bab iv gambaran umum peran politik militer · bab iv gambaran umum peran politik militer . iv.1...

38
32 BAB IV GAMBARAN UMUM PERAN POLITIK MILITER IV.1 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Indonesia Posisi dan peranan ABRI bertumbuh secara khas di Indonesia. Militer Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer. Persepsi militer bahwa dirinya merupakan bagian dari politik lahir dalam masa perjuangan kemerdekaan melawan Belanda, dimana saat itu fungsi militer dan fungsi politik menjadi kabur. Kebutuhan memobilisasi rakyat menjadi kekuatan perjuangan menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk dapat mempelajari sikap “profesionalisme tentara” dan indoktrinasi ideologis secara sempurna. Pada akhir tahun 1945 setelah penyerahan kekuasaan Indonesia oleh Belanda, secara resmi militer telah meyakini asas keunggulan sipil. Pemahaman kekuatan nonpolitik militer tidak berlangsung lama, permasalahan politik akibat seringnya peralihan kekuasaan membuat militer tidak dapat membenarkan diri hanya menjadi penonton. Sebagian besar militer berasumsi bahwa mereka bertanggungjawab untuk campur tangan demi keselamatan negara. Keterlibatan militer dalam politik bukan saja berasal dari faktor keinginan militer, namun juga disebabkan oleh undangan masyarakat. Setidaknya selama kurang lebih 30 tahun militer telah berhasil memainkan dominasi peran sosial-politiknya di Indonesia. Untuk itu, penulis akan membahas mengenai sejarah pembentukan doktrin peran politik militer hingga praktek dari dwifungsi ABRI. IV.1.1 Latar Belakang Keterlibatan Peran Politik Militer Militer adalah salah satu dari kekuatan politik konkret sejak berdirinya Republik Indonesia. Sejarah intervensi militer didasari dua faktor utama menjadikan militer sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pertama, sejak masa Revolusi (1945-1949) partai-partai politik sering memperebutkan militer untuk mendapatkan dukungan, ini menjadi bukti kelemahan sipil. Kedua, lahirnya berbagai persoalan dan konflik di seluruh penjuru Indonesia akibat terpecah-belahnya masyarakat. Peristiwa Madiun pada 1948 dan DI/TII menjadi salah satu contoh konkret pemberontakan di dalam negeri. (Said, 2015:101)

Upload: others

Post on 16-Feb-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

32

BAB IV

GAMBARAN UMUM PERAN POLITIK MILITER

IV.1 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Indonesia

Posisi dan peranan ABRI bertumbuh secara khas di Indonesia. Militer

Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer.

Persepsi militer bahwa dirinya merupakan bagian dari politik lahir dalam masa

perjuangan kemerdekaan melawan Belanda, dimana saat itu fungsi militer dan

fungsi politik menjadi kabur. Kebutuhan memobilisasi rakyat menjadi kekuatan

perjuangan menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk dapat mempelajari

sikap “profesionalisme tentara” dan indoktrinasi ideologis secara sempurna. Pada

akhir tahun 1945 setelah penyerahan kekuasaan Indonesia oleh Belanda, secara

resmi militer telah meyakini asas keunggulan sipil.

Pemahaman kekuatan nonpolitik militer tidak berlangsung lama,

permasalahan politik akibat seringnya peralihan kekuasaan membuat militer tidak

dapat membenarkan diri hanya menjadi penonton. Sebagian besar militer

berasumsi bahwa mereka bertanggungjawab untuk campur tangan demi

keselamatan negara. Keterlibatan militer dalam politik bukan saja berasal dari

faktor keinginan militer, namun juga disebabkan oleh undangan masyarakat.

Setidaknya selama kurang lebih 30 tahun militer telah berhasil memainkan

dominasi peran sosial-politiknya di Indonesia. Untuk itu, penulis akan membahas

mengenai sejarah pembentukan doktrin peran politik militer hingga praktek dari

dwifungsi ABRI.

IV.1.1 Latar Belakang Keterlibatan Peran Politik Militer

Militer adalah salah satu dari kekuatan politik konkret sejak berdirinya

Republik Indonesia. Sejarah intervensi militer didasari dua faktor utama

menjadikan militer sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Pertama,

sejak masa Revolusi (1945-1949) partai-partai politik sering memperebutkan

militer untuk mendapatkan dukungan, ini menjadi bukti kelemahan sipil. Kedua,

lahirnya berbagai persoalan dan konflik di seluruh penjuru Indonesia akibat

terpecah-belahnya masyarakat. Peristiwa Madiun pada 1948 dan DI/TII menjadi

salah satu contoh konkret pemberontakan di dalam negeri. (Said, 2015:101)

33

Setelah Indonesia menerima pengakuan kedaulatan berlakulah Konstitusi

Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS).

Dasar-dasar negara tersebut menjadikan Indonesia menganut paham demokrasi

liberal dengan paham supremasi sipil dan sistem multi partai. Sebagai badan resmi

milik negara, posisi dan peranan angkatan bersenjata berada dibawah kendali sipil

dan tidak dibenarkan turut campur dalam politik negara. Menurut Yahya

Muhaimin (1982:68), dalam sistem parlementer kekuasaan politik dan decision

maker adalah partai politik saja, presiden dan militer merupakan kekuatan politik

yang sifatnya extra parlementer dengan kekuasaan terbatas. Pada dasarnya militer

telah mengakui doktrin supremasi sipil dan tidak turut campur dalam politik

hingga tahun 1950-an.

Pada awal sistem parlementer, pemerintah dan militer satu suara berniat

untuk membangun tubuh militer menjadi tentara profesional melalui program

RERA (Restrukturisasi dan Rasionalisasi). Namun dalam pelaksanaannya terdapat

satu program yang mendapat tanggapan negatif dari militer yakni program

penghematan anggaran. Kebijakan tersebut melahirkan konflik internal dalam

tubuh militer. Kondisi militer pada waktu itu belum terintegrasi dan masih terbagi

dalam tiga garis. Garis pertama adalah angkatan yang kemudian membentuk

korps sendiri, terdiri dari Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) yang kemudian

bergabung membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kedua, kelompok bekas

opsir Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL). Ketiga, terdiri dari

kelompok-kelompok pemuda, baik yang bergabung secara langsung ataupun

dipindahkan dari organisasi kelaskaran. Selain dari pada kebijakan penghematan

anggaran yang memiliki dampak pada penyusutan jumlah personil militer,

terdapat pula pertentangan antara PETA dan Laskar yang menolak profesionalime

dan KNIL yang pro-profesionalisme dalam tubuh TNI.

Bagi militer pemerintahan demokrasi parlementer telah gagal

melaksanakan tugasnya. Serentetan pemerintahan koalisi tidak mampu melakukan

kerjasama jangka panjang dan sebagai hasilnya pemerintahan setiap kali jatuh

karena persaingan diantara kelompok-kelompok. Keadaan diperparah karena

parlemen tidak memiliki sebuah partai mayoritas tunggal ataupun koalisi yang

stabil dari partai pemegang suara mayoritas (Yulianto, 2002:221). Pada akhirnya

34

berakibat pula pada pengunduran program-program. Selain itu dalam masa ini

militer menganggap pemerintah telah mengabaikan kebutuhan-kebutuhan militer,

terutama masalah tumpang tindih pembagian dana (Crouch, 1999:28-29). Menilai

bahwa konflik internal militer semakin meluas, akhirnya parlemen mengambil

sikap dengan mengadakan serangkaian sidang membahas persoalan tersebut,

walaupun pada akhirnya upaya penyelesaian menemui jalan buntu. Melihat

perilaku parlemen yang dinilai telah mengintervensi urusan internal militer terlalu

jauh justru semakin menimbulkan rasa kecewa pada tubuh militer. Para perwira

AD menggugat kelemahan-kelemahan pemerintahan parlementer, korupsi dan

sikap pemerintah yang mengacuhkan kepentingan militer.

Puncaknya meledak peristiwa “17 Oktober 1952” yakni sejumlah

kelompok militer menghadapkan pucuk meriam ke Istana Presiden. Bersamaan

dengan peristiwa itu sekitar 30.000 masa bergerak ke parlemen kemudian menuju

Istana menuntut pembubaran parlemen (DPR) dan pelaksanaan pemilihan umum

dengan segera (Haramin, 2004: 31-43). Peristiwa 17 Oktober 1952

memperlihatkan bahwa jika militer terpecah dalam kelompok-kelompok yang

relatif seimbang, para perwira akan memanfaatkan kesempatan politik diantara

kelompok-kelompok sipil untuk mendapat kepentingan mereka.

Setelah diadakannya pemilu 1955 parlemen masih saja belum mampu

menciptakan kestabilan politik. Keadaan politik yang tidak menentu memicu

pecahnya pemberontakan PRRI dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta)

sebagai konsekuensinya pada 14 Maret 1957 diumumkan “Keadaan Darurat

Perang” (Staat van Oorlag en van Beleg/SOB) dan berlakunya UU Keadaan

Bahaya (Crouch, 1999: 21). Menurut Beni Sukadis, penyebab lahirnya Permesta

bukan berasal dari keinginan untuk memerdekakan diri melainkan keinginan

untuk segera dilakukan perubahan ekonomi, untuk mengatasi ancaman

disintegrasi di sejumlah daerah serta ancaman komunisme. Kemacetan sistem

parlementer menjadi celah bagi militer untuk mendapatkan peran lebih besar

dalam fungsi-fungsi politik, administrasi dan ekonomi.

Pada pertengahan tahun 1950-an, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor

Jenderal Abdul Harris Nasution merumuskan konsep “Jalan Tengah” sebagai

upaya mencari tempat bagi peran militer dalam pemerintahan. Dalam pidatonya

35

dalam rangka Dies Natalis Akademi Militer Nasional pada 12 November 1958

diterangkan bahwa “posisi dan peranan TNI/ABRI tidak bisa seperti di negara

barat, yang hanya melulu menjadi HANKAM, dan juga tidak seperti peranan pada

negara-negara junta militer sebagai diktatur. Jadi dalam negara Pancasila,

TNI/ABRI mempunyai posisi dan peranan sebagai salah satu kekuatan sosial

revolusi Indonesia, yang bahu-membahu dengan kekuatan sosial lainnya

mempertahankan dan membangun Bangsa dan Negara Indonesia sehingga posisi

tersebut dikatakan, the Armies middle way” (Nasution, 1971: 19). Konsep Jalan

Tengah pada akhirnya dijadikan sebuah dokumen dasar dalam perkembangan

politik militer di Indonesia. Pada proses pelaksanaannya konsep Jalan Tengah ini

justru melewati batas, seperti penjelasan dari Bpk. Beni Sukadis:

“konsep awal Jalan Tengah sebenarnya hanya memanfaatkan para tokoh

eksponen TNI untuk dapat berkarya di luar kegiatan kemiliteran, namun

pelaksanaan peran tersebut keblablasan karena seharusnya TNI bukan diberi

peran politik, militer memiliki pengaruh dalam politik namun sifatnya tidak

dominan (menjaga kedaulatan NKRI dan menolak paham komunis) tanpa harus

memiliki partai, sehingga hanya mempengaruhi dari luar saja”.

Pada masa demokrasi parlementer kepopuleran presiden dan militer

berkurang karena sistem pemerintahan hanya mengakomodasi partai-partai

politik. Sebagai salah satu kekuatan politik konkret Presiden Soekarno sulit

menerima kenyataan tersebut. Maka lahirlah sebuah konspirasi politik antara

Soekarno dan militer yang sejak awal telah kecewa dengan sistem pemerintahan

oleh partai politik (Said, 2015:103). Soekarno dan para perwira AD merintis jalan

untuk kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi kerangka institusional

Demokrasi Terpimpin. Ketika rumusan UUD yang baru gagal dirumuskan oleh

Dewan Konstitusional dan kesepakatan untuk kembali pada UUD 1945 tidak

berhasil disepakati, pimpinan AD mendorong presiden untuk mengeluarkan

dekrit. Dekrit 5 Juli 1959 memuat 3 hal pokok yakni: (1) Pembubaran

Konstituante, (2) Menetapkan berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945, (3)

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan

Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.

(Soebijono, 1992: 26)

36

Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), pemerintahan Presiden

Soekarno menggantikan sistem parlementer yang dirasa mengalami

kemandegkan. Keputusan AD memberi dukungan pada Soekarno didasarkan

pertimbangan-pertimbangan pragmatis diantaranya: 1) kebijakan Soekarno

memberikan legitimasi militer berpolitik melalui “utusan golongan” yang

esensinya adalah golongan non fungsional partai (Golongan Karya) dan militer; 2)

Kabinet Karya (kabinet non partai) memberi legitimasi bagi militer untuk masuk

dalam arena eksekutif pemerintahan. Situasi ini yang kemudian melahirkan

konsep “Dwifungsi” dan “Kekaryaan”. (Soebijono, 1992: 26)

Keterlibatan militer secara resmi dalam politik baru dimulai ketika

Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional pada 6 Mei 1957 melalui

keputusan menjadikan ABRI menjadi salah satu dari tujuh “Angkatan Karya”

(Suryadinata, 1992: 10). Akibatnya saat pengumuman Kabinet Kerja pada 10 Juli

1959, sepertiga menteri berasal dari militer dan pada 1960 Dewan Perwakilan

Gotong Royong (DPRGR) 35 dari 283 anggotanya adalah militer (Haramin, 2004:

55-57). Pada awal masa Demokrasi Terpimpin hubungan militer dan presiden

berjalanan dengan damai sampai pada keinginan Soekarno untuk melepaskan diri

dari pengaruh militer.

Terpilihnya Soekarno sebagai presiden tidak melalui dukungan resmi dari

kekuatan partai politik. Untuk itu ia berupaya mendapat dukungan dari tiga partai

yakni PKI, NU dan PNI. Oleh karena itu presiden terkadang terlihat memback-up

PKI walaupun bertentangan dengan militer. Soekarno pada akhirnya

menggunakan PKI untuk dapat mengimbangi pengaruh kekuatan politik TNI AD

yang mulai berkembang. Hubungan erat antara Soekarno dan PKI menjadi

bersifat saling menguntungkan (mutualism simbiosis). (Haramin, 2004: 57-58)

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan UUD 1945 terjadi

berbagai penyelewengan. Konsep awal untuk merubah sistem politik dari

demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin justru menenggelamkan

demokrasi oleh sebab pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Indikasi

penyalahgunaan kekuasaan disebabkan oleh banyaknya kebijakan dan pengaturan

mengenai hal-hal yang seharusnya dilaksanakan dengan undang-undang hanya

diatur dengan Penetapan Presiden yang berkekuatan sebagai undang-undang tanpa

37

melalui persetujuan DPGR. Sebagai contoh pengangkatan beberapa pejabat

Lembaga Tinggi Negara menjadi menteri, penghapusan jabatan Kepala Staf

Gabungan dan penempatan Pangab dibawah Presiden/Pangti langsung,

pembubaran DPR karena menolak RAPBN presiden, serta pengangkatan presiden

untuk seumur hidup oleh MPRS (SU MPRS II tahun 1963). (Soebijono, 1992: 27)

Kecaman militer semakin besar ketika presiden menggagas pelaksanaan

persatuan antara golongan Nasional, Agama dan Komunis (NASAKOM). Sejak

terbentuknya Kabinet Kerja ke-III (6 Maret 1962 – 13 November 1963) hingga

dengan Kabinet Dwikora (27 Agustus 1964), beberapa tokoh PKI mendapat

jabatan penting diantaranya sebagai pimpinan MPRS dan DPGR serta

memperoleh kedudukan sebagai menteri negara (Soebijono, 1992: 27). Rentetan

kebijakan Soekarno telah menimbulkan kekecewaan pada AD, utamanya

disebabkan oleh upaya presiden untuk menyingkirkan A.H Nasution yang

dianggap sebagai arsitek pembina politik militer tentara. Politik Soekarno yang

cenderung menguntungkan kelompok kiri perlahan-lahan berhasil menyingkirkan

militer (AD) hingga membuat konstelasi politik pada tahun 1962-1965 berada

dibawah pengaruh Soekarno dan PKI.

Akar pertentangan antara ABRI dan PKI didasari oleh perbedaan ideologi

yang sangat jelas dan tidak dapat dikompromikan. ABRI menolak keberadaan

PKI karena dianggap bertentangan dengan Pancasila. PKI yang bersifat atheis,

non nasionalis, merupakan organisasi internasional (komintern), dan berdoktrin

perjuangan kelas dianggap berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan

Indonesia. Pemimpin-pemimpin PKI menyadari bahwa posisinya tidak

diuntungkan seumpama terjadi adu kekuatan dengan AD. PKI kemudian

mengambil langkah untuk memperluas pengaruh dikalangan angkatan bersenjata.

Penyebaran pengaruh dilakukan secara underground, Politbiro PKI

mengkoordinasikan kegiatan penyusupan di kalangan angkatan bersenjata melalui

Badan Khusus yang dipimpin oleh Sjam Kamaruzaman (tokoh penting pembantu

Aidit), Waluyo dan Pono. Walaupun tidak banyak perwira angkatan bersenjata

bersedia terikat sepenuhnya dengan PKI, namun setidaknya PKI telah berhasil

menghimpun kekuatan dengan hadirnya empat angkatan dalam fraksi-fraksi kiri

38

ditambah dengan fraksi-fraksi yang berorientasi kepada Soekarno. (Crouch, 1999:

87-89)

Melihat gelagat Soekarno, AD tidak tinggal diam dan mulai mengambil

serangkaian tindakan penghancuran PKI. Pertentangan antara AD dan PKI

semakin memuncak pada 1965 ketika PKI memberi gagasan membentuk

Angkatan ke-5 untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani, serta diadakannya

NASAKOMISASI dengan menempatkan komisaris-komisaris politik dalam tubuh

ABRI mencontoh tentara-tentara negara komunis. Kemudian tersebar rumor

dokumen Gilchrist, adanya keinginan perebutan kekuasaan oleh Dewan Jendral di

lingkungan ABRI yang dibantu CIA. PKI menyebarkan isu bahwa Nasution akan

menjadi Perdana Menteri dan Yani menjadi Panglima Militer. Berbagai kejadian

tersebut membuat hubungan Soekarno dengan militer (AD) semakin renggang dan

semakin mendekatkan Soekarno dengan PKI. Dalam sebuah rapat pada tanggal

27-29 Mei 1965, Yani menegaskan bahwa militer tidak akan mundur sedikitpun

terhadap PKI. (Yulianto, 2002: 241)

Keterpurukan ekonomi memicu serangkaian demonstrasi yang dipelopori

oleh PKI dengan tuntutan perbaikan ekonomi dan agitasi-agitasi yang dilancarkan

terhadap para jenderal ABRI yang dianggap sebagai kapitalis birokrat dan

koruptor. Meletusnya ketidakpuasaan PKI diperlihatkan dalam pemberontakan

G30S/PKI. Gerakan 30 September telah menewaskan Letnan Jenderal Yani

(Menteri Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal Suprapto (deputi kedua),

Mayor Jenderal Harjono M.T. (deputi ketiga), Mayor Jenderal S.Parman (asisten

I), Brigadir Jenderal D.I Pandjaitan (asisten ke-4), dan Brigjen Sutojo

Siswomihardjo (oditur jenderal AD), yang kemudian hari lokasi tempat

pembunuhan para Dewan Jenderal disebut Lubang Buaya. PKI juga berhasil

merebut beberapa instalasi strategis di ibu kota, antara lain gedung RRI dan

telekomunikasi. (Soebijono, 1992: 31-32)

Beberapa oknum tentara ternyata terlibat, Letnan Kolonel Untung

komandan batalion Tjakrabirawa sebagai pemimpin Gerakan 30 September,

Kolonel A. Latif dan Mayor Udara Sujono. Dalam pernyataannya Untung

menegaskan bahwa G30S dilaksanakan oleh perwira-perwira berpikiran maju

bersama satuan-satuan dari unsur-unsur angkatan bersenjata lainnya guna

39

mencegah terjadinya kudeta yang direncanakan oleh para Dewan Jenderal dengan

bantuan CIA pada 5 Oktober bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata. Para

Dewan Jenderal tersebut telah ditahan dan seluruh kekuasaan dalam wilayah

Indonesia akan dialihkan kepada Dewan Revolusi yang bertanggungjawab

melaksanakan kebijakan-kebijakan presiden Soekarno sampai pemilihan umum

diselenggarakan.

Pada 1 Oktober 1965 malam hari diumumkan melalui siaran radio bahwa

Gerakan 30 September (G30S) adalah “suatu gerakan kontra revolusioner”

sebagai bentuk kudeta melawan Presiden Soekarno. Pada saat itu pula Soeharto

mengumumkan bahwa AD telah diambil alih dibawah komando Soeharto dan

telah dicapai pengertian bersama seluruh angkatan lain untuk menghancurkan

Gerakan 30 September. (Crouch, 1999: 108-112)

Gerakan 30 September dianggap sebagai suatu gerakan kudeta yang

melibatkan PKI dan para perwira progresif AD di dalamnya. Sejarah Indonesia

mencatat bahwa PKI adalah dalang dari percobaan kudeta, hal ini di dasari dari

bukti-bukti yang dikemukakan para pemimpin PKI dalam sidang Mahkamah

Militer Luar Biasa (Mahmilub), kudeta telah diatur sedemikian rupa sehingga

nampak seperti urusan intern AD oleh utusan-utusan PKI dalam korps perwira,

para perwira yang terlibat adalah komunis atau setidaknya simpatisan komunis,

yang kemudian dibina oleh PKI (Notosusanto dan Saleh, 1968: 10). Berbagai

keadaan membenarkan keterlibatan PKI diantaranya Aidit dan organisasi gerakan

komunis (Gerakan Wanita Indonesia dan Pemuda Rakyat) hadir pada 1 Oktober di

pangkalan Halim tempat para Dewan Jenderal dikuburkan, Walikota Solo yang

pada saat itu adalah anggota PKI secara terang-terangan memberikan dukungan

kepada Untung melalui siaran radio, dan koran Harian Rakyat yang notabene

milik PKI mengeluarkan editorial berisi pujian-pujian atas tindakan berani

Untung. Selain itu terdapat pengakuan dari Njono dan Aidit sebelum dieksekusi

pada 1966 bahwa, “PKI telah memainkan peran penting dalam pengorganisasian

percobaan kudeta” (Crouch, 1999: 112-113). Fakta-fakta semacam itulah yang

mendasari penghakiman dari Gerakan 30 September.

G30S/PKI justru memberi kekuatan baru bagi Angkatan Darat.

Keberhasilan AD menumpas PKI menjadikan militer sebagai satu-satunya

40

kekuatan solid dan berpengaruh pada peta perpolitikan Indonesia pada masa

setelahnya. Memanfaatkan kebencian kelompok Islam yang masih dominan juga

dukungan penuh seluruh lapisan masyarakat, maka lahirlah Tri Tuntutan Rakyat

(TRITURA) pada 10 Januari 1960 berisikan: 1)bubarkan PKI, 2)turunkan

harga/perbaiki ekonomi, 3) Retool Kabinet Dwikora. Keadaan ini memaksa

Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian dianggap

sebagai benih lahirnya Orde Baru. Berdasarkan Supersemar maka PKI berserta

seluruh ormasnya dilarang dan tidak memiliki hak hidup lagi terhitung mulai

tanggal 12 Maret 1966. (Soebijono, 1992: 31-32)

Dalam tiga bulan terakhir kedudukan Soekarno pada 1965 melemah secara

drastis, presiden berusaha susah payah menegakkan kembali kekuasaannya.

Keengganan pembubaran PKI dan perombakan kabinet menjadi hal yang

mendasari sekelompok perwira anti-Soekarno untuk bertindak lebih keras.

Beberapa kali demonstrasi anti-Soekarno oleh para mahasiswa pecah dan semakin

brutal dengan melakukan aksi-aksi vandalisme di Jakarta. Brigradir Jenderal

Suadi, duta besar untuk Ethiopia telah memperingatkan Soekarno bahwa terdapat

rencana penyergapan istana oleh pasukan RPKAD. Terbukti saat sidang kabinet

sedang berlangsung ditengah acara Soekarno mendapat berita bahwa sekelompok

pasukan tidak dikenal telah mengepung bagian depan istana, pasukan-pasukan

tersebut menanggalkan segala identitas mereka termasuk baret merah yang

terkenal itu.

Mendapati situasi membahayakan tersebut, Soekarno segera berangkat ke

menuju istana Bogor bersama-sama dengan Subandrio dan Chaerul Saleh. Sore

harinya Amir Machmud, Mayor Jenderal Mochamad Yusuf dan Mayor Jenderal

Basuki Rachmat bertandang ke istana Bogor guna berembug dengan presiden

hingga disepakati “Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)”, didalamnya

berisi perintah presiden kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang

diperlukan guna menjaga keamanan dan stabilitas pemerintahan (Lampiran I).

Pihak AD menciptakan sebuah kondisi yang menegaskan bahwa telah tercapai

kesepakatan bersama Soekarno berdasarkan rasa sukarela presiden untuk

mengalihkan kekuasaannya kepada Soeharto. Oleh pengesahan Supersemar maka

Soekarno kehilangan power, setelahnya pada 12 Maret pembinasaan PKI besar-

41

besaran mulai dilaksanakan dan kabinet baru bentukan presiden berhasil

dibubarkan. (Crouch, 1999: 200-216)

Untuk mendapatkan dukungan konstitusional terhadap Supersemar para

pimpinan AD mengundang sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

(MPRS) pada akhir bulan Juni. Melalui SI MPRS dinyatakan bahwa pemerintahan

Presiden Soekarno telah menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Hasilnya

MPRS mengesahkan beberapa ketetapan yang bertujuan untuk menegakkan

kembali UUD 1945, termasuk pencabutan ketetapan MPRS untuk pengangkatan

presiden seumur hidup dan meminta laporan pertanggungjawaban presiden,

khususnya untuk peristiwa G30S/PKI. Hasil sidang Umum MPRS IV telah

mengurangi hak-hak prerogatif presiden dan memberikan persetujuan resmi

kepada kekuasaan Soeharto melalui mandat untuk menjalankan segala sesuatu

yang berkenaan dengan Supersemar. Keputusan akhir MPRS seusai presiden

menyampaikan laporan pertanggungjawaban terakhirnya, “MPRS menganggap

Presiden Soekarno belum dapat melaksanakan pertanggungjawaban

konstitusionalnya dan bahwa presiden belum berhasil melaksanakan amanat

keputusan MPRS, maka MPRS melarang Presiden Soekarno untuk turut campur

dalam kegiatan politik sampai pemilihan umum dilangsungkan, untuk

memberlakukan keputusan ini maka mandat MPRS dicabut dari Presiden

Soekarno dan semua kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur oleh UUD

1945”. MPRS mengangkat Jenderal Soeharto menjadi “Pejabat Presiden”,

Soeharto memegang jabatan pejabat presiden sampai Sidang Umum MPRS V

pada Maret 1968 mengangkatnya sebagai presiden Indonesia, sehingga dengan

demikian Presiden Soekarno resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto (Lampiran

II).

Kelemahan para politikus yang selalu mencari dukungan dari militer untuk

dapat memperoleh legitimasi kekuasaan justru membuka celah kesempatan bagi

militer untuk masuk dalam susunan ketatanegaraan. Pada awal masa Demokrasi

Parlementer institusi militer dibuat untuk mengakui supremasi sipil dengan

pemberlakuan UUDS 1950. Mengkaji dari teori Joseph S. Nye Jr hubungan sipil-

militer pada masa demokrasi parlementer hancur disebabkan oleh intervensi

pemerintah terhadap persoalan intern ABRI dan sejak digunakannya persoalan

42

pertahanan untuk tujuan-tujuan politik pada 1952 serta ketidaksediaan pemerintah

untuk mengakui dan menghormati tingkat otonomi fungsional AD pada 1955,

menyebabkan AD semakin bertindak vokal. Selain itu seperti kata Amos

Permultter, tumbuhnya fragmentasi masyarakat yang semakin besar akibat dari

konflik kepentingan antar partai-partai politik dan ketidakmampuan pemerintah

untuk mengatasi persoalan konflik pemberontakan di berbagai wilayah di luar

Jawa, semakin mendasari militer untuk memberikan penilaian bahwa sipil telah

melepaskan tanggungjawab politiknya.

Keabsahan peran militer semakin tak terelakan ketika Soekarno

menjadikan ABRI sebagai kekuatan politik legal dalam Golongan Karya.

Prakteknya keputusan inilah yang dijadikan dasar Dwifungsi. Kebijakan

sentralisasi dan sikap anti partai Soekarno dan militer melemahkan kekuatan-

kekuatan sipil dan menjadikannya tidak berdaya. Intervensi militer dalam politik

negara semakin menguat pada saat Demokrasi Terpimpin ambruk akibat

inkonsistensi dan kelemahan sistemnya sendiri.

IV.1.2 Perkembangan Peran Militer dalam Masa Orde Baru

Pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai presiden penuh pada 1968

menghantarkan militer memiliki posisi dominan dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Berikutnya Soeharto beserta militer yang berada di pihaknya segera

melakukan langkah-langkah konsolidasi kekuasaan. Untuk menghadapi lawan-

lawannya Soeharto menggunakan dua taktik berbeda, disatu pihak Soeharto

menggunakan pasukannya untuk melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI

dan pendukung-pendukung Soekarno serta kelompok-kelompok lain yang

berusaha melawan kepemimpinan Angkatan Darat. Sedangkan untuk menghadapi

lawan-lawan militer yang dapat memobilisasi pasukan mereka, Soeharto memilih

cara lebih lembut dengan memberikan penugasan-penugasan diplomatik atau

administratif yang bersifat kehormatan ataupun menguntungkan. Pada tahun 1969,

Soeharto berhasil mengisi seluruh komando AD dengan orang-orang yang

sepenuhnya menerima kepemimpinannya.

Perangkat pengawasan kekuatan politik Angkatan Darat diperoleh dari

organisasi teritorial bentukan mereka. Jaringan kerja satuan-satuan daerah

dikembangkan untuk mengurus keamanan dalam negeri dan perangkat

43

pengawasan.terhadap.kegiatan-kegiatan sipil, seperti Kodam/ Korem/ Kodim/

Koramil. Salah satu badan keamanan yang menjadi kunci tegaknya kekuasaan

Orde Baru adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Kopkamtib menjadi senjata utama pemerintah Orba untuk menanggulangi

pemberontakan-pemberontakan sipil. Kopkamtib juga menjadi badan yang

berwenang untuk memberikan surat izin bagi terbitnya surat-surat kabar pada

masa itu. Pada tahun 1971, Kopkamtib memiliki tugas untuk menjaga keamanan

dan ketertiban selama kampanye pemilu dan pada dasarnya bertugas untuk

menahan banyak orang. Badan kemanan lain yang sangat penting adalah Badan

Koordinasi Intelejen (Bakin), digunakan pemerintah untuk memperhatikan

perkembangan dalam negeri sehubungan dengan partai politik dan tanda-tanda

kebangkitan komunis.

Hubungan sipil-militer dalam tahun-tahun berikutnya semakin didominasi

militer, maka supremasi militer resmi berlaku di Indonesia. Kabinet Soeharto

bukanlah badan pembuat keputusan dan bersifat teknokratik. Hal lain yang

membatasi kekuasaan para menteri sipil adalah pengangkatan perwira-perwira AD

dalam posisi tinggi kedudukan sipil secara menyeluruh di tingkat pemerintahan

pusat hingga pemerintahan daerah. Jumlah perwira militer menjabat bupati dan

walikota berkembang jauh lebih banyak dari pada sipil. Walaupun hubungan

presiden dan kabinet bersifat koordinasi administratif, namun banyak keputusan

kebijakan dibuat hanya berdasarkan pertimbangan suatu kelompok perwira AD

kepercayaan Soeharto. Staf pribadi (Spri) presiden, bertugas memberikan nasihat

dari kebijakan-kebijkaan di bidang keuangan, politik, intelejen luar negeri,

intelejen dalam negeri, kesejahteraan sosial dan pemilihan umum, serta berperan

dalam kebijakan urusan khusus dan urusan umum. Pada tahun 1968 Aspri

dibentuk menggantikan Spri yang tetap beranggotakan kawan-kawan presiden

sehingga dipandang sebagai “kabinet bayangan”. Aspri memiliki misi khusus

untuk menghimpun kekuatan-kekuatan AD. Dalam perkembangannya Operasi

Khusus (Opsus) dibentuk di bawah komando Ali Murtopo bertugas mengawasi

perkembangan partai-partai politik dan menjamin hasil positif pelaksanaan

referendum Irian Barat dan Pemilu 1971. (Crouch, 1999: 248-272)

44

Dominasi Angkatan Darat yang telah terlembaga dalam seluruh sektor

pemerintahan memberikan keleluasaan bagi militer untuk melakukan kontrol

administrasi. Peranan sipil sengaja tidak disingkirkan sepenuhnya untuk memberi

gambaran citra pemerintahan demokrasi. Para pemimpin AD ingin menampakkan

kesan seolah-olah pemerintah menjamin kestabilan iklim politik agar dapat

menghimpun dukungan rakyat. Menguasai kontrol adminitrasi tidak hanya berarti

AD memiliki pengaruh besar dalam penentuan kebijakan-kebijakan pemerintah

disemua tingkat, namun berarti pula bahwa mereka mampu memberikan

perlindungan dan berbagi jasa terhadap rekan-rekan militer dan kawan-kawan

sipilnya. Perilaku yang berulang secara terus menerus ini memberikan para

pimpinan AD kekuasaan lebih besar dan kedudukan menguntungkan serta

terpandang, sebagai ganti imbalan balas budi.

Para perwira AD umumnya tidak bermaksud untuk mengalihkan

pemerintahan kepada partai-partai politik atas nama demokrasi. Menurut militer

kehadiran partai politik sejak awal masa demokrasi parlementer hanya dijadikan

sebagai mesin pelindung kelompok-kelompok tertentu, bahkan kehadirannya

dianggap menimbulkan instabilitas politik (Yulianto, 2002: 248). Militer yang

sangat antipartai menganggap kehadiran partai poltik hanya akan menjadi

rintangan bagi pelaksanaan program-program pemerintah karena kebutuhan untuk

memberikan konsesi-konsesi kepada kepentingan pribadi partai. Pada akhirnya

AD merencanakan perlawanan terhadap partai-partai politik tanpa tekanan secara

langsung melalui organisasi sipil bentukan mereka yang memainkan peran dalam

pemilihan umum. Organisasi sipil ini dipercaya dapat menjamin kemenangan

telak bagi AD.

Langkah awal AD untuk menekan partisipasi partai adalah mengulur

waktu pemilu hingga Juli 1968 dan bersama MPRS menyepakati penyederhanaan

partai-partai, organisasi-organisasi dan golongan-golongan fungsional. Desakan-

desakan partai membuat Soeharto akhirnya mengeluarkan “paket” atau pokok-

pokok persetujuan dimana kedua belah pihak baik pemerintah dan partai akan

memberikan konsesi-konsesi. Akhirnya diperoleh kesepakatan bersama bahwa

partai-partai memberi pengakuan kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga

dari anggota MPR dan 100 dari 460 anggota DPR termasuk sipil dan wakil-wakil

45

ABRI. Pemerintah menyetujui untuk menerima perwakilan proporsional dengan

daftar partai yang daerah pemilihannya meliputi provinsi. “Paket” berhasil

menjadi jalan penentuan garis-garis pokok perundang-undangan pemilu.

Perubahan rencana pemerintah yang semula ingin menekan partisipasi partai

didasarkan pada pertimbangan bahwa jika partai-partai diberi kedudukan penting

dengan sendirinya akan menyesuaikan diri dengan dominasi AD serta bersedia

memberi dukungan pada rezim. Selain itu persetujuan Paket Juli 1967

membutuhkan waktu lebih lama untuk penyusunan ulang UU, langkah ini

memberikan keuntungan bagi Soeharto untuk mendapatkan kelonggaran jadwal

pemilu dan membangun citra mulia dirinya dihadapan partai-partai karena

kesediaan memberikan konsesi. Pada tanggal 22 November 1969 Undang Undang

Pemilihan Umum dan Undang Undang mengenai struktur dan kedudukan MPR,

DPR dan DPRD disahkan oleh DPGR. (Crouch, 1999: 276-284)

Soeharto beserta kawan-kawannya segera melancarkan strategi lain untuk

mendapat dukungan para pimpinan partai guna menghimpun massa di seluruh

daerah. Pemerintah berusaha memberikan tempat kepada tiga partai besar yakni

PNI, NU dan partai baru wakil partai Masyumi yang terlarang. Pemerintah sangat

berhati-hati dengan memastikan bahwa pimpinan partai terpilih adalah orang yang

bersedia patuh dan mudah bekerjasama dengan pemerintah. PNI adalah satu-

satunya partai pada masa itu paling dekat diidentifikasi dengan Presiden Soekarno

di masa lampau. Besarnya basis massa PNI terutama di Jawa Tengah dan Jawa

Timur terwakili dengan baik dalam administrasi daerah dan bayaknya kaum

abangan yang setia membuat Soeharto memilih tetap mempertahankan PNI.

Soeharto ingin menjadikan PNI sebagai penyeimbang kekuatan partai-partai

Islam. Terpilihnya Hadisubeno sebagai ketua umum PNI yang baru sangatlah

cocok dengan strategi pemerintah karena dirinya bukan tipikal penentang

penguasa. Sementara itu PNI semakin bergantung dengan bantuan keuangan yang

disalurkan Opsus dan Bank Umum Nasional, bank milik PNI diselamatkan Opsus

dari kebangkrutan pada 1967.

Sejak pembubaran Masyumi pada 1960 besarnya massa Islam menjadi

tidak lagi terwakili dalam politik. Soeharto memanfaatkan kondisi tersebut dengan

mengambil langkah upaya mengintegrasikan bekas-bekas pendukung Masyumi ke

46

dalam sususan politik baru. Pemerintah mengumumkan tidak melarang

pembentukan partai baru yang basis massanya dari Masyumi, seperti

Muhamadiyah sebagai organisasi untuk kesejahteraan sosial dan pendidikan.

Hingga terbentuklah Partai Muslim Indonesia (Parmusi) sejak 20 Febuari 1968.

Sayangnya pimpinan Parmusi, Mintareja memiliki prinsip yang tidak mudah

dikendalikan pemerintah. Akibatnya Parmusi dikucilkan dari banyak pendukung

partai. Partai besar lainnya adalah Nahdatul Ulama (NU) memiliki dukungan

massa dari kalangan pemimpin agama konservatif di pedesaan Jawa. Pada

umumnya pemimpin-pemimpin NU memiliki sifat oportunis dengan tidak terlalu

mengkawatirkan politik, tujuan mereka hanya untuk menjamin agar masyarakat

Islam dapat terwakili dengan baik. Pemerintah berkesimpulan bahwa jika NU

diberi status dan dana bagi kegiatan-kegiatan agama maka NU dapat memberi

dukungan kepada Soeharto seperti yang terjadi di masa Soekarno. (Crouch, 1999:

285-296)

Pada akhirnya di pertengahan tahun 1967 pemerintah mengubah kebijakan

pembersihan partai pendukung Soekarno menjadi menggalang kerja sama dengan

partai-partai yang tidak akan menentang peran utama AD. Melalui Opsus

pemerintah berhasil menundukan para pimpinan partai, walaupun PNI dan

Parmusi dalam pembentukan kepemimpinannya merasa tersinggung namun hal itu

tetap dapat dikendalikan. Pemerintah nampak mempercayakan penghalang yang

mungkin ditimbulkan partai Islam kepada PNI, sambil menekan kebebasan

Parmusi dan membeli pimpinan NU.

Pada masa Orba pemilu diselenggarakan oleh pemerintah, pemilu semu

diadakan untuk memastikan tidak ada isu yang menjadi ancaman bagi rezim Orba.

Taktik politik dilakukan dengan memberikan kesempatan partisipasi kepada

partai-partai, sementara pemerintah memperoleh pengesahan disisi lain partai-

partai politik akan tetap terpecah sebagai akibat konfrontasi antar partai dalam

pemilu. Untuk memperoleh kemenangan dalam pemilu Soeharto berupaya

menggalang kekuatan politik melalui golongan-golongan fungsional (Yulianto,

2002: 252). Melalui “pemurnian” Golongan Karya pemerintah telah mengambil

langkah optimis menuju pembentukan “partai pemerintah” dalam parlemen.

Pemerintah mengandalkan Sekber-Golkar, dimana Ali Murtopo diberi tugas untuk

47

memastikan Sekber-Golkar bertindak efektif dalam pemilihan. Walaupun banyak

anggota Golkar berasal dari sipil tetapi dominasi AD dalam kepemimpinan

mampu mengalahkan kekuatan sipil yang ada. Berbeda dengan Sekber-Golkar

lama, arah organisasi baru ini meyakini kebutuhan memodernisasi politik

Indonesia dengan cara mengurangi peranan partai-partai tradisional. Golkar

mencoba menjadi tameng pelindung bagi para pengikut partai-partai terdahulu

yang merasa berkepentingan untuk mengalihkan suara mereka kepada Golkar.

Langkah politik untuk menghadapi para pendukung PNI yang notabene

selalu mendapatkan suara dari organisasi karyawan Departemen Dalam Negeri,

pemerintah menggunakan tekanan kepada pegawai negeri. Tekanan dilakukan

dibawah koordinator Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, para karyawan

dipaksa untuk menandatangani “loyalitas tunggal” kepada pemerintah dan

memberi suara sepenuhnya kepada Golkar, sedangkan para pejabat daerah diberi

jatah suara yang harus diperoleh untuk kemenangan Golkar. Langkah berbeda

untuk menghadapi partai-partai berafiliasi agama Islam, Golkar melakukan

beberapa upaya untuk mengambil hati para kyai dengan memberikan suntikan

dana untuk perjalanan luar negeri dan pesantren-pesantren serta pendirian GUPII

(suatu usaha untuk perbaikan pendidikan Islam) pada 1971. Tidak berhenti sampai

disitu untuk menyebarkan pengaruhnya di pedesaan militer melakukan tekanan-

tekanan langsung melalui tindakan intimidasi. Sasaran paling mudah saat itu

adalah bekas pendukung PKI yang ketakutan diperlakukan lebih buruk.

Penahanan para pimpinan partai di daerah-daerah juga dilakukan selama

kampanye pemilu dengan tuduhan telah melanggar UU pemilihan umum. Pada

awal 1971 ketika kampanye semakin gencar dilakukan partai-partai mulai

bereaksi menentang taktik “buldozer Golkar”. Tindakan-tindakan konsolidasi

massa Golkar ternyata lebih efektif dari pada perkiraan. Hasilnya Golkar

mencetak angka kemenangan 62,8% sehingga meyoritas kursi DPR dipenuhi oleh

para pimpinan Golkar. (Crouch, 1999: 296-304)

Demikianlah rezim militer semakin menguat dalam pemerintahan

Indonesia dan mulai menekan partai-partai untuk membubarkan diri atau kembali

kepada peranan mereka semula sebagai kekuatan nonpolitik. Untuk semakin

menekan peran partai politik pemerintah memberlakukan fusi partai-partai politik.

48

Partai-partai politik harus menerima kerugian perpecahan dalam partai baru

sebagai akibat banyaknya perbedaan yang dipaksakan berada dalam satu wadah.

Pada awal tahun 1973, pemerintah berhasil merestrukrisasi sembilan partai politik

menjadi dua partai baru yakni, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terbentuk

menggantikan partai-partai Islam NU, Parmusi, PSII, dan Perti pada 5 Januari

1973. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terbentuk sebagai hasil pembaharuan 5

partai lainnya yakni PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik pada 19

Januari 1973. Seperti keinginan pemerintah pimpinan kedua partai sangatlah

mudah dikendalikan. Maka sejak tahun 1973 hanya terdapat tiga partai politik

yang mengikuti pemilu yaitu PPP, PDI dan Golkar. (Yulianto, 2002: 281-286)

Kegagalan pemerintah yang lalu untuk mencukupi segala kebutuhan

militer disadari Soeharto dapat berakibat pada pemberontakan terbuka terhadap

pemerintah. Maka untuk mensiasatinya pemerintah memberikan izin praktek-

praktek dimana militer mencari dana tambahan sendiri guna menambah

pendapatan. Melalui sistem ini pemerintah Orba berhasil memberikan citra kepada

rakyat bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah sepenuhnya digunakan untuk

pembangunan ekonomi. Sistem keuangan inkonvensional militer memberi

peluang bagi para perwira untuk duduk dalam jabatan-jabatan yang mampu

menguntungkan AD. Perusahaan-perusahaan raksasa, perusahaan minyak negara,

badan penjualan dan pembelian bahan makanan milik negara dan perusahaan

perdagangan umum raksasa dikuasai oleh para perwira senior AD. Para

pengusaha tentara ini memiliki tugas utama yakni menjamin pengaliran dana tetap

ke kas AD tanpa merusak citra AD. Sebagai timbal balik perusahaan-perusahaan

yang berada dibawah naungan militer sering mendapat perlakuan istimewa oleh

para petinggi militer yang berada dalam lingkungan pemerintahan.

Produksi minyak Pertamina memberikan sepertiga dari sumber

penghasilan ekspor Indonesia dan menjadi sumber dana terpenting pada awal

Orde Baru. Kenyataannya pertamina yang merupakan perusahaan BUMN dalam

pelaksanaannya bekerja sebagai perusahaan swasta dibawah Ibnu Sutowo yang

bertanggungjawab hanya kepada pimpinan militer. Ibu Sutowo memiliki otonomi

penuh atas pertamina dengan menjalankan cara-cara sendiri tanpa harus

bertanggungjawab kepada menteri pertambangan. Dana-dana yang disediakan

49

pertamina memberikan peluang meluasnya kekuasaan AD yang semakin besar

tanpa takut terhadap pengawasan pemerintah dan tekanan internasional.

Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai Komando Logistik Nasional

menjadi badan pencari dana kedua bagi AD. Bulog berada dibawah kontrol

perwira-perwira AD baik ditingkat pusat maupun cabang-cabangnya di daerah

dikenal sebagai pusat korupsi. Walaupun Bulog dinilai telah gagal dalam

pengumpulan dan penyaluran beras serta menyebabkan kenaikan-kenaikan harga,

namun dianggap sukses meningkatkan dana bagi AD dan para perwira secara

perseorangan. Semakin besarnya krisis ekonomi pada tahun 1972-1973, membuat

pemerintah memberhentikan Letnan Jenderal Achmat Tirtosudiro dari jabatannya

sebagai pimpinan Bulog dan mengangkatnya menjadi duta besar Indonesia untuk

Jerman Barat. Pada tahun 1973 Bulog dioperasikan kembali.

Selain dua perusahaan negara diatas terdapat pula sumber dana besar

untuk waktu yang tidak lama PT Berdikari. PT Berdikari adalah perusahaan yang

menggantikan perusahaan Orde Lama (PT Karkam dan PT Aslam), memiliki

perputaran modal sangat besar. Brigadir Jenderal Suhardiman menjadi pimpinan

PT Berdikari dan bertaggungjawab langsung kepada Soeharto. Pada awal pertama

berdirinya PT Berdikari mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan

program pengembangan ambisius. Hingga pada akhir tahun 1968 Bank Dharma

Indonesia bentukan PT Berdikari bangkrut dan pada tahun 1969 kegiatan-kegiatan

PT Berdikari dihentikan dan PHK bagi separuh stafnya.

Pada tahun 1969 para pimpinan AD memutuskan untuk memusatkan

kegiatan peningkatan dana agar mempermudah alokasi dana dalam lingkungan

AD. Langkah yang dilakukan adalah menggantikan yayasan-yayasan dan badan-

badan lain dibawah delapan direktorat utama yang tergabung dalam Markas Besar

Angkatan Darat dengan badan-badan usaha swasta terdaftar yang dimiliki oleh

AD dan dikoordinasikan oleh perusahaan AD. Sedangkan di daerah-daerah

praktek inkonvensional pencarian dana masih diberlakukan para komandan untuk

memenuhi kebutuhan lokal. Setiap daerah memiliki cara tersendiri dalam praktek

pengumpulan dana diantaranya penyelundupan, penggunaan kendaraan dan kapal-

kapal militer sebagai sarana angkutan penumpang dan barang, menjadi kontraktor

utama proyek pembangunan di daerah, kepemilikan usaha penggilingan beras dan

50

gedung-gedung usaha serta mendirikan bank-bank militer (Crouch, 1999: 308-

320). Konsekuensinya badan militer menjadi lebih bersifat komersial. Hal tersebut

kemudian menjadi suatu kebudayaan, dimana merupakan hal yang wajar bagi

pejabat untuk menggunakan kedudukan resminya demi memperoleh keuntungan

asalkan dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.

Praktek korupsi yang dilakukan oleh militer bukanlah tidak disadari oleh

masyarakat. Tetapi kecenderungan Soeharto untuk menggiring opini publik

bahwa kasus korupsi hanya dilakukan oleh para pegawai kelas rendah akibat

adanya standar hidup yang belum terpenuhi menjadi penghalang bagi kritik-kritik

terhadap pemerintah. Untuk mengurangi keraguan masyarakat akan upaya

pemerintah memberantas korupsi dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi pada

1967, dimana walaupun banyak kasus telah terungkap namun hanya kasus-kasus

kecil yang dapat dibawa ke meja hijau persidangan. Setelah itu pemerintah

membentuk Komisi Empat pada tahun 1970 bertugas menilik masalah korupsi dan

cara-cara mengatasinya. Sayangnya setelah menyampaikan serangkaian

rekomendasinya komisi ini bubar. Tak lama kemudian pemerintah mengeluarkan

pengumuman bahwa segala usul dari Komisi IV akan diringkas oleh presiden

dalam laporan tahunannya kepada DPGR pada 16 Agustus 1970. Munculnya

perlawanan mahasiswa setelah mengetahui hasil investigasi Komisi IV mampu

diredam oleh AD melalui Kopkamtib dengan melarang semua aksi demontrasi.

Menjadi jelas bahwa keseluruhan sistem telah terpengaruh dan dirancang untuk

memenuhi kebutuhan para elite tentara, birokrat sipil dan kelompok bisnis.

(Crouch, 1999: 328-238)

Jatuhnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto disinyalir sebagai efek

utama krisis moneter (jatuhnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar AS secara

drastis) pada 1997. Krisis ekonomi telah menjadi trigger hancurnya legitimasi

kekuasaan rezim otoriter di Indonesia. Lahirnya krisis ekonomi telah memicu

tumbuhnya krisis politik yang semakin mempersulit Indonesia keluar dari krisis

nasional. Suatu kesalahan dari kebijakan pemerintah Orba karena hanya

menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata dimana kenyataannya

keuntungan pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok elit tertentu hingga

pada akhirnya menyebabkan ketimpangan proses pembangunan (Haramain,

51

2004:76). Memburuknya situasi membangkitkan rasa skeptis dan reaksi keras

masyarakat melawan pemerintah. Pemerintah dimata masyarakat telah menjadi

institusional disease tercermin dari serangkaian praktek korupsi, kolusi dan

nepotisme ditambah pula ketidakpastian hukum di Indonesia. (Haramain, 2000)

Permasalahan ekonomi dan persoalan politik telah menumbuh suburkan

peluang masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Aksi-aksi

demonstrasi dimulai dari suara keras para mahasiswa, diikuti aksi para aktivis

LSM untuk memberi kesadaran politik pada masyarakat, aksi cendekiawan dan

akademisi membentuk opini publik untuk menuntut reformasi kepemimpinan

nasional dan reformasi ekonomi. Aksi-aksi ini digelar di seluruh wilayah

Indonesia dengan tuntutan keras menginginkan mundurnya Soeharto dari

jabatannya. Berbagai kerusuhan massa tidak dapat dihindari dan tuntuntan untuk

segera diadakannya Sidang Istimewa (SI) MPR. Pada akhirnya MPR

mengeluarkan sebuah pernyataan, bahwa Presiden Soeharto diberi batas waktu

untuk mengundurkan diri hingga hari Jumat, 22 Mei 1998 dan jika presiden tidak

menyatakan pengunduran dirinya maka pimpinan DPR/MPR akan melakukan

rapat koordinasi untuk membahas pelaksanaan SI MPR. Presiden Soeharto

menyetujui tuntutan rakyat dengan mengumumkan pernyataan pengunduran

dirinya dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. (Yulianto, 2002: 342-343)

Melalui pengesahan Supersemar militer telah berhasil melakukan

peralihan dan pengokohan kekuasaan secara damai dan konstitusional.

Pemerintahan otoriter ala Soeharto menjadi era emas dominasi dan kejayaan

dwifungsi ABRI. Semasa pemerintahan Presiden Soeharto militer berhasil

mendominasi pemerintahan dan melaksanakan tugas-tugas diluar fungsinya

sebagai pelaksana pembangunan sosial politik di Indonesia. Keberhasilan militer

menguasai sektor-sektor lain diluar sektor keamanan mampu tercapai karena

didukung langkah-langkah Soeharto dalam upaya konsolidasi kekuasan rezim

Orba. Doktrin keterlibatan militer dalam politik pada masa kepemimpinan

Soeharto merujuk pada UU No.20 tahun 1982 (Araf dan Mengko, 2015:37). UU

tersebut menjelaskan bahwa secara umum tugas dan tanggungjawab ABRI adalah

sebagai kekuatan sosial politik, berarti bahwa ABRI tidak hanya sebagai

“stabilisator” namun juga “dinamisator” yang dibutuhkan untuk kepentingan

52

ekonomi (Soebijono, 1992: 146). Keberadaan anggota ABRI di DPR dan MPR

memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk mengamankan nilai dan

kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan.

Militer pada masa ini menurut Nordlinger digolongkan sebagai militer

pretorian tipe penguasa. Penggolongan ini berdasarkan tingginya pengaruh militer

dalam pembuatan keputusan baik di tingkat pusat pemerintahan hingga tingkat

daerah. Aktor-aktor pemerintah yang mayoritas berasal dari ABRI turut

mengintervensi kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia. Hal ini terlihat dari

upaya-upaya pemerintah mengarahkan pandangan masyarakat terhadap jalannya

pemerintahan, masyarakat mendapat kesan bahwa pemerintahan Soeharto adalah

pemerintahan demokrasi bukan sebaliknya. Perkembangan ekonomi Indonesia

menjadi tumpul akibat sistem perekonomian Indonesia tidak memiliki fundamen

kebijakan perekonomian yang kuat menyebabkan tidak jelasnya sirkulasi

perekonomian, serta diperparah dengan tingginya tingkat KKN di segala sektor.

Perkembangan demokrasi pada masa Soeharto adalah masa paling kritis

bagi Indonesia. Pemerintah dengan leluasa memonopoli kebijakan dan melakukan

pembatasan partisipasi politik yang dibantu oleh tindakan represif militer.

Pemerintah berusaha menciptakan oposisi terbatas dengan melakukan penekanan

dan pengurangan partai-partai politik. Krisis ekonomi akhirnya menghantarkan

rakyat untuk melakukan gerakan revolusioner menghancurkan Orba. Berakhirnya

pemerintahan Soeharto mengakhiri pula peran dominasi dwifungsi militer di

Indonesia dan dimulainya reformasi di segala bidang.

IV.2 Peran Politik Militer dalam Masa Transisi Demokrasi di Thailand

Kondisi politik Thailand saat ini telah berada dalam keadaan tidak

menentu. Sejak kudeta 1932 yakni upaya penggantian sistem monarki

absolut menjadi monarki konstitusional, Thailand masih saja dirundung

rangkaian kudeta tak berkesudahan. Pada awalnya kudeta Thailand bersifat

elitis, konservatif dan hanya melibatkan para pimpinan militer dan birokrat

tinggi di sekitar Raja. Dalam perkembangannya sifat kudeta mulai berubah

ketika pada 1970-an mahasiswa mulai tampil melawan pemerintahan

diktator militer. Oleh karena sifat kudeta bersifat elitis maka kudeta di

Thailand nyaris tidak melibatkan masyarakat.

53

Proses demokratisasi mengalami kemandegkan ketika pada tahun

2006 militer kembali mengkudeta pemerintahan sipil pilihan rakyat dan

mengelola pemerintahan. Merujuk pada konstitusi, tidak ditemukan

pelanggaran pada perubahan politik secara mendadak tersebut, namun

perubahan pemerintahan secara terus menerus memiliki dampak negatif

pada kestabilan politik Thailand. Perubahan politik yang terjadi tidak

terlepas dari betapa besarnya pengaruh kekuasaan yang dimiliki militer

dan para elit poltik Thailand. Untuk itu penulis akan mengulas mengenai

sejarah keterlibatan militer dalam politik Thailand serta faktor-faktor

pendukungnya.

IV.2.1 Latar Belakang Keterlibatan Peran Politik Militer

Sejarah perkembangan keterlibatan peran militer Thailand hingga menjadi

sebuah kekuatan politik terbagi dalam dua momentum besar. Pertama, saat masa

kejayaan monarki Raja berupaya melakukan modernisasi pola militer. Kedua,

perubahan bentuk pemerintahan dari monarki absolut menjadi monarki

konstitusional memberikan efek pada perubahan bentuk militer. Pada masa dinasti

Chakri, Thailand mulai diinfiltrasi oleh modernisasi barat disegala bidang,

termasuk militer. Upaya modernisasi sangat terasa pengaruhnya pada masa Raja

Chulalongkorn. Modernisasi militer dilakukan dalam beberapa hal, diantaranya:

perubahan proses perekrutan militer yang semula hanya diperuntukan untuk

masyarakat dari kelas Prai dan Sui, mulai dibuka untuk seluruh masyarakat

Thailand. Raja juga memberikan kenaikan anggaran belanja militer menjadi 23%,

sebagian anggaran belanja negara dihabiskan untuk mendirikan dua sekolah

militer dan mendatangkan instruktur-instruktur dari Barat. Hubungan antara

militer dan birokrat menjadi erat sebab pada masa ini lulusan sekolah militer akan

menduduki jabatan birokrat.

Proses profesionalisme militer rupanya tidak serta merta menjadikan

militer untuk tidak memiliki keinginan ikut campur dalam pemerintahan.

Keengganan militer untuk mengikuti Raja disebabkan oleh aturan promosi dan

pengakuan perwira militer yang ditentukan berdasarkan status strata sosial. Hal ini

berbanding terbalik dengan pendidikan profesional yang telah dipelajari,

seharusnya dalam pengangkatan dan promosi jabatan diatur dalam badan militer

54

sendiri dan berdasar tata cara militer. Ketidakkonsistenan upaya modernisasi

militer oleh pihak kerajaan terlihat pada peristiwa pengangkatan Putra Mahkota

yang baru berumur sepuluh tahun menjadi Panglima Tertinggi pada tahun 1887.

Polemik akibat umur Putra Mahkota yang masih terlalu muda membuat Raja

menunjuk saudara lelakinya sebagai wali bagi Putra Mahkota dalam menjalankan

tugas Pangti. Selain itu sebelum aturan proses perekrutan militer diganti dengan

aturan baru untuk membuka kesempatan bagi seluruh rakyat Thailand, aturan

lama telah menyebabkan tumbuhnya ikatan antara kerajaan dengan pegawai

pemerintahan. Ikatan spesial ini menyebabkan proses pengangkatan atau promosi

jabatan tidak berdasarkan pada prestasi melainkan status yang dimiliki oleh

perwira tersebut. (Kusumawardani, 2012). Pada masa ini saja sudah menjelaskan

bahwa terdapat konflik antar kelas dalam politik Thailand.

Upaya modernisasi setengah-setengah badan militer justru membuka

peluang bagi militer untuk mengintervensi pemerintahan. Terbukti pada masa

Raja Vajiravudh (Rama VI) militer berupaya untuk melakukan percobaan kudeta

pada tahun 1912 dan 1917. Percobaan kudeta dilandaskan pada kekecewaan

militer atas perintah Raja Vajiravudh yang memberikan kewenangan khusus

dalam menjaga Raja kepada badan diluar institusi militer Wild Tiger Scout.

Militer berpendapat bahwa Raja telah menghina intitusi militer yang bersifat

nasional (Sadersai, 1997: 182). Wild Tiger Scout sendiri didirikan dengan

beberapa tujuan diantaranya untuk membebaskan rakyat Thailand dari tugas-tugas

militer reguler terutama ditingkat menengah dan tinggi, memperkenalkan

kesatuan pada keberagaman masyarakat Thailand, bertugas untuk memelihara

ketertiban dan hukum di daerah pedalaman dan menyediakan prajurit pelayan di

waktu perang, serta bertugas untuk menyediakan pengintai bagi militer reguler.1

Seperti di Indonesia, keterpurukan ekonomi menjadi triger bagi lahirnya

revolusi di Thailand. Depresi ekonomi global pada tahun 1930-an membuat

anjloknya harga komoditas ekspor Thailand. Untuk mengurangi beban

pemerintah, Raja Prajadiphok mengeluarkan kebijakan penghematan ekonomi

dengan memberhentikan sebagian pegawai pemerintah sipil maupun militer,

memotong pos anggaran gaji dan promosi pegawai pemerintah sipil dan militer,

1 Keterangan mengenai Wild Tiger Scout dapat diakses dari http://www.thaisouting.com/history.html

55

serta mengeluarkan kebijakan pajak penghasilan bagi pegawai pemerintah sipil

maupun militer. Kebijakan-kebijakan tersebut dirasa tidak adil karena bagi

pegawai pemerintah kelas menengah mereka hanya dapat mengandalkan gaji

sebagai pendapatan utama. Kondisi ini berbanding terbalik dengan keadaan para

bangsawan, anggota kerjaan dan kelas pedagang Cina yang memiliki sumber-

sumber pendapatan lain. Situasi ini membuat rakyat miskin maupun kelas

menengah menjadi sengsara.

Kondisi perekonomian Thailand yang semakin parah akhirnya melahirkan

sebuah kudeta. Sasaran kudeta 24 Juni 1932 ini adalah mengalihkan pemerintahan

monarki absolut ke sistem monarki parlementer (Said, 2015:99). Kudeta 1932

diprakarsai oleh generasi baru kaum intelektual muda berpendidikan Barat yang

menamai diri mereka sebagai “People Party”. Pihak sipil diketuai oleh Nai Pridi,

sedangkan pihak militer diwakili oleh Kolonel Phraya Phahon Phompyayuhasena

(generasi tua) dan Marshal Lapangan Phibusongkram (generasi muda). Revolusi

berhasil merubah sistem pemerintahan Thailand menjadi monarki konstitusional,

akan tetapi sifat aristokratis politik Thailand masih tetap ada. Suatu konstitusi

disusun setelah kudeta menunjukkan sifat aristrokrasi masih bertahan dengan

pembentukan suatau Dewan Tertinggi yang terdiri dari para pangeran, birokrat

ningrat dan pemimpin militer. Pengesahan konstitusi justru memperluas lingkaran

oligarki pemerintahan hingga melibatkan bukan saja keluarga kerajaan namun

juga pemimpin sipil dan militer. Dalam perkembangannya kaum oligarki ini

menjadi kelompok elit politik Thailand yang saling bersaing berebut kekuasaan,

dan silih berganti meraih keunggulan tetapi tidak ada satu kelompok tunggal yang

memiliki cukup kekuatan untuk melakukan kontrol melembaga. (Janowittz, 1985:

19)

Semenjak tahun 1932 militer memainkan peran diluar fungsi utamanya

sebagai HANKAM dan pengawal kerajaan, intervensi militer dalam pemerintahan

ditunjukan dengan upaya mempengaruhi kehidupan politik Thailand. Sistem

aliansi kekuatan sipil dan militer ternyata tidak bertahan lama. Persaingan

tercermin dari usaha keduanya dalam perebutan posisi perdana menteri. Tabel

dibawah dapat menjadi bahan rujukan untuk melihat besarnya dominasi militer

dalam pemerintahan dibandingkan sipil. Walaupun perbadingan jumlah PM sipil

56

dan militer hampir sama namun jika merujuk pada jangka waktu memerintah akan

terlihat jelas bahwa pemerintahan PM sipil cenderung lebih singkat dan PM

militer memiliki masa pemerintahan lebih panjang. Selain itu faktor-faktor

penyebab pergantian perdana menteri memperlihatkan bahwa kudeta militer

seperti sudah menjadi sebuah tradisi dan menunjukkan bahwa militer tidak dapat

sepenuhnya menerima supremasi sipil.

Tabel 4.1 Periodisasi Perdana Menteri di Thailand

No. Nama Perdana Menteri Periode Penyebab Berakhirnya

Pemerintahan

1. Phraya Manopakorn Nititada

(Gon Hutasingha)

1932-1933 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Phraya

Phanon

Phonphayuhasena

2. Jenderal Phraya Phanon

Phonphayuhasena (Phot

Phahonyotin)

1933-1937 Pemilu

3. Panglima Tertinggi Plaek

Phibunsongkram

1938-1944 Ketidaksetujuan

parlemen

4. Kuang Abhaiwongse 1944-1945 Pengunduran diri

melalui pemilu setelah

Perang Dunia

5. Tawee Punyaketu 1945 Pengunduran Diri

6. MR. Seni Pramoj 1945 Pengunduran Diri

7. Kuang Abhaiwongse 1946 Pengunduran Diri

8. Pridi Banomyong 1946 Pengunduran Diri

9. Laksamana Muda Thawal

Thamrongnavaswadhi

1946-1947 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Phin

Choonhavan

10. Kuang Abhaiwongse 1947-1948 Pengunduran diri karena

kudeta yang dipimpin

oleh komite kudeta pada

8 November 1948

11. Panglima Tertinggi Plaek

Phibunsongkram

1948-1957 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Sarit

Dhanarajata

12. Pote Sarasin 1957-1958 Pemilu

13. Panglima Tertinggi Thanom

Kittikachorn

1958 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Sarit

Dhanarajata

57

14. Jenderal Sarit Dhanarajata 1959-1963 Meninggal

15. Panglima Tertinggi Thanom

Kittikachorn

1963-1972 Pemberontakan

16. Sanya Dharmasakti 1973-1974 Pemilu

17. MR. Seni Pramoj 1975 Ketidaksetujuan

18. MR. Kukrit Pramoj 1975 Pemilu

19. MR. Seni Pramoj 1976 Kudeta yang dipimpin

oleh Laksamana Sangad

Chalawyoo

20. Tahin Kravixien (mantan

Privy Council)

1976-1977 Kudeta yang dipimpin

oleh Laksamana Sangad

Chalawyoo

21. Jenderal Kriangsak

Chomanan

1977-1979 Pengunduran diri yang

disebabkan oleh

permasalahan krisis

minyak dan konflik

pengungsi

22. Jenderal Prem Tinsulanonda 1980-1986 Pemilu

23. Jenderal Chatichai

Choonhavan

1988-1991 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Sundara

Kongsompong

24. Anand Panyarachun 1991-1992 Pemilu berdasarkan

Konstitusi 1991

25. Jenderal Suchinda

Kraprayoon

1992 Krisis pada bulan Mei

26. Anand Panyarachun 1992 Pemilu

27. Chuan Leekpai 1992-1995 Pemilu

28. Banharn Silapa-archa 1995-1996 Pemilu

29. Jenderal Chavalit

Yongchaiyudh

1996 Pengunduran diri

30. Chuan Leekpai 1997-2001 Pemilu

31. Thaksin Shinawatra 2001-2006 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Sonthi

Bonyaratglin

32. Surayud Chulanont

(purnawirawan dan anggota

Privy Council)

2006-2008 Pemilu

35. Samak Sundaravej 2008 Pengunduran diri

disebabkan oleh hasil

pengadilan Mahkamah

Konstitusi

58

36. Abhisit Vejjajiva 2008-2011 Pemilu

37. Yingluck Shinawatra 2011-2014 Kudeta yang dipimpin

oleh Jenderal Prayuth

Chan-o-cha

38. Jenderal Prayuth Chan-o-cha 2014-

sekarang

Sumber: “History of Thai Prime Minister”. Diperoleh dari: https://www.cabinet.thaigov.go.th

(Kusumawardani, 2012). Tabel diatas telah disesuaikan penulis dengan perkembangan politik Thailand hingga tahun 2016, terdapat beberapa nama PM yang tidak dituliskan didasarkan pada alasan terlalu singkatnya masa pemerintahan mereka.

Terdapat lima kalangan penguasa utama mendominasi politik Thailand

sejak kudeta 1932. Kalangan pertama berkuasa dari tahun 1932-1944, terdiri dari

tiga klik yang dipimpin oleh para pemimpin kudeta yakni seorang pegawai sipil,

seorang militer dari generasi tua dan seorang militer dari generasi muda yang

saling mendominasi secara bergantian. Kalangan kedua berkuasa dari tahun 1944-

1947, didominasi oleh klik pegawai sipil generasi tua dan muda secara bergantian.

Kalangan ketiga berkuasa sejak tahun 1947-1957, dipimpin oleh Marshall Plubun

yang mampu menyeimbangkan kekuatan antara AD, polisi dan Dewan Nasional.

Kalangan penguasa gelombang ke empat mendominasi sejak tahun 1957-1973,

dipimpin oleh Marshall Sarit dan Marshall Thanom. Setelah tahun 1980-an militer

pimpinan Jenderal Prem Tinsulanonda mulai berafiliasi dengan kekuatan monarki

kerajaan untuk saling mengamankan pengaruh dominasi.

Sejak tahun 1970-an militer Thailand mulai kehilangan power karena

mendapatkan kritik tajam dari masyarakat sipil. Pemerintahan PM Thanom yang

berasal dari militer syarat akan tindak kekerasan, korupsi, ketidakkompetenan dan

perilaku yang hanya memuaskan diri sendiri saja memunculkan sikap oposisi

masyarakat. Kehidupan ekonomi Thailand kembali mengalami defisit pada tahun

1969 dan 1970 yang berakibat pada melonjaknya harga beras. Lagi-lagi kondisi

ekonomi akhirnya mendorong masyarakat menyatukan suara menuntut

penyusunan konstitusi baru yang lebih demokratis. Aksi-aksi mendorong upaya

penyusunan konstitusi baru tidak hanya dilakukan rakyat saja melalui National

Student Center of Thailand (NSCT), pada saat itu Raja juga memberikan

dukunganya. Sementara di kubu militer terjadi faksionalisasi, disorganisasi dan

hilangnya tujuan militer. Faksionalisasi memuncak ketika pada bulan Oktober

1973 terjadi aksi protes “Student Revolt”. Permasalahan faksionalisasi

59

dikarenakan adanya perbedaan pandangan diantara faksi-faksi dalam organisasi

militer dalam menyikapi kekuasaan militer dan membuat militer terpecah dalam 3

kelompok yaitu:

1. The Young Turks

Kelompok ini terdiri dari para perwira kelas menengah dan merupakan

komandan resimen-resimen utama yang memiliki pengaruh pada tahun

1970-an. Para perwira tersebut merupakan angkatan ke-7 Akademi

Militer Chulachumklao. Ide utama kelompok ini adalah untuk

meningkatkan profesionalisme Angkatan Darat dan memiliki tujuan

untuk mereformasi dan membangun kembali kehormatan dan reputasi

militer pasca “Student Revolt”.

2. Class 5

Kelompok ini terdiri dari para perwira senior militer angkatan ke-5

Akademi Militer Chulachumklao, diketuai oleh Jenderal Suchinda.

Para perwira tersebut sama sekali tidak memiliki agenda politik atau

reformasi, melainkan hanya ingin memastikan bahwa kesejahteraan

para perwira angkatan ke-5 terjamin. Tujuan didirikannya kelompok

ini adalah menjadi kelompok penekan The Young Turks yang dianggap

telah tidak hormat terhadap senior.

3. Democratic Soldiers

Kelompok ini terdiri dari dosen-dosen perwira Akademi Militer

Chulachumklao dan Sekolah Angkatan Darat yang memiliki hubungan

dengan Internal Security Operation Command (ISOC) dan mendapat

dukungan dari Community Party Thailand (CPT). Kelompok ini

memiliki pandangan bahwa sistem demokrasi dapat mengalahkan

komunisme, namun sayangnya ide yang diberikan tidak jelas dan

terlihat seperti upaya mencari alasan agar militer dapat berpolitik. Para

jenderal pendukung kelompok ini antara lain yakni Jenderal Chauvalit

Yongchaiyudh, Jenderal Prem Tinsulanonda dan Jenderal Harn.

Peristiwa berdarah “Student Revolt” 1973 membuat Raja Bhumimbol

turun tangan mengintervensi politik Thailand dengan mengasingkan PM Thanom

Kittikachorn dan Wakil PM Praphat Charusathien ke luar negeri

60

(Kusumawardani, 2012). Akibat peristiwa tersebut peta perpolitikan Thailand

berubah, militer tidak lagi menjadi aktor dominan dalam politik Thailand karena

kehadiran Raja. Raja yang kemudian dianggap sebagai simbol pemersatu oleh

rakyat akhirnya dapat menguasai militer setelah sekian lama hanya menjadi

simbol seremonial saja. Aksi-aksi protes mahasiswa menjadi suatu bentuk

kesadaran berpolitik dan membuka jalan bagi upaya demokratisasi. Ketika itu

Thailand sedang berusaha untuk menutup pola politik yang dimulai oleh promotor

kudeta semula, namun dugaan tersebut tidak berlangsung lama karena pada 6

Oktober 1976 terjadi kudeta lain terhadap pemerintahan Seni Pramoj.

Perpecahan dalam tubuh militer tidak mengartikan bahwa intervensi

militer dalam pemerintahan akan berakhir. Setelah pemerintahan sipil gagal

menerapkan demokrasi konstitusional, militer pimpinan Jenderal Kriangsak

Chomanan kembali melakukan kudeta. Selama masa jabatannya Perdana Menteri

Kriangsak berperan sebagai mata rantai penghubung vital bagi kelompok sipil dan

militer. Kriangsak dianggap berjasa karena mampu menciptakan kesatuan

nasional dengan membentuk koalisi di antara klik kekuatan militer dan sipil.

Selama masa pemerintahannya suatu konstitusi baru berhasil disusun dan

pelaksanaan pemilihan umum berhasil dilakukan pada tahun 1979. Konstitusi baru

tersebut pada dasarnya memperkuat kembali sistem dominasi eksekutif dan

sentralisasi struktural yang bersifat parlementer. Hal ini karena isi konstitusi

tersebut mengatur suatu sistem bikameral dimana majelis rendah langsung dipilih

dan majelis tinggi ditunjuk oleh Perdana Menteri dan diangkat oleh Raja.

(Janowittz, 1985: 26-27)

Besarnya tekanan eksternal dan internal akhirnya membuat Jenderal

Kriangsak Chomanan memilih mengundurkan diri karena tidak dapat lagi

mengandalkan dukungan militer (Kusumawardani, 2012). Sebagai penggantinya

Jenderal Prem Tinsulanonda ditunjuk oleh Raja untuk menjadi perdana menteri di

tahun 1980. Masa kepemimpinan Prem termasuk masa tenang bagi Thailand

karena usaha-usaha Prem untuk mendamaikan dan menengahi berbagai macam

kepentingan dari berbagai kelompok, baik militer maupun partai-partai politik.

Selain itu menurut Handley dalam buku “The King Never Smiles” dijelaskan

bahwa Prem adalah sosok yang sangat akomodatif dan loyal terhadap Raja

61

Bhumibol. Pihak kerajaan pun tak segan memberikan dukungan terhadap Prem,

terutama ketika pada tahun 1981 pemerintahan Prem mengalami percobaan

kudeta. Sebagai bentuk dukungan kerajaan, Raja dan Ratu mendampingi Prem

saat berkunjung ke Korat. Sejak saat itu, raja mulai bersikap sebagai “proactive

participant” dan Prem sebagai “surrogate strongman” (Paul, 2006: 277). Dalam

masa kepemimpinan Prem keadaan politik Thailand tetap tidak menunjukan

perubahan ke arah demokratisasi. Pemerintahan Prem berakhir setelah diadakan

pemilu pada tahun 1988.

Chatichai Choonhavan berhasil memenangkan pemilu dan menjabat

sebagai perdana menteri Thailand yang baru. Pada masa ini konflik kembali

terjadi, Jenderal Chatichai Choonhavan dianggap telah merusak citra militer di

pemerintahan dan melakukan korupsi. Melalui kudeta militer yang dilakukan oleh

National Peace Keeping Council (NPKC), masa pemerintahan Jenderal Chatichai

Choonhavan harus berakhir pada 1991. Pada tahun 1992 disetujui konstitusi baru

dan diadakan pemilu yang dimenangkan partai bentukan junta militer yaitu

Samakkitham. Partai Chart Thai yang selama tahun 1991 mengalami penderitaan

justru memberi dukungan bagi Jenderal Suchinda Kraprayoon (ketua NPKC)

menjadi perdana menteri. Hal ini menimbulkan perdebatan diantara partai-partai

prodemokrasi yang akhirnya berujung pada protes panjang dan kekerasan di bulan

Mei 1992. Pada masa ini Raja kembali mengambil peran dengan meminta

Suchinda mengundurkan diri dan Mayor Jenderal Chamlong Srimuang menjadi

perdana menteri sementara(Paul, 2006: 38). Tahun 1992 dapat dijadikan

gambaran bahwa kekuataan militer telah melemah dibandingkan tahun-tahun

sebelumnya

Dominasi kekuatan militer perlahan-lahan menyusut pada tahun-tahun

tersebut akibat berkembangnya paham liberalisasi di masyarakat. Paham

liberalisasi mendorong masyarakat untuk menuntut penyusunan konstitusi baru

dan pelaksanaan pemilihan umum di Thailand. Perkembangan liberalisasi telah

mendorong masyarakat semakin vokal terhadap pemerintahan militer. Protes

besar terjadi pada tahun 1992 setelah pihak junta militer berupaya meneruskan

kekuasaannya pasca pemilu 1992. Peristiwa Mei 1992 dijadikan sebuah titik

revolusi yang menghantarkan militer kembali ke barak. Menurut Bpk Sulaiman,

62

Thailand baru berdemokrasi penuh setelah tahun 1992 setelah disusunnya

Konstitusi 1992 yang diberi julukan Konstitusi Rakyat karena memiliki pasal-

pasal yang lebih demokratis. Kemajuan demokratisasi di Thailand telah berhasil

mendorong militer untuk mengakui dan mendukung proses demokrasi serta

memberi pengakuan pada supremasi sipil.

IV.2.2 Perkembangan Peran Junta Militer Sejak 2006

Alasan militer Thailand kembali mengambil alih singgasana kekuasaan

pemerintahan menggantikan sipil tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di

Indonesia. Kegagalan pemerintah sipil dalam menjalankan tugas dan pecahnya

konflik akibat terpecah-belahnya masyarakat mendasari gerakan kudeta di

Thailand. Meskipun terdapat pula faktor-faktor lain pendukung kudeta yakni

adanya keterlibatan kaum royalis (pendukung monarki), militer, birokrat dan

kaum kapitalis. Kelompok ini kemudian disebut sebagai “deep state”. Keinginan

utama dari kelompok ini adalah untuk tetap mempertahankan kekuasaannya di

Thailand.

Kehadiran Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dengan kebijakan populis

dan mobilisasi rakyat miskin di pinggiran Bangkok dan pedalaman Thailand

membawa harapan baru bagi rakyat, pasalnya kebijakan-kebijakan mementingkan

masyarakat kecil baru ada pada masa pemerintahannya. Thaksin menjadi semakin

populer di kalangan masyarakat kecil karena kebijakan-kebijakannya dalam

memberi berbagai fasilitas dan kemudahan bagi mereka seperti: kredit murah,

asuransi kesehatan, membeli beras petani diatas harga pasar, moratorium utang

tiga tahun bagi petani, penyediaan dana segar untuk membantu pedesaan, dsb.

Kepopuleran tersebut akhirnya membantu Thaksin untuk dapat memobilisasi

massa di daerah utara dan timur laut Thailand. Kebijakan Thaksin memang

menguntungkan rakyat kecil, namun disisi lain menjadi sebuah ancaman terhadap

dominasi ekonomi dan politik para elit Bangkok.

Kepopuleran Thaksin ternyata memiliki dampak negatif karena menjadi

akar konflik politik di Thailand sejak 2001. Kemenangan Thaksin sebanyak dua

kali pada tahun 2001 dan 2005 membuat para penguasa Thailand panik dan

berupaya mencari jalan untuk menyingkirkan pengaruh Thaksin dari politik

63

Thailand. Pada tahun 2005 konflik diantara kaus kuning (pendukung monarki)

dan kaus merah (pendukung Thaksin) semakin besar akibat isu korupsi dan

tudingan bahwa Thaksin seorang anti-monarki. (Said, 2015:113-115)

Terdapat tiga faktor yang mendasari tindakan kudeta militer terhadap

pemerintahan PM Thaksin Shinawatra. Pertama, terkait ketidakcapakan Thaksin

dalam memerintah. Ketidakcakapan Thaksin yang pertama terlihat dari upaya

memberantas narkoba, Thaksin mengeluarkan kebijakan bernama “The War on

Drugs” dengan mengeluarkan Prime Ministerial Order No. 29/2546 yang

berisikan petunjuk dan arahan dalam memberantas narkoba. Kasus peredaran

narkoba di Thailand menunjukkan angka yang tinggi terutama pada pengguna

remaja. Kegagalan Thaksin dalam pelaksaan peraturan tersebut, ditelaah dari

pemberian bonus insentif kepada para polisi apabila berhasil menangkap para

pengedar narkoba. Pemberian bonus ini berakibat pada praktek-praktek lapangan

yang meniadakan adanya proses hukum sebelum eksekusi. Kebijakan ini

kemudian membawa permasalahan pelanggaran hak asasi manusia serius di

Thailand. Thaksin menaggapi kritik terhadap pelanggaran HAM tersebut dengan

menegaskan bahwa strategi pemerintahan adalah untuk mengusir para penjual

obat bius dan menyalahkan masyarakat yang perduli terhadap para pelanggar

karena dianggap telah melupakan masa depan anak-anak Thailand

(Kusumawardani, 2012). Pernyataan Thaksin tersebut menyiratkan bahwa

Thaksin akan melakukan segala cara untuk menyukseskan pemberantasan narkoba

walaupun harus melanggar hak asasi manusia.

Ketidakcakapan pemerintahan Thaksin lainnya tercermin dalam upaya

mengatasi kasus konflik tiga provinsi di Thailand Selatan. Yala, Pattani dan

Narathiwat adalah provinsi dengan mayoritas komunitas Muslim Melayu di

Thailand yang telah sejak lama termaginalisasi oleh pemerintah pusat Thailand.

Segera setelah dirinya menjabat, Thaksin mengeluarkan kebijakan untuk

menghapus institusi SBPAC dan CPM 43, kedua institusi ini merupakan bentukan

Perdana Menteri Prem yang telah terbukti mampu meredam konflik Thailand

Selatan dengan cara persuasif dan populis. Kebijakan Thaksin tersebut justru

membawa dampak negatif bagi masyarakat di Thailand Selatan, pasalnya

institusi-institusi tersebut adalah lembaga penjamin keamanan dan kelancaran

64

komunikasi antara penduduk Thailand Selatan dengan pemerintah pusat. Setelah

dihapusnya SBPAC dan CPM 43, situasi penuh kekerasan terjadi di Thailand

Selatan diantaranya penyerbuan markas militer, pembunuhan, perusakan fasilitas

pemerintah, penculikan dan pengeboman. Kondisi semakin memburuk ketika

Thaksin menanggapi permasalahan kekerasan tersebut dengan penggunaan

metode represif. (Ariono, 2007)

Dibalik kebijakan-kebijakan kontroversialnya pemerintahan Thaksin

terjerat berbagai kasus korupsi. Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat menemukan

bahwa Thaksin dan istrinya selama menjabat telah terlibat korupsi kasus

pembelian tanah di kawasan Rtachadapisek dan alat pemindai bom. Berdasarkan

UU Antikorupsi, Thaksin dinyatakan bersalah karena telah memiliki saham di

lembaga pemerintahan yang berada di bawah otoritasnya, sementara Pojaman istri

Thaksin dinyatakan tidak bersalah karena bukan pejabat pemerintah. Kasus

korupsi lainnya adalah proyek pembangunan Bandara Suvarnabhumi, Thaksin

bersama kroni-kroninya terbukti bersalah karena telah menggelapkan dana sebesar

Rp 227 miliar dalam kontrak sistem pengangkut bagasi baru dan pembelian 26

alat pemindai bom (Kusumawardani, 2012). Thaksin juga terjerat dalam kasus

nepotisme dengan menempatkan beberapa anggota keluarga dan koleganya di

kabinet melalui reshuflle kabinet pada tahun 2002 dan 2005. Reformasi birokrasi

ini dilakukan Thaksin dengan tujuan untuk memperkuat posisinya di

pemerintahan. Kerjasama nepotisme dalam kabinet Thaksin terdiri dari gabungan

kekuatan sipil dan militer yang kemudian bekerjsama mempertahankan kekuasaan

serta legitimasi Thaksin. (Kusumawardani, 2012).

Masa pemerintahan Thaksin berubah menjadi otoriter hingga mendapatkan

banyak kritikan dan kecaman dari media masa, baik media lokal maupun media

internasional. Cara-cara represif digunakan Thaksin untuk membungkam media,

seperti pencabutan visa Kepala Biro Far Eastern Economics Review’s dan staf

wartawan majalah, Shawn Crispin dan Rodney Tasker karena menolak

mengoreksi tulisan yang berisikan berita tentang Thaksin dan pihak kerajaan.

Thaksin juga menyelahgunakan wewenang dengan menggunakan institusi

pemerintah AMLO (Anti Money Laundering Office) untuk melakukan

penyelidikan terhadap aset-aset beberapa jurnalis yang kemudian dikenal dengan

65

skandal “Thaksingate”. Kegeraman sebagian besar masyarakat Thailand pada

masa pemerintahan Thaksin memuncak disebabkan oleh kasus penjualan Shin

Corp pada 23 Januari 2006 kepada Temasek Holding-perusahaan milik

pemerintah. Kelompok anti-Thaksin meyakini tindakan ini sebagai upaya Thaksin

untuk menghindari pajak dengan mencari celah dari security-exchange law

padahal Shin Corp telah mendapatkan bantuan finansial dari Board of Invesment

yang didanai oleh wajib pajak. Masyarakat juga berpendapat bahwa penjualan

saham dapat menjadi ancaman bagi kedaulatan negara karena perusahaan Shin

Corp berkaitan dengan jaringan telekomunikasi di Thailand, salah satu anak

perusahaannya AIS Plc (Advanced Info Service) merupakan perusahaan provider

telepon seluler terbesar di Thailand. Seluruh informasi yang berkaitan dengan

telekomunikasi terhubung dengan perusahaan Shin Corp menyebabkan

masyarakat was-was terhadap kebocoran informasi (Kusumawardani, 2012). Pada

akhirnya kasus korupsi penjualan perusahaan telekomunikasi milik keluarga

Thaksin yaitu Shin Corp membuka kesempatan untuk dilakukannya kudeta

terhadap Thaksin.

Faktor kedua pendorong pelaksanaan kudeta terhadap Thaksin adalah

sikap anti-monarki Thaksin. Selama masa kepemimpinannya Thaksin dianggap

telah mengabaikan perintah Raja yang kemudian dikategorikan sebagai suatu

tindakan penghinaan terhadap Raja. Ajaran Budhiisme yang dianut masyarakat

Thailand melihat Raja sebagai Buddha hidup. Oleh karena itu seluruh masyarakat

Thailand tunduk kepada Raja. Sebagian masyarakat pro-kerajaan dan kalangan

militer menjadi tidak simpatik terhadap tindakan arogan Thaksin. Menurut Penny

Heraswati, keengganan masyarakat terhadap Thaksin disebabkan ucapan Thaksin

untuk mengganti sistem monarki menjadi republik. Surat kabar The Nation pernah

mengutip salah satu ucapan Thaksin, “Demokrasi hanyalah alat, bukan tujuan

kami”.2 Melalui ungkapan Thaksin tersebut dapat ditarik penilaian bahwa Thaksin

telah menjadi semakin otoriter dan menginginkan kekuasaan yang lebih besar.

Bahkan Jenderal Prem Tinusolda pernah mengkritisi sikap Thaksin dengan

mengatakan kepada Duta Besar Amerika Serikat di Bangkok bahwa “Thaksin

harus belajar, dia hanya pegelola, bukan pemilik (Thailand).” (Said, 2015:116)

2 Surat Kabar The Nation, edisi 11 Desember 2003.

66

Pada tahun 2006 tersebar rumor mengenai suksesi kerajaan Thailand. Isu

tersebut menjadi isu paling sensitif di Thailand karena pada saat kesehatan Raja

Bhumimbol menurun belum ditemukan pewaris takhta kerajaan yang dianggap

sanggup menyamai peran Raja. Rasa cinta rakyat Thailand yang besar kepada

Raja Bhumimbol bukan hanya didasari oleh kepercayaan agama, namun juga

besarnya peran Raja yang dianggap telah mengabdi kepada masyarakat terutama

di daerah pedesaan. Jika merujuk pada peraturan kerajaan maka seharusnya

Pangeran Vajiralongkorn akan naik takhta menggantikan Raja Bhumimbol.

Sayangnya Pangeran Vajiralongkorn kalah populer di mata rakyat dibandingkan

saudarinya Putri Sirindhorn. Pangeran Vajiralongkorn dianggap tidak dapat

menunjukkan kepribadian yang dimiliki Raja Bhumimbol dan memiliki perilaku

yang kurang baik serta kurang perhatian terhadap permasalahan negara, akibatnya

Pangeran Vajiralongkorn hanya memiliki sedikit masa pendukung.

Ketidakjelasan masalah suksesi kerajaan menyebabkan timbulnya

ketakutan dikalangan kelompok pendukung kerajaan bahwa jika Thaksin masih

berkuasa, maka kemungkinannya akan menghambat proses suksesi. Masalah

suksesi bagi kerajaan berarti kerajaan akan kehilangan pegaruhnya dan kehilangan

posisinya sebagai pusat politik Thailand. Sedangkan bagi para elit, runtuhnya

pengaruh kerajaan akan berakibat pada hilangnya perlindungan atas kekuasaan

mereka karena harus menyerahkan kekuasaannya kepada politisi yang terpilih

melalui pemilu. Ketakutan yang semakin menjadi tersebut akhirnya memicu

perancanaan kudeta 2006, walaupun kebobrokan pemerintahan Thaksin juga

memiliki andil, namun disisi lain permasalahan suksesi menjadi faktor pendorong

lainnya. (Kusumawardani, 2012)

Pada 19 Oktober 2006, Angkatan Darat dan kepolisian Thailand

menduduki kantor perdana menteri dan mengumumkan tiga pernyataan tentang

kudeta melalui siaran televisi. Pernyataan pertama, berisi pengumuman bahwa

militer dan kepolisian telah berhasil mengambil alih kota Bangkok dan daerah

sekitarnya. Pernyataan kedua, berisi alasan-alsan kudeta dilakukan terhadap

Thaksin, penjelasan bahwa militer tidak berniat mengambil alih kekuasaan dan

berjanji untuk tetap mempertahankan raja serta segera mengembalikan kekuasaan

kepada rakyat. Pernyataan ketiga, berisi pengumuman bahwa junta militer telah

67

membatalkan konstitusi, membubarkan kabinet, parlemen dan Mahkamah

Agung.3 Kudeta ini dipimpin oleh Jenderal Sonthi Bonyaratglin atas nama Dewan

Reformasi Demokrasi dan atas dukungan Raja. Dalam kudeta kali ini militer

mengenakan pita kuning diseragam mereka, warna kuning adalah warna yang

mengasosiasikan kerajaan Thailand. Merujuk pada aksi tersebut dapat

diasumsikan bahwa pemakaian pita kuning dapat berarti militer sedang

melakukan propaganda dengan memanfaatkan penghormatan rakyat Thailand

terhadap Raja atau militer ingin menunjukkan adanya hubungan ketergantungan

antara militer dan kerajaan. Sementara itu seusai kudeta Undang Undang Darurat

diberlakukan. Jenderal Sonthi Bonyaratglin kemudian mendaulat dirinya menjadi

perdana menteri, hingga Dewan Pembaruan Adminisrasi memilih perdana menteri

baru. (Kusumawardani, 2012)

Walaupun kudeta berhasil menjatuhkan Thaksin dari jabatan perdana

menteri, namun hal tersebut tidak mengurangi kepopuleran Thaksin dimata para

pendukungnya. Kudeta justru memicu kembali konflik diantara kaus merah dan

kaus kuning. Selama lima tahun masyarakat saling bertikai hingga puncaknya

terjadi demonstrasi besar massa pada tahun 2010. Massa kaus merah yang

tergabung dalam United Front for Democracy Against Dictatorship (UUD)

menentang pemerintahan PM Abhisit Vejjajiva hingga menimbulkan bentrokan

fisik diantara kelompok kaus merah dan kaus kuning atau People’s Alliance for

Democracy (PAD). Menurut laporan Crisis Group, konflik yang terjadi pada 10

April-19 Mei 2010 tersebut merupakan konflik paling berdarah dalam sejarah

modern Thailand. (Said, 2015:117)

Pada 23 Mei 2014 militer kembali mengambil alih kekuasaan sipil setelah

kemelut panjang berdarah di Thailand akibat konflik antara kaus merah dan kaus

kuning. Setelah berhasil melakukan kudeta, Jenderal Prayuth Chan-o-cha

mendaulat diri sebagai perdana menteri baru menggantikan Yingluck Shinawatra.

Prayuth menyatakan bahwa tujuan kudeta adalah untuk memelihara perdamaian

dan ketertiban serta mengatasi masalah negara. Kudeta militer kali ini menurut

Peny Heraswati disebabkan oleh dakwaan Koimisi Anti Korupsi bahwa Yingluck

lalai dalam menjalankan tugasnya terkait program pembelian beras oleh

3 Coup D’Etat, diperoleh dari: http://www.bangkokpost.com/news/thaksin-judgement-

related/168546/coup-d-etat. Diakses pada 9 september 2017, pukul 20.30

68

pemerintah yang dinilai sebagai tindakan pemborosan negara dan korupsi.

Tuduhan kepada Yingluck bertambah setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan

bahwa Yingluck bersalah karena telah menyalahgunakan kekuasaan. Tuduhan ini

terkait kasus penggantian kepala keamanan nasional pada tahun 2011, Yingluck

dituduh melakukan tindakan tersebut demi keuntungan partainya, Pheu Thai

Party. (Kusumawardani, 2012)

Kembalinya militer ke fungsi sosial dan politik setelah 15 tahun tidak

berusaha mengintervensi pemerintahan disebabkan oleh beberapa alasan.

Kegagalan pemerintah sipil dalam perumusan kebijakan untuk mengelola

permasalahan baik ekonomi, sosial maupun politik di negara telah membuka jalan

bagi militer. Kegagalan ini kemudian diperparah dengan munculnya rumor

korupsi dan meningkatnya sikap otoriter yang menjangkiti pemerintahan sipil.

Militer pada akhirnya memanfaatkan permasalahan tersebut untuk dapat kembali

mengambil alih pemerintahan. Hal ini memperlihatkan bahwa jika pemerintah

sipil lemah sedikit saja, maka militer akan memanfaatkan momentum tersebut

untuk memperoleh pengaruh kekuasaan. Besarnya intervensi pemerintah terhadap

badan militer juga menjadi faktor pendorong kudeta. Selama masa

pemerintahannya Thaksin tidak menggunakan pendekatan kontrol sipil objektif,

namun justru terlihat sangat mengintervensi badan militer. Hal ini ditunjukan

dengan campur tangan Thaksin mengenai promosi dan pengangkatan jabatan,

Thaksin terlibat dalam nepotisme dengan memasukkan sanak-keluarga ataupun

koleganya dalam promosi jabatan militer. Thaksin berperan dalam kenainkan

pangkat saudaranya, Jenderal Chaisit Shinawatra sebagai Panglima Angkatan

Bersenjata dan Jenderal Uthai Shinawatra sebagai Sekretaris Pertahanan

(Kusumawardani, 2012). Tindakan Thaksin ini membuat para petinggi militer

berpendapat bahwa Thaksin telah tidak menghormati institusi militer sebagai

institusi yang lebih mengetahhui masalah pengangkatan dan promosi dalam

badannya.

Menurut tulisan Prof.Salim Said dalam jurnalnya Mengundang

Keterlibatan Angkatan Bersenjata Catatan dari Mesir dan Thailand (2015),

dijelaskan bahwa penyebab konflik Thailand adalah konflik kepentingan diantara

Thaksin beserta pendukungnya kaus merah melawan deep state yang telah

69

mendominasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik Thailand sejak tahun 1932.

Kehadiran keluarga Shinawatra yang terkenal akan kebijakan populisnya

dianggap menjadi pesaing baru bagi para elit politik Thailand. Kemampuan

Thaksin mengumpulkan ratusan ribu massa pendukung dianggap sebagai suatu

ancaman. Dalam hal ini konflik berujung pada konflik antar kelas di Thailand,

dimana para pendukung Thaksin (kaus merah) yang mayoritas berasal dari

pinggiran Bangkok dan pedalaman melawan kelas masyarakat kelas menengah ke

atas di Bangkok (kaus kuning). Kondisi terpecah-belahnya masyarakat

memudahkan militer untuk mengatur jalannya pemerintahan Thailand karena

tidak adanya pengawasan. Pengaruh militer dalam mengatur jalannya

pemerintahan terlihat dari cara militer mengkondisikan penyusunan konstitusi

sesuai dengan keinginannya. Selain dari pada itu, tersebar pula bahwa Thaksin

berusaha mengganti network monarchy secara sistematis. Membuat sebagian

besar pendukung monarki semakin tidak menginginkan kehadiran Thaksin.

Ketiga adalah konflik antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan kerajaan.

Pada dasarnya sejak pecahnya kudeta 1932 kekuasaan bukan dialihkan ke tangan

rayat tetapi dipertahankan ditangan para birokrat dan militer para pelaksana

kudeta 1932 (Said, 2015:116). Pada perkembangannya para birokrat dan militer

tersebut menjadi kelompok oligarki. Setelah sistem pemerintahan berganti dengan

monarki konstitusional, pamor dan kekuasaan Raja menjadi berkurang, Raja yang

awalnya berkuasa penuh menjadi tidak leluasa bertindak. Setelah perubahan

tersebut, sistem parlementer yang dijalankan adalah hasil manipulasi militer dan

birokrat yang bertujuan untuk melegitimasi dominasi politik kelompok mereka.

Meneliti lebih dalam kekuasaan Raja baru kembali sejak tahun 1977 ketika

pemerintahan militer kehilangan legitimasi kekuasaannya akibat pemberontakan

rakyat. Hingga saat ini hubungan Raja dan militer menjadi satu gabungan

kekuatan baru yang saling melindungi. Hal ini dapat dibuktikan dengan aksi

kudeta militer pada tahun-tahun berikutnya selalu meminta dukungan Raja. Dalam

hal ini Raja berhasil memanfaatkan militer untuk menjaga dominasi monarki

sedangkan militer menggunakan titah Raja untuk melegitimasi setiap aksinya.