bab iv 3100027 -...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISIS DATA
Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah
berbentuk diskriptif kualitatif, yakni penelitian dengan cara memaparkan
dalam bentuk kualitatif terhadap obyek yang didasarkan pada kenyataan dan
fakta-fakta yang tampak pada obyek tersebut. Sehingga untuk menganalisis
data yang telah dikumpulkan digunakan bentuk analisis diskriptif kualitatif
yaitu menganalisis data dengan berpijak pada fenomena-fenomena yang
kemudian dikaitkan dengan teori atau pendapat yang telah ada.
Sudah lama sebagian manusia tertarik pada fenomena kehidupan
beragama yang terjadi pada masyarakat manusia pada umumnnya dan pada
masyarakat pesantren pada khususnya. Berbagai pertanyaan yang muncul di
benak penulis adalah: Mengapa manusia memeluk agama? Mengapa agama
begitu lestari dan selalu dibutuhkan manusia? Bagaimana agama bisa menjadi
acuan moral bagi segala tindakan manusia (human frame of reference of
action)? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, sesuai dengan sudut
pandang yang penulis gunakan. Yaitu bahwa sebuah agama merupakan simbol
kehidupan bagi pemeluknya yang mana agama tersebut sebagai pengontrol
norma-norma yang dipandang kurang berkenan oleh manusia lain. Contoh
kecil, seperti dalam berbusana, jika berbusana didasari agama, maka busana
tersebut dipandang orang lain terkesan sopan dan rapi.
Para ahli sosiologi agama memandang agama sebagai suatu pengertian
yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut
pandang individual.1 Hal itu berarti humanisme religius tidak selalu
membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tertentu,
tetapi semua agama dan semua daerah tanpa memihak dan memilah-milah.
1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet, I, 2000), hlm.
47.
85
A. Analisis Terhadap Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren
Al-Ittihad Jungpasir Wedung Demak
Di dalam proses pengajaran di suatu lembaga pendidikan tidak akan
terlepas dari namanya materi pendidikan yang akan digunakan sebagai salah
satu sarana pencapaian tujuan pendidikan. Materi pendidikan tersebut
mencakup keseluruhan bahan pelajaran yang terdiri dari berbagai cabang
keilmuan. Akan tetapi dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya melihat dari
sisi nilai-nilai humanisme religius.
Kyai di pondok pesantren al-Ittihad menempati kedudukan khusus,
yaitu: 1) guru yang sangat dihormati, 2) raja dari suatu kerajaan kecil di mana
kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam
kehidupan pesantren dan lingkungannya, 3) dengan kelebihan pengetahuannya
dalam Islam – senantiasa lebih mampu memahami keagungan Tuhan dan
rahasia alam-.2
Pondok pesantren Al-Ittihad Jungpasir Wedung Demak merupakan
sistem pendidikan yang berciri khusus, yakni: 1) adanya hubungan yang akrab
antara santri dengan kyai, 2) santri taat dan patuh pada kyainya, 3) para santri
hidup secara mandiri dan sederhana, 4) adanya semangat gotong royong
dalam suasana penuh persaudaraan, 5) para santri terlatih hidup berdisiplin
dan tirakat.
Dengan demikian nampak sekali bahwa pesantren al-Ittihad banyak
memberikan kontribusi humanistis sebagai pengejawantahan dari hablun min
Allah dan hablun min an-nas. Semua hal tersebut di atas menurut penulis
perlu ditata kembali dengan menggunakan pemikiran secara mendalam dalam
rangka membangkitkan ilmu agama untuk mengatasi atau meminimalisasi
kekurangan masa lalu.
Jika konsep ini (pendidikan humanisme religius) diimplementasikan
dalam praktek dunia pendidikan pesantren, yang menekankan pada akal sehat
atau common sense, individualisme menuju kemandirian dan tanggung jawab
2 Depag RI, Pola Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren, (Jakarta: Proyek
Peningkatan Pondok Pesantren, 2001), hlm. 10.
86
sosial, thirst for knowledge, kontekstualisme yang lebih mementingkan fungsi
dari simbol serta keseimbangan antara reward dan punishment, maka akan
menghasilkan suatu tatanan masyarakat yang ideal berdasarkan ajaran Islam
dengan menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia lain, sehingga akan menuju masyarakat madani.
Di sini penulis dapat menjelaskan tentang pendidikan humanisme
religius di pondok pesantren al-Ittihad, di antaranya adalah:
1. Akal Sehat
Pesantren al-Ittihad Jungpasir yang menjadi obyek dalam tulisan
penulis, dalam proses pendidikan menggunakan akal yang sehat,
penulis dapat melihat fenomena tersebut saat para santri berdiskusi atau
dalam istilah pesantrennya takror yaitu mengkaji sebuah kitab yang
menjadi kurikulum pesantren al-Ittihad secara berkelompok sesuai
dengan kelasnya masing-masing, dalam takror ini mencerminkan akal
sehat, karena tidak saling menjatuhkan dan tidak mempertahankan
pendapatnya masing-masing, akan tetapi dalam mengambil sebuah
keputusan menggunakan sikap kekeluargaan. Adapun takror ini
dilakukan setiap hari ba’da Isya’ (setelah shalat jama’ah Isya’).
2. Individualisme Menuju Kemandirian.
Tidak diragukan lagi, bahwa pesantren al-Ittihad Jungpasir ini berdiri
dengan jerih payah K.H. Fauzi Noor Alm., ketika beliau masih mondok
(mencari ilmu di pondok pesantren Lasem yang diasuh oleh K.H.
Mansur) pada mulanya mendirikan sebuah mushalla, selain untuk
berjama’ah juga untuk menyampaikan siraman rohani kepada
masyarakat Jungpasir, karena beliau mendapat amanat dari K.H.
Mansur dari Lasem untuk mengembangkan ilmunya kepada
masyarakatnya.
Santri yang ada di pesantren al-Ittihad mempunyai kesadaran untuk
membangun kemandiriannya, karena mereka sadar akan jauh dari orang
tua, mau atau tidak mau mereka harus mandiri dalam segala
sesuatunya, baik belajar, hidup di masyarakat pesantren dan
87
kemandirian yang lain. Semisal mempunyai kemandirian untuk
memasak, meskipun secara kolektif.
Selain itu pondok pesantren al-Ittihad Jungpasir juga mempunyai
kemandirian dalam mengembangkan kurikulumnya, pada dasarnya
kurikulum yang digunakan di pesantren tersebut merupakan kebutuhan
santri dalam menghadapi permasalahan masyarakat yang sedang
berkembang, dalam hal ini pesantren al-Ittihad lebih memfokuskan
pada kajian hukum, karena al-Ittihad merupakan pondok pesantren
syari’at yakni mengkaji tentang hukum permasalahan yang sedang
dihadapi masyarakat, beda dengan pesantren thariqat yang mengkaji
tentang tasawuf untuk menuju ke-ma’rifat-an kepada Allah serta
mempunyai ajaran untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
3. Keseimbangan Antara Reward dan Punishment.
Hal ini jelas, karena santri dalam mencari ilmu atau mengkaji ilmu
kitab-kitab kuning untuk ngalaf barokah dan syafa’at dari kitab yang
dikaji tersebut. Dalam hal ini, barokah serta syafa’at merupakan reward
sedangkan tata tertib yang ada di pondok pesantren ini sebagai
punishment yang mana tata tertib tersebut berisi pelanggaran-
pelanggaran dan sanksi-sanksi. Sehingga dalam akivitas sehari-hari
tidak semaunya sendiri, harus ada batasan-batasan tertentu. Dalam
pelaksanaan pendidikan, pesantren al-Ittihad mempunyai keseimbangan
dalam memberi reward dan punishment kepada masyarakatnya (para
santri). Ketika proses belajar mengajar, seorang ustadz memerintahkan
kepada santrinya supaya membaca kitab yang dipelajarinya, akan tetapi
santri tidak mampu membacanya dengan benar, sehingga wajar ustadz
memberi hukuman agar santri yang bersangkutan supaya maju ke
depan kelas untuk membacanya kembali. Hal inilah yang disebut
dengan keseimbangan antara reward dan punishment. Di sisi lain santri
mendapatkan barokah dan syafa’at dari kitab yang dikaji serta
mengetahui tentang kitab tersebut, sedangkan sisi lain santri harus
mengikuti apa yang diperintahkan ustadz kepada santrinya.
88
4. Membela Santri dengan Reward
Nilai-nilai humanisme religius yang ada di pesantren al-Ittihad tampak
jelas ketika seorang kyai atau ustadz dalam memberi suatu materi, di
dalam proses tersebut kyai memberi fatwa yang berupa ijazah, ijazah
yang dimaksud adalah sebuah perbuatan yang dilakukan santri untuk
mendapatkan ketenangan dalam berpikir (dalam bahasa santrinya
padang ati). Dari hal inilah seorang kyai atau ustadz memberi reward
berupa ijazah kepada santrinya agar seorang santri lebih tekun dalam
belajar. Dengan barokah ijazah tersebut diharapkan santri dapat
mengembangkan pengetahuannya serta dapat menjadi badal dari kyai
atau ustadz.
Singkatnya, apabila pesantren al-Ittihad menginginkan dekat dengan
masyarakat bahkan bisa berperan dalam kehidupan keseharian sebagai bukti
cinta kemanusiaan, seperti yang dikemukakan penulis di atas, maka ada
beberapa hal yang harus dikembangkan dalam pesantren tersebut, di antaranya
adalah:
1. Dimensi kebudayaan (culture).
Dalam konteks ini watak mandiri baik pesantren al-Ittihad maupun
para santri yang merupakan ciri kultural yang harus dipertahankan,
meskipun harus dijaga agar tidak berkembang ke arah pengucilan diri.
Oleh karena itu solidaritas spontan yang tidak terarah perlu ditingkatkan
menjadi solidaritas yang terorganisir dalam suatu hubungan akademis
yang fungsional antar pesantren. Yang menjadi kajian budaya di sini
adalah kepedulian santri yang satu dengan lainya. Santri yang ada di
pesantren al-Ittihad mempunyai kebudayaan untuk saling membantu dalam
berbagai hal positif, seperti memasak secara kolektif, gotong royong dan
lain sebagainya.
2. Dimensi pendidikan (edukatif).
Pesantren al-Ittihad dilihat dari segi output pendidikannya, secara
tradisional proses pendidikan di pesantren tersebut menghasilkan
89
pimpinan keagamaan yang berorientasi pada masyarakat desa setempat.
Makin berkembangnya diferensiasi dan spesialisasi serta adanya tuntutan
dan kebutuhan baru dalam proses pembangunan, makin berkembang pula
kebutuhan masyarakat. Peran pesantren akan lebih besar dan kontribusinya
pada proses transformasi sosial kultural akan makin bermakna bila ia dapat
menjawab tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru.
3. Dimensi sosial (social).
Dalam dimensi sosial ini, pesantren al-Ittihad dapat dikembangkan
menjadi lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat Jungpasir yang
berfungsi menyampaikan pengetahuan baru meskipun hanya sebatas
kemampuan masyarakat pesantren setempat serta memberikan pelayanan
sosial dan keagamaan. Namun pada sisi yang lain, masyarakat bisa sebagai
“laboratorium sosial” yang digunakan pesantren al-Ittihad sebagai alat
eksperimentasi untuk pengembangan masyarakat. Maka dengan adanya
hal ini bisa tercipta hubungan timbal balik antara pesantren dan
masyarakat yang bersifat simbiose mutualistis.
Dari ketiga dimensi tersebut menunjukkan bahwa, pesantren sangat
berhubungan erat dengan masyarakat. Cita-cita untuk mengabdi kepada
masyarakat sebagai pendidik agama dengan berdakwah bagi masyarakat,
merupakan aktifitas dan rutinitas kyai yang tidak hanya mengajarkan Islam di
dalam pesantren, tetapi juga kepada masyarakat luas di luarnya. Selain kyai,
para santri senior juga sering melakukan hal yang sama sebagai bukti bahwa
pesantren berperan kepada masyarakat dan sekaligus ciri utama thalab al-ilmi
bagi masyarakat santri.
Menurut penulis, ketiga hal tersebut -bukan sebagai idealisme paten-
memposisikan pesantren sebagai pranata sosial yang hanya berperan religius
murni saja akan tetapi di sisi lain pesantren juga mengembangkan sosial. Di
mana militansi terhadap nilai-nilai religiusitas terkadang melahirkan fanatisme
90
buta dan mendehumanisasikan manusia. Menurut Zaenal Abidin Anwar,3
proses dehumanisasi dapat saja mengubah manusia modern menjadi semata-
mata budak teknologi.
Demikian pula tidak ada kesatuan bentuk dan cara yang berlaku bagi
semua pesantren, melainkan amat ditentukan oleh kyai sendiri yang
memegang pimpinan serta ditentukan oleh masyarakat lingkungannya yang
menjadi pendukung pesantren. Selanjutnya pertumbuhan pesantren dan
penyebarannya sampai ke pelosok pedesaan, adalah merupakan bagian yang
tidak terpisahkn dari penyiaran agama Islam.4
Jadi, tujuan pendidikan pesantren al-Ittihad adalah membentuk
manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam yang bersifat
menyeluruh. Selain itu, produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan
tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-
tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada, sehingga mampu
menembus kemajuan pada era globalisasi dalam bidang ilmu agama yang
terpadu.
Ajaran Islam khususnya pendidikan yang ada di pesantren al-Ittihad,
humanisme tidak terpisah dari hablun min an-nas, karena manusia sebagai
agen Tuhan di bumi atau khalifatullah yang memiliki seperangkat tanggung
jawab. Dalam hal ini yang paling penting adalah tanggung jawab sosial dan
tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Dalam bahasa asing, sikap-sikap
ini disebut philanthropic, humane, atau civic minded. Kaharusan seseorang
untuk berbuat baik kepada orang lain terlihat dari ajaran Rasulullah. Maka
dalam hal ini hubungan horizontal ternyata paralel dengan hubungan vertikal.
Dalam agama Islam, humanisme tidak mengenal sekularisme karena tidak ada
sekularisme dalam Islam. Dengan demikian, pembahasan humanisme dalam
Islam dengan sendirinya adalah humanisme religius.
3 Zaenal Abidin Anwar, Problem Managerial Pesantren dalam Peradaban Modern. dalam
Abdul Munir Mulkhan (et.al), Religiusitas Iptek; Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 210.
4 Sadikin Sugihwaras, Pondok Pesantren dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), hlm. 61.
91
Seharusnya, di antara para santri membangun saling pengertian yang
lebih baik di antara dunia yang didasarkan tanggung jawab yang saling
pengertian. Untuk mewujudkan harmonis antara santri dengan pengasuh
(kyai), masyarakat, serta teman santri sendiri, mereka harus menghindarkan
diri interes-interes pribadi. Sehingga dengan adanya saling pengertian,
tanggung jawab baik tanggung jawab individu maupun kelompok akan
terwujud nilai humanisme religius.
Kendati memiliki pandangan sedemikian rupa mengenai asketisisme
dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki tokoh yang anti agama.
Kecenderungan untuk membela nilai dan kebebasan manusia telah mendorong
kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan, kekuatan-Nya, serta
masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh, dan kebebasan
ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional abad-abad
pertengahan dan terelimitasi oleh paradigma masa itu.
Pondok pesantren Al-Ittihad adalah salah satu lembaga pendidikan
keagamaan yang berperan sangat besar dalam pengembangan masyarakat,
terutama pada masyarakat Jungpasir. Sehingga pada masyarakat biasanya
pemebntukan masyarakatnya diwarnai oleh keberadaan pondok pesantren Al-
Ittihad. Dan di pondok pesantren tersebut telah mempunyai tata tertib, di mana
tata tertib tersebut disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari para santri,
sehingga akan terbangunlah kehidupan yang islami, dinamis, kreatif
berdasarkan ukhuwah Islamiyah.
Peranannya di masyarakat sangat besar. Namun sejalan dengan
perkembangannya, maka peran pondok pesantren ini pun meluas. Tidak hanya
bergerak di bidang pendidikan agama saja. Tetapi juga dalam bidang
pemberdayaan masyarakat, terutama sosial budaya. Karena keberadaan
pesantren ini, biasanya berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pembentukan watak masyarakat di desa tersebut.
Dalam pondok pesantren Al-Ittihad sebagaimana telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, bahwa pendidikan humanisme religius di pondok pesantren
al-Ittihad didasarkan pada kehidupan pesantren sehari-hari, baik hubungan
92
santri dengan kyai termasuk keluarga kyai (ndalem) maupun santri dengan
masyarakat. Sehingga dari hubungan tersebut, dapat menciptakan hubungan
humanis yang dilandasi dengan agama.
1. Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan pesantren al-Ittihad
Bertitik tolak dari sistem pendidikan pada bab sebelumnya, maka dalam
kegiatan pembelajaran di pesantren al-Ittihad prinsip-prinsip umum belajar
dan motivasi yang diterapkan pada umumnya meliputi:
a. Prinsip kebermaknaan
Prinsip ini memiliki arti bahwa para santri akan mempelajari sesuatu hal
apapun adalah jika sesuatu itu bermanfaat atau bermakna bagi
kehidupannya baik untuk masa kini maupun untuk masa mendatang,
baik bagi kepentingan hidupnya sendiri maupun untuk kepentingan
masyarakatnya. Dengan kata lain salah satu faktor yang mendorong atau
memotivasi santri untuk belajar adalah adanya manfaat praktis dari
sesuatu yang dipelajarinya itu dalam kehidupan. Oleh karena itu, di
pesantren al-Ittihad biasanya seorang kyai dalam mengajarkan suatu
materi pelajaran kepada para santrinya melakukan:
��Menghubungkan pelajaran yang beliau berikan dengan minat dan
nilai-nilai santri.
��Menghubungkan pelajaran dengan kehidupan masa depan para
santri.
Dari uraian tersebut dapat penulis ambil benang merah bahwa kyai
dalam memberi pelajaran menggunakan metode pemeberian reward,
yang mana reward tersebut berupa rasa peduli kasih tentang masa depan
santrinya.
b. Prinsip motivasi
Prinsip ini menuntut agar para ustadz memotivasi para santrinya agar
lebih banyak lagi mempelajari sesuatu dengan cara penyajian yang
disusun sedemikian rupa sehingga fatwa-fatwa ustadz terbuka bagi
santri. Untuk itu para ustadz di pesantren al-Ittihad Jungpasir
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
93
��Menjelaskan kepada para santri tentang tujuan-tujuan pembelajaran
yang jelas sehingga segala sesuatu yang diharapkan oleh kyai dapat
dimengerti oleh para santrinya.
��Menghindari segala penjelasan yang dapat mengurangi minat belajar
para santri.
��Memberikan kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-
hal yang belum dimengerti atau belum jelas.
c. Kebersamaan
Dalam pesantren al-Ittihad dikarenakan kehidupan santri senantiasa
berada dalam kehidupan sosial yang intens, maka dalam kegiatan
belajarpun mereka akan melakukannya bersama-sama. Misalnya
sewaktu ditugaskan untuk menghafalkan bait-bait nadham al-fiyah,
mereka akan melakukannya secara bersama-sama di dalam kelas
masing-masing, demikian juga ketika muthala’ah (menelaah materi
yang sudah atau akan dipelajari) suatu kitab, mereka akan
melakukannya secara berdiskusi yang disebut takror.
2. Komunikasi Interaktif Kyai dengan Santri
Salah satu kelebihan pendidikan humanisme religius di pesantren
dibandingkan pendidikan lain adalah adanya hubungan yang akrab dan
ersifat khusus humanis antara kyai atau ustadz dengan orang tua atau
keluarga santri dan dengan para santri itu sendiri. Seorang calon santri
datang ke pesantren al-Ittihad umumnya diantarkan oleh kedua orang tua
atau keluarganya, kemudian dititipkan atau dipasrahkan secara langsung
kepada kyai atau ustadz untuk dididik di pesantren tersebut. Hubungan
semacam itu tidak hanya ketika penyerahan, melainkan dalam banyak
peristiwa baik dalam pendidikan di pesantren al-Ittihad maupun di luar.
Sementara sntri itu pun hidup bersama kyai atau ustadz setiap hari dalam
kehidupan sebagai bapak dan anak dalam pesantren.
Hubungan akrab ini menciptakan suasana pembelajaran yang sangat intens
dan familier. Pembelajaran yang terjadi tidak hanya terbatas pada
tranformasi ilmu, melainkan juga pada seluruh perilaku kehidupan. Dalam
94
kasus pesantren yang cukup sederhana, peran-peran kyai ini biasanya
diejawantahkan oleh para ustadz atau santri-santri senior yang
dimanifestasikan dalam tata tertib pergaulan pesantren.
Komunikasi interaktif yang positif ini dimungkinkan karena pendidikan
pesanten diselenggarakan dalam bentuk pengasramaan para santrinya.
Dari hubungan yang positif dapat menimbulkan hal-hal positif seperti di
bawah ini, yang kemudian menjadi watak dan ciri santri:
��Tumbuhnya sikap rendah hati (tawadlu’) terhadap yang lebih bawah
dan sikap hormat ta’dzim) kepada yang lebih atas, terutama dalam hal
ilmu dan ibadah.
��Terbentuknya kepribadian yang berpola hidup hemat dan sederhana.
��Terbiasa untuk hidup secara mandiri, terbiasa untuk mengerjakan hal-
hal yang bernilai mulia seperti mencuci, membersihkan kamar tidur
serta memasak sendiri, untuk kebersihan dan keteraturan.
��Tumbuhnya jiwa suka menolong kepada sesama. Hal ini disebabkan
karena suasana pergaulan di pesantren al-Ittihad yang lebih familiar dan
menjunjung kesetaraan.
��Timbulnya kesanggupan untuk hidup prihatin dalam rangka mencapai
suatu tujuan mulia.
Jika penulis melihat pendidikan yang ada di pondok pesantren al-Ittihad,
pendidikan humanisme religius dapat penulis kaitkan dengan macam-macam
akhlak:
1. Akhlak berhubungan dengan Allah SWT
Adanya materi dengan keikhlasan niat, syukur, meninggalkan
maksiat, dzikir, membaca Al-Qur'an, shalat Dhuha dan materi sejenisnya,
merupakan materi yang dapat mengarahkan kepada pembentukan pribadi
yang memiliki pengabdian yang mantab terhadap Allah SWT, selain akan
tahu akan kewajiban pertamanya sebagai hamba Allah, juga merelakan dan
mengikhlaskan segala perbuatannya sebagai landasan diterima tidaknya
amal perbuatan yang dilakukan. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
95
������ ������������ ��� ���������������������������� ���� ��������
���� ������ �! �"���#$��%�� ��� : � ) 5
“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah pada
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan ibadah dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Dengan landasan keikhlasan dan ketulusan niat dalam menjalankan
segala perbuatan akan dapat menjauhkan diri dari sifat-sifat jelek seperti
iri, dengki, dendam, riya’, sum’ah dan lain sebagainya, perbuatan inilah
yang mengakibakan hubungan antara sesama tidak humanis.
2. Akhlak berhubungan dengan sesamanya
Materi humanisme religius di Pesantren Al-Ittihad dapat kita lihat
pada hubungan antara santri dan kyai atau ustadz pada saat proses belajar
mengajar, karena memang hubungan antara santri dan kyai atau ustadz
sangat dekat, sehingga mengimplikasikan pada nilai-nilai humanisme
religius di pesantren, maka dari itu, penulis yakin akan budaya atau tradisi
di pesantren Al-Ittihad ada relevansinya dengan pendidikan humanisme
religius.
Rasa hormat kepada kyai dan keluarganya yang direfleksikan
dalam bentuk-bentuk sikap seperti tidak berjalan di depan kyai atau ustadz,
membantu keperluan-keperluannya dan sebagainya meskipun sebagian
kecil, hal ini merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap
derajat orang yang berilmu serta merupakan nilai-nilai humanisme dan rasa
taat pada Tuhan yang diaplikasikan dengan ibadah muamalah seperti,
zakat, shadaqah, shalat berjama’ah, sehingga mampu menciptakan
kesadaran untuk beragama dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh Allah.
5 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an,
1985, hlm. 1084.
96
Demikian juga halnya, pendidikan humanisme religius dapat
dikaitkan dengan proses belajar mengajar, dengan adanya penghormatan
santri kepada kyai atau ustadz akan terwujud proses belajar mengajar yang
harmonis dan efektif.
Dengan demikian, materi di atas sangat penting dalam kehidupan
pesantren sekarang ini, diharapkan dengan materi ini akan dapat membentuk
pribadi-pribadi yang mempunyai kesadaran kemanusiaan dan keagamaan.
Materi di pondok pesantren Al-Ittihad bila dipahami dari aspek sosialisme,
pendidikan humanisme religius itu ada dua relasi dalam kehidupan, yakni
hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia (hablun min Allah wa
hablun min an-nas).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa materi pendidikan
humanisme religius di pondok pesantren al-Ittihad mencakup materi yang
sangat kompleks dan komprehensip dalam membentuk dan mewujudkan
generasi yang mempunyai pribadi yang tidak hanya mengerti akan tanggung
jawabnya sebagai hamba Allah, dapat berinteraksi baik dengan sesamanya dan
dengan Tuhannya serta memiliki pengetahuan yang tinggi, karena memiliki
kesadaran dalam bermasyarakat dan beragama.
B. Analisis Terhadap Tradisi Pesantren Al-Ittihad Jungpasir Wedung
Demak Relevansinya dengan Pembentukan Nilai-Nilai Humanisme
Religius
Guna menganalisis tradisi yang ada di pondok pesantren al-Ittihad,
penulis menggunakan dua pendekatan pemahaman, yaitu tradisi dipahami
sebagai bentuk serta wujud humanisme religius itu sendiri dan tradisi
dipahami sebagai metode pendidikan.
1. Tradisi sebagai Bentuk dan Wujud Humanisme Religius
Dari berbagai tradisi yang ada di pondok pesantren Al-Ittihad dapat
dipahami sebagai wujud realisasi humanisme religius bila dikaitkan dengan
kedudukan manusia sendiri. Dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi:
97
a. Sebagai hamba Allah
Manusia dalam hal ini santri sebagai hamba Allah, diwajibkan
mengabdi kepada pencipta alam semesta yaitu Allah SWT, maka
dengan demikian pesantren Al-Ittihad memiliki tradisi yang berbentuk
ibadah kepada Allah sebagai sarana pendekatan diri kepada-Nya. Dari
tradisi inilah akan membentuk kepribadian yang memiliki sifat
religiusitas dan kedekatan dengan Allah SWT.
b. Sebagai makhluk sosial
Jenis-jenis tradisi yang terkait dengan komunikasi dan interaksi antar
sesama, di pondok pesantren al-Ittihad mempunyai tradisi yang
berwujud adanya sebutan dan panggilan seperti “mbah” dan “kang”,
bersalaman disertai mencium tangan kiai atau ustadz merupakan wujud
dan realisasi sikap hormat-menghormati dalam kehidupan masyarakat
pondok pesantren. Tradisi semacam inilah yang akan membentuk
pribadi yang mempunyai sifat humanis yang baik dalam berinteraksi
dengan sesamanya.
c. Sebagai bagian dari lingkungan
Dengan adanya jadwal piket kebersihan dalam sehari-hari dapat
membentuk pribadi yang mempunyai kesadaran serta peduli terhadap
lingkungan sekitarnya dan mampu membentuk pribadi yang peduli
tehadap kedisiplinan.
d. Sebagai pencari ilmu (santri atau pelajar)
Bentuk dari adanya tradisi yang berkaitan dengan kedudukan santri
sebagai pencari ilmu, adalah tradisi takror, muhafadhah, musyawarah,
bahtsul masail dan lain sebagainya, tradisi ini akan menumbuhkan sikap
gigih dalam mencari ilmu.
2. Tradisi dipahami sebagai Metode Pendidikan
Tradisi yang berkaitan dengan metode pendidikan dapat kita
pahami sebagai bentuk usaha yang dilakukan pondok pesantren untuk
membangun tradisi agar menjadi suatu tingkah laku yang secara lambat
98
laun akan melekat pada pribadi santri dan akhirnya akan menjadi pribadi
yang humanis serta religius.
Berpijak dari tradisi yang ada di pondok pesantren Al-Ittihad,
dengan memperhatikan fenomena riil, dapat penulis simpulkan bahwa
pondok pesantren al-Ittihad termasuk dalam kategori jenis pesantren salaf.
Hal ini berdasarkan bahwa:
a. Pesantren al-Ittihad dalam pengajarannya menitikberatkan
bahkan keseluruhannya terhadap pengkajian kitab-kitab klasik
Islam, atau lebih dikenal dengan istilah kitab kuning sebagai
sumber kurikulumnya. Dan dari kitab tersebut, juga ada nilai-
nilai humanisme religiusnya, karena mengajarkan bagaimana
menghomati sesama dan bagaimana menjalankan syari’at
agama.
b. Sistem pendidikan hanya diterapkan guna mempermudahkan
sistem pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren.
c. Pondok pesantren al-Ittihad mempunyai misi utama yakni
mempersiapkan santri untuk memiliki kemampuan keagamaan,
dan kemampuan untuk bermasyarakat.
d. Penggunaan metode-metode klasikal dalam pengajarannya di
samping sistem madrasah, seperti metode sorogan, wetonan dan
lain sebagainya.
e. Pengajaran kitab kuning yang masih menggunakan pendekatan
system makna “utawi iki iku”.
Selain itu, lokasi pesantren yang berbaur dengan perumahan
masyarakat, sehingga akan terjadi interaksi dan komunikasi secara langsung
yang tentunya akan menyebabkan terjadinya pembelajaran aspek-aspek
kehidupan secara langsung, sehingga mampu mengembangkan rasa
persaudaraan yang mampu memberi perkembangan nilai-nilai humanisme
religius dalam pesantren.
99
Hal ini, sesuai dengan prinsip pesantren dengan kaidah sosialnya yang
progresif, yaitu “memelihara sistematika dan metodologi lama yang masih
relevan dan mengambil serta mengembangkan cara baru yang lebih baik”.6
Dengan demikian, dapat dipahami bawa materi pendidikan humanisme
religius dan tradisi mempunyai peranan yang besar dalam membentuk
kepribadian. Di pesantren, materi dan kebiasaan atau tradisi merupakan
strategi pendidikan humanisme religius yang saling berinteraksi. Hal ini
ditunjukkan karena materi pendidikan dan tradisi yang ada di pesantren
tersebut, diarahkan dan diorientasikan pada pembentukan kepribadian yang
mulia, dan didukung penataan kehidupan lingkungan yang mungkin dapat
dijadikan pendukung secara psikologis dalam pembentukan kepribadian yang
humanis dan agamis yang kelak menjadi embrio dari pembentukan
masyarakat madani.
Dari bab sebelumnya, dijelaskan bahwa pesantren al-Ittihad
mempunyai potensi dalam mengembangkan nilai-nilai humanisme religius,
hal itu dapat kita lihat jelas dalam sistem pendidikan yang digunakannya.
Seperti sistem pendidikan sorogan dan bandongan, yakni kemandirian santri
dalam mengkaji kitab, sedangkan kyai sebagai pendengar. Beda dengan
sistem bandongan, kalau bandongan lebih menekankan pada kemaknaan yang
dibaca oleh kyai atau ustadz dan santri mendengarkan dan mengikuti apa yang
dibaca oleh kyai, dalam istilah klasiknya santri hanya memaknai. Dari hal
inilah kyai atau ustadz mempunyai kepedulian terhadap santrinya, dengan kata
lain mempunyai nilai humanis dan di sisi lain, juga mempunyai religiusitas
karena yang dikaji kebanyakan tentang ilmu-ilmu agama baik dalam bidang
fiqh, syari’at, akhlaq dan lain-lain.
Dengan jumlah komunitas yang besar, kini pesantren tengah
menghadapi beragam problematika, baik dalam aspek rendahnya pendidikan,
lemahnya perekonomian, kondisi social-budaya yang cenderung kurang
islami, serta masih adanya rasa rendah diri atau kurang percaya diri. Kondisi
6 M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 347
100
ini didukung oleh persepsi sebagian masyarakat yang menganggap keadaan
ini sebagai “nasib” yang tidak perlu dipersoalkan.
Sebagai makhluk terbaik yang diturunkan oleh allah ke atas
permukaan bumi ini, pesantren seyogyanya sejak dini berusaha memperbaiki
keadaan ini dengan dibimbing oleh suatu tuntunan yang jelas dan berdemensi
transcendental. Semua ini dapat dilakukan karena pesantren mempunyai
konsep yang solutif.
C. Analisis Terhadap Peran dan Fungsi Pondok Pesantren Al-Ittihad di
Masayarakat
1. Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan
Pondok pesantren al-Ittihad dalam hal ini, mempunyai religiusitas
tinggi. Namun demikian, agama dalam Islam disebut dengan istilah din.
Predikat din untuk Islam lebih kena daripada sebutan, agama yang bukan
istilah produk islam sendiri. Pengertian din dalam Islam adalah ajaran
yang diwahyukan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.7
Ajaran agama Islam sudah pasti diajarkan sekaligus dipraktekkan
di pondok pesantren al-Ittihad. Dalam hal ini, pesantren al-Ittihad
mengajarkan agama yang bersumber dari wahyu Illahi yang berfungsi
memberi petunjuk dan meletakkan dasar keimanan dalam hal ketuhanan
(ketauhidan), “memberi semangat dan nilai ibadah yang meresapi seluruh
kegiatan hidup santri dalam hubungannya dengan Allah (hablun min
Allah), sesama santri dan lingkungan (hablun min an-nas) dalam dimensi
transenden, sosial dan kosmologis”.8
Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan tafaqquh fiddin
mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan, penyiaran, dan
pelestarian Islam. Pondok pesantren al-Ittihad sebagai lembaga
keagamaan, di antaranya menjadi pusat kegiatan keagamaan, seperti
7 Adi Sasono dkk, (et.al), Solusi Islam: Atas Problematika Umat, (Jakarta: Gema Insani Press,
Cet. I, 1998), hlm. 115-116. 8 Ibid, hlm. 116
101
menentukan atau menengahi perselisihan hukum melalui bahtsul masail,
mengadakan pengajian, siraman rohani, serta menentukan perencanaan
segala kegiatan keagamaan di dalamya.
Fenomena pondok pesantren yang menjadi ciri kepribadiannya
adalah jiwanya, yaitu roh yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan
yang dilakukan oleh segenap keluarga santri. Roh tersebut dirumuskan
oleh K.H. Imam Zarkasyi dengan “Panca Jiwa” pondok, yaitu berupa:
a. Keikhlasan
b. Kesederhanaan
c. Persaudaraan
d. Menolong diri sendiri
e. Kebebasan 9
Sebagai salah satu dari pelaksanaan kegiatan keagamaan, pondok
pesantren al-Ittihad memiliki kharisma tersendiri bagi masyarakat
Jungpasir. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pesantren al-Ittihad
mampu mencetak kader santri dan dai-dai kondang, sekaligus sebagai obat
bagi orang-orang yang kurang berakhlak menjadi orang yang berakhlak.
K.H. Fauzi Noor, Alm. mempunyai andil besar dalam
menyukseskan pembangunan nasional, melalui pengembangan pendidikan
pesantren. Beliau telah membuktikan tekad dan semangat “mencintai tanah
air adalah sebagian dari iman” yang memanifestasikan ke dalam amar
ma’ruf nahi munkar, sehingga tidak satu desa ataupun pelosok yang
betapa jauhnya tidak disinggahi. Pesantren adalah pemegang kunci
tranformasi pendidikan Islam.
Figur kyai, santri, serta seluruh perangkat fisik dari sebuah
esantren membentuk sebuah kultur yang bersifat keagamaan yang
mengatur perilaku seseorang, pola hubugan antara warga masyarakat.
Bahkan, pola hubungan antara santri yang satu dengan santri yang lainnya.
Dengan keadaan demikian, produk pesantren lebih berfungsi sebagai
faktor integratif dalam masyarakat.
9 Ibid, hlm. 116
102
Pondok pesantren al-Ittihad sangat berperan besar dalam
pengembangan akhlak dan mental santri, mampu menumbuhkan
kemandirian santri, untuk menghasilkan manusia yang berbudi tinggi, tahu
nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan, santri atau manusia, alam atau
lingkungan yang merupakan tujuan akhir hidup dan kehidupan.
Jadi, sebuah kesimpulan globalnya yaitu konsep humanisme tidak
bertentangan dengan kepatuhan kepada agama jika pengertiannya ialah
kepercayaan kepada nilai-nilai kemanusiaan, serta kedudukan, martabat,
ikhtiar, dan kebebasan manusia. Dengan kata lain, muatan humanisme di
sini tidak keluar dari wilayah agama. Akan tetapi, jika manusia dalam
pengertiannya yang hakiki dan merupakan khalifatullah ternyata
dipandang sebagai tujuan final oleh paham humanisme, kemudian
pengenalan Tuhan dan kepatuhan kepada ajaran agama dipahami semata-
mata sebagai sarana dan instrumen untuk mencapai tujuan itu, maka
humanisme akan berada di luar lingkungan agama. Adapun anggapan
humanistik yang mensejajarkan rasio manusia dengan rasioTuhan jelas
sangat kontras dengan makrifat dan ketaatan beragama.
Dan dalam bukunya Abdurrahman Mas’ud yang berjudul
“Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam” disebutkan
bahwa Humanisme religius adalah sebuah konsep keagamaan yang
menempatkan manusia sebagai manusia yang mempunyai norma agama
atau nilai keagamaan, serta upaya humanisme ilmu-ilmu dengan tetap
memperhatikan tanggung jawab hablun min Allah dan hablun min an-
nas.10
2. Pondok pesantren sebagai lembaga sosial
Perubahan sosial dewasa ini bersifat massal, cepat, be continue,
bervariasi dan tidak mudah diramalkan ke mana arahnya. Perubahan-
perubahan itu meliputi berbagai kelompok masyarakat, secara kualitatif
10 Abdurrahman Mas’ud, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Op. Cit,
hlm. 92.
103
maupun kuantitaif dan bersifat global, serta menjarah ke berbagai sudut
dengan cukup merata dan mendalam.
Pondok pesantren al-Ittihad dalam fungsinya melayani masyarakat,
dapat pula dilihat dari upayanya dalam melayani masyarakat, terutama
kebutuhan pendidikan ketika masyarakat butuh ilmu pengetahuan, apalagi
ketika lembaga-lembaga pendidikan modern belum mampu menembus ke
pelosok-pelosok desa. Dengan fungsi sosialnya, pesantren al-Ittihad peka
dalam menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti
memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat, dan
sebagainya.
Dalam hal ini, pondok pesantren al-Ittihad berusaha mengubah
masa depan pesantren, bukan hanya mampu memproduksi kyai, ahli
dakwah, ahi hadits, ahli membaca kitab klasik (kitab kuning) dan lain
sebagainya yang berhubungan langsung dengan keagamaan. Namun lebih
dari itu, dengan perantara jalur pendidikan pesantren al-Ittihad diharapkan
mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berpengetahuan luas,
menguasai segala bidang-bidang pengetahuan dan mampu menyatukan
peran ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum melalui sekolah umum
yang berada di sekitar pesantren yang menyangkut kehidupan
bermasyarakat. Hal ini dapat penulis lihat perubahan-perubahan pondok
pesantren, pertumbuhan dan perkembangannya, di berbagai desa sekitar
pesantren.
Pesantren al-Ittihad dalam peranannya sebagai salah satu wadah
keagamaan yang ada di masyarakat Jungpasir, juga berperan serta, bahkan
kadang-kadang merupakan pendorong bagi tercapainya tujuan masyarakat
pesantren. Yakni menjadikan santri aktif dan kreatif, berdikari serta patuh
pada tuntunan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sebagai simbol
kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, berpengetahuan luas dan uswatun
khasanah bagi sekalian alam.
104
3. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
Dalam memberikan pelayanan kepada para santri, pondok
pesantren al-Ittihad menyajikan sarana-sarana bagi perkembangan
kemandirian para santri. Tumbuh dan berkembangnya pribadi muslim,
para santri dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sebelum masuk
pesantren, teman sesama santri, kontak dengan orang-orang sekitar
pesantren dan suasana pesantren. Pesantren diharapkan dapat mengatur
dan menyusun berbagai pengaruh ke arah yang positif bagi perkembangan
pendidikan para santri.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang
umumnya bersifat tradisional, tumbuh dan berkembang di masyarakat
pedesaan melalui suatu proses yang unik.11
Pondok pesantren al-Ittihad mampu mempengaruhi kehidupan
masyarakat di sekitarnya, bahkan pengaruhnya jauh melebihi wilayah
administrative desa-desa sekitarnya, bahkan pengaruhnya melintasi daerah
kabupaten. Pondok pesantren ini sebagai lembaga pendidikan tumbuh dari
dan dalam masyarakat untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat, di
samping fungsinya sebagai lembaga keagamaan, Karen motif, tujuan, serta
usaha-usahanya bersumber pada agama.
D. Implikasi Humanisme Religius Terhadap Kebudayaan di Pondok
Pesantren Al-Ittihad
1. Mengembangkan Budaya Kemandirian
Untuk mengetahui aspek-aspek dari watak mandiri yang dimilki
pesantren al-Ittihad, haruslah ditinjau lebih dahulu latar belakang
berdirinya pesantren al-Ittihad itu sendiri, baik yang bersifat histories,
kultural, maupun sosial ekonomis.
Perubahan fungsi kebudayaan ini menghasilkan gemarnya pula
dalam perubahan mendalam yang terjadi atas pola pendidikan agama dan
pendayagunaannya dalam kehidupan masyarakat Desa Jungpasir
11 Ibid, hlm. 120.
105
Kecamatan Wedung Kabupaten Demak. Kalau tadinya pendidikan yang
ada di pesantren al-Ittihad hanya menekankan pada penguasaan yang
cukup untuk kebutuhan beribadat intensif dalam mendekatkan diri kepada
Allah, dalam masa pnonjolan aspek syara’ itu pendidikan masa lalu
memiliki fungsi kemasyarakatan yang lebih luas, namun sekarang,
pesantren al-Ittihad juga mengajarkan pendidikan umum melalui
pendidikan yang ada di lingkungan pesantren yakni MTs (Madrasah
Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah). Di MTs dan MA mengajarkan
ilmu-ilmu umum yang bertujuan untuk melakukan transformasi cultural,
yang mana ilmu-ilmu tersebut tidak ada di dalam pendidikan pesantren al-
Ittihad.
Kisah Alm. K.H. Fauzi Noor yang mendirikan pesantren al-Ittihad
dengan sengaja di Jungpasir, bukti nyata dari kecenderungan untuk
menggunakan pendidikan di pesantren tersebut sebagai alat transformasi
kultural yang berlangsung secara perlahan tetapi menyeluruh.12
Watak mandiri yang dimiliki pesantren al-Ittihad dapat dilihat dari
dua sudut penglihatan yakni dari fungsi kemasyarakatan pesantren secara
umum dan dari pola pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.
Dilihat dari sudut fungsi kemasyarakatannya secara umum,
pesantren al-Ittihad adalah sebuah alternatif ideal bagi perkembangan
keadaan yang terjadi di luarnya (pendidikan umum). Sepintas pesantren al-
Ittihad berperan sebagai subkultural bagi kehidupan masyarakat sekitar,
tetapi hanya sebatas kemampuan pesantren tersebut.13
2. Menciptakan Hidup dalam Beragama
Humanisme religius yang ada di pesantren al-Ittihad,
mengimplikasikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang
mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendidikan yang mampu
mengembangkan pengetahuan dan penalaran, ketrampilan dan kepribadian
kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata nilai Islami
12 Hasil wawancara dengan Ustadz Umar pada tanggal 12 September 2004. 13 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKis, Cet.
I, 2001), hlm. 101.
106
bagi masyarakat sekitar, dengan kata lain mempunyai dampak dengan
keagamaan maupun kesosialan, sekaligus sebagai lembaga sosial di
pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya
dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup
dari segi rohaniyah maupun jasmaniyah.
Dalam memenuhi tugasnya sebagai lembaga pengabdi masyarakat,
pesantren berkewajiban menegakkan relevansi agama bagi kehidupan di
masa sekarang ini. Agama tidak cukup hanya dimanifestasikan dalam
rangkaian upacara keagamaan belaka, seperti sering dipahami kebanyakan
orang dalam mengagungkan arti agama itu sendiri dalam kehidupan.
Oleh karena itu, pesantren al-Ittihad mengarahkan kehidupan
beragama pada tujuan menciptakan seperangkap sikap hidup di kalangan
para santri, yakni sebagai berikut:
a. Memiliki rasa kasih kepada sesama makhluk dalam arti luas dan
dinamis. Dengan rasa kasih sayang ini tiap santri harus merasa terlibat
pada tugas mengangkat derajat sesama manusia dari keterbelakangan
dan kekurangan, sehingga dengan rasa kasih itu pula nantinya dapat
ditegakkan keadilan sosial dalam arti perataan kesejahteraan dan
penghormatan.
b. Berpegang pada nilai-nilai menetap yang mampu membedakan antara
yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara
mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Demikian pula,
dengan nilai-nilai menetap itu pesantren al-Ittihad akan mampu
meninjau dengan jernih langkah-langkah perubahan yang harus
diambilnya, tanpa merusak sendi-sendi kehidupannya sendiri secara
keseluruhan.
c. Mampu mengatur kehidupan sendiri. Kebutuhan hidup duniawi sering
kali tidak mengindahkan baik atau buruknya cara yang dipergunakan
guna memperoleh sesuatu yang diinginkannya itu. Dengan memiliki
kesadaran akan kerusakan besar yang akan diderita oleh watak hidup
dari penggunaan cara-cara tidak wajar dalam pemenuhan kebutuhan,
107
seorang ustadz dan santri akan mampu mendasarkan pola hidupnya
atas pemenuhan kebutuhan esensial yang sesuai dengan kemampuan
yang ada.
d. Menyadari kemampuan serba terbatas dari manusia sebagai makhluk,
bila dihadapkan pada keagungan kekuasaan Penciptanya. Dalam
jangka panjang, kesadaran ini akan membawa seorang santri pada
kemampuan memperlakukan ilmu pengetahuan dan hasil yang akan
dibawakannya secara wajar dan tidak berlebihan. Melalui pendekatan
yang berdasarkan keimanan pada kekuasaan Tuhan, ia akan merasa
adanya keterlibatan dengan soal-soal yang jauh lebih penting daripada
kebutuhan dan tempatnya sendiri dalam kehidupan. Keterlibatan ini
akan membawanya pada sikap untuk menghargai, bahkan kalau perlu
memperjuangkan, upaya untuk membebaskan manusia (santri) dari
belenggu kemelaratan, kenistaan, ketidakadilan dan penindasan.
Manusia adalah makhluk yang mulia, yang harus diperlakukan sesuai
dengan kemuliannya itu, sehingga harus ditunjang setiap upaya untuk
menaikkan derajatnya. Oleh karena itu, sikap demikian dalam jangka
panjang berarti timbulnya upaya untuk membebaskan santri dari
belenggu eksploitasi tidak wajar oleh sesama santri.14
3. Mengembangkan Tradisi Kehidupan Pesantren
Dengan hal ini, mengimplikasikan tradisi kehidupan pesantren al-
Ittihad tetap menjaga norma-norma agama serta sosial. Dapat penulis lihat
dalam tradisi sehari-hari yakni rasa menghormati kyainya dengan
panggilan yai dan baik senior maupun yunior memanggil dengan
panggilan “kang”. Hal ini sering dijumpai penulis ketika melakukan
observasi di pesantren al-Ittihad Jungpasir Wedung Demak.
Saat santri harus mengabdi kepada masyarakat, mereka
merumuskan sikapnya tawadhu’ terhadap kyai serta masyarakat sejak
masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren al-Ittihad itu
sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat. Atau
14 Ibid, hlm. 87-88.
108
dapat juga dikatakan bahwa kehidupan di pesantren adalah miniatur
kehidupan masyarakat, sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas
mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau
perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah
dan pelayanan masyarakat.
Pada dasarnya para santri tahu dirinya sebagai makhluk sosial yang
di dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain
dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun tidak bisa lepas dari
keterkaitan mereka dalam berbagai konteks sosial, di mana mereka berarti
mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan terhadap
dirinya sendiri dan orang lain maupun terhadap Allah SWT.
Dalam hal tersebut pesantren al-Ittihad menekankan urgennya arti
tanggung jawab. Tangung jawab terhadap dirinya sendiri berarti keharusan
meningkatkan kemandirian untuk memusatkan dirinya pada pewarisan
bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung
jawab terhadap orang lain merupakan sikap dan perilaku yang rasional di
dalam berkomunikasi dengan santri lain di mana kehidupan santri secara
lahiriyah selalu tergantung padanya.
Di samping ketiga aspek tersebut, humanisme religius berimplikasi
pada beberapa aspek yang ada di pesantren al-Ittihad di antaranya adalah:
a. Aspek Kyai
Kyai dalam pesantren sebagai pemeran penting dalam masyarakat
pesantren. Secara konvensional, kyai paling tidak harus memiliki tiga
kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi dalam hal ini kitab-kitab klasik,
antusias dalam pengembangan diri dan penuh kasih sayang dalam
mengajar dan mendidik. Dalam perspektif humanisme religius, kyai tidak
dibenarkan memandang santri dengan sebelah mata, tidak serius dalam
menangani perkembangan santrinya, bahkan memandang rendah
kemampuan santri.
109
Pada awal berdirinya pesantren, ada asumsi bahwa kyai selalu benar. Akan
tetapi dengan adanya perkembangan humanisme religius di pesantren,
asumsi tersebut menghilang secara periodic meskipun hanya beberapa
pesantren yang ada di Indonesia, khususnya di pesantren al-Ittihad.
b. Aspek Santri
Dalam kitab Ta’limul Muta’alim, ada 6 prasyarat bagi Talabul ‘Ilmi, yakni
modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan dan
kecerdasan.15 Keenam prasyarat tersebut telah ditawarkan oleh Imam al-
Zarnuji pada abad ke-13. Selama ini banyak pihak yang menganggap
prasyarat mencari ilmu tersebut kuno. Padahal, kritik yang hanya
melontarkan kata kuno tanpa pembahasan dan argumen yang mendalam
hanya terjebak pada logika yang tidak benar alias bias, atau apriori.
c. Aspek Materi
Pada aspek ini, bersifat universal, yakni aspek materi yang dikembangkan
di pesantren al-Ittihad, khususnya materi keagamaan. Penulis berpendapat
bahwa materi yang ada di pesantren al-Ittihad menekankan pada segi
agama dan akhlak. Tetapi dalam mengaplikasikan penekanan tersebut
masih kurang, sehingga masih banyak santri sering melakukan perbuatan
ghosob (memakai hak orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya) bahkan
ada yang mencuri barang milik santri lain, akibatnya merugikan pihak lain.
Dengan adanya kekurangan materi tersebut, diharapkan pesantren al-
Ittihad lebih menekankan materi tentang akhlak.
d. Aspek Evaluasi
Secara universal, evaluasi yang dilakukan oleh pesantren al-Ittihad hanya
elemen keintelektualan santri melalui penilaian yang diberikan dari hasil
imtihan (test akhir). Selama ini, evaluasi terhadap santri hanya terbatas
berorientasi pada ingatan, hafalan nadhoman. Hal ini mengimplikasikan
pada sikap afektif dan psikomotorik kurang berkembang.
15 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai
Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 203-204.
110
Dengan evaluasi yang ada, sebagaimana konsep humanisme religius
pesantren, baik santri maupun ustadz dipandang sebagai entitas individual
yang mempunyai tanggung jawab vertikal dan horisontal, sehingga
muncul rasa kasih sayang terhadap sesama.16
Singkatnya, pesantren al-Ittihad bisa dekat dengan masyarakat bahkan
bisa berperan dalam kehidupan keseharian sebagai bukti cinta kemanusiaan.
Masyarakat luas, khususnya masyarakat tradisional telah menyaksikan dan
ikut menikmati budaya thalab al-ilmi dari pesantren-pesantren salaf. Karena
ini merupakan model pendidikan yang terjangkau oleh setiap penduduk,
termasuk oleh warga negara yang serba kekurangan sekalipun. Integrasi
pesantren al-Ittihad dengan masyarakat sekitarnya sungguh sangat mengakar
dan membudaya dari awal berdiri sampai sekarang, hal inilah yang disebut
nilai-nilai humanisme religius yang selalu menyatu baik dari segi keagamaan
maupun segi kemasyarakatan.
Dalam konteks pendidikan pesantren, humanisme religius yang ada di
pondok pesantren al-Ittihad berjalan sesuai dengan style dan karekteristik
pesantren itu sendiri. Artinya, pesantren al-Ittihad tumbuh dan berkembang
dengan tatanan kemanusian atau sangat mengedepankan relationship antar
masyarakat. Nampaknya, pesantren al-Ittihad ini dengan segala komponen
yang ada tidak pernah terpisah dengan masyarakat. Oleh karenanya,
humanisme religius versi pesantren ditekankan pada tiga aspek: masalah
kemanusiaan, yaitu: penghormatan kepada Kyai, cinta terhadap lingkungan
pesantren dan cinta kepada santri.
Dalam hal ini, K.H. Fauzi Noor, Alm. tidak membelenggu santri
dengan kata lain memaksakan kehendak, namun memberi kebebasan santri
sesuai dengan hak sebagai anak didik. Jika demikian dapat diimplementasikan
dengan baik, pendidikan humanisme religius di pesantren al-Ittihad akan lebih
maju. Selama ini, banyak santri memandang bahwa di dunia pesantren al-
16 Lihat Abdurrahman Mas’ud, Ibid, hlm. 213.
111
Ittihad tidak ada kebebasan dalam pola pikir santri, karena pada masa dahulu
kyai adalah selalu benar.
Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Tuhan hanya agar
menyembah (mengabdi) kepada-Nya, memang manusia mengerti tentang hal
tersebut, akan tetapi manusia hanya memandang sebelah mata. Dapat penulis
pahami bahwa dalam menyembah atau cinta kepada Tuhan itu tidak hanya
bersifat spiritual (vertikal) melainkan universal, baik yang bersifat vertical
maupun horisontal.
Melihat fenomena yang ada, penulis dapat menganalisa bahwa
humanisme religius mempunyai implikasi terhadap budaya santri, seperti
halnya penghormatan santri terhadap kyai dan keluarganya, rasa cinta kyai
terhadap santri, cinta pada lingkungan17. Di pesantren, pendidikan ini sudah
menjadi hukum alam, maksudnya sudah menjadi tradisi para santri di
pesantren. Pendidikan humanisme religius ini juga diterapkan oleh kyai ketika
beliau masih hidup, memang dari pribadi beliau sendiri adalah bersifat
humanis, senantiasa memberi kebebasan terhadap santrinya untuk mencari jati
dirinya masing-masing.
Tidak ada dimensi humanistik dalam penindasan, juga tidak ada proses
humanisasi dalam liberalisme yang kaku. Namun liberalisme tidak bisa
menguasai kesadaran manusia, jika ia terisolasi dari dunia luar. Pembebasan
hanya terjadi dalam sejarahnya masing-masing, pada zaman dulu pesantren
memang mengenal sami’na wa atha’na, sehingga para santri merasa
terbelenggu, akan tetapi dengan adanya transformasi pendidikan pesantren,
maka pesantren menemukan makna sami’na wa atha’na dengan sebenarnya.
Pada dasarnya, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai
sebuah kewajiban humanis dan liberal, di satu sisi, dengan dominasi dan
dehumanisasi, di sisi yang lain, adalah bahwa dehumanisasi merupakan proses
pemindahan ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan proses
pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Memang keduanya
17 Cinta di sini bukan sekedar rasa sayang, namun juga mempunyai rasa memiliki (loyalitas
tinggi), sehingga dalam hubungan sehari-hari tetap harmonis dan humanis.
112
saling berlawanan, yang otomatis juga menciptakan prosedur yang juga
berlainan, yang berkisar pada hubungan antara kesadaran manusia dan
lingkungannya.
Manusia, dalam hal ini adalah santri tidak lahir sebagai makhluk
beragama, seperti ia pun tidak merupakan makhluk kemasyarakatan dan
makhluk bermoral sejak lahir. Sebaliknya ia harus berkembang menjadi
makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk etis.
Pada dasarnya pendidikan yang ada di pesantren al-Ittihad sudah
mengalami transformasi yakni dari penindasan menuju pembebasan.
Pesantren ini sejak dulu sudah menerapkan pendidikan humanisme religius,
namun oleh santri sendiri yang merasa segan kepada kiainya dan selalu
menghormatinya, sehingga pendidikan tersebut tidak dapat berjalan dengan
baik, akan tetapi dengan adanya transformasi pada masa sekarang, pendidikan
tersebut dapat diaplikasikan dengan baik. Pendidikan humanisme religius di
pesantren dapat kita lihat ketika kiai memberi fatwa kepada santrinya, agar
menanyakan apa yang belum mereka ketahui tentang agama melalui
musyawarah atau bahtsul masail.
Dari uraian di atas, penulis mempunyai pendapat bahwa falsafah
pendidikan pesantren bertujuan untuk pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam perkembangan
selanjutnya, untuk mencetak santri menjadi tenaga-tenaga terampil yang
mampu terjun ke bidang kemasyarakatan dengan baik, harus dibekali dengan
pengetahuan yang luas. Karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan
semakin lama semakin berkembang, sehingga apresiasi terhadap ilmu menjadi
lebih tinggi. Ini merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong pesantren
secara bertahap, mengubah struktur dan sistem dalam pendidikannya.
Transformasi tersebut tidak secara radikal untuk mengubah dan
menghapus sistem serta struktur pendidikan yang telah menjadi dinamika
pesantren, namun lebih menekankan pada pemeliharaan cara lama yang masih
relevan dan pengembangan sesuai dengan cara baru yang lebih baik. Lama
kelamaan visi pesantren terhadap pengetahun menjadi semakin mantap.
113
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak lagi hanya berorientasi pada
pengetahuan keagamaan, melainkan lebih luas lagi, yakni pada bidang-bidang
pengetahuan umum. Selain itu, agar pengembangan pesantren lebih efektif
dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih
baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih pada
cara-cara lama yang ketinggalan zaman –kuno-, maka selama itu pula
pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya.
Guna pengembangan ilmu pengetahuan secara luas, yang menjadi
pembahasan di sini adalah, pesantren al-Ittihad menempati posisi yang sangat
strategis dan berperan karena posisinya sebagai lembaga pendidikan yang
langsung berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun untuk menggariskan
suatu konsep yang tepat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di masa
yang akan datang, pesantren masih harus mempertimbangkan beberapa
alternatif dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang
akan datang.
Humanisme religius pesantren tidak bisa dipisahkan dari pendidikan
Islam liberal. Secara spesifik, humanisme religius memang belum pernah
diwacanakan di Indonesia, akan tetapi prototype humanisme religius, disadari
atau tidak, sama seperti gerakan Islam liberal yang ada di Indonesia.
Dari uraian-uraian di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwa
pendidikan humanisme religius yang ada di pesantren al-Ittihad berpengaruh
terhadap tradisi pesantren, sehingga mampu mengembangkan kepribadian
serta kemandirian santri. Menurut penulis, dalam pesantren al-Ittihad
mempunyai religiusitas tinggi, sehingga dalam kehidupan yang riil selalu
bertanggung jawab sebagai pribadi muslim sejati.