bab iv analisa - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/4099/5/t2_752011050_bab...
TRANSCRIPT
71
Bab IV
ANALISA
1. Pendahuluan
Seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa konflik yang
terjadi di Ambon tahun 1999-2004 dipahami sebagai perang yang telah menjadikan
Maluku terkhususnya Ambon sebagai sebuah panggung kekerasan yang paling
mengejutkan yang pernah terlihat di Indonesia.1
Dengan pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa perang yang berkepanjangan
ini telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar terutama bagi warga gereja
yang dengan tiba-tiba diserang, sehingga tidak dapat menyelamatkan harta
bendanya kecuali dirinya sendiri. Karenanya, mau tidak mau, warga gereja juga
ikut berperan dalam menghadapi persoalan besar yang melandanya.
Berkaitan dalam hal menghadapi perang terkhususnya perang yang terjadi di
Ambon, telah diperoleh pemahaman para pendeta jemaat melalui pertanyaan-
pertanyaan yang mengandung hal-hal penting dari just war yang dijelaskan dalam
bab sebelumnya menunjukan adanya kaitan yang erat antara keikutsertaan warga
gereja dalam perang Ambon dengan prinsip-prinsip just war. Oleh karena itu,
dalam kaitan tersebut akan dianalisis dalam bab ini, bagaimana terdapat kesesuaian
antara perang Ambon dengan prinsip just war.
2. Kesesuaian Perang Ambon dengan Prinsip-Prinsip Just war
Berdasarkan data dalam bab II, terdapat delapan prinsip yang terkandung
dalam pemikiran just war, yang masing-masing berada dalam dua kelompok yakni
1 Gerry Van Klinken, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di
Indonesia, diterj. oleh Yayasan Obor Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), 65
72
jus ad bellum (sebelum berperang) dan jus in bello (selama berperang). Dari
pemahaman yang diperoleh dari narasumber terkait perang yang terjadi di Ambon
yang melibatkan warga gereja terdapat kaitan dengan prinsip-prinsip yang
dimaksud. Bagaimana hal tersebut terkait, inilah yang dianalisis berikut ini.
Prinsip pertama yakni alasan yang adil. Dari awalnya, tradisi moral Barat
mempunyai pembenaran moral terhadap peperangan, salah satunya dalam tradisi
Romawi yang umumnya mendesak beberapa perilaku untuk berperang:
mempertahankan diri, mengambil kembali apa yang sudah diambil, pembalasan
(dendam) atau hukuman. Pandangan Agustinus tentang perang kemungkinan besar
ditarik dari Perjanjian Lama dan juga dari tradisi Romawi ini.2 Dari pandangannya,
kemudian terdapat pembolehan untuk orang Kristen untuk ikut serta dalam just
war. Dalam just war, alasan yang dianggap adil terhadap ikut berjuangnya orang
Kristen adalah untuk melindungi sesamanya yang tidak bersalah dari penyerang
yang tidak adil, orang yang mengancam mereka. Hal inilah yang seperti terjadi
dalam perang Ambon, dengan adanya penyerangan terlebih dahulu oleh pihak
Muslim baik yang mungkin telah direncanakan oleh pihak tertentu yang berkuasa
ataupun oleh pihak Muslim sendiri, telah menimbulkan ancaman terhadap
kehidupan warga gereja yang ketika itu tidak mengetahui dengan jelas maksud
penyerangan yang dilakukan karena diserang dengan tiba-tiba. Penyerangan yang
direncanakan ini terlihat dengan dilakukannya penyerangan dalam hari yang sama
pada daerah yang berbeda, seperti pada tanggal 20 Januari 1999 di daerah Benteng
Karang, Hila, Hunut, Negeri Lama dan Nania. Begitu pun pada tanggal 23 Februari
1999 dilakukan terhadap warga gereja di Kebun Cengkih dan Waai.
2 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War, A Moral and Historical
Inquiry (Amerika: Princeton University Press, 1984), 350
73
Dalam pemikiran just war, Victoria dengan menyetujui yang dinyatakan oleh
Agustinus dan Aquinas sebelumnya, menyatakan bahwa sejak tidak diragukannya
sebuah kekuatan sebagai pembelaan dalam perang yang digunakan untuk memukul
kekuatan serangan perang, maka perang tersebut tidak hanya membela diri
(warganya) dan menjaga apa yang menjadi miliknya tetapi juga mencoba
membalas terhadap perbuatan jahat yang telah dilakukan. Hal ini berdasarkan
tulisan Agustinus, “Perang yang digambarkan sebagai perang yang adil, adalah
yang dilakukan supaya menuntut perlakuan yang salah, sebagai hukuman yang
diterima terhadap serangan yang dilakukan terhadap warganya atau untuk
membalas apa yang secara salah telah diambil.3 Berbeda dengan pengertian alasan
yang adil ini, warga gereja yang ikut serta dalam perang Ambon mempunyai
keyakinan dan pengharapan yang terlihat dengan dilakukannya pembinaan dan
pergumulan malam bahwa balas dendam bukan dasar pembelaan namun semata
merupakan mempertahankan hidup dan membela diri dan anggota gereja lainnya
yang lemah dan tidak dapat membela diri. Jikapun, warga gereja mempunyai
alasan untuk menuntut kerugian maka yang dilakukan bukanlah bertahan
melainkan persiapan untuk melakukan penyerangan balik dan disusunnya rencana
penyerangan terhadap daerah-daerah Muslim, tetapi ini tidak dilakukan, karena
adanya peran pendeta jemaat yang selalu mengingatkan dan melakukan pembinaan
terhadap anggota gereja untuk tidak melakukan itu. Sekalipun demikian, seperti
yang dikatakan oleh Balubun dan Lopulalan, bahwa tak dapat dipungkiri terdapat
beberapa anggota gereja yang memutuskan untuk penyerangan balik
mengatasnamakan pribadi sendiri. 4 Hal ini dapat terlihat dengan dibakarnya
3 http://www.constitution.org/victoria/victoria_5.htm diunduh pada tanggal 20 Oktober 2012
pukul 10.20 WIB 4 Hasil wawancara tanggal 16 September dengan Pdt. Balubun dan 17 September dengan Pdt.
A. Lopulalan
74
beberapa masjid dan rumah warga Muslim yang berada di dalam dan disekitar
daerah warga gereja.
Sebagai anggota dari sebuah negara atau pun kelompok yang bertanggung
jawab, seseorang memiliki kebebasan untuk membela diri termasuk ketika negara
atau kelompoknya terlibat dalam konflik dan melibatkan keberadaan manusia yang
terikat dengannya didalam penderitaan. Penggunaan kekuatan untuk pembelaan
terhadap diri dan sesama ini, dinyatakan oleh Agustinus bahwa sudah merupakan
tugas sebagai orang Kristen untuk campur tangan ketika sesamanya yang tidak
bersalah menjadi obyek suatu serangan. Ini pun yang terlihat di dalam perang
Ambon, ketika warga gereja yang lain diserang, terdapat anggota gereja yang ikut
untuk membantu pertahanan, seperti yang terjadi di daerah Galala, ketika warga
gereja di daerah ini diserang, anggota gereja dari Halong pun ikut dalam
pertahanan dan juga ikut menyerang terhadap warga Muslim yang menyerang.
Prinsip yang kedua yaitu otoritas yang sah. Tidak hanya berkonsentrasi pada
pertahanan sebagai satu-satunya alasan yang bisa dibenarkan dan diperbolehkan
untuk perang, Agustius melihat dengan jelas: bahwa adalah adanya tanggung
jawab moral oleh mereka yang memiliki kekuasaan terhadap orang-orang yang
terancam oleh pihak lain.5 Gagasan wewenang yang sah ini bermakna, sebagai
sebuah fungsi kesatuan orang-orang yang saling bertalian yang terdiri atas banyak
orang yang terikat bersama di bawah kekuasaan yang diakui bersama.6 Adanya
tanggung jawab pihak yang dianggap tepat ini berarti bahwa terdapat pembolehan
membangun kekuatan yang mewujudkan kesiapan dalam proses membela diri dan
manusia di sekitar; hal ini juga mengemukakan secara tersirat bahwa harus ada
tugas campur tangan bahkan ketika tidak terdapat pakta/perjanjian yang dibuat.
5 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War…., 350 6 James turner Johnson, Can Modern War be Just ? (America: Murray Printing
Company,1984), 23
75
Pada masa Augustinus, istilah tersebut yaitu, “wewenang yang sah” menyatakan
secara implisit adanya tujuan yang baik. Para penguasa memiliki wewenang untuk
melakukan perang yang didasarkan demi kebaikan warga dan atas nama mereka,
maka mereka bisa mempertimbangkan alasan perang dan memutuskan apakah
perang tersebut dapat dibenarkan atau tidak.7 Aquinas yang meluaskan konsep
pembenaran ini dengan menyatakan bahwa mereka yang mengemban kekuasaan
mempunyai tanggung jawab untuk menghukum yang bersalah. Konsep inilah yang
merupakan hal pokok dalam membenarkan penggunaan alat perang (senjata)
yakni, adanya kebutuhan untuk menghukum.8
Adanya wewenang yang tepat merupakan sebuah cara membatasi penggunaan
kekuatan (bersenjata) sebagai jalan atau pilihan terakhir dan membatasi
kehancuran yang dibawa oleh penggunaan kekuataan pada banyak kehidupan
orang-orang yang hidup dengan tenang.9 Berkaitan terhadap peran dan fungsi dari
adanya pihak yang memiliki wewenang yang tepat, dalam perang Ambon
berperannya anggota gereja untuk membela diri tidak dapat dilepaskan dari
pendeta jemaat. Pendeta jemaat sebagai tokoh yang diakui bersama oleh warga
gereja, penulis sebut sebagai pihak yang tepat dengan pertimbangan bahwa ketika
perang terjadi selain karena pendampingan, pembinaan dan penguatan yang
dilakukan oleh pendeta jemaat terhadap anggota gereja yang bertahan di daerah
perbatasan maupun anggota gereja yang mengungsi di dalam gereja dan di tempat
pengungsian, tetapi juga tindakan mengatur anggota gereja yang ikut bertahan di
daerah perbatasan dan juga memimpin anggota gerejanya untuk keluar dari
daerahnya ketika tidak dapat bertahan lagi. Adanya peran dan fungsi pendeta
jemaat ini pun terlihat dengan batasan yang diberikan dalam bertahan dan
7 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War…., 350 8 James turner Johnson, Can Modern War be Just ….,19 9 ibid., 23
76
membela diri walaupun sesungguhnya tidak diajarkan sebelumnya. Batasan yang
diberikan pun diikuti oleh anggota gereja sehingga tidak dilakukan tindakan
penghancuran yang tidak terkendali. Namun, berbeda dengan pemikiran Aquinas
yang menyatakan bahwa otoritas yang tepat ini dapat digunakan sebagai cara untuk
menghukum penyerang, pendeta jemaat melalui pemahaman yang diberikan tidak
mempunyai maksud untuk menghukum penyerang, seperti yang telah dikatakan
sebelumnya bahwa hal ini terkait dengan keyakinan kepercayaan bahwa baik
menghukum dan membalas bukan tugas manusia termasuk pendeta jemaat.
Prinsip ketiga, tujuan yang benar. Perlindungan diri dan orang yang tidak
bersalah adalah awal dari jawaban tegas terhadap pertanyaan, mengapa orang
Kristen pernah mengangkat pedang. 10 Tujuan dari just war, bukanlah untuk
menaklukan dan memperbudak, tetapi hanya mencapai perdamaian dan keadilan.11
Johnson pun menyatakan bahwa keberadaan perang ini memberikan hak terhadap
pembela untuk mempertahankan keadilan bahwa penyerang tidak berhak atas
kehidupan diri orang lain dan orang yang tidak berperang.12 Pernyataan terakhir ini
mempunyai kesamaan dengan pernyataan yang diberikan oleh para pendeta jemaat
bahwa pembelaan yang dilakukan merupakan sebuah upaya terhadap
mempertahankan hidup yang tidak bisa dengan begitu saja diambil bahkan
dirampas oleh orang lain. Akan tetapi terdapat pula ketidaksesuaian yakni
tercapainya keadilan dalam just war berbeda dengan tujuan keterlibatan warga
gereja yang hanya sebatas mempertahankan hidup. Hal ini dikarenakan dalam
prinsip just war, aspek menuntut kerugian merupakan bagian dari tujuan untuk
tercapainya perdamaian, sedangkan dalam perang Ambon tidak ada tuntutan
10 James T. Johnson, Just War Tradition and the Restraint of War…., 350 11 Glen H. Stassen, Just Peacemaking, Transforming Initiatives for Justice and Peace
(Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1992), 233 12 ibid.
77
kerugian dari warga gereja terhadap penyerang karena terlihat merupakan upaya
untuk bertahan hidup dan harapan bahwa perang akan berakhir.
Prinsip keempat proporsionalitas (kesebandingan). Dalam jus ad bellum,
maksud gagasan proporsionalitas adalah memperkirakan bahwa kerusakan
keseluruhan terhadap nilai-nilai manusia yang akan diakibatkan dari penggunaan
kekuatan (bersenjata) sebagai jalan terakhir setidaknya diseimbangkan berdasarkan
banyaknya nilai sama yang dijaga dan dilindungi. Johnson mengatakan bahwa
dengan melihat banyak kejadian di zaman sekarang, penggunaan kekuatan
(kekerasan) mungkin bisa dibenarkan. Pembenaran ini dalam gagasan
proporsionalitas, mengharuskan pertimbangan terhadap batas-batas apakah yang
bisa dilakukan yang memungkinkan penggunaan kekuataan demi melindungi
banyak nilai dipertahankan.13 Hal ini sama seperti yang telah disebutkan dalam bab
II, perhitungan tentang kemungkinan yang baik dan buruk harus dilakukan
sebelum berperang dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu selama perang
dengan tujuan mengevaluasi keseimbangan kebaikan dan keburukan yang
dihasilkan.14 Selain itu, proporsionalitas mengharuskan adanya perhitungan yang
dilakukan terhadap kerugian yang dialami sebagai dasar untuk berperang. Dalam
perang Ambon, aspek kebaikan dan keburukan yang diakibatkan oleh perang juga
dipertimbangkan, namun dalam perang di Ambon yang lebih dipertimbangkan
adalah bagaimana anggota gereja mempertahankan nyawa dan hal ini
dipertimbangkan pada awal pengambilan langkah untuk bertahan yang terjadi
dengan tidak terencana. Dalam just war, pertimbangan terhadap kemungkinan
baik untuk melindungi nilai (hidup) yang dipertahankan juga didasarkan pada
perkiraan yang terinci terhadap persiapan senjata yang akan digunakan sedangkan
13 James turner Johnson, Can Modern War be Just ….,19 14 William V. O’Brien, The Conduct of Just War and Limited War(Amerika: Praegar
Publisher, 20
78
dalam perang Ambon, pembelaan yang dilakukan oleh warga gereja tidak dengan
pertimbangan yang didasarkan sepenuhnya pada senjata yang akan digunakan,
tetapi juga kepercayaan terhadap pertolongan Tuhan dengan menggunakan atribut
agama, yakni Alkitab yang dapat terlihat dalam gambar berikut.
Selain itu, tidak adanya perhitungan yang terinci tentang kerugian yang
dialami oleh warga gereja untuk menjadi dasar untuk terlibat dalam perang. Hal ini
menunjukan bahwa pembelaan diri ini didasarkan hanya pada pertimbangan untuk
bagaimana mempertahankan nilai yang harus dilindungi yaitu kehidupan. Penulis
pun membayangkan bagaimana perhitungan untuk kerugian dapat dilakukan dalam
situasi perang yang mengancam dan mendesak seperti di Ambon, jika yang
dipikirkan adalah bagaimana cara untuk mempertahankan hidup dari serangan
penyerang, yang tentu disertai juga dengan rasa kuatir.
Prinsip kelima, usaha akhir. Usaha akhir merupakan prinsip penting yang
muncul sebagai cara untuk meniadakan usaha berperang sebisa mungkin.
Walaupun telah terdapat alasan dan tujuan yang dianggap adil bukan berarti perang
dapat diputuskan untuk dilakukan. 15 Begitu pun sebagai upaya pembelaan,
kekuatan (bersenjata) harus merupakan langkah paling akhir, ketika tidak terdapat
cara lainnya untuk melindungi nilai-nilai yang perlu dilindungi. Dengan demikian,
15 Roger Burggraeve dan Jo De Tavernier, “Radicalism and Realism of a Peace Ethic of Christian Inspiration in a World of Evil and Injustice” dalam Studying War-No More. Ed. Brien Wicker. Tahun 1993, 43
79
tradisi perang yang bisa dibenarkan menunjuk bukan ke arah penggunaan alat
perang yang menghancurkan tetapi pada situasi yang mengharuskan adanya
pembelaan. 16 Pembelaan terhadap perang ini menurut O’Brien hanya dapat
dilakukan sebagai cara terakhir setelah dilakukannya alternatif damai yang
akhirnya gagal.17
Jika dilihat dalam perang Ambon, sebelum tanggal 19 Januari ketika terjadi
penyerangan awal terhadap warga gereja, tidak ada pertemuan damai yang
dilakukan karena ketika itu tidak terdapat konflik maupun perselisihan yang terjadi
antara dua kelompok agama ini, yang dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya
penyerangan awal. Pertemuan damai dilakukan bersama pemuka agama terjadi
pada bulan Januari dan Februari, baik yang dilakukan oleh warga jemaat maupun
oleh pemerintah. Namun hasil untuk berdamai menjadi gagal karena penyerang
tetap melakukan penyerangan termasuk pada daerah yang melakukan usaha damai
tersebut yaitu Kebun Cengkih dan serangan-serangan di daerah lainnya. Selama
perang berlangsung pun terdapat usaha damai, salah satunya Perjanjian Malino
yang diadakan setelah dua tahun lebih dari penyerangan dilakukan. Gagalnya
usaha damai yang dilakukan ini, menurut penulis karena pertemuan-pertemuan
yang dilakukan ini tidak membahas apa yang menjadi penyebab penyerangan dan
bagaimana menanganinya. Pertemuan-pertemuan ini hanya menyatakan
kesepakatan-kesepakatan untuk berdamai namun tidak melihat “akar”
permasalahannya, sehingga tidak heran bahwa sampai sekarang ini penyebab
terjadinya konflik yang dipahami sebagai perang ini tidak terkuak secara jelas,
hanya berupa pandangan-pandangan seperti adanya pihak-pihak yang memainkan
perannya untuk membuat keadaan tetap rusuh dengan cara memberikan informasi
16 James turner Johnson, Can Modern War be Just ….,24 17 William V. O’Brien. The Conduct of Just War…., 27
80
yang tidak benar seperti yang telah disebutkan bab sebelumnya yaitu tersebarnya
informasi bahwa gereja pusat Maranatha telah dibakar, yang pada kenyataannya
tidak terjadi. Gagalnya kesepakatan damai untuk menjadi kenyataan terutama yang
melibatkan pemerintah dan tokoh agama adalah tidak adanya usaha untuk
bagaimana membangun komunikasi dan hubungan yang saling mempercayai
antara kedua kelompok agama itu sendiri, yang tidak hanya pun sebatas
pembicaraan tetapi terwujud dalam tindakan. Dari gagalnya beberapa usaha yang
dilakukan, dapat dikatakan bahwa pembelaan yang dilakukan oleh warga gereja
merupakan usaha akhir yang dapat dilakukan saat itu.
Namun, dilain sisi, dalam beberapa daerah warga gereja, usaha damai tidak
dapat dilakukan, seperti di Waai dan Hila, karena kondisi ketika itu yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya usaha damai seperti yang telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya seperti dilarangnya bertatap muka ataupun bertemu dengan
warga yang beragama Islam untuk terhindarnya pembunuhan. Pertemuan untuk
berdamai pun sulit dilakukan ketika itu karena telah terkotak-kotak daerah Muslim
dan Kristen disertai dengan situasi yang sering dikatakan oleh orang Ambon
ketika itu, yakni “situasi ada tegang.”
Berkaitan dengan bagian ini, menurut penulis, pada dasarnya perang ini
tidaklah murni merupakan konflik ataupun perang agama walaupun didalam
prosesnya terdapat penggunaan atribut keagamaan dan adanya penyebutan acang
dan obet yang menunjuk pada Islam dan Kristen. Dilihat dari keadaan Ambon
sebelum tanggal 19 Januari 1999, tidak adanya permusuhan antar kelompok yang
menggunakan atribut agama dengan menyebabkan korban jiwa yang besar dan
mengharuskan adanya usaha damai. Hal ini menunjukan bahwa agama bukan titik
awal penyebab konflik yang berujung perang ini. Penggunaan atribut dan
81
penyebutan istilah yang menunjuk pada keagamaan merupakan sarana yang
digunakan untuk mempertajam ketegangan dalam pulau Ambon ini.
Berdasarkan pemahaman dalam just war, pembelaan hanya dapat dilakukan
ketika situasi sangat mengancam nilai-nilai yang dilindungi, begitu pun dengan
upaya bertahan dan menyerang jika diserang merupakan upaya yang hanya dapat
dilakukan untuk terhindar dari kematian akibat dibunuh oleh penyerang dalam
perang Ambon. Dengan demikian pembelaan dalam perang Ambon, menurut
penulis merupakan usaha akhir sesuai dalam just war. Karena, beberapa usaha
damai juga gagal untuk menghentikan penyerangan ketika itu.
Prinsip keenam, kemungkinan keberhasilan. Kemungkinan berhasil yang
merupakan salah satu prinsip just war menekankan adanya pertimbangan untuk
berhasil dengan mencapai tujuan dari usaha yang dilakukan. Kemungkinan akan
keberhasilan ini pun haruslah merupakan harapan yang masuk akal. Hal ini
berkaitan erat dengan prinsip sebelumnya yaitu proporsionalitas yang membuat
perhitungan tentang kerugian yang dialami dan perhitungan kemungkinan
kebaikan dan keburukan yang diperkirakan akan dihasilkan. Dengan demikian,
prinsip ini tidak diperkirakan untuk hasil yang sia-sia.18 Namun, berkaitan dalam
hal ini terdapat perbedaan dasar yang terlihat dari ikut sertanya warga gereja dalam
perang yang tidak sepenuhnya bergantung pada alat-alat yang dibuat untuk perang,
melainkan juga pada keyakinan akan pertolongan Tuhan. Para pendeta jemaat telah
menyatakan bahwa tidak ada pertimbangan untuk kemungkinan bahwa anggota
gereja yang ikut dalam perang akan berhasil untuk mencapai tujuan tetapi
bergantung pada pertolongan Tuhan yang akan membuat keadaan dapat damai
kembali. Begitu pun, terdapat berbeda dengan maksud keberhasilan antara
18 R.E. Santoni, “The Nurture of War, Just War Theory’s Contribution…., 90
82
keberhasilan dalam just war dan perang Ambon, karena keberhasilan yang
dimaksud dalam ikut sertanya warga gereja adalah bertahan hidup bukan
memenangkan perang.
Prinsip ketujuh, dalam jus in bello yaitu proporsionalitas. Fungsi historis dari
ketentuan ini bahwa kekuatan bisa dipraktekkan berdasarkan wewenang yang sah
untuk membatasi macam tindak kekerasaan umum yang tak terbatas (bebas/tak
terkendali) dan penghancuran tanpa pandang bulu.19 Pertahanan dilakukan secara
bersama-sama baik yang ketika itu dikoordinir oleh pendeta jemaat maupun oleh
anggota jemaat yang dianggap mengerti bagaimana menghadapi penyerangan.
Karena usaha yang dilakukan merupakan sebuah pembelaan diri maka strategi
yang digunakan selama perang yaitu pertahanan yang didalamnya juga anggota
gereja menyerang jika serangan dilakukan. Menurut penulis, penggunaan alat
perang (senjata) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yakni sebatas
mempertahankan hidup dan melindungi anggota gereja lainnya sekalipun demikian
penggunaan perang terhadap sasaran tidak sebanding dengan penyerang. Hal ini
nampak dalam daerah-daerah warga gereja yang lebih banyak mendapat kerugian
penyerangan dan bekas-bekas peluru yang ditemukan dalam daerah warga gereja
menunjukan banyak senjata yang lebih canggih yang digunakan oleh penyerang.
Namun, hal inilah yang dapat menunjukan bahwa penggunaan senjata yang
digunakan oleh anggota gereja bukan untuk tujuan “menghabisi” atau
menghancurkan tetapi untuk bertahan. Dalam proses pembelaan ini pula, warga
gereja tidak melakukan evaluasi maupun perhitungan terhadap kemungkinan baik
yang tetap dilakukan dalam waktu tertentu seperti yang dimaksudkan dalam just
war, namun hanya berupa pergumulan yang terus dilakukan dan pembicaraan
19 ibid., 23
83
pendeta bersama anggota gereja seperti untuk tetap bertahan atau mengambil
tindakan untuk mengungsi ketika serangan tidak dapat dibendung lagi.
Prinsip kedelapan, diskriminasi yaitu adanya batasan yang diberikan untuk
membunuh. Dari pemahaman yang diberikan oleh para pendeta jemaat, anggota
gereja tidak diajarkan untuk membunuh ataupun menyerang, tetapi ketika
penyerang telah masuk dalam lingkungan warga gereja dan menyerang maka jalan
yang diambil adalah membela diri dengan menyerang mereka yang telah masuk
itu. Jadi, batasan yang diberikan adalah para penyerang yang masuk dan
menyerang. Keterlibatan warga gereja ini pun sesuai dengan konsep bertahan,
karena dalam sebagian besar daerah tidak dilakukan penyerangan yang lebih dari
daerah perbatasan. Hal ini dapat terlihat dengan lebih banyaknya daerah yang
warga gereja yang diserang. Sesuai dengan prinsip just war, terdapat batasan yang
diberikan ketika anggota gereja harus menyerang, namun berbeda dengan just war
terutama dalam pemikiran Victoria yang membedakan tegas orang yang berjuang
dan yang tidak ikut berjuang yakni yaitu anak-anak, perempuan, pendeta atau
pemimpin agama, orang asing dan juga…. “ sisanya penduduk sipil yang cinta
damai.20 Pembedaan secara rinci ini tidak dilakukan oleh warga gereja termasuk
pendeta jemaat sebagai pihak yang didengar oleh anggota gereja ketika itu, selain
karena pembelaan yang dilakukan sebagai reaksi terhadap penyerangan, yang tidak
didahului dengan sebuah perencanaan, pembedaan pun hanya didasarkan pada
yang menyerang dan tidak menyerang. Ketika perempuan, anak, ataupun seorang
pemimpin agama juga masuk ke dalam daerah warga gereja dan menyerang, maka
mereka pun dianggap sebagai penyerang yang dapat dibunuh. Pengertian untuk
orang yang tidak ikut dalam perang Ambon adalah mereka yang dari masing-
20 James T. Johnson. Just War Tradition and the Restraint of War, A Moral and Historical
Inquiry (Amerika: Princeton University Press, 1984),200
84
masing pihak tidak ikut dalam proses penyerangan dan pertahanan ketika perang.
Selain itu, penulis melihat adanya persamaan antara perang di Ambon dan prinsip
just war ini, yaitu tidak adanya jaminan perlindungan yang sungguh dapat diterima
oleh orang-orang yang tidak ikut berperang. Hal ini dikatakan karena baik secara
sengaja ataupun tidak sengaja, orang yang tidak berperang pun dapat menjadi
korban dari tindakan yang dilakukan dalam perang, seperti korban akibat “peluru
kesasar” dan ledakan bom yang menghancurkan rumah dan orang-orang
didalamnya terkhususnya di sekitar daerah perbatasan dalam perang Ambon.
Karena itu, jaminan untuk terhindar dari keadaan seperti itu hanya terdapat pada
tindakan pribadi atau juga atas saran pendeta untuk melindungi diri seperti
berpindah sementara ke tempat yang dirasa lebih aman.
85
Refleksi
Sebuah pertanyaan dalam refleksi ini, bagaimanakah sikap seorang dalam
menghadapi kekerasan dan perang yang terjadi. Berkaitan dengan ini terdapat
pernyataan dari Francis Schaeffer yang dikutip Kalvin Budiman:21
I am walking down the street and I come upon a big, burly man beating a tiny tot to death-beating this little girl… I plead with him to stop. Suppose he refuses? What does love mean now? Love means that I stop him in any way I can, including hitting him. Dari pernyataan ini, menunjukan bahwa kekerasan merupakan sebuah isu
moral tidak pernah dapat dihindari, yang juga mengharuskan kemungkinan
pengakuan bahwa penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan adalah pilihan
yang perlu dipertimbangkan. Seperti teori dalam penulisan ini, Just war yang percaya
tentang adanya perang atau penggunaan kekerasan demi alasan kemanusiaan yang
dapat dibenarkan.
Setiap manusia diharuskan untuk saling mengasihi, namun pelaksanaan kasih
di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini tidak dapat dilepaskan dari kasih
yang kadang mengandung unsur kekerasan. Karena dengan membiarkan dosa dan
ketidakadilan tanpa usaha mencegahnya, sama saja dengan menyetujui perbuatan
dosa yang mendukakan hati Allah. Prinsip ini, dengan kata lain, memberi peluang
bagi adanya kemungkinan perang yang bisa dibenarkan. Hal ini sama seperti dengan
yang dikatakan oleh Agustinus bahwa terdapat situasi yang jika membiarkan
kejahatan tanpa adanya usaha untuk mencegahnya dengan segala daya upaya,
termasuk menggunakan kekerasan, sama saja dengan membiarkan kejahatan
menindas keadilan. Dengan demikian, perang adalah suatu tindakan yang sifatnya
21 Kalvin Budiman, “Prinsip Dasar Etika Kristen Tentang Perang: Sebuah Tinjauan Terhadap
Pacifism dan Just War Theory dalam Veritas Jurnal Teologi dan Pelayanan. Volume 4, Nomor 1 April 2003, 37
86
permissible, tetapi hanya dan jika hanya undertaken out of necessity and for the sake
of peace.
Dari pemahaman dan pemikiran tokoh-tokoh diatas, perang hanya satu
kemungkinan untuk mengendalikan ketidakadilan dengan resiko yang besar bahkan
menyimpan dendam permusuhan. Karena itu lebih baik dicari cara yang resikonya
lebih kecil seperti perundingan. Perlu disadari pula bahwa perang merupakan suatu
hal yang dapat membawa kesedihan dalam kehidupan manusia. Tidak ada seorang
pun dari manusia di bumi ini yang mau hidup dalam situasi penderitaan terutama
dalam perang. Oleh karena itu, tindakan kekerasan dan perang harus sebisa mungkin
dihindari. Kekerasan hanya dilakukan dalam keadaan yang terancam dan sangat
dibutuhkan. Tetapi hal ini pun harus disertai dengan usaha kasih dan tujuan untuk
keadaan yang damai. Dengan demikian, kapan dan dimanapun manusia itu berada,
baik yang beragama Kristen Protestan, Islam, Kristen Katolik, dan agama
kepercayaan lainnya, sudah menjadi tugasnya untuk menjadi seorang yang melakukan
kasih dan membawa damai.
Damai bukan hanya terwujud dengan melakukan kebaikan tetapi lebih dari itu,
dilakukannya pengampunan terhadap orang yang bersalah, mengembangkan rasa
saling menghargai, adanya kesempatan yang terbuka untuk manusia berkembang
dengan tetap terpelihara hak asasi manusia dalam setiap ruang kehidupan. Ini
bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi juga bukan tidak mungkin untuk
diterapkan ketika setiap manusia menyadari tanggung jawabnya untuk memelihara
keadaan damai tersebut, yang dimulai dari kehidupan disekitarnya.
Sebuah pernyataan penutup untuk selalu direnungkan, penulis kutip dan
87
diterjemahkan secara sederhana dari tulisan A. Malone demikian:22
Tak ada satupun yang tahu bagaimana jadinya suatu dunia tanpa perang, akan tetapi Gereja dan umat manusia yang beriman tahu bahwa jika kita menjadi manusia seutuhnya, kita diharuskan berlaku dengan prinsip kasih dan selalu menemukan cara untuk menyelesaikan konflik.
22 Antonia Malone, “The Just War Theory: A Wolf in Sheep’s Cloting?” dalam Studying War-
No More. Ed. Brien Wicker. Tahun 1993,97