bab iv 3100027 -...

30
BAB IV ANALISIS DATA Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah berbentuk diskriptif kualitatif, yakni penelitian dengan cara memaparkan dalam bentuk kualitatif terhadap obyek yang didasarkan pada kenyataan dan fakta-fakta yang tampak pada obyek tersebut. Sehingga untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan digunakan bentuk analisis diskriptif kualitatif yaitu menganalisis data dengan berpijak pada fenomena-fenomena yang kemudian dikaitkan dengan teori atau pendapat yang telah ada. Sudah lama sebagian manusia tertarik pada fenomena kehidupan beragama yang terjadi pada masyarakat manusia pada umumnnya dan pada masyarakat pesantren pada khususnya. Berbagai pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah: Mengapa manusia memeluk agama? Mengapa agama begitu lestari dan selalu dibutuhkan manusia? Bagaimana agama bisa menjadi acuan moral bagi segala tindakan manusia (human frame of reference of action)? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, sesuai dengan sudut pandang yang penulis gunakan. Yaitu bahwa sebuah agama merupakan simbol kehidupan bagi pemeluknya yang mana agama tersebut sebagai pengontrol norma-norma yang dipandang kurang berkenan oleh manusia lain. Contoh kecil, seperti dalam berbusana, jika berbusana didasari agama, maka busana tersebut dipandang orang lain terkesan sopan dan rapi. Para ahli sosiologi agama memandang agama sebagai suatu pengertian yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut pandang individual. 1 Hal itu berarti humanisme religius tidak selalu membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tertentu, tetapi semua agama dan semua daerah tanpa memihak dan memilah-milah. 1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet, I, 2000), hlm. 47.

Upload: vuongkiet

Post on 03-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB IV

ANALISIS DATA

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah

berbentuk diskriptif kualitatif, yakni penelitian dengan cara memaparkan

dalam bentuk kualitatif terhadap obyek yang didasarkan pada kenyataan dan

fakta-fakta yang tampak pada obyek tersebut. Sehingga untuk menganalisis

data yang telah dikumpulkan digunakan bentuk analisis diskriptif kualitatif

yaitu menganalisis data dengan berpijak pada fenomena-fenomena yang

kemudian dikaitkan dengan teori atau pendapat yang telah ada.

Sudah lama sebagian manusia tertarik pada fenomena kehidupan

beragama yang terjadi pada masyarakat manusia pada umumnnya dan pada

masyarakat pesantren pada khususnya. Berbagai pertanyaan yang muncul di

benak penulis adalah: Mengapa manusia memeluk agama? Mengapa agama

begitu lestari dan selalu dibutuhkan manusia? Bagaimana agama bisa menjadi

acuan moral bagi segala tindakan manusia (human frame of reference of

action)? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas, sesuai dengan sudut

pandang yang penulis gunakan. Yaitu bahwa sebuah agama merupakan simbol

kehidupan bagi pemeluknya yang mana agama tersebut sebagai pengontrol

norma-norma yang dipandang kurang berkenan oleh manusia lain. Contoh

kecil, seperti dalam berbusana, jika berbusana didasari agama, maka busana

tersebut dipandang orang lain terkesan sopan dan rapi.

Para ahli sosiologi agama memandang agama sebagai suatu pengertian

yang luas dan universal, dari sudut pandang sosial dan bukan dari sudut

pandang individual.1 Hal itu berarti humanisme religius tidak selalu

membicarakan suatu agama yang diteliti oleh para penganut agama tertentu,

tetapi semua agama dan semua daerah tanpa memihak dan memilah-milah.

1 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet, I, 2000), hlm.

47.

85

A. Analisis Terhadap Pendidikan Humanisme Religius di Pondok Pesantren

Al-Ittihad Jungpasir Wedung Demak

Di dalam proses pengajaran di suatu lembaga pendidikan tidak akan

terlepas dari namanya materi pendidikan yang akan digunakan sebagai salah

satu sarana pencapaian tujuan pendidikan. Materi pendidikan tersebut

mencakup keseluruhan bahan pelajaran yang terdiri dari berbagai cabang

keilmuan. Akan tetapi dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya melihat dari

sisi nilai-nilai humanisme religius.

Kyai di pondok pesantren al-Ittihad menempati kedudukan khusus,

yaitu: 1) guru yang sangat dihormati, 2) raja dari suatu kerajaan kecil di mana

kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam

kehidupan pesantren dan lingkungannya, 3) dengan kelebihan pengetahuannya

dalam Islam – senantiasa lebih mampu memahami keagungan Tuhan dan

rahasia alam-.2

Pondok pesantren Al-Ittihad Jungpasir Wedung Demak merupakan

sistem pendidikan yang berciri khusus, yakni: 1) adanya hubungan yang akrab

antara santri dengan kyai, 2) santri taat dan patuh pada kyainya, 3) para santri

hidup secara mandiri dan sederhana, 4) adanya semangat gotong royong

dalam suasana penuh persaudaraan, 5) para santri terlatih hidup berdisiplin

dan tirakat.

Dengan demikian nampak sekali bahwa pesantren al-Ittihad banyak

memberikan kontribusi humanistis sebagai pengejawantahan dari hablun min

Allah dan hablun min an-nas. Semua hal tersebut di atas menurut penulis

perlu ditata kembali dengan menggunakan pemikiran secara mendalam dalam

rangka membangkitkan ilmu agama untuk mengatasi atau meminimalisasi

kekurangan masa lalu.

Jika konsep ini (pendidikan humanisme religius) diimplementasikan

dalam praktek dunia pendidikan pesantren, yang menekankan pada akal sehat

atau common sense, individualisme menuju kemandirian dan tanggung jawab

2 Depag RI, Pola Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pondok Pesantren, (Jakarta: Proyek

Peningkatan Pondok Pesantren, 2001), hlm. 10.

86

sosial, thirst for knowledge, kontekstualisme yang lebih mementingkan fungsi

dari simbol serta keseimbangan antara reward dan punishment, maka akan

menghasilkan suatu tatanan masyarakat yang ideal berdasarkan ajaran Islam

dengan menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia

dengan manusia lain, sehingga akan menuju masyarakat madani.

Di sini penulis dapat menjelaskan tentang pendidikan humanisme

religius di pondok pesantren al-Ittihad, di antaranya adalah:

1. Akal Sehat

Pesantren al-Ittihad Jungpasir yang menjadi obyek dalam tulisan

penulis, dalam proses pendidikan menggunakan akal yang sehat,

penulis dapat melihat fenomena tersebut saat para santri berdiskusi atau

dalam istilah pesantrennya takror yaitu mengkaji sebuah kitab yang

menjadi kurikulum pesantren al-Ittihad secara berkelompok sesuai

dengan kelasnya masing-masing, dalam takror ini mencerminkan akal

sehat, karena tidak saling menjatuhkan dan tidak mempertahankan

pendapatnya masing-masing, akan tetapi dalam mengambil sebuah

keputusan menggunakan sikap kekeluargaan. Adapun takror ini

dilakukan setiap hari ba’da Isya’ (setelah shalat jama’ah Isya’).

2. Individualisme Menuju Kemandirian.

Tidak diragukan lagi, bahwa pesantren al-Ittihad Jungpasir ini berdiri

dengan jerih payah K.H. Fauzi Noor Alm., ketika beliau masih mondok

(mencari ilmu di pondok pesantren Lasem yang diasuh oleh K.H.

Mansur) pada mulanya mendirikan sebuah mushalla, selain untuk

berjama’ah juga untuk menyampaikan siraman rohani kepada

masyarakat Jungpasir, karena beliau mendapat amanat dari K.H.

Mansur dari Lasem untuk mengembangkan ilmunya kepada

masyarakatnya.

Santri yang ada di pesantren al-Ittihad mempunyai kesadaran untuk

membangun kemandiriannya, karena mereka sadar akan jauh dari orang

tua, mau atau tidak mau mereka harus mandiri dalam segala

sesuatunya, baik belajar, hidup di masyarakat pesantren dan

87

kemandirian yang lain. Semisal mempunyai kemandirian untuk

memasak, meskipun secara kolektif.

Selain itu pondok pesantren al-Ittihad Jungpasir juga mempunyai

kemandirian dalam mengembangkan kurikulumnya, pada dasarnya

kurikulum yang digunakan di pesantren tersebut merupakan kebutuhan

santri dalam menghadapi permasalahan masyarakat yang sedang

berkembang, dalam hal ini pesantren al-Ittihad lebih memfokuskan

pada kajian hukum, karena al-Ittihad merupakan pondok pesantren

syari’at yakni mengkaji tentang hukum permasalahan yang sedang

dihadapi masyarakat, beda dengan pesantren thariqat yang mengkaji

tentang tasawuf untuk menuju ke-ma’rifat-an kepada Allah serta

mempunyai ajaran untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

3. Keseimbangan Antara Reward dan Punishment.

Hal ini jelas, karena santri dalam mencari ilmu atau mengkaji ilmu

kitab-kitab kuning untuk ngalaf barokah dan syafa’at dari kitab yang

dikaji tersebut. Dalam hal ini, barokah serta syafa’at merupakan reward

sedangkan tata tertib yang ada di pondok pesantren ini sebagai

punishment yang mana tata tertib tersebut berisi pelanggaran-

pelanggaran dan sanksi-sanksi. Sehingga dalam akivitas sehari-hari

tidak semaunya sendiri, harus ada batasan-batasan tertentu. Dalam

pelaksanaan pendidikan, pesantren al-Ittihad mempunyai keseimbangan

dalam memberi reward dan punishment kepada masyarakatnya (para

santri). Ketika proses belajar mengajar, seorang ustadz memerintahkan

kepada santrinya supaya membaca kitab yang dipelajarinya, akan tetapi

santri tidak mampu membacanya dengan benar, sehingga wajar ustadz

memberi hukuman agar santri yang bersangkutan supaya maju ke

depan kelas untuk membacanya kembali. Hal inilah yang disebut

dengan keseimbangan antara reward dan punishment. Di sisi lain santri

mendapatkan barokah dan syafa’at dari kitab yang dikaji serta

mengetahui tentang kitab tersebut, sedangkan sisi lain santri harus

mengikuti apa yang diperintahkan ustadz kepada santrinya.

88

4. Membela Santri dengan Reward

Nilai-nilai humanisme religius yang ada di pesantren al-Ittihad tampak

jelas ketika seorang kyai atau ustadz dalam memberi suatu materi, di

dalam proses tersebut kyai memberi fatwa yang berupa ijazah, ijazah

yang dimaksud adalah sebuah perbuatan yang dilakukan santri untuk

mendapatkan ketenangan dalam berpikir (dalam bahasa santrinya

padang ati). Dari hal inilah seorang kyai atau ustadz memberi reward

berupa ijazah kepada santrinya agar seorang santri lebih tekun dalam

belajar. Dengan barokah ijazah tersebut diharapkan santri dapat

mengembangkan pengetahuannya serta dapat menjadi badal dari kyai

atau ustadz.

Singkatnya, apabila pesantren al-Ittihad menginginkan dekat dengan

masyarakat bahkan bisa berperan dalam kehidupan keseharian sebagai bukti

cinta kemanusiaan, seperti yang dikemukakan penulis di atas, maka ada

beberapa hal yang harus dikembangkan dalam pesantren tersebut, di antaranya

adalah:

1. Dimensi kebudayaan (culture).

Dalam konteks ini watak mandiri baik pesantren al-Ittihad maupun

para santri yang merupakan ciri kultural yang harus dipertahankan,

meskipun harus dijaga agar tidak berkembang ke arah pengucilan diri.

Oleh karena itu solidaritas spontan yang tidak terarah perlu ditingkatkan

menjadi solidaritas yang terorganisir dalam suatu hubungan akademis

yang fungsional antar pesantren. Yang menjadi kajian budaya di sini

adalah kepedulian santri yang satu dengan lainya. Santri yang ada di

pesantren al-Ittihad mempunyai kebudayaan untuk saling membantu dalam

berbagai hal positif, seperti memasak secara kolektif, gotong royong dan

lain sebagainya.

2. Dimensi pendidikan (edukatif).

Pesantren al-Ittihad dilihat dari segi output pendidikannya, secara

tradisional proses pendidikan di pesantren tersebut menghasilkan

89

pimpinan keagamaan yang berorientasi pada masyarakat desa setempat.

Makin berkembangnya diferensiasi dan spesialisasi serta adanya tuntutan

dan kebutuhan baru dalam proses pembangunan, makin berkembang pula

kebutuhan masyarakat. Peran pesantren akan lebih besar dan kontribusinya

pada proses transformasi sosial kultural akan makin bermakna bila ia dapat

menjawab tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan baru.

3. Dimensi sosial (social).

Dalam dimensi sosial ini, pesantren al-Ittihad dapat dikembangkan

menjadi lembaga pusat kegiatan belajar masyarakat Jungpasir yang

berfungsi menyampaikan pengetahuan baru meskipun hanya sebatas

kemampuan masyarakat pesantren setempat serta memberikan pelayanan

sosial dan keagamaan. Namun pada sisi yang lain, masyarakat bisa sebagai

“laboratorium sosial” yang digunakan pesantren al-Ittihad sebagai alat

eksperimentasi untuk pengembangan masyarakat. Maka dengan adanya

hal ini bisa tercipta hubungan timbal balik antara pesantren dan

masyarakat yang bersifat simbiose mutualistis.

Dari ketiga dimensi tersebut menunjukkan bahwa, pesantren sangat

berhubungan erat dengan masyarakat. Cita-cita untuk mengabdi kepada

masyarakat sebagai pendidik agama dengan berdakwah bagi masyarakat,

merupakan aktifitas dan rutinitas kyai yang tidak hanya mengajarkan Islam di

dalam pesantren, tetapi juga kepada masyarakat luas di luarnya. Selain kyai,

para santri senior juga sering melakukan hal yang sama sebagai bukti bahwa

pesantren berperan kepada masyarakat dan sekaligus ciri utama thalab al-ilmi

bagi masyarakat santri.

Menurut penulis, ketiga hal tersebut -bukan sebagai idealisme paten-

memposisikan pesantren sebagai pranata sosial yang hanya berperan religius

murni saja akan tetapi di sisi lain pesantren juga mengembangkan sosial. Di

mana militansi terhadap nilai-nilai religiusitas terkadang melahirkan fanatisme

90

buta dan mendehumanisasikan manusia. Menurut Zaenal Abidin Anwar,3

proses dehumanisasi dapat saja mengubah manusia modern menjadi semata-

mata budak teknologi.

Demikian pula tidak ada kesatuan bentuk dan cara yang berlaku bagi

semua pesantren, melainkan amat ditentukan oleh kyai sendiri yang

memegang pimpinan serta ditentukan oleh masyarakat lingkungannya yang

menjadi pendukung pesantren. Selanjutnya pertumbuhan pesantren dan

penyebarannya sampai ke pelosok pedesaan, adalah merupakan bagian yang

tidak terpisahkn dari penyiaran agama Islam.4

Jadi, tujuan pendidikan pesantren al-Ittihad adalah membentuk

manusia yang memiliki kesadaran tinggi bahwa ajaran Islam yang bersifat

menyeluruh. Selain itu, produk pesantren ini diharapkan memiliki kemampuan

tinggi untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-

tuntutan hidup dalam konteks ruang dan waktu yang ada, sehingga mampu

menembus kemajuan pada era globalisasi dalam bidang ilmu agama yang

terpadu.

Ajaran Islam khususnya pendidikan yang ada di pesantren al-Ittihad,

humanisme tidak terpisah dari hablun min an-nas, karena manusia sebagai

agen Tuhan di bumi atau khalifatullah yang memiliki seperangkat tanggung

jawab. Dalam hal ini yang paling penting adalah tanggung jawab sosial dan

tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Dalam bahasa asing, sikap-sikap

ini disebut philanthropic, humane, atau civic minded. Kaharusan seseorang

untuk berbuat baik kepada orang lain terlihat dari ajaran Rasulullah. Maka

dalam hal ini hubungan horizontal ternyata paralel dengan hubungan vertikal.

Dalam agama Islam, humanisme tidak mengenal sekularisme karena tidak ada

sekularisme dalam Islam. Dengan demikian, pembahasan humanisme dalam

Islam dengan sendirinya adalah humanisme religius.

3 Zaenal Abidin Anwar, Problem Managerial Pesantren dalam Peradaban Modern. dalam

Abdul Munir Mulkhan (et.al), Religiusitas Iptek; Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 210.

4 Sadikin Sugihwaras, Pondok Pesantren dan Pembangunan Pedesaan, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), hlm. 61.

91

Seharusnya, di antara para santri membangun saling pengertian yang

lebih baik di antara dunia yang didasarkan tanggung jawab yang saling

pengertian. Untuk mewujudkan harmonis antara santri dengan pengasuh

(kyai), masyarakat, serta teman santri sendiri, mereka harus menghindarkan

diri interes-interes pribadi. Sehingga dengan adanya saling pengertian,

tanggung jawab baik tanggung jawab individu maupun kelompok akan

terwujud nilai humanisme religius.

Kendati memiliki pandangan sedemikian rupa mengenai asketisisme

dan ketuhanan, humanisme tidak memiliki tokoh yang anti agama.

Kecenderungan untuk membela nilai dan kebebasan manusia telah mendorong

kaum humanis untuk berdiskusi mengenai Tuhan, kekuatan-Nya, serta

masalah-masalah kontemporer mengenai ruh, keabadian ruh, dan kebebasan

ruh yang biasanya tetap dikemukakan dengan tipe-tipe tradisional abad-abad

pertengahan dan terelimitasi oleh paradigma masa itu.

Pondok pesantren Al-Ittihad adalah salah satu lembaga pendidikan

keagamaan yang berperan sangat besar dalam pengembangan masyarakat,

terutama pada masyarakat Jungpasir. Sehingga pada masyarakat biasanya

pemebntukan masyarakatnya diwarnai oleh keberadaan pondok pesantren Al-

Ittihad. Dan di pondok pesantren tersebut telah mempunyai tata tertib, di mana

tata tertib tersebut disesuaikan dengan kehidupan sehari-hari para santri,

sehingga akan terbangunlah kehidupan yang islami, dinamis, kreatif

berdasarkan ukhuwah Islamiyah.

Peranannya di masyarakat sangat besar. Namun sejalan dengan

perkembangannya, maka peran pondok pesantren ini pun meluas. Tidak hanya

bergerak di bidang pendidikan agama saja. Tetapi juga dalam bidang

pemberdayaan masyarakat, terutama sosial budaya. Karena keberadaan

pesantren ini, biasanya berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung

terhadap pembentukan watak masyarakat di desa tersebut.

Dalam pondok pesantren Al-Ittihad sebagaimana telah dijelaskan pada

bab sebelumnya, bahwa pendidikan humanisme religius di pondok pesantren

al-Ittihad didasarkan pada kehidupan pesantren sehari-hari, baik hubungan

92

santri dengan kyai termasuk keluarga kyai (ndalem) maupun santri dengan

masyarakat. Sehingga dari hubungan tersebut, dapat menciptakan hubungan

humanis yang dilandasi dengan agama.

1. Prinsip-Prinsip dalam Pendidikan pesantren al-Ittihad

Bertitik tolak dari sistem pendidikan pada bab sebelumnya, maka dalam

kegiatan pembelajaran di pesantren al-Ittihad prinsip-prinsip umum belajar

dan motivasi yang diterapkan pada umumnya meliputi:

a. Prinsip kebermaknaan

Prinsip ini memiliki arti bahwa para santri akan mempelajari sesuatu hal

apapun adalah jika sesuatu itu bermanfaat atau bermakna bagi

kehidupannya baik untuk masa kini maupun untuk masa mendatang,

baik bagi kepentingan hidupnya sendiri maupun untuk kepentingan

masyarakatnya. Dengan kata lain salah satu faktor yang mendorong atau

memotivasi santri untuk belajar adalah adanya manfaat praktis dari

sesuatu yang dipelajarinya itu dalam kehidupan. Oleh karena itu, di

pesantren al-Ittihad biasanya seorang kyai dalam mengajarkan suatu

materi pelajaran kepada para santrinya melakukan:

��Menghubungkan pelajaran yang beliau berikan dengan minat dan

nilai-nilai santri.

��Menghubungkan pelajaran dengan kehidupan masa depan para

santri.

Dari uraian tersebut dapat penulis ambil benang merah bahwa kyai

dalam memberi pelajaran menggunakan metode pemeberian reward,

yang mana reward tersebut berupa rasa peduli kasih tentang masa depan

santrinya.

b. Prinsip motivasi

Prinsip ini menuntut agar para ustadz memotivasi para santrinya agar

lebih banyak lagi mempelajari sesuatu dengan cara penyajian yang

disusun sedemikian rupa sehingga fatwa-fatwa ustadz terbuka bagi

santri. Untuk itu para ustadz di pesantren al-Ittihad Jungpasir

melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

93

��Menjelaskan kepada para santri tentang tujuan-tujuan pembelajaran

yang jelas sehingga segala sesuatu yang diharapkan oleh kyai dapat

dimengerti oleh para santrinya.

��Menghindari segala penjelasan yang dapat mengurangi minat belajar

para santri.

��Memberikan kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-

hal yang belum dimengerti atau belum jelas.

c. Kebersamaan

Dalam pesantren al-Ittihad dikarenakan kehidupan santri senantiasa

berada dalam kehidupan sosial yang intens, maka dalam kegiatan

belajarpun mereka akan melakukannya bersama-sama. Misalnya

sewaktu ditugaskan untuk menghafalkan bait-bait nadham al-fiyah,

mereka akan melakukannya secara bersama-sama di dalam kelas

masing-masing, demikian juga ketika muthala’ah (menelaah materi

yang sudah atau akan dipelajari) suatu kitab, mereka akan

melakukannya secara berdiskusi yang disebut takror.

2. Komunikasi Interaktif Kyai dengan Santri

Salah satu kelebihan pendidikan humanisme religius di pesantren

dibandingkan pendidikan lain adalah adanya hubungan yang akrab dan

ersifat khusus humanis antara kyai atau ustadz dengan orang tua atau

keluarga santri dan dengan para santri itu sendiri. Seorang calon santri

datang ke pesantren al-Ittihad umumnya diantarkan oleh kedua orang tua

atau keluarganya, kemudian dititipkan atau dipasrahkan secara langsung

kepada kyai atau ustadz untuk dididik di pesantren tersebut. Hubungan

semacam itu tidak hanya ketika penyerahan, melainkan dalam banyak

peristiwa baik dalam pendidikan di pesantren al-Ittihad maupun di luar.

Sementara sntri itu pun hidup bersama kyai atau ustadz setiap hari dalam

kehidupan sebagai bapak dan anak dalam pesantren.

Hubungan akrab ini menciptakan suasana pembelajaran yang sangat intens

dan familier. Pembelajaran yang terjadi tidak hanya terbatas pada

tranformasi ilmu, melainkan juga pada seluruh perilaku kehidupan. Dalam

94

kasus pesantren yang cukup sederhana, peran-peran kyai ini biasanya

diejawantahkan oleh para ustadz atau santri-santri senior yang

dimanifestasikan dalam tata tertib pergaulan pesantren.

Komunikasi interaktif yang positif ini dimungkinkan karena pendidikan

pesanten diselenggarakan dalam bentuk pengasramaan para santrinya.

Dari hubungan yang positif dapat menimbulkan hal-hal positif seperti di

bawah ini, yang kemudian menjadi watak dan ciri santri:

��Tumbuhnya sikap rendah hati (tawadlu’) terhadap yang lebih bawah

dan sikap hormat ta’dzim) kepada yang lebih atas, terutama dalam hal

ilmu dan ibadah.

��Terbentuknya kepribadian yang berpola hidup hemat dan sederhana.

��Terbiasa untuk hidup secara mandiri, terbiasa untuk mengerjakan hal-

hal yang bernilai mulia seperti mencuci, membersihkan kamar tidur

serta memasak sendiri, untuk kebersihan dan keteraturan.

��Tumbuhnya jiwa suka menolong kepada sesama. Hal ini disebabkan

karena suasana pergaulan di pesantren al-Ittihad yang lebih familiar dan

menjunjung kesetaraan.

��Timbulnya kesanggupan untuk hidup prihatin dalam rangka mencapai

suatu tujuan mulia.

Jika penulis melihat pendidikan yang ada di pondok pesantren al-Ittihad,

pendidikan humanisme religius dapat penulis kaitkan dengan macam-macam

akhlak:

1. Akhlak berhubungan dengan Allah SWT

Adanya materi dengan keikhlasan niat, syukur, meninggalkan

maksiat, dzikir, membaca Al-Qur'an, shalat Dhuha dan materi sejenisnya,

merupakan materi yang dapat mengarahkan kepada pembentukan pribadi

yang memiliki pengabdian yang mantab terhadap Allah SWT, selain akan

tahu akan kewajiban pertamanya sebagai hamba Allah, juga merelakan dan

mengikhlaskan segala perbuatannya sebagai landasan diterima tidaknya

amal perbuatan yang dilakukan. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

95

������ ������������ ��� ���������������������������� ���� ��������

���� ������ �! �"���#$��%�� ��� : � ) 5

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah pada

Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan ibadah dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Q.S. Al-Bayyinah: 5)

Dengan landasan keikhlasan dan ketulusan niat dalam menjalankan

segala perbuatan akan dapat menjauhkan diri dari sifat-sifat jelek seperti

iri, dengki, dendam, riya’, sum’ah dan lain sebagainya, perbuatan inilah

yang mengakibakan hubungan antara sesama tidak humanis.

2. Akhlak berhubungan dengan sesamanya

Materi humanisme religius di Pesantren Al-Ittihad dapat kita lihat

pada hubungan antara santri dan kyai atau ustadz pada saat proses belajar

mengajar, karena memang hubungan antara santri dan kyai atau ustadz

sangat dekat, sehingga mengimplikasikan pada nilai-nilai humanisme

religius di pesantren, maka dari itu, penulis yakin akan budaya atau tradisi

di pesantren Al-Ittihad ada relevansinya dengan pendidikan humanisme

religius.

Rasa hormat kepada kyai dan keluarganya yang direfleksikan

dalam bentuk-bentuk sikap seperti tidak berjalan di depan kyai atau ustadz,

membantu keperluan-keperluannya dan sebagainya meskipun sebagian

kecil, hal ini merupakan bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap

derajat orang yang berilmu serta merupakan nilai-nilai humanisme dan rasa

taat pada Tuhan yang diaplikasikan dengan ibadah muamalah seperti,

zakat, shadaqah, shalat berjama’ah, sehingga mampu menciptakan

kesadaran untuk beragama dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh Allah.

5 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an,

1985, hlm. 1084.

96

Demikian juga halnya, pendidikan humanisme religius dapat

dikaitkan dengan proses belajar mengajar, dengan adanya penghormatan

santri kepada kyai atau ustadz akan terwujud proses belajar mengajar yang

harmonis dan efektif.

Dengan demikian, materi di atas sangat penting dalam kehidupan

pesantren sekarang ini, diharapkan dengan materi ini akan dapat membentuk

pribadi-pribadi yang mempunyai kesadaran kemanusiaan dan keagamaan.

Materi di pondok pesantren Al-Ittihad bila dipahami dari aspek sosialisme,

pendidikan humanisme religius itu ada dua relasi dalam kehidupan, yakni

hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia (hablun min Allah wa

hablun min an-nas).

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa materi pendidikan

humanisme religius di pondok pesantren al-Ittihad mencakup materi yang

sangat kompleks dan komprehensip dalam membentuk dan mewujudkan

generasi yang mempunyai pribadi yang tidak hanya mengerti akan tanggung

jawabnya sebagai hamba Allah, dapat berinteraksi baik dengan sesamanya dan

dengan Tuhannya serta memiliki pengetahuan yang tinggi, karena memiliki

kesadaran dalam bermasyarakat dan beragama.

B. Analisis Terhadap Tradisi Pesantren Al-Ittihad Jungpasir Wedung

Demak Relevansinya dengan Pembentukan Nilai-Nilai Humanisme

Religius

Guna menganalisis tradisi yang ada di pondok pesantren al-Ittihad,

penulis menggunakan dua pendekatan pemahaman, yaitu tradisi dipahami

sebagai bentuk serta wujud humanisme religius itu sendiri dan tradisi

dipahami sebagai metode pendidikan.

1. Tradisi sebagai Bentuk dan Wujud Humanisme Religius

Dari berbagai tradisi yang ada di pondok pesantren Al-Ittihad dapat

dipahami sebagai wujud realisasi humanisme religius bila dikaitkan dengan

kedudukan manusia sendiri. Dalam hal ini dapat dikelompokkan menjadi:

97

a. Sebagai hamba Allah

Manusia dalam hal ini santri sebagai hamba Allah, diwajibkan

mengabdi kepada pencipta alam semesta yaitu Allah SWT, maka

dengan demikian pesantren Al-Ittihad memiliki tradisi yang berbentuk

ibadah kepada Allah sebagai sarana pendekatan diri kepada-Nya. Dari

tradisi inilah akan membentuk kepribadian yang memiliki sifat

religiusitas dan kedekatan dengan Allah SWT.

b. Sebagai makhluk sosial

Jenis-jenis tradisi yang terkait dengan komunikasi dan interaksi antar

sesama, di pondok pesantren al-Ittihad mempunyai tradisi yang

berwujud adanya sebutan dan panggilan seperti “mbah” dan “kang”,

bersalaman disertai mencium tangan kiai atau ustadz merupakan wujud

dan realisasi sikap hormat-menghormati dalam kehidupan masyarakat

pondok pesantren. Tradisi semacam inilah yang akan membentuk

pribadi yang mempunyai sifat humanis yang baik dalam berinteraksi

dengan sesamanya.

c. Sebagai bagian dari lingkungan

Dengan adanya jadwal piket kebersihan dalam sehari-hari dapat

membentuk pribadi yang mempunyai kesadaran serta peduli terhadap

lingkungan sekitarnya dan mampu membentuk pribadi yang peduli

tehadap kedisiplinan.

d. Sebagai pencari ilmu (santri atau pelajar)

Bentuk dari adanya tradisi yang berkaitan dengan kedudukan santri

sebagai pencari ilmu, adalah tradisi takror, muhafadhah, musyawarah,

bahtsul masail dan lain sebagainya, tradisi ini akan menumbuhkan sikap

gigih dalam mencari ilmu.

2. Tradisi dipahami sebagai Metode Pendidikan

Tradisi yang berkaitan dengan metode pendidikan dapat kita

pahami sebagai bentuk usaha yang dilakukan pondok pesantren untuk

membangun tradisi agar menjadi suatu tingkah laku yang secara lambat

98

laun akan melekat pada pribadi santri dan akhirnya akan menjadi pribadi

yang humanis serta religius.

Berpijak dari tradisi yang ada di pondok pesantren Al-Ittihad,

dengan memperhatikan fenomena riil, dapat penulis simpulkan bahwa

pondok pesantren al-Ittihad termasuk dalam kategori jenis pesantren salaf.

Hal ini berdasarkan bahwa:

a. Pesantren al-Ittihad dalam pengajarannya menitikberatkan

bahkan keseluruhannya terhadap pengkajian kitab-kitab klasik

Islam, atau lebih dikenal dengan istilah kitab kuning sebagai

sumber kurikulumnya. Dan dari kitab tersebut, juga ada nilai-

nilai humanisme religiusnya, karena mengajarkan bagaimana

menghomati sesama dan bagaimana menjalankan syari’at

agama.

b. Sistem pendidikan hanya diterapkan guna mempermudahkan

sistem pengajaran dan pendidikan di pondok pesantren.

c. Pondok pesantren al-Ittihad mempunyai misi utama yakni

mempersiapkan santri untuk memiliki kemampuan keagamaan,

dan kemampuan untuk bermasyarakat.

d. Penggunaan metode-metode klasikal dalam pengajarannya di

samping sistem madrasah, seperti metode sorogan, wetonan dan

lain sebagainya.

e. Pengajaran kitab kuning yang masih menggunakan pendekatan

system makna “utawi iki iku”.

Selain itu, lokasi pesantren yang berbaur dengan perumahan

masyarakat, sehingga akan terjadi interaksi dan komunikasi secara langsung

yang tentunya akan menyebabkan terjadinya pembelajaran aspek-aspek

kehidupan secara langsung, sehingga mampu mengembangkan rasa

persaudaraan yang mampu memberi perkembangan nilai-nilai humanisme

religius dalam pesantren.

99

Hal ini, sesuai dengan prinsip pesantren dengan kaidah sosialnya yang

progresif, yaitu “memelihara sistematika dan metodologi lama yang masih

relevan dan mengambil serta mengembangkan cara baru yang lebih baik”.6

Dengan demikian, dapat dipahami bawa materi pendidikan humanisme

religius dan tradisi mempunyai peranan yang besar dalam membentuk

kepribadian. Di pesantren, materi dan kebiasaan atau tradisi merupakan

strategi pendidikan humanisme religius yang saling berinteraksi. Hal ini

ditunjukkan karena materi pendidikan dan tradisi yang ada di pesantren

tersebut, diarahkan dan diorientasikan pada pembentukan kepribadian yang

mulia, dan didukung penataan kehidupan lingkungan yang mungkin dapat

dijadikan pendukung secara psikologis dalam pembentukan kepribadian yang

humanis dan agamis yang kelak menjadi embrio dari pembentukan

masyarakat madani.

Dari bab sebelumnya, dijelaskan bahwa pesantren al-Ittihad

mempunyai potensi dalam mengembangkan nilai-nilai humanisme religius,

hal itu dapat kita lihat jelas dalam sistem pendidikan yang digunakannya.

Seperti sistem pendidikan sorogan dan bandongan, yakni kemandirian santri

dalam mengkaji kitab, sedangkan kyai sebagai pendengar. Beda dengan

sistem bandongan, kalau bandongan lebih menekankan pada kemaknaan yang

dibaca oleh kyai atau ustadz dan santri mendengarkan dan mengikuti apa yang

dibaca oleh kyai, dalam istilah klasiknya santri hanya memaknai. Dari hal

inilah kyai atau ustadz mempunyai kepedulian terhadap santrinya, dengan kata

lain mempunyai nilai humanis dan di sisi lain, juga mempunyai religiusitas

karena yang dikaji kebanyakan tentang ilmu-ilmu agama baik dalam bidang

fiqh, syari’at, akhlaq dan lain-lain.

Dengan jumlah komunitas yang besar, kini pesantren tengah

menghadapi beragam problematika, baik dalam aspek rendahnya pendidikan,

lemahnya perekonomian, kondisi social-budaya yang cenderung kurang

islami, serta masih adanya rasa rendah diri atau kurang percaya diri. Kondisi

6 M.A. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 347

100

ini didukung oleh persepsi sebagian masyarakat yang menganggap keadaan

ini sebagai “nasib” yang tidak perlu dipersoalkan.

Sebagai makhluk terbaik yang diturunkan oleh allah ke atas

permukaan bumi ini, pesantren seyogyanya sejak dini berusaha memperbaiki

keadaan ini dengan dibimbing oleh suatu tuntunan yang jelas dan berdemensi

transcendental. Semua ini dapat dilakukan karena pesantren mempunyai

konsep yang solutif.

C. Analisis Terhadap Peran dan Fungsi Pondok Pesantren Al-Ittihad di

Masayarakat

1. Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan

Pondok pesantren al-Ittihad dalam hal ini, mempunyai religiusitas

tinggi. Namun demikian, agama dalam Islam disebut dengan istilah din.

Predikat din untuk Islam lebih kena daripada sebutan, agama yang bukan

istilah produk islam sendiri. Pengertian din dalam Islam adalah ajaran

yang diwahyukan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai

petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.7

Ajaran agama Islam sudah pasti diajarkan sekaligus dipraktekkan

di pondok pesantren al-Ittihad. Dalam hal ini, pesantren al-Ittihad

mengajarkan agama yang bersumber dari wahyu Illahi yang berfungsi

memberi petunjuk dan meletakkan dasar keimanan dalam hal ketuhanan

(ketauhidan), “memberi semangat dan nilai ibadah yang meresapi seluruh

kegiatan hidup santri dalam hubungannya dengan Allah (hablun min

Allah), sesama santri dan lingkungan (hablun min an-nas) dalam dimensi

transenden, sosial dan kosmologis”.8

Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan tafaqquh fiddin

mempunyai fungsi pemeliharaan, pengembangan, penyiaran, dan

pelestarian Islam. Pondok pesantren al-Ittihad sebagai lembaga

keagamaan, di antaranya menjadi pusat kegiatan keagamaan, seperti

7 Adi Sasono dkk, (et.al), Solusi Islam: Atas Problematika Umat, (Jakarta: Gema Insani Press,

Cet. I, 1998), hlm. 115-116. 8 Ibid, hlm. 116

101

menentukan atau menengahi perselisihan hukum melalui bahtsul masail,

mengadakan pengajian, siraman rohani, serta menentukan perencanaan

segala kegiatan keagamaan di dalamya.

Fenomena pondok pesantren yang menjadi ciri kepribadiannya

adalah jiwanya, yaitu roh yang mendasari dan meresapi seluruh kegiatan

yang dilakukan oleh segenap keluarga santri. Roh tersebut dirumuskan

oleh K.H. Imam Zarkasyi dengan “Panca Jiwa” pondok, yaitu berupa:

a. Keikhlasan

b. Kesederhanaan

c. Persaudaraan

d. Menolong diri sendiri

e. Kebebasan 9

Sebagai salah satu dari pelaksanaan kegiatan keagamaan, pondok

pesantren al-Ittihad memiliki kharisma tersendiri bagi masyarakat

Jungpasir. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pesantren al-Ittihad

mampu mencetak kader santri dan dai-dai kondang, sekaligus sebagai obat

bagi orang-orang yang kurang berakhlak menjadi orang yang berakhlak.

K.H. Fauzi Noor, Alm. mempunyai andil besar dalam

menyukseskan pembangunan nasional, melalui pengembangan pendidikan

pesantren. Beliau telah membuktikan tekad dan semangat “mencintai tanah

air adalah sebagian dari iman” yang memanifestasikan ke dalam amar

ma’ruf nahi munkar, sehingga tidak satu desa ataupun pelosok yang

betapa jauhnya tidak disinggahi. Pesantren adalah pemegang kunci

tranformasi pendidikan Islam.

Figur kyai, santri, serta seluruh perangkat fisik dari sebuah

esantren membentuk sebuah kultur yang bersifat keagamaan yang

mengatur perilaku seseorang, pola hubugan antara warga masyarakat.

Bahkan, pola hubungan antara santri yang satu dengan santri yang lainnya.

Dengan keadaan demikian, produk pesantren lebih berfungsi sebagai

faktor integratif dalam masyarakat.

9 Ibid, hlm. 116

102

Pondok pesantren al-Ittihad sangat berperan besar dalam

pengembangan akhlak dan mental santri, mampu menumbuhkan

kemandirian santri, untuk menghasilkan manusia yang berbudi tinggi, tahu

nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan, santri atau manusia, alam atau

lingkungan yang merupakan tujuan akhir hidup dan kehidupan.

Jadi, sebuah kesimpulan globalnya yaitu konsep humanisme tidak

bertentangan dengan kepatuhan kepada agama jika pengertiannya ialah

kepercayaan kepada nilai-nilai kemanusiaan, serta kedudukan, martabat,

ikhtiar, dan kebebasan manusia. Dengan kata lain, muatan humanisme di

sini tidak keluar dari wilayah agama. Akan tetapi, jika manusia dalam

pengertiannya yang hakiki dan merupakan khalifatullah ternyata

dipandang sebagai tujuan final oleh paham humanisme, kemudian

pengenalan Tuhan dan kepatuhan kepada ajaran agama dipahami semata-

mata sebagai sarana dan instrumen untuk mencapai tujuan itu, maka

humanisme akan berada di luar lingkungan agama. Adapun anggapan

humanistik yang mensejajarkan rasio manusia dengan rasioTuhan jelas

sangat kontras dengan makrifat dan ketaatan beragama.

Dan dalam bukunya Abdurrahman Mas’ud yang berjudul

“Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam” disebutkan

bahwa Humanisme religius adalah sebuah konsep keagamaan yang

menempatkan manusia sebagai manusia yang mempunyai norma agama

atau nilai keagamaan, serta upaya humanisme ilmu-ilmu dengan tetap

memperhatikan tanggung jawab hablun min Allah dan hablun min an-

nas.10

2. Pondok pesantren sebagai lembaga sosial

Perubahan sosial dewasa ini bersifat massal, cepat, be continue,

bervariasi dan tidak mudah diramalkan ke mana arahnya. Perubahan-

perubahan itu meliputi berbagai kelompok masyarakat, secara kualitatif

10 Abdurrahman Mas’ud, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, Op. Cit,

hlm. 92.

103

maupun kuantitaif dan bersifat global, serta menjarah ke berbagai sudut

dengan cukup merata dan mendalam.

Pondok pesantren al-Ittihad dalam fungsinya melayani masyarakat,

dapat pula dilihat dari upayanya dalam melayani masyarakat, terutama

kebutuhan pendidikan ketika masyarakat butuh ilmu pengetahuan, apalagi

ketika lembaga-lembaga pendidikan modern belum mampu menembus ke

pelosok-pelosok desa. Dengan fungsi sosialnya, pesantren al-Ittihad peka

dalam menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti

memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat, dan

sebagainya.

Dalam hal ini, pondok pesantren al-Ittihad berusaha mengubah

masa depan pesantren, bukan hanya mampu memproduksi kyai, ahli

dakwah, ahi hadits, ahli membaca kitab klasik (kitab kuning) dan lain

sebagainya yang berhubungan langsung dengan keagamaan. Namun lebih

dari itu, dengan perantara jalur pendidikan pesantren al-Ittihad diharapkan

mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berpengetahuan luas,

menguasai segala bidang-bidang pengetahuan dan mampu menyatukan

peran ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum melalui sekolah umum

yang berada di sekitar pesantren yang menyangkut kehidupan

bermasyarakat. Hal ini dapat penulis lihat perubahan-perubahan pondok

pesantren, pertumbuhan dan perkembangannya, di berbagai desa sekitar

pesantren.

Pesantren al-Ittihad dalam peranannya sebagai salah satu wadah

keagamaan yang ada di masyarakat Jungpasir, juga berperan serta, bahkan

kadang-kadang merupakan pendorong bagi tercapainya tujuan masyarakat

pesantren. Yakni menjadikan santri aktif dan kreatif, berdikari serta patuh

pada tuntunan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW, sebagai simbol

kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, berpengetahuan luas dan uswatun

khasanah bagi sekalian alam.

104

3. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan

Dalam memberikan pelayanan kepada para santri, pondok

pesantren al-Ittihad menyajikan sarana-sarana bagi perkembangan

kemandirian para santri. Tumbuh dan berkembangnya pribadi muslim,

para santri dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman sebelum masuk

pesantren, teman sesama santri, kontak dengan orang-orang sekitar

pesantren dan suasana pesantren. Pesantren diharapkan dapat mengatur

dan menyusun berbagai pengaruh ke arah yang positif bagi perkembangan

pendidikan para santri.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang

umumnya bersifat tradisional, tumbuh dan berkembang di masyarakat

pedesaan melalui suatu proses yang unik.11

Pondok pesantren al-Ittihad mampu mempengaruhi kehidupan

masyarakat di sekitarnya, bahkan pengaruhnya jauh melebihi wilayah

administrative desa-desa sekitarnya, bahkan pengaruhnya melintasi daerah

kabupaten. Pondok pesantren ini sebagai lembaga pendidikan tumbuh dari

dan dalam masyarakat untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat, di

samping fungsinya sebagai lembaga keagamaan, Karen motif, tujuan, serta

usaha-usahanya bersumber pada agama.

D. Implikasi Humanisme Religius Terhadap Kebudayaan di Pondok

Pesantren Al-Ittihad

1. Mengembangkan Budaya Kemandirian

Untuk mengetahui aspek-aspek dari watak mandiri yang dimilki

pesantren al-Ittihad, haruslah ditinjau lebih dahulu latar belakang

berdirinya pesantren al-Ittihad itu sendiri, baik yang bersifat histories,

kultural, maupun sosial ekonomis.

Perubahan fungsi kebudayaan ini menghasilkan gemarnya pula

dalam perubahan mendalam yang terjadi atas pola pendidikan agama dan

pendayagunaannya dalam kehidupan masyarakat Desa Jungpasir

11 Ibid, hlm. 120.

105

Kecamatan Wedung Kabupaten Demak. Kalau tadinya pendidikan yang

ada di pesantren al-Ittihad hanya menekankan pada penguasaan yang

cukup untuk kebutuhan beribadat intensif dalam mendekatkan diri kepada

Allah, dalam masa pnonjolan aspek syara’ itu pendidikan masa lalu

memiliki fungsi kemasyarakatan yang lebih luas, namun sekarang,

pesantren al-Ittihad juga mengajarkan pendidikan umum melalui

pendidikan yang ada di lingkungan pesantren yakni MTs (Madrasah

Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah). Di MTs dan MA mengajarkan

ilmu-ilmu umum yang bertujuan untuk melakukan transformasi cultural,

yang mana ilmu-ilmu tersebut tidak ada di dalam pendidikan pesantren al-

Ittihad.

Kisah Alm. K.H. Fauzi Noor yang mendirikan pesantren al-Ittihad

dengan sengaja di Jungpasir, bukti nyata dari kecenderungan untuk

menggunakan pendidikan di pesantren tersebut sebagai alat transformasi

kultural yang berlangsung secara perlahan tetapi menyeluruh.12

Watak mandiri yang dimiliki pesantren al-Ittihad dapat dilihat dari

dua sudut penglihatan yakni dari fungsi kemasyarakatan pesantren secara

umum dan dari pola pendidikan yang dikembangkan di dalamnya.

Dilihat dari sudut fungsi kemasyarakatannya secara umum,

pesantren al-Ittihad adalah sebuah alternatif ideal bagi perkembangan

keadaan yang terjadi di luarnya (pendidikan umum). Sepintas pesantren al-

Ittihad berperan sebagai subkultural bagi kehidupan masyarakat sekitar,

tetapi hanya sebatas kemampuan pesantren tersebut.13

2. Menciptakan Hidup dalam Beragama

Humanisme religius yang ada di pesantren al-Ittihad,

mengimplikasikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang

mempunyai fungsi ganda, sebagai lembaga pendidikan yang mampu

mengembangkan pengetahuan dan penalaran, ketrampilan dan kepribadian

kelompok usia muda dan merupakan sumber referensi tata nilai Islami

12 Hasil wawancara dengan Ustadz Umar pada tanggal 12 September 2004. 13 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKis, Cet.

I, 2001), hlm. 101.

106

bagi masyarakat sekitar, dengan kata lain mempunyai dampak dengan

keagamaan maupun kesosialan, sekaligus sebagai lembaga sosial di

pedesaan yang memiliki peran sosial dan mampu menggerakkan swadaya

dan swakarsa masyarakat, mampu melakukan perbaikan lingkungan hidup

dari segi rohaniyah maupun jasmaniyah.

Dalam memenuhi tugasnya sebagai lembaga pengabdi masyarakat,

pesantren berkewajiban menegakkan relevansi agama bagi kehidupan di

masa sekarang ini. Agama tidak cukup hanya dimanifestasikan dalam

rangkaian upacara keagamaan belaka, seperti sering dipahami kebanyakan

orang dalam mengagungkan arti agama itu sendiri dalam kehidupan.

Oleh karena itu, pesantren al-Ittihad mengarahkan kehidupan

beragama pada tujuan menciptakan seperangkap sikap hidup di kalangan

para santri, yakni sebagai berikut:

a. Memiliki rasa kasih kepada sesama makhluk dalam arti luas dan

dinamis. Dengan rasa kasih sayang ini tiap santri harus merasa terlibat

pada tugas mengangkat derajat sesama manusia dari keterbelakangan

dan kekurangan, sehingga dengan rasa kasih itu pula nantinya dapat

ditegakkan keadilan sosial dalam arti perataan kesejahteraan dan

penghormatan.

b. Berpegang pada nilai-nilai menetap yang mampu membedakan antara

yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah, antara

mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Demikian pula,

dengan nilai-nilai menetap itu pesantren al-Ittihad akan mampu

meninjau dengan jernih langkah-langkah perubahan yang harus

diambilnya, tanpa merusak sendi-sendi kehidupannya sendiri secara

keseluruhan.

c. Mampu mengatur kehidupan sendiri. Kebutuhan hidup duniawi sering

kali tidak mengindahkan baik atau buruknya cara yang dipergunakan

guna memperoleh sesuatu yang diinginkannya itu. Dengan memiliki

kesadaran akan kerusakan besar yang akan diderita oleh watak hidup

dari penggunaan cara-cara tidak wajar dalam pemenuhan kebutuhan,

107

seorang ustadz dan santri akan mampu mendasarkan pola hidupnya

atas pemenuhan kebutuhan esensial yang sesuai dengan kemampuan

yang ada.

d. Menyadari kemampuan serba terbatas dari manusia sebagai makhluk,

bila dihadapkan pada keagungan kekuasaan Penciptanya. Dalam

jangka panjang, kesadaran ini akan membawa seorang santri pada

kemampuan memperlakukan ilmu pengetahuan dan hasil yang akan

dibawakannya secara wajar dan tidak berlebihan. Melalui pendekatan

yang berdasarkan keimanan pada kekuasaan Tuhan, ia akan merasa

adanya keterlibatan dengan soal-soal yang jauh lebih penting daripada

kebutuhan dan tempatnya sendiri dalam kehidupan. Keterlibatan ini

akan membawanya pada sikap untuk menghargai, bahkan kalau perlu

memperjuangkan, upaya untuk membebaskan manusia (santri) dari

belenggu kemelaratan, kenistaan, ketidakadilan dan penindasan.

Manusia adalah makhluk yang mulia, yang harus diperlakukan sesuai

dengan kemuliannya itu, sehingga harus ditunjang setiap upaya untuk

menaikkan derajatnya. Oleh karena itu, sikap demikian dalam jangka

panjang berarti timbulnya upaya untuk membebaskan santri dari

belenggu eksploitasi tidak wajar oleh sesama santri.14

3. Mengembangkan Tradisi Kehidupan Pesantren

Dengan hal ini, mengimplikasikan tradisi kehidupan pesantren al-

Ittihad tetap menjaga norma-norma agama serta sosial. Dapat penulis lihat

dalam tradisi sehari-hari yakni rasa menghormati kyainya dengan

panggilan yai dan baik senior maupun yunior memanggil dengan

panggilan “kang”. Hal ini sering dijumpai penulis ketika melakukan

observasi di pesantren al-Ittihad Jungpasir Wedung Demak.

Saat santri harus mengabdi kepada masyarakat, mereka

merumuskan sikapnya tawadhu’ terhadap kyai serta masyarakat sejak

masih dalam status kesantriannya. Kehidupan di pesantren al-Ittihad itu

sendiri merupakan deskripsi ideal bagi kehidupan luas di masyarakat. Atau

14 Ibid, hlm. 87-88.

108

dapat juga dikatakan bahwa kehidupan di pesantren adalah miniatur

kehidupan masyarakat, sehingga fungsi sosial pesantren seperti di atas

mempunyai arti penting di dalam penyebaran gagasan baru atau

perambatan modernisasi di masyarakat melalui kegiatan-kegiatan dakwah

dan pelayanan masyarakat.

Pada dasarnya para santri tahu dirinya sebagai makhluk sosial yang

di dalam hidup nyata tidak bisa lepas dari keterkaitan dengan orang lain

dan alam. Sebagaimana orang lain dan alam pun tidak bisa lepas dari

keterkaitan mereka dalam berbagai konteks sosial, di mana mereka berarti

mempunyai tanggung jawab atas apapun yang mereka lakukan terhadap

dirinya sendiri dan orang lain maupun terhadap Allah SWT.

Dalam hal tersebut pesantren al-Ittihad menekankan urgennya arti

tanggung jawab. Tangung jawab terhadap dirinya sendiri berarti keharusan

meningkatkan kemandirian untuk memusatkan dirinya pada pewarisan

bumi (alam) dalam rangka ibadah yang sempurna. Sedangkan tanggung

jawab terhadap orang lain merupakan sikap dan perilaku yang rasional di

dalam berkomunikasi dengan santri lain di mana kehidupan santri secara

lahiriyah selalu tergantung padanya.

Di samping ketiga aspek tersebut, humanisme religius berimplikasi

pada beberapa aspek yang ada di pesantren al-Ittihad di antaranya adalah:

a. Aspek Kyai

Kyai dalam pesantren sebagai pemeran penting dalam masyarakat

pesantren. Secara konvensional, kyai paling tidak harus memiliki tiga

kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi dalam hal ini kitab-kitab klasik,

antusias dalam pengembangan diri dan penuh kasih sayang dalam

mengajar dan mendidik. Dalam perspektif humanisme religius, kyai tidak

dibenarkan memandang santri dengan sebelah mata, tidak serius dalam

menangani perkembangan santrinya, bahkan memandang rendah

kemampuan santri.

109

Pada awal berdirinya pesantren, ada asumsi bahwa kyai selalu benar. Akan

tetapi dengan adanya perkembangan humanisme religius di pesantren,

asumsi tersebut menghilang secara periodic meskipun hanya beberapa

pesantren yang ada di Indonesia, khususnya di pesantren al-Ittihad.

b. Aspek Santri

Dalam kitab Ta’limul Muta’alim, ada 6 prasyarat bagi Talabul ‘Ilmi, yakni

modal, semangat, waktu yang memadai, petunjuk guru, keuletan dan

kecerdasan.15 Keenam prasyarat tersebut telah ditawarkan oleh Imam al-

Zarnuji pada abad ke-13. Selama ini banyak pihak yang menganggap

prasyarat mencari ilmu tersebut kuno. Padahal, kritik yang hanya

melontarkan kata kuno tanpa pembahasan dan argumen yang mendalam

hanya terjebak pada logika yang tidak benar alias bias, atau apriori.

c. Aspek Materi

Pada aspek ini, bersifat universal, yakni aspek materi yang dikembangkan

di pesantren al-Ittihad, khususnya materi keagamaan. Penulis berpendapat

bahwa materi yang ada di pesantren al-Ittihad menekankan pada segi

agama dan akhlak. Tetapi dalam mengaplikasikan penekanan tersebut

masih kurang, sehingga masih banyak santri sering melakukan perbuatan

ghosob (memakai hak orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya) bahkan

ada yang mencuri barang milik santri lain, akibatnya merugikan pihak lain.

Dengan adanya kekurangan materi tersebut, diharapkan pesantren al-

Ittihad lebih menekankan materi tentang akhlak.

d. Aspek Evaluasi

Secara universal, evaluasi yang dilakukan oleh pesantren al-Ittihad hanya

elemen keintelektualan santri melalui penilaian yang diberikan dari hasil

imtihan (test akhir). Selama ini, evaluasi terhadap santri hanya terbatas

berorientasi pada ingatan, hafalan nadhoman. Hal ini mengimplikasikan

pada sikap afektif dan psikomotorik kurang berkembang.

15 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai

Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 203-204.

110

Dengan evaluasi yang ada, sebagaimana konsep humanisme religius

pesantren, baik santri maupun ustadz dipandang sebagai entitas individual

yang mempunyai tanggung jawab vertikal dan horisontal, sehingga

muncul rasa kasih sayang terhadap sesama.16

Singkatnya, pesantren al-Ittihad bisa dekat dengan masyarakat bahkan

bisa berperan dalam kehidupan keseharian sebagai bukti cinta kemanusiaan.

Masyarakat luas, khususnya masyarakat tradisional telah menyaksikan dan

ikut menikmati budaya thalab al-ilmi dari pesantren-pesantren salaf. Karena

ini merupakan model pendidikan yang terjangkau oleh setiap penduduk,

termasuk oleh warga negara yang serba kekurangan sekalipun. Integrasi

pesantren al-Ittihad dengan masyarakat sekitarnya sungguh sangat mengakar

dan membudaya dari awal berdiri sampai sekarang, hal inilah yang disebut

nilai-nilai humanisme religius yang selalu menyatu baik dari segi keagamaan

maupun segi kemasyarakatan.

Dalam konteks pendidikan pesantren, humanisme religius yang ada di

pondok pesantren al-Ittihad berjalan sesuai dengan style dan karekteristik

pesantren itu sendiri. Artinya, pesantren al-Ittihad tumbuh dan berkembang

dengan tatanan kemanusian atau sangat mengedepankan relationship antar

masyarakat. Nampaknya, pesantren al-Ittihad ini dengan segala komponen

yang ada tidak pernah terpisah dengan masyarakat. Oleh karenanya,

humanisme religius versi pesantren ditekankan pada tiga aspek: masalah

kemanusiaan, yaitu: penghormatan kepada Kyai, cinta terhadap lingkungan

pesantren dan cinta kepada santri.

Dalam hal ini, K.H. Fauzi Noor, Alm. tidak membelenggu santri

dengan kata lain memaksakan kehendak, namun memberi kebebasan santri

sesuai dengan hak sebagai anak didik. Jika demikian dapat diimplementasikan

dengan baik, pendidikan humanisme religius di pesantren al-Ittihad akan lebih

maju. Selama ini, banyak santri memandang bahwa di dunia pesantren al-

16 Lihat Abdurrahman Mas’ud, Ibid, hlm. 213.

111

Ittihad tidak ada kebebasan dalam pola pikir santri, karena pada masa dahulu

kyai adalah selalu benar.

Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Tuhan hanya agar

menyembah (mengabdi) kepada-Nya, memang manusia mengerti tentang hal

tersebut, akan tetapi manusia hanya memandang sebelah mata. Dapat penulis

pahami bahwa dalam menyembah atau cinta kepada Tuhan itu tidak hanya

bersifat spiritual (vertikal) melainkan universal, baik yang bersifat vertical

maupun horisontal.

Melihat fenomena yang ada, penulis dapat menganalisa bahwa

humanisme religius mempunyai implikasi terhadap budaya santri, seperti

halnya penghormatan santri terhadap kyai dan keluarganya, rasa cinta kyai

terhadap santri, cinta pada lingkungan17. Di pesantren, pendidikan ini sudah

menjadi hukum alam, maksudnya sudah menjadi tradisi para santri di

pesantren. Pendidikan humanisme religius ini juga diterapkan oleh kyai ketika

beliau masih hidup, memang dari pribadi beliau sendiri adalah bersifat

humanis, senantiasa memberi kebebasan terhadap santrinya untuk mencari jati

dirinya masing-masing.

Tidak ada dimensi humanistik dalam penindasan, juga tidak ada proses

humanisasi dalam liberalisme yang kaku. Namun liberalisme tidak bisa

menguasai kesadaran manusia, jika ia terisolasi dari dunia luar. Pembebasan

hanya terjadi dalam sejarahnya masing-masing, pada zaman dulu pesantren

memang mengenal sami’na wa atha’na, sehingga para santri merasa

terbelenggu, akan tetapi dengan adanya transformasi pendidikan pesantren,

maka pesantren menemukan makna sami’na wa atha’na dengan sebenarnya.

Pada dasarnya, salah satu perbedaan utama antara pendidikan sebagai

sebuah kewajiban humanis dan liberal, di satu sisi, dengan dominasi dan

dehumanisasi, di sisi yang lain, adalah bahwa dehumanisasi merupakan proses

pemindahan ilmu pengetahuan, sedangkan humanisasi merupakan proses

pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Memang keduanya

17 Cinta di sini bukan sekedar rasa sayang, namun juga mempunyai rasa memiliki (loyalitas

tinggi), sehingga dalam hubungan sehari-hari tetap harmonis dan humanis.

112

saling berlawanan, yang otomatis juga menciptakan prosedur yang juga

berlainan, yang berkisar pada hubungan antara kesadaran manusia dan

lingkungannya.

Manusia, dalam hal ini adalah santri tidak lahir sebagai makhluk

beragama, seperti ia pun tidak merupakan makhluk kemasyarakatan dan

makhluk bermoral sejak lahir. Sebaliknya ia harus berkembang menjadi

makhluk religius, makhluk sosial dan makhluk etis.

Pada dasarnya pendidikan yang ada di pesantren al-Ittihad sudah

mengalami transformasi yakni dari penindasan menuju pembebasan.

Pesantren ini sejak dulu sudah menerapkan pendidikan humanisme religius,

namun oleh santri sendiri yang merasa segan kepada kiainya dan selalu

menghormatinya, sehingga pendidikan tersebut tidak dapat berjalan dengan

baik, akan tetapi dengan adanya transformasi pada masa sekarang, pendidikan

tersebut dapat diaplikasikan dengan baik. Pendidikan humanisme religius di

pesantren dapat kita lihat ketika kiai memberi fatwa kepada santrinya, agar

menanyakan apa yang belum mereka ketahui tentang agama melalui

musyawarah atau bahtsul masail.

Dari uraian di atas, penulis mempunyai pendapat bahwa falsafah

pendidikan pesantren bertujuan untuk pendalaman ilmu-ilmu keagamaan dan

ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keagamaan. Dalam perkembangan

selanjutnya, untuk mencetak santri menjadi tenaga-tenaga terampil yang

mampu terjun ke bidang kemasyarakatan dengan baik, harus dibekali dengan

pengetahuan yang luas. Karena kebutuhan masyarakat akan pengetahuan

semakin lama semakin berkembang, sehingga apresiasi terhadap ilmu menjadi

lebih tinggi. Ini merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong pesantren

secara bertahap, mengubah struktur dan sistem dalam pendidikannya.

Transformasi tersebut tidak secara radikal untuk mengubah dan

menghapus sistem serta struktur pendidikan yang telah menjadi dinamika

pesantren, namun lebih menekankan pada pemeliharaan cara lama yang masih

relevan dan pengembangan sesuai dengan cara baru yang lebih baik. Lama

kelamaan visi pesantren terhadap pengetahun menjadi semakin mantap.

113

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren tidak lagi hanya berorientasi pada

pengetahuan keagamaan, melainkan lebih luas lagi, yakni pada bidang-bidang

pengetahuan umum. Selain itu, agar pengembangan pesantren lebih efektif

dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih

baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih pada

cara-cara lama yang ketinggalan zaman –kuno-, maka selama itu pula

pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya.

Guna pengembangan ilmu pengetahuan secara luas, yang menjadi

pembahasan di sini adalah, pesantren al-Ittihad menempati posisi yang sangat

strategis dan berperan karena posisinya sebagai lembaga pendidikan yang

langsung berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun untuk menggariskan

suatu konsep yang tepat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di masa

yang akan datang, pesantren masih harus mempertimbangkan beberapa

alternatif dan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang

akan datang.

Humanisme religius pesantren tidak bisa dipisahkan dari pendidikan

Islam liberal. Secara spesifik, humanisme religius memang belum pernah

diwacanakan di Indonesia, akan tetapi prototype humanisme religius, disadari

atau tidak, sama seperti gerakan Islam liberal yang ada di Indonesia.

Dari uraian-uraian di atas, penulis dapat menarik benang merah bahwa

pendidikan humanisme religius yang ada di pesantren al-Ittihad berpengaruh

terhadap tradisi pesantren, sehingga mampu mengembangkan kepribadian

serta kemandirian santri. Menurut penulis, dalam pesantren al-Ittihad

mempunyai religiusitas tinggi, sehingga dalam kehidupan yang riil selalu

bertanggung jawab sebagai pribadi muslim sejati.