa Kebonbimo untuk menguasai pabrik
Serat dan Desa Kebonbimo. Lokasi pabrik serat telah berubah menjadi
perkampungan warga Umbul Rejo Timur, kurang lebih mulai tahun 1950
dan disusul dengan dukuh-dukuh baru yang lainnya di wilayah Desa
Kebonbimo, objek wisata Umbul Tlatar serta sebagai saluran irigasi tanah
pertanian masyarakat Desa Kebonbimo dan Desa Pager. Selain Dukuh
Umbul Rejo Timur, ada juga dukuh-dukuh baru lainnya yang merupakan
sebagian dari bekas perkebunan Serat diantaranya seperti: Umbul Rejo
Barat, Gatak Baturan, Kebon Rejo, dan Karang Mojo (Wawancara dengan
Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Tempat yang dulunya masih berupa
lapangan di Dukuh Tlatar, sekarang sudah berdiri bangunan SMA N 2
Boyolali. Lapangan tersebut merupakan lokasi Perang Pruputan pada
tanggal 14 Juli 1949. Perang Pruputan adalah perang yang dilakukan pada
waktu masih pagi-pagi buta (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27
Januari 2014).
Pada tahun 1922-1945 mata pencaharian masyarakat Kebonbimo
pada umumnya menjadi pegawai buruh kasar (Kuli) pabrik Serat, adapun
tugas mereka ialah (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014):
32
a. Perawat dan penebang di perkebunan Serat. Salah satu karyawannya
bernama Marto Rejo (orang tua dari Minto Suwarno) yang bertempat
tinggal di Dukuh Gatak.
b. Penyortir Serat.
c. Bagian gerobak yang bertugas mengangkut Serat dari kebun ke pusat
pabrik di Dukuh Tlatar.
d. Pencuci Serat yang sudah terbentuk seperti helai benang.
e. Tukang penjemuran Serat setelah selesai dicuci di Umbul.
Kedatangan pemerintah militer Jepang pada tahun 1942 membuat
wilayah seluruh kekuasaan Belanda dan aset-aset yang dimiliki Belanda
beralih ke tangan Jepang. Setelah adanya peralihan kekuasaan, pabrik
Serat yang berada di Dukuh Tlatar tetap beroperasi. Atas kebijakan
pemerintah militer Jepang selain perkebunan Serat masih tetap ada, bagi
warga masyarakat yang mempunyai tanah (tidak termasuk tanah
perkebunan serat) seperti tanah pekarangan di sekitar rumah tempat
tinggal diwajibkan untuk menanam jarak maupun palawija, salah satunya
seperti Jagung. Bagi masyarakat yang mempunyai tanah sawah
diwajibkan untuk menanam padi dan setiap panen, minimal setengah dari
jumlah total hasilnya harus diserahkan kepada Jepang. Hal ini bertujuan
untuk mendukung kebutuhan perang dan sebagai cadangan persediaan
pangan, dengan memanfaatkan tenaga-tenaga masyarakat Desa
Kebonbimo sebagai pekerja, Selama masa pendudukan Jepang pada
tahun 1942-1945 masyarakat Desa Kebonbimo menjadi buruh kasar tanpa
33
upah di perkebunan serat yang sebagian besar bertugas sebagai pekerja
lapangan seperti perawat dan penebang (Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014). Masyarakat Desa Kebonbimo selama
pendudukan Jepang diajarkan pendidikan semi militer terutama bagi para
pemuda-pemuda, yang sangat berguna pada masa perang gerilya tahun
1948-1949 (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13 Oktober 2013). Di
Desa Kebonbimo pada masa pendudukan Jepang, para pemuda yang
berusia 15 tahun ke atas dalam satu kelurahan dilatih pendidikan semi
militer yang di pusatkan di lapangan Dukuh Tlatar (Wawancara dengan
Tarjo Suwito, 27 Januari 2014).
Setelah berakhirnya kekuasaan pemerintah militer Jepang pada
tahun 1945, tanah perkebunan di wilayah Desa Kebonbimo antara tahun
1945-1948 terbengkalai. Dengan adanya siasat bumihangus menjelang
Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, secara otomatis tanah
perkebunan menjadi tanpa pemilik. Atas kebijakan dari pemerintah Desa
Kebonbimo yang dipimpin Citro Budoyo, tanah perkebunan yang sudah
ditinggalkan Belanda tersebut kemudian di bagi-bagikan kepada
masyarakat Desa Kebonbimo. Tanah bekas perkebunan oleh masyarakat
Desa Kebonbimo dikenal dengan nama tanah DC. Masyarakat Desa
Kebonbimo rata-rata mendapat jatah tanah DC seluas 1000 M2
- 2000
M2. Pembagian tanah diatur secara merata disesuaikan dengan kondisi
ekonomi setiap masyarakat. Setelah adanya pembagian tanah DC,
masyarakat Desa Kebonbimo pada tahun 1948 bermata pencaharian
34
sebagai petani penggarap lahan sendiri (Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014). Menurut Haryono, yang disebut dengan tanah
Drooge Culture (DC) yaitu tanah tanaman kering peninggalan milik
Belanda. Adapun luas dari wilayah Desa Kebonbimo kurang lebih 239
Ha, terdiri dari 119 Ha luas tanah DC dan 120 Ha yang terdiri dari luas
padukuhan dan sawah (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014).
B. Kondisi Pemerintahan Desa Kebonbimo
Pada masa Agresi Militer Belanda II, pemerintahan Desa
Kebonbimo dipimpin oleh Citro Budoyo sebagai Kepala Desa pertama
yang menjabat sampai tahun 1974 dan Mangun Suyoto sebagai Sekretaris
Desa atau Carik (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014).
Kantor Balai Desa Kebonbimo bertempat di rumah Citro Budoyo
dikarenakan pada waktu itu belum mempunyai kantor Balai Desa sehingga
harus menumpang di rumah Kepala Desa. Padukuhan Desa Kebonbimo
pada masa Agresi Militer Belanda II dipimpin oleh 2 Kepala Dusun
(Bayan). Kepala Dusun wilayah Barat dipimpin oleh Bandi yang meliputi:
Baturan, Kebonbimo, Karang Tengah, Titang, Dukuh, dan Ngablak.
Sedangkan di wilayah Timur dipimpin Suroso meliputi: Wates, Gombol,
Tlatar, dan Gatak (Wawancara Henri Sugiman, 28 Januari 2014).
Pada tahun 1948 pemerintah Desa Kebonbimo membentuk badan
keamanan desa yang disebut dengan Pasukan Gerilya Desa (Pager Desa).
Masyarakat Desa Kebonbimo sering melakukan gerilya setiap malam
selama masa Agresi Militer Belanda II, hal ini membuat Tentara Belanda
35
menjadikan daerah Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar sebagai daerah
pusat para gerilyawan. Melalui mata-matanya yang ditugaskan di
Kebonbimo, Tentara Belanda mendapat banyak informasi, diantaranya
seperti kegiatan-kegiatan para gerilyawan. Tentara Belanda sering
melakukan patroli di Desa Kebonbimo dengan tujuan untuk mencari dan
menangkap pemimpin Gerilya Desa Kebonbimo. Hal ini dikarenakan
seringnya Pager Desa Kebonbimo melakukan kegiatan pengrusakan
Jembatan darurat Kenteng (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober
2013).
Menurut Minto Suwarno, Sekitar tahun 1948-1949 di radio sering
di perdengarkan (diputarkan) lagu yang bersifat nasionalisme dan
patriotisme yang ditujukan kepada para gerilyawan untuk melawan
penjajah (pasukan Belanda). Berikut salah satu lirik lagu yang masih
diingat oleh Minto Suwarno, “Ayo marilah pandai bergerilya”. Sering
diputar-putarnya lagu mengenai semangat bergerilya itu dikarenakan
pemerintah Republik Indonesia merasa persenjataan maupun kekuatan
pasukan yang dimiliki Tentara atau gerilyawan lainnya tidak bisa
mengimbangi kekuatan musuh (pasukan Belanda). Lagu-lagu bertema
nasionalisme dan patriotisme tersebut bertujuan supaya rakyat Indonesia
tidak takut menghadapi musuh serta dapat mengobarkan semangat para
gerilyawan yang berjuang di medan perang untuk mempertahankan
kemerdekaan Repulik Indonesia (Wawancara dengan Minto Suwarno, 13
Oktober 2013).
36
Peran perangkat desa selain sebagai pemimpin pemerintahan desa,
juga sebagai pemimpin gerilya tertinggi di tingkat desa. Karena Tentara
Belanda belum menguasai sepenuhnya wilayah Desa Kebonbimo maka
pada saat penyerangan, Belanda sering mengalami kegagalan. Seperti pada
saat akan menangkap salah satu pemimpin gerilya Desa Kebonbimo yang
bernama Citro Budoyo, Kepala Desa Kebonbimo pada masa Agresi
Militer Belanda II. Tentara Belanda berencana masuk ke dalam rumah
Citro Budoyo namun keliru masuk ke dalam rumah Wiro Kartiko yang
pada waktu itu rumahnya berdekatan. Wiro Kartiko diserang dan
ditembaki oleh Tentara Belanda hingga meninggal dunia. Kesalahan
tersebut disebabkan karena adanya papan bertuliskan Lurah (tanda
penunjuk) di pinggir jalan menuju kearah rumah Citro Budoyo maupun
Wiro Kartiko, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa rumah Wiro
Kartiko sebagai rumah dari Kepala Desa Kebonbimo (Wawancara dengan
Minto Suwarno, 13 Oktober 2013).
Perangkat Desa Kebonbimo pada masa Agresi Militer Belanda II
sangat berpengaruh dalam menggerakkan maupun memimpin masyarakat
untuk berperan aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia (Wawancara dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014).
Desa Kebonbimo merupakan desa yang paling aktif diantara desa-desa
sekitarnya dalam upaya mengusir Tentara Belanda pada masa Agresi
Militer Belanda II, terutama di Jalan Ampel-Boyolali Kota tepatnya di
Jembatan Darurat Kenteng. Sebelum Tentara Pelajar SA/CSA masuk Desa
37
Kebonbimo, pemerintah desa telah membentuk Pasukan Gerilya Desa
sebagai satuan keamanan tingkat desa karena melihat letak Desa
Kebonbimo yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten
Semarang (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014).
C. Kedatangan Tentara Sekutu dan Nederland Indies Civil
Administration (NICA) di Indonesia
Sekutu datang ke Indonesia pertama kali pada tanggal 8 September
1945 yang dipimpin oleh Mayor Grenhalgh. Tugas dari misi Grenhalgh
adalah untuk memberikan laporan untuk mempersiapkan pembentukan
markas Sekutu di Jakarta. Kedatangan misi Grenhalgh yang kemudian di
ikuti oleh kedatangan Laksamana Muda Patterson pada tanggal 16
September 1946 yang mendarat di Jakarta dengan menggunakan kapal
Camberland. Tujuan dari Sekutu ke Indonesia, bertugas untuk: menerima
penyerahan Tentara Jepang, Membebaskan tawanan perang dan tahanan
Sekutu, melucuti dan mengumpulkan Tentara Jepang untuk dipulangkan
ke negaranya, menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk
diserahkan kepada pemerintah sipil, menghimpun keterangan dan
menuntut penjahat perang di pengadilan (Moehkardi, 2012:237-238).
Tentara Sekutu yang datang ke Indonesia di samping untuk
melaksanakan tujuan utama diatas, secara tidak langsung Inggris telah
membantu NICA dalam upaya menegakkan kembali kekuasaan Belanda di
Indonesia. Hal ini dikarenakan Inggris selaku wakil Sekutu di Indonesia
sebelumnya telah terikat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 24
38
Agustus 1945 di kota Chequers, yang dikenal dengan perjanjian Civil
Affairs Agrement yang isinya memperbantukan perwira-perwira NICA
terhadap Tentara Sekutu untuk menjalankan kembali pemerintahan sipil di
Hindia Belanda (Subaryana, 2004:10-11).
Masyarakat Indonesia menyambut dengan gembira atas kedatangan
Tentara Sekutu karena masyarakat melihat tujuan awal dari tugas di
Indonesia. Tetapi setelah mengetahui bahwa Tentara Sekutu mempunyai
tujuan yang lain dengan dibuktikannya membawa serta Tentara NICA
yang ingin menegakkan kembali kekuasaan Kolonial Hindia Belanda di
Indonesia, sehingga rakyat Indonesia mengambil sikap untuk bermusuhan
karena NICA terbukti membonceng Tentara Sekutu untuk datang kembali
ke Indonesia (Garda Maeswara, 2010:35-36).
D. Kedatangan Tentara Sekutu dan Nederland Indies Civil
Administration ( NICA) di Jawa Tengah
Pada tanggal 19 Oktober 1945 jam 07.45 WIB telah mendarat
kapal perang Sekutu HMS Glenroy yang membawa pasukan Inggris dari
Brigade 37 yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Bethel. Sebelum
kedatangan Tentara Sekutu, para pemuda sudah bertempur dengan
pasukan Jepang. Pada saat kedatangan pasukan Sekutu telah menghentikan
pertempuran lima hari di Semarang dan besuk pagi harinya Tentara
Sekutu menduduki lapangan udara Kalibanteng (sekarang menjadi
lapangan udara Ahmad Yani). Di lapangan Kalibanteng, didalamnya
terdapat para tawanan perang Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger
39
(KNIL) dan akhirnya dapat dibebaskan oleh Tentara Sekutu. Di antara
Tentara Sekutu yang mendarat di Semarang, terdapat Tentara Belanda
yang memakai seragam dan senjata Tentara Amerika. Dengan ini Pasukan
NICA-Belanda sudah terlihat jelas mempunyai tujuan untuk
mengembalikan kekuasaan di Indonesia. Setelah berhasil menduduki
lapangan udara Kalibanteng. Tentara Sekutu melanjutkan gerakannya ke
Magelang. Para pejuang sudah mengetahui bahwa Tentara Belanda ikut
dalam gerakan Tentara Sekutu yang bermaksud untuk mengembalikan
kekuasaan Belanda di Indonesia, sehingga terjadi aksi penghadangan yang
dilakukan oleh para pejuang. Salah satunya dengan menahan gerakan
Tentara Sekutu yang akan menuju Magelang. Pada tanggal 31 Oktober
1945 pertempuran Magelang meletus. Angkatan Udara Inggris atau Royal
Air Force (RAF) dengan pesawat Thunder Bolt berangkat ke Magelang
mengadakan dropping amunisi yaitu mengumpulkan alat-alat pendukung
perang dan perbekalan pangan kepada pasukan Sekutu yang sudah berada
dalam kepungan masyarakat. Melihat perlawanan masyarakat yang gigih,
Tentara Sekutu terpaksa mengadakan penghentian tembak menembak
(Ceasefire) pada tanggal 3 November 1945 dengan diadakan perundingan
genjatan senjata antara RI dan Sekutu. Namun gencatan senjata tidak
berlangsung lama karena sejak tanggal 9 November 1945 terjadi
pertempuran yang tidak hanya berpusat di Magelang, tetapi meluas ke
daerah-daerah lainnya (Wiyono dkk, 1991:84-85). Pada tanggal 16 Mei
1946 Inggris menyerahkan Kota Semarang kepada Belanda, dengan
40
demikian semakin jelas bahwa Inggris telah diperalat oleh NICA-Belanda
dalam usahanya menguasai kembali wilayah Republik Indonesia (Wiyono
dkk, 1991:90).
E. Tentara Pelajar SA/CSA
Pada tahun 1946 sampai 1947 terjadi proses konsolidasi diantara
Laskar-Laskar Pelajar untuk dihimpun dalam satu kesatuan khusus yang
terdiri dari Para Pelajar di Solo. Laskar Alap-alap berganti nama menjadi
pasukan Sturm Abteilung (SA) dan Corps Sukarela Angkatan (CSA),
dalam penggantian nama tersebut, atas gagasan dari para pimpinan
Pasukan Pelajar diantaranya Achmadi, Prakoso, dan Soemitro yang
menyebutkan bahwa adanya pasukan khusus di Jerman selama perang
dunia II yaitu Sturm Abteilung (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1985:23).
Pembentukan pasukan Sturm Abteilung (SA) pada akhir tahun
1946 digunakan sebagai pasukan inti dari Tentara Pelajar Solo dengan
harapan bahwa kedisiplinan, semangat maupun ketrampilan dalam
bertempur dapat menyamai dengan pasukan SA di Jerman. Pada awal
terbentuk pasukan SA dipimpin oleh Gajah Suranto dan Muktio sebagai
wakilnya. Karena dengan alasan Gajah Suranto kurang aktif dalam
memimpin pasukan SA, maka jabatan pimpinan pasukan SA diambil alih
oleh Muktio. Kurang aktifnya Gajah Suranto dikarenakan selain sudah
diberi tanggung jawab sebagai pimpinan SA dia juga menjabat sebagai
komandan Tentara Genie Pelajar (TGP) (Keluarga Besar SA/CSA,
T.T.:58-59). Dalam proses konsolidasi antara laskar-laskar pelajar Solo
41
menghasilkan terbentuknya Markas Pertahanan Pelajar (MPP) dengan
sebagai ketuanya Sulaiman dan wakilnya Prakoso. Akibat dari
terbentuknya MPP, Pasukan Pelajar tersusun dalam bentuk Regu, Seksi,
dan Kompi. Setelah berjalan selama satu tahun susunan pasukan pelajar
kurang efektif sehingga mengakibatkan ada perubahan dengan
dibentuknya satu Batalyon yang dikenal dengan nama Batalyon 100
(Julius Paur, 2008:118-119). Pasca setelah perjanjian Renville pada
tanggal 17 Januari 1948, pada bulan Februari tahun 1948 pasukan Divisi
Siliwangi yang berkekuatan kurang lebih 4 Brigade dari Jawa Barat
melakukan hijrah ke Jawa Tengah. Kedatangan Divisi Siliwangi dari Jawa
Barat yang menuju ke Jawa Tengah merupakan sebagai kekuatan
tambahan untuk mempertahankan daerah Republik Indonesia (Bulletin
SA/CSA, edisi No 9/1995:16).
Pada saat bangsa Indonesia sedang bersiap-siap untuk menghadapi
serangan Pasukan Belanda yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II
untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Bangsa
Indonesia terlebih dahulu menghadapi gerakan pemberontakan PKI di
Madiun yang mana pada masa penumpasan pemberontakan PKI dari
kesatuan TNI menugaskan Divisi Siliwangi yang dibantu oleh Tentara
Pelajar (TP) Solo pimpinan Achmadi untuk menumpas gerakan tersebut.
Dalam penumpasan gerakan Muso kekuatan utama yang digunakan yaitu
pasukan Siliwangi dari Jawa Barat yang mendapat tugas sampai di
Madiun. Pasukan TP Solo pimpinan Achmadi dan pasukan Siliwangi
42
mengadakan penumpasan pemberontakan dan melucuti senjata dari Front
Demokrasi Rakyat (FDR yang dianggap sebagai PKI) dibawah pimpinan
Muso dan pengikut beraliran kiri yang lainnya seperti Pesindo dan
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) yang dipimpin Ahmad Yadau,
serta TNI resmi yang dianggap berpihak pada Muso. Masa penumpasan
pada tahun 1948 ini lebih dikenal dengan seruan “ Pilih Karno atau Muso”
(Wawancara dengan Sardijono, 6 Februari 2014).
Tentang seruan pilih Karno atau Muso yang disampaikan oleh
Sardijono memang benar terjadi dibuktikan dengan pidato Presiden
Soekarno di Yogyakarta melalui Radio Republik Indonesia (RRI) (Warta
SA/CSA edisi No.17/2012:8) :
“Beberapa hari yang lalu, Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso telah
memproklamasikan berdirinya negara Soviet Republik Indonesia dan tidak
mengakui negara Republik Indonesia. Proklamasi itu diumumkan di kota
Madiun. Dengan ini saya Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada
seluruh rakyat Indonesia untuk memilih sekarang juga, memilih saya Soekarno
atau Muso!”
Setelah mengetahui adanya pemberitaan tentang mengenai seruan
untuk memilih Soekarno atau Muso, Para Tentara Pelajar Solo dari Kompi
I yang dipimpin Prakoso, Wiryawan dan Hartomo mengambil keputusan
untuk memilih Soekarno yang dipertegas dengan adanya laporan hasil
keputusan ke Markas Detasemen II dan Markas Komando Militer Kota
(KMK). Pasukan TP Solo bersama 2 Pasukan Batalyon Siliwangi yang
berada di Solo terdiri dari Batalyon Kosasih dan Kemal Idris dengan
ditambah satu kompi Mobiele Brigade (Mobrig) polisi negara yang
43
ditugaskan untuk menumpas pemberontakan PKI yang dipimpin Muso
(Warta SA/CSA Edisi No.17/2012:8).
Pasukan TP Solo yang masuk dalam Sub Wehrkreise (SWK)
106/PPS 106 Arjuno pimpinan Achmadi yang diperbantukan dalam
penumpasan FDR terutama dari kelompok Tentara Pelajar Sturm
Abteilung (TP SA) yang dipimpin oleh Mashuri sebagai Komandan Seksi.
Selama melakukan tugas dalam penumpasan pemberontakan PKI di
Madiun, Kelompok TP SA berhasil mendapat banyak senjata dari hasil
rampasan senjata pemberontak pengikut muso dan yang beraliran kiri
lainnya sehingga TP SA menjadi pasukan yang kuat. Setelah gerakan
penumpasan PKI selesai pada bulan November 1948, TP SA yang
awalnya dikomando Seksi Mashuri dan sebagai komandan Kompi oleh
Muktio mengambil jalan untuk keluar dari TP Solo yang dipimpin
Achmadi yang mana sebelumnya menjadi induk dari TP SA. Seiring
dengan berjalannya waktu terjadi perselisihan, karena adanya
ketidakpuasan dari kelompok TP Solo yang masih menjadi kesatuan
pimpinan Achmadi. Meskipun memisahkan diri dari kesatuan TP Solo
yang dipimpin Achmadi, TP kelompok Muktio tetap menggunakan nama
TP SA (Wawancara dengan Sardijono, 4 Februari 2014).
Karena ketegangan diantara TP pihak Achmadi dengan TP SA
yang dipimpin Muktio diketahui oleh Letkol Slamet Riyadi, akhirnya TP
SA diakui dan dimasukkan dalam kesatuan pimpinan LetKol Slamet
Riyadi. Laskar Alap-Alap dan rakyat pejuang lainnya yang belum
44
mempunyai wadah kesatuan maka atas inisiatif dari Letkol Slamet Riyadi,
dilebur menjadi satu wadah yang bernama Corps Sukarela Angkatan
(CSA). Sehingga kesatuan TP SA dengan CSA digabung menjadi satu
dengan nama Tentara Pelajar SA/CSA yang di pimpin Muktio di bawah
komando Letkol Slamet Riyadi yang sekaligus menjabat komandan
kesatuan resmi TNI dan memimpin kesatuan diluar TNI (Wawancara
dengan Sardijono, 4 Februari 2014)
Dalam perkembangannya setelah TP SA dengan CSA digabung
menjadi satu kesatuan dengan nama TP SA/CSA selama masa Agresi
Militer II yang mana berkembang menjadi 4 kompi yaitu 1 Kompi SA dan
3 Kompi CSA yang terdiri dari :
a. Kompi I dipimpin oleh Muktio
b. Kompi 2 dipimpin oleh Robikhan
c. Kompi 3 dipimpin Kenyung Sardijono
d. Kompi 4 dipimpin Suryo Soelarto
Kemudian TP SA/CSA masuk dibawah kesatuan Batalyon 55 Brigadir V
(Wawancara dengan Sardijino, 6 Februari 2014). Pernyataan dari
Sardijono sama dengan apa yang dijelaskan oleh pengurus pusat keluarga
besar SA/CSA di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1993 dengan nomor
64/B/PKB.SACSA/1993 mengenai kesatuan pada masa Agresi Militer II
atas balasan surat dari pengurus Keluarga Besar SA/CSA perwakilan
wilayah Surakarta-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Solo. Salah satu
bagian isi surat balasan tersebut menjelaskan bahwa formasi Batalyon 55
45
Brigade V tentang pasukan CSA adalah Kompi Muktio, Kompi Robikan,
Kompi Kenyung Sardijono dan Kompi Suryosoelarto. Sedangkan pasukan
Corps Sukarela lainnya tidak masuk formasi Batalyon 55 Brigade V.
Setelah selesai dalam penumpasan pemberontakan PKI, kesatuan
kelompok Tentara Pelajar Solo dalam perkembangannya menjadi 2
kelompok pasukan Tentara Pelajar yaitu TP Solo dipimpin Achmadi dan
TP SA/CSA dipimpin Muktio (Wawancara dengan Sardijono, 4 Februari
2014). TP SA awalnya hanya berjumlah beberapa puluh orang kemudian
berkembang menjadi satu kompi. Dalam proses masa gerilya pasukan TP
SA pimpinan Muktio melakukan perang gerilya ke luar kota Solo dari
bulan Desember 1948 - Agustus 1949 dengan ditugaskan oleh Letkol
Slamet Riyadi di wilayah Kabupaten Boyolali untuk menghambat jalur
logistik Belanda baik yang dari Solo maupun Salatiga atau sebaliknya
(Wawancara dengan Sardijono, 6 Februari 2014). Hal ini juga di benarkan
oleh Sudarman Wongsoguna bahwa Tentara Pelajar SA/CSA Kompi I
pimpinan Muktio ditugaskan di daerah Boyolali, berada di Tlatar dan
sekitar (Wawancara dengan Sudarman Wongsoguno, 4 Februari 2014).
Dalam buku Ign. Slamet Rijadi Dari Mengusir Kempetai Sampai
Menumpas RMS (2008), Batalyon II yang dipimpin Letkol Slamet Rijadi
mendapat tugas untuk menguasai daerah Kabupaten Boyolali, khususnya
wilayah perbatasan Karesidenan Semarang dengan Karesidenan Surakarta
yang tugas intinya untuk menghadapi pasukan Belanda yang sudah
menduduki daerah Kopeng di luar Salatiga. Markas Batalyon II berada di
46
Desa Paras, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali (Julius Paur, 2008:
61).
F. Agresi Militer Belanda II Di Boyolali
Pada tanggal 21 Desember 1948 pasukan Belanda menyerang Kota
Solo dari arah Barat melalui Kartosuro dan Pada tanggal 22 Desember
1948 pasukan Belanda berhasil menduduki Kota Solo yang sebelumnya
telah dihambat TNI yang dibantu oleh Tentara Pelajar (Keluarga Besar
SA/CSA, T.T.:102). Demikian juga dengan kesatuan Tentara Pelajar
SA/CSA yang berkembang menjadi 1 Kompi yang terdiri dari 4 Seksi
dipimpin secara resmi oleh Muktio. Sore hari pada tanggal 21 Desember
1948 diawali dengan bersiap-siap di Nusukan tepatnya di sekolah
Madyotaman sebelah Selatan Stasiun Balapan dengan tujuan untuk
melakukan penghadangan pasukan Belanda dari arah Kartosuro dan secara
bersamaan pengambilan alih kepemimpinan atas kesepakatan bersama dari
para anggota, pimpinan kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA diserahkan
kepada Hartono Cilik dengan dibantu oleh Haryono,Wasisto dan Robikan.
Adanya pergantian Pimpinan karena Muktio pada waktu itu sedang berada
di Kaliboto dan sebagian besar anggota Tentara Pelajar SA/CSA berada di
Kota Solo. Dari usaha Tentara Pelajar SA/CSA melakukan penghadangan
di Nusukan selama semalam tersebut, ternyata pasukan Belanda tidak
kunjung datang. Setelah dipastikan pasukan Belanda tidak datang
melewati Nusukan maka pasukan Tentara Pelajar SA/CSA yang dipimpin
Hartono Cilik, paginya tanggal 22 Desember 1948 memutuskan untuk
47
meneruskan perjalanan ke luar kota Solo menuju Daerah Kalioso dengan
kekuatan 1 Kompi. Setelah sampai di Kalioso pasukan bertemu dengan
Letkol Slamet Riyadi. Setelah bertemu dan mendapat tugas dari Letkol
Slamet Riyadi, pada tanggal 23 Desember 1948 pasukan Tentara Pelajar
SA/CSA melanjutkan perjalanan ke Simo melewati daerah Klego dengan
tujuan utama ke Bangak. Kompi SA/CSA ditugaskan untuk mengganggu
konvoi pasukan Belanda dalam pengiriman logistik dari Salatiga di
sepanjang jalan Tengaran sampai Bangak Boyolali (Keluarga Besar
SA/CSA, T.T.:66-67).
Daerah Bangak merupakan kawasan perkebunan tembakau yang
berada di pinggir jalan raya Solo-Salatiga. Bangak merupakan lokasi
rawan untuk jalur lalu lintas darat antara Solo-Salatiga, khususnya untuk
konvoi Tentara Belanda. Selain jalannya yang berkelok dan menanjak,
kendaraan yang akan melewati jalan tersebut harus memperlambat
gerakannya. Daerah Bangak merupakan tempat yang disukai oleh para
gerilyawan yang di maksud disini adalah TNI, Tentara Pelajar atau
Masyarakat Pejuang untuk menghadang konvoi pasukan Belanda. Hal ini
juga dinyatakan oleh Residen Surakarta yang bernama Link mengatakan
secara terang-terangan mengakui bahwa di sepanjang jalan Solo-Salatiga
bagi pihak Belanda tidak aman, berikut isi pernyataan dari Link:
“Als de mensen zeggen dat de weg Solo-Salatiga veilig is, das hebben we wat
anders te denken. Vooral Teras en omstreken”. (Kalau orang-orang berkata
bahwa jalan Solo-Salatiga aman, kami berpendapat lain. Terlebih Teras dan
sekitarnya)”(Julius Paur, 2008:154).
.
48
Setelah berjalan kaki sampai di Simo pasukan Tentara Pelajar
SA/CSA dengan melihat kondisi geografis daerah Simo yang masih jauh
dengan daerah Bangak, diputuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju
daerah Sambi. Setelah sampai di Sambi dan pasukan Tentara Pelajar
SA/CSA menumpang hidup bersama warga desa yang sebagian besar
bekerja sebagai petani (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:103). Di Sambi
pimpinan Kompi SA/CSA yang terdiri dari Hartono Cilik, Haryono,
Wasisto dan Robikan mengadakan rapat. Karena Selama perjalanan dari
Simo menuju Sambi, ada usulan-usulan dari para anggota Kompi SA/CSA
yang mempunyai gagasan alternatif dalam menghambat iring-iringan
pengiriman logistik pasukan Belanda. Pada waktu yang bersamaan selama
beberapa hari di Sambi dengan melakukan rapat yang diadakan oleh
pimpinan Kompi, datanglah seorang utusan Muktio yang bernama
Mulyani untuk menyampaikan pesan bahwa pasukan Kompi SA/CSA
diperintah untuk datang dan berkumpul ke Kaliboto untuk rapat, sehingga
rapat yang baru saja diadakan akhirnya dibubarkan tanpa hasil. Namun
setelah utusan dari Muktio selesai menyampaikan pesan, satu kelompok di
dalam kompi SA/CSA yaitu Regu Badran tidak setuju untuk datang ke
Kaliboto karena sudah jelas adanya tugas dari Letkol Slamet Riyadi dan
mengingat sudah melakukan perjalanan gerilya sampai daerah Sambi.
Sangat disayangkan apabila harus kembali lagi ke Solo untuk menuju ke
Desa Kaliboto. Untuk meredam ego dari masing-masing anggota, melalu
pimpinan diputuskan bahwa kelompok Badran bersama Hartono Cilik
49
tetap tinggal di Sambi untuk sementara waktu dan melaksanakan aksi
percobaan penyerangan dengan Regu Badran di Pos Pasukan Belanda di
Bangak dengan tujuan untuk mengukur kekuatan di pihak lawan. Dengan
dipimpin Robikan, Haryono, dan Wasisto bersama utusan dari Muktio
yang bernama Mulyani, pasukan Kompi SA/CSA lainnya berangkat ke
Kaliboto dengan menempuh perjalanan dalam waktu semalam dan paginya
sampai di tempat tujuan (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:67-68).
Pasukan Tentara Pelajar SA/CSA dari Regu Badran dengan jumlah
20 orang, dari sebagian anggotanya sebanyak 7 orang yang masih bertahan
dengan dipimpin Hartono Cilik berangkat dari Desa Sambi untuk
melakukan aksi penyerangan ke desa sebelah Timur Bangak yang jaraknya
sekitar 5 Km dari Sambi yang dipisahkan dengan Kali Pepe. Serangan
diawali dengan mengganggu pos Pasukan Belanda di Bangak melewati
kebun Tebu. Dua tembakan dari anggota yang bernama Lik Wukirman
berhasil membuat 2 orang Tentara Belanda tersungkur dan terjadi
perlawanan dari pihak Tentara Belanda. Setelah dirasa cukup dengan
beberapa tembakan, pasukan mundur dari pos Belanda untuk kembali ke
Sambi. Sehari Setelah melakukan penyerangan ke pos Tentara Belanda
yang berada di Bangak, Hartono Cilik dengan regu Badran yang berjumlah
20 orang berangkat dari Sambi pada malam hari menuju kearah Timur
untuk bergabung bersama dengan teman-teman lainnya dari kesatuan
Tentara Pelajar SA/CSA yang sudah terlebih dahulu berada di Desa
Kaliboto (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:104-105).
50
Setelah beberapa hari di Kaliboto Pasukan Tentara Pelajar SA/CSA
yang dipimpin kembali oleh Muktio, melanjutkan perjalanan kembali ke
Sambi dan berencana untuk melakukan gerilya di daerah Mojosongo
Boyolali. Dengan berjalan kaki dari Kaliboto-Sambi selama 4 malam,
Tentara Pelajar SA/CSA mendapat pengumuman lagi dari pimpinan
Letkol Slamet Riyadi mengenai tugas untuk Kompi I SA/CSA di daerah
Pager dan Tlatar. Tugasnya sama dengan yang digariskan oleh Letkol
Slamet Riyadi pada waktu bertemu di Kaliyoso yaitu mengganggu
jalannya konvoi Pasukan Belanda yang datang dari Salatiga menuju Solo
atau sebaliknya (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:107).
Dengan adanya tugas untuk Kompi I SA/CSA dari sebagian
anggota dari Seksi II SA/CSA, Regu Wasisto berangkat dari Sambi
menuju arah Boyolali Kota dengan menyusuri jalan besar yang jaraknya
kurang lebih 2 KM dengan menyeberangi Kali Pepe. Dilanjutkan berjalan
kurang lebih 200 meter, Pasukan Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II Regu
Wasisto sampai di Desa Metuk, Kecamatan Mojosongo untuk bermalam.
Karena tidak membawa peta, pada pagi harinya Regu Wasisto diserang
pasukan Belanda. Tidak ada perlawanan di pihak pasukan SA/CSA Seksi
II Regu Wasisto. Pasukan melarikan diri dari kepungan pasukan Belanda
menuju Gunung Ketangga. Di Gunung Ketangga Seksi II Regu Wasisto
beristirahat selama satu hari sambil siap siaga untuk menghadapi
kemungkinan yang akan terjadi. Setelah sehari di Gunung Ketangga
pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto, sebagian diputuskan untuk tetap
51
tinggal di Gunung Ketangga dan sebagian lagi meneruskan perjalanan
gerilya menuju daerah Mojosongo serta mulai mengadakan pencegatan di
pagi hari. Namun, ketika pasukan berada di bagian Selatan pinggir jalan
raya Solo-Salatiga secara kebetulan pasukan Belanda datang mendekat
pada saat konvoi menuju Solo dari arah Boyolali kota dengan jarak hanya
50 meter. Karena pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto belum siap
melakukan penyerangan, pasukan mengambil inisiatif untuk bersembunyi
di semak-semak dipinggir jalan. Karena pasukan Belanda tidak
mengetahui adanya pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto, maka
pasukan Belanda tetap melanjutkan perjalanan ke Bangak (Keluarga Besar
SA/CSA, T.T.:68-69).
Sejak Pasukan Belanda dapat menguasai Solo, Pasukan Belanda
sering berkonvoi di sepanjang jalan Solo-Salatiga untuk mengirim logistik.
Pasukan Belanda mendirikan pos di sepanjang jalan antara Salatiga–Solo
sampai di dalam kota Solo. Pos-pos Belanda di antaranya terletak di
Tengaran, Ampel, Boyolali, Bangak, dan Solo. Pendirian pos-pos tersebut
berguna untuk menjaga keamanan dalam pengiriman logistik konvoi
Belanda yang datang dari arah Salatiga-Solo atau sebaliknya karena
mendapat perlawanan dari Tentara Pelajar, TNI, maupun masyarakat
pejuang baik dari sisi kanan dan kiri jalan di sepanjang jalur logistik
Pasukan Belanda (Wawancara dengan Sidik Suwarno, 16 Januari 2014).
Karena pasukan SA/CSA dari Seksi II Regu Wasisto pada aksi
yang pertama mengalami kegagalan di daerah Mojosongo akibat
52
kurangnya persiapan, Seksi II Regu Wasisto mengadakan penghadangan
yang kedua kalinya dengan di bantu masyarakat sekitar. Dengan cara
memotong pohon lalu ditumbangkan di Tengah jalan raya Solo-Salatiga
tepatnya di daerah antara Teras dan Mojosongo untuk menghadang konvoi
Belanda. Adanya pohon yang menghalangi di Tengah jalan, pasukan
Belanda berhenti dan menyingkirkannya ke tepi jalan. Dari kelengahan
pasukan Belanda karena fokus perhatian tertuju untuk menyingkirkan
pohon yang berada di tengah jalan tersebut, dengan kesempatan itu
dimanfaatkan oleh pasukan SA/CSA Seksi II Regu Wasisto untuk
menyerang dengan cara menembaki. Di tempat lain di daerah Boyolali
Kota, Pasukan SA/CSA Seksi II Regu Suharno (Gandul) sebagian besar
sedang menunggu patroli pasukan Belanda di daerah Singkil. Karena
pasukan Belanda masih mencurigai daerah Metuk dan sekitarnya sebagai
markas para Pasukan SA/CSA dari Seksi II Regu Wasisto, pasukan
Belanda memutuskan untuk melakukan operasi kembali ke daerah Metuk.
Pasukan Belanda melanjutkan operasinya ke Dukuh Tawangsari, Desa
Dlingo (dekat Gunung Ketangga), Kecamatan Mojosongo untuk
menyerang Regu Wasisto setelah mengetahui regu tersebut tidak berada di
Desa Metuk. Setelah diberi info oleh masyarakat sekitar bahwa pasukan
Belanda berjalan menuju ke Dukuh Tawangsari Pasukan Seksi II dari
Regu Wasisto yang masih bertahan di Gunung Ketangga mengambil
keputusan untuk melakukan aksi turun gunung yang bertujuan untuk
menghadang gerak pasukan Belanda yang datang dari arah Desa Metuk.
53
Namun pasukan Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II dari Regu Wasisto
dalam aksi turun gunung tersebut sudah didahului dihadang pasukan
Belanda dan akhirnya pasukan Seksi II Regu Wasisto terjebak di Dukuh
Ngangkrang sehingga terjadilah pertempuran. Setelah pasukan SA/CSA
seksi II pimpinan Suharno (Gandul) yang ada di Singkil mengetahui
bahwa pasukan Belanda yang akan dihadang sudah berada di Desa Metuk
untuk melakukan kembali operasi kepada Regu Wasisto, sehingga Regu
Suharno yang berada di Singkil datang dari arah Barat memutuskan untuk
bergabung dan membantu pasukan Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II Regu
Wasisto yang sudah terjebak di Dukuh Ngangkrang, Desa Dlingo,
Kecamatan Mojosongo. Dalam pertempuran itu, Suharno pimpinan
Pasukan SA/CSA Seksi II dari Regu Suharno terkena tembakan
ditangannya. Akhirnya pimpinan Seksi II Regu Suharno digantikan oleh
Mulyani, namun tidak disetujui oleh para anggota Regu Suharno.
Sehingga kemudian pimpinan digantikan oleh anggota lain dari Seksi II
Regu Suharno yaitu Sunardi (Kebo). Pergantian kepemimpinan juga
dilakukan oleh Seksi I dari Kompi I SA/CSA yang berada di daerah Teras
di bawah pimpinan Soeyono menggantikan Hartono Cilik dikarenakan
Hartono Cilik pergi ke Jawa Barat (Keluarga Besar SA/CSA, T.T.:69).
Setelah terjadinya pertempuran di daerah Metuk dan sekitarnya disertai
dengan secara kebetulan terjadi pergantian komandan seksi-seksi di
pasukan Kompi I SA/CSA, pasukan Kompi I SA/CSA mendapat tugas di
wilayah Sub Wehkreise (SWK) yang dipimpin Mayor Supardi yang
54
meliputi wilayah Boyolali. Sedangkan daerah yang ditugaskan untuk
pasukan SA/CSA Kompi I dibagi menjadi 3 Subsektor yaitu :
a. Subsektor I meliputi daerah Banyudono-Teras yang dipimpin oleh
Soeyono
b. Subsektor II meliputi daerah Teras-Boyolali yang dipimpin oleh
Sunardi (Kebo)
c. Subsektor III daerah Boyolali-Tengaran dipimpin oleh Supomo.
Markas Seksi II yang awalnya dari Metuk pindah ke Tlatar dan Seksi I
dari daerah Teras Pindah ke Metuk (Keluarga Besar SA/CSA,
T.T.:70).
Desa Kebonbimo merupakan markas Tentara Pelajar SA/CSA dari
Seksi II/Kompi I yang dipimpin oleh Sunardi (Kebo). Anggotanya tersebar
di wilayah Desa Kebonbimo dan Ngargosari. Sedangkan Seksi I yang
dipimpin oleh Soeyono para anggotanya tersebar di Desa Metuk, Dlingo
dan Mudal. Kompi I SA/CSA yang dipimpin oleh Muktio bermarkas di
Timur Desa Pager tepatnya di Dukuh Kentengsari, Desa Kener yang
masuk wilayah dari Kabupaten Semarang (Panitia Peresmian Gedung
SMA Tlatar-Boyolali, 1982:5). Selama Agresi Militer Belanda II tahun
1948-1949 masyarakat ikut berjuang dengan tidak memperdulikan jiwa
raga maupun harta bendanya bersama Tentara Pelajar SA/CSA dengan
umur rata-rata 14 sampai 18 tahun. Meskipun masih sangat muda situasi
dan kondisi yang pada waktu itu memaksa untuk berfikir dewasa sebelum
waktunya. Musuh Tentara Pelajar SA/CSA adalah Tentara Belanda yang
55
sudah professional dan mempunyai pengalaman dalam Perang Dunia II.
Tentara Belanda dikenal dengan perilaku keji, kejam dan tidak segan-
segan untuk menembaki rakyat yang tidak bersalah, membakar rumah dan
merampas harta benda. Apalagi daerah Tlatar dan sekitarnya yang sudah
terkepung oleh markas Tentara Belanda yang berada di Kota Boyolali,
Bangak, Simo dan Ampel (Ex Tentara Pelajar SA/CSA, 1994:2).
Secara tidak resmi Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo menjadi pusat
tempat berkumpulnya Tentara Pelajar SA/CSA dari Kompi I yang meliputi
Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk, Seksi II di Desa Kebonbimo
maupun pasukan Staf Kompi yang bermarkas di Dukuh Kentengsari Desa
Kener (Timur Desa Pager). Dengan seringnya Dukuh Tlatar digunakan
sebagai tempat berkumpul, sehingga pasukan Belanda mengira bahwa
Tlatar adalah sebagai markas resmi dari Pasukan SA/CSA Kompi I
pimpinan Muktio. Karena sebetulnya hanya dari Seksi II yang bemarkas di
Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar
Boyolali, 1982:17).
Selain ada kesatuan dari Tentara Pelajar SA/CSA yang bermarkas
di Desa Kebonbimo, juga terdapat kesatuan-kesatuan lainnya seperti
Kepolisian yang dipimpin oleh Bapak Heru Santoso (Panitia Peresmian
Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:5). Sedangkan untuk desa - desa
disekitar Desa Kebonbimo, seperti: Desa Siwal, Pager, Udanuwuh dan
Kradenan dijadikan tempat berpindah-pindah dari kesatuan Tentara Pelajar
56
SA/CSA maupun Kepolisian yang bermarkas di Desa Kebonbimo (Panitia
Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali, 1982:16).
Herwin Soemarso (Gembur) dan teman-teman, dari Seksi II Kompi
I mengatakan bahwa Staff Komando SA/CSA berada di Dukuh
Kentengsari Desa Kener dipimpin oleh Muktio. Dimana yang
menggabungkan ke Sektor Muktio adalah CPM Salatiga yang kurang lebih
berjumlah 30 orang yang menjadi Seksi III SA/CSA dari Kompi I dengan
ditambah beberapa orang yang turut ikut bergabung (Keluarga Besar
SA/CSA T.T.:70).
Selama masa Agresi militer Belanda II pasukan Tentara Pelajar
SA/CSA yang berada di Desa Kebonbimo beserta Pager Desa yang
dibentuk oleh pemerintah Desa Kebonbimo sering mengadakan
penghadangan iring-iringan pasukan Belanda yang datang dari di jalan
raya arah Salatiga-Solo atau sebaliknya di Jembatan darurat Kenteng.
Usaha yang dilakukan yaitu melakukan pembongkaran jembatan yang
bagian-bagiannya masih terbuat dari kayu menggunakan peralatan
seadanya. Cara ini telah diketahui pasukan Belanda karena seringnya
Jembatan darurat Kenteng dirusak oleh warga sekitar termasuk Pager Desa
Kebonbimo yang dipimpin Bayan Suroso. Pasukan Belanda mempunyai
inisiatif untuk menjebak Pager Desa dengan cara bersembunyi terlebih
dahulu di sekitar Jembatan darurat Kenteng (Wawancara dengan Henri
Sugiman, 28 Januari 2014).
57
Sebelum sampai di Desa Ngargosari salah satu warga dari Dukuh
Ngablak yang juga sebagai mata-mata sudah mengingatkan para pasukan
Pager Desa dari kelompok Bayan Suroso untuk tidak melakukan aksi
gerilya ke Jembatan darurat Kenteng karena ada Tentara Belanda, tetapi
Pager Desa kelompok Bayan Suroso tidak percaya dan tetap melanjutkan
perjalanan menuju Barat Desa Kebonbimo. Setelah sampai di Desa
Ngargosari kembali untuk yang kedua kali diingatkan oleh warga bahwa
Tentara Belanda sudah ada di sekitar Jembatan darurat Kenteng, namun
kembali tidak dihiraukan oleh Pager Desa Kebonbimo pimpinan Bayan
Suroso dan tetap melanjutkan perjalanan untuk mengadakan aksi gerilya
dengan melakukan sabotase di Jembatan darurat Kenteng seperti biasanya
dan pada akhirnya hingga terjebak oleh pasukan Belanda yang sebelumnya
sudah bersembunyi di sekitar Jembatan darurat Kenteng (Wawancara
dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014).
Bayan Suroso tertembak hingga meninggal di tempat. Setelah
melihat dari pimpinan Pager Desa Kebonbimo tertembak, Para anggota
Pager Desa yang lainnya dari kelompok pimpinan Bayan Suroso, lari ke
arah Timur menuju Desa Kebonbimo untuk menyelamatkan diri dari
serangan pasukan Belanda karena kalah dalam persenjataan (Wawancara
dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Tentara Pelajar SA/CSA dari
Seksi II yang dipimpin Sunardi (Kebo) bersama masyarakat sekitar, sering
juga melakukan sabotase di Jembatan darurat Kenteng. Masyarakat yang
memanggil Tentara Pelajar SA/CSA dengan nama Mase Tepe bahu
58
membahu membongkar Jembatan darurat Kenteng yang berada di jalan
raya Ampel-Boyolali Kota hingga tidak dapat dilalui kendaraan pasukan
Belanda. Dalam melakukan penghadangan konvoi Belanda yaitu dengan
cara memasang Howitzer yang dijadikan ranjau darat (Keluarga Besar
SA/CSA, T.T.: 70-71).
Serangan operasi yang dilakukan pasukan Belanda di Desa
Kebonbimo merupakan akibat diketahuinya pelaku pengrusakan Jembatan
darurat Kenteng yang dilakukan setiap sore menjelang malam oleh Pager
Desa Kebonbimo. Menurut Henri Sugiman, saat pemimpin Pager Desa
tertembak oleh pasukan Belanda, Bayan Suroso membawa lampu “Senter”
yang di dalamnya terdapat selembar kertas yang bertuliskan nama-nama
anggota Pager Desa Kebonbimo yang kebanyakan beralamat di Dukuh
Tlatar. Hal ini menyebabkan pasukan Belanda mencurigai bahwa di Desa
Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar merupakan sebagai pusat gerilyawan
yang sering mengganggu konvoi Pasukan Belanda (Wawancara dengan
Henri Sugiman, 5 Oktober 2013).
Desa Kebonbimo menjadi incaran Tentara Belanda karena mengira
bahwa markas Kompi I dari Tentara Pelajar SA/CSA berada di Dukuh
Tlatar. Karena Desa Kebonbimo terletak paling belakang dibandingkan
desa-desa yang ditempati selain dari Seksi II, karena yang lainnya berada
di dekat dengan kota Boyolali. Dukuh Tlatar Desa Kebonbimo sering
didatangi teman-teman dari Seksi I yang bermarkas di Desa Metuk,
maupun pasukan eks Pesindo untuk mandi atau berenang karena ada mata
59
air yang jernih dan melimpah. Selama masa Agresi Militer Belanda II di
Desa Kebonbimo diserang Belanda sebanyak 3 kali. Pada serangan yang
pertama pasukan Belanda menghujani mortir dari luar Desa Kebonbimo.
Serangan yang kedua Tentara Belanda berhasil dipukul mundur karena
Tentara Pelajar SA/CSA sudah mengetahui dan bersiap ketika pasukan
Belanda sudah sampai di pinggir Desa Kebonbimo. Serangan ketiga terjadi
pada dini hari kurang lebih pukul 04.00 WIB (Keluarga Besar SA/CSA,
T.T.:71-72).
Untuk serangan yang ketiga kalinya, Tentara Belanda sudah masuk
Desa Kebonbimo dan membangunkan Tentara Pelajar SA/CSA yang
dikenal dengan “TNI Bangun”. Tepatnya pada hari Sabtu tanggal 14 Juli
1949 dini hari, pasukan Belanda menyerang dari Boyolali melewati Dukuh
Karang Tengah, Kebonbimo, dan Gatak yang datang dari arah Desa
Kiringan. Pada saat itu kebetulan Tentara Pelajar SA/CSA masih belum
pulas tidurnya setelah pulang dari Boyolali untuk bergerilya. Begitu
mendengar Belanda masuk di depan pintu rumah bagian luar yang
ditinggali, Tentara Pelajar SA/CSA berhasil meloloskan diri melewati
belakang dan berhenti di lapangan. Setelah pasukan Belanda mengetahui
para Tentara Pelajar SA/CSA berhasil lolos melarikan diri ke arah Timur
menuju Dukuh Tlatar melewati pintu belakang, sehingga pasukan Belanda
mengejar Tentara Pelajar SA/CSA dari anggota Seksi II pimpinan Sunardi
(Kebo) yang berada di Dukuh Kebonbimo dan Dukuh Gatak untuk
bergabung dengan Tentara Pelajar SA/CSA yang berada di Tlatar. Dengan
60
terjadinya kejar-kejaran dari arah Barat Desa Kebonbimo, setelah sampai
di lapangan Dukuh Tlatar terjadi insiden tembak menembak antara
pasukan Belanda dengan Tentara Pelajar SA/CSA yang dibantu oleh
masyarakat Tlatar dan sekitarnya (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar
Boyolali, 1982:17).
Pada waktu terjadinya serangan Pasukan Belanda di Tlatar, yang
berpusat dilapangan Dukuh Tlatar. Para Tentara Pelajar SA/CSA dengan
masyarakat sekitar memberikan perlawanan disertai dengan
menyelamatkan diri melalui jalan kearah Timur Dukuh Tlatar karena pada
waktu itu pasukan Belanda menyerang dari berbagai arah, salah satu jalan
untuk keluar dari kepungan pasukan Belanda hanya bisa melewati jalan
arah Timur dari lapangan Dukuh Tlatar (Wawancara dengan Karso
Diharjo, 18 Maret 2014). Dukuh Tlatar sudah terkepung rapat oleh Tentara
Belanda. Hanya ada sedikit celah untuk menghindari kepungan dari
Tentara Belanda yaitu menuju arah Timur yaitu ke arah Umbul. Kekuatan
sama sekali tidak seimbang karena satu kompi pasukan komando Tentara
Belanda berjumlah 120 orang, sedangkan melawan satu regu Tentara
Pelajar SA/CSA yang hanya berjumlah 15 orang. Pasukan Belanda
mengira bahwa dengan penyusupan mendadak ke tengah markas gerilya
Tentara Pelajar SA/CSA banyak yang terbunuh dan ada yang menyerah
diri untuk ditawan. Tetapi perkiraan dari Pasukan Belanda itu tidak tepat,
malah sebaliknya dengan gigih berani Tentara Pelajar SA/CSA melawan
meskipun kalah dalam persenjataan (Ex Tentara Pelajar SA/CSA,1994:4).
61
Dalam melarikan diri ke Timur dari lapangan Tlatar para Tentara
Pelajar SA/CSA maupun masyarakat setelah sampai di Umbul lalu masuk
sungai untuk menyeberang dengan cara berenang di Timur Dukuh Tlatar
yaitu sungai Pepe (Kali Pepe) untuk mencari tempat yang aman dan
akhirnya bersembunyi di kebun dan persawahan di sebelah Timur Dukuh
Gombol (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Akibat dari
kontak senjata dari kedua belah pihak, maka dari salah satu anggota
Tentara Pelajar SA/CSA yang bernama Sugiman, tertembak di bagian
betis. Pasukan Belanda tidak berhasil melumpuhkan dan menghabisi
pasukan dari Tentara Pelajar SA/CSA Seksi II yang ada di Dukuh Tlatar.
Hal ini membuat Tentara Belanda frustasi dan sebagai pelampiasan
kegagalannya, Tentara Belanda menyerang dan membunuh siapa saja yang
bertemu mereka di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo. Akibat dari tembakan
yang dilepaskan oleh pasukan Belanda di pihak masyarakat Kebonbimo
khususnya warga Dukuh Tlatar mengakibatkan 7 orang menjadi korban.
Rumah yang dicurigai pihak Belanda sebagai tempat persembunyian
Tentara Pelajar SA/CSA dibakar, harta benda dirampok sampai kuda pun
dibawa untuk mengangkut korban mereka sendiri dari pihak Tentara
Belanda. Peristiwa ini dikalangan masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya
dinamakan dengan “Perang Pruputan”. Selang beberapa minggu setelah
peristiwa dari tanggal 14 Juli 1949, terjadi serangan dengan cara yang
lebih besar di Markas Kompi I yang berada di Dukuh Kentengsari, Desa
Kener dengan cara diserang dan dikepung dari berbagai arah oleh Tentara
62
Belanda yang diantaranya datang dari Simo dan Bangak. Akibat dari itu
seorang penduduk dan seorang anggota dari pasukan pengawas staf gugur
di Desa Udanuwuh (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar Boyolali,
1982:17).
Peristiwa yang pernah terjadi di Desa Kebonbimo dan sekitarnya
terutama yaitu peristiwa di Jembatan darurat Kenteng dan Perang
Pruputan, telah di gambarkan dalam bentuk ukiran di pintu kantor sekolah
SMA N 2 Boyolali yang intinya melukiskan kepahlawanan masyarakat
Kebonbimo dalam membongkar Jembatan darurat Kenteng yang dibuat
Belanda maupun pada saat Perang Pruputan (Ex. Tentara Pelajar SA/CSA
1994:6). Ukiran mengenai gambaran peristiwa Jembatan darurat Kenteng
dan Perang Pruputan yang pernah terjadi dan dialami oleh masyarakat di
Desa Kebonbimo merupakan salah satu cara penanaman jiwa patriotisme
dan nasionalisme kepada generasi muda melalui media Seni Ukir terutama
bagi para peserta didik yang bersekolah di SMA N 2 Boyolali, karena
peristiwa perjuangan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
sejarah suatu bangsa.
G. Peran Masyarakat Kebonbimo Dalam Mendukung Perjuangan
Tentara Pelajar SA/CSA
1. Bidang Perjuangan Fisik
Pemerintahan militer mempunyai tugas utama untuk
menghidupkan kantong-kantong gerilya sebagai pangkalan kekuatan
pasukan sehingga akan timbul kerjasama antara masyarakat dengan
63
militer. Melalui adanya pemerintahan militer maka perjuangan dapat
lebih terkoordinasi dan aksi-aksi gerilya dapat lebih ditingkatkan
(Kemendikbud RI, 2011:403). Pemerintah militer pada masa perang
gerilya melawan Pasukan Belanda dengan tersusun dari panglima
Besar Angkatan Perang, Panglima Tentara, Gubernur Militer, Sub
Teritorial Comando (STC), Komando Daerah Militer (KMD),
Komando Onder Distrik Militer (KODM), Kader-kader Desa dan
Kader-kader Dukuh (Moehkardi, 1983:181).
Desa menempati posisi khusus sebagai pusat kekuatan
penyusupan pertahanan, sehingga Peranan Kepala Desa atau Lurah
sangat penting dan dibutuhkan. Kepala Desa adalah pemimpin yang
ditaati oleh masyarakatnya diwilayah yang dipimpin dan secara
tradisional kepala desa menguasai dan memahami aspirasi-aspirasi
masyarakatnya. Karena Kepala desa mengetahui dan menguasai
daerahnya, maka hal ini sangat diperlukan untuk melindungi dari
pasukan gerilya (Kemendikbud RI, 2011: 403-404). Pada masa Agresi
Militer Belanda II di Desa Kebonbimo dibentuk Pasukan Gerilya Desa
(Pager Desa). Karena Desa Kebonbimo termasuk daerah yang maju
dan aktif dibandingkan desa-desa disekitarnya dalam menghadapi
Agresi Militer Belanda II, sehingga pemerintah Desa Kebonbimo
membentuk pasukan gerilya desa (Pager Desa). Pager Desa bertugas
sebagai keamanan desa atau memperluas dan memperdalam
pertahanan keamanan ditingkat desa, kegiatan utama mengkoordinasi
64
kegiatan Siskamling (sistem keamanan lingkungan) atau ronda setiap
malam di lingkungan di seluruh wilayah Desa Kebonbimo seperti
Hansip atau Linmas pada masa sekarang (Wawancara dengan Karso
Diharjo, 27 Januari 2014).
Pemerintah Desa Kebonbimo membuat badan pertahanan desa
yang berfungsi untuk keamanan didalam desa dan umumnya
diperbantukan untuk tenaga cadangan pasukan tentara untuk
mempertahankan Negara Republik Indonesia. Sistem perekrutan untuk
menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo ialah dengan cara
memanfaatkan para pemuda disetiap dukuh di wilayah Desa
Kebonbimo. Rata-rata setiap dukuh ada 2 orang pemuda yang ditunjuk
menjadi anggota Pager Desa Kebonbimo, yang sebelumnya sudah
diseleksi oleh petugas dari pemerintah Desa Kebonbimo. Namun, jika
dalam satu dukuh terdapat banyak pemuda maka tidak menutup
kemungkinan lebih dari 2 orang yang ditunjuk sebagai perwakilan.
Bayan Suroso ditugaskan pemerintah Desa Kebonbimo untuk
menunjuk pemuda-pemuda di setiap dukuh yang memenuhi kriteria
persyaratan menjadi anggota Pager Desa seperti diutamakan yang
mempunyai pengalaman dalam ilmu kemiliteran dan belum menikah
contohnya: dapat baris berbaris, mampu dalam menggunakan senjata,
dan mampu bekerja sama secara kelompok. Pager Desa Kebonbimo
mempunyai anggota kurang lebih 30 orang (Wawancara dengan Karso
Diharjo, 18 Maret 2014).
65
Setelah terbentuk dan disahkan oleh pemerintah militer tingkat
Kecamatan dengan disaksikan oleh Kepala Desa, anggota Pager Desa
Kebonbimo diberi pembekalan di Balai Desa tentang fungsi maupun
tugas yang akan dilakukan beserta jadwal gerilya yang sudah dibagi
dalam bentuk kelompok. Masing-masing kelompok yang sudah
ditetapkan oleh Pemerintah Desa Kebonbimo memiliki tugas dan
jadwal gerilya yang berbeda. Setiap malam, satu kelompok ditugaskan
berjaga di kantor Balai Desa secara bergiliran sesuai jadwal yang
sudah ditentukan. Pada masa Agresi Militer Belanda II selain sudah
dibentuk Pager Desa, di Desa Kebonbimo juga terdapat kesatuan
Tentara Pelajar SA/CSA, Pasukan eks Pesindo, dan ada juga dari
Kepolisian (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret 2014).
Setiap sore menjelang malam selama masa Agresi Militer
Belanda II, Pager Desa Kebonbimo bergerilya di Barat desa tepatnya
di Jembatan darurat Kenteng (jalan raya Ampel-Boyolali Kota). Pada
malam hari dirusak oleh Pager Desa Kebonbimo dan siangnya
diperbaiki oleh Pasukan Belanda. Hal tersebut terjadi setiap hari
dilakukan berulang-ulang. Untuk lima kali awal sabotase Jembatan
Kenteng para Pager Desa Kebonbimo masih aman, namun setelah
yang selanjutnya tidak aman karena Belanda sudah mengetahui
kegiatan yang dilakukan hingga akhirnya ada yang menjadi korban
(Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Dari kegiatan
Pager Desa selama Agresi Militer Belanda II tersebut mengakibatkan 2
66
orang dari masyarakat Desa Kebonbimo tertembak oleh Pasukan
Belanda sehingga meninggal dunia, salah satunya ialah pemimpin dari
Pager Desa Kebonbimo yaitu Bayan Suroso yang meninggal langsung
di tempat kejadian (Jembatan darurat Kenteng). Para anggota Pager
Desa Kebonbimo kebanyakan merupakan bekas anggota Seinendan
pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942-1945
(Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Barisan
Seinendan dibentuk Jepang pada masa pendudukan di Indonesia,baik
di Kota, Desa, maupun di pabrik, yang mana terbuka untuk para
pemuda laki-laki Indonesia yang berusia antara 15 sampai 25 tahun
untuk masuk menjadi anggota Seinendan dengan tujuan dapat
bekerjasama dalam mendukung bala tentara Dai Nippon. Para pemuda
diberi latihan dasar kemiliteran dan gerak badan, serta pengetahuan
umum (Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1985:14). Di kalangan
masyarakat Indonesia, masa pendudukan Jepang merupakan masa
penjajahan yang sangat kejam dibanding dengan masa penjajahan
Belanda. Dengan banyak sisi negativenya, masyarakat Indonesia perlu
melihat bahwa kenyataannya masih ada sisi positif yang dapat diambil
selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Sisi positifnya antara
lain dengan cara menanamkan jiwa nasionalisme, seperti rasa cinta
tanah air kepada para pemuda bangsa Indonesia yang pada akhirnya
semangat inilah yang mendorong semangat para pemuda pejuang
67
Indonesia melawan para penjajah melalui pendidikan semi militer yang
sangat berguna pada masa Agresi Militer Belanda II.
Selain membentuk Pager Desa, Desa Kebonbimo juga
mengaktifkan gerakan Siskamling di setiap dukuh yang lebih dikenal
dengan sebutan “Ronda”. Selain untuk menjaga keamanan desa dan
melakukan gerilya di luar wilayah desa seperti di Jembatan darurat
Kenteng, Pager Desa Kebonbimo juga berkewajiban untuk berkeliling
dukuh setiap malam untuk mengontrol di pos-pos ronda apakah sudah
ada yang berjaga atau belum. Jika di salah satu pos yang dikontrol
tidak ada yang berjaga, Pager Desa mendatangi rumah-rumah
masyarakat yang mendapat giliran jaga, mereka diingatkan agar
berkumpul dan melaksanakan Siskamling di Pos Ronda di setiap
padukuhan. Pos Ronda disebut juga dengan Gardu (Gardu, dalam
Bahasa Jawa) (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014).
Menurut pengalaman Karso Diharjo, Kelurahan Kebonbimo
terutama Dukuh Tlatar menjadi pusat para gerilyawan dari berbagai
kesatuan. Selain adanya Pager Desa juga terdapat pasukan dari Tentara
Pelajar SA/CSA, pasukan dari eks Pesindo yang bermarkas di rumah
Wiryo Sukiman dan ada juga dari Kepolisian yang bermarkas di rumah
Kami dan Mustawi, yang berada di Dukuh Tlatar. Sedangkan Tentara
Pelajar SA/CSA selain bertempat di rumah Kepala Desa dan Carik,
sebagian berada di rumah Yatman (putra dari Iman Ghozali). Khusus
untuk pasukan dari kepolisian sering berpindah-pindah tempat untuk
68
dijadikan markas, bahkan sempat bermarkas di Desa Kradenan.
Seringnya kesatuan Kepolisian pindah tempat karena di Dukuh Tlatar
sudah banyak pasukan gerlyawan agar kekuatan gerilyawan merata
tidak menumpuk di satu tempat saja. Menurut pengalaman Karso
Diharjo, ia pernah membantu membawa alat-alat perang seperti
amunisi ketika pasukan Kepolisian, dari Dukuh Tlatar pindah ke Desa
Kradenan yang bertempat di rumah Yitno. Seperti di dukuh-dukuh
lainnya di wilayah Desa Kebonbimo, Dukuh Tlatar juga mengadakan
kegiatan Siskamling. Sistem pembagian jadwal jaga di pos Ronda di
Dukuh Tlatar biasanya setiap malam ada 6 orang yang bertugas jaga.
Pada masa itu pos ronda berada di depan rumah Amir (menantu dari
Iman Ghozali). Jika dilihat sekarang tepatnya terdapat di sebelah Barat
Balai Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret
2014).
Sebelum melakukan gerilya di Jembatan darurat Kenteng,
Pager Desa Kebonbimo biasanya berkumpul terlebih dahulu di Barat
Desa Kebonbimo. Pager Desa Kebonbimo juga membantu para
Tentara Pelajar SA/CSA untuk membawa persenjataan misalnya
Granat. Sedangkan Pager Desa sendiri membawa alat-alat sederhana
seperti Bambu runcing dan Pentungan, masyarakat Kebonbimo
terutama dikalangan anggota Pager Desa dikenal dengan nama
“Gembel”. Bentuk Gembel seperti tongkat pemukul dengan panjang
kurang lebih antara 50-70 cm yang terbuat dari kayu. Senjata
69
sederhana ini berukuran kecil dan mudah diayun dengan menggunakan
satu tangan. Menurut Tarjo Suwito, alat pentungan ini kebanyakan
masyarakat dalam membuat Gembel menggunakan kayu ”Galih
Asem” yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Adapun kegunakan
dari alat yang dinamakan Gembel yaitu untuk memukul papan kayu
dari bagian Jembatan darurat Kenteng, selain itu juga berguna untuk
memutus kabel-kabel Listrik maupun Telpon yang berada di sepanjang
jalan Ampel-Boyolali Kota dengan cara diayun (Wawancara dengan
Tarjo Suwito, 18 Maret 2014).
Dengan alat-alat yang sederhana dan pengawalan dari pasukan
Tentara Pelajar SA/CSA yang dipimpin Sunardi (Kebo) dengan
masyarakat Desa Kebonbimo dan sekitarnya berhasil membongkar
Jembatan darurat yang dibuat Belanda di Kenteng dalam satu malam,
sehingga jalur logistik Belanda terhenti sampai dapat diperbaiki lagi.
Pembongkaran atau pengrusakan Jembatan darurat Kenteng diulangi
lagi untuk beberapa kali tetapi gagal dan menelan korban dua orang
penduduk Dukuh Tlatar gugur (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar
Boyolali, 1982:18). Pada saat itu bagian dari Jembatan daruratKenteng
masih terbuat dari kayu. Dari hasil pembongkaran Jembatan darurat
Kenteng yang dilakukan Pager Desa Kebonbimo, ada kayu yang
dimanfaatkan untuk membuat pintu rumah Kepala Desa Kebonbimo
seperti yang diceritakan oleh Haryono, dimana rumah yang sekarang
ditinggali ialah rumah peninggalan dari orang tuanya bernama Citro
70
Budoyo. Pintu yang ada di rumahnya, salah satunya terbuat dari papan
kayu yang diambil oleh para Pager Desa Kebonbimo pada saat
bergerilya di Jembatan darurat Kenteng. Haryono merupakan putra
kelima dari Citro Budoyo (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari
2014).
Pusat perlindungan para gerilyawan dari Pager Desa
Kebonbimo maupun Tentara Pelajar SA/CSA berada di Dukuh Tlatar
bertempat di rumah lurah Citro Budoyo. Dari Tentara Pelajar SA/CSA
salah satunya Sri Mulyono Herlambang selama bergerilya di
Kebonbimo pernah bertempat di rumah Citro Budoyo di Dukuh Tlatar.
Ada juga yang bernama Mashuri yang pada waktu perang gerilya
setelah bertugas dari Magelang karena dalam perjalanan kembali ke
Solo sudah larut malam, pernah bermalam di rumah Citro Budoyo di
Tlatar (Wawancara dengan Haryono, 3 Februari 2014).
Selain bergerilya di Jembatan darurat Kenteng untuk
menghambat konvoi Belanda dari arah Salatiga maupun arah Solo,
Pager Desa Kebonbimo juga memutus kabel telepon maupun listrik
disekitar Desa Kebonbimo terutama di sepanjang jalan Ampel-
Boyolali Kota. Kabel telepon dan listrik yang diputus dibawa ke Desa
Kebonbimo dan disembunyikan di rumah Joyo Suwito. Supaya dalam
menyembunyikan kabel-kabel telepon dan listrik agar tidak diketahui
oleh Belanda, masyarakat menutupi dengan tumpukan kedelai. Karena
pada waktu itu secara kebetulan pemilik rumah (Joyo Suwito) sedang
71
panen Kedelai.Tujuan dari pemutusan kabel telepon dan listrik ialah
supaya tidak dapat berhubungan atau berkomunikasi dengan sesama
Tentara Belanda (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober
2013).
Peranan masyarakat yang cukup besar menunjukkan adanya
inisiatif dari masyarakat dalam mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia. Hal ini berarti dukungan masyarakat baik dari segi
moril maupun material (kebutuhan primer/pokok, seperti: pangan dan
perlindungan) sangat membantu dalam perjuangan para Tentara
Pelajar SA/CSA dalam menghadapi Pasukan Belanda pada masa
Agresi Militer Belanda II di daerah Boyolali khususnya di Desa
Kebonbimo dan sekitarnya yang berdekatan dengan jalan raya Solo-
Salatiga.
Di Kebonbimo dalam satu kelurahan kurang lebih terdapat 50
Tentara Pelajar SA/CSA. Dalam setiap bergerilya melawan Belanda, 1
senjata digunakan untuk 5 orang dan sebagian lainnya jika ada,
membawa granat. Senjata yang dimiliki Tentara Pelajar SA/CSA
diperoleh dari pemerintah, tetapi paling banyak mendapatkan
persenjataan dari hasil menjarah atau mencuri dari Pasukan Belanda
(Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Wanita di
Kebonbimo juga ikut membantu dalam hal menyembunyikan senjata
berupa Pistol dan Granat milik Tentara Pelajar SA/CSA. Mereka
menyembunyikannya di tumpukan pupuk di tempat kandang hewan
72
peliharaan masyarakat tujuannya agar tidak di rampas oleh Pasukan
Belanda, seperti pada waktu terjadinya Perang Pruputan pada hari
Sabtu Pahing, 14 Juli 1949 yang berpusat di Dukuh Tlatar Desa
Kebonbimo. Akibat adanya serangan mendadak yang dilakukan
Pasukan Belanda dari arah Barat Desa Kebonbimo. Tentara Pelajar
SA/CSA yang berada di Dukuh Kebonbimo dan Dukuh Gatak, karena
fokus untuk menyelamatkan diri maka banyak senjata yang tertinggal
di dalam rumah warga yang ditempati oleh Tentara Pelajar SA/CSA
(Wawancara dengan Slamet, 13 Oktober 2013). Dalam Perang
Pruputan ada 7 korban meninggal, dan 4 diantaranya yakni: Mukimin,
Ramlan, Siyo dan Wiryo. Semua korban meninggal dari masyarakat
merupakan warga Dukuh Tlatar (Wawancara dengan Henri Sugiman,
28 Januari 2014).
Pasukan Belanda yang sering berpatroli di Desa Kebonbimo
dikenal masyarakat dengan sebutan dalam Bahasa Jawa dengan nama
“Jungsat” (patroli). Menurut Henri Sugiman, disebut Jungsat: karena
setiap Pasukan Belanda yang akan melakukan gerakan operasi
gerilyawan (masyarakat pejuang, tentara resmi RI, tentara TP) dengan
cara patroli ke desa-desa, di ujung jalan sebelum masuk desa yang
dituju biasanya Pasukan Belanda mengawali dengan melakukan
tembakan peringatan ke udara. Dengan adanya patroli yang dilakukan
pasukan Belanda ke desa-desa, sehingga membuat masyarakat menjadi
ketakutan setelah mendengar tembakan peringatan yang
73
mengakibatkan situasi desa menjadi kacau karena masyarakat berlarian
menyelamatkan diri ke daerah yang aman. Biasanya jika ada patroli
pasukan Belanda, masyarakat Desa Kebonbimo mengungsi kearah
Utara wilayah Kabupaten Semarang seperti: Desa Pager bagian Utara,
Siwal dan sekitarnya bahkan sampai Desa Kradenan. Apabila Pasukan
Belanda sudah keluar dari Desa Kebonbimo, masyarakat kembali lagi
ke Desa Kebonbimo setelah ada warga “Cenguk” atau mata-mata yang
memberi kabar untuk memastikan atau menjamin bahwa desa sudah
aman. Pasukan Belanda ini yang sering melakukan patroli,
beranggotakan 2 sampai 3 orang Belanda asli, sedangkan yang lain
adalah orang-orang pribumi atau Indonesia yang masuk menjadi
Tentara Belanda. Pasukan Belanda memasukkan para tawanan untuk
dimanfaatkan sebagai prajurit (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5
Oktober 2013). Maka tidak mengherankan jika sistem patroli pasukan
Belanda dilakukan secara mendadak karena sudah mengetahui daerah
atau lokasi, dengan cara memanfaatkan orang-orang Indonesia yang
menjadi anggota Tentara Belanda maupun tawanan mereka.
2. Bidang Logistik
Masyarakat desa terutama suku Jawa dikenal dengan memiliki
kesadaran solidaritas yang sangat tinggi. Salah satunya yaitu adanya
sistem saling tolong menolong dengan tanpa mengharapkan imbalan
seperti Gotong Royong dalam Bahasa Jawa diistilahkan “sambat
sinambat“ atau “sambatan” Dengan sifat yang demikian sangat
74
diperlukan dalam mendukung perjuangan selama masa perang
kemerdekaan. Hal ini membuktikan bahwa peranan masyarakat desa
cukup besar selama Agresi Militer Belanda II. Masyarakat banyak
membantu kesulitan-kesulitan yang dialami pasukan-pasukan gerilya
yang berjuang di garis pertempuran. Dengan demikian masyarakat
telah memainkan peranan penting dalam membantu perjuangan
melawan Belanda (Chusnul Hajati, 1997:49). Dukungan masyarakat
yang sangat besar dengan ditambah keinginan yang kuat di kalangan
masyarakat. Perang melawan Belanda adalah perang melawan
penjajahan, perang untuk mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa. Masyarakat ikhlas berkorban baik dengan harta
benda maupun jiwanya yang menjadikan sebagai sumber kekuatan
Republik Indonesia dalam berperang menghadapi Agresi Militer
Belanda II (Moehkardi 1983:177).
Dalam sambutan dari sesepuh (orang yang dituakan) Eks
Tentara Pelajar SA/CSA pada peresmian gedung SMA Tlatar Boyolali
di Dukuh Tlatar mengatakan bahwa betapa besar bantuan serta
dukungan masyarakat Tlatar dan sekitarnya kepada Tentara Pelajar
SA/CSA para pejuang gerilya. Semua itu diberikan dengan secara tulus
ikhlas tanpa mengharapkan imbalan dengan dibuktikannya para
Tentara Pelajar SA/CSA sudah dianggap sebagai keluarga sendiri,
rumah dibukakan untuk berlindung dari ancaman Tentara Belanda dan
makanan yang sudah pas-pasan disisihkan untuk Tentara Pelajar
75
SA/CSA tanpa menghitung apa dan berapa yang sudah diberikan
dengan tulus ikhlas (Panitia Peresmian Gedung SMA Tlatar-Boyolali,
1982:7).
Pada masa Agresi Militer Belanda II, Desa Kebonbimo
menjadi salah satu daerah yang dijadikan markas Tentara Pelajar
SA/CSA. Untuk makan dan tempat tinggal dibantu oleh masyarakat
Desa Kebonbimo. Masyarakat bertanggung jawab dalam pemenuhan
kebutuhan bagi Tentara Pelajar SA/CSA terutama dalam hal makan
dan tempat tinggal. Dari pemerintah Desa Kebonbimo, selain Kepala
Desa dan Perangkat Desa juga sudah menunjuk dan membagi kepada
warga masyarakat yang dianggap mampu untuk bertanggung jawab
kepada Tentara Pelajar SA/CSA. Di Desa Kebonbimo hanya 3 Dukuh
yakni: Tlatar, Gatak, dan Kebonbimo yang terlihat secara kebetulan
masyarakatnya dianggap mampu untuk bertanggung jawab kepada
Tentara Pelajar SA/CSA sehingga tidak membebankan kepada rakyat
yang tidak mampu. Ada 5 keluarga di setiap dukuh yang ditunjuk
Kepala Desa Kebonbimo yaitu Citro Budoyo, diutamakan yang
berketempatan untuk bertanggung jawab memberi makan dan
menyediakan tempat tinggal. Kepala Desa bertanggung jawab untuk
10 Tentara Pelajar SA/CSA, Perangkat Desa bertanggung jawab untuk
5 Tentara Pelajar SA/CSA, sedangkan untuk masyarakat biasa maupun
Modin (tokoh agama) bertanggung jawab untuk 2 sampai 3 orang
Tentara Pelajar SA/CSA (Wawancara dengan Henri Sugiman 5
76
Oktober 2013). Pada masa Agresi Militer Belanda II di Desa
Kebonbimo terutama Dukuh Tlatar selain dijadikan markas dari
kesatuan Tentara Pelajar SA/CSA juga kedatangan dari kesatuan
lainnya seperti eks Pesindo dan Kepolisian yang mana juga
diperlakukan sama dengan Tentara Pelajar SA/CSA dalam hal
perlindungan, tempat tinggal maupun Logistik seperti kebutuhan
makan (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014).
Di Dukuh Tlatar yang diberikan tanggung jawab untuk
memberi makan dan tempat untuk perlindungan maupun beristirahat
Tentara Pelajar SA/CSA diantaranya yaitu rumah Kepala Desa
Kebonbimo (Citro Budoyo), Carik Mangun Suyoto, Yatman (putra
Iman Ghozali) (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014).
Sedangkan untuk kesatuan eks Pesindo dan Kepolisian yang
bertanggung jawab yaitu Kami dan Mustawi (orang tua Karso Diharjo)
(Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Masyarakat yang
tidak ditunjuk bertanggung jawab untuk para Tentara Pelajar SA/CSA
maupun para gerilyawan lainnya, apabila ada yang ingin membantu
sesuai kemampuan berupa bahan makanan dari hasil kebun, mereka
berinisiatif dengan sukarela datang sendiri ke rumah Kepala Desa yang
pada waktu itu berfungsi juga sebagai kantor Balai Desa (Wawancara
dengan Karso Diharjo, 27 Januari 2014).
Sedangkan di Dukuh Gatak, para Tentara Pelajar SA/CSA
bertempat di rumah Towirjo, Karto Pawiro, Wiryo Tinoyo, Joyo
77
Suwito, dan Iman Subari. Tentara Pelajar SA/CSA yang bertempat di
rumah Karto Pawiro (orang tua Henri Sugiman) bernama Sudomo dan
Noli sedangkan yang ada di Dukuh Tlatar, empat diantaranya bernama
Bawono, Gembur, Sunardi dan Sri Mulyono Herlambang (Wawancara
dengan Henri Sugiman, 28 Januari 2014). Di Dukuh Kebonbimo yang
ditunjuk Lurah Citro Budoyo untuk dijadikan tempat perlidungan dan
istirahat maupun bertanggung jawab memberi makan, 3 diantaranya di
rumah Cokrorejo (orang tua Tarjo Suwito), Kromorejo dan Kartorejo.
Dalam hal memberikan kebutuhan makan untuk Tentara Pelajar
SA/CSA, masyarakat Desa Kebonbimo memanfaatkan hasil kebun
untuk dibuat sayur seperti daun bayam, daun singkong, daun pepaya.
Selain itu juga ada Jagung sebagai pengganti Beras, jika persediaan
Beras habis. Para Pager Desa Kebonbimo sering berkumpul di Dukuh
Tlatar di tempat Kepala Desa. Sebelum melakukan gerilya ke
Jembatan darurat Kenteng maupun keliling di dalam Desa Kebonbimo
untuk berjaga-jaga, jika Belanda datang dapat diketahui (Wawancara
dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Pada masa perang gerilya
Tentara Pelajar SA/CSA yang tidak ada kegiatan melakukan gerilya
mereka membantu masyarakat terutama kepada keluarga yang
ditempati selama perang gerilya dengan mencangkul di sawah maupun
kebun, karena mata pencaharian masyarakat Desa Kebonbimo
sebagian besar sebagai Petani (Wawancara dengan Henri Sugiman, 5
Oktober 2013).
78
Tugas dari para wanita pada masa Agresi Militer Belanda II
yaitu memasak atau menyediakan makan untuk keluarga dan Tentara
Pelajar SA/CSA. Tentara Pelajar SA/CSA tidak dibedakan dengan
keluarga yang ditinggali dan sudah dianggap menjadi keluarga sendiri.
Semuanya membaur dan menyatu saling membantu (Wawancara
dengan Slamet, 13 Oktober 2013). Peran wanita pada masa perang
gerilya selain memasak seperti yang dilakukan oleh kakak pertama
dari Haryono yang bernama Sri Harti, juga menerima setiap bantuan
dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab ditempati para Tentara
Pelajar SA/CSA sebagai wakil dari pemerintah Desa Kebonbimo. Bagi
yang ingin membantu, masyarakat datang sendiri ke rumah Citro
Budoyo. Sri Harti sering berkeliling dukuh untuk mengurus
mengumpulkan bantuan bahan makanan dari masyarakat seperti:
Beras, Jagung, Singkong, Ketela, kedelai, Kelapa maupun sayur-
sayuran hasil kebun seperti daun Pepaya, buah Pepaya muda, daun
Bayam, Bambu muda dan daun Singkong dari warga masyarakat
Kebonbimo yang dikumpulkan di rumahnya. Karena pada waktu itu
rumahnya menjadi pusat para gerilyawan yaitu Tentara Pelajar
SA/CSA, eks Pesindo, Kepolisian maupun Pager Desa Kebonbimo
dalam sistem membantu pengumpulan bahan pangan ada masyarakat
yang datang sendiri dan ada juga lewat sistem didatangi tiap rumah-
rumah. Sehingga dulu rumah dari Kepala Desa selain berfungsi
sebagai pusat berkumpulnya para gerilyawan juga sebagai dapur
79
umum Desa Kebonbimo. Meskipun sudah dibagi-bagi oleh pemerintah
Desa Kebonbimo dalam mengurus untuk bertanggung jawab kepada
Tentara Pelajar SA/CSA maupun gerilyawan yang lain, tetapi
pemerintah desa tetap mendirikan dapur umum (Wawancara dengan
Haryono, 3 Februari 2014).
Masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Desa Kebonbimo
sebagian besar bermata pencaharian sebagai Petani, kebijakan dari
pemerintah Desa Kebonbimo setelah adanya siasat bumihangus pada
tahun 1948, untuk membagikan tanah bekas perkebunan Serat nanas
milik Belanda, yang pernah dikuasai pemerintah militer jepang pada
tahun 1942-1945. Tanah perkebunan serat tersebut masyarakat Desa
Kebonbimo lebih mengenal dengan tanah DC. Dengan kebijakan
pemerintah Desa Kebonbimo untuk membagi tanah DC kepada
masyarakat Desa Kebonbimo yang pada waktu itu disesuaikan dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing kepala keluarga
sudah tepat karena setelah diserahkan kepada masyarakat, perkebunan
tersebut menjadi penopang peningkatan pendapatan ekonomi
masyarakat selain itu juga pada masa perang gerilya dari hasil
perkebunan masyarakat dapat membantu sebagai persediaan bahan
pangan bagi para gerilyawan, salah satunya Jagung yang berguna
sebagai pengganti Beras, apabila persediaan Beras sudah habis.
80
3. Bidang Komunikasi
Perang gerilya Tentara Pelajar SA/CSA berhasil karena
dukungan penuh dari rakyat yang berjuang tanpa pamrih, tanpa
imbalan uang, malah seringkali mengalami resiko balas dendam dari
Tentara Belanda berupa penyiksaan, pembakaran rumah-rumah desa
serta perampasan harta benda mereka. Dalam bidang komunikasi
peranan masyarakat Desa Kebonbimo sangatlah penting, salah satunya
ialah menjadi mata-mata untuk para Tentara Pelajar SA/CSA atau
“Cenguk”. Masyarakat Desa Kebonbimo ada yang yang bertugas
menjadi mata-mata dengan cara memanjat pohon tinggi dan
mengamati dari atas pohon. Tujuannya agar jika ada patroli Belanda
yang akan masuk Desa Kebonbimo dapat diketahui dan segera
memberitahu kepada masyarakat maupun Tentara Pelajar SA/CSA
dengan cara memberi kode berupa suara atau memanfaatkan bambu
dengan cara meletakkan potongan di samping pohon. Jika masih
berdiri berarti tidak ada pasukan Belanda yang datang, sedangkan jika
potongan bambu dijatuhkan atau dirobohkan pertanda pasukan
Belanda datang. Peran Pager Desa Kebonbimo sangat penting. Mereka
membantu dalam bidang tenaga seperti memasang ranjau bom atau
trekbom, membongkar jembatan, pemotong kabel-kabel telfon,
penunjuk jalan pada saat gerilya, dan sebagai pengantar Tentara
Pelajar SA/CSA yang sakit ke rumah sakit (Wawancara dengan Henri
Sugiman, 5 Oktober 2013).
81
Sebelum melakukan beberapa aksi gerilya di wilayah Desa
Kebonbimo maupun diluar Desa Kebonbimo, Pager Desa sepakat
untuk menggunakan kode khusus seperti tiruan suara binatang demi
keamanan dari anggota Pager Desa Kebonbimo itu sendiri. Setiap
kelompok Pager Desa memiliki kode yang berbeda dan hanya berlaku
semalam saja, misalnya kelompok Pager Desa dari Tarjo Suwito
sepakat menggunakan kode suara Kucing. Caranya yaitu apabila salah
satu anggota dari kelompok berbicara menirukan suara kucing, yang
benar adalah menjawab dengan suara hewan selain Kucing. Jika sandi
itu menjawabnya sama maka dianggap musuh jadi perlu konsentrasi
pada saat bergerilya (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 18 Maret
2014).
Masyarakat merupakan bagian yang mengetahui keadaan
situasi kondisi tempat dan geografis desa. Seperti tokoh agama (dalam
bahasa Jawa disebut Modin) di Dukuh Tlatar seperti Iman Gozhali,
belum begitu sangat berperan secara maksimal untuk mempengaruhi
masyarakat di lingkup desa hanya baru bisa berperan dalam membantu
logistik dan perlindungan masih sama dengan masyarakat pada
umumnya. Sebagai tokoh Agama media yang bisa untuk
dimaksimalkan seperti melalui media dakwah di Langgar atau
Mushola karena pada masa Agresi Militer Belanda II, masyarakat di
Desa Kebonbimo masih bersifat “Abangan” (beragama Islam tetapi
tidak menjalankan ibadah sesuai kewajiban syariat Islam). Berbeda
82
dengan Desa Pager yang sejak dulu sampai sekarang masyarakatnya
dikenal sangat religius dalam menjalankan kehidupan beragama Islam
yang taat sehingga sangat mudah jika tokoh agama berperan secara
maksimal dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. Mata-mata untuk Belanda, dalam masyarakat dikenal
dengan istilah “lurahe Londo”. Di Kebonbimo sering kedatangan
mata-mata dari pihak Belanda yaitu warga dari Desa Kiringan,
Kecamatan Boyolali yang bernama Kardimun. Karso Diharjo
mengatakan bahwa mata-mata tersebut bertugas mencari informasi di
Desa Kebonbimo untuk melaporkan ke pihak Belanda di Tangsi
Boyolali Kota yaitu kegiatan apa saja yang akan dilakukan atau gerak-
gerik para Tentara Pelajar SA/CSA maupun masyarakat pejuang yang
berada di Desa Kebonbimo (Wawancara dengan Karso Diharjo, 27
Januari 2014).
Sedangkan mata-mata dari Desa Kebonbimo untuk para
gerilyawan bernama Singo yang merupakan warga Dukuh Ngablak
(Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014). Jika Tentara
Belanda tidak berhasil menangkap masyarakat pejuang maupun
Tentara Pelajar SA/CSA pada saat melakukan patroli di Desa
Kebonbimo, mereka melakukan penjarahan hewan peliharaan
masyarakat seperti diantaranya Kuda, Sapi, Kerbau dan Kambing. Hal
ini dilakukan oleh Belanda untuk bahan makanan di pos-pos atau
83
Tangsi Belanda di Boyolali Kota (Wawancara dengan Tarjo Suwito,
27 Januari 2014).
4. Bidang Kesehatan
Untuk menjaga kesehatan pada masa Agresi Militer Belanda II,
masyarakat seringkali membuat ramuan sendiri untuk mengobati
penyakitnya dengan cara tradisional. Mereka menggunakan daun-
daunan yang mereka temukan meskipun pengetahuan mengenai obat-
obatan sangat terbatas, hanya sebatas pertolongan pertama. Untuk
mengobati diare masyarakat menggunakan daun Jambu biji. Penyakit
yang sering menyerang para Tentara Pelajar SA/CSA adalah gatal dan
banyak kutu-kutu, untuk mengobati gatal-gatal seperti kudis
menggunakan Belerang (“Lirang” dalam Bahasa Jawa), dengan cara
Belerang ditumbuk lalu dicampurkan dengan air dibuat untuk mandi
karena pada waktu itu para Tentara Pelajar SA/CSA pakaiannya
terbatas (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014).
Sedangkan untuk menghilangkan kutu-kutu yang menempel di pakaian
para Tentara Pelajar SA/CSA salah satu caranya dicuci di sungai atau
umbul. Kebanyakan dari masyarakat Kebonbimo berasal dari golongan
menengah ke bawah sehingga tidak mampu membeli obat-obatan.
Yang paling diutamakan adalah makan sedangkan untuk kesehatan
diobati dengan seadanya yaitu melalui pengobatan tradisional
(Wawancara dengan Henri Sugiman, 5 Oktober 2013). Kegiatan
Tentara Pelajar SA/CSA jika tidak ada tugas untuk menghadang
84
konvoi iring-iringan Tentara Belanda yang akan ke arah Solo maupun
yang sebaliknya pada saat patroli ialah berkumpul di Umbul Tlatar
untuk mandi atau berenang sekaligus mencuci pakaian dan sambil
mencari kutu baju karena pakaian Tentara Pelajar SA/CSA hanya
melekat di badan saja atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan “Tok
Mbiji” yang artinya celana satu baju satu (Panitia Peresmian Gedung
SMA Tlatar-Boyolali, 1982:17).
Pada masa Agresi Militer Belanda II masyarakat Kebonbimo
masih mempercayai hal-hal yang Irasional (tidak masuk akal) seperti
dalam pengobatan tradisional. Misalnya jika terkena masuk angin
disertai badan panas tinggi dan pusing, mereka memanfaatkan daun
Awar-awar dengan cara orang yang sakit terlebih dahulu ditutup
dengan kain jarik, setelah itu digepyok (dipukul-pukulkan) dengan
daun tersebut ke badan. Tujuannya orang yang sakit tadi terkejut
sehingga bisa sembuh, akibat dari efek terkejut tersebut. Untuk sakit
panas biasa, masyarakat dianjurkan mandi di Kali Tlatar yang terletak
di selatan Dukuh Tlatar. Masyarakat Dukuh Tlatar dan sekitarnya
percaya adanya penunggu kali yang dikenal masyarakat dengan nama
Mbah Crobo. Setelah mandi di kali Tlatar menurut Karso Diharjo,
kebanyakan masyarakat bisa sembuh (Wawancara dengan Karso
Diharjo, 18 Maret 2014).
Masyarakat Desa Kebonbimo dengan sukarela menyediakan
jasa-jasa untuk pendukung peperangan. Misalnya selain penyedia
85
makanan, masyarakat Desa Kebonbimo juga membantu Tentara
Pelajar SA/CSA yang sakit dan terluka yang bersifat pertolongan
pertama sesuai dengan kemampuan. Jika ada Tentara Pelajar SA/CSA
atau masyarakat yang terluka parah, masyarakat membawanya ke
Rumah Sakit di daerah Simo yang dianggap paling aman, karena pada
masa Agresi Militer Belanda II rumah sakit di daerah Boyolali belum
banyak seperti masa sekarang dan jika ada rumah sakit, tenaga dokter,
perawat atau mantri kesehatan maupun obat-obatan masih sangat
terbatas. Secara kebetulan banyak dipihak masyarakat Desa
Kebonbimo khususnya warga Dukuh Tlatar yang menjadi Korban,
terutama pada saat terjadinya Perang Pruputan (Wawancara dengan
Henri Sugiman, 5 Oktober 2013).
Pada masa gerilya di daerah Kebonbimo dan sekitarnya para
Tentara Pelajar SA/CSA khususnya yang bermarkas di Desa
Kebonbimo hanya sedikit yang kena luka dan tidak ada korban
meninggal. Sedangkan Korban meninggal kebanyakan dari masyarakat
Desa Kebonbimo, salah satunya yaitu Bayan Suroso yang menjadi
ketua kelompok Pager Desa yang menyerang Jembatan darurat
Kenteng (Wawancara dengan Tarjo Suwito, 27 Januari 2014). Selain
Bayan Suroso yang menjadi korban meninggal dalam peristiwa di
Jembatan darurat Kenteng yang bernama Panut. Panut yang juga
merupakan warga Dukuh Tlatar tidak meninggal di Jembatan darurat
Kenteng melainkan meninggal di rumah sakit di Simo, karena
86
pendarahan di bagian perut terkena tembakan dari Tentara Belanda.
Sehingga dalam peristiwa di Jembatan darurat Kenteng ada 2 korban
meninggal (Wawancara dengan Karso Diharjo, 18 Maret 2014).