bab iii analisis semiotik tiga syair achmad sweilem … · fil-ufuq merupakan syair berbahasa arab...
TRANSCRIPT
61
BAB III
ANALISIS SEMIOTIK
TIGA SYAIR ACHMAD SWEILEM DALAM ANTOLOGI
“RA‘SYATUN FIL-UFUQ”
Pengungkapan makna tiga syair Achmad Sweilem dalam antologi
Ra‘syatun fil-Ufuq menggunakan analisis semiotik Michael Riffaterre. Analisis
ini memanfaatkan dua langkah dari empat langkah yang ditawarkan oleh
Riffaterre. Dua langkah tersebut yaitu ketidaklangsungan ekspresi digabungkan
dengan langkah pembacaan syair yang terdiri dari pembacaan heuristik dan
hermeneutik.
3.1 Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur
kebahasaannya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama, pembacaannya dengan memberikan konvensi sastranya
(Pradopo, 2014: 276). Adapun pembacaan heuristik juga sebagai sistem semiotik
tingkat pertama terbatas pada arti bahasa (Riffaterre dalam Qodaria, 2011: 44).
Berkaitan dengan tiga syair Achmad Sweilem, antologi syair Ra‘syatun
fil-Ufuq merupakan syair berbahasa Arab yang dibaca berdasarkan struktur
normatif bahasa Arab. Apabila susunan kalimat dalam syair tersebut belum
memenuhi kaidah nomatif bahasa Arab, maka akan ditambahi dengan ism, fi’l,
harf, dan sebagainya, atau dikurangi, atau kata-kata tersebut dikembalikan ke
dalam bentuk morfologinya yang normatif. Namun, jika kalimat syair tersebut
telah sesuai dengan kaidah normatif bahasa Arab, maka tidak ada penambahan
dan pengurangan kata. Karena kalimat-kalimat dalam tiga syair Achmad Sweilem
62
dalam antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq telah memenuhi kaidah normatif bahasa
Arab, maka kalimat-kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
3.1.1 Syair Pertama
lahfatun „Sesal‟
63
(Sweilem, 2002: 18-19).
Ya> qu>tata ar-aru>chi Ju>diy as-sinni> ju>diy> Wa jammiliy zamaniy
Wasyfiy mawa>ji>diy
Asy-syi‘ru ausimatiy
Wa al-bu>chu ajnichatiy Lakinnaki al-ufuq asy-sya>di> agha>ri>diy Qad ausa‘atniy riya>chu al-laili ‘a>shifah Wa am‘anat... Wa syawat fi> jamriha> ‘u>diy Wa kha>shamatniy sini>nan-khutwatiy 'alaman... Wa asqhathat ghurbatu ad-adunya> ‘ana>qi>diy Ma> kuntu ´a‘rifu Inna al-‘isyqu lu'lu'ah Lau lam ´ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy! Ha>dza> damiy... Muzijat fi>hi> tara>ti>liy Wa dza>ka umriy Ichtama> fi> chilmi maulu>diy Li´abda´a az-zamana al-'a>tiy Wa fi> kabadi>... Jamru i‘tisha>rin Wa syauqun lilmawa>‘idi (Sweilem, 2002: 18-19).
„Duhai relung jiwa‟
‘ Kumohon bermurah hatilah‟
„Perindahlah waktuku...‟
„Lalu sembuhkanlah amarahku...‟
„Syair ini medaliku‟
„Dan jiwa ini sayapku‟
„Akan tetapi kau adalah ufuk yang melantunkan kicauanku‟
„Sungguh badai malam itu telah menghiburku‟
„Dan menjauh...‟
„Lalu membakar kepulanganku dalam kobarannya‟
„Bertahun-tahun langkahku memusuhiku‟
„Sungguh pedih...‟
64
„Keasingan dunia telah melepas ikatan-ikatanku‟
„Aku tak pernah tahu‟
„Bahwa cinta adalah mutiara‟
„Jika tak kutemukan dengan darahku maka kemurahanku menjadi tak berharga‟
„Ini darahku‟
„Yang berbaur lantunan kepedihanku‟
„Itu hidupku‟
„Yang berlindung pada mimpi kelahiranku‟
„Untuk memulai masa depan‟
„Di hatiku...‟
„Gejolak perasaan yang terpendam‟
„Dan kerinduan akan sebuah janji‟
(Sweilem, 2002: 18-19).
3.1.2 Syair Kedua
ar-’riha>n„Taruhan‟
..........
65
......
(Sweilem, 2002: 60-62).
lau annahu ash-shada> syaqqa 'ila> nisfaini shadrahu wa 'asy‘alal bicha>ra fi> ‘uyu>nihi bilmauji muzabbadan lau annahu ash-shada> 'a‘a>dahu min chaitsu ‘umrihi ibtada> lau annahu istitha>‘u an yazra‘a fis-sahu>li...wal-wiha>di...mau‘idan
66
.......... lau annahu az-zama>nu wa khayyama ash-shafsha>fa wal-laimu>na wa an-nakhi>la daqqa ‘ala> thari>qihi al-‘auta>da wa al-‘i>da>na wa askana al-‘awa>shifal-hauja>'a...wa ath-thufa>na lau annahu az-zama>nu kaffa ‘an 'ightiya>lihi- limarratin- wa khasira ar-riha>na lau annahu asy-syagaf athlaqa khuthwahu...wa ja>waza al-mada> wa al-muntashafa lau annahu asy-syagaf lam yastajib li'a‘yuni al-jirdza>ni ‘inda al-mun‘athafi faqattara al-'auja>‘u min dima>'ihi wa sha>gha min lahi>biha> an-nuthfa lau annahu asy-syagafu acha>la jurchahu masa>fatan fachath-tha tha>'iru as-sakrati nisywa>na ‘alal-katifi ...... lau annahu irtachala yabchatsu kaifa yartawiy min charqati azh-zhama'i tasyhaqu ‘aina>hu 'ila> as-sinniy wa taktachilu... lau annahu a‘tha> likulli syai'in zhahrahu wa ra>cha yasyta‘ilu lau annahu tajarrada- al-amsi- min al-qasyrah wa’rtama> fi> lahabi asy-syauqi bilahfati ats-tsamali lau annahu! lakin achla>ma al-khutha> fi> kulli marratin tu‘jizu an tudhi>'a shadrahu wa ma> huwa al-'a>na- ka'ayyi marratin- yathi>lu min waqfatihi ‘ala ath-thalal (Sweilem, 2002: 60-62).
„Seandainya gema itu‟
„Membelah dadanya menjadi dua‟
„Dan menyalakan mata air lautan‟
„dengan ombak yang membuih‟
„Seandainya gema itu‟
„Mengembalikannya pada permulaan masa‟
„Andai dia bisa menanam‟
„Di ladang... dan tanah lapang... akan sebuah janji!‟
.........
„Seandainya waktu‟
„Melangkah di atas jalannya yang lurus dan semak belukar‟
„Dan mendirikan kemah di antara pohon lemon dan palem‟
„Dan menenangkan badai serta angin topan‟
67
„Seandainya waktu‟
„Menghentikan tipuannya- meski sekali- dan kehilangan taruhannya‟
„Seandainya cinta itu‟
„Membebaskan langkahnya... sehingga dapat melewati jarak jauh atau dekat‟
„Seandainya cinta itu‟
„Tak menanggapi mata-mata yang bengkak‟
„Di tikungan...‟
„Nestapa mengalirkan darahnya‟
„dan menciptakan noda dari kobaran nestapa‟
„Seandanya cinta itu‟
„Memindahkan lukanya jauh-jauh‟
„Hingga hinggaplah burung asmara dalam keadaan mabuk‟
„Di atas pundak‟
......
„Seandainya dia pergi‟
„Mencari cara bagaimana memuaskan dahaga yang membakar‟
„Kedua matanya terpaku pada kemurahan‟
„Dan bercelak...‟
„Seandainya cinta memberikan punggungnya pada segala sesuatu‟
„Dan dia tenang dengan (cinta) yang menyala‟
„Jika cinta itu- kemarin- terlepas dari nasib buruk‟
„Dan terlempar ke dalam kobaran rasa rindu karena mabuk kepayang‟
„Seandainya!‟
„Akan tetapi mimpi semua hanya mimpi‟
„Tidak mampu menerangi hatinya‟
„Dan inilah dia sekarang- selalu begitu‟
„Terus diam di atas puing-puing‟
(Sweilem, 2002: 60-62).
3.1.3 Syair Ketiga
ra‘syatun fil-ufuq „Penakut di Cakrawala‟
68
69
(Sweilem, 2002: 81-84).
Mundzu an ka>na farkhan Yudats-tsiruhu al-‘usy-syu Qadda min al-qasy-syu ahrufahu wa kasa>ha> min ath-thi>ni Fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran Wa asy-‘alat al-ghaima na>ran Fa'asqathat asy-syuhuba tuchriqu ‘usyba al-jada>wili Ka>na ‘alaihi yuqi>mu as-sudu>da wa yachtazinu al-ma>'a Chatta> zama>ni jafa>fi al-chawa>shili Lakinna ‘ashfa ar-riyachi istaba>cha khutha>hu Fasyaqqaqa chilma ath-thufu>lathi Lam yabqa minhu siwa> ra‘syatin fil-ufuqi ‘a>riyan yaqifu al-'a>na... la> syamsa tudfi'u>hu La> tawaqquda fi> al-qalbi yusy‘iluhu Ghaimatu an-na>ri kha>midah Wa huwa ya'ba> ar-rachi>la... Ka>na qad gharasa al-amsi fi> qadamaihi Intima>'a adh-dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibah Ka>na qad fajjara al-amsi shumta al-chasha> Fi> al-khutha> al-mut‘ibah Marratan alfa al-mauji... Wa al-bachru la> yudriku al-´ulfata al-wa>di‘ah Zhanna anna jana>chaihi asyri‘atun li ar-riya>chi Wa achrufahu syarniqa>tun li afra>khihi al-qa>dimah Wa ma> ittakhadza al-amsi chashanan Wa ma> ittakhadza al-ghada chadhanan Faidza> al-bachru yasychadzu anya>bahu Wa yufattitu achla>ma mala>chihi Fauqa sya>thi´ihi... Fataghayyama syumu>sun... Wa yahda'u maujun... Wa yuqbilu lailun yamuddu wala>'imahu al-qa>tilah
70
Hal ya‘u>du ila> ‘usy-syihi al-farkhu tsa>niyatan Am tawalla>hu ha>dza> ad-dawa>ru al-la‘i>nu... Hal tadzakkara chi>na khatha> fi> al-wiha>di fata> Am ra'a> dzikraya>ti ash-shaba>... Qad athallat mura>waghatu baina achja>rin ma>dha> as-sini>nu Fanthawa> wajhu tilka al-churu>fi al-latiy tasta‘i>du al-chani>na... Innahu al-´a>na yasyqiy bi-chilmi ath-thufu>lah Yaghrisu> fi> ath-thama> aqda>mahu.. Wa al-jada>wilu tunkiruhu... Lam ya‘ud ma>´uha> al-ma>'a wa al-usybu... ma> ‘a>da ‘usyban... Fakaifa lahu an-yazhilla kama> ka>na Farkhan yudats-tsiruhu al-‘usy-syu yaghrisu fi> qadamaihi intima>'a adh-dhulu>‘i Ila> ardhihi al-mukhshibati! (Sweilem, 2002: 81-84).
„Sejak menjadi anak burung‟
„Dia terlindung di dalam sangkar...‟
„Membangun tempat berlindung dari jerami dan menutupinya dengan tanah‟
„Tiba-tiba terurailah cahaya di angkasa‟
„Yang menjadikan mendung bernyalakan api‟
„Menjatuhkan meteor-meteor yang membakar rerumputan tepian anak sungai‟
„Sebenarnya dia harus membangun bendungan untuk menyimpan air’
„Hingga datang masa paceklik‟
„Namun badai membinasakan langkahnya‟
„Hancurlah impian kanak-kanak‟
„Tak ada yang tersisa selain ketakutan di cakrawala‟
„Dia berdiri telanjang kini... tanpa matahari yang menghangatkannya’
„Tanpa hati yang menyalakan api‟
„Cahaya telah padam‟
„Dan dia tidak peduli dengan apa yang telah berlalu...‟
„Kemarin dia telah membenamkan di bawah kakinya ‘ „Rusuknya yang kekar ke dalam tanah yang subur‟ „Kemarin dia telah meledakkan diamnya batu‟
„Dalam langkah yang melelahkan‟
„Ribuan kali gelombang...‟
„Sementara lautan tak mengerti cinta yang mengucapkan selamat tinggal‟
„Dia sangka kedua sayapnya adalah layar yang berkembang‟ „Dan tepiannya adalah kepompong untuk anak-anaknya yang akan lahir‟
„Dia tidak menganggap masa lalu sebagai perlindungan‟
„Dan tidak menganggap masa depan sebagai jaminan‟
„Jika lautan mempertajam taringnya‟
„Dan menghancurkan mimpi-mimpi pelaut‟
„Di atas tepinya...‟
‘Matahari menjadi gelap...‟
„Dan ombak menjadi tenang...‟
71
„Tibalah malam dengan memperpanjang pesta yang membunuh‟
„Akankah anak burung itu kembali lagi ke dalam sangkarnya‟
„Ataukah angin beliung yang terkutuk ini akan menguasainya...‟
„Apakah pemuda itu ingat ketika melangkah ke tanah lapang‟
„Ataukah dia melihat kenangan kanak-kanak...‟
„Sebuah tipuan tiba-tiba muncul di antara bebatuan bertahun-tahun yang lalu‟
„Maka murunglah wajah yang penuh kehangatan itu karena rindu...‟
„Sekarang dia tersiksa bersama impian masa kecil...‟
„Saat dia membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam lumpur...‟
„Dan anak sungai pun mengingkarinya...‟
„Airnya tidak lagi air yang dulu‟
„dan rumputnya pun tidak sama dengan yang dulu...‟
„Lalu bagaimanakah dia akan meneduh seperti dulu‟
„Seperti anak burung yang terlindungi oleh sangkarnya‟
„yang membenamkan rusuknya yang kekar di bawah kakinya‟
„Ke dalam tanah yang subur!‟
(Sweilem, 2002: 81-84).
3.2 Pembacaan Hermeneutik
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) dari awal
sampai akhir dengan memberikan tafsiran sesuai dengan konvensi sastranya
(syair) (Pradopo, 2014: 297). Pemaknaan tiga syair Achmad Sweilem dalam
antologi syair Ra‘syatun fil-Ufuq, dimulai dari syair pertama, syair kedua, dan
syair ketiga. Selain itu, judul setiap syair akan dibaca dan dijelaskan maknanya
sebelum pemakmanaan ketiga syair tersebut.
3.2.1 Syair pertama
Syair pertama berjudul ‛Lahfah‛, kata tersebut merupakan bentuk mashdar
dari kata lahifa- yalhafu yang artinya sesal, duka, menyesali atas, dan bersedih
hati (Munawwir, 1997: 1292). Judul tersebut diartikan „sesal atau penyesalan‟
oleh peneliti berdasarkan dengan isi syair tersebut. Sesal atau penyesalan
merupakan perasaan tidak senang (susah, kecewa) karena telah berbuat kesalahan
(KBBI, 2008: 1337). Rasa sesal atau penyesalan sering dirasakan setiap orang
setelah berbuat suatu kesalahan. Setiap orang memiliki gaya kepribadian
72
tersendiri dalam dirinya. Oleh karena itu, penyesalan yang dialami penyair
merupakan sebuah pelajaran untuk sabar. Hal ini selaras dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Young berikut ini:
Sabar, berketetapan, dan mudah menyesuaikan diri merupakan tiga istilah
tersebut digunakan untuk menggambarkan ciri khas diri setiap orang.
Kepribadian yang sabar adalah sifat sabar penyair dalam menjalani
kehidupannya yang sulit. Kepribadian berketetapan membuat penyair
mudah untuk mengakui semangat memburu tujuan yang gigih.
Kepribadian yang mudah menyesuaikan diri adalah penyesuaian dengan
keadaan dan nilai-nilai yang di tetapkan oleh orang lain (Young, 2008:
26).
Syair ini diawali dengan ya> yang merupakan charfu an-nida<', yaitu bentuk
seruan (panggilan). Pada bait pertama ya> qu>tata ar-ru>chi‟duhai relung jiwa‟
merupakan sebuah seruan yang ditujukan pada diri penyair. Adapun penjelasan
terhadap kata ar-ru>chi yang memiliki arti ‟ruh, jiwa, sukma‟ (Munawwir, 1997:
545) merupakan makna yang saling memiliki keterkaitan satu sama lain.
Berdasarkan struktur jiwa dalam wacana psikologi Islam bahwa:
Substansi manusia atas jasad dan ruh tanpa memasukkan nafs. Sehingga
jika jasad tanpa ruh merupakan substansi yang mati dan ruh tanpa jasad
tidak dapat teraktualisasi. Adanya saling keterkaitan antara jasad dan ruh
maka diperlukan nafs. Nafs dan ruh memiliki kriteria yang berbeda, nafs
memiliki kecenderungan terhadap duniawi dan ruh berkecenderungan suci
dan ukhawi. Selain itu, nafs menjadi perantara antara jiwa rasional badan
sedangkan ruh tidak dikaitkan dengan badaniyah. Nafs bersifat seperti
tanah (ath-thi>niyyah) dan api (an-na>riyyah), sedangkan ruh bersifat seperti
cahaya (nu>riyyah) dan bersifat ruhani (al-ru>haniyyah). Nafs bersifat
kemanusiaan (al-na>sutiyyah) dan ruh bersifat ketuhanan (al-la>hu>tiyyah)
(Ikhwan al-Shafa dalam Mujib dan Mudzakir, 2001: 39).
Pada referensi lain dijelaskan bahwa antara ruh dan jiwa merupakan
dimensi yang berlainan, karena setelah ruh ditiupkan barulah berkembang apa
yang disebut dengan fungsi-fungsi kejiwaan seperti berfikir, berkehendak, merasa
dan berangan-angan (Djumhana, dkk, 2003: 45). Berdasarkan kedua kutipan
tersebut dapat disimpulkan bahwa arti kata jiwa disepadankan dengan nafs yang
73
berkaitan dengan duniawi yaitu diri penyair. Selain itu, dengan adanya salah satu
fungsi kejiwaan yang terkait dalam kondisi penyair, maka dapat dipahami bahwa
segala bentuk perilaku merupakan cerminan dari diri penyair sendiri.
Kalimat pada bait tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk
paksaan pada diri penyair itu sendiri dengan menggunakan ungkapan permohonan
atau permintaan. Bait kedua, ju>diy as-sinni> ju>diy „kumohon bermurah hatilah‟.
Kalimat tersebut adalah permohonan yang pertama kali agar dirinya terlepas dari
kesulitan yang sedang dihadapinya. Permohonan yang diungkapkan merupakan
kesadaran dari penyair bahwa dia tidak selamanya berada dalam kesulitannya.
Oleh karena itu, penyair harus keluar dari masa sulitnya dan menuju pada hal
yang lebih baik untuk masa depannya.
Bait ketiga, wa jammiliy zamaniy ‟perindahlah waktuku‟ merupakan
permohonan lain penyair kepada dirinya untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik. Kesadaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik merupakan citra
ideal yang dimiliki penyair untuk menggerakkan dirinya pada hal-hal yang positif
(Young, 2008: 16).
Bait keempat, wasyfi> mawa>jidiy „lalu sembuhkanlah amarahku‟. Kalimat
tesebut terdapat isti‘a>rah, yaitu pada kata mawa>jidiy ‟amarahku‟ sebagai
musyabbah yang disamakan dengan “penyakit”. Akan tetapi, di dalam bait
tersebut tidak disebutkan musyabbah bih. Makna yang dimaksudkan adalah emosi
dan perasaan penyair terhadap peristiwa yang sedang dialaminya pada saat itu.
Kemarahan penyair terjadi karena ketidakmampuan diri penyair dalam
menghadapi masalahnya, sehingga dirinya merasa tertekan. Perasaan tersebut
74
menjadikan penyair seseorang yang lemah, karena dia tidak mampu meredam
amarah yang ada di dalam dirinya.
Bait kelima, asy-syi‘ru ausimatiy „syair ini medaliku‟. Pada kalimat
tersebut terdapat tasybih muakkad. Tasybih muakkad adalah tasybi>h yang
dibuang adat tasybih-nya (Ja>rim, 2007: 30). Adapun musyabbah terletak pada
kata asy-syi‘ru „syair‟ dan musyabbah bih pada kata ausimatiy „medaliku‟.
Medali merupakan jenis dari sebuah benda yang berharga dan memiliki nilai
tinggi. Syair disamakan dengan medali karena menjadi suatu penghargaan yang
diberikan seseorang terhadap prestasi yang dimiliki seseorang. Hal itu menjadi
kebanggaan tersendiri dalam kehidupan seseorang. Penyair menganggap bahwa
kehidupannya sangat berharga, karena dia dapat merasakan kebahagiaan selama di
dunia. Penyair mengetahui bahwa kehidupan di dunia tidaklah abadi, namun
kehidupan yang fana. Oleh karena itu, penyair menginginkan kebahagiaan dalam
setiap langkah yang dia lakukan dan tidak menyia-nyiakan waktunya ketika di
dunia.
Bait keenam, wa al-bu>chu ajnichatiy „dan jiwa ini sayapku‟. Pada kalimat
tersebut terdapat tasybih, yaitu pada kata al-bu>chu „jiwa‟ sebagai musyabbah dan
ajnichatiy „sayapku‟ sebagai musyabbah bih-nya. Sayap merupakan salah satu
anggota tubuh yang dimiliki oleh burung. Sayap digunakan burung untuk terbang
bebas ke manapun dia ingin pergi (KBBI, 2008: 1276). Penyair menggambarkan
jiwa adalah sayap, karena jiwa yang ada di dalam dirinya akan selalu bergerak
bebas, bertingkah laku, dan berbuat sesuai dengan kehendaknya untuk menjalani
kehidupannya demi masa depan yang gemilang.
75
Bait ketujuh, lakinnaki al-ufuq asy-sya>di> agha<ri>diy „akan tetapi kau
adalah ufuk yang melantunkan kicauanku‟. Pada kalimat tersebut terdapat
tasybi>h, yaitu tasybih muakkad. Tasybih muakkad adalah tasybi>h yang dibuang
adat tasybih-nya dan hanya terdapat musyabbah yaitu pada kata al-ufuq „ufuk‟
dan musyabbah bih-nya pada dhami>r kaf „kau‟. Dhami>r kaf „kau‟ merujuk pada
kata sebelumnya yaitu al-bu>chu „jiwa‟. Selain digambarkan dengan sayap, jiwa
juga digambarkan dengan ufuk. Ufuk adalah kaki langit (suatu hal yang tidak
terbatas dunia) (KBBI, 2008: 1579). Adanya ketidakterbatasan arah, jarak, dan
waktu. Jiwa yang digambarkan sebagai ufuk menunjukkan bahwa terdapat banyak
peluang dan kesempatan bagi penyair untuk terus menjalani kehidupan yang lebih
baik dan mendapatkan kebahagiaan selama di dunia. Pada lanjutan kalimat
tersebut yaitu asy-sya>di> agha>ri>diy „yang melantunkan kicauanku‟. Kata
melantunkan adalah menyanyikan atau menyuarakan sesuatu (KBBI, 2008:815).
Sesuatu yang dilantunkan adalah kicauan, kicauan dari kata kicau yang berarti
bunyi burung (KBBI, 2008: 721). Dengan demikian, kalimat tersebut secara
lengkap menjelaskan bahwa kesempataan yang dimiliki oleh penyair akan
mewujudkan suatu keberhasilan terhadap sesuatu yang telah dia lakukan.
Bait kedelapan, qad ausa‘atniy riya>chu al-laili ‘a>shifah „sungguh badai
malam itu telah menghiburku‟. Pada kalimat tersebut terdapat isti‘arah (metafora)
yaitu pada kata riya>chu al-laili ‘a>shifah „badai malam‟ yang merupakan gambaran
dari seorang wanita yang dicintainya. Wanita tersebut menjadi musyabbah bih-
nya yang tidak disebutkan. Bagi seseorang yang sedang jatuh cinta, pasti akan
mencintai kekasihnya dengan sungguh-sungguh. Cinta yang sungguh-sungguh
menapaki tiga hal yaitu (a) lebih memilih ucapan kekasihnya dan mengalahkan
76
ucapan orang lain; (b) memilih duduk di samping kekasihnya dari pada duduk di
tempat lain; dan (c) memilih kerelaan kekasihnya (Al-iba>d dalam Akrom, 2008:
26). Oleh karena itu, keberadaan wanita tersebut merupakan salah satu
kebahagiaan yang dimiliki penyair karena ada seseorang yang menemani dan
menghiburnya saat dia merasa kesepian. Cinta juga memberikan energi yang
dapat mempengaruhi suatu hal yang positif pada seseorang yang sedang
merasakannya.
Bait kesembilan, wa am‘anat „dan menjauh‟. Pada kalimat tersebut
menunjukkan bahwa wanita yang dicintainya tiba-tiba pergi meninggalkan
penyair tanpa alasan. Hal tersebut termasuk tipe cinta D-love (deficiency love)
yang memiliki sifat mementingkan diri sendiri dan tergantung (Maslow dalam
Widyasinta, 2006: 145). Jika kekasih pergi begitu saja meninggalkan penyair
menunjukkan bahwa kekasihnya sudah tidak memiliki kepedulian padanya.
Cinta sendiri merupakan dua sisi yang satu kebaikan dan satunya
kesedihan, sehingga apabila cinta terjaga dengan baik akan menjadi wajah
malaikat. Namun, jika cinta ternoda maka tidak ubahnya seperti serigala
bertanduk setan (Gibran dalam Akrom, 2008: 32-33).
Oleh karena itu, peristiwa tersebut merupakan salah satu masalah yang dialami
penyair sebagai bentuk tantangan kehidupan yang harus dilaluinya.
Bait kesepuluh, wa syawat fi jamriha> ‘audiy „lalu membakar
kepulanganku dalam bara apinya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘arah (metafora)
yaitu pada kata jamriha> „bara apinya‟ yang memiliki makna lain. Makna lain
yang dimaksudkan merupakan perasaan cinta penyair kepada kekasihnya. Hal ini
menunjukkan bahwa penyair sangat mencintai kekasihnya. Pada bait tersebut
menunjukkan rasa sakit hati penyair setelah ditinggal pergi oleh kekasihnya begitu
saja tanpa alasan apapun. Kemudian penyair mengungkapkan perasaannya dengan
77
kalimat „membakar kepulanganku dalam bara apinya‟. Peristiwa tersebut
menyebabkan hatinya benar-benar terluka dan sakit hati. Kata “membakar”
tersebut merupakan kemarahan yang tertahan di hati penyair, karena dia merasa
cinta yang diberikan kepada kekasihnya sia-sia dan tidak dihargai. Hal ini
merupakan salah satu deskripsi tipe dari cinta yaitu D-love yang bersifat
mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain (Maslow dalam
Widyasinta, 2006: 145).
Bait kesebelas, wa kha>shamatniy sini>nan-khuthwatiy „bertahun-tahun
langkahku memusuhiku‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah makniyyah. Isti‘a>rah
makniyyah adalah isti‘a>rah yang dibuang musyabbah bih-nya dan sebagai isyarat
ditetapkan salah satu sifat khasnya (Jari>m, 2007: 28). Isti‘a>rah tersebut terdapat
pada kata “langkahku” yang diibaratkan seperti manusia yaitu dengan kata
“memusuhi”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa penyair merasa kesepian
setelah kepergian kekasihnya dan membuat dirinya tidak berdaya dalam
melakukan aktivitas apapun. Pada kata “bertahun-tahun” menunjukkan jangka
waktu ketika penyair sedang merasakan kesepian dan sedih dengan keadaan yang
dialaminya.
Bait ketiga belas, 'alaman... ‟sungguh pedih‟. Kalimat tersebut
menunjukkan perasaan penyair bahwa dia benar-benar merasakan kesakitan yang
mendalam di hatinya. Hal tersebut berkaitan dengan cinta yang dimiliki penyair
kepada kekasihnya. Penyair mengungkapkan perasaannya dengan kata “pedih”,
karena cinta sangat berhubungan dengan perasaan. Adapun sumber cinta adalah
rasa defisiensi ego dan kebutuhan akan penyempurnaan ego atau peningkatan ego
(Reik dalam Kumalahadi, 2013: 377). Oleh karena itu, jika cinta hanya dimiliki
78
secara sepihak dan tidak ada rasa peduli salah satu dari keduanya, maka akan
memberikan dampak ketidakbahagiaan kepada satu pihak yang lainnya.
Bait keempat belas, wa asqatath ghurbatu ad-dunya> ‘ana>qi>diy „keasingan
dunia telah melepaskan ikatan-ikatanku‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah
makniyyah yaitu pada kata “dunia” yang diibaratkan seperti manusia untuk dapat
melakukan sesuatu yaitu “melepas”. Pada bait tersebut merupakan penggambaran
dari rasa sepi yang penyair rasakan. Kesepian sendiri memiliki pengertian
perasaan sunyi (KBBI, 2008: 1323). Kesepian tersebut membuat penyair frustasi
sehingga dia merasa bahwa orang-orang yang ada dilingkungannya telah
mengasingkannya dan sudah tidak ada lagi seseorang yang peduli terhadapnya.
Perasaan sepi disebabkan karena penyair menjadi pihak yang diabaikan,
maka aspek kepribadian yang diabaikan merupakan sebuah perintang yang dapat
berusaha merampas energi (Suryabrata, 2007: 180-181). Hal tersebut adalah
bentuk ketidaksadaran penyair yang tidak mampu melihat kelemahannya sendiri.
Oleh karena itu, penyair merasakan keterpurukan hanya karena masalah yang
dihadapinya saat itu. Padahal jika penyair mampu menyadari kelemahannya, dia
dapat mempertahankan dirinya dan terlepas dari kesepiannya. Namun, pada waktu
tersebut penyair benar-benar merasakan kesepian dan keterpurukan.
Bait kelima belas, ma> kuntu 'a‘rifu „aku tak pernah tau‟. Kalimat tersebut
menunjukkan bahwa penyair seakan-akan tidak mengetahui (berpura-pura)
terhadap sesuatu yang dianggap berharga. Kemudian pada bait keenam belas, inna
al-isyqa lu'lu'ah „bahwa cinta adalah mutiara‟ terdapat tasybi>h baligh. Tasybi>h
baligh adalah tasybi>h yang dibuang adat tasybi>h-nya dan wajah syibh-nya (Jari>m,
2008: 28). Adapun musyabbah-nya pada kata lu'lu'ah „mutiara‟ dan musyabbah
79
bih-nya pada kata al-isyqa „cinta‟. Pada bait ini menunjukkan bahwa cinta itu
sangat berharga seperti mutiara yang memiliki nilai yang tinggi dan berharga.
Kalimat keenam belas jika dihubungkan dengan bait kelima belas, bahwa penyair
sebenarnya mengetahui bahwa cinta itu adalah sesuatu yang berharga. Cinta
sendiri merupakan suatu hal yang romantik, mengandung makna kedekatan,
ketergantungan, mementingkan orang lain, penerimaan, dan ekskluivitas dari pada
sekedar hubungan kawan (Kumalahadi, 2013: 371). Penyair secara tidak langsung
mengharapkan pengertian dan kepedulian kekasihnya terhadap dirinya, akan
tetapi tidak mendapatkan dua hal tersebut dari kekasihnya. Oleh karena itu, bagi
penyair, cinta bukanlah sesuatu yang berharga ketika mendapatkan kesengsaraan
karena cinta tersebut.
Bait ketujuh belas, lau lam ajid bidima>'iy istarkhashat ju>diy „jika tak
kutemukan dengan darahku maka kemurahanku menjadi tak berharga‟. Kalimat
tersebut terdapat isti‘rah pada kata dima>'iy „darahku‟ yang merupakan gambaran
dari an-nafs „jiwa‟. Pada bait ini menunjukkan bahwa penyair mulai bangkit dan
menyadari kelemahannya yang disebabkan oleh peristiwa pernah dialami. Hal
tersebut menjadi pelajaran bagi penyair untuk menjadi diri yang lebih kuat dalam
menghadapi ujian hidup. Kalimat istarkhashat ju>diy „kemurahanku menjadi tak
berharga‟ merupakan sebuah pernyataan penyair dengan kalimat negatif, namun
memiliki makna yang positif. Maksud dari kalimat tersebut, bahwa penyair akan
berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan dirinya seperti dulu dan tidak
terus-menerus tenggelam dalam masa lalunya. Bait kedelapan belas, hadza>
da>miy... „ini darahku...‟. kalimat tersebut terdapat kinayah. Kinayah adalah lafaz
yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya, tetapi dapat
80
dimaksudkan untuk makna asalnya (Ja>rim, 2007: 135). Makna asal yang
dimaksudkan adalah an-nafs „jiwa, ruh‟ (Munawwir, 1997: 1446). Pada bait
tersebut merupakan penegasan dari bait sebelumnya bahwa penyair yakin bahwa
dia dapat merubah hidupnya untuk mencapai masa depan yang cerah.
Bait kesembilan belas, muzijat fi>hi tara>ti>liy... „yang berbaur lantunan
kepedihanku‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada tara>ti>liy
„kepedihanku‟ yang diserupakan dengan oksigen yang dapat berbaur dan mengalir
di dalam darah. Penyerupaan tersebut adalah musyabbah yang tidak disebutkan di
dalamnya. Bait tersebut menunjukkan bahwa dalam kehidupan penyair tidak
hanya ada kebahagiaan semata. Kehidupan yang dijalaninya di dunia selalu ada
kesedihan, kebahagiaan, kesulitan, dan kemudahan. Adapun kesedihan yang
dialami penyair adalah sebuah ujian hidup agar menjadi seseorang yang kuat.
Bait kedua puluh, wa dza>ka umriy „itu hidupku‟. Kalimat tersebut
menunjukkan penegasan bahwa apapun yang dilakukan oleh penyair sesuai
dengan sesuatu yang diinginkannya. Bait kedua puluh satu, ichtama> fi> chilmi
maulu>diy „yang berlindung pada mimpi kelahiranku‟. Kalimat tersebut merupakan
lanjutan kalimat dari bait sebelumnya dan keduanya merupakan enjambemen.
Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir-akhir larik kemudian
meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya (Semi, 1993: 142). Bait
tersebut menunjukkan bahwa penyair akan melakukan apa yang telah menjadi
mimpinya sejak awal. Berusaha dan bekerja keras dalam pencapaiannya demi
kebahagiaan dirinya. Bait ke dua puluh dua, li'abda'a az-zamana al-'a>tiy „untuk
memulai masa depan‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa yang dilakukan
penyair adalah melupakan masa lalunya yang kelam. Hal tersebut menunjukkan
81
semangat juang penyair dalam merubah hidupnya, dengan tujuan untuk
mendapatkan masa depan yang cerah.
Bait kedua puluh tiga, wa fi> kabdiy... „di hatiku...‟. Kalimat tersebut
menunjukkan bahwa penyair ingin mengungkapkan perasaannya menggunakan
kata “hati”. Kata tersebut digunakan karena hati merupakan sesuatu yang ada di
dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan
tempat menyimpan pengertian-pengertian (KBBI, 2008: 514).
Bait kedua puluh empat, jamru i‘tisha>rin „bergejolak perasaan yang
terpendam‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa di dalam hati penyair terdapat
suatu perasaan yang bergejolak yaitu semangat yang membara untuk mewujudkan
sesuatu yang diinginkannya. Selanjutnya, pada bait terakhir yaitu bait kedua puluh
lima, wa syauqun lilmawa>‘idi „dan kerinduan akan sebuah janji‟. Kata kerinduan
dalam bait tersebut memiliki pengertian yaitu keinginan dan harapan (akan
bertemu) (KBBI, 2008: 1210). Kerinduan dalam teks tersebut menunjukkan
bahwa penyair telah memiliki janji. Janji yang dimaksudkan adalah memberikan
kebahagiaan dan kebanggan kepada dirinya sendiri. Kebahagiaan tersebut
merupakan perasaan penyair karena mampu mewujudkan keinginannya. Selain
itu, kata “kerinduan” yang diungkapkan oleh penyair ketika dia berada dalam
kesedihannya karena menyerah terhadap masalah yang dihadapinya. Maka disaat
itulah penyair mulai merasakan kerinduan pada harapan dan cita-cita dulu.
Sejak awal seseorang pasti memiliki keinginan dan cita-cita untuk masa
depannya, namun seiring berjalannya waktu akan selalu ada ujian dan rintangan
yang akan menghalanginya. Hal tersebut sudah menjadi hukum alam bagi
manusia ketika hidup di dunia, dan kesuksesan diperoleh sesuai dengan
82
kemampuan manusia itu sendiri. Seperti halnya penyair yang menjalani hidupnya
untuk mendapatkan masa depannya selalu ada ujian yang dialaminya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sa‘id (2002: 28), bahwa ujian dan problematika
yang didapat oleh manusia dijelaskan bahwa sumber permasalahannya adalah apa
yang ada di dalam jiwa (diri), bukan kezaliman yang menimpa manusia dari
luarnya, namun kezhaliman yang ditimpakan oleh jiwa manusia itu sendiri.
Berdasarkan hasil analisis atas pembacaan heuristik dan hermeneutik di
atas dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan di dunia tidak selamanya berada
dalam kesenangan dan kebahagiaan saja. Namun, dalam kehidupan terdapat ujian
yang harus dijalani oleh setiap orang untuk memperkuat hati, jiwa, dan raganya.
Suatu pencapaian keinginan dan cita-cita harus memiliki semangat tinggi untuk
berusaha dan bekerja keras untuk mencapainya. Adapun makna penyesalan yang
sesuai dengan judul syair tersebut, adalah masa-masa ketika penyair menyerah
dan merasa tidak sanggup menghadapi ujian. Penyesalan tersebut disebabkan
karena penyair telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya di masa lalu.
Adapun aspek romantisme yang terdapat dalam syair lahfah adalah salah
satu jenis akibat dari cinta berupa rasa sakit hati karena ditinggal pergi oleh
kekasih yang sangat dicintainya. Selain itu, rasa lain yang diakibatkan oleh cinta
adalah kesepian dan kesendirian. Kedua hal tersebut memiliki keterkaitan bahwa
ketika seseorang sedang mengalami jatuh cinta. Kemudian terdapat suatu
permasalahan yang mengakibatkan salah satu pihak pergi dan memutuskan untuk
tidak melanjutkan hubungan tersebut. Oleh karena itu, salah satu pihak pasti akan
merasakan rasa sakit hati dan kesepian karena tidak bisa bersama dengan
pasangannya untuk meluapkan rasa kasih sayang pada kekasihnya.
83
3.2.2 Syair kedua
Syair kedua berjudul “Ar-rihan”, kata tersebut merupakan bentuk mashdar
dari ra>hana, yura>hinu (bertaruh dengan) (Munawwir, 1993: 542). Judul tersebut
dipilih karena sesuai dengan isi syair tersebut. Syair tersebut berisi tentang
pertaruhan diri penyair terhadap sesuatu yang dia lakukan.
Bait pertama, lau annahu ash-shada> „seandainya gema itu‟. Kalimat
tersebut terdapat tasybi>h baligh. Tasybi>h baligh adalah tasybi>h yang dibuang
adat tasybi>h-nya dan wajah syibh-nya (Jari>m, 2008: 28). Adapun musyabbah-nya
terdapat pada dhami>r ‚ha‛ pada annahu‟ bahwasanya dia‟, dhami>r tersebut
merupakan jenis dhami>r al-sya'n yaitu dhami>r yang berada di awal kalimat dan
sesudahnya terdapat jumlah yang menafsirkannya serta menjelaskan maksud
dhami>r. Dhami>r tersebut disebut dengan dhami>r sya'n karena dhami>r tersebut
berkedudukan sebagai mubtada' (Hasan, 2007: 250-253). Kemudian musyabbah
bih-nya yaitu pada kata ash-shada> „gema‟. Gema merupakan bunyi atau suara
yang memantul (KBBI, 2008: 457). Sesuai dengan definisi tersebut menunjukkan
bahwa suara yang memantul adalah suara yang membalik karena terbentur
ruangan yang tertutup. Artinya suara tersebut terkurung dalam suatu tempat yang
menyebabkan suara tersebut hanya berada pada satu tempat saja. Sebagaimana
gema dalam syair yang dimaknai sebagai semangat yang masih terpendam di
dalam diri penyair.
Selanjutnya pada bait kedua, syaqqa 'ila> nishfaini shadrahu „membelah
dadanya (penyair) menjadi dua‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora)
yaitu dengan menyamakan gema seperti pedang yang dapat “membelah”. Bait
kedua tersebut masih berkaitan dengan bait sebelumnya bahwa gema diandaikan
84
oleh penyair dapat membelah dadanya menjadi dua. Adapun maksud penyair
adalah memunculkan semangat yang masih terpendam. Memaksa dan mendorong
diri penyair untuk mulai bermimpi. Bait ketiga, wa 'asy‘ala al-bicha>ra fi> ‘uyu>nihi
„dan menyalakan mata air lautan‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah yaitu dengan
menyamakan gema seperti manusia yang melakukan pekerjaan “menyalakan”.
Namun, kata “menyalakan” pada syair tersebut bukan hal yang wajar, sehingga
pada frasa “mata air lautan” merupakan isti‘a>rah (metafora) yang memiliki makna
yang tidak sebenarnya. Secara umum mata air adalah sumber air, air yang
membual dari tanah (KBBI, 2008: 824). Makna yang terkandung pada frasa “mata
air lautan” adalah hasil dorongan dan paksaan diri sendiri dan memunculkan
semangat yang membara. Pada bait keempat, bi al-mauji muzabbadan „dengan
ombak yang membuih‟ merupakan lanjutan dari bait sebelumnya yang
menunjukkan harapan, keinginan, dan mimpi si penyair. Hal-hal tersebut adalah
bukti semangat besar penyair terhadap dirinya sendiri. Pada bait ketiga dan
keempat merupakan enjambemen. Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau
frase di akhir-akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik
berikutnya (Semi, 1993:142).
Bait kelima, lau annahu ash-shada> „seandainya gema itu‟. Kalimat
tersebut terdapat tasybi>h baligh dengan musyabbah pada dhami>r al-sya'n ‚ha‛
dan musyabbah bih pada ash-shada> „gema‟. Gema menjadi gambaran atas suatu
dorongan semangat dan pemaksaan diri si penyair sendiri. Gema memiliki arti
berkumandang (KBBI, 2008:457), pada makna tersebut kata berkumandang sama
halnya dengan mengeluarkan suara (KBBI, 2008: 774). Oleh karena itu, makna
mengeluarkan suara tersebut berarti mengeluarkan semangat dari dalam jiwa.
85
Bait keenam, 'a‘a>dahu min chaitsu ‘umrihi 'ibtada „mengembalikannya
pada permulaan masa‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘arah (metafora) pada dhami>r
yang merujuk pada “gema” yang diserupakan dengan “kenangan”. Kenangan
merupakan sesuatu yang membekas di dalam ingatan (KBBI, 2008: 685),
sehingga suatu kenangan sangat berhubungan dengan peristiwa yang pernah
terjadi. Oleh karena itu, penyair berharap bahwa kenangan tersebut dapat
mengembalikannya di masa lalu, dalam arti dia kembali mengalami peristiwa di
masa lalunya. Adapun makna yang dimaksudkan penyair dalam kalimat ini adalah
keinginan untuk menggelorakan semangat tinggi dari dirinya untuk menjalani
kehidupan di masa lalunya. Penyair secara tidak langsung mengungkapkan
penyesalan melalui kalimat tersebut karena telah menyia-nyiakan kesempatan di
masa lalunya dan hidup tanpa memiliki harapan dan keinginan yang akan
dicapainya.
Bait ketujuh, lau annahu istitha>‘a an yazra‘a „seandainya dia bisa
menanam‟. Kalimat tersebut terdapat isti'‘a>rah (metafora) yaitu menyamakan
“gema” seperti manusia yang melakukan pekerjaan “menanam”. Selain itu,
menunjukkan sebuah pengandaian ketiga dari ash-shada „gema‟ bahwa penyair
menginginkan kepercayaan terhadap dirinya sendiri. Kepercayaan diri seseorang
sangat diperlukan dalam kehidupan. Seseorang yang menginginkan suatu
perubahan di dalam kehidupannya, maka seseorang tersebut harus “...mengerti
dan memahami apa yang dikehendaki oleh dirinya dan mengetahui cara untuk
mewujudkan keinginannya” (Sa‘id, 2002: 24). Selanjutnya pada bait kedelapan, fi>
as-suhu>li...wa al-wiha>di... mau‘idan „di ladang... dan tanah lapang... akan sebuah
janji‟ merupakan lanjutan dari bait sebelumnya sebagai objek dan keterangan dari
86
kalimat sebelumnya. Kedua bait tersebut merupakan enjambemen. Kalimat
tersebut menjelaskan bahwa sesuatu yang ditanam adalah mau‘idan „sebuah janji‟,
kata tersebut adalah isti‘a>rah (metafora) yang diserupakan dengan tanaman yang
dapat ditanam. Janji memiliki pengertian yaitu ucapan yang menyatakan
kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (KBBI, 2008: 571). Kata “janji”
memiliki makna “mimpi dan harapan” yang pernah diucapkan oleh penyair lalu
ditanamkannya di dalam hati dan pikirannya yang akan diwujudkannya untuk
masa depannya yang cerah.
Kemudian keterangan fi> as-suhu>li „di ladang‟ dan al-wiha>di „tanah lapang‟
menunjukkan keadaan suatu tempat yang sangat luas. Ladang merupakan tanah
yang diusahakan dan ditanami, sedangkan tanah lapang merupakan tanah yang
luas dan hanya ditumbuhi rumput (KBBI, 2008: 791,1434). Berdasarkan kedua
pengertian tersebut dapat diketahui bahwa keduanya sama-sama sebuah tempat
yang luas dan dapat ditanami. Luasnya suatu tempat merupakan gambaran bahwa
terdapat banyak kesempatan bagi penyair untuk bermimpi dan berharap.
Bait kesembilan, lau annahu az-zama>nu „seandainya waktu itu‟. Kalimat
tersebut terdapat tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih
pada kata az-zama>nu‟waktu‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n
yang digunakan ketika dhami>r tersebut merupakan mubtada' atau ism anna.
Adapun marji‘ dari dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat
sebelumnya, namun berada pada kata sesudahnya yaitu az-zama>nu. Bait tersebut
merupakan bentuk pengandaian tentang waktu yaitu masa lalu (dulu). Masa lalu
sendiri memiliki pengertian tentang masa yang telah lewat atau terdahulu (KBBI,
2008: 920).
87
Pada bait kesepuluh, daqqa ‘ala> thari>qihi al-‘auta>da wa al-‘i>da>na „melalui
di atas jalannya yang lurus dan semak belukar‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h
yaitu dengan musyabbah pada kalimat washfi> yaitu thari>qu ‘auda>nu „jalan yang
lurus‟ dan idha>fi> pada thari>qu al-‘i> dan „jalan semak belukar‟ dan musyabbah bih
pada kata az-zama>n „waktu‟. Bait tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya
harapan yang dimiliki penyair dapat mengembalikan waktu yang telah terbuang
sia-sia. Penyair mengandaikan “waktu” dengan “jalan lurus” dan “semak
belukar”. Kedua gambaran tersebut diungkapkan oleh penyair ketika dia memiliki
banyak kesempatan. Adapun jalan lurus yang dimaksudkan oleh penyair adalah
waktu yang dijalani tanpa adanya kesulitan (bahagia), sedangkan semak belukar
adalah berbagai tumbuhan kecil dan lebat (KBBI, 2008: 1299), sesuai dengan
pengertian tersebut dapat pula dimaknai ujian atau kesulitan dalam menapaki
kehidupan. Oleh karena itu, makna yang terkandung dalam bait tersebut sangat
berkaitan dengan waktu ketika penyair mampu menjalani kehidupannya dengan
baik dan dapat melewati segala ujian maupun kesulitan yang datang kepadanya.
Sebagaimana manusia yang mampu mengatur waktunya dan semangat, hal
tersebut akan menimbulkan kekuatan dalam menjalani hari-harinya (Abdul Aziz,
2016: 81).
Berdasarkan fitrahnya, manusia yang dilahirkan memiliki ketetapan atau
takdirnya terkait kebahagiaan (al-sa‘a>dat) dan kesengsaraan (al-syaqa>wat) hidup
(Ibnu Abbas dalam Mujib dan Mudzakkir, 2001: 83). Oleh karena itu, dapat
dipahami bahwa setiap manusia baik penyair ataupun orang lain akan mengalami
kesulitan atau kesengasaraan selama hidup di dunia.
88
Bait kesebelas, wa khayyama ash-shafsha>fa wa al-laimu>na wa an-nakhi>la
„dan mendirikan kemah di antara pohon lemon dan palem’. Kalimat tersebut
terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada kalimat khayyama „mendirikan kemah‟
yang dimaksudkan adalah penyair. Jadi, menggantikan makna lain yang sesuai
yaitu sama-sama dapat berdiri tegak. Adapun tiga kata selanjutnya yaitu ash-
shafsha>fa‟jenis pohon‟, al-laimu>na „pohon lemon‟, an-nakhi>la „pohon palem‟
merupakan jenis dari pepohonan yang disamakan dengan penyair yang mampu
berdiri tegak di antara berbagai jenis pohon. Hal tersebut merupakan gambaran
hidup sebagai proses yang aktif, kuat, dan tahan lama dalam mempertahankan dan
meningkatkan dirinya menuju proses pertumbuhan (Rogers dalam Daniel dan
Lawrence, 2011:217). Selain itu, penyair merasa tenang karena dia meyakini
dapat menyelesaikan masalahnya, sebagaimana firman Allah SWT bahwa “Allah
tidak akan membebani seseorang di luar kemampuannya” (Depag, 2009 3: 286:
62).
Bait kedua belas, wa askana al-‘awa>shifa al-hauja>'a... wa ath-thaufa>na
„dan menenangkan badai serta angin topan‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah
(metafora) yaitu dengan menyamakan “waktu” seperti manusia dalam melakukan
suatu pekerjaan “menenangkan”. Waktu merupakan kesempatan, tempo, peluang
(KBBI, 2008: 1614). Selain itu, terdapat pula pada al-‘awa>shifa al-hauja>'a... wa
ath-thaufa>na „angin kencang, badai, dan angin topan‟ merupakan perumpamaan
yang sesuai yaitu sama-sama menimbulkan masalah atau kerusakan. Frasa angin
kencang merupakan angin yang kencang, angin badai merupakan angin yang
datang dari satu jurusan beberapa waktu lamanya, dan angin topan adalah angin
puting beliung (KBBI, 2008: 68). Ketiga angin tersebut sama-sama memiliki
89
persamaan yaitu jenis angin yang besar dan dapat menyebabkan kerusakan dan
kehancuran.
Dengan demikian, ketiga kata tersebut adalah gambaran dari berbagai jenis
masalah yang dihadapi oleh penyair, seperti halnya pada bait ke sebelas. Adapun
makna keseluruhan dari bait tersebut adalah waktu yang sangat berharga dan oleh
penyair digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang menimpa dirinya.
Oleh karena itu, penyair dapat merasakan ketenangan dan ketentraman dalam
hidupnya tanpa masalah, karena dalam masalah selalu ada solusi untuk
menyelesaikannya dan setiap orang juga mampu untuk menghadapi tantangannya.
Bait ketiga belas, lau annahu az-zama>nu „seandainya waktu itu terdapat
tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih pada kata az-
zama>nu „waktu‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n yang digunakan
ketika dhami>r tersebut berkedudukan sebagai mubtada' (Wafi>, 1398 H: 253) atau
sebagaimana dalam bait tersebut berkedudukan sebagai ism anna. Adapun marji‘
dari dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya namun
berada pada kata sesudahnya yaitu az-zama>nu. Bait tersebut merupakan bentuk
pengandaian tentang waktu yaitu masa lalu (lampau). Pengambilan makna “masa
lalu” dapat dilihat pada bait setelahnya yang diungkapkan dengan menggunakan
fi‘l ma>dhi. fi‘l ma>dhi adalah kata kerja yang menunjukkan kejadian di masa
lampau (Ja>rim, 2006: 21).
Bait keempat belas, kaffa ‘an 'ightiya>lahu-limarratin- wa khasira ar-riha>na
„menghentikan tipuannya -meski sekali- dan kehilangan taruhannya‟. Kalimat
tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu waktu yang menjadi dhami>r mustatir
pada kata kaffa yang disamakan dengan manusia dalam melakukan suatu
90
pekerjaan “menghentikan”. Makna keseluruhan dari bait tersebut adalah bentuk
harapan kedua dari penyair terhadap “waktu” untuk menghentikan “tipuannya”.
Pengertian waktu dalam hal ini adalah seluruh rangkaian saat ketika proses,
perbuatan atau keadaan berada atau berlangsung (KBBI, 2008: 1614). Oleh karena
itu, arti yang terdapat dalam bait tersebut adalah perbuatan yang sedang
berlangsung di masa lalu, yaitu kejadian yang tidak terjadi di waktu itu. Jadi, pada
saat itu penyair berharap jika waktu menghentikan tipuannya. Tipuan yang
dimaksudkan adalah angan-angan penyair dari bait ke sembilan hingga bait kedua
belas. Tipuan sendiri memiliki pengertian yaitu tempat untuk menipu musuh
(KBBI, 2008: 1531). Hal tersebut menggambarkan bahwa penyair dianggap
musuh oleh waktu, sehingga waktu mampu menunjukkan tipuannya dengan
memberikan keadaan yang menyulitkan penyair.
Penyair menginginkan semua yang diangankannya saat ini menjadi nyata
di masa lalu walaupun hal tersebut hanya terjadi sekali. Namun, semuanya tidak
pernah menjadi kenyataan jika itu hanya angan-angan saja karena sebenarnya
semua adalah sebuah kesalahan penyair di masa lalu yang telah menyia-nyiakan
waktu di masa lalu. Kemudian pada kalimat khasira ar-riha>na „kehilangan
taruhan‟ menunjukkan bahwa penyair berangan-angan sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi. Akan tetapi, seandainya waktu itu (dulu) penyair dapat
menjalani kehidupan seperti yang diangankannya, maka dia tidak akan kehilangan
waktunya yang sangat berharga.
Bait kelima belas, lau annahu asy-saghaf‟seandainya cinta itu‟. Kalimat
tersebut terdapat tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih
pada kata asy-syaghaf‟cinta‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n
91
yang digunakan ketika dhami>r tersebut berkedudukan sebagai mubtada' (Hasan,
2007: 253) atau dalam bait tersebut sebagai ism anna. Adapun marji‘ dari dhami>r
tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya, namun berada pada
kata sesudahnya yaitu asy-syaghaf „cinta‟. Bait tersebut merupakan pengandaian
penyair tentang cinta. Cinta yang dimaksudkan adalah cinta kepada seorang
wanita (kekasih). Kekasih merupakan orang yang dicintai (KBBI, 2008: 674),
karena adanya kekasih maka menunjukkan adanya cinta dalam kehidupan penyair.
Cinta yang dimiliki oleh penyair tidak memberikan kebebasan dalam dirinya.
Akan tetapi, penyair merasa terbelenggu karena dia tidak mendapatkan
kesempatan untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Penyair hanya
tenggelam dalam perasaan cintanya pada kekasihnya.
Bait keenam belas, athlaqa khuthwahu... wa ja>waza al-mada> wa al-
muntashifa „membebaskan langkahnya... sehingga dapat melewati jarak jauh atau
dekat‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu dengan menyamakan
“cinta” seperti manusia dalam melakukan pekerjaan “membebaskan”. Cinta bagi
penyair adalah sebuah kebahagiaan yang ada di dalam dirinya karena memiliki
seseorang yang selalu menemaninya. Makna kata “cinta” pada athlaqa khuthwahu
„membebaskan langkahnya‟ adalah dukungan dari seorang kekasih yang
senantiasa diberikan kepada penyair dalam melakukan segala sesuatu. Namun,
berdasarkan bait tersebut pengandaian terhadap cinta dengan adanya kata
“membebaskan” menunjukkan bahwa penyair merasa terkekang dengan cintanya.
Cinta sendiri adalah api dalam hati yang akan membakar semua harapan selain
harapan sang kekasih, dan karena cinta manusia menjadi bersemangat hidup dan
mewujudkan cita-cita.
92
Bersamaan dengan semangat yang diterimanya, penyair tidak merasa
terbebani dengan langkah kehidupan yang sedang dijalaninya. Hal tersebut
sebagai dorongan bagi penyair untuk mendapatkan keberhasilan dari tujuannya.
Dorongan merupakan konsep motivasi sebagai pemberi energi kepribadian.
Dorongan memiliki keterkaitan dengan kekuatan dan kekasih sebagai penguat
orang lain yang diasosiasikan sebagai pereduksian dari penguat orang yang
dicintainya. Sebuah penguat dapat menjadi primer jika ia bisa memenuhi
kebutuhan yang terkait kelangsungan hidup (Millerd dan Dolard dalam Matthew,
2011: 524).
Hal tersebut sebuah pengandaian tentang cinta yang tidak diterima oleh
penyair dari kekaasihnya. Semangat dan dorongan untuk mengahadapi segala
tantangan kehidupannya. Akan tetapi, penyair hanya meresa terkekang dengan
hubungan cintanya.
Kemudian pada wa ja>waza al-mada> wa al-muntashifa „sehingga dapat
melewati jarak jauh atau dekat‟. Kalimat tersebut menunjukkan suatu akibat dari
kalimat sebelumnya yaitu dari kebebasan yang dimiliki penyair dalam melakukan
segala sesuatu. Hal yang dimaksud adalah pengandaian penyair terhadap cinta,
bahwa kebersamaan penyair dengan kekasihnya tidak memberikan kehidupan
yang lebih baik. Seandainya dukungan tersebut diterima oleh penyair, maka dia
akan mendapatkan kekuatan hingga untuk menghadapi segala ujian dan tantangan
dalam hidupnya. Adapun kata “jarak jauh atau dekat” adalah ruang sela antara
dua benda atau tempat (KBBI, 2008: 568). Makna kata tersebut merupakan jalan
kehidupan penyair yang terdapat lika-liku atau permasalahan yang harus
dihadapinya selama dia masih hidup.
93
Bait ketujuh belas, lau annahu asy-saghaf „seandainya cinta itu‟ terdapat
tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih pada kata asy-
syaghaf „cinta‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n yang digunakan
ketika dhami>r tersebut merupakan mubtada' atau ism anna. Adapun marji‘ dari
dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya namun
berada pada kata sesudahnya yaitu asy-syaghaf „cinta‟. Bait tersebut pengandaian
kedua dari penyair terhadap cinta. Adapun cinta yang dimaksudkan adalah cinta
kepada seorang wanita (kekasih). Cinta tersbut merupakan sikap yang diwujudkan
seseorang kepada orang lain yang dicintai yang mempengaruhi cara berpikir,
bersikap, dan bertingkah laku (Rubin dalam Akrom, 2008: 28).
Bait kedelapan belas, lam yastajib li'a‘yuni al-jirdza>ni „tak menanggapi
mata-mata yang bengkak‟. Kalimat tersebut terdapat majaz mursal. Majaz mursal
adalah kata yang digunakan bukan untuk makna yang asli, karena adanya
hubungan yang selain keserupaan serta ada qari>nah yang menghalangi
pemahaman dengan makna yang asli (Ja>rim, 2003: 119). Adapun hubungan
makna yang digunakan adalah al-juz-iyyah yaitu “mata” yang menjadi bagian dari
anggota tubuh. Bait tersebut memiliki makna orang-orang yang membenci (tidak
suka) dengan penyair dan kekasihnya. Kemudian makna keseluruhan pada bait
tersebut merupakan wujud dari cinta, cinta yang dimiliki oleh sepasang kekasih
terdapat hubungan yang sangat erat. Hubungan yang saling memberikan
dukungan dan penguatan satu sama lain. Oleh karena itu, berkaitan dengan makna
bait tersebut menunjukkan bahwa cinta sama sekali tidak menanggapi atau
memperdulikan orang-orang yang membenci atau tidak menyukai hubungan
mereka. Cinta juga memberikan bentuk keamanan dan kenyamanan dalam
94
hubungan tersebut. Rasa aman sendiri dapat memenuhi kebutuhan bagi individu
yang bebas dari rasa takut, bahaya, dan kekacauan (Maslow dalam Matthew,
2011: 841).
Kemudian pada bait kesembilan belas, ‘inda al-mun‘athif...‟di
tikungan....‟. Kalimat tersebut merupakan lanjutan dari bait kedelapan belas dan
merupakan enjambemen. Enjambemen adalah pemotongan kalimat atau frase pada
akhir-akhir larik kemudian meletakkan potongan itu pada awal larik berikutnya
(Semi, 1993: 142). Bait tersebut adalah keterangan yang menjelaskan bahwa di
setiap kehidupan yang dijalani oleh penyair dan kekasihnya terdapat ujian dari
orang-orang yang tidak menyukai mereka. Sebagaimana hal tersebut dijelaskan,
bahwa tragedi yang menimpa penyair dan kekasihnya itu termasuk dalam konflik
kejiwaan manusia. Konflik tersebut tidak hanya membawa kemunduran
(kerugian) tetapi juga membawa kemajuan dalam kehidupan sehari hari (Straton
dalam Jalaluddin, 2005: 59). Adapun pendapat lain bahwa setiap organis terdapat
dua konflik kejiwaan yang mendasar yaitu, (a) life-urge yaitu keinginan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup agar terus berlanjut dan (b) death-urge
adalah keinginan untuk kembali pada keadaan semula sebagai benda mati
(anorganis) (Freud dalam Jalaluddin, 2005: 59). Oleh karena itu, berkaitan
dengan bait tersebut konflik yang dialami oleh penyair adalah bentuk pertahanan
dirinya untuk terus melangkah menjalani kehidupannya.
Bait kedua puluh, faqattara al-'auja>‘u min dima>'ihi „mengalirkan nestapa
dari darahnya‟. Kalimat tersebut mengandung isti‘a>rah, yaitu pada dhami>r yang
merujuk pada kata “cinta”, dengan menyamakannya layaknya manusia yang
memiliki darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Selain itu, terdapat juga pada
95
kata “nestapa” yang diserupakan seperti sesuatu yang tidak diperlukan oleh darah,
karena tidak memberikan manfaat bagi tubuh. Lalu, pada kata “nestapa”
merupakan suatu bentuk kesulitan dan hal buruk yang akan terjadi, kemudian
dilanjutkan dengan adanya kata “darah” yang sulit. Penyangatan dengan
menggunakan kata “darah” adalah bentuk yang menunjukkan ujian yang dihadapi
oleh penyair dan kekasihnya sungguh-sungguh dilebih-lebihkan dalam
ungkapannya. Ungkapan yang berlebihan dalam bahasa Indonesia disebut dengan
majas hiperbola. Majas hiperbola adalah majas yang berupa pernyataan berlebihan
dari kenyataannya, dengan maksud memberikan kesan mendalam atau meminta
perhatian (rohmatullahh.blogspot.co.id).
Bait kedua puluh satu, wa sha>gha min lahi>biha>an-nuthfa „dan menciptakan
noda dari kobaran nestapa‟. Kalimat tersebut mengandung isti‘a>rah (metafora),
yaitu dengan menyamakan nestapa seperti “api” yang memiliki kobaran. Api
dalam bait tersebut memiliki pengertian panas, dan cahaya yang berasal dari
sesuatu yang terbakar (KBBI, 2008: 84). Api sendiri merupakan sesuatu yang
berbahaya dan membahayakan. Oleh karena itu, makna dari bait tersebut adalah
bentuk rintangan yang dihadapi oleh kedua pasangan bahwa dalam cinta tidak
selalu bahagia. Api yang bermakna rintangan, jika tidak dapat dihadapi akan
memberikan musibah dan kesengsaraan bagi seseorang. Namun, dalam cinta akan
selalu terdapat kesulitan yang menjadi noda dari kebahagiaan.
Cinta keduanya dapat saling memberikan semangat untuk selalu
melangkah meski rintangan datang mengahadang. Noda (masalah) di tengah
hubungan tersebut sebagai tanda bukti kesetiaan dari cinta, bahwa seberat apapun
halangan yang datang mereka akan selalu bersama dalam menghadapinya. Selain
96
itu, ujian dalam hubungan cinta dapat menghapuskan kesulitan dan mengubah
kehidupan menjadi kebahagiaan dan kenyamanan dalam jalinan hubungannya.
Adapun kesungguhan dalam hubungan akan memancar untuk melalui yang
merintang bersama-sama (Hamka dalam Akrom, 2008: 30).
Bait kedua puluh tiga, lau annahu asy-saghaf „seandainya cinta itu‟
terdapat tasybi<h yaitu musyabbah pada dhami>r “ha” dan musyabbah bih pada
kata asy-syaghaf „cinta‟. Dhami>r “ha” merupakan jenis dhami>r asy-sya'n yang
digunakan ketika dhami>r tersebut merupakan mubtada' atau ism anna. Adapun
marji‘ dari dhami>r tersebut tidak berada pada kata ataupun kalimat sebelumnya
namun berada pada kata sesudahnya yaitu asy-syaghaf‟cinta‟. Bait tersebut
menjadi pengandaian kedua penyair terhadap cinta. Cinta yang dimaksudkan
adalah cinta penyair kepada seorang wanita.
Bait kedua puluh empat, acha>la jurchahu masa>fatan „memindahkan
lukanya jauh-jauh‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu dengan
menyamakan cinta layaknya manusia dalam melakukan sesuatu “memindahkan”.
Makna dari bait tersebut adalah pengandaian penyair terhadap cinta yang dapat
menghilangkan luka jika cinta itu benar-benar tulus di antara pasangan tersebut.
Cinta yang dimiliki manusia adalah fitrah, maka cinta seharusnya dijaga dan
dilindungi, karena keakraban, ikatan dan kesatuan perasaan cinta akan
mewujudkan kehangatan hubungan percintaan (Akrom, 2008:30). Adapun tipe
cinta dari bait tersebut adalah B-Love yang bersifat tidak mementingkan diri
sendiri dan peduli kebutuhan orang lain, karena orang-orang dengan B-love lebih
teraktualisasi-diri dan membantu partnernya mencapai aktualisasi-diri (Maslow
dalam Widyasanti, 2006: 145). Maka dari itu, dengan tipe cinta tersebut tidak
97
akan ada rasa untuk saling menyakiti satu sama lain dan memunculkan luka dari
hati. Namun, keduanya akan berusaha untuk saling mengerti dan memahami
keadaan pasangannya.
Bait kedua puluh empat, fachath-tha tha>'iru as-sakrati nisywa>na „hingga
hinggaplah burung asmara dalam keadaan mabuk‟. Kalimat tersebut terdapat
isti‘a>rah pada frasa “burung asmara” yang bukan makna sebenarnya, frasa
tersebut merupakan penggambara penyair yang sedang dimabuk asmara dengan
kekasihnya. Asmara sendiri merupakan perasaan senang kepada lain jenis (KBBI,
2008: 99). Asmara berkaitan dengan orang yang sedang jatuh cinta, sehingga
seseorang yang sedang mengalaminya tidak akan pernah berhenti untuk
memikirkan orang yang dicintainya (klikseru.com). Dengan demikian, makna
yang terkandung dalam bait tersebut bahwa saat itu penyair sedang dimabuk
asmara pada kekasihnya, sehingga penyair sampai tidak memperdulikan yang lain
dan yang difikirkan hanyalah kekasihnya. Ketika seseorang yang sedang dimabuk
asmara selalu dikelilingi dengan rindu yang menyebabkan adanya rasa ingin
bertemu dan ingin selalu bersama dengan orang yang dicintainya. Sebagaimana
kutipan “Ketika cinta tak lagi menari di sisi kita, niscaya kerinduan yang sangat
akan kita rasakan” (Akrom, 2008: 28).
Selanjutnya pada bait kedua puluh lima, ‘ala> al-katifi „di atas pundak‟.
Kalimat tersebut menunjukkan suatu penjelasan, bahwa ketika orang yang sedang
mabuk pasti tidak dalam keadaan sadar. Oleh karena itu, jika seorang yang mabuk
dia terjatuh entah di mana saja pun tidak peduli. Namun, pada bait ini dituliskan
“di atas pundak” maksudnya bahwa penyair jatuh di atas pundak kekasihnya,
artinya dia dimabuk asmara pada wanita yang dicintainya (mencintai dengan
98
sepenuh hati). Bait tersebut terdapat enjambemen yang menjadi lanjutan dari bait
sebelumnya dan masih memiliki hubungan.
Bait kedua puluh enam, lau annahu irtachala „seandainya dia pergi‟.
Kallimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu cinta disamakan dengan
manusia dalam melakukan sesuatu “pergi”. Pada bait tersebut penyair
mengandaikan hal buruk yang terjadi pada cinta. Berkaitan dengan hal tersebut,
hakikat dalam cinta adalah semua yang tidak dapat terkurangi sebab keburukan
dan tidak pula bertambah sebab kebaikan (Mu‘adz dalam Akrom, 2008:34). Maka
dari itu dapat diketahui bahwa cinta kepada seseorang bisa saja sirna dan
memberikan luka yang mendalam ketika rasa cinta sedang berkembang di dalam
hati.
Bait kedua puluh tujuh, yabchatsu kaifa yartawiy min charqati az-zhama'i
„mencari cara bagaimana memuaskan dahaga yang membakar‟. Kalimat tersebut
terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada kalimat “memuaskan dahaga yang
membakar”. Bait tersebut merujuk kepada penyair dan bukan kepada cinta.
Dengan demikian, penyair setelah ditinggalkan oleh kekasihnya dia merasa
kehilangan cinta dalam hatinya dan dia merasakan kesepian. Penyair sebenarnya
sangat membutuhkan cinta dalam hatinya, karena dengan adanya seseorang yang
ada di sampingnya, dia merasa memiliki dukungan dan semangat dalam
menjalankan hidupnya. Sesungguhnya cinta merupakan kebutuhan yang penting
bagi manusia, sehingga jika tiada cinta, perkembangan cinta manusia akan
terhambat (Maslow dalam Akrom, 2008: 32). Cinta yang sangat dibutuhkan oleh
penyair saat ini digambarkan dengan “dahaga yang membakar”, sebab ketika
seseorang merasakan dahaga pasti akan mencari air untuk diminum dan
99
menghilangkan haus tersebut. Akan tetapi, cinta itu telah hilang dan pergi, hal
tersebut membuatnya sakit hati dan terluka. Kemudian penyair mencari cara untuk
tidak terpuruk terhadap cintanya. Oleh karena itu, dia berusaha mengembalikan
jati dirinya untuk mendapatkan kebahagiaannya di masa depan.
Pada bait kedua puluh delapan, tasyhaqu ‘ainahu 'ila> as-sinniy „kedua
matanya terpaku pada kemurahan‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa
kembalinya semangat dari penyair setelah hancur hubungannya dengan
kekasihnya. Maksud dari kata “kedua matanya”, bahwa penyair memulai
lembaran barunya dan melupakan peristiwa di masa lalu. Adapun makna
keseluruhan yang terdapat pada bait tersebut adalah awal baru kehidupan penyair
setelah mengalami masa lalu yang kelam, maka dia mulai melihat dan
memandang pada masa depan yang lebih cerah untuk mengembalikan kehormatan
penyair dengan keberhasilannya. Hal tersebut berkaitan dengan motivasi yang ada
di dalam diri penyair. Pandangan terhadap manusia adalah konsepsinya tentang
motivasi, karena inti sifat manusia pada dasarnya adalah positif dan motivasi
fundamental yang dimiliki adalah menuju pertumbuhan yang positif (Rogers
dalam Daniel dan Lawrence, 2011: 206-207).
Bait kedua puluh sembilan, wa taktachilu „dan bercelak‟. Kalimat tersebut
menunjukkan bahwa bercelak adalah salah satu hal yang dilakukan oleh setiap
orang untuk menghias matanya agar terlihat indah. Bait tersebut dan bait
sebelumnya merupakan enjambemen. Oleh karena itu, kaitan dari kedua bait
tersebut menjelaskan bahwa kedua matanya yang mengenakan celak terpaku pada
kemurahan merupakan sebuah tanda yang baik bagi penyair. Penyair bersungguh-
sungguh pada keinginan dan harapan yang akan dicapainya dan menunjukkan
100
bahwa dirinya benar-benar mampu menjadi seorang yang memiliki cita-cita untuk
masa depannya.
Bait ketiga puluh, lau annahu a‘tha> likulli syai'in zhahrahu „seandainya
cinta memberikan punggungnya pada segala sesuatu‟. Kalimat tersebut terdapat
isti‘a>rah (metafora) yaitu dengan menyamakan cinta seperti manusia dalam
melakukan sesuatu yaitu “memberikan”. Selain itu, kata “punggung” merupakan
salah satu dari anggota bagian belakang tubuh manusia (KBBI, 2008:1138),
artinya punggung adalah hal yang sulit untuk dilihat (dijangkau) karena letaknya
di belakang (KBBI, 2008: 1138). Oleh karena itu, maksud pada bait tersebut
penyair mengandaikan cinta dapat memberikan punggungnya, padahal cinta sama
sekali tidak memiliki punggung. Namun, wujud absurd dari punggung adalah
perasaan tulus seseorang dari dalam hati. Ketulusan tersebut sebenarnya tidak
dengan mudah diberikan tanpa ada cinta dan kasih sayang. Sebagaimana
dipaparkan oleh Akrom (2008: 24), bahwa cinta adalah hal yang dimiliki oleh
semua orang yang ada di dunia. Namun, cinta terkadang akan menjadi siluman
yang begitu ganas, yang akan membakar amarah dalam hati kala menjumpai hal
yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Oleh karena itu, hal tersebut dapat
menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan kedua pasangan tersebut
berpisah, karena di antara keduanya memiliki keinginan yang tidak selalu sama.
Terdapat kemungkinan juga cinta dapat putus dan menghancurkan hubungan yang
telah dijalin. Namun, sebaliknya jika cinta itu mampu memberikan punggungnya
yakni cinta yang diwujudkan dengan kasih sayang, kesetiaan dan kepercayaan
satu sama lain, maka pasti akan berbuah kebahagiaan pada semua orang.
101
Bait ketiga puluh satu, wa ra>cha yasyta‘ilu „dan dia tenang dengan (cinta)
yang menyala‟ terdapat isti‘a>rah (metafora) pada kalimat “cinta yang menyala”
yang memiliki makna tidak sebenarnya. Kata menyala memiliki arti tampak
bersinar (KBBI, 2008: 1010), bersinar sama halnya dengan munculnya suatu hal
yang indah seperti bintang. Maka makna tersebut menunjukkan kebahagiaan yang
tampak dari dalam diri penyair. Adapun cinta adalah salah satu hal yang
memberikan kebahagiaan pada setiap orang yang sedang mengalaminya.
Cinta merupakan muatan-muatan dalam hati yang tercipta untuk
memberikan ketenangan jiwa bagi sesama (Akrom, 2008: 33). Oleh karena itu,
dengan ketenangan jiwa yang didapatkan penyair akan senantiasa memberikan
kebahagiaan. Bait tersebut dengan bait sebelumnya memiliki keterkaitan bahwa
segala bukti cinta dari pasangan tersebut dapat memberikan kenyamanan dan
ketentraman dalam menjalani hubungan mereka. Lalu terciptalah cinta sejati yang
akan selalu memberikan kebahagiaan pada mereka.
Bait ketiga puluh dua, lau annahu tajarrada- al-amsi- min al-qusyrah „jika
cinta itu- kemarin- terlepas dari nasib buruk‟. Kalimat tersebut menunjukkan
suatu harapan penyair pada “cinta” yaitu jika selama penyair menjalin cinta
dengan kekasihnya tanpa ada peristiwa buruk yang menimpa hubungan mereka,
maka mereka pasti akan selalu berada pada kebahagiaan.
Bait ketiga puluh dua, wa 'irtama> fi> lahabi asy-syauqi bilahfati ats-
tsamali... „dan terlempar ke dalam kobaran rasa rindu karena mabuk kepayang...‟.
kalimat tersebut menunjukkan keterangan dari bait sebelumnya yaitu jika cinta
tanpa ada permasalahan pasti di antara mereka hanya ada kebahagiaan saja. Cinta
dapat membuat pasangan tersebut tergila-gila satu sama lain tanpa peduli dengan
102
sesuatu yang lain. Kata tergila-gila sama dengan yang diungkapkan dalam bait
tersebut yaitu dengan “mabuk kepayang”. Jika cinta pasti ada rindu, rindu adalah
sangat ingin dan benar-benar terhadap sesuatu (KBBI, 2008: 1210), dalam cinta
rindunya terhadap sesuatu yang diinginkan adalah kekasihnya yaitu ingin bertemu
dan selalu bersama.
Bait ketiga puluh empat, lau annahu! „seandainya‟. Kata tersebut
menunjukkan bahwa semuanya adalah harapan yang tidak pernah nyata (terjadi)
dan semua hanya sebuah angan-angan yang ada di dalam benak penyair). Hal
tersebut adalah khayalan penyair. Khayalan berarti melihat sesuatu yang ada di
dalam angan-angan (KBBI, 2008: 718). Khayalan juga tidak memberikan hal
yang positif pada seseorang, akan tetapi membuat seseorang bingung dan
memiliki tekanan batin sehingga menyebabkan orang tersebut kehilangan jati
dirinya (quranic-healing.com).
Bait ketiga puluh lima, lakin achla>ma al-khutha> fi> kulli marratin „akan
tetapi mimpi semua hanya mimpi‟. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa semua
yang diandaikan hanya sebatas mimpi dari si penyair. Mimpi adalah mengalami
atau melihat sesuatu yang dikhayal ketika tidur, berangan-angan yang bukan-
bukan (KBBI, 2008: 957). Dengan demikian, sesuatu yang hanya terjadi dalam
khayalan si penyair dan tidak akan pernah terjadi di dunia nyata.
Bait ketiga puluh enam, tu‘ajjizu an tudhi>'a shadrahu ‟tidak mampu
menerangi hatinya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu mimpi
diibaratkan dapat melakukan suatu hal yang tidak bisa dilakukannya “menerangi”,
biasanya kata “menerangi” hanya bisa dilakukan oleh sesuatu yang menyala dan
bersinar seperti matahari dan bulan yang menerangi bumi, lampu yang menerangi
103
ruangan yang gelap, dan api yang dapat menerangi lingkungan atau jalan yang
gelap gulita. Adapun makna yang terkandung dalam bait tersebut adalah bahwa
mimpi, khayalan, dan angan-angan si penyair tidak dapat menenangkan hatinya.
Khayalan tersebut sama sekali tak pernah terjadi di masa lalunya, masa lalu yang
menjadi penyesalan terhadap waktu yang dibuangnya sia-sia. Waktu itulah yang
menjadi taruhan penyair terhadap jalan hidupnya, yaitu dengan membuang-buang
kebahagiaan yang seharusnya dapat dia rasakan, kenyamanan dan ketenangan
dalam menjalani kehidupannya.
Bait ketiga puluh tujuh, wa ha> huwa al-'a>na-kayyi marratin- „dan inilah dia
sekarang- selalu begitu‟. Kaimat tersebut menunjukkan keadaan dari penyair pada
saat itu, penyesalan membuatnya lemah dan hanya bisa terus berangan-angan
tanpa ada usaha untuk kembali pada jati dirinya. Manusia berdasarkan dimensi
kejiwaan berada pada dimensi insani yang gerak monoton, gerak variasi, persepsi
dan kesadaran diri (Al-Ghazali dalam Djumhana, dkk, 2003: 85). Oleh karena itu,
dalam hal ini penyair perlu menyadarkan dirinya untuk bisa mengeluarkan dirinya
dari keterpurukan tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah,
bahwa “manusia adalah satu-satunya makhluk yang di karuniai Tuhan
kemampuan istimewa untuk meraih derajat rohani setinggi-tingginya atau dapat
pula menjerumuskan diri ke taraf serendah-rendahnya” (Depag, 2006 95: 4-5:
905).
Pada bait ketiga puluh delapan, yuthi>lu min waqfatihi ‘ala> ath-thalal!
„terus diam di atas puing-puing‟. Kalimat tersebut menunjukkan kondisi lemahnya
penyair terhadap sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Maksud dari keterangan
“di atas puing-puing” adalah masa lalu penyair yang kelam. Dengan demikian,
104
penyair hanya bisa diam, lemah tak berdaya karena dia merasa tidak mampu
menghadapi segala masalah yang terjadi pada dirinya. Bayangan-bayangan masa
lalu masih saja mengenang di dalam hatinya, hal tersebut merupakan tingkat
prakesadaran yang mencakup muatan mental yang mudah disadari jika dengan
sengaja mengingatnya (Freud dalam Danie dan Lawrence, 2011: 95).
Sebagaimana yang disebutkan oleh Freud.
Muatan mental ketidaksadaran adalah bagian pikiran yang tidak kita sadari
dan tidak dapat disadari kecuali di bawah situasi tertentu karena muatan
mental dapat menyebabkan kecemasan. Kita memiliki pikiran dan
keinginan yang sangat traumatis atau tidak dapat diterima secara sosial
yang jika secara sadar kita memikirkan hal tersebut dapat menimbulkan
kecemasan. “Alasan mengapa ide tersebut tidak dapat masuk ke dalam
kesadaran adalah karena adanya kekuatan tertentu yang menghalangi
(Freud dalam Daniel dan Lawrence, 2011:96).
Hasil analisis dari syair kedua tersebut adalah taruhan waktu yang dimiliki
penyair di masa lalunya. Penyair mengandaikan keadaan di masa lalunya dengan
hal-hal yang membahagiakan dengan tujuan untuk menghibur dirinya dalam
kesendiriannya. Namun, penyair menyadari bahwa semua hanya khayalan dan
tidak akan pernah terjadi di dunia nyata. Pada dasarnya hal itu terjadi karena
penyair telah menyerah terhadap ujian yang diberikan kepadanya. Hal itu
sebenarnya kesalahan dari penyair sendiri yang tidak mampu menggunakan
waktunya dengan baik, padahal waktu yang telah berlalu tidak akan pernah
terjadi. Jika penyair menginginkan kebahagiaan seperti yang telah diangankan,
maka menjadi keharusan bagi penyair untuk merubah hidupnya menjadi lebih
baik.
Adapun aspek romantisme yang terdapat dalam syair ar-riha>n adalah
bentuk angan-angan si penyair terhadap cinta yang dimilikinya pada seorang
wanita yang akan selalu menemaninya dan memberikan kebahagiaan kepada
105
penyair. Deskripsi cinta sejati yang diharapkan oleh penyair adalah adanya
kepercayaan satu sama lain, setia, dan memberikan kasih sayang yang tulus
membuat kebahagiaan yang sempurna bagi dirinya. Cinta bagi seseorang sangat
berarti dan salah satu kebutuhan hidup setiap orang, seperti halnya si penyair yang
mendapat kekuatan karena dorongan dan dukungan dari kekasihnya. Namun,
dalam hubungan cinta antara penyair dengan kekasihnya terdapat masalah yang
menyebabkan putus hubungan mereka dan menyebabkan sakit hati karena
kepergian kekasihnya.
3.2.3 Syair Ketiga
Syair ketiga berjudul “Ra‘syatun fil-Ufuq”, kata Ra‘syatun merupakan
bentuk mashdar dari ra‘isya- yar‘asyu yang memiliki arti gemetar, gigil, yang
penakut (Mu‘jam Al-wasi>th, 2004:354, Munawwir, 1997: 509). Dengan
demikian, ra‘syatun berarti penakut dan fil-ufuq merupakan keterangan yang
berupa susunan dari harf jarr dan ism majru>r. Judul tersebut merupakan judul
besar dari antologi syair dari Achmad Sweilem dan menjadi inti pembahasan dari
syair-syair yang lainnya.
Ra‘syatun fil-ufuq‟penakut di cakrawala‟ merupakan judul yang diambil
oleh penyair dengan menyesuaikan isi dari syair tersebut. Bait tersebut
menunjukkan bahwa penyair mengungkapkan dirinya adalah seorang penakut dan
cakrawala diartikan sebagai kaki langit, tepi langit (KBBI, 2008: 254). Kalimat
tersebut menggambarkan keadaan dari penyair yang sedang merasa ketakutan dan
cakrawala tersebut merupakan penggambaran tempat bahwa penyair ketakutan
dan menyendiri di suatu tempat yang sepi dari orang-orang.
106
Pada bait pertama, mundzu an ka>na farkhan „sejak menjadi seekor anak
burung‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h. Tasybi>h adalah penjelasan bahwa
suatu hal atau atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal lain (Ja>rim,
2007:25) . Adapun musyabbah-nya terletak pada kata farkhan „anak burung‟ dan
musyabbah bih-nya berupa jumlah fi‘liyah yaitu pada an ka>na „dia menjadi‟.
Subjek “dia” merupakan sebuah dhami>r musytatir yang merujuk pada penyair.
Frasa anak burung dimaknai ketika penyair masih berada dalam kebahagiaan yang
selalu mengelilinginya di setiap langkahnya.
Bait kedua, yudats-tsiruhu al-‘usy-syu... „dia terlindung di dalam
sangkar...‟. Kalimat tersebut menunjukkan sebuah perlindungan dan pertahanan
diri. Kata sangkar adalah kurungan, bersarang: burung (KBBI, 2008:1263)
sehingga sangkar menjadi salah satu sarana perlindungan diri seekor burung dari
sesuatu yang membahayakan dirinya. Perlindungan tersebut adalah sesuatu yang
masih diperlukan ketika seseorang masih di usia muda, seperti halnya seorang
anak kecil yang masih berlindung pada kedua orang tuanya ketika ada salah satu
teman yang mengganggunya.
Bait ketiga, qadda min al-qasy-syu ahrufahu wa kasa>ha> min ath-thi>ni
„membangun tempat berlindung dari jerami dan menutupinya dengan tanah‟.
Kalimat tersebut menunjukkan penjelasan dari bait kedua tentang tempat
perlindungan. Tempat perlindungan yang diungkapkan dalam syair tersebut yaitu
dibuat dari jerami yang ditutupi dengan tanah. Maksud dari ungkapan tersebut
adalah anak burung tersebut benar-benar takut pada hal-hal yang buruk akan
terjadi menimpa dirinya. Gambaran yang ada pada syair tersebut bahwa sarang
yang dibuat dari jerami ditutup dengan tanah, hal itu menunjukkan bahwa penyair
107
sungguh-sungguh sedang merasa sedang ketakutan terhadap sesuatu. Ketakutan
tersebut membuatnya bersembunyi dan menyendiri di dalam tempat
perlindungannya. Berdasarkan teori yang berkaitan dengan kecemasan
menjelaskan bahwa kecemasan melambangkan emosi menyakitkan yang
bertindak sebagai sinyal adanya bahaya datang mengancam ego (Freud dalam
Daniel dan Lawrence, 2011: 109-110). Hal tersebut berkaitan dengan suatu
pengalaman masa lalu yang menyebabkan penyair trauma dan menyebabkan luka.
Bait keempat, fanthalaqat fi> al-fadha>'i mana>ran „tiba-tiba terurailah cahaya
di angkasa‟ menunjukkan bahwa cahaya tersebut menunjukkan kejadian alam
yang memunculkan kilatan cahaya sesaat yang menyilaukan ketika hujan akan
turun (id.wikipedia.org).
Bait kelima, wa asy-‘alat al-ghaima na>ran „yang menjadikan mendung
bernyalakan api‟, kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) pada cahaya yang
melakukan suatu aktivitas yaitu menjadikan mendung bernyala api, isti‘a>rah
adalah tasybi>h yang dibuang salah satu dari dua syarat khususnya (musyabbah
atau musyabbah bih) (Ja>rim, 2007: 83). Gambaran dari kalimat “mendung
bernyalakan api” merupakan tanda bahaya yang akan dialami oleh penyair.
Mendung adalah awan berwarna kelabu yang mengandung hujan, sedangkan api
adalah panas dan cahaya berasal dari sesuatu yang terbakar (KBBI, 2008:939, 84).
Pada dasarnya jika ada petir maka langit dalam keadaan mendung dan akan turun
hujan. Petir adalah pelepasan muatan listrik di awan, adanya energi pelepasan
tersebut menyebabkan adanya rentetan cahaya, panas dan bunyi yang sangat kuat
dan ketiga hal tersebut dapat menyebabkan beberapa musibah di dunia (hilang-
muncul.blogspot.co.id). Maka dari itu dengan gambaran tersebut menunjukkan
108
bahwa bukan hujan yang turun dari langit, akan tetapi awan mendung yang
terdapat kilatan besar yang mampu menghancurkan segala sesuatu (bahaya atau
musibah).
Pada bait keenam, fa'asqathat asy-syuhubu tucharriqu ‘usyba al-jada>wili
„menjatuhkan meteor-meteor yang membakar rerumputan tepian anak sungai‟.
Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu menganggap cahaya dan
meteor dapat melakukan suatu akivitas “menjatuhkan” dan “membakar”. Cahaya
yang menjadi subjek dalam penggambaran ini tidak hanya dapat membuat
mendung bernyalakan api, namun juga dapat menjatuhkan meteor-metor yang
dapat membakar rerumputan di tepian sungai. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bahaya benar-benar menimpa penyair pada saat itu. Adapun rerumputan anak
sungai adalah lingkungan tempat dia berlindung dan hidup, namun semua terbakar
oleh meteor-meteor yang jatuh di tempat itu. Tidak hanya tepian anak sungai saja
akan tetapi sungai tersebut juga tercemar dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Peristiwa yang terjadi merupakan masalah yang menimpa dirinya disaat dia
merasa ketakutan. Makna yang dimaksudkan adalah meskipun penyair merasakan
kesendirian dan ketakutan, dia tidak akan pernah terlepas dari suatu masalah
ataupun ujian.
Pada bait keempat, kelima, dan keenam merupakan bentuk ancaman
bahaya yang terjadi menimpa penyair, sehingga membuatnya takut dan berdiam
diri suatu tempat yang sepi tanpa adanya seseorang yang menemaninya.
Kemudian pada bait setelahnya dijelaskan sebuah pertahanan yang harus
dilakukan oleh penyair. Pertahanan diri sangat diperlukan untuk menghilangkan
pikiran yang dapat memunculkan kecemasan. Adapun cara yang digunakan yaitu
109
dengan mengubah realitas dan meniadakan perasaan dari kesadaran yang akan
membuat kita tidak akan merasa cemas maupun takut (Freud dalam Daniel dan
Lawrence, 2013:110).
Bait ketujuh, ka>na ‘alaihi yuqi>mu as-sudu>da wa yachtazinu al-ma>'a
„sebenarnya dia harus membangun bendungan untuk menyimpan air‟. Kalimat
tersebut menunjukkan suatu anjuran kepada anak burung agar membangun
bendungan untuk menyimpan air. Air merupakan sumber kehidupan manusia, air
memiliki fungsi yang baik bagi tubuh. Air yang tersimpan dalam bendungan
tersebut merupakan sebuah sarana baginya untuk bertahan hidup. Bendungan
adalah penampungan air (KBBI, 2008: 175). Bendungan tersebut sangat
diperlukan bagi manusia sebagai persediaan air jika ada hal yang menyebabkan
air itu habis. Makna yang ada pada bait tersebut adalah seharusnya penyair tidak
hanya berdiam diri saja, akan tetapi dia harus selalu bekerja keras untuk memiliki
bekal pengalaman agar dapat menyelesaikan masalah, seperti peristiwa yang
pernah dialaminya. Pengalaman yang didapatkan oleh penyair akan memberikan
jaminan kehidupan yang lebih baik.
Pada bait kedelapan, chatta> zama>ni jifa>fi al-chawa>shili „hingga datang
masa paceklik‟. Kalimat tersebut menunjukkan salah satu masa sulit yang akan
dialami oleh si penyair. Digambarkan dengan masa paceklik karena masa tersebut
merupakan keadaan yang sangat sulit. Paceklik adalah masa kekurangan bahan
makanan (KBBI, 2008: 1027). Oleh karena itu, hubungan bait tersebut dengan
bait sebelumnya adalah bekal pengalaman yang telah diperoleh oleh penyair dapat
membantunya dalam menyelesaikan masalah ketika dia mendapatkan kesulitan.
Akan tetapi, pada keadaan seperti itu juga diperlukan kekuatan untuk dapat
110
bertahan hidup. Adapun maksud dari bait tersebut yaitu penyair harus memiliki
persiapan kebutuhan yang cukup untuk menghadapi masa sulit yang akan datang
agar penyair tidak akan pernah merasa kekurangan dan menderita.
Bait kesembilan, lakinna ‘ashfa ar-riya>chi istab>cha khutha>hu „namun
badai membinasakan langkahnya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora)
pada kata badai yang disamakan dengan sesuatu yang dapat melakukan sebuah
aktivitas “membinasakan”. Badai adalah angin kencang yang menyertai cuaca
buruk (yang datang tiba-tiba) (KBBI, 2008:114). Badai tersebut memiliki dampak
negatif yaitu musibah yang menimpa si penyair. Bait tersebut menujukkan akibat
yang didapat oleh si penyair karena tidak memiliki keberanian dalam menghadapi
suatu tantangan hidupnya. Maka ketika “badai” (permasalahan yang besar)
menimpanya, jika dia tidak mempunyai cara untuk mempertahankan dirinya,
maka semua yang dimilikinya akan hancur. Adapun makna kata “langkah” dalam
bait tersebut adalah gerakan kaki, sikap, tindakan dam perbuatan (KBBI,
2008:810). Langkah tersebut adalah bentuk kehidupan yang dijalani oleh penyair
bersama dengan harapan-harapan yang telah dia tanamkan di dalam hati dan
pikirannya.
Kemudian pada bait kesepuluh, fasyaqqaqa chilmu ath-thufu>lati
„hancurlah impian seorang anak‟. Kalimat tersebut merupakan lanjutan dari bait
sebelumnya yaitu suatu peristiwa datangnya permasalahan besar yang
membinasakan seluruh harapan yang dimilik penyair. Sesuatu yang menjadi
harapan penyair hilang seketika dan mimpi-mimpi yang pernah dibangunnya
semua hancur karena ketidak mampuan penyair dalam menghadapinya.
111
Pada bait kesebelas, lam yabqa minhu siwa> ra‘syata fil-ufuqi „tak ada
yang tersisa selain ketakutan di cakrawala‟. Kallimat tersebut menunjukkan
kondisi dan keadaan dari penyair yang sedang meratapi dirinya. Ratapan tersebut
disebabkan penyair sendiri, karena dia merasa dirinya bukanlah seseorang yang
tidak memiliki kepercayaan diri, tidak memiliki semangat, tidak mengetahui cara
untuk bertahan hidup, dan tidak memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan
dalam kehidupannya. Oleh karena itu, penyair mengungkapkan dirinya adalah
seorang yang pengecut yang hanya bisa berdiam diri tanpa tahu arah jalan
hidupnya. Makna “di cakrawala” sebuah gambaran langit yang tidak memiliki
ujungnya (tidak ada batas), sama halnya dengan arti jangakauan pandang (KBBI,
2008:254), sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa penyair terus-menerus
berdiam diri tanpa berbuat apapun meski terdapat banyak tempat untuk bisa
mendapatkan hal-hal yang baik dan berguna bagi dirinya.
Bait kedua belas, ‘a>riyan yaqifu al-'a>na... la> syamsa tudfi'u>hu „dia berdiri
telanjang kini... tanpa matahari yang menghangatkannya‟. Kalimat tersebut
terdapat isti'a>rah pada kalimat “tanpa matahari yang menghangatkannya”, yaitu
matahari seperti sedang melakukan sesuatu. Matahari memiliki sifat panas dan
dapat memberikan kehangatan pada sesuatu yang ada di dunia. Sedangkan makna
yang terkandung dalam bait tersebut merupakan keadaan penyair bahwa dia kini
merasa dirinya telah kehilangan kepercayaan dirinya dan tidak memiliki
pertahanan diri dalam menghadapi masalahnya. Kalimat tanpa matahari yang
menghangatkannya merupakan sebuah perumpaan terhadap seseorang yang tidak
peduli terhadap dirinya, sehingga penyair merasakan kesepian. Bait ketiga belas,
la> tawaqquda fi> al-qalbi yusy‘iluhu „tanpa hati yang menyalakan api‟. Kalimat
112
tersebut terdapat isti‘a>rah yaitu pada hati yang digambarkan dapat melakukan
sesuatu. Kata api merupakan semangat; perasaan yang menggelora (KBBI, 2008:
84). Bait tersebut merupakan lanjutan penjelasan dari bait sebelumnya bahwa
selain penyair merasakan kesepian, dia juga merasakan tidak ada semangat yang
tumbuh di dalam dirinya. Tidak adanya semangat tersebut menjelaskan bahwa
tidak ada seseorang yang mendorong dan memotivasi untuk mendapatkan
kekuatan terhadap diri penyair. Motivasi sendiri mencakup segala sesuatu yang
merangsang, mendorong, dan mengarahkan tingkah laku, selain itu, motivasi juga
merujuk kepada proses-proses yang akan mengaktifkan dan mengarahkan tingkah
laku (Wilcox dalam Kumalahadi, 2013: 150). Adapun dorongan dapat diperoleh
dari diri sendiri, jika telah memiliki suatu keinginan sudah menjadi tanggung
jawab diri sendiri untuk melakukannya.
Bait keempat belas, ghaimatu an-na>ru kha>midah „cahaya telah padam‟
menujukkan sesuatu yang sia-sia yaitu “harapan”. Suatu harapan yang pernah
muncul di dalam benaknya hanya sebuah impian yang tidak akan pernah bisa
terwujud. Semangat yang tidak pernah muncul dari diri penyair membuat dirinya
pasrah dan berdiam diri tanpa melakukan apapun. Hal tersebut disebabkan karena
kepribadian yang dimiliki oleh penyair. Sama halnya yang diungkapkan oleh
Adolf Heuken S.J. berikut ini.
Kepribadian adalah pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan, serta
kebiasaan seseorang, baik jasmani, mental, rohani, emosional maupun
sosial. Semua ini telah ditata dalam caranya yang khas di bawah berbagai
pengaruh dari luar. Pola initerwujud dalam tingkah lakunya, dalam
usahanya menjadi manusia sebagaimana dikehendakinya (Heuken dalam
Jaenudin, 2012: 117).
Oleh karena itu, harapan ataupun impian tanpa usaha untuk
mendapatkanya hanya akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang
113
dimilikinya. Maka kesuksesan pun tidak akan pernah bisa diraih jika hanya
dengan berdiam diri.
Bait kelima belas, wa huwa ya'ba> ar-rachi>la „dan dia tidak peduli dengan
apa yang telah berlalu‟. Kalimat tersebut menunjukkan sikap penyair yang tidak
peduli dengan hal-hal yang telah terjadi pada dirinya. Orang yang mengabaikan
masa lalunya tanpa mengambil hikmah atau pun pelajaran dari peristiwa tersebut.
Penyair hanya pasrah terhadap dirinya dan merasa bahwa semuanya adalah
takdirnya menjalani hal tersebut. Padahal seharusnya dengan mengambil hikmah
dari kejadian tersebut, penyair dapat mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih
baik. Jika di dalam dirinya memiliki keyakinan bahwa dia mampu menghadapi
semua rintangan tersebut, dirinya akan merasakan kenyaman dan kebahagiaan
dalam hidupnya.
Bait keenam belas dan ketujuh belas, ka>na qad gharasa al-amsi fi>
qadamaihi „kemarin dia telah membenamkan di bawah kakinya‟, intima>'a adh-
dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibah „rusuknya yang kekar ke dalam tanah yang
subur‟. Kedua bait tersebut merupakan saling berkesinambungan dan merupakan
satu kalimat utuh. Selain itu, keduanya merupakan enjambemen. Enjambemen
adalah pemotongan kalimat atau frase di akhir-akhir larik kemudian meletakkan
potongan itu pada awal larik berikutnya (Semi, 1993: 142). Jika kedua bait
tersebut digabungkan menjadi ka>na qad gharasa al-amsi intima>'a adh-dhulu>‘i ila>
ardhihi al-mukhshibati fi> qadamaihi „kemarin dia telah membenamkan rusuknya
yang kekar ke dalam tanah yang subur di bawah kakinya‟. Kalimat tesebut
menceritakan masa lalu penyair ketika dia memiliki suatu harapan yang besar.
Kata “kemarin” menunjukkan sesuatu yang terjadi di masa lampau (dulu).
114
Intima>'a adh-dhulu>‘i „rusuknya yang kekar‟ merupakan isti‘a>rah dan bukanlah
makna yang sebenarnya. Adapun makna lainnya adalah jenis harapan yang besar.
Ar-dhihi al-mukhshibati fi> qadamaihi „ke dalam tanah yang subur di bawah
kakinya‟ menggambarkan suatu keadaan, tanah adalah keadaan bumi di suatu
tempat dan subur adalah sesuatu yang dapat tumbuh dengan baik, hidup dengan
baik (berkembang biak, bertambah maju, besar, kuat, dan sebagainya) (KBBI,
2008: 1433 dan 1380). Berdasarkan kalimat tersebut makna yang terdapat di
dalamnya menjelaskan bahwa dulu penyair pernah memiliki harapan besar
terhadap dirinya. Penyair juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri bahwa
dia mampu mewujudkan harapan tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik di dunia.
Bait kedelapan belas, ka>na qad fajjara al-amsi shamtu al-chasha> „kemarin
telah meledakkan diamnya batu‟. Kalimat tersebut terdapat kina>yah. Kina>yah
adalah lafaz yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya, tetapi
dengan dimaksudkan untuk makna asalnya. Berdasarkan sesuatu yang berada di
balik kina>yah maka dengan kata tersebut merupakan sebuah kata sifat (Ja>rim,
2007: 135). Kata tersebut pada “diamnya batu” yang menjelaskan bahwa setelah
penyair merasa yakin terhadap harapan yang dimilikinya, muncullah semangat
yang membara dari diri penyair. Penggambaran dengan menggunakan “diamnya
batu” menunjukkan betapa besarnya semangat yang dimiliki oleh penyair hingga
batu yang memiliki sifat diam (tidak dapat berbicara) dan sifat yang keras dapat
hancur karena semangat tersebut. Hal tersebut merupakan sesuatu hal yang
dilebih-lebihkan dalam pengungkapannya oleh penyair.
115
Bait kesembilan belas, fi> al-khutha>al-mat‘bah „dalam langkah yang
melelahkan‟. Kalimat tersebut menunjukkan bentuk kerja keras yang dilakukan
oleh penyair terhadap sesuatu yang sedang diinginkannya. Kata “langkah”
memiliki pengertian yaitu gerakan kaki (ke depan, ke belakang, ke kiri, dan ke
kanan) (KBBI, 2008:810). Makna langkah dalam bait tersebut adalah jalan yang
diharus dilalui oleh penyair untuk mendapatkan sesuatu yang telah menjadi tujuan
utamanya.
Bait kedua puluh, marratan alfa al-mauji „ribuan kali gelombang‟
menunjukkan segala sesuatu halangan dan ujian yang dihadapi oleh penyair di
tengah-tengah perjalanan untuk mencapai tujuannya. Kemudian pada bait kedua
puluh satu, wa al-bachru la>yudriku al-'ulfata al-wa>di‘ah „sementara lautan tak
mengerti cinta yang mengucapkan selamat tinggal‟. Kalimat tersebut terdapat
isti‘a>rah (metafora) pada “lautan” dan “cinta” yang disamakan seperti manusia
dalam melakukan sesuatu yaitu “mengerti” dan “mengucapkan”. Lautan
merupakan laut yang sangat luas atau kumpulan sesuatu yang banyak (KBBI,
2008: 824), sehingga berdasarkan pengertian lautan tersebut dapat diketahui
bahwa “lautan” merupakan gambaran dari penyair. Penyair yang terobsesi untuk
mencapai sesuatu yang diinginkannya, menjadikan dirinya tidak peduli dengan
apapun yang berada di sekelilingnya. Seperti halnya tentang cinta penyair, dia
sama sekali tidak peduli dengan sesuatu yang berkaitan dengan perasaan cinta
maupun suatu hubungan dengan seorang perempuan. Hal yang dipikirkan penyair
hanya keinginan dirinya sendiri, dalam hal ini berkaitan dengan ego yang dimiliki
oleh penyair. Ego adalah pengekspresian dan pemuasan keinginan, selain itu ego
akan mengawasi realitas dan menilai apakah ada kesempatan untuk berhasil serta
116
menunda perilaku yang akan mengembangkan strategi yang memungkinkan untuk
mencapai keberhasilan (Freud dalam Daniel dan Lawrence, 2013: 105-106).
Bait kedua puluh dua, zhanna anna jana>chaihi asyri‘atun li ar-riya>chi „dia
sangka kedua sayapnya adalah layar yang berkembang‟. Kalimat tersebut terdapat
tasybi>h muakkad yaitu pada jana>chaihi asyri‘atun li ar-riya>chi „kedua sayapnya
adalah layar yang berkembang‟. Tasybi>h muakkad adalah tasybi>h yang dibuang
ada>t tasybi>h-nya. Adapun musyabbah-nya pada asyri‘atun li ar-riya>chi‟ layar
yang berkembang‟ dan musyabbah bih-nya pada jana>chaihi „kedua sayapnya‟.
Frasa “kedua sayapnya” merupakan gambaran dari kekuatan atau kemampuan
yang dimiliki oleh penyair yang selalu dapat menyelesaikan masalah yang
menimpanya. Maksud bait tersebut menjelaskan bahwa penyair sedang
membanggakan dirinya sendiri karena memiliki kekuatan yang besar dan
kepercayaan diri yang mampu menghancurkan segala rintangan yang datang pada
dirinya.
Bait kedua puluh tiga, wa achrafahu syarniqa>tun li afrakhihi al-qa>dimah
„dan tepiannya adalah kepompong untuk anak-anaknya yang akan lahir‟. Kalimat
tersebut terdapat kina>yah pada achrafahu syarniqa>tun „tepiannya adalah
kepompong‟. Berdasarkan kina>yah pada kalimat tersebut yaitu sama-sama
menjelaskan suatu tempat, tempat yang digunakan penyair untuk menjalankan
kerja kerasnya dan perjuangannya dalam mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya. Tempat yang akan mewujudkan harapannya untuk masa depannya
nanti. Kemudian pada kalimat tersebut terdapat kata kepompong, kepompong
adalah bakal serangga (kupu-kupu) yang berada di stadium kehidupan ketiga
sebelum berubah bentuk menjadi kupu-kupu atau serangga (KBBI, 2008: 693).
117
Maka kepompong merupakan gambaran dari harapan dan keinginan penyair yang
masih berada di dalam hati dan pikirannya yang belum terwujud. Kalimat
afrakhihi al-qa>dimah „anak-anaknya yang akan lahir‟ merupakan gambaran wujud
dari harapan yang dicapai oleh penyair (hasil kerja keras penyair), karena harapan
yang telah terwujud dapat memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup seperti
halnya kepompong yang berubah menjadi kupu-kupu yang indah.
Bait kedua puluh empat, wa ma> ittakhadza al-amsi chasanan „dia tidak
menganggap masa lalu sebagai perlindungan‟. Kalimat tersebut menunjukkan
suatu kelemahan yang dimiliki oleh penyair dengan tidak menganggap atau tidak
memperdulikan masa lalunya sebagai perlindungan. Masa lalu bukan hanya
sebuah kenangan saja akan tetapi, bisa menjadi bahan motivasi bagi diri sendiri
(dhan7ramadhan.wordpress.com). Maksud dari ungkapan tersebut adalah penyair
telah melupakan segala sesuatu yang telah terjadi di masa lalu, baik itu yang
berkaitan dengan kebahagiaan ataupun kesedihan. Seharusnya masa lalu tidak
begitu saja dilupakan dan tidak diperdulikan, karena masa lalu pasti memiliki
hikmah atau pelajaran yang dapat diambil agar peristiwa yang pernah terjadi tidak
terulang kembali.
Pada bait kedua puluh lima, wa ma> ittakhadza al-ghada chadhanan „dan
tidak menganggap masa depan sebagai jaminan‟. Kalimat tersebut menunjukkan
kelemahan yang dimiliki penyair, bahwa dia tidak memperdulikan masa lalu dan
juga tidak menganggap bahwa masa depan yang akan dijalaninya dapat
memberikan jaminan kebahagiaan untuk dirinya (pasrah). Pasrah sama dengan
menyerah(kan) semuanya (KBBI, 2008: 1030). Penyair menyerahkan semuanya
pada takdir yang ada dalam dirinya. Oleh karena itu, penyair tidak memiliki
118
semangat untuk mencapai apa yang telah dia inginkan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penyair tidak memiliki kepercayaan yang besar pada dirinya sendiri dan
hanya bergantung pada takdirnya. Sebagaimana kehidupan manusia seakan-akan
begitu saja tanpa ada perencanaan dan berakhir saja tanpa ada perhitungan (Mujib
dan Mudzakir, 2001: 246). Maka dari itu, penyair menganggap jika kehidupan
akan berakhir dan semua yang telah diperoleh tidak akan berguna.
Bait kedua puluh enam, faidza> al-bachru yasychadzu anya>bahu „jika
lautan mempertajam taringnya‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h maqlub yaitu
pada “lautan” yang digambarkan melakukan sesuatu. Tasybi>h maqlub adalah
menjadikan musyabbah sebagai musyabbah bih dengan mendakwakan bahwa titik
keserupaannya lebih kuat pada musyabbah (Ja>rim, 2007: 66). Makna yang
terdapat di dalam bait tersebut adalah suatu hal-hal buruk dan musibah yang akan
terjadi, kemudian menghalangi mimpi dan jalannya menuju kebahagiaan.
Pada bait kedua puluh tujuh, wa yufattitu achla>ma mala>chihi „dan
menghancurkan mimpi-mimpi pelaut‟. Kalimat tersebut terdapat tasybi>h dhimmi.
Tasybi>h dhimmi adalah tasybi>h yang kedua tharaf-nya tidak dirangkai dalam
bentuk tasybi>h yang telah dikenal, melainkan keduanya hanya berdampingan
dalam susunan kalimat (Ja>rim, 2007: 52). Kata “pelaut” yang dimaksudkan adalah
penyair yang selalu bemimpi dan berharap. Akan tetapi, jika penyair hanya
membanggakan dirinya sendiri tanpa percaya hal-hal buruk yang datang tiba-tiba,
maka semua yang telah menjadi harapan dan mimpi-mimpinya akan hancur
dengan mudahnya.
Bait kedua puluh delapan, fauqa sya>thi'ihi „di atas tepinya‟. Keterangan
tersebut menunjukkan sebuah tempat penyair sedang berpijak menjalani
119
kehidupannya. Tempat pijakan penyair adalah dunia, dunia merupakan
lingkungan atau lapangan kehidupan (KBBI, 2008: 369). Lingkungan kehidupan
yang digunakan oleh semua manusia dalam bekerja dan beraktivitas. Kemudian
pada bait kedua puluh sembilan, fataghayyama syamu>sun... „matahari menjadi
gelap...‟. kalimat tersebut menunjukkan gambaran suasana di suatu tempat.
Keterkaitan dengan bait sebelumnya yaitu dengan adanya tempat berpijak (dunia),
matahari adalah salah satu pelengkap dari dunia itu sendiri. Lalu berdasarkan
gambaran tersebut menunjukkan suatu suasana di malam hari, dan matahari
sendiri tidak dapat berubah menjadi gelap tapi hanya berganti waktu dengan
munculnya bulan setelah matahari tenggelam.
Bait ketiga puluh, wa yahda'u maujun... „dan ombak menjadi tenang‟.
Kalimat tersebut menunjukkan keadaan suatu tempat yaitu suasana di laut dengan
adanya ombak. Ombak memiliki kaitan erat dengan laut, karena ombak adalah
gerakan air laut yang turun naik atau bergulung-gulung (KBBI, 2008: 1019).
Gerakan ombak yang bergulung-gulung digambarkan bisa menjadi tenang.
Maksud dari kalimat tersebut yaitu setelah keadaan penyair mengalami hari yang
melelahkan karena masalah yang harus dihadapinya. Arti kata lain dari suasana
malam adalah waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit (KBBI,
2008: 897). Berdasarkan arti frasa tersebut, sudah jelas bahwa malam
menggambarkan suasana alam. Bait tersebut masih berkaitan dengan bait yang
sebelumnya pada suasana malam hari. Begitu pula kalimat “ombak menjadi
tenang” merupakan keadaan tenang tanpa gelombang (gangguan), karena malam
hari adalah waktu untuk beristirahat dan melupakan segala sesuatu yang telah
terjadi.
120
Bait ketiga puluh satu, wa yuqbilu lailun yamuddu wa la>'imahu al-qati>lah
„tibalah malam dengan memperpanjang pesta yang membunuh‟ terdapat isti‘a>rah
pada la>'imahu al-qati>lah‟pesta yang membunuh‟ kalimat tersebut menunjukkan
suatu hal yang telah terjadi dan mengganggu ketenangan penyair. Pesta memiliki
arti bersuka ria (KBBI, 2008: 1050), yaitu aktivitas untuk bersenang-senang.
Kemudian makna arti membunuh adalah meghilngkan nyawa, mematikan (KBBI,
2008: 239). Bait tersebut memiliki suasana yang beerbeda antara kata “pesta” dan
“membunuh”, ketika pesta merupakan hal yang menyenangkan dan pembunuhan
adalah hal yang menyedihkan. Oleh karena itu, jika kedua kata tersebut
disandingkan, maka suasana pesta tersebut menjadi musibah yang mengancam.
Jadi, ketika suasana dan keadaan sekitarnya menjadi tenang, penyair sama sekali
tidak memiliki waktu untuk beristirahat dan bersenang-senang meski itu di waktu
malam dan merasakan ketenangan. Hal tersebut disebabkan karena hal-hal buruk
selalu datang mengganggunya, sehingga dia merasa frustasi terhadap keadaannya
saat itu.
Bait ketiga puluh dua, hal ya‘u>du ila> ‘usy-syihi al-farkhu tsa>niyatan
„akankah anak burung itu kembali ke sangkarnya...‟. Kalimat tersebut terdapat
tasybi>h yaitu dengan musyabbah pada kata al-farkhu dan musyaabbah bih pada
penyair itu sendiri. Bait tersebut mengungkapkan sebuah pertanyaan terhadap
anak burung, “apakah anak burung dapat kembali ke dalam sangkarnya?”. Hal ini
menunjukkan dua kemungkinan bahwa bisa saja anak burung tersebut akan
kembali atau tidak akan kembali ke sangkarnya. Maksud dari ungkapan tersebut
adalah tentang kesadaran diri penyair untuk kembali pada jati dirinya sendiri yaitu
mau berusaha dan bekerja keras untuk kebahagiaannya di masa depan. Selain itu,
121
jika penyair tidak menyadari tujuan dari keberadaannya di dunia, maka hal itu
akan menjadi suatu hal yang sia-sia. Kesadaran bagi penyair memiliki arti yang
sangat penting yaitu berfungsi mengadakan penyesuaian hidup terhadap dunia
luar (Gustav dalam Jaenudin, 2012: 71)
Berhubungan dengan bait sebelumnya, pada bait ketiga puluh tiga, am
tawalla>hu ha>dza> ad-dawa>ru al-la‘i>nu... „ataukah angin puting beliung yang
terkutuk ini akan menguasainya‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora)
yaitu dengan menggambarkan angin beliung telah melakukan sesuatu
“menguasai”. Angin puting beliung adalah gerakan udara (angin) yang berpusing,
angin puyuh (KBBI, 2008:69). Sedangkan kata dari terkutuk yang berasal dari
kata kutuk adalah doa atau kata-kata yang dapat menyebabkan kesusahan atau
bencana kepada seseorang (KBBI, 2008: 787). Berdasarkan dari kedua arti kata
tersebut, terdapat penjelasan bahwa angin puting beliung adalah hal yang sangat
dibenci karena dapat membahayakan manusia. Oleh sebab itu, angin tersebut
diungkapkan dengan kata terkutuk. Adapun bait tersebut masih berkaitan dengan
ungkapan sebelumnya yang menunjukkan suatu keburukan atau musibah yang
akan terjadi pada penyair. Hal tersebut dapat terjadi jika penyair tidak segera
menyadari kesalahannya dan tidak mau kembali melakukan sesuatu yang dapat
merubah dirinya menjadi seseorang yang lebih percaya diri.
Bait ketiga puluh empat, hal tadzakkara chi>na khatha> fi> al-wiha>di fata>
„apakah pemuda itu ingat ketika melangkah ke tanah lapang‟. Kalimat tersebut
menunjukkan suatu peristiwa awal mula penyair mulai melangkah menapaki
kehidupannya. Tanah lapang merupakan sebuah gambaran suatu tempat yang
sangat luas, tanah lapang adalah tanah luas yang hanya ditumbuhi rumput (KBBI,
122
2008: 1434). Tanah lapang merupakan salah satu tempat yang dipakai untuk
melakukan segala bentuk aktivitas. Adapun bait tersebut menjelaskan tentang
harapan dan mimpi penyair yang pada saat itu dia melangkah (bekerja keras)
untuk mendapatkan kehidupan yang baik. Hal ini sebagai pengingat bagi penyair
agar dia menyadari masa-masa ketika dia melakukan segala sesuatu.
Digunakannya frasa “tanah lapang” merupakan kesempatan besar yang dimiliki
oleh penyair untuk mendapatkan segala sesuatu yang diharapkan dan
diimpikannya.
Bait ketiga puluh lima, am ra'a> dzikraya>ta ash-shaba>... „ataukah dia
melihat kenangan kanak-kanak...‟. Kalimat tersebut menunjukkan suatu
kemungkinan yang akan dipilih oleh penyair jika dia tidak segera menyadari arti
kehidupannya. Kenangan adalah sesuatu yang membekas dalam ingatan dan
kanak-kanak adalah periode anak masa prasekolah (KBBI, 2008: 685, 629). Jika
digabungkan, kenangan masa kanak-kanak adalah kenangan saat penyair sama
sekali belum merasakan kesulitan dan hanya merasakan kebahagiaan saja.
Kemungkinan yang dapat terjadi adalah penyair hanya dapat mengingat masa-
masa yang telah lampau ketika dia mulai menjalani kehidupannya yang bahagia.
Penyair tidak menginginkan hal yang dapat membuatnya menjadi pribadi yang
lebih baik lagi dan mendapatkan kebahagiaan seperti halnya dia di masa kecil.
Maka dari itu, semua yang pernah terjadi pada dirinya di masa lalu hanya menjadi
kenangan saja tanpa ada pelajaran atau hikmah yang dapat diambilnya.
Bait ketiga puluh enam, qad athallat mura>waghatu baina achja>rin ma>dha>
as-sini>nu „sebuah tipuan tiba-tiba muncul di antara bebatuan bertahun-tahun yang
lalu‟. Kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) pada bebatuan yang
123
merupakan gambaran dari sifat keras kepala penyair. Sifat keras kepala yang
membuat penyair tidak mau membangkitkan kembali kepercayaan dirinya,
sehingga tidak ada kemauan bekerja keras. Pada bait tersebut terdapat kata
“tipuan”, tipuan adalah hasil menipu, hasil menvisualisasikan suatu situasi
menurut cerita yang sedang digarap sehingga tampak kejadian yang sesungguhnya
(KBBI, 2008: 1530). Tipuan yang dimaksudkan adalah keadaan penyair dari
peristiwa yang dialaminya selama ini, karena penyair tidak dapat memahami
keadaannya. Jika penyair tidak mau berusaha dan hanya bisa pasrah, maka dia
akan selalu mendapatkan hal-hal buruk dari semua kejadian yang terjadi. Dia
tidak akan memiliki kebahagiaan yang diinginkannya selama hidup di dunia.
Selama manusia hidup di dunia sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk
memiliki pertahanan diri agar tidak terjebak dengan hal-hal yang dapat
menyengsarakan dirinya. Namun, dalam bait tersebut kejadian buruk terjadi pada
diri penyair karena memiliki sifat keras kepalanya terhadap suatu tindakan yang
diinginkannya. Hal tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun karena penyair
hanya dapat berdiam diri tanpa berusaha.
Bait ketiga puluh tujuh, fanthawa> wajhu tilka al-churu>fi al-latiy tasta‘i>du
al-chani>na... „maka murunglah wajah yang penuh kehangatan itu karena rindu...‟.
kalimat tersebut menunjukkan suatu kesedihan yang dialami oleh penyair
terhadap suatu tindakannya. Kesedihan tersebut digambarkan dengan wajah yang
murung, murung merupakan tidak kelihatan gembira (KBBI, 2008: 986), sehingga
sangat berhubungan sekali dengan raut wajah. Wajah yang penuh kehangatan
merupakan wajah tanpa memiliki masalah dan selalu bahagia yang penuh dengan
senyuman. Pada bait tersebut dimaknai bahwa dulu wajah yang penuh dengan
124
kehangatan dan penuh dengan kebahagiaan menjadi murung karena masalah yang
sedang dihadapinya. Penyair merasa kesulitan dengan hal buruk yang sedang
dialaminya dan murung karena sedang meratapi nasibnya. Pada saat itu penyair
merasakan suatu kerinduan yaitu rindu terhadap kenangan indah di masa lalunya
dengan semangat yang mengiringinya untuk menjalani kehidupannya. Semangat
yang terdapat dalam diri penyair memudahkannya dalam melangkah mencapai
keinginannya, berani untuk berharap dan bermimpi tanpa ada keraguan untuk
mencapainya.
Bait ketiga puluh delapan, innahu al-'a>na yasyqiy bi-chilmi ath-thufu>lah
„sekarang dia tersiksa bersama impian masa kecil‟. Kalimat tersebut menunjukkan
kesengsaraan yang dialami oleh penyair, karena dia terjebak pada kenangan masa
lalunya. Kesengsaraan yang dialami penyair dipengaruhi oleh ego, ego adalah
“bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana yang sistem kerjanya di
dunia luar untuk menilai realita...” (Jaenudin, 2012: 72). Sebaliknya jika penyair
tidak merasakan kesengsaraan, hal itu berkaitan dengan adanya superego.
Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia karena ia merupakan
filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak sesuatu yang dilakukan oleh
dorongan ego (Jaenudin, 2012: 72). Masa-masa ketika penyair berani bermimpi
dan berharap terhadap sesuatu yang terbaik untuk kehidupannya. Harapan yang
disertai kebahagiaan akan memberikan semangat pada diri penyair untuk
mencapai keinginannya. Ketika penyair sedang berada dalam kesulitan, hal
tersebut membuatnya lemah tidak berdaya karena dia merasa tidak mampu
menghadapi segala masalah yang menimpanya. Menghadapi suatu masalah
membutuhkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri bahwa dia mampu
125
menghadapinya. Jika penyair sendiri merasa tidak memiliki kekuatan tersebur
maka semua yang dia impikan hanya akan menjadi sia-sia saja tanpa ada hasil
yang nyata. Oleh karena itu, penyair terjebak pada mimpi-mimpinya yang pernah
dia ciptakan di masa lalunya, karena tidak ada satupun impian dan harapan yang
dicapainya.
Bait ketiga puluh sembilan, yaghrisu> fi> ath-thama> aqda>mahu.. „saat dia
membenamkan kedua telapak kakinya ke dalam lumpur..‟. Kalimat tersebut
tedapat isti‘a>rah (metafora) yaitu pada aqda>mahu‟kedua telapak kakinya‟ yang
menunjukkan makna yang lain pada frasa tersebut. Makna lain yang terdapat pada
frasa tersebut adalah suatu harapan yang dimiliki oleh penyair. Seperti halnya
dengan benih yang di benamkan ke dalam tanah atau ditanam. Telapak kaki
digambarkan sebagai harapan dan cita-cita penyair, sedangkan lumpur adalah
gambaran dari pikiran dan hati. Pikiran sama dengan akal, akal dibagi menjadi
dua yaitu akal dharuri dan akal muktasabah. Muktasabah adalah akal yang baru
mengetahui dengan cara diusahakan, jenis dari muktasabah ada dua yaitu
muktasabah duniawi dan muktasabah ukhrawi. Pada bait ini berkaitan dengan
akal muktasabah duniawi, yaitu akal yang yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan keduniawian (Jaenudin, 2012: 89). Adapun
keterangan “di dalam lumpur” bukanlah makna yang sebenarnya, melainkan
terdapat makna lain yaitu di dalam hati dan pikiran penyair. Jadi, pada bait
tersebut menjelaskan tentang harapan dan impian yang ditanamkan dalam hati dan
pikirannya untuk mencapai tujuan yang diingkannya.
Pada bait keempat puluh, wa al-jada>wilu tunkiruhu... „dan anak sungai pun
mengingkarinya...‟. kalimat tersebut terdapat isti‘a>rah (metafora) yaitu
126
menggambarkan sungai seperti manusia yang dapat mengingkari sesuatu. Sungai
adalah aliran air yang besar (biasanya buatan alam) (KBBI, 2008: 1390). Bait
tersebut masih berkaitan dengan maksud bait sebelumnya. Bait tersebut dijelaskan
bahwa setelah penyair menanamkan suatu harapan dan impian dalam hati dan
pikirannya, penyair merasa bahwa semua yang diharapkannya tidak ada yang
menjadi nyata. Diibaratkan dengan “anak sungai pun mengingkarinya”
menunjukkan bahwa semua yang diharapkan oleh penyair tidak tercapai, karena
penyair tidak mempunyai semangat berjuang untuk berusaha dengan keras
mencapai tujuan yang diinginkannya. Semua harapan tersebut menjadi sia-sia dan
tidak berguna.
Bait keempat puluh satu dan bait keempat puluh dua, lam ya‘ud ma>'uha> al-
ma>'a „airnya tidak lagi air yang dulu‟ dan wa al-usybu...ma>‘a>da ‘usyban... „dan
rumputnya pun tidak sama dengan yang dulu‟. Kedua bait tersebut terdapat
isti'a>rah pada kata al-ma>'u „air‟ dan al-usybu „rumput‟ yang memiliki makna
yanng sebenarnya. Kedua kata tersebut merupakan bentuk gambaran dari waktu-
waktu yang di miliki penyair di masa lalu. Kesempatan-kesempatan yang dimiliki
penyair di masa lalunya telah terbuang dengan sia-sia tanpa ada harapan dan
impiannya yang terwujud. Oleh karena itu, semua kesempatan itu tidak akan
pernah bisa kembali lagi seperti dulu, begitu pula kebahagiaan yang dialaminya
juga telah hilang.
Bait keempat puluh tiga, fakaifa lahu an-yazhilla kama> ka>na „lalu
bagaimanakah dia akan meneduh seperti dulu‟. Kalimat tersebut merupakan
pertanyaan yang ditujukan kepada penyair itu sendiri (bertanya pada dirinya
sendiri). Pertanyaan tersebut berkaitan dengan kondisi yang sedang dialami
127
penyair, sehingga dia bertanya pada diri sendiri “apakah dia dapat kembali seperti
dulu yang bisa bermimpi dan berharap?”. Hal tersebut menunjukkan
ketidakpercayaan penyair kepada dirinya sendiri, sehingga dia mengungkapkan
pertanyaan tersebut. Namun, di dalam diri manusia terdapat jiwa yang merupakan
substansi mandiri untuk melakukan suatu aktivitas dengan menggunakan pikiran
dalam merencanakan sesuatu (Jaenudin, 2012: 96). Maka dari itu, kepercayaan
diri timbul dari jiwa yang memunculkan segala rencana untuk melakukan sesuatu
aktivitas. Kata “meneduh” yang terdapat pada kalimat tersebut adalah
kenyamanan yang dirasakan oleh penyair saat dia memiliki kepercayaan dirinya.
Oleh karena itu, penyair mampu melakukan apapun yang diingankannya dengan
semangat yang tinggi dan hati yang senang. Namun, hal itu hanya menjadi
pertanyaan semata tanpa ada realisasi dari penyair untuk merubah hidupnya.
Bait keempat puluh empat, farkhan yudats-tsiruhu al-‘usy-syu „seperti
anak burung yang terlindung di dalam sangkarnya‟. Kalimat tersebut terdapat
tasybih dhimmi> yang memusatkan musyabbah bih-nya pada farkhan‟anak
burung‟. Anak burung yang dimaksudkan adalah penyair sebagai tokoh utama
dalam bait tersebut. Sedangkan sangkar adalah bersarang (KBBI, 2008: 1263),
maka dengan arti tersebut menunjukkan tampat tinggal dari burung. Bait tersebut
masih berkaitan dengan kalimat sebelumnya yaitu sebagai gambaran tempat
perlindungan dari anak burung yang menjadi tempat berteduh untuknya (sangkar).
Tempat perlindungan yang berfungsi untuk melindungi diri dari segala musibah
dan bahaya yang akan menimpanya.
Bait keempat puluh lima dan bait keempat puluh enam, yaghrisu fi>
qadamaihi intima>'a adh-dhulu>‘i „yang membenamkan rusuknya yang kekar
128
dibawah kakinya‟ dan ila> ardhihi al-mukhshibati „ke dalam tanah yang subur‟.
Kedua bait tersebut merupakan enjambemen dan memiliki keterkaitan bahwa
sama halnya pada penjelasan sebelumnya tentang harapan yang pernah
ditanamkan oleh penyair di dalam hati dan pikirannya. Jika kedua bait tersebut
digabungkan menjadi yaghrisu intima>'a adh-dhulu>‘i ila> ardhihi al-mukhshibati fi>
qadamaihi‟dia (penyair) telah membenamkan rusuknya yang kekar ke dalam
tanah yang subur di bawah kakinya‟. Rusuk adalah tulang-tulang dari tulang
belakang ke tulang dada (KBBI, 2008: 1235). Maka dengan makna rusuk tersebut
menunjukkan bahwa tulang belakang yang tidak pernah tampak dan terlihat
menggambarkan harapan dan mimpi penyair. Harapan dan mimpi tersebut sama
sekali belum terwujud karena masih di dalam benak penyair. Bait keempat puluh
empat, keempat puluh lima, dan keempat puluh enam merupakan repetisi.
Repetisi adalah salah satu usaha penyair untuk menghasilkan penggambaran,
untuk menciptakan sesuatu yang abstrak menjadi konkrit (nyata), serta sesuatu
yang lemah menjadi kuat dan tegas (Semi, 1993: 129). Oleh karena itu, dengan
adanya pengulangan kalimat tersebut menjadi penegasan bahwa penyair sungguh-
sungguh memiliki harapan yang tinggi dalam hidupnya. Frasa pada intima>'a adh-
dhulu>‘i‟rusuknya yang kekar‟ merupakan isti‘a>rah dan bukanlah makna yang
sebenarnya. Makna lainnya adalah jenis harapan yang besar. Ila> ar-dhihi al-
mukhshibati fi> qadamaihi‟ke dalam tanah yang subur di bawah kakinya‟
menggambarkan suatu keadaan, tanah adalah keadaan bumi di suatu tempat dan
subur adalah sesuatu yang dapat tumbuh dengan baik, hidup dengan baik
(berkembang biak, bertambah maju, besar, kuat, dan sebagainya) (KBBI, 2008:
1433 dan 1380).
129
Berdasarkan kalimat tersebut makna yang terdapat di dalamnya
menjelaskan bahwa penyair pernah memiliki harapan besar terhadap dirinya.
Penyair juga memiliki keyakinan dan kepercayaan diri bahwa dia mampu
mewujudkan harapan tersebut untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di
dunia. Namun, ada suatu hal yang menyebabkan harapan tersebut tidak dapat
dicapai oleh penyair karena kesalahan yang dilakukannya.
Kesimpulan dari analisis syair ketiga adalah ketakutan dan ketidak
percayaan diri penyair dalam menghadapi segala bentuk tantangan dan masalah
yang menimpa dirinya. Ketakutan tersebut menjadikannya seorang pengecut yang
tidak memiliki semangat untuk menggapai apa yang menjadi harapannya. Selain
itu, dengan sifat tersebut menunjukkan kepribadian yang tidak suka menonjolkan
diri dan berorientasi pada sasaran memperlihatkan kehebatannya pada kondisi
tertekan dan akan melepaskan hormon stres yang lebih besar ketika dihadapkan
pada berbagai tantangan yang tidak terpecahkan (Friedman dan Schustack dalam
Widyasinta, 2006: 68). Hal tersebut menunjukkan bahwa penyair hanya dapat
berdiam diri meratapi nasibnya yang tidak memiliki keberanian diri dalam
melakukan sesuatu untuk kenyamanan dan kebahagiaan dirinya.
Adapun aspek romantisme dalam syair tersebut adalah ketika penyair
merasa kesepian tanpa ada seseorang yang menyemangati dirinya, sehingga dia
tidak memiliki keberanian melangkah menjalani kehidupannya. Cinta yang
dimiliki oleh penyair merupakan sesuatu yang tabu untuknya, karena penyair
merasa bahwa cinta itu hilang dan tidak lagi peduli pada dirinya. Maka hal itu
pula yang menyebabkan penyair memiliki ketakutan untuk berbuat sesuatu yaitu
takut mengalami kegagalan, seperti hubungan cinta yang pernah dialaminya.