bab ii tinjauan umum tentang talak a. pengertian …digilib.iain-palangkaraya.ac.id/402/3/bab ii...

32
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK A. Pengertian Talak Talak secara bahasa memiliki pengertian melepas ikatan dan memisahkan. 46 Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisinya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa menurut mazhab Hanafi dan Hambali talak ialah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Secara langsung maksudnya adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan oleh suami. Sedangkan “di masa yang akan datang” maksudnya adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. 47 Kemungkinan talak seperti itu adalah talak yang dijatuhkan dengan syarat. Menurut mazhab Syafi’i talak ialah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. 48 Sedangkan menurut mazhab Maliki talak ialah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. 49 Menurut hemat peneliti dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa secara sederhana talak ialah perbuatan yang menyebabkan putusnya ikatan perkawinan yang dengan itu pula gugurlah kehalalan hubungan antara suami istri. 46 Wahbah az-Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i Jilid 2, alih bahasa; Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, Cet 1, Jakarta: Almahira, 2010, h. 579. Lihat juga; Abu Malik Kamal, Fikih Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, h. 230. 47 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 53. 48 Wahbah az-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7.., h. 343. 49 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5..., h. 53. 26

Upload: dangminh

Post on 07-May-2018

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

26

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK

A. Pengertian Talak

Talak secara bahasa memiliki pengertian melepas ikatan dan

memisahkan.46 Adapun secara istilah para ulama berbeda pendapat dalam

memberikan definisinya. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa menurut

mazhab Hanafi dan Hambali talak ialah pelepasan ikatan perkawinan secara

langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Secara

langsung maksudnya adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung

berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan oleh suami. Sedangkan “di masa

yang akan datang” maksudnya adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda

oleh suatu hal.47 Kemungkinan talak seperti itu adalah talak yang dijatuhkan

dengan syarat. Menurut mazhab Syafi’i talak ialah pelepasan akad nikah dengan

lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.48 Sedangkan menurut mazhab

Maliki talak ialah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan

hubungan suami istri.49

Menurut hemat peneliti dari beberapa definisi di atas dapat dipahami

bahwa secara sederhana talak ialah perbuatan yang menyebabkan putusnya ikatan

perkawinan yang dengan itu pula gugurlah kehalalan hubungan antara suami istri.

46Wahbah az-Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i Jilid 2, alih bahasa; Muhammad Afifi dan

Abdul Hafiz, Cet 1, Jakarta: Almahira, 2010, h. 579. Lihat juga; Abu Malik Kamal, Fikih Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, h. 230.

47Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001, h. 53.

48Wahbah az-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7.., h. 343. 49Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5..., h. 53.

26

27

B. Dasar Hukum Talak

Talak merupakan suatu yang disyariatkan dalam Islam berdasarkan nash-

nash yang terdapat dalam Alquran maunpun Alhadis. Adapun nash-nash di dalam

Alquran dan Alhadis yang menjadi dasar hukum talak yaitu;

1. QS. an-Nisā ayat 20-21

Artinya;

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS. an-Nisā ayat 20-21)50

Secara umum QS. an-Nisā ayat 20 menjelaskan bahwa bila ada seorang

suami menceraikan istrinya dan mengganti dengan istri yang lain, hal itu secara

prinsip boleh saja. Akan tetapi, dia tidak boleh mengambil mahar yang telah dia

berikan kepada istrinya meskipun maharnya dulu banyak sekali. Cara suami untuk

mengambil mahar bisa bermacam-macam. Bisa dengan mengatakan kedustaan

kepada istri atau menzaliminya sehingga dia tidak kuat dan mengembalikan mahar

yang telah diberikan suaminya dulu. Atau dalam kondisi terpaksa (yang dibuat

50Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, Jakarta: Kelompok Gema Insani, 2002, h. 119-120

28

oleh suami) sang istri meminta talak kepada suami. Dalam kondisi apapun sang

suami haram meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada istri. Kecuali

sang istri berbuat zina dan semacamnya.51

Adapun QS. an-Nisā ayat 21 secara umum Allah ingin menyadarkan

orang-orang beriman dengan sebuah pertanyaan: bagaimana kalian tega

mengambil kembali mahar yang telah kalian berikan kepada istri-istri kalian,

padahal kalian sudah saling berhubungan suami istri, tak ada rahasia lagi di antara

kalian, kalian tahu detil tentang dirinya dan dirinya pun begitu? Sungguh tidak

pantas dan tidak dapat dinalar bila kalian mengambil kembali apa yang digunakan

untuk menghalalkan farjinya (mas kawin) dan kalian juga sudah dijanji dengan

janji yang kuat saat kalian mengatakan “Qabiltu nikahaha wa tazwiijaha bi

mahrin kadza wa kadza (telah aku terima nikahnya dan kawinnya dengan mahar

begini dan begini...)”. Maka dengan alasan apapun, suami tidak boleh berbuat

zalim terhadap istri, baik dalam kondisi dipertahankan sebagai istri atau dilepas.52

2. QS. al-Baqarah ayat 229

51At-Thabari, Tafsir ath-Thabari Jilid 6, alih bahasa; Ahmad Affandi, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008, h. 658. 52Ibid., h. 659.

29

Artinya:

Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.53 Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah ayat 229)54

Asbabun nuzul ayat di atas berkaitan dengan seorang laki-laki yang

mentalak istrinya dengan sekehendak hati. Menurut pendapatnya selama rujuk itu

dilakukan dalam masa idah wanita itu tetap bisa menjadi istrinya yang sah,

sekalipun talak telah dijatuhkan seratus kali. Laki-laki itu berkata kepada istrinya

“Demi Allah, aku tidak akan mentalakmu dan kau tetap menjadi istriku, serta aku

tidak akan menggaulimu sama sekali”. Mendengar kata-kata suaminya si istri

bertanya; “Apa yang hendak kamu lakukan?” jawab suaminya; “Aku akan

mentalakmu kemudian di kala waktu idah hampir habis aku kan merujukmu

kembali”. Dengan adanya jawaban yang demikian, wanita itu datang menghadap

Rasulullah Saw untuk menceritakan perkaranya sekaligus meminta fatwa kepada

beliau. Mendengar penuturan wanita itu Rasulullah Saw terdiam sejenak, hingga

kemudian Allah Swt menurunkan ayat ke 229 yang menegaskan bahwa talak itu

53Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khuluk dan penerimaan 'iwadh. Khuluk Yaitu

permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh. 54Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah.., h. 55.

30

hanya dua kali. Setelah itu masih boleh rujuk secara baik atau menceraikannya

dengan baik. Setelah tiga kali, maka tidak boleh dirujuk lagi sebelum wanita itu

dinikahi oleh laki-laki lain dan dikumpuli.55

Menurut para ulama ayat di atas adalah ayat yang menerangkan tentang

kebolehan istri melakukan khuluk. Khuluk merupakan jalan yang diberikan oleh

Allah Swt kepada istri apabila ia ingin bercerai dengan suaminya. As-Syairazi

dalam Al-Muhadzab menyatakan bahwa khuluk itu boleh secara mutlak walaupun

tanpa sebab asalkan kedua suami istri sama-sama rela. Apalagi kalau karena ada

sebab, baik sebab yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai suami;

atau sebab yang syar’i seperti suami tidak shalat atau tidak memberi nafkah.

إذا كرهت املرأة زوجها لقبح منظر أو سوء عشرة وخافت أن ال تؤدي حقه جاز أن فإن خفتم أن ال يقيما حدود اهللا فال جناح { ختالعه على عوض لقوله عز و جل

تكره منه شيئا وتراضيا على اخللع وإن مل] 229: البقرة [ } عليهما فيما افتدت به فإن طنب لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا { من غري سبب جاز لقوله عز و جل

] 4: النساء [ } مريئا Artinya:

Apabila istri tidak menyukai suaminya karena buruk fisik atau perilakunya dan dia kuatir tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh mengajukan gugat cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS al-Baqaran ayat 229. Apabila istri tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat untuk khuluk tanpa sebab maka itupun dibolehkan karena adanya firman Allah dalam QS an-Nisa 4:4.56

55A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Qur’an, Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, Cet 1, 2002, h. 105. 56As-Syairazi, Al-Muhadzab dalam Maktabah Syamilah.

31

3. QS. ath-Thalaq ayat 1-2

Artinya :

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)57 dan hitunglah waktu idah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.58 Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.59 Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (QS. ath-Thalaq ayat 1-2).60

57Maksudnya: istri-istri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. tentang

masa idah lihat surat al-Baqarah ayat 228, 234 dan surat ath-Thalaaq ayat 4. 58Yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini menurut Imam Jalaluddin adalah

perbuatan zina. Lihat; Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain jilid 4, alih bahasa; Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, Cet 8, 2004, h. 2476.

59Suatu hal yang baru maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.

60Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah.., h. 945.

32

Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa

‘Abdul Yazid (Abu Rukanah) metalak istrinya (ummu Rukanah), kemudian ia

menikah lagi dengan seorang wanita Madinah. Istrinya mengadu kepada

Rasulullah Saw dengan berkata: “Ya Rasulullah, tidak akan terjadi hal seperti ini

kecuali karena si rambut pirang.” Ayat ini (ath-Thalaaq: 1) turun berkenaan

dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa kewajiban seorang suami

terhadap istrinya yang ditalak tetap harus ditunaikan sampai habis masa idah, tapi

dilarang tidur bersama.61

As-Shabuni dalam tafsirnya menyebutkan bahwa al-Kalabi berkata sebab

turunnya ayat ini ialah, bahwa Rasulullah Saw marah kepada Hafsah karena Nabi

merahasiakan suatu perkara kepadanya tetapi kemudian ia bocorkan kepada

Aisyah lalu ia ditalak kemudian turun ayat ini.62 As-Suda berkata ayat ini

diturunkan berkenaan dengan kasus Abdullah bin Umar yang mentalak istrinya

dalam keadaan haid. Kemudian ia disuruh oleh Rasulullah Saw merujuknya

kemudian menahannya sampai ia suci dari haidnya lalu haid lagi kemudian suci

lagi. Setelah itu apabila ia hendak mentalaknya maka talaklah ketika dalam

keadaan suci dan belum dicampuri; itulah masa yang oleh Allah diperintahkan

supaya wanita ditalak pada masa itu. Maka sebagian ulama telah mengharamkan

pada suami tidak menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Suami itu harus

mencerainya ketika suci dan suci pula dari perbuatan senggama. Sebab jika telah

terjadi senggama lalu timbul kehamilan maka berarti idahnya menjadi panjang,

61A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Qur’an..., h. 506. 62Imam As-Shabuni, Tafsir As-Shabuni, Surabaya: Bina ilmu, 1987, h. 237.

33

sebab harus menunggu kandungan itu lahir yang menunjukkan berakhirnya idah

tersebut.63

4. QS. ath-Thalaq ayat 6

Artinya;

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya” (QS. ath-Thalaq ayat 6).64

5. Hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dalam Sunan Ibnu Majah

صي د احلم ي بـ ن ع ب ري ا كث ثـن يد حد ل ن الو د الله ب ي بـ د عن ع ن خال د ب ا حمم ثـن حدسول الله صلى ر قال قال ر ن عم د الله ب ار عن عب ث ن د ارب ب صايف عن حم و ال

ىل الله الطالق الل إ غض احل سلم أبـ ه و ي عل اللهArtinya:

Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Ubaid Al Himshi berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari Ubaidullah bin al-Walid alWashshafi dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar

63Ahmad Syarabasyi , Himpunan Fatwa, Surabaya: al-Ikhlas, 1987, h. 333. 64Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah.., h. 949.

34

ia berkata, "Rasulullah Saw bersabda: "Perkara halal yang paling dimurkai Allah adalah talak. (HR Ibnu Majah)65

Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam menerangkan bahwa hadis ini

menunjukan bahwa dalam perkara yang dihalalkan, ada hal-hal yang dibenci

Allah Ta’ala, dan talak merupakan perkara halal yang paling dibenci. Makna

dibenci di sini sebagai bentuk kiasan, yakni tidak ada pahalanya dan tidak

dianggap sebagai bentuk ibadah jika perkara itu dilakukan. Sebagian ulama

memberikan contoh lain tentang perkara halal yang dibenci ini, seperti tidak

mengerjakan salat fardu di masjid secara berjamaah tanpa adanya uzur

(halangan).66

6. Hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dalam Shahih Muslim;

ر أنه م ن ع ع عن اب ن أنس عن ناف ك ب ال ى م أت عل ن حيىي التميمي قال قـر ا حيىي ب ثـن حده ي عل سول الله صلى الله هي حائض يف عهد ر و أته ر لق ام ن ط ر ب م سلم فسأل ع و

ه ي عل سول الله صلى الله ر ه ك فـقال ل سلم عن ذل ه و ي عل سول الله صلى الله اخلطاب رر يض مث تطه ر مث حت ا حىت تطه ركه تـ ي ا مث ل ه اجع ر يـ ل فـ ه ر سلم م إن و د و ع سك بـ أم مث إن شاء

ا النساء لق هل ط جل أن ي عز و ر الله دة اليت أم ك الع ل ت ل أن ميس ف ب لق قـ ط شاء

Artinya;

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya at-Tamimi dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik bin Anas dari Nafi' dari Ibnu Umar bahwa di masa Rasulullah Saw, dia pernah menceraikan istrinya, padahal istrinya sedang haid, lantas Umar bin Khatthab menanyakan kepada Rasulullah Saw mengenai hal itu, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya: "Perintahkanlah dia (Ibnu Umar) untuk kembali (merujuk) kepadanya, kemudian tunggulah sampai dia suci, lalu dia haid kemudian

65Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibn Majah Jilid 1, Dar al-Fikr, tth, h. 633. 66Muhammad Bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam Jilid 3, Jakarta: Darussunah,

2013, h. 13.

35

suci kembali, setelah itu jika dia masih ingin bersamanya, (dia boleh bersamanya) atau jika dia berkehendak, dia boleh menceraikannya sebelum dia menggaulinya, itulah maksud idah yang di perintahkan Allah Azza Wa Jalla dalam menceraikan wanita (HR Muslim)67

Hadis di atas mempunyai asbababul wurud sebagai berikut. Diceritakan

bahwa Ibnu Umar mentalak istrinya dalam keadaan haid di zaman Rasulullah

Saw. Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah Saw tentang kejadian itu. Maka

beliau menjawab: “suruhlah ia merujuknya, hendaklah ia menahan istrinya sampai

bersih, kemudian haid lalu bersih lagi, bila ia mau tahanlah (teruskanlah) dengan

istrinya itu, atau mentalaknya juga bila ia mau hendaknya sebelum di campuri,

idah itulah yang Allah perintahkan bila perempuan-perumpuan itu sudah di

talak.68

Abdullah bin Umar adalah anak kedua dari Umar bin Al-Khattab dan

saudara kandung Hafshah Umm Al-Mu’minin. Abdullah bin Umar termasuk

seorang sahabat yang tekun dan berhati hati dalam meriwayatkan hadis. Ia juga

meriwayatkan hadis sekitar 2.630 buah. Abdullah bin Umar meninggal dunia di

Mekah pada tahun 73 H/693 M dalam usia 87 tahun. Kalau kita melihat

munasabahnya, maka kita akan temukan beberapa hadis yakni sebagai berikut:

م سل م ة ل اي ىف رو ا اوحامال (و اهر ا ط لقه ط ا مث لي ا جعه ر ليـ ف ره او ) م خارى ىف رو لب ى ل ة اخر ييقة ح و ت تطل سب

Artinya:

Dan pada suatu riwayat Imam Muslim: Suruhlah ia merujuknya kemudian mentalaknya dalam keadan bersih atau sedang hamil, dan riwayat lain Imam Bukhari: di hitung sejak jatuhnya talak.69

67Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 10, alih bahasa; Ahmad Khatib, Jakarta:

Pustaka Azzam, 2011, h. 174. 68Muhammad Bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam Jilid 3..., h. 17. 69Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 10..., h. 181.

36

7. Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam Sunan at-Tirmiżi;

اء ن عط دين ع ك الم د ن أر د الرمحن ب ب يل عن ع ع مس ن إ ب ا حامت ثـن ة حد ب ي تـ ا قـ ثـن حدسول الله ة قال قال ر ر يـ اهك عن أيب هر ن م سلم ثالث عن اب ه و ي عل صلى الله

و عيسى هذا حديث ة قال أب الرجع الطالق و هلن جد النكاح و هز جدهن جد و ن أصحاب النيب صلى الله لم م د أهل الع ى هذا عن ل عل م الع حسن غريب و

دين ع ك الم د ن أر يب ب ن حب د الرمحن هو اب عب و عيسى و غريهم قال أب لم و س ه و ي لاهك ن م وسف ب اهك هو عندي ي ن م اب و

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma'il dari Abdurrahman bin Ardak alMadani dari 'Atha` dari Ibnu Mahak dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh dan senda guraunya menjadi sungguh-sungguh; Nikah, talak dan rujuk." Abu Isa berkata; Hadis ini hasan gharib dan menjadi pedoman amal menurut para ulama dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selain mereka. Abu Isa berkata; Abdurrahman adalah Ibnu Habib bin Ardak al- Madani dan Ibnu Mahak menurutku adalah Yusuf bin Mahak.70

Menurut Abu Isa hadis di atas merupakan hadis hasan gharĩb. Yang

dimaksud dengan hadits hasan gharĩb adalah hasan (bagus) secara sanad dan

tidak dikenal/asing (gharĩb) disebabkan karena salah seorang perawinya

meriwayatkan hadits tersebut seorang diri. Terkait dengan hal itu menurut para

ulama selama hadis tersebut memiliki kedudukan hasan maka dapat dijadikan

hujah.71 Oleh karena itu berdasarkan hadis ini jika suami telah mengucapkan kata-

70Muhammad Nashiruddin al-AlBanĩ, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid 1 .., h. 911. 71Syaikh Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, alih bahasa; Mifdhol

Abdurrahman Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, h. 121.

37

kata talak kepada istrinya baik itu karena istri yang meminta (khuluk) ataupun dari

keinginan suami sendiri maka jatuhlah talak atas istrinya.

Ibnu al-Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama dari yang saya ketahui

berijma’ (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah

sama saja (tetap jatuh talak)”.72 Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Orang

yang mentalak dalam keadaan rida, marah, serius maupun bercanda, talaknya

teranggap”.73 Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah menyebutkan bahwa talak

dengan ucapan tegas tidak diperlukan adanya niat. Bahkan talak tersebut jatuh

walau tanpa disertai niat. Tidak ada beda pendapat dalam masalah ini. Karena

yang teranggap di sini adalah ucapan dan itu sudah cukup walau tak ada niat

sedikit pun selama lafazh talaknya tegas (sharih) seperti dalam jual beli, baik

ucapan tadi hanyalah gurauan atau serius.74

Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin rahimahullah

pendapat yang mengatakan jatuhnya talak bagi orang bergurau ada manfaat di

dalamnya. Hal ini akan meredam tingkah laku orang yang sering bercanda. Jika

seseorang tahu bahwa bermain-main dengan talak dan semacamnya bisa

teranggap, tentu ia tidak akan nekat bergurau seperti itu selamanya. Sebagian

ulama ada yang berpendapat tidak teranggapnya talak dari orang yang bercanda.

Pendapat ini lebih akan mengantarkan seseorang untuk bermain-main dengan

ayat-ayat Allah.75

72Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al- Mugni Jilid 10, tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At

Turki dan ‘Abdul Fatah Muhammad Al Halwu,‘Alam Al Kutub, Cet 3, 2006, h. 373. 73Yahya bin Syarf An Nawawi, Al Majmu’Jilid 17, ttp, tth, h. 68. 74Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Al- Mugni.., h.373. 75Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’,

Dar Ibnul Jauzi Jilid 13, Cet 1, 2007, h. 64.

38

C. Rukun dan Syarat dalam Talak

Rukun ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya

talak tersebut bergantung pada ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.

Kemudian pada masing-masing rukun itu ada persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi. Di antara persyaratan itu ada yang menjadi kesepakan ulama dan ada

pula yang masih diperdebatkan. Adapun rukun talak yang menjadi kesepakatan

ulama ada empat yakni suami, istri, sighat talak, dan qasad.76

1. Suami

Suami adalah orang yang memilki hak talak dan yang berhak

menjatuhkannya.77 Adapun syarat sahnya talak yang melekat pada suami ada 3

yakni berakal, balig dan atas kemauan sendiri.78 Ketiga syarat ini memberi

konsekuensi bahwa talak yang dijatuhkan oleh anak kecil, orang gila, dan orang

yang dipaksa tidak sah.

2. Istri

Rukun yang kedua dari talak adalah istri. Hal ini menunjukan bahwa talak

tidaklah sah apabila dijatuhkan pada wanita yang bukan istrinya.79 Adapun yang

menjadi dalil tidak sahnya talak yang dijatuhkan kepada wanita yang bukan

istrinya adalah hadis Nabi Saw yang bersumber dari Amru bin Syu’aib;

ك ا ال ميل يم ف ه ال طالق ل و

76Tim Al-Manar, Fikih Nikah, Bandung: Syamail, 2003, h. 130. 77Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet 3, Jakarta: Kencana, 2008, h. 201. 78Ibid., h. 202. 79Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.., h. 207.

39

Artinya;

Dan tidak ada talak pada sesuatu yang tidak dimilikinya. (HR. at-

Tirmidzi)80

3. Sighat Talak

Jumhur ulama berpendapat bahwa talak terjadi bila suami yang ingin

menceraikan istrinya mengucapkan ucapan tertentu yang menyatakan bahwa

istrinya itu telah lepas dari wilayahnya. Dengan kata lain, apabila suami hanya

berkeinginan atau meniatkan tetapi belum mengucapkan apa-apa, maka belum

terjadi talak. 81 Hal ini berdasrkan hadis Nabi Saw yang berbunyi;

ا ثـن م حد سل ن م اهيم ب ر بـ ا إ ثـن ا هشام حد ثـن ة حد اد ت ن قـ ع ة ار ن زر ىف ب أيب عن أو ة ر يـ ضي هر ر الله ه ن صلى النيب عن ع ه الله ي ل سلم ع ن قال و إ ز الله او ا أميت عن جت ت م ا به حدث أنـفسها ل مل م م ع تكلم أو تـ ة قال تـ اد ت ا قـ ذ لق إ فسه يف ط يس نـ ل ء فـ بشي

Artinya;

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Hisyam Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Zurarah bin Aufa dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi Saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang dikatakan oleh hati mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya." Qatadah berkata."Bila ia menceraikan dengan suara hatinya saja, maka hal itu tidaklah berpengaruh sedikit pun." (Muttafaq ‘alaih)82

Adapun persyaratan yang melekat pada sighat ini sebagimana yang

disebutkan oleh Wahbah az-Zuhailī dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū

sebagai berikut.

80Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid 1.., h. 908. 81Ibid., h. 208. 82Muhammad Bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam Jilid 3.., h. 35.

40

a. Penggunaan lafal talak memiliki makna, yakni dapat dimengerti dan

dipahami baik secara bahasa, tradisi, tulisan, atau dengan isyarat.

b. Orang yang melafalkan talak harus memahami maknanya meskipun dengan

menggunakan bahasa asing. Jadi apabila seseorang mengucapkan talak

dengan bahasa asing secara terang-terangan maka jatuhlah talak darinya.

c. Penyandaran lafal talak kepada istri atau disandarkan kepadanya secara

bahasa. Cara menentukannya ialah dengan salah satu cara penentuan seperti

dari sifat, nama panggilan, atau dengan isyarat dan dhamir. Misalkan ia

berkata, “istriku tertalak” atau ia isyaratkan kepada istrinya dengan ucapan

“kamu ditalak”.

d. Jangan sampai dia merasa ragu pada jumlah talak atau atau lafalnya. Sebab

talak secara terang-terangan tetap terjadi meski dengan lafal yang

disimpangkan, seperti perkataan aku talakh, atau dengan menggunakan

huruf hijaiah tha, lam, dan qaf.83

4. Qasad

Qasad atau kehendak yakni ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh

orang yang mengucapkannya untuk talak bukan untuk yang lain. Oleh karena itu

salah ucap yang tidak dimaksudkan untuk talak dianggap tidak terjadi.84 Menurut

hemat peneliti rukun yang keempat ini sejalan dengan kaidah fikih yang berbunyi;

قاصدها ر مب و األمArtinya:

83Lihat: Wahbah az-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7..., h. 366. 84Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat..., h. 204.

41

“Tiap-tiap perkara itu tergantung dengan maksud dan tujuannya”.85

Meskipun demikian ternyata para ulama mengecualikan apabila talak itu

diucapkan untuk main-main atau senda gurau. Menurut mereka talak seperti itu

tetap terjadi talak. Hal tersebut berdasarkan hadis Nabi Saw yang berbunyi;

ه ... هن جد و الث جد ث ة الرجع الطالق و هلن جد النكاح و ...زArtinya;

Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh-sungguh

dan senda guraunya menjadi sungguh-sungguh; nikah, talak, dan rujuk”86

Empat rukun dan termasuk juga persyaratannya di atas merupakan

kesepakatan jumhur ulama. Selain yang telah peneliti sebutkan ada beberapa

persyaratan-persyaratan yang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Berikut akan peneliti uraikan persyaratan-persyaratan tersebut.

a. Saksi dalam Talak

Mengenai saksi dalam talak, ulama terbagi menjadi dua golongan. Satu

golongan mengatakan bahwa saksi merupakan syarat sahnya talak dan satu

golongan lagi mengatakan bahwa saksi bukan termasuk syarat sahnya talak.

Mereka yang mengatakan bahwa saksi merupakan syarat sahnya talak berpegang

pada surah ath-Thalaq ayat 2 yang berbunyi;

85Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001, h. 39.

Lihat juga; Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, Cet 1, 2002, h. 115. Lihat juga; H. Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Uṣuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: Pt RajaGrafindo Persada, Cet 4, 2002, h. 107.

86Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid 1..., h. 911.

42

Artinya:

Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (QS. ath-Thalaq ayat 2)87

Ayat di atas dipahami oleh sebagian ulama sebagai ayat yang menunjukan

bahwa saksi merupakan syarat sah dari rujuk dan talak. Oleh sebab itu menurut

pendapat ini talak tidak sah kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil dan

berkumpul saat penjatuhan talak.88 Adapun mereka yang mengatakan bahwa saksi

bukanlah syarat sahnya talak memandang bahwa ayat tersebut di atas adalah ayat

tentang kesaksian dalam hal rujuk.89

b. Kondisi Suami Saat Menjatuhkan Talak

Sebagian ulama menyebutkan bahwa saat menjatuhkan talak suami

dituntut dalam keadaan sehat akalnya, tidak dalam paksaan, tidak dalam keadaan

mabuk, dan tidak dalam kondisi marah. Memang para ulama sepakat bahwa sehat

akal dan tidak dalam keadaan dipaksa termasuk dalam syarat sahnya talak. Namun

untuk persyaratan suami tidak boleh dalam keadaan mabuk dan tidak boleh dalam

keadaan marah mereka sedikit berbeda pendapat. Menurut ulama Syafi’iyah

sebagaimana disebutkan dalam Fathul Mu’in apabila suami mabuk karena sebab

yang disengaja, kemudian ia mengucapkan kata-kata talak kepada istrinya maka

87Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah.., h. 945. 88Amru Abdul Mun’in Salim, Fikih Thalaq Berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, alih

bahasa; Futuhal Arifin, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet 1, 2005, h. 44. 89Ibid.

43

jatuhlah talak atas istrinya. Berbeda halnya jika mabuknya tidak disengaja maka

kata-kata talak tersebut tidak dinilai sebagai talak.90 Adapun mengenai suami

tidak boleh dalam keadaan marah Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menyebutkan

bahwa talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan marah adalah tidak sah karena

dilakukan tanpa keinginan orang yang menjatuhkan talak.91 Lebih lanjut Wahbah

az-Zuḥailī menyebutkan bahwa marah yang menyebabkan talak suami tidak

diakui keabsahannya adalah marah yang sampai menyebabkan seseorang tidak

sadar akan ucapannya. Apabila marah tersebut hanya dalam tingkatan biasa saja

maka tetap diakui keabsahannya.

c. Kondisi Istri Saat Terjadinya Talak

Sebagian ulama mensyaratkan bahwa saat suami mengucapkan talak selain

ia harus memperhatikan kondisinya ia juga harus memperhatikan kondisi istrinya.

Menurut Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu Hazm, dan segolongan

Syi’ah Imamiyah talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang dalam

keadaan haid atau dalam keadaan suci namun sudah digauli dihukumkan tidak

berlaku.92 Untuk itu menurut pendapat ini jika suami ingin mentalak istrinya maka

harus menunggu istrinya dalam keadaan suci dan belum digauli.93

D. Macam-macam Talak Menurut Fikih

Talak itu bisa dilakukan dengan berbagai cara dan mempunyai beberapa

dimensi, sehingga dalam mengadakan klasifikasi talak, pembagiannya tergantung

90Zainuddin Bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in, ttp, Al-Harmain, tth, h. 112. 91Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, alih bahasa; Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,

PT Tinta Abadi Gemilang, Cet1, 2013, h. 536. 92Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5..., h. 55. 93Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia; Berlaku bagi Umat Islam, Jakarta: UI

Press, Cet 5, 1986, h. 103.

44

kepada berbagai segi peninjauan. Menurut peneliti pada hakikatnya perceraian

secara garis besar hanya terbagi menjadi 2 (dua) yakni cerai yang inisiatifnya dari

suami yaitu biasa disebut dengan talak dan cerai yang inisiatifnya dari istri yaitu

khuluk dan cerai gugat. Menurut para pakar sendiri pembagian tersebut terdiri dari

beberapa sudut pandang. Di antaranya ada yang membagi perceraian itu dari segi

sesuai atau tidaknya dengan sunnah Nabi, dan dari segi boleh atau tidaknya rujuk

kembali.94 Dengan melihat sesuai atau tidaknya dengan sunnah Nabi, talak itu

ada dua yakni talak sunni dan talak bid’iy.95

Talak sunni adalah talak yang pelaksanaannya di dasarkan pada sunah

Nabi.96 Bentuk talak sunni yang disepakati oleh para ulama adalah talak yang

dijatuhkan oleh suami pada saat istri sedang dalam keadaan suci dari haid dan

belum dikumpuli. Adapun landasan hukum mengenai talak sunni adalah firman

Allah Swt dalam QS ath-Thalaq ayat 1 yang berbunyi;

Artinya;

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).(QS. ath-Thalaq ayat 1).97

Talak bid’iy yaitu talak yang tidak sesuai dengan syariat seperti mentalak

istri yang sedang dalam keadaan haid atau nifas atau di waktu suci tetapi setelah

94Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang prekawinan, Jakarta: Bulan bintang,

Cet 3, 1993, h. 159. 95Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., h 217. 96Ahmad Sarwat, Fiqh Seri Kehidupan Jilid 8, Jakarta: Rumah Fiqh Publising, cet 1,

2011, h. 273. 97Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah..., h. 945.

45

dicampuri.98 Hukum talak bid’iy adalah haram dengan alasan memberi mudarat

kepada istri, karena memperpanjang masa idahnya.99 Adapun yang menjadi dalil

dari talak bid’iy adalah hadis berikut.

سلم ه و ي عل سول الله صلى الله هي حائض يف عهد ر و أته ر لق ام ط ر أنه م ن ع عن ابسول الله فسأل ع ر ه قال ل ك فـ ل سلم عن ذ ه و ي عل سول الله صلى الله ر بن اخلطاب ر م

ر مث يض مث تطه ر مث حت ا حىت تطه ركه تـ ي ا مث ل ه اجع ر يـ ل فـ ه ر سلم م ه و ي عل صلى الله ن شاء إلق أ ط جل أن ي عز و ر الله ك العدة اليت أم ل ل أن ميس فت ب لق قـ ط إن شاء د و ع سك بـ ا م هل

النساء

Artinya;

Dari Ibnu Umar bahwa di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia pernah menceraikan istrinya, padahal istrinya sedang haid, lantas Umar bin Khatthab menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengenai hal itu, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Perintahkanlah dia (Ibnu Umar) untuk kembali (merujuk) kepadanya, kemudian tunggulah sampai dia suci, lalu dia haid kemudian suci kembali, setelah itu jika dia masih ingin bersamanya, (dia boleh bersamanya) atau jika dia berkehendak, dia boleh menceraikannya sebelum dia menggaulinya, itulah maksud idah yang di perintahkan Allah Azza Wa Jalla dalam menceraikan wanita (HR Muslim)100

Walaupun ulama sepakat tentang haramnya mentalak istri dalam keadaan

haid, namun mereka berbeda pendapat apakah talak yang telah dilakukan tersebut

sah. Jumhur ulama berpendapat bahwa talak tersebut sah dengan alasan bahwa

hadis tersebut di atas menyatakan bahwa Ibnu Umar yang menceraikan istrinya

dalam keadaan haid itu disuruh rujuk kepada istrinya. Rujuk itu mengandung arti

98Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3..., h. 558. 99Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia..., h. 218. 100Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 10..., h. 174.

46

bahwa sebelumnya telah terjadi talak.101 Untuk mempertegas argumen yang

menyatakan talak telah jatuh, Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam

menyebutkan bahwa ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Saw-lah yang

menghitung talak tersebut sebagai talak satu. Ad-daraquthni meriwayatkan dari

hadis Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Ishak, semuanya diriwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu

Umar dari Nabi Saw beliau bersabda “itu adalah talak satu”.102

Lebih lanjut Ia memaparkan bahwa dalam riwayat Imam Muslim

disebutkan “Ibnu umar berkata (ketika ditanya oleh seorang penanya), “adapun

jika kamu menceraikannya sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah

Saw telah menyuruhku untuk merujuknya lalu menahannya sampai dia haid sekali

lagi. Sedangkan jika kamu menceraikannya tiga kali (sekaligus), maka kamu telah

berbuat maksiat kepada tuhanmu dalam hal menceraikan istrimu sesuai dengan

yang diperintahkan-Nya kepadamu.” Ucapan Ibnu umar “sesungguhnya

Rasulullah Saw telah menyuruhku untuk merujuknya” bisa pula menunjukan

tentang jatuhnya talak mengingat rujuk merupakan bagian dari terjadinya talak

itu.103

Ditinjau dari segi boleh dan tidaknya suami rujuk dengan istrinya, ulama

fikih membagi talak menjadi dua, yaitu talak rajʽi dan talak bā’in.

Talak rajʽi adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istrinya.

Dalam keadaan ini, suami berhak rujuk dengan istrinya baik disetujui oleh bekas

istrinya maupun tidak disetujui tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu

101Ahmad Sarwat, Fiqh Seri Kehidupan Jilid 8..., h. 274. Lihat juga Syaikh Abdurrahman

bin Nashir As-Sa’di, Syarah Umdatul Ahkam, alih bahasa; Suharlan dan Suratman, Jakarta: Darus Sunah, Cet 1, 2012, h. 760.

102Muhammad Bin Ismail Ash-Shan’ani, Subulus Salam Jilid 3..., h. 17-18. 103 Ibid., h. 18.

47

dilakukan dalam masa idah.104 Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt, dalam

QS. al-Baqarah ayat 229 yaitu;

...

Artinya;

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. al-Baqarah ayat 229)105 Sedangkan talak bā’in yaitu talak yang dijatuhkan suami pada istrinya

dimana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Ulama

fikih membagi talak bā’in menjadi talak bā’in sughra dan talak bā’in kubra.

Talak bā’in sughra adalah talak rajʽi yang telah habis masa idahnya dan talak

yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah dicampuri, dan talak

dengan tebusan (khuluk). Dalam talak seperti ini suami tidak boleh kembali begitu

saja kepada istrinya akan tetapi harus dengan akad nikah dan mahar baru.

Adapaun talak bai’in kubra ialah talak tiga yang dijatuhkan kepada istri. Talak ini

apabila istri ingin kembali pada suaminya maka ia harus menikah terlebih dahulu

dengan laki-laki lain.106

Selain macam-macam talak yang telah peneliti sebutkan di atas dalam

fikih dikenal istilah beberapa istilah talak yakni talak taʽasuf dan talak tebus atau

khuluk.

104Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, alih bahasa; H. Bashri Iba

Ashgary, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet 2, 1996, h. 92. 105Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah.., h. 55. 106Amir Syarifuddin, Garis-Garis Fiqh, Bogor: Kencana, Cet 1, 2003, h. 130.

48

Talak taʽasuf adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri dengan

sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan keadaan istri. Pembahasan mengenai

talak taʽasuf sangatlah jarang ditemui dalam kitab-kitab fikih pada umumnya,

namun Wahbah az-Zuhailī dalam al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū memiliki

pembahasan khusus mengenai jenis talak ini. Wahbah az-Zuḥailī dengan

mengutip perundang-undangan Suriah menyebutkan bahwa talak taʽasuf (talak

sewenang-wenang) dapat menempati 2 kondisi. Pertama adalah talak yang

dijatuhkan oleh suami pada saat ia sakit keras dengan niat apabila meninggal

maka istri tidak mendapat warisan darinya. Kedua adalah talak yang dijatuhkan

tanpa sebab yang dibenarkan syara’ untuk menjatuhkan talak..107

Selanjutnya khuluk yaitu perceraian yang dikehendaki istri karena ia

melihat suami melakukan suatu perbuatan yang tidak diridai Allah, sedangkan

suami sendiri merasa tidak perlu menceraikan istrinya. Oleh karenanya istri dapat

meminta cerai kepada suaminya dengan kompensasi ganti-rugi. Jika suami

menyetujuinya, maka putuslah perkawinan antara keduanya.108 Contohnya suami

berkata “aku menalakmu atau mengkhulukmu dengan tebusan sekian harta” lalu

istri menerima, baik redaksi talak tersebut sharih maupun kinayah.

Jika ada seorang yang wanita membenci suaminya karena keburukan

akhlaknya, ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongannya. dan dia

sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah Swt maka diperbolehkan

baginya mengkhuluk (dengan cara mengganti rugi berupa tebusan untuk menebus

dirinya darinya). Adapun tebusannya adalah dengan menyerahkan kembali

107Lihat Wahbah az-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū Jilid 7.., h. 156. 108Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press,

2008. H. 323.

49

seluruh atau sebagian dari harta kekayaan yang dulu diterima dari suaminya.109

Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt QS. al-Baqarah ayat 229.

...

Artinya;

...Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS al-Baqarah ayat 229).110

Selain ayat di atas yang menjadi dasar khuluk ialah hadis Nabi

Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya yang

berbunyi;

قال ن عباس أنه ة عن اب ة عن عكرم يم ن أيب مت عن أيوب ب س و ي ن قـ ابت ب أة ث ر ت ام جاءابت يف ى ث ل ين ال أعتب ع سول الله إ ا ر ت ي قال سلم فـ ه و ي عل سول الله صلى الله ىل ر إ

ه و ي عل سول الله صلى الله فـقال ر كين ال أطيقه ل ق و ال خل ين و ه د ي دين عل ر تـ سلم فـم ع قالت نـ ه حديقت

Artinya:

Dan dari Ayyub bin Abu Tamimah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata; Istri Tsabit datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi

109A. Rahman I.Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah)..., h. 253. 110Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah.., h. 55

50

wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit atas agama atau pun akhlaknya. Akan tetapi, aku tak kuasa untuk hidup bersamanya." maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kalau begitu, kembalikanlah kebun miliknya." Ia menjawab, "Ya. (HR. Bukhari).111

Tetapi jika tidak ada alasan apapun bagi istri untuk meminta cerai lalu ia

meminta tebusan dari suaminya maka diharamkan baginya bau surga. hal ini

Rasulullah Saw bersabda:

ب ن حر ان ب م ي ا سل ثـن ان حد ب عن ثـو اء ة عن أيب أمس الب ا محاد عن أيوب عن أيب ق حدثـن ا ب القا يف غري م ا ط جه ت زو أة سأل ر ا ام سلم أمي ه و ي عل سول الله صلى الله أس قال قال ر

ائحة اجل ا ر ه يـ ام عل نة فحرArtinya:

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dari Abu Qilabah dari Abu Asma` dari Tsauban, ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: Siapapun wanita yang meminta cerai kepada suaminya bukan karena kesalahan, maka haram baginya bau surga. (HR. Dawud)112

Khuluk dibolehkan menurut para ulama apabila memenuhi syarat-syarat

berikut.

a. Seorang istri meminta kepada suaminya untuk melakukan khuluk, jika

tampak adanya bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak

akan menegakkan hukum Allah Swt.

b. Hendaknya khuluk itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan

penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya.

111Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Jilid 26, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 171. 112Abu Dawud Sulaiman, Sunnan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kitab al-Alaimiyah, 1996, h.

134

51

Jika ia menyakiti istrinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun

darinya.

c. Khuluk itu berasal dan istri dan bukan dan pihak suami. Jika suami yang

merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya, maka suami tidak

berhak mengambil sedikit pun harta dari istrinya.

d. Khuluk sebagai talak bā’in, sehingga suami tidak diperbolehkan

merujuknya kembali, kecuali setelah melalui proses akad nikah yang baru

dengan syarat si istri telah selesai masa idah dan dia mau kembali kepada

suaminya.113

E. Macam-Macam Talak Menurut UU Perkawinan dan KHI

Pada dasarnya istilah talak tidak terlalu dikenal dalam hukum positif.

Istilah yang familiar dalam hukum positif adalah cerai. Menurut Pasal 38 Undang

Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan: Perkawinan dapat putus karena tiga

sebab: kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Perceraian

merupakan jalan untuk memutuskan hubungan perkawinan antara suami istri yang

bukan disebabkan oleh kematian salah satu pihak, akan tetapi didasarkan atas

keinginan dan kehendak para pihak.114 Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal

114 disebutkan bahwa: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena

perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.115

113Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, alih bahasa; M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2011, h. 310. 114Aris Bintania, Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, h.151. 115Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya:

Arloka Surabaya, 1997, h. 106.

52

Perkara perceraian bisa timbul dari pihak suami dan juga bisa dari pihak

istri. Perkara perceraian yang timbul dari pihak suami disebut cerai talak dengan

suami sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon, dan perkara yang diajukan

oleh istri disebut perkara cerai gugat dengan istri sebagai Pengugat dan suami

sebagai Tergugat.116

1. Cerai Talak

Perkawinan dapat putus yang dijelaskan pada Pasal 114 terbagi menjadi

cerai talak dan cerai gugat.117 Berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang

tidak mengenal istilah talak, KHI Pasal 117 menjelaskan yang dimaksud dengan

talak adalah “Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi

salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud

dalam pasal 129, 130, dan 131.”118

Perkara cerai talak merupakan jenis perkara permohonan yang diajukan

oleh suami sebagai Pemohon dan istri sebagai Termohon, suami yang kawin

secara Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada

Pengadilaan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.119

Suatu permohonan cerai talak harus memuat nama, umur, dan tempat

kediaman atau alamat pemohon dan termohon disertai dengan alasan-alasan yang

menjadi dasar cerai talak dan petitum perceraian. Selain itu permohonan mengenai

penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan

116Aris Bintania, Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha..., h.

151. 117Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2006, h. 220. 118Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam.., h.109. 119Aris Bintania, Hukum Acara Pengadilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha..., h.

152.

53

bersamaan dengan permohonan cerai talak dan bisa diajukan sesudah ikrar talak

diucapkan.120

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam memuat aturan-aturan yang

berkenaan dengan pembagian talak. KHI membagi talak kepada talak rajʽi, talak

bā’in sughra, dan talak bā’in kubra sebagimana dalam Pasal 118, 119 dan 120.121

Pasal 118 berbunyi “Talak rajʽi adalah talak satu atau dua, dimana suami berhak

rujuk selama istri dalam massa idah.” Pasal 119 ayat 1 berbunyi; Talak bā’in

sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh melalui akad nikah baru

dengan bekas suaminya meskipun dalam masa idah. Ayat 2 berbunyi; Talak bā’in

sughra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: Talak yang terjadi qabla al-

dukhul. Talak dengan tebusan atau talak khuluk, Talak yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Agama.

Pasal 120 berbunyi;

“Talak bā’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian tejadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa idahnya.” Selain pembagian di atas juga dikenal pembagian talak ditinjau dari waktu

menjatuhkannya ke dalam talak sunni’ dan talak bid’iy. Pasal 121 berbunyi “Talak

sunni” adalah talak yang dibolehkan yaitu talak dijatuhkan terhadap istri yang

sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”. Pasal 122 berbunyi;

“Talak bid’iy adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu

120Ibid., h. 152-153. 121Departemen Agama, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Direktorat

Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998, h. 116-117.

54

istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada

waktu suci tersebut”122

2. Cerai Gugat

Cerai gugat adalah perkawinan yang putus akibat permohonan yang diajukan

oleh istri kepada Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami)

menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud.123

Cerai gugat diatur dalam KHI Pasal 132 ayat (1) dan Pasal 73 UUPA. Pasal 132 ayat

(1) KHI berbunyi;

“Gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal tergugat kecuali istri meninggalkan tempat kediamam bersama tanpa izin suami.”

Pasal 73 UUPA berbunyi; “1.Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukum yang meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.” 2. Dalam hal penggugat tinggal diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. 3. Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat.”

3. Perbedaan Khuluk dengan Cerai Gugat

Kompilasi hukum Islam membedakan cerai gugat dengan khuluk. Namun

demikian ada persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah

keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak istri. Sedangkan perbedaannya

adalah cerai gugat tidak menggunakan uang iwad (uang tebusan) sebagai dasar

122Ibid. 123Departemen Agama, Peta Permasalahan Hukum Tentang Undang-Undang No 7 Tahun

1989, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Intruksi Presiden RI No 1 Tahun 1991, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama, 2004, h. 191.

55

perceraian. Adapun khuluk uang iwad (uang tebusan) menjadi dasar akan

terjadinya khuluk atau perceraian.124

F. Alasan-alasan Melakukan Talak

1. Alasan-alasan Menurut Fikih

Fikih memang tidak mengatur secara khusus tentang alasan untuk boleh

terjadinya talak atau perceraian. Namun setidaknya ada tiga kemungkinan yang

dapat memicu terjadi perceraian dalam kehidupan rumah tangga yaitu;

a. Terjadinya Nusyuz dari pihak istri

Nusyuz berasal dari bahasa Arab yang secara berarti meninggi atau

terangkat. Kalau dikatakan istri nusyuz itu terhadap suami berarti istri

merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa

berkewajiban mematuhi suami. Nusyuz istri diartikan kedurhakan istri

terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan

kepadanya.125

b. Terjadinya Nusyuz dari pihak suami

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena

meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Kemungkinan nusyuz-nya

suami bisa terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk

memenuhi kewajiban pada pihak istri baik nafkah lahir maupun batin.

Penyebab nusyuz suami yaitu menjauhi istri, bersikap kasar, meninggalkan

124Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, h.

307. 125Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indosesia…, h. 190 – 191.

56

untuk menemaninya, mengurangi nafkahnya, atau berbagai beban berat

lainnya bagi istri.126

c. Syiqaq

Kata syiqaq berasal dari kata bahasa Arab, Syiqaqa yang berarti: sisi,

perselisihan, al-khilaf artinya: perpecahan, permusuhan. al-adawah:

pertengkaran atau persengketaan. Dalam bahasa Melayu diterjemahkan

dengan perkelahian. Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini

biasanya dihubungkan kepada suami istri sehingga dapat diartikan

pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat terselesaikan

sendiri oleh keduanya. Syiqaq biasanya terjadi apabila suami istri atau

keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang dipikul masing-masing.127

2. Alasan-alasan Menurut UU Perkawinan dan KHI

Hukum positif atau undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan dan disertai alasan-

alasan yang sesuai undang-undang. Dalam Pasal 39 ayat 2 Undang Undang No. 1

Tahun 1974 menentukan bahwa untuk mengajukan perceraian harus ada cukup

alasan bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Jadi walaupun pada dasar perceraian itu tidak dilarang, namun undang-undang

menentukan seseorang tidak dapat dengan mudah memutuskan ikatan tanpa

adanya alasan yang terdapat dalam penjelasan atas Pasal 39 ayat 2 Undang

Undang Perkawinan dan juga Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.

126Ibid. 127Abdul Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum Indonesia,

Jakarta: Kencana, 2012, h. 304.

57

Disebutkan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian

adalah sebagai berikut.

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, perjudian dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauan.

c. Salah satu mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisian dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.128

Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini diulangi dalam KHI pada pasal 116

dengan rumusan yang sama, dengan menambah dua ayat untuk orang Islam, yaitu:

g. Suami melanggar taklik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan

dalam rumah tangga.129 Hal ini terkait erat dengan misi Undang Undang No.1 Tahun 1974 untuk

mempersulit terjadinya perceraian, sesuai dengan tujuan perkawinan yang

menentukan bahwa perkawinan pada dasarnya untuk selama-lamanya.

128Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No 1 tahun 1974. 129Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.