bab iv - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/5937/9/2012-1-88210-544409025-bab4... · dengan bentuk...
TRANSCRIPT
31
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Pemerintah Daerah Bone Bolango yaitu pada
Sekretariat Daerah Tata Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, (Setda
Tapem/Kesra) yang beralamat di Desa Ulantha Kecamatan Suwawa Kabupaten
Bone Bolango. Alasan peneliti melakukan penilitian di kantor tersebut karena
kantor ini yang menangani langsung upacara –upacara adat yang diselenggarakan
oleh Pemerintah Daerah termasuk upacara adat Molo’opu.
Gambar 11 : Kantor Bupati Bone Bolango. Foto : Penulis Agustus 2012
Dalam rangka peningkatan penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan
pembangunan, dan pelayanan masyarakat di propinsi Gororntalo yang memiliki
luas wilayah + 12.215,45 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 sekitar
844.623 jiwa, maka atas dasar partisipasi masyarakat dibentuklah Kabupaten
32
Bentuk Sunthi
Jilbab
Bone Bolango yang terpisah dengan Kabupaten induk yaitu Kabupaten Gorontalo.
Pada awal pembentukkannya Kabupaten Bone Bolango hanya terdiri dari 4
Kecamatan yakni Kecamatan Tapa, Kecamatan Kabila, Kecamatan Suwawa serta
Kecamatan Bone Pantai dengan luas keseluruhannnya 1.984.31km2, (Sumber:
Setda Tapem Kesra tanggal 16 April 2011).
4.2. Bentuk Dan Makna Simbolik Busana Adat Molo’opu
Secara umum struktur busana adat pada upacara Molo’opu di Gorontalo
baik laki-laki dan perempuan terdiri dari busana bagian atas, busana bagian
tengah, dan busana bagian bawah.
4.2.1 Bentuk dan makna simbolik busana adat Molo’opu untuk perempuan
a. Busana bagian atas (Hiasan Pada Kepala)
Busana bagian atas atau hiasan pada kepala pada busana adat
Molo’opu adalah konde dan sunthi. Sunthi berbentuk setangkai bunga
pecah piring (bunga Krisan) berwarna kuning keemasan
Gambar 12. Sunthi dipakai pada upacara Molo’opu
Foto : Penulis Februari 2011
33
Bentuk Bunga Krisan
melambangkan kemuliaan yang disematkan pada sanggul atau konde
bagian belakang. Sunthi sebagai pelengkap busana yang dipakai di
istana oleh ratu atau permaisuri, pejabat-pejabat kerajaan dan puteri-
puteri yang tinggal dikerajaan mempunyai ketentuan jumlah sunthi,
disesuaikan dengan status pemakainya. Untuk ratu atau permaisuri
memakai tujuh buah sunthi, untuk puteri istana yang sudah menikah
memakai lima buah sunthi, untuk puteri yang belum menikah memakai
tiga buah sunthi. Begitu juga sunthi pada busana adat Molo’opu
mempunyai ketentuan jumlah disesuaikan dengan jabatan yang
dipegangnya. Hal ini terlihat pada gambar 12 diatas jumlah sunthi
yang dikenakan oleh ibu Sekda berjumlah 5 buah, untuk Bupati
(Olongia) berjumlah 7 buah dan untuk camat (wuleya Lolipu)
berjumlah 3 buah.
Gambar 13 Bentuk Sunthi ( berbentuk bunga krisan bahan dari emas) Foto : Penulis Februari 2011
34
Berdasarkan hasil penelitian bahwa perkembangan zaman,
berdampak pada bentuk sunthi yang sudah banyak djumpai dipasaran
dengan bentuk bunga yang bermacam-macam dan tata cara
pemakaiannya juga sudah tidak menurut ketentuan yang ada. Menurut
salah satu informan Muslina Said (Juni 2012) bahwa perkembangan
bentuk sunthi, diperbolehkan asal tidak mengeser makna sebelumnya,
contoh sunthi yang berkembang dengan berbagai macam bentuk jenis
bunga masih diperbolehkan, namun jika sudah berkembang menjadi
bentuk daun tidak dibolehkan, hal tersebut sudah merubah makna.
Pada umumnya bentuk sunthi di Gorontalo merujuk pada berbagai
jenis bunga akan tetapi lebih dominan bentuknya dari bunga pecah
piring (bunga krisan). Hal ini di benarkan oleh budayawan bapak
Hasdin Danial (hasil wawancara Juni 2012) beliau mengatakan bahwa
asal usul hiasan kepala sunthi dari bunga pecah piring (salah satu jenis
bunga krisan) yang berbentuk segi lima mengandung makna lima
kerajaan yang pernah ada di bumi Gorontalo yaitu kerajaan Bulango,
kerajaan Hulanthalo, kerajaan Limutu, kerajaan Atinggola dan
kerajaan Suwawa, dan berwarna kuning keemasan melambangkan
kemuliaan sang pemakai. Selain itu juga menurut informan lain ( Reni
Bila Juli 2012) bahwa makna simboliknya sunthi yang ditancapkan
pada pungguto (konde) melambangkan pendidikan budi pekerti yang
luhur, akhlak yang mulia serta lemah lembut dalam bertutur kata,
bentuknya segi lima dalam artian bisa menjalankan kewajibannya
sebagai orang islam yang kita kenal dengan rukun islam yaitu
35
mengucap kalimat syahadat, Sholat, berpuasa, berzakat dan
menunaikan ibadah Haji, beliau juga menuturkan bahwa pada waktu
itu Agama Islam dinyatakan sebagai Agama Kerajaan dalam
pemerintahan adat Gorontalo. Sunthi dapat dipakai untuk orang yang
memakai jilbab ataupun yang tidak memakai jilbab.
b. Busana bagian tengah (Blus atasan)
Busana bagian tengah untuk busana adat Molo’opu terdiri dari
blus atau bo’o galenggo (baju kururng), kecubu loduhelo atau penutup
dada, kecubu lo ulu’u atau pembalut tangan, perhiasan berupa kalung,
anting-anting, cincin, hiasan kuku atau lu’obu seperti terlihat pada
gambar dibawah 11 dibawah ini
1. Bo’o Galenggo
Pada gambar 14 dibawah ini bentuk busana yang dikenakan
berbentuk baju kurung atau bo’o galenggo yang desain strukturnya
atau siluet berbentuk segi empat panjang biasa disebut dengan siluet
H (siluet rectangle). Bo,o galenggo ini ukurannya sedikit longgar
memakai garis leher bulat, panjang baju sebatas panggul, memakai
lengan licin atau lengan suai yang panjangnya sampai pada
pergelengan tangan, pada bagian tengah belakang memakai tutup
tarik (retsluting) yang berfungsi untuk membuka dan menutup baju
ketika mengenakannya. Bo’o galenggo dilengkapi dengan hiasan
tambi’o berupa pita emas yang berbentuk bulat dan segi empat
diletakkan pada bagian –bagian baju yang maknanya kemuliaan sang
ratu. Dulu tekstur bahan busana adat ini terdiri dari tekstur lemas
36
Kecubu lo duhelo
Kecubu lo Ulu’u
Bide Alumbu
Sunthi
dan mengkilap seperti kain beludru, satin polos, dan kain sutera
dipilih sebagai bahan busana untuk pakaian istana karena kain
tersebut halus, sehingga diartikan kehalusan dan kemuliaan yang
dapat memberi harkat dan martabat manusia, tetapi dengan adanya
perkembangan zaman tekstur bahan busana adat sudah banyak
macam jenis kain seperti pada gambar 14 dibawah ini memakai kain
tafeta sutra yang teksturnya kaku dapat menyembunyikan atau
menutupi bentuk badan.
Busana ini berwarna biru tua atau salah satu warna yang
tergolong pada warna dingin yang maknanya dapat memberi
perasaan dingin dan sejuk dimana warna dingin ini mempunyai sifat
Bo’o Galenggo
Gambar 14. Bo’o Galenggo Foto : Penulis Fabruari 2011
37
menjauh sehingga membuat suatu obyek kelihatan lebih kecil atau
sipemakai busana tersebut kelihatan lebih langsing. Tetapi warna
biru tua ini ditinjau dari warna busana adat termasuk pada salah
satu warna duka dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan warna
Wobulo yang mengandung makna menandakan rasa duka keluarga
sudah mulai menghilang. Menurut informan Djumadi Botutihe
(wawancara April 2011) warna busana yang dikenakan pada upacara
molo’opu adalah warna ungu yang mengandung makna kepatuhan
terhadap agama dan adat. Tapi hasil temuan di lokasi penelitian
seperti terlihat pada gambar 14 menunjukkan bahwa warna busana
yang dikenakan pada saat upacara Molo’opu tersebut warna biru
benhur (warna duka) yang mengandung makna menandakan bahwa
rasa duka keluarga sudah mulai menghilang. Hal ini mengundang
pertanyaan karena upacara adat Molo’opu adalah termasuk pada
salah satu acara adat liyango sedangkan kita tahu acara adat liyango
itu adalah acara pada situasi kegembiraan, yang seharusnya memakai
busana yang berwarna cerah atau warna adat merah, kuning, hijau
dan ungu. Menurut penuturan bapak Djumadi Botutihe (April 2011),
yang penulis temui beliau mengatakan bahwa sebenarnya busana
yang dikenakan pada upacara Molo’opu bapak sekda itu memakai
busana berwarna ungu, tetapi karena waktunya sudah mendesak
maka dianjurkan memakai baju apa saja yang dimiliki oleh mereka.
Hal ini menandakan semakin kurangnya perhatian dan para
pemangku adat dalam hal tata cara pemakaian busana adat pada
38
acara-acara tertentu. Menurut Hasdin Danial (wawancara Juli 2012)
hal ini tidak dibolehkan karena sudah menyalahi aturan adat dalam
segi tata cara berpakaian.beliau mengatakan bahwa busana yang
seharusnya dikenakan adalah salah dari warna adat yang ada, bukan
warna duka, karena upacara molo’opu salah satu acara liyango (acara
dalam situasi kegembiraan).
Berdasarkan keadaan pada waktu itu ternyata busana yang
dikenakan pada saat upacara molo’opu jogugu di Kabupaten Bone
Bolango sudah tidak berkiblat atau merujuk ke warna adat yaitu
merah, kuning, hijau dan ungu ada kemungkinan busana adat pada
upacara molo’opu penobotan Jogugu dalam hal ini Sekretaris Daerah
ada kaitannya dengan bendera partai politik yang berkuasa diwilayah
Gorontalo.
2. Kecubu lo duhelo atau penutup dada.
Baju galenggo dilengkapi dengan kecubu loduhelo sebagai
penutup dada dikenakan setelah memakai bo’o galenggo. Kecubu
lo duhelo yaitu hiasan dada yang melapisi baju sebagai penutup
dada dibuat dari bahan beludru berwarna hitam yang
melambangkan kesaktian dan kharisma, diberi hiasan berupa
kepingan-kepingan logam yang sudah dibentuk berupa bintang
dari emas yang mengandung makna keluhuran budi, bentuk daun
dan bunga , kecubu lo duhelo terdiri dari dua macam ada kecubu lo
duhelo panjang dan kecubu lo dehelo pendek. Untuk busana adat
molo’opu hanya memakai kecubu lo dehelo yang ukuran pendek.
39
Hiasan Dada
Menurut informan Muslina Said ( wawancara Juli 2012)
makna simboliknya kecubu lodehelo ini adalah agar sang ratu
dalam memimpin suatu pemerintahan, harus senantiasa menekan,
meredam, menutup hawa nafsu dan amarah serta dapat memimpin
pemerintahan dengan pancaran sinar kasih sayang, dan cinta
kepada negeri sebagaimana bersinarnya cahaya emas yang
menghiasi dada bajunya
Bentuk Daun
Bentuk Bintang
Bentuk Bunga
Gambar 15 : Kecubu Pendek Foto : Penulis Januari 2012
Gambar 16 : Kecubu Panjang Foto : Penulis Januari 2012
40
Petu
Pateda
3. Kecubu Lo ulu’u
Kecubu lo ulu’u terdiri dari petu dan pateda. Petu adalah pembalut
tangan yang terbuat dari kain beludru berwarna hitam yang
melambangkan kesaktian, diberi hiasan berbentuk daun pada
sekelilingnya, bentuk daun tersebut sama dengan bentuk daun sukun
pada kecubu loduhelo hanya ukurannya lebih kecil. Petu atau pembalut
lengan bermakna agar tangan sang ratu, akan terwujud karya-karya
nyata yang bermanfaat bagi orang banyak, sedangkan pateda adalah
gelang lebar melilit rapat pada kedua pergelangan tangan yang terbuat
dari emas motif kembang-kembang, berfungsi untuk menutupi ujung
petu bermakna sang ratu menjauhi tindakan-tindakan yang tidak terpuji
dan menyusahkan rakyat termasuk menerima sogokan atau hasil
tadahan.
Gambar 17: Kecubu LoUlu’u Foto : Penulis Januari 2012
41
Petu
Pateda
4.Lo’ohu atau kula (hiasan kuku)
Lo’ohu atau kula dipakai pada jari manis dan jari kelingking,
yang bentuknya segitiga menyerupai daun sukun, pada jari manis
bermakna budi pekerti yang baik sedangkan pada jari kelingking
adalah memperhatikan kepentingan rakyat kecil.
Lu’obu
Gambar 18 : Petu dan Pateda Foto : Penulis Januari 2012
Gambar 19 : Lu’obu Foto : Isnawati Juli 2011
42
c. Busana bagian bawah (Rok)
Busana bagian bawah untuk busana adat Molo’opu yaitu
bide alumbu atau rok sarung dan hiasan yang melekat pada bide
alumbu, salupa atau alas kaki.
1. Bide Alumbu
Bide alumbu adalah sarung pada bagian depan kanan dan kiri
bide ini terdapat hiasan yang berderet teratur kebawah.
Penempatan hiasan ini mengikuti pengaturan tempat duduk para
pejabat kerajaan ( huloqa bubato lo ulipu atau biasa disebut bulita
dalam suatu musyawarah).
Sesuai dengan hasil temuan dilokasi penelitian busana bagian
bawah yang dikenakan oleh mbui ( isteri sekda) tidak mengacu lagi
pada pakaian adat molo’opu yang sebelumnya, seperti terlihat pada
gambar 22. Pada gambar 19 dibawah ini model roknya berbentuk
rok model A lipit belakang, panjang rok sampai pada mata kaki,
terbuat dari bahan kain tafeta sutera, pada bagian tengah mukanya
tidak dilengkapi dengan hiasan tambio atau hiasan kepingan
logam yang berbentuk daun, bintang dan bunga yang berderet
sampai kebawah. Menurut Djumadi Botutihe (wawancara 16 april
2011) karena mendesaknya upacara molo’opu sehingga
menyebabkan tidak sempat lagi memasang hiasan pada bide
alumbu.
43
Makna simbolik yang terkandung pada bide alumbu
menurut informan yaitu sang ratu harus memegang rahasia
jabatannya sebagaimana menjaga rahasia kehormatan dirinya
Gambar 20 : Bide Alumbu Foto : Penulis Fabruari 2011
Gambar 21 : Hiasan pada bide alumbu Foto : Isnawati Suwardi Juli 2011
Bentuk Daun
Bentuk Bintang
44
2. Salupa/alas kaki
Bentuk Daun
Bentuk Bintang
Bide Alumbu
Gambar 23 : Salupa/alas kaki Foto : Penulis Mei 2012
Gambar 22 : Bide Alumbu yang diberi hiasan Repro Penulis : Agustus 2010
45
Hiasan Upiah Tilambio
Gambar 24 : Upiah Tilambio ( songkok) Foto : Penulis Februari 2011
Salupa/alas kaki adalah salah satu pelengkap busana bagian bawah
yang berbentuk sandal atau sepatu atau kaos kaki dikenakan oleh sang
ratu. Bentuk selop pada zaman dulu adalah bertumit kurang lebih tiga
centimeter, dengan alas selop lebar. Sekarang ini model alas kaki
kaum perempuan sangat beragam, masyarakat cenderung memilih
selop/sepatu yang cocok dengan bentuk kakinya sehingga nyaman
dalam pemakaiannya.
Makna simboliknya menurut informan melambangkan kebersihan
dan kesucian.
4.2.2. Bentuk dan makna simbolik busana adat Molo’opu untuk Laki-laki
a. Busana bagian atas (songkok)
Busana bagian atas atau penutup kepala untuk laki-laki pada upacara
adat Molo’opu yaitu memakai upiah tilmabio Hulawa (songkok yang diberi
hiasan pita emas) yang berbentuk segi empat berwarna hitam
46
melambangkan kesaktian, pada bagian tengahnya dihiasi dengan pita warna
kuning emas disekeliling yang melambangkan kemuliaan. Pemakaian upiah
tilambio hulawa ini sesuai dengan ketentuan adat hanya dapat dipakai oleh
Olongia, Jogugu, Wuleya lolipu, dan tokoh masyarakat yang sudah
mendapat gelar Pulanga (titel adat)
Makna simboliknya menurut informan, bapak Hi Medi Botutihe
(wawancara Desember 2011) yaitu bermakna Buto’o (hukum) yang
dijunjung tinggi oleh raja sedangkan menurut bapak Djumadi Botutihe
(wawancara April 2011) makna simboliknya melambangkan kemuliaan,
selain itu juga menandakan bahwa yang dinobatkan beragama islam.
b. Busana bagian tengah
Busana bagian tengah yaitu terdiri dari Antali (boo takowa Daa) dan
bide ngoputu ( sarung yang dilipat dua ). Pada gambar dibawah ini busana
bagian atas yang dikenakan oleh laki-laki yaitu Antali atau (bo’o taqwa
daa/) yang berwarna biru sedikit longgar, memakai kancing 5 buah pada
bagian depan dan 2 buah pada bagian kerah dan lengan, panjang lengan
sampai pada pergelangan tangan, memakai kerah sanghai, panjang kemeja
sampai dibawah panggul, pada bagian kanan memakai dihiasi dengan
sulaman krawang yang bermotif bunga besar sebelah kiri tepat pada bagian
saku dalam memakai krawang dengan motif bunga kecil. Pada dasar busana
bagian tengah untuk laki-laki tidak memakai hiasan krawang hanya
memakai kain polos saja
47
Bo’o Takowa
Upiah Tilambio
Bide Ngoputu
Talala Da’a
Salupa/ Sepatu
Gambar 25 : Bo’o Takowa Foto : Penulis Februari 2011
Bo’o Takowa makna simboliknya menurut informan bapak Hi Medi
Botutihe (wawancara 26 Desember 2011) yaitu menandakan baju dari
orang-orang yang bertaqwa
c. Busana bagian bawah
1. Talala Daa ( Celana Kebesaran)
Talala daa (celana kebesaran) adalah busana bagian bawah yang
dikenakan pada upacara adat molo’opu yang bentuknya sedikit
longgar, memakai siluet wedge, menggunakan bahan celana yang
bertekstur kaku dan kusam, panjang celana sampai pada mata kaki,
memaki gulbi yang berfungsi sebagai membuka dan menutup
48
restleting, memakai dua buah saku dibagian belakang dan pada bagian
sisi terdapat saku dalam, sisi celana bagian luar diberi hiasan pita yang
berwarna kuning keemasan.
Talala Da’a
Makna simbolik pada pita berwarna kuning kemasan yang
menghiasi sisi celana yaitu peringatan kepada raja untuk berlaku
jujur dan terbuka adil kepada rakyat. Selain itu juga menurut
informan lain (Djumadi Botutihe, April 2011) yang penulis temui
beliau mengatakan melambangkan kemuliaan dan kebesaran raja.
Tetapi pada busana adat molo’opu yang dikenakan oleh bapak Sekda
tidak memakai atau dihiasi lagi dengan pita kuning keemasan, beliau
Gambar 26 : Talala Daa Foto : Penulis Februari 2011
49
Gambar 27: Lipa-lipa (Sarung) Foto : Penulis Mei 2012
mengatakan pita ini bisa saja tidak dipakai karena mengingat
waktunya sangat mendesak sehingga tidak sempat lagi memasang
pita pada celana. Seperti terlihat pada gambar 26 d atas.
2. Palipa (sarung)
Palipa (sarung) adalah Bide ngoputu yang dipakai didalam antali
( bo’o taqowa) yang berbentuk sarung segi empat yang dilipat dua
kemudian dililit pada bagian pinggang tepatnya didalam baju
taqowa, kelihatan diluar antali hanya selebar telapak tangan. Tapi
dalam buku empat aspek adat daerah Gorontalo menjelaskan
apabila Olongia yang disambut sarung atau palipa didalam baju
taqowa, apabila jogugu sarungnya dililit diluar baju taqowa.
Dari hasil pengamatan tenyata sudah tidak ada lagi
perbedaan tersebut baik Olongia, Jogugu memakai sarung yang
dililit didalam baju taqowa, hal ini dikarenakan oleh jenis baju
50
Gambar 28 : Salupa/Selop (Sepatu) Foto : Penulis Mei 2012
yang dikenakan, apabila mengenakan baju taqowa daa maka
sarungnya dililit didalam baju tesebut dan apabila mengenakan
baju taqowa kiki maka sarungnya dililit diluar hal ini dibenarkan
oleh salah satu informan ( Karim Pateda 12 Juni 2012).
Makna simboliknya untuk menutupi segala kekurangan
sang kalifah. Sedangkan sarung yang dililitkan diluar artinya
bekerja tanpa pamrih, menutup saku untuk tidak menerima
sogokan-sogokan dalam menjalankan tugasnya.
3. Salupa/selop (sepatu)
Salupa/alas kaki adalah salah satu pelengkap busana bagian
bawah yang berbentuk sandal/sepatu atau kaos kaki dikenakan oleh
sang raja. Dulu bentuknya setengah sapatu yakni bagian muka tertutup
dan bagian belakang terbuka, bentuknya rata dan tidak tebal bagian
tumitnya, tapi sekarang ini model alas kaki kaum laki-laki sangat
51
beragam, mereka cenderung memilih selop/sepatu yang cocok dengan
bentuk kakinya sehingga nyaman dalam pemakaiannya.
Salupa/ selop makna simboliknya menurut informan bapak Hj
Medi Botutihe (wawancara 26 Desember 2011) melambangkan
kebersihan dan kesucian, sebagaimana sabda Nabi S.A.W yang mana
kebersihan itu adalah sebahagian dari iman.