bab iv - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/5937/9/2012-1-88210-544409025-bab4... · dengan bentuk...

21
31 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Pemerintah Daerah Bone Bolango yaitu pada Sekretariat Daerah Tata Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, (Setda Tapem/Kesra) yang beralamat di Desa Ulantha Kecamatan Suwawa Kabupaten Bone Bolango. Alasan peneliti melakukan penilitian di kantor tersebut karena kantor ini yang menangani langsung upacara –upacara adat yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah termasuk upacara adat Molo’opu. Gambar 11 : Kantor Bupati Bone Bolango. Foto : Penulis Agustus 2012 Dalam rangka peningkatan penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan masyarakat di propinsi Gororntalo yang memiliki luas wilayah + 12.215,45 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 sekitar 844.623 jiwa, maka atas dasar partisipasi masyarakat dibentuklah Kabupaten

Upload: phamkhue

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

31

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Pemerintah Daerah Bone Bolango yaitu pada

Sekretariat Daerah Tata Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat, (Setda

Tapem/Kesra) yang beralamat di Desa Ulantha Kecamatan Suwawa Kabupaten

Bone Bolango. Alasan peneliti melakukan penilitian di kantor tersebut karena

kantor ini yang menangani langsung upacara –upacara adat yang diselenggarakan

oleh Pemerintah Daerah termasuk upacara adat Molo’opu.

Gambar 11 : Kantor Bupati Bone Bolango. Foto : Penulis Agustus 2012

Dalam rangka peningkatan penyelenggaraan pemerintahan. Pelaksanaan

pembangunan, dan pelayanan masyarakat di propinsi Gororntalo yang memiliki

luas wilayah + 12.215,45 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 sekitar

844.623 jiwa, maka atas dasar partisipasi masyarakat dibentuklah Kabupaten

32

Bentuk Sunthi

Jilbab

Bone Bolango yang terpisah dengan Kabupaten induk yaitu Kabupaten Gorontalo.

Pada awal pembentukkannya Kabupaten Bone Bolango hanya terdiri dari 4

Kecamatan yakni Kecamatan Tapa, Kecamatan Kabila, Kecamatan Suwawa serta

Kecamatan Bone Pantai dengan luas keseluruhannnya 1.984.31km2, (Sumber:

Setda Tapem Kesra tanggal 16 April 2011).

4.2. Bentuk Dan Makna Simbolik Busana Adat Molo’opu

Secara umum struktur busana adat pada upacara Molo’opu di Gorontalo

baik laki-laki dan perempuan terdiri dari busana bagian atas, busana bagian

tengah, dan busana bagian bawah.

4.2.1 Bentuk dan makna simbolik busana adat Molo’opu untuk perempuan

a. Busana bagian atas (Hiasan Pada Kepala)

Busana bagian atas atau hiasan pada kepala pada busana adat

Molo’opu adalah konde dan sunthi. Sunthi berbentuk setangkai bunga

pecah piring (bunga Krisan) berwarna kuning keemasan

Gambar 12. Sunthi dipakai pada upacara Molo’opu

Foto : Penulis Februari 2011

33

Bentuk Bunga Krisan

melambangkan kemuliaan yang disematkan pada sanggul atau konde

bagian belakang. Sunthi sebagai pelengkap busana yang dipakai di

istana oleh ratu atau permaisuri, pejabat-pejabat kerajaan dan puteri-

puteri yang tinggal dikerajaan mempunyai ketentuan jumlah sunthi,

disesuaikan dengan status pemakainya. Untuk ratu atau permaisuri

memakai tujuh buah sunthi, untuk puteri istana yang sudah menikah

memakai lima buah sunthi, untuk puteri yang belum menikah memakai

tiga buah sunthi. Begitu juga sunthi pada busana adat Molo’opu

mempunyai ketentuan jumlah disesuaikan dengan jabatan yang

dipegangnya. Hal ini terlihat pada gambar 12 diatas jumlah sunthi

yang dikenakan oleh ibu Sekda berjumlah 5 buah, untuk Bupati

(Olongia) berjumlah 7 buah dan untuk camat (wuleya Lolipu)

berjumlah 3 buah.

Gambar 13 Bentuk Sunthi ( berbentuk bunga krisan bahan dari emas) Foto : Penulis Februari 2011

34

Berdasarkan hasil penelitian bahwa perkembangan zaman,

berdampak pada bentuk sunthi yang sudah banyak djumpai dipasaran

dengan bentuk bunga yang bermacam-macam dan tata cara

pemakaiannya juga sudah tidak menurut ketentuan yang ada. Menurut

salah satu informan Muslina Said (Juni 2012) bahwa perkembangan

bentuk sunthi, diperbolehkan asal tidak mengeser makna sebelumnya,

contoh sunthi yang berkembang dengan berbagai macam bentuk jenis

bunga masih diperbolehkan, namun jika sudah berkembang menjadi

bentuk daun tidak dibolehkan, hal tersebut sudah merubah makna.

Pada umumnya bentuk sunthi di Gorontalo merujuk pada berbagai

jenis bunga akan tetapi lebih dominan bentuknya dari bunga pecah

piring (bunga krisan). Hal ini di benarkan oleh budayawan bapak

Hasdin Danial (hasil wawancara Juni 2012) beliau mengatakan bahwa

asal usul hiasan kepala sunthi dari bunga pecah piring (salah satu jenis

bunga krisan) yang berbentuk segi lima mengandung makna lima

kerajaan yang pernah ada di bumi Gorontalo yaitu kerajaan Bulango,

kerajaan Hulanthalo, kerajaan Limutu, kerajaan Atinggola dan

kerajaan Suwawa, dan berwarna kuning keemasan melambangkan

kemuliaan sang pemakai. Selain itu juga menurut informan lain ( Reni

Bila Juli 2012) bahwa makna simboliknya sunthi yang ditancapkan

pada pungguto (konde) melambangkan pendidikan budi pekerti yang

luhur, akhlak yang mulia serta lemah lembut dalam bertutur kata,

bentuknya segi lima dalam artian bisa menjalankan kewajibannya

sebagai orang islam yang kita kenal dengan rukun islam yaitu

35

mengucap kalimat syahadat, Sholat, berpuasa, berzakat dan

menunaikan ibadah Haji, beliau juga menuturkan bahwa pada waktu

itu Agama Islam dinyatakan sebagai Agama Kerajaan dalam

pemerintahan adat Gorontalo. Sunthi dapat dipakai untuk orang yang

memakai jilbab ataupun yang tidak memakai jilbab.

b. Busana bagian tengah (Blus atasan)

Busana bagian tengah untuk busana adat Molo’opu terdiri dari

blus atau bo’o galenggo (baju kururng), kecubu loduhelo atau penutup

dada, kecubu lo ulu’u atau pembalut tangan, perhiasan berupa kalung,

anting-anting, cincin, hiasan kuku atau lu’obu seperti terlihat pada

gambar dibawah 11 dibawah ini

1. Bo’o Galenggo

Pada gambar 14 dibawah ini bentuk busana yang dikenakan

berbentuk baju kurung atau bo’o galenggo yang desain strukturnya

atau siluet berbentuk segi empat panjang biasa disebut dengan siluet

H (siluet rectangle). Bo,o galenggo ini ukurannya sedikit longgar

memakai garis leher bulat, panjang baju sebatas panggul, memakai

lengan licin atau lengan suai yang panjangnya sampai pada

pergelengan tangan, pada bagian tengah belakang memakai tutup

tarik (retsluting) yang berfungsi untuk membuka dan menutup baju

ketika mengenakannya. Bo’o galenggo dilengkapi dengan hiasan

tambi’o berupa pita emas yang berbentuk bulat dan segi empat

diletakkan pada bagian –bagian baju yang maknanya kemuliaan sang

ratu. Dulu tekstur bahan busana adat ini terdiri dari tekstur lemas

36

Kecubu lo duhelo

Kecubu lo Ulu’u

Bide Alumbu

Sunthi

dan mengkilap seperti kain beludru, satin polos, dan kain sutera

dipilih sebagai bahan busana untuk pakaian istana karena kain

tersebut halus, sehingga diartikan kehalusan dan kemuliaan yang

dapat memberi harkat dan martabat manusia, tetapi dengan adanya

perkembangan zaman tekstur bahan busana adat sudah banyak

macam jenis kain seperti pada gambar 14 dibawah ini memakai kain

tafeta sutra yang teksturnya kaku dapat menyembunyikan atau

menutupi bentuk badan.

Busana ini berwarna biru tua atau salah satu warna yang

tergolong pada warna dingin yang maknanya dapat memberi

perasaan dingin dan sejuk dimana warna dingin ini mempunyai sifat

Bo’o Galenggo

Gambar 14. Bo’o Galenggo Foto : Penulis Fabruari 2011

37

menjauh sehingga membuat suatu obyek kelihatan lebih kecil atau

sipemakai busana tersebut kelihatan lebih langsing. Tetapi warna

biru tua ini ditinjau dari warna busana adat termasuk pada salah

satu warna duka dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan warna

Wobulo yang mengandung makna menandakan rasa duka keluarga

sudah mulai menghilang. Menurut informan Djumadi Botutihe

(wawancara April 2011) warna busana yang dikenakan pada upacara

molo’opu adalah warna ungu yang mengandung makna kepatuhan

terhadap agama dan adat. Tapi hasil temuan di lokasi penelitian

seperti terlihat pada gambar 14 menunjukkan bahwa warna busana

yang dikenakan pada saat upacara Molo’opu tersebut warna biru

benhur (warna duka) yang mengandung makna menandakan bahwa

rasa duka keluarga sudah mulai menghilang. Hal ini mengundang

pertanyaan karena upacara adat Molo’opu adalah termasuk pada

salah satu acara adat liyango sedangkan kita tahu acara adat liyango

itu adalah acara pada situasi kegembiraan, yang seharusnya memakai

busana yang berwarna cerah atau warna adat merah, kuning, hijau

dan ungu. Menurut penuturan bapak Djumadi Botutihe (April 2011),

yang penulis temui beliau mengatakan bahwa sebenarnya busana

yang dikenakan pada upacara Molo’opu bapak sekda itu memakai

busana berwarna ungu, tetapi karena waktunya sudah mendesak

maka dianjurkan memakai baju apa saja yang dimiliki oleh mereka.

Hal ini menandakan semakin kurangnya perhatian dan para

pemangku adat dalam hal tata cara pemakaian busana adat pada

38

acara-acara tertentu. Menurut Hasdin Danial (wawancara Juli 2012)

hal ini tidak dibolehkan karena sudah menyalahi aturan adat dalam

segi tata cara berpakaian.beliau mengatakan bahwa busana yang

seharusnya dikenakan adalah salah dari warna adat yang ada, bukan

warna duka, karena upacara molo’opu salah satu acara liyango (acara

dalam situasi kegembiraan).

Berdasarkan keadaan pada waktu itu ternyata busana yang

dikenakan pada saat upacara molo’opu jogugu di Kabupaten Bone

Bolango sudah tidak berkiblat atau merujuk ke warna adat yaitu

merah, kuning, hijau dan ungu ada kemungkinan busana adat pada

upacara molo’opu penobotan Jogugu dalam hal ini Sekretaris Daerah

ada kaitannya dengan bendera partai politik yang berkuasa diwilayah

Gorontalo.

2. Kecubu lo duhelo atau penutup dada.

Baju galenggo dilengkapi dengan kecubu loduhelo sebagai

penutup dada dikenakan setelah memakai bo’o galenggo. Kecubu

lo duhelo yaitu hiasan dada yang melapisi baju sebagai penutup

dada dibuat dari bahan beludru berwarna hitam yang

melambangkan kesaktian dan kharisma, diberi hiasan berupa

kepingan-kepingan logam yang sudah dibentuk berupa bintang

dari emas yang mengandung makna keluhuran budi, bentuk daun

dan bunga , kecubu lo duhelo terdiri dari dua macam ada kecubu lo

duhelo panjang dan kecubu lo dehelo pendek. Untuk busana adat

molo’opu hanya memakai kecubu lo dehelo yang ukuran pendek.

39

Hiasan Dada

Menurut informan Muslina Said ( wawancara Juli 2012)

makna simboliknya kecubu lodehelo ini adalah agar sang ratu

dalam memimpin suatu pemerintahan, harus senantiasa menekan,

meredam, menutup hawa nafsu dan amarah serta dapat memimpin

pemerintahan dengan pancaran sinar kasih sayang, dan cinta

kepada negeri sebagaimana bersinarnya cahaya emas yang

menghiasi dada bajunya

Bentuk Daun

Bentuk Bintang

Bentuk Bunga

Gambar 15 : Kecubu Pendek Foto : Penulis Januari 2012

Gambar 16 : Kecubu Panjang Foto : Penulis Januari 2012

40

Petu

Pateda

3. Kecubu Lo ulu’u

Kecubu lo ulu’u terdiri dari petu dan pateda. Petu adalah pembalut

tangan yang terbuat dari kain beludru berwarna hitam yang

melambangkan kesaktian, diberi hiasan berbentuk daun pada

sekelilingnya, bentuk daun tersebut sama dengan bentuk daun sukun

pada kecubu loduhelo hanya ukurannya lebih kecil. Petu atau pembalut

lengan bermakna agar tangan sang ratu, akan terwujud karya-karya

nyata yang bermanfaat bagi orang banyak, sedangkan pateda adalah

gelang lebar melilit rapat pada kedua pergelangan tangan yang terbuat

dari emas motif kembang-kembang, berfungsi untuk menutupi ujung

petu bermakna sang ratu menjauhi tindakan-tindakan yang tidak terpuji

dan menyusahkan rakyat termasuk menerima sogokan atau hasil

tadahan.

Gambar 17: Kecubu LoUlu’u Foto : Penulis Januari 2012

41

Petu

Pateda

4.Lo’ohu atau kula (hiasan kuku)

Lo’ohu atau kula dipakai pada jari manis dan jari kelingking,

yang bentuknya segitiga menyerupai daun sukun, pada jari manis

bermakna budi pekerti yang baik sedangkan pada jari kelingking

adalah memperhatikan kepentingan rakyat kecil.

Lu’obu

Gambar 18 : Petu dan Pateda Foto : Penulis Januari 2012

Gambar 19 : Lu’obu Foto : Isnawati Juli 2011

42

c. Busana bagian bawah (Rok)

Busana bagian bawah untuk busana adat Molo’opu yaitu

bide alumbu atau rok sarung dan hiasan yang melekat pada bide

alumbu, salupa atau alas kaki.

1. Bide Alumbu

Bide alumbu adalah sarung pada bagian depan kanan dan kiri

bide ini terdapat hiasan yang berderet teratur kebawah.

Penempatan hiasan ini mengikuti pengaturan tempat duduk para

pejabat kerajaan ( huloqa bubato lo ulipu atau biasa disebut bulita

dalam suatu musyawarah).

Sesuai dengan hasil temuan dilokasi penelitian busana bagian

bawah yang dikenakan oleh mbui ( isteri sekda) tidak mengacu lagi

pada pakaian adat molo’opu yang sebelumnya, seperti terlihat pada

gambar 22. Pada gambar 19 dibawah ini model roknya berbentuk

rok model A lipit belakang, panjang rok sampai pada mata kaki,

terbuat dari bahan kain tafeta sutera, pada bagian tengah mukanya

tidak dilengkapi dengan hiasan tambio atau hiasan kepingan

logam yang berbentuk daun, bintang dan bunga yang berderet

sampai kebawah. Menurut Djumadi Botutihe (wawancara 16 april

2011) karena mendesaknya upacara molo’opu sehingga

menyebabkan tidak sempat lagi memasang hiasan pada bide

alumbu.

43

Makna simbolik yang terkandung pada bide alumbu

menurut informan yaitu sang ratu harus memegang rahasia

jabatannya sebagaimana menjaga rahasia kehormatan dirinya

Gambar 20 : Bide Alumbu Foto : Penulis Fabruari 2011

Gambar 21 : Hiasan pada bide alumbu Foto : Isnawati Suwardi Juli 2011

Bentuk Daun

Bentuk Bintang

44

2. Salupa/alas kaki

Bentuk Daun

Bentuk Bintang

Bide Alumbu

Gambar 23 : Salupa/alas kaki Foto : Penulis Mei 2012

Gambar 22 : Bide Alumbu yang diberi hiasan Repro Penulis : Agustus 2010

45

Hiasan Upiah Tilambio

Gambar 24 : Upiah Tilambio ( songkok) Foto : Penulis Februari 2011

Salupa/alas kaki adalah salah satu pelengkap busana bagian bawah

yang berbentuk sandal atau sepatu atau kaos kaki dikenakan oleh sang

ratu. Bentuk selop pada zaman dulu adalah bertumit kurang lebih tiga

centimeter, dengan alas selop lebar. Sekarang ini model alas kaki

kaum perempuan sangat beragam, masyarakat cenderung memilih

selop/sepatu yang cocok dengan bentuk kakinya sehingga nyaman

dalam pemakaiannya.

Makna simboliknya menurut informan melambangkan kebersihan

dan kesucian.

4.2.2. Bentuk dan makna simbolik busana adat Molo’opu untuk Laki-laki

a. Busana bagian atas (songkok)

Busana bagian atas atau penutup kepala untuk laki-laki pada upacara

adat Molo’opu yaitu memakai upiah tilmabio Hulawa (songkok yang diberi

hiasan pita emas) yang berbentuk segi empat berwarna hitam

46

melambangkan kesaktian, pada bagian tengahnya dihiasi dengan pita warna

kuning emas disekeliling yang melambangkan kemuliaan. Pemakaian upiah

tilambio hulawa ini sesuai dengan ketentuan adat hanya dapat dipakai oleh

Olongia, Jogugu, Wuleya lolipu, dan tokoh masyarakat yang sudah

mendapat gelar Pulanga (titel adat)

Makna simboliknya menurut informan, bapak Hi Medi Botutihe

(wawancara Desember 2011) yaitu bermakna Buto’o (hukum) yang

dijunjung tinggi oleh raja sedangkan menurut bapak Djumadi Botutihe

(wawancara April 2011) makna simboliknya melambangkan kemuliaan,

selain itu juga menandakan bahwa yang dinobatkan beragama islam.

b. Busana bagian tengah

Busana bagian tengah yaitu terdiri dari Antali (boo takowa Daa) dan

bide ngoputu ( sarung yang dilipat dua ). Pada gambar dibawah ini busana

bagian atas yang dikenakan oleh laki-laki yaitu Antali atau (bo’o taqwa

daa/) yang berwarna biru sedikit longgar, memakai kancing 5 buah pada

bagian depan dan 2 buah pada bagian kerah dan lengan, panjang lengan

sampai pada pergelangan tangan, memakai kerah sanghai, panjang kemeja

sampai dibawah panggul, pada bagian kanan memakai dihiasi dengan

sulaman krawang yang bermotif bunga besar sebelah kiri tepat pada bagian

saku dalam memakai krawang dengan motif bunga kecil. Pada dasar busana

bagian tengah untuk laki-laki tidak memakai hiasan krawang hanya

memakai kain polos saja

47

Bo’o Takowa

Upiah Tilambio

Bide Ngoputu

Talala Da’a

Salupa/ Sepatu

Gambar 25 : Bo’o Takowa Foto : Penulis Februari 2011

Bo’o Takowa makna simboliknya menurut informan bapak Hi Medi

Botutihe (wawancara 26 Desember 2011) yaitu menandakan baju dari

orang-orang yang bertaqwa

c. Busana bagian bawah

1. Talala Daa ( Celana Kebesaran)

Talala daa (celana kebesaran) adalah busana bagian bawah yang

dikenakan pada upacara adat molo’opu yang bentuknya sedikit

longgar, memakai siluet wedge, menggunakan bahan celana yang

bertekstur kaku dan kusam, panjang celana sampai pada mata kaki,

memaki gulbi yang berfungsi sebagai membuka dan menutup

48

restleting, memakai dua buah saku dibagian belakang dan pada bagian

sisi terdapat saku dalam, sisi celana bagian luar diberi hiasan pita yang

berwarna kuning keemasan.

Talala Da’a

Makna simbolik pada pita berwarna kuning kemasan yang

menghiasi sisi celana yaitu peringatan kepada raja untuk berlaku

jujur dan terbuka adil kepada rakyat. Selain itu juga menurut

informan lain (Djumadi Botutihe, April 2011) yang penulis temui

beliau mengatakan melambangkan kemuliaan dan kebesaran raja.

Tetapi pada busana adat molo’opu yang dikenakan oleh bapak Sekda

tidak memakai atau dihiasi lagi dengan pita kuning keemasan, beliau

Gambar 26 : Talala Daa Foto : Penulis Februari 2011

49

Gambar 27: Lipa-lipa (Sarung) Foto : Penulis Mei 2012

mengatakan pita ini bisa saja tidak dipakai karena mengingat

waktunya sangat mendesak sehingga tidak sempat lagi memasang

pita pada celana. Seperti terlihat pada gambar 26 d atas.

2. Palipa (sarung)

Palipa (sarung) adalah Bide ngoputu yang dipakai didalam antali

( bo’o taqowa) yang berbentuk sarung segi empat yang dilipat dua

kemudian dililit pada bagian pinggang tepatnya didalam baju

taqowa, kelihatan diluar antali hanya selebar telapak tangan. Tapi

dalam buku empat aspek adat daerah Gorontalo menjelaskan

apabila Olongia yang disambut sarung atau palipa didalam baju

taqowa, apabila jogugu sarungnya dililit diluar baju taqowa.

Dari hasil pengamatan tenyata sudah tidak ada lagi

perbedaan tersebut baik Olongia, Jogugu memakai sarung yang

dililit didalam baju taqowa, hal ini dikarenakan oleh jenis baju

50

Gambar 28 : Salupa/Selop (Sepatu) Foto : Penulis Mei 2012

yang dikenakan, apabila mengenakan baju taqowa daa maka

sarungnya dililit didalam baju tesebut dan apabila mengenakan

baju taqowa kiki maka sarungnya dililit diluar hal ini dibenarkan

oleh salah satu informan ( Karim Pateda 12 Juni 2012).

Makna simboliknya untuk menutupi segala kekurangan

sang kalifah. Sedangkan sarung yang dililitkan diluar artinya

bekerja tanpa pamrih, menutup saku untuk tidak menerima

sogokan-sogokan dalam menjalankan tugasnya.

3. Salupa/selop (sepatu)

Salupa/alas kaki adalah salah satu pelengkap busana bagian

bawah yang berbentuk sandal/sepatu atau kaos kaki dikenakan oleh

sang raja. Dulu bentuknya setengah sapatu yakni bagian muka tertutup

dan bagian belakang terbuka, bentuknya rata dan tidak tebal bagian

tumitnya, tapi sekarang ini model alas kaki kaum laki-laki sangat

51

beragam, mereka cenderung memilih selop/sepatu yang cocok dengan

bentuk kakinya sehingga nyaman dalam pemakaiannya.

Salupa/ selop makna simboliknya menurut informan bapak Hj

Medi Botutihe (wawancara 26 Desember 2011) melambangkan

kebersihan dan kesucian, sebagaimana sabda Nabi S.A.W yang mana

kebersihan itu adalah sebahagian dari iman.