bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. inkonsistensi … · undang-undang nomor 4 tahun 1996...
TRANSCRIPT
1
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dan Pertentangannya dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
Pelaksanaan kewenangan pemegang hak tanggungan selaku
kreditor separatis untuk mengeksekusi benda jaminan dari debitor yang
telah dijatuhi putusan pailit memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda
dengan proses eksekusi atas benda jaminan debitor yang tidak dijatuhi
putusan pailit, hal ini dikarenakan benda tidak bergerak yang dijadikan
jaminan tersebut termasuk juga sebagai harta pailit (boedel pailit),
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang
berbunyi: “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat
putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh
selama kepailitan”. Ini berarti dalam hal debitor dinyatakan pailit, maka
kebendaan tersebut tetap merupakan harta pailit bagi kreditor secara
umum, dengan ketentuan bahwa kreditor pemegang jaminan kebendaan
tetap diberikan hak untuk menjual sendiri dan memperoleh pelunasan
terlebih dahulu dari hasil penjualan tersebut (Pasal 55 UU Kepailitan dan
PKPU), dan kreditor pemegang hak istimewa (yang disebutkan dalam
Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata) memiliki hak untuk memperoleh
pelunasan terlebih dahulu dari penjualan harta pailit secara umum dan
kebendaan tertentu dalam harta pailit1.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka seluruh harta kekayaan yang
telah ada maupun yang akan ada dan dimiliki oleh debitor pailit menjadi
boedel pailit tanpa memperdulikan telah dibebani jaminan maupun tidak
dibebani jaminan, yang kemudian akan menjadi jaminan pelunasan seluruh
utang kreditor baik yang berkedudukan sebagai kreditor separatis maupun
1Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 28
77
2
kreditor biasa (konkuren), serta kreditor pemegang privilege (kreditor
preferen). Sikap UU Kepailitan yang tidak menempatkan harta Debitor
yang telah dibebani dengan Hak Jaminan di luar harta pailit merupakan
sikap yang meruntuhkan sendi-sendi sistem hukum Hak Jaminan. Hal itu
lebih lanjut telah membuat tidak ada artinya penciptaan lembaga Hak
Jaminan di dalam hukum perdata dan membuat kaburnya konsep dan
tujuan Hak Jaminan itu2. Kaburnya konsep hukum jaminan ini apabila
tidak dihentikan akan membuat berkurangnya minat pelaku usaha untuk
menggunakan pranata hak tanggungan untuk menjamin pelunasan piutang
kreditor.
Ketentun eksekusi UUHT, sebagaimana tercantum pada Pasal 6,
Pasal 20 ayat (1) dan (2) serta Pasal 21 UUHT. Pasal 6 UUHT berbunyi:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut”. Pasal 20 ayat (1) UUHT berbunyi: “Apabila
debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya.
Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT berbunyi: “Atas kesepakatan
pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu
akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”.
Terkait dengan terjadinya kepailitan Pasal 21 UUHT menentukan bahwa:
2 Sutan Remy Syahdeini, Op. cit, hlm 135
3
“Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak
Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya
menurut ketentuan Undang-Undang ini”.
Eksistensi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk
mengeksekusi secara langsung benda jaminan guna memperoleh
pemenuhan piutang yang dimilikinya sesuai titel eksekutorial yang
terdapat pada Sertifikat Hak Tanggungan tetap diakui keberadaannya oleh
UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 55
ayat (1) yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan
sebagaimana dimaksuddalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap
Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau
hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-
olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan ini penting dan tepat untuk
melindungi hak kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi menjadi
sia-sia karena terdapatnya ketentuan di dalam UU Kepailitan dan PKPU
yang menangguhkan dan membatasi hak pemegang hak tanggungan untuk
melakukan eksekusi atas benda jaminan debitor pailit tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang
berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan
pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal
57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud
dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka
waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan kedua pasal
tersebut membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk
melakukan eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya
penangguhan selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi
4
selama 2 (dua) bulan dan hal ini sangat kontradiktif dengan Pasal 21
UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor pemegang
hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun terjadi kepailitan
pada diri debitor.
Menurut pendapat Sutan Remy Syahdeini, ketentuan terkait
penangguhan eksekusi (stay) memasung hak separatis dari kreditor
pemegang hak jaminan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
hukum jaminan bahwa hak separatis dari seorang Kreditor pemegang Hak
Jaminan ialah bahwa benda-benda yang dibebani dengan Hak Jaminan
(Hak Agunan) tidak termasuk dan berada di luar harta pailit3. Ketentuan
penangguhan eksekusi (stay) merupakan ketentuan yang merugikan hak
kreditor pemegang hak tanggungan dan mengakibatkan hak eksekusi harus
menunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Terkait dengan pembatasan
jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan juga merugikan hak kreditor
pemegang hak tanggungan karena hanya dapat melaksanakan haknya
dengan tenggat waktu yang sangat terbatas dan bila tidak dilaksanakan
sesuai jangka waktu tersebut kewenangan eksekusi beralih ke kurator,
beralihnya kewenangan ini sangat merugikan kepentingan dari kreditor
pemegang hak tanggungan, karena tidak hanya hilang hak eksekusinya
tetapi juga harus tunduk juga dengan prosedur pembagian pembayaran
sesuai UU Kepailitan dan PKPU yang menempatkan kreditor pemegang
hak tanggungan sebagai kreditor separatis yang memiliki posisi dibawah
kreditor preferen, yaitu kewajiban perpajakan dan biaya kepailitan. Akibat
inkonsistensinya UU Kepailitan dan PKPU menimbulkan persoalan yaitu
pertentangan UU Kepailitan dan PKPU dengan UUHT terkait prosedur
eksekusi pemegang hak tanggungan pada saat terjadi kepailitan,
diantaranya sebagai berikut:
1. Pertentangan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan
PKPU dengan Pasal 21 UUHT
3Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta , 2002, hlm. 285
5
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi: “Hak eksekusi
Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak
ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor
Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan”.Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:
“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal
58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling
lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Kedua pasal tersebut
bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 UUHT yang menentukan
bahwa: “Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit,
pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak
yang diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang ini”.
Pertentangan yang terjadi anatara kedua peraturan perundang-undangan
tersebut terkait dengan prosedur eksekusi yang berlaku bagi pemegang
hak tanggungan selaku kreditor separatis apabila terjadi kepailitan.
Kelebihan yang dimiliki oleh pranata hukum hak tanggungan adalah
terkait dengam kemudahan eksekusi benda jaminan apabila debitor
wanprestasi, eksekusi benda jaminnan diatur oleh Pasal 20 ayat (1)
UUHT, yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka
berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari
pada kreditor-kreditor lainnya.
6
Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Atas
kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek
Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan
semua pihak”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut eksekusi
benda jaminan melalui pranata hukum hak tanggungan menjamin
kemudahan bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan
eksekusi benda jaminan yaitu melalui: parate executie, eksekusi
berdasarkan titel eksekutorial, atau penjualan dibawah tangan. Akan
tetapi ketentuan ini mengalami kendala yang cukup pelik apabila
debitor yang bersangkutan pada saat yang bersamaan telah dinyatakan
pailit, karena ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) yang
memberikan penangguhan (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan
pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan
diberlakukan.
Pemberlakuan penangguhan (stay) akan memberikan
konsekuensi bagi pemegang hak tanggungan yaitu hanya dapat
melakukan haknya untuk mengeksekusi benda jaminan setelah
lewatnya jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya
insolvensi, sedangkan pemberlakuan ketentuan pembatasan jangka
waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan memberikan konsekuensi
bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu harus segera
mengeksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua) bulan
tersebut jika terlewati jangka waktu tersebut, maka kewenangan
eksekusi akan beralih kepada kurator selaku pengurus dan pemberes
boedel pailit, hal ini tentu tidak diinginkan oleh kreditor pemegang hak
tanggungan karena haknya untuk mengeksekusi benda jaminan menjadi
hilang. Hilangnya kewenangan ini bertentangan dengan teori keadilan
aristoteles yang mengenal adanya keadilan distributif, yang menentukan
bagian masing-masing pihak berdasarkan haknya, terkait hal ini, maka
7
sudah selayakna pemegang hak tanggungan memperoleh keadilan atas
pengakuan dan penjaminan hak eksekusi yang dimilikinya.
2. Benturan Kepentingan Para Kreditor
Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan
PKPU, kedua pasal tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan mengenai
hak eksekusi pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi
secara langsung atas benda jaminan sebagaimana diatur pada UUHT
menjadi kontradiktif, karena dengan adanya penangguhan dan
pembatasan tersebut akan mengekang hak pemegang hak tanggungan
yang notabene dilindungi oleh UUHT bahkan jikalau terjadi pada
debitor yang telah dinyatakan pailit, sebagaimana diatur pada Pasal 6,
Pasal 20 ayat (1) dan (2), serta Pasal 21 UUHT. Berdasarkan UUHT,
pemegang hak tanggungan tetap memiliki kewenangan untuk
mengeksekusi benda jaminan pada saat debitor wanprestasi meskipun
debitor yang bersangkutan telah dinyatakan pailit, akan tetapi hal
tersebut meskipun diakui eksistensinya oleh UU Kepailitan dan PKPU
akan tetapi keberadaannya mendapatkan pembatasan sehingga akan
menyebabkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan konflik bagi
para pihak yang berkepentingan di dalamnya karena tidak adanya
perlindungan hukum atas hak-hak yang dimilikinya. Terkait dengan hal
tersebut maka sudah seharusnya penangguhan eksekusi (stay) dan
pembatasan jangka waktu eksekusi dihilangkan dari UU Kepailitan dan
PKPU karena merugikan kepentingan hak kreditor pemegang hak
tanggungan dan dapat memicu adanya konflik antara kreditor pemegang
hak tanggungan dengan kreditor-kreditor lainnya.
Benturan kepentingan ini karena adanya perlakuan yang tidak
adil sebagai akibat adanya pembatasan hak bagi kreditor pemegang hak
tanggungan berupa penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan
jangka waktu eksekusi. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terkait
pengakuan dan penjaminan terhadap hak eksekusi kreditor pemegang
8
hak tanggungan dapat menimbulkan berbagai persoalan sehingga
benturan kepentingan para kreditor tidak dapat dihindari.
3. Tercapainya Tujuan Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT
Hukum sebagai suatu sistem memiliki tujuan yang hendak
dicapai, adapun tujuan hukum tersebut terjelma di dalam materi muatan
pada peraturan perundang-undangan yang dibentuk untuk selanjutnya
tercantum di dalam pasal-pasalnya. Tujuan hukum merupakan sesuatu
yang ingin dicapai oleh hukum tersebut sehingga menjadi penyebab
terbentuknya hukum yang pada dasarnya hukum bertujuan untuk
memberikan keadilan bagi para pihak dengan memberikan pengaturan
yang jelas dan tegas terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak
sehingga masing-masing pihak memperoleh bagian yang merupakan
haknya. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan dapat
terlihat dengan tercapai tidaknya tujuan peraturan perundang-undangan
tersebut, peraturan perundang-undangan yang baik akan berisi materi
muatan yang aplikatif sehingga tujuan dari peraturan perundang-
undangan tersebut dapat terlaksana dengan baik.
Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan
masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan4.
Ketertiban dan keseimbangan merupakan tatanan yang dikehendaki
oleh hukum, karena dengan terciptanya ketertiban dan keseimbangan
maka hak-hak para pihak yang terkait di dalamnya akan terlindungi
sehingga menciptakan keadilan bagi semua pihak dan mencegah
terjadinya konflik. Ketertiban merupakan tatanan ideal di dalam
masyarakat, karena dengan adanya ketertiban akan terjadi
keseimbangan diantara hak dan kewajiban sehingga hak dan kewajiban
tersebut dapat diakui dan dijamin eksistensinya oleh hukum.
Tujuan pembentukan UUHT secara tegas tidak terdapat di
dalam UUHT, akan tetapi tersirat dari pertimbangan dan penjelasan
4Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm 22
9
umum UUHT yaitu untuk memberikan landasan hukum bagi lembaga
jaminan di Indonesia terkait pembebanan jaminan dengan
menggunakan jaminan benda tidak bergerak berupa tanah sebagaimana
dimaksud UUPA, yang sebelumnya hanya diatur dengan produk hukum
zaman kolonial Belanda yaitu Hypotheek sebagaimana diatur dalam
Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan
ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Sementara itu
tujuan dari UU Kepailitan dan PKPU tercantum di dalam Penjelasan
Umum UU Kepailitan dan PKPU, yang berbunyi: “Ada beberapa faktor
perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaankewajiban
pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari perebutan harta
Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang
menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari adanya
Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya
dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan
kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk
menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha
untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang
Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya
perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya
terhadap para Kreditor.
Berdasarkan penjelasan umum UU Kepaiitan dan PKPU
tersebut tujuan utama dari pembentukan UU Kepailitan dan PKPU
adalah memberikan keadilan bagi semua pihak di dalamnya dengan
cara melindungi boedel pailit sehingga nilai boedel pailit dapat
maksimal guna membayar utang debitor pailit kepada para kreditornya.
Bentuk keadilan tersebut adalah terjaminnya pembagian boedel pailit
kepada seluruh kreditor secara seimbang berdasarkan prosentase besar
10
kecilnya piutang masing-masing dengan tetap memperhatikan
kekhususan bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (termasuk
hak tanggungan di dalamnya) sehingga merealisasikan asas pari passu
dan pro rata menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUHPerdata.
Poin kedua tujuan UU Kepailitan dan PKPU secara tegas
menyebutkan pembentukan UU Kepailitan dan PKPU untuk
menghindari adanya kreditor separatis (termasuk kreditor pemegang
hak tanggungan) yang melakukan eksekusi hak yang dimilikinya tanpa
memperhatikan kepentingan debitor pailit dan kreditor konkuren, hal ini
berarti sebelum dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU seringkali
terjadi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan selaku kreditor
separatis melakukan eksekusi benda jaminan tanpa memperdulikan
kepentingan debitor pailit dan para kreditor lainnya khususnya kreditor
konkuren, misalnya eksekusi dilakukan sesuai kehendaknya sendiri
sehingga tidak ada kepastian waktu dilakukannya eksekusi tersebut
ataupun melakukan eksekusi melalui lelang dengan nilai limit yang
rendah sekedar untuk pelunasan piutangnya saja meskipun ini
diperbolehkan oleh hukum, akan tetapi hal ini dapat mendatangkan
kerugian pihak lain, karena.Terkait dengan adanya penangguhan
eksekusi yang diatur Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
memilki tujuan sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal tersebut,
yang berbunyi: “Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan ini
bertujuan, antaralain:
a. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau
b. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau
c. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara
optimal.
Hukum kepailitan merupakan jawaban atas kesulitan keuangan,
yang bukan hanya sebagai masalah ekonomi tetapi juga merupakan
masalah moral, politik, personal dan masalah sosial yang berakibat pada
11
partisipannya5. Lebih lanjut pada hukum kepailitan terdapat “circle of
responbility”, yang meliputi tiga elemen.Pertama, tanggung jawab
sosial debitor dalam kepailitan. Kedua, tanggung jawab para kreditor
terhadap para kreditor lainnya. Ketiga, tanggung jawab para debitor dan
kreditor terhadap masyarakat6. Berdasarkan hal tersebut tujuan
dibentuknya UU Kepailitan dan PKPU adalah melindungi dan
menyeimbangan kepentingan para pihak yang terkait di dalamnya serta
kepentingan masyarakat luas yang dapat terkena imbas dari putusan
kepailitan tersebut. Benturan kedua peraturan perundang-undangan
terkait dengan tujuan masing-masing undang-undang yaitu adanya
penangguhan eksekusi (stay) bagi pemegang hak tanggungan pada saat
debitor pailit dengan tujuan pembentukan UUHT yang bertujuan
memberikan landasan hukum bagi pemegang hak tanggungan untuk
dapat mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi
sebagaimana dijamin oleh UUHT.
4. Terlaksananya Asas-Asas Hukum UU Kepailitan dan PKPU dan
UUHT
Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum
yang abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret
dan pelaksanaan hukum7. Asas hukum menurut Satjipto Rahardjo,
merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum.
Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa asas hukum
merupakan jantungnya peraturan hukum. penyebutan demikian karena
pertama merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Ini berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada
5Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan
di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 30 6Ibid 7Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Op. cit, hlm. 135
12
akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut8. Asas hukum
memegang peranan penting karena merupakan roh atau jiwa dari
peraturan perundang-undangan tersebut sehingga apabila adanya
ketentuan-ketentuan yang tidak tercantum ataupun adanya ketentuan
yang menimbulkan multitafsir yang terdapat di dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan tersebut maka dapat dipahami dengan
cara memahami asas-asas yang terdapat di dalamnya.
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa asas atau prinsip
hukum bukanlah peraturan konkret, melainkan merupakan pikiran dasar
yang umumsifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan
konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat didiketemukan dengan mencari
sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut9. Terkadang asas
atau prinsip hukum tersebut tidak tertulis secara konkret di dalam
peraturan perundang-undangan, akan tetapi asas atau prinsip hukum
tersebut “hidup” karena terjelma pada landasan dasar tujuan
pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut dan merupakan
roh dari suatu peraturan perundang-undangan sehingga setiap pasal
yang ada di dalamnya tidak bisa dilepaskan dari asas atau prinsip
hukum tersebut.
Asas hukum mengandung tuntutan etis, sehingga asas hukum
merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita
sosial dan pandangan etis masyarakat. Dengan singkat dapat dikatakan,
bahwa melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah
sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis10
. Tatanan etis
merupakan nilai-nilai keadilan yang merupakan tujuan dari hukum itu
sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat di dalam
8Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31 9 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan:Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2008, hlm. 26 10Bernard Nainggolan, Op. cit, hlm. 31-32
13
masyarakat sehingga hukum tersebut dapat dipertahankan dan ditaati
eksistensinya oleh semua pihak.Asas hukum bukan merupakan
peraturan hukum, akan tetapi asas hukum dapat digunakan untuk
memahami peraturan perundang-undangan karena di dalam asas-asas
hukum tersebut terkandung nilai-nilai etis.
Asas-asas hukum kepailitan tercantum di dalam Penjelasan
Umum UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Undang-Undang
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini
didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah :
a. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang
merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak,
terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain
pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang
tidak beritikad baik.
b. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang
memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap
dilangsungkan.
c. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian,
bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan
bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap
Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
d. Asas Integrasi
14
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung
pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya
merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan
hukum acara perdata nasional”.
Sedangkan asas-asas hukum yang terdapat pada hak tanggungan
dapat dipahami dari beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUHT,
yaitu:
a. Asas Kedudukan yang Diutamakan Bagi Pemegang Hak
Tanggungan
Pemegang hak tanggungan merupakan kreditor separatis,
kata separatis secara bahasa berarti terpisah, dikatakan terpisah
karena pemegang hak tanggungan memiliki kedudukan yang
dipisahkan dari kreditor biasa dan diutamakan (droit de preference)
sebab haknya untuk mendapatkan pelunasan pembayaran utang
debitor didahulukan dari kreditor lainnya melalui benda yang
dijadikan jaminan kepadanya. Ketentuan yang mengatur mengenai
kedudukan yang diutamakan bagi pemegang hak tanggungan
terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 dan Penjelasan Umum UUHT,
yang berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnyadisebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untukpelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentuterhadap
kreditor-kreditor lain”. Selanjutnya pada Penjelasan Umum UUHT,
menyatakan bahwa: “Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas
tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak
15
Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-
kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang
tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
b. Asas Kemudahan Eksekusi
Kreditor pemegang hak tanggungan memiliki kemudahan
untuk menjual sendiri benda jaminan apabila debitor wanprestasi
guna pelunasan piutang yang dimilikinya, hal inilah yang merupakan
kelebihan dari hak tanggungan sehingga menjadi pilihan bagi pihak
kreditor guna memperoleh perlindungan atas pelunasan piutangnya.
Eksekusi yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang hak
tanggungan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: parate eksekusi,
eksekusi berdasarkan titel eksekutorial, serta eksekusi penjualan di
bawah tangan.
Ketentuan terkait eksekusi ini diatur di dalam Pasal 20 ayat
(1) UUHT, yang berbunyi: “Apabila debitor cidera janji, maka
berdasarkan:
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek
Hak Tanggungan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalamPasal 14 ayat (2), obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara
yangditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk
pelunasan piutang pemegang HakTanggungan dengan hak
mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa:
“Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
penjualan obyek Hak Tanggungan dapatdilaksanakan di bawah
16
tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi
yangmenguntungkan semua pihak”.
c. Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi
Asas tidak dibagi-bagi yaitu bahwa pembayaran atas
sebagian utang tidak menyebabkan hapusnya sebagian benda yang
dijadikan benda jaminan, benda jaminan baru bebas apabila seluruh
utang telah dibayar lunas seluruhnya oleh debitor, ketentuan ini
terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Hak
Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan dalam AktaPemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)”. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) UUHT
menentukan bahwa: “Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada
beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam AktaPemberian
Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang
dijamin dapat dilakukandengan cara angsuran yang besarnya sama
dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakanbagian
dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak
Tanggungan tersebut, sehinggakemudian Hak Tanggungan itu hanya
membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa
utangyang belum dilunasi”.
d. Asas Accesoir
Perjanjian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan dan
bukan merupakan perjanjian pokok, sehingga perjanjian hak
tanggungan itu ada jikalau perjanjian pokoknya ada, perjanjian
pokok tersebut yaitu perjanjian utang-piutang. Sifat accesoir hak
tanggungan diatur pada Penjelasan Umum UUHT yang berbunyi:
“Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan
atau accessoir pada suatupiutang tertentu, yang didasarkan pada
suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, makakelahiran
dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin
pelunasannya”
17
e. Asas Publisitas
Tujuan dari publisitas adalah supaya perjanjian yang dibuat
oleh pihak debitor dan kreditor tersebut diketahui oleh seluruh pihak
yang berkepentingan sehingga mejamin kepastian hukum terkait
perbuatan hukum yang dilakukan tersebut karena telah terdaftar.
Ketentuan terkait asas publisitas ini tercantum pada Pasal 13 ayat (1)
UUHT yang berbunyi: “Pemberian Hak Tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan”, selanjutnya Penjelasan Pasal
13 ayat (1) UUHT berbunyi: “Salah satu asas Hak Tanggungan
adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian
HakTanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak
Tanggungan tersebut dan mengikatnya HakTanggungan terhadap
pihak ketiga”.
f. Asas Spesialitas
Merupakan asas yang menghendai kejelasan keterangan
terkait subyek dan obyek atas hak tanggungan tersebut sehingga
menghindarkan kerancuan akibat ketidak jelasan keterangan terkait
subyek dan/atau obyek hak tanggungan. Ketentuan asas spesialitas
tercantum pada Pasal 11 ayat (1) UUHT yang berbunyi: “Di dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan
apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,
baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di
Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan,
kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. Nilai tanggungan;
e. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
18
Kedudukan asas-asas hukum yang terdapat pada peraturan
perundang-undangan sebagai jantung hukum memegang peranan
penting untuk menjaga dan mengawal terlaksananya cita-cita hukum
yang menjadi dasar dibentuknya peraturan perundang-undangan
tersebut, karena asas hukum ini merupakan roh yang menjiwai isi dari
pasal-pasal yang terdapat pada UUHT dan UU Kepailitan dan PKPU.
Akan tetapi terdapat asas hukum yang kontradiktif diantara kedua
peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu adanya asas keadilan
pada UU Kepailitan dan PKPU dan asas kemudahan eksekusi yang
dianut oleh UUHT. Asas keadilan pada UU Kepailitan dan PKPU
menghendaki kreditor memperhatikan kepentingan kreditor lain pada
saat menuntut haknya dengan tidak bersikap sewenang-wenang,
meskipun tidak dinyatakan secara tegas kreditor yang dimaksud oleh
asas tersebut, akan tetapi ketentuan tersebut merujuk kepada kreditor
separatis yang termasuk di dalamnya kreditor pemegang hak
tanggungan yang memiliki hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas
benda jaminan, di sisi menurut asas kemudahan eksekusi yang dianut
oleh UUHT, kreditor pemegang hak tanggungan memiliki hak berupa
kemudahan untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan apabila
debitor wanprestasi, yaitu dengan cara parate eksekusi, eksekusi
berdasarkan titel ekskutorial atau dengan penjualan di bawah tangan,
sehingga adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka
waktu eksekusi yang merupakan penjelmaan asas Asas keadilan pada
UU Kepailitan dan PKPU menjadi bertentangan dengan asas
kemudahan eksekusi yang dianut oleh UUHT. Benturan asas hukum
tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus sehingga kedua asas-asas
hukum peraturan perundang-undangan tersebut dapat terlaksana.
Penggolongan kreditor yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan
PKPU, sebagaimana disebutkan pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU
Kepailitan dan PKPU yang membagi kreditor menjadi tiga yaitu: kreditor
preferen (kreditor pemegang hak istimewa), kreditor separatis (kreditor
19
pemegang hak jaminan kebendaan), serta kreditor konkuren (kreditor
biasa). Tujuan dari keadilan adalah untuk memberikan perlindungan
hukum bagi semua pihak yang terkait kepailitan yang menimpa debitor,
sehingga masing-masing kreditor terlindungiakan hak-haknya untuk
mendapatkan pembayaran piutang yang dimilikinya dari boedel pailit.
Keadilan yang dianut oleh Pancasila sebagaimana tercantum pada Sila
kelima Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
sehingga keadilan bagi orang banyak harus lebih diutamakan dengan tetap
memperhatikan keadilan bagi setiap individu. Berdasarkan hal tersebut,
maka meskipun penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka
waktu eksekusi yang ditetapkan oleh UU Kepailitan dan PKPU merupakan
ketentuan yang diciptakan untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat,
akan tetapi tidak dapat dibenarkan karena merugikan hak individu yang
pokok yaitu hak eksekusi yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak
tanggungan.
Pengaturan tentang kepailitan dalam undang-undang dilakukan
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan yang adil dan seimbang
terhadap pihak kreditor maupun pihak debitor dalam menyelesaikan
permasalahan utang piutangnya11
. Keadilan bagi semua pihak merupakan
hal yang ingin dicapai oleh UU Kepailitan dan PKPU, karena keadilan
merupakan salah satu asas yang dianut dan akan direalisasikan oleh UU
Kepailitan dan PKPU. Menurut Penjelasan Umum UU Kepailitan dan
PKPU, asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai
kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-
wenanganpihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan
masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor
lainnya. Keadilan yang ingin dicapai oleh UUHT adalah keadilan bagi
pemegang hak tanggungan untuk dapat melakukan eksekusi atas benda
jaminan apabila debitor melakukan wanprestasi. Keberadaan UUHT yang
11Dijan Widijowati, Hukum Dagang, CV. Andi, Yogyakarta, 2012, hlm. 219
20
memberikan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk
mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi merupakan hal
yang harus diperhatikan dan dijamin kepastiannya, sehingga ketentuan
penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi tidak
tepat, mekanisme pertanggungjawaban laporan hasil penjualan benda
jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan sudah cukup untuk
memberikan keadilan bagi seluruh pihak.
Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU harus mendapatkan
perhatian yang serius dari pemerintah dan legislator dengan dilakukannya
revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU khususnya ketentuan terkait
penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi,
sehingga akan terhindarkannya benturan kepentingan antara para kreditor
akibat adanya pertentangan antara Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1)
UU Kepailitan dan PKPU dengan Pasal 21 UUHT, terwujudnya asas-asas
dan tujuan hukum yang dianut dan tercantum di dalam UU Kepailitan dan
PKPU dan UUHT, serta terciptanya undang-undang yang memberikan
keadilan bagi kreditor pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi
terhadap benda jaminan pada saat debitor dijatuhi putusan pailit .
B. Upaya Mengatasi Inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang dan Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kreditor
Pemegang Hak Tanggungan
Pranata hukum kepailitan dan hak tanggungan merupakan pranata
hukum yang diciptakan untuk menciptakan perlindungan hukum bagi
kreditor dan debitor terkait adanya perjanjian utang-piutang yang dibuat
oleh kedua belah pihak. Pemegang hak tanggungan selaku kreditor
separatis memiliki hak untuk didahulukan dan diutamakan atas
pembayaran piutang yang dimilikinya terhadap kreditor-kreditor lainnya
yang berkedudukan sebagai kreditor konkuren. UU Kepailitan dan PKPU
yang merupakan produk hukum yang lebih baru dibandingkan UUHT
21
tetap mengakomodir kedudukan yang didahulukan (droit de preference)
dan diutamakan bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana
diatur Pasal 55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55
Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal
57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Selanjutnnya
Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Semua biaya kepailitan
dibebankan kepada setiap benda yangmerupakan bagian harta pailit,
kecuali benda yang menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 telah dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya”.
Hak didahulukan kreditor pemegang hak tanggungan tersebut
meskipun diakui oleh UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi pelaksanaan
hak tersebut diberikan pembatasan guna memberikan perlindungan hukum
kepada boedel pailit, yaitu dengan cara penangguhan eksekusi (stay) dan
pembatasan jangka waktu eksekusi, sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1)
dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan
dan PKPU berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya
yangberada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,ditangguhkan
untuk jangka waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari sejak tanggal
putusan pernyataan pailit diucapkan”. Selanjutnya Pasal 59 ayat (1) UU
Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan
Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana
dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut
dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya
keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”.
Ketentuan yg inkonsisten UU Kepailitan dan PKPU terkait hak eksekusi
atas benda jaminan oleh kreditor pemegang hak tanggungan tersbut
22
menimbulkan kejanggalan karena pengakuan yang dilakukan oleh UU
Kepailitan dan PKPU langsung diamputasi dengan adanya ketentuan
terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu
eksekusi yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak tanggungan.
Berdasarkan kedua pasal tersebut adanya putusan pailit atas debitor
memberikan konsekuensi yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan
terkait pelaksanaan hak mendahului yang dimilikinya, mekanisme yang
harus dilalui oleh pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi
atas benda jaminan adalah setelah lewatnya masa penangguhan (stay)
selama 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya keadaan insolvensi
yaitu suatu keadaan apabila jumlah utang debitor lebih banyak daripada
nilai boedel pailit, setelah dimulainya masa eksekusi tersebut kreditor
pemegang hak tanggungan harus melaksanakan eksekusi selambat-
lambatnya selama jangka waktu 2 (dua) bulan.
Tujuan dari diberlakukannya penangguhan (stay) tersebut sebagai
berikut12
:
1. Untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian;
2. Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit;
3. Untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Jika dilihat dari tujuan pemberlakuan penangguhan (stay) tersebut
tampak bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak realistis menempatkan
tujuan hukum kepailitan untuk memperbesar kemungkinan terciptanya
perdamaian, seharusnya upaya kepailitan merupakan upaya terakhir dan
sudah dimungkinkan lagi upaya perdamian, sehingga tidak diperlukannya
upaya hukum penangguhan (stay) tersebut. Selama berlangsungnya jangka
waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan
atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan
baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau
memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan13
. Ketentuan ini secara
12
Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 13Ibid
23
tegas melarang segala bentuk upaya hukum yang terkait atas boedel pailit,
tak dikecualikan atas kreditor apapun sehingga kreditor pemegang hak
tanggungan selaku kreditor separatis dikekang haknya karena tidak
dimungkinkan melakukan upaya hukum apapun atas benda jaminan yang
telah dinyatakan pailit tersebut
Keberlakuan hak eksekusi atas benda jaminan bagi kreditor
pemegang hak tanggungan sebagaimana diatur pada UUHT dapat ditinjau
dari teori yang terkait dengan benda jaminan, yaitu teori antara
(intermediate theory) dan teori executie. Teori antara (intermediate theory)
memberikan hak untuk memiliki, menguasai dan menikmati hasil kepada
pihak debitor, tetapi hak tersebut segera beralih ke pihak kreditor
pemegang jaminan ketika terjadi wanprestasi terhadap utang debitor14
.
Keberadaan hak tanggungan sebenarnya merupakan solusi yang
menguntungkan bagi pihak debitor dan kreditor, debitor masih memiliki
hak dan kesempatan untuk mengusahakan benda jaminan selama tidak
mengalihkan kepemilikannya dan kreditor terlindungi haknya untuk
memperoleh pembayaran piutang yang dimilikinya dengan cara
mengeksekusi benda jaminan apabila debitor wanprestasi sebagaimana
dianut oleh teori executie. Pada teori ini hak kreditor untuk menjual benda-
benda obyek jaminan utang adalah berdiri sendiri (zelfstanding) dari pihak
pemegang jaminan utang15
. Adanya hak eksekusi ini memberikan
kebebasan bagi kreditor untuk menjual sendiri benda jaminan apabila
debitor wanprestasi atas pembayaran utangnya.
Ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang memberlakukan masa
penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi
benda jaminan bagi kreditor pemegang hak tanggungan merupakan
inkonsisten terhadap sikap UU Kepailitan dan PKPU yang mengakui
adanya hak eksekusi bagi pemegang hak tanggungan, ketentuan yang
inkonsisten ini mengakibatkan membatasi dan membelenggu hak kreditor
14
Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, 2014, hlm 5 15Ibid, hlm. 58
24
pemegang hak tanggungan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk
memperbaiki ketentuan UU Kepailitan dan PKPU sekaligus memberikan
perlindungan hukum kepada kreditor pemegang hak tanggungan dengan
cara-cara sebagai berikut:
1) Penerapan Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum sebagai sarana
perlindungan kepentingan manusia sekaligus menunjukkan tujuan
hukum untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, sehingga di
dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.
Perlindungan hukum erat kaitannya dengan jaminan kepastian hukum,
karena dengan adanya perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait
akan memberikan kepastian hukum atas pemenuhan hak-hak masing-
masing pihak. Kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu. Kepastian diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat
dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan ini.
Terkait kepailitan, setiap kreditor tentunya ingin memperoleh kepastian
hukum terkait pembayaran piutang yang dimilikinya, terlebih pada saat
terjadinya kepailitan yang tentunya melibatkan banyak kreditor,
sehingga dengan adanya kepastian hukum ini akan melindungi hak-hak
tiap kreditor, begitu pula halnya dengan kreditor pemegang hak
tanggungan yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak
eksekusi yang dimilikinya atas benda jaminan milik debitor termasuk
apabila debitor dinyatakan pailit.
Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian
hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam
perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara
satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu
secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang
berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga
berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum
25
undang-undang tersebut . Berdasarkan hal tersebut, maka sudah
seharusnya materi muatan di dalam suatu produk hukum berupa
peraturan perundang-undangan memiliki pasal-pasal yang konsisten
sehingga pasal-pasal tersebut saling mendukung satu sama lain untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang terdapat di
dalamnya, sehingga UU Kepailitan dan PKPU seharusnya juga
konsisten terhadap setiap pasal di dalamnya termasuk terkait pengakuan
atas hak eksekusi pemegang hak tanggungan yang diakui oleh Pasal 55
ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi kemudian oleh Pasal 56
ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ditangguhkan dan
dibatasi pelaksanaannya. Inkonsistensi ini menyebabkan tidak
terlindunginya hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan hak
eksekusinya.
Apabila dikaitkan dengan teori perlindungan hukum, peraturan
perundang-undangan diciptakan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi seluruh kreditor yang memiliki piutang kepada debitor
dengan cara memberikan jaminan kepastian bagi kreditor untuk
memperoleh pembayaran piutang dari boedel pailit . Berdasarkan teori
perlindungan hukum sudah semestinya UU Kepailitan dan PKPU
konsisten terhadap pengakuan dan penjaminan hak pemegang hak
tanggungan dan tidak melakukan penangguhan (stay) dan pembatasan
jangka waktu eksekusi. Suatu produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan haruslah konsisten pasal demi pasal sehingga
menciptakan aturan hukum yang aplikatif untuk menjamin kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi semua pihak di dalam kepailitan.
Menurut pendapat Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani,
secara teoritis perlindungan hukum dibedakan menjadi dua bentuk
yaitu: perlindungan hukum yang bersifat preventif dan represif.
Perlindungan hukum preventif memberikan kesempatan kepada rakyat
untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum
26
suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk definitif16
. Sedangkan
perlindungan hukum represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila
terjadi sengketa17
. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di
Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip
negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan
bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan
terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila dan seyogyanya
memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan
Pancasila18
. Kedudukan yang diutamakan dan didahulukan bagi
kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis merupakan
hak mutlak yang harus diakui dan dijamin eksistensinya karena menjadi
ciri khas dari jaminan kebendaan untuk memperoleh jaminan
kemudahan eksekusi apabila debitor wanprestasi, sehingga dengan
adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu
eksekusi tidak memberikan perlindungan hukum bagi kreditor
pemegang tanggungan.
2) Penerapan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali sini mengandung
makna, bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan
aturan hukum yang umum19
. Berdasarkan asas ini harus ditentukan
terlebih dahulu ketentuan hukum yang bersifat Lex Specialis dan
ketentuan hukum yang bersifat Legi Generalis. Menurut pendapat
penulis, ketentuan UUHT merupakan Lex Specialis, karena UUHT
merupakan ketentuan yang secara khusus diciptakan untuk mengatur
16Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 264 17Ibid 18Philipus M. Hadjon, Op.cit, hlm. 20 19
Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.
102
27
perjanjian yang dilakukan oleh pihak debitor dan kreditor terkait
pemberian benda jaminan atas utang-piutang yang telah dilakukan oleh
kedua belah pihak yang memberikan kewenangan kepada kreditor
untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut apabila debitor
melakukan wanprestasi. Kemudahan melakukan eksekusi atas benda
jaminan tersebut merupakan upaya untuk memberikan perlindungan
hukum kepada kreditor sekaligus untuk mengembangkan perekonomian
negara dengan menciptakan lembaga jaminan untuk menstimulus pihak
perbankan memberikan kredit kepada masyarakat, sedangkan UU
Kepailitan dan PKPU merupakan Legi Generalis karena merupakan
ketentuan yang berlaku umum untuk memberikan perlindungan kepada
kreditor-kreditor untuk memperoleh pelunasan pembayaran piutang dari
debitor, yang umumnya merupakan kreditor konkuren yang tidak
memiliki jaminan kebendaan, sehingga terkait pengaturan mengenai
hak kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis untuk
mengeksekusi benda jaminan harus tunduk pada ketentuan yang
terdapat pada UUHT.
Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus
(specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generalis).
Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin, dengan asas ini
maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika
telah ada aturan yang bersifat khusus20
. Terkait dengan hal tersebut
apabila terjadi kepailitan, maka ketentuan hukum yang berlaku bagi
kreditor pemegang hak tanggungan adalah tetap UUHT dan ketentuan
yang diatur UU Kepailitan dan PKPU sebatas ketentuan tersebut tidak
diatur oleh UUHT. Menurut Bagir Manan, ada beberapa prinsip yang
20Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan Aturan Yang
Bersifat Umum, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/21165-
aturan-yang-bersifat -khusus-mengesampingkan-aturan-yang-bersifat-umum, diakses tangggal 21
Maret 2016 pukul 19:00 WIB
28
harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis,
yaitu21
:
a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap
berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus
tersebut;
b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Penerapan asas Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis perlu
dilakukan demi terciptanya perlindungan hukum bagi kreditor
pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi benda jaminan yang
dimilikinya, sehingga tidak perlu adanya ketentuan penangguhan
eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang
menghambat dan menghalangi pelaksanaan hak pemegang hak
tanggungan.
3) Penyempurnaan Pengaturan dengan Melakukan Revisi terhadap
UU Kepailitan dan PKPU
Upaya hukum yang harus dilakukan untuk menjadikan konsisten
UU Kepailitan dan PKPU adalah dengan melakukan penyempurnaan
pengaturan dengan melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan
PKPU, karena Kepailitan dan PKPU inkonsisten dengan mengakui
kedudukan hak kreditor pemegang hak tanggungan akan tetapi
kemudian menerapkan ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay)
dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang merugikan bagi kreditor
21Hukumonline, Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-
legi-generalis, diakses tangggal 10 Desember 2015 pukul 19:00 WIB
29
pemegang hak tanggungan, berikut ini adalah alasan-alasan perlu
dilakukannya revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU:
a) Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU atas Pengakuan Hak
Eksekusi bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan
UU Kepailitan dan PKPU yang tetap mengakomodir
kedudukan yang didahulukan (droit de preference) dan diutamakan
bagi kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana diatur Pasal
55 ayat (1), dan Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU. Pasal 55 Ayat
(1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dengan tetap
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,
Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan
fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hakagunan atas kebendaan
lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan”. Selanjutnnya Pasal 191 UU Kepailitan dan PKPU
berbunyi: “Semua biaya kepailitan dibebankan kepada setiap benda
yang merupakan bagian harta pailit, kecuali benda yang
menurutketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah
dijual sendirioleh Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya”. Akan
tetapi, terdapat ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut
hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator,
ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59
ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Dengan tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor
pemegang hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus
melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2
(dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Ketentuan kedua pasal tersebut
30
membatasi hak kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan
eksekusi benda jaminan secara langsung karena adanya penangguhan
selama 90 (Sembilan puluh) hari dan pembatasan eksekusi selama 2
(dua) bulan dan hal ini merupakan bentuk inkonsistensi UU
Kepailitan dan PKPU yang memberikan pengakuan akan tetapi
membatasi dan ketentuan ini juga sangat kontradiktif dengan Pasal
21 UUHT yang memberikan perlakuan yang sama bagi kreditor
pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi meskipun
terjadi kepailitan pada diri debitor.
Pasal 21 UUHT menentukan bahwa: “Apabila pemberi Hak
Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap
berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut
ketentuan Undang-Undang ini”, selanjutnya di dalam penjelasan
pasal tersebut ditentukan bahwa: “Ketentuan ini lebih memantapkan
kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan dengan
mengecualikan berlakunya akibat kepailitan pemberi Hak
Tanggungan terhadap obyek Hak Tanggungan”. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut menjelaskan mengenai adanya kepailitan
tidak berpengaruh terhadap pelaskanaan hak kreditor pemegang hak
tanggungan, akan tetapi ketentuan ini tidak sepenuhnya dapat
diberlakukan karena adanya putusan pailit mengakibatkan status
benda jaminan menjadi boedel pailit, termasuk benda milik debitor
yang telah dibebani benda jaminan, sehingga segala perikatan berupa
kewajiban pembayaran yang harus dilakukan debitor pailit
menyesuaikan ketentuan UU Kepailitan dan PKPU yang mengenal
adanya penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu
eksekusi sebagaimana diatur Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1)
UU Kepailitan dan PKPU.
Terjadinya kepailitan pada debitor memberikan konsekuensi
yuridis bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila tidak
melakukan eksekusi dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, yaitu
31
beralihnya hak eksekusi tersebut demi hukum kepada kurator,
sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang
berbunyi: “Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi
agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor
pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”.
Berdasarkan ketentuan pasal ini proses eksekusi beralih menjadi hak
kurator dengan tetap memberikan kedudukan yang diutamakan bagi
kreditor pemegang hak tanggungan tersebut, akan tetapi terdapat
perbedaan prioritas bagian yang diterima oleh kreditor pemegang
hak tanggungan apabila eksekusi dilakukan kurator, yaitu kreditor
pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis memperoleh
bagian hasil penjualan setelah sebelumnya digunakan untuk
pembayaran bagi kreditor preferen selaku pemegang hak istimewa
yaitu pajak dan biaya kepailitan, hal ini tidak akan diberlakukan
apabila eksekusi dilakukan sendiri oleh kreditor pemegang hak
tanggungan.
b) Pemberlakuan dan Penerapan Penangguhan Eksekusi (Stay) dan
Pembatasan Jangka Waktu Eksekusi Merugikan Kepentingan
Kreditor Pemegang Hak Tanggungan.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) UU
Kepailitan dan PKPU yang mengatur mengenai mekanisme
penangguhan eksekusi (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan
pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan merupakan
mekanisme yang merugikan kepentingan kreditor pemegang hak
tanggungan dan tidak memberikan perlindungan hukum dan keadilan
bagi kreditor pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis,
karena pemberlakuan dan penerapan penangguhan eksekusi (stay)
dan pembatasan jangka waktu eksekusi tersebut disertai ketentuan
32
yang kurang memberikan perlindungan hukum bagi kreditor
pemegang hak tanggungan, yaitu:
(1) Perlindungan Hukum atas Benda Jaminan yang
Ditangguhkan Tidak Memberikan Keadilan bagi Kreditor
Pemegang Hak Tanggungan
Penangguhan ekesekusi benda jaminan (stay) yang
dilakukan oleh kurator akan sangat berpengaruh pada nilai jual
benda jaminan tersebut kedepannya, sehingga oleh karena itu
sudah seharusnya benda jaminan mendapatkan perlindungan
yang memadai supaya tidak terjadi penurunan nilai benda
jaminan tersebut. Pada saat penangguhan berlangsung, kurator
dapat menggunakan benda jaminan tersebut guna menjalankan
usaha debitor yang dianggap masih memilik prospek yang bagus
untuk meningkatkan nilai boedel pailit, dan atas penangguhan
tersebut disertai dengan perlindungan yang wajar atas benda
jaminan, hal ini sebagaimana tercantum pada Pasal 56 ayat (3)
UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Selama jangka waktu
penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kurator
dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak atau menjual harta pailit yang berupa
benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam
rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan
perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak
ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Selanjutnya
Penjelasan Pasal 56 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi:
“Yang dimaksud dengan "perlindungan yang wajar" adalah
perlindungan yang perlu diberikan untuk melindungi
kepentingan Kreditor atau pihak ketiga yang haknya
ditangguhkan. Dengan pengalihan harta yang bersangkutan, hak
kebendaan tersebut dianggap berakhir demi hukum.
Perlindungan dimaksud, antara lain, dapat berupa:
33
(a) Ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit;
(b) Hasil penjualan bersih;
(c) Hak kebendaan pengganti; atau
(d) Imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang
yang dijamin) lainnya.
Meskipun ditangguhkan eksekusinya hak atas tanah
tersebut tidak boleh dipindahtangakan oleh kurator. Harta pailit
yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya
pada barang persedian (invetory) dan atau barang bergerak
(current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan
hak tanggungan atas kebendaan22
. Ketentuan terkait
penangguhan eksekusi (stay) dapat berakibat menurunkan nilai
jual benda jaminan yang dapat berakibat kerugian bagi kreditor
pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pembayaran
piutang yang dimilikinya tersebut dari hasil penjualan benda
jaminan, ketentuan yang memberikan kemungkinan bagi
kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperoleh ganti
rugi atas penurunan benda jaminan tersebut menjadi tidak
realistis apabila boedel pailit yang tersedia lebih sedikit dari
kerugian yang diakibatkan penurunan nilai benda jaminan,
mengingat boedel pailit tersebut telah digunakan oleh kurator
sehubungan dengan kegiatan pengurusan dan pemberesan yang
telah dilakukan kurator.
Hak tersebut di atas sengaja diberikan kepada Kurator
agar Kurator dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang
berada dalam pengawasan Kurator terlebih dahulu, untuk
memenuhi kewajibannya, ini berarti tidak hanya kepentingan
kreditor yang diutamakan melainkan juga agar kepentingan
22Sutan Remi Sjahdeini, Op. Cit, hlm163
34
kelangsungan usaha debitor tetap terjaga23
. Urgensi pengaturan
terkait hal ini tidak tepat, meskipun usaha debitor masih
prospektif dijalankan akan tetapi debitor telah melakukan
wanprestasi, dan sudah selayaknya atas dasar wanprestasi
tersebut pemegang hak tanggungan melakukan hak eksekusi
yang dimilikinya sebagaimana telah diperjanjikan dalam APHT
terkait hak bagi kreditor pemeng hak tanggungan untuk
melakukan eksekusi apabila debitor wanprestasi dan hal ini juga
telah ditentukan di dalam Pasal 20 UUHT.
(2) Pemberian Hak bagi Kreditor Pemegang Hak Tanggungan
untuk Melakukan Perlawanan atas Penangguhan Eksekusi
(Stay) Tidak Cukup untuk Melindungi Hak Kreditor
Pemegang Hak Tanggungan
Penangguhan eksekusi (stay) yang diberlakukan atas
benda jaminan tentunya akan membatasi ruang gerak bagi
kreditor pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi
sendiri atas benda jaminan tersebut, sehingga apabila dilakukan
tanpa dasar yang tepat penangguhan eksekusi tersebut akan
merugikan kreditor pemegang hak tanggungan. Berakhirnya
jangka waktu eksekusi demi hukum terjadi saat kepailitan
diakhiri lebih awal atau setelah terjadinya insolvensi
sebagaimana diatur pada Pasal 57 ayat (1) yang berbunyi:
“Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1)
berakhir demi hukum pada saat kepailitan diakhiri lebih cepat
atau pada saat dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Pasal 178 ayat (1) UU
Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Jika dalam rapat pencocokan
piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana
perdamaian yang ditawarkan tidak diterima,atau pengesahan
23
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis:Kepailitan, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm 58
35
perdamaian ditolak berdasarkan putusan yangtelah memperoleh
kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam
keadaan insolvensi”.
Berdasarakan kedua pasal tersebut berakhirnya jangka
waktu penangguhan eksekusi (stay) dapat terjadi karena
berakhirnya kepailitan lebih cepat atau terjadinya insolvensi,
yaitu suatu keadaan yang terjadi jika jumlah boedel pailit lebih
kecil daripada jumlah tagihan utang yang harus dibayar
sehingga mengakibatkan tidak dapat terbayar lunasnya seluruh
tagihan utang, sehingga pembagian dilakukan secara seimbang
berdasarkan presentase utang masing-masing kreditor,
dikecualikan bagi kreditor pemegang hak tanggungan yang
memiliki kedudukan yang lebih diutamakan dari kreditor
konkuren.
Berhentinya penangguhan eksekusi (stay) selain
berdasarkan kedua alasan tersebut dapat juga diakhiri dengan
dikabulkannya upaya hukum pengangkatan penangguhan yang
diajukan kreditor pemegang hak tanggungan, sebagaimana
diatur pada Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) UU Kepailitan dan
PKPU. Pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi:
“Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat
mengajukan permohonan kepada Kurator untuk
mengangkatpenangguhan atau mengubah syarat penangguhan
tersebut”. Pasal 57 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi:
“Apabila Kurator menolak permohonan sebagaimana
dimaksudpada ayat (1), Kreditor atau pihak ketiga dapat
mengajukanpermohonan tersebut kepada Hakim Pengawas”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut kreditor pemegang
hak tanggungan dapat mengajukan permohonan pengangkatan
penangguhan eksekusi apabila penangguhan eksekusi tersebut
dilakukan tanpa adanya perlindungan kepada benda jaminan
36
yang berakibat akan merugikan hak kreditor pemegang hak
tanggungan, adapun upaya hukum permohonan pengangkatan
penangguhan eksekusi tersebut dapat diajukan kepada kurator
dan apabila ditolak oleh kurator maka kemudian dapat diajukan
kepada hakim pengawas.
Prosedur untuk mengajukan upaya hukum pengangkatan
penangguhan eksekusi, adalah sebagai berikut:
(a) Kreditor pemegang hak tanggungan mengajukan permohonan
pengangkatan penanguhan eksekusi kepada kurator24
.
(b) Apabila permohonan ditolak oleh kurator, maka kreditor
pemegang hak tanggungan dapat mengajukan kepada hakim
pengawas25
.
(c) Hakim Pengawas dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari
setelah permohonan diterima,wajib memerintahkan kurator
untuk segera memanggil dengansurat tercatat atau melalui
kurir, kreditor pemegang hak tanggungan untuk didengar
pada siding pemeriksaan atas permohonan tersebut26
.
(d) Hakim Pengawas wajib memberikan penetapan atas
permohonan dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari27
.
(e) Penetapan Hakim Pengawas dapat berupa diangkatnya
penangguhan untuk satu atau lebih Kreditor, dan/atau
menetapkan persyaratan tentang lamanya waktu
penangguhan, dan/atau tentang satu atau beberapa agunan
yang dapatdieksekusi oleh Kreditor28
.
24Pasal 57 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. 25Pasal 57 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 26Pasal 57 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 27
Pasal 57 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU 28Pasal 58 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
37
Terkait dikabulkan tidaknya permohonan pengangkatan
penangguhan, Hakim Pengawas mempertimbangkan29
:
(a) Lamanya jangka waktu penangguhan yang sudah
berlangsung;
(b) Perlindungan kepentingan kreditor;
(c) Kemungkinan terjadinya perdamaian;
(d) Dampak penangguhan tersebut atas kelangsungan usaha dan
(e) Manajemen usaha Debitor serta pemberesan harta pailit.
Apabila Hakim Pengawas menolak untuk mengangkat
atau mengubah persyaratan penangguhan tersebut, Hakim
Pengawas wajib memerintahkan agar Kurator memberikan
perlindungan yang dianggap wajar untuk melindungi
kepentingan pemohon30
. Jika upaya hukum pengangkatan
penangguhan yang dilakukan oleh kreditor pemegang hak
tanggungan tersebut juga ditolak oleh hakim pengawas, maka
upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan
mengajukan perlawanan kepada hakim pengawas melalui
pengadilan niaga sebagaimana diatur pada Pasal 58 ayat (3) UU
Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Terhadap penetapan
Hakim Pengawas, Kreditor atau pihak ketigayang mengajukan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2)
atau Kurator dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan
dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari setelah putusan
diucapkan, dan Pengadilan wajib memutuskan perlawanan
tersebut dalam jangka waktu palinglambat 10 (sepuluh) hari
setelah perlawanan tersebut diterima”. Pasal 58 ayat (4) UU
Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa: “Terhadap putusan
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat
diajukan upaya hukum apapun termasukpeninjauan kembali.
29
Pasal 57 ayat (6) UU Kepailitan dan PKPU 30Pasal 58 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU
38
Ketentuan yang memberikan kesempatan kepada
kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengajukan upaya
hukum permohonan pengangkatan dan perlawanan penetapan
hakim pengawas atas penangguhan eksekusi merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi kreditor separatis terkait hak eksekusi
yang dimilikinya, akan tetapi ketentuan ini menurut pendapat
penulis, tidak cukup untuk melindungi kepentingan kreditor
pemegang hak tanggungan, karena pertimbangan hukum hakim
pengawas dalam memberikan putusan lebih condong kepada
kepentingan kreditor konkuren dan debitor pailit terkait
dikabulkan tidaknya permohonan pengangkatan penangguhan,
yang masih dipertimbangkannya kemungkinan tercapainya
perdamaian dan prospektif tidaknya usaha debitor, padahal
UUHT secara tegas menentukan apabila terjadi wanprestasi
yang dilakukan oleh debitor, maka kreditor pemegang hak
tanggungan dapat melakukan eksekusi, hak ini sebenarnya
diakui oleh UU Kepailitan dan PKPU akan tetapi UU Kepailian
dan PKPU telah mengamputasi hak tersebut dengan
memberikan ketentuan penangguhan (stay) yang merugikan dan
menghambat pelaksanaan hak kreditor pemegang hak
tanggungan tersebut.
(3) Bentuk Pertanggungjawaban Kurator terkait Penjualan
Benda Jaminan yang Dilakukan oleh Kurator Tidak diatur
Secara Tegas
Hal krusial yang tidak diatur secara tegas oleh UU
Kepailitan dan PKPU adalah pemberian kewenangan bagi
kurator untuk menjual benda jaminan yang tidak dieksekusi oleh
kreditor pemegang hak tanggungan selama jangka waktu 2 (dua)
bulan setelah berlakunya masa eksekusi, hal ini diatur pada
Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:
“Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
39
(1), Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi
agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak Kreditor
pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kreditor pemegang hak
tanggungan hanya diberikan waktu selama 2 (dua) bulan untuk
melakukan eksekusi benda jaminan, dan setelah lewatnya jangka
waktu tersebut berakhir kewenangan yang dimiliki oleh kreditor
pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi benda jaminan
tersebut demi hukum beralih kepada kurator dan penjualan
benda jaminan menjadi tanggung jawab kurator. Beralihnya
kewenangan eksekusi benda jaminan kepada kurator membuat
semakin inkonsisten sikap UU Kepailitan dan PKPU terhadap
kreditor pemegang hak tanggungan, yang pada ketentuan Pasal
55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU mengakui eksistensi hak
eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan, akan tetapi
kemudian meniadakan hak eksekusi tersebut jika kreditor
pemegang hak tanggungan belum melakukan eksekusi dalam
jangka waktu 2 (dua) bulan, ketentuan ini juga menghancurkan
sendi-sendi hukum jaminan yang menjamin kemudahan
eksekusi bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk
melakukan eksekusi apabila debitor wanprestasi.
Terkait pelaksanaan kewenangan eksekusi oleh kurator
dilaksanakan sebagai berikut:
(a) Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata
cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan31
.
(b) Dalam hal penjualan di muka umumtidak tercapai maka
penjualan di bawah tangandapat dilakukan dengan izin
Hakim Pengawas32
.
31
Pasal 185 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. 32Pasal 185 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.
40
(c) Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak
dapatdibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan
yang haru dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin
Hakim Pengawas33
.
(d) Kurator berkewajiban membayar piutang Kreditor
yangmempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga
bendaitu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit34
.
Mekanisme penjualan benda jaminan yang dilakukan
oleh kurator layaknya kewenangan yang diberikan kepada
pemegang hak tanggungan oleh UUHT, yaitu dilakukan di muka
umum melalui pelelangan di Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL) setempat. Permohonan Lelang
Harta Pailit dapat diajukan oleh kurator Harta Pailit yaitu Balai
Harta Peninggalan (BHP), atau kurator lain. Adapun
prosedurnya sebagai berikut35
:
(a) BHP atau Kurator mengajukan permohonan lelang pada
Kantor Lelang Negara (KLN) setempat, dengan melampirkan
Putusan Pailit dan Bukti-bukti Kepemilikan Atas Harta Pailit.
(b) KLN menetapkan tanggal dan waktu lelang.
(c) Dalam obyek lelang berupa tanah, KLN meminta SKPT ke
Kantor Pertanahan setempat.
(d) BHP atau Kurator menentukan Harga Limit dari Harta Pailit
dan mengadakan Pengumuman Lelang.
(e) Tiga hari sebelum lelang, BHP atau Kurator menyerahkan
bukti Pengumuman Lelang kepada KLN.
(f) Para peminat/peserta lelang harus menyetor uang jaminan
lelang dan dapat meminta penjelasan/keterangan mengenai
33Pasal 185 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU. 34Pasal 185 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU. 35
Elijana. S, dkk, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 556-557
41
objek lelang kepada KLN, BHP, atau Kurator serta bila perlu
dapat meminjam objek lelang.
(g) Pejabat lelang menetapkan pemenang lelang pada saat lelang
dan menandatangani Risalah lelang bersama-sama Penjual
(BHP/Penjual) dan Pemenang Lelang (Pembeli).
(h) Pembayaran Pemenang/Pembeli Lelang secara Kontan,
terdiri dari Harga Pokok, Bea Lelang Pembeli dan Uang
Miskin sesuai dengan ketentuan.
(i) BHP/Kurator dapat menerima hasil lelang setelah dipotong
Bea Lelang dan PPh (dalam hal objek lelang berupa tanah
dan atau bangunan)
(j) Pemenang/Pembeli Lelang dapat meminta Petikan Risalah
Lelang ke KLN untuk dipergunakan sebagai dasar peralihan
objek lelang.
Selain melalui lelang, penjualan benda jaminan oleh
kurator dapat juga melalui penjualan di bawah tangan atas izin
hakim pengawas, terkait izin yang diberikan oleh hakim
pengawas, maka hakim pengawas akan turut bertanggung jawab
atas penjualan di bawah tangan yang dilaksanakan oleh kurator.
Penjualan di bawah tangan yang dilakukan kurator ini sangat
riskan dengan praktik penyelewengan karena bisa saja kurator
melakukan kongkalikong dengan pihak pembeli ataupun debitor
pailit yang pada akhirnya menyebabkan benda jaminan terjual
dengan harga rendah dan merugikan kepentingan kreditor
pemegang hak tanggungan.
Ketentuan tersebut mengisyaratan penjualan barang
jaminan Hak Tanggungan bersama-sama menjadi satu dengan
seluruh harta (boedel) pailit yang penjualannya akan dilakukan
oleh kurator36
. Penjualan atas benda jaminan yang dilakukan
oleh kurator sangat riskan akan merugikan hak dari kreditor
36J. Andy Hartanto. Op.Cit, hlm 107
42
pemegang hak tanggungan, oleh karena itu pelaksanaan
penjualan yang dilakukan oleh kurator tersebut harus disertai
adanya mekanisme pertanggungjawaban kurator,
pertanggungjawaban kurator terkait kepailitan diatur pada Pasal
72 UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Kurator
bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang
menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”. Berdasarkan
ketentuan tersebut, apabila terdapat unsur kesalahan atau
kelalaian pada saat penjualan benda jaminan yang
mengakibatkan benda jaminan terjual dengan harga yang tidak
wajar ataupun adanya persekongkolan yang dilakukan kurator
dengan pembeli benda jaminan dan mengakibatkan piutang yang
dimiliki kreditor pemegang hak tanggungan tidak dapat terbayar
sepenuhnya, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat
melakukan mekanisme meminta pertanggungjawaban kurator
karena telah mengakibatkan kerugian bagi dirinya. Ketentuan
pertanggungjawaban kurator yang diatur oleh UU Kepailitan
dan PKPU tidak mengatur secara tegas bentuk-bentuk
pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap kurator
akan lebih baik jika pertanggungjawaban tersebut ditegaskan
juga mengenai ketentuan pidana dan perdata yang dapat
dikenakan kepada kurator, selain itu unsur kesalahan dan
kelalaian yang ditentukan tersebut hendaknya lebih dijabarkan
unsur-unsurnya sehingga tidak menjadi pasal karet yang sulit
untuk menjerat kurator yang merugikan kepentingan kreditor
pemegang hak tanggungan.
Ini berarti kurator dalam melakukan pengurusan dan
pemberesan tidak dapat bertindak sewenang-wenang, karena
apabila ada perbuatan kurator yang merugikan harta pailit, maka
harta pribadi kurator turut bertanggung jawab atas perbuatan
43
tersebut37
. Selain itu, pada diri kurator juga diwajibkan untuk
memberikan pelaporan kepada hakim pengawas terkait dengan
penyelenggaran tugas dan kewajibannya, sebagaimana diatur
pada Pasal 74 UU ayat (1) Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:
“Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas
mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3
(tiga) bulan”. Ketentuan ini kurang efektif karena tidak adanya
ketentuan mengenai sanksi apabila kurator tidak memberikan
laporan tersebut, selain itu waktu 3 (tiga) bulan bahkan dapat
diperpanjang oleh hakim pengawas sangat tidak efektif karena
terlalu lama, sehingga sebaiknya ada mekanisme bagi kreditor
pemegang hak tanggungan untuk sewaktu-waktu dapat meminta
laporan kepada kurator apabila dikhawatirkan ada tindakan-
tindakan yang dilakaukan oleh kurator yang akan merugikan.
Upaya hukum lain yang dapat digunakan oleh kreditor
pemegang hak tanggungan adalah mengajukan keberatan atas
tindakan yang diambil oleh kurator terkait pengurusan dan
pemberesan benda jaminan, sebagaimana diatur Pasal 77 ayat
(1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Setiap Kreditor,
panitia kreditor, dan Debitor Pailit dapat mengajukan surat
keberatan kepada Hakim Pengawas terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh Kurator atau memohon kepada Hakim Pengawas
untuk mengeluarkan surat perintah agar Kurator melakukan
perbuatan tertentu atau tidak melakukan perbuatan yang sudah
direncanakan”.
Mekanisme pengajuan surat keberatan yang dapat
diajukan oleh kreditor, termasuk di dalamnya kreditor pemegang
hak tanggungan merupakan sarana perlindungan hukum bagi
kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperjuangkan hak
yang dimilikinya atas benda jaminan yang berada di dalam
37Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 151
44
pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator.
Tahap-tahap pengajuan keberatan adalah sebagi berikut:
(a) Kreditor pemegang hak tanggungan mengajukan surat
keberatan kepada kurator melalui hakim pengawas.
(b) Hakim Pengawas harus menyampaikan surat keberatan
kepada Kurator paling lambat 3 (tiga) hari setelah surat
keberatan diterima38
.
(c) Kurator harus memberikan tanggapan kepada Hakim
Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah menerima surat
keberatan39
.
(d) Hakim Pengawas harus memberikan penetapan paling lambat
3 (tiga) hari setelah tanggapan dari Kurator diterima40
.
Menurut pendapat Jerry Hoff, terhadap kerugian yang
timbul sebagai akibat dari tindakan kurator bisa menjadi
tanggung jawab pribadi kurator, yang berarti menjadi beban
harta pribadi kurator untuk mengganti kerugian tersebut. Di sisi
lain, kerugian yang muncul sebagai akibat atas bertindak atau
tidaknya kurator dibebankan pada harta pailit untuk mengganti
kerugian tersebut41
. Tindakan yang dilakukan kurator terkait
penjualan benda jaminan yang merugikan bagi kreditor
pemegang hak tanggungan dapat dikategorikan sebagai bentuk
perbuatan melawan (onrechtmatige daad), sebagaimana diatur
pada Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Penjualan benda
jaminan yang dilakukan oleh kurator apabila tidak dilakukan
dengan profesional dan transparan yang menyebabkan benda
38 Pasal 77 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU 39Pasal 77 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 40Pasal 77 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 41
Imran Nating, Pernanan Dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 116
45
jaminan terjual dengan harta rendah dan merugikan kreditor
pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pelunasan
piutangnya, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat
mendalilkan ketentuan perbuatan melawan hukum tersebut untuk
menggugat kurator.
(4) Eksekusi Benda Jaminan Sulit Dilakukan dalam Jangka
Waktu 2 (dua) Bulan
Ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
mewajibkan kreditor pemegang hak tanggungan harus sudah
melakukan eksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua)
bulan, jangka waktu yang diberikan oleh UU Kepailitan dan
PKPU tersebut apabila tidak ditaati akan memberikan
konsekuensi yuridis yakni setelah lewatnya jangka waktu
tersebut benda jaminan wajib diserahkan kepada kurator, dan
kurator akan melakukan penjualan benda jaminan tersebut
beserta boedel pailit lainnya dalam rangka pemberesan boedel
pailit. Proses eksekusi benda jaminan yang dilakukan oleh
kreditor pemegang hak tanggungan lazimnya dilakukan dengan
mengggunakan prosedur lelang melalui Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) yang merupakan
lingkup Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Pengaturan terkait prosedur lelang di Indonesia diatur di
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia
Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Pasal 1 angka (1) PMK Nomor 27/PMK.06/2016 berbunyi:
"Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum
dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang
semakin meningkatatau menurun untuk mencapai harga
tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang”. Lelang
dibedakan menjadi 2, yaitu lelang eksekusi dan lelang non
eksekusi, lelang atas benda jaminan merupakan jenis lelang
46
eksekusi sebagaimana diatur Pasal 1 angka (4) PMK Nomor
27/PMK.06/2016 yang berbunyi: “Lelang Eksekusi adalah
lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan
pengadilan,dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan
itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan”.
Berikut ini adalah jangka waktu penyelesaian lelang
melalui KPKNL: Lelang Eksekusi barang tidak bergerak atau
barang bergerak yang dijualbersama dengan barang tidak
bergerak 34 (tiga puluh empat) hari kerjadengan rincian:
(a) Jangka waktu penetapan hari dan tanggal lelang 1 (satu) hari
sejak dokumen permohonan lelang telah lengkap;
(b) Penyusunan Pengumuman Lelang 1 (satu) hari; Pengumuman
Lelang Pertama 15 (lima belas) hari dan Pengumuman
Lelang Kedua 15 (lima belas) hari, sehingga jumlah totalnya
adalah 30 (tiga puluh) hari;
(c) Pelaksanaan Lelang 1 (satu) hari;
(d) Penyampaian Kutipan Risalah Lelang 1 (satu) hari kerja
sejakpermintaan Kutipan Risalah Lelang dari pemenang
lelang42
.
Berdasarkan jangka waktu yang ditentukan pada Standar
Prosedur Operasi (Standard Operating Procedure) Kantor
Pelayanan KPKNL, kreditor pemegang hak tanggungan
memiliki kesempatan untuk melaksanakan penjualan benda
jaminan melalui KPKNL karena hanya memerlukan jangkat
waktu paling lama 34 (tiga puluh empat). Apabila saat
pelaksanaan lelang tidak ada peserta lelang sehingga tidak ada
pemenang lelang, maka kreditor pemegang hak tanggungan
dapat mengajukan permohonan kepada KPKNL untuk
42
Standar Prosedur Operasi (Standard Operating Procedure) Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang (KPKNL)
47
menyelenggarakan lelang kembali yang lazim disebut lelang
ulang sebagaimana diatur Pasal 1 angka (24) PMK Nomor
27/PMK.06/2016 yang berbunyi: “Lelang Ulang adalah
pelaksanaan lelang yang dilakukan untuk mengulang lelang
yang tidak adapeminat, lelang yang ditahan atau lelang yang
Pembelinya wanprestasi”. Meskipun secara teori dapat jangka
waktu lelang bisa dilaksanakan dalam jangka waktu 34 (tiga
puluh empat) hari dan masih adanya upaya lelang ulang, akan
tetapi hal ini akan terasa sulit jika benda jaminan yang dibebani
hak tanggungan berjumlah banyak dengan nilai yang tinggi.
Di dalam praktik sangat sulit bagi seorang Kreditor
untnuk dapat melakukan eksekusi Hak-hak Jaminannya dalam
jangka waktu 2 (dua) bulan. Banyak faktor di luar kendali
Kreditor Pemegang Hak Jaminan yang berlarut-larutnya
eksekusi Hak Jaminan itu. Misalnya, mungkinkah bagi bank
untuk dapat menjual sebuah pabrik semen atau sebuah hotel
bintang 5 (lima) yang merupakan agunan bagi bank berdasarkan
pembebanan Hak Tanggungan hanya dalam jangka waktu 2
(dua) bulan saja43
. Sudah seharusnya tidak dilakukan
pembatasan jangka waktu eksekusi bagi kreditor pemegang hak
tanggungan, untuk memberikan perlindungan kepada kreditor
lain cukup dengan ketentuan mekanisme pertanggung jawaban
penyelenggaraan lelang saja.
.
Meskipun banyak menyudutkan kepentingan kreditor
pemegang hak tanggungan, akan tetapi ada beberapa ketentuan
43 Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit, hlm. 292
48
UU Kepailitan dan PKPU yang terkait kreditor pemegang hak
tanggungan yang harus tetap dipertahankan karena memberikan
perlindungan bagi pemegang hak tanggungan, yaitu:
(1) Hak Kreditor Pemegang Hak Tanggungan Menggabungkan
Diri Menjadi Kreditor Konkuren Apabila Piutangnya
Belum Terlunasi dari Benda Jaminan
Jika dari awal diperkirakan hasil penjualan barang objek
jaminan hak tanggungan tidak akan mencukupi pembayaran
seluruh utang dari kreditor separatis pemegang hak tanggungan,
kreditor separatis pemegang hak tanggungan selain dapat
mendaftarkan diri selaku kreditor separatis dapat juga
mendaftarkan diri lagi selaku kreditor bersaing (konkuren)
terhadap sisa utang yang diperkirakan tidak akan dicukupi oleh
hasil eksekusi lelang jaminan utang tersebut . Meskipun hal ini
jarang terjadi karena biasanya nilai taksiran benda jaminan lebih
rendah dari nilai jualnya, akan tetapi apabila terjadi salah
perhitungan ataupun penurunan nilai jual karena faktor alam
akan menyebabkan nilai benda jaminan tidak cukup untuk
melunasi seluruh utang debitor kepada kreditor pemegang hak
tanggungan.
Adakalanya hasil penjualan melalui lelang masih tidak
cukup untuk melunasi utang debitor pailit, sehingga kreditor
pemegang hak tanggungan dapat mengatasi hal tersebut dengan
cara menggabungkan diri sebagai kreditor konkuren atas
kekurangan pembayaran tersebut. Ketentuan ini diatur pada
Pasal 60 ayat (3), Pasal 138 dan Pasal 189 ayat (5) UU
Kepailitan dan PKPU. Pasal 60 ayat (3) UU Kepailitan dan
PKPU berbunyi: “Dalam hal hasil penjualan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang
yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat
mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari
49
harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan
permintaan pencocokan piutang”. Pasal 138 UU Kepailitan dan
PKPU menentukan bahwa: “Kreditor yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak
agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang
diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan
dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut
kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan
benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak
yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut,
tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang
menjadi agunan atas piutangnya”. Lebih lanjut Pasal 189 ayat
(5) UU Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa: “Dalam hal
hasil penjualan benda sebagaimana dimaksud padaayat (4) tidak
mencukupi untuk membayar seluruh piutangKreditor yang
didahulukan maka untuk kekurangannya mereka berkedudukan
sebagai kreditor konkuren”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, UU
Kepailitan dan PKPU memberikan perlindungan hukum kepada
kreditor pemegang hak tanggungan atas pembayaran utang
debitor dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan diri
sebagai kreditor konkuren terkait kekurangan pelunasaan
pembayaran yang diperoleh dari eksekusi atas benda jaminan
tanpa perlu melepaskan kedudukannya selaku kreditor separatis,
sehingga hak dari kreditor pemegang hak tanggungan atas
pembayaran piutang yang dimilikinya lebih terjamin.
Berdasarkan ketentuan tersebut kreditor pemegang hak
tanggungan juga memiliki legal standing untuk mengajukan
permohonan pailit kepada debitornya, meskipun secara hukum
kedudukan kreditor pemegang hak tanggungan sudah sangat
terlindungi dengan adanya titel eksekutorial pada sertifikat hak
50
tanggungan sehingga bisa melakukan eksekusi secara langsung
atas benda jaminan tersebut akan tetapi terkadang karena
kesalahan analisis benda jaminan (collateral) yang ternyata
memiliki nilai dibawah nilai analisis ataupun terjadinya suatu
musibah yang menyebabkan turunnya nilai benda jaminan, oleh
karena itu akan lebih menguntungkan jika ditempuh upaya
hukum pengajuan permohonan pailit.
(2) Upaya Hukum Kasasi yang dapat Diajukan oleh Pihak yang
Tidak Sebagai Subyek pada Permohonan Pailit tingkat
Pertama di Pengadilan Niaga
Kreditor pemegang hak tanggungan yang tidak sebagai
subyek pada permohonan pailit di pengadilan niaga dan merasa
tidak puas atas putusan pailit yang dijatuhkan kepada debitor,
maka dapat mengajukan upaya hukum kasasi sebagaimana
diatur pada Pasal 11 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU yang
berbunyi: “Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), selain dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang
merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat
diajukan oleh Kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan
atas permohonan pernyataan pailit”. Berdasarkan ketentuan
pasal tersebut, pihak yang dapat mengajukan kasasi atas putusan
pailit yang dijatuhkan pengadilan niaga kepada debitor tidak
terbatas pada pihak-pihak yang sebagai subyek pada
permohonan pailit pada tingkat pertama di pengadilan saja, akan
tetapi dapat pula diajukan oleh kreditor lain yang merasa tidak
puas akan putusan pailit tersebut, termasuk di dalamnya kreditor
kurator. Tahap-tahap upaya hukum kasasi terkait putusan
kepailitan adalah sebagai berikut:
(a) Permohonan kasasidiajukan paling lambat 8 (delapan) hari
setelah tanggal putusanyang dimohonkan kasasi diucapkan,
51
dengan mendaftarkankepada Panitera Pengadilan yang telah
memutus permohonanpernyataan pailit44
.
(b) Panitera mendaftar permohonan kasasi pada tanggal
permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada
pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani
panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan pendaftaran45
.
(c) Pemohon kasasi wajib menyampaikan kepada
PaniteraPengadilan memori kasasi pada tanggal permohonan
kasasididaftarkan46
.
(d) Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan
memorikasasikepada pihaktermohon kasasi paling lambat 2
(dua) hari setelah permohonankasasi didaftarkan47
.
(e) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori
kasasikepada panitera Pengadilan paling lambat 7 (tujuh) hari
setelahtanggal termohon kasasi menerima memori kasasidan
panitera Pengadilan wajibmenyampaikan kontra memori
kasasi kepada pemohon kasasipaling lambat 2 (dua) hari
setelah kontra memori kasasi diterima48
.
(f) Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori
kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara yang
bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lambat 14
(empat belas) hari setelah tanggal permohonan kasasi
didaftarkan49
.
(g) Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi
danmenetapkan hari sidang paling lambat 2 (dua) hari
44 Pasal 11 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 45Pasal 11 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU 46Pasal 12 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 47Pasal 12 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU 48
Pasal 12 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU 49Pasal 12 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU
52
setelahtanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah
Agung50
.
(h) Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan
palinglambat 20 (dua puluh) hari dan Putusan atas
permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat60 (enam
puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterimaoleh
Mahkamah Agung51
.
Ketentuan yang termuat pada Pasal 11 ayat (3) ini
merupakan payung hukum bagi kreditor pemegang hak
tanggungan apabila tidak puas atas putusan pailit tersebut, dan
merasa putusan pailit tersebut akan merugikan hak yang
dimilikinya, oleh karena itu adanya kesempatan bagi kreditor
yang tidak termasuk subyek pada tingkat pertama untuk
mengajukan kasasi merupakan bentuk perlindungan hukum bagi
pemegang hak tanggungan guna memperjuangkan haknya
supaya tidak terkena akibat kepailitan jika kepailitan tersebut
olehnya dianggap akan merugikan.
Penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi terhadap
UU Kepailitan dan PKPU mutlak harus dilakukan demi terciptanya
konsistensi UU Kepailitan dan PKPU sekaligus supaya sesuai dengan
UUHT dan memberikan perlindungan hukum bagi kreditor pemegang
hak tanggungan, ketentuan seperti ini apabila tidak direvisi akan
menyebabkan pertentangan antara kreditor pemegang hak tanggungan
dengan kreditor konkuren maupun dengan kurator selaku pengurus dan
pemberes boedel pailit, sebab berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU
ada mekanisme yang harus ditempuh oleh kreditor pemegang hak
tanggungan yaitu penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka
50
Pasal 13 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 51Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU Kepailitan dan PKPU
53
waktu eksekusi yang akan dapat memicu terjadinya konflik pada
pelaksanaannya, sehingga UU Kepailitan dan PKPU harus direvisi agar
terjadi konsistensi dan kejelasan materi muatan yang terkandung di
dalamnya sehingga memberikan perlindungan hukum bagi kreditor
pemegang hak tanggungan atas hak eksekusinya.
Penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu
eksekusi harus dihilangkan, karena pemberlakuan ketentuan tersebut
sangat merugikan bagi kreditor pemegang hak tanggungan sekaligus
dapat melemahkan sendi-sendi hukum jaminan yang dapat
menghilangkan kepercayaan pihak kreditor untuk melakukan perjanjian
utang piutang karena lemahnya kedudukan kreditor pemegang hak
tanggungan apabila terjadi kepailitan.
54
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap
inkonsistensi penangguhan eksekusi dan pembatasan jangka waktu
eksekusi menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terhadap pengakuan hak
eksekusi kreditor pemegang hak tanggungan terlihat dari sikap UU
Kepailitan dan PKPU yang memberikan pengakuan atas hak eksekusi
kreditor pemegang hak tanggungan akan tetapi kemudian menjadi
tidak realistis dengan pemberlakukan ketentuan terkait penangguhan
eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. Inkonsistensi
UU Kepailitan dan PKPU tersebut mengakibatkan pertentangan pasal
56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU dengan pasal 21
UUHT, benturan kepentingan para kreditor, tercapainya tujuan hukum
uu kepailitan dan pkpu dan uuht, serta terlaksananya asas-asas hukum
UU Kepailitan dan PKPU dan UUHT.
2. Perlunya dilakukannya upaya-upaya untuk membuat UU Kepailitan
dan PKPU menjadi konsisten dengan cara: penerapan teori keadilan,
penerapan asas lex specialis derogat legi generalis serta
penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi yang terhadap
UU Kepailitan dan PKPU dengan menghapuskan ketentuan Pasal 56
ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1) terkait penangguhan eksekusi (stay) dan
pembatasan jangka waktu eksekusi sebab ketentuan tersebut tidak
sesuai dengan teori keadilan karena tidak terlindunginya hak kreditor
pemegang hak tanggungan sebab: perlindungan hukum atas benda
131
55
jaminan yang ditangguhkan tidak memberikan keadilan bagi kreditor
pemegang hak tanggungan, pemberian hak bagi kreditor pemegang
hak tanggungan untuk melakukan perlawanan atas penangguhan
eksekusi (stay) tidak cukup untuk melindungi hak kreditor pemegang
hak tanggungan, bentuk pertanggungjawaban kurator terkait penjualan
benda jaminan yang dilakukan oleh kurator tidak diatur secara tegas,
serta eksekusi benda jaminan sulit dilakukan dalam jangka waktu 2
(dua) bulan, dan terkait perlindungan hukum yang harus
dipertahankan adalah hak kreditor pemegang hak tanggungan
menggabungkan diri menjadi kreditor konkuren apabila piutangnya
belum terlunasi dari benda jaminan dan upaya hukum kasasi yang
dapat diajukan oleh pihak yang tidak sebagai subyek pada
permohonan pailit tingkat pertama di pengadilan niaga.
B. Implikasi
1. Upaya untuk membuat konsisten UU Kepailitan dan PKPU perlu
dilakukan, yang bertujuan untuk menghindarkan benturan kepentingan
antara para kreditor akibat adanya pertentangan antara Pasal 56 ayat
(1) dan Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, mewujudkan asas-
asas dan tujuan hukum yang dianut dan tercantum di dalam UU
Kepailitan dan PKPU dan UUHT, serta terciptanya undang-undang
yang memberikan perlindungan hukum bagi para pihak.
2. Penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi terhadap UU
Kepailitan dan PKPU merupakan suatu keharusan untuk dilakukan
oleh pemerintah karena dengan adanya revisi tersebut dapat
menciptakan perlindungan hukum bagi pemegang hak tanggungan
atas hak eksekusi yang dimilikinya.
56
C. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan terkait dengan inkonsistensi
penangguhan eksekusi dan pembatasan jangka waktu eksekusi menurut
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, penulis mengambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Para pihak yang terkait di dalam proses kepailitan sebaiknya
menghormati dan mengakui adanya hak eksekusi yang dimiliki oleh
pemegang hak tanggungan, karena hak tersebut secara hukum telah
ditetapkan dan diatur oleh UUHT.
2. Hendaknya penyempurnaan pengaturan dengan melakukan revisi
terhadap UU Kepailitan dan PKPU dengan menghilangkan ketentuan
terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu
eksekusi sehingga memberikan perlindungan hukum bagi kreditor
pemegang hak tanggungan dan mendukung eksistensi pranata hukum
hak jaminan berupa hak tanggungan
57
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku:
A.A. Andi Prayitno. 2010. Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?. Surabaya:
Putra MediaNusantara.
Abdul Ghofur Anshori. 2013. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Prespektif
Hukum dan Etika. Yogyakarta: UII Press.
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Achmad Alie. 2002. Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ade Maman Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja. 2002. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
A.P. Parlindungan. 1996. Komentar Undang-Undang Tentang Hak
Tanggungan & Sejarah Terbentuknya. Bandung: CV. Mandar Maju.
Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum – Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing.
Bernard Nainggolan. 2011. Perlindungan Hukum Seimbang Debitor,
Kreditor dan Pihak-Pihak Berkepentingan dalam Kepailitan. Bandung:
PT. Alumni
Burhan Ashofa. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Dahlan Siamat. 1995. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia.
Dijan Widijowati. 2012. Hukum Dagang. Yogyakarta: CV. Andi.
Elijana.S, dkk. 2001. Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung:Alumni.
G.H.S. Lumbun Tobing. 1999. Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta:
Erlangga.
Gatot Supramono. 2014. Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: PT. Kencana
Prenamedia Group.
Gunawan Widjaja. 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit.
Jakarta: Forum Sahabat.
58
Habib Adjie. 2014. Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT. PT
Citra Aditya Bakti:Bandung.
__________. 2000. Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan atas
Tanah. Bandung: Mandar Maju..
Herowati Poesoko. 2008. Parate Executie Obyek Hak Tanggungan.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo.
Imran Nating. 2004. Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator dalam
Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta:PT. RajaGrafindo
Persada.
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press.
J. Andy Hartanto. 2015. Hukum Jaminan dan Kepailitan-Hak Kreditor
Separatis dalam Pembagian Hasil Penjualan Benda Jaminan Debitor
Pailit. Surabaya: LaksBang Justitia.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Teori Dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara.
Jakarta: InHilco.
J.J.M. Wuisman. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: UI Press.
J. Satrio. 2002. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Johny Ibrahim. 2006.Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika.
Karen Lebacqz. 2013.Six Theories of Justice (edisi terjemahan).
Bandung:Nusa Media.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004.Pedoman Menangani Perkara
Kepailitan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
_________________________________. 2005. Seri Hukum Harta
Kekayaan: Hak Tanggungan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
M. Bahsan. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit perbankan
Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
M. Hadi Subhan. 2008. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di
Peradilan. Jakarta:Kencana Prenadamedia Group.
M. Yahya Harahap. 2005. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang
Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyoto.2016. Legal Standing. Yogyakarta: Cakrawala Media.
59
Munir Fuady. 2014. Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
___________. 2013. Hukum Jaminan Utang. Jakarta: Erlangga.
Mochtar Kususmaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni.
Novianto M. Hantaro. 2012. Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan
Mengenai Peraturan Daerah,Serta Uji Materi Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Jakarta: Bappenas.
Peter Mahmud Marzuki. 2007.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia.
Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
R. Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradinya Paramita.
________. 1991.Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut
Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Rachmadi Usman.2008.Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Rahayu Hartini. 2007.Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press.
____________. 2009.Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia:
Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Salim HS. 2004.Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Siti Anisah. 2008.Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam
Hukum Kepailitan di Indonesia. Yogyakarta: Total Media.
Soedikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Liberty.
________________. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
60
Sudarsono. 2007. Kamus Hukum.Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta.
Sunarmi. 2010. Hukum Kepailitan Edisi 2. Jakarta: PT. Sofmedia.
Sutan Remi Sjahdeinni. 1999. Hak Tanggungan-Asas-Asas Ketentuan
Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian
Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan. Jakarta: Alumni.
___________________. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami
Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
___________________. 2009.Hukum Kepailitan:Memahami Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti.
Tan Kamelo. 2004. Hukum Jaminan Fidusia. Bandung: Alumni.
Tan Thong Kie.2011. Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktik Notaris.
Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Wawan Muhwan Hariri. 2012.Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: CV.
Pustaka Setia.
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman.2013.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Zainal Asikin. 2013. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang di Indonesia. Bandung: Pustaka Reka Cipta.
____________. 2013.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Dari Jurnal
Arnold Gulkowitz dan Brian E. Goldberg.2007. “Looking For Light at The
End of The Tunnel-Navigating The Subprime Mortgage Derivatives
Market in Banckruptcy”, dalam Bloomberg Corporate Law Journal
Volume 2.
Budi Agus Riswandi. 2014. “Sinkronisasi Pengadopsian Doktin
Perlindungan Hak Cipta Atas Pengaturan Teknologi Pengaman Dalam
Perundang-Undangan Hak Cipta DI Indonesia”. Penelitian Disertasi
Doktor UII.
61
David Adrian. 2014. “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Atas Objek
Hak Tanggungan Dari Upaya Sita Jaminan Oleh Pihak
Ketiga”,dalamLex PrivatumVolume II Nomor 1.
Ferdinando Emanuel Gudipung. 2015. “Implementasi Kewenangan Bank
Indonesia dalam Kepailitan Lembaga Perbankan”, dalam Jurnal Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum.
John W. Cairns. 2013. “Watson,Walton, And The History Of Legal
Transplants”, dalam Ga. J. Int’l & Comp. L. Vol 41.
Judith Greenstone Miller dan John C. Murray.2006. “Waivers of Automatic
Stay: Are They Enforceable (And Does the New Bankruptcy Act Make a
Difference)?, dalamProbate and Trust Law Journal Volume 41 Nomor
2.
Mark P. Cornell dan Kelly Ovitt Puc. 2009. “Debts, Divorce And
Bankruptcy Representing Family LawClients In A Down Economy”,
dalam New Hampshire Bar Journal.
Merdi Hajiji. 2013. “Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum
Indonesia”, dalam Jurnal RechtvindingVolume 2 Nomor 3.
Murdiono Sahupala. 2016.“Tugas Dan Wewenang Hakim Pengawas
Terhadap Pengurusan Dan Pemberesan Harta Debitor Pailit”, dalam Lex
Privatum, Volume IV Nomor 1.
Ni Nengah Sugihartini. 2015.“Pelelangan Obyek Hak Tanggungan Karena
Debitur Wanprestasi (Studi di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan
Lelang (KPKNL) Mataram)”, dalam Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Mataram
Ricardo Simanjuntak. 2009. “Efektivitas UU Kepailitan Dalam Perspektif
Kurator Dikaitkan Dengan Pemberesan Harta Pailit Perseroan Terbatas”,
dalam Jurnal Hukum BisnisVolume 28 Nomor 1, Jakarta: Yayasan
Pengembangan Hukum Bisnis.
Royke A. Taroreh.2014. “Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi
Benda Jaminan Debitor Pailit”, artikel dalam Jurnal Hukum Universitas
Samratulangi.Volume II Nomor 2.
Shandra Lisya Wandasari. 2013.“Sinkronisasi Peraturan Perundang-
Undangan dalam Mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana”, dalam
UNNES Law Journal.
Siti Anisah. 2009.“Studi Komparasi Terhadap Perlindungan Kepentingan
Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan”, dalam Jurnal Hukum
No. Edisi Khusus Vol.:.
62
Surya Harinata. 2014. “Akibat Hukum Lewatnya Batas Waktu Kewajiban
Mendaftarkan APHT Oleh PPAT”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya Volume3 Nomor 2.
Tata Wijayanta. 2014.“Asas Kepastian Hukum, Keadilan Dan Kemanfaatan
Dalam Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”,
dalamJurnal Dinamika Hukum; Volume14 Nomor 2, Fakultas Hukum
Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
Ted A. Berkowitz dan Veronique A.Urban.2012. “Is Good Faith a Required
Element?”, dalam Pratt’s Journal of Bankruptcy Law Volume 8Nomor
4.
Dari Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usahan Milik
Negara.
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
TentangPembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 17 Tahun
2000TentangPermohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi
63
Standar Prosedur Operasi (Standard Operating Procedure) Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
Dari Internet
Alwesius, SKMHT : Problem Yang (Tak Boleh) Dipelihara,
http://medianotaris.com/skmht_problem_yang_tak_boleh_dipelihara_ber
ita302.html, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 08:00 WIB.
Didik Hery Santosa, Aturan Yang Bersifat Khusus Mengesampingkan
Aturan Yang Bersifat
Umum,http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/ artikel/167-artikel-
pajak/21165-aturan-yang-bersifat-khusus mengesampingkan-aturan-
yang-bersifat-umum, diakses tangggal 21 Maret 2016 pukul 19:00 WIB.
Fairus Harris, Keistimewaan Kreditor Separatis dalam Proses Kepailitan,
http://strategihukum.net/keistimewaan-kreditor-separatis-dalam-proses-
kepailitan, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 07:30 WIB.
Fidelis Harefa, Konsistensi Menjalankan Hukum Yang Benar Dalam
Perspektif Filsafat Hukum, http://fidelis.harefa.com/2015/11/konsistensi-
menjalankan-hukum-yang.html, diakses tanggal 14 Juni 2016 Pukul
10:00 WIB.
Hukumonline.Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi
Generalis.http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/
mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis, diakses tanggal 3
Maret 2016, Pukul 15:00 WIB.
___________. Kepailitan (2).http://www.hukumonline.com/klinik/detail
/cl4504/kepailitan-%282%29, diakses tanggal 8 April 2016 Pukul 15:30
WIB.
Hotmian Helena Samosir. Permasalahan Atas Wajib Pajak Yang
Dinyatakan Pailit Terkait Pemenuhan Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban
Perpajakan, diakses tanggal 4 April 2011 Pukul 07:10 WIB.
Krisnaptik, Teori Hukum Dan Pengertian, https://krisnaptik.com/polri-
4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/, diakses tanggal 12 April 2016
Pukul 21:30 WIB.
LCDC FH UGM.Profesi Hukum – Kurator.
http://lcdc.law.ugm.ac.id/detail_profesi-296-profesi-hukum--
kurator.html, diakses tangga l1 April 2016 Pukul 06:30 WIB.
Mulyadi Lilik, Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas Dalam Perkara
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
64
http://www.pn-bengkayang.go.id/files/download/e733b0809734fe0,
diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 07:00 WIB
PN Semarang. Menjadi Kreditor yang Efektifdalam Perkara Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), diakses
tanggal 11 April 2016 Pukul 07:00 WIB.
Trias Consultant, Legal Memorandum tentang Hak Tanggungan,
http://www.triasconsultant.com/legal-memorandum-tentang-hak-
tanggungan/, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 09:45 WIB