bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · membayar untuk aset yang tidak digunakan, dengan...

26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Ekonomi Total Manfaat SDA dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam nilai guna (use values) dan nilai non-guna (non use values). Nilai guna ada yang bersifat langsung (direct use values) dan ada yang tidak langsung (indirect use values) serta nilai pilihan (option values). Sementara itu nilai non-guna mencakup nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Apabila nilai-nilai ekonomi SDA tersebut dijumlahkan maka akan diperoleh nilai ekonomi total atau total economic values. Rumus nilai ekonomi total suatu SDA adalah sebagai berikut (Munasinghe 1993): NET = NG + NNG NG = NGL + NGTL + NGP NNG = NK + NW dimana: NET = Nilai Ekonomi Total NG = Nilai Guna; NNG = Nilai Non-Guna NGL = Nilai Guna Langsung; NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung NGP = Nilai Guna Pilihan; NK = Nilai Keberadaan; dan NW = Nilai Warisan. Secara skematik pemilahan nilai ekonomi total sumberdaya alam dan lingkungan disajikan pada Gambar 4. Sedangkan uraian dari masing-masing konsep nilai ekonomi tersebut adalah sebagai berikut: a. Nilai Guna Langsung (NGL) dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan lingkungan dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini. Nilai Guna Langsung

Upload: dinhtram

Post on 03-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Nilai Ekonomi Total

Manfaat SDA dan lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam nilai guna (use

values) dan nilai non-guna (non use values). Nilai guna ada yang bersifat langsung

(direct use values) dan ada yang tidak langsung (indirect use values) serta nilai

pilihan (option values). Sementara itu nilai non-guna mencakup nilai keberadaan

(existence values) dan nilai warisan (bequest values). Apabila nilai-nilai ekonomi

SDA tersebut dijumlahkan maka akan diperoleh nilai ekonomi total atau total

economic values. Rumus nilai ekonomi total suatu SDA adalah sebagai berikut

(Munasinghe 1993):

NET = NG + NNG

NG = NGL + NGTL + NGP

NNG = NK + NW

dimana:

NET = Nilai Ekonomi Total

NG = Nilai Guna; NNG = Nilai Non-Guna

NGL = Nilai Guna Langsung; NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung

NGP = Nilai Guna Pilihan;

NK = Nilai Keberadaan; dan NW = Nilai Warisan.

Secara skematik pemilahan nilai ekonomi total sumberdaya alam dan

lingkungan disajikan pada Gambar 4. Sedangkan uraian dari masing-masing konsep

nilai ekonomi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Nilai Guna Langsung (NGL) dihitung berdasarkan kontribusi SDA dan lingkungan

dalam membantu proses produksi dan konsumsi saat ini. Nilai Guna Langsung

19

tersebut mencakup seluruh manfaat SDA dan lingkungan yang dapat diperkirakan

langsung dari konsumsi dan produksi melalui satuan harga berdasarkan

mekanisme pasar. Nilai guna tersebut dibayar oleh seseorang atau masyarakat

yang secara langsung menggunakan dan mendapatkan manfaat dari SDA dan

lingkungan.

b. Nilai Guna Tidak Langsung (NGTL) merupakan manfaat yang diperoleh secara

mendasar dari fungsi pelayanan lingkungan hidup dalam menyediakan dukungan

terhadap proses produksi dan konsumsi saat ini, misalnya nilai berbagai fungsi

ekologi dalam hal daya serap alami terhadap pencemaran air atau daur ulang

unsur hara. Dengan demikian Nilai Guna Tidak Langsung terdiri atas manfaat-

manfaat fungsional dari proses ekologi yang secara terus-menerus memberikan

konstribusinya terhadap masyarakat dan ekosistem. Sebagai contoh areal

pertanian yang cukup luas memberikan manfaat langsung berupa hasil-hasil

pertanian yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan selain itu

kawasan pertanian tersebut memberikan kenyamanan udara, keindahan

pemandangan, pengendali banjir, erosi dan sedimentasi, serta pemasok sumber

air tanah baik bagi petani maupun masyarakat lainnya.

c. Nilai Guna Pilihan (NGP) pada dasarnya bersifat bonus dimana konsumen mau

membayar untuk aset yang tidak digunakan, dengan alasan yang sederhana

yakni untuk menghindari risiko karena tidak memilikinya di masa mendatang.

Dengan demikian nilai guna pilihan meliputi manfaat SDA dan lingkungan yang

tidak dieksploitasi pada saat ini, tetapi "disimpan" demi kepentingan yang akan

datang.

d. Nilai Keberadaan (NK) muncul dari kepuasan seseorang atau komunitas atas

keberadaan suatu aset, walaupun yang bersangkutan tidak berminat untuk

20

menggunakannya. Dengan kata lain nilai keberadaan diberikan seseorang atau

masyarakat kepada SDA dan lingkungan tertentu karena memberikan manfaat

spiritual, estetika, dan budaya. Nilai keberadaan suatu SDA dan lingkungan tidak

berkaitan dengan penggunaan oleh seseorang atau masyarakat, baik pada saat

sekarang maupun masa yang akan datang, tetapi semata-mata sebagai bentuk

kepedulian terhadap keberadaan SDA dan lingkungan sebagai obyek. Sebagai

contoh nilai atau apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap keberadaan

komodo (biawak besar). Masyarakat memberikan nilai terhadap komodo tersebut

bukan untuk melihatnya, melainkan agar binatang tersebut tetap ada.

e. Nilai Warisan (NW) adalah nilai yang diberikan oleh masyarakat yang hidup saat

ini terhadap SDA dan lingkungan tertentu agar tetap ada dan utuh untuk diberikan

kepada generasi akan datang. Nilai ini berkaitan dengan konsep penggunaan

masa datang atau pilihan dari orang lain untuk menggunakannya.

Konsep nilai guna pilihan dan nilai bukan penggunaan masih bersifat rancu

dan tumpang tindih. Konsep nilai ini dipandang perlu sebagai petunjuk saja,

sedangkan dalam praktek perbedaan kedua konsep tersebut tidak penting

mengingat yang utama adalah bagaimana menilai atau mengukur total nilai ekonomi

(Munasinghe 1993). Nilai bukan penggunaan cenderung berkaitan dengan motif

atau sifat dermawan, baik untuk lintas generasi atau warisan, atau pemberian

individu, atau pandangan bahwa sesuatu mempunyai hak untuk ada. Tentu saja

pengertian yang terakhir ada di luar teori ekonomi konvensional. Bahkan sifat

kedermawanan tersebut sulit dinilai dan dianalisis dalam teknik biaya manfaat

proyek (Munasinghe 1993).

21

Total Nilai Ekonomi Sumberdaya Lahan Pertanian

Nilai penggunaan Nilai bukan penggunaan

Nilai Nilai Nilai Nilai Nilai

Penggunaan Penggunaan Pilihan Keberadaan Bukan

Langsung Tidak Langsung penggunaan

lainnya

Hasil yang Manfaat Nilai penggunaan Nilai dari pengetahuan

langsung fungsional langsung dan tidak mengenai keberlangsungan

dapat langsung masa depan keberadaan lahan pertanian

dikonsumsi

°Komoditas °Pemasok air tanah °Biodivesitas °Habitat dan

°Bahan organik °Pengendali banjir °Konservasi habitat °Spesies langka

°Pencegah erosi dan longsor

°Purifikasi udara dan air

°Tempat rekreasi

Semakin berkurang nilai atau manfaat nyata bagi individu

Sumber : Munasinghe 1993 (Hal 22, dimodifikasi)

Gambar 4. Kategori nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai ekonomi total SDA

dan lingkungan terdiri atas tiga komponen, yakni nilai guna, nilai untuk masa datang

dan nilai keberadaan. Ketiga nilai tersebut erat kaitannya dengan tiga ciri utama

SDA dan lingkungan, yakni :

1. Tidak dapat pulih kembali: Suatu SDA dan lingkungan yang sudah mengalami

kepunahan tidak dapat diperbaharui kembali. Apabila suatu SDA dan lingkungan

sebagai suatu aset tidak dapat dilestarikan maka ada kecenderungan akan

musnah. Konversi hutan atau lahan sawah menjadi permukiman atau kawasan

industri termasuk yang sulit atau mustahil dapat dikembalikan sehingga tergolong

bersifat irreversible.

22

2. Adanya ketidakpastian: Kejadian dan keadaan masa yang akan datang tidak

dapat diprediksi secara sempurna. Sebagai contoh fenomena yang akan terjadi

manakala ekosistem persawahan di seluruh Pulau Jawa rusak atau musnah tidak

dapat diprediksi secara meyakinkan. Tetapi ada hal yang pasti bahwa akan ada

biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila ekosistem persawahan tersebut

mengalami kepunahan.

3. Sifatnya unik: Sering terjadi pembangunan suatu kawasan tidak jadi dilaksanakan

atau dialihkan ke tempat lain dengan alasan untuk melestarikan SDA dan

lingkungan tertentu. Kondisi tersebut terjadi apabila suatu SDA dan lingkungan

tertentu mulai langka maka nilai ekonomi SDA itu akan tinggi karena didorong

oleh pertimbangan untuk melestarikannya.

2.2. Multifungsi Lahan Pertanian

Terminologi multifungsi pertanian mencuat sejak tahun 1994 dalam suatu

agenda pembahasan mengenai perdagangan bebas (free trade). Melalui

perdagangan bebas siapa yang paling efisien dalam memproduksi barang dan jasa,

maka dialah yang menjadi pengekspor atau net-eksporter. Sebagian negara

menyetujui konsep tersebut, tetapi karena efisiensi produksi tersebut lebih bersifat

ekonomi finansial, bukan ekonomi sosial implikasi perdagangan bebas terhadap

pertanian sangat besar karena pertanian mempunyai manfaat yang belum atau tidak

bisa dinilai berdasarkan mekanisme pasar, yakni manfaat multifungsi pertanian.

Mengingat hal itu para ahli lingkungan (ecologist) dan ekonom lingkungan

(environmental economist), mengingatkan negaranya agar tidak sepenuhnya

memberlakukan perdagangan bebas terhadap komoditas pertaniannya. Dalam

agenda pasar bebas negara-negara di Asia diharapkan membuka pasar

23

domestiknya bagi perdagangan bebas, khususnya bahan pangan (hasil pertanian).

Jepang, Korea Selatan dan Taiwan termasuk negara yang menolak penerapan

pasar bebas secara penuh terhadap hasil-hasil pertanian atau bahan pangan.

Konsep multifungsi pertanian juga dijadikan dasar penolakan Jepang, Korea Selatan

dan RRC terhadap gerakan global yang diprakarsai negara maju (OECD) untuk

melarang perluasan lahan sawah, khususnya di Asia (Yabe 2005). Negara maju

berpandangan bahwa lahan sawah menjadi sumber pencemar dalam pemanasan

global melalui emisi gas methana. Sebaliknya, Jepang dan sekutunya berpandangan

dampak multifungsi pertanian (eksternalitas positif) jauh lebih tinggi daripada

dampak negatifnya. Argumentasi penolakan perdagangan bebas berdasarkan

pendekatan multifungsi pertanian oleh Jepang dan sekutunya semakin solid pada

KTT Tingkat Menteri di Cancun (2003). Menurut Jepang dan sekutunya, kehawatiran

negara maju dalam hal emisi gas methana dan pencemaran air dari lahan pertanian,

khususnya lahan sawah dianggap berlebihan. Dampak pencemaran tanah dan air

dari kegiatan pertanian dapat diatasi dengan sistem pertanian LEISA (low external

input sustainable agriculture), atau penetapan batas maksimum residu pestisida

pada tanah (Kurnia 2006), sedangkan mitigasi emisi gas methana pada lahan sawah

dapat diatasi dengan teknik pengelolaan air yang tepat dan penanaman varietas

padi tertentu (Setyanto et al. 2006). Teknik pengolahan tanah sawah sempurna dan

pengairannya secara berselang atau "macak-macak" menghasilkan gas methana

70-77 kg/ha/mt sedangkan dengan pengairan tergenang secara terus menerus

menghasilkan gas methana 164 kg/ha/mt. Varietas padi yang ditanam juga

mempunyai potensi emisi gas methana yang berbeda. Penanaman padi sawah

varietas IR64, Mamberamo dan Way Opu Buru dapat menurunkan emisi gas

methana secara berurutan 60%, 35%, dan 38% dibandingkan dengan varietas padi

24

Cisadane. Di sisi lain hamparan padi sawah mampu menghasilkan oksigen (emisi

O2) melalui fotosintesis 17,8 ton O2/ha dan menyerap karbondioksida 24,4 ton

CO2/ha (Eom & Ho-Seong 2004).

Perlindungan pasar beras domestik Jepang juga dikaitkan dengan multifungsi

pertanian. Pandangan yang paling sederhana menyatakan secara nutrisi beras

impor sama dengan beras hasil produksi dalam negeri, tetapi secara sosial-budaya

dan lingkungan nilai beras impor dan beras hasil domestik berbeda. Kekurangan

beras sesaat dapat diatasi dengan mengimpornya, tetapi manfaat lingkungan dari

sistem persawahan, seperti sebagai penampung sumber air dan pemandangan yang

indah tidak bisa diimpor (Oshima 2001).

Multifungsi berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak

output dan oleh karena itu dapat memberikan manfaat pada berbagai lapisan

masyarakat dalam waktu yang bersamaan (FFTC 2001). Multifungsi merupakan

suatu konsep kegiatan yang terkait dengan properti spesifik dari suatu proses

produksi dan multiproduk yang dihasilkannya. Berkaitan dengan konsep multifungsi

pertanian tersebut Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) telah menyusun dan

melaksanakan proyek peran pertanian (ROA: Role of Agriculture) di negara-negara

berkembang (FAO 2001).

Konsep multifungsi dapat ditelaah sebagai karakteristik aktivitas ekonomi.

Suatu karakteristik yang menjadikan suatu aktivitas ekonomi bersifat multifungsi

antara lain output atau hasil atau dampaknya yang banyak atau multiple output.

Output tersebut bisa bermanfaat atau positif, bisa juga negatif atau merugikan

masyarakat. Output tersebut juga bisa dinilai dengan harga pasar, karena ada

pasarnya; tetapi mungkin juga output tersebut tidak atau belum ada pasarnya.

Pendekatan penelaahan ini dikenal dengan konsep positif dari multifungsi.

25

Pendekatan penelaahan lain adalah multifungsi sebagai konsep normatif.

Multifungsi sebagai konsep normatif lebih menekankan pada "banyak-peran" atau

"multiperan", seperti halnya peran lahan pertanian terhadap petani dan lingkungan.

Aspek normatif dari multifungsi lebih menekankan pada masalah kebijakan, yakni

bagaimana mempertahankan multifungsi dari suatu objek. Namun demikian

penekanan pendekatan multifungsi dari konsep positif tidak berarti menghilangkan

konsep normatifnya, terutama dalam menelaah multifungsi lahan pertanian. Hal

tersebut karena lahan pertanian sebagai unit kegiatan ekonomi yang memproduksi

bahan pangan, sandang (serat bahan pakaian) dan papan (kayu bahan perumahan)

masih memberikan "banyak-peran" atau banyak fungsi bagi lingkungan, baik yang

bersifat positif maupun negatif.

Selain di Jepang dan Korea Selatan penelitian mengenai multifungsi pertanian

dilakukan juga di Norwegia dan Swiss (Tabel 1). Prioritas penelitian multifungsi

pertanian di Swiss mencakup aspek pemandangan (lanskap) dan keanekaragaman

hayati, sedangkan di Norwegia menekankan aspek ketahanan pangan. Penelitian

multifungsi pertanian di Jepang dan Korea Selatan lebih diprioritaskan pada aspek

mitigasi banjir, preservasi sumberdaya air dan ketahanan pangan.

Berkaitan dengan konsep normatif multifungsi, Yoshida (2001) melakukan

valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mencakup perannya

sebagai sumber produksi bahan pangan, pengendali banjir dan erosi, pengawet

sumberdaya air, pencegah tanah longsor, pengurang tumpukan dan penyerap

sampah organik, penyegar dan pembersih udara, dan penyedia sarana rekreasi.

Nilai atau manfaat multifungsi lahan pertanian dan pedesaan mempunyai ciri

sebagaimana karakteristik public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang

tanpa harus membayar, sehingga pengambil manfaat dari multifungsi tersebut

26

kurang menyadari dan tidak memberikan perhatian yang sepatutnya bagi petani

sebagai penyedia manfaat tersebut.

Tabel 1. Prioritas penelitian aspek multifungsi pertanian di beberapa negara

Aspek multifungsi Jepang Korea Selatan

Norwegia Swiss

Lanskap X X X XXX

Biodiversitas X XX X XXX

Budaya lokal X X X X

Mitigasi banjir XXX XXX

Preservasi sumberdaya air XXX XXX

Ketahanan pangan XX XX XXX

Penyerapan TK lokal X X X X

Keterangan : XXX lebih utama atau prioritas daripada XX atau X

Sumber : Yabe (2005)

Berdasarkan hasil penelitian di Jepang (Yoshida dan Goda 2001) nilai

multifungsi lahan pertanian dan pedesaan di seluruh Jepang, seluas 4.100.000 ha

mencapai US$ 68,80 x 109, dan dari jumlah tersebut sebesar US$ 30,33 x 109

adalah nilai ekonomi lahan kering berupa perbukitan dan gunung, seluas 2.200.000

ha. Pada nilai tukar Rp 9.000/US$ nilai multifungsi lahan pertanian di Jepang

mencapai Rp 151.000.000/ha. Manfaat terbesar dari nilai ekonomi tersebut (90%)

merupakan nilai fungsi lingkungan sebagai pengendali banjir, pemasok sumber air

tanah, rekreasi dan kesenangan. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar

apabila Pemerintah Distrik Nagoya di Jepang memberikan bantuan kepada petani

sawah sebesar US $ 3.300 atau Rp 29,7 juta/ha/tahun (MAFF, 2001). Hasil

penelitian di Korea Selatan (Suh 2001) menunjukkan masyarakat setempat sudah

mengenal multifungsi lahan pertanian, baik yang bersifat positif, seperti sebagai

penyedia bahan pangan dan stabilitas ketahanan pangan, pengendali erosi dan

banjir, maupun yang bersifat negatif, seperti sebagai sumber pencemaran air dan

27

tanah. Kemudian Eom dan Kang (2001) menyatakan ada 30 fungsi sosial-ekonomi

dan budaya dari pengelolaan/pemanfaatan lahan sawah yang dikenal masyarakat

Korea Selatan. Berdasarkan hasil studi tersebut ada delapan fungsi lahan sawah

yang mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, yakni sebagai pemasok bahan

makanan (pangan), sumber air, pengikat emosi penduduk pedesaan, penyedia

tempat atau media pendidikan lingkungan, tempat rekreasi dan pemandangan alam,

penyegar udara, preservasi atau pelestarian ekosistem, dan pencegah erosi tanah.

Sedangkan fungsi lahan sawah yang kurang mendapat apresiasi antara lain sebagai

pengontrol pasar tenaga kerja, pembentuk atau pemersatu opini konvensional, dan

penyedia tempat penguburan mayat. Kemudian Chen (2001) meneliti persepsi

masyarakat mengenai jasa lingkungan lahan pertanian di Taiwan. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat sudah mengenal jasa lingkungan

lahan pertanian, terutama yang sangat penting adalah sebagai pencegah erosi,

penyedia sumberdaya air, dan pengendali banjir.

2.3. Valuasi Ekonomi

Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif

("monetasi") terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam

(SDA) dan lingkungan baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-

pasar (non market value). Oleh karena itu valuasi ekonomi sumberdaya merupakan

suatu alat ekonomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu

untuk mengestimasi nilai uang dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh SDA dan

lingkungan. Ada perbedaan antara valuasi ekonomi (economic valuation) dengan

apraisal ekonomi (economic appraisal atau economic assessment) dimana yang

disebut terakhir berkaitan dengan penilaian rencana investasi pada suatu kegiatan

28

ekonomi atau studi kelayakan investasi. Pada umumnya studi kelayakan investasi

menilai biaya dan manfaat barang dan/atau jasa yang bersifat nyata (tangible) dan

ada pasarnya (marketable good), baik dengan harga pasar atau harga bayangan

(shadow price). Tujuan kegiatan apraisal ekonomi adalah untuk menentukan nilai

atau manfaat dan kelayakan investasi berdasarkan kriteria pengambilan keputusan

tertentu (Gittinger 1982).

Pemahaman tentang konsep valuasi ekonomi memungkinkan para pengambil

kebijakan dapat menentukan penggunaan SDA dan lingkungan yang efektif dan

efisien. Hal tersebut karena valuasi ekonomi SDA dan lingkungan dapat digunakan

untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi SDA dan pembangunan ekonomi,

sehingga dengan demikian valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat (tool) penting

dalam upaya peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap SDA dan

lingkungan.

Valuasi ekonomi menggunakan satuan moneter sebagai patokan perhitungan

yang dianggap sesuai. Walaupun masih terdapat keragu-raguan bahwa nilai uang

belum tentu absah untuk beberapa atau semua hal, seperti nilai jiwa manusia tetapi

pada kenyataannya pilihan harus diputuskan dalam konteks kelangkaan

sumberdaya. Oleh karena itu satuan moneter sebagai patokan pengukuran

merupakan ukuran kepuasan untuk suatu tindakan pengambilan keputusan.

Ketidakhadiran pasar tidak berarti manfaat ekonomi suatu barang atau jasa tidak

ada, oleh karena itu preferensi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan

masyarakat itu mau tidak mau harus menggunakan satuan moneter. Ketidakhadiran

pasar memang akan membuat proses valuasi ekonomi SDA dan lingkungan menjadi

lebih rumit, atau harus dilakukan melalui beberapa tahap.

29

Ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi

ekonomi SDA dan lingkungan. Tiga alasan utamanya adalah : (1) satuan moneter

dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap lingkungan,

(2) satuan moneter dari manfaat dan biaya SDA dan lingkungan dapat menjadi

pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan, dan (3) satuan

moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap

beberapa alternatif pilihan dalam memutuskan suatu kebijakan tertentu termasuk

pemanfaatan SDA dan lingkungan (Suparmoko dan Suparmoko 2000).

Alasan pertama dapat diartikan sebagai moneterisasi keinginan atau

kesediaan seseorang untuk membayar bagi kepentingan lingkungan. Perhitungan

ini secara langsung mengekspresikan fakta tentang preferensi lingkungan dari

seseorang atau masyarakat. Hal sebaliknya juga pada seseorang atau masyarakat

yang merasa kehilangan manfaat lingkungan, maka permasalahannya dapat disebut

sebagai keinginan untuk menerima kompensasi kerugian yang diderita. Oleh karena

itu berdasarkan alasan pertama tersebut satuan moneter dapat menunjukkan

kepedulian yang kuat seseorang atau masyarakat terhadap SDA dan lingkungan.

Alasan kedua berkaitan dengan masalah kelangkaan sumberdaya alam.

Apabila ada suatu SDA atau jenis spesies tertentu yang menghadapi masalah

kelangkaan akibat pembangunan akan dinilai tinggi yang terekspresikan dalam

satuan moneter. Kemudian alasan ketiga berkaitan dengan aspek pengambilan

keputusan dalam pemanfaatan SDA dan lingkungan dimana satuan moneter dapat

digunakan sebagai salah satu indikator pengambilan keputusan.

30

2.4. Metode Valuasi Ekonomi

Metode valuasi ekonomi SDA dan lingkungan secara umum dibagi ke dalam

dua pendekatan (Turner et al. 1994, Navrud 2000, PSLH-UGM 2001), yakni valuasi

yang menggunakan fungsi permintaan (demand approach) dan valuasi yang tidak

menggunakan fungsi permintaan (non-demand approach). Valuasi ekonomi dengan

pendekatan fungsi permintaan meliputi empat metode, yakni metode dampak

produksi, metode respon dosis, metode pengeluaran preventif, dan metode biaya

pengganti. Kemudian valuasi ekonomi yang tidak menggunakan fungsi permintaan

meliputi metode valuasi kontingensi, metode biaya perjalanan, metode nilai properti,

dan metode biaya pengobatan.

2.4.1. Valuasi ekonomi dengan pendekatan fungsi permintaan

Metode dampak produksi

Metode dampak produksi merupakan metode yang umum digunakan dalam

valuasi ekonomi SDA dan lingkungan. Metode ini menghitung manfaat konservasi

lingkungan dari sisi kerugian yang ditimbulkan akibat adanya suatu kebijakan

proteksi. Metode ini menjadi dasar dalam pembayaran kompensasi bagi properti

masyarakat yang dibeli oleh pemerintah untuk tujuan tertentu, misalnya untuk

membangun jalan bebas hambatan (tol), lapangan terbang, atau instalasi militer.

Dalam hal ini kompensasi juga termasuk bagi para petani yang merelakan tanahnya

untuk tujuan pembangunan, walaupun bentuk penggunaan lahan tersebut berupa

cagar alam, hutan lindung atau lainnya yang mempunyai fungsi ekologis selain

fungsi produksi.

31

Metode respon dosis

Metode respon dosis menilai pengaruh perubahan kandungan zat kimia atau

bahan polusi (polutan) tertentu terhadap kegiatan ekonomi atau kepuasan

konsumen. Sebagai contoh tingkat pencemaran badan air akan mempengaruhi

pertumbuhan makhluk air, baik ikan yang dibudidayakan maupun ikan liar,

menurunkan manfaat kegunaan air, berbahaya bagi kesehatan manusia, dan lain-

lain. Dalam hal ini kompleksitas valuasi ekonominya berbeda-beda. Penurunan

tingkat produksi perikanan dalam contoh yang dimaksud dapat dihitung baik dengan

menggunakan harga pasar yang berlaku maupun harga bayangan (shadow price).

Tetapi valuasi ekonomi akan menjadi lebih kompleks jika dampak pencemaran

tersebut ternyata mempengaruhi kesehatan manusia, termasuk risiko meninggal

dunia. Jika demikian maka valuasi ekonomi dampak pencemaran tersebut

memerlukan estimasi yang menyangkut nilai kehidupan manusia seperti

pengurangan risiko sakit atau kemungkinan meninggal dunia, kemauan untuk

membayar guna menghindari risiko sakit atau meninggal dunia akibat pencemaran.

Dalam banyak hal terdapat kaitan yang erat antara metode ini dengan metode

dampak produksi.

Metode pengeluaran preventif

Pada metode ini nilai lingkungan dihitung dari apa yang disiapkan oleh

seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) untuk upaya pencegahan

kerusakan lingkungan seperti pembuatan terasering untuk mencegah erosi di daerah

berlereng atau dataran tinggi. Metode yang terkait erat dengan pendekatan ini

adalah metode perilaku menghindari risiko. Dalam metode ini nilai ekternalitas

lingkungan dari suatu kegiatan pembangunan dihitung dengan melihat berapa biaya

32

yang disiapkan oleh seseorang atau masyarakat untuk menghindari dampak negatif

dari lingkungan yang kurang baik, seperti pindah ke daerah lain yang kualitas

lingkungannya lebih baik atau setara dengan biaya pindah. Metode pengeluaran

preventif juga digunakan untuk menilai ekternalitas kepindahan tempat kerja

karyawan suatu kantor atau perusahaan dimana biaya transportasi ke tempat kerja

yang baru merupakan biaya ekternalitas.

Metode biaya pengganti

Valuasi ekonomi dengan metode ini didasarkan pada biaya ganti rugi aset

produktif yang rusak, karena penurunan kualitas lingkungan atau kesalahan

pengelolaan. Biaya ganti rugi tersebut diperlukan sebagai perkiraan minimum dari

nilai peralatan yang dapat mengurangi polusi atau perbaikan pengelolaan praktis

sehingga dapat mencegah kerusakan. Nilai minimum tersebut dibandingkan dengan

biaya peralatan yang baru. Sebagai ilustrasi yang umum digunakan adalah konversi

hutan bakau untuk pembangunan. Jika suatu hutan bakau dikurangi, maka akan

terjadi perubahan keseimbangan rantai makanan dalam ekosistem perairan pantai

yang dipengaruhi oleh hutan bakau. Namun dalam kenyataannya ternyata

perubahan tersebut tidak hanya menyangkut keseimbangan rantai makanan biota

air, tetapi juga menyangkut aspek lain, seperti siklus air dan unsur hara.

Apabila pengurangan luas hutan bakau ternyata berdampak terhadap

pengurangan unsur hara dan penurunan populasi udang tangkap, maka dengan

menilai kerugian tersebut secara moneter akan diperoleh jumlah biaya pengganti

yang harus dikeluarkan jika kebijakan pengelolaan hutan bakau tersebut

dilaksanakan.

33

2.4.2. Valuasi ekonomi dengan pendekatan bukan fungsi permintaan

Metode valuasi kontingensi

Metode valuasi kotingensi merupakan metode valuasi SDA dan lingkungan

dengan cara menanyakan secara langsung kepada konsumen tentang nilai manfaat

SDA dan lingkungan yang mereka rasakan. Teknik metode ini dilakukan dengan

survai melalui wawancara langsung dengan responden yang memanfaatkan SDA

dan lingkungan yang dimaksud. Cara ini diharapkan dapat menentukan preferensi

responden terhadap SDA dengan mengemukakan kesanggupan untuk membayar

(WTP: willingness to pay) yang dinyatakan dalam bentuk nilai uang.

Guna memperoleh hasil yang maksimal dan mengenai sasaran, penerapan

metode ini memerlukan rancangan dan pendekatan kuesioner yang baik. Ada empat

pendekatan kuesioner yang dapat dipertimbangkan, yakni: (1) pendekatan

pertanyaan langsung, (2) pendekatan penawaran bertingkat, (3) pendekatan kartu

pembayaran, dan (4) pendekatan setuju atau tidak setuju.

Pendekatan pertanyaan langsung digunakan dengan cara memberikan

pertanyaan langsung berapa harga yang sanggup dibayarkan oleh responden untuk

dapat memanfaatkan atau mengkonsumsi SDA dan jasa lingkungan yang

ditawarkan.

Pendekatan penawaran bertingkat merupakan penyempurnaan dari

pendekatan pertanyaan langsung. Pendekatan ini dimulai dengan suatu tingkat

harga awal tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti lalu ditanyakan kepada

responden apakah harga tersebut layak. Jika responden menjawab "ya" dengan

harga yang ditawarkan maka nilai harga tersebut dinaikan dan ditawarkan kepada

34

responden sehingga responden menjawab "tidak". Jawaban atau angka terakhir

yang dicapai tersebut merupakan nilai WTP yang tertinggi dari responden.

Hal sebaliknya bisa juga terjadi, yaitu jika responden sudah menjawab "tidak"

untuk tingkat harga pertama yang ditawarkan. Jika demikian maka harga tersebut

diturunkan sampai responden menjawab "ya". Jawaban atau angka terakhir yang

dicapai tersebut dianggap sebagai nilai WTP tertinggi. Nilai WTP dengan

pendekatan ini dianggap sebagai nilai atau harga SDA dan lingkungan yang

ditawarkan.

Pendekatan kartu pembayaran digunakan dengan bantuan sebuah kartu berisi

daftar harga yang dimulai dari nol sampai pada suatu harga tertentu yang relatif

tinggi. Kemudian kepada responden ditanyakan harga maksimum yang sanggup

dibayar untuk suatu produk atau jasa SDA dan lingkungan.

Pendekatan setuju atau tidak setuju merupakan cara yang paling sederhana,

terutama bagi responden karena responden hanya ditawari suatu tingkat harga

tertentu kemudian ditanya setuju atau tidak setuju dengan harga tersebut.

Pendekatan WTP dapat digunakan untuk menilai jasa lingkungan pertanian

yang dapat dirasakan oleh masyarakat hilir yang biasa terkena banjir. Kondisi yang

mendukung hal itu adalah kejadian banjir sudah bersifat rutin, masalah banjir

tersebut belum bisa ditanggulangi dengan sistem penanganan banjir secara kuratif,

sementara di sisi lain masyarakat korban bencana banjir menyadari kejadian banjir

terkait dengan kualitas lingkungan di wilayah hulunya. Dalam kondisi seperti itu

maka masyarakat akan memberikan respon positif terhadap upaya-upaya perbaikan

lingkungan wilayah hulu, termasuk pertanian yang dapat mengurangi bahaya banjir.

Selain itu penjelasan mengenai multifungsi pertanian semakin menguatkan respon

35

masyarakat hilir untuk berpartisipasi dalam pembayaran jasa lingkungan pertanian

dalam bentuk pernyataan kemauan untuk membayarnya (WTP).

Pendekatan WTA (Willingness to accept) secara prinsip sama dengan WTP,

tetapi respondennya adalah masyarakat yang menyediakan atau menghasilkan jasa

lingkungan. Pendekatan WTA tepat digunakan untuk mengetahui seberapa besar

petani mau dibayar agar tetap bersedia mengelola dan mempertahankan lahan

pertaniannya. Kondisi yang mendukung penggunaan teknik WTA untuk petani

adalah petani dalam posisi yang "merugi", baik karena usahataninya tidak

menguntungkan atau tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya atau karena

terdesak oleh kegiatan pembangunan yang setiap saat akan mengkonversi lahan

pertaniannya tetapi petani tersebut belum siap melepas lahannya karena berbagai

hal, seperti tidak mempunyai keahlian lain untuk alih profesi atau harga tanahnya

belum sesuai. Di sisi lain petani juga adalah pihak yang menyediakan jasa

lingkungan pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Metode valuasi kontingensi dengan survai WTP/WTA merupakan metode yang

telah banyak digunakan. Metode CVM pernah digunakan untuk menilai WTP para

turis terhadap SDA dan lingkungan National Park di Kenya (Navrud & Mungatana

1994), preservasi hutan hujan tropis (Rolfe et al. 2000), menilai kemauan

masyarakat untuk membayar jasa pengelolaan sampah rumah tangga di Malaysia

(Othman 2002), pengelolaan hutan di Malaysia (Othman 2004).

Terlepas dari kelebihannya, ada beberapa kelemahan metode ini akibat bias

yang ditimbulkannya. Ada lima sumber bias atau kesalahan yang dapat timbul pada

metode ini (Shogen et al. 1994, Suparmoko dan Suparmoko 2000), yakni:

36

1. Kesalahan strategi: kesalahan ini muncul akibat kesalahan strategi dalam

mengungkap informasi yang mengakibatkan ketidaktepatan persepsi

responden terhadap pertanyaan yang diajukan.

2. Kesalahan titik awal: kesalahan ini terjadi pada pengungkapan informasi

dengan menggunakan metode penawaran bertingkat disebabkan oleh

kesulitan dalam penentuan berapa harga awal yang ditawarkan.

3. Kesalahan hipotetis: bersumber dari dua hal, yakni responden tidak

merasakan secara benar mengenai kharakteristik SDA dan lingkungan yang

diuraikan oleh pewawancara dan responden memberikan respon yang tidak

serius terhadap pertanyaan yang diajukan dan hanya menjawab seadanya.

4. Kesalahan sampling: muncul karena ketidakjelasan dalam mendefinisikan

populasi, tidak ada kesesuaian antara populasi yang menjadi sasaran

dengan contoh yang diambil, pengambilan contoh tidak acak, atau jumlah

contoh yang tidak mewakili.

5. Kesalahan spesifikasi komoditas: terjadi karena responden tidak mengerti

spesifikasi barang atau jasa SDA dan lingkungan yang ditawarkan.

Kesalahan ini dapat diatasi dengan uraian yang jelas dan menggunakan

kalimat yang sederhana, efektif dan mudah dimengerti atau dengan cara

menggunakan alat bantu dan visualisasi, seperti foto, gambar, lukisan dan

lainnya.

Metode biaya perjalanan

Metode valuasi ini mengestimasi kurva permintaan barang-barang rekreasi

terutama rekreasi di luar rumah. Asumsi yang digunakan adalah semakin jauh

tempat tinggal seseorang yang datang memanfaatkan fasilitas rekreasi akan

37

semakin menurun permintaan terhadap produk rekreasi tersebut. Para pemakai

tempat rekreasi yang bertempat tinggal lebih dekat ke tempat rekreasi diharapkan

lebih banyak meminta produk rekreasi karena biaya perjalanan lebih rendah

dibandingkan dengan yang tinggal lebih jauh dari tempat rekreasi tersebut. Dengan

demikian mereka yang bertempat tinggal lebih dekat dan biaya perjalanannya lebih

rendah akan memiliki surplus konsumen besar.

Dengan demikian pendekatan biaya perjalanan dapat diterapkan untuk

menyusun kurva permintaan masyarakat terhadap rekreasi untuk suatu produk/jasa

SDA dan lingkungan.

Ada beberapa asumsi dasar dalam penggunaan metode ini (PSLH-UGM

2001), yakni:

1. Para konsumen/responden memberikan respon yang sama terhadap

perubahan harga tiket dan jumlah biaya perjalanan yang harus dikeluarkan;

2. Utilitas selama perjalanan bukan merupakan faktor yang mempengaruhi

permintaan rekreasi;

3. Tempat-tempat rekreasi sejenis mempunyai kualitas yang sama dalam

memberikan kepuasan kepada pengunjung;

4. Pengunjung dengan tujuan rekreasi yang banyak telah diketahui

sebelumnya;

5. Tempat rekreasi belum mencapai kapasitas maksimum sehingga tidak ada

pengunjung yang ditolak;

6. Para pengunjung yang berasal dari daerah yang berbeda dianggap

mempunyai selera, preferensi dan pendapatan yang relatif sama.

FAO (2001) menyatakan bahwa teknik atau metode biaya perjalanan dan

valuasi kontingensi pada dasarnya dapat digunakan untuk menilai barang (SDA dan

lingkungan) yang sama, termasuk eksternalitas lahan pertanian.

38

Metode nilai properti

Metode ini merupakan suatu teknik valuasi ekonomi terhadap SDA dan

lingkungan berdasarkan pada perbedaan harga sewa lahan atau harga sewa rumah.

Dengan asumsi bahwa perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kualitas

lingkungan maka selisih harga keduanya merupakan harga kualitas lingkungan itu

sendiri. Pendekatan atau metode ini dikenal juga dengan pendekatan hedonik

(Othman et al. 2006). Metode ini didasarkan atas kesanggupan seseorang untuk

mebayar (WTP) lahan atau komoditas lingkungan sebagai cara untuk menduga

secara tidak langsung bentuk kurva permintaannya sehingga nilai perubahan

kualitas lingkungan tersebut dapat ditentukan.

Kesanggupan seseorang untuk membayar lahan, rumah atau properti lainnya

tergantung pada karakteristik barang tersebut, artinya perubahan karakteristik akan

mengubah WTP seseorang, sehingga kurva permintaannya juga berubah. Salah

satu karakteristik lahan dan perumahan adalah kondisi lingkungan dimana lahan

atau rumah tersebut berada yang dicerminkan oleh perbedaan harga atau sewanya.

Pendekatan ini didasarkan pada dua asumsi dasar, yakni : (1) konsumen

mengetahui dengan baik tentang karakteristik properti yang ditawarkan dan memiliki

kebebasan untuk memilih alternatif lain tanpa ada kekuatan lain yang dapat

mempengaruhinya, dan (2) konsumen mencapai atau merasakan kepuasan

maksimum atas properti yang dibelinya dengan kemampuan keuangan yang

dimilikinya. Oleh karena itu harga rumah atau tanah atau properti tersebut

merupakan fungsi dari struktur bangunannya, lingkungan sekitar atau tetangga dan

kualitas lingkungan. Beberapa hal yang dapat dikaitkan dengan variabel struktur

bangunan adalah bentuk, model, luas, dan lain-lain. Variabel lingkungan sekitar

39

mencakup akses ke kota, pusat pendidikan, keamanan, ketetanggaan dan lain-lain.

Kemudian variabel kualitas lingkungan dapat berupa kualitas udara, kebisingan,

suhu, dan lain-lain.

Metode biaya pengobatan

Metode biaya pengobatan digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas

(kesehatan) akibat adanya perubahan yang menyebabkan seseorang menderita

sakit. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Biaya

langsung mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan penderita yang

antara lain meliputi : perawatan di rumah sakit, perawatan selama penyembuhan,

perawatan selama pasca penyembuhan, pelayanan kesehatan yang lain, dan obat-

obatan.

Biaya tidak langsung mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang

menderita sakit. Biaya tidak langsung biasanya diukur melalui penggandaan upah

oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya ini umumnya tidak

termasuk biaya nilai rasa sakit yang diderita atau nilai penderitaan.

Biaya pengobatan umumnya digunakan untuk menilai dampak polusi

lingkungan seperti pencemaran udara terhadap morbiditas. Ada dua prosedur utama

yang dapat dilakukan, yakni: (1) melalui efek marjinal dari polusi udara terhadap

kesehatan, diturunkan dari fungsi kerusakan fisik yang dikaitkan dengan efek

kesehatan tertentu, dan (2) biaya total (langsung dan tidak langsung) akibat polusi

udara dihitung melalui taksiran biaya pengobatan terhadap biaya kesehatan dan nilai

kehilangan waktu karena tidak bekerja.

40

2.5. Studi-studi Terdahulu

Studi mengenai valuasi ekonomi lahan pertanian yang cukup intensif telah

dilakukan di beberapa negara Asia antara lain di Jepang (Yoshida 2001, Goda 2001,

Kato 2001), Korea Selatan (Eom 2001, Suh 2001), dan Taiwan (Chen 2001). Dalam

sepuluh tahun terakhir ini masalah penanganan dan pemahaman mengenai

multifungsi lahan pertanian, perbukitan dan pegunungan menjadi isu penting di

Jepang. Ada tiga metode yang umum digunakan dalam studi valuasi ekonomi lahan

pertanian di Jepang yakni replacement cost method (RCM), hedonic pricing method

(HPM), dan contingent valuation method (CVM).

Secara nasional pada 1995 metode RCM telah digunakan oleh Institut

Penelitian Mitsubishi untuk menaksir manfaat ekonomi lahan padi sawah di Jepang.

Saat itu taksiran nilai ekonomi lahan sawah mencapai US$ 67 x 109 untuk seluruh

areal lahan sawah yang ada di Jepang. Kemudian pada tahun 2001 dengan

menggunakan metode yang sama dan indikator teknis yang terbaru, dilakukan

valuasi ekonomi kembali terhadap multifungsi lahan pertanian dan pedesaan di

Jepang. Hasilnya menunjukkan nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian dan

pedesaan mencapai US$ 68,8 x 109 atau meningkat dari kondisi tahun 1995.

Indikator teknis yang digunakan antara lain kapasitas memegang air lahan sawah

dan lahan kering, masing-masing 5,2 x 109 m3 dan 0,8 x 109 m3 untuk seluruh

wilayah Jepang atau 1.793 m3/ha pada lahan sawah dan 444,4 m3/ha pada lahan

kering. Kemampuan tanah memegang air tersebut merupakan multifungsi lahan

pertanian untuk mengendalikan banjir, sehingga fungsi tersebut dinilai berdasarkan

biaya penyusutan dan pemeliharaan suatu dam yang berfungsi untuk mengontrol

pasokan air sebanyak itu. Kemudian kemampuan lahan pertanian memasok sumber

air tanah diperkirakan sebesar 3,7 x 109 m3/tahun atau setara dengan 902,4

41

m3/ha/tahun dan indikator tersebut dinilai berdasarkan perbedaan antara harga air

tanah dengan air PAM.

Pada tahun 1991 Nishizawa et al. (1991) dalam Yoshida (2001) menggunakan

metode HPM untuk menilai manfaat kesenangan lahan sawah di Jepang dengan

taksiran nilai ekonomi sebesar US$ 120 x 109. Kemudian metode CVM pernah

digunakan pada tahun 1997 untuk menilai multifungsi lahan sawah dan tahun 1999

untuk menilai multifungsi lahan kering di Jepang. Berdasarkan metode CVM nilai

multifungsi lahan sawah di Jepang sekitar US$ 41 x 109 dan nilai multifungsi lahan

kering sekitar US$ 35 x 109 (Yoshida 1999). Valuasi ekonomi multifungsi lahan

pertanian dengan menggunakan metode CVM seperti yang dilakukan oleh Yoshida

dan Goda (2001) di Jepang sangat ekstensif dan melibatkan banyak responden.

Pengiriman kwesioner sebanyak 5000 buah melalui jasa pos kepada responden di

seluruh Jepang yang terbagi dalam empat bagian wilayah survai (Jepang Utara,

Kanto, Tengah dan Jepang Barat) menghasilkan 2.015 buah kwesioner yang

dikembalikan oleh responden atau efektivitasnya 41,6%. Berdasarkan hasil survai

dengan metode CVM tersebut diperoleh rata-rata tingkat kemauan masyarakat untuk

membayar (WTP) sebesar ¥ 72.633 atau setara dengan Rp 5,08 juta/rumah

tangga/tahun. Besaran WTP tersebut ternyata dipengaruhi secara negatif oleh nilai

awal penawaran (bid value) dan dipengaruhi secara positif oleh pengetahuan

responden mengenai multifungsi lahan pertanian, jenis kelamin responden laki-laki,

umur dan tingkat pendapatan responden.

Penelitian valuasi ekonomi multifungsi lahan pertanian di Korea Selatan juga

dilakukan dengan menggunakan metode RCM. Berbagai indikator teknis yang

digunakan, seperti yang dilaporkan oleh Eom dan Kang (2001), antara lain kapasitas

lahan sawah dan lahan kering untuk menyimpan air, masing-masing 2.376 m3/ha

42

dan 791 m3/ha, kapasitas lahan sawah dan lahan kering memasok sumber air tanah,

masing-masing 4.685 m3/ha dan 846 m3/ha, dan perbedaan erosi tanah dari lahan

kering dan lahan sawah sebesar 79,7 ton/ha/tahun.

Agus et al. (2003) telah menghitung nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian,

khususnya lahan sawah seluas 157.600 ha di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum,

Jawa Barat dengan menggunakan metode biaya pengganti (RCM). Nilai ekonomi

manfaat lingkungan yang hilang jika diasumsikan terjadi konversi lahan sawah 30%,

mencapai US$ 74.800.000 /tahun atau Rp 13.764.000 /ha/tahun. Nilai ekonomi

tersebut terdiri atas nilai barang ekonomi (49%) dan nilai jasa lingkungan (51%).

Manfaat lingkungan yang dinilai meliputi fungsi lahan sawah sebagai pengendali

banjir, konservasi sumberdaya air, pengendali erosi, pengendali longsor, penyerap

sampah organik, penyedia tempat rekreasi, dan penyejuk udara.

Berdasarkan eksplorasi studi-studi terdahulu tersebut maka dalam penelitian

ini digunakan metode penilaian RCM dan CVM. Metode RCM digunakan untuk

menilai jasa lingkungan multifungsi pertanian, khususnya dalam hal mitigasi banjir,

erosi dan pendangkalan sungai, serta penyangga ketahanan pangan. Kemudian

CVM melalui pendekatan WTA dan WTP digunakan untuk menanyakan langsung

kepada masyarakat (responden) mengenai pembayaran jasa lingkungan pertanian,

sedangkan penilaian dengan harga pasar digunakan untuk menilai manfaat

langsung dari hasil pertanian.

Simulasi pasar dalam pendekatan WTP/WTA didasarkan pada manfaat

multifungsi pertanian yang dihasilkan petani dan bersifat sebagai barang umum.

Sementara itu kondisi menjadi petani bukan suatu pilihan yang menarik karena

berbagai faktor. Apabila petani tidak melakukan aktivitas pertanian atau lahan

pertanian hilang karena dikonversi maka manfaat multifungsi pertanian pun akan

43

hilang. Akibatnya petani dan masyarakat luas akan kehilangan berbagai manfaat

tersebut, seperti manfaat privat bagi petani dalam bentuk pendapatan dan manfaat

jasa lingkungan bagi petani dan masyarakat, seperti kesempatan kerja, penyangga

ketahanan pangan, sumber air bersih, mitigasi banjir dan sebagainya. Agar semua

manfaat itu tidak hilang maka petani diminta untuk tetap bertani pada lahan sawah

atau melakukan konservasi tanah dan air pada lahan kering atau tidak mengkonversi

lahan pertaniannya maka pendekatan WTA diajukan kepada mereka.

Kemudian pada masyarakat hilir yang rutin terkena banjir diberi informasi dan

pengetahuan mengenai berbagai penyebab banjir termasuk akibat dari hilang atau

berkurangnya multifungsi pertanian. Selanjutnya kepada mereka diajukan suatu

kondisi "seandainya" ada teknologi atau upaya yang dapat mengurangi bahaya

banjir apakah mereka bersedia untuk membayar (WTP). Teknologi atau upaya yang

dimaksud adalah pertanian atau mempertahankan lahan pertanian. Penjelasan lebih

lanjut mengenai simulasi pasar dalam pendekatan WTP dan WTA disajikan pada

Bagian 6.1.2 dan Bagian 6.2.1 serta Lampiran 11.