bab ii tinjauan umum tentang bank, kredit dan … ii.pdfpranata finansial yang melaksanakan...

54
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA 2.1 BANK 2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Bank Sejarah dari terminologi “bank”, ditemukan bahwa kata “bank” berasal dari bahasa Italy “banca”, yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab pada zaman pertengahan, pihak banker Italy yang memberikan pinjaman- pinjaman melakukan usaha tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman pasar. Seiring perkembangan zaman, istilah bank dimaksudkan sebagai suatu jenis pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang, mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan untuk benda-benda berharga, dan membiayai usaha-usaha perusahaan. 41 Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi mengenai Bank, yaitu“usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Dalam kamus lainnya menyebutkan bahwa “bank” diartikan sebagai : 1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan 41 Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern : Buku Kesatu, (Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 13 34

Upload: nguyendien

Post on 22-Jul-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

34

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG BANK, KREDIT DAN

JAMINAN FIDUSIA

2.1 BANK

2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Bank

Sejarah dari terminologi “bank”, ditemukan bahwa kata “bank” berasal dari

bahasa Italy “banca”, yang berarti bence, yaitu suatu bangku tempat duduk. Sebab

pada zaman pertengahan, pihak banker Italy yang memberikan pinjaman-

pinjaman melakukan usaha tersebut dengan duduk di bangku-bangku di halaman

pasar. Seiring perkembangan zaman, istilah bank dimaksudkan sebagai suatu jenis

pranata finansial yang melaksanakan jasa-jasa keuangan yang cukup beraneka

ragam, seperti pinjaman, memberi pinjaman, mengedarkan mata uang,

mengadakan pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat

penyimpanan untuk benda-benda berharga, dan membiayai usaha-usaha

perusahaan.41

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi mengenai Bank,

yaitu“usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di

masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan

peredaran uang”. Dalam kamus lainnya menyebutkan bahwa “bank” diartikan

sebagai :

1. Menerima deposito uang, custody, menerbitkan uang, untuk memberikan

pinjaman dan diskonto, memudahkan penukaran fund-fund tertentu dengan

41

Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern : Buku Kesatu,(Bandung : Citra Aditya

Bakti, Bandung, h. 13

34

35

cek, notes, dan lain-lain, dan juga bank memperoleh keuntungan dengan

meminjamkan uangnya dengan memungut bunga.

2. Perusahaan yang melaksanakan bisnis bank tersebut.

3. Gedung atau kantor tempat dilakukannya transaksi bank atau tempat

beroperasinya perusahaan perbankan.42

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian mengenai bank sebagai

berikut :“Bank is an institution, of great value in commercial world, empowered

to receive deposits of money, to make loans aud to issue its promissory notes

(designed to circulate as money, and commonly called “bank notes” or “bank

bills”) or to perform anyone or more of these functions.”43

Dasar hukum mengenai pemberlakuan sistem hukum perbankan di Indonesia

yaitu bersumber pada tempat ditemukannya hukum dan perundang-undangan

perbankan, yakni hukum positif. Sumber hukum tersebut berupa ketentuan

perbankan yang sedang berlaku pada saat ini. Ketentuan yang secara khusus

mengatur atau yang berkaitan dengan perbankan tersebut dapat ditemukan dalam :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku II tentang Kebendaan dan

Buku III tentang Perikatan.

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

42

ibid, h. 13-14 43

Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, 8th

edition, Thomson West, St. Paul,

Minesota, page 350

36

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan

Sistem Nilai Tukar.

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.44

Dasar hukum pengaturan bank di Indonesia secara lebih spesifik pada

mulanya diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, namun seiring dengan perkembangan zaman maka undang-undang ini

kemudian mengalami perubahan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan). Menurut ketentuan

yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Perbankan menyatakan bahwa :

Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak.

Beberapa pakar hukum memberikan pendapatnya mengenai definisi dari

bank. Hermansyah pada dasarnya menyatakan bahwa bank adalah “badan usaha

yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk

kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”45

R. Tjipto

Adinugroho memberikan pendapat bahwa : “bank adalah lembaga atau badan

yang mempunyai pekerjaan memberikan kredit, menerima kredit berupa simpanan

(deposito) disamping mengenai kiriman uang dan sebagainya.”46

O.P Simorangkir

44

Lukman Santoso AZ., 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Pustaka

Yustisia, Jakarta, h. 25-26 45

Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, edisi revisi, Kencana,

Jakarta, h. 8 46

R. Tjipto Adinugroho, 2000, Perbankan dan Masalah Permodalan Dana Potensial,

Pradnya Paramita, Jakarta, h. 15

37

dalam buku Hukum Perbankan karangan Sentosa Sembiring memberikan

pengertian, bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan yang

bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa. Adapun pemberian kredit itu

dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan

oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru

berupa uang giral.47

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai bank yang telah diuraikan diatas

maka dapat diketahui bahwa usaha bank lebih terarah tidak semata - mata

memutar uang untuk mencari keuntungan perusahaan, tetapi undang - undang

menghendaki agar taraf hidup rakyat dapat ditingkatkan. Hal ini merupakan salah

satu tanggung jawab bank dalam rangka mewujudkan cita – cita negara Indonesia

untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam kehidupan

sehari-hari, bank tidak boleh terlepas dari kegiatan pembangunan. Setiap kegiatan

bank harus berhasil guna, bagi kepentingan masyarakat.

2.1.2 Jenis-Jenis Bank

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang tentang perbankan di

Indonesia hanya ada dua jenis bank, yaitu bank umum dan bank perkreditan

rakyat, dengan variasi adanya bank umum dan bank perkreditan rakyat

berdasarkan prinsip syariah.48

Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 5

UU No. 7 Tahun 1992 adapun jenis-jenis Bank menurut fungsinya terdiri dari :

1. Bank Umum

47

Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, h. 1

48

Gunarto Suhardi, 2003, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Kanisius,

Yogjakarta, h. 26

38

Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional

dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Jenis Bank Berdasarkan kepemilikannya:

a. Bank Umum Milik Negara, yaitu Bank yang hanya dapat didirikan

berdasarkan undang-undang

b. Bank Umum Swasta, yaitu Bank yang didirikan dan menjalankan usaha

oleh golongan pengusaha tertentu setelah mendapatkan izin dari menteri

keuangan.

c. Bank Campuran, yaitu Bank yang didirikan bersama-sama oleh satu atau

lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh WNI

atau badan Hukum Indonesia dengan satu atau lebih yang berkedudukan di

Luar Negeri

d. Bank Pembangunan Daerah, yaitu Bank milik Pemerintah Daerah

e. Bank Syariah, yaitu bank yang menerapkan prinsip perbankan berdasarkan

Syariah Islam.49

Jenis Bank Menurut Kegiatannya:

a. Corporate Bank, adalah bank yang pelayanannya berskala besar

49

http://bankernote.com/jenis-jenis-bank-dan-fungsi-perbankan/, Jenis-Jenis Bank Dan

Fungsi Perbankan, diunduh pada 28 Desember 2014

39

b. Retail Bank, adalah bank yang pelayanannya berskala kecil

c. Retail Corporate Bank, adalah bank yang pelayanan berskala besar dan

kecil

Jenis Bank Menurut Status dan Kedudukannya:

a. Bank Devisa, adalah bank yang dalam kegiatan usahanya dapat melakukan

transaksi dalam valuta asing, baik dalam hal penghimpunan dan

penyaluran dana, serta dalam pemberian jasa-jasa keuangan. Dengan

demikian, bank devisa dapat melayani secara langsung transaksi-transaksi

dalam skala Internasional

b. Bank Non Devisa, adalah bank umum yang masih berstatus non devisa

hanya dapat melayani transaksi-transaksi di dalam negeri (domestik). Bank

umum non devisa dapat meningkatkan statusnya mejadi bank devisa

setelah memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain: volume usaha minimal

mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam

memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam

valuta asing.50

Dengan adanya pembagian jenis bank tersebut terjadilah spesialisasi yang

memungkinkan bank untuk lebih mengenal bidang usahanya, yaitu menunjang

misi pemerintah dalam mendorong perekonomian. Hal ini dapat dikhususkan

untuk membantu orang-orang yang perekonomiannya lemah dan membantu

berbagai kesulitan masyarakat yang terdaftar sebagai nasabah bank itu sendiri.

Begitu pentingnya dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa bank

50

ibid

40

merupakan “nyawa” untuk menggerakkan roda perekonomian suatu Negara.

Anggapan ini tentunya tidak salah, karena fungsi bank adalah sebagai lembaga

keuangan sangatlah vital, misalnya dalam hal penciptaan uang, mengedarkan

uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan

uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainya.51

2.1.3 Fungsi dan Prinsip Kegiatan Usaha Bank

Pasar keuangan memiliki fungsi penting dalam mentransfer sumber daya

perekonomian rumah tangga yang ingin menyimpan sebagian pendapatannya ke

rumah tangga dan perusahaan yang ingin meminjam untuk membeli barang-

barang investasi yang akan digunakan dalam proses produksi. Proses mentransfer

dana dari penabung ke peminjam disebut perantara keuangan (financial

intermediation). Banyak lembaga dalam perekonomian bertindak sebagai

perantara keuangan, tetapi hanya bank yang memilki otoritas hukum untuk

menciptakan aset yang merupakan bagian dari penawaran uang, seperti rekening

cek. Karena itu, bank satu-satunya lembaga keuangan yang secara langsung

mempengaruhi penawaran uang.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 7 Tahun 1992

menyatakan bahwa : “fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai

penghimpun dan penyalur dana masyarakat.” Sedangkan tujuan dari perbankan

Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 4 UU No. 7 Tahun

1992 yaitu : “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan

51

Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, h. 1-2 (selanjutnya disebut Kasmir I)

41

ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat

banyak.”

Fungsi dan peran bank umum dalam perekonomian sangat penting dan

strategis. Bank umum sangat penting dalam hal menopang kekuatan dan

kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Fungsi-fungsi

bank umum seperti yang diuraikan di bawah ini menunjukkan pentingnya

keberadaan bank umum dalam perekonomian modern: (1) penciptaan uang, (2)

mendukung kelancaran mekanisme pembayaran, (3) penghimpunan dana

simpanan, (4) mendukung kelancaran transaksi internasional, (5) penyimpanan

barang-barang dan surat-surat berharga, (6) pemberian jasa-jasa lainnya.

Perbankan nasional mempunyai fungsi dan tujuan dalam kehidupan ekonomi

nasional bangsa Indonesia, yaitu:

1. Bank sebagai financial intermediary dengan kegiatan usaha pokok

menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau pemindahan dana

masyarakat dari unit surplus kepada unit defisit atau pemindahan uang dari

penabung kepada peminjam.52

Fungsi bank sebagai financial intermediary

adalah sebagai perantara penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat

serta memberikan jasa-jasa lainnya dalam lalulintas pembayaran. Dua

fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Bank juga bertindak sebagai perantara atau penghubung antara nasabah

yang satu dan yang lainnya jika keduanya melakukan transaksi. Wujud

52

Gazali, Djoni S., dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 141

42

utama fungsi bank sebagai financial intermediary pada bank-bank swasta

tercermin melalui produk jasa yang dihasilkannya antara lain :

a. Menerima titipan pengiriman uang, baik dalam maupun luar

negeri;

b. Melaksanakan jasa pengamanan barang berharga melalui safe

deposit box;

c. Menghimpun dana melalui giro, tabungan dan deposito;

d. Menyalurkan dana melalui pemberian kredit.

e. Penjamin emisi bagi perusahaan-perusahaan yang akan menjual

sahamnya;

f. Mengadakan transaksi pembayaran dengan luar negeri dalam

bidang trade financing letter of credit.

g. Menjembatani kesenjangan waktu, terutama dalam transaksi valuta

asing dan lalu lintas devisa.53

2. Bank memiliki fungsi sebagai penghimpunan dan penyaluran dana dari

masyarakat tersebut bertujuan menunjang sebagian tugas penyelenggaraan

negara, yakni:

1. Menunjang pembangunan nasional, termasuk pembangunan daerah;

bukan melaksanakan misi pembangunan suatu golongan apabila

perseorangan; jadi perbankan Indonesia diarahkan untuk menjadi agen

pembangunan (agent of development).

2. Dalam rangka mewujudkan trilogi pembangunan nasional, yakni:

53

Ruddy Tri Santoso, 1996, Mengenal Dunia Perbankan, Andy Offset, Yogjakarta, h. 56

43

1) Meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat banyak, bukan

kesejahteraan segolongan orang atau perseorangan saja;

melainkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tanpa

terkecuali.

2) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, bukan

pertumbuhan ekonomi segolongan orang atau perorangan,

melainkan pertumbuhan ekonomi seluruh rakyat Indonesia,

termasuk pertumbuhan ekonomi yang diserasikan.

3) Meningkatkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, yakni

meningkakan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat banyak,

artinya tujuan yang hendak dicapai oleh perbankan nasional

adalah meningkatkan pemerataan taraf hidup dan kesejahteraan

rakyat Indonesia, bukan segolongan atau perseorangan saja.

3. Dalam menjalankan fungsi sebagaimana tersebut diatas maka perbankan

Indonesia harus mampu melindungi secara baik apa yang dititipkan oleh

masyarakat dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking)

dengan cara :

a. Efisien, sehat, wajar dalam persaingan yang sehat yang semakin

mengglobal atau mendunia.

b. Menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang

produktif bukan konsumtif.

4. Bank juga memiliki fungsi untuk peningkatan perlindungan dana

masyarakat yang dipercayakan pada bank, selain melalui penerapan

44

prinsip kehati-hatian. Juga pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan

bank, serta sekaligus berfungsi untuk mencegah terjadinya praktik-praktik

yang merugikan kepentingan masyarakat luas.54

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa fungsi perbankan

nasional tidak hanya sebagai wadah penghimpun dan penyalur dana masyarakat

atau antara penabung dan peminjam (investor), tetapi fungsinya akan diarahkan

kepada peningkatan taraf hidup masyarakat agar menjadi lebih baik dan sejahtera

daripada sebelumnya.

Kegiatan usaha bank telah diatur dalam ketentuan Pasal 6 hingga Pasal 15

UU Perbankan, pada intinya yaitu :

1. Mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan yang tidak boleh

dilakukan oleh bank.

2. Kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat.

3. Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan

usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan

bidang usaha yang ingin dikembangkan.

Usaha yang dijalankan oleh bank umum lebih luas daripada usaha yang

dijalankan Bank Perkreditan Rakyat. Bank yang menjalankan usahanya

berdasarkan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip syariah dalam kegiatan

usahanya.

54

Gazali, Djoni S., dan Rachmadi Usman, 2010, opcit, , h. 142

45

Kegiatan usaha Bank secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi

kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dan kegiatan penyaluran dana

kepada masyarakat. Kegiatan penghimpunan dana dilakukan dalam bentuk

tabungan, simpanan dan kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan itu.

Sedangkan kegiatan penyaluran dana dilakukan melalui pemberian kredit kepada

masyarakat. Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan, bank harus merasa yakin

bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut

diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian

kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan

keyakinan tentang nasabahnya, seperti melalui prosedur penilaian yang benar.

2.1.4 Pengertian dan Dasar Hukum Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR) merupakan perusahaan

perbankan yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan bank umum.

Eksistensi BPR dimaksudkan secara khusus untuk menjangkau masyarakat dari

golongan ekonomi lemah dan pengusaha kecil baik di pedesaan maupun di

perkotaan. Dalam hal lainnya, BPR cenderung menerapkan mekanisme pelayanan

jasa yang lebih sederhana, tingkat suku bunga yang lebih tinggi, dan bersikap

proaktif dalam mencari nasabah dibandingkan dengan bank umum. Menurut Pasal

1 angka 4 UU Perbankan memberi pengertian bahwa: “Bank Perkreditan Rakyat

adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau

berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa

dalam lalu lintas pembayaran.”

46

Dasar hukum kegiatan operasional usaha BPR di Indonesia diatur dalam

beberapa peraturan, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

c. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 1 Juni 2006

tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank

Indonesia (PBI) Nomor 10/1/PBI/2008 tanggal 29 Januari 2008 tentang

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang

Mediasi Perbankan.

d. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/8/PBI/2006 tanggal 5 Oktober

2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan

Rakyat.

e. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/19/PBI/2006 tanggal 5 Oktober

2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana

dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tanggal

28 Desember 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan

Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan

Rakyat.

47

f. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/20/PBI/2006 tanggal 5

Oktober 2006 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan

Rakyat.

g. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8

Nopember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat;

h. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/14/PBI/2007 tanggal 30

November 2007 tentang Sistem Informasi Debitur.

i. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 10/10/PBI/2008 tanggal 28

Pebruari 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.

j. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/13/PBI/2009 tanggal 17

April 2009 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.

k. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/20/PBI/2010 tanggal 4 Oktober

2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan

Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah

l. Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 8/31/DPBPR tanggal 12

Desember 2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat.

Kegiatan BPR hanya meliputi kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana

saja, bahkan dalam penghimpunan dana, BPR dilarang untuk menerima simpanan

giro, begitu pula dalam hal jangkauan wilayah operasi, BPR hanya dibatasi dalam

wilayah-wilayah tertentu saja. Selanjutnya pendirian BPR dengan modal awal

48

relatif kecil jika dibandingkan dengan modal awal bank umum. Larangan lainnya

bagi BPR adalah tidak diperkenankan ikut kliring serta transaksi valuta asing.

2.1.5 Bentuk Hukum dan Klasifikasi Bank Perkreditan Rakyat

Bentuk hukum dari BPR sebagaimana tercantum dalam ketentuan yang diatur

dalam Pasal 21 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1992 menyatakan bahwa :

(2) bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari :

a. Perusahaan Daerah

b. Koperasi

c. Perseroan Terbatas

d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara

Indonesia, badan hukum Indonesia dan seluruh pemiliknya warga negara

Indonesia, pemerintah daerah atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya, hal

ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 UU No. 7 Tahun 1992.

Usaha dari Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU

No. 7 Tahun 1992 yaitu:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu;

b. Memberikan kredit;

c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.

49

Terdapat beberapa usaha yang dilarang oleh undang-undang untuk dilakukan

oleh Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14

UU No. 7 Tahun 1992 yaitu:

a. Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas

pembayaran;

b. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing

c. Melakukan penyertaan modal

d. Melakukan usaha perasuransian

e. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13.

Pasal 3 PBI Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang Bank

Perkreditan Rakyat menentukan bahwa :

1. BPR hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha dengan izin

Bank Indonesia.

2. BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh:

a. Warga Negara Indonesia;

b. Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya Warga Negara

Indonesia;

c. Pemerintah Daerah; atau

d. Dua Pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf

b dan huruf c.

Pasal 4 PBI Nomor 8/26/PBI/2006 tanggal 8 Nopember 2006 tentang Bank

Perkreditan Rakyat menentukan mengenai modal dasar dari BPR yaitu:

1. Modal setor mendirikan Bank Perkreditan Rakyat paling sedikit sebesar:

a. Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), bagi BPR yang didirikan di

Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta;

50

b. Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), bagi BPR yang didirikan di

Ibukota Propinsi di pulau Jawa dan Bali dan diwilayah Kabupaten atau

Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi;

c. Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), bagi BPR yang didirikan di

Ibukota Propinsi di luar pulau Jawa dan Bali dan diwilayah pulau Jawa

dan Bali diluar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a dan huruf

b;

d. Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bagi BPR yang didirikan di

wilayah lain diluar wilayah sebagaimana disebut dalam huruf a, huruf

b, dan huruf c.

2. Modal setor bagi BPR yang berbentuk hukum koperasi adalah simpanan

pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang tentang Perkoperasian;

Paling sedikit 50 % (lima puluh persen)

Klasifikasi dari bentuk lain BPR sebagaimana yang tercantum dalam

ketentuan Pasal 21 ayat (2) huruf d UU No. 7 Tahun 1992 dimaksudkan untuk

memberikan wadah bagi penyelenggaraan lembaga keuangan yang lebih kecil dari

BPR. Bentuk lain tersebut kemudian berkembang menjadi Lembaga Dana dan

Kredit Pedesaan (LDKP). Berdasarkan pasal 58 UU No. 7 Tahun 1992,

keberadaan LDKP yang terdiri dari:

a. Bank Desa Lumbung Desa

b. Bank Pasar

c. Bank Pegawai

d. Lumbung Pitih Nagari (LPN)

e. Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

f. Badan Kredit Desa (BKD)

g. Badan Kredit Kecamatan (BKK)

h. Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK)

i. Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK)

j. Bank Karya Produksi Desa (BKPD)

Dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan

status sebagai Bank Perkreditan Rakyat dengan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan oleh peraturan pemerintah.

51

2.2 KREDIT

2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Kredit

Kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang

atau badan usaha untuk meminjam uang untuk membeli produk dan membayarnya

kembali dalam jangka waktu yang ditentukan. Istilah kredit berasal dari bahasa

latin “credere” yang berarti kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini

bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kredit (bank) dalam hubungan

perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan

bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama

dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan.55

Di Indonesia dasar hukum

mengenai pengertian kredit diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 pada ketentuan

Pasal 1 angka 11 yang menyatakan bahwa : “kredit adalah penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.”Mc Leod mendefinisikan pengertian kredit sebagai suatu

reputasi yang dimiliki seseorang yang memungkinkan ia bisa memperoleh uang,

barang-barang atau tenaga kerja dengan jalan menukarkannya dengan suatu

perjanjian untuk membayarnya di suatu waktu yang akan datang.56

Berdasarkan

uraian diatas maka dapat diketahui bahwa kredit adalah penyediaan uang

berdasarkan ketentuan atau perjanjian tertentu yang telah disepakati oleh pihak

55

Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, h. 236 56

Rachmat Firdaus dan Arianti Maya, 2009, Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori,

Masalah, Kebijakan dan Aplikasi Lengkap Dengan Analisis Kredit, Alfabeta, Bandung, h. 2

52

bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk membayar utangnya

pada jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Konsep dari suatu kredit adalah memberikan pinjaman uang untuk digunakan

oleh seseorang yang kemudian dikembalikan setelah waktu tertentu berikut

bunganya. Pemberian pinjaman tersebut umumnya digunakan untuk modal usaha,

berbeda dengan kartu kredit yang memiliki konsep sama namun berbeda tujuan

pemberiannya. Pemberian kredit ini dapat dilakukan dengan atau tanpa jaminan,

yang mana berupa hipotik, gadai, hak tanggungan, dan fidusia.

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. Resiko ini menyangkut

dalam pengembalian kredit tersebut, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus

memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat , yaitu :

a. Bank tidak diperbolehkan memberikan kredit tanpa surat perjanjian

tertulis.

b. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada usaha yang sejak

semula telah diperhitungkan kurang sehat

c. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham dan

modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham

d. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit melampaui batas maksimum

kredit ( legal lending limit ).57

Menurut pendapat Firdaus dan Ariyanti, unsur-unsur yang terkandung dalam

pemberian suatu kredit yaitu:

57

Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 393

53

1. Adanya badan atau orang yang memiliki uang, barang atau jasa yang

bersedia untuk meminjamkan kepada pihak lain, orang atau barang

demikian lazim disebut kreditur,

2.Adanya pihak yang membutuhkan atau meminjam uang, barang atau jasa,

pihak ini lazim disebut debitur,

3.Adanya kepercayaan dari kreditur terhadap debitur,

4.Adanya janji dan kesanggupan membayar dari debitur kepada kreditur,

5.Adanya perbedaan waktu yaitu perbedaan antara saat penyerahan uang,

barang atau jasa oleh kreditur dengan pada saat pembayaran kembali dari

debitur,

6.Adanya resiko yaitu sebagai akibat dari adanya perbedaan waktu seperti

diatas, dimana masa yang akan datang merupakan suatu yang belum pasti,

maka kredit itu pada dasarnya mengandung resiko, termasuk penurunan

nilai uang karena inflasi dan sebagainya,

7.Adanya bunga yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur (walaupun

ada kredit yang tidak berbunga).58

2.2.2 Jenis-Jenis Kredit

Terdapat beberapa jenis kredit yang biasa diberikan bank umum dan bank

perkreditan rakyat untuk masyarakat. Jenis kredit yang diberikan oleh bank ini

belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang Perbankan. Pengaturan

mengenai jenis-jenis kredit dapat ditemukan pada Surat Edaran Bank Indonesia

58

Rachmat Firdaus dan Ariyanti Maya, Op.cit, h. 3

54

Nomor 30/4/KEP/DIR tentang pemberian kredit usaha kecil tanggal 4 April 1997,

adapun jenis-jenis kredit dimaksud yaitu:

1. Kredit Investasi

Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek

(pabrik) baru. Contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik atau

membeli mesin-mesin.

2. Kredit Modal Kerja

Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya.

Contoh kredit modal kerja dibelikan untuk membeli bahan baku, membayar

gaji pegawai atau biaya-biaya lain yang berkaitan dengan proses produksi

perusahaan.

Perkembangan kredit saat ini memang sudah jauh dari bentuk awalnya,

terutama karena berbagai kebutuhan manusia yang semakin beragam. Salah satu

bukti perkembangan kredit tersebut dapat dilihat melalui jenis-jenis kredit yang

dikenal saat ini. Begitu banyaknya jenis kredit memperlihatkan begitu eratnya

eksistensi kredit dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Sebenarnya

perkembangan jenis kredit tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijakan

perkreditan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan.59

Kredit dapat

dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima kredit yang

menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit terdiri

dari:

59

Muhamad Djumhana, Op.cit, h. 233

55

a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau

konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta

kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan

permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai

pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

b. Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada

bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan

sebagai dana untuk membiayai perkreditannya.

c. Kredit Langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga

pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia memberikan

kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program

pengadaan barang.60

Dilihat dari segi tujuan kredit dapat dibedakan menjadi:

a. Kredit Produktif

Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau

investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa.

Sebagai contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan

menghasilkan produk pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan

bahan tambang atau kredit industri lainnya.

b. Kredit Konsumtif

Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini

tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang

60

Muhamad Djumhana, Op.cit, h. 221-224

56

untuk digunakan atau dipakai seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh:

kredit perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga,

dan kredit konsumtif lainnya.

c. Kredit Perdagangan

Kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli

barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan

barang dagangan tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada suplier atau

agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar.

Contohnya: kredit ekspor dan impor.61

Dari segi jangka waktunya, kredit dapat dibagi menjadi:

a. Kredit jangka pendek

Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun

atau paling lama 1 (satu) tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan

modal kerja.

b. Kredit jangka menengah

Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 (satu) tahun sampai dengan 3

(tiga) tahun, biasanya untuk investasi.

c. Kredit jangka panjang

Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit

jangka panjang waktu pengembaliannya di atas 3 tahun atau 5 tahun.

61

Kasmir, 2008, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Rajawali Pers, Jakarta,

(selanjutnya disebut Kasmir II) h. 104

57

2.2.3 Fungsi dan Asas-Asas Pemberian Kredit

Prinsip-prinsip pemberian kredit perbankan menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-

Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tentang Perbankan menentukan:

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank

umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi

hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang

diperjanjikan.

Prinsip-prinsip pemberian kredit lebih lanjut dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8

ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, menentukan bahwa:

Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank

mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus

memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian

kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya

sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus

diperhatikan oleh bank.Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum

memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap

watak, kemampuan,modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.

Pemberian kredit dalam praktek perbankan haruslah didasarkan pada

keyakinan. Dalam melakukan kriteria penilaian kredit bank melakukan analisis 5C

dan 7P. Unsur 5 C’s sebagai dasar dalam pemberian kredit meliputi:

1. Penilaian watak/kepribadian (character)

Suatu keyakinan bahwa, sifat atau watak dari orang-orang yang akan

diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar

belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun

bersifat pribadi seperti gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga,

58

hobby dan sosial standingnya, yang merupakan ukuran “kemampuan”

membayar62

.

2. Penilaian kemampuan (capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya

dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang

akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon

debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau

mengembalikan pinjamannya.

3. Penilaian terhadap modal (capital)

Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara

menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat

diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang

pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkutan. Dalam

praktek selama ini bank jarang sekali memberikan kredit untuk membiayai

seluruh dana yang diperlukan nasabah. Nasabah wajib menyediakan modal

sendiri, sedangkan kekurangannya itu dapat dibiayai dengan kredit bank.

Bank fungsinya hanya menyediakan tambahan modal, dan biasanya lebih

sedikit dari pokoknya.63

4. Penilaian terhadap agunan (collateral)

Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik

maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang

diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya sehingga jika terjadi

62

Ibid, h. 109 63

Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis,

Rineka Cipta, Jakarta, h. 33-34

59

suatu masalah maka jaminan yang dititipkan dapat dipergunakan secepat

mungkin.

5. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy)

Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik

sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta

prospek usaha dari sektor yang ia jalankan. Penilaian prospek bidang

usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik

sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.64

Bank dalam memberikan kredit, selain menerapkan prinsip 5 C’s, juga

hendaknya menerapkan prinsip lainnya yang dinamakan dengan prinsip 7P yang

terdiri atas:

1. Personality

Yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya

sehari-hari maupun dimasa lalunya. Personality juga mencakup sikap,

emosi, tingkah laku, dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu

masalah.

2. Party

Yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi atau golongan

tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya. Sehingga nasabah

dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas

yang berbeda dari bank.

64

Kasmir II, Op.cit, h. 109-110

60

3. Purpose

Yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit,

termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah.Tujuan pengambilan kredit

dapat bermacam-macam. Sebagai contoh untuk modal kerja atau investasi,

konsumtif atau produktif dan lain sebagainya.

4. Prospect

Yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang

menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau

sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang

dibiayai tanpa mempunyai prospek bukan hanya bank yang rugi, tetapi

juga nasabah.

5. Payment

Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang

telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit.

Semakin banyak sumber penghasilan debitur, akan semakin baik. Dengan

demikian, jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh sector

lainnya.

6. Profitability

Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba.

Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau

semakin meningkat, apalagi dengan ditambah kredit yang akan

diperolehnya.

61

7. Protection

Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan

mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang

atau orang atau jaminan asuransi.65

Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa dalam pemberian

kredit menerapkan beberapa prinsip-prinsip yang terdiri dari prinsip 5C yang

terdiri dari: character, capacity, capital, collateral, condition of economy, dan

prinsip 7P yang terdiri dari: personality, party, purpose, payment, profitability,

protection, prospect. Prinsip-prinsip ini berguna bagi pihak bank dalam

memperhitungkan kemampuan pembayaran kredit oleh debitur.

2.2.4 Resiko Dalam Pemberian Kredit

Resiko sering ditemui dalam aktifitas kehidupan manusia, dimana setiap

melakukan perbuatan atau usahanya manusia itu seringkali menemui hal-hal

tertentu yang tidak diharapkan yang menimbulkan kerugian dan di luar

kemampuan manusia itu untuk mengatasinya. Terlepas apakah kerugian tersebut

terjadi disebabkan oleh keadaan atau peristiwa yang merupakan kesalahannya

sendiri atau tidak, tetapi yang jelas hal itu memaksanya untuk memikul akibat atau

kerugian tersebut. Dalam hukum perdata, pengertian yuridis mengenai resiko

selalu dihubungkan dengan orang atau pihak lain serta mempunyai tempat khusus

di dalam hukum perjanjian, karena timbulnya resiko di dalam suatu perjanjian

selalu mengakibatkan atau menimbulkan persoalan tentang siapakah yang wajib

memikul kerugian yang timbul di dalam suatu perjanjian itu.

65

Ibid, h. 110-111

62

Persoalan mengenai resiko menjadi semakin pelik karena ketentuan dalam

Buku III KUHPerdata yang ditujukan untuk mengaturnya tidak memenuhi

kebutuhan dalam arti menimbulkan keganjilan dan ketidakadilan apabila

diterapkan. Juga oleh karena Buku III KUHperdata menganut sistem terbuka,

sehingga dibuka kemungkinan untuk membuat perjanjian selain dari yang dikenal

dalam KUHPerdata, seperti perjanjian kredit bank yang banyak ditemukan di

masyarakat, tentunya akan menimbulkan permasalahan bagaimana membebankan

tanggungjawab atau resiko yang timbul dalam perjanjian tersebut.

Resiko terhadap bank dalam hal pemberian kredit itu sendiri dapat berupa:

a. Credit Risk yang sangat mendasar dari semua product market risk suatu

bank karena risiko ini merupakan erosi nilai (erosion of value) yang

disebabkan oleh terjadinya wanprestasi atau nonpayment dari debitur. Jadi

debitur tidak mau atau tidak mampu memenuhi kewajiban membayar

bunga dan utang pokok atau angsuran utang pokok kreditnya atau “tidak

prospek mampu untuk membayar" (tidak memperlihatkan tanda-tanda

mampu membayar karena gagal usaha).

b. Strategic (Bussines) Risk yaitu risiko yang meliputi seluruh bidang usaha,

berupa kemungkinan kalah bersaing atau sudah ketinggalan dalam

bersaing. Dapat pula terjadi bahwa sebuah bank tidak siap atau tidak

sanggup bersaing atas line of business yang baru, seperti halnya credit

card dimana bank tersebut terhambat memasuki bidang ini.

c. Regulatory Risk yaitu risiko yang berkaitan dengan berbagai peraturan

atau perundang-undangan yang menjadi rambu-rambu kegiatan perbankan.

63

d. Operating Risk, yaitu risiko yang banyak kaitannya dengan sistem dan

prosedur, yang kurang layak atau tepat dan mungkin menyebabkan

kerugian atau menurunkan nilai services yang diberikan kepada nasabah.

e. Commodity Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan harga-harga

commodity. Harga komoditas mempunyai pengaruh besar terhadap

kegiatan perbankan dan kegiatan lembaga keuangan lainnya, yang sulit

dideteksi dan diketahui terlebih dahulu (unpredictable).

f. Human Resources Risk, yaitu risiko yang berkaitan dengan faktor

kelemahan atau kesalahan yang ditimbulkan tindakan manusia. Risiko ini

sukar diukur karena risiko atas nilai-nilai kemanusiaan tidak bersifat nyata.

Risiko ini dapat diatasi dengan recruitment terpilih, pelatihan professional,

penanaman motivasi dan pembinaan daya tahan.

g. Legal Risk, yaitu risiko yang timbul dari legal system yang dapat

menghapuskan atau mengurangi nilai para pemegang saham bank karena

adanya tuntutan hukum kepada bank oleh debitur.66

Kedudukan bank apabila dilihat sebelum kredit diberikan kepada nasabah

memang memiliki kedudukan yang lebih kuat daripada debitur, namun kedudukan

bank setelah kredit tersebut dicairkan kepada debitur tergantung dari integritas

nasabah debitur.

Selain resiko yang dapat terjadi pada bank dalam pemberian kredit, pihak

nasabah sebagai debitur juga memiliki resiko dalam perjanjian kredit. Dalam

masyarakat terkesan bahwa hubungan antara bank dan nasabah debitur bahwa

66

Sutan Remy Sjahdeini, 2003, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang

Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta,

h. 183-185

64

bank selalu berada di posisi yang lebih kuat. Pada saat kredit akan diberikan pada

umumnya bank memang berada pada posisi yang lebih kuat daripada debitur. Hal

ini karena pada saat pembuatan perjanjian itu, nasabah debitur sangat

membutuhkan bantuan kredit itu dari bank. Umumnya calon nasabah debitur tidak

akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan

dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar menawar bank menjadi

sangat kuat.67

2.2.5 Kredit Bermasalah atau Kredit Macet

Kasus kredit macet dalam dunia perbankan bukanlah hal yang baru karena

kredit macet sudah menjadi resiko perbankan sejak lama. Krisis ekonomi yang

terjadi pada tahun 1998 merupakan salah satu andil terjadinya kredit macet dalam

dunia perbankan yang harus dibayar mahal dengan obligasi rekapitalisasi dan

menjadi beban ekonomi hingga saat ini.68

Bank harus memiliki keyakinan bahwa

kredit yang diberikannya kepada pihak nasabah dapat dilunasi kembali pada

waktunya dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah atau macet.69

Kredit macet terdiri dari dua kata yakni kredit dan macet. Yang dimaksud

dengan kredit adalah pinjaman uang secara mengangsur. Sedangkan macet berarti

tersendat, terhenti atau tidak lancar. Pengertian kedua kata tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kredit macet adalah sejumlah pinjaman

67

ibid, h. 187-188 68

Eko B. Supriyanto, 2007, Sepuluh Tahun Krisis Moneter : Kesiapan Menghadapi Krisis

Kedua, Info Bank Publishing, Jakarta, h. 10 69

Ibid, h. 25

65

oleh nasabah kepada bank dimana pelunasannya dilakukan secara tersendat-sendat

dan bahkan sampai keadaan terhenti (macet).70

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia No.

2/15/PBI/2000 tentang Restrukturisasi Kredit dapat diketahui bahwa Suatu kredit

disebut bermasalah dengan klasifikasi antara lain tergolong sebagai kredit kurang

lancar, kredit diragukan dan kredit macet. Istilah kredit bermasalah telah

digunakan dalam dunia perbankan Indonesia yang berasal dari terjemahan

Problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di dunia

Internasional.

Suatu kredit disebut macet sejak tidak ditepatinya atau tidak dipenuhinya

ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kredit yaitu apabila debitur selama

tiga kali berturut-turut tidak membayar angsuran dan bunganya. Untuk

menentukan apakah suatu kredit disebut bermasalah atau macet harus didasarkan

pada kolektabilitas kreditnya. Kolektabilitas adalah keadaan pembayaran pokok

atau angsuran dan bunga kredit oleh debitur serta tingkat kemungkinan

diterimanya kembali dana tersebut.71

Suatu kredit disebut sebagai kredit macet yaitu dengan ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar dan diragukan

70

Brahmantyo Djohanputro, 2007, Laporan Penelitian: Non Performing Loan (NPL),

Bank Indonesia, Jakarta, h.6 71

Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia

pustaka Utama, Jakarta, h. 355

66

2. Memenuhi kriteria diragukan, tetapi dalam jangka waktu 21 bulan sejak

digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan

kredit.

3. Kredit tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada Pengadilan

Negeri atau Badan Urusan Piutang Negara atau diajukan penggantian ganti

rugi kepada perusahaan asuransi kredit.72

Kredit macet mempunyai dampak negatif bagi kedua belah pihak. Bagi

nasabah, dalam hal ini nasabah yang masih beritikad baik, artinya kredit macet

terjadi bukan disengaja, kredit macet berarti ia harus menanggung beban

kewajiban yang cukup berat terhadap bank. Karena bunga tetap dihitung terus

selama kredit belum dilunasi. Mengingat setiap pinjaman dari bank

(konvensional) mengandung bunga, maka jumlah kewajiban nasabah semakin

lama akan semakin bertambah besar. Sedangkan bagi bank, dampaknya lebih

serius karena selain dana yang disalurkan untuk kredit berasal dari masyarakat,

kredit macet juga mengakibatkan bank kekurangan dana sehingga mempengaruhi

kegiatan usaha bank. Bank yang terganggu kesehatannya, akan sulit melayani

permintaan nasabah, seperti permohonan kredit, penarikan tabungan, dan

deposito. Keadaan yang demikian akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat

terhadap bank hingga menjadi berkurang. Bahkan bukannya tidak mungkin izin

usaha bank dicabut pemerintah dan dilikuidasi.

72

Ibid, h. 285

67

2.3 JAMINAN FIDUSIA

2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan Fidusia

Jaminan menurut sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu jaminan yang bersifat

umum dan jaminan yang bersifat khusus. Jaminan yang bersifat umum diberikan

untuk kepentingan semua kreditor dan menyangkut semua harta debitor, seperti

yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Sedangkan jaminan yang bersifat

khusus, merupakan jaminan dalam bentuk penunjukan atau penyerahan barang

tertentu secara khusus sebagai jaminan atas pelunasan kewajiban atau utang

debitor kepada kreditor tertentu dan hanya berlaku untuk kreditor tertentu juga,

baik secara kebendaan maupun perorangan.73

Fidusia merupakan lembaga jaminan yang sudah lama dikenal dalam

masyarakat Romawi yang berakar dari hukum kebiasaan, kemudian lahir dalam

yurisprudensi dan sekarang ini diformalkan dalam Undang-Undang. Fidusia

adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan

perkembangannya selalu dikaitkan dengan sistem civil law. Fidusia berasal dari

kata fiduciair atau fides yang berarti kepercayaan, yakni penyerahan hak milik

atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang

kreditor. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan hanya sebagai agunan

bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada

penerima fidusia (kreditor) terhadap kreditor lainnya.74

73

A.A. Andi Prajitno, 2009, Hukum Fidusia Problematika Yuridis Pemberlakuan

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, Bayu Media Publishing, Malang, h. 46

74

Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 150-

151

68

Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah “penyerahan hak

milik secara kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan

istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO), sedangkan

dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut istilah Fiduciary Transfer

of Ownership.75

Black’s Law Dictionary memberi pengertian mengenai Fiduciary Contract,

yaitu:“an agreement by which a person delivers a thing to another on the

condition that he will restore to him.”76

Lebih lanjut mengenai Fiduciary Relation,

Black’s Law Dictionary memberi definisi sebagai berikut:“A relation substisting

between two persons in regard to a business, contract, or a piece of property, or

in regard to the general business or estate or of one of them, of such a character

that each must repose trust and confidence in the other and must exercise a

corresponding degree of fairness and good faith.”77

Dari pengertian yang

diungkapkan diatas dapat diketahui bahwa suatu hubungan yang hidup diantara

dua orang berkaitan dengan bisnis, kontrak, atau potongan properti atau mengenai

rumusan umum atau estate atau salah satu dari mereka, suatu karakteristik yang

masing-masing harus meletakkan kepercayaan dan keyakinan satu dengan lainnya

dan harus melatih tingkat keadilan dan iktikad yang baik dalam hubungan yang

baik.

Dasar Hukum Jaminan Fidusia sebelum ditetapkannya UUJF yaitu diatur

dalam yurisprudensi arrest HGH tanggal 18 Agustus 1932 tentang perkara B.P.M

75

Munir Fuady, 2000, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 3 76

Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing

Co., St. Paul, Minn., page 625

77

Ibid, page 626

69

melawan Clygnett.78

Dengan masuknya penggunaan jaminan fidusia yang semakin

banyak dan berkembang di Indonesia maka ditetapkanlah Undang-Undang

Jaminan Fidusia. Pada Pasal 1 angka 1 UUJF yang menyatakan bahwa : “Fidusia

adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam

penguasaan pemilik benda.” Dari pengertian mengenai fidusia diatas, terdapat 3

(tiga) unsur dalam fidusia yaitu :

1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda

2. Dilakukan atas dasar kepercayaan

3. Kebendaannya tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Jaminan fidusia merupakan perjanjian yang khusus diadakan antara debitor

dengan kreditor untuk memperjanjikan hal-hal sebagai berikut:

1. Jaminan yang bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang

dijadikan agunan.

2. Jaminan yang bersifat perorangan atau persoonlijk yaitu adanya orang

tertentu yang sanggup membayar atau memenuhi prestasi debitor jika

debitor cidera janji.79

Jaminan Fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 UUJF adalah

hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat

dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

78

J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 111 79

A.A. Andi Prajitno, Loc.cit

70

Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

2.3.2 Obyek dan Subyek Jaminan Fidusia

(a) Obyek Jaminan Fidusia

Sebelum diberlakukannya UUJF sebagai ketentuan yang mengatur mengenai

jaminan fidusia secara lebih spesifik maka yang menjadi objek jaminan fidusia

pada waktu itu adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan

(inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor.

Setelah berlakunya UUJF, maka obyek jaminan fidusia diberikan pengertian yang

luas. Berdasarkan undang-undang ini, obyek jaminan fidusia dibagi 2 (dua)

macam, yaitu : benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud; dan

benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak

tanggungan.

Ketentuan mengenai objek jaminan fidusia diatur dalam ketentuan Pasal 1

angka 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 UUJF, sehingga dapat diketahui benda-

benda yang menjadi objek jaminan fidusia yaitu:

1. Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum

2. Dapat berupa benda berwujud

3. Benda berwujud termasuk piutang

4. Benda bergerak

5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan

atau hipotek

6. Baik benda yang ada ataupun akan diperoleh kemudian

71

7. Dapat atas satu satuan jenis benda

8. Termasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia

9. Benda persediaan.80

Lebih lanjut secara spesifik benda-benda yang dapat dijaminkan secara

fidusia yaitu sebagai berikut:

1) Benda bergerak berwujud, contohnya:

a. Kendaraan bermotor seperti mobil, bus, truck, sepeda motor dan

lain-lainnya.

b. Mesin-mesin pabrik yang tidak melekat pada tanah/ bangunan

pabrik

c. Alat-afat inventaris kantor Perhiasan

d. Persediaan barang atau inventory, stock barang, stock barang

dagangan dengan daftar mutasi barang.

e. Kapal laut berukuran dibawah 20

f. Perkakas rumah tangga seperti mebel, radio, televisi, almari es,

mesin jahit.

g. Alat-alat pertanian seperti traktor pembajak sawah, mesin penyedot

air dan lain-lain.

2) Barang bergerak tidak berwujud, contohnya:

a. Wesel

b. Sertifikat deposito

c. Saham

80

Munir Fuady, Op.cit, h. 23

72

d. Obligasi

e. Konosemen

f. Piutang yang diperoleh pada saat jaminan diberikan atau yang

diperoleh kemudian.

g. Deposito berjangka.

3) Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan baik benda bergerak

berwujud atau benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda

tidak bergerak yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.

4) Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia

diasuransikan.

5) Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani

hak tanggungan yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah hak

pakai atas tanah negara (UU No. 16 tahun 1985) dan bangunan rumah

yang dibangun diatas tanah oranglain sesuai pasal 15 UU No. 5 tahun

1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

6) Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan

diberikan maupun piutang yang diperoleh dikemudian hari.

(b) Subyek Jaminan Fidusia

Subyek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban, yaitu manusia

dan badan hukum. Pada masa sekarang manusia adalah subyek hukum disamping

badan hukum.81

Subyek Jaminan Fidusia adalah pihak-pihak yang terlibat dalam

pembuatan perjanjian/akta Jaminan Fidusia yaitu Pemberi Fidusia dan Penerima

81

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,

h. 242

73

Fidusia. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda

yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Pemberi fidusia bisa debitur sendiri atau

pihak lain bukan debitur. Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau

korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan

Fidusia. Penerima fidusia adalah kreditur (pemberi pinjaman), bisa bank sebagai

pemberi kredit atau orang perorangan atau badan hukum yang memberi pinjaman.

Penerima fidusia memiliki hak untuk mendapatkan pelunasan utang yang diambil

dari nilai obyek fidusia dengan cara menjual oleh kreditur sendiri atau melalui

pelelangan umum.82

2.3.3 Asas-Asas Pokok Jaminan Fidusia

Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah insure pengaman kredit bank, yang

dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian kredit bank. Hal ini melihat bahwa

perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor, yang dianut oleh UUJF, di

dalam pemberian perjanjian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang

mendahului yaitu perjanjian utang – piutang yang disebut dengan perjanjian

pokok. Perjanjian jaminan ini tidak dapat berdiri sendiri, perjanjian ini harus

mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir maka

perjanjian jaminan juga akan berakhir. Sebagai salah satu perjanjian assessoir dari

suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk

memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau

tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang.

82

Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT,

Universitas Diponegoro, Semarang, h. 39

74

Mengenai asas-asas dalam hukum jaminan, dapat diketahui bahwa terdapat

beberapa asas penting diantaranya yaitu:

1. Asas publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak

fidusia, dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan

supaya pihak ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut

sedang dilakukan pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di

Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota, pendaftaran fidusia

dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal

laut dilakukan di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu

syahbandar;

2. Asas specialitet, yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek

hanya dapat dibebankan atas persil atau atas barang-barang yang sudah

terdaftar atas nama orang tertentu;

3. Asas tak dapat dibagi-bagi, yaitu asas dapat dibaginya hutang tidak dapat

mengakibatkan dapat dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan

hak gadai walaupun telah dilakukan pembayaran sebagian.

4. Asas inbezittstelling, yaitu barang jaminan (gadai) harus berada pada

penerima gadai;

5. Asas horizontal, yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu

kesatuan. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah

negara maupun tanah hak milik. Bangunannya milik dan yang

75

bersangkutan atau pemberi tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain,

berdasarkan hak pakai.83

Asas-asas hukum jaminan juga dikemukakan oleh Mariam Darus

Badrulzaman yang menyatakan bahwa Asas-asas itu meliputi asas filosofis, asas

konstitusional, asas politis, dan asas operasional (konkret) yang bersifat umum.

Asas operasional dibagi menjadi asas sistem tertutup, asas absolut, asas mengikuti

benda, asas publisitas, asas spesialitet, asas totalitas, asas asessi perlekatan, asas

konsistensi, asas pemisahan horizontal, dan asas perlindungan hukum. H. Salim

H.S., dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia mencoba

memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai asas-asas sebagaimana dipaparkan

oleh Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut:

1) Asas filosofis, yaitu asas di mana semua peraturan perundangan-undangan

yang berlaku di Indonesia harus didasarkan pada falsafah yang dianut oleh

bangsa Indonesia, yaitu Pancasila;

2) Asas konstitusional, yaitu asas di mana semua peraturan perundang-

undangan dibuat dan disahkan oleh pembentuk undang-undang harus

didasarkan pada hukum dasar (konstitusi). Hukum dasar yang berlaku di

Indonesia, yaitu UUD 1945. Apabila undang-undang yang dibuat dan

disahkan tersebut bertentangan dengan konstitusi, undang-undang tersebut

harus dicabut;

3) Asas politis, yaitu asas di mana segala kebijakan dan teknik di dalam

penyusunan peraturan perundang-undangan didasarkan pada Tap MPR;

83

H. Salim, H.S., 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers,

Jakarta, h. 9

76

4) Asas operasional (konkret) yang bersifat umum merupakan asas yang

dapat digunakan dalam pelaksanaan pembebanan jaminan.84

Asas-asas hukum jaminan fidusia yang terdapat dalam Undang-Undang

Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :

1) Pertama, asas bahwa kreditor penerima fidusia berkedudukan sebagai

kreditor yang diutamakan dari kreditor lainnya. Terdapat pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Jaminan Fidusia.

2) Kedua, asas bahwa dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia menunjukkan

bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan hak

perorangan.

3) Ketiga, asas bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan yang

lazim disebut dengan asas asessoritas. Asas ini mengandung arti bahwa

keberadaan Jaminan Fidusia dibentuk oleh perjanjian lain yaitu perjanjian

utama atau perjanjian pokok.

4) Keempat, asas bahwa Jaminan Fidusia dapat diletakkan atas utang yang

baru yang akan ada (kontinjen). Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia

ditentukan bahwa objek Jaminan Fidusia dapat dibebankan kepada utang

yang telah ada dan yang akan ada. Jaminan atas utang yang akan ada

mengandung arti bahwa pada saat dibuatnya akta Jaminan Fidusia, utang

tersebut belum ada tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya dalam jaminan

tertentu.85

84

Ibid, h. 10-11 85

Tan Kamello, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT.

Alumni, Medan, h. 165

77

Jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UUJF mempunyai sifat-sifat

sebagai berikut:

1. Jaminan Fidusia mempunyai sifat accessoir.

Seperti sifat-sifat jaminan pada umumnya, Jaminan Fidusia bersifat

accessoir artinya Jaminan Fidusia bukan hak yang berdiri sendiri tetapi

lahirnya keberadaannya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya.

Perjanjian pokok adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi

para pihak untuk memenuhi prestasi. Perjanjian pokok misalnya perjanjian

kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan

kewajiban para pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan

tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sifat accessoir dari

Jaminan Fidusia ini berdasarkan pada pasal 4 UUJF yang menegaskan:

“Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok

yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.”

Pasal 25 UUJF juga menegaskan bahwa “Jaminan Fidusia hapus karena

hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.”

2. Jaminan Fidusia mempunyai sifat droit de suite.

Jaminan Fidusia memiliki sifat Droit De Suite ini mengikuti sifat droit de

suite seperti Hak Tanggungan karena prinsip droit de suite merupakan

bagian dari peraturan perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya

dengan hak mutlak atas kebendaan. Jaminan Fidusia yang memiliki sifat

droit de suite artinya penerima Jaminan Fidusia/Kreditur mempunyai hak

mengikuti benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam tangan

78

siapapun benda itu berada. Namun sifat ini dikecualikan untuk obyek

Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan (inventory). Obyek

Jaminan Fidusia yang berbentuk benda persediaan dalam dunia

perdagangan dapat dijual setiap saat karena benda persediaan tersebut

merupakan barang-barang dari hasil produksi industri yang memang untuk

diperdagangkan.

3. Jaminan Fidusia memberikan hak preferent.

Kreditur sebagai penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan,

(preferent) terhadap kreditur lainnya artinya jika debitur cidera janji atau

lalai membayar hutangnya maka kreditur penerima fidusia mempunyai hak

untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan kreditur

mendapat hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil

eksekusi benda jaminan fidusia tersebut.

4. Jaminan Fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.

Fungsi Jaminan Fidusia ialah untuk menjamin pelunasan suatu utang yang

besarnya sudah diperjanjikan dalam perjanjian pokok yaitu perjanjian

kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin pelunasannya dengan

fidusia harus memenuhi syarat sesuai pasal 7 UU Fidusia yaitu:

a. Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang ditentukan dalam

perjanjian kredit atau perjanjian lainnya. Besarnya utang yang ada

dalam perjanjian kredit merupakan jumlah utang maksimum atau

disebut plafond kredit. Sering terjadi jumlah plafond kredit yang

tercantum dalam perjanjian kredit tidak seluruhnya ditarik oleh debitur

sehingga jumlah utang yang sebenarnya tidak sama dengan jumlah

plafond dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu besarnya utang telah

ada, dapat menggunakan bukti tambahan berupa rekening koran atau

bukti lainnya yang dikeluarkan Bank. Rekening koran yang

79

diterbitkan Bank inilah merupakan bukti besarnya jumlah utang riil

yang ada yang dijamin pelunasannya dengan Jaminan fidusia.

b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan

dalam jumlah tertentu. Utang yang akan timbul di kemudian hari atau

yang akan ada ini misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang

dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka

pelaksanaan Bank Garansi. Utang ini merupakan utang yang akan ada

karena terjadinya dimasa akan datang tetapi jumlahnva utang sudah

bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar Bank

Garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada

penerima Bank Garansi (pihak yang dijamin).

c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya

berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban

memenuhi suatu prestasi.

Pada saat eksekusi terhadap Jaminan fidusia, kreditur akan

menentukan jumlah utang riil debitur berdasarkan perjanjian kredit

atau rekening koran yang meliputi penarikan hutang pokok, bunga,

denda keterlambatan dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan

kreditur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut jumlah utang dapat

ditentukan pada saat kreditur akan mengajukan eksekusi.86

5. Jaminan Fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang.

Pasal 8 UUJF menegaskan bahwa: Jaminan Fidusia dapat diberikan

kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari

Penerima Fidusia tersebut. Dari ketentuan pasal ini maka benda jaminan

fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur. Dari

penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud lebih dari satu penerima fidusia

atau lebih dari satu kreditur hanya berlaku dalam rangka pembiayaan

kredit secara konsorsium atau sindikasi. Artinya seorang kreditur secara

bersama-sama dengan Kreditur lain (secara konsorsium atau sindikasi)

memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit.

Jaminan Fidusia yang diberikan debitur digunakan untuk menjamin kepada

semua kreditur itu secara bersama. Antara kreditur satu dengan kreditur

86

Sutarno, 2004, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 209

80

lainnya mempunyai kedudukan yang sama atas jaminan Fidusia, tidak ada

kreditur yang memiliki peringkat yang lebih tinggi dibanding debitur lain.

6. Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial.

Kreditur sebagai penerima Fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi

benda jaminan bila debitur cidera janji. Hak untuk mengajukan eksekusi

tersebut berdasarkan: Pasal 15 ayat 3 yang menegaskan bahwa “Apabila

debitur cidera janji, kreditur sebagai Penerima Fidusia mempunyai hak

untuk menjual Benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia atas kekuasaan

sendiri. Hak untuk menjual obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan sendiri

merupakan perwujudan dari Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

mempunyai kekuatan hukum tetap.

7. Jaminan Fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas.

Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek

Jaminan Fidusia. Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia harus

diuraikan secara jelas dan rinci dengan cara mengidentifikasi benda

jaminan tersebut, dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya dalam

Akta Jaminan Fidusia. Sifat publisitas adalah berupa pendaftaran Akta

Jaminan Fidusia yang merupakan akta pembebanan benda yang dibebani

Jaminan Fidusia. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor

Pendaftaran Fidusia tempat dimana Pemberi Fidusia berkedudukan. Untuk

benda-benda yang dibebani Jaminan Fidusia tetapi berada di luar wilayah

81

Negara Republik Indonesia tetap didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia

di Indonesia dimana Pemberi Fidusia berkedudukan.

8. Jaminan Fidusia berisi hak untuk melunasi utang.

Pada umumnya sifat ini ada dalam setiap hak jaminan yang menjamin

pelunasan utang, seperti Hak Tanggungan juga memiliki sifat ini. Sifat ini

sesuai fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada

kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan

tersebut bila debitur cidera janji bukan untuk dimiliki kreditur. Ketentuan

ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang

kreditur.

9. Jaminan Fidusia meliputi hasil benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia

dan klaim asuransi.

Sifat ini sangat menguntungkan kepentingan Kreditur karena obyek

jaminan fidusia menjadi lebih luas bukan hanya benda-benda saja tetapi

meliputi hasil dari pemanfaatan atau pengelolaan dari benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia termasuk klaim asuransi jika benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia di asuransikan (vide pasal 10 UU Fidusia).

10. Obyek Jaminan Fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud dan tidak

berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak

Tanggungan serta benda-benda yang diperoleh di kemudian hari.87

87

ibid, h. 211

82

2.3.4 Pembebanan dan Pendaftaran Jaminan Fidusia

Pengaturan mengenai pembebanan jaminan fidusia diatur dalam Pasal 4

hingga Pasal 10 UUJF. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 UUJF dapat

diketahui bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu

perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi

suatu prestasi. Prestasi yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan

uang.

Pembebanan dan pendaftaran jaminan fidusia secara garis besar dibagi

menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu:

(a) Pertama, dibuatnya perjanjian pokok dalam bentuk perjanjian kredit atau

perjanjian hutang piutang. Perjanjian kredit ini dapat juga dibuat dengan

akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak yaitu kreditur dengan

debitur, ataupun dengan akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan

notaris. Tahapan ini merupakan perwujudan dari sifat jaminan fidusia yang

bersifat accesoir, yang berarti pembebanan jaminan fidusia merupakan

ikutan dari perjanjian pokoknya. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 4

Undang-Undang Jaminan Fidusia, dikatakan bahwa jaminan fidusia

merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang

menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi.88

(b) Kedua, tahapan pembebanan objek jaminan fidusia. Menurut ketentuan

yang diatur dalam Pasal 5 UUJF ditentukan bahwa : “Pembebanan benda

88

ibid, h. 214

83

dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia

dan merupakan Akta Jaminan Fidusia “. Akta notaris tersebut merupakan

Akta Jaminan Fidusia yang didalamnya mencantumkan hari, tanggal dan

waktu pembuatan akta tersebut. Akta jaminan fidusia ini sekurang-

kurangnya harus memuat tentang :

1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia yang meliputi nama

lengkap, agama, tempat tinggal atau tempat kedudukan, tempat dan

tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan.

2. Data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia mengenai jenis

perjanjian dan hutang yang dijamin dengan fidusia.

3. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Uraian

mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia cukup

dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut dan dijelaskan

mengenai bukti kepemilikannya.

4. Nilai penjaminan yaitu kreditur sebagai penerima fidusia harus

menentukan berapa nilai penjaminan yang harus ditetapkan dalam

Akta Jaminan Fidusia. Nilai penjaminan adalah penetapan jumlah

hutang dengan jaminan fidusia, yang tercantum dalam Akta Jaminan

Fidusia yang ditetapkan oleh kreditur dengan memperhitungkan

jumlah hutang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lainnya.

84

5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Benda-benda yang

menjadi objek jaminan fidusia harus ditentukan berapa nilainya atau

harganya.89

(c) Ketiga, tahapan pendaftaran jaminan fidusia. Akta jaminan fidusia

kemudian didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat

kedudukan pemberi fidusia. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 11

UUJF yang menentukan bahwa “benda yang dibebani dengan jaminan

fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.”

Tujuan dari pendaftaran fidusia ini adalah melahirkan jaminan fidusia bagi

penerima fidusia, memberikan kepastian kepada kreditor lain mengenai

benda yang telah dibebani jaminan fidusia dan memberikan hak yang

didahulukan terhadapp kreditor dan untuk memenuhi asas publisitas

karena kantor pendaftaran terbuka untuk umum.90

Permohonan pendaftaran dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau

wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia,

yang meliputi :

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

b. Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan

notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

c. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

d. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamianan fidusia;

e. Nilai penjaminan, dan

89

Ibid, 215 90

Purwahid Patrik dan Kashadi, Loc.cit

85

f. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.91

Setelah pendaftaran dilakukan maka Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat

jaminan dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan

tanggal penerimaan permohonan pendaftaran untuk melakukan

pengecekan data setelah dilakukan pendaftaran, kemudian kantor

Pendaftaran Fidusia menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia kepada

penerima fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran

fidusia. Sebagai bukti bahwa kreditor yang bersangkutan merupakan

penerima jaminan fidusia yaitu dengan diterbitkannya Sertipikat Jaminan

Fidusia oleh Kantor Pendaftaran Fidusia pada tanggal yang sama dengan

tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Sertipikat ini adalah salinan

Buku Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang sama

dengan data dan keterangan yang ada pada saat peryataan pendaftaran.

Adapun dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata ”DEMI

KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Sertifikat Jaminan Fidusia ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang

sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap. Oleh karena itu pula,apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia

mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia

atas kekuasaannya sendiri. “kekuatan eksekutorial” yang dimaksud adalah

langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final

serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Inilah

91

Purwahid Patrik dan Kashadi, Op.cit, h. 42

86

yang menjadi salah satu ciri jaminan fidusia yaitu memberi kemudahan

dalam pelaksanaan eksekusinya apabila pihak Pemberi Fidusia cidera janji.

Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 UUJF bahwa jaminan fidusia

dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau

wakil dari Penerima Fidusia. Ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberian

fidusia kepada lebih dari satu Penerima Fidusia dalam rangka pembiayaan kredit

konsorsium. Yang dimaksud dengan ”kuasa” dalam ketentuan ini adalah orang

yang mendapat kuasa khusus dari Penerima Fidusia untuk mewakili

kepentingannya dalam penerimaan Jaminan fidusia dari Pemberi Fidusia.

Sedangkan yang dimaksud dengan ”wakil” adalah orang yang secara hukum

dianggap mewakili Penerima fidusia dalam penerimaan Jaminan fidusia, misalnya

wali amanat dalam mewakili kepentingan pemegang obligasi.

Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis

benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun

yang diperoleh kemudian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UUJF. Ini

berarti benda tersebut demi hukum akan dibebani dengan Jaminan fidusia pada

saat benda dimaksud menjadi milik Pemberi Fidusia. Pembebanan tersebut tidak

perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Hal ini karena atas benda

tersebut sudah dilakukan pengalihan hak kepemilikan ”sekarang untuk nantinya” .

Ketentuan ini secara tegas memperbolehkan Jaminan Fidusia mencakup Benda

yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang.

Apabila dikemudian hari terjadi perubahan mengenai hal-hal yang

sebelumnya tercantum dalam Sertipikat Jaminan Fidusia, maka Penerima Fidusia

87

diwajibkan untuk mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut

kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan

pencatatan perubahan tersebut dalam buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama

dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan dan menerbitkan Pernyataan

Perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Sertipikat Jaminan

Fidusia. Perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan

Fidusia ini, harus diberitahukan kepada para pihak. Perubahan ini sendiri tidak

perlu dilakukan dengan akta notaris dalam rangka efisiensi untuk memenuhi

kebutuhan dunia usaha.