bab iii hasil penelitian dan analisis - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2669/4/t1... ·...
TRANSCRIPT
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Bab ini berisi gambaran mengenai hasil penelitian dan analisis Penulis
terhadap peraturan – peraturan yang mengatur tentang Bantuan Hukum yang
berlaku hingga saat ini hingga munculnya undang-undang Bantuan Hukum dan
diterbitkan pada saat ini.
Sesuai dengan judul Bab ini, peraturan – peraturan yang akan Penulis
kemukakan dalam Bab ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan
Penulis untuk penyusunan Skripsi ini. Selain peraturan – peraturan yang berkaitan
dengan hasil penetitian, Penulis juga melengkapi analisis untuk untuk menjawab
rumusan masalah yang telah dirumuskan dalam tujuan penetitian dalam Bab I
skripsi ini.
Bab ini terdiri dari dua bagian besar. Pertama mengenai gambaran hasil
penelitian. Kedua berisi analisis. Dalam dua bagian besar itu Bab ini terdiri dari
beberapa Sub Bab antara lain; pertama, sub Bab tentang struktur mengenai hasil
penelitian. Kedua, sub Bab mengenai UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sub
Bab ketiga, mengenai UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokad. Keempat
mengenai UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU yang lama).1
1 Memang pada prinsipnya Penulis mengetahui bahwa tidak ada undang-undang yang lama dan
undang-undang yang baru. Hanya saja seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa bantuan
Hukum dilihat dalam skripsi ini dalam kurun waktu Indonesia merdeka, maka Penulis merasa
penting untuk membedakan undang-undang yang lama dengan undang-undang yang baru.
Kelima, mengenai UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
yang baru). Keenam,UU No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Ketujuh,
mengenai Persyaratan dan Tata Cara Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Kedelapan, SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan
Hukum. Kesembilan, mengenai Perwalkot Semarang No. 10 tahun 2010.
Kesepuluh, tentang perbedaan Perwalkot dengan Peraturan lain tentang Bantuan
Hukum. Kesebelas, mengenai Bantuan Hukum di Kota Salatiga. Keduabelas,
mengenai Hakikat Bantuan Hukum cuma-cuma. Ketigabelas, mengenai kapan
perikatan pemberian bantuan hukum. Serta yang terakhir keempatbelas, mengenai
dasar hukum penyelenggaraan Bantuan Hukum.
3.1. Struktur Mengenai Hasil Penelitian
Adapun Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Bantuan Hukum yang
telah ada selama ini yaitu sebagai berikut: (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, (2) UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokad, (3) UU No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (lama), (4) UU No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (baru), (5) UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum,
(6) PP No. 83 tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara
Cuma – Cuma, (7) Surat Edaran Makamah Agung No. 10/Bua.6/Hs/SP/VIII/2010,
(8) Perda Kota Semarang No. 4 tahun 2008 tentang Penanggulangan Kemiskinan
di Kota Semarang. (9) Serta Peraturan Walikota Salatiga No. 51 tahun 2008
tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pada
Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Salatiga. Peraturan-peraturan yang berstruktur seperti telah disebutkan ini masuk
di dalam sub bab hasil penelitian. Setelah hasil penelitian maka dalam sub bab
berikut yaitu analisis. analisis merupakan penguraian suatu peraturan menurut
berbagai bagiannya (break down) dan penelaahan bagian – bagian itu untuk
memperoleh pemahaman sebaik – baiknya. Dalam hal ini, sesuai dengan tujuan
penelitian, yang dimaksud dengan pemahaman yang sebaik – baiknya tersebut
adalah guna mengetahui bagaimana pemberian bantuan hukum sebagai suatu
perikatan yang bersifat cuma – cuma.
3.2. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Dalam KUHAP pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum cuma-cuma
tertuang dari pasal 54-56. Pasal 54-56 KUHAP berbunyi sebagai berikut;
“Pasal 54, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa
berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat
hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan,
menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Pasal 55, “Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam
Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memiih sendiri penasihat
hukumnya”.
Pasal 56, “(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun
atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (2) Setiap
penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-
cuma.”
Memperhatikan hasil penelitian di atas, penulis berpendapat bahwa
pertama, Bantuan Hukum kepada masyarakat sesungguhnya sudah tertuang
secara jelas. Hanya saja ada beberapa kelemahan terhadap pengaturan yang
dimuat dalam KUHAP. Ketika membaca rumusan Pasal 56 Ayat (1) KUHAP
terlihat bahwa KUHAP hanya mengakomodir kepentingan terdakwa tidak
mampu yang dipidana lebih dari 5 tahun? Dengan adanya peraturan yang
demikian maka muncul persoalan, bagaimana dengan terdakwa tidak mampu yang
dipidana kurang dari 5 tahun. Apakah mereka itu kemudian dibiarkan saja oleh
Negara sebagai pihak (the party to contract) dalam perikatan bersisi satu? Padahal
UUD 1945 menjamin warga negara dengan persamaan dihadapan hukum. Maka
dengan demikian KUHAP secara tidak langsung sudah melakukan diskriminasi
atau membeda–bedakan pihak yang berhak atas bantuan hukum kepada warga
negara dengan pembedaan kateori subjek penerima bantuan hukum tersebut.
Kedua, selain adanya diskriminasi yang telah disebutkan di atas, KUHAP
ternyata hanya mengatur mengenai hak terdakwa saja. KUHAP tidak mengatur
tentang bagaimana hak korban. Padahal, seperti yang telah diketahui, bahwa
masyarakat bukan hanya terdakwa saja, korban dari kejahatan juga tidak dapat
dipungkiri banyak yang berasal dari golongan tidak mampu, dalam pengertian
membutuhkan Bantuan Hukum.
Ketiga, tentang Bantuan Hukum secara cuma-cuma, apakah hal itu berarti
bahwa pihak yang dibebani dengan perikatan untuk memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma dalam hal ini Negara harus benar-benar menjamin bahwa
sudah akan ada Bantuan Hukum sejak suatu kasus dibawa hingga pengadilan
dimana warga negara atau orang tidak memiliki Bantuan Hukum? Hal ini menjadi
permasalahan serius karena ketika undang – undang telah mengatur namun
prakteknya tidak terlaksana dengan baik.
Pengaturan tentang Bantuan Hukum di dalam KUHAP harus dapat
mengakomodir kepentingan atas Bantuan Hukum tersebut apabila ada kekurang
jelasan tentang makna pengaturan yang ada dalam KUHAP dapat menjadi salah
satu sebab tidak terpenuhinya hak atas Bantuan Hukum cuma–cuma yang sejak
tahun 1981.
3.3. UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat
Bantuan Hukum dalam undang – undang advokat mengatur pemberian
bantuan hukum cuma – cuma kepada masyarakat yang wajib dilakukan oleh
advokad. Dalam Undang – Undang Advokat itu bantuan hukum cuma – cuma
diatur dalam BAB VI, yaitu dalam Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2).
Adapun Pasal 22 Ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 adalah sebagi berikut
“Advokad wajib memberikan bantuan hukum secara cuma – cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu”. Sedangkan dalam Pasal 22 Ayat (2), diatur berikut
“ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara
cuma – cuma sebagaimana yang telah dimaksud pada Ayat (1), diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah”.
Dengan rumusan Pasal 22 Ayat (1) tersebut maka pengaturan mengenai
pelaksanaan bantuan hukum dalam Undang – Undang Advokat itu akan
dijabarkan lebih jelas dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah
sebagaimana telah disebutkan akan Penulis gambarkan dalam tulisan ini.2
3.4. UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat
pengaturan mengenai Bantuan Hukum yang terdapat dalam BAB VII yang
tertuang dari Pasal 37 hingga Pasal 40. Dalam Pasal 37 UU No. 4 tahun 2004
dijelaskan bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
Bantuan Hukum. Namun, dengan melihat pasal-pasal selanjutnya tidak ada
pengaturan yang jelas mengenai bagaimana pemberian Bantuan Hukum tersebut.
Seperti halnya yang dapat dilihat dalam Pasal 38. Dalam pasal ini hanya
menjelaskan bahwa tersangka yang terkait dalam perkara pidana berhak
menghubungi advokad dan meminta bantuan sejak saat dilakukan penangkapan
dan/atau penahanan. Sedangkan dalam Pasal 39 UU No. 4 tahun 2004 hanya
memberikan penekanan adanya kewajiban dari advokad untuk membantu
penyelesaikan perkara dengan menjunjung tinggu hukum dan keadilan.
Dari penjelasan tersebut maka jika dilihat dalam Undang – Undang
Kekuasaan Kehakiman,3 dalam dokumen yang secara fomal tidak berlaku lagi
tersebut hanya memberi ketegasan bahwa pemberian bantuan hukum disini
merupakan kewajiban dari advokad. Dalam undang-undang Kekuasaan
Kehakiman (lama) belum terlihat menyentuh peran serta Pemerintah (Negara)
2 Lihat sub judul 3.7. dalam Bab ini.
3 UU No. 4 tahun 2008 tentang Kekuasaan kehakiman (lama)
dalam Bantuan Hukum. Hanya saja memang dalam prespektif hukum sebagai
satuan sistem, maka hal itu dapat dikaitkan dengan peraturan atau UU yang lain.
3.5. UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (baru)
mengatur lebih rinci mengenai Bantuan Hukum dibandingkan UU tentang
Kekuasaan Kehakiman yang lama sebagaimana telah diuraikan diatas. Walaupun
dalan UU tentang Kekuasaan Kehakiman yang baru hanya terdapat dua pasal yang
mengatur mengenai Bantuan Hukum. Namun, dalam undang – undang yang baru
tersebut sudah menyinggung mengenai siapa atau pihak (the party to contract)
yang bertanggung jawab atas pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat
tersebut.
Pasal yang menjelaskan tentang Bantuan Hukum dalam undang-undang ini
yaitu Pasal 56 dan Pasal 57 Undang – Undang No. 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Pengaturan dalam pasal tersebut yaitu sebagai berikut;
“ Pasal 56 (1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum. (2) Negara menanggung biaya
perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Pasal 57 (1)
Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum
kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh
bantuan hukum. (2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan secara Cuma-cuma pada semua tingkat
peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Bantuan hukum dan pos
bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Melihat rumusan Pasal 56, UU tersebut telah mengakomodir mengenai
siapa yang menanggung biaya atau dana dalam bantuan hukum bagi masyarakat
tersebut. Pasal 56 Ayat (2) menjelaskan bahwa Negara menanggung biaya perkara
bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Dengan begitu dalam Pasal tersebut
pembuat UU mengatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas pemberian
bantuan hukum kepada masyarakat yang tersangkut masalah hukum.
Namun, persoalannya adalah apa yang sudah diatur atau pacta sunt
servanda, mengikat, berjalan dengan lancar? Walaupun peraturan telah dibuat
namun apakah pasti akan ada jaminan bahwa tidak lagi bakal ditemukan
masyarakat miskin yang harus menjalani proses hukumnya sendiri tanpa ditemani
oleh penasehat hukum?
Menurut pendapat Penulis, Dengan begini maka tanggung jawab atau
perikatan, atau perjanjian dari Negara itu sendiri belum ada jaminan bakal
terlaksana dengan baik. Sehingga apa yang seharusnya terjadi dengan baik justru
hanya menjadi sebuah aturan yang masih harus ditunggu ketegasan dalam
pelaksanaan.
3.6. UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Kaitan dengan pernyataan sebagaimana telah dikemukakan diatas, UU
Bantuan Hukum ini secara khusus mengatur tentang pemberian bantuan hukum
cuma-cuma kepada masyarakat. Undang – undang dimaksud muncul dengan dasar
untuk menjamin hak konstitusional bahwa setiap orang berhak untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam konsideran undang – undang Bantuan Hukum huruf (b) disebutkan
bahwa “negara bertanggung jawab atas pemberian bantuan hukum bagi orang
miskin sebagai perwujudan terhadap akses keadilan”. Dalam undang – undang
Bantuan Hukum itu, “Bantuan Bukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum”.4
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 16 tahun 2011 ini menjelaskan bahwa Penerima
Bantuan Hukum yang dimaksud dalam UU itu adalah masyarakat miskin.
Sedangkan Pemberi Bantuan Hukum adalah Lembaga Bantuan Hukum atau
Organisasi Kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan
undang undang ini5. Hal yang lebih rinci untuk menjabarkan mengenai Pemberi
Bantuan Hukum ini terdapat pada pasal berikutnya.
Tujuan dari penyelenggaraan Bantuan Hukum ini tertuang dalam Pasal 3
undang-undang Bantuan Hukum tersebut. Bantuan Hukum yang diberikan
berdasar undang undang-undang Bantuan Hukum itu bertujuan untuk menjamin
dan memenuhi hak penerima bantuan hukum untuk mendapatkan akses keadilan.
Serta guna menjamin hak konstitusional warga negara dan menjamin kepastian
dari penyelenggaraan Bantuan hukum di seluruh wilayah Indonesia.6 Dalam
4 Pasal 1 Ayat (1) UU No 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
5 Pasal 1 Ayat (2) UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan hukum.
6 Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
kenyataannya hingga hampir satu tahun undang-undang ini muncul, dalam
pelaksanaannya masih belum berjalan sebagaimana yang diinginkan. Masih ada
masalah hukum yang berjalan tanpa adanya Bantuan Hukum bagi pencari
keadilan yang membutuhkan.
Dalam Bab II Pasal 4 Ayat (2) UU No. 16 tahun 2012 tentang Bantuan
Hukum menjelaskan mengenai ruang lingkup yang diberikan oleh undang-
undang itu. Bantuan Hukum dalam undang-undang itu diberikan bagi masalah
hukum keperdataan, pidana dan tata usaha negara, baik dengan jalur litigasi
maupun dengan jalur non-litigasi.
Pasal 5 Ayat (1) UU No. 16 tahun 2012 tentang Bantuan Hukum ini juga
menjelaskan bahwa Penerima Bantuan Hukum menurut undang – undang itu
adalah setiap orang atau kelompok miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar
secara layak dan mandiri. Dalam Ayat (2) dijelaskan hak dasar meliputi atass
pangan, sandang, layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan berusaha, maupun
perumahan.
Penyelenggaraan Bantuan Hukum dalan undang-undang Bantuan Hukum
tersebut diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh Pemberi Bantuan
Hukum. Hal ini sesuai yang tertuang dalam pasal 6 Ayat (4) UU No. 16 tahun
2011. Sedangkan yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum dalam Pasal 1
Ayat (3) yaitu adalah Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan
yang memberi Layanan Bantuan Hukum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
dalam undang-undang Bantuan Hukum tersebut.
UU No. 16 tahun 2011 dengan tegas mengatur bahwa Bantuan Hukum
yang diberikan sesuai aturan dalam UU Bantuan Hukum ini bersifat cuma-cuma.
Dalam Pasal 20 menegaskan adanya larangan bagi Pemberi Bantuan Hukum
untuk menerima ataupun meminta bayaran apapun dari Penerima Bantuan
Hukum. larangan dalam Pasal 20 tersebut dipertegas dengan adanya aturan pidana
yang terdapat dalam pasal 21.7
3.7. PP Persyaratan dan Tata Cara Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
Peraturan Pemerintah RI No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, berisikan bagaimana
dan seperti apa pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma yang akan di terapkan di
Indonesia. Peraturan Pemerintah itu muncul guna menjadi peraturan pelaksana
atas kewajiban pemberian Bantuan Hukum yang terdapat dalam undang-undang
Advokad. Adapun isi dari Peraturan Pemerintah ini sebagai berikut;
Pasal 1 dari Peraturan pemerintah ini berisi tentang ketentuan umum,
ketentuan tersebut termasuk mengatur mengenai pengertian Bantuan Hukum serta
siapa yang berhak mendapat Bantuan Hukum. Dalam ketentuan umum ini
ditegaskan bahwa bantuan hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah itu
meruakan bantuan hukum cuma-cuma.
Dalam Pasal 1 Angka (3) PP tersebut didefinisikan bahwa mengingat
orang antara lain dapat memahami hakikat sesuatu dengan memperhatikan
definisi dari sesuatu tersebut, maka menurut Penulis, PP tersebut di atas
7 Pasal 20 dan Pasal 21 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
tercantumkan hakikat atau sifat-sifat dan kharakteristik bantuan hukum yang
cuma-cuma. Bantuan Hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang
diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian
konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak
mampu.
Sedangkan dalam Pasal 1 Angka (4) PP di atas pembuat PP itu
menetapkan bahwa, Pencari Keadilan yang Tidak Mampu yang selanjutnya
disebut Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang
secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum Advokat untuk
menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Pasal itu dengan demikian hanya
membatasi arti tidak mampu dari sudut pandang ekonomis.
Dalam Pasal 2 PP 83 tahun 2008 dijelasakan mengenai siapa yang
dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum cuma-cuma kepada masyarakat. Pasal
2 menjelaskan bahwa bantuan hukum cuma – cuma wajib diberikan oleh Advokat
kepada pencari keadilan. Dengan pernyataan tersebut berarti Pemberian Bantuan
Hukum cuma-cuma merupakan tanggung jawab dari Advokat.8
Pasal 3 Ayat (1) mencatat berdasarkan tahap-tahap Bantuan Hukum Secara
cuma-cuma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 meliputi tindakan hukum
untuk kepentingan Pencari Keadilan di setiap tingkat proses peradilan. Pasal 3
Ayat (2), Bantuan Hukum secara cuma-cuma berlaku juga terhadap pemberian
8 Pasal 2 PP. No. 83 tahun 2008.
jasa hukum juga diberikan kepada pencai keadilan yang membutuhkan jasa
bantuan hukum di luar pengadilan.
Bantuan Hukum cuma-cuma yang diatur dalam Peraturan Pemerintah itu
diberikan baik untuk Bantuan Hukum di luar pengadilan maupun di dalam
pengadilan. Pemberian Bantuan Hukum di dalam pengadilan akan diberikan pada
setiap tingkatan dari proses peradilan.
3.7.1. Prosedur Pemohonan Bantuan Hukum
Sedangkan di dalam Pasal 4 Ayat (1), pembuat regulasi itu menyatakan
bahwa untuk memperoleh Bantuan Hukum secara cuma-cuma, Pencari Keadilan
mengajukan permohonan tertulis yang ditujukan langsung kepada Advokat atau
melalui Organisasi Advokat atau melalui Lembaga Bantuan Hukum. Dalam Pasal
4 Ayat (2) diatur, Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sekurang-
kurangnya harus memuat; (a) nama, alamat, dan pekerjaan pemohon dan, (b)
uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.
Pasal 4 ayat (3) dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), Pencari
Keadilan harus melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang.
Pasal 5, Permohonan Bantuan Hukum secara cuma-cuma dapat diajukan
bersama-sama oleh beberapa Pencari Keadilan yang mempunyai kepentingan
yang sama terhadap persoalan hukum yang bersangkutan. Pasal 6 Ayat (1), Dalam
hal Pencari Keadilan tidak mampu menyusun permohonan tertulis, permohonan
dapat diajukan secara lisan. Pasal 6 Ayat (2), Permohonan yang diajukan secara
lisan dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh pemohon dan
Advokat atau petugas pada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum
yang ditugaskan untuk itu. Pasal 6 Ayat (3), Permohonan Bantuan Hukum yang
diajukan langsung kepada Advokat, tembusan permohonan disampaikan kepada
Organisasi Advokat.
Pasal 7 (1), Advokat, Organisasi Advokat, atau Lembaga Bantuan Hukum
wajib menyampaikan jawaban terhadap permohonan kepada pemohon dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diterima. Pasal 7 Ayat
(2) dijelaskan, dalam hal kejelasan mengenai pokok persoalan yang dimintakan
Bantuan Hukum belum jelas maka Advokat, Organisasi Advokat, atau Lembaga
Bantuan Hukum dapat meminta keterangan tambahan kepada pemohon dalam
waktu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
Pasal 8 Ayat (1), dalam hal permohonan diajukan kepada Organisasi
Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum maka Organisasi Advokat atau Lembaga
Bantuan Hukum tersebut menetapkan Advokat yang ditugaskan untuk
memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Pasal 8 Ayat (2), Advokat yang
ditugaskan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) namanya dicantumkan dalam
jawaban terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1).
Pasal 9 ayat (1), Keputusan mengenai pemberian Bantuan Hukum secara
cuma-cuma ditetapkan secara tertulis dengan menunjuk nama Advokat. Pasal 9
ayat (2), Keputusan pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada Ayat
(1) disampaikan kepada pemohon dan instansi yang terkait dengan pelaksanaan
pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma.
3.7.2. Standarisasi Kualitas Jasa
Pasal 10, Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma
harus memberikan perlakuan yang sama dengan pemberian Bantuan Hukum yang
dilakukan dengan pembayaran honorarium. Dalam kaitannya dengan standarisasi
kualitas jasa Bantuan Hukum, Pembuat regulasi itu juga menegaskan kalau PP
tersebut dalam Pasal 11 ayat (1) bahwa Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-
cuma dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kode
etik advokat, dan peraturan organisasi Advokat. Pasal 11 Ayat (2), Pelaksanaan
pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma dilaporkan oleh Advokat kepada
Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
Pasal 12 ayat (1), Advokat dilarang menolak permohonan Bantuan Hukum
secara cuma-cuma. Pasal 12 ayat (2) pembuat regulasi menyatakan bahwa dalam
hal terjadi penolakan permohonan pemberian Bantuan Hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemohon dapat mengajukan keberatan kepada Organisasi
Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum yang bersangkutan.
3.7.3. Larangan Menerima Pemberian
Pasal 13 Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma
dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari
Keadilan. Sedangkan Pasal 14 Ayat (1), Advokat yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 dijatuhi sanksi oleh
Organisasi Advokat. Pasal 14 Ayat (2), sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa: (a) teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c) pemberhentian
sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan
berturut-turut; atau (d) pemberhentian tetap dari profesinya. Pasal 14 Ayat (3),
Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), kepada
yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri. Pasal
14 Ayat (4) Ketentuan mengenai tata cara pembelaan diri dan penjatuhan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Organisasi Advokat.
Pasal 15 Ayat (1), organisasi Advokat mengembangkan program Bantuan
Hukum secara cuma-cuma dapat bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum.
Pasal 15 Ayat (2), Untuk melaksanakan program sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Organisasi Advokat membentuk unit kerja yang secara khusus mengenai
Bantuan Hukum secara cuma-cuma. Pasal 15 Ayat (3), Ketentuan lebih lanjut
mengenai susunan organisasi dan tata kerja unit kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan peraturan Organisasi Advokat.
Pasal 16 Dalam hal Organisasi Advokat dan Lembaga Bantuan Hukum
belum memiliki unit kerja, penanganan permohonan dan pelaksanaan Bantuan
Hukum Secara Cuma-Cuma dilakukan oleh unit kerja lain yang ditetapkan oleh
Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
Pasal 17, Pada saat Peraturan Pemerintah itu mulai berlaku, pemberian
Bantuan Hukum secara cuma-cuma yang sedang ditangani Advokat, dilaporkan
kepada Organisasi Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum.
Pasal 18, Unit kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) harus
sudah ditetapkan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan
Pemerintah ini diundangkan.”
Pasal 4 – Pasal 18 PP No. 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma hanya mengatur mengenai
teknis pemberian Bantuan Hukum. Peraturan pemerintah ini secara tegas
menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam peraturan ini
menjadi tanggung jawab dari Advokat maupun organisasi Advokat. Sehingga
dalam hal ini peran serta Negara secara langsung tidak terlihat perannya. Bentuk
perikatan negara atas bantuan hukum yang bersifat cuma-cuma tidak nampak
dalam adanya peratuan ini.
3.8. SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum
Surat Edaran Makamah Agung (SEMA) itu muncul dalam setelah adanya
pengaturan hukum mengenai pemberian Bantuan Hukum dalam Undang-Undang
kekuasaan kehakiman yang baru. SEMA itu memiliki fungsi untuk mengatur lebih
rinci mengenai bagaimana pemberian Batuan Hukum dilaksanakan.
Dalam SEMA No 10 Tahun 2010 itu diatur mengenai pengadaan pos
pemberian bantuan hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri. Seperti
halnya yang telah diterangkan dalam Pasal 1 Angka 3 SEMA No 10 Tahun 2010,
pos bantuan hukum merupakan ruang yang disediakan oleh dan pada setiap
pengadilan negeri bagi advokad yang piket dalam memberikan layanan bantuan
hukum kepada pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan
bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi
hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan perkara, dan
memberikan rujukan lebih lanjut mengenai bantuan jasa advokat.9 SEMA
mendefinisikan bantuan jasa advokad itu sendiri sebagai jasa hukum yang
diberikan secara cuma-cuma untuk mewakili, mendampingi, membela, dan
melakukan tindakan hukum lainnya berdasar peraturan perundang-undangan
untuk kepentingan pemohon bantuan hukum dalam perkara pidana amupun
perkara perdata, yang diberikan oleh advokat berdasar ketetapan ketua
pengadilan.10
Menurut Pasal 1 Angka (3) SEMA tersebut, pihak berperkara yang
dihadapi oleh pemohon hanya menerima bantuan bila yang tersangkut masalah
perdata, pidana dan tata usaha negara. Sedangkan untuk permasalahan di luar
perkara pidana dan perdata belum mendapat perhatian yang lebih. Sedangkan
sesungguhnya berdasarkan undang – undang dasar 1945 setiap orang berhak atas
persamaan di muka hukum tanpa adanya diskriminasi apapun.
Dalam SEMA tersebut, dalam pasal 31 telah menjelaskan bahwa bila
sudah disahkan, ketentuan tentang bantuan hukum maka Bantuan Jasa Advokat
9 Pasal 1 angka (3) Surat Edaran Mahkamah Agung No 10 tahun 2010.
10
Ibid., Pasal 1 angka (7).
sebagaimana diatur dalam pedoman ini akan menyesuaikan dengan kebutuhan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut.
3.8.1. Perbedaan antara SEMA dan PP tentang Bantuan Hukum
Dalam SEMA No 10 tahun 2010 itu ada perbedaan mendasar dengan PP
No. 83 Tahun 2008. Dalam PP No 83 Tahun 2008 tindak dijelaskan mengenai
pendanaan dari penyelenggaraan bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan.
Sedangkan dalam SEMA No. 10 tahun 2010 justru dijelaskan secara tegas dalam
Pasal 1 Angka (12) ketentuan itu menegaskan bahwa anggaran bantuan hukum
merupakan alokasi negara yang berada dalam lingkup peradilan umum yang
dibiayai Mahkamah Agung melalui DIPA bantuan hukum Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Umum yang dialokasikan pada Pengadilan Negeri.11
Penganggaran untuk bantuan hukum oleh Negara tersebut juga ditekankan
pada bagian dua Pasal 9 Lampiran (A) SEMA No. 10 Tahun 2010 ini yaitu
mengenai biaya penyelenggaraan pos bantuan hukum digunakan untuk pengadaan
advokad piket diperoleh melalui APBN.12
Melalui apa yang telah dijelaskan di atas berarti bahwa pemberian bantuan
hukum dalam SEMA No 10 Tahun 2010 ini merupakan tanggung jawab Negara
yang dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri. Ini berarti bahwa Negara
mengikatkan diri untuk memberikan prestasi kepada masyarakat miskin dalam
bentuk bantuan hukum secara cuma-cuma. Negara mengikatkan diri kepada
11
Pasal 1 Angka 12 Lampiran (A) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 tahun 2010.
12
Pasal 9 Ayat (1) SEMA No. 10 tahun 2010.
masyarakat sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk menanggung kepentingan
bersama.
3.9. Perwalkot Fasilitasi Bantuan Hukum Bagi Warga Kota Semarang
Peraturan wali kota semarang itu mengatur mengenai pemberian fasilitas
bantuan hukum bagi warga kota semarang. Peraturan pemerintah kota semarang
itu muncul sebelum diberlakukan UU No 18 Tahun 2003 tentang Bantuan
Hukum.
Adapun sebab dari munculnya berbagai ketentuan bantuan hukum di
daerah-daerah tersebut adalah bahwa sebelum munculnya undang – undang
bantuan hukum pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin tidak diatur
secara terpusat oleh negara sehingga setiap daerah berhak mengatur secara
tersendiri aturannya mengenai pemberian bantuan hukum. Antara lain dilakukan
oleh Kota Semarang yang memunculkan peraturan walikota tersebut sebagai dasar
pelaksanaan tugas dan wewenang bagian hukum pemerintah Kota Semarang.
3.10. Perbedaan Perwalkot dengan Peraturan Lain tentang Bantuan Hukum
Dalam Peraturan Walikota Semarang No. 10 tahun 2010 ada perbedaan
kata yang digunakan untuk menyebutkan pemberian bantuan hukum yang biasa
digunakan dalam peraturan perundangan lainnya. Pemberian bantuan hukum
cuma – cuma dalam Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2010 ini disebut
fasilitasi bantuan hukum.
Peraturan Walikota Semarang Nomor 10 tahun 2010 tentang Fasilitasi
Bantuan Hukum Bagi Warga Miskin Kota Semarang muncu sebagai tindak lanjut
atas adanya Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang
Penanggulangan Kemiskinan Di Kota Semarang.
Dalam Pasal 1 Angka (11) Peraturan Walikota No. 10 tahun 2010 itu
dijelaskan mengenai pengertian fasilitasi bantuan hukum. Fasilitasi bantuan
hukum merupakan progam bantuan hukum yang diberikan oleh Pemerintah
Daerah melalui Advokat/Pengacara kepada warga miskin yang terkena perkara
pidana. baik dalam proses pemeriksaan dan atau proses persidangan sampai pada
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang atau Pengadilan Tinggi
Jawa Tengah atau Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berkekuatan
hukum tetap.
Pasal 2 Peraturan Walikota No. 10 Tahun 2010 mengatur mengenai
maksud dan tujuan atas pemberian fasilitasi bantuan hukum tersebut. Pasal 2 ayat
(1) dalam Peraturan Walikota ini berisi mengenai Maksud pemberian fasilitasi
bantuan hukum itu sendiri. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa bantuan hukum
adalah untuk memberikan perlindungan bagi warga miskin Kota Semarang yang
terkena perkara pidana.
Dalam Pasal 2 Ayat (2) memuat tujuan dari pemberian fasilitasi bantuan
hukum tersebut. Tujuan dari fasilitas bantuan hukum untuk memberikan bantuan
hukum bagi warga miskin yang membutuhkan perlindungan hukum melalui jasa
Advokat / pengacara untuk mendampingi baik pemeriksaan oleh aparat penegak
hukum maupun di dalam proses persidangan.13
13
Pasal 2 Peraturan Walikota Semarang No. 10 tahun 2010.
Biaya yang digunakan untuk memberikan bantuan hukum ini, sesuai
dengan pasal 5 Peraturan Walikota Semarang Nomor 10 Tahun 2010 digunakan
APBD Kota Semarang.14
Melihat dari pendanaan tersebut maka di dalam peraturan ini Negara
bertangung jawab atas pemberian bantuan hukum yang diberikan oleh warganya
yang membutuhkan.
Pemerintah Kota sebagai kepanjangan tangan dari Negara harus mampu
mewujudkan kontrak (perikatan) yang telah diberikan kepada masyarakatny,
mengingat Negara telah memiliki kontrak membuat suatu perikatan voluntir yang
telah dibuat kepada warganya melalui peraturan yang telah dibuat ini.
3.11. Bantuan Hukum di Kota Salatiga
Peraturan pemerintah Kota Salatiga No. 31 tahun 2008 tentang
sesungguhnya tidak secara khusus mengatur mengenai pemberian bantuan hukum
cuma-cuma yang diberikan oleh Pemerintah Kota Salatiga kepada warga kotanya.
Namun, sesungguhnya peraturan itu hanya berisi tugas pokok dan uraian tugas
pejabat struktural pada sekretariat daerah, termasuk dalam hal ini mengenai tugas
bagian hukum dalam pemerintah Kota Salatiga yang menangani soal pemberian
bantuan hukum kepada warga Kota Salatiga.
Pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum itu sendiri terrdapat
dalam bagian 3 Pasal 11 Ayat (2) huruf (c), yang menyebutkan sebagai berikut,
untuk melaksanakan tugas pokok, bagian hukum menyelenggarakan fungsi, c.
14
Pasal 5 Peraturan Walikota Semarang No. 10 tahun 2010.
Penyiapan bahan pertimbangan dan bantuan hukum. Yang termasuk tugas bantuan
hukum dalam Pasal 11 Ayat (3) Huruf (e) dijelaskan yaitu memberikan
pertimbangan, bantuan dan konsultasi hukum kepada massyarakat dan aparat
dilingkungan pemerintah daerah atas permasalahan hukum, baik didalam maupun
di luar pengadilan, guna penyelesaiannya.15
Dalam pelaksanaan progam bantuan hukum oleh bagian hukum
pemerintah kota salatiga ini dilakukan dengan cara memberi bantuan finansial
yang berasal dari APBD kepada Advokad yang telah ditunjuk oleh penerima
bantuan hukum. Dengan begitu maka progam bantuan hukum bagi masyarakat
miskin di Kota Salatiga adalah progam yang diberikan oleh Negara melalui
pemerintah daerah.
3. 12. Hakikat Bantuan Hukum Cuma-Cuma
Memerhatikan tinjauan pustaka dalam Bab II serta pengetian bantuan
hukum sebagaimana tela dikemukakan dalam Bab III tentang hasil penelitian,
maka penulis berpendapat bahwa bantuan hukum cuma-cuma itu pada hakekatnya
adalah suatu (perikatan) yang lahir bukan karena perjanjian, tetapi karena undang-
undang.
Penulis juga berpendapat bahwa mengingat kewajiban yang dipikul oleh
pihak Negara (Menkumham), apabila hal itu dilihat dari prespektif UU Bantuan
Hukum, lahir karena ada UU, maka dapat dikatakan bahwa hakekat dari
pemberian bantuan hukum sebagai suatu perikatan itu adalah beregi satu
15
Peraturan Walikota Salatiga Nomor 51 Tahun 2008.
(Unilatateral Vouluntary Oblogation). Dalam hal ini seperti yang telah penulis
kemukakan dalam tinjauan pustaka, sub bab 2.8, perjanjian itu memberikan
keuntungan kepada pihak lain, tanpa perlu adanya penerimaan suatu manfaat di
orang yang memberi (Negara). Perikatan voluntir ini hanya bisa terjadi bila pihak
yang melaksanakan tugas (kewajiban) adalah pihak yang memiliki kapasitas
untuk mengikatkan diri secara sah. Dalam hal ini pihak yang memiliki kapasitas
dalam perikatan atas pemberian bantuan hukum ini adalah Negara.
3.13. Kapan Perikatan Pemberian Bantuan Hukum
Mengingat hakikat (the nature) dari Bantuan Hukum cuma-Cuma adalah
suatu kontrak, dalam hal ini suatu perikatan yang termasuk sebagai unilateral
voluntary obligation, maka analisa selanjutnya dari bantuan hukum cuma-cuma,
atau break-down terhadap unsur-unsur dari bantuan hukum sebagai suatu
perikatan yang bersifat cuma-cuma akan dilakukan menurut struktur suatu
kontrak.
Pada prinsipnya struktur suatu kontrak dimulai dengan dasar hukum di
mana perikatan tersebut dicantumkan; selanjutnya diikuti dengan pihak (the parti
to contract) kemudian diikuti dengan kapasitas (capacity) dan kekuasaan (power
to contract); hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak/perikatan
tersebut; kapan lahir perikatan itu; kapan berakhir perikatan tersebut; serta
mekanisme penyelesaian sengketa apabila ada pelanggaran terhadap perikatan
tersebut, misalnya apabila perikatan itu tidak dilaksanakan.
3.14. Dasar Hukum Penyelenggaraan Bantuan Hukum
Sebagaimana telah diucapkan di atas, berikut ini Penulis berpendapat
bahwa penyelenggaraan bantuan hukum sejak diundang-undangkannya UU
Bantuan Hukum adalah UU No. 16 tahun 2011 dan UU No 18 tahun 2003 tentang
advokad. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (1) UU No. 16 tahun 2011
dimana pembuat UU itu menegaskan bahwa: “Bantuan Hukum diselenggarakan
untuk membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi Penerima
Bantuan Hukum”.
Sedangkan penyelenggaran bantuan hukum sebelum diundang-undangkannya UU
Bantuan Hukum mendasarkan diri kepada beberapa peraturan perundang-
undangan tersendiri, yang ada sebelum UU Bantuan Hukum. Seperti yang telah
Penulis gambarkan dalam bagian hasil penelitian, penyelenggaraan bantuan
hukum dalam perkara pidana sebelum UU Bantuan Hukum diundangkan
mendasarkan diri kepada KUHAP. Pasal 56 KUHAP,16
seperti telah dikemukakan
di depan, mencatat kehendak pembuat UU untuk menyerahkan penyelenggaraan
bantuan hukum kepada pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemerikasaan dalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan pasal 56 KUHAP,
dalam pasal 6 Ayat (2) UU Bantuan Hukum, pihak penyelenggara bantuan hukum
adalah Menkumham sedangkan pelaksanaan bantuan hukum adalah lembaga
bantuan hukum (LBH) atau organisais kemasyarakatan (LSM) yang memberi
layanan bantuan hukum berdasarkan UU Bantuan Hukum
16
Pasal 56 Ayat (1) KUHAP “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pisada lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau
lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka”.
Pasal 56 Ayat (2) KUHAP “Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana
yang dimaksud dalam Ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma”.