bab iv analisa - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/t2_752011050_bab...

17
71 Bab IV ANALISA 1. Pendahuluan Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa konflik yang terjadi di Ambon tahun 1999-2004 dipahami sebagai perang yang telah menjadikan Maluku terkhususnya Ambon sebagai sebuah panggung kekerasan yang paling mengejutkan yang pernah terlihat di Indonesia. 1 Dengan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa perang yang berkepanjangan ini telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar terutama bagi warga gereja yang dengan tiba-tiba diserang, sehingga tidak dapat menyelamatkan harta bendanya kecuali dirinya sendiri. Karenanya, mau tidak mau, warga gereja juga ikut berperan dalam menghadapi persoalan besar yang melandanya. Berkaitan dalam hal menghadapi perang terkhususnya perang yang terjadi di Ambon, telah diperoleh pemahaman para pendeta jemaat melalui pertanyaan- pertanyaan yang mengandung hal-hal penting dari just war yang dijelaskan dalam bab sebelumnya menunjukan adanya kaitan yang erat antara keikutsertaan warga gereja dalam perang Ambon dengan prinsip-prinsip just war. Oleh karena itu, dalam kaitan tersebut akan dianalisis dalam bab ini, bagaimana terdapat kesesuaian antara perang Ambon dengan prinsip just war. 2. Kesesuaian Perang Ambon dengan Prinsip-Prinsip Just war Berdasarkan data dalam bab II, terdapat delapan prinsip yang terkandung dalam pemikiran just war, yang masing-masing berada dalam dua kelompok yakni 1 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, diterj. oleh Yayasan Obor Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 65

Upload: others

Post on 31-Oct-2019

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  71  

Bab IV

ANALISA

1. Pendahuluan

Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa konflik yang

terjadi di Ambon tahun 1999-2004 dipahami sebagai perang yang telah menjadikan

Maluku terkhususnya Ambon sebagai sebuah panggung kekerasan yang paling

mengejutkan yang pernah terlihat di Indonesia.1

Dengan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa perang yang berkepanjangan

ini telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar terutama bagi warga gereja

yang dengan tiba-tiba diserang, sehingga tidak dapat menyelamatkan harta

bendanya kecuali dirinya sendiri. Karenanya, mau tidak mau, warga gereja juga

ikut berperan dalam menghadapi persoalan besar yang melandanya.

Berkaitan dalam hal menghadapi perang terkhususnya perang yang terjadi di

Ambon, telah diperoleh pemahaman para pendeta jemaat melalui pertanyaan-

pertanyaan yang mengandung hal-hal penting dari just war yang dijelaskan dalam

bab sebelumnya menunjukan adanya kaitan yang erat antara keikutsertaan warga

gereja dalam perang Ambon dengan prinsip-prinsip just war. Oleh karena itu,

dalam kaitan tersebut akan dianalisis dalam bab ini, bagaimana terdapat kesesuaian

antara perang Ambon dengan prinsip just war.

2. Kesesuaian Perang Ambon dengan Prinsip-Prinsip Just war

Berdasarkan data dalam bab II, terdapat delapan prinsip yang terkandung

dalam pemikiran just war, yang masing-masing berada dalam dua kelompok yakni

                                                                                                               1 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di

Indonesia, diterj. oleh Yayasan Obor Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 65

Page 2: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  72  

jus ad bellum (sebelum berperang) dan jus in bello (selama berperang). Dari

pemahaman yang diperoleh dari narasumber terkait perang yang terjadi di Ambon

yang melibatkan warga gereja terdapat kaitan dengan prinsip-prinsip yang

dimaksud. Bagaimana hal tersebut terkait, inilah yang dianalisis berikut ini.

Prinsip pertama yakni alasan yang adil. Dari awalnya, tradisi moral Barat

mempunyai pembenaran moral terhadap peperangan, salah satunya dalam tradisi

Romawi yang umumnya mendesak beberapa perilaku untuk berperang:

mempertahankan diri, mengambil kembali apa yang sudah diambil, pembalasan

(dendam) atau hukuman. Pandangan Agustinus tentang perang kemungkinan besar

ditarik dari Perjanjian Lama dan juga dari tradisi Romawi ini.2 Dari pandangannya,

kemudian terdapat pembolehan untuk orang Kristen untuk ikut serta dalam just

war. Dalam just war, alasan yang dianggap adil terhadap ikut berjuangnya orang

Kristen adalah untuk melindungi sesamanya yang tidak bersalah dari penyerang

yang tidak adil, orang yang mengancam mereka. Hal inilah yang seperti terjadi

dalam perang Ambon, dengan adanya penyerangan terlebih dahulu oleh pihak

Muslim baik yang mungkin telah direncanakan oleh pihak tertentu yang berkuasa

ataupun oleh pihak Muslim sendiri, telah menimbulkan ancaman terhadap

kehidupan warga gereja yang ketika itu tidak mengetahui dengan jelas maksud

penyerangan yang dilakukan karena diserang dengan tiba-tiba. Penyerangan yang

direncanakan ini terlihat dengan dilakukannya penyerangan dalam hari yang sama

pada daerah yang berbeda, seperti pada tanggal 20 Januari 1999 di daerah Benteng

Karang, Hila, Hunut, Negeri Lama dan Nania. Begitu pun pada tanggal 23 Februari

1999 dilakukan terhadap warga gereja di Kebun Cengkih dan Waai.

                                                                                                               2 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War, A Moral and Historical

Inquiry (Amerika: Princeton University Press, 1984), 350

Page 3: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  73  

Dalam pemikiran just war, Victoria dengan menyetujui yang dinyatakan oleh

Agustinus dan Aquinas sebelumnya, menyatakan bahwa sejak tidak diragukannya

sebuah kekuatan sebagai pembelaan dalam perang yang digunakan untuk memukul

kekuatan serangan perang, maka perang tersebut tidak hanya membela diri

(warganya) dan menjaga apa yang menjadi miliknya tetapi juga mencoba

membalas terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan. Hal ini berdasarkan

tulisan Agustinus, “Perang yang digambarkan sebagai perang yang adil, adalah

yang dilakukan supaya menuntut perlakuan yang salah, sebagai hukuman yang

diterima terhadap serangan yang dilakukan terhadap warganya atau untuk

membalas apa yang secara salah telah diambil.3 Berbeda dengan pengertian alasan

yang adil ini, warga gereja yang ikut serta dalam perang Ambon mempunyai

keyakinan dan pengharapan yang terlihat dengan dilakukannya pembinaan dan

pergumulan malam bahwa balas dendam bukan dasar pembelaan namun semata

merupakan mempertahankan hidup dan membela diri dan anggota gereja lainnya

yang lemah dan tidak dapat membela diri. Jikapun, warga gereja mempunyai

alasan untuk menuntut kerugian maka yang dilakukan bukanlah bertahan

melainkan persiapan untuk melakukan penyerangan balik dan disusunnya rencana

penyerangan terhadap daerah-daerah Muslim, tetapi ini tidak dilakukan, karena

adanya peran pendeta jemaat yang selalu mengingatkan dan melakukan pembinaan

terhadap anggota gereja untuk tidak melakukan itu. Sekalipun demikian, seperti

yang dikatakan oleh Balubun dan Lopulalan, bahwa tak dapat dipungkiri terdapat

beberapa anggota gereja yang memutuskan untuk penyerangan balik

mengatasnamakan pribadi sendiri. 4 Hal ini dapat terlihat dengan dibakarnya

                                                                                                               3 http://www.constitution.org/victoria/victoria_5.htm diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012

pukul 10.20 WIB 4 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Balubun dan 17 September dengan Pdt.

A. Lopulalan

Page 4: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  74  

beberapa masjid dan rumah warga Muslim yang berada di dalam dan disekitar

daerah warga gereja.

Sebagai anggota dari sebuah negara atau pun kelompok yang bertanggung

jawab, seseorang memiliki kebebasan untuk membela diri termasuk ketika negara

atau kelompoknya terlibat dalam konflik dan melibatkan keberadaan manusia yang

terikat dengannya didalam penderitaan. Penggunaan kekuatan untuk pembelaan

terhadap diri dan sesama ini, dinyatakan oleh Agustinus bahwa sudah merupakan

tugas sebagai orang Kristen untuk campur tangan ketika sesamanya yang tidak

bersalah menjadi obyek suatu serangan. Ini pun yang terlihat di dalam perang

Ambon, ketika warga gereja yang lain diserang, terdapat anggota gereja yang ikut

untuk membantu pertahanan, seperti yang terjadi di daerah Galala, ketika warga

gereja di daerah ini diserang, anggota gereja dari Halong pun ikut dalam

pertahanan dan juga ikut menyerang terhadap warga Muslim yang menyerang.

Prinsip yang kedua yaitu otoritas yang sah. Tidak hanya berkonsentrasi pada

pertahanan sebagai satu-satunya alasan yang bisa dibenarkan dan diperbolehkan

untuk perang, Agustius melihat dengan jelas: bahwa adalah adanya tanggung

jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang yang

terancam oleh pihak lain.5 Gagasan wewenang yang sah ini bermakna, sebagai

sebuah fungsi kesatuan orang-orang yang saling bertalian yang terdiri atas banyak

orang yang terikat bersama di bawah kekuasaan yang diakui bersama.6 Adanya

tanggung jawab pihak yang dianggap tepat ini berarti bahwa terdapat pembolehan

membangun kekuatan yang mewujudkan kesiapan dalam proses membela diri dan

manusia di sekitar; hal ini juga mengemukakan secara tersirat bahwa harus ada

tugas campur tangan bahkan ketika tidak terdapat pakta/perjanjian yang dibuat.                                                                                                                

5 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War…., 350 6  James turner Johnson, Can Modern War be Just ? (America: Murray Printing

Company,1984), 23  

Page 5: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  75  

Pada masa Augustinus, istilah tersebut yaitu, “wewenang yang sah” menyatakan

secara implisit adanya tujuan yang baik. Para penguasa memiliki wewenang untuk

melakukan perang yang didasarkan demi kebaikan warga dan atas nama mereka,

maka mereka bisa mempertimbangkan alasan perang dan memutuskan apakah

perang tersebut dapat dibenarkan atau tidak.7 Aquinas yang meluaskan konsep

pembenaran ini dengan menyatakan bahwa mereka yang mengemban kekuasaan

mempunyai tanggung jawab untuk menghukum yang bersalah. Konsep inilah yang

merupakan hal pokok dalam membenarkan penggunaan alat perang (senjata)

yakni, adanya kebutuhan untuk menghukum.8

Adanya wewenang yang tepat merupakan sebuah cara membatasi penggunaan

kekuatan (bersenjata) sebagai jalan atau pilihan terakhir dan membatasi

kehancuran yang dibawa oleh penggunaan kekuataan pada banyak kehidupan

orang-orang yang hidup dengan tenang.9 Berkaitan terhadap peran dan fungsi dari

adanya pihak yang memiliki wewenang yang tepat, dalam perang Ambon

berperannya anggota gereja untuk membela diri tidak dapat dilepaskan dari

pendeta jemaat. Pendeta jemaat sebagai tokoh yang diakui bersama oleh warga

gereja, penulis sebut sebagai pihak yang tepat dengan pertimbangan bahwa ketika

perang terjadi selain karena pendampingan, pembinaan dan penguatan yang

dilakukan oleh pendeta jemaat terhadap anggota gereja yang bertahan di daerah

perbatasan maupun anggota gereja yang mengungsi di dalam gereja dan di tempat

pengungsian, tetapi juga tindakan mengatur anggota gereja yang ikut bertahan di

daerah perbatasan dan juga memimpin anggota gerejanya untuk keluar dari

daerahnya ketika tidak dapat bertahan lagi. Adanya peran dan fungsi pendeta

jemaat ini pun terlihat dengan batasan yang diberikan dalam bertahan dan                                                                                                                

7 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War…., 350 8 James turner Johnson, Can Modern War be Just ….,19  9 ibid., 23

Page 6: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  76  

membela diri walaupun sesungguhnya tidak diajarkan sebelumnya. Batasan yang

diberikan pun diikuti oleh anggota gereja sehingga tidak dilakukan tindakan

penghancuran yang tidak terkendali. Namun, berbeda dengan pemikiran Aquinas

yang menyatakan bahwa otoritas yang tepat ini dapat digunakan sebagai cara untuk

menghukum penyerang, pendeta jemaat melalui pemahaman yang diberikan tidak

mempunyai maksud untuk menghukum penyerang, seperti yang telah dikatakan

sebelumnya bahwa hal ini terkait dengan keyakinan kepercayaan bahwa baik

menghukum dan membalas bukan tugas manusia termasuk pendeta jemaat.

Prinsip ketiga, tujuan yang benar. Perlindungan diri dan orang yang tidak

bersalah adalah awal dari jawaban tegas terhadap pertanyaan, mengapa orang

Kristen pernah mengangkat pedang. 10 Tujuan dari just war, bukanlah untuk

menaklukan dan memperbudak, tetapi hanya mencapai perdamaian dan keadilan.11

Johnson pun menyatakan bahwa keberadaan perang ini memberikan hak terhadap

pembela untuk mempertahankan keadilan bahwa penyerang tidak berhak atas

kehidupan diri orang lain dan orang yang tidak berperang.12 Pernyataan terakhir ini

mempunyai kesamaan dengan pernyataan yang diberikan oleh para pendeta jemaat

bahwa pembelaan yang dilakukan merupakan sebuah upaya terhadap

mempertahankan hidup yang tidak bisa dengan begitu saja diambil bahkan

dirampas oleh orang lain. Akan tetapi terdapat pula ketidaksesuaian yakni

tercapainya keadilan dalam just war berbeda dengan tujuan keterlibatan warga

gereja yang hanya sebatas mempertahankan hidup. Hal ini dikarenakan dalam

prinsip just war, aspek menuntut kerugian merupakan bagian dari tujuan untuk

tercapainya perdamaian, sedangkan dalam perang Ambon tidak ada tuntutan

                                                                                                               10 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War…., 350 11  Glen H. Stassen, Just Peacemaking, Transforming Initiatives for Justice and Peace

(Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1992), 233  12 ibid.

Page 7: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  77  

kerugian dari warga gereja terhadap penyerang karena terlihat merupakan upaya

untuk bertahan hidup dan harapan bahwa perang akan berakhir.

Prinsip keempat proporsionalitas (kesebandingan). Dalam jus ad bellum,

maksud gagasan proporsionalitas adalah memperkirakan bahwa kerusakan

keseluruhan terhadap nilai-nilai manusia yang akan diakibatkan dari penggunaan

kekuatan (bersenjata) sebagai jalan terakhir setidaknya diseimbangkan berdasarkan

banyaknya nilai sama yang dijaga dan dilindungi. Johnson mengatakan bahwa

dengan melihat banyak kejadian di zaman sekarang, penggunaan kekuatan

(kekerasan) mungkin bisa dibenarkan. Pembenaran ini dalam gagasan

proporsionalitas, mengharuskan pertimbangan terhadap batas-batas apakah yang

bisa dilakukan yang memungkinkan penggunaan kekuataan demi melindungi

banyak nilai dipertahankan.13 Hal ini sama seperti yang telah disebutkan dalam bab

II, perhitungan tentang kemungkinan yang baik dan buruk harus dilakukan

sebelum berperang dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu selama perang

dengan tujuan mengevaluasi keseimbangan kebaikan dan keburukan yang

dihasilkan.14 Selain itu, proporsionalitas mengharuskan adanya perhitungan yang

dilakukan terhadap kerugian yang dialami sebagai dasar untuk berperang. Dalam

perang Ambon, aspek kebaikan dan keburukan yang diakibatkan oleh perang juga

dipertimbangkan, namun dalam perang di Ambon yang lebih dipertimbangkan

adalah bagaimana anggota gereja mempertahankan nyawa dan hal ini

dipertimbangkan pada awal pengambilan langkah untuk bertahan yang terjadi

dengan tidak terencana. Dalam just war, pertimbangan terhadap kemungkinan

baik untuk melindungi nilai (hidup) yang dipertahankan juga didasarkan pada

perkiraan yang terinci terhadap persiapan senjata yang akan digunakan sedangkan                                                                                                                

13 James turner Johnson, Can Modern War be Just ….,19 14 William V. O’Brien, The Conduct of Just War and Limited War(Amerika: Praegar

Publisher, 20

Page 8: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  78  

dalam perang Ambon, pembelaan yang dilakukan oleh warga gereja tidak dengan

pertimbangan yang didasarkan sepenuhnya pada senjata yang akan digunakan,

tetapi juga kepercayaan terhadap pertolongan Tuhan dengan menggunakan atribut

agama, yakni Alkitab yang dapat terlihat dalam gambar berikut.

Selain itu, tidak adanya perhitungan yang terinci tentang kerugian yang

dialami oleh warga gereja untuk menjadi dasar untuk terlibat dalam perang. Hal ini

menunjukan bahwa pembelaan diri ini didasarkan hanya pada pertimbangan untuk

bagaimana mempertahankan nilai yang harus dilindungi yaitu kehidupan. Penulis

pun membayangkan bagaimana perhitungan untuk kerugian dapat dilakukan dalam

situasi perang yang mengancam dan mendesak seperti di Ambon, jika yang

dipikirkan adalah bagaimana cara untuk mempertahankan hidup dari serangan

penyerang, yang tentu disertai juga dengan rasa kuatir.

Prinsip kelima, usaha akhir. Usaha akhir merupakan prinsip penting yang

muncul sebagai cara untuk meniadakan usaha berperang sebisa mungkin.

Walaupun telah terdapat alasan dan tujuan yang dianggap adil bukan berarti perang

dapat diputuskan untuk dilakukan. 15 Begitu pun sebagai upaya pembelaan,

kekuatan (bersenjata) harus merupakan langkah paling akhir, ketika tidak terdapat

cara lainnya untuk melindungi nilai-nilai yang perlu dilindungi. Dengan demikian,                                                                                                                

15 Roger Burggraeve dan Jo De Tavernier, “Radicalism and Realism of a Peace Ethic of Christian Inspiration in a World of Evil and Injustice” dalam Studying War-No More. Ed. Brien Wicker. Tahun 1993, 43

Page 9: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  79  

tradisi perang yang bisa dibenarkan menunjuk bukan ke arah penggunaan alat

perang yang menghancurkan tetapi pada situasi yang mengharuskan adanya

pembelaan. 16 Pembelaan terhadap perang ini menurut O’Brien hanya dapat

dilakukan sebagai cara terakhir setelah dilakukannya alternatif damai yang

akhirnya gagal.17

Jika dilihat dalam perang Ambon, sebelum tanggal 19 Januari ketika terjadi

penyerangan awal terhadap warga gereja, tidak ada pertemuan damai yang

dilakukan karena ketika itu tidak terdapat konflik maupun perselisihan yang terjadi

antara dua kelompok agama ini, yang dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya

penyerangan awal. Pertemuan damai dilakukan bersama pemuka agama terjadi

pada bulan Januari dan Februari, baik yang dilakukan oleh warga jemaat maupun

oleh pemerintah. Namun hasil untuk berdamai menjadi gagal karena penyerang

tetap melakukan penyerangan termasuk pada daerah yang melakukan usaha damai

tersebut yaitu Kebun Cengkih dan serangan-serangan di daerah lainnya. Selama

perang berlangsung pun terdapat usaha damai, salah satunya Perjanjian Malino

yang diadakan setelah dua tahun lebih dari penyerangan dilakukan. Gagalnya

usaha damai yang dilakukan ini, menurut penulis karena pertemuan-pertemuan

yang dilakukan ini tidak membahas apa yang menjadi penyebab penyerangan dan

bagaimana menanganinya. Pertemuan-pertemuan ini hanya menyatakan

kesepakatan-kesepakatan untuk berdamai namun tidak melihat “akar”

permasalahannya, sehingga tidak heran bahwa sampai sekarang ini penyebab

terjadinya konflik yang dipahami sebagai perang ini tidak terkuak secara jelas,

hanya berupa pandangan-pandangan seperti adanya pihak-pihak yang memainkan

perannya untuk membuat keadaan tetap rusuh dengan cara memberikan informasi

                                                                                                               16 James turner Johnson, Can Modern War be Just ….,24 17 William V. O’Brien. The Conduct of Just War…., 27

Page 10: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  80  

yang tidak benar seperti yang telah disebutkan bab sebelumnya yaitu tersebarnya

informasi bahwa gereja pusat Maranatha telah dibakar, yang pada kenyataannya

tidak terjadi. Gagalnya kesepakatan damai untuk menjadi kenyataan terutama yang

melibatkan pemerintah dan tokoh agama adalah tidak adanya usaha untuk

bagaimana membangun komunikasi dan hubungan yang saling mempercayai

antara kedua kelompok agama itu sendiri, yang tidak hanya pun sebatas

pembicaraan tetapi terwujud dalam tindakan. Dari gagalnya beberapa usaha yang

dilakukan, dapat dikatakan bahwa pembelaan yang dilakukan oleh warga gereja

merupakan usaha akhir yang dapat dilakukan saat itu.

Namun, dilain sisi, dalam beberapa daerah warga gereja, usaha damai tidak

dapat dilakukan, seperti di Waai dan Hila, karena kondisi ketika itu yang tidak

memungkinkan untuk dilakukannya usaha damai seperti yang telah dijelaskan

dalam bab sebelumnya seperti dilarangnya bertatap muka ataupun bertemu dengan

warga yang beragama Islam untuk terhindarnya pembunuhan. Pertemuan untuk

berdamai pun sulit dilakukan ketika itu karena telah terkotak-kotak daerah Muslim

dan Kristen disertai dengan situasi yang sering dikatakan oleh orang Ambon

ketika itu, yakni “situasi ada tegang.”

Berkaitan dengan bagian ini, menurut penulis, pada dasarnya perang ini

tidaklah murni merupakan konflik ataupun perang agama walaupun didalam

prosesnya terdapat penggunaan atribut keagamaan dan adanya penyebutan acang

dan obet yang menunjuk pada Islam dan Kristen. Dilihat dari keadaan Ambon

sebelum tanggal 19 Januari 1999, tidak adanya permusuhan antar kelompok yang

menggunakan atribut agama dengan menyebabkan korban jiwa yang besar dan

mengharuskan adanya usaha damai. Hal ini menunjukan bahwa agama bukan titik

awal penyebab konflik yang berujung perang ini. Penggunaan atribut dan

Page 11: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  81  

penyebutan istilah yang menunjuk pada keagamaan merupakan sarana yang

digunakan untuk mempertajam ketegangan dalam pulau Ambon ini.

Berdasarkan pemahaman dalam just war, pembelaan hanya dapat dilakukan

ketika situasi sangat mengancam nilai-nilai yang dilindungi, begitu pun dengan

upaya bertahan dan menyerang jika diserang merupakan upaya yang hanya dapat

dilakukan untuk terhindar dari kematian akibat dibunuh oleh penyerang dalam

perang Ambon. Dengan demikian pembelaan dalam perang Ambon, menurut

penulis merupakan usaha akhir sesuai dalam just war. Karena, beberapa usaha

damai juga gagal untuk menghentikan penyerangan ketika itu.

Prinsip keenam, kemungkinan keberhasilan. Kemungkinan berhasil yang

merupakan salah satu prinsip just war menekankan adanya pertimbangan untuk

berhasil dengan mencapai tujuan dari usaha yang dilakukan. Kemungkinan akan

keberhasilan ini pun haruslah merupakan harapan yang masuk akal. Hal ini

berkaitan erat dengan prinsip sebelumnya yaitu proporsionalitas yang membuat

perhitungan tentang kerugian yang dialami dan perhitungan kemungkinan

kebaikan dan keburukan yang diperkirakan akan dihasilkan. Dengan demikian,

prinsip ini tidak diperkirakan untuk hasil yang sia-sia.18 Namun, berkaitan dalam

hal ini terdapat perbedaan dasar yang terlihat dari ikut sertanya warga gereja dalam

perang yang tidak sepenuhnya bergantung pada alat-alat yang dibuat untuk perang,

melainkan juga pada keyakinan akan pertolongan Tuhan. Para pendeta jemaat telah

menyatakan bahwa tidak ada pertimbangan untuk kemungkinan bahwa anggota

gereja yang ikut dalam perang akan berhasil untuk mencapai tujuan tetapi

bergantung pada pertolongan Tuhan yang akan membuat keadaan dapat damai

kembali. Begitu pun, terdapat berbeda dengan maksud keberhasilan antara

                                                                                                               18  R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution…., 90  

Page 12: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  82  

keberhasilan dalam just war dan perang Ambon, karena keberhasilan yang

dimaksud dalam ikut sertanya warga gereja adalah bertahan hidup bukan

memenangkan perang.

Prinsip ketujuh, dalam jus in bello yaitu proporsionalitas. Fungsi historis dari

ketentuan ini bahwa kekuatan bisa dipraktekkan berdasarkan wewenang yang sah

untuk membatasi macam tindak kekerasaan umum yang tak terbatas (bebas/tak

terkendali) dan penghancuran tanpa pandang bulu.19 Pertahanan dilakukan secara

bersama-sama baik yang ketika itu dikoordinir oleh pendeta jemaat maupun oleh

anggota jemaat yang dianggap mengerti bagaimana menghadapi penyerangan.

Karena usaha yang dilakukan merupakan sebuah pembelaan diri maka strategi

yang digunakan selama perang yaitu pertahanan yang didalamnya juga anggota

gereja menyerang jika serangan dilakukan. Menurut penulis, penggunaan alat

perang (senjata) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yakni sebatas

mempertahankan hidup dan melindungi anggota gereja lainnya sekalipun demikian

penggunaan perang terhadap sasaran tidak sebanding dengan penyerang. Hal ini

nampak dalam daerah-daerah warga gereja yang lebih banyak mendapat kerugian

penyerangan dan bekas-bekas peluru yang ditemukan dalam daerah warga gereja

menunjukan banyak senjata yang lebih canggih yang digunakan oleh penyerang.

Namun, hal inilah yang dapat menunjukan bahwa penggunaan senjata yang

digunakan oleh anggota gereja bukan untuk tujuan “menghabisi” atau

menghancurkan tetapi untuk bertahan. Dalam proses pembelaan ini pula, warga

gereja tidak melakukan evaluasi maupun perhitungan terhadap kemungkinan baik

yang tetap dilakukan dalam waktu tertentu seperti yang dimaksudkan dalam just

war, namun hanya berupa pergumulan yang terus dilakukan dan pembicaraan

                                                                                                               19 ibid., 23

Page 13: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  83  

pendeta bersama anggota gereja seperti untuk tetap bertahan atau mengambil

tindakan untuk mengungsi ketika serangan tidak dapat dibendung lagi.

Prinsip kedelapan, diskriminasi yaitu adanya batasan yang diberikan untuk

membunuh. Dari pemahaman yang diberikan oleh para pendeta jemaat, anggota

gereja tidak diajarkan untuk membunuh ataupun menyerang, tetapi ketika

penyerang telah masuk dalam lingkungan warga gereja dan menyerang maka jalan

yang diambil adalah membela diri dengan menyerang mereka yang telah masuk

itu. Jadi, batasan yang diberikan adalah para penyerang yang masuk dan

menyerang. Keterlibatan warga gereja ini pun sesuai dengan konsep bertahan,

karena dalam sebagian besar daerah tidak dilakukan penyerangan yang lebih dari

daerah perbatasan. Hal ini dapat terlihat dengan lebih banyaknya daerah yang

warga gereja yang diserang. Sesuai dengan prinsip just war, terdapat batasan yang

diberikan ketika anggota gereja harus menyerang, namun berbeda dengan just war

terutama dalam pemikiran Victoria yang membedakan tegas orang yang berjuang

dan yang tidak ikut berjuang yakni yaitu anak-anak, perempuan, pendeta atau

pemimpin agama, orang asing dan juga…. “ sisanya penduduk sipil yang cinta

damai.20 Pembedaan secara rinci ini tidak dilakukan oleh warga gereja termasuk

pendeta jemaat sebagai pihak yang didengar oleh anggota gereja ketika itu, selain

karena pembelaan yang dilakukan sebagai reaksi terhadap penyerangan, yang tidak

didahului dengan sebuah perencanaan, pembedaan pun hanya didasarkan pada

yang menyerang dan tidak menyerang. Ketika perempuan, anak, ataupun seorang

pemimpin agama juga masuk ke dalam daerah warga gereja dan menyerang, maka

mereka pun dianggap sebagai penyerang yang dapat dibunuh. Pengertian untuk

orang yang tidak ikut dalam perang Ambon adalah mereka yang dari masing-

                                                                                                               20 James T. Johnson. Just War Tradition and the Restraint of War, A Moral and Historical

Inquiry (Amerika: Princeton University Press, 1984),200

Page 14: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  84  

masing pihak tidak ikut dalam proses penyerangan dan pertahanan ketika perang.

Selain itu, penulis melihat adanya persamaan antara perang di Ambon dan prinsip

just war ini, yaitu tidak adanya jaminan perlindungan yang sungguh dapat diterima

oleh orang-orang yang tidak ikut berperang. Hal ini dikatakan karena baik secara

sengaja ataupun tidak sengaja, orang yang tidak berperang pun dapat menjadi

korban dari tindakan yang dilakukan dalam perang, seperti korban akibat “peluru

kesasar” dan ledakan bom yang menghancurkan rumah dan orang-orang

didalamnya terkhususnya di sekitar daerah perbatasan dalam perang Ambon.

Karena itu, jaminan untuk terhindar dari keadaan seperti itu hanya terdapat pada

tindakan pribadi atau juga atas saran pendeta untuk melindungi diri seperti

berpindah sementara ke tempat yang dirasa lebih aman.

Page 15: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  85  

Refleksi

Sebuah pertanyaan dalam refleksi ini, bagaimanakah sikap seorang dalam

menghadapi kekerasan dan perang yang terjadi. Berkaitan dengan ini terdapat

pernyataan dari Francis Schaeffer yang dikutip Kalvin Budiman:21

I am walking down the street and I come upon a big, burly man beating a tiny tot to death-beating this little girl… I plead with him to stop. Suppose he refuses? What does love mean now? Love means that I stop him in any way I can, including hitting him. Dari pernyataan ini, menunjukan bahwa kekerasan merupakan sebuah isu

moral tidak pernah dapat dihindari, yang juga mengharuskan kemungkinan

pengakuan bahwa penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan adalah pilihan

yang perlu dipertimbangkan. Seperti teori dalam penulisan ini, Just war yang percaya

tentang adanya perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang

dapat dibenarkan.

Setiap manusia diharuskan untuk saling mengasihi, namun pelaksanaan kasih

di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari kasih

yang kadang mengandung unsur kekerasan. Karena dengan membiarkan dosa dan

ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan menyetujui perbuatan

dosa yang mendukakan hati Allah. Prinsip ini, dengan kata lain, memberi peluang

bagi adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Hal ini sama seperti dengan

yang dikatakan oleh Agustinus bahwa terdapat situasi yang jika membiarkan

kejahatan tanpa adanya usaha untuk mencegahnya dengan segala daya upaya,

termasuk menggunakan kekerasan, sama saja dengan membiarkan kejahatan

menindas keadilan. Dengan demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya

                                                                                                               21 Kalvin Budiman, “Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan Terhadap

Pacifism dan Just War Theory dalam Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan. Volume 4, Nomor 1 April 2003, 37

Page 16: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  86  

permissible, tetapi hanya dan jika hanya undertaken out of necessity and for the sake

of peace.

Dari pemahaman dan pemikiran tokoh-tokoh diatas, perang hanya satu

kemungkinan untuk mengendalikan ketidakadilan dengan resiko yang besar bahkan

menyimpan dendam permusuhan. Karena itu lebih baik dicari cara yang resikonya

lebih kecil seperti perundingan. Perlu disadari pula bahwa perang merupakan suatu

hal yang dapat membawa kesedihan dalam kehidupan manusia. Tidak ada seorang

pun dari manusia di bumi ini yang mau hidup dalam situasi penderitaan terutama

dalam perang. Oleh karena itu, tindakan kekerasan dan perang harus sebisa mungkin

dihindari. Kekerasan hanya dilakukan dalam keadaan yang terancam dan sangat

dibutuhkan. Tetapi hal ini pun harus disertai dengan usaha kasih dan tujuan untuk

keadaan yang damai. Dengan demikian, kapan dan dimanapun manusia itu berada,

baik yang beragama Kristen Protestan, Islam, Kristen Katolik, dan agama

kepercayaan lainnya, sudah menjadi tugasnya untuk menjadi seorang yang melakukan

kasih dan membawa damai.

Damai bukan hanya terwujud dengan melakukan kebaikan tetapi lebih dari itu,

dilakukannya pengampunan terhadap orang yang bersalah, mengembangkan rasa

saling menghargai, adanya kesempatan yang terbuka untuk manusia berkembang

dengan tetap terpelihara hak asasi manusia dalam setiap ruang kehidupan. Ini

bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi juga bukan tidak mungkin untuk

diterapkan ketika setiap manusia menyadari tanggung jawabnya untuk memelihara

keadaan damai tersebut, yang dimulai dari kehidupan disekitarnya.

Sebuah pernyataan penutup untuk selalu direnungkan, penulis kutip dan

Page 17: Bab IV ANALISA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/T2_752011050_BAB IV.pdf · jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang

  87  

diterjemahkan secara sederhana dari tulisan A. Malone demikian:22

Tak ada satupun yang tahu bagaimana jadinya suatu dunia tanpa perang, akan tetapi Gereja dan umat manusia yang beriman tahu bahwa jika kita menjadi manusia seutuhnya, kita diharuskan berlaku dengan prinsip kasih dan selalu menemukan cara untuk menyelesaikan konflik.

                                                                                                               22 Antonia Malone, “The Just War Theory: A Wolf in Sheep’s Cloting?” dalam Studying War-

No More. Ed. Brien Wicker. Tahun 1993,97