akibat hukum inkonsistensi pengadilan negeri …

22
AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI TERHADAP PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN ANTARA WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 585 K/Pdt/2012) Dwi Noryani Christina Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 Email : [email protected] Abstrak Dalam suatu perkawinan suami istri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami istri ini ada yang dicatatkan pada pengadilan negeri bukan pada pegawai pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada skripsi ini bagaimana keberlakuan perjanjian perkawinan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Pokok hasil dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa perjanjian perkawinan yang dicatatkan pada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanian perkawinan tersebut namun bagi pihak ketiga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat mengikat pihak ketiga. Kata Kunci : Perkawinan; Pegawai Pencatat Perkawinan; Pengadilan Negeri; Perjanjian Perkawinan. LAW EFFECT OF DISTRICT COURT INCONSISTENCIES TO REGISTERY MARRIAGE AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN CITIZEN AND FOREIGN CIITIZEN AFTER ACT NO. 1 YEAR 1974 (CASE STUDY: SUPREME COURT JUDGEMENT NO. 585 K/ Pdt/2012) Abstract In a marriage husband and wife can make a marriage agreement. Marriage agreement must be made in written form and subsequently registered by marriage officer. There are marriage agreement that made by husband and wife that registered on district court but not registered by marriage officer. The main issue in this thesis is what is the law effect of Marriage Agreement Registered on District Court After Act No. 1 year 1974 about Marriage. The research method used in this thesis is a juridical normative research, namely study of written law and literature. The result of this research are the marriage agreement that registered on district court have a legal concequences to husband and wife who made the marriage agreement but the marriage agreement do not have any legal consequences to third party. Keyword : district court; marriage; marriage agreement; marriage officer. Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI

TERHADAP PENCATATAN PERJANJIAN PERKAWINAN ANTARA

WARGA NEGARA INDONESIA DAN WARGA NEGARA ASING

PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 585

K/Pdt/2012)

Dwi Noryani Christina

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424

Email : [email protected]

Abstrak

Dalam suatu perkawinan suami istri dapat membuat suatu perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini

harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh suami istri ini ada yang dicatatkan pada pengadilan negeri bukan pada pegawai

pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada skripsi ini bagaimana keberlakuan perjanjian

perkawinan yang didaftarkan kepada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu

penelitian yang dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Pokok hasil dari penelitian dalam skripsi ini

adalah bahwa perjanjian perkawinan yang dicatatkan pada pengadilan negeri setelah berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanian perkawinan tersebut

namun bagi pihak ketiga perjanjian perkawinan tersebut tidak berlaku dan tidak dapat mengikat pihak ketiga.

Kata Kunci : Perkawinan; Pegawai Pencatat Perkawinan; Pengadilan Negeri; Perjanjian Perkawinan.

LAW EFFECT OF DISTRICT COURT INCONSISTENCIES TO REGISTERY

MARRIAGE AGREEMENT BETWEEN INDONESIAN CITIZEN AND FOREIGN

CIITIZEN AFTER ACT NO. 1 YEAR 1974 (CASE STUDY: SUPREME COURT

JUDGEMENT NO. 585 K/ Pdt/2012)

Abstract

In a marriage husband and wife can make a marriage agreement. Marriage agreement must be made in written

form and subsequently registered by marriage officer. There are marriage agreement that made by husband and

wife that registered on district court but not registered by marriage officer. The main issue in this thesis is what

is the law effect of Marriage Agreement Registered on District Court After Act No. 1 year 1974 about Marriage.

The research method used in this thesis is a juridical normative research, namely study of written law and

literature. The result of this research are the marriage agreement that registered on district court have a legal

concequences to husband and wife who made the marriage agreement but the marriage agreement do not have

any legal consequences to third party.

Keyword : district court; marriage; marriage agreement; marriage officer.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 2: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

Pendahuluan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Begitulah pengertian perkawinan menurut Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan menurut hukum perdata yang

tercantum didalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perkawinan adalah

pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.

Perkawinan merupakan peristiwa yang sakral dalam hidup seseorang dan merupakan

kebutuhan biologis setiap orang. Tujuan umum dari perkawinan itu sendiri, yakni: (1)

memperoleh ketenangan hidup ( k h , yang penuh cinta (mawaddah,), dan kasih sayang

(rahmah), sebagai tujuan pokok dan utama, (2) tujuan reproduksi/regenerasi, (3) pemenuhan

kebutuhan biologis, (4) menjaga kehormatan, (5) dan ibadah. Semua tujuan perkawinan

tersebut adalah tujuan yang menyatu dan terpadu (integral dan induktif). Artinya, semua

tujuan tersebut harus diletakkan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.1

Menurut Hukum Islam, nikah adalah suatu akad yaitu akad yang menghalalkan

pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong

antara laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila

seorang pria dan seorang perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu

rumah tangga, maka hendaknya kedua calon suami istri tersebut terlebih dahulu melakukan

akad nikah2. Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja

berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus juga

merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan3.

Perkawinan bisa menimbulkan akibat hukum terhadap suami dan istri yaitu akibat hukum

terhadap suami dan istri, akibat hukum terhadap harta kekayaan dan akibat hukum terhadap

anak. Salah satu akibat perkawinan adalah akibat hukum terhadap harta kekayaan dimana

terdapat percampuran harta. Di dalam pasal 119 ayat 1 KUHPerdata ditetapkan bahwa “sejak

saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara kekayaan

1 Khoiruddin Nasution, ISLAM tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), cet. 1,

(Yogyakarta: ACAdemia dan Tazzafa, 2004), hlm. 47.

2 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-undang

Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung,1981), hlm. 11.

3 H. Hilman, Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan

Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 8.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 3: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

suami-istri”4. Dari kata-kata demi hukum berlakulah persatuan bulat harta kekayaan dapat

disimpulkan bahwa mereka tidak perlu mengadakan perbuatan tertentu atau memenuhi

formalitas tertentu selain daripada mereka menikah dengan sah dan tidak perlu ada

penyerahan. Pasal 120, 121, dan 122 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur

mengenai luasnya persatuan harta kekayaan, yaitu meliputi semua aktiva dan pasiva baik

yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya termasuk modal,

bunga, bahkan juga hutang yang diakibatkan oleh suatu perbuatan melawan hukum.5

Percampuran harta ini memiliki pengaruh terhadap pihak ketiga sebagai kreditur.

Percampuran harta ini dapat disimpangi dengan membuat perjanjian perkawinan. Pada

prinsipnya pengertian perjanjian perkawinan itu sama dengan perjanjian pada umumnya yaitu

suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi

masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan serta disahkan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan. Umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat apabila salah satu pihak memiliki

jumlah harta kekayaan yang lebih besar dari pada pihak yang lainnya. Perjanjian perkawinan

itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pegawai

Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya

mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut.

Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh

dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak

ketiga yang tersangkut. Para pihak dalam perkawinan sebenarnya bebas menentukan bentuk

hukum yang dikehendaki atas harta kekayaan yang mereka miliki. Mereka bisa saja

menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan mereka tidak akan terdapat persatuan harta

kekayaan atau ada harta kekayaan yang terbatas.6

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikenal mengenai

perjanjian perkawinan yang diatur didalam pasal 29. Menurut Undang-Undang ini perjanjian

perkawinan harus diadakan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.7 Perjanjian

4 J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, cet 1, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.1991), hlm. 38.

5 Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Keluarga dan Orang, cet. 5, (Bandung :

Percetakan Offset Alumni,1986), hlm. 58.

6 Ibid., hlm 76.

7 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-

Undang Perkawinan, cet. 1, (Jakarata: Kencana, 2006), hlm. 145a.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 4: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

Perkawinan menurut KUHPerdata diatur dalam buku I Bab VII tentang perjanjian perkawinan

pada pasal 139 dan pasal 140 yang berbunyi :

“Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah berhak

menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta

kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan

asal diindahkan pula segala ketentuan dibawah ini

Perjanjian yang demikian tak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan pada

kekuasaan si suami sebagai suami, dan pada kekuasaan orang tua, pun tak boleh mengurangi

hak-hak yang diberikan undang-undang kepada si yang hidup terlama diantara suami dan

istri”

Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam tidak ada, yang ada dalam literatur fiqh

ditemukan bahasan dengan maksud yang sama yakni “ijab kabul yang disertai dengan syarat”

atau “persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama

dengan syarat perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat

perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan.

Pada Kompilasi Hukum Islam mengenai perjanjian perkawinan diatur pada bab VII pasal

45 sampai 52 tentang perjanjian perkawinan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyatakan

bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk 8:

1. Ta’lik talak

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam

Pada dasarnya perjanjian perkawinan diadakan untuk menyimpangi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur kekayaan pribadi masing-masing suami dan istri menjadi

satu kesatuan yang bulat.

Perjanjian Perkawinan ini memiliki beberapa manfaat. Manfaat perjanjian perkawinan

bagi kehidupan masing-masing suami istri antara lain adalah kebebasan bertindak dalam hal

pemberian bantuan kepada rekan-rekan dan saudara, penegakan rasa keadilan apabila

penghasilan pihak tertentu lebih besar dari pada pihak yang lain, peningkatan kualitas kerja

dimana pada saat terjadi pemisahan harta masing-masing pihak akan berusaha lebih giat sebab

apabila terjadi perceraian masing-masing pihak tidak dapat menikmati harta kekayaan pihak

8 Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. 1, (Bandung,2007),

hlm 11.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 5: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

yang lain, serta peningkatan taraf ekonomi negara dimana para istri tidak bergantung pada

suami dan berusaha untuk menghidupi dirinya sendiri apabila terjadi perceraian. Manfaat lain

dari perjanjian perkawinan adalah dalam hal penyelesaian kasus perkawinan pada lembaga

peradilan9.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Perjanjian perkawinan harus dibuat

secara tertulis dan harus disahkan didepan Pegawai Pencatat Perkawinan. Perjanjian

perkawinan yang telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berlaku mengikat dan

berlaku sebagai undang-undang bagi pihak calon suami istri, pihak ketiga, dan pihak yang

tersangkut. Menurut KUHPerdata Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis yang

dalam hal ini dibentuk dengan akta notaris dan dicatatkan pada Kepaniteraan Pengadilan

Negeri.

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan bahwa segala ketentuan yang

ada sebelum Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam

Undang-Undang ini. Berdasarkan pasal diatas maka seharusnya ketentuan yang berlaku

adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimana Perjanjian Perkawinan

dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dan ketentuan dalam KUHPerdata dianggap

tidak berlaku. Namun pada kenyataannya ada masyarakat yang masih mencatatkan perjanjian

perkawinan yang mereka buat kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Salah satunya adalah

pasangan suami istri dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012 dimana pihak

suami adalah Warga Negara Asing dan pihak istri adalah Warga Negara Indonesia. Sebelum

melangsungkan perkawinan mereka membuat perjanjian perkawinan dan kemudian pihak istri

mencatatkan perjanjian perkawinan tersebut kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, perjanjian perkawinan baru memiliki

kekuatan hukum mengikat apabila telah dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan. Namun

dalam kasus pada putusan Mahkamah Agung No. 585 K/Pdt/2012 perjanjian perkawinan

tersebut tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Perkawinan namun dicatatkan di Pengadilan

Negeri. Pihak suami mengajukan pembatalan perjanjian perkawinan sebab merasa perjanjian

perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun Hakim menolak

permintaan pihak suami dan menganggap perjanjian perkawinan tersebut sah berdasarkan

asas Pacta Sunt Servanda dimana perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para

pembuatnya sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perjanjian perkawinan

9

Ibid., hlm. 48.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 6: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Perlu diteliti lebih lanjut apakah

Perjanjian Perkawinan yang dicatatkan pada Pengadilan Negeri pasca berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 ini tetap berlaku atau tidak. Kemudian perlu juga diteliti apabila

perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan apa

dampak hukumnya bagi suami dan istri terhadap pencatatan perjanjian perkawinan pada

Kepaniteraan Pengadilan Negeri setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

Perlu juga dianalisis mengenai pertimbangan hakim pada putusan tersebut. Oleh karena itu

untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada penulis akan membahas dibahas lebih

lanjut dalam bab-bab selanjutnya.

Tinjauan Teoritis

Untuk menghindari adanya kesalahpahaman atas berbagai istilah yang digunakan

dalam penelitian, maka penulis akan memberikan definisi istilah-istilah yang di pakai dalam

tulisan ini, antara lain:

1. Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan ketuhanan yang maha esa10

2. Perkawinan Campuran

Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,

karena perbedaan kewarga-negaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia11

.

3. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri

untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan

serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

4.Harta Bersama

Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan di luar hadiah

atau warisan12

.

10 Indonesia, Undang-Undang Tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, ps. 1.

11 Ibid., ps. 57.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 7: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

5. Harta Bawaan

Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan.

Penguasaannya tetap pada masing– masing suami istri yang membawanya ke dalam

perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan lain.

6. Warga Negara

Penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan

sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari negara

itu13

.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang

dilakukan terhadap hukum tertulis atau kepustakaan. Penggunaan metode penelitian ini untuk

menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini berdasarkan atas asas-asas hukum

yang ada, dan hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian ini serta beberapa

teori-teori pendukung lainnya.

Dalam penelitian terhadap akibat hukum inkonsistensi Pengadilan Negeri terhadap

pencatatan perjanjian perkawinan antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing

pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini lebih ditekankan pada

pendekatan secara normatif, dimana penulis lebih ingin menggambarkan mengenai kejelasan

dampak tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan terhadap harta kekayaan dalam

perkawinan. Dengan adanya pemahaman terhadap hal tersebut, penulis berusaha untuk

memberikan jawaban mengenai pengaturannya yang terdapat dalam hukum Indonesia,

khususnya dari KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dilihat dari sifatnya tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan atau gejala-gejala lainnya.14

Dimana penelitian ini memberikan gambaran dan

penjelasan awal yang berkaitan dengan akibat hukum tidak dicatatkannya perjanjian

12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: UI Pres,1986), hlm. 89.

13

Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/warga+negara di akses pada 24 September 2014.

14

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3 (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia

(UI-Press),1986), hlm. 10.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 8: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

perkawinan. Dilihat dari bentuknya penelitian ini merupakan penelitian preskriptif dimana

penelitian ini ditujukan untuk mendapat saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan

untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.15

Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam

penelitian digolongkan sebagai data sekunder yang meliputi buku-buku, skripsi, artikel dan

dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.16

Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,

yaitu;

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,17

selain itu merupakan

bahan hukum yang mempunyai otoritas. yang terdiri dari:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 585 k/Pdt/2012

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.18

Bahan hukum sekunder yang terdapat di penelitian ini antara lain, buku, skripsi, tesis,

makalah, dan laporan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

atas bahan hukum primer dan sekunder,19

Alat pengumpulan data yang akan dipergunakan yaitu studi dokumen atau bahan

pustaka dan studi lapangan melalui wawancara. Wawancara dalam pengumpulan data disini

sebagai penujang analisis yang akan dibuat oleh penulis. Dalam studi dokumen maka sudah

dapat dipastikan bahwa data-data yang dibutuhkan adalah dokumen (hasil putusan). Studi

15

Ibid.,

16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet 10,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.24.

17 Sri Mamudji, et al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005), hlm.30.

18

Ibid., hlm. 31.

19

Soekanto, Op.Cit., hlm. 16.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 9: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

dokumen atau bahan pustaka berfungsi untuk memberikan fakta-fakta yang secara tidak

langsung memberikan suatu pemahaman atas permasalahan yang sedang kita teliti.

Dengan demikian, diharapkan bahwa dengan penggunaan studi dokumen atau bahan

pustaka dan wawancara ini, dapat memberikan fakta-fakta dan pemahaman yang lebih jelas

mengenai permasalahan yang sedang diteliti.

Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, karena data yang

digunakan adalah data sekunder. Pada penelitian hukum normatif menelaah data sekunder,

biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya20

.Dalam penelitian ini pun

diterapkan analisis data yang demikian demi mendapatkan data yang akurat terhadap

permasalahan dalam penelitian ini.

Dalam menganalisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

analitis, dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang keadaan atau

gejala-gejala lainnya21

. Di sini penulis menganalisis putusan tentang perjanjian perkawinan

yang tidak dicatatkan dimana nantinya penulis akan mendapatkan beberapa penegasan dari

beberapa pertimbangan hakim dalam memutuskan putusan tersebut yang diharapkan bisa

memunculkan sebuah gagasan baru terkait akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak

dicatatkan.

Hasil Penelitian

Pengesahan perjanjian perkawinan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri ini memang

diatur dalam pasal 152 KUHPerdata dimana setelah perjanjian perkawinan mereka dituangkan

dalam akta notaris perjanjian perkawinan tersebut dibukukan dalam suatu daftar tertentu pada

Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Namun semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan berdasarkan Pasal 66 segala ketentuan yang ada sebelum

Undang-Undang ini tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang ini. Oleh

karena itu karena karena pencatatan perjanjian perkawinan telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 maka ketentuan mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan

pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri tidak berlaku. Namun ketidakberlakuannya ini tidak

multak sebab berdasarkan Staatblad 1917 Nomor 129 golongan Tionghoa masih

menggunakan ketentuan yang ada di dalam KUHPerdata. Berdasarkan pengaturan diatas

20 Ibid., hlm. 69.

21

Ibid., hlm 50.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 10: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

maka seharusnya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat disahkan

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil bagi

perkawinan mereka dan bukan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri seperti yang

dilakukan Tergugat mengingat mereka bukan merupakan golongan Tionghoa.

Dalam kasus ini hakim menolak untuk membatalkan perjanjian perkawinan yang

dibuat oleh Penggugat dan Tergugat. Salah satu pertimbangan hakim adalah “bahwa setelah

memperhatikan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 12

huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tersebut di atas maupun dalam

penjelasannya tidak ada secara implisit menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang tidak

dimuat dalam Akta Perkawinan adalah batal demi hukum atau dapat dibatalkan”, mengenai

pertimbangan hakim diatas memang secara impilisit dalam ketentuan Pasal 29 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pada Pasal 12 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 tersebut di atas maupun dalam penjelasannya tidak ada secara implisit

menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan yang tidak dimuat dalam Akta Perkawinan adalah

batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Pasal tersebut hanya menyatakan bahwa perjanjian

perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Oleh karena itu jika dilihat dari

syarat sahnya perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat mereka yang

mengikatkan diri, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan

suatu sebab yang halal. Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena

mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Dalam hal syarat

subjektif ini tidak terpenuhi maka suatu perjanjian dapat dibatalkan. Syarat yang ketiga dan

keempat merupakan syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari

perbuatan hukum yang dilakukan. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi maka suatu

perjanjian batal demi hukum. Dalam kasus ini perjanjian yang dibuat oleh Penggugat dan

Tergugat memenuhi keempat syarat diatas sehingga tidak ada alasan untuk membatalkan

perjanjian tersebut. Pertama mereka telah sepakat mengadakan perjanjian perkawinan dengan

membuat perjanjian perkawinan dihadapan Notaris, kedua mereka telah cakap melakukan

perjanjian, ketiga perjanjian yang mereka buat mengenai hal tertentu yaitu perjanjian

perkawinan, dan yang keempat yang mereka perjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum, hukum, dan kesusilaan. Perkawinan tersebut hanya dapat dibatalkan apabila syarat

subjektifnya tidak terpenuhi dan batal demi hukum apabila syarat objektifnya tidak terpenuhi.

Mengenai pertimbangan Mahkamah Agung “Pencatatan perjanjian perkawinan pada

Pegawai Pencatat Perkawinan hanya terkait soal administrasi dan pembuktian adanya

perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga, sedangkan untuk kedua belah pihak berlaku azas

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 11: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

Pacta Sunt Servanda, berdasarkan ketentuan pada Pasal 1338 KUHPerdata semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya atau

dikenal dengan istilah Pacta Sunt Servanda. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat

oleh Penggugat dan Tergugat tetap mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat dimintakan

pembatalan. Pada perjanjian umum, berdasarkan pasal 1340 KUHPerdata perjanjian hanya

berlaku antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut tanpa dapat menimbulkan

kerugian maupun manfaat bagi pihak ketiga. Namun dalam perjanjian perkawinan dapat juga

berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut sebagaimana yang diatur

dalam pasal 152 KUHPerdata dan Pasal 29 ayat (1). Perlu diingat kembali bahwa berdasarkan

ketentuan pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, ketentuan-ketentuan mengenai

perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku selama telah diatur

dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi

pihak ketiga adalah setelah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur

dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan

dalam pasal ini menghapuskan syarat berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga

yang tercantum dalam pasal 152 KUHPerdata. Menurut pasal 67 pelaksanaan Undang-

Undang ini secara efektif diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dalam hal ini adalah

Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam peraturan pemerintah ini tidak ada pasal khusus yang

mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan ini

disinggung dalam pasal 12 huruf (h) yang menyatakan bahwa akta perkawinan memuat

perjanjian perkawinan apabila ada. Kemudian pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa akta

perkawinan tersebut disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dimana dalam hal ini

Kantor Catatam Sipil untuk yang beragama selain Islam dan Kantor Urusan Agama (KUA)

untuk yang beragam Islam. Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwa

berdasarkan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juncto Pasal 12 huruf (h)

juncto pasal 11 ayat (1) juncto pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pengesahan

perjanjanjian perkawinan harus dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan agar dapat

mengikat pihak ketiga tanpa perlu didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 152 KUHPerdata

mengatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tidak didaftarkanya perjanjian perkawinan mengakibatkan

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 12: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

apabila misalnya suami atau istri melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga maka

pihak ketiga dapat menganggap bahwa dalam perkawinan mereka tidak ada pemisahan harta.

Namun hal ini tidak mutlak sebab jika pihak ketiga mengetahui bahwa dalam perkawinan itu

suami istri memiliki perjanjian perkawinan maka ia tidak boleh menganggap bahwa

perkawinan tersebut berlangsung dengan persatuan harta. Jadi apabila pihak ketiga tidak

mengetahui bahwa ada perjanjian kawin namun tidak didaftarkan maka barulah pihak ketiga

dapat menganggap bahwa dalam perkawinan suami istri tersebut terdapat persatuan harta.

Oleh karena itu pendaftaran bukan merupakan kewajiban mutlak akan tetapi pendaftaran itu

memberikan kesempatan kepada suami istri untuk mengikat pihak ketiga terhadap apa yang

didaftarkan itu dan melindungi pihak ketiga dari sesuatu yang tidak benar. 22

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sendiri, seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya bahwa berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (1), dapat disimpulkan untuk sahnya

sebuah perjanjian perkawinan maka perjanjian tersebut harus didaftarkan untuk minta

disahkan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan jika tidak didaftarkan maka dengan

sendirinya akan mempunyai konsekuensi atau akibat hukumnya tersendiri. Akibat hukum

apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Perkawinan dapat

dibagi menjadi dua yaitu :

1. Akibat hukum bagi para pihak

Berdasarkan asas Pacta Sunt Servanda yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata dan

sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas konsensualisme yang mengatakan bahwa

perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya

perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat keduanya sepakat tentang

perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di daftarkan maupun tidak.

Oleh karena itu untuk perjanjian perkawinan apabila tidak dicatatkan pada Pegawai

Pencatat Perkawinan maka tetap berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian

perkawinan tersebut yaitu suami dan/atau istri, karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa perjanjian

perkawinan baru berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan. Masa belaku perjanjian

perkawinan itu sendiri berdasarkan pasal 147 ayat (1) da ayat (2) KUHperdata serta pasal 29

ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan syatu perjanjian

perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan tersebut dilangsungkan dan menjadi gugur

apabila perkawinan tidak dilangsungkan. Jadi baik didaftarkan maupun tidak, perjanjian

22

R. Soetojo , Op. Cit., hlm. 82-84.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 13: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

perkawinan yang telah dibuat tetap mempunyai akibat hukum yang tetap mengikat bagi

suami-istri yang bersepakat membuatnya. dan kedua belah pihak tetap terikat dengan

kesepakatan yang terdapat dalam Perjanjian Perkawinan tersebut.

2. Akibat hukum terhadap pihak ketiga

Akibat hukum terhadap pihak ketiga apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau

didaftarkan kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian

Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Selama

perjanjian perkawinan belum didaftarkan pihak ketiga dapat saja menganggap bahwa

perkawinan berlangsung dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga

apabila terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri, penyelesaiannya dilakukan

dengan melibatkan harta bersama antara harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak

adanya perjanjian perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama.

Akan tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang adanya perjanjian perkawinan

hanya dapat diberikan kepada pihak ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami istri telah

membuat perjanjian perkawinan namun belum mendaftarkannya. Sedangkan pihak ketiga

yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat perjanjian perkawinan namun perjanjian

perkawinan tersebut belum di daftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa perjanjian

perkawinan itu tidak ada dan suami istri kawin dengan persatuan harta perkawinan. Terhadap

pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya

perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

Dalam bidang hukum tanah, dampak hukum tidak dicatatkannya perjanjian

perkawinan terhadap perkawinan campuran dapat dilihat di pasal 21 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, menyatakan bahwa :

“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa

wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak

milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di

dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika

sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan

tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap

berlangsung.”

Berdasarkan ketentuan pasal ini Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga

Negara Asing kehilangan haknya untuk memiliki hak milik atas tanah yang berada di

Indonesia sebab dianggap terjadi percampuran harta. Hal ini karena dalam perkawinan secara

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 14: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

tidak langsung akan ada percampuran harta antara suami dan istri sehingga secara tidak

langsung Warga Negara Asing dapat memiliki hak milik atas tanah Indonesia. Suami dan

isteri yang melakukan perkawinan campuran tidak dapat melakukan jual beli dengan

menggunakan harta bersama, terutama untuk Hak Milik dan HGB. Untuk membeli tanah

dengan hak tersebut, pasangan kawin campur harus memiliki perjanjian kawin yang

menegaskan adanya pemisahan harta sehingga pasangan yang berstatus WNI tetap dapat

menjadi subjek yang sah sebagai pemegang hak atas tanah tersebut. Apabila pasangan kawin

campur tetap membeli tanah dan bangunan dengan hak tersebut, maka jual beli tersebut dapat

dianggap batal demi hukum karena subjek bukanlah pihak yang memenuhi syarat sebagai

pemegang hak atas Hak Milik atau HGB. Dalam hal ini apabila pasangan tersebut membuat

perjanjian perkawinan tentang pemisahan harta dan tidak mencatatkannya kepada Pegawai

Pencatat Perkawinan maka perjanjian perkawinan yang mereka buat hanya mengikat untuk

kedua belah pihak. Oleh karena itu pihak ketiga dapat menganggap bahwa ada persatuan harta

dalam perkawinan mereka sehingga apabila salah satu pihak misalnya Warga Negara

Indonesia (WNI) ingin membeli sebuah tanah dengan hak milik kepada pihak ketiga, maka

pihak ketiga tidak dapat mengadakan jual beli dengan Warga Negara Indonesia (WNI)

tersebut karena tidak sesuai dengan pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan secara tidak langsung Warga Negara

Asing dapat memiliki tanah dengan hak milik atas tanah Indonesia.

Menurut Prof. Rosa Agustina ketentuan yang ada didalam pasal 21 Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tidak sejalan dengan

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) terdapat pengaturan bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan

campuran. Pengaturan tersebut berkenaan dengan seorang perempuan warga negara Indonesia

yang memiliki sebidang tanah dengan status hak milik menikah dengan laki-laki warga negara

asing, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya maka kepemilikan atas

tanah itu harus dialihkan dengan cara dijual ke pihak lain atau diturunkan statusnya menjadi

hak pakai dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Bila lalai maka haknya atas tanah itu

gugur dan tanah berubah menjadi tanah negara ( Pasal 21 ayat 3) .Jika mengacu pada

ketentuan Pasal 35 UU No 1 Tahun 1974, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam UUPA

diatas hanya dapat dikesampingkan apabila terdapat perjanjian perkawinan. Hal tersebut

didasarkan pertimbangan bahwa selama perkawinan berlangsung maka terdapat harta

bersama, kecuali apabila para pihak membuat perjanjian perkawinan yang memisahkan

kepemilikan harta benda setelah perkawinan.Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan diatas

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 15: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

dapat dikemukakan bahwa belum ada pengaturan hukum dibidang hukum keluarga,

khususnya perkawinan yang memberi kepastian hukum bagi masyarakat. Kedepan perlu

dipikirkan dan direalisasikan revisi terhadap peraturan sehingga kehidupan berbangsa dan

bernegara yang dijamin oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat secara

konsekuen dilaksanakan.23

Untuk perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan pada Pegawai Pencatat

Perkawinan pada saat perkawinan dilangsungkan,menurut Notaris Ny. Ismiati Dwi Rahayu,

S.H. kedua belah pihak dapat meminta penetapan ke Pengadilan Negeri yang memerintahkan

kepada Pegawai Pencatat Perkawinan agar perjanjian perkawinan tersebut dicatatkan di buku

register pencatatan nikah baik di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Pencatatan

Sipil sesuai dengan agama dan keyakinannya, yang kemudian pada Akta Perkawinan pada

halaman belakang akan dicantumkan sesuai dengan penetapan tersebut. Hal ini juga sejalan

dengan yang dikemukakan oleh Bapak Made Sutrisna S.H., M.Hum., dimana memang

perjanjian perkawinan yang belum dicatatkan dapat dimintakan penetapan ke Pengadilan.

Memang tidak ada aturan khusus dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur hal

ini. Namun biasanya Hakim menggunakan analogi dalam melakukan penetapan ini asalkan

tidak merugikan pihak manapun.Mengenai keberlakuan perjanjian perkawinan yang belum

dicatatkan terhadap pihak ketiga sebelum dimintakan penetapan pengadilan, Ny. Ismiati Dwi

Rahayu S.H. berpendapat bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat mengikat pihak

ketiga karena asas publisitas sehingga pihak ketiga dapat menganggap bahwa terjadi

percampuran harta. Perjanjian perkawinan baru berlaku pada pihak ketiga sejak tanggal

penetapan pengadilan dikeluarkan.

Simpulan

1. Pengaturan perkawinan Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia menurut

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 57 sampai

dengan Pasal 62. Perkawinan tersebut dapat dilangsungkan didalam negeri maupun diluar

negeri. Apabila perkawinan tersebut dilangsungkan di Indonesia maka harus mengikuti

23

Rosa Agustina, et. al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan

Indonesia, Ed 1, (Denpasar : Pustaka Larasan,2012)

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 16: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

ketentuan sahnya perkawinan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974. Sedangkan apabila perkawinan dilakukan diluar negeri maka harus dilakukan

berdasarkan hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi Warga Negara

Indonesia (WNI) tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan. sebagaimana yang diatur dalam pasal 56 ayat (1). Untuk pencatatan

perkawinan yang dilangsungkan di wilayah Indonesia berlaku pula ketentuan yang ada

dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

2. Pengaturan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 dan Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata. Berdasarkan

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ketentuan dalam KUHPerdata dapat

digunakan sepanjang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Menurut

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perjanjian perkawinan yang telah

dibuat oleh calon suami istri ini harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang

dalam hal ini Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam dan Kantor Urusan

Agama (KUA) bagi yang beragama Islam sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 22

tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,

Rujuk. Mengenai bentuk perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang ini dapat dibuat

dengan akta otentik maupun akta dibawah tangan. Selama perkawinan berlangsung

perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak dapat diubah

kecuali ada kesepakatan dari kedua belah pihak dan perubahan tersebut tidak merugikan

pihak ketiga sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4). Mengenai hal ini dalam Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak dibatasi sejauh mana perjanjian perkawinan ini dapat

diubah. Proses pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Catatan Sipil dilakukan

bersama-sama dengan pembuatan akta perkawinan. Pada saat pencatatan perkawinan akta

perjanjian perkawinan tersebut dilampirkan bersamaan dengan dokumen-dokumen yang

dibutuhkan dalam proses pencatatan perkawinan. Akta perjanjian kawin dan persyaratan

lainnya harus dimasukkan pada Kantor Catatan Sipil paling lambat 14 hari sebelum

perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan yang telah dicatatkan ini mulai berlaku

sesuai dengan tanggal yang tertera pada catatan pinggir register akta perkawinan dan

kutipan akta perkawinan. Apabila tanggal register dan kutipan akta perkawinan berbeda

dengan tanggal yang tertera pada catatan pinggir, maka perjanjian perkawinan mulai

berlaku pada tanggal yang tertera pada catatan pinggir tersebut. Menurut pasal 147

KUHPerdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 17: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

berlangsung. Tidak dipenuhinya syarat tersebut diancam kebatalan, yang mengakibatkan

bahwa suami dan istri dianggap telah kawin dengan persatuan harta kekayaan secara bulat.

Setelah perkawinan berlangsung berdasarkan ketentuan pasal 149 perjanjian perkawinan

dengan cara bagaimanapun tidak dapat di ubah. Proses pendaftaran perjanjian perkawinan

menurut KUHPerdata yaitu setelah perjanjian perkawinan dituangkan dalam akta otentik

yang dibuat dihadapan notaris, proses selanjutnya adalah perjanjian perkawinan tersebut

didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri menurut ketentuan pasal 152

KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal ini menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan

dibukukan dalam suatu register umum pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Apabila

tidak didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri maka perjanjian tersebut hanya

berlaku bagi suami dan istri dan tidak berlaku pada pihak ketiga. Pengaturan yang ada

dalam KUHPerdata lebih lengkap mengatur mengenai perjanjian perkawinan apabila

dibandingkan dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

sehingga apabila ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang tidak

jelas atau kurang lengkap maka berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974 ketentuan dapat KUHPerdata dapat digunakan.

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2012 secara garis besar telah sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang diberikan

hakim pada dasarnya sudah tepat. Tidak dicacatkannya perjanjian perkawinan kepada

Pegawai Pencatat Perkawinan yang dalam hal ini adalah Kantor Catatan Sipil sebagaimana

yang diamatkan dalam pasal 29 ayat (1) tidak serta merta membatalkan perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh para pihak. Tidak dicatatkannya perjanjian perkawinan pada

Pegawai Pencatatat Perkawinan tidak berarti bahwa perjanjian perkawinan tersebut tidak

pernah ada sebab sesuai dengan ketentuan pasal 1338 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian

berlaku bagi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu bagi

kedua belah pihak perjanjian perkawinan tersebut masih tetap berlaku. Namun akibat

hukum bagi pihak ketiga berbeda dengan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian

perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki akibat bahwa perjanjian tersebut tidak

mengikat pihak ketiga sehingga apabila kedua belah pihak melakukan hubungan hukum

misalnya hutang piutang dengan pihak ketiga maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa

dalam perkawinan tersebut terdapat percampuran harta walaupun kedua belah pihak

memiliki perjanjian perkawinan yang isinya terdapat pemisahan harta sama sekali.

Saran

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 18: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 tahun 1975 pengaturannya kurang lengkap sehingga perlu adanya revisi.

2. Sebelum adanya revisi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk

pengaturan yang kurang lengkap dapat kembali merujuk kepada KUHPerdata sesuai

dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dimana dapat digunakan

ketentuan yang lama apabila dalam Undang-Undang Perkawinan belum diatur.

3. Pemerintah seharusnya membuat sosialisasi atau membuat peraturan yang isinya mengatur

pasal-pasal mana saja dalam KUHPerdata khususnya mengenai perkawinan yang masih

berlaku dan pasal mana saja yang sudah tidak berlaku supaya ada kepastian hukum

mengingat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mencabut

ketentuan yang ada didalam KUHPerdata.

4. Sebaiknya Mahkamah Agung membuat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang

menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak menerima pendaftaran terhadap perjanjian

perkawinan karena dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah

ditentukan bahwa pendaftaran seharusnya dilakukan ke Pegawai Pencatatan Perkawinan.

5. Perlu adanya sosialisasi dari Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama di setiap

wilayah bahwa untuk perjanjian perkawinan pendaftarannya dilakukan melalui pegawai

pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya. Sosialisasi ini bisa diadakan

dengan cara penyuluhan hukum misalnya ada penyuluhan sebelum calon suami dan istri

mengadakan perkawinan. Kemudian dalam hal ini juga perlu peran notaris untuk

mengarahkan masyarakat untuk melakukan pencacatan perjanjian perkawinan kepada

pihak yang ditunjuk untuk itu mengingat dalam perjanjian perkawinan peran notaris sangat

dibutuhkan. Pemerintah juga dapat bekerjasama dengan Ikatan Notaris Indonesia untuk

mengadakan penyuluhan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan agar sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang ada saat ini.

Kepustakaan

A. BUKU

Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung :

Percetakan Offset Alumni, 1978.

Agustina, Rosa et. al, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga, dan Hukum Waris di Belanda dan

Indonesia, Ed 1, Denpasar : Pustaka Larasan,2012.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 19: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, cet 1,

Jakarta : Rizkita, 2002

Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta

Undang-undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. 2, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 1997.

Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat

dan Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2007.

HR, Damanhuri. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, cet. 1

Bandung,2007.Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun

1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, CV. Zahi Trading Co,1975.

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1986.

Nasution, Khoiruddin. Islam tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), cet. ke-

I.Yogyakarta: ACAdemia dan Tazzafa, 2004.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.1, Jakarta : PT.

Bina Aksara, 1987.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Berbagai-Bagai Masalah Hukum Dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, (Jakarta: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Trisakti.

. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,

Surabaya: Airlangga University Press,1988.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan Keluarga, Cet.V, Bandung :

Percetakan Offset Alumni, 1986.

Prins, J. Tentang Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 1, (Jakarta : Ghaila Indonesia, 1982), hlm. 80-

81.

Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, cet. 6, (Bandung : Penerbit “Sumur

Bandung”, 1974

Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Indonesia Legal Centre

Publishing, 2002.

Rahman, Bakri A. dan Ahmad Sukardja. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-undang

Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jakarta: Hidakarya Agung,1981.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 20: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indo Jakarta, 1976), hlm. 35.

Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan, cet 1.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.1991.

Sing, Ko Tjay. Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), Semarang : Seksi Perdata

Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ed.1, cet

10, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, Jakarta : Badan Penerbit Universitas

Indonesia (UI-Press, 2012).

Subekti, Winarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Keluarga Perdata Barat,

Jakarta : Gitama Jaya, 2005.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermassa,2003

Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian: Pentingnya Perjanjian

Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Cet. 3, (Jakarta: Visimedia

Pustaka, 2008

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-

Undang Perkawinan, cet. I Jakarata: Kencana, 2006.

Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cet. I.(Jakarta : Prestasi Pustaka

Publisher, 2006

Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUHPerdata, Bandung : Penerbit “Tarsito”, 1982.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 tahun 1960, LN No. 104

tahun 1960.

. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No.

3019.

. Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan, UU No. 24 tahun 2013, LN No 232 Tahun 2013.

. Peraturan Pemerintah Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975. LN No. 12 Tahun 1975. TLN

No. 3050.

Subekti, R dan R Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Edisi Revisi. Jakarta: Pradnya

Paramita, 2009.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 21: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

C. JURNAL

Onny Medaline, Perjanjian Kawin dalam Perspektif Hukum Nasional (Medan: Jurnal Ilmiah Abdi

Ilmu 346, 2010

D. SKRIPSI DAN TESIS

Laksana, Marshella. Efektivitas Perjanjian Perkawinan yang Tidak Didaftarkan Terhadap Pihak

Ketiga (Analisa Kasus : Akta Perjanjian Perkawinan Nomor 000 yang Dibuat Dihadapan

Notaris XXX), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok, 2012.

Rasjid, Ira .”Tinjauan Perjanjian Perkawinan Terhadap Perkawinan Campuran Warga Negara

Indonesia-Warga Negara Australia yang dilangsungkan di New South Wales-Australia,” Tesis

Magister Kenotariatan Universitas Indonesia. Depok, 2013.

Samosir, Astrid Melanie Pinta Uli. Pelaporan Perkawinan Beda Kewarganegaraan pada Catatan

Sipil DKI Jakarta serta Keabsahan Perjanjian Perkawinan yang dilangsungkan di Luar Negeri

(Analisis Tanda Bukti Laporan Perkawinan Campuran Internasional Nomor:

132/KHS/AI/2009/2009), Skripsi Sarjana Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2009.

Sujana, Errica. “Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa

Pe et p Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG ”, Tesis Magister Kenotariatan Universitas

Indonesia,.Depok, 2013.

Sulpi, “Pembentukan Perjanjian Perkawinan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

te t g Perk wi ”, Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2005.

Wahyuni, Hikmah. ”Perjanjian Perkawinan Pada Perkawinan Campuran Internasional sebagai

Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia (Analisis Kasus : Perjanjian

Perkawinan Di Luar Tiap Persekutuan Harta Kekayaan Nomor 10 tahun 1998),” Tesis

Magister Kenotariatan Universitas Indonesia, Depok, 2006.

Yulianie, Novie. “Upaya Perlindungan Hukum Bagi Istri Warga Negara Indonesia yang

Melangsungkan Perkawinan Campuran,” Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2012.

Yunanto, “Akib t Hukum Pe d ft r Perj ji Perk wi terh d p Pih k Ketig ”, Tesis

Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. Semarang, 2008.

E. INTERNET

Haedah Faradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/83089196.pdf, diunduh Tanggal 16 Oktober

Hukum Online. Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum ,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6272/ichtijanto-uu-perkawinan-akui-pluralitas-

hukum-agama diakses pada 24 Oktober 2014

L’ Agence Consulaire de France, “M ri ge” http://agence-consulaire-bali.org/mariage_id.php,

diunduh pada 6 oktober 2014.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, “Apa yang Perlu Diketahui Bila anda Menikah

dengan Orang Asing?”, http://www.lbh-apik.or.id/fact-45-nikah%20asing.htm diunduh pada 9

Oktober 2014

F. WAWANCARA

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014

Page 22: AKIBAT HUKUM INKONSISTENSI PENGADILAN NEGERI …

Agus Tamim Kepala Seksi Perkawinan Dinas Kependudukan dan Cacatan Sipil Depok. Wawancara 7

November 2014.

Ismiati Dwi Rahayu, S.H Notaris di Depok. Wawancara 14 November 2014

Made Sutrisna S.H, M.Hum., Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Wawancara 28 November

2014.

Akibat hukum..., Dwi Noryani Christina, FH, 2014