bab ii tinjauan teoritis 2.1. filmrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8413/3/t1_362006024_bab...
TRANSCRIPT
1
�
BAB II
Tinjauan Teoritis
2.1. Film
Film disebut juga gambar hidup (motion pictures), yaitu
serangkaian gambar diam (still pictures) yang meluncur secara cepat dan
diproyeksikan sehingga menimbulkan kesan hidup dan bergerak.
Film merupakan media yang menyajikan pesan audio, visual dan
gerak. Oleh karenanya, film memberikan kesan yang impresif bagi
penontonnya. Film di kategorikan dalam beberapa jenis, diantaranya
adalah film dokumenter, film cerita pendek, film cerita panjang, film
perusahaan (company profile), iklan televisi, program televisi, video klip,
dan film pembelajaran.
James Monaco (1984:233) mengungkapkan beberapa definisi film.
Menurut Monaco, ahli-ahli teori Perancis senang sekali membedakan
pengertian film dengan sinema. Film atau “filmis” merupakan aspek seni
yang berkenaan dengan hubungannya dengan dunia sekitarnya, sementara
sinema “sinematis” lebih mempersoalkan estetika dan unsure internal dari
seni film.
Dalam bahasa Inggris, terdapat kata ketiga dari “film” dan
“sinema” yaitu “movies” yang berasal dari kata move yang berarti
bergerak, sehingga movies bisa diartikan sebagai gambar yang bergerak
atau hidup. Namun pada perkembangan selanjutnya istilah film
merupakan paling umum digunakan.
Pada tahun 1915 seorang sutradara dari Amerika, David Wark
Griffith telah membuat film berjudul The Birh of a Nation kemudian
disusul dengan Intolerance: Love’s Struggle Through The Ages (sebuah
film dengan empat cerita bersambung) pada tahun 1916. Dengan
ditampilkannya The Birh of a Nation, gedung-gedung bioskop kecil mulai
bermunculan di berbagai tempat di Amerika, dan film tampil secara de
facto sebagai bentuk suatu seni.
2
�
Teknik perfilman hasil pemikiran Griffith kemudian
dikembangkan lagi oleh dua orang ahli bangsa Rusian yaitu Vsevolod
Pudovskon dan Sergei Einsestein. Sebuah sequence film karya Einsestein
yang berjudul The Battleship Potemkin (1925) yang berlangsung selama
enam menit diakui sebagai sequence yang paling berpengaruh dalam
sejarah film (Effendy, 2003:203).
Industri film ialah industri yang tidak ada habisnya. Sebagai media
massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau
bahkan membentuk realitas. Cerita yang ditayangkan lewat film dapat
berbentuk fiksi atau non fiksi. Lewat film, informasi dapat dikonsumsi
dengan lebih mendalam karena film adalah media audio visual. Media ini
banyak digemari banyak orang karena dapat dijadikan sebagai hiburan dan
penyalur hobi.
Kekuatan dan kemampuan film menjangkau berbagai segmen
sosial, menjadikan film sebagai konsumsi massa yang menjanjikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi produsen dan pembuat film. Para
produsen lebih senang membuat film yang sesuai dengan selera
konsumen. Hasilnya hanya sedikit sekali diantara banyak film yang
dibuat, yang memberikan kesan lebih dari yang lain.
Sebagai suatu komoditi ekonomi, film dianggap sebagai sesuatu
yang menyajikan jasa yang pada dasarnya bersifat psikologis. Penonton
rela membayar agar kebutuhan psikologisnya terpenuhi. Hal ini disadari
oleh para produsen film, yang paling penting bagi mereka adalah nilai
hakiki komoditi yang mereka hasilkan dan cenderung mengesampingkan
kualitas dari film itu sendiri.
Film merupakan media audio visual sehingga rangkaian gambar
dan suara dalam film mampu dengan mudah ditangkap oleh setiap orang.
Apalagi film layaknya media massa, dipaksa untuk merefleksikan
masyarakat agar mampu menarik perhatian khalayak luas. Sehingga
sebuah film seringkali menampilkan gambaran yang realistik yang sangat
dekat gambaran kehidupan khalayaknya.
3
�
Film merupakan salah satu alat komunikasi massa. Tidak dapat
kita pungkiri antara film dan masyarakat memiliki scjarah yang panjang
dalam kajian para ahli komunikasi. Film sebagai alat komunikasi massa
yang kedua muncul di dunia. mempunyai masa pertumbuhannya pada
akhir abad ke - 19.
Peranan film sebagai media komunikasi massa sudah muncul sejak
berdirinya Indonesia. Namun pasca Dekrit Presiden Juli 1959, komunikasi
massa mengalami massa peralihan. Peralihan yaitu antara komunikasi
massa liberalis yang ingin ditinggalkan, menuju pada komunikasi massa
sosialis yang merupakan harapan selanjutnya. Keberadaan komunikasi
massa, termasuk film, pada akhirnya terombang – ambing. Akan tetapi,
keberadaan film sebagai komunikasi massa pun dipertegas dalam
Ketetapan MPRS/ No. II/ MPRS/ 1960, yang dituliskan bahwa film
bukanlah semata – mata barang dagangan, tapi juga merupakan alat
pendidikan dan penerangan (dalam Lee, 1965: 149).
Teknologi film memiliki karakter yang spesial karena bersifat
audio dan visual. Karakter ini menjadikan film sebagai cool media yang
artinya film merupakan media yang dalam penggunaannya menggunakan
lebih dari satu indera. Film pun menjadi media yang sangat unik karena
dengan karakter yang audio-visual film mampu memberikan pengalaman
dan perasaan yang spesial kepada para penonton atau khalayak.
Dalam hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami
secara linier. Artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk
masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa pernah
berlaku sebaliknya.
Namun, kritik atas perspektf ini dikemukakan oleh Garth Joweth
dalam Irawanto (1999:13) yang mengatakan bahwa film sebagai refleksi
masyarakat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, yang kemudian merefeksikannya dalam film.
Menurut Graeme dalam Irawanto (1999:14) menyebut perspektif
yang dominan dalam seluruh studi tentang hubungan film dan masyarakat
4
�
sebagai pandangan yang refleksionis. Yaitu film dilihat sebagai cermin
yang memantulkan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai dominan
dalam kebudayaannya.
Semakin pesatnya dunia perfilman, membuat masyarakat semakin
selektif terhadap berbagai jenis film yang akan mereka konsumsi. Menurut
Prof. Onong Uchjana Effendy (2003:210) terdapat jenis film menurut
sifatnya:
1. Film cerita (story film)
Film cerita adalah jenis film yang menyajikan kepada publik
sebuah cerita. Film jenis ini lazim dipertontonkan di bioskop dengan
pemain para bintang film terkenal. Film cerita disitribusikan layaknya
barang dagangan, untuk semua kalangan masyarakat, dimanapun ia
berada.
2. Film berita (newsreel)
Film berita adalah film mengenai peristiwa yang benar-benar
terjadi. karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada public
harus mengandung niali berita.
3. Film dokumenter (documentary film)
Film dokumenter dilihat dari segi subjek dan pendekatannya
adalah penyajian hubungan manusia yang didramatisir dengan kehidupan
kelembagaannya, baik lembaga industri, sosial maupun politik, dan jika
dilihat dari segi teknik merupakan bentuk yang kurang penting dibanding
isinya.
4. Film kartun (cartoon film)
Titik berat pembuatan film kartun adalah seni lukis. Satu perstau
gambar dilukis dengan seksama umtuk kemudian dipotret satu per satu
pula. Dan apabila rangkaian lukisan sebanyak 16 buah, setiap detiknya
diputar dalam proyektor film, sehingga lukisan tersebut menjadi hidup.
5
�
2.1. Analisis Wacana Kritis
Wacana adalah kesatuan makna (sistematis) antarbagian didalam
suatu bangun bahasa (Yuwono, 2005 : 25). Menurut Eriyanto (2001),
analisis wacana merupakan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa.
Analisis wacana ini memiliki tiga pandangan di dalamnya, yaitu
positivism-empiris, konstruktivisme, dan pandangan kritis (Moh. A.S
Hikam dalam Eriyanto, 2001 : 4). Eriyanto (2001) mengatakan bahwa
pada pandangan pertama, positivism-empiris, bahasa dilihat sebagai suatu
jembatan antara manusia dengan objek yang ada di luar dirinya, sehingga
terlihat adanya pemisah antara pikiran dan realitas. Yang menjadi focus
pada aliran ini adalah benar/tidaknya tata kalimat, bahasa, dan pengertian
bersama menurut sintaksis dan sistematis. Sementara itu, pandangan
kedua, konstruktivisme, beranggapan subjek dalam wacana sebagai
sesuatu yang penting dalam sebuah wacana serta hubungan sosialnya.
Dalam pandangan ini, wacana dimaksudkan untuk membongkar maksud
dan makna tertentu dari subjek di dalam wacana tersebut. Terakhir,
Eriyanto (2001) menambahkan pandangan ketiga, pandangan kritis,
menekankan konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna yang terjadi secara historis dan instutisional. Moh. A.S
Hikam dalam Eriyanto (2001) menambahkan analisis wacana kritis ini
dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa
dengan melihat batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana,
perspektif yang dipakai, dan topik yang dibicarakan. Selain itu, juga
dilihat bagaimana bahasa terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama
dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang
terdapat dalam masyarakat. Pandangan kritis ini juga disebut sebagai
Critical Discourse Analysis atau Analisis Wacana Kritis (Eriyanto, 2001).
Analisis wacana kritis ini dikembangkan oleh Norman Fairclough,
seorang sosiolinguis Inggris, pada tahun 1980an. Analisis wacana kritis
adalah sebuah teori atau pendekatan yang digunakan untuk menganalisis
sebuah teks dalam konteks sosio-kultural (Fairclough, 1995 : 7). Menurut
6
�
Fairclough (1995), di dalam sebuah wacana terdapat praktik sosial yang
mengubah pengetahuan, identitas, dan relasi sosial (relasi kuasa) yang
sudah ada. Selain itu, wacana juga terbentuk dan dipengaruhi oleh struktur
dan praktik sosial lainnya. Di dalam analisis wacana kritis, wacana bukan
hanya dilihat sebagai studi bahasa saja, tetapi juga berhubungan dan
berkaitan dengan konteks. Wacana memiliki hubungan dialektis dengan
dimensi sosial (Philips dan Jorgensen, 2002 : 65). Analisis wacana kritis
ini memiliki tiga dimensi di dalamnya, yaitu teks, praktik wacana, dan
praktik sosio-kultural.
Pendekatan analisis wacana kritis yang dikemukakan oleh
Fairclough (1995) ini menggabungkan tiga tradisi, yaitu:
1. Analisis tekstual terperinci, di dalamnya termasuk analisis
Grammar Fungsional M.A.K. Halliday.
2. Analisis makro-sosiologis praktik sosial, di dalamnya termasuk
hubungan antara wacana dengan ideologi hegemoni Gramsci.
3. Analisis mikro-sosiologis, di dalamnya termasuk tradisi
interpretatif ilmu sosiologi yang berusaha menjelaskan bahwa
wacana merupakan prakrtik representasi dari tingkah laku manusia
yang berdasarkan norma-norma dan prosedur secara umum yang
dianggap “masuk akal”.
Lebih lanjut disebutkan juga bahwa dalam kenyataanya wacana
yang berupa tuturan maupun tulisan merupakan bentuk praktik sosial,
yang di dalamnya terdapat hubungan dialekstis antara unsur pengetahuan,
representasi dunia, dan interaksi social (Fairclough, 1995 : 6). Halliday
(1978 dalam Fairclough, 1995 : 131) berpendapat bahwa suatu teks dilihat
sebagai suatu wacana multifungsional yang memiliki tiga fungsi utama di
dalamnya, yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi
tekstual.
7
�
2.1.2. Kerangka Analisis Wacana Dalam Dimensi Teks
Menurut Teun A. Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup
hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil
dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Oleh karena itu,
penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusi seakan-akan teks
adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur
besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini
membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses
yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan (Eriyanto, 2001 :
221-222).
Van Dijk (dalam Eriyanto, 2001 : 225-226) melihat suatu teks
terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling
mendukung. Ia membaginya kedalam tiga tingkatan:
1. Struktur makro, yaitu makna global atau umum dari suatu teks
yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu
teks.
2. Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, maksudnya truktur dan
elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
3. Struktur mikro, yaitu makna wacana yang dapat diamati dari
bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi,
paraphrase dan gambar.
Peneliti menjelaskan pada ketiga dimensi tersebut di atas, adapun
struktur wacananya adalah sebagai berikut. Di bawah ini adalah dimensi
teks sosial menurut model Teun A. Van Dijk (dalam Eriyanto, 2001 : 228)
Struktur Wacana Hal yang diamati Elemen
Struktur makro Tematik Topik
Superstruktur Skematik Skema
Struktur mikro Semantik Latar, detail, maksud,
8
�
Struktur mikro Sintaksis Koherensi
Struktur mikro Stilistik Leksikon
Struktur mikro Retoris Grafis
1. Tematik
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks.
Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari
suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh
wartawan dalam pemberitaannya. Topik menunjukkan konsep dominan,
sentral, dan paling penting dari isi suatu berita. Oleh karena itu, ia sering
disebut sebagai tema atau topik. ( Eriyanto, 2001: 229). Topik
menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan
didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling mendukung
terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian
fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik,
sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu bagian
dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang
koheren dan utuh. ( Eriyanto, 2001: 230 )
2. Skematik
Bentuk wacana umum itu disusun dengan sejumlah kategori atau
pembagian umum seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan
masalah, penutup, dan sebagainya. Struktur skematik memberikan
tekanan: bagian mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa
dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi
penting.� Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan
bagian penting di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol. ( Sobur,
2007 : 76 ). Dalam konteks penyajian berita, meskipun mempunyai bentuk
dan skema yang beragam, berita umumnya secara hipotetik mempunyai
dua kategori skema besar. Pertama, summary yang umumnya ditandai
9
�
dengan dua elemen yakni judul dan lead (teras berita). Elemen skema ini
merupakan elemen yang dipandang paling penting. Kedua, story yakni isi
berita secara keseluruhan. ( Sobur, 2007: 76 ). Judul dan lead umumnya
menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam
pemberitaannya. Lead ini umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang
ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Story
yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini secara hipotetik juga
mempunyai dua subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses
atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan
dalam teks. (Eriyanto, 2001: 232).
3. Semantik
Analisis wacana banyak memusatkan perhatian pada dimensi teks
seperti makna yang eksplisit maupun implisit, makna yang sengaja
disembunyikan dan bagaimana orang menulis atau berbicara mengenai hal
itu. Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana
yang penting dari struktur wacana tetapi juga menggiring ke arah sisi
tertentu dari suatu peristiwa. (Sobur, 2007: 78).
4. Sintaksis
Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan
secara negative, itu juga dilakukan dengan manipulasi politik
menggunakan sintaksis (kalimat) seperti pada pemakaian kata ganti,
aturan tata kata, pemakaian kategori sintaksis yang spesifik, pemakaian
kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang
kompleks dan sebagainya. (Sobur, 2007: 80).
Salah satu strategi pada level semantik ini adalah dengan
pemakaian koherensi. Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata,
atau kalimat dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta
yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga
fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan
ketika seseorang menghubungkannya. ( Eriyanto, 2001: 242).
10
�
5. Stilistik
Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan
seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan
menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat
diterjemahkan sebagai gaya bahasa. (Sobur, 2007: 82)
Pada dasaranya elemen leksikon ini menandakan bagaimana
seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata
yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang
merujuk pada fakta. Kata “meninggal”, misalnya, mempunyai kata lain:
mati, tewas, gugur, meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir,
dan sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di
antara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai
tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis
menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/ realitas. (
Eriyanto, 2001: 255).
6. Retoris
Strategi dalam level retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan
ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian
kata yang berlebihan (hiperbolik), atau bertele-tele, retoris mempunyai
fungsi persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin
disampaikan kepada khalayak. Pemakaiannya, di antaranya dengan
menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata
yang permulaannya sama bunyinya seperti sajak), sebagai suatu strategi
untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu agar
diperhatikan oleh khalayak. Bentuk gaya retoris lain adalah ejekan (ironi)
dan metonomi. Tujuannya adalah melebihkan sesuatu yang positif
mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak lawan. (Sobur,
2007: 83-84).
11
�
2.1.3. Analisis Wacana Dalam Dimensi Kognisi Sosial
Sedangkan analisis wacana dari dimenssi kognisi sosial adalah titik
kunci dalam memahami sebuah produksi teks atau cerita, maksudnya
adalah selain meneliti teks, penulis juga meneliti proses terbentuknya teks.
Proses terbentuknya suatu teks ini tidak hanya bermakna bagaimana suatu
teks itu dibentuk, tetapi juga proses ini memasukkan informasi yang
digunakan untuk menulis dari suatu bentuk wacana tertentu (Eriyanto,
2001 : 266). Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu peristiwa yang
disampaikan oleh komunikator, dibutuhkan analisis kognisi sosial untuk
menemukan struktur mental komunikator ketika memahami suatu
peristiwa yang dibuatnya. Menurut Van Dijk, (dalam Eriyanto, 2001 :
267) analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur mental,
proses pemaknaan, dan mental komunikator dalam memahami sebuah
fenomena dari proses produksi sebuah teks (berita, cerita dan sebagainya).
2.1.4. Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis wacana yang dikemukakan Van Dijk
adalah analisis konteks sosial. Menurut Van Dijk, wacana yang terdapat
dalam sebuah teks adalah bagian dari wacana yang berkembang dalam
masyarakat, sehingga untuk meneliti suatu teks perlu dilakukan analisis
intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal
diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Titik penting dari analisis
ini adalah untuk menunjukan bagaimana makna yang dihayati bersama,
kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi.
Menurut Van Dijk, dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin
yang penting, yaitu kekuasaan dan akses (Eriyanto, 2001 : 271).
Van Dijk mendefinisikan kekuasaan sebagai kepemilikan yang
dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk
mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Kekuasaan ini
umumnya didasarkan pada kepemilikan sumber-sumber yang bernilai,
seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat
12
�
langsung dan fisik, kekuasaan itu dipahami oleh Van Dijk, juga berbentuk
persuasif: tindakan seorang untuk secara tidak langsung mengontrol
dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap,
dan pengetahuan. Analisis wacana memberikan perhatian besar pada apa
yang disebut sebagai dominasi. Rasisme adalah bentuk dominasi kulit
putih atas ras minoritas lain, umumnya diluar Eropa. Dominasi
direproduksi oleh pemberian akses yang khusus pada satu kelompok
dibandingkan kelompok lain (diskriminasi). Ia juga memberi perhatian
atas produksi lewat legitimasi melalui bentuk control pikiran. Secara
umum kita juga dapat menganalisis bagaimana proses produksi itu secara
umum dipakai untuk membentuk kesadaran dan konsesnsus (Eriyanto,
2001 : 272).
Analisis wacana Van Dijk, memberi perhatian yang besar pada
akses, bagaimana akses dari masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang lebih
berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi
kesadaran khalayak (Eriyanto, 2001 : 272).
13
�
2.2 Kerangka Pemikiran
Isu sosial – Perkembangan musik hardcore yang sedang
“in” di Indonesia Perilaku kekerasan di kalangan pelaku komunitas hardcore
Citra buruk musik hardcore
Film Boston Beatdown Vol. II
Analisis Wacana Kritis Model Van Dijk
1. Tematik
2. Skematik
3. Semantik
4. Sintaksis
5. Stilistik
6. Retoris
7. Kognisi sosial
8. Konteks Sosial