bab ii tinpus c11sil-4

10

Click here to load reader

Upload: sanjaya-jaya-wijaya

Post on 27-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

buku

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Tinpus C11sil-4

4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lamun (Seagrass)

Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut.

Secara sepintas lamun kelihatannya kurang begitu ada artinya, namun

sesungguhnya lamun mempunyai fungsi ekologis yang sangat besar. Dalam suatu

lokasi lamun biasanya terdapat jumlah yang cukup besar dan dapat membentuk

suatu padang lamun (seagrass bed). Padang lamun adalah hamparan vegetasi

lamun yang menutupi area pesisir/laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis

lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation) yang tumbuh sampai

kedalaman yang masih dapat ditembus cahaya matahari serta menerima nutrien

dari darat dan laut itu sendiri (Azkab, 2006). Tumbuhan lamun memiliki struktur

morfologi (Gambar 1) yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji

(Kiswara, 1999).

Gambar 1. Morfologi Lamun (Hemminga dan Duarte, 2000)

Page 2: Bab II Tinpus C11sil-4

5

Lamun diseluruh dunia berjumlah 58 jenis, 20 jenis diantaranya ditemukan di

perairan Asia Tenggara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan

Filipina (Kiswara, 1999). Di Indonesia sendiri dapat ditemukan 12 jenis lamun

seperti yang ditampilkan pada Tabel 1. Di wilayah perairan Pulau Pari ditemukan

4 spesies lamun yaitu Cymodocea rotundata, Enhalus acorides, Halophila ovalis,

dan Thallasia hemprichii (Kiswara, 1992)

Tabel 1. Kekayaan jenis dan sebaran lamun di indonesia

Jenis Sebaran

1 2 3 4 5

Halodule uninervis + + + + +

Halodule pinifolia + + + + +

Cymodocea rotundata + + + + +

Cymodocea serullata + + + - +

Syringodium isoetifolium + + + + +

Thalassodendron ciliatum + + + + +

Enhalus acoroide + + + + +

Halophila decipiens - + - - -

Halophila minor + + + + +

Halophila ovalis + + + + +

Halophila spinulosa + + - - +

Thalassia hemprichii + + + + +

Sumber : Azkab (1999)

Menurut Hartog (1977) dalam Azkab (2006), Lamun mempunyai

beberapa sifat yang menjadikannya mampu bertahan hidup di laut yaitu :

(1). Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir

(2). Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran

terumbu karang

(3). Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung

(4). Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan

Keterangan :

+ = ada

- = tidak ada

1 = Sumatera

2 = Jawa, Bali,

Kalimantan

3 = Sulawesi

4 = Maluku dan Nusa

Tenggara

5 = Irian Jaya

Page 3: Bab II Tinpus C11sil-4

6

(5). Mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur generatif secara

optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air

(6). Mampu hidup di media air asin dengan salinitas (10-40) ‰.

(7). Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik

Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui.

Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat

penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis

penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus yang datang ke

daratan. (Kiswara, 1995). Walaupun lamun di perairan dangkal memiliki peranan

yang penting, namun sebaran lamun dapat mengalami pengurangan akibat

ancaman-ancaman dari alam maupun dari luar. Ancaman yang muncul dari

aktifitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan

jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai

(Supriyadi, 2008).

Parameter untuk mengetahui kondisi lamun secara umum di suatu perairan

dapat dilakukan dengan mengukur beberapa komponen padang lamun seperti

kandungan biomasa, komposisi jenis, persentase tutupan lamun (Kuriandewa

dalam Supriyadi, 2010), kepadatan jenis, kualitas habitatnya (Bjork et al. 1999

dalam Supriyadi, 2010), luas area serta asosiasi flora dan fauna (Short et al. 2004

dalam Supriyadi 2010).

2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun

Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting

untuk mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat

Page 4: Bab II Tinpus C11sil-4

7

dilakukan dengan menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan

jauh (Short et al., 2001). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data

yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah

atau fenomena yang dikaji (Lillesan dan Kiefer, 1990). Penginderaan jauh untuk

lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun tertutupi oleh kolom

perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam air menurun

seiring dengan bertambahnya kedalaman.

Prinsip kerja pendeteksian padang lamun menggunakan citra satelit adalah

dengan memanfaatkan nilai reklektansi langsung yang khas dari tiap objek di

dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Mount (2006) menjelaskan

bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat

direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum

cahaya tampak (400-650 nm) (Gambar 2).

Gambar 2. Ilustrasi pendeteksian substrat dasar dengan citra satelit (Mount, 2006)

Page 5: Bab II Tinpus C11sil-4

8

Gelombang masuk ke kolom air, kemudian diserap dan dipantulkan

kembali oleh permukaan air. Gelombang yang dipantulkan kembali menuju

satelit adalah perwujudan dari ekstraksi sifat bawah permukaan air. Gelombang

ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar (Rasib dan

Hashim, 1997).

Pemetaan lamun pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.

Salah satunya adalah pemetaan lamun di pesisir Pulau Bintan Kepulauan Riau

yang dilakukan oleh Kuriandewa dan Supriyadi (2005). Pemetaan dilakukan

dengan menggunakan 3 band citra satelit Landsat yaitu band 1 (0,45-0,52 μm),

band 2 (0,52-0,60 μm), dan band 3 (0,63-0,69 μm). Ketiga band tersebut dipilih

karena mampu menembus kolom perairan, sedangkan band 4 (0,75-0.90 μm)

digunakan untuk memisahkan area darat dan lautan. Sebelum melakukan analisis

survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised

untuk menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang.

Data lapang yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan / kerapatan,

persen penutupan, biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei

lapang akan dicocokkan dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan

dengan menggunakan klasifikasi Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali

dengan menggunakan software Arc.View 3.2.

Selain itu, pemetaan lamun juga pernah dilakukan di daerah Toli-toli,

Sulawesi Barat. Tujuan penelitian tersebut adalah memetakan informasi secara

spasial sebaran lamun, persentase tutupan lamun dan kondisi lamun dengan

menggunakan citra satelit ASTER. Klasifikasi yang dipilih dalam pengolahan

citra adalah klasifikasi unsupervised karena dengan ditambahnya data lapang yang

Page 6: Bab II Tinpus C11sil-4

9

dimasukkan ke dalam peta hasil klasifikasi maka posisi lamun terpetakan lebih

akurat (Supriyadi, 2010).

Penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga juga banyak

digunakan untuk memetakan subtrat dasar perairan (karang, pasir dan lamun).

Untuk lebih menonjolkan objek dasar perairan dangkal dilakukan penggabungan 2

sinar tampak yaitu band 1 dan band 2, maka akan di dapat citra baru yang

menampakkan dasar perairan dangkal yang lebih informatif. Hasil transformasi

citra tersebut dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan histogram hasil

transformasi

Algoritma Lyzenga atau yang disebut juga depth-invariant index

merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk koreksi kolom perairan.

Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi band sinar tampak citra

satelit. Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana perairan tersebut

merupakan perairan yang jernih. Sebelumnya teknik ini digambarkan untuk

mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggunakan citra Landsat

berdasarkan nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari fungsi linear

reflektansi dasar perairan dan fungsi ekponensial kedalaman air (Lyzenga, 1981).

Parameter yang dibutuhkan untuk algoritma ini adalah rasio koefisien

atenuasi untuk tiap band yang digunakan. Koefisien atenuasi yang berbeda dari

tiap band tergantung pada tipe perairan lokasi perekaman citra satelit. Di perairan

Bahama dengan menggunakan citra satelit Landsat band 1-2 diperoleh nilai rasio

koefisien atenuasi sebesar 0,24. Rasio koefisien atenuasi dari citra satelit SPOT

XS band 1-2 diperoleh sebesar 0,36 (Green et al., 2000).

Page 7: Bab II Tinpus C11sil-4

10

2.3. Satelit ALOS

Advanced Land Observing Satellite merupakan satelit jenis baru yang

dimiliki oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS.

ALOS yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 mempunyai 5 misi utama

yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana

alam, penelitian sumberdaya alam dan pengembangan teknologi (As-syakur dan

Adnyana, 2009).

Citra satelit ALOS memiliki data multispektral dengan resolusi spasial

sebesar 10 m. ALOS memiliki 3 sensor utama yaitu: 1) Panchromatik Remote-

sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) untuk pemetaan elevasi digital

dengan resolusi 2,5 m, 2) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

(AVNIR) untuk observasi penutupan lahan dan memiliki resolusi spasial 10

meter, dan 3) Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

untuk observasi lahan dan dapat digunakan siang dan malam hari, serta pada

segala cuaca (JAXA, 2008). Spesifikasi satelit ALOS ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi satelit ALOS

Tanggal peluncuran 24 Januari 2006

Kendaraan

peluncuran H-IIA

Lokasi peluncuran Pusat Antariksa Tanegashima

Tipe orbit Sun-Synchronous

Waktu orbit 10.30 ± 15 menit

Ketinggian orbit 691.65 km diatas equator

Periode pengulangan 46 hari

Inklinasi 98,16°

Periode orbital 98,7 menit

Band AVNIR-2

band 1 (0,42-0,50 μm)

band 2 (0,52-0,60 μm)

band 3 (0,61-0,69 μm)

band 4 (0,76-0,89 μm)

Sumber : JAXA (2008)

Page 8: Bab II Tinpus C11sil-4

11

Banyak aplikasi citra satelit ALOS untuk pemetaan lahan, hutan dan

daerah pesisir termasuk ekosistem lamun. Citra satelit ALOS mampu

memberikan cakupan yang cukup luas dengan resolusi tinggi sehingga perolehan

datanya mendekati data yang sebenarnya. Penelitian sebelumnya mengenai

pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit ALOS pernah dilakukan oleh

Supriyadi (2008) di daerah Bitung-Manado. Metode yang digunakan yaitu

dengan mengintegrasikan antara hasil analisis data citra satelit ALOS dengan

Sistem Informasi Geografi (SIG). Berdasarkan hasil analisis spasial klasifikasi,

sebaran lamun di daerah Bitung-Manado seluas 6,5 ha yang memiliki tutupan

lamun >75% dan klasifikasi kurang dari 25% mencapai 40,1 ha (Supriyadi, 2008).

Pemetaan lamun pada penelitian sebelumnya menggunakan data Advanced Visible

and Near Infrared Radiometer (AVNIR-2) dari satelit ALOS (Seeni et al., 2008).

2.4 Akurasi

Uji akurasi diperlukan untuk menunjukkan seberapa tepat sebuah citra

diklasifikasikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Perhitungan akurasi

dapat dilakukan dengan membangun matriks kontingensi (Gambar 3). Uji

ketelitian dilakukan dengan membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan

pada setiap bentuk penutupan atau penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra

penginderaan jauh (Short, 1982 dalam Purwadhi, 2001).

Matriks kontingensi merupakan matriks yang disusun untuk menentukan

akurasi seluruhnya (overall accuracy), akurasi pengguna (user’s accuracy) dan

akurasi penghasil (producer’s accuracy). Overall accuracy adalah sebuah metode

pengukuran yang umum digunakan, dihitung dengan membagi titik sample yang

Page 9: Bab II Tinpus C11sil-4

12

benar pada diagonal utama dengan jumlah titik observasi. Producer’s accuracy

adalah kemungkinan seberapa besar suatu data referensi dikelaskan dengan benar.

Producer’s accuracy diperoleh dengan membagi jumlah total titik data yang

terkelaskan dengan benar pada suatu kelas tertentu terhadap jumlah total titik data

referensi pada kelas tersebut. User’s accuracy adalah kemungkinan sebuah pixel

dalam peta mewakili dengan benar kelas pada lapangan. User’s accuracy

diperoleh dengan membagi jumlah titik data yang terkelaskan dengan benar

terhadap jumlah total titik hasil klasifikasi citra.

Pada setiap pengolahan data spasial, tidak terlepas dari error atau

kesalahan. Pada matriks kontingensi terdapat 2 jenis error yaitu omission error

(membuang daerah yang seharusnya termasuk dalam kelas) dan commission error

(memasukkan daerah yang seharusnya dibuang dari kelas). Namun untuk overall

accuracy tidak memperhitungkan omission error dan commission error

(Conglaton dan Green, 2009).

Ketelitian pemetaan dibuat dalam beberapa kelas X yang dapat dihitung

dengan rumus (Short,1982 dalam Purwadhi, 2001) :

pixelXcopixelXopixelXcr

pixelXcrMA

.................................................................(1)

Keterangan : MA = Ketelitian pemetaan (mapping accuracy)

Xcr = Jumlah kelas X yang terkoreksi

Xo = Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi)

Xco= Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)

Page 10: Bab II Tinpus C11sil-4

13

Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (KH) adalah :

pixelsemuaJumlah

kelassemuamurnipixelJumlahKH ................................................................(2)

Tabel 3. Contoh matriks kontingensi (Purwadhi, 2001).

Survei Lapang Hasil Interpretasi

Total Omisi

(Pixel) 1 2 3 4 5 6 7

Laut 468 10 4 0 0 8 0 490 22

Tambak 8 256 4 0 0 2 0 270 14

Sawah 4 2 526 10 2 0 6 550 24

Pemukiman 0 0 4 60 2 0 4 70 10

Jalur jalan 0 2 4 2 22 0 0 30 8

Sungai 2 3 1 0 0 34 0 40 6

Tegalan 0 0 3 3 0 0 44 50 6

Total / OA 482 273 546 75 26 44 54 1500 90

Komisi (Pixel) 14 17 20 15 4 10 10 90

Contoh cara

perhitungan ketelitian

pemetaan (MA) 1422468

468lautuntuk MA

92,9%

Ketelitian hasil

interpretasi

1500

44 34 22 60 526 256 468 94%