bab iii hasil penelitian dan analisis a. hasil...

73
59 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta. a. Pengaturan Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan dibandingkan propinsi-propinsi di Indonesia yang lain. Keistimewaan dari DIY yang menonjol adalah terkait dengan penetapan kepala daerahnya, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya yaitu dengan melakukan pemilihan kepala daerah. Selain itu salah satu keistimewaan yang dimiliki DIY adalah terkait dengan pengaturan tanahnya. Tanah di DIY sejak awal menjadi wewenang kasultanan yang dikenal dengan Sultan Ground dan Paku Alaman Ground, yang aturannya juga dibuat oleh kasultanan. Ada yang menarik terkait dengan pengaturan tanah di DIY ini, bahwa di Indonesia pada tahun 1960 telah mengundangkan dan memberlakukan UUPA yang digunakan sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia. Tetapi pada saat diundangkannya dan diberlakukannya UUPA tersebut, DIY tetap menggunakan pengaturan tanahnya sendiri. Barulah tepatnya sejak 1 April 1984 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mulai diberlakukan sepenuhnya di DIY seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Pemberlakuan UUPA di DIY tersebut dengan dikeluarkannya “Keputusan Presiden No. 33 Tahun

Upload: vuongnguyet

Post on 21-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

59

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. HASIL PENELITIAN

1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI

Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta.

a. Pengaturan Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang

memiliki keistimewaan dibandingkan propinsi-propinsi di Indonesia yang lain.

Keistimewaan dari DIY yang menonjol adalah terkait dengan penetapan kepala

daerahnya, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya yaitu dengan melakukan

pemilihan kepala daerah.

Selain itu salah satu keistimewaan yang dimiliki DIY adalah terkait dengan

pengaturan tanahnya. Tanah di DIY sejak awal menjadi wewenang kasultanan yang

dikenal dengan Sultan Ground dan Paku Alaman Ground, yang aturannya juga dibuat

oleh kasultanan.

Ada yang menarik terkait dengan pengaturan tanah di DIY ini, bahwa di

Indonesia pada tahun 1960 telah mengundangkan dan memberlakukan UUPA yang

digunakan sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia. Tetapi pada saat

diundangkannya dan diberlakukannya UUPA tersebut, DIY tetap menggunakan

pengaturan tanahnya sendiri.

Barulah tepatnya sejak 1 April 1984 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mulai diberlakukan

sepenuhnya di DIY seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Pemberlakuan

UUPA di DIY tersebut dengan dikeluarkannya “Keputusan Presiden No. 33 Tahun

Page 2: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

60

1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY”

dan “Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY”.

Sebelum berlakunya UUPA DIY memiliki peraturan-peraturan agrarianya

sendiri untuk mengatur pertanahan. Tetapi peraturan-peraturan itu telah dinyatakan

tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah DIY No.3 Tahun 1984

tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di

Propinsi DIY.

Peraturan-peraturan agraria yang dahulu digunakan untuk mengatur urusan

pertanahan di DIY sebelum berlakunya UUPA adalah:

a. Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman tahun

1918 Nomor 18.

b. Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2 dan

Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931 Nomor 1.

c. Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun

1925 Nomor 25.

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta, jo. Undang-Undang No.19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No.

9 Tahun 1955.

e. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas

Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

f. Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang

Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk

individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas

tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah

Istimewa Yogyakarta.

g. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan

hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individicol

beziterecht).

Page 3: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

61

h. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda

yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk

individucol beziterecht).

i. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah

tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan

Hak Milik.

j. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan

Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan

Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa

Yogyakarta.

k. Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor

2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal 6-1-1951.

l. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy

pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.

m. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY.

n. Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY.

Isi pengaturan dari beberapa peraturan pertanahan yang dahulu digunakan di

DIY sebelum berlakunya UUPA tersebut antara lain, adalah:1

a. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 tanggal 30 September 1925 dan Rijksblad

Paku Alaman 1925 No. 25, pada dasarnya memuat hal-hal yang sama yang

dimuat dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman

No. 18. Hanya saja, dalam Rijksblad tahun 1925 ini terdapat sedikit

penambahan dan perubahan tentang yaitu:

1 Blog: Tri Widodo H Utomo, Hukum Pertanahan Di Yogyakarta Sebelum dan Sesudah 1984, Senin 3

Mei 2010.

Page 4: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

62

1. Istilah, Rijksblad lama memakai istilah hak anggadhuh sedang Rijksblad

baru memakai istilah hak andarbe. Akan tetapi dalam istilah asing

keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu inlandsbezitsrecht.

2. Ketentuan bahwa "semua tanah di wilayah yang telah diorganisir yang

nyata-nyata dipakai rakyat diberikan kepada kalurahan baru dengan

inlandsbezits­recht (pasal 3 Rijksblad lama), ditambahi ketentuan bahwa

"semua tanah didalam batas-batas kota Yogyakarta yang selamanya

dipakai penduduk asli untuk perumahan atau pertanian, jika tidak

termasuk wilayah kalurahan diberikan dengan hak andarbe kepada orang

yang menurut pendapat pemerintah berhak untuk menerima hak andarbe

itu" (pasal 1 Rijksblad baru).

3. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 juga menambahkan aturan baru yang

melarang kalurahan menjual atau mengalihkan hak andarbe, kecuali

setelah memperoleh ijin Patih Kerajaan dan persetujuan Residen

Yogyakarta (pasal 2).

4. Dalam hal penjualan atau pengalihan hak andarbe atau hak pakai serta

menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia untuk ditanami

sayuran, bunga-bunga dan sebagainya, dilarang. Perjanjian yang isinya

mengenai penjualan, pengalihan dan penyewaan tanah, dianggap tidak sah

(pasal 6).

b. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa

Yogyakarta jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No.

9 Tahun 1955, Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk

mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang/hal, salah satunya

bidang hukum pertanahan.

c. Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Mengatur:

Page 5: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

63

1. Hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan

setempat (beschikkingsrecht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan

Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Peningkatan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel

gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk

individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki

tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempunyai tanda hak

milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun

berturut-turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan

bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal

(Pasal 4).

3. Dengan pengesahan Pemerintah Pemerintah kabupaten, kalurahan

berwenang mengadakan peraturan tentang pembatasan luas tanah yang

dapat dimiliki seseorang atau peraturan tentang peralihan hak yang

bersifat sementara (Pasal 5). Sedang Pasal 6 menyatakan bahwa kalurahan

sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah yang disebut tanah

desa. Tanah desa ini dipergunakan sebagai tanah lungguh, tanah pension,

untuk kepentingan umum serta untuk kas desa sendiri.

4. Perihal peralihan hak atas tanah maka (Pasal 8) tidak diperkenankan dan

menurut hukum tidak sah (van rechtswegenietig), perbuatan-perbuatan:

- Peralihan hak atas tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) langsung atau tidak

langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia.

- Mengadakan perjanjian-perjanjian yang bermaksud menyewakan atau

memberikan kesempatan untuk mempergunakan tanah tersebut Pasal 4

ayat (1) untuk perusahaan pertanian kecil langsung atau tidak langsung

kepada bukan warga negara Republik Indonesia.

d. Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah sebagai diatur

dalam Perda No. 5 Tahun 1984, dikeluarkanlah Perda No. 12 Tahun 1954.

Pasal 1 mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun

Page 6: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

64

temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan

Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan

jika tanda hak milik ini hilang, duplikatnya dapat diminta dengan harga yang

ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY.

Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut

biaya oelh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5’- dan sebanyak-banyaknya Rp.

75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (Pasal 2), dan sebelum tanda hak

milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik

sementara menurut model E (Pasal 6).

e. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.

184/KPTS/1980. Keputusan Gubernur ini mengatur perihal : adanya

perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda no. 12 Tahun

1954 diubah sebagai berikut :

1. Pasal 2 yang mengatur mengenai biaya untuk mendapatkan tanda hak

milik model D, Keputusan Gubernur menetapkan biaya antara Rp. 2500,-

s/d Rp. 10.000,- tergantung luas dan jenis tanah.

2. Pasal 6 dan penjelasannya yang pada pokoknya menetapkan untuk

sementara bahwa berlaku model E (tanda hak milik sementara), peraturan

yang baru mewajibkan kepada mereka yang masih memiliki tanda hak

milik model E segera menggantinya dengan tanda hak milik model D.

3. Lampiran V yang menetapkan bentuk formulir D.

f. Kemudian dikeluarkan Perda No. 11 Tahun 1954 yang mengatur tentang

prosedur peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah. Perda

No. 11 Tahun 1954 ini menentukan bahwa:

1. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah diputus oleh

Dewan Pemerintah Daerah Kalurahan, kemudian dikirim ke Kapanewon

dan setelah diberi pertimbangan atau diketahui Panewu diteruskan ke

Kabupaten untuk disahkan (Pasal 1).

Page 7: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

65

2. Apabila peralihan hak diatas mengandung suatu perkara, maka dalam

tindakan pertama diputuskan oleh DPRD Kalurahan dan Dewan

Perwakilan Rakyat Kalurahan Pleno, kemudian dikirim ke Kapanewon

untuk dipertimbangkan atau diketahui oleh Panewu, kemudian diteruskan

ke DPD kabupaten untuk dipertimbangkan, dan diteruskan lagi kepada

Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberikan

keputusan. Dalam hal ini Dewan Pemerintah DIY dapat menyerahkan

kekuasaannya kepada Jawatan Agraria DIY (Pasal 2).

3. Untuk keperluan peralihan hak milik atas tanah, Kalurahan diberi

kekuasaan memunggut biaya administrasi sebesar Rp. 5,- dan pulasi

setinggi-tingginya 5 % dari harga tanah, kecuali peralihan hak yang

bersifat warisan dibebaskan dari biaya pulasi (Pasal 4).

4. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah yang

menyimpang dari peraturan ini, menurut hukum tidak sah dan akan

dikenakan hukuman paling lama selama satu bulan atau denda paling

banyak Rp. 100,- barang siapa:

- Berhak menerima peralihan didalam urusan warisan.

- Memberikan atau menerima hak selain warisan, didalam hal peralihan

hak milik perseorangan turun temurun yang menyimpang dari

peraturan ini, dan satu bulan setelah diperingatkan oleh Lurah Desa,

masih juga belum menepati peraturan.

g. Perda No. 10 tahun 1954 tentang Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai

peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak

anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan

jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Peralihan hak seperti ini dilaksanakan oleh Pamong Kalurahan

bersama DPR kalurahan, bila peralihan tersebut mengandung suatu perkara,

maka dilaksanakan oleh DPR, kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis

Page 8: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

66

Desa dan Pamong Kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau

tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Jadi desa mempunyai wewenang yang sama besar dalam masalah

pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat

dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi. Pada saat itu PPAT

hanya menangani tanah-tanah yang dulu merupakan bekas hak barat.

h. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy

pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.

Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta kepada seorang warga negara Indonesia non Pribumi ,

dengan ini diminta: apabila ada seorang warga negara Indonesia non Pribumi

membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa,

ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi

tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan

kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan

kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak.

i. Bahwa sesuai pernyataan Pemerintah Daerah DIY untuk memberlakukan

UUPA secara penuh di DIY agar dalam pelaksanaannya dapat lebih berdaya

guna dan berhasil guna, maka perlu dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun

1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

di DIY. yang mengatakan: UUPA dan peraturan pelaksananya, dinyatakan

berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah propinsi DIY.

j. Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun

1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di

DIY, yang mengatur:

1. Pengurusan agraria yang semula (sebelum berlaku UUPA di DIY)

berdasarkan wewenang otonomi beralih menjadi wewenang dekonsentrasi

(setelah berlakunya UUPA di DIY).

Page 9: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

67

2. Demi adanya keseragaman kesatuan dan kepastian hukum maka perlu

ditinjau kembali dan tidak diberlakukan Rijksblad-Rijksblad, peraturan-

peraturan daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang

mengatur tentang keagrariaan di Propinsi DIY sehingga hanya peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya yang

berlaku di DIY.

3. Dengan berlakunya UUPA di DIY, maka segala ketentuan peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan kewenangan otonomi

DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi, antara

lain:

- Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku

Alaman tahun 1918 Nomor 18.

- Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2

dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931

Nomor 1.

- Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku

Alaman tahun 1925 Nomor 25.

- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak

Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

- Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang

Pelaksanaan “Putusan” Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk

individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun

atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di

Daerah Istimewa Yogyakarta.

- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang

Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk

individicol beziterecht).

Page 10: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

68

- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang

Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah

(erfelijk individucol beziterecht).

- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang

Jumlah tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak

Bangunan dan Hak Milik.

- Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo

Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang

mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria

Daerah Istimewa Yogyakarta.

- Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor 2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal 6-1-1951.

b. Larangan Pemilikan HM Oleh WNI keturunan Tionghoa.

Meskipun kenyataannya di DIY telah mencabut peraturan-peraturan

pertanahan yang digunakan sebelum UUPA dan telah memberlakukan UUPA

sepenuhnya sejak tahun 1984 berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 dan Perda

DIY No. 3 Tahun 1984. Tetapi sampai saat ini “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII

No. 898/A/1975 hal: Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang

WNI non Pribumi” tidak ikut dicabut, dan masih berlaku di DIY.

Isi aturan dari Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 tersebut

berbunyi:

Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah

Istimewa Yogytakarta kepada seorang WNI non Pribumi, dengan ini diminta :

Apabila ada seorang WNI non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya

diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga

tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah

Page 11: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

69

Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan

permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak.

Dampak dari masih diberlakukannya aturan penyeragaman policy hak atas

tanah kepada WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, berdampak semua WNI

keturunan Tionghoa yang ada di DIY yang ingin membeli atau memiliki tanah

dengan hak milik tidak diperbolehkan. Biasanya bagi mereka WNI keturunan

Tionghoa ini hanyalah diberikan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan

(HGB) atas tanah saja.

Larangan tersebut didasarkan pada perbandingkan tingkat ekonomi golongan

non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) yang lebih tinggi dari pada golongan

pribumi, maka kebijaksanaan Gubernur DIY ini dipahami, yakni agar kepentingan

rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelompok menengah keatas. Terlebih lagi

bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah

dengan hak milik oleh golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa)

diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan "petani-petani berdasi", sedang rakyat

kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil.2

Bahwa dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas

tanah yang hanya diberlakukan kepada WNI keturunan Tionghoa, hal ini mengurangi

hak yang dimiliki warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara baik

warga negara pribumi atau pun WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki hak milik

untuk dimilikinya, termasuk pula hak milik atas tanah di Indonesia.

Selain melihat larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan

Tionghoa dari sisi pengaturannya, maka penulis juga melihat dari beberapa nara

sumber yang meliputi Instansi BPN Propinsi DIY, Kantor Notaris / PPAT, Dosen

Pengajar Hukum Agraria.

Penulis memilih nara sumber tersebut diatas, dikarenakan penulis mengalami

kesulitan dalam pencarian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan

2 Ibid.

Page 12: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

70

penulisan skipsi ini, karena tidak semua nara sumber mau memberikan keterangan

terkait larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut. Dan juga

menurut pendapat penulis bahwa nara sumber yang dipergunakan tersebut

berkompeten dan memahami terkait dengan larangan pemilikan HM oleh WNI

keturunan Tionghoa di DIY tersebut.

Beberapa dari nara sumber tersebut yaitu, meliputi:

1. Bpk Suhartono.3

Beliau adalah petugas kantor BPN DIY yang jabatannya adalah sebagai KASI

PENDAFTARAN, PERALIHAN, PEMBEBANAN HAK & PPAT.

Beliau membenarkan adanya aturan larangan pemilikan HM oleh WNI

keturunan Tionghoa tersebut yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII

No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang

WNI non Pribumi.

Dasar munculnya larangan aturan pemilikan HM atas tanah bagi WNI

keturunan Tionghoa tersebut sangatlah politis. Tetapi tidak jelaskan secara mendalam

terkait dengan dasar alasan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di

DIY tersebut. Karena mungkin karena kesejarahan tanah di DIY adalah tanah Kraton,

atau mungkin karena policynya (kebijakan) Gubernur atau Pemerintah Daerah pada

jaman dulu adalah semi-semi Kraton.

BPN juga menyatakan tidak mau mendesak kepada Pemerintah Daerah DIY,

karena secara fungsional BPN hanya sebagai pelaksana dari Perintah Daerah DIY.

Jika BPN mendesak atau tidak setuju kepada Pemerintah Daerah terkait dengan

kebijakan yang dikeluarkan, takutnya tidak perlu ada kantor BPN di DIY.

Kebijakan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY

tersebut memang agak ada kesenjangan dibandingkan dengan propinsi lainnya di

Indonesia. Alasan diberlakukan kebijakan tersebut karena Pemerintah Daerah DIY

3 Wawancara pada tanggal 16 Juni 2011.

Page 13: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

71

takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa, dikarenakan WNI

keturunan Tionghoa pandai melihat wilayah untuk dijadikan peluang. Karena itu oleh

pemerintah daerah DIY agar tidak terjadi kesenjangan di DIY maka pemilikan HM

oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut dilarang dan hanya diberikan HGB

saja.

Bagi WNI keturunan Tionghoa bukan hanya kesulitan untuk memiliki HM

atas tanah di DIY, tetapi memang belum boleh memiliki HM atas tanah di DIY.

Pemerintah Daerah dapat memberikan hak atas tanah dengan “kekancingan”, yang

policy tersebut merupakan wewenang dari Kraton.

Larangan pemilikan HM tersebut berlaku di seluruh Daerah Istimewa

Yogyakarta yang meliputi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya tanpa ada terkecuali,

diantaranya: Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul,

Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta.

Tugas dari BPN adalah mengamankan kebijakan yang sudah ada, karena

kebijak tersebut sudah ada sebelum berlakunya UUPA di DIY. Sedangkan dengan

berlakunya UUPA di DIY juga tidak serta merta menghapuskan kebijakan tersebut.

Walaupun dalam aturannya, segala aturan yang bertentangan dengan UUPA tidak

berlaku.

Dahulu sudah ada yang menuntut terkait larangan pemilikan HM atas tanah di

DIY ini, dan yang menuntut adalah anggota DPRD DIY yang berwarga negara

keturunan Tionghoa dan telah beragama islam yaitu bpk. Budi Setya Nugraha. Tetapi

tuntutan tersebut tetap saja tidak membuahkan hasil.

Dengan berlakunya UUPA di DIY secara implisit bahwa Kantor BPN

acuannya adalah UUPA, hanya saja yang belum diatur seperti Surat Edaran Gubernur

DIY PA VIII No. 898/A/1975 dijadikan aturan agar bisa masuk dalam UUPA tetapi

belum, karena UUPA juga banyak yang peraturan pelaksanaannya belum ada.

BPN bukan diskriminasi tetapi karena memang BPN disini hanya melakukan

aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya.

Page 14: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

72

Tata cara perolehan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia asli

(pribumi) tidak ada masalah, tetapi bagi WNI keturunan Tionghoa tetap tidak dapat

memiliki hak milik atas tanah di DIY. Jika ada WNI keturunan Tionghoa membeli

tanah hak milik yaitu prosesnya dengan penurunan hak menjadi HGB. Jika WNI

keturunan Tionghoa ketahuan memiliki tanah hak milik akan dilakukan penurunan

hak menjadi HGB, kalau HM atas tanah tersebut tidak mau turunkan hak menjadi

HGB dapat dilakukan peralihan ke warga negara Indonesia asli (pribumi) asli (atau

dengan kata lain dengan balik nama ke warga negara asli (pribumi)).

BPN juga tidak menghendaki adanya larangan pemilikan HM tersebut. karena

jika ada yang protes terkait larangan tersebut dapat melakukan Judicial Review, jika

aturan larangan tersebut dicabut maka BPN akan melaksanakan aturan dan kebijakan

yang ada.

Dalam masalah pelayanan permohonan hak atas tanah tidak ada pembedaan

baik warga negara Indonesia pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa, Jika ada

yang ingin memberikan uang tambahan itu adalah hak dari masing-masing orang

yang memohonkan. Dan apabila ada WNI keturunan Tionghoa memberikan uang

tambahan kepada BPN tetap tidak dapat merubah keputusan pemohonan hak atas

tanah yang dari HGB menjadi HM.

Perbedaan dari HM dengan HGB adalah kalau HGB ada jangka waktunya.

Jangka waktunya tergantung disurat keputusannya, setelah habis jangka waktunya

harus memperpanjang. Sekarang tidak terlalu siknifikan karena begitu ada

perpanjangan tidak harus membayar uang pemasukan lagi, berbeda kalau dahulu

harus membayar uang pemasukan lagi. Yang harus dibayarkan adalah hanya terkait

dengan permohonan yang diajukan.

Pada prinsipnya perbedaan perlakuan warga negara Indonesia asli (pribumi)

dengan WNI keturunan Tionghoa tidak secara signifikan mengurang martabat, hanya

masalah terkait dengan larangan pemilikan HM tersebut belum ada titik temunya.

Dengan muncul dan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia yang barupun, tidak menghapuskan dan tetap

Page 15: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

73

saja kebijakan terkait larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut

masih berlaku di DIY, padahal tidak ada pernyebutan atau perbedaan baik dari hak

dan kewajiban warga negara pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa.

Prinsip BPN hanyalah melaksanakan kebijakan yang telah ada. Kalau

kebijakan tersebut masih berlaku BPN tidak dapat menghilangkan kebijakan tersebut.

2. Bpk Raminudin.4

Beliau adalah asisten Notaris / PPAT yang bekerja di Kantor Notaris / PPAT

Retno Merdeka Wati, SH, MM. , Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Khusus di DIY untuk WNI keturunan Tionghoa harus dengan HGB tidak

boleh dengan HM. Hal ini didasarkan karena adanya instruksi Gubernur Kepala

Daerah DIY tahun 1975, yang wujudnya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No.

898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang

WNI non Pribumi”, yang aturan tersebut bukan Undang-Undang bukan Peraturan

Daerah hanyalah instruksi.

Surat Edaran Gubernur tersebut berlaku diseluruh Daerah Istimewa

Yogyakarta, termasuk Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota

Yogyakarta.

Dalam prakteknya di DIY WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki tanah

dengan HM atau dapat mengajukan tanah dengan HM, tetapi harus mempunyai surat

kekancingan dari keraton. Surat kekancingan itu semacam silsilah, bahwa seseorang

boleh miliki tanah dengan status HM tetapi harus ada keturunan dari keluarga

keraton. Dengan surat kekancingan itu seseorang barulah boleh memiliki tanah

dengan HM. Kalau WNI keturunan Tionghoa yang tidak memliki surat kekancingan

dari keraton, maka tidak dapat mempunyai tanah dengan status HM.

WNI keturunan Tionghoa memang tidak dapat memiliki tanah dengan HM,

tetapi tidak dipungkiri bahwa sering ada kecolongan-kecolongan WNI keturunan

4 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011

Page 16: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

74

Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM dengan menggunakan nama

indonesia asalkan tidak ketahuan oleh BPN. Bahwa adanya kecolongan-kecolongan

WNI keturunan Tionghoa bisa memiliki HM tersebut tidak resmi. Tetapi kecolongan-

kecolongan tersebut tidak semua dilakukan di DIY, karena biasanya BPN kota

Yogyakarta lebih cermat dan lebih mencurigai.

Setelah pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tetap saja tidak mencabut larangan

kepemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Pernah juga

dipertanyakan dalam sosialisasi UU kewarganegaraan yang baru tersebut terkait

bagaimana WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY dengan terbitnya UU

Kewarganegaraan yang baru ini apa sudah bisa memiliki tanah dengan status HM.

Tetapi jawaban waktu itu bahwa masalah larangan pemilikan HM bagi WNI

keturunan Tionghoa itu terkait dengan politis. Jadi meskipun menurut UU

kewarganegaraan yang baru di Indonesia tidak ada perbedaan hak dan kewajiban dan

penyebutan warga negara, tetapi di DIY masih tetap saja memberlakukan larangan

pemilikan HM atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa.

Surat Edaran Gubernur DIY itu bukan dari Mendagri, bukan Perda, bukan

juga Kepres. Seharusnya kalau menurut undang-undang tidak membedakan apapun.

Undang-Undang itu kalah dengan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut.

Pernah ada gugatan di pengadilan dan gugatan tersebut tatap kalah, contohnya

seperti di Bantul pernah ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah dengan status

HM ketahuan kalau dia non pribumi, dan status HM atas tanahnya diturunkan

menjadi status HGB.

Alasan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut diberlakukan di DIY juga tidak

ada pertimbangannya didalam Surat Edaran Gubernur tersebut.

WNI keturunan Tionghoa tidak pernah ada yang mengajukan permohonan hak

atas tanah dari HGB ditingkatkan menjadi HM. Karena WNI keturunan Tionghoa

sudah tahu bahwa semua WNI keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di

DIY dengan status HM.

Page 17: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

75

Dalam prakteknya ada saja Notaris / PPAT di DIY yang membantu

menguruskannya agar supaya WNI keturuanan Tionghoa dapat memiliki tanah

dengan status HM, asalkan WNI keturunan Tionghoa tersebut sudah tidak

menggunakan nama Tionghoa atau fisiknya samar-samar tidak terlihat seperti WNI

keturunan Tionghoa.

Sewaktu ada WNI keturunan Tionghoa meminta tolong untuk dibantu

pengurusannya agar memperoleh HM atas tanah, maka Notaris / PPAT akan

beralasan / beralibi bahwa Notaris / PPAT tidak mengetahui kalau dia adalah WNI

keturunan Tionghoa. Karena tidak bisa menilai orang dari fisik, karena orang

Kalimantan (batak) juga berkulit putih dan bermata sipit seperti WNI keturunan

Tionghoa pada umumnya.

Notaris / PPAT juga tidak berkewenangan untuk membuktikan orang tersebut

adalah WNI keturunan Tionghoa atau bukan. Karena yang menyelidiki orang tersebut

untuk membuktikan apakah dia WNI keturunan Tionghoa atau bukan kewenangan

dari BPN yang mencurigainya.

Adapun kemungkinan bahwa WNI keturunan Tionghoa agar dapat

memperoleh tanah dengan status HM dengan cara meminjam atau menggunakan

nama dari WNI pribumi asli. Selain itu dapat pula merubah nama di KTP (identitas)

dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia seperti nama WNI pribumi, dan

merubah agama menjadi agama islam agar lolos dan tidak dicurigai. Karena kalau

misalkan dalam KTP beragama budha sudah tentu dicurigai dan tidak dapat

mendapatkan status tanah dengan HM.

BPN juga tidak mau diberi uang suap agar WNI keturunan Tionghoa bisa

mendapatkan HM atas tanah. Jika ada kecurigaan supaya tidak dipanggil yaitu

ditutupin dengan cara meminjam (menggunakan) nama WNI pribumi atau identitas

KTP menggunakan nama Indonesia dan merubah agama menjadi agama islam. Tetapi

kalau WNI keturunan Tionghoa masih tetap menggunakan nama Tionghoa jelas

Notaris / PPAT tidak berani, karena sama saja tidak akan mendapatkan status tanah

Page 18: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

76

dengan HM. Tetapi jika warga negara suku Tionghoa sudah terlanjut memiliki tanah

dengan status HM, maka status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB.

Hal-hal tersebut merupakan terobosan-terobosan untuk menerobos Surat

Edaran Gubernur DIY tersebut, tetapi bukan berarti tanpa akibat atau resiko. Akibat

atau resiko yang akan dihadapi oleh WNI keturunan Tionghoa yaitu, jika oleh WNI

keturunan Tionghoa tanah tersebut digunakan untuk jaminan utang dibank dan

dipasangkan hak tanggungan oleh bank akan ketahuan mengapa WNI keturunan

tionghoa bisa memiliki tanah dengan HM di DIY, dan jika dilaporkan ke BPN maka

status tanah HM tersebut akan diturunkan menjadi HGB.

Terkait jika terjadi perkawinan campuran antara WNI pribumi dengan WNI

keturunan Tionghoa bisa saja salah satu dari mereka dapat memiliki HM atas tanah

tetapi jika diwariskan keanaknya akan ketahuan bahwa ada keturunan dari WNI

keturunan Tionghoa. Karena surat keterangan waris di DIY berbeda antara WNI

pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, kalau WNI keturunan Tionghoa yang

membuat surat keterangan warisnya adalah Notaris, sedangkan kalau WNI Pribumi

yang membuat surat keterangan warisnya Lurah / Camat.

Bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bersifat politis yang subyektif

bukan bersifat objektif.

Bagi mereka keturunan arab dan keturunan india tidak tahu dapat memiliki

tanah dengan status HM di DIY atau tidak. Tetapi bagi WNA yang ingin berdomisi di

DIY hanya akan diberikan Hak Pakai (HP) atas tanah saja, tidak dapat dengan hak

atas tanah yang lain.

Memang dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki

tanah dengan HM di DIY, tetapi jika ada yang menerobos instruksi Surat Edaran

Gubernur tersebut ada saja. Terkait dengan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi

WNI keturunan Tionghoa tersebut bukan rahasia umum lagi.

Jika ada WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah dengan status HM,

beliau mau saja menolong pengurusannya. Tetapi jika ketahuan oleh BPN itu diluar

tanggung jawab Notaris / PPAT yang menguruskan permohonan perolehan HM atas

Page 19: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

77

tanahnya. Karena jika ketahuan maka resikonya oleh BPN status tanah HM nya

tersebut langsung akan diturunkan menjadi status HGB, meskipun tidak ada sanksi

atau tindakan adminsitratif dari pemerintah daerah ataupun BPN.

Kalau WNI keturunan Tionghoa tidak mau diproseskan penurunan hak atas

tanahnya dari HM menjadi HGB, maka oleh BPN tidak diproses (tidak

diperbolehkan). Tetapi kalau tanah tersebut oleh WNI keturunan Tionghoa mau dijual

malah diperbolehkan, asalkan dijual kepada WNI pribumi dan status tanahnya

tersebut akan menjadi HM. Tetapi jika tanah tersebut dijual kembali kepada WNI

keturunan Tionghoa lagi, tetap tidak akan mendapatkan status HM melainkan yang

didapatkan hanya status HGB saja.

Perbedaan antara HM dengan HGB adalah kalau hak milik tidak terbatas

jangka waktunya, sedangkan kalau HGB terbatas jangka waktunya. Batas jangka

waktu perpanjangan HGB berbeda-beda, kalau berasal dari penurunan hak jangka

waktunya bisa 30 (tiga puluh) tahun, tetapi kalau berasal dari pelepasan hak atau

permohonan hak itu 20 (dua puluh) tahun dan jika jangka waktunya habis bisa

diperpanjang lagi.

3. Bpk Nanang Bagus.5

Beliau adalah asisten Notaris / PPAT di kantor Diah Emilia Sari, SH yang

berkantor di daerah Sleman, Daerah Istiemwa Yogyakarta.

Bahwa memang benar di DIY ada larangan pemilikan HM atas tanah bagi

WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan, yang

aturan larangan kepemilikan HM tersebut berlaku sejak dari tahun 1975.

WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY

harus dilimpahkan kepada yang berkewarganegaraan indonesia asli (pribumi), atau

dapat pula menggunakan atau meminjam nama kerabat atau orang yang

berkewarganegaraan Indonesia asli (pribumi).

5 Wawancara pada tanggal 7 Oktober 2011.

Page 20: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

78

Bagi WNI keturunan Tionghoa yang tinggal dan memiliki rumah atau tanah di

DIY tidak ada yang dapat memiliki tanah dengan status HM, melainkan status hak

atas tanah yang diperoleh hanyalah HGB saja.

Aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM yang diberlakukan bagi

WNI keturunan Tionghoa tersebut berlaku diseluruh DIY, termasuk Kabupaten

Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Gunung Kidul, kabupaten Kulon Progo, dan

Kota Yogyakarta.

Belum ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY,

karena Notaris / PPAT di DIY tidak berani mengeluarkan atau menguruskannya agar

WNI keturunan Tionghoa dapat memperoleh HM atas tanah. Satu-satunya cara agar

WNI keturunan Tionghoa mendapatkan tanah dengan status HM yaitu dengan

meminjam nama atau mengatas namakan tanah tersebut kepada orang yang

berkewarganegaraan WNI asli (pribumi), tetapi yang membeli tanah tersebut tetap

WNI keturunan Tionghoa. Tetapi menurut beliau jika ingin menggunakan atau

meminjam nama dari WNI asli (pribumi) haruslah WNI asli DIY atau yang telah

memiliki KTP di DIY, tidak bisa mengunakan nama dari WNI asli (pribumi) dari

propinsi lain meskipun mereka sama-sama WNI asli (pribumi).

Jikapun Notaris / PPAT diberikan uang tambah untuk membantu WNI

keturunan Tionghoa dalam pengurusannya agar dapat memperoleh status tanah

dengan HM, hal tersebut tetap tidak bisa karena adanya aturan larangan tersebut.

Karena jika Notaris / PPAT mengeluarkan atau membantu WNI keturunan Tionghoa

dalam pengurusan perolehan HM atas tanah, hal tersebut melanggar jabatan kode etik

notaris / PPAT.

4. Ibu Endah Cahyowati6

Beliau adalah Dosen Fakultas Hukum Pengajar mata kuliah Hukum Agraria di

Universitas Katholik Atma Jaya Yogyakarta.

6 Wawancara pada tanggal 12 Oktober 2011.

Page 21: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

79

Memang hangat dibicarakan skala nasional terkait pengaturan tanah di DIY,

selain ketentuan terkait dengan penetapan Kepala Daerahnya.

Pertama-tama untuk mengetahui kaitannya dengan pengaturan pertanahan di

DIY maka harus dilihat dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah

Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU No. 19 Tahun 1950 dan

disempurnakan lagi dengan UU No. 9 Tahun 1955. Salah satu pasalnya yaitu Pasal 4

ayat (1) yang pada mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur masalah

tanah.

Di DIY yang menarik terkait dengan berlakunya UUPA di DIY, bahwa di

DIY ada tanah Kraton (tanah Raja) dan tanah DIY (tanah Negara). Terkait dengan

tanah Kraton tersebut berarti bicara secara khusus yang terdiri dari tanah Sultan

Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman).

Sedangkan untuk tanah di DIY berbicara secara nasional. Tanah di DIY ini harus

dilihat dari sejarah, yang dilihat dari beberapa aspek yaitu: yuridis, historis,

sosiologis, filosofis.

Jika membicarakan tanah di DIY, itu berarti membicarakan tanah skala

nasional. Sedangkan jika membicarakan tanah keraton sudah khusus tanah Sultan

Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman).

Untuk tanah-tanah adat masih berlaku ketentuan peraturan-peraturan daerah,

terutama di daerah 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota. Karena DIY ini memliki 4

(empat) Kabupaten yaitu: Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, sedangkan 1

(satu) Kota yaitu: Yogyakarta.

Pada waktu sebelum berlakunya UUPA, bahwa tanah-tanah keraton diatur

dengan Rijksblad Kasultanan untuk Sultan Ground dan Rijksblad Paku Alaman untuk

Paku Alaman Ground. Sebelum UUPA ini berlaku di DIY, tanah-tanah dikota

Yogyakarta masih diatur dengan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman.

Membicarakan tanah di DIY harus dibedakan, pertama berangkat dari dasar

pembentukan DIY yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 kemudian

disempurnakan menjadi Undang-Undang 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.

Page 22: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

80

Salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 ayat (1) itu menyatakan yang intinya bahwa DIY

diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang /

hal, salah satunya adalah bidang hukum pertanahan.

Sebelum berlakunya UUPA dikenal tanah Raja / Keraton disebut tanah

Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Paku Alaman (Paku Alaman Ground). Hal

tersebut dikarenakan raja di DIY ada 2 (dua) Kasultanan dan paku Alaman, pasti

rajanya dari Kasultanan dan wakilnya dari Paku Alaman.

Sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah yang berada di DIY (4 Kabupaten

dan 1 Kota) itu mengikuti ketentuan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku

Alaman, tetapi khusus untuk tanah-tanah bekas hak barat dahulu mengikuti ketentuan

hukum tanah barat.

Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum)

berlakunya UUPA, di DIY ini belum berlaku sepenuhnya. Yang tunduk pada

ketentuan UUPA pada saat itu adalah hanya tanah-tanah bekas hak barat melalui

ketentuan konversi di UUPA diktum ke II UUPA menjadi tanah negara, dengan batas

waktu sampai 24 september 1980 harus sudah berakhir untuk dikonversi. Sedangkan

tanah-tanah Keraton / Raja masih diatur dengan Rijksblad hingga tahun 1984 belum

tunduk atau belum berlaku sepenuhnya UUPA.

Dengan adanya “Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal :

Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi”,

dengan Gubernur saat itu adalah Paku Alam ke VIII (almarhum), di mana intinya

berupa aturan bahwa “untuk WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan status

HM atas tanah di DIY”.

Adanya instruksi Gubernur tersebut tidak salah karena sejak berlakunya

UUPA di Indonesia, di DIY memang belum memberlakukan sepenuhnya UUPA.

Pada tahun 1975 masih belum berlaku sepenuhnya, jadi instruksi Gubernur masih

juga berlaku, maka WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan HM atas tanah di

DIY.

Page 23: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

81

Alasan utama masih berlakunya Instruksi Gubernur yang melarang pemilikan

tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut, karena terkait dengan

keadaan ekonomi rakyat pribumi. Raja lebih mengutamakan rakyat pribumi dulu

untuk kesehjahteraannya. Selain itu juga dikarenakan penjajahan Belanda cukup

lama, DIY yang merupakan tanah Raja ini adalah satu-satunya tanah yang tidak

diserahkan kepada pemerintah Belanda pada saat penjajahan. Berbeda dengan

Surakarta yang awalnya meskipun sama-sama tanah Raja, tetapi sebagian tanahnya

diserahkan kepada Pemerintah Belanda, maka sekarang tanah di Surakarta telah

menjadi tanah Negara. Berbeda dengan DIY karena pada waktu itu tidak diserahkan

kepada Pemerintah Belanda.

Kemudian pada tahun 1984, tepatnya 1 april 1984 keluar Keputusan Presiden

No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa

Yogyakarta. Dengan berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini berarti peraturan yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tetapi

pada kenyataanya sampai sekarang di DIY masih berlangsung, karena Instruksi

Gubernur tersebut masih berlaku dan belum dicabut secara tegas.

Bicara tentang UUPA, bahwa mulai dari pasal 2 UUPA tentang hak

menguasai negara, dihubungkan dengan asas nasionalitas. Pada saat berlakunya

UUPA itu, semua warga negara indonesia menyebut WNI sudah barang tentu itu

adalah pengertian WNI dalam arti tunggal. Tidak membedakan WNI asli (pribumi)

atau WNI keturunan Tionghoa.

Tetapi DIY tidak lepas dari sejarah mengapa masih berlaku aturan seperti ini.

Bahwa harus melihat dari unsur politis tetapi dalam arti historisnya, bukan politis

dalam arti perkembangan sekarang yang ada rekayasa (untuk kemenangan siapa yang

berkuasa).

Bicara tanah di DIY harus dilihat dari beberapa aspek, diantaranya:

1. Aspek politis dalam arti yang positif karena harus dikaitkan dengan

melihat sejarahnya.

Page 24: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

82

2. Aspek yuridis, tanah keraton khusus merupakan kepemilikan Raja yang

diatur didalam naungan aturan Rijksblad-Rijksblad.

3. Aspek sosiologis, kalau masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY

maka salah satu syaratnya itu adalah harus ada perjanjian. Masyarakat

juga mengakui bahwa tanah di DIY adalah milik Raja, tetapi bahwa

masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY, dalam aturan internal

keraton masyarakat yang ingin menggunakan harus mendapatkan ijin dari

Raja dan tergantung tanah mana yang digunakan. Jika tanah yang

digunakan Sultan Ground harus mendapatkan ijin dari Sultan, tetapi jika

tanah yang digunakan Paku Alaman Ground harus mendapatkan ijin dari

Paku Alam.

4. Aspek filosofis, tanah keraton itu juga digunakan untuk kepentingan

umum atau kepentingan pembangunan. Untuk proses administratif yuridis

dan sosiologisnya sama yaitu harus mendapatkan ijin dari Raja. Seperti

contohnya Kampus UGM sebenarnya tanah Kasultananan, tetapi tidak

diberikan jangka waktu oleh Sultan.

Tanah Kasultanan itu tidak hanya ada di kota Yogyakarta saja, ini ada juga di

kabupaten-kabupaten. Juga dapat digunakan oleh masyarakat dengan status diberikan

hak pakai, hak sewa dan intinya harus mendapatkan ijin. Sekalipun sudah diberikan

ijin untuk didirikan tempat tinggal, maka sebenernya tidak boleh dengan bangunan

permanen. Karena takutnya keraton akan menggunakan / menggembangkan tanah

tersebut.

Sejak Keppres 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di

DIY diberlakukan, jika dipersandingkan dengan UUPA seharusnya insturksi

Gubernur tersebut sebenarnya sudah tidak berlaku. Tetapi sampai sekarang pun

belum bisa diberikan tanah dengan status HM bagi WNI suku Tionghoa.

Dalam Pasal 9 UUPA yang menganut asas nasionalitas, Pasal 9 ayat (1)

menyatakan: semua warga negara indonesia dapat mempunyai hubungan yang

penuh dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Kemudian dalam pasal 9 ayat (2)

Page 25: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

83

menyatakan: tiap-tiap warga negara indonesia, baik laki-laki maupun wanita

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta

untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Penyebutan WNI dalam UUPA ini adalah WNI Tunggal, sehingga tidak membedakan

dalam WNI keturunan Tionghoa atau WNI asli (Pribumi), tetapi tetap saja tidak

diperbolehkan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY.

Tetapi kenyataannya banyak WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan

pinjam nama WNI asli (pribumi) agar dapat memiliki tanah dengan status HM di

DIY. Selain itu juga ada WNI keturunan Tionghoa yang menguruskan ke Notaris /

PPAT untuk melegalkan perjanjian tersebut. Yang dibelakang perjanjian itu ada

perjanjian antara WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), bahwa ada

peminjaman nama dari WNI asli (pribumi) untuk mendapatkan tanah dengan status

HM. Tetapi jika dilanjutkan berbahaya untuk aspek yuridisnya, karena orang yang

dipinjam namanya itu belum tentu mempunyai itikat baik, dan bagaimanapun juga hal

tersebut tetap saja jelas tidak diperbolehkan karena merupakan pelanggaran,

meskipun perjanjian itu diatas sertifikat boleh dilakukan.

Sejak berlakunya UUPA, jika dibaca dalam peraturan pelaksanaanya UUPA

yaitu UU No. 56 Prp. 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kemudian ada

batas penetapan maksimum dan minimumnya, tetapi itu diatur hanya untuk 1 (satu)

keluarga tidak mencakup badan hukum. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diatur lebih lanjut dengan PP No. 224 Tahun

1961. Kemudian dalam UUPA diktum 4 A menyebutkan; tanah Swapraja dan tanah

bekas Swapraja itu sejak berlakunya UUPA menjadi tanah negara. Kemudian diktum

B menyebutkan; ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ketentuan diktum A akan

diatur lebih lanjut dalam PP. PP yang dimaksudkan adalah PP No. 224 Tahun 1961.

Sekarang jika dilihat dalam ketentuan PP No. 224 Tahun 1961 itu ada obyek

landerform, itukan tanah negara, tanah bekas-bekas swapraja, tanah-tanah yang

melebihi batas maksimum, tanah-tanah yang melanggar larangan tanah adat. Tetapi

tanah swapraja belum diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tersebut. Yang dimaksud

Page 26: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

84

dalam diktum 4 B UUPA terkait dengan PP No. 224 Tahun 1961, tetapi isinya tidak

menyinggung tanah swapraja ini diatur dengan PP itu. Ini yang menimbulkan

pertanyaan terkait bagaimana kedudukan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah

swapraja di DIY itu kembali ke histori atau kesejarah tadi, oleh karena itu terlihat

seperti berputar-putar terkait pengaturan tanah swapraja di DIY.

Kalau bicara tanah Swapraja di DIY yang ada di kota Yogyakarta dan

sebagian di 4 kabupaten wilayah DIY kembali harus melihat ke histori atau sejarah.

Selain itu terdapat pula tanah-tanah bekas hak barat dan tanah-tanah bekas hak adat

yang telah dikonversi menurut ketentuan dalam UUPA.

Sumber dari pengaturan tanah swapraja di DIY sebenarnya bersumber dari

sejarah, bukan berasal dari tanah Negara. Tanah di DIY sejarah otentiknya ada

perjanjian Giyanti bahwa tanah di DIY adalah tanah Raja.

Dari keempat nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI

keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, yang

biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB. Larangan tersebut merupakan

aturan dari Sultan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY, dan berlaku di

seluruh wilayah DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota).

Keempat nara sumber juga mengatakan bahwa WNI keturunan Tionghoa

dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara meminjam nama (balik nama) ke

kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi). Akan tetapi

menurut ibu Endah Cahyowati minjaman nama (balik nama) ke kerabat atau orang

yang berwarga negara indonesia asli (pribumi) tersebut tidak menjamin kepastian

hukum meskipun perjanjian tersebut dilakukan dihadapan Notaris / PPAT, karena hal

pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut sebenar tetap dilarang oleh

hukum dan tidak menjamin orang yang dipinjam namanya tersebut memiliki itikat

baik atau buruk.

Menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati bahwa larangan pemilikan

HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY bersifat politis yang harus

Page 27: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

85

melihat sejarah DIY jaman dulu, tetapi menurut bapak Raminudin larangan tersebut

memang bersifat politis yang subyektif bukan obyektif.

Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati adalah

terkait dengan alasan diberlakukan kebijakan larangan pemilikan HM tersebut atas

dasar karena terkait dengan keadaan tingkat ekonomi antara rakyat pribumi dengan

WNI keturunan Tionghoa, yang WNI keturunan Tionghoa dianggap lebih dalam

materi (kekayaan), karena itu takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan

Tionghoa. Oleh karena itu Sultan (Raja) lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat

pribumi dulu, dan agar tidak terjadi kesenjangan sosial.

Bahwa menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin meskipun telah muncul

dan diberlakukan UU Kewarganeraan Indonesia yang baru (UU No. 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia), tetap saja larangan pemilikan HM

atas tanah di DIY yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih

diberlakukan. Meskipun pada dasarnya tidak ada pembedaan atau penyebutan antara

WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama

telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin adalah terkait

dengan bahwa jika ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di

DIY, maka HM atas tanah tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.

Selain ada persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan

pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Raminudin dengan

bpk Nanang Bagus yang sama-sama berprofesi sebagai Notaris / PPAT. Bahwa

menurut bpk Raminudin sering terjadi kecolongan-kecolongan WNI keturunan

Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY, dan banyak Notaris / PPAT yang

banyak menolong WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY.

Sedangkan menurut bpk Nanang Bagus tidak pernah ada kecolongan WNI keturunan

Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT tidak akan berani

menolong WNI keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki tanah dengan HM di DIY,

Page 28: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

86

jika ketahuan ijin praktek Notaris / PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar

kode etik.

2. Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah

Istimewa Yogyakarta Dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik.

Selain mencari fakta terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY, yang

terdapat adanya larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan

Tionghoa. Bahwa untuk mengetahui fakta yang terjadi dilapangan penulis juga

melakukan penelitian terhadap beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili

di DIY dan khususnya yang mengetahui atau mengalami hubungan terkait dengan

masalah larangan pemilikan HM atas tanah tersebut.

Beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berhasil diwawancara yang

mengetahui atau mengalami terkait dengan masalah larangan kepemilikan HM atas

tanah tersebut, diantaranya:

1. Bpk Budi Santoso7

Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang sejak tahun dari tahun 2005

tinggal dan berdomisili di DIY, yang sebelumnya tinggal dan berdomomisi di

Surabaya. Beliau tinggal dan memiliki rumah di jalan Kaliurang Yogyakarta,

kabupaten Sleman dengan status tanahnya HM.

Bahwa awalnya rumah tersebut dikontrak oleh ayahnya yang bernama Sapto

Margono yang juga sebagai warga negara suku Tionghoa yang tanahnya berstatus

HGB. Tetapi tidak lama setelah pindah ke DIY, rumah tersebut dibeli dengan

menggunakan atas nama ayahnya.

Status tanah dari rumah tersebut yang awalnya HGB dirubah menjadi

berstatus HM. Diperolehnya status HM tersebut dikarenakan Sapto Margono wajah

7 Wawancara pada tanggal 31 Oktober 2010

Page 29: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

87

dan perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi), yang sebenarnya adalah WNI

keturunan Tionghoa.

Setelah Sapto Margono meninggal rumah tersebut diwariskan keanaknya yang

bernama Budi Santoso. Tetapi pada saat mau dibalik nama atas nama Budi Santoso,

Notaris / PPAT mengatakan jika ketahuan oleh BPN bahwa tanah tersebut dimiliki

oleh WNI keturunan Tionghoa maka status HM atas tanahnya akan diturunkan

statusnya menjadi HGB. Apalagi Budi Santoso wajah dan perawakannya sangat jelas

sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak seperti perawakan ayahnya yang mirip

dengan WNI asli (pribumi). Notaris / PPAT menawarkan akan membantu dan dengan

diberikan uang tambahan untuk menguruskan agar tanahnya tetap berstatus HM. Budi

Santoso menyerahkan semuanya kepada Notaris / PPAT pada saat pengurusan hak

atas tanah tersebut ke BPN.

Beruntung saja namanya telah menggunakan nama Indonesia, karena jika

masih menggunakan dengan nama Tionghoa sudah pasti akan dicurigai dan tidak

dapat memiliki tanah dengan status HM, yang status tanahnya akan diturunkan

menjadi HGB.

2. Bpk Bambang Riyanto8

Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang telah 20 tahun tinggal dan

berdomisili di DIY, tepatnya di jalan Magelang, Sleman.

Memang benar bahwa di DIY ada larangan pemilikan HM oleh WNI

keturunan Tionghoa. Larangan tersebut amanat Sultan sebagai Gubernur DIY (kepala

daerah), yang berlaku sejak Sultan Hamengku Buwono IX.

Memiliki beberapa rumah di DIY dengan status tanah yang berbeda-beda, ada

yang statusnya HM dan adapula yang statusnya HGB.

Baru mengetahui terkait dengan adanya larangan HM tersebut sejak membeli

tanah untuk rumah di DIY. karena pada saat membeli tanah untuk dibangun rumah

8 Wawancara, 19 Februari 2012.

Page 30: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

88

pemborongnya tidak mengatakan bahwa tanah yang dibeli tersebut statusnya akan

turun menjadi HGB, padahal tanah tersebut status awalnya adalah HM. Penurunan

dari HM menjadi HGB tersebut dikarenakan dimiliki oleh WNI keturunan Tionghoa,

sedangkan jika WNI asli (Pribumi) yang membeli tanah perumahan tersebut status

tanahnya tersebut tetap dengan HM.

Selain itu beliau juga memiliki tanah di DIY dengan status HM, karena

dibantu pengurusannya oleh Notaris / PPAT dan dengan membayar (memberikan)

uang tambahan agar tanahnya mendapatkan status HM bukan dengan status HGB.

Kendalanya jika warga negara suku Tionghoa membeli tanah dengan status

HM ialah sertifikat tanahnya tersebut tidak dapat digadaikan ke bank, hal tersebut

oleh bank akan dipertanyakan dikarenakan WNI keturunan Tionghoa mengapa bisa

memiliki atau mendapatkan tanah dengan status HM di DIY. Karena pada dasarnya

bank di DIY memahami benar adanya larangan bagi WNI keturunan Tionghoa

memiliki tanah dengan status HM. Dan jika diketahui oleh Pemerintah Daerah atau

BPN bahwa ada WNI keturunan Tionghoa yang dapat memiliki tanah dengan status

HM, status tanahnya tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB.

Beliau tidak takut status HM atas tanahnya jika oleh Pemerintah atau BPN

diturunkan menjadi status HGB. Karena baik tanah yang statusnya HM ataupun HGB

yang dimilikinya itu, untuk nilai beli atau nilai jual dari harga tanahnya tetap sama.

Yang membedakan adalah tanah dengan status HM yang dimiliki oleh WNI

keturunan Tionghoa tidak dapat digadaikan dibank. Selain itu juga tanah yang

berstatus HM tidak perlu melakukan permohonan perpanjangan hak atas tanah,

berbeda dengan tanah yang berstatus HGB maka pemegang hak atas tanah tersebut

setelah jangka waktu tertentu harus melakukan permohonan perpanjangan hak atas

tanahnya. Dan dalam melakukan permohonan perpanjangan akan dikenakan biaya

permohonan perpanjangan hak atas tanah tersebut.

Beliau tidak pernah melakukan permohonan hak atas tanahnya dari HGB

menjadi HM, karena harga jualnya tetap sama dengan harga jual tanah dengan yang

berstatus HM.

Page 31: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

89

Tanah yang statusnya HGB yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa jika

dibeli oleh WNI asli (pribumi) status tanahnya dapat ditingkatkan menjadi HM

kembali, sedangkan Jika tanah tersebut dibeli oleh WNI keturunan Tionghoa status

tanahnya tersebut tetap berstatus HGB.

WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY

dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena hal tersebut merupakan pelanggaran

hukum. Dan jika ada WNI keturunan Tionghoa yang tidak tahu adanya aturan

larangan ini dan ingin membeli tanah di DIY pasti kaget, karena tanah yang dibeli

dari yang awalnya berstatus HM akan turun statusnya menjadi HGB. Apalagi jika

WNI keturunan Tionghoa masih menggunakan nama Tionghoa sudah pasti status

tanah yang akan diberikan hanyalah HGB, tidak mungkin diberikan dengan status

HM.

Hal ini dapat dikatakan diskriminasi bagi WNI keturunan Tionghoa, meskipun

pada dasarnya DIY dianggap memiliki keistimewaan dibandingkan dengan daerah

yang lainnya.

3. Bpk Oey Meng Hoi9

Beliau adalah warga negara suku Tionghoa yang dahulu tinggal dan

berdomisili di Salatiga, sekarang tinggal dan berdomisili di DIY.

Beliau WNI keturunan Tionghoa yang telah miliki Kartu Tanda Penduduk

(KTP) dan memiliki Surat Keterangan Berkewarganegaraan Republik Indonesia

(SKBRI), meskipun masih menggunakan nama Tionghoa dan tidak menggunakan

nama Indonesia seperti orang warga negara Indonesia pada umumnya. Tetapi

menurut hukum, beliau telah dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Pada waktu awal pindah ke DIY berniat untuk membeli sebuah rumah. Tetapi

pada saat menanyakan kepada beberapa agen property terkait dengan status

kepemilikan tanahnya, agen property tersebut mengatakan bahwa khusus bagi WNI

9 Wawancara pada tanggal 30 Maret 2010.

Page 32: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

90

keturunan Tionghoa tidak dapat diberikan tanah dengan status HM dan hanya dapat

diberikan status HGB saja. Berbeda dengan WNI asli (pribumi) yang jika membeli

rumah statusnya langsung mendapatkan status dengan HM.

Alasan dari beberapa agen property tersebut adalah karena adanya aturan /

kebijakan dari Sultan yang berlaku sejak tahun 1975, yang yang sampai sekarang

belum dicabut. Oleh karena itu menurut agen property tersebut bagi setiap WNI

keturunan Tionghoa yang ingin membeli tanah atau rumah di DIY hanya dapat

diberikan status HGB tidak dapat dengan status HM.

Agen property tersebut mengatakan jika WNI keturunan Tionghoa ingin

membeli tanah / rumah dengan status HM dapat dengan menggunakan nama (pinjam

nama) dari WNI asli (pribumi).

4. Ibu Imelda10

Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang berasal dari Semarang, sejak

tahun 2005 bersama dengan suaminya yang juga sama-sama sebagai WNI keturunan

Tionghoa memilih untuk menetap dan berdomisili di DIY.

Kemudian memutuskan untuk membeli rumah tempat tinggal yang terletak di

Kabupaten Bantul. Beliau membeli rumah milik WNI asli (pribumi), dengan status

HM. Tetapi pada saat melakukan pengurusan jual beli rumah tersebut di Notaris /

PPAT, status tanahnya yang awalnya berstatus HM turun statusnya menjadi HGB.

Menurut keterangan dari Notaris / PPAT bahwa bagi WNI keturunan

Tionghoa yang ingin membeli / memiliki tanah dengan status HM tidak

diperbolehkan, melainkan status tanah yang dapat diperoleh hanyalah HGB saja.

Larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut diatur dalam Surat

Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak

atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi.

10 13 Wawancara pada tangga 13 November 2010.

Page 33: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

91

Beliau tidak mengurus atau mengajukan permohonan peningkatan hak atas

tanah dari status HGB menjadi status HM, bahwa hasilnya akan sama saja yang

diperoleh, status tanahnya yang diperoleh tetap hanyalah HGB saja jika mengajukan

permohonan peningkatan hak atas tanah menjadi HM.

5. Bpk Antony Lee11

Dalam harian kompas 8 September 2009; surat pembaca harian kompas :

status hak milik tanah bagi WNI pribumi dan keturunan – Antony Lee, Perum

Jangkang C 60, Nogotirto, Sleman, Yogyakarta. Bahwa pada Juli 2009, saat

mengurus jual beli tanah seluas 126 m² pada seorang Notaris di Sleman, Yogyakarta,

keIndonesiaan saya kembali dipertanyakan. Notaris mengatakan, karena ada embel-

embel “Lee” status yang semula Hak Milik harus diturunkan menjadi Hak Guna

Bangunan. Alasannya, ada Instruksi dan Surat Edaran Gubernur DIY 1975 yang

hingga kini belum dicabut. Intinya, warga negara keturunan belum diperkenankan

memiliki hak milik, bila dipaksakan mengajukan hak milik, Badan Pertanahan

Nasional akan menolak menerbitkan Sertifikat. Saya berdalil, pada tahun 1984

Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menerapkan penuh UU Pokok Agraria tahun

1960. Ditambah lagi, sejak tahun 2006 disahkan UU Kewarganegaraan yang tidak

lagi mengenal istilah Pribumi dan non Pribumi. Akhirnya saya menuruti Notaris itu,

dengan mengeluarkan uang tambahan, yang disebutnya perlu adanya pajak dan biaya

tambahan pengurusan. Saya tidak bermaksud mengutak-atik kearifan lokal ini.

Namun, saya tergelitik pertanyaan, apakah Undang-Undang dikalahkan dengan

Instruksi? Lepas dari itu, rasa sakit yang lebih mendera, hati saya kembali bertanya,

sudah sepenuhnya Indonesia-kah saya?

Dari kelima nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI

keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM dan hanya

11

http://www.scribd.com/doc/33264088/Aturan-UU-Diskriminatif, Kompas 8 September 2009, Surat Pembaca : Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan; Antony Lee.

Page 34: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

92

diberikan status tanah dengan HGB saja, yang larangan pemilikan HM tersebut

merupakan kebijakan dari Sultan (Raja).

Menurut bpk Budi Santoso dan bpk Bambang Riyanto mengakui bahwa dapat

memiliki tanah dengan status HM di DIY karena dibantu pengurusannya oleh Notaris

/ PPAT dengan memberikan uang tambahan.

Kesamaan lainnya antara bpk Budi Santoso dengan bpk Bambang Riyanto

adalah mereka sama-sama dapat memiliki HM atas tanah di DIY karena telah

menggunakan nama indonesia dalam identitasnya (tidak menggunakan nama

Tionghoa), karena jika masih menggunakan nama Tionghoa meskipun dibantu

pengurusannya oleh Notaris / PPAT untuk mendapatkan tanah dengan status HM di

DIY tetap tidak bisa.

Bahwa menurut bpk Bambang Riyanto, ibu Imelda dan bpk Antony Lee

mengakui membeli tanah HM WNI asli (pribumi) tetapi pada saat pengurusan jual

beli di Notaris / PPAT untuk balik nama, status tanah yang awalnya berstatus HM

berubah (diturunkan) menjadi status HGB. Hal ini dikarenakan menurut Notaris /

PPAT bagi WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah dengan status HM di

DIY.

Bahwa kesamaan lainnya antara bpk Bambang Riyanto dengan ibu Imelda

adalah meskipun mereka membeli tanah dari WNI asli (pribumi) yang awalnya

berstatus HM dan diturunkan menjadi HGB, mereka sama-sama tidak mau

mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanahnya dari HGB menjadi HM

dengan alasan bahwa tetap saja status tanahnya tidak akan berubah menjadi HM

karena mereka adalah WNI keturunan Tionghoa.

Selain terdapat persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat

perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Budi

Santoso dengan bpk Oey Meng Hoi. Bahwa bpk Budi Santoso mengakui ayahnya

yang bernama bpk Sapto Margono yang juga WNI keturunan Tionghoa awalnya

dapat membeli tanah di DIY dengan status HM karena nama, wajah, dan

perawakannya mirip dengan WNI asli (pribumi). Sedangkan bpk Oey Meng hoi yang

Page 35: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

93

sama-sama WNI keturunan Tionghoa mengakui bahwa tidak dapat membeli tanah

dengan status HM di DIY dikarenakan masih menggunakan nama Tionghoa, selain

itu wajah dan perawakannya sangat jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa.

B. ANALISIS.

1. Analisis Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah

Oleh WNI Keturunan Tionghoa Di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menarik untuk dicermati, bahwa masih diberlakukannya larangan

kepemilikan hak milik atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY yang hal

tersebut bertentangan dengan UUPA sebagai hukum agraria nasional Indonesia,

menyatakan bahwa setiap hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA termasuk HM

atas tanah adalah hak bagi warga negara yang tidak boleh dibatasi oleh pemerintah

maupun individu, karena setiap hak atas tanah tersebut bertujuan untuk

mensehjahterakan warga negara indonesia. Oleh karenanya hal ini harus dilindungi

oleh Negara, yang pelaksaanaanya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah

Daerah.

Hal ini sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) jo. (2) UUPA

yang mengatur tentang hak menguasai dari Negara, yang menyatakan : atas dasar

ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara ini

memberikan wewenang kepada Negara untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

Page 36: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

94

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3), menyatakan: “wewenang yang

bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai

sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan

kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,

berdaulat, adil dan makmur.”

Hak menguasai dari Negara tersebut pelaksanaanya dapat juga dikuasakan

kepada Daerah-daerah Swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar

diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, hal tersebut terdapat

dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA.

Atas dasar hak menguasai dari Negara tersebut, ditentukan adanya macam-

macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada

dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-

orang lain serta badan-badan hukum.

Macam hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan tertuang dalam

Pasal 16 UUPA, yang dapat dimiliki tersebut ialah: hak milik, hak guna usaha, hak

guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak hak membuka tanah, hak memungut hasil

hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut serta hak-hak

yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 (hak gadai,

hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian).

Terkait dengan pemberlakuan UUPA di Indonesia seharusnya tidak ada

perbedaan antar daerah atau propinsi lainnya, tetapi di DIY mempunyai keistimewaan

yang sampai sekarang masih berjalan meskipun bertentangan dengan UUPA sebagai

hukum agraria nasional. Keistimewaan yang dimiliki DIY tersebut terkait dengan

pengaturan pertanahan yaitu dengan masih berlaku dan belum dicabut hingga

sekarang ini aturan pertanahan tersebut yang tertuang Surat Edaran Gubernur DIY

No. K.898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada

seorang WNI Non Pribumi.

Page 37: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

95

Isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut adalah : “apabila ada warga

negara Indonesia non pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya

diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga

tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah

Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan

permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”.

Unsur pelepasan HM yang terdapat dalam Surat Edaran Gubernur DIY

tersebut berbeda dengan unsur pelepasan hak pada umumnya yang digunakan dalam

hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum,

seperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Pengertian dari Pelepasan Hak menurut Pasal 1 ayat (9) UU No. 2 Tahun

2012 ini, adalah: kegiatan pemutusan hubungan hukum dari Pihak yang Berhak

kepada negara melalui Lembaga Pertanahan.

Bahwa Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang diatur dalam UU

ini dilaksanakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah dan tanahnya selanjutnya

dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Tujuan dari Pengadaan Tanah

untuk Kepentingan Umum ini untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan guna meningkatkan kesehjahteraan dan kemakmuran bangsa, negara

dan masyarakat dengan menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Pihak

yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah

untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terkait dengan

penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan

keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.

Bahwa terkait Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan

dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil. Dalam hal ini yang berhak

melakukan penilaian Ganti Kerugian adalah Lembaga Pertanahan dengan

menetapkan penilai yang bertujuan untuk melaksanakan penilaian Objek Pengadaan

Page 38: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

96

Tanah. Penilaian Ganti kerugian oleh penilai tersebut dilakukan bidang per bidang

tanah, meliputi: (a) tanah; (b) ruang atas tanah dan bawah tanah; (c) bangunan; (d)

tanaman; (e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau (f) kerugian lain yang

dapat dinilai. Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh penilai tersebut merupakan nilai

pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum,

yang disampaikan kepada Lembaga Pertanahan yang kemudian digunakan untuk

menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti kerugian.

Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk: (a) uang; (b) tanah

pengganti; (c) pemukiman kembali; (d) kepemilikan saham; atau (e) bentuk lain yang

disetujui oleh kedua belah pihak.

Dari hasil kesepakatan dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau

besarnya Ganti Kerugian menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak

yang Berhak. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya

Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan

negeri setempat. Bila mana keberatan kepada pengadilan negeri belum tercapai

kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti kerugian maka Pihak yang

Berhak dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Bahwa putusan

pengadilan negeri / Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.

Terkait dengan pemberian Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah

diberikan langsung kepada Pihak yang Berhak. Dalam hal Pihak yang Berhak

menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah

atau putusan pengadilan negeri / Mahkamah Agung, maka Ganti Kerugian dititipkan

di pengadilan negeri setempat.

Pada saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti

Kerugian wajib: (a) melakukan pelepasan hak; dan (b) menyerahkan bukti

penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang

memerlukan tanah melalui Lembaga Pertanahan.

Page 39: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

97

Penyerahan hasil pengadaan tanah oleh Lembaga Pertanahan kepada Instansi

yang memerlukan tanah barulah dapat dilakukan setelah: (a) pemberian Ganti

Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan pelepasan hak telah dilaksanakan; dan/atau

(b) pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.

Sedangkan pelepasan HM yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY

tersebut tidak ada unsur pembangunan untuk kepentingan umum, tetapi yang ada

adalah pelepasan hak milik atas tanah yang dimiliki WNI keturunan Tionghoa

supaya menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh pemerintah daerah DIY,

dan setelah WNI keturunan tersebut melakukan pelepasan HM atas tanahnya barulah

dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru kepada Kepala Daerah DIY

selain HM atas tanah, misalnya seperti HGB atau HP. Meskipun pelepasan HM

menjadi hak atas tanah yang lain tersebut dalam Surat Edaran Gubernur dikatakan

dilakukan dengan suka rela, tetapi sesungguhnya (faktanya) pelepasan hak tersebut

dapat dikatakan memaksa karena tidak ada persetujuan atau keinginan dari

pemengang hak untuk melepaskan HM atas tanahnya tersebut. Dapat dilihat bahwa

hal ini hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah DIY dan tidak ada

musyawarah dari kedua belah pihak. Selain itu pemegang hak juga tidak

mendapatkan perlindungan atau bantuan hukum atas pelepasan HM tersebut.

Dampak dari masih diberlakukan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut yaitu

bahwa WNI keturunan Tionghoa yang ingin membeli, memiliki atau memerlukan

tanah di DIY dengan status HM tidak diberikan, sedangkan hanya diberikan status

tanah dengan HGB saja. Meskipun sebenarnya menurut hukum WNI keturunan

Tionghoa tersebut telah sah sebagai warga negara indonesia (WNI).

Sebenarnya Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal :

Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi,

tidak tepat diberlakukan lagi di DIY. Karena pada tanggal 1 April 1984 telah

dikeluarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang pemberlakuan

Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Dalam pertimbangannya, bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 3

Page 40: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

98

Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, beberapa urusan

diserahkan kepada propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan

otonom, sehingga Undang-undang No. 5 Tahun 1960 sejak diundangkan sampai saat

ini belum berlaku secara penuh di Daerah tersebut. Tetapi sesuai dengan pernyataan

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan Undang-Undang No.

5 Tahun 1960 (UUPA) secara penuh, maka agar pelaksanaan Undang-Undang No.5

Tahun 1960 dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu untuk

menetapkan pemberlakuan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Dengan keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tersebut bahwa Undang-

Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan

pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh wilayahnya berarti 4 kabupaten yaitu Sleman,

Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan 1 Kota yaitu Yogyakarta.

Setelah dikeluarkannya Kepres No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan

Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta, Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (Perda DIY) No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan

Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Bahwa dalam pertimbangan Perda DIY No. 3 Tahun 1984 tersebut Gubernur

DIY telah menyatakan bahwa sesuai dengan tekat Gubernur Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta untuk memberlakukan sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta beserta aturan pelaksanaanya sebagaimana terwujud dalam Keputusan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor

3/K/DPRD/1984 tentang Pernyataan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta untuk memberlakukan secara penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) di Daerah Istimewa

Page 41: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

99

Yogyakarta, dan Keputusan Daerah Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta No. 4/K/DPRD/1984 tentang Usul kepada Presiden Republik

Indonesia untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang memberlakukan secara

penuh Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) di Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dengan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 beserta

aturan-aturan pelaksanaannya di seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta ini, pengurusan agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi

beralih menjadi wewenang dekonsentrasi. Maksudnya, bahwa Pemerintah Daerah

DIY diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri, yang terkait dengan pengaturan

pertanahan di DIY. Tetapi atas usul yang diajukan oleh Kepala Daerah DIY

(Gubernur DIY) kepada Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden untuk

memberlakukan sepenuhnya UUPA di propinsi DIY yang bertujuan agar terjadi

keseragaman, kesatuan, dan kepastian hukum. Maka kewenangan otonomi yang

dimiliki Pemerintah Daerah DIY yang mengatur soal pertanahan selain UUPA tidak

diberlakukan lagi di DIY, melainkan hanya UUPA sebagai hukum agraria nasional

yang diberlakukan di DIY seperti propinsi lainnya di Indonesia.

Tanah-tanah di DIY yang tidak termasuk diatur dengan UUPA yaitu tanah-

tanah Hak Milik Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman

(Sultan Ground dan Paku Alaman Ground) yang selama ini belum dilepaskan, masih

Hak Milik atau merupakan domain bebas dari Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten

Paku Alaman. Tanah tersebut adalah tanah milik Raja yang memiliki nilai historis

yang panjang, dan menggunakan aturan-aturan Rijksblad untuk mengatur urusan

pertanahannya. Sedangkan tanah-tanah yang sudah diatur dengan UUPA adalah

hanyalah tanah-tanah yang kewenangannya telah diserahkan kepada pemerintah

ataupun tanah-tanah bekas hak barat yang telah dikonversi, yang telah menjadi tanah

Negara.

Page 42: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

100

Kenyataannya memang sampai berlaku UUPA di DIY sekarang ini, Surat

Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 belum dicabut secara tegas. Tetapi dengan

diberlakukannya Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan

Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Di Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan Daerah

Istimewa Yogyakarta yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis, bahwa alasan Sultan

mengeluarkan Surat Edaran Gubernur DIY terkait dengan larangan pemilikan hak

milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut alasannya sangat politis,

karena pada jaman dulu Sultan (Raja) memikirkan kesehjahteraan bagi WNI asli

(pribumi). Karena takut tanah di DIY dikuasai semua oleh WNI keturunan Tionghoa

yang alasannya karena WNI keturunan Tionghoa lebih kaya dalam materi

dibandingkan WNI asli (pribumi) dan WNI keturunan Tionghoa juga pandai melihat

tanah yang berprospek untuk berkembang. Menurut penulis alasan Sultan yang

masih memberlakukan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa

dengan dasar pertimbangan kondisi ekonomi tidak tepat diberlakukan, karena

seharusnya dasar yang digunakan untuk memberikan pertimbangan hak atas tanah

kepada seorang warga negara harus berdasarkan pada subyek hukumnya yang

terdapat dalam UUPA. Yaitu berdasarkan atas asas persamaan hak, yang tertuang

pada Pasal 9 ayat (2) UUPA, bahwa pasal ini menempatkan subyek hukum baik laki-

laki maupun perempuan tidak dibedakan dalam kesempatan untuk memperoleh

kenikmatan atas BARA (termasuk pula pemilikan tanah dengan HM di Indonesia).

Bahkan pasal ini juga tidak membedakan golongan atau suku, sehingga UUPA tidak

menerapkan diskriminasi karena jenis kelamin maupun golongan (suku) karena

bertentangan dengan rasa keadilan bangsa indonesia ataupun HAM. Selain itu juga

bahwa setiap warga Negara Indonesia, baik WNI keturunan Tionghoa dan WNI asli

(pribumi) sama-sama memiliki hak dan kewajiban tanpa adanya perbedaan.

Page 43: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

101

Jika memang yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk memberikan

hak atas tanah bagi warga negara adalah dengan pertimbangan ekonomi, maka hal ini

dapat dikatakan diskriminasi.

Dengan telah berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini, maka aturan larangan

kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak tepat lagi

jika masih diberlakukan di DIY. Karena dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA,

menyatakan: “Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan

yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”. Dan ketentuan Pasal 21

ayat (1) UUPA menyatakan: “Hanya warga negara indonesia dapat mempunyai hak

milik”. Oleh karena hak milik ini merupakan hak yang terpenuh dan terkuat atas

tanah maka ditentukan bahwa hak ini disediakan bagi warga negara indonesia saja.

Hanya orang-orang asing (WNA) saja yang tidak diperbolehkan untuk mempunyai

hak milik ini.

Pengertian dari warga negara Indonesia yang dianut dalam UUPA ini adalah

pengertian warga negara Indonesia dalam arti kata WNI tunggal, tidak membedakan

antara warga negara Indonesia asli (Pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa.

Karena hanya mereka yang berstatus WNI, tetapi disamping itu masih mempunyai

kewarganegaraan lain (berkewarganegaraan ganda) dalam hal ini oleh UUPA

dipersamakan dengan orang asing (WNA), dan berlaku ketentuan Pasal 31 ayat (3)

UUPA yang menyatakan: “orang asing yang sudah berlakunya undang-undang ini

memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta

perkawinan, demikian pula warga negara indonesia yang mempunyai hak milik dan

setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib

melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak

tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut

lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan

tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang

membebaninya tetap berlangsung”.

Page 44: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

102

Sedangkan pada kenyataannya, mereka yang WNI keturunan Tionghoa tidak

dapat memiliki HM atas tanah di DIY meskipun mereka telah sah menurut hukum

dianggap sebagai warga negara indonesia, akan tetapi bagi mereka tetap saja hanya

diberikan HGB. Dapat diartikan bahwa WNI keturunan Tionghoa jika membeli atau

memiliki rumah di DIY hanyalah membeli atau memiliki bangunannya saja, tidak

beserta dengan tanahnya, karena tanahnya adalah milik Pemerintah Daerah DIY.

Setiap WNI keturunan Tionghoa tersebut jika membeli tanah atau rumah milik WNI

asli (Pribumi) awalnya harus melepaskan HM atas tanahnya tersebut dan barulah

dapat melakukan permohonan hak atas tanah yang baru tetapi selain HM, yang

biasanya hanya diberikan HGB saja. WNI keturunan Tionghoa sebagai Pemegang

HGB tersebut juga harus melakukan perpanjangan haknya yang jangka waktunya

paling lama 30 tahun, dan tidak dapat memohonkan peningkatan hak atas tanah dari

HGB menjadi HM. HGB ini berbeda dengan HM karena HM tidak perlu melakukan

permohonan perpanjangan hak.

Dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa dimungkinkan memiliki atau

dapat mengajukan tanah dengan HM tetapi harus mempunyai “surat kekancingan”

dari Keraton yang dikeluarkan oleh Sultan. WNI keturunan Tionghoa yang

mendapatkan surat kekancingan tersebut biasanya memiliki hubungan kekerabatan

dengan Keraton atau biasanya ada keturunan dari keluarga Keraton, maka barulah

dapat diberikan tanah dengan HM dengan surat kekancingan tersebut. Jika tidak

mempunyai surat kekancingan maka tidak dapat mempunyai tanah dengan HM.

Tetapi apabila tanah tersebut akan digunakan untuk kepentingan pembangunan atau

kepentingan Pemerintah / Keraton maka tanah tersebut harus dilepaskan.

Berdasarkan prinsip Equality Before The Law, masih berlakunya larangan

pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak menjamin kepastian

hukum bagi warga negara, khususnya WNI keturunan Tionghoa. Karena sudah

seharusnya setiap orang yang dianggap sebagai warga negara indonesia berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum, tanpa adanya pembedaan dari pihak manapun termasuk

Page 45: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

103

perbedaan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Karena sesungguhnya

setiap orang yang dianggap sebagai warga negara berhak mendapatkan kesempatan

yang sama atas tanah di Indonesia, yang juga keberadaan tanah adalah karunia Tuhan

Yang Maha Esa yang digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan atau

kemakmuran rakyat. Negara hanyalah diberikan hak menguasai bukanlah sebagai

pemilik atas tanah di Indonesia. Hak menguasai tersebut hanya untuk mengatur

terkait pengaturan tanah di Indonesia agar tercapai sebesar-besar kemakmuran rakyat

dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan

Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Tujuan diberlakuakannya UUPA di DIY tersebut adalah agar terjadi

keseragaman, kesatuan dan kepastian hukum terkait dengan pengaturan agraria di

DIY. Oleh karena itu, bahwa demi adanya keseragaman, kesatuan dan kepastian

hukum perlu ditinjau kembali dan tidak diberlakukannya Rijksblad-Rijksblad,

Peraturan Daerah - Peraturan Daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan

daerah lainnya tentang Agraria di DIY, sehingga hanya peraturan perundang-

undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) beserta, aturan pelaksanaannya yang berlaku, dengan menetapkan

Peraturan Daerah DIY tentang Pelaksanaan berlaku sepenuhnya Undang-Undang No.

5 Tahun 1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Setiap propinsi di Indonesia melalui pemerintah daerah memang diberikan

kewenangan untuk membuat peraturan daerahnya sendiri guna untuk menunjang dan

memajukan pemerintahan daerahnya, akan tetapi peraturan daerah yang dibentuk

tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi,

seperti UUD 1945 ataupun Undang-Undang.

Tetapi karena UUPA merupakan peraturan dasar Hukum Tanah Nasional,

sudah dengan sendirinya tidak boleh ada peraturan Hukum Tanah, baik yang tertulis

maupun tidak tertulis, yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Termasuk pula

aturan larangan pemilikan HM atas tanah di DIY bagi WNI keturunan Tionghoa yang

tertuang dalam Surat Edaran Gubernur tersebut, bahwa telah bertentangan dengan

Page 46: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

104

“asas persamaan hak”, yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan

bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk

memperoleh sesuatu hak atas tanah. Kesempatan setiap warga negara yang sama

tersebut ditujukan baik bagi laki-laki atau perempuan dan/atau bagi WNI asli

(pribumi) dan WNI keturunan, yang sama-sama telah menjadi warga negara untuk

dapat memiliki HM atas tanah di Indonesia.

Ketentuan hukum adat di sementara daerah yang hanya memberi

kemungkinan kepada anggota-anggota masyarakat hukumnya sendiri untuk

mempunyai tanah dengan hak milik adalah bertentangan dengan ketentuan UUPA

tersebut, yang dimuat dalam Pasal 9 ayat (2). Pasal itu memuat pula ketentuan bahwa

dalam hal ini pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita.

Hukum adat di sementara daerah yang tidak memungkinkan orang-orang wanita

ataupun orang-orang laki mempunyai tanah dengan hak milik bertentangan pula

dengan ketentuan UUPA tersebut12

Dengan pemahaman bahwa tidak boleh ada peraturan yang bertentangan

dengan peraturan UUPA ini, maka sudah seharusnya jika di DIY ada aturan yang

tertuang dalam Surat Edaran Guberur yang melarang WNI keturunan Tionghoa

memiliki tanah dengan status HM seharusnya aturan tersebut tidak dapat

diberlakukan lagi, karena jelas-jelas bertentangan dengan “asas Nasionalitas” yang

terdapat didalam ketentuan UUPA, yang termuat dalam Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21

ayat (1). Pasal itu memuat bahwa dalam hal pemilikan tanah hanya warga negara

Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan BARA dan dapat

mempunyai hak milik atas tanah.

Hal ini sesuai dengan asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yakni suatu

asas undang-undang yang dimana jika terjadi konflik / pertentangan antara peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah maka undang-

undang yang lebih tinggilah yang berlaku sedangkan undang-undang yang lebih

12 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 213

Page 47: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

105

rendah tidak mengikat, atau dengan kata lain peraturan yang lebih tinggi

mengalahkan / mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.

Sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, tentu kedudukan

Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) di propinsi DIY lebih tinggi daripada

Surat Edaran Gubernur No.K.898/A/1975. Selain itu pemberlakuan larangan

kepemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut tidak dapat diberlakukan

lagi karena bertentangan dengan ketentuan yang terdapat didalam UUPA, yang disini

kedudukan UUPA lebih tinggi dibandingkan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut.

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan ini juga dapat dilihat dalam

Pasal 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Propinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Lebih jauh, disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun

2011; bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi

Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang

dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,

Page 48: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

106

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten / Kota, Bupati / Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Larangan pemilikan HM yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan

Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, jika dilihat dan

diperbandingkan dengan aturan-aturan / hukum positif yang berlaku di Indonesia

selain bertentangan dengan hukum agraria nasional (UUPA), juga bertentangan

dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang diatur dalam UU

kewarganegaraan, UU HAM, dan UU penghapusan diskriminasi ras dan etnis. Karena

bahwa sesungguhnya aturan terkait larangan pemilikan tanah dengan HM tersebut

jelas-jelas bertentangan dengan hukum positif, dan mengurangi hak yang dimiliki

seseorang sebagai warga negara Indonesia yang pada dasarnya pemilikan HM atas

tanah di Indonesia yang diatur dalam UUPA tidak melarang dimiliki bagi WNI

keturunan Tionghoa, yang dilarang memiliki HM atas tanah di Indonesia hanyalah

warga negara asing (WNA) saja.

Bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu setiap hal

yang berkaitan dengan warga negara diatur dengan hukum, termasuk pula hal yang

berkaitan dengan urusan pertanahan / agraria ataupun hak-hak dan kewajiban

seseorang sebagai warga negara harus pula diatur dengan Undang-Undang.

Hak seseorang sebagai WNI juga dijamin didalam Konstitusi Republik

Indonesia (Undang-Undang Dasar 1945) sebagaimana disebut dalam Pasal 27 ayat

(1) bahwa: ”segala warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

kecualinya”. Sehingga, tidak boleh ada diskriminasi, karena kedudukan setiap warga

negara adalah sama. Dipertegas pula didalam Pasal 28 D ayat (1), bahwa ”setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Sedangkan dalam Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, menyatakan bahwa: “setiap

orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh

diambil secara sewenang-wewang oleh siapapun”. Kepemilikan hak milik yang

Page 49: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

107

dimaksudkan tersebut juga menyangkut kepemilikan hak milik atas tanah yang dapat

dimiliki seseorang sebagai warga negara Indonesia.

Berkaitan dengan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat, hal ini termaktub dalam bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 inipun yang menjadi dasar pembentukan dari

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA). Lahirnya UUPA ini adalah sebagai dasar dari pengaturan agraria nasional.

Hadirnya UUPA sebagai hukum agraria nasional ini memiliki tujuan pokok

yang ingin dicapai, diantaranya meliputi:

1. Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan

bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang

adil dan makmur.

2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan, dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan.

3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat keseluruhan.

Jika melihat ketentuan dalam UUPA, Jelas dari Ketentuan bunyi Pasal 9 ayat

(1) UUPA, menyatakan bahwa: “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai

hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dalam batas-batas

ketentuan pasal 1 dan 2”. Pernyataan dasar tersebut mendapat penerapan dalam

pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah, sebagai hak yang memberikan

hubungan yang terpenuh dengan tanah.13

Selain itu, juga dipertegas dalam bunyi Pasal 21 ayat (1) UUPA, menyatakan:

“hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Ketentuan ini

13 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 219

Page 50: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

108

merupakan penjabaran asas kebangsaan / prinsip nasionalitas / dasar kenasionalan.14

Sebagaimana juga yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA, hanya warga

negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air,

dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2. Penjelasan Umum II

(5) UUPA antara lain, menegaskan: “sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam

Pasal 1 maka menurut Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) hanya warga negara Indonesia

saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah”.

Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA, Oleh pemerintah juga ditetapkan

badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

Pengaturan dari badan-badan hukum yang dapat diberikan hak milik oleh pemerintah

ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang

Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik, diantaranya:

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara;

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas

Undang-Undang No. 79 Tahun 1958;

c. Badan-Badan Keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertaniaaan / Agraria

setelah mendengar Menteri Agama;

d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian / Agraria setelah

mendengar Menteri Kesehjahteraan Sosial.

Sedangkan bagi orang asing dan badan-badan hukum asing pada dasarnya

tidak dapat menguasai tanah dengan hak milik. Hanya dalam hal-hal tertentu orang

asing dimungkinkan memperoleh tanah hak milik dan itu pun dibatasi hanya selama 1

(satu) tahun. Larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi orang asing tertuang

dalam Pasal 21 ayat (3), bahwa: Orang asing yang sesudah berlakunya undang-

undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran

harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai

14 Oloan Sitorus & H.M Zaki Sierrad, op.cit, hlm. 91

Page 51: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

109

hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan

kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun

sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah

jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut

hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-

hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Ketentuan yang mengadakan perbedaan antara warga negara Indonesia dan

orang asing dalam pemilikan tanah adalah sesuai dengan apa yang diatur dalam

hukum adat.15

Dasar demokrasi atau kerakyatan yang ditunjukan oleh pernyataan dalam

Pasal 9 ayat (2), bahwa: Tiap-tiap warga negara, baik laki-laki maupun wanita

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta

untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Demikian pula jika ditafsirkan secara ekstensif dari penjabaran Pasal 9 ayat

(2) UUPA ini, kiranya diskriminasi atas dasar atau kepentingan lain, seperti suku

bangsa, agama, asal-usul kewarganegaraan (WNI asli (pribumi) maupun WNI

Keturunan Tionghoa) tidak diperkenankan oleh UUPA.16

Penjelasan dari Pasal 9 ayat (2) menghubungkan pernyataan tersebut dengan

ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2), yang mendasari konsepsi komunalistik

Hukum Tanah Nasional. Sebagaimana telah diketahui Pasal 1 tersebut menyatakan

antara lain, bahwa semua tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah tanah

bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi Bangsa Indonesia. Maka

sebagai pihak yang turut mempunyai tanah bersama tersebut, para warga negara

Indonesia masing-masing mempunyai hak yang sama untuk memperoleh sesuatu hak

atas sebagian dari tanah bersama itu.17

15 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 220 16

Oloan Sitorus & H.M Zaki Sierrad, op.cit, hlm. 93 17 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 221

Page 52: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

110

Dasar demokrasi Hukum Tanah Nasional tampak juga dari ketentuan, bahwa

dalam penguasaan tanah tidak diadakan perbedaan lagi antara warga negara pribumi

dan non-pribumi dan antara warga negara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya

perbedaan diadakan antara warga negara Indonesia dan orang asing. Diantara para

warga negara perbedaan diadakan antara golongan yang ekonomis lemah dan

ekonomis kuat (Pasal 11, 15, dan 26 ayat (1)).18

Jika dilihat dalam ketentuan dalam UUPA yang dipahami sebagai dasar

pengaturan agraria di Indonesia ini, bahwa sangat jelas larangan kepemilikan tanah

dengan hak milik yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang

tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975 tersebut bertentangan

dengan ketentuan yang ada dalam UUPA. Karena dalam UUPA menyatakan bahwa

setiap hak-hak atas tanah yang ada di Indonesia termasuk hak milik atas tanah adalah

hak bagi setiap warga negara indonesia. Kecuali WNI keturunan Tionghoa tersebut

memiliki dua kewarganegaraan atau masih dianggap sebagai sebagai warga negara

asing (WNA), maka harus melepaskan hak milik atas tanahnya dalam jangka waktu

satu tahun karena jika hak milik tersebut tidak dilepaskan maka tanah tersebut akan

dengan sendirinya menjadi tanah negara.

Selain itu bahwa dalam UUPA juga tidak ada penyebutan / perbedaan antara

WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), mereka sama-sama dianggap

sebagai warga negara. Karena pengertian warga negara yang dianut UUPA adalah

pengertian warga negara dalam arti Tunggal, maksudnya: UUPA tidak membedakan

antara WNI asli (pribumi) ataupun WNI keturunan Tionghoa, mereka sama-sama

disebut dan dianggap sebagai warga negara indonesia. Mereka juga sama-sama

berhak mempunyai hak atas tanah di Indonesia tanpa adanya pembedaan dari pihak

manapun (baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah). Dalam UUPA yang ada

hanyalah penyebutan warga negara indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA).

18 Ibid

Page 53: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

111

Apalagi sejak tahun 1984 pemerintah DIY telah menyatakan untuk

memberlakukan sepenuhnya UUPA di DIY, dengan dikeluarkannya Keputusan

Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Peratuan Daerah DIY No. 3

Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang dengan diberlakukannya UUPA di DIY

tersebut mencabut dan tidak memberlakukan lagi peraturan pertanahan yang dahalu

digunakan untuk mengatur soal agraria di DIY.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA yang menyatakan:

Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada Daerah-Daerah Swantantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat,

sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut

ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Dari bunyi pasal ini dapat dipahami

bahwa urusan agraria menurut sifat dan asasnya merupakan tugas pemerintah pusat,

tetapi pemerintah daerah diberi otonomi wewenang dalam penyelenggaraan

pemerintah daerahnya. Segala sesuatu yang akan diselenggarakan menurut keperluan

suatu daerah tersebut, termasuk membuat peraturan daerah untuk mengatur daerahnya

sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Termasuk

DIY yang dalam hal ini memiliki aturan larangan kepemilikan tanah dengan hak

milik yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang jelas-jelas

bertentangan dengan kepentingan nasional. Oleh karena itu seharusnya aturan

tersebut seharusnya dicabut dan tidak diberlakukan lagi agar terjadi kepastian hukum

di DIY terkait dengan pengaturan agraria.

Sedangkan jika melihat UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik indonesia, bahwa dalam Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan ini,

juga memberikan pengertian dari warga negara indonesia adalah: “yang menjadi

warga negara indonesia adalah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang-orang

bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara”. Dalam

penjelasan dari Pasal 2 Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia ini,

Page 54: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

112

kaitannya dengan pengertian ”orang-orang bangsa indonesia asli” adalah orang

Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah

menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Orang-orang bangsa

Indonesia asli ini secara otomatis menjadi warga negara. Sedangkan pengertian

“orang-orang bangsa lain” adalah orang-orang seperti peranakan Belanda,

Tionghoa, dan Arab yang bertempat tinggal di Indonesia, yang mengakui Indonesia

sebagai tumpah darahnya dan sikap setia kepada negara Republik Indonesia.19

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia ini tidak ada penyebutan terhadap WNI keturunan Tionghoa

dengan WNI asli (pribumi). Jadi dapat dipahami bahwa baik antara WNI asli

(pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa menurut undang-undang ini sama-sama

berstatus sebagai warga negara Indonesia karena tidak ada perbedaan atau

penyebutan antara keduanya, dan sudah semestinya setiap warga negara dapat

memiliki dan menjalankan hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut sebagai

warga negara indonesia

Terkait mengenai siapa saja WNI itu, dapat dilihat pada Pasal 4 UU

Kewarganegaraan yang menyebutkan, warga negara Indonesia adalah:

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau

berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain

sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia;

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga

negara Indonesia;

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara

Indonesia dan ibu warga negara asing;

d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara

asing dan ibu warga negara Indonesia;

19 Sri Harini Dwiyatmi et al.., op.cit, hlm. 291

Page 55: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

113

e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara

Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum

negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak itu;

f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya

meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara

Indonesia;

g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara

indonesia;

h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara

asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai

anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18

(delapan belas) tahun atau belum kawin;

i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik indonesia yang pada waktu lahir

tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;

j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara republik indoensia

selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan

ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui

keberadaannya;

l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari

seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari

negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan

kepada anak yang bersangkutan;

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan

kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum

mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Jadi setiap orang yang termasuk salah satu dari yang disebutkan di atas, orang

tersebut adalah WNI sepenuhnya. Ketentuan ini berlaku juga bagi WNI keturunan

Page 56: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

114

Tionghoa yang berada di wilayah negara Republik Indonesia, asalkan mememenuhi

dari salah satu syarat sebagai WNI tersebut.

Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 di Indonesia, sudah barang tentu

juga diberlakukan di DIY yang termasuk dalam wilayah Negara kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) untuk mengatur terkait dengan kewarganegaraan di Indonesia, agar

adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan / didepan

hukum, serta adanya kesetaraan dan keadilan dalam melaksanakan hak dan

kewajibannya sebagai warga negara indonesia, juga tanpa adanya diskriminasi dari

suku, ras dan etnis, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.

Hak kepemilikan termasuk kepemilikan atas tanah di Indonesia juga

merupakan hak asasi bagi setiap warga negara. Bahwa HAM merupakan hak dasar

yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh

karena itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,

dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Munculnya pengaturan mengenai HAM di Indonesia ini karena masih banyak

terjadinya penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh

perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa,

agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosialnya. Perilaku tidak adil dan

diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat

vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya),

maupun horizontal (antar warga negara sendiri).

Disamping Pancasila dan UUD 1945, pengaturan mengenai hak asasi

manusia, pada dasarnya sudah tercantum dalam berbagai peraturan perundang-

undangan, yang berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan

Bangsa-Bangsa, Konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Tentang Hak-Hak Anak, dan berbagai instrument internasional lain yang mengatur

mengenai hak asasi manusia. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-

Page 57: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

115

undangan yang sudah ada, perlu dibentuknya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia.

Dasar pemikiran pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia ini adalah sebagai berikut:20

a. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya;

b. Pada dasarnya, manusia dianugerahi jiwa, bentuk, struktur, kemampuan,

kemauan, serta berbagai kemudahan oleh Penciptanya, untuk menjamin

kelanjutan hidupnya;

c. Untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia,

diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal

tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehingga dapat

mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini

lupus);

d. Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang

satu dibatas oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak

asasi manusia bukanlah tanpa batas;

e. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan

apapun;

f. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak

asasi manusia orang lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat

kewajiban dasar;

g. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakan,

dan untuk itu pemerintah aparatur negara, dan pejabat publik lainnya

mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya

penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia.

Undang-Undang ini secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak

untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan

20 ibid

Page 58: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

116

melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas

kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesehjahteraan, hak turut serta dalam

pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain

mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan

tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia.

Terkait dengan larangan kepemilikan tanah dengan hak milik di DIY yang

hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran

Gubernur DIY No.K.898/A/1975 tersebut, jika dipersandingkan dengan UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini, jelas bertentangan dengan HAM yang

melekat dan dimiliki seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan

selain itu setiap orang atau setiap warga negara berhak bebas dari perlakuan

diskriminasi dan berhak mendapatkan persamaan hak di hadapan atau di depan

hukum (asas Equality Before The Law).

Beberapa pasal-pasal dalam UU No. 39 Tahun 1999, yang memiliki

keterkaitan dalam penulisan skripsi ini yang berhubungan dengan hak asasi seseorang

sebagai warga negara yang berhak bebas dari perlakuan diskriminasi dan berhak

mendapatkan perlindungan dan persamaan hak di depan hukum, diantaranya:

Ketentuan Pasal 2 berbunyi: “Negara Republik Indonesia mengakui dan

menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak

yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus

dilindungi, dihormati, dan ditegakan demi peningkatan martabat kemanusiaan,

kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan”. Dalam penjelasan pasal

2 ini, dijelaskan bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat

dilepaskan dari manusia pribadi karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar

manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiannya. Oleh

karena itu, negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik

secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi

dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi

manusia dan kebebasan dasar manusia tersebut.

Page 59: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

117

Ketentuan Pasal 3 ayat (1) berbunyi: “bahwa setiap orang dilahirkan bebas

dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal

dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam

semangat persaudaraan”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk

juga warga negara suku Tionghoa memiliki harkat dan martabat yang sama dan

sederajat dengan orang atau warga negara yang lainnya, dan juga oleh Tuhan

dikaruniai akal dan hati nurari untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Ketentuan Pasal 3 ayat (2) berbunyi: “setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian

hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum”, jo. Pasal 3 ayat (3) berbunyi:

”setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar

manusia, tanpa diskriminasi”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang

termasuk juga WNI keturunan Tionghoa yang sama-sama dianggap sebagai warga

negara indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan

hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan

hukum, tanpa adanya diskriminasi.

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar yang dimaksudkan dalam UU ini disebut

dengan hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai

Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari, karena

pengingkaran terhadap hak-hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan.

Oleh karena itu negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban

untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa

kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan

tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.21

Sejalan dengan pandangan diatas, Pancasila sebagai dasar negara juga

mengandung pemikiran bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa

dengan menyandang dua aspek yakni, aspek individualitas (pribadi) dan aspek

21

Ketentuan Umum dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Page 60: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

118

sosialitas (bermasyarakat). Oleh karena itu, kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak

asasi orang lain. Ini berarti bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui dan

menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban itu juga berlaku bagi setiap organisasi

pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara

dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan

menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa

diskriminasi.22

Kewajiban menghormati hak asasi manusia tercermin pula dalam

Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuh,

terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan

pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan

berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan dengan lisan dan tulisan,

kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya

itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Ketentuan Pasal 4, berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak

kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak

diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan

hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang termasuk pula WNI keturunan

Tionghoa memiliki hak-hak asasi yang melekat pada dirinya, dan tidak boleh

dilanggar oleh siapapun termasuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Ketentuan Pasal 5 ayat (1), berbunyi: “Diakuinya setiap orang sebagai

manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta

perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang yang juga WNI keturunan Tionghoa

berhak menuntut dan mendapatkan perlindungan hak yang sama di depan hukum

tanpa adanya pembedaan atau diskriminasi.

22 ibid

Page 61: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

119

Ketentuan Pasal 9 ayat (1), berbunyi: “setiap orang berhak untuk hidup dan

meningkatkan taraf kehidupannya”. Jo. Pasal 9 ayat (2), berbunyi: “setiap orang

berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin”. Pasal ini

menjelaskan bahwa setiap orang termasuk WNI keturunan Tionghoa berhak untuk

hidup dan memiliki tempat tinggal untuk meningkatkan taraf kehidupannya agar

tercapai hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, dan sejahtera.

Ketentuan Pasal 26 ayat (1), berbunyi: “Setiap orang berhak memiliki,

memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya”, jo.

Pasal 26 ayat (2), berbunyi: “Setiap orang bebas memilih kewarganegaraannya dan

tanpa diskriminasi berhak menikmati hak-hak yang bersumber dan melekat pada

kewarganegaraannya serta wajib melaksanakan kewajibannya sebagai warga

negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal tersebut

dapat dipahami bahwa setiap orang termasuk juga WNI keturunan Tionghoa berhak

bebas untuk menentukan kewarganegaraannya dan juga berhak menikmati hak-hak

yang melekat pada kewargaranegaraannya tersebut, termasuk juga berhak menikmati

hak untuk memiliki HM atas tanah di Indonesia sesuai peraturan perundang-

undangan (UUPA) dengan tanpa adanya diskriminasi.

Ketentuan Pasal 27 ayat (1), berbunyi: “Setiap warga negara Indonesia

berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam

wilayah negara Republik Indonesia”. pasal ini menjelaskan bahwa orang yang telah

sah dianggap sebagai warga negara Indonesia, termasuk pula warga negara suku

Tionghoa bebas untuk menentukan tempat tinggalnya yang masih termasuk dalam

wilayah NKRI.

Ketentuan Pasal 29 ayat (1), berbunyi: “setiap orang berhak atas

perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya”. Jo.

Pasal 29 ayat (2), berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum

sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”. Pasal ini menjelaskan bahwa

setiap orang termasuk WNI keturunan Tionghoa juga berhak atas perlindungan atas

apa yang dimilikinya, dan berhak diakui oleh hukum dimana saja berada.

Page 62: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

120

Ketentuan Pasal 36 ayat (1), berbunyi: “Setiap orang berhak mempunyai

milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan

dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum”.jo.

Pasal 36 ayat (2), berbunyi: “Tidak boleh seorangpun dirampas hak miliknya dengan

sewenang-wenang dan secara melawan hukum”. Pasal ini menjelaskan bahwa setiap

orang yang termasuk juga WNI keturunan Tionghoa, baik sendiri atau bersama-sama

dengan orang lain berhak mempunyai hak milik guna bagi dirinya sendiri, keluarga,

bangsa dan masyarakat asalkan kepemilikan hak milik tersebut tidak melanggar

hukum. Hak milik yang dimiliki seseorang tersebut juga tidak boleh dirampas secara

sewenang-wenang dan secara melawan hukum.

Ketentuan pasal 36 ayat (3), berbunyi: “hak milik mempunyai fungsi sosial”.

Dalam penjelasannya bunyi dari Pasal 36 ayat (3) ini, mengartikan: “bahwa setiap

penggunaan hak milik harus memperhatikan kepentingan umum. Apabila

kepentingan umum menghendaki atau membutuhkan benar-benar hak milik dapat

dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan Pasal

37 ayat (1), berbunyi: “Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan

umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera

serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa hak milik termasuk hak milik atas tanah, baru

dapat dicabut apabila adanya kepentingan umum yang menghendakinya tetapi dengan

memberikan ganti kerugian yang seimbang, pencabutan hak tersebut karena memang

semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.

Ketentuan Pasal 40, berbunyi: “setiap orang berhak untuk bertempat tinggal

serta berkehidupan yang layak”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap orang

termasuk juga termasuk WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki tempat tinggal

serta berhak atas kehidupan yang layak.

Bahwa setiap orang mengemban kewajiban mengakui, melindungi dan

menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban itu juga berlaku bagi setiap organisasi

pada tataran manapun, terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian, negara

Page 63: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

121

dan pemerintah bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan

menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa

diskriminasi.

Tetapi dengan adanya larangan kepemilikan hak milik bagi WNI keturunan

Tionghoa di DIY tersebut, Pemerintah khususnya Pemerintah Daerah DIY disini

malah membatasi hak asasi manusia untuk memiliki hak milik atas tanah, yang

sebenarnya setiap warga negara berhak untuk memiliki HM atas tanah tersebut tanpa

adanya diskriminasi. Karena dalam prakteknya hak pemilikan HM atas tanah tidak

dilarang oleh negara, dan seharusnya negara melalui pemerintah ataupun pemerintah

daerah seharusnya mengakui, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia yang

melekat pada setiap individu. Sesuai dalam Pasal 8 jo. Pasal 71 UU HAM,

menjelaskan bahwa untuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak

asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah, dan juga Pemerintah

wajib bertanggung jawab, menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan

hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-

undang lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh

negara Republik Indonesia”.

Bahwa dengan adanya pengaturan HAM di Indonesia juga telah

menghapuskan terkait dengan diskriminasi ras dan etnis yang biasa pada umumnya

dialami oleh kaum minoritas atau kaum lemah. Penghapusan diskriminasi ras dan

etnis ini di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang

Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Munculnya pengaturan penghapusan ras dan diskriminasi ini karena setiap

manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa kerena dilahirkan

dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Selain itu bahwa tindakan

diskriminasi ras dan etnis itu juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD

1945, dan Deklarasi Universal HAM.

Bahwa setiap warga negara bersama kedudukannya pula di dalam hukum dan

juga berhak atas perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Page 64: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

122

Karena diskriminasi terhadap ras dan etnis tersebut dalam kehidupan bermasyarakat

merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,

perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara

warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.

Pada dasarnya manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian

dari ras dan etnis tertentu. Dengan adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat

menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar kelompok ras dan etnis dalam

masyarakat dan negara.

Kondisi masyarakat Indonesia yang berdimesi majemuk dalam berbagai sendi

kehidupan seperti budaya, agama, ras dan etnis juga berpotensi menimbulkan konflik.

Dengan adanya ciri budaya gotong royong yang telah dimiliki masyarakat Indonesia

dan adanya perilaku musyawarah / mufakat bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya

konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis.

Bila saja terjadi konflik yang diakibatkan karena diskriminasi ras dan etnis,

hal ini tidak hanya merugikan kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik, tetapi

juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat

pembangunan nasional yang sedang berlangsung, dan dapat mengganggu hubungan

kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, dan keamanan di dalam suatu

negara serta dapat juga menghambat hubungan persahabatan antar bangsa.

Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan UUD

1945 sebagai hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang

tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Asas ini merupakan

amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk menghapuskan segala

bentuk diskriminasi ras dan etnis.

Pasal-pasal dalam UU No. 40 Tahun 2008 ini, yang memiliki keterkaitan

dengan penulisan dalam skripsi ini diantaranya yaitu:

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Jo. (2), menyatakan: “penghapusan diskriminasi

ras dan etnis dilaksanakan berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan dan

nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yang diselenggarakan dengan tetap

Page 65: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

123

memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya dan hukum yang berlaku di Wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Ketentuan Pasal 3 ayat (1), menyatakan: “penghapusan diskriminasi ras dan

etnis bertujuan mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,

perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara

warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan”.

Ketentuan Pasal 4 huruf a, menyatakan: “tindakan diskriminasi ras dan etnis

berupa: memperlakukan perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan

berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan, atau pengurangan

pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar

dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya”.

Ketentuan Pasal 5 huruf a dan b, menyatakan: “penghapusan diskriminasi ras

dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan: (a) perlindungan, kepastian, dan

kesamaan kedudukan di dalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup

bebas dari diskriminasi ras dan etnis; dan (b) jaminan tidak ada hambatan bagi

prakarsa perorangan, kelompok orang atau lembaga yang membutuhkan

perlindungan dan jaminan kesamaan penggunaan hak sebagai warga Negara”.

Ketentuan Pasal 6, menyatakan: “perlindungan terhadap warga negara dari

segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat serta melibatkan partisipasi seluruh warga

negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”.

Ketentuan Pasal 7, menyatakan: untuk penyelenggaraan perlindungan

terhadap warga negara, pemerintah dan pemerintah daerah wajib:

a. Memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap warga negara yang

mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dan menjamin terlaksananya

secara efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap tindakan diskriminasi

yang terjadi, melalui proses peradilan yang dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 66: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

124

b. Menjamin setiap warga negara untuk memperoleh pertolongan, penyelesaian,

dan penggantian yang adil atas segala kerugian dan penderitaan akibat

diskriminasi ras dan etnis.

c. Mendukung dan mendorong upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis,

dan menjamin aparatur negara dan lembaga-lembaga pemerintahan

bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

d. Melakukan tindakan yang efektif guna memperbaharui, mengubah, mencabut

dan membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung

diskriminasi ras dan etnis.

Ketentuan Pasal 9, menyatakan: “setiap warga negara berhak memperoleh

perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan

budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan

ras dan etnis”.

Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan “hak-hak sipil”, antara lain hak untuk:

a. bebas berpergian dan berpindah tempat dan berdomisili dalam wilayah

negara kesatuan Republik Indonesia;

b. meninggalkan dan kembali ke wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;

c. mempertahankan kewarganegaraan;

d. membentuk keluarga, memilih pasangan hidup dan melanjutkan keturunan;

e. memiliki harta milik atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain;

f. berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan pendapat dengan bebas;

g. menggunakan bahasa apa pun dengan bebas;

h. berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; dan

i. mendapatkan informasi.

Yang dimaksud dengan “hak-hak politik”, antara lain hak untuk:

a. mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, lembaga peradilan dan

badan-badan administrasi publik lainnya;

Page 67: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

125

b. mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap kekerasan ras dan

etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun psikis baik disebabkan oleh aparatur

pemerintah atau oleh perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu;

c. berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam kegiatan publik pada

tingkat apa pun; dan

d. berpartisipasi dalam bela negara.

Yang dimaksud dengan “hak-hak ekonomi”, antara lain hak untuk:

a. berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh wilayah negara

Indonesia;

b. bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil dan diinginkan;

c. mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan sistem penggajian;

d. membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja;

e. memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan

f. memiliki perumahan.

Yang dimaksud dengan “hak-hak sosial dan budaya”, antara lain hak untuk:

a. memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan sosial dan pelayanan-

pelayanan sosial lainnya;

b. memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala bentuk pelayanan

umum;

c. memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa budaya,

sosial, dan ekonomi;

d. memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan budayanya;

e. menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas terselenggaranya

pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk mencerdaskan dan/atau

menambah keterampilannya, tanpa membedakan ras dan etnis; dan

f. menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri khas ras dan

etnisnya.

Page 68: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

126

Ketentuan Pasal 13 jo. 14, menyatakan: “setiap orang baik secara sendiri

atau bersama-sama berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan

negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya”.

Dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan tanah dengan HM bagi

WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut selain bertentangan dengan UU No. 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun

2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Karena pada dasarnya dengan

masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya

diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa oleh pemerintah daerah DIY tersebut

dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi ras dan etnis, apalagi dasar

pertimbangan yang digunakan Sultan untuk melarang WNI keturunan Tionghoa

memiliki HM atas tanah adalah dilihat dari perbedaan keadaan tingkat ekonomi

antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena seharusnya dasar

pertimbangan yang digunakan untuk menentukan seseorang boleh atau tidak

mendapatkan hak atas tanah di Indonesia berdasarkan pada subyek hukumnya yang

diatur dalam ketentuan UUPA.

Seperti yang telah dijabarkan dalam UU No. 40 Tahun 2008 ini, bahwa

diskriminasi ras dan etnis di Indonesia telah dihapuskan karena bertentangan dengan

HAM.

Larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan bagi

WNI keturunan Tionghoa tersebut, dapat dikatakan sebagai memperlakukan

perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan ras dan etnis, yang

mengakibatkan pencabutan, atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau

pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan yang

dalam ini di bidang sipil dan ekonomi. Dalam hal ini dikatakan dalam hak sipil

karena: bebas berhak berdomisili dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia, berhak mempertahankan kewarganegaraannya, berhak memiliki hak milik

atas nama sendiri maupun bersama dengan orang lain. Sedangkan dikatakan dalam

hak ekomoni karena: berhak memiliki perumahan.

Page 69: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

127

Dalam ketentuan Pasal 4 huruf a diatas dipertegas dengan ketentuan Pasal 9

yang menyatakan, setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama

untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.

Bahwa seharusnya terkait dengan perlindungan terhadap warga negara dari

segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh pemerintah,

pemerintah daerah, dan masyarakat serta melibatkan partisipasi seluruh warga negara,

yang sesuai dengan ketentuan Pasal 6 UU No. 40 Tahun 2008 ini.

Dengan adanya pengaturan penghapusan diskriminasi ras dan etnis di

Indonesia ini, seharusnya aturan terkait dengan larangan kepemilikan hak milik atas

tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, sudah

seharusnya oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah DIY tidak diberlakukan lagi

karena jelas-jelas bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UU No. 40 Tahun

2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Hal ini sesuai dengan Pasal 7

huruf d UU ini, bahwa untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara

dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis, pemerintah dan pemerintah

daerah wajib melakukan tindakan yang efektif guna memperbaharui, mengubah,

mencabut, atau membatalkan peraturan perundang-undangan yang mengandung

diskriminasi ras dan etnis.

Sangat jelas bahwa jika dilihat dari penjelasan tersebut diatas bahwa larangan

kepemilikan hak milik atas tanah di DIY yang hanya diberlakukan pada WNI

keturunan Tionghoa yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No.

K.898/A/1975” bertentangan dengan UUD 1945, UUPA, UU Kewarganegaran

Republik Indonesia, UU HAM, dan, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

yang berlaku di Indonesia. Karena hak milik atas tanah adalah hak yang terkuat dan

mutlak yang dapat dimiliki seseorang sebagai warga negara, termasuk juga dapat

dimiliki WNI keturunan Tionghoa yang telah sama-sama diakui menurut hukum

sebagai warga negara indonesia.

Page 70: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

128

Bahwa sudah semestinya Surat Edaran Gubernur DIY tersebut seharusnya

dicabut karena sudah tidak tepat untuk diberlakukan lagi di DIY yang sama-sama

telah mengakui dan memberlakukan UUPA sebagai hukum agraria nasional, dan juga

pemberlakuan larangan pemilikan HM yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur

tersebut merampas kesehjahteraan dengan mengurangi hak yang dimiliki oleh

seseorang sebagai WNI untuk memiliki HM atas tanah di Indonesia.

2. Analisis Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa Di

Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak

Milik.

Setelah penulis menganalisa latar belakang larangan pemilikan HM oleh

WNI keturunan Tionghoa di DIY, penulis juga menganalisa dampaknya yang terjadi

dilapangan akibat pemberlakuan larangan tersebut yang terkait dengan pemilikan hak

atas tanah oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY.

Dalam praktek yang terjadi dilapangan bahwa WNI keturunan Tionghoa

sampai sekarang tidak dapat atau dilarang memiliki tanah atau rumah dengan status

HM di DIY, yang aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY

No.K.898/A/1975, tentang : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada

seorang WNI Non Pribumi. Yang isi dari Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, yaitu:

“Apabila ada seorang warga negara indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik

rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan

hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh

Pemerintah Daearh DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya

mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu

hak”.

Seharusnya sejak tahun 1984, yaitu setelah diberlakukan sepenuhnya UUPA

di DIY tersebut seharusnya setiap WNI yang dalam hal ini termasuk pula WNI

keturunan Tionghoa sudah dapat dan diperbolehkan memiliki tanah dengan status

Page 71: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

129

HM di DIY. Karena ketentuan dalam UUPA tidak menyebutkan atau membedakan

antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa.

Tetapi sampai sekarang ini didalam prakteknya yang terjadi WNI keturunan

Tionghoa tersebut tetap dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, padahal

WNI keturunan Tionghoa tersebut sama-sama telah dianggap sebagai warga negara

Indonesia menurut hukum yang berlaku. Sudah semestinya bahwa WNI keturunan

Tionghoa mendapatkan persamaan hak seperti WNI asli (pribumi), yang telah sama-

sama sebagai warga negara Indonesia tersebut.

Bahwa dengan masih diberlakukannya aturan larangan kepemilikan tanah

dengan status HM di DIY, yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa

tersebut juga dapat melahirkan atau menimbulkan kecemburuan sosial antara warga

negara, karena dapat dianggap sebagai dikriminasi terhadap ras dan etnis. Karena

dengan masih berlakunya aturan tersebut mengurangi hak asasi seseorang yang

dimiliki sebagai warga negara Indonesia. Dengan mengingat asas Equality Before

The Law, yang dimana bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di

depan / hadapan hukum, oleh karena itu setiap orang tersebut harus diperlakukan

sama dalam memperoleh hak dan kewajiban, yang dimana tidak ada pembedaan atau

diskriminasi yang satu dengan yang lain. Jika dikaitkan dengan larangan pemilikan

HM yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut jelas

mengurangi hak yang dimiliki seseorang sebagai warga negara untuk dapat memiliki

HM atas tanah di Indonesia.

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis kepada beberapa WNI keturunan

Tionghoa yang bertempat tinggal atau berdomisili di DIY, bahwa warga negara suku

Tionghoa mengakui dilarang memiliki tanah dengan status HM di DIY, mereka WNI

keturunan Tionghoa yang memliki tanah di DIY tersebut biasanya hanya diberikan

status tanah dengan HGB saja. Sedangkan yang diperbolehkan memiliki tanah

dengan status HM di DIY tersebut hanyalah WNI asli (pribumi) saja.

Dari hasil penelitian terhadap WNI keturunan Tionghoa yang dilakukan oleh

penulis tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Page 72: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

130

- Budi Santoso dan Bambang Riyanto, mengakui dapat memperoleh tanah

dengan status HM di DIY dengan dibantu pengurusannya oleh Notaris /

PPAT dalam hal pengurusannya untuk dibantu memperoleh tanah dengan

status HM, tetapi dengan meminta (diberikan) uang tambahan untuk

pengurusan perolehan status HM atas tanah tersebut. Selain itu karena

mereka telah menggunakan nama indonesia dan tidak lagi menggunakan

nama Tionghoa dalam identitasnya, sehingga tidak dicurigai oleh BPN.

- Budi Santoso, mengakui dapat memperoleh status tanah dengan HM

karena nama, wajah dan perawakannya ayahnya mirip dengan WNI asli

(pribumi).

- Bambang Riyanto, Imelda dan Antony Lee, mengakui membeli rumah

milik warga negara Indonesia asli (Pribumi) di DIY yang awalnya status

tanahnya adalah HM, tetapi pada saat menguruskan akta jual beli di

Notaris / PPAT, oleh Notaris / PPAT yang menguruskannya tersebut

mengatakan status tanah dari rumah tersebut akan turun menjadi HGB,

dengan alasan bagi WNI keturunan Tionghoa yang membeli tanah di DIY

dengan status HM harus melakukan pelepasan hak terlebih dahulu, setelah

itu barulah melakukan permohonan hak yang baru. Dari permohonan hak

atas tanah yang baru tersebut tidak dapat dengan status HM, melainkan

biasanya hak atas tanah yang diperoleh hanya dengan status HGB saja.

- Oey Meng Hoi, megakui telah menjadi WNI menurut hukum. Tetapi pada

saat ingin membeli rumah di DIY karena terlihat nama, wajah dan

perawakannya jelas sebagai WNI keturunan Tionghoa, tidak dapat

memperoleh status tanah dengan HM melainkan status yang dapat

diperoleh hanyalah HGB saja. .

Dengan masih diberlakukannya larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI

keturunan Tionghoa tersebut dan dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap WNI keturunan Tionghoa yang mengetahui dan mengalami terkait larangan

tersebut, bahwa dapat dilihat terjadi penyelundupan hukum yang dilakukan oleh WNI

Page 73: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2667/4/T1_312007091_BAB III... · 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik . ... UUPA

131

keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki / mendapatkan tanah di DIY dengan status

HM. Tetapi penyelundupan hukum untuk dapat memiliki / mendapatkan HM tersebut

tetap saja dilakukan tetapi secara diam-diam. Meskipun pada dasarnya sebenarnya

mereka mengerti penyelundupan hukum ini melanggar atau bertentangan dengan

ketentuan dalam Surat Edaran Gubernur DIY No. K. 898/I/A/75, Hal: Penyeragaman

Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI non Pribumi.