bab iii hasil penelitian dan analisis a. - institutional...
TRANSCRIPT
45
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil penelitian
Bab III ini berisi hasil penelitian atau temuan data. Temuan ini sebagai
jawaban rumusan dan tujuan penelitian dalam rangka untuk menjawab tujuan
penelitian yaitu Mengetahui hak atas tanah adat di Indonesia dan pengakuan
Negara hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam
sistem hukum Indonesia. Temuan data pada bab ini akan berupa seperti apa
pengaturan dan isi tentang Hukum Adat dalam Hukum Indonesia.
1. Pengakuan Negara terhadap hak atas tanah adat dan masyarakat adat
1). Berdasarkan UUD 1945
Pasal 18 B ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan sebagai berikut:
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
46
Pada aras pengaturan dapat dimengerti adanya pengakuan terhadap hukum
adat dan masyarakat adat. Dari isi pasal peraturan terurai di atas dapatlah
dikatakan ada pengakuan atas keberadaannya masyarakat hukum adat. Bukti
bahwa adanya pengakuan tersebut terdapat dalam:... Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya (pasal 18 B UUD RI 1945),........... Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya...... sepanjang masih hidup... Dengan frase sepanjang masih hidup
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui.
2). Berdasarkan UU no 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok
Agraria.27
Hukum tanah nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah,
yang dinyatakan dalam konsiderans / UUPA. Pernyataan mengenai hukum adat
terdapat dalam:
a. Dalam penjelasan umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa, ”Dengan
sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran
hukum dari rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar
tunduk pada hukum adat, maka Hukum Agraria baru tersebut akan
didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum
yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan
27
Sri Harini, 2011, edisi Oktober,Majalah Refleksi Hukum FH, Jurnal Ilmu Hukum, hal 292-293
47
masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan
dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia.
Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak
terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang
kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.”
b. Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa: Hukum Agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang-ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan
atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan–peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini
(maksudnya: UUPA) dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersangkutan pada
hukum agama. Dalam penjelasan pasal 5 dinyatakan bahwa: penegasan
bahwa hukum adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru.
Selanjutnya lihat Penjelasan Umum III angka 1.
c. Dalam penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa: Pasal ini adalah
pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang
diletakkan dalam Pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan Nasional didasarkan
atas Hukum Adat, maka penentuan hak–hak atas tanah dan air dalam
pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam hal itu
hak–hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan–ketentuan
Undang-undang ini(pasal 7 dan 10) tetapi berhubungan dengan keadaan
48
masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara
dan akan diatur (ayat 1 huruf h jo pasal5).
d. Pasal 56 dinyatakan bahwa: Selama Undang-undang mengenai hak milik
sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang
berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat.... sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan Undang-undang Pokok Agraria.
e. Dalam pasal 58 menyatakan bahwa: Selama peraturan-peraturan
pelaksana undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan,
baik yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai bumi, air, kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah yang ada pada
mulai berlakunya UU ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang in serta
diberi tafsiran yang sesuai dengan itu. Pasal ini tidak menyebutkan
Hukum Adat secara langsung. Tetapi apa yang disebut peraturan yang
tidak tertulis mencakup juga Hukum Adat.
3). Instruksi Presiden No.1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan
Bidang Ke agrarian dengan Bidang Kehutanan.28
Diatur perihal perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat
dalam hal pemegang HPH menguasai bidang tanah yang di dalamnya terdapat
tanah dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak
28
Ibid, halaman 295
49
yang sah, maka hak itu harus dibebaskan terlebih dahulu oleh pemegang HPH
dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak tersebut untuk kemudian
dimohonkan haknya kepada negara, dengan mengikuti tata cara yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan agraria yang berlaku.
4). Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 memberikan
pernyataan tentang masyarakat adat sebagai berikut: Pemerintah menetapkan
kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang
dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat. Pasal tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa dalam
rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup dan
penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan proporsional potensi,
aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Misalnya perhatian terhadap masyarakat adat yang hidup dan
kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang terdapat di sekitarnya.
Masyarakat adat memiliki keragaman yang dapat dilihat dari segi budaya, agama
dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial. Dalam kaitannya
dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan
mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam
50
dengan mene-kankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari
masyarakat-masyarakat adat dengan alam.
5). Hak Ulayat dalam UU no 5 tahun 1967 dengan UU no 41 tahun 1999
tentang Kehutanan.29
Menurut pernyataan UU pokok Kehutanan (UU no 5 tahun 1967) semua
hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara. Hak Ulayat masyarakat-
masyarakat hukum adat harus diakui, tetapi sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, sesuai dengan ketentuan pasal 3 UUPA, didalam pasal 17 ditentukan
bahwa “pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya
serta perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung
maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum,
sepanjang menurut kenyatannya masih ada; tidak boleh mengganggu tercapainya
tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Dalam penjelasan
umumnya dinyatakan antara lain:”Didalam pasal 2 dipergunakan istilah “Hutan
Negara” untuk menyebut semua hutan yang bukan “Hutan Milik”. Dengan
demikian maka pengertian “Hutan Negara” itu mencakup pula hutan-hutan yang
baik berdasarkan peraturan perundangan maupun hukum adat dikuasai masyarakat
hukum adat.
29
Ibid, hal 294
51
Pengaturan perihal masyarakat adat dalam hubungannya dengan hutan
ulayatnya diatur dalam pasal 67, bahwa masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, berhak:
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang; dan
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya. Kemudian diatur kriteria mengenai pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat jika memang kenyataannya
memenuhi unsur antara lain:
1. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban
(rechtsgemeenschap)
2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya
3. ada wilayah hukum yang jelas
d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang
masih ditaati,
e. Masih melakukan kegiatan mengambil hasil hutan diwilayah hutan
sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
52
6). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat .30
Oleh karena meningkatnya masalah yang berkenaan dengan hak ulayat
masyarakat hukum adat, maka diterbitkan peraturan ini, yang memberikan
pengaturan sebagai berikut :
a. Pasal 1: bahwa Hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat hukum
adat, didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh
masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk
tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang
timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak
terputus antara masyarkat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
b. Pasal 2: bahwa Hak Ulayat mengandung 2 unsur, yaitu :
- Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak
kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas
tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek
moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung
utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum).
30
Ibid, hal 295
53
- Unsur kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan
untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah
ulayat tersebut. Peraturan ini menyebutkan tanda-tanda yang perlu diteliti untuk
menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu :
a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih
merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-
ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut.
7). Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia.31
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia
(UUHAM) memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat adat, dalam
31
Ibid, hal 297
54
hubungannya dengan hak-hak azasi manusia. Pasal 6 UUHAM berbunyi: Ayat (1)
: “Dalam rangka penegakkan hak azasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat dan pemerintah.” Ayat (2): “Identitas budaya masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan
zaman.” Dijelaskan lebih lanjut bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku
dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati
dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan
peraturan perundang-undangan. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih
secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap
dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara
hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Selain itu ditegaskan
pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai
kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat
setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan
penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran
HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindakan-tindakan pelecehan,
kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bisa dikategorikan
kejahatan serius dan berat, sehingga memungkinkan untuk diselesaikan di
pengadilan HAM.
55
Dalam hubungannya dengan hak atas tanah, politik hukum atas tanah di
Indonesia pada jaman kolonial memunculkan pluralisme status tanah, yaitu tanah
negara, tanah adat dan tanah-tanah yang dimiliki oleh swasta. Apa yang seratus
tahun yang lalu hanya dilihat sebagai masalah pertanahan biasa, sekarang
terangkat sebagai masalah dalam wilayah hak asasi manusia. Di sinilah hubungan
antara hak ulayat dan hak asasi manusia32
. Hak ulayat dapat dimasukkan ke dalam
kategori hak seperti hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan yang bersih.
Yang menjadi masalah penting disini adalah hak masyarakat adat atas tanah yang
menjadi habitat hidupnya. Di belakang itu adalah kesadaran, bahwa manusia tidak
dapat dilepaskan dari habitatnya atau ia menjadi ambruk. Jadi menjaga keutuhan
hubungan antara manusia dan habitatnya masuk dalam agenda memajukan dan
melindungi hak asasi manusia. Tanah bagi manusia merupakan syarat penting
bagi menjaga kelangsungan hidupnya, sebab tanah berarti makan, tinggal,
membesarkan keluarga, memelihara warisan budaya, singkat kata: hidup.
Masyarakat adat sangat bergantung pada tanah yang menjadi tempat tinggal yang
merupakan bagian dari hak untuk hidup memelihara warisan budaya, singkat kata:
hidup. Masyarakat adat sangat bergantung pada tanah yang menjadi tempat
tinggal yang merupakan bagian dari hak untuk hidup.
32
Parlindungan, A.P., 1992, Beberapa Pelaksanaan Kegiatan Dari UUPA Bandung : Mandar
Maju. Hal. 48
56
8). TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.33
Pasal 4 menyatakan : pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya
alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip :
Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Menghormati dan menjujung tinggi hak asasi manusia
Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaraman dalam unifikasi hukum
Mensejaterahkan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia.
Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat.
Mewujudkan keadilan termaksut kesejateraan jender dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan
sumber daya agraria/sumber daya alam.
Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,
baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan
tetap memerhatikan daya tampung dan daya dukung.
33
Maria SW, Sumarjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Kompas,
Jakarta , Januari, 2008
57
Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat.
Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan
dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam.
Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat
dan keagamaan budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya
alam.
Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah
(pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat),
masyarakat, dan individu
Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di
tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang
setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya
agraria/sumber daya alam.
9). Berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, menyatakan bahwa: “Kegiatan usaha
minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat
yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar
58
budaya, serta tanah milik masyarakat adat.” Demikian hal yang sama pada
subsektor Panas Bumi (Pasal 16 ayat (3) huruf a UU No 27 Tahun 2003).
10). Berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam ketentuan UU tersebut, antara lain diatur bahwa masyarakat hukum
adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi
pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam
Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No 24 Tahun 2003. ”Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara.
11). Berdasarkan UU no.4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral &
batubara (UU Minerba). 34
Inkonsistensi UU Minerba jika dikaitkan dengan hak-hak Mahudat, antara
lain:
34
H.P Penggabean, 2011, Juli, Law Review, FH Univ. Pelita Harapan. Hal 79
59
a. Hak veto masyarakat hukum adat tidak diakui karena hanya memiliki 2
pilihan, yaitu ganti rugi sepihak atau memperkarakan ke pengadilan.
Bahkan penduduk lokal beresiko dipidana setahun atau denda Rp 100 juta
jika menghambat kegiatan pertambangan.
b. Kawasan lindung dan hutan adat yang diakui oleh masyarakat hukum adat
akan terancam karena ahli fungsinya bisa dilaksanakan setelah ada izin
dari pemerintah.
Sistem kontrak dan/atau perjanjian diganti dengan sistem perizinan.
Selama ini pengusahaan pertambangan minerba memakai sistem kontrak yang
banyak mengandung kelemahan. Dalam pasal 35 yang menyatakan bahwa, usaha
pertambangan dilakukan dalam tiga bentuk, yaitu Izin Usaha Pertambangan(IUP),
Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus(IUPK).
Dalam pasal selanjutnya pasal 36 dijelaskan bahwa IUP terdiri dari dua tahap,
yaitu IUP eksplorasi yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
kelayakan. Sementara IUP operasi produksi meliputi kegiatan konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Pemerintah tidak dapat mengabaikan pertentangan antara penerapan UU
Minerba yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Mahudat, karena Mahudat ini
keberadaan dan eksistensinya masih diakui dalam Konstitusi Republik Indonesia,
pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, perubahan kedua yang berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
60
sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.
Masyarakat adat adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini,
baik dari jumlah populasi, yang saat diperkirakan antara 50–70 juta orang,
maupun nilai kerugian materiil dan spiritual atas penerapan politik pembangunan
yang selama lebih dari tiga dawarsa terakhir. Dengan berbagai kebijakan dan
produk hukum berupa UU Minerba yang dikeluarkan oleh pemerintah, Negara
secara adil dan tidak demokratis telah mengambil alih hak asal usul, hak atas
wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak
ekonomi, dan hak politik masyarakat adat.
Penerapan UU minerba berpotensi untuk eksploitasi pertambangan
diserahkan secara kolusif dan nepotistic kepada perusahaan-perusahaan swasta
nasional yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya dan swasta
asing yang berhasil membangun akses dengan para elit politik, khususnya
presiden. Akibat lebih lanjut akan menimbulkan potensi konflik atas sumber daya
alam berdimensi kekerasan antara masyarakat adat dengan penyelenggara Negara
dan pemilik modal yang melibatkan aparat pertahanan dan keamanan. Dari
konflik vertical seperti ini tercatat banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami
oleh penggiat dan pejuang penegakkan hak-hak masyarakat adat.
61
2. Pengakuan Terhadap Hak Ulayat menurut Maria S.W.Sumarjono35
Pengakuan terhadap hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat
hukum adat (hak ulayat) diamanatkan dalam pasal 3 UUPA. Kriteria penentu
tentang keberadaan hak ulayat terdiri dari tiga unsur, yakni: adanya masyarakat
hukum adat tertentu, adanya hak ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup
dan tempat mengambil keperluan hidup masyarakat hukum adat itu, dan adanya
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat itu (pasal2).
Penentu tentang keberadaan hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah
(PemDa) dengan mengikutsertakan masyarakat hukum adat yang ada di daerah
tersebut, pakar hukum adat, LSM, yang terkait dengan sumber daya alam.
Pengaturan lebih lanjut berkenaan dengan keberadaan hak ulayat itu diatur
dengan Peraturan Daerah(PerDa). Sebelum diterbitnya Perda yang dimaksud,
akan terdapat bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai oleh perseorangan atau
badan hukum dengan sesuatu hak menurut UUPA atau sudah diperoleh atau
dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum, atau perseorangan menurut
ketentuandan tata cara yang berlaku. Dalam hal ini, pelaksanaan hak ulayat
masyarakat hukum adat terhadap bidang-bidang tanah tersebut tidak dapat
dilakukan lagi (Pasal 3).
Bidang-bidang tanah ulayat dimungkinkan penguasaannya oleh
perseorangan baik warga maupun bukan warga masyarakat hukum adat dan badan
hukum. Bila masyarakat hukum adat yang menguasai bidang tanah menurut
35
Maria S.W.Sumarjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Imlementasi,Penerbit: Buku
Kompas. Jakarta. 2001, hal 67
62
hukum adat yang berlaku itu menghendaki, hak atas tanahnya dapat didaftar
menurut ketentuan UUPA. Bagi instansi pemerintah, badan hukum, atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan,
penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA baru
dapat diberikan setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu
oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Efektivitas pengaturan tentang pengakuan hak ulayat tergantung pada
inisiatif Pemerintah Daerah untuk melakukan penelitian sebagai dasar penentuan
keberadaan hak ulayat di daerah bersangkutan, baik ketika timbul permasalahan
pada saat tanah hak ulayat tertentu diperlukan menunjang berbagai kegiatan pihak
lain, yakni dalam rangka memperoleh informasi mengenai status tanah-tanah
didaerah tersebut.
Dalam pasal 3 UUPA disebutkan bahwa terhadap bidang-bidang tanah
ulayat yang sudah dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu
hak menurut UUPA, atau instansi pemerintah, badan hukum, perseorangan
menurut tata cara yang berlaku sebelum terbitnya Perda, maka pelaksanaan hak
ulayat oleh masyarakat hukum adat tidak berlaku lagi. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk memberikan kepastian hukum kepada para pemegang hak atau mereka yang
memperoleh tanah dan menguasainya secara sah. Perolehan adalah sah apabila
memenuhi syarat material, yakni diperoleh itikad baik meneurut cara yang
disepakati para pihak, dan syarat formal, yakni dilakukan menurut ketentuan dan
tata cara peraturan perundangan yang berlaku.
63
Pemberian bidang tanah hak ulayat oleh masyarakat hukum adat atau
warganya dapat ditempuh dengan cara dilepaskan untuk selama-lamanya atau
diberikan penggunaannya untuk jangka waktu tertentu. Dalam upaya mencapai
kesepakatan, kompensasi yang diberikan kepada masyarakat hukum adat
hendaknya mempertimbangkan hilangnya atau berkurangnya tanah dan sumber
daya alam yang menjadi sumber penghidupan dan hilangnya pusat-pusat budaya
dan religi masyarakat hukum adat tersebut. Manfaat yang diperoleh pihak luar
tersebut hendaknya dapat bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup dari
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran, tetapi terhadap
tanah ulayat tidak diterbitkan sertifikat karena hak ulayat bukan objek pendaftaran
tanah, disamping itu sifatnya yang dinamis memungkinkan terjadinya
individualisasi secara ilmiah karena faktor sosial-ekonomis yang membawa
pengaruh terhadap perubahan internal dikalangan masyarakat hukum adat sendiri.
Pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat mewujudkan
penghormatan kepada hak orang lain dan upaya perlindungannya secara wajar.
Hak ulayat itu tidak bersifat eksklusif. Masyarakat hukum adat berkewajiban
untuk turut serta mewujudkan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak diluar anggota masyarakat
hukum adat untuk ikut menggunakan tanah berikut sumber daya alamnya dengan
cara-cara yang disepakati bersama. Bila semua ketentuan dan hak serta kewajiban
ditaati, kekhawatiran terjadinya bahaya disintegrasi karena diakuinya hak ulayat
dapat ditepis.
64
B.Analisis
Bagaimana memahami pengaturan yang demikian maka dapat dilakukan
analisis atau pemahaman sebagai berikut:
1. Pada aras pengaturan diakui keberadaannya terhadap hukum adat dan
masyarakat adat. 36
Dari isi pasal-pasal peraturan terurai di atas dapatlah dikatakan ada
pengakuan atas keberadaannya masyarakat hukum adat. Bukti bahwa adanya
pengakuan tersebut terdapat dalam:... Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya (pasal
18 B UUD RI 1945),........... Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat (pasal 3 dan 5 UUPA),... Dengan sendirinya
Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum rakyat
banyak (yaitu hukum adat-penegasan oleh penulis - penjelasan umum III
angka....).
2. Adanya pembatasan yaitu sebagai berikut:
a. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya...... sepanjang masih hidup...Dengan kata
sepanjang masih hidup kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat tersebut
diakui..kalimat ini merupakan suatu pembatasan bagi keberadaan masyarakat
hukum adat tadi...Kata tersebut ada dalam UUD RI 1945. Tentu harus ada kriteria
36
Sri Harini Dwiyatmi,2011, edisi Oktober, Majalah Refleksi Hukum FH, jurnal Ilmu Hukum, hal
298
65
masyarakat adat dikatakan masih hidup itu mesti bagaimana. Hal ini akan nampak
pada peraturan di bawah UUD RI 1945.
b. Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak hak yang serupa dengan itu dari masyarakat - masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang dan
Peraturan Peraturan lain yang lebih tinggi”(passl 3 UUPA). Dengan demikian
pembatasan terhadap keberadaan hukum adat dan masyarakat adat terjadi bila
ketentuan-ketentuannya berbeda, bertentangan dengan peraturan perundangan
negara serta pertentangan dengan kepentingan negara. Kalimat tersebut bisa juga
dimengerti apabila negara mempunyai suatu kegiatan atau program untuk
kesejahteraan bangsa dan negara (kepentingan yang jauh lebih besar) maka
hukum adat dan masyarakat adat harus menyesuaikan atau dengan kata lain
kepentingan negara dan bangsa mesti didahulukan terlebih dahulu. Misalnya
negara telah memberikan ijin Pengelolaan Hasil Hutan atau lebih dikenal HPH
kepada suatu perusahaan dan mengenai wilayah masyarakat adat maka
kepentingan bangsa dan negara harus didahulukan. Artinya masyarakat adat mesti
merelakan wilayah adatnya dilepasakan untuk kegiatan Pengelolaan Hasil Hutan
(HPH tadi)
c. Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasar atas persatuan bangsa , dengan sosialisme Indonesia serta dengan
66
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang dan dengan
peraturan perundangan lainnya,..(psl 5).
Uraian ini memberi pengertian kepada kita semua bahwa hukum adat
tepatnya konsepsi-konsepsi hukum adat dipergunakan untuk membangun hukum
agraria nasional. Konsepsi-konsepsi dari hukum adat yang digunakan untuk
membangun hukum agraria nasional adalah yang tidak bertentangan dengan
persatuan dan kesatuan bangsa dengan tujuan mensejahterakan bangsa Indonesia.
Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya Hukum Adat dalam pasal-pasal
dan penjelasannya tersebut tidak mengurangi pentingnya arti ketentuan pokok
yang diletakkan dalam UUPA, bahwa hukum tanah nasional kita memakai hukum
adat sebagai dasar dan sumber utama pembangunannya.
d. Bahwa masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, berhak:................... (psl 67 UUP Kehutanan no. 41 th
1999). Frase ini memberi pemahaman kepada kita semua bahwa maswyarakat
hukum adat yang memang masih ada tetap mempunyai hak sebagaimana diatur
dalam pasal 67 UUP Kehutanan no. 41 tahun 1999
e. Bahwa sebagai masyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut
kenyataannya memenuhi unsur-unsur:……… (psl 67 UU no. 41 th 1991). Kalimat
pada pasal ini hemat penulis mempunyai makna lebih membatasi, karena ternyata
sekalipun masyarakat adat tersebut memang masih ada datau hidup, namun jika
tidak memenuhi unsur-unsur dalam pasal 67 UU no. 24 Tahun 2003, meski masih
67
hidup masih ada syarat yang harus dipenuhi yaitu harus mempunyai unsur-unsur
sebagaimana di ataur oleh pasal 67 ini.
f. Diatur perihal perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam
hal pemegang HPH menguasai bidang tanah yang di dalamnya terdapat tanah
dikuasai oleh penduduk atau masyarakat hukum adat dengan sesuatu hak yang
sah,..(InPres no 1 Tahun 1976). Frase: ....dikuasai....dengan sesuatu hak yang
sah. Seyogyanya bahkan seharusnya pembuatan ketentuan dalam INPRES ini juga
mengacu pada pasal 22 UUPA tersebut di atas. Jangan sampai pemilikan adat
diperhadapmukakan dengan pemilikan secara tertulis. Karena pemilikan adat tidak
akan pernah dapat dibuktikan dengan bukti-bukti tertulis. Bukti-bukti tertulis
untuk membuktikan kepemilikan secara adat sama saja dengan praktek DOMEIN
VERKLARING. Domein Verklaring adalah Domeinverklaring adalah asas hukum
agraria di masa pemerintahan Hindia Belanda yang berprinsip “penguasaan tanah
tanpa dibuktikan dengan bukti tertulis maka sebagai tanah negara”. Prinsip ini
digunakan pemerintah Hindia Belanda dengan maksud untuk mengambil tanah-
tanah (adat) dari masyarakat yang tidak mengenal bukti tertulis dan merupakan
bentuk ketidaksetujuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap sistem tanah adat.
Dimasa MERDEKA ini dan bukti tertulis untuk membuktikan kepemilikan adat
ini telah ditinggalkan oleh PP no. 24 Tahun 1997 tentang PENDAFTARAN
TANAH. Di mana PP ini dibuat karena bukti tertulis yang dituntut oleh peraturan
sebelumnya untuk pendafataran tanah (PP no. 10 Tahun 1961) tidak membuah
kan hasil karena hingga tahun 1993 Indonesia hanya berhasil melakukan
pendaftaran tanah 17 juta bidang dari 55 juta bidang tanah yang layak didaftar
68
karena persoalan bukti tertulis ini. Karena itu atas desakan Bank Dunia supaya
investasi ke Indonesia makin deras harus dibuat kebijakan baru agar tanah-tanah
Indonesia bisa segera didafatar karena terkendala sis-tem pembuktian terhadap
pemilikan secara adat yang dipunyai oleh sebagian besar masyara-kat Indonesia
dan sistem pembuktian yang digunakan oleh PP 10 Tahun 1961 tersebut. Hal ini
dilakukan sejatinya untuk mengamankan investasi-investasi di Indonesia yang
membuahkan tanah.
Jika sudut pandang yang digunakan dalam memaknai kata ....
dikuasai.......dengan sesuatu hak yang sah , tidak sesuai dengan pasal 22 UUPA
tersebut maka ini betul-betul tidak hanya membatasi tetapi meniadakan
masyarakat adat.
g.... Kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan pada.......
tanah milik masyarakat adat (UU gas dan bumi)....... Kalimat demikian sejatinya
sangat memberi harapan dan dengan mudah setiap pembacanya memperoleh
pemahaman bahwa hukum adat dan masyarakat adat benar-benar terlindungi.
Kalimat demikian seolah memberi kepastian bahwa usaha minyak dan gas bumi
tidak dimungkinkan diusahakan pada atau yang mengenai tanah milik adat pasti
tidak akan terjadi pengusahaan tersebut. Bukankah pengaturan seperti ini berbeda
atau bertentangan dengan pengaturan sebelumnya? Dengan demikian mana
kemudian aturan yang akan digunakan sebagai acuan? Atau harus diterjemahkan
atau dipahami dengan..bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat
dilaksanakan pada....... tanah milik masyarakat adat (UU gas dan
bumi)..............selama tanah yang dikuasai masyarakat adat tersebut dikuasai
69
dengan sesuatu bukti yang sah dan juga selama memenuhi unsur-unsur
sebagaimana disebutkan oleh INPRES No.1 Tahun 1976....jika demikian betul
memang ada pembatasan.
h...... masyarakat hukum adat sebagai satu kesatuan merupakan salah satu pihak
yang dapat menjadi pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana (UU MK No. 24 Th 2003).
Pengaturan dalam undang-undang MK ini memang juga mengakui adanya
masyarakat adat di mana masyarakat adat dapat sebagai subyek atau pihak /
pemohon dalam persidangan Mahkamah Konstitusi jika ada suatu pengaturan
undang-undang yang merugikan masyarakat adat. Hal ini memang mudah dalam
kata-kata sebab adalah hal yang butuh perjuangan besar suatu masyarakat adat
akan menjadi subyek pemohon di Mahkamah Konstitusi melihat keberadaan
masyarakat adat namun hal ini sekaligus sebagai tantangan bagi semua pihak yang
memiliki visi dan misi terhadap keberadaan masyarakat adat dan sudah waktunya
masyarakat adat melakukan gugatan terhadap undang-undang yang merugikan
komunitasnya melalui prosedur hukum.
Apa yang dikemukakan tersebut diatas agaknya tidak berbeda dengan apa
yang dikemukakan oleh Lies Sugondo. Menurutnya materi muatan Pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 tersebut, menurut para sarjana hukum umumnya dipahami
secara normatif ada 4 (empat) unsur yang harus diperhatikan sebagai “syarat”
eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia, yaitu: unsur sepanjang masih
hidup, unsur “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”, “Prinsip Negara
70
Kesatuan Republik Indonesia”, “Yang Diatur dalam Undang-Undang”. Yang
penjelasannya sebagai berikut:37
Unsur pertama harus dipenuhi yaitu dalam kata ”sepanjang masih hidup”.
Kata menunjuk pada adanya kehidupan komunitas masyarakat adat diperlukan
yang menunjuk adanya interaksi sosial dalam komunitas tersebut sehingga apabila
kemudian antar anggo-ta masyarakat adat karena kondisi sosial ekonomi
kemudian meninggalkan komunitasnya untuk mencari penghidupan baru
menjadikan komunitas adat tidak lagi berjalan sekalipun teritori wilayah adat
memang tidak berubah hal ini menjadikan tidak ada lagi kehidupan suatu
komunitas. Memang pada kenyataannya masih banyak komunitas masyarakat adat
yang masih eksis/hidup sehingga memang masih ada interaksi sosial yang
mengikat komunitas tersebut dalam masyarakat adat tersebut. Dicontohkan
Contohnya di daerah Banten, adanya masyarakat hukum adat Badui (Badui
dalam) dengan pertalian darah yang kuat.
Unsur kedua dalam kalimat: “Sesuai dengan perkembangan masyarakat”
bahwa ketentuan-ketentuan tradisional masyarakat adat, tidak boleh bertentangan
dengan kemajuan masyarakat dewasa ini yang tidak dapat menghindarkan dirinya
dari pengaruh global. Maksudnya perkembangan terkait dengan isu Hak Asasi
Manusia yang bersifat universal. Antara lain soal penghormatan terhadap hak-hak
perempuan, sebab ada kalanya terdapat hukum tradisional (adat) tidak
memberikan hak yang sama kepada perempuan serta tidak memartabatkan
perempuan. Misalnya, kebiasaan memperistri banyak perempuan dan menjadi
37
Lies Sugondo dalam Sri Harini, Op.cit, h. 3-6
71
kebanggaan status sosialnya. Seharusnya dalam rangka penghormatan martabat
perempuan yang memiliki hak asasi (Deklarasi Wina Tahun 1993) memperoleh
kedudukan sedemikian rupa sesuai dengan harkat martabatnya sebagai manusia,
tidak diperlakukan sebagai kekayaan property yang dapat untuk mendong-krak
kedudukan sosialnya.
Unsur ketiga “Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Unsur ini
semestinya dimiliki oleh setiap masyarakat hukum adat. Hukum yang
diberlakukan dalam masyarakat tersebut seyogyanya benar-benar sebagai
perwujudan dari kebiasaan-kebiasaan (tradisional) yang telah secara turun-
temurun dilaksanakan, yang keberlakuannya tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Apabila hukum adat yang berlaku di
masyarakat tertentu bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional
maka ini akan bermakna prinsip negara kesatuan Republik Indonesia terganggu
sehingga hukum adat demikian tidak bisa berlaku.
Unsur keempat “Yang Diatur dalam Undang-Undang”. Ada berbagai
peraturan perundangan yang harus diperhatikan dalam keberlakuan hukum adat
dalam suatu masyarakat adat. Selain diamanatkan oleh UUD 1945 (Pasal 18 B)
dan dijabarkan oleh peraturan perundang-undangan yang lain. Seperti dalam UU
No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 67 ayat (1) secara prinsip mengatur
masyarakat adat yang berciri sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 67
UU ini baru dikatakan sebagai masyarakat adat bila menurut kenyataannya
memang masih ada, jika memang masih ada sebagaimana penjelasan pasal 67
72
maka masyarakat adat itu mempunyai beberapa hak untuk melakukan kegiatan-
kegiatan terkait dengan hutan.
Pengaturan menurut Undang-undang Kehutanan yang baru ini lebih
eksplisit perihal hak dan kewajiban masyarakat adat dari pada Undang-undang
Kehutanan sebelumnya, namun memang ada yang hilang dan tidak lagi di atur
dalam Undang-undang Kehutanan yang baru yaitu perihal: pembukaan hutan,
pengembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pengambilan / pemungutan hasil
hutan; dimasukannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke
dalam pengertian hutan negara, tidaklah meniadakan hak-hak masyarakat hukum
adat yang bersangkutan serta anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat
dari hutan- hutan itu. Dengan tidak diaturnya lagi dalam Undang-undang
Kehutanan yang baru bisa dimaknai bahwa kegiatan-kegiatan yang biasa
dilakukan masyarakat adat dalam wilayah adatnya tidak lagi dibolehkan.
Pembatasan itu bisa jadi memang penting untuk penertiban oleh karena
keperluan negara mendesak memerlukan kejelasan wilayah untuk investasi,
namun rupanya keempat unsur tersebut di atas sebagai syarat adanya pengakuan
masyarakat adat.
i.Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan adanya pertentangan
terkait pengelolaan hutan adat yang diatur dalam Undang Undang No 41 Tahun
1999.
Dalam Pasal 1 ayat (6) sepanjang frasa "negara", Pasal 4 ayat 3 sepanjang
frasa dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan
73
nasional", Pasal 5 ayat 1,2,3,4 terkait penetapan status hutan telah melanggar
prinsip persamaan di depan hukum karena bertentangan dengan asas legalitas,
predikbilitas, dan transparansi yang diatur dalam konstitusi. Demikian juga Pasal
67 ayat 1,2,3 yang mengatur keberadaan masyarakat adat yang melakukan
kegiatan pengelolaan hutan adat. Sebagian isi pasal tersebut bertentangan dengan
prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Artinya konstitusi menjamin
prinsip pembatasan dan penguasaan hutan masyarakat adat.
3. Pergeseran secara sistimatis Hak-Hak Masyarakat Adat
Pendekatan pembangunan yang bersifat pasif dan seragam tidak membawa
dampak positif bagi masyarakat adat, karena umumnya disain pembangunan
dibuat berdasarkan aspirasi kelompok dominan (mainstream) dalam masyarakat.
Sebagai satu kesatuan sosial, masyarakat adat masuk dalam kategori masyarakat
yang tidak diuntungkan dalam struktur masyarakat. Ketika mereka berbeda dalam
arti budaya, identitas, sistem ekonomi, bahkan sistem politik dari kelompok
dominan lainnya dalam masyarakat.
Masyarakat Adat seringkali tidak terwakili aspirasinya dalam proses
pembangunan atau mendapatkan keuntungan dari proses itu. Padahal sebagai
warga negara Masyarakat Adat harus pula menikmati hak dan kewajiban yang adil
dan sejajar dengan segmen masyarakat lainnya. Masyarakat Adat harus diberi
keleluasaan untuk melindungi dirinya dan budayanya serta menolak perubahan
yang berdampak negatif bagi penghidupannya. Konsep penentuan nasib sendiri ini
(self determination) telah luas diterima dalam prinsip-prinsip intemasional, namun
74
memang masih jauh dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ketika sebagian
antropolog dan ekolog mengelompokkan mereka dalam kelompok pemburu-
peramu, peladang berpindah (ulang-alik) dan petani menetap, maka ada kalangan
lain (para Penstudi Hukum) yang mengelompokan mereka dari perspektif sosio-
Yuridis ekologis. Pengelompokan ini bukanlah dimaksudkan untuk
menyederhanakan keberagaman yang mereka miliki melainkan hanya untuk
memudahkan kita untuk dapat memahami dan menghormati mereka, adapun
pengelompokan tersebut adalah:
a. Kelompok pertama adalah, antara lain, kelompok Masyarakat Kanekes di
Banten dan Masyarakat Kajang di Sulawesi Selatan yang menempatkan diri
sebagai “pertapa-bumi” yang percaya bahwa mereka adalah kelompok masyarakat
„terpilih‟ yang bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup
prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat tentang bertani,
berpakaian, pola makan mereka dll.
b. Kelompok kedua adalah, antara lain, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat
Suku Naga yang juga cukup ketat dalam memelihara dan menjalankan adat tetapi
masih membuka ruang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan „komersil‟
dengan dunia luar.
c. Kelompok ketiga adalah Masyarakat-masyarakat adat yang hidup tergantung
dari alam (hutan, sungai, laut dll) dan mengembangkan sistem pengelolaan yang
unik tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat untuk perumahan maupun
pemilihan jenis tanaman kalau dibanding dengan Masyarakat Kanekes maupun
Kasepuhan. Masuk dalam kelompok ini misalnya Masyarakat Adat Dayak dan
75
Masyarakat Penan di Kalimantan, Masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi
Tengah, Masyarakat Dani dan Masyarakat Deponsoro di Papua Barat, Masyarakat
Krui di Lampung dan Masyarakat Kei maupun Masyarakat Haruku di Maluku.
Pada umumnya mereka memiliki sistim pengelolaan sumber daya alam yang luar
biasa (menunjukkan tingginya ilmu pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan
alam. Di Maluku dan Papua masyarakat adat yang tinggal di pulau-pulau kecil
maupun di wilayah pesisir memiliki sistem „sasi‟ atau larangan memanen atau
mengambil dari alam untuk waktu tertentu. Sasi ikan lompa di Pulau Haruku
sangat terkenal sebagai satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat di Pulau
Haruku dan Ambon (sebelum kerusuhan terjadi) yang menunjukkan salah satu
bentuk kearifan tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan
ditetapkannya sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang (semacam
polisi adat di Maluku Tengah), maka siapapun tidak berhak untuk mengambil
spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya pengembang-biakan dan
membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika sasi dibuka lagi.
d. Kelompok keempat adalah mereka yang sudah tercerabut dari tatanan
pengelolaan sumber daya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang
telah berkembang selama ratusan tahun. Mereka yang dapat dimasukkan dalam
kelompok ini adalah, misalnya, masyarakat Melayu Deli yang bermukim di
wilayah perkebunan tembakau di Sumatera Utara dan menyebut dirinya sebagai
Rakyat Penunggu. Menyadari keragaman dari masyarakat adat, sesungguhnya
masih banyak pengelompokan yang dapat dikembangkan termasuk, antara lain,
76
untuk Masyarakat Punan dan Sama (Bajao) yang lebih cenderung hidup secara
nomadik baik di hutan maupun di laut.
Dimensi lain dari hubungan masyarakat adat dan lingkungan adalah
adanya kenyataan dimana sebagian masyarakat adat juga ikut bekerja bersama
pihak-pihak yang mengembangkan kegiatan yang merusak lingkungan. Dalam hal
ini ada individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pembabatan hutan dan
penambangan skala besar baik sebagai karyawan maupun sebagai perorangan dan
atau kelompok masyarakat yang tidak memiliki alternatif sumber pendapatan lain.
Dalam konteks ini, sejauh kegiatan tersebut bukan merupakan keputusan kolektif
dari masyarakat adat yang bersangkutan maka haruslah ditempatkan sebagai
kegiatan dan tanggung jawab individual dari pelakunya. Sedangkan apabila
kegiatan tersebut memang diputuskan sesuai adat mereka, maka haruslah diterima
sebagai keputusan kelompok yang bersangkutan dan bukan merupakan tanggung
jawab dari seluruh masyarakat adat.