bab ii tinjauan umum - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/935/2/bab2.pdf22 unsur subjektif...
TRANSCRIPT
21
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan tentang Tindak Pidana
1. Pengertian dan Istilah
Kata “delik” berasal dari bahasa Latin, yakni delictum. Dalam bahasa
Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit dan dalam bahasa
Belanda disebut delict. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi
batasan sebagai berikut.1
“Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap Undang-Undang atau tindak pidana”.
Adapun pengertian delik menurut pendapat Para Ahli sebagai berikut:
E. Utrecht memakai istilah “peristiwa pidana” karena yang ditinjau
adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.
Tirtaamidjaja menggunakan istilah “pelanggaran pidana” untuk kata
“delik”.
Menurut Satochid Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri
manusia, yaitu berupa:
a. Suatu tindakan.
b. Suatu akibat.
c. Keadaan.
1Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.7
22
Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa:
a. Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan
b. Kesalahan
Menurut Lamintang, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur
subjektif dan unsur objektif. Selanjutnya, Lamintang menyatakan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan
unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,
yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.”
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut:2
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.
3. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut:
1. Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid.
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai
negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai
pengurus suatu perseroan terbatas dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
2Ibid., hlm.11
23
3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.
Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana” untuk kata “delik”.
Menurut beliau kata “tindak” lebih sempit cakupannya daripada “perbuatan”,
tetapi hanya menyatakan keadaan yang konkret.
Jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik komisi (commision act) dan
delik omisi (ommision act). Delik komisi adalah delik yang berupa pelanggaran
terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang, misalnya melakukan
pencurian, penipuan dan pembunuhan. Sedangkan, delik omisi adalah delik yang
berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah
misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan seperti yang
tercantum dalam Pasal 522 KUHP. 3
Perbuatan pidana dibedakan atas perbuatan pidana kesengajaan (delik
dolus) dan kealpaan (delik culpa). Delik dolus adalah delik yang memuat unsur
kesengajaan. Misalnya perbuatan pidana pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP.
Sedangkan, delik culpa adalah delik yang memuat unsur kealpaan. Misalnya Pasal
359 KUHP tentang kealpaan seseorang yang mengakibatkan matinya seseorang.
Perbuatan pidana dibedakan atas perbuatan pidana tunggal dan perbuatan
pidana berganda. Pertama, adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali
perbuatan. Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali
perbuatan, seperti pencurian, penipuan dan pembunuhan.Kedua, adalah delik yang
kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, seperti
3Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 102
24
Pasal 480 KUHP yang menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai
delik penadahan, maka penadahan itu harus dilakukan beberapa kali.
Perbuatan pidana dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik
aduan adalah perbuatan pidana yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada
pengaduan dari pihak yang terkena atau dirugikan. Delik aduan dibedakan dalam
2 (dua) jenis, yaitu: 4
1. Delik aduan absolut.
2. Delik aduan relatif.
Delik aduan absolut adalah delik yang mempersyaratkan secara absolut
adanya pengaduan untuk penuntutannya seperti pencemaran nama baik yang
diatur di dalam Pasal 310 KUHP. Sedangkan, delik aduan relatif adalah delik
yang dilakukan dalam lingkungan keluarga, seperti pencurian dalam keluarga
yang diatur dalam Pasal 367 KUHP. Selanjutnya, delik biasa adalah delik yang
tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya, seperti
pembunuhan, pencurian dan penggelapan.
Terakhir, jenis perbuatan pidana dibedakan atas delik biasa dan delik
yang dikualifikasikan. Delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling
sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan seperti dalam Pasal 362
KUHP tentang pencurian. Sedangkan, delik yang dikualifikasikan adalah
perbuatan pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur
pemberat, sehingga ancaman pidananya menjadi diperberat seperti dalam Pasal
4Ibid., hlm.103
25
363 KUHP dan Pasal 365 KUHP yang merupakan bentuk kualifikasi dari delik
pencurian dalam Pasal 362 KUHP.
2. Melawan Hukum Dalam Perbuatan Pidana
Dalam hukum pidana kedudukan sifat melawan hukum sangat khas.
Umumnya telah terjadi kesepahaman di kalangan Para Ahli Hukum Pidana dalam
melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan perbuatan pidana.
Andi Zainal Abidin mengatakan, bahwa salah satu unsur esensial delik
adalah sifat melawan hukum (wederrechttelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas
atau tidak di dalam suatu pasal Undang-Undang pidana, karena alangkah
janggalnya kalau seseorang dipidana ketika melakukan perbuatan yang tidak
melawan hukum.5 Sementara Roeslan Shaleh mengatakan, mempidana sesuatu
yang tidak melawan hukum tidak ada artinya.6Berdasarkan dua pendapat Ahli
Hukum Pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dapat dikatakan
seseorang melakukan perbuatan pidana, perbuatannya harus bersifat melawan
hukum.
Menurut Schaffmeister, ditambahkannya perkataan “melawan hukum”
sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik yang dimaksudkan untuk
membatasi ruang lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu
perilaku yang secara formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan
5Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007,
sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hlm.144 6 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987,
sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hlm.144
26
delik, namun secara umum sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka
syarat “melawan hukum” dijadikan satu bagian dari rumusan delik.
Konsekuensinya adalah pencantuman “melawan hukum” dalam rumusan delik
menyebabkan Jaksa Penuntut Umum harus membuktikan unsur tersebut.7
Dalam praktik hukum, untuk dapatnya dinyatakan sebagai telah
terwujudnya suatu tindak pidana tertentu yang didakwakan dan dalam rangka
hakim menjatuhkan pidana, setiap unsur yang dicantumkan dalam rumusan tindak
pidana haruslah dimuat dalam surat dakwaan dan harus pula dapat dibuktikan
dalam persidangan termasuk unsur melawan hukum yang dicantumkan. Jika unsur
melawan hukum ini tidak disebutkan dalam rumusan tindak pidana, maka tidak
perlu dimuat dalam dakwaan sehingga tidaklah perlu dibuktikan di sidang
pengadilan.
B. Tinjauan tentang Proses Sistem Peradilan Pidana
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Istilah sistem berasal dari perkataan sistemadalam Bahasa Yunani.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan sistem sebagai seperangkat sistem
yang secara teratur saling berkaitan, susunan yang teratur dari pandangan, teori,
asas, dan sebagainya. Sistem sebagai kesatuan yang terdiri atas unsur yang satu
sama lain berhubungan dan saling mempengaruhi sehingga merupakan
keseluruhan yang utuh dan berarti.8
7Mahrus Ali, op.cit, hlm.144
8Erna Dewi dan Firganefi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Dinamika dan Perkembangan)
Edisi 2, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm.1
27
Usaha menanggulangi kejahatan dalam masyarakat secara operasional
dapat dilakukan dengan menggunakan hukum pidana (Penal) dan non hukum
pidana (Non Penal). Penanggulangan kejahatan melalui sarana penal secara
operasional dilakukan dengan melalui langkah-langkah perumusan norma-norma
hukum pidana baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksana pidana. Perumusan norma hukum pidana yang di dalamnya
mengandung elemen-elemen substantif, struktural dan kultural dari masyarakat
dimana sistem hukum pidana itu diberlakukan. Sistem hukum pidana selanjutnya
akan beroprasi melalui suatu jaringan (network) yang disebut “Sistem Peradilan
Pidana” atau “Criminal Justice System”.
Mardjono Reksodipoerto, memberikan pendapat yang dimaksud dengan
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan
Terpidana.
Menurut Mardjono Reksodipoerto, tujuan Sistem Peradilan Pidana
adalah:9
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah didengartkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kejahatannya.
9Ibid., hlm.10
28
Menurut Romli Atmasasmita, istilah Criminal Justice System atau Sistem
Peradilan Pidana kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme
kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan
sistem.
Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukakan oleh Romli sistem
tersebut mempunyai ciri:10
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan).
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana.
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi
penyelesaian perkara.
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan The
administration of justice.
Sistem peradilan pidana erat hubungannya dengan istilah “Sistem
Penyelenggaraan Peradilan Pidana” atau System of administration of a criminal
justice. Penyelenggaraan menunjukkan pada adanya kegiatan-kegiatan atau
aktivitas-aktivitas lembaga-lembaga tertentu untuk menjalankan atau
menggerakkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban lembaga tersebut, menurut
suatu tata cara atau prosedur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dlam
10
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Pelaksanaannya
Dalam Penegakkan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2011, hlm.34
29
mencapai tujuan tertentu. Berkaitan dengan istilah penyelenggaraan di atas,
terdapat 3 (tiga) unsur pokok yang saling berkaitan yaitu:11
1. Siapa/ apa (lembaga/institusi) yang melakukan penyelenggaraan
peradilan pidana.
2. Apa kewenangan (kompetensi/bidang) kegiatan lembaga penyelenggara.
3. Bagaimana prosedur (tata cara) lembaga dalam melaksanakan
wewenangnya.
2. Proses Pemeriksaan Perkara Pidana di Indonesia
Berbicara mengenai masalah administrasi, maka terdapat dua macam
pengertian administrasi. Pertama, court administration yang dalam hal ini berarti
keadministrasian atau tertib administrasi yang harus dilaksanakan berkaitan
dengan jalannya kasus tindak pidana dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pelaksanaan putusan dalam sistem peradilan pidana. Kedua, adminstration of
justice yang dalam hal ini dapat berarti segala hal yang mencakup tertib hukum
pidana formil dan materiil yang harus dipatuhi dalam proses penanganan perkara
dan tata cara serta praktek litigasi.12
Tahap Pemeriksaan Disidang Pengadilan
Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan ada 3 (tiga) jenis, yaitu:
a. Pemeriksaan di Pengadilan Negeri.
b. Pemeriksaan Tingkat Banding.
c. Pemeriksaan Kasasi.
11
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2016, hlm. 9 12
Ibid., hlm.75
30
Pemeriksaan di Pengadilan Negeri dikenal dengan 3 (tiga) acara
pemeriksaan ialah:13
1. Acara Pemeriksaan Biasa.
Dalam acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata
cara pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan Undang-Undang, dihadiri oleh
Penuntut Umum dan Terdakwa dengan pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut
Umum. Acara pemeriksaan biasa disebut pemeriksaan perkara “dengan surat
dakwaan”.
Pemeriksaan biasa diatur dalam Pasal 152 sampai 182 KUHAP,
dilakukan terhadap perkara kejahatan yang membutuhkan pembuktian dan
penerapan hukum tidak bersifat mudah dan sederhana. Dalam pemeriksaan biasa
ditentukan bahwa sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Tidak dipatuhinya
ketentuan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dengan demikian
prinsip dilakukannya suatu proses hukum yang wajar merupakan dasar
pembatalan putusan demi hukum.
Dalam pemeriksaan biasa dapat dimulai dari saksi-saksi dahulu baru
kemudian terdakwa. Pasal 166 KUHAP memberikan suatu ketentuan yang
menguntungkan dalam pemeriksaan, yaitu tidak dibolehkan mengajukan
pertanyaan yang bersifat menjerat baik kepada terdakwa maupun saksi. Penjelasan
Pasal 166 KUHAP merumuskan tentang hal tersebut sebagai berikut, jika adalah
salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui atau tidak
13
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta,
2012, hlm.422
31
dinyatakan oleh saksi tetapi dengan seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka
pertanyaan demikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat.14
Setelah pemeriksaan selesai penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Selanjutnya, terdakwa atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya.
Terhadap pembelaan tersebut dapat diajukan jawaban oleh penuntut umum,
dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran
terakhir. Jika pemeriksaan telah selesai, hakim ketua menyatakan bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi,
baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya maupun atas
permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberi
alasan. Sidang dibuka dimaksudkan untuk menampung data tambahan sebagai
bahan untuk musyawarah hakim.
Setelah itu hakim mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan.
Apabila perlu musyawarah diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum,
penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang.
2. Acara Pemeriksaan Singkat.
Dalam acara pemeriksaan singkat, kejahatan atau pelanggaran yang
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah, sifatnya sederhana dan
pelimpahan dilakukan tanpa surat dakwaan.
Pemeriksaan singkat oleh KUHAP diatur dalam Pasal 203 dan Pasal 204.
Pemeriksaan singkat adalah pemeriksaan perkara kejahatan atau pelanggaran yang
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Adapun yang menentukan
14
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, op.cit., hlm.111
32
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sederhana adalah penuntut
umum.
Tata cara atau prosedur pemeriksaan sama dengan pemeriksaan biasa
yaitu pertama panggilan dan dakwaan, kedua memutus wewenang mengadili dan
ketiga acara pemeriksaan biasa. Mengenai bagian pembuktian dan putusan tidak
disebut oleh KUHAP. Jaksa dari pemeriksaan di sidang suatu perkara yang
diperiksa dengan acara singkat ternyata sifatnya jelas dan ringan, yang seharusnya
diperiksa dengan acara cepat, maka hakim dengan persetujuan terdakwa dapat
melanjutkan pemeriksaan tersebut.15
Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tanpa bahan, maka
hakim memerintahkan supaya diadakan pemeriksaan dalam waktu paling lama 14
hari (empat belas) hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum
juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan
perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan acara biasa.
3. Acara Pemeriksaan Cepat.
Dalam acara pemeriksaan cepat, diatur dalam Bagian Keenam Bab XVI.
Acara pemeriksaan cepat terbagi dalam dua bentuk diantaranya acara pemeriksaan
tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Pemeriksaan cepat oleh KUHAP diatur dalam Pasal 205 sampai 210.
Adapun pengertian acara pemeriksaan cepat, yaitu mengenai pemeriksaan tindak
pidana ringan dan mengenai pemeriksaan pelanggaran lalu lintas tersebut.
Pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana
15
Ibid., hlm.112
33
penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya
tujuh ribu lima ratus rupiah.16
Hal yang perlu diperhatikan dalam acara cepat adalah bahwa penyidik
atas kuasa penuntut umum dalam waktu 3 (tiga) hari sejak berita acara
pemeriksaan dibuat, mengajukan terdakwa barang bukti, saksi, atau juru bahasa di
sidang pengadilan. Pemeriksaan dilakukan dengan hakim tunggal, putusan
pengadilan acara ini merupakan tingkat terakhir sehingga tidak ada upaya hukum
lain kecuali dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dapat dibanding.
Pemeriksaan menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas ialah
perkara pelanggaran tertentu terhadap Peraturan Perundang-Undangan lalu lintas
jalan raya menurut penjelasan Pasal 211 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a. Mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi,
membahayakan ketertiban atau keamanan lalu lintas atau mungkin
menimbulkan kerusakan pada jalan.
b. Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan
surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan, surat tanda
uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut
ketentuan peraturan perundang - undangan lalu lintas jalan atau ia dapat
memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah daluwarsa.
c. Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor dikemudikan
oleh orang yang tidak memiliki surat izin mengemudi.
d. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang - undangan lalu lintas
jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan, perlengkapan, pemuatan
kendaraan dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain.
e. Membiarkan kendaraan bermotor yang ada dijalan tanpa dilengkapi plat
tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan surat tanda nomor
kendaraan yang bersangkutan.
f. Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas pengatur lalu
lintas jalan dan atau isyarat alat pengatur lalu lintas jalan, rambun -
rambu atau tanda yang ada dipermukaan jalan.
16
Ibid., hlm.113
34
g. Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang diperbolehkan
beroperasi dijalan yang ditentukan.
Berbeda dengan pemeriksaan menurut acara biasa, maka dalam
pemeriksaan menurut acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan,
terdakwa boleh diwakilkan di sidang dengan surat kuasa. Dalam hal putusan
dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan
kemerdekaan, maka terdakwa dapat mengajukan perlawanan dalam waktu tujuh
hari setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa. Dengan
perlawanan maka putusan di luar hadirnya terdakwa menjadi gugur.
Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang
pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa,
pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh
hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.17
Suatu proses pemeriksaan perkara diakhiri dengan suatu putusan akhir
atau vonis. Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang
telah dipertimbangkan dalam putusannya. Putusan pengadilan menurut Pasal 1
butir 11 KUHAP adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka,
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut acara yang diatur dalam Undang-Undang.
Dari perumusan tersebut maka pengertian “pernyataan hakim”
mengandung arti bahwa hakim telah menemukan hukumnya yang menjadi dasar
17
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm.115
35
pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam merumuskan
keputusannya hakim harus mengadakan musyawarah terlebih dahulu, dalam hal
pemeriksaan dilakukan dengan hakim majelis, maka musyawarah harus
berdasarkan hal yang didakwakan dan hal yang telah dibuktikan.
Selain itu, hakim dalam mengeluarkan sebuah putusan harus memenuhi
beberapa syarat formalitas dari suatu putusan hakim. Berdasarkan Pasal 197
KUHAP, surat putusan pemidanaan setidaknya harus memuat:18
a. Kepala putusan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang
Maha Esa”.
b. Nama lengkap, tempat lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi
dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan pasal Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan
meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim, kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualitas dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu jika mengenai barang bukti.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutuskan dan nama panitera.
18
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, op.cit.,hlm.115
36
Tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan di atas, kecuali poin 7 dapat
mengakibatkan putusan batal demi hukum. Akan tetapi, jika dapat dibuktikan
terdapat kekeliruan dalam hal ini menurut penjelasan Pasal 197 ayat (2) dikatakan,
kecuali ketentuan-ketentuan poin 1, 5, 6 dan 8 tidak menyebabkan batalnya
putusan demi hukum, sepanjang kekeliruan tersebut karena penulisan atau
pengetikan.
Musyawarah majelis hakim disusun berdasarkan “fakta dan keadaan”,
yaitu segala apa yang ada dan apa yang ditemukan di sidang oleh pihak dalam
proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, dan penasihat hukum.
Jika putusan telah diucapkan terutama putusan pemidanaan, maka hakim ketua
majelis wajib memberitahukan kepada terpidana apa yang menjadi haknya
berdasarkan Pasal 196 ayat (3), yaitu:19
a. Hak segera menerima atau menolak putusan.
b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu 7 (tujuh) hari
setelah keputusan dijatuhkan atau setelah keputusan diberitahukan
kepada terdakwa yang tidak hadir.
c. Hak meminta penangguhan melaksanakan putusan dalam waktu yang
ditentukan menurut Undang-Undang untuk mengajukan grasi, dalam hal
ini menerima putusan.
d. Hak meminta banding dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa
yang tidak hadir.
e. Hak segera mencabut pernyataan menolak putusan dalam waktu selama
perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi.
Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung
pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-
19
Ibid., hlm. 116
37
hal yang meringankan terdakwa. Pengadilan dalam hal menjatuhkan putusan yang
memuat pemidanaan, dapat menentukan salah satu dari macam-macam pidana
yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, yaitu salah satu dari hukuman pokok.
Adapun macam-macam pidana yang dapat dipilih hakim dalam menjatuhkan
putusan pemidanaan adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan
pidana denda.20
Pidana mati adalah salah satu jenis pidana paling tua, setua umat
manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji
oleh para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi
antara yang setuju dengan yang tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu
menghapus pidana mati, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia. Semakin
banyak delik yang diancam dengan pidana mati. Paling tidak delik yang diancam
dengan pidana mati di dalam KUHP ada 9 buah, yaitu sebagai berikut:21
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden).
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan
atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang).
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang).
4. Pasal 124 bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau
menganjurkan huru hara).
5. Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar terhadap Raja atau Presiden atau
Kepala Negara sahabat yang direncanakan atau berakibat maut).
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana).
20
Rusli Muhammad, op.cit., hlm.120 21
Mahrus Ali, op.cit, hlm.195
38
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan luka berat atau mati).
8. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang
mengakibatkan kematian).
9. Pasal 479 k ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2) KUHP (kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/ prasarana penerbangan).
Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut di dalam
sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang tersebut harus
mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar. Pidana
penjara adalah jenis pidana yang dikenal dengan istilah pidana pencabutan
kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara juga dikenal
dengan sebutan pidana pemasyarakatan. Pidana penjara dalam KUHP bervariasi
dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur
hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya terancam dimana ada ancaman pidana
mati (pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).22
Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama,
sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan
kesusilaan, yaitu delik culpa dan delik dolus, seperti Pasal 182 KUHP tentang
perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit sederhana. Kedua
22
Ibid., hlm.196
39
pasal tersebut diancam dengan pidana penjara. Kedua, sebagai custodia simplex,
yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.23
Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam
Pasal 483 dan Pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya,
terdapat pidana penjara pada delik culpa, alternatif dari pada kurungan yang
dalam satu pasal juga terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293
KUHP. Salah satu contoh mengenai pidana kurungan adalah Pasal 369 KUHP.
Pasal tersebut menyatakan bahwa barangsiapa karena salahnya menyebabkan
matinya orang, dipidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun. Demikian halnya dengan Pasal 483 KUHP yang berbunyi bahwa
barangsiapa menerbitkan tulisan atau gambaran yang merupakan perbuatan
pidana diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di dunia dan
bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman Majapahit dikenal sebagai
pidana ganti kerugian. Menurut Andi Hamzah, pidana denda merupakan bentuk
pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua pidana mati.
Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau
kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini, pidana denda adalah satu-satunya
pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.24
23
Ibid., hlm.197 24
Ibid., hlm.198
40
Dalam KUHP pidana denda diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31 KUHP. Pasal 30
dinyatakan:
1. Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen.
2. Jika denda tidak di bayar, lalu di ganti dengan kurungan.
3. Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling
lama enam bulan.
4. Dalam putusan Hakim lamanya kurungan pengganti di tetapkan
demikian: Jika dendanya lima puluh sen atau kurang, di hitung satu hari;
Jika lebih dari lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian
pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen.
5. Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena perbarengan atau
pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka kurungan
pengganti paling lama dapat menjadi delapan bulan.
6. Kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Pasal 31 KUHP dinyatakan:
1. Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan
penggantinya dengan tidak usah menunggu sampai waktu harus
membayar denda itu.
2. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika
membayar dendanya.
3. Pembayaran sebagian dari denda, baik sebelum maupun sesudah mulai
menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari sebagian
kurungan bagian denda yang telah dibayar.
41
Konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54,
yaitu:
1. Pemidanaan bertujuan :25
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
25
Erna Dewi dan Firganefi, op.cit., hlm.13