bab iii upaya aplikasi barcode dalam industri konstruksi · gambar 3.1 label barcode pada balok...
TRANSCRIPT
BAB III
UPAYA APLIKASI BARCODE
DALAM INDUSTRI KONSTRUKSI
1. APLIKASI BARCODE
1.1. Pendahuluan
Masalah yang terjadi sebelum ditemukannya barcode adalah antrian
yang panjang dalam suatu pusat perbelanjaan yang besar dengan jumlah
pembeli yang banyak dan barang-barang dagangan yang begitu banyak,
sehingga dalam pembayaran membutuhkan waktu yang lama karena proses
pembayaran dilakukan secara manual, demikian halnya dengan masalah
pengecekan ulang pada persediaan barang yang harus dilakukan secara
rutin. Barang-barang dengan ribuan item harus didata ulang, pengecekan
ulang dilakukan dengan mencocokkan jumlah pemasukan, jumlah
pengeluaran dan sisa barang yang ada. Dalam hal ini, kecepatan dalam
mendata barang menjadi sangat lambat dikarenakan si stem penomoran
setiap barang membutuhkan jumlah digit yang banyak, sehingga pencatatan
yang dilakukan menjadi lama sekali dan membuang waktu kerja.
Sebagai contoh, di kota New York dilakukan lomba lari maraton pada
hari Minggu di setiap bulan November dengan peserta sejumlah 25.000
orang (Deny, 1995). Masing-masing dari mereka selalu ingin mengetahui
waktu yang ditempuh secara tepat pada papan pengumuman. Disini
pendataan pada setiap pelari yang masuk ditempat finish harus diketahui
waktu dan siapa mereka itu. Permasalahan-permasalahan itu mendorong
para ilmuwan untuk menemukan suatu cara yang cepat dan efektif dalam
27
pendataan sesuatu baik itu barang, manusia maupun hal yang lain, karena
itu ditemukan sistem pengkodean dengan menggunakan garis-garis tebal
dan tipis yang disebut barcode yang mempunyai keunikan tersendiri.
Penggunaan barcode sudah sangat populer di industri retail seperti
supermaket dan grosir-grosir, dan telah terbukti penggunaannya didalam
meningkatkan produktivitas maupun efisiensi kerja. Suatu bukti hasil yang
telah diberikan yaitu pengoperasiannya yang sangat mudah, sangat fleksibel
dalam menangani jumlah barang yang begitu banyak, biaya yang kecil,
sangat akurat, serta memiliki kecepatan yang tinggi dalam mengiden-
tifikasikan suatu produk.
Penggunaan barcode tidak menutup kemungkinan perkembangannya
di dalam industri-industri lainnya, misalnya pada industri konstruksi. Pada
tahun 1990, pada industri konstruksi telah mulai diselidiki kemungkinan
kegunaan yang diberikan oleh barcode dalam mengelola manajemen
material (Rasdorf, 1990).
1.2. Aplikasi pada industri konstruksi
Perkembangan penggunaan barcode untuk otomatisasi pengumpulan
data mulai berdampak pada industri konstruksi. Perusahaan-perusahaan
yang berhubungan dengan industri konstruksi mulai mempelajari teknologi
barcode yang menawarkan banyak keuntungan pada keakuratan dan
efisiensi dalam memasukkan data ke komputer, meskipun barcode hanya
berfungsi sebagai suatu alat untuk memasukkan data, akan tetapi merupakan
28
dasar yang sangat penting untuk aplikasi-aplikasi yang selanjutnya
(Stukhart, 1990).
Penggunaan teknologi barcode semakin berkembang di Amerika
Serikat, khususnya pada industri konstruksi. Perkembangan teknologi ini
memberikan kesempatan bagi para kontraktor, owner, dan penjual untuk
mengambil keuntungan agar dapat mengaplikasikannya pada
perusahaannya. Terdapat banyak industri konstruksi yang dapat
menggunakan teknologi barcode, seperti: heavy construction, power
construction, industrial construction dan building construction (Rasdorf,
1990).
Di Indonesia, penggunaan teknologi barcode pada industri konstruksi
masih belum dilakukan, sehingga perlu dilakukan pengenalan akan
teknologi barcode serta contoh aplikasinya.
Pada pengidentifikasian material di lapangan, perlu disadari bahwa di
dalam lingkungan konstruksi ini perlu diperhatikan bahwa terdapat banyak
komponen-komponen konstruksi yang akan diidentifikasikan, sebagai
contoh komponen itu adalah batu bata, balok-balok, kolom-kolom dan Iain-
lain. Material-material yang akan diidentifikasikan pada proyek konstruksi,
dibagi atas beberapa kategori untuk mempermudah pengidentifikasiannya,
yaitu:
- Material tunggal, disebut material tunggal karena label barcode dapat
langsung ditempelkan pada materialnya, contoh: balok-balok baja, beton
precast.
29
- Material bulk, disini barcode tidak dapat secara langsung ditempelkan,
contoh: baut dan mur.
- Material bulk dan tunggal, disini materialnya adalah bulk dan tidak dapat
ditempeli label barcode, akan tetapi material tersebut dapat di beri
tempat, sehingga dapat diberi label barcode. (Rasdorf, 1990)
Perbedaan teknik pelabelan dilaksanakan, karena adanya beberapa kategori
material. Dalam mengidentifikasi material tunggal, dapat dilakukan
pelabelan secara langsung pada material, sebagai contoh dapat dilihat pada
pelabelan balok baja pada gambar 3.1 disebelah kiri. Pada material tunggal
ini, informasi mengenai materialnya dapat ditampilkan dengan cara
melakukan scanning pada label yang tertempel. Pada material bulk dan
tunggal, pelabelan dilakukan pada tempatnya, contoh label barcode dapat
dilihat pada gambar 3.1 disebelah kanan. Modelnya hampir sama, hanya
saja jumlah materialnya lebih dari satu. Pada material yang berupa bulk
murni, disarankan pelabelan seperti pada gambar 3.2 untuk
mengidentifikasikannya (Rasdorf, 1990).
I l l Bfl-iBl
BERN
ui y u» x
TO -*
TI r~
y n
H
I I I I l BOLTS ' g l L1-R325 9 Biiii \? 100 PCS. gj
Gambar 3.1 Label barcode pada balok baja dan baut (Rasdorf, 1990)
Selain untuk mengidentifikasikan material di lapangan, teknologi
barcode juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan aktivitas di
lapangan. Macam-macam aktivitas di konstniksi yaitu termasuk memasang
batu bata, pengecoran beton, dan Iain-lain. Di dalam mengidentifikasikan
aktifitas di lapangan dapat dilakukan scanning pada Activity Assignment
Sheets seperti pada gambar 3.2. Activity Assignment Sheets adalah suatu
daftar yang terdiri atas pekerjaan-pekerjaan di lapangan yang sangat berguna
untuk pengontrolan schedule dan pengecekan kemajuan suatu pekerjaan
proyek (Rasdorf, 1990).
P H O J C C T , ( S 3
- l ( - w O J G C T < BUOG
nil inn nil l i i l i i
ill .111 ill III III
iii in ii i ii ii in ijji in iii 11 nil ill I I iii ii iii ill m iii m
V U X Y Z DCL-
:iai in I I I in HI IIIII
Gambar 3.2 Activity Assignment Sheets (Rasdorf, 1990)
Penggunaan barcode pada CIMS (Construction Information
Management System) di Amerika juga sangat berguna. CIMS merupakan
R C T I V I T Y
COl_l» E R E C T C O L U M N S
B C f V i i n . E R E C T B C « 1 S
STRTUS S T F V 5 T
r i N I S H
D E L f l V
R E S U M E
31
suatu sistem manajemen yang diperkenalkan di Amerika yang berupa
aplikasi program scheduling, inventory, cost, dan dokumen kontrol dengan
suatu sistem manajemen data base sentral (DBMS) yang menggunakan
software tersendiri (Rasdorf, 1990). Bentuk dan CIMS dapat dilihat pada
Gambar 3.3.
GENERAL DATA: PROJECT
INDEPENDENT
APPLICATION: SYMPHONY
PROJECT COST CONTROL
DATA ACQUISITION FOR CONSTRUCTION
EOUIPMENT AND MATERIALS: PROJECT SPECIFIC
FIELO ENGINEER
PLANNED APPLICATION
VEHICLES: FORTRAN
PROGRAM. EXPERT SYSTEM
SHELL
DATA ACQUISITION FOR CONSTRUCTION
MANPOWER
Gambar 3.3 Bentuk CIMS (Rasdorf, 1990)
Kelayakan penerapan suatu sistem, seperti CIMS dan teknologi barcode
bergantung pada banyak faktor, termasuk:
1. Transfer teknologi, bisa tidaknya transfer dan penggunaan teknologi ini
diterapkan pada lingkungan yang berbeda.
2. Mengganli car a yang lama dengan memasukkan tenologi yang baru, hal
ini memerlukan suatu pelatihan untuk pengenalan teknologi yang baru.
32
3. Perbaikan sistem inventory, diperlukan keberanian unutk mengeluarkan
investasi untuk otomatisasi dan perbaikan sistem. (Rasdorf, 1990)
CIMS memberikan banyak peran yang sangat berarti di dalam hal
penyempurnaan teknologi pengidentifikasian (teknologi barcode) dan
penyempurnaan sistem data base. Ada beberapa aplikasi seperti:
Aplikasi pada Scheduling, Scheduling merupakan salah satu
pekerjaan proyek konstruksi yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan
keuntungan, didalam pengontrolan schedule ini digunakan teknologi barcode
beserta program schedule. Barcode memberikan sistem manajemen dengan
pengumpulan data secara otomatis. Di lapangan para pekerja akan memulai
penginventarisasian material setelah material tersebut sampai di lapangan,
dan akan membutuhkan seorang manajer yang mengurus transaksi dengan
bantuan suatu program beserta laser scanner, untuk memasukkan data-data
material pada label barcode. Setelah semua material selesai diinven-
tarisasikan, semua data yang telah dikumpulkan dimasukkan kedalam data
base dan untuk selanjutnya akan diproses. Aktivitas-aktivitas didalam suatu
proyek konstruksi akan memerlukan pemakaian material, pengidentifikasian
material-material yang akan dipakai mempunyai cara yang sama seperti
pada inventarisasi umum. Aktivitas-aktivitas ini selanjutnya disusun dalam
suatu schedule agar dapat dilaksanakan dengan baik dan tersusun dengan
rapi. Informasi pelaksanaan proyek hams terns didapatkan sampai proyek
ini selesai dikerjakan. Keakuratan informasi yang didapat dilapangan akan
membantu seorang manajer proyek melakukan pengontrolan schedule,
33
sehingga apabila ada masalah yang terjadi pada jalannya schedule akan
dapat dengan cepat diantisipasi (Rasdorf, 1990).
Aplikasi Pada Inventory Control. Inventory control adalah pekerjaan
yang sangat penting didalam seluruh lingkungan produksi diberbagai
industri. Tujuan dari inventory control secara umum adalah untuk
meramalkan kebutuhan barang, yang dapat dilakukan dengan menggunakan
aplikasi C1MS inventory control. Keduanya yaitu teknologi barcode dan
program schedule digunakan untuk membuat laporan-laporan inventory dan
meramalkan kebutuhan material. Aplikasi program CIMS inventory control
adalah untuk mengetahui status dari material-material yang akan digunakan
di inventory, dan kemungkinannya adalah material tersebut telah dibawa ke
lapangan, dalam tahap dikerjakan, ataupun masih dalam tahap akan
dikerjakan (Gambar 3.4). Untuk mendapatkan laporan mengenai inventory
suatu material tertentu, maka DBMS akan mencari secara rinci semua
transaksi yang terjadi terhadap material tersebut sesuai dengan periode
waktu yang ditentukan. Daftar yang diberikan didalam laporan inventory
terdiri atas kode material, nama material, serta jumlah material yang ada
didalam inventory ataupun di lapangan. Dengan demikian akan sangat
membantu didalam menentukan jumlah material yang dibutuhkan untuk
pekerjaan selanjutnya. Teknologi barcode dapat dengan cepat dan akurat
mencatat semua aktivitas yang terjadi di lapangan ke dalam data base.
Model yang diperkenalkan ini akan sangat membantu didalam memberikan
laporan inventory yang lebih akurat didalam proyek konstruksi (Rasdorf,
1990).
M
INVENTORY REPORT
CURRENT DATE
STARTING DATE
ENDING DATE
6/01/88
6/02/88
6/09/88
feECEMARKJ |PIECE NAME! [TRANSACTION] ^ A j j JQUANTITVl
BA BEAM ONS1TE 06/02/88 4 INSTALL 06/02/88 2 INSTALL 06/05/88 2 ONSITE 06/07/88 J
TOTAL REMAINING QUANTITY: 3
4 ITEMS WILL BE NEEDED WITHIN 7 DAYS OF 06/09/88. PLEASE ORDER ACCORDINGLY.
Gambar 3.4 Laporan inventory control pada CIMS (Rasdorf, 1990)
Aplikasi pada Cost Control, untuk membiayai proyek konstruksi,
seorang manajer proyek tidak hanya menghitung biaya keseluruhan proyek
dari awal hingga akhir proyek, akan tetapi juga harus mengetahui biaya-
biaya yang keluar selama berlangsungnya proyek. Program cost control
berfungsi untuk menghitung semua biaya proyek. Informasi yang diberikan
berupa besarnya biaya proyek, jumlah pembayaran, dan cash flow status
(Gambar 3.5). Kegunaan dari laporan ini ialah dapat membantu kontraktor
didalam melakukan pengecekan terhadap biaya yang dikeluarkan (Rasdorf,
1990).
frlME/PROGRES PAYMENTS: BALANCEDl
NOTE: PAYMENTS BEGIN IN WEEK 3. "COST MUST BE ENTERED FOR EACH WEEK
WEEK 1 2 3 4
START 06/05/88 06/12/88 06/19/88 06/26/88
END 06/11/88 06/18/88 06/25/88 07/02/88
COST 0
200 00 342423 11508 50
COST-TO-DATE 0
200 00 3424.23 14932 73
PAYMENT
*** ••* 0
193.50
PAY-TO-DATE
*** • **
0 193 50
RETAINAGE » * • *** 0
21 50
CASH FLOW 0
-200.00 -3424.23 -3230.73
Gambar 3.5 Laporan Cash Flow pada CIMS (Rasdorf, 1990)
35
Aplikasi pada Drawing, Barcode juga dapat digunakan sebagai
fasilitas untuk mendapatkan informasi mengenai revisi dan catatan gambar
proyek. Revisi yang dibuat dapat menunjukkan perubahan-perubahan yang
terjadi pada gambar selama proyek itu berlangsung, yang juga akan
berdampak pada perubahan schedule dan biaya.
XYZ, INC. A R C H I T E C T U R E AND ENOINBER1NO D E T T .
LOCATION RALEIGH, NG.
PROJ #
021 SHEET TITLE
SPECIFICATIONS
DRAW #
SP-1
Gambar 3.6 Label Barcode yang ditempelkan pada gambar proyek (Rasdorf, 1990)
Didalam mengatasi masalah-masalah di atas dapat dilakukan pemasangan
label barcode pada setiap gambar (Gambar 3.6), untuk dapat
mengidentifikasikan setiap gambar yang ada serta mempermudah
pengaksesan revisi tersebut ke dalam sistem data base (Gambar 3.7).
36
[PROJECT DRAWINGS: JOBSPEC DATA BASEJ
[DRAWING NUMBER] [DESCRIPTION!
Ml - MECHANICAL, MECHANICAL ROOM LAYOUT,
PUMP DETAILS
[DRAWING NUMBER! IREVISIONJ |DATE| [CHKEDi JBYJ
Ml ADDED PUMP DETAIL 06/13/88 LB X
IDRAW1NG NUMBER! [NOTESJ JDATEJ
Ml WELD PIPE HANGER TO VALVE WITH 3/8" FILLET WELD 06/14/88
Gambar 3.7 Laporan Gambar pada CMS (Rasdorf, 1990)
Sama seperti pada pemberian revisi, pada setiap gambar dapat diberi
catatan-catatan penting yang berhubungan dengan gambar, seperti prosedur
pelaksanaan setiap gambar. Penggunaan barcode pada aplikasi drawing ini
akan sangat menguntungkan, sebab membantu dalam memberikan data yang
akurat dan efisien (Rasdorf, 1990).
2. RESPON PENGGUNAAN BARCODE
Pada tahun 1988 Construction Industry Institute (CII) di University of
Texas di Austin - Texas mengadakan survey penelitian untuk mengumpulkan
informasi yang menjadi dasar perkembangan standarisasi pada teknologi barcode
untuk aplikasi pada manajemen material (Stukhart, 1990).
Pabrik-pabrik yang disurvey termasuk pabrik peralatan elektrik (NEMA-
National Electrical Manufactur Assosiation ), Pabrik peralatan konstruksi (ISA -
Industry South Assosiation), dan distributor pipa (PVF - Pipe and Valve
Foundation ), serta pabrik yang menjual perlengkapan barcode (AIM- American
Industri Manufacture) itu sendiri.
37
Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi: (1) Respon penggunaan barcode
(2) Respon pada standarisasi barcode, (3) Respon penggunaan internal barcode,
(4) Respon penggunaan external barcode. (Stukhart, 1990)
Sebagai gambaran awal dalam pembuatan skripsi ini, telah dilakukan
wawancara pada beberapa kontraktor/konsultan (tabel 3.1), antara lain:
Tabel 3.1 Daftar Responden
RESPONDEN A
B
C
D
KETERANGAN DR. Ir. Takim Andriono, M.E. selaku konsultan
Indra P.B.A., S.T. selaku chief engineer perusahaan kontraktor PT. TATA Ir. Jimmy Tandjung selaku Direktur perusahaan kontraktor PT. EKA WIRA SEMBADA Ir. Beny L. selaku kontraktor
2.1. Respon penggunaan barcode
Tingkat respon penggunaan barcode didapatkan dari jawaban
kuisioner yang dibagi atas telah menggunakan teknologi barcode,
memikirkan untuk penggunaan teknologi barcode, tidak memikirkan
penggunaan teknologi barcode.
Dari pertanyaan tersebut didapatkan bahwa untuk CII diperkirakan
19% telah menggunakan teknologi barcode, dan 58% masih memikirkan
penggunaan barcode untuk manajemen material, dan diperkirakan 58%
pada industri elektrik, 28% pada industri peralatan, dan 48% dari distributor
PVF menyatakan telah menggunakan dan memikirkan penggunaan
teknologi barcode untuk manajemen material (Gambar 3.8).
.18
NF.MA
Bar Code Surveys
Gambar 3.8 Graflk respon penggunaan barcode (Stukhart, 1990)
Sebagai gambaran pendapat dari hasil wawancara (lampiran 1) ini didapat:
- Responden A menyatakan kurang setuju, karena kondisi sekarang ini
masih belum mengalami kesulitan yang berarti.
- Responden B menyatakan setuju, namun harus terlebih dahulu
diperhitungkan keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan barcode.
- Responden C menyatakan kurang setuju, karena penggunaannya masih
belum dirasa perlu dan hanya memboroskan biaya
- Responden D menyatakan setuju, karena barcode sudah sukses besar di
bidang industri retail, sehingga manfaatnya dapat juga dirasakan pada
industri konstruksi.
Dari hasil survey, didapatkan bahwa saat ini masih sedikit (< 50%) di
Amerika yang menggunakan barcode, sedangkan dari gambaran pendapat
mengatakan bahwa ada kemungkinan penggunaannya, meskipun masih
harus diadakan pengenalan tentang keunggulan dan aplikasi barcode.
39
2.2. Respon pada standarisasi barcode
Standarisasi barcode sangat diperlukan untuk memberikan
keseragaman format, pendefinisian data di lapangan, dan simbol untuk
pemberian informasi antara penjual, owner, dan kontraktor (Stukhart, 1990).
Tujuan dibuatnya standarisasi barcode adalah memudahkan proses material
yang ada, meningkatkan kualitas dan mengurangi biaya pengiriman material
dari suplier kepada pemakainya, memperkenalkan pemakaian barcode
secara meluas, memperkenalkan standarisasi hardware dan software.
Tingkat respon standarisasi terhadap penggunaan barcode dapat
diukur dari respon untuk berpartisipasi dalam sebuah kelompok kerja dalam
rangka mengembangkan standar barcode untuk industri, khususnya industri
konstruksi. Para responden NEMA dan ISA dinyatakan memiliki sedikit
respon untuk berpartisipasi dalam sebuah kelompok kerja (Gambar 3.9).
D No Answer
• Not Inleresled
W Interested
S3
41
CII NEMA ISA PVF
Bar Code Surveys
Gambar 3.9 Respon dalam standarisasi barcode (Stukhart, 1990)
Kira-kira 63% dari responden CII menyukai untuk berpartisipasi dalam
sebuah kelompok kerja untuk menghasilkan standarisasi penggunaan
barcode. Kira-kira 70% dari industri pembuatan barcode dan responden
40
suplier tertarik untuk berpartisipasi dalam sebuah kelompok kerja untuk
pembuatan standarisasi industri.
Sebagai gambaran pendapat dari hasil wawancara (lampiran 1) ini didapat:
- Responden A menyatakan sangat setuju, karena keadaan Indonesia yang
ada diperlukan sekali standarisasi apabila nantinya barcode telah
digunakan.
- Responden B menyatakan setuju, karena tanpa standarisasi maka akan
terjadi ketidakcocokan kode antara perusahaan yang satu dengan yang
lain.
- Responden C menyatakan setuju, bila teknologi barcode tidak ada
standarisasi, maka proses otomatisasi akan terhenti malah menghambat.
- Responden D menyatakan setuju, karena perlunya kode yang sama
untuk produk barang yang sama sehingga memudahkan para distributor
/ konsumen.
Dari hasil survey diatas, didapatkan bahwa lebih dari 50% perusahaan di
Amerika menginginkan adanya standarisasi, sedangkan dari gambaran
pendapat berpendapat bahwa standarisasi barcode sangat diperlukan pada
waktu teknologi barcode diaplikasikan nantinya.
2.3. Respon penggunaan internal barcode
Penggunaan internal barcode disini diartikan sebagai penggunaan
untuk operasional perusahaan itu sendiri. Diketahui bahwa 58% dari
industri elektrik, 68% dari responden distributor PVF, 20% dari ISA, dan
20% dari CI I telah melakukan penggunaan internal barcode (Gambar 3.10).
Cll NEMA ISA
Bar Code Surveys
'I'
Gambar 3.10 Grafik pemakaian internal barcode (Stukhart, 1990)
Sebagai gambaran pendapat dari hasil wawancara (lampiran 1) ini didapat:
- Responden A menyatakan kurang setuju, sebab tidak ekonomis bila
untuk kepentingan internal, perusahaan harus mengkodekan barang dan
memberi label sendiri, akan dapat terlaksana bila dari pihak pabrik telah
mengkodekannya.
- Responden B menyatakan setuju, bila biaya investasi tidaklah terlalu
besar dan dapat memberi keuntungan bagi perusahaan.
- Responden C menyatakan kurang setuju, karena saat ini tidak dirasakan
masalah yang cukup berarti untuk menggantikannya dengan teknologi
barcode.
- Responden D menyatakan setuju, karena melihat keuntungan yang
diperoleh pada perusahaan retail, maka bila dipakai pada internal
perusahaan konstruksi akan juga memberi hasil yang sama, meski tidak
sesukses di bidang retail.
Dari hasil survey didapat hasil bahwa di Amerika dengan hanya rata-rata
kurang 50% yang menggunakan disebabkan karena dari pihak pabrik tidak
42
mengkodekannya dan masih tidak adanya standarisasi, sedangkan gambaran
pendapat dengan alasan yang sama menyatakan bahwa dapat aplikasi
barcode dapat dilaksanakan di internal perusahaan bila dinilai ekonomis dan
menguntungkan.
2.4. Respon penggunaan external barcode
Penggunaan external barcode dapat diketahui dengan pasti dari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Apakah perusahaan bersedia
menyediakan material-material dengan label barcode, apakah perusahaan
dalam membeli material membutuhkan label barcode dan apakah sudah ada
perusahaan yang menjual material dengan menggunakan label barcode
(Stukhart, 1990).
Dari survey diketahui bahwa terdapat sedikit penggunaan barcode
yang dilakukan antar perusahaan-perusahaan konstruksi, hal ini
menunjukkan kurangnya respon industri-industri konstruksi untuk
penggunaan external barcode (Gambar 3.11).
1 o
I
NEMA ISA
Bar Code Surveys
Gambar 3.11 Grafik pemakaian eksternal barcode (Stukhart, 1990)
43
Dari owner dan kontraktor yang disurvey hanya 7% dari perusahaan-
perusahaan tersebut yang pernah melakukan pengidentifikasian material
bulk dengan menggunakan barcode, dan hanya 34% dari industri elektrik
dan 13% dari industri peralatan konstruksi menginginkan material-material
yang ada untuk diberi label barcode.
Alasan-alasan dimana mereka tidak menyediakan label barcode
untuk industri konstruksi adalah:
1. Kurangnya standar industri.
2. Kurangnya pelatihan tenaga kerja.
3. Keuntungan yang masih belum pasti.
4. Pesaing yang juga tidak menggunakan label barcode.
Sebagai gambaran pendapat dari hasil wawancara (lampiran 1) ini didapat:
Responden A menyatakan sangat setuju, karena penggunaan teknologi
barcode akan lebih ekonomi dan otomatis bila dimulai dari pabrik dan
dilakukan pada semua perusahaan.
- Responden B menyatakan setuju, karena bila penggunaan barcode sudah
dilakukan dan ada standarisasi maka penggunaan secara eksteraal akan
bermanfaat.
- Responden C menyatakan setuju, karena penggunaan barcode harus
dilakukan mulai dari pabrik dan bila sebagian besar memakai, maka
yang tidak memakai akan tersisih.
- Responden D menyatakan sangat setuju, karena penggunaan barcode
secara menyeluruh pada semua rantai distribusi akan sangat bermanfaat.
44
Dari hasil survey didapat bahwa di Amerika terlihat perusahaan cenderung
menolak (< 40%) karena kurangnya standar dan pesaing tidak
menggunakannya, sedangkan dari gambaran pendapat sebagian besar setuju
bila pelaksanaan aplikasi barcode dilakukan secara menyeluruh dimulai dari
pabrik.
2.5. ANALISA
Hasil survey pada penggunaan barcode di Amerika menunjukkan
bahwa sebagian besar dari perusahaan peralatan konstruksi (ISA) tidak
peduli akan pemakaian barcode, sedangkan yang peduli banyak dari
perusahaan industri konstruksi (CII) dan perusahaan peralatan elektrik
(NEMA).
Hasil survey pada standarisasi barcode di Amerika menunjukkan
bahwa respon terbesar dari perusahaan industri konstruksi (CII) disusul
dengan perusahaan pemipaan (PVF).
Hasil survey pada penggunaan internal barcode di Amerika
menunjukkan bahwa pemakai terbesar penggunaan barcode pada
operasional perusahaan adalah perusahaan peralatan elektrik (NEMA),
sedangkan sebagian besar pada perusahaan peralatan konstruksi (ISA) tidak
memakainya.
Hasil survey pada penggunaan eksternal barcode di Amerika
menunjukkan bahwa pada perusahaan pemipaan (PVF) yang terbesar dalam
pemakaian barcode untuk operasi eksternal, sedangkan pada perusahaan
45
industri konstruksi (CII) dan perusahaan peralatan elektrik (NEMA)
sebagian besar tidak memakainya.
Hasil survey juga menemukan bahwa aplikasi internal lebih disukai
pemakaiannya dibanding dengan aplikasi external pada tiap industri,
sedangkan gambaran pendapat dari hasil wawancara menunjukkan bahwa
diinginkannya pelaksanaan aplikasi barcode mula-mula pada perusahaan
pabrik dan diinginkannya upaya penerapannya pada bidang inventory sebab
bidang inilah yang cocok untuk dicoba diterapkan teknologi barcode,
mengingat keberhasilan barcode dibidang inventory pada industri retail dan
kesulitan-kesulitan yang ada pada inventory.
Hasil survey menunjukkan bahwa aplikasi manajemen material yang
potensial untuk standarisasi pada bidang konstruksi adalah: Purchase
orders, Bill of material, picking tickets, dan shipping labels.
Hasil survey menunjukkan bahwa tidak satupun dari perusahaan
anggota Automatic Indentification Manufacturers (AIM) yang mengetahui
adanya penggunaan barcode pada perusahaan konstruksi. Survey yang
dilakukan menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan manufaktur dan
penjual peralatan barcode mempunyai sedikit hubungan dengan perusahaan
konstruksi.
Hasil survey juga mencatat ada beberapa perusahaan manufaktur
yang mengemukakan adanya pelanggan-pelanggan mereka yang
menginginkan penggunaan barcode.
Penggunaan teknologi barcode terus berlanjut di seluruh bidang
industri di Amerika, termasuk industri konstruksi. Untuk mendapatkan
46
keuntungan dari pertumbuhan ini, maka industri konstruksi harus
mengembangkan standar dan mempromosikan penggunaan barcode melalui
industri-industri konstruksi (Stukhart, 1990). Penggunaan standar industri
ini akan mengurangi biaya bagi owners, kontraktor-kontraktor, dan penjual
material konstruksi, selain itu dapat pula mengurangi banyaknya pekerjaan
pemeliharaan data yang ada bagi penjual, mengurangi jumlah lembar kerja
yang diperlukan, dan seluruhnya mengurangi waktu yang diperlukan dalam
memasukkan data. Untuk memulai proses mengembangkan standarisasi
barcode, industri konstruksi dapat mengikuti metode yang diperoleh dari
pendekatan penggunaan barcode oleh industri lain, selanjutnya apa yang
didapat dari pendekatan penggunaan barcode tersebut dapat diadaptasikan
dan dimodifikasikan sesuai dengan kebutuhan pada industri konstruksi, dan
juga diperlukan suatu standar untuk mempertemukan kebutuhan antar
industri konstruksi, meskipun beberapa perusahaan konstruksi telah
mengembangkan standar mereka secara internal untuk data stok barang dan
Iain-lain, namun sampai sekarang belum ada standar yang dikeluarkan oleh
pemerintah yang mengatur barang-barang yang ada pada perusahaan
konstruksi. Masih belum adanya keseragaman inilah yang menyebabkan
teknologi barcode lambat diaplikasikan kedalam dunia konstruksi (Stukhart
1995).
3. UPAYA PENERAPAN BARCODE DI INVENTORY
Tujuan utama secara langsung pada penggunaan sistem barcode, adalah
pengambilan keputusan bisa lebih cepat dan penggunaan sumber daya secara
lebih baik.
Dengan penggunaan barcode dan perangkat pendukungnya, maka bila
barang keluar ataupun masuk akan tercatat secara langsung pada database.
Database akan secara otomatis melakukan perubahan secara akurat, namun untuk
keperluan administrasi, barang yang keluar ataupun masuk tadi juga dicatat
selama periode tertentu. Dengan pencatatan secara manual tentu saja hal ini akan
merepotkan.
Keuntungan inventory dengan penggunaan barcode dalam hal:
Penerimaan. Perusahaan harus mengidentifikasi isi dari suatu kontainer
dengan cepat dan akurat, dan meindahkan barang-barang pada lokasi yang benar
dengan waktu yang singkat. Bila inventarisasi hanya mempunyai gudang yang
kecil, maka pengidentifikasian barang menjadi lebih kritis lagi, karena proyek
melakukan model just-in-time, yang mengakibatkan barang-barang harus tersedia
pada lokasi tepat saat pelaksanaan akan dilakukan. Informasi-informasi pada
barang dapat langsung ditentukan dengan penggunaan teknologi barcode dan
menghemat waktu (Stukhart, 1995).
Keakuratan inventarisasi. Pada banyak perusahaan, teknologi barcode
telah terbukti keakuratannya dalam perhitungan inventarisasi. Setiap barang
yang masuk maupun keluar dapat dengan langsung tercatat dan merubah stok
barang yang ada dalam gudang, yang mana pada metode manual, akan memakan
waktu berhari-hari untuk melakukan pengecekan inventarisasi, ditambah lagi
418
kemungkinan terjadinya kesalahan dan ketidakpastian jumlah barang yang harus
tersedia pada stok gudang. Dengan adanya teknologi barcode, seseorang dapat
mengecek keberadaan stok barang setiap saat (Stukhart, 1995).
Peninskatan produktifitas. Apabila sistem inventarisasi otomatis dipakai,
maka setiap saat pada gudang akan tersedia data berapa jumlah barang yang ada
secara akurat, informasi ini akan sangat penting untuk merencanakan suatu
pekerjaan (Stukhart, 1995).
Peninskatan pengecekan lokasi. Dengan adanya teknologi barcode,
maka seseorang dapat mengecek keberadaan suatu material, apakah material itu
masih dalam pengapalan, pengiriman, penerimaan, gudang, dikeluarkan ataupun
sudah dipasang (Stukhart, 1995).
Penselolaan aset. Dengan adanya teknologi barcode, maka perusahaan
dapat mengecek keberadaan aset perusahaan secara lebih akurat, sehingga
pengontrolan dapat lebih teliti. (Stukhart, 1995)
Di dalam pemakaiannya, salah satu perhatian dari para pengguna
teknologi barcode adalah lingkungan fisik dimana label barcode digunakan
(Bernold, 1990). Label pengiriman bukan saja ditempelkan pada setiap dos atau
paket, namun juga ada pada setiap barang seperti pipa, besi, parts, instruments
dan juga pada peralatan kerja. Lingkungan fisik dimana label barcode digunakan
dapat berpengaruh terhadap bahan label, metode pencetakan, metode scanning,
dan keahlian seseorang yang melakukan scanning. Ada beberapa macam jenis
bahan label dan perekatnya yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi lingkungan.
Berbagai pertanyaan tentang ketahanan label barcode pada lingkungan
konstruksi sering diajukan karena hal itu sendiri belum pernah diselidiki sampai
49
tahun 1990 (Bernold, 1990). Pada dasarnya ketahanan label barcode dapat
dibagi dua, yaitu ketahanan label barcode itu sendiri dan ketahanan bahan
perekatnya. Penyelidikan dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Maryland
di Amerika Serikat, yang hasilnya sebagai berikut: (Bernold, 1990)
- Keadaan di lingkungan konstruksi adalah sangat rawan terhadap label
barcode, label yang terbuat dari kertas, mudah sekali rusak oleh cuaca,
sedang label barcode dengan bahan keras dengan pinggiran tajam sangat
mengganggu pekerja karena dapat menyebabkan kecelakaan, sehingga para
pekerja tidak menyukai bekerja dengan peralatan yang diberi label barcode
tersebut.
- Dari penelitian tersebut diperoleh keterangan bahvva hanya label yang terbuat
dari bahan plastik dan metal yang mempunyai ketahan tinggi terhadap
kondisi lapangan. Label plastik diberi lapisan dari polyester setebal 0,5 - 1
mm.
- Pemilihan label harus telah melewati pengujian-pengujian di laboratorium
seperti: Ketahanan terhadap kelembaban, suhu rendah, suhu tinggi, getaran,
gaya shear.
- Dari percobaan yang telah dilakukan direkomendasikan bahwa ada 2 kondisi
yang harus diperhatikan, bila pada alat tersebut tidak ada benturan secara
fisik dan digunakan pada suhu kurang dari 93°C, maka label plastik dapat
digunakan. Namun, bila sering terjadi benturan secara fisik dan pada suhu
lebih tinggi dari 93°C, maka label dari bahan metal seperti aluminium dapat
digunakan.
50
- Untuk penggunaan bahan perekatnya, haruslah memenuhi 2 persyaratan
yaitu: kemudahan penggunaannya dan ketahanannya pada suhu tinggi.
3.1 Masalah Yang Terjadi Pada Inventory Di Lapangan
Semakin besar proyek semakin rumit masalah yang dihadapi, terutama:
- Banyaknya jenis material yang ada (+/- 386 stok), dapat dilihat pada
contoh Pengadaan & Pemakaian Material dan Pendatangan Material yang
kami peroleh dari perusahaan kontraktor PT. TATA pada proyek Hotel
Century - Jalan Tunjungan Surabaya. Dari contoh Pengadaan &
Pemakaian Material, dapat dilihat bahwa setiap periode, seorang staf
inventory bertugas untuk mencatat semua material yang tersedia dan
dipakai dalam periode tersebut, kesulitan yang dihadapinya adalah
kejenuhan dan kelelahan yang timbul karena harus menulis secara
lengkap pada berlembar-lembar kertas dan dapat menimbulkan tingginya
angka kesalahan dan ketidakakuratan pengecekan material. Dari contoh
Pendatangan Material dapat dilihat juga bagaimana kesulitan yang
dihadapi dari staf inventory apabila ada material yang masuk ke lokasi,
staf tersebut harus mencatat tanggal penerimaan, jenis material, nomor
Surat Penerimaan Barang, satuan, jumlah barang dan dari mana barang
dikirim yang kesemuanya itu harus ditulis secara manual dan dapat
menimbulkan angka kesalahan dan ketidakakuratan pendataan material.
- Pengontrolan yang harus dilaksanakan setiap satu minggu sekali (dapat
dilihat pada lampiran 2)
- Memerlukan banyak kertas untuk lembar kontrol material
- Terjadinya penundaan pekerjaan akibat kekosongan stok barang
51
- Sering terjadi kesalahan pencatatan data oleh pekerja yang timbul karena
kelelahan dan ketidaktelitian pekerja.
Di lihat dari banyaknya masalah yang terjadi di lapangan, maka perlu
dipikirkan suatu alternatif di dalam mengatasi kerugian-kerugian yang
terjadi yang menyebabkan tidak efisiennya pelaksanaan proyek, karena
banyak mengeluarkan waktu, tenaga, bahkan biaya akibat kontrol yang
kurang baik.
3.2 Sirkulasi Barang
Bagan sirkulasi barang tanpa aplikasi barcode:
Barang masuk
Stok barang di gudang
Pembuatan laporan secara manual setiap periode
Pengecekan barang secara manual apakah sesuai dengan pesanan
Pencatatan secara manual pada buku stok barang
-
Pencatatan barang secara manual pada buku stok barang
yf
Barang siap digudang
i '
Pengambilan barang - digudang sesuai dengan
kebutuhan proyek
Sirkulasi barang dengan aplikasi barcode:
Barang masuk
Stok barang di gudang 4 -
— • Pengecekan barang dengan scanning
Setiap saat bisa dibuatkan laporan stok barang secara otomatis
Barang siap digudang
i r Pengambilan barang sesuai kebutuhan
Gambar 3.12 Perbandingan sirkulasi barang
52
Banyaknya penerimaan dan permintaan barang di proyek membuat
berubahnya jumlah stok material yang ada di dalam gudang, dimana untuk
menerima maupun mengambil barang seringkali diperlukan prosedur yang
terlalu rumit dan terlalu lama di dalam mendatanya, sehingga membuang
waktu dan biaya.
Adanya sistem barcode akan memberikan suatu jalan keluar untuk
menyelesaikan masalah seperti pemborosan waktu, tenaga, dan biaya dengan
mempercepat proses inventarisasi material. Pada Gambar 3.12 dapat dilihat
perbedaan sirkulasi barang tanpa aplikasi barcode (Ballou, 1985)
dibandingkan dengan sirkulasi barang dengan aplikasi barcode (Greene,
1987).
Dari perbandingan kedua bagan diatas dapat dilihat bahwa
penggunaan aplikasi barcode sangat mengurangi kesalahan yang dibuat
dalam pencatatan barang.
3.3. Aplikasi Teknologi Barcode di Inventory
Mengingat masalah-masalah yang terjadi di lapangan pada inventory,
maka pengaplikasian teknologi barcode diharapkan dapat mengurangi
masalah-masalah tersebut.
Dengan otomatisasi inventory dengan bantuan teknologi barcode,
maka kesalahan-kesalahan yang terjadi karena kelelahan manusia dapat
dikurangi semaksimal mungkin dan mempercepat waktu kerja.
Pengaplikasian teknologi barcode di inventory adalah berupa
pengkodean material menurut jenis materialnya, penginputan data barang
S3
masuk/keluar ke dalam suatu database dengan bantuan barcode, pengolahan
dan penyimpanan data barang masuk/keluar dengan program inventory serta
pengontrolan stok material yang tersedia dengan bantuan program
scheduling.
Langkah awal yang harus dilakukan sebelum penerapan aplikasi ini
adalah:
• Pengkodean (klasifikasi barang)
Sebelum pengontrolan menggunakan barcode dimulai, maka terlebih
dahulu material-material yang ada harus dikodekan terlebih dahulu.
Material-material yang dipakai dikelompokkan menurut tipe material dan
dengan memperhatikan harga material tersebut. Untuk material yang
mempunyai harga yang lebih tinggi, akan lebih diperhatikan meskipun
mempunyai volume yang kecil, sedangkan untuk material yang
mempunyai harga yang lebih rendah akan relatif kurang diperhatikan
meskipun mempunyai volume yang besar. Untuk klasifikasi material
setiap perusahaan dapat menggolongkannya sendiri, sebagai contoh
berdasarkan pada daftar material yang tercantum pada info papan
(lampiran 3), dengan pengklasifikasian sebagai berikut:
1. Bahan Dasar
2. Ubin
3. Kayu
4. Hardboard dan eternit
5. Besi dan kawat
6. Buis beton
<4
7. Pipa
8. Cat
9. Atap
10. Kaca
11. Sanitair
12. AlatPengunci
Saat ini tidak semua material dapat langsung diterapkan penggunaan
label barcode, sehingga untuk pelaksanaannya perlu dilakukan suatu
persiapan terlebih dahulu. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari
klasifikasi material sebagai berikut:
TIPE MATERIAL
Bahan Dasar
KETERANGAN
Tidak dapat langsung diaplikasikan, karena
bahan dasar umumnya masih berupa bahan
curah, sehingga tidak memungkinkan
pemberian label barcode. Namun, untuk
penanganan di masa yang akan datang dapat
diupayakan suatu pengemasan bahan curah
tersebut sehingga dapat berwujud dos,
sehingga penempelan label barcode dapat
dilakukan pada dos tersebut. Saat ini,
penggunaan bantuan lembar kode barang
sebagai label barcode secara tidak langsung
dapat menjadi suatu alternatif
penanganannya.
Kayu
Hardboard dan eternit
Besi dan Kawat
Ubin
Dapat langsung diaplikasikan, meskipun
penjualan kayu masih berupa bahan baku,
namun penemoelan barcode dapat
diupayakan dengan memperhatikan perekat
yang tidak merusak kayu. Di masa yang
akan datang, diharapkan penjualan bahan
kayu sudah merupakan barang-barang jadi
yang modular seperti kusen, pintu dan Iain-
lain yang penempelan label barcode dapat
diaplikasikan juga.
Dapat langsung diaplikasikan, namun perlu
diperhatikan perekat yang tidak
merusakhardboard ataupun eternit.
Tidak dapat langsung diaplikasikan pada
barang-barang sejenis kawat, dan besi cor,
namun diharapkan di masa yang akan
datang, pengemasannya sudah memakai
dos/packing sehingga penempelan label
barcode dapat dilaksanakan. Untuk besi
WF dan sejenisnya, penempelan label
barcode dapat langsung diaplikasikan
dengan memperhatikan perekat yang kuat.
Dapat langsung diaplikasikan. Saat ini, ubin
5 6
Pipa
Cat
Atap
Kaca
Sanitair
Alat Pengunci
telah dikemas berupa dos, sehingga
penempelan label barcode dapat dilakukan.
Dapat langsung diaplikasikan dengan
memperhatikan perekat label barcode dan
label barcodenya sendiri, karena bentuk dari
bahan pipa yang melengkung.
Dapat langsung diaplikasikan dengan
memperhatikan perekat dan label
barcodenya sendiri karena bentuk dari
pengemasan cat.
Dapat langsung diaplikasikan dengan
memperhatikan perekat label yang kuat
Dapat langsung diaplikasikan dengan
memperhatikan perekat label barcode yang
kuat namun tidak merusakpermukaan kaca
bila ingin dilepas.
Dapat langsung diaplikasikan dengan
penempelan label barcode pada
kemasannya.
Dapat langsung diaplikasikan dengan
penempelan label barcode pada
kemasannnya
57
Melihat hasil perkiraan diatas, maka sebagian besar barang dapat
dilakukan penempelan label barcode, namun untuk bahan curah yang
masih belum mempunyai kemasan yang tertentu, maka perlulah dikaji
lebih lanjut tentang masalah pengemasannya itu.
Penggunaan aplikasi barcode secaara langsung pada barang,
memang sangat efisien, namun cara ini haruslah dimulai dari perusahaan
pabrik pembuatan barang-barang tersebut.
• Pembuatan lembar kode
Lembar kode yang dibuat yaitu lembar kode barang. Lembar kode
barang adalah beberapa lembar kertas yang berisi kode barang/material
berserta dengan kode barcodenya (lampiran 4).
Pembuatan kode barcode dapat menggunakan program EZBarcode
II Printing Program versi 2.25 dari Time Keeping System Inc., dimana
pada pembuatannya diminta untuk memasukkan kode angka/huruf yang
dapat langsung di-print out menjadi garis-garis hitam putih yaitu kode
barcode.
Lembar kode ini dibuat dengan tujuan untuk membantu perusahaan
kontraktor dalam mengidentifikasi material yang sangt banyak, dengan
cepat kedalam program inventarisasi. Kode barcode tidak ditempel
langsung pada material di perusahaan kontraktor sebab jumlah material
yang banyak dan belum dikodekan langsung oleh pabrik, apabila
kontraktor harus menempelkan kode sendiri pada material akan memakan
waktu dan biaya.
• Persiapan program inventory
58
Program inventory adalah program yang berfungsi untuk
menyimpan semua data-data keluar masuknya material serta dapat
melaporkan jumlah stok material yang ada setiap saat.
Program inventory merupakan salah satu bagian dari CIMS
(Contruction Information Management System). Program inventory inilah
yang nantinya membantu didalam pengontrolan proyek dengan aplikasi
teknologi barcode sebagai alat untuk memasukkan data ke dalam
program secara tepat, cepat dan akurat.
Program inventory ini harus dibuat dengan baik dan disesuaikan
dengan keadaan perusahaan kontraktor yang bersangkutan.
Didalam program inventory ini, terdapat pencatatan database tentang
kode barang, nama barang, harga barang dan stok minimum. Stok
minimum inilah yang nantinya selalu di-up date dengan keadaan schedule
agar dalam pengontrolan material dapat disesuaikan dengan schedule
proyek.
Di dalam program inventory ini juga terdapat pencatatan barang
keluar (termasuk jumlah barang, nama barang, dan nama pengambil),
pencatatan barang masuk (termasuk jumlah barang, nama barang), juga
pencatatan pengembalian barang.
Di dalam program inventory ini juga dapat diketahui berapa stok
barang yang ada saat ini dan diperiksa keadaan stok dibanding dengan
rencana stok yang harus tersedia pada periode tertentu yang dihasilkan
dari program scheduling. Pada setiap saat, pengecekan dapat dilakukan
dan dapat dengan mudah dideteksi dengan bantuan suatu tanda yang
59
berupa karakter * apabila suatu material kurang dari stok yang seharusnya
tersedia.
Ada 4 diagram alir yang dibuat, yaitu diagram alir pemasukan
persediaan stok barang, diagram alir barang keluar, diagram alir barang
masuk dan diagram alir barang kembali (lihat lampiran 5).
Pada diagram alir pemasukkan persediaan stok barang, operator
inventory haruslah terlebih dahulu memasukkan nama barang, kode
barang, satuan, harga beli dan stok minimum serta jumlah material yang
ada saat ini pada bagian Administrasi Persediaan (lihat gambar 1 pada
lampiran 6) dengan contoh tampilan layar waktu pengisian hal-hal diatas
pada gambar 3 di lampiran Program Inventory.
Pada diagram alir barang keluar, operator inventory dapat masuk
pada bagian Posting Barang Keluar (lihat gambar 1 pada lampiran 6),
lalu masuk pada bagian Cetak Slip Pengeluaran (lihat gambar 7 pada
lampiran 6), kemudian operator memasukkan kode barang dengan
barcode, memasukkan jumlah barang. Pada saat pengambilan barang,
program inventory akan mengecek apakah stok barang yang diambil akan
melebihi stok minimum yang harus tersedia. Kemudian, program
inventory akan melakukan pencetakan Slip Barang Keluar dan Surat
Jalan.
Pada diagram alir barang masuk, operator masuk pada bagian
Posting Barang Masuk (lihat gambar 1 pada lampiran 6) kemudian masuk
pada Penambahan Stok Persediaan (lihat gambar 14 pada lampiran 6),
60
lalu operator memasukkan kode barang dengan barcode, memasukkan
jumlah barang.
Pada diagram alir barang kembali, operator masuk pada bagian
Posting barang kembali (lihat gambar 1 pada lampiran 6), lalu masuk
pada Posting pengembalian barang (lihat gambar 16 pada lampiran 6),
kemudian memasukkan kode barang dengan barcode dan jumlah barang.
Untuk penjelasan tentang cara kerja dan tampilan secara lengkap,
dapat dilihat pada Lampiran 6.
• Program schedule
Program schedule sangat membantu dalam pengecekan material di
dalam bidang inventarisasi, khususnya dalam hal pengadaan material
(stok minimum inventory). Program schedule ini juga merupakan bagian
dari CIMS. Untuk pelaksanaannya saat ini, program-program seperti
Microsoft Project maupun Primavera dapat digunakan.
Pada program schedule, pengguna diminta untuk memasukkan
daftar pekerjaan yang akan dilakukan beserta durasi setiap pekerjaan dan
hubungan antar pekerjaan. Selain itu, setiap pekerjaaan dimasukkan juga
data-data tentang berapa material yang diperlukan, berapa tenaga kerja
yang diperlukan, dan berapa alat yang dibutuhkan.
Output dari program scheduling yang berupa grafik resources
material yang dipakai untuk menentukan berapa banyak material yang
harus tersedia dalam suatu periode tertentu, dengan cara memasukkan
kebutuhan material setiap periode kedalam stok minimum yang ada pada
program inventory, sehingga pengontrolan material dapat disesuaikan
61
secara periodik dengan schedule proyek. Contohnya: Proyek pekerjaan
kolom 1 - 7 dengan data lama pekerjaan, yang kemudian dapat dibuat
suatu grafik kebutuhan material semen tiap minggu seperti terlihat pada
lampiran 7.