bab ii tinjauan teori a. phlebitis -...

Download BAB II TINJAUAN TEORI A. Phlebitis - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/153/jtptunimus-gdl-gatisulist... · intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan

If you can't read please download the document

Upload: dangkhue

Post on 09-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN TEORI

    A. Phlebitis

    1. Pengertian

    Plebitis merupakan salah satu komplikasi dari pemberian therapi

    intra vena. Komplikasi dari pemberian therapi intravena bisa bersifat

    sistemik dan lokal. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi, tetapi

    seringkali lebih serius dibanding komplikasi lokal, seperti septikemia,

    reaksi alergi, overload sirkulasi dan emboli udara. Komplikasi lokal selain

    phlebitis antara lain infiltrasi, trombophlebitis, hematoma, iritasi vena,

    trombosis, occlusion, spasme vena, reaksi vasovagal, dan kerusakan saraf,

    tendon, ligamen (Potter dan Perry, 2005).

    Phlebitis merupakan inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi

    kimia maupun mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang

    merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.

    Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur

    intravena. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan

    tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur

    intravena yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat

    penusukan (Brunner dan Sudarth, 2003).

    Infusion Nursing Society (INS 2010), phlebitis merupakan

    peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering

    dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan

    didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika

    intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut. Phlebitis adalah

    komplikasi dari pemberian therapi intra vena, yang disebabkan oleh iritasi

    kimia, mekanik maupun bakteri dan post infus. Phlebitis ditandai dengan

    adanya satu atau lebih dari tanda-tanda phlebitis yaitu daerah yang merah,

    nyeri, indurasi, teraba hangat atau panas, dan pembengkakan didaerah

    penusukan. Peradangan phlebitis didapatkan dari mekanisme iritasi yang

  • 8

    terjadi pada endothelium tunika intima vena dan perlekatan trombosit pada

    area tersebut.

    2. Pengenalan tanda Phlebitis

    Phlebitis dapat didiagnosa atau dinilai melalui pengamatan visual yang

    dilakukan oleh perawat. Andrew Jackson telah mengembangkan skor

    visual untuk kejadian phlebitis, yaitu :

    Tabel 2.1 VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson.

    SKOR KEADAAN AREA

    PENUSUKAN PENILAIAN

    0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda phlebitis

    1

    Salah satu dari berikut jelas :

    a. Nyeri area penusukan b. Adanya eritema di area

    penusukan

    Mungkin tanda dini phlebitis

    2

    Dua dari berikut jelas :

    a. Nyeri area penusukan b. Eritema c. Pembengkakan

    Stadium dini phlebitis

    3

    Semua dari berikut jelas :

    a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema c. Indurasi

    Stadium moderat phlebitis

    4

    Semua dari berikut jelas :

    a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema c. Indurasi d. Venous chord teraba

    Stadium lanjut atau awal

    thrombophlebitis.

    5

    Semua dari berikut jelas :

    a. Nyeri sepanjang kanul b. Eritema c. Indurasi d. Venous chord teraba e. Demam

    Stadium lanjut

    thrombophlebitis

    3. Klasifikasi Phlebitis

    Pengklasifikasian phlebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada

    empat kategori penyebab terjadinya phlebitis yaitu kimia, mekanik, agen

    infeksi, dan post infus (INS, 2006).

  • 9

    a. Phlebitis kimia (Chemical Phlebitis)

    Kejadian phlebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang

    terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang

    menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi

    akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter

    yang digunakan.

    PH darah normal terletak antara 7,35 7,45 dan cenderung basa.

    PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang

    berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi

    yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa

    dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung

    glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi

    parenteral lebih bersifat flebitogenik.

    Osmolalitas diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau

    jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan.Pada orang sehat,

    konsentrasi plasma manusia adalah 285 10 mOsm/kg H20 (Sylvia,

    1991). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik

    atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut

    dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan

    yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 310 mOsm/L, larutan

    yang memiliki osmolalitas kurang dari itu disebut hipotonik,

    sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas suatu

    larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi

    juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding

    tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan

    hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L.

    Terlebih lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh

    vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler

    apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2010).

  • 10

    Menurut Subekti (2010), vena perifer dapat menerima osmolalitas

    larutan sampai dengan 900 mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas

    (makin hipertonis) makin mudah terjadi kerusakan pada dinding vena

    perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan tromboemboli. Pada

    pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral, karena

    larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900 mOsm/L,

    melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak

    dinding.

    Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu

    penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan

    rendah mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan

    material katheter juga berperan pada kejadian phlebitis. Bahan kateter

    yang terbuat dari polivinil klorida atau polietelin (teflon) mempunyai

    resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang terbuat dari

    silikon atau poliuretan (INS, 2010). Partikel materi yang terbentuk dari

    cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa

    menyebabkan resiko terjadinya phlebitis. Penggunaan filter dengan

    ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan

    atau meminimalkan resiko phlebitis akibat partikel materi yang

    terbentuk tersebut (Darmawan, 2008).

    b. Phlebitis Mekanik (Mechanical Phlebitis)

    Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau

    penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi

    lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis saat ekstremitas

    digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan

    trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar

    pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena (The Centers

    for Disease Control and Prevention, 2006).

  • 11

    c. Phlebitis Bakteri (Bakterial Phlebitis)

    Phlebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan

    dengan adanya kolonisasi bakteri.

    Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai

    predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor-faktor yang

    berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :

    1) Teknik cuci tangan yang tidak baik.

    2) Teknik aseptik yang kurang pada saat penusukan.

    3) Teknik pemasangan katheter yang buruk.

    4) Pemasangan yang terlalu lama.

    5) Kegagalanmemeriksa peralatan yang rusak, pembungkus yang

    bocor atau robek dapat mengandung bakteri.

    6) Tempat penyuntikan yang jarang diinspeksi visual (INS, 2010)

    d. Post Infus Phlebitis

    Phlebitis post infus juga sering dilaporkan kejadiannya sebagai akibat

    pemasangan infus. Phlebitis post infus adalah peradangan pada vena

    yang didapatkan 48 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang

    berperan dengan kejadian phlebitis post infus, antara lain :

    1) Tehnik pemasangan catheter yang tidak baik.

    2) Pada pasien dengan retardasi mental.

    3) Kondisi vena yang tidak baik.

    4) Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.

    5) Ukuran katheter terlalu besar pada vena yang kecil.

    4. Tindakan Pencegahan Phlebitis

    Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya phlebitis yang

    telah disepakati oleh para ahli, antara lain ;

    a. Mencegah phlebitis bakteri.

    Pedoman yang dianjurkan adalah menekankan pada kebersihan

    tangan, tehnik aseptik, perawatan daerah infus serta antisepsis kulit. Untuk

    pemilihan larutan antisepsis, The Center for Disease Control(CDC)

  • 12

    merekomendasikan penggunaan chlorhexedine 2 %, akan tetapi

    penggunaan tincture yodium, iodofor atau alcohol 70 % bisa digunakan.

    b. Selalu waspada dan tindakan aseptic.

    Selalu berprinsip aseptik setiap tindakan yang memberikan

    manipulasi pada daerah infus. Studi melaporkan Stopcock (yang

    digunakan sebagai jalan pemberian obat, pemberian cairan infus atau

    pengambilan sampel darah merupakan jalan masuk kuman.

    c. Rotasi katheter.

    May dkk (2005), melaporkan hasil pemberian Perifer Parenteral

    Nutrition (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan

    kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis.

    Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi baru-baru ini oleh

    Webster dkk disimpulkan bahwa intravena kateter bisa dibiarkan aman

    di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers

    for Disease Control and Prevention menganjurkan penggantian kateter

    setiap 72-96 jam untuk membatasi potensi infeksi.

    d. Aseptic dressing

    Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah phlebitis dengan

    penggantian kasa steril diatas tempat penusukan setiap 24 jam.

    e. Kecepatan pemberian infus

    Para ahli sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik

    diberikan makin rendah risiko phlebitis. Namun, ada paradigma berbeda

    untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi.

    Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa

    jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu

    kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan

    kecepatan pemberian tinggi (150 330 mL/jam). Vena perifer yang

    paling besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan

    untuk mencapai laju infus yang diinginkan, dengan filter 0.45 mm.

    Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau kemerahan.

  • 13

    Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus sebagai jalan

    masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.

    f. Titrable acidity

    Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang dibutuhkan untuk

    menetralkan pH larutan infus. Potensi phlebitis dari larutan infus tidak

    bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri. Bahkan

    pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan

    karena titrable acidity nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan

    demikian makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko

    phlebitisnya.

    g. Heparin dan hidrokortison

    Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1

    unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang katheter.

    Risiko phlebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu

    (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat

    dikurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison.

    Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara

    bermakna mengurangi kekerapan phlebitis pada vena yang diinfus

    lidokain, kalium klorida atau antimikrobial.

    Pada dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan

    hidrokortison telah mengurangi kekerapan phlebitis, tetapi penggunaan

    heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai dengan

    pembentukan endapan kalsium.

    Berdasarkan bacaan di atas, maka perawat dalam melaksanakan

    pemasangan infus harus selalu memperhatikan tata laksana prosedur

    pemasangan infus agar tidak terjadi phlebitis. Tata laksana prosedur

    pemasangan infus disebut sebagai SOP.

  • 14

    B. Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus

    1. Pengertian SOP

    a. Tata cara yang harus dilakukan dalam suatu proses kerja tertentu yang

    dapat diterima oleh seseorang yang berwenang atau bertanggungjawab

    untuk mempertahankan tingkat penampilan tertentu sehingga kegiatan

    dilakukan efektif dan efisien (DepKes RI, 2005).

    b. Suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah kegiatan yang

    dibakukan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (DepKes RI, 2004).

    c. Suatu standar untuk mendorong kelompok untuk mencapai tujuan.

    d. Tata cara yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja

    tertentu (Kars, 2006) yang berfungsi untuk memperlancar tugas staf /

    tim, sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, mengetahui

    hambatan yang terjadi dan mudah dilacak, mengarahkan staf agar

    sama-sama disiplin dalam bekerja, dan sebagai pedoman dalam

    melaksanakan pekerjaan.

    2. Tujuan SOP adalah menjaga konsistensi tingkat penampilan kerja,

    meminimalkan kegagalan, kesalahan dan kelalaian, sebagai parameter

    untuk menilai mutu kinerja, menjelaskan alur, tugas, wewenang dan

    tanggungjawab, mengarahkan pendokumentasian yang adekuat dan

    akurat, dan memastikan penggunaan sumber daya secara efektif dan

    efisien.

    3. Pengertian Pemasangan Infus

    a. Tindakan yang dilakukan pada pasien yang memerlukan masukan

    cairan atau obat, langsung ke dalam pembuluh darah vena, dalam

    jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set (Potter,

    2005).

    b. Pemasangan infus adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan

    untuk memasukkan obat atau vitamin ke dalam tubuh pasien

    (Darmawan, 2008).

    c. Memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh balik) untuk

    dilewati cairan infus / pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah cairan

  • 15

    atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka

    waktu tertentu. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving

    seperti pada kehilangan cairanyang banyak,dehidrasi dan syok, karena

    itu keberhasilan terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan

    pengetahuan dasar tentang keseimbangan cairan dan elektrolit serta

    asam basa ( Lukman, 2007 ).

    4. Indikasi pemasangan infus

    a. Pada keadaan emergency resusitasi jantung paru memungkinkan

    pemberian obat secara langsung secara intra vena.

    b. Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus

    menerus melalui infus.

    c. Untuk memberikan respon yang cepat terhadap pemberian obat.

    d. Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi

    kebutuhan injeksi im ( intra muskuler ).

    e. Pasien yang mendapatkan transfusi darah.

    f. Upaya profilaksis pada pasien dengan kondisi tidak stabil, misal resiko

    dehidrasi atau kurang cairan, dan syok yang mengancam jiwa, sebelum

    pembuluh darah kolaps atau tidak teraba.

    5. Tujuan pemasangan infus

    a. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air,

    elektrolit, vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat

    dipertahankan melalui oral.

    b. Mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit

    c. Memperbaiki keseimbangan asam basa

    d. Memperbaiki volume komponen-komponen darah.

    e. Memonitor tekanan vena central ( CVP ).

    f. Menyediakan medium untuk pemberian obat intravena, dan membantu

    pemberian nutrisi parenteral (Hidayat, 2008).

  • 16

    6. Komplikasi Pemasangan Infus

    Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu

    yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya

    komplikasi. Komplikasi dari pemasangan infus yaitu di bawah ini

    (Hinlay, 2006).

    a. Flebitis

    Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun

    mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang

    memerah dan hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau

    sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau sepanjang

    vena, dan pembengkakan.

    b. Infiltrasi

    Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di

    sekeliling tempat pungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya

    pembengkakan (akibat peningkatan cairan di jaringan). Infiltrasi

    mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada tempat

    yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih

    dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang

    torniket di atas atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus

    dan mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan

    aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena,

    berarti terjadi infiltrasi.

    c. Iritasi vena

    Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada

    kulit di atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan

    pH tinggi, pH rendah atau osmolaritas yang tinggi (misal: phenytoin,

    vancomycin, eritromycin, dan nafcillin).

    d. Hematoma

    Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di

    sekitar area insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena

    yang berlawanan selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan

  • 17

    tekanan yang tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah

    jarum atau kateter dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma yaitu

    ekimosis, pembengkakan segera pada tempat penusukan, dan

    kebocoran darah pada tempat penusukan.

    e. Tromboflebitis

    Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah

    peradangan dalam vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya

    nyeri yang terlokalisasi, kemerahan, indurasi, rasa hangat, dan

    pembengkakan di sekitar area insersi atau sepanjang vena, imobilisasi

    ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan pembengkakan,

    kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan leukositosis.

    f. Trombosis

    Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena,

    dan aliran infus berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel

    dinding vena, pelekatan platelet.

    g. Occlusion

    Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika

    botol dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman

    pada area pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan

    aliran intravena, aliran balik darah ketika pasien berjalan, dan selang

    diklem terlalu lama.

    h. Spasme vena

    Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di

    sekitar vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal.

    Spasme vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang

    dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena

    dan aliran yang terlalu cepat.

    i. Reaksi vasovagal

    Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena,

    dingin, berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan

    darah. Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.

  • 18

    j. Kerusakan syaraf, tendon, dan ligament

    Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan

    kontraksi otot.Efek lambat yang bisa muncul adalah paralisis, mati rasa

    dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang

    tidak tepat sehingga menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan

    ligament.

    7. Cara pencegahan komplikasi pemasangan infus

    Menurut Hidayat (2008), selama proses pemasangan infus perlu

    memperhatikan hal-hal untuk mencegah komplikasi yaitu :

    a. Gunakan alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik

    sterilisasi dalam pemasangan infus.

    b. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru.

    c. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda

    infeksi

    d. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain.

    e. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan.

    f. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir.

    g. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum

    infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus.

    h. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester

    dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu).

    i. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena

    yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.

    j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus dengan tepat.

    Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan

    milliliter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit.

  • 19

    8. Keuntungan dan Kerugian

    Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi

    intravena adalah :

    1. Keuntungan

    Keuntungan terapi intravena antara lain : Efek terapeutik segera

    dapat tercapai karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung

    cepat, absorbsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi

    lebih dapat diandalkan, kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga

    efek terapeutik dapat dipertahankan maupun dimodifikasi, rasa sakit

    dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau

    subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi

    dengan rute lain karena molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan

    dalam traktus gastrointestinalis.

    2. Kerugian

    Kerugian terapi intravena adalah : tidak bisa dilakukan drug

    recall dan mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan

    sensitivitas tinggi, controlpemberian yang tidak baik bisa

    menyebabkan speed shock dan komplikasi tambahan dapat timbul,

    yaitu : kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam

    periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis kimia, dan

    inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.

    9. Lokasi Pemasangan Infus

    Menurut Perry dan Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang

    sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau

    perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses paling

    mudah untuk terapi intravena.Daerah tempat infus yang memungkinkan

    adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika,

    vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena

    kubital median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), permukaan

    dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis).

  • 20

    Gambar 2.1 Lokasi Pemasangan Infus

    Sumber : Dougherty, dkk (2010)

    Menurut Dougherty, dkk, (2010), pemilihan lokasi pemasangan terapi

    intravena mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:

    a. Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat

    penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir

    b. Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima jenis

    terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan,

    pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun.

    c. Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan

    tingkat kesadaran

  • 21

    d. Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan

    sering memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya

    hiperalimentasi adalah sangat mengiritasi vena-vena perifer)

    e. Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan

    pengukuran untuk memelihara vena yaitu pilih vena yang akurat dan

    baik, rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke

    proksimal (misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan)

    f. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada,

    pemilihan sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting ,

    jika sedikit vena pengganti.

    g. Terapi intravena sebelumnya : flebitis sebelumnya membuat vena

    menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering membuat

    vena menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau sklerosis)

    h. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang terkena

    pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat (misalnya

    pasien mastektomi) tanpa izin dari dokter

    i. Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada

    pasien dengan stroke

    j. Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami

    pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.

    10. SOP Pemasangan Infus(Depkes 2008).

    Standar Operasional Prosedur (SOP) pemasangan infus adalah tata cara

    melaksanakan pemasangan infus sesuai dengan prosedurnya.

    a. Persiapan alat :

    1). Steril :a). Bak instrument berisi handscoon dan kasa streril.

    b). Infus set steril

    c). Jarum/ iv catheter dengan nomer yang sesuai.

    d). Cairan parenteral sesuai program.

    e). Kom tutup berisi kapas alkohol.

    2). Alat tidak steril:

    a). Standar infus

  • 22

    b). Bidai dan pembalut jika perlu

    c). Perlak dan alasnya.

    d). Pembendung/ tourniquet.

    e). Plester.

    f). Gunting perban.

    g). Bengkok

    h). Jam tangan.

    b. Cara Pelaksanaan

    1). Tahap pra interaksi

    a). Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada.

    b). Cuci tangan

    c). Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar.

    2). Tahap orientasi

    a) Memberikan salam kepada pasien sebagai pendekatan terapeutik.

    b) Menjelaskan kepada pasien/ keluarga tujuan, prosedur tindakan,

    dan sensasi yang akan dirasakan selama pemasangan infus.

    c) Menanyakan kesiapan pasien sebelum tindakan dilakukan.

    3). Tahap kerja

    a) Melakukan desinfeksi tutup botol cairan.

    b) Menutup saluran infus (klem).

    c) Menusukkan saluran infus dengan benar.

    d) Menggantungkan botol cairan pada standart infus.

    e) Mengisi tabung reservoir infus sesuai tanda.

    f) Mengalirka cairan hingga tidak ada udara dalam selang.

    g) Mengatur posisi pasien dan memilih vena.

    h) Memasang perlak dan pengalas.

    i) Membebaskan daerah yang akan diinsersi.

    j) Meletakkan tourniquet 5 cm proksimal yang akan ditusuk.

    k) Memakai handscoon.

    l) Membersihkan kulit dengan kapas kapas alcohol (melingkar dari

    dalam keluar).

  • 23

    m) Mempertahankan vena pada posisi stabil.

    n) Memegang IV kateter dengan sudut 30

    o) Menusuk vena dengan lubang jarum menghadap keatas.

    p) Memastikan IV kateter masuk intra vena kemudian menarik

    mandrin 0,5 cm.

    q) Memasukkan IV kateter secara perlahan.

    r) Menarik mandarin dan menyambungkan dengan selang infus.

    s) Melepaskan tourniquet.

    t) Mengalirkan cairan infus.

    u) Melakukan fiksasi IV kateter.

    v) Memberi desinfeksi daerah tusukan dan member kassa steril.

    w) Mengatur tetesan infus sesuai program.

    4) Tahap terminasi

    a) Observasi dan melakukan evaluasi tindakan.

    b) Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.

    c) Berpamitan dengan pasien dan keluarga.

    d). Mencuci tangan

    e). Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan.

    Penilaian SOP pemasangan infus pada penelitian ini merupakan modifikasi

    dari DepKes RI dan penilaian pembobotan instrumen tools yang dirujuk

    dariAsosiasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT).

    Perawat dalam melaksanakan pemasangan infus harus mematuhi prosedur

    pemangan infus serta mematuhi SOP yang telah dibakukan di rumah sakit.

  • 24

    C. Kepatuhan

    1. Pengertian Kepatuhan

    Kepatuhan adalah tingkat seseorang dalam melaksanakan suatu aturan

    dalam dan perilaku yang disarankan. Pengertian dari kepatuhan adalah

    menuruti suatu perintah atau suatu aturan. Kepatuhan adalah tingkat

    seseorang dalam melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang

    disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Bart,

    2004).

    Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini akan

    bertahan bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau mengendur

    maka akan timbul perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan

    optimal jika perawat itu sendiri mengganggap perilaku ini bernilai positif

    yang akan diintegrasikan melalui tindakan asuhan keperawatan. Perilaku

    keperawatan ini akan dapat dicapai jika manajer keperawatan merupakan

    orang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan motivasi (Sarwono,

    2007).

    2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

    Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Setiadi, 2007) yaitu:

    a. Faktor internal

    1). Pengetahuan

    Menurut Wawan & Dewi (2010), pengetahuan merupakan hasil

    dari tahu, dan ini terjadi setelah orang penginderaan terhadap suatu

    objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia,

    yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

    Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

    dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

    Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng,

    sebelum orang mengadopsi perilaku baru tersebut terjadi proses

    yang berurutan yakni :

    a) Awareness (kesadaran) : yakni orang tersebut menyadari dalam

    arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

  • 25

    b) Interest : yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

    c) Evaluation : menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus

    tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah

    lebih baik lagi.

    d) Trial : orang telah mulai mencoba perilaku baru.

    e) Adoption : subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

    pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

    2). Sikap

    Menurut Azwar (2009) sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau

    reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah

    perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan

    tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek

    tersebut. Sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi

    terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan

    bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan

    potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu

    dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya

    respons.

    Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari

    seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata

    menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

    tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang

    bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap itu masih

    merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau

    tingkah laku yang terbuka (Notoatmodjo, 2003).

    3. Kemampuan

    Kemampuan adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas

    fisik atau mental. Kemampuan seseorang pada umumnya stabil.

    Kemampuan merupakan faktor yang dapat membedakan karyawan

    yang berkinerja tinggi dan yang berkinerja rendah. Kemampuan

    individu mempengaruhi karakteristik pekerjaan, perilaku, tanggung

  • 26

    jawab, pendidikan dan memiliki hubungan secara nyata terhadap

    kinerja pekerjaan (Ivancevich,2007). Manajer harus berusaha

    menyesuaikan kemampuan dan ketrampilan seseorang dengan

    kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting karena tidak

    ada kepemimpinan, motivasi, atau sumber daya organisasi yang

    dapat mengatasi kekurangan kemampuan dan ketrampilan

    meskipun beberapa ketrampilan dapat diperbaiki melalui latihan

    atau pelatihan (Ivancevich, 2007).

    4). Motivasi

    Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa latin

    movere, yang berarti mendorong atau menggerakkan. Motivasi

    inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku, beraktifitas

    dalam pencapaian tujuan. Karena itu motivasi diartikan sebagai

    kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong

    untuk berbuat atau merupakan driving force.Motif sebagai

    pendorong pada umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait

    mengait dengan faktor-faktor lain, hal-hal yang dapat

    mempengaruhi motif disebut motivasi. Kalau orang ingin

    mengetahui mengapa orang berbuat atau berperilaku ke arah

    sesuatu seperti yang dikerjakan, maka orang tersebut akan terkait

    dengan motivasi atau perilaku yang termotivasi (motivated

    behavior) (Sunaryo, 2004).

    Menurut Walgito (2004), motivasi merupakan keadaan dalam

    diri individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah

    tujuan. Dapat dikemukakan bahwa motivasi mempunyai 3 aspek,

    yaitu :

    a) Keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state) :

    yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan

    b) Perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan ini

    c) Goal atau tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut.

  • 27

    b. Faktor eksternal

    1) Karakteristik Organisasi

    Keadaan dari organisasi dan struktur organisasi ditentukan

    oleh filosofi dari manajer organisasi tersebut. Keadaan organisasi

    dan struktur organisasi akan memotivasi atau gagal memotivasi

    perawat profesional untuk berpartisipasi pada tingkatan yang

    konsisten sesuai dengan tujuan (Swansburg, 2000).

    Subyantoro (2009), berpendapat bahwa karakteristik

    organisasi meliputi komitmen organisasi dan hubungan antara

    teman sekerja dan supervisor yang akan berpengaruh terhadap

    kepuasan kerja dan perilaku individu.

    2) Karakteristik Kelompok

    Rusmana (2008) berpendapat bahwa kelompok adalah unit

    komunitas yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki

    suatu kesatuan tujuan dan pemikiran serta integritas antar anggota

    yang kuat. Karakteristik kelompok adalah : (1) adanya interaksi;

    (2) adanya struktur; (3) kebersamaan; (4) adanya tujuan; (5) ada

    suasana kelompok; (6) dan adanya dinamika interdependensi.

    Anggota kelompok melaksanakan peran tugas, peran

    pembentukan, pemeliharaan kelompok, dan peran

    individu.Anggota melaksanakan hal ini melalui hubungan

    interpersonal. Tekanan dari kelompok sangat mempengaruhi

    hubungan interpersonal dan tingkat kepatuhan individu karena

    individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas

    kelompok meskipun sebenarnya individu tersebut tidak

    menyetujuinya (Rusmana, 2008).

    3) Karakteristik Pekerjaan

    Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi

    karyawan untuk lebih bekerja dengan giat dan untuk

    menumbuhkan semangat kerja yang lebih produktif karena

    karakteristik pekerjaan adalah proses membuat pekerjaan akan

  • 28

    lebih berarti, menarik dan menantang sehingga dapat mencegah

    seseorang dari kebosanan dan aktivitas pekerjaan yang monoton

    sehingga pekerjaan terlihat lebih bervariasi. Gibson et al (Rahayu,

    2006) karakteristik pekerjaan adalah sifat yang berbeda antara jenis

    pekerjaan yang satu dengan yang lainnya yang bersifat khusus dan

    merupakan inti pekerjaan yang berisikan sifat-sifat tugas yang ada

    di dalam semua pekerjaan serta dirasakan oleh para pekerja

    sehingga mempengaruhi sikap

    atau perilaku terhadap pekerjaannya.

    4) Karakteristik Lingkungan

    Apabila perawat harus bekerja dalam lingkungan yang

    terbatas dan berinteraksi secara konstan dengan staf lain,

    pengunjung, dan tenaga kesehatan lain. Kondisi seperti ini yang

    dapat menurunkan motivasi perawat terhadap pekerjaannya, dapat

    menyebabkan stress, dan menimbulkan kepenatan (Swansburg,

    2004).

  • 29

    Kerangka Teori

    Gambar 2.2

    DepKes RI 2008, Darmawan 2008, Bart 2004

    Kejadian phlebitis

    Kepatuhan Perawat

    Internal

    -Pengetahuan

    -Sikap

    -Kemampuan

    -Motivasi

    Eksternal

    -Karakteristik Organisasi

    -Karakteristik Kelompok

    -Karakteristik Pekerjaan

    -Karakteristik Lingkungan

    Tahapan SOP Pemasangan Infus

    - Persiapan alat

    - Prainteraksi

    - Orientasi

    - Kerja

    - Terminasi

  • 30

    D. Kerangka Konsep

    Variabel Independen Variabel Dependen

    Gambar 2.3

    E. Variabel Penelitian

    Variabel adalah gejala yang menjadi fokus peneliti untuk diamati (Sugiyono,

    2007).

    F. Variabel Penelitian

    1. Variabel Dependen (Variabel Terikat)

    Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

    menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam

    penelitian ini adalah kejadian phlebitis.

    2. Variabel Independen (Variabel Bebas)

    Variabel Independen adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau

    yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen.

    Variabel independen dalam penelitian ini adalah kepatuhan perawat dalam

    melaksanakan Standar Operasional Prosedur (SOP) pemasangan infus.

    G. Hipotesis

    Menurut Notoatmodjo (2005), hipotesa penelitian adalah jawaban sementara

    penelitian, patokan duga atau sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan

    dalam penelitian tersebut.

    Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :

    Ha : Ada hubungan antara kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar

    Operasional Prosedur (SOP) pemasangan infus dengan kejadian

    phlebitis.

    Kepatuhan perawat

    dalam pelaksanaan

    SOP Pemasangan

    Infus

    Kejadian

    Phlebitis

  • 31

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    Pada bab ini akan dibahas mengenai : Desain penelitian, populasi dan sampel,

    definisi operasional, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, tehnik

    pengumpulan data, dan prosedur pengumpulan data.

    A. Desain Penelitian

    Desain penelitian adalah strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

    ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun penelitian pada

    seluruh proses penelitian (Nursalam, 2008).

    Berdasarkan tujuan penelitian desain penelitian yang digunakan adalah

    deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini memiliki

    2 variabel yaitu variabel dependen kejadian phlebitis dan variabel independen

    kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP pemasangan infus. Cross

    sectional adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran

    atau observasi data variabel indenpenden dan dependen hanya satu kali saja

    (Nursalam, 2008).

    B. Populasi, Sampel

    1. Populasi

    Populasi adalah setiap subjek yang mengetahui kriteria yang ditetapkan

    (Nursalam, 2003). Pada penelitian ini populasinya adalah semua perawat

    yang melakukan tindakan pemasangan infus dan pasien yang terpasang

    infus. Populasi dalam penelitian 55 tindakan dalam pemasangan infus

    yang dilakukan oleh perawat dan pasien yang dipasang infus .

    2. Sampel

    Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap

    mewakili seluruh objek populasi (Nursalam, 2003). Sampel penelitian ini

    adalah total sampling yaitu mengambil seluruh anggota populasi di

    masing-masing kelompok yang menjadi kriteria sampel untuk menjadi

  • 32

    sampel penelitian dalam hal ini adalah tindakan pemasangan infus yang

    dilakukan oleh perawat dan pasien yang dipasang infus sejumlah 55.

    Kriteria sampel penelitian ini terdiri dari inklusi dan eksklusi. Kriteria

    inklusi adalah karakteristik yang dapat dirumuskan atau layak untuk

    diteliti (Nursalam, 2003).

    Kriteria inklusi perawat dan pasien pada penelitian ini adalah perawat dan

    pasien yang bersedia menjadi responden, perawat RSI Kendal yang sudah

    berstatus pegawai tetap, pasien yang mendapat terapi cairan infus, lama

    inap pasien minimal 3 hari perawatan, pasien yang kooperatif. Kriteria

    eksklusinya adalah perawat dan pasien yang tidak bersedia menjadi

    responden, perawat RSI Kendal yang masih berstatus OJT dan belum

    tetap, pasien yang tidak mendapat terapi infus, pasien yang lama inap

    kurang dari 3 hari, pasien yang tidak kooperatif.

    C. Definisi Operasional

    Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

    berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk

    melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek/

    fenomena ( Hidayat, 2007).

    Tabel 3.2 Definisi operasional, indicator, alat ukur, skala data, skor kategori

    Variabel Definisi

    Operasional Indikator

    Alat

    ukur

    Skala

    data

    Skor dan

    kategori

    Kejadian

    Phlebitis

    Terjadi

    tanda-tanda

    phlebitis di

    daerah

    yang

    terpasang

    infus

    Tanda-tanda

    phlebitis :

    nyeri, kekaku-

    an vena,

    eritema, beng-

    kak,

    hangat/panas

    pada lokasi

    peradangan

    Lembar

    observasi

    Nominal Phlebitis : 1

    Tidak

    phlebitis : 0

    - Kepatuhan perawat dalam

    melaksanakan

    Ketaatan

    perawat

    dalam

    Perawat

    mampu

    melaksanakan

    - Obser-vasi

    Nominal

    Patuh : 1

    Tidak

    patuh : 0

  • 33

    SOP

    pemasangan

    infus

    melaksana-

    kan

    pemasangan

    infus sesuai

    dengan SOP

    Rumah Sakit

    pemasangan

    infus sesuai

    dengan SOP

    Rumah Sakit

    - Tehnik cuci tangan yang

    baik

    - Tehnik aseptik

    - Tehnik pemasangan

    intravena

    kateter yang

    baik

    Dengan

    kriteria

    patuh skor

    nilai75

    tidak

    patuh

    skor

    nilai

  • 34

    kuesioner cukup dengan memberikan kode masing-masing lembar

    tersebut.

    3. Kerahasiaan (Confidentiality)

    Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh objek dijamin oleh peneliti,

    hanya kelompok data tertentu saja akan disajikan atau dilaporkan sehingga

    rahasia tetap terjaga.

    4. Berbuat baik (Benefince)

    Peneliti menjaga privacy responden yang tidak menyenangkan hal-hal

    selain yang berkaitan dengan lingkup penelitian.

    G. Teknik Pengumpulan Data

    Menurut Arikunto (2010), instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang

    digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih

    mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan

    sistematis sehingga mudah diolah.

    Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengumpulan data

    adalah lembar observasi phlebitis dan lembar observasi perawat dalam

    melaksanakan pemasangan infus sesuai SOP atau tidak. Dalam pengumpulan

    data ini, pasien dinyatakan phlebitis apabila pada area pemasangan infus

    ditemukan satu atau lebih tanda-tanda phlebitis yaitu : nyeri, eritema,

    indurasi, hangat/ panas, bengkak pada lokasi peradangan (Hanskins, dkk

    2004).

    Perawat dinyatakan patuh apabila dalam melaksanakan pemasangan infus

    sesuai dengan SOP pemasangan infus. Untuk variabel independen

    menggunakan lembar observasi SOP pemasangan infus. Untuk variabel

    dependen dilakukan observasi/pengamatan secara langsung.

    Sumber data didapat dari data primer. Data primer adalah data yang didapat

    dari tangan pertama, yamg diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan

    menggunakan alat pengukur atau alat pemgambil data, langsung pada subyek

    sebagai sumber informasi yang dicari (Sugiyono, 2008). Pengumpulan data

  • 35

    primer dalam penelitian ini adalah lembar observasi phlebitis dan lembar

    observasi tindakan pemasangan infus sesuai SOP atau tidak.

    H. Prosedur Pengumpulan Data

    Prosedur pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

    Cara pengumpulan data untuk penelitian ini melalui beberapa tahap antara

    lain:

    a. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin melakukan penelitian kepada

    Institusi Universitas Muhammadiyah Semarang.

    b. Setelah mendapat ijin dari Direktur RSI Kendal kemudian melakukan

    penelitian kepada perawat di RSI Kendal

    c. Peneliti meminta persetujuan dan dan kesanggupan menjadi responden,

    setelah responden bersedia selanjutnya menandatangani lembar

    kesanggupan menjadi responden.

    d. Penelitian ini melibatkan satu orang tim pengumpul data dengan profesi

    yang sama dengan peneliti

    e. Saat responden (perawat melakukan pemasangan infus, peneliti ikut

    mendampingi

    f. Peneliti melakukan observasi pada responden apakah sesuai dengan SOP

    pemasangan infus.

    g. Melakukan observasi responden (pasien) yang terpasang infus selama 3

    hari

    h. Hasil observasi direkap oleh peneliti kemudian dilakukan analisi data.

    I. Teknik Pengolahan Data

    Data yang telah terkumpul kemudian diolah. Tujuan dari tindakan ini adalah

    menyederhanakan seluruh data yang terkumpul dan menyajikannya dalam

    bentuk susunan yang rapi. Dalam proses pengolahan data langkah-langkah

    yang akan ditempuh adalah sebagai berikut:

  • 36

    1. Editing

    Setelah semua data terkumpul, kemudian dilakukan editing data yang telah

    terkumpul dengan menilai apakah data yang telah terkumpul sudah cukup

    relevan untuk diolah atau diproses lebih lanjut. Semua data bisa diisi

    dengan lengkap.

    2. Coding

    Memberi kode pada setiap variabel digunakan untuk mempermudah

    peneliti dalam melakukan tabulasi dan analisa data. Hal ini penting

    dilakukan karena alat yang digunakan untuk analisa data adalah komputer

    melalui program SPSS yang memerlukan kode tersebut. Pada penelitian ini

    untuk variabel dependen yaitu kejadian phlebitis:

    a. Phlebitis terdapat tanda-tanda phlebitis diberi kode 1.

    b. Tidak phlebitis tidak terdapat tanda-tanda phlebitis diberi kode 0.

    Variabel independen kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP

    pemasangan infuse jika responden menjawab Patuh nilai : 1 dan jika jawaban

    responden tidak patuh : 0

    a. Patuh jika mendapat skor nilai 75.

    b. Tidak patuh jika mendapat skor nilai < 75.

    3. Tabulating

    Peneliti membuat tabel-tabel bantu untuk mengelompokkan data agar

    mudah dibaca dan dipahami

    4. Entry Data

    Tahapan ini bertujuan mengolah data yang didapat agar dapat ditarik

    kesimpulan yang akan menjawab tujuan penelitian (Nursalam 2003).

    J. Analisis Data

    Analisis data bertujuan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Pada

    penelitian ini yaitu hubungan kepatuhan perawat dalam melaksanakan SOP

    pemasangan infus dengan kejadian phlebitis. Data yang terkumpul disajikan

    dalam bentuk tabulasi silang antara variabel dependen dengan variabel

    independen selanjutnya diuji dengan bantuan computer dengan program

  • 37

    Statistical Product And Service Solution (SPSS). Penelitian ini meng

    menggunakan uji statistik Chi-Square. Didapatkan hasil ada hubungan antara

    kepatuhan perawat dalam melaksanakan Standar Operasional Prosedur (SOP)

    pemasangan infus dengan kejadian phlebitis.