bab iv gambaran umum kampung tarung dan rumah...
TRANSCRIPT
23
BAB IV
GAMBARAN UMUM KAMPUNG TARUNG DAN RUMAH
ADAT SUMBA
4.1. Letak dan Batas Kampung Tarung
Sumba Barat adalah sebuah kabupaten yang memiliki beragam daya tarik wisata.
Salah satu daya tarik wisata dan keunikannya adalah perkampungan adat, yang dapat kita
lihat dari rumah adat Sumba yang berada di Kampung Tarung, yang menjadi desa
tradisional ditengah kemajuan modernisasi. Kampung Tarung terletak persis diatas
sebuah bukit dengan ketinggian 20m6, membuatnya seakan eksklusif, kampung Tarung
bukan hanya sekadar kampung biasa melainkan juga berfungsi sebagai institusi sosial dan
keagamaan (Marapu).
Gambar 4.1
Peta Kampung Tarung
Sumber: google maps
6Sumber ketinggian kampung Tarung dari google maps
24
Kampung Tarung secara administrasi berada dibawah Kelurahan Soba Wawi,
Kecamatan Loli, namun secara letak geografis Kampung Tarung berada tepat dijantung
Kota Waikabubak. Kampung Tarung memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Belaciku, sebalah utara berbatasan dengan
Kampung Waitabar, sebelah barat berbatasan dengan persawahan, sebelah timur
berbatasan dengan Kampung Prekelembung.7
4.2. Kondisi Penduduk, Mata Pencaharian, dan Tingkat pendidikan
Kampung Tarung memiliki penduduk sebanyak 209 jiwa, yang terdiri dari
perempuan 105 orang dan laki-laki 104 orang. Di dalam kampung Tarung jumlah kartu
keluarga (kk) sebanyak 56 kk, dalam satu sebuah rumah, biasanya didiami satu sampai
tiga kepala keluarga. Dengan jumlah rumah sebanyak 38 buah, dalam 38 buah rumah
yang berada di kampung Tarung, terdapat 12 rumah adat yang menyimpan benda-benda
pusaka yang didalamnya memiliki fungsi adat, 12 rumah adat juga ditinggali sama seperti
26 rumah adat lainnya yang membedakan 12 rumah adat tersebut memiliki fungsi adat
salah satunya menjalankan ritual adat di kampung Tarung.8
Di kampung Tarung mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Berdasarkan
data kelurahan Soba Wawi sebanyak 109 orang bekerja sebagai petani dan hanya 1 orang
yang bekerja sebagai PNS. Bidang pertanian merupakan satu-satunya sumber pendapatan
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kampung Tarung, produk yang biasanya
dihasilkan adalah padi dan sayur-sayuran. Selain pekerjaan utama sebagai petani,
masyarakat kampung Tarung memiliki pekerjaan sampingan yang digeluti oleh
perempuan Sumba yaitu menenun kain, hasil tenun biasanya dijual tetapi tidak
dipasarkan melainkan dijual di kampung sendiri lalu ditawarkan pada setiap wisatawan
yang datang di Kampung Tarung.
Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan saat ini
selain untuk mendapatkan ilmu pengetahun, pendidikan merupakan sarana yang baik
untuk bisa bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang baik diera seperti sekarang ini.
7 Sumber data batas-batas wilayah didapat dengan melakukan wawancara dengan Rato Lado.
8 Sumber data jumlah penduduk penduduk, jumlah kartu keluarga (kk), dan jumlah rumah merupakan
data yang didapat dari kelurahan Sobawawi.
25
Begitu juga yang ingin ditunjukan masyarakat kampung Tarung yang mulai menyadari
bahwa pendidikan itu sangat penting, dengan mulai menyekolahkan anak-anak mereka.
Berikut dibawah ini data anak-anak yang bersekolah :
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan yang Sedang Ditempuh
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 SD 41
2 SMP 16
3 SMA 11
Total 58 Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 2014
Secara umum masyarakat kampung Tarung menganut sebuah sistem kepercayaan
yang disebut dengan Marapu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa Marapu merupakan
suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan
keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi. Namum perlahan masyarakat
kampung Tarung mulai memeluk agama-agama yang diakui oleh Negara. Berikut
dibawah ini data jumlah pemeluk agama yang berada di kampung Tarung :
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan lainnya
No Agama Jumlah
1 Marapu 81
2 Kristen Protestan 48
3 Khatolik 81
Total 209
Data : Kelurahan Sobawawi Tahun 20149
9 Data ini berasal dari tahun 2014 yang dimiliki oleh kelurahan Sobawawi. Untuk tahun 2015 dan 2016
data-data diatas belum ada di kelurahan Sobawawi. Saat peneliti ingin melakukan verifikasi data
mengalami keterbatasan waktu dikarenakan pada saat yang bersamaan ada ritual adat wulla poddu di
kampung Tarung.
26
4.3. Klasifikasi Sosial dan Perkawinan Antara Kelas Sosial
Secara umum masyarakat Sumba terbagi dalam tiga kategori kelas, yaitu maramba
(bangsawan), kabihu (orang merdeka) dan ata (budak). Pengklasifikasian semacam ini
lebih terasa di bagian Sumba sebelah timur, dan masyarakat Sumba bagian barat
pengklasifikasian tidak begitu sama seperti yang terjadi pada Sumba bagian Timur yang
menggunakan sistem bangsawan dan budak, di Sumba bagian barat sistem klasifikasi
sosial jaman dulu pernah menggunakan sistem yang bangsawan namum sampai saat ini
yang bisa ditemui hanya sistem sosial berdasarkan kabissu (klan) saja sistem bangsawan
dan budak sudah tidak ada lagi.10
Sejalan dengan konsep ole dadi atau konsep keyakinan darah daging yang hanya
diturunkan dari pihak ibu, orang Sumba mewarisi kelas soial ini dari garis keturunan ibu
mereka. Dengan demikian seorang lelaki dari golongan merdeka atau budak bisa
meningkatkan status keturunannya dengan menikahi wanita dari kelas yang lebih tinggi.
Tapi tentu saja para wanita bangsawan cenderung menikahi lelaki dari keluarga-keluarga
terpandang (bangsawan) yang bisa menunjang hidup mereka dengan sepantasnya.
Sementara alasan para lelaki bangsawan menghindari pernikahan dengan wanita kelas
rendah sudah barang tentu karena tak ingin turunan mereka turun kelas. Di Sumba Timur
yang sitem pengklasifikasiannya lebih ketat, bahkan ada label untuk anak-anak semacam
ini. Menurut Kapita (1976) anak-anak seorang lelaki maramba yang kawin dengan wanita
kabihu disebut ana mandamu dan derajat mereka setara dengan derajat si ibu yaitu kabihu.
Sedangkan anak-anak lelaki maramba yang kawin dengan budak disebut ana kalawihi dan
derajat mereka bahkan lebih rendah dari ana mandamu.
Di Sumba Barat kelas sosial terendah tidak disebut ata tapi lebih dikenal dengan
istilah madeingu. Golongan ini merupakan budak turun temurun yang katanya berperilaku
jelek (tidak taat atau suka mencuri). Lebih tinggi dari madeingu ada golongan yang di
sebut ana ata uma (anak dalam rumah) yaitu orang-orang yang secara sukarela tinggal,
10
Untuk masyarakat Sumba bagian Timur kabihu merupakan pengklasifikasian sosial sedangkan untuk di Sumba bagian barat kabishu atau kabisu diterjemahkan sebagai klan. Dan untuk masyarakat Sumba bagian Barat sistem sosial berdasarkan bagsawan dan budak sudah tidak dijumpai lagi, yang ada hanya kasbisu (klan) sedangkan di Sumba bagian Timur masih ada beberapa tempat yang masih menggunakan pengklasifikasian sosial berdasarkan bangsawan dan budak.
27
bekerja dan bergantung hidup kepada kaum bangsawan11
Ana ta uma ada yang turunan
budak tapi banyak juga yang berasal dari kelas kabihu, karena miskin mereka tinggal
bersama para bangsawan sehingga di sebut anak dalam rumah. Lebih rendah dari ana
madeingu adalah mamarung (penyihir) yaitu orang-orang yang dipercaya memiliki
kekuatan sihir jahat (black magic).
Berdasarkan asal usulnya para budak dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: mereka
yang sudah menjadi hamba sejak kedatangan para leluhur ke Sumba, mereka yang aslinya
bukan hamba tetapi karena kalah perang lalu menjadi tawanan dan akhirnya dijual sebagai
budak, serta mereka yang menjadi hamba karena perkawinan. Dalam sebuah keluarga
Sumba, terutama keluarga golongan maramba, lazim terjadi ada lebih dari satu kelas sosial
yang bernaung di bawahnya. Kelas budak jelas merupakan pelayan mereka, namun ada
juga kelas-kelas kabihu (orang merdeka) yang turut serta. Mungkin karena tertarik pada
kharisma dan kebesaran bangsawan tempatnya bergabung, tapi yang paling sering karena
ketergantungan ekonomi. Setelah kemerdekaan pemerintah Indonesia melarang
perbudakan dan sejak itu pula terminologi kelas mulai jarang diperbincangkan. (Anizah
2013;43-45)
Sistem perkawinan yang terjadi dalam masyarakat Sumba Barat dapat
dikategorikan sebagai perkawinan eksogami yaitu perkawinan di luar kabisu (klan),
dimana lelaki anggota kabisu A menikah dengan perempuan anggota kabisu B tapi tidak
boleh sebaliknya. Di Sumba Barat kasbisu penerima gadis (A) disebut doma sedangkan
kabisu pemberi gadis (B) disebut loka. Loka adalah panggilan yang ditujukan kepada
saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki di kabisu ibu. Karena
secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari suku si
ayah, maka loka juga diartikan sebagai kabisu pemberi gadis. Sementara suku si ayah
yang adalah penerima gadis disebut doma. Singkatnya, dalam konteks pernikahan, Jadi
yang terjadi sesungguhnya adalah apa yang disebut Webb Keane (1997) sebagai
matrilateral crosscausin marriages. Konsep perkawinan semacam ini (dengan adanya
suku penerima dan pemberi gadis) mengharuskan paling sedikit keterlibatan tiga kabisu.
11
Kaum bangsawan dulu memang ada namun untuk sekarang sudah tidak ditemui lagi didalam kehidupan sosial masyarakat Sumba bagian barat.
28
Misalnya kabisu A, B dan C. kabisu A sebagai pemberi gadis untuk kabisu B, Kabisu B
sebagai pemberi gadis untuk kabisu C dan kabisu C sebagai pemberi gadis untuk kabisu
A. Karena kabisu A adalah pemberi gadis untuk kabisu B maka kaum lelaki kabisu A
tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu B, dengan kata lain tidak boleh terjadi
salin bertukar peran diantara kabisu pemberi dan penerima gadis. Pernikahan dengan
sesama anggota kabisu juga dilarang keras, bahkan dianggap sebagai perilaku incent yang
bisa mendatangkan malapetaka, yang hanya bisa dipulihkan melalui upacara pemujaan.
Pelanggaran-pelanggaran yang lain misalnya perselingkuhan atau hubungan luar
nikah (dengan anggota kabisu yang masuk kategori boleh menikah) biasanya diselesaikan
melalui pembayaran denda yang disebut kanyala. Karena dianggap sebagai penerus garis
darah yang hanya mengalir lewat perempuan, kedudukan klan pemberi gadis (loka) selalu
lebih tinggi dari pihak penerima gadis (doma). Kedudukan ini membawa banyak
keuntungan antara lain bisa menentukan besarnya mas kawin (belis) yang harus dibayar
pihak laki-laki. Dalam adat Sumba, belis bukan melulu urusan pihak laki-laki, karena
pihak perempuan juga harus menyediakan balasannya. Belis yang diberikan pihak laki-
laki sering diasosiasikan dengan benda-benda maskulin seperti kerbau dan kuda (hewan
yang pemeliharaannya menjadi urusan kaum lelaki), parang dan tombak (senjata perang),
serta mamoli (perhiasan yang sering dipakai sebagai anting-anting).
Sekilas mamoli tidak bersifat maskulin, tetapi perhiasan ini adalah gambaran
rahim atau simbol kemampuan reproduksi kaum wanita, dan dalam perkawinan diberikan
sebagai simbol pengganti wanita yang akan dibawa pergi. Sementara itu, balasan yang
diberikan pihak perempuan diasosiasikan dengan benda-benda feminin seperti babi
(dipelihara kaum wanita) dan kain tenun (dibuat kaum wanita). Jumlah belis tergantung
kesepakatan dan status sosial seseorang, terutama pengantin wanitanya. Untuk kalangan
bangsawan biasanya sekitar 30 puluhan ekor hewan, kuda,kerbau dan babi, rakyat biasa
antara 5 – 15 ekor, sedangkan belis golongan budak dibayar oleh tuan mereka. Dari
persepsi orang luar, pernikahan semacam ini terkesan semacam transaksi bisnis dengan
perempuan sebagai obyek. Tetapi sangat berkebalikan dengan anggapan itu, orang Sumba
sendiri melihat belis sebagai penghargaan terhadap wanita. Wanita selalu dianggap aset
beraharga sebuah rumah tangga, mereka sebagai ibu dari anak-anak dan menjadi istri
29
bagi sang suami, mereka akan mengurusi segala macam hal yang berhubungan dengan
rumah tangga. Karena itu niat baik seorang ayah melepas anak perempuannya harus
diapresiasi keluarga laki-laki dengan memberikan sejumlah hadiah (belis). Si Ayah
sendiri perlu menunjukan betapa berharga nilai anaknya dengan sejumlah hadiah balasan
yang akan mengirirngi kepindahan si anak kelak. Tanpa itu anak perempuannya akan
dianggap remeh oleh keluarga suaminya. Pembayaran belis pun jarang dilakukan
sekaligus. Sebagian diberikan saat pindah rumah, sebagian lagi diberikan sedikit-sedikit
setiap kali pihak keluarga istri mengadakan pesta dan lain sebagainya. Mengingat
mahalnya harga hewan, jarang pula ada satu keluarga yang bisa memenuhi belis
berjumlah besar dengan kemampuannya sendiri. Lebih sering hewan-hewan ini diperoleh
sebagai sumbangan dari keluarga-keluarga lain yang merupakan anggota kabisu keluarga
bersangkutan. Tetapi tidak secara gratis, karena pihak penerima harus membayar kembali
saat keluarga penyumbang membutuhkan di lain waktu. (Anizah 2013: 45-46)
4.4. Sistem kekerabatan
Tatanan masyarakat Sumba termasuk masyarakat di Kampung Tarung dibentuk
dari unit-unit kecil rumah tangga yang terdiri suami, istri dan anak-anak mereka. Namun
sesuai tradisi rumah tangga orang Sumba tidak pernah dihuni oleh keluarga inti semata,
tetapi mencakup pula saudara-saura kandung suami yang belum menikah, janda yang
tidak memiliki anak dan anak saudara mereka yang telah yatim piatu. Mereka tinggal
dalam sebuah rumah dan makan dari dapur yang sama serta mengurus ekonomi secara
bersama-sama.
Kelompok kekerabatan masyarakat Sumba dikenal dengan nama kabisu (klan),
yaitu kelompok kekerabatan patrilineal yang didasarkan pada kesamaan asal usul nenek
moyang beserta seluruh warisannya. Pada prinsipnya warisan-warisan inilah yang
mendasari identitas suatu kelompok kabisu, yaitu : rumah dan atau kampung adat, lahan
dan atau kawasan adat, harta benda pusaka yang tak boleh diperjualbelikan, serta ritual-
ritual pemujaan terhadap marapu tertentu yang dilakukan secara bersama-sama oleh
anggota kabisu bersangkutan.
30
Sebuah rumah adat selalu memiliki nama yang biasanya didasarkan atas peran
ritual yang dijalankannya. Tiap-tiap rumah adat, dengan demikian tiap-tiap kabisu,
menjalankan tanggung jawab ritual yang berbeda-beda. Banyak diantaranya merupakan
ritual adat besar yang membutuhkan banyak persediaan seperti makanan,persembahan
dan lain sebagainya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut sebagian terpenuhi dari hasil lahan
milik kabisu yang berada dibawah penguasaan rumah adat. Dari sini bisa disimpulkan
bahwa siapa yang menduduki rumah adat dengan sendirinya memiliki hak untuk
mengontrol lahan milik kabisu.
Rumah adat utama biasanya diwariskan kepada anak lelaki tertua. Bersama rumah
adat ikut pula harta pusaka,lahan pertanian dan tentu saja tanggung jawab ritual. Karena
kaitanya dengan seremoni adat, maka warisan-warisan ini (rumah adat sebagai tempat
upacara,lahan pertanian sebagai penunjang kebutuhan upacara, harta pusaka sebagai
obyek/asesoris pemujaan) tidak menjadi barang pribadi, yang artinya tidak boleh
diperjualbelikan oleh pewaris. Hak guna jatuh pada anak lelaki tertua,tetapi hak milik
tetap berada pada kabisu.
Dikalangan masyarakat Sumba ada keyakinan mengenai darah dan daging yang
hanya diturunkan dari pihak ibu. Hubungan kekerabatan ini sering disebut ole dadi dan
dihitung berdasarkan pertalian darah dari pihak ibu (matrillineal). Tidak seperti
kekerabatan dalam kabisu yang perlu dilegalkan lewat Belis, kekerabatan berbasis
hubungan darah didapat secara otomatis begitu seseorang dilahirkan, dengan demikian
lebih kekal dan bersifat emosional. Sebungan dengan konsep ole dadi terdapat dua istilah
relasi yaitu Loka dan ana kabine. Loka adalah panggilan yang diberikan seorang anak
kepada saudara laki-laki ibunya (khusus) atau kepada anggota laki-laki kabisu ibunya
(umum). Sebaliknya, ana kabine adalah panggilan loka kepada anak-anak saudara
perempuan mereka. Hubungan antara loka dan ana kabine adalah hunungan seumur hidup
yang juga meliputi serangkain hak dan kewajiban diantara keduanya. (Anizah 2013:40-
41)
31
4.5 Tarung sebagai Kampung Adat
Ada sebuah julukan yang rasanya pantas diberikan kepada Sumba Barat yaitu The
Land A Thausand Villages atau tanah seribu kampung. Sumba Barat memang memiliki
banyak kampung-kampung tradisional yang tersebar mulai dari pelosok terpencil hingga
ke pusat kota salah satunya adalah kampung Tarung. Penduduk Sumba Barat umumnya
membangun perkampungan di pucak-puncak bukit, kecenderungan ini berdasarkan atas
dua alasan yaitu alasan praktis dan religious. Dimasa lalu sering terjadi perang atar suku
untuk memperebutkan daerah kekuasaan sehingga tempat tinggi dianggap lebih praktis
untuk dijadikan benteng pertahanan. Sedangkan dari sisi religious mengacu pada konsep
pra sejarah yang mengaanggap semakin tinggi tempat tinggal, semakin dekat pula
penghuninya dengan arwah leluhur dan dewa-dewa.
Gambar 4.2
Gambar Kampung Tarung
Sumber foto : foto peneliti
Dalam setiap kampung adat, selalu ada batu kubur, rumah adat dan batu kubur
tidak bisa dipisahkan, keduanya mempunyai keterkaitan satu sama lain. Seperti yang
dingkapkan oleh nenek Rato Yusuf Lele Wadda tentang hubungan antara rumah adat dan
bartu kubur dibawah ini :
32
“Di dalam kampung Tambera dan semua Rumah adat, harus
mempunyai punya keterkaitan dengan batu kubur. Tidak bisa
orang tarik batu kubur (tengi watu) jika tidak punya rumah.”12
Ada dua jenis kampung tradisional yang dikenal penduduk asli Sumba, yaitu
kampung besar (wanno kalada) dan cabang dari kampung besar tersebut (wanno gollu).
Kampung besar adalah kampung yang dibangun oleh nenek moyang pertama dan
merupakan pusat penyenggaraan berbagai ritual adat penting karena peran ritual yang
disandangnya wanno kalada sering pula dirujuk dengan istilah kampung adat. Smentara
kampung cabang adalah kampung-kampung yang dibangun oleh generasi yang lebih
muda. Kampung seperti ini bukan tempat kediaman marapu sehingga tidak memiliki
peran ritual. Warganya selalu harus kembali ke kampung besar sewaktu hendak
menggelarkan upacara-upacara penting, termasuk perkawinan dan penguburan. Demikian
dengan kampung adat atau wanno kalada bisa pula dilihat sebagai sebuah indentitas
kelompok. Orang-orangnya baik yang masih tinggal di sana atau pun yang tersebar
diberbagai tempat lain, terikat satu sama lain oleh hak dan kewajiban yang sama atas
kampung mereka dan berbagai kegiatan sosio-religius. (Anizah 2013: 57)
Gambar 4.3
View Kampung Tarung
Sumber foto : Liputan6.com
12
Wawancara bersama nenek Rato Yusuf Lele Wadda di desa Dokakaka 16-12-2016
33
Gambar diatas merupakan gambar yang diambil oleh Liputan6.com yang
menujukan betapa indahnya kampung Tarung. Posisi kampung Tarung berada diatas
bukit ini membuat kampung Tarung seakan ekslusif, walaupun letak dari Kampung
Tarung ditengah-tengah kota namun kampung Tarung berhasil mempertahankan
keindahan dan keasrian kampungnya dari pengaruh modernisasi.
4.6. Pembagian Fungsi Adat
Dalam syair adat kampung Tarung di kenal sebagai istilah Tarungu Majaga Sodi –
Wua Manyoba yang artinya tempat berjaga yang tinggi – tempat berdirinya Sodi Wua
Manyoba (sejenis batu kubur tampa penutup yang terdapat di pelataran kemah suci).
Penghuni pertama Kampung Tarung adalah Kabisu Anakalang yang terdiri dari Klan
Sebu, Tara/TokuYangu, Koga Kadi/Wee Lowo, PulluBatana/Anawara. Saat tini
Kampung Tarung dihuni oleh Koga Kadi/Wee Lowo,Pullu Batana/Anawara Wanu
Kalada, Tanabi, Wee Nawi, WatakaWatu, serta Wee Bole.
Di Kampung Tarung terdapat 12 rumah adat utama dengan fungisnya masing-
masing sebagai berikut: (1). Uma Rato, fungsinya sebagai Ina Ama dan sebagai penuggu
kedatangan Uma Tuba, rumah adat ini melambangkan laki-laki dalam kampung Tarung,
rumah adat ini juga dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (2). Uma
Mawinne, fungsinya sebagai penentu tibanya bulan suci, rumah adat ini melambangkan
perempuan dalam kampung Tarung, rumah adat ini juga dihuni dan dijaga oleh suku
Koga Kadi/Wee Lowo.. (3). Uma Wara, fungsinya sebagai tempat tombak
adat/NobuWara , rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (4).
Uma Dara, fungsinya sebagai tempat kuda adat, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh
suku Koga Kadi/Wee Lowo. (5). Roba Delo, fungsinya yaitu sebagai tempat parang adat
, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (6). Uma Marapu
Manu, berfungsi pada saat pelaksanaan upacara Poddu yang melakukan persembahan
ayam, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (7). Uma
Madiata, fungsinya sebagai pembawa lagu adat (Dodo, Walo), rumah adat ini dihuni dan
dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo.. (8). Wee Kadaa/LedoNaba, fungsinya sebagai
tempat kuda adat penarikan batu kubur dan sebagai pembawa air suci yang terkena kilat,
rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo. (9). Ana Uma
34
Madiata, fungsinya yaitu sebagai sebagai Utta – Poppu Winno rumah adat ini dihuni dan
dijaga oleh suku Koga Kadi/Wee Lowo . (10). Jaga Wogu/PulluBatana, fungsinya
sebagai rumah induk tempat pelaksanaan dan Toko Uma Duada-Kadu, Yipa Pera, Dede
Lira-Adde Bedo pada saat Rato Rumatawara, rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku
PulluBatana/Anawara . (11). Ana Wara Ana Uma, fungsinya yaitu sebagai tempat
parang adat rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh suku PulluBatana/Anawara. (12). Uma
Ana Wara Ana Uma, fungsinya sebagai KaitoUtta-Poppu Winno dan sebagai penerima
tamu pertama pembawa babi hutan (Wulli Pare), rumah adat ini dihuni dan dijaga oleh
suku PulluBatana/Anawara.13
Banyak ritual adat yang masih dilaksanakan di kampung Tarung termasuk Wulla
Poddu. Dalam menjalankannya ritual-ritual tersebut masing-masing rumah adat
menyimpan beberapa benda pusaka yang sebagiannya ditetapkan sebagai benda cagar
budaya. (1). Beddu / Ubbu adalah Tambur suci yang hanya boleh dibunyikan sepanjang
penyelenggaraan Wulla Poddu. Tambur ini serupa dengan yang ada di kampung
Tambera. Badannya teruat dari kayu pilihan, permukaan dari kulit kebau persembahan
(dahulu dari kulit manusia). (2). Katuba adalah Tambur berukuran kecil. Bahan yang
digunakan untuk membuat Katuba sama dengan Beddu. Digunakan dengan cara
disampampirkan pada bahu dan dipukul dengan tangan. Dibunyikan dengan tangan. (3).
Talla adalah Gong suci yang hanya dibunyikan untuk mengiringi ritual-ritual pemujaan
sertatari-tarian yang dipentaskan selama berlangsungnya bulan suci (WullaPoddu).
Jumlahnya ada 12 buah, terbuat dari pelat besi atau kuningan. Talla terdiri dari beberapa
jenis, yaitu: Talla Ana Kouka: ukurannya paling kecil dan biasanya dibunyikan terlebih
dahulu sebagai music pembuka; Talla Kawukek: dibunyikan setelah Talla Ana Kouka
(urutankedua); Talla Gaza Deta: dibunyikan pada urutan ketiga; Talla Gaza DetaBawa:
dibunyikan pada urutan keempat. (4). Kasaba adalah Alat musik serupa sambal yang
dibunyikan untuk mengiringi bunyi gong dan tambur saat Wulla Poddu. (5). Teko adalah
Parang Kuno yang merupakan pasangan tombak suci. Teko dikenakan dengan cara
disampirkan di bahu dan hanya digunakan pada ritual-ritual tertentu selama Wulla Poddu.
(6). Nobbu adalah Tombak suci atau keramat yang digunakan sebagai pelengkap busana
13
Sumber dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat dan wawancara bersama Rato Lado
35
para Rato saat belangsung ritual tertentu, juga sebagai media untuk berhubungan dengan
roh leluhur atau untuk meramal nasib. Nobu hanya digunakan pada saat wulla Poddu,
yaitu kala Rato melakukan wara atau pendarasan syair-syair suci berisi perjalanan nenek
moyang serta saat melakukan ritual turun kesawah membawa persembahan kepada roh
pelindung. (7). Toda adalah Tameng kuno dari kulit kerbau. Pada zaman dahulu dipakai
sebagai peralatan perang dan kini digunakan sebagai kelengkapan upacara-upacara adat.
(8). Pamuli, Tebelo, Maraga, Lele, Lagoro adalah Aksesoris pusaka yang digunakan
para Rato saat belangsung upacara adat dan sebagai peengkap busana para penari.
Pamuli/Mamoli: perhiasan telinga berbentuk belah ketupat dengan lubang di tengahnya
sebagai symbol rahim wanita. Tabelo: perhiasan kepala berbentuk tanduk kerbau yang
dikenakan dengan cara disematkan di dahi. Maraga: perhiasan dada perlambang hati.
Lele: gelang terbuat dari gading gajah yang selalu dikenakan berpasangan. Logoro:
perhiasan/gelang kaki berupa giring-giring yang dikenakan pada betis. (9). Pega, Koba,
Gori adalah Piring (pega), Mangkuk (Koba), dancawan (Gori) kuno terbuat dari kayu dan
tempurung kelapa yang digunakan untuk menyajikan makanan persembahan. (10).
Adung adalah Tonggak kayu yang dulu nya dipakai untuk menggantung kepala musuh
dan sebagai pusat penyelenggaraan upacara perang. (11).Umma Kabubu adalah Kuil
suci yang dipercayai sebagai tempat persemayaman para dewa. Umma Marapu terletak
disudut Natara Poddu. Semua atap dan dindingnya tertutup jerami dan tidak memiliki
pintu atau jendela. Kuil ini tidak boleh dimasukis sembarang orang atau sembarang
waktu. (12). Umma dan Odi adalah Sejumlah rumah adat tradisional yang menjalankan
fungsi-fungsi ritual dan tempat tersimpannya berbagai benda cagar budaya tak bergerak
serta kuburan megalitik dengan berbagai bentuk dan ukuran. 14
Beberapa benda-benda pusaka diatas disimpan dalam rumah adat, ada yang
digantung pada tiang-tiang yang sakral bagi perempuan da ada yang disimpan di loteng
rumah. Salah satu yang digantung adalah Beddu / Ubbu yaitu Tambur suci yang hanya
boleh dibunyikan sepanjang penyelenggaraan Wulla Poddu. Tambur ini tidak sembarang
dipegang atau dimainkan, tambur ini digatung pada tiang yang dilarang untuk disentuh
perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu.
14
Sumber dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Barat
36
4.7. Makna dan Konsepi Rumah Adat
Seperti kampung adat, rumah orang Sumba terbagi dalam pengertian rumah besar
(uma kalada) dan lainnya. Seperti wanno kalada, uma kalada juga merupakan rumah yang
dibangun oleh nenek moyang pertama dan dihuni turun temurun oleh generasi
selanjutnya. Dalam rumah adat Sumba berdiam arwah leluhur yang telah menjadi serupa
dewa (marapu), dan di rumah ini pula tersimpan harta benda pusaka milik keluarga yang
bersangkutan. Semua turunan pendiri rumah baik yang masih berdiam disitu maupun
yang telah membangun hunian baru terikat dalam suatu hubungan kekerabatan yang
disebut kabisu. Dalam kampung umumnya terdapat lebih dari satu kabisu, masing-masing
memiliki uma kalada tersendiri yang berfungsi sebagai pusat kehidupan sosio-religius
kelompok kabisu bersangkutan.
Rumah rumah tradisional yang tidak termasuk rumah adat disebut ana uma ( jika
dibangun di kampung yang sama) atau uma ouma (jika dibangun di luar kampung adat).
Ana uma artinya anak rumah, yaitu cabang sebuah rumah adat yang didirikan oleh nenek
moyang yang lebih muda. Sedangkan uma ouma berarti rumah kebun, karena walnya
memang dibangun disekitaran sawah dan ladang untuk keperluan pengawasan. Rumah
rumah semacam ini tidak dianggap kediaman leluhur sehingga tidak dijadikan pusat
seremonial. Seremoni-seremoni penting dalam siklus hidup penghuninya seperti
perkawinan dan penguburan tetap dilaknakan di rumah adat utama, demikian pula dengan
pemujaan-pemujaan tertentu.
Seperti disinggung sebelumnya, sebuah rumah adat utama selalu menjadi milik
sebuah kabisu. Dan dalam sebuah kampung yang homogeny dihuni lebih dari satu kabisu,
rumah adat kabisu yang satu dibedakan dengan rumah adat kabisu yang lain berdasarkan
nama yang disandangnya. Nama sebuah rumah bisa berdasarkan nama pendirinya, tapi
lebih sering berdasarkan peran ritual yang dijalankannya. Sebagai contoh, di kampung
Tambera kecamatan Loli ada rumah antara Uma Kalda Wogo milik klain Wee Lowo
yang bertugas sebagi penjaga mata air suci dan pemanggil hujan.
Rumah adat sumba berbentuk panggung, dilengkapi menara yang membumbung
tinggi seolah hendak menggapai langit. Hal ini, sebagai mana diyakini sebagian orang,
37
merupakan perlambang hubungan harmonis antara manusia dan sang pencipta. Rumah
adat sumba aslinya dibangun tanpa paku, bagian-bagian ditautkan satu sama lain
menggunkan pasak serta tali kayu (kalere) atau rotan (uwe). Seluruh berat rumah
ditopang oleh empat tiang utama (Parii kalada) yang terbuat dari kayu kayu khusus
seperti masela,kawisu,lapale atau ulu kataka, serta tiang-tiang penyangga yang lebih
kecil.
Keempat tiang utama, terutama tiang pertama didekat pintu masuk, merupakan
elemen arsitektur rumah adat Sumba yang paling penting,setidaknya dari sisi religious,
masing-masing tiang dilingkari cicin besar dari kayu (labe). Dari sisi religious labe
berfungsi tempat meletakkan persembahan, sedangkan kegunaan praktisnya adalah
sebagai gelang anti tikus agar hewan pengerat tersebut tidak bisa memanjat ke loteng
tempat menyimpan hasil panen.
Gambar 4.4
Empat Tiang Utama
Sumber foto CNN
Gambar diatas menunjukan empat tiang utama dari rumah adat Sumba. Di
tengahnya ada tungu api, dan diasta tungku api tergantung leki atau (para-para) yang
berwarna hitam seperti yang terlihat diatas. Leki terbagi dua : leki kii (para-para kecil),
tempat menyimpan makan matang, dan leki kalada (para-para besar) tempat penyimpan
peralatan dapur. Masing-masing tiang utama memiliki nama dan fungsi tersendiri. Beda
kampung beda lagi namanya, tapi dari segi fungsi pada prisnsipnya sama saja. Tiang
yang terletak disebalah kanan depan (parii urat) biasanya merupakan tiang yang paling
38
diutamakan karena dipercaya sebagai tempat lalu lalang marapu pendiri rumah. Melalui
tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhurnya untuk mencari jawaban atas
berbagai pertanyaan. Tiang kanan belakang merupakan kediaman roh-roh leluhur. Roh-
roh ini dipercaya selalu mengawasi pintu utama, sehingga ada pula yang menyebutkan
tiang tempat mereka berdiam sebagai tiang penjaga kabisu. Tiang ketiga yang terletak
disebelah kiri depan dan tiang ke empat dibelakang memiliki makna yang kurang lebih
sama dengan pasangan mereka disebalah kanan, tetapi ditujuhkan untuk leluhur dari
pihak perempuan (loka), karena terletak dai dekat area dapur, tiang keempat kerap pula
dijuluki tiang penjaga api. Makana lain keempat tiang utama adalah manifesatasi empat
arah mata angin: utara,selatan, barat, dan timur, dengan tungku api yang berada tepat di
tengahnya sebagai simbol matahari.
Bagian dalam rumah, baik secara simbolis maupun fungsional, terbagi menjadi dua
bagian : bagian untuk laki-laki yang lebih formal dan religious (mbalekatounga) serta
bagian untuk wanita yang lebih ke urusan rumah tangga (kere pandalu). Mbalekatounga
berwujud bale-bale panjang yang terentang mulai pintu masuk laki-laki hingga keujung
belakang rumah. Fungsinya beragam, sebagai pertemuan formal, tempat pemujaan serta
area tidur.
Gambar 4.5
Pintu Laki-laki (Mbalekatounga) dan Pintu untuk perempuan (Kere pandalu)
Sumber foto : Peneliti
39
Sementara kere pandalu, yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan dan
tempat menimpan berbagai alat rumah tangga, terentang mulai dari pintu pintu masuk
perempuan hingga sepertiga panjang rumah seperempat sisanya merupakan ruang tempat
tidur pemilik rumah (koro ndouka). Mbalekatounga dan kere pandalu dipisahkan oleh
area dapur (robu kadana) yang terletak persis ditengah rungan, diapit oleh keempat tiang
utama.
Untuk mengetahui lebih jelas rumah adat Sumba secara keruangan mari kita lihat
denah gambar rumah adat dilihat secara horizontal dibawah ini :
Gambar 4.6
Denah Rumah Adat Sumba Secara Horizontal
Keterangan Gambar :
A : Perapian dengan 3 batu
B : Area laki-laki
C : Area perempuan
D : Mbale Katounga pintu untuk laki-laki
E: Kere Pandalu pintu untuk perempuan
F: Bagian depan rumah – formal.
G: Ruang tidur (suami-istri)
H : Bale-bale tempat menerima tamu
I: Bale-bale dalam rumah
J : Kendi atau gerabah tempat air bersih
K : Bagian belakang rumah – informal
L : Teras untuk kaum wanita
M : Teras untuk kaum pria – formal.
N : Bale- bale Ponnu karo tillu
O: Tempat untuk menyimpan peralatan
memasak.
Sumber foto : Haryanto Dkk 2012
40
Dalam rumah adat Sumba, ada empat tiang besar yang berdiri kokoh dan
menopang rumah, tiang-tiang tersebut ada yang diperuntukan untuk perempuan dan ada
yang diperuntukan untuk laki-laki. Kita bisa melihat pada denah diatas empat tiang besar
tersebut terletak pada nomer 1,2,3, dan 4. Dalam pembagiannya, tiang nomer 1 dan 2
berada pada area laki-laki, dan tiang nomer 3 dan 4 berada pada area perempuan.
Pembagian tersebut bukan tanpa sebab, untuk pembagian tiang nomer 1 dan 2 tersebut
memiliki fungsi yang berkaitan dengan spriritual sedangkan pembagian untuk tiang nomer
3 dan 4 memiliki fungsi yang berkaitan dengan aktifitas rumah tangga dan kemakmuran.
Dari kempat tiang ada dua tiang yang tidak boleh disentuh atau pegang oleh
perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu yaitu tiang nomer (1) yang letaknya di
sebalah kanan bagian depan atau sering dikatakan sebagai tiang utama bernama parii utta
atau dengan nama lain tiang uratta merupakan tiang yang tidak boleh disentuh perempuan
dalam hal ini istri dan anak mantu dengan alasan tiang tersebut merupakan tiang yang
pamali atau sakral. Dan ada juga tiang nomer (2) yang letaknya di sebalah kanan bagian
belakang bernama Parii woleta atau dengan nama lain Parii tutungaba balikatonga juga
merupakan tiang yang tidak boleh disentuh oleh istri dan anak mantu, sama dengan tiang
uratta diatas, tiang parii woleta tidak boleh dipegang karena pamali atau sakral.
Untuk dua tiang lainnya boleh dipegang atau disentuh oleh perempuan dalam hal
ini istri dan anak mantu yaitu tiang nomer 3 yang terletak di sebelah kiri bagian depan
yang bernama Tiang kiakamanu, tiang ini diperuntukan untuk perempuan. Dan tiang
nomer (4) yang letaknya disebalah kiri bagian belakang Tiang liwura sama dengan tiang
kiakamanu yang diperuntukan untuk perempuan, tiang Tiang liwura melambangkan
kemakmuran, dan tempat di gantungnya makanan ayah dan ibu jika tak berada dirumah.
Tiang ini juga digunakan untuk menyimpan beras yang sudah bersih lalu di masak.
Berikut dibawah ini salah satu tiang dan tempat yang tidak boleh ditempati
perempuan dalam hal ini istri dan anak mantu:
41
Gambar 4.7
Tiang Pari’i Woleta dan Ponno Karotilu
Sumber gambar : peneliti
Bukan saja tiang dalam rumah adat yang tidak boleh disentuh oleh perempuan
yang dalam hal ini istri dan anak mantu, pintu utama (mbalekatounga) yang
dilambangkan sebagai pintu laki-laki seperti yang tergambar pada huruf D juga tidak
boleh dilewati oleh istri dan anak mantu bahkan sampai seumur hidup ketika mereka
tinggal dalam rumah adat tidak boleh melewati pintu tersebut mereka hanya melewati
pintu Kerepandalu yang berada di bagian samping rumah seperti yang tergambar pada
huruf E dalam denah diatas, pintu tersebut merupakan satu-satunya pintu yang boleh
dilewati istri dan anak mantu.
Dalam rumah adat Sumba ada tiga bagian utama rumah adat sumba, yaitu:
pertama: bagian atap rumah (Toko Uma) secara harafiah toko uma berarti tongkat rumah,
dan dalam konteks ini berwujud menara tinggi dengan atap alang-alang. Jauh dipuncak
menara, tepatnya dipojok kiri dan kanannya,tersemat dua tongkat kayu berukiran manusia
yang disebut kadu uma (tanduk). Kadu uma adalah symbol ina-ama (ibu-bapak), yaitu
pasangan leluhur pendiri rumah yang hidup berdampingan dan mengawasi segalanya.
Toko uma menjalankan fungsi praktis dan religiusnya snediri yaitu sebagai tempat
persemayaman marapu dan sebagai tempat penghasil panen, harta pusaka dan benda-
benda berharga lainnya. Kedua, ruang hunian (Bei Uma) yang dinding dan lantainya
terbuat dari bambu. Bei Uma teerbagi menjadi area luar yang cenderung berfungsi
42
sebagai area publik dan area dalam tempat langsungnya aktivitas domestik, Pada ruang
dalam dibedakan atas ruang akses untuk pria dan wanita. Ada dua pintu masuk, satu
untuk laki-laki dan satunya untuk perempuan. Tanduk kerbau juga kerap digunakan
sebagai hiasan dinding. Semakin banyak hiasannya berarti telah banyak pesta yang
digelar si empunya rumah, dengan demikian menjadi lambing prestise. Ketiga, adalah
bagian bawah rumah (Kali Kabunga) menjadi kandang ternak, seperti kambing, babi,
atau bahkan kuda dan kerbau. (Anizah 2013:60-63) Untuk mengetahui tiga bagian rumah
adat Sumba secara vertikal mari kita lihat gambar dibawah ini:
Gambar 4.8
Pembagian rumah Rumah adat Sumba secara vertikal
Dalam pemisahan ruang secara vertikal memperjelas hirarki dan derajat
kesakralan ruang. Ruang atas di bawah atap menara merupakan bagian yang paling
penting dan bermakna sakral. Rumah Sumba memiliki ruang atas yang dikhususkan
untuk Marapu. Pemaknaan dalam ruang tersebut, selain sebagai penggambaran “dunia
atas” juga sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Bagian tengah rumah
menjadi “dunia tengah” atau tempat hidup manusia beraktivitas sehari-hari. Sedangkan
bagian bawah melambangkan “dunia bawah” tempat untuk hewan-hewan ternak. Konsep
tersebut menggambarkan dalam rumah yaitu yang terendah diletakkan di bawah, semakin
ke atas semakin penting dan sakral. Di Kampung Tarung, di bagian belakang rumah
terdapat bilik-bilik untuk tempat penyimpanan barang dan ruang tidur kepala keluarga. Di
43
sebelah kanan belakang, terdapat ruang Mata Marapu atau ruang yang sakral. Jika area
depan dan belakang menunjukkan pemisahan area publik dan privat, maka pemisahan
area kiri dan kanan pada rumah Sumba merupakan pemisahan area berdasarkan gender.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemisahan ruang depan dan belakang pada
rumah Sumba lebih kearah pemisahan area publik dan privat. Ruang depan lebih
berfungsi untuk kegiatan yang bersifat publik dan dapat digunakan oleh orang lain selain
pemilik rumah. Ruang belakang yang lebih privat, digunakan untuk aktivitas domestik
dan ruang tidur. (Hariyanto dkk. 2012)
4.8. Rumah adat Sebagai Simbol Pembagian Fungsi Perempuan dan
Laki-Laki
Banyak orang Sumba memandang rumah adat mereka sebagai simbolisasi tubuh
manusia yang terdiri dari kepala, badan dan anggota tubuh, serta terbagi menjadi laki-laki
dan perempuan. Seperti yang diuangkapakan oleh Rato Lado
“Rumah adat sumba secara filosofi seperti manusia, lahir dengan lahir
tidak mungkin langsung bisa jalan, begitu pula dengan rumah adat ada
proses-proses panjang untuk membuat dia kokoh dan layak di katakan
sebagai rumah adat. Ada juga istilah yang sama seperti manusia yaitu
rumah adat juga memiliki kaki, mulut, jantung,urat, dan bambu-bambu
yang menyerupai rusuk laki-laki.”15
Bagian kepala dilambangkan dengan atap atau menara (Toko uma). Dan sebagai
mana kepala yang merupakan tempat beradanya otak (pusat kehidupan atau jiwa
manusia) menara rumah orang Sumba juga dianggap sebagai tempat beradanya jiwa
keluarga.Disinilah hasil ladang sebagai sumber kelangsungan hidup badanniah, disimpan,
juga harta benda pusaka yang merupakan sumber kehidupan rohaniah (spiritual).
Bagian badan dilambangkan dengan bagian rumah tempat hunian (bei uma). Badan
manusia memiliki organ-organ penting serta hati dan jantung, begitu juga bei uma. Hati
diidentikan dengan leki atau paru-paru yang menggantung diantara tempat yang utama
karena berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan masak dan makanan yang sudah
matang, leki dianggap sebagai penunjang kelangsungan hidup yang penting. Sementara
15
Wawancara bersama Rato Lado di Kampung Tarung tanggal 5-11-2016
44
jantung identik dengan robu kadana yaitu tungku api serta dapur yang terletak tepat
ditengah-tengah rumah, dan dianggap sebagai pusat penggerak kehidupan. Bagian kaki
dilambangkan dengan tiang-tiang penopang, terutama empat tiang utama dan enam belas
tiang penyangga, serta tiang- tiang penunjang lainnya.
Dalam rumah adat Sumba ada juga konsep gender yaitu Kadu uma yang berada
dipuncak menara rumah yang menjulang keatas, yang biasa dikenal sebagai tanduk
rumah merupakan simbol suami dan istri yang berdiri berdampingan.
Menurut A.A. Rai Geria dan I Gusti Ayu Armini (2010) dalam (Anizah 2013 :
63-64) Konsep Gender dalam Rumah adat Sumba bisa juga dilihat sebagai simbol
hubungan spriritual dua kutub berlawanan yang bersifat oposisi biner. Misalnya langit
dan bumi atau lelaki dan perempuan. Masing-masing terpisah dalam status dan peran
namun bekerja saling melengkapi sehingga pada gilirannya mampu menghasilkan
kesuburan, kelangsungan hidup dan kekayaan.