bab ii tinjauan pustaka - pakarteori.files.wordpress.com · jika berasal dari benih hasil...

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Kopi Secara komersial, kita mengenal dua jenis kopi, yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Kopi arabika adalah kopi tradisional dan dianggap paling enak rasanya serta menguasai 70 persen pasar kopi dunia. Dengan ciri-ciri memiliki variasi rasa yang lebih beragam, dari rasa manis dan lembut atau halus hingga rasa kuat dan tajam serta terkenal juga dengan rasanya yang pahit. Kopi arabika juga memiliki aroma yang sedap yang sekilas mirip percampuran bunga dan buah. Kopi yang berasal dari Etiopia ini sekarang sudah dibudidayakan di Indonesia. Umumnya sensitif terhadap serangan penyakit karat daun (Hemelia Vastatrik). Rata-rata produksinya 800 - 2.500 kg/ha/tahun, mempunyai kualitas yang relatif lebih tinggi dari jenis kopi lainnya. Kopi jenis ini berbuah sekali dalam setahun (Budiman, 2012). Kopi robusta adalah jenis kopi yang resisten terhadap penyakit HV (Hemelia Vastatrik) sehingga pengelolaannya lebih mudah dibanding kopi arabika. Kopi robusta pertama kali ditemukan di Kongo dan saat ini menguasai 30 persen pasar dunia. Dengan ciri-ciri memiliki rasa seperti cokelat, lebih pahit, dan sedikit asam., bau yang dihasilkan khas dan manis. Rata-rata produksinya 800 - 2.000 kg/ha/tahun. Kopi robusta lebih murah, rasanya kurang enak dan lebih banyak caffein dari pada kopi arabika (Budiman, 2012). Tanaman kopi yang dirawat dengan baik biasanya sudah mulai berproduksi pada umur 2,5-3 tahun, tergantung pada iklim dan jenisnya. Tanaman kopi robusta biasanya sudah dapat berproduksi pada umur 2,5 tahun,

Upload: phungphuc

Post on 08-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Kopi

Secara komersial, kita mengenal dua jenis kopi, yaitu kopi arabika dan

kopi robusta. Kopi arabika adalah kopi tradisional dan dianggap paling enak

rasanya serta menguasai 70 persen pasar kopi dunia. Dengan ciri-ciri memiliki

variasi rasa yang lebih beragam, dari rasa manis dan lembut atau halus hingga

rasa kuat dan tajam serta terkenal juga dengan rasanya yang pahit. Kopi arabika

juga memiliki aroma yang sedap yang sekilas mirip percampuran bunga dan buah.

Kopi yang berasal dari Etiopia ini sekarang sudah dibudidayakan di Indonesia.

Umumnya sensitif terhadap serangan penyakit karat daun (Hemelia Vastatrik).

Rata-rata produksinya 800 - 2.500 kg/ha/tahun, mempunyai kualitas yang relatif

lebih tinggi dari jenis kopi lainnya. Kopi jenis ini berbuah sekali dalam setahun

(Budiman, 2012).

Kopi robusta adalah jenis kopi yang resisten terhadap penyakit HV

(Hemelia Vastatrik) sehingga pengelolaannya lebih mudah dibanding kopi

arabika. Kopi robusta pertama kali ditemukan di Kongo dan saat ini menguasai

30 persen pasar dunia. Dengan ciri-ciri memiliki rasa seperti cokelat, lebih pahit,

dan sedikit asam., bau yang dihasilkan khas dan manis. Rata-rata produksinya

800 - 2.000 kg/ha/tahun. Kopi robusta lebih murah, rasanya kurang enak dan

lebih banyak caffein dari pada kopi arabika (Budiman, 2012).

Tanaman kopi yang dirawat dengan baik biasanya sudah mulai

berproduksi pada umur 2,5-3 tahun, tergantung pada iklim dan jenisnya.

Tanaman kopi robusta biasanya sudah dapat berproduksi pada umur 2,5 tahun,

sedangkan kopi arabika pada umur 2,5-3 tahun. Umur ekonomis kopi dapat

mencapai 10-15 tahun, kopi arabika dapat berproduksi hingga 10 tahun,

sedangkan kopi robusta dapat mencapai 15 tahun. Namun demikian tingkat

produksi kopi sangat di pengaruhi oleh tingkat pemeliharaannya, seperti

pemupukan, pemberantasan terhadap hama penyakit juga pada pemilihan bibit

(Najiyati dan Danarti, 2004).

2.2 Agribisnis Kopi

Secara singkat lingkup pembangunan agribisnis kopi dapat digambarkan

sebagai berikut.

Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis Kopi Sumber: Pambudy, 2005

Subsistem Agribisnis Hulu Pembenihan/

Pembibitan Tanaman Agrokimia Agro

Otomotif

Subsistem Usahatani Usaha

Perkebunan

Subsistem Pengolahan Pasca Panen • Industri

Bahan Minuman

Subsistem Pemasaran • Distribusi • Informasi

Pasar • Kebijakan

Perdagangan • Struktur

Pasar

Subsistem Jasa dan Penunjang • Perkreditan dan Asuransi • Penelitian dan Pengembangan • Pendidikan dan Penyuluhan T t i d P d

a. Subsistem Agribisnis Hulu Kopi

1. Pembenihan/Pembibitan Tanaman Kopi

Ada dua jenis bibit kopi, yaitu bibit generatif dan bibit vegetatif. Bibit

generatif diperoleh dengan cara menyemaikan benih. Benih ini boleh digunakan

jika berasal dari benih hasil persilangan pertama yang berasal dari penangkaran

benih terpercaya. Bibit vegetatif diperoleh dengan cara memperbanyak bagian

tanaman selain benih, misalnya bibit cangkokan, sambungan, okulasi atau setek,

dan kultur jaringan (Suwarto dan Yuke, 2010).

Benih dan bibit dapat dipesan/dibeli langsung ke PT. Perkebunan terdekat

(misalnya PTP XXIII, PTP XXVI), balai penelitian perkebunan terdekat (BPPB

Jember), dinas perkebunan terdekat, atau perusahaan perkebunan terdekat yang

khusus membuat benih/bibit kopi. Biasanya tempat-tempat tersebut mempunyai

kebun khusus yang hanya memproduksi benih dan bibit kopi. Tanaman di kebun

dipisahkan dari jenis kopi lainnya sehingga benih yang dihasilkan tidak tercemar.

Benih yang dipanen juga diseleksi dari biji-biji rusak atau terserang hama

penyakit sehingga dihasilkan biji-biji unggul (Najiyati dan Danarti, 2008).

2. Agrokimia

Menurut Najiyati dan Danarti (2008) tanaman kopi membutuhkan pupuk

untuk tumbuh kembangnya. Jenis pupuk yang sering digunakan untuk tanaman

kopi adalah pupuk buatan (kimiawi) seperti urea, SP-36, dan KCL, serta pupuk

organik seperti pupuk kandang dan kompos. Pada tahun pertama, setiap tanaman

dipupuk dengan pupuk urea sebanyak 50 gr, SP-36 25 gr, dan KCL 20 gr. Pupuk

tersebut diberikan dua kali, yaitu setengah pada umur enam bulan dan setengah

lagi pada umur satu tahun. Dosis pemupukan tanaman kopi/pohon/tahun dapat

dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Data Dosis Pemupukan Tanaman Kopi/Pohon/Tahun

Tahun ke Urea (gr/pohon/thn)

SP-36 (gr/pohon/thn)

KCL (gr/pohon/thn)

1 2 x 25 2 x 25 2 x 20 2 2 x 50 2 x 50 2 x 40 3 2 x 75 2 x 70 2 x 40 4 2 x 100 2 x 90 2 x 40

5-10 2 x 150 2 x 130 2 x 60 >10 2 x 200 2 x 175 2 x 80

Sumber: Najiyati dan Danarti, 2008

Selain penggunaan pupuk, tingkat keberhasilan budidaya tanaman kopi

tergantung juga dalam hal penanganan hama penyakit. Penyakit yang sering

ditemukan dan serangannya mampu membuat kerugian ekonomi yang tinggi

adalah penyakit karat daun dan nematoda parasit. Pengendalian umum yang

sudah dilakukan oleh pekebun yaitu dengan pengendalian secara mekanis dan

kimiawi.

Dalam pengendalian secara kimiawi, fungisida yang digunakan yaitu

larutan dithane M-45 2 gr/liter air untuk mngendalikan penyakit karat daun

(Hemileia vastatrix); larutan bavistin 50 WP 0,2 % dan dithane M-45 80 WP

0,2% untuk mengendalikan cendawan jenis Cercospora coffeicola. Untuk

pestisida digunakan pestisida dengan perlakuan fumigant seperti Basamid G. dan

Vapam L. untuk mengendalikan hama yang menyerang akar yang pengaplikasian

dilakukan sebelum kegiatan penanaman; dan dengan perlakuan sistemik dan

kontak seperti Vydate 100 AS, Rugby 10 G untuk mengendalikan hama bentuk

nematoda yang menyerang akar (Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

3. Agro Otomotif

Dalam suatu perkebunan, kehadiran alat-alat atau mesin pertanian mutlak

diperlukan. Alat pertanian memiliki peranan yang cukup penting, antara lain

mempercepat waktu kerja sehingga hasil yang diperoleh bisa lebih optimal.

Peralatan pertanian yang digunakan ada berbagai macam, dari alat berat sampai

ringan, tergantung penggunaannya. Berikut ini beberapa peralatan pertanian yang

biasa digunakan dalam usaha budidaya tanaman kopi.

1. Traktor, garu, dan cangkul untuk mengolah tanah

2. Parang atau arit untuk membersihkan areal kebun kopi

3. Bengko untuk membuat lubang tanam

4. Pisau, gunting, dan gergaji untuk okulasi

5. Gunting dan parang yang tajam untuk memangkas

6. Spayer untuk menyemprot fungisida, insektisida, ataupun pupuk

(Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008).

Sedangkan peralatan yang digunakan selama proses pengolahan kopi

antara lain:

1. Sifon (Conische Tank) adalah alat yang digunakan untuk memisahkan kopi

kategori baik dan inferior berdasarkan prinsip perbedaan berat jenis buah

kopi.

2. Pulper adalah alat yang digunakan untuk memisahkan kopi dari pulp-nya

(daging buah dan kulitnya). Terdapat dua macam Pulper, yaitu Disk Pulper

dan Cylinder Pulper. Cylinder Pulper merupakan alat yang paling banyak

digunakan karena selain dapat memisahkan kopi dari pulp, juga sebagai

wadah pencucian sekaligus.

3. Vis Dryer, Mason Dryer, dan American Drying System (ADS) digunakan

untuk mengeringkan biji kopi. Tipe pengeringan Vis Dryer dibuat seperti

layaknya rumah yang lantainya (tebal lantai 8 cm) berlubang-lubang dan

dibuat juga saluran pipa-pipa udara untuk mengalirkan uap panas. Tipe

pengeringan Mason Dryer dibuat dari silinder yang bisa berputar, putaran

diatur dengan kecepatan 1-4 putaran per menit, dan bagian dinding silinder

berlubang-lubang. Tipe pengeringan ADS berbentuk menara yang

pemanasannya menggunakan bahan bakar solar, gas hasil pembakaran dari

burner gass yang sudah tercampur dengan udara segar langsung disalurkan ke

tempat pengeringan.

4. Huller digunakan untuk melepaskan biji kopi dari kulit tanduk dan kulit ari.

(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

b. Subsistem Usahatani Kopi

Menurut Tim Penulis Penebar Swadaya (2008) pelaksanaan teknik

budidaya yang tepat guna bertujuan untuk menghasikan produksi tanaman

perkebunan yang tinggi dan berkualitas. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu

diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi usaha budidaya ini. Faktor-faktor

tersebut, antara lain sebagai berikut.

1. Pemilihan Bibit (memilih dan membeli bibit, penyemaian benih, pembibitan,

dan perawatan bibit)

2. Persiapan Lahan

3. Penanaman (pembuatan lubang tanam, dan penanaman)

4. Pemeliharaan (pengairan, pemupukan, pemangkasan, dan pemberantasan

hama penyakit)

c. Subsistem Pengolahan Pasca Panen Kopi

Kualitas kopi yang baik hanya dapat diperoleh dari buah yang telah masak

dan melalui pengolahan yang tepat. Buah kopi yang baru dipanen harus segera

diolah. Pasalnya, buah kopi mudah rusak dan menyebabkan perubahan cita rasa

pada seduhan kopi. Pengolahan buah kopi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

pengolahan kering atau dahulu disebut OIB (Oost Indichi Bereiding) dan

pengolahan basah atau dahulu biasa disebut WIB (Wash Indichi Bereiding)

(Panggabean, 2011).

Dahulu pengolahan kopi hanya dilakukan dengan metode kering. Seiring

waktu, semakin meningkatnya jumlah produksi kopi, cuaca yang kurang baik, dan

kuantitas hasil panen yang tinggi, maka pengolahan kering dianggap tidak efisien

lagi untuk perkebunan besar. Karena itu, perkebunan besar mengolah hasil panen

kopi dengan metode basah. Perbedaan metode basah dan kering adalah proses

penghilangan lapisan lendir. Proses menghilangkan lapisan lendir cukup sulit.

Pasalnya, pulp memiliki lapisan yang mengandung senyawa gula yang merupakan

media tumbuh yang sangat baik untuk perkembangan mikro organisme, seperti

jamur dan memiliki sifat higroskopis sehingga mampu menghalangi proses

pengeringan biji dan kotoran. Untuk metode basah, setelah pengupasan kulit

buah (pulping), ada perlakuan fermentasi. Perbedaan urutan proses pengolahan

kering dan pengolahan basah buah kopi dapat dilihat pada Tabel 3 berikut

(Panggabean, 2011).

Tabel 3. Urutan Proses Pengolahan Kering dan Pengolahan Basah Buah Kopi

Urutan Proses

Pengolahan Pengolahan Kering Buah Kopi Pengolahan Basah Buah Kopi

1. Pemetikan buah Pemetikan buah 2. Penerimaan di pabrik atau

gudang Penerimaan di pabrik atau gudang

3. Sortasi buah Sortasi buah 4. Pengeringan buah Pengupasan kulit buah (pulping) 5. Pengupasan kulit buah (pulping) Fermentasi 6. Pengeringan biji Pencucian 7. Pengupasan kulit tanduk (hulling) Pengeringan 8. Pengeringan akhir Pendinginan (tempering) 9. Sortasi biji (grading) Pengupasan kulit tanduk (hulling) 10. Pengemasan Sortasi (grading) 11. Penyimpanan Pengemasan 12. Pendistribusian atau pemasaran Penyimpanan 13. Pendistribusian atau pemasaran

Sumber: Panggabean, 2011 (diolah)

Di Indonesia, harga kopi yang diproses dengan metode basah lebih mahal

dibandingkan dengan harga metode kering. Hal ini terjadi untuk pasar kopi jenis

robusta, khususnya di Pulau Jawa. Karena itu, petani kecil pun sudah mulai

menggunakan pengolahan basah, baik untuk kopi jenis robusta maupun arabika

(Panggabean, 2011).

d. Subsistem Pemasaran Kopi

Prospek pemasaran kopi Indonesia untuk masa-masa mendatang tidak

perlu dikhawatirkan, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri

maupun untuk ekspor. Konsumsi kopi di dalam negeri diperkirakan akan

meningkatkan dan semakin menuntut mutu yang lebih baik. Ekspor kopi

Indonesia terus diusahakan untuk dapat ditingkatkan, baik ke pasaran tradisional

maupun ke pasaran-pasaran lainnya. Mutu ekspor kopi diusahakan untuk

diperbaiki melalui penetapan syarat-syarat mutu ekspor. Usaha ini ditujukan

untuk memperoleh kepercayaan pasaran dan harga yang lebih baik. Melalui

usaha perbaikan mutu dapat diperhitungkan bahwa penerimaan pendapatan ekspor

pun akan dapat ditingkatkan. Berhasilnya upaya ini sekaligus akan meningkatkan

pendapatan petani (Spillane, 1990).

Sampai saat ini, alur niaga yang terbentuk pada komoditas kopi yang

sudah dipraktikkan oleh para petani kopi skala kecil memiliki ciri-ciri sebagai

berikut.

1. Strktur pasar komoditas kopi membentuk persaingan tidak sempurna.

2. Para pelaku pasar menggiring petani kopi agar bergantung pada mereka.

3. Terbentuk harga kopi yang semakin inelastis.

4. Dominasi peran eksportir dan pedagang besar dalam alur niaga kopi.

(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

Menurut Nurhakim dan Sri Rahayu (2014) terdapat dua saluran niaga

untuk memasarkan hasil panen kopi, yaitu alur niaga langsung dan alur niaga

perantara.

Gambar 2. Bagan Tata Niaga Kopi Sumber: Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014 Alur niaga langsung hanya terdiri atas dua komponen, yaitu produsen dan

konsumen. Keduanya, berhubungan bisnis secara langsung. Besar harga yang

ditawarkan konsumen sama dengan besar harga yang diterima produsen. Kedua

pihak akan sama-sama memperoleh kepuasan tertinggi. Produsen memperoleh

harga wajar, konsumen memperoleh kopi sesuai yang diinginkan. Namun, alur

niaga langsung masih memiliki kelemahan antara lain sebagai berikut.

Petani Kopi

Tengkulak

Pedagang Pengumpul

Pedagang Kabupaten

Agen Tingkat Provinsi

Industri Kopi

Pemilik Penggilingan

Tujuan Domestik

Tujuan Ekspor

Eksportir

Perkebunan Negara/Swasta

1. Ruang lingkup pasar menjadi terbatas.

2. Petani biasanya sulit berinovasi untuk mengolah kopi ke produk yang

memiliki nilai tambah tinggi.

3. Petani kesulitan meluaskan jaringan niaga, karena itu berarti melepaskan diri

menjadi produsen.

4. Kopi yang dihasilkan harus spesifik dan langka di pasaran.

(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

Alur niaga yang melibatkan perantara dalam pemasaran biji kopi bisa

melalui beberapa tangan sebelum sampai kepada konsumen akhir. Dalam hal ini,

yang dimaksud dengan perantara yaitu pedagang atau pengusaha yang memiliki

kuasa atas komoditas kopi untuk disalurkan ke pihak lain dengan tujuan

mendapatkan laba. Alur niaga yang melibatkan perantara ada dua, yaitu alur

niaga perantara I dan perantara II (Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

1. Alur Niaga Perantara I

Gambar 3. Bagan Alur Niaga Perantara I

Sumber: Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014

2. Alur Niaga Perantara II

Gambar 4. Bagan Alur Niaga Perantara II

Sumber: Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014

Petani Pedagang Pengumpul Desa Pedagang Pengumpul

Kecamatan Pedagang Pengumpul Kabupaten Eksportir

Petani KUD Eksportir

Bentuk tata niaga biji kopi yang biasa dipakai yaitu dari petani langsung

dijual kepada pedagang pengumpul desa. Dari pedagang pengumpul desa, dijual

kepada pedagang pengumpul di tingkat kecamatan. Dari pedagang pengumpul di

tingkat kecamatan, dijual kembali ke eksportir. Bentuk tata niaga tersebut

berantai panjang. Petani akan menerima margin yang sedikit dari harga yang

diperoleh di atas kapal (FOB). Walaupun harga yang diperoleh relatif rendah,

banyak petani yang memilih saluran ini karena ada faktor-faktor penyebabnya,

antara lain sebagai berikut.

1. Tingkat pendidikan petani yang masih rendah

2. Informasi pasar yang kurang memadai

3. Kurang perhatian dan peran pemerintah terhadap para petani kopi

4. Infrastruktur pendukung perekonomian yang rendah

5. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak pada petani

6. Harga kopi yang terombang-ambing oleh perekonomian dunia

(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

Bentuk alur niaga yang kedua dianjurkan untuk para petani kopi di seluruh

wilayah Indonesia. Pembentukan koperasi dapat memperpendek rantai niaga,

menciptakan harga kopi yang mampu bersaing dengan harga yang ditawarkan

oleh para pekebun berskala besar, memungkinkan akses pasar yang lebih luas,

manajemen agribisnis (produksi dan pemasaran) tertata, sehingga pendapatan

petani juga meningkat. Koperasi juga dapat menekan fluktuasi harga biaya

operasional penanaman seperti pupuk, pestisida, dan harga bibit kopi varietas atau

klon unggul (Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

e. Subsistem Jasa dan Penunjang Kopi

Untuk mengatasi alur tata niaga yang cenderung dikuasai oleh pemodal

memerlukan usaha-usaha dari pemerintah dan petani kopi itu sendiri. Usaha-

usaha tersebut, antara lain sebagai berikut.

1. Peningkatan sarana transportasi dan infrastruktur pemasaran.

2. Adanya naungan dari lembaga keuangan untuk menyediakan permodalan

dengan prosedur permodalan yang sederhana, contohnya koperasi.

3. Para petani di dorong untuk membuat organisasi atau kelompok petani yang

mandiri.

4. Para petani di dorong untuk meningkatkan standarisasi mutu hasil panen kopi.

(Nurhakim dan Sri Rahayu, 2014).

f. Contoh Pengembangan Agribisnis Kopi

Salah satu contoh Pengembangan Agribisnis Kopi adalah Agribisnis Kopi

Gayo (lebih di kenal dengan sebutan Kopi Organik Takengon oleh negara-negara

pengimpor) merupakan salah satu contoh model pengembangan agribisnis

tanaman perkebunan rakyat yang produknya telah mendapat pasaran luas pada 19

negara di dunia. Tujuan ekspor kopi gayo ini adalah Amerika Serikat 38,49%,

Jepang 22,34%, Jerman 6,8%, Belgia 3,43%, Taiwan 1,57%, Singapura 1,16%,

dan negara-negara lainnya dibawah 1% seperti Kanada, Belanda, Inggris,

Polandia, Afrika Selatan, Oklanda, Irlandia, Denmark, Spanyol, Swiss, Norwegia,

dan Hongkong (Su’ud dan Sri, 2007).

Kegiatan pengembangan Kopi Gayo telah berjalan demikian rupa melalui

pembinaan dan penyuluhan dan bahkan pendampingan kepada petani, pengolahan

hasil, pengembangan pemasaran. Dalam kegiatan ini, semua subsistem pada

sistem utama maupun sistem penunjang agribisnis telah berfungsi secara penuh.

Mewujudkan keserasian antara hubungan satu subsistem dengan subsistem

lainnya tentulah bukan persoalan yang mudah dan telah memakan waktu

bertahun-tahun dalam mengaplikasikannya. Namun ini dapat dijadikan contoh

bagi keberhasilan pengembangan komoditas perkebunan rakyat baik di NAD

maupun daerah lain (Su’ud dan Sri, 2007).

2.3 Kesepakatan Agribisnis

Menurut Nurdin (2012) kesepakatan adalah suatu bentuk dari proses hasil

diskusi, musyawarah antara dua belah pihak yang berbeda atau lebih yang mana

menyepakati sebuah keputusan setelah melalui proses negoisasi atau tawar

menawar. Dalam bisnis, kesepakatan tidak mengenal kesepakatan verbal dan

yang ada adalah kesepakatan tertulis yang sifatnya mengikat setelah adanya

kesepakatan kedua belah pihak. Artinya dalam proses diskusi atau negoisasi

setelah disepakati bersama maka kesepakatan akan dituangkan dalam bentuk

kesepakatan tertulis. Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu kesepakatan

menjadi suatu keterikatan, antara lain:

1. Adanya kepentingan kedua belah pihak yang menguntungkan

Kepentingan masing-masing pihak sangatlah menentukan dalam suatu

kesepakatan sebuah perjanjian dan hal ini di dasari oleh kedua belah pihak

dalam melihat apakah kesepakatan nantinya akan menguntungkan kepada

masing-masing pihak. Seseorang tidak akan pernah menyepakati suatu

kesepakatan apabila tidak adanya keuntungan baginya.

2. Mempertahankan kesepakatan dalam kondisi yang berubah sesuai dengan sifat

dari bisnis dan dunia usaha yang naik turun dan berputar seperti roda. Berikut

ini cara agar kesepakatan dapat bertahan.

a. Utamakan dan jalin rasa kepercayaan yang tinggi setelah terjadi

kesepakatan.

b. Dalam menghormati suatu kesepakatan memang tidak mudah. Apalagi

pada saat masa masa kritis di mana sebuah usaha baru di rintis atau pada

saat mengalami kolaps dan kemunduran. Namun seorang Pengusaha dan

Investor yang memahami arti sebuah kesepakatan dalam segala hal akan

memahami bagaimana cara pandang dalam menghadapi segala hal yang

akan membuat gelombang pasang surut sebuah kepercayaan dalam

kesepakatan.

c. Negative Thingking harus dihindarkan dan mempunyai niat buruk harus

dijauhkan dalam setiap kesepakatan.

d. Evaluasi bersama saat adanya gangguan dalam kesepakatan dan nilai

secara objektif secara bersama-sama dan bukan karena ”Siapa” tapi

”Bagimana”.

e. Jangan pernah dihitung arti sebuah kesepakatan berdasarkan nilai material

yang telah disepakati, namun pertimbangkan nilai material akan habis dan

nilai moral akan tetap ada apabila sebuah kesepakatan telah berakhir.

Karena apabila kedua belah pihak mampu melewati masa-masa kritis dari

sebuah perjanjian dalam kesepakatan bersama, kesepakatan tertulis tidak

akan pernah tergantikan dengan kesepakatan verbal.

Menurut Baron dan Donn (2005) ada enam prinsip/teknik dasar untuk

memperoleh kesepakatan, yaitu:

1. Pertemanan/rasa suka (ingratiation)

Umumnya, kita lebih bersedia untuk memenuhi permintaan dari teman atau

orang-orang yang kita sukai daripada permintaan dari orang asing atau orang-

orang yang tidak kita sukai. Teknik ingratiation yang paling efektif adalah

rayuan (flattery), memuji orang lain dengan cara-cara tertentu, yaitu:

a. Memperbaiki/memperindah penampilan;

b. Melakukan kebaikan-kebaikan kecil.

2. Komitmen/Konsisten

Orang akan lebih mudah untuk diajak bersepakat tentang sesuatu yang

berhubungan secara konsisten dengan komitmen yang ia miliki itu. Ada dua

teknik komitmen, yaitu:

a. Teknik foot-in-the door

Membuat orang menyetujui terhadap permintaan kecil, lalu setelah orang

itu setuju, disodorkan permintaan yang lebih besar (yang diinginkan).

b. Teknik low ball

Penawaran/persetujuan diubah (menjadi lebih tidak menarik) setelah orang

yang menjadi target terlanjur menerimanya. Misal: konsumen ditawari

sebuah mobil yang sangat menarik. Ketika sudah diterima oleh

konsumen, penawaran itu ditolak oleh manajer, dengan menaikkan

harga/membuat suatu perubahan yang tidak menguntungkan konsumen.

Konsumen sering kali menerima penawaran tersebut.

3. Kelangkaan

Orang akan lebih mudah menerima kesepakatan jika hal itu adalah hal yang

langka, dibandingkan dengan yang tidak langka. Ada dua teknik kelangkaan,

yaitu:

a. Teknik playing hard to get (jual mahal)

Memberikan kesan bahwa seseorang atau objek adalah langka dan sulit

diperoleh.

b. Teknik deadline Orang yang menjadi target diberi tahu bahwa mereka memiliki waktu yang

terbatas untuk mengambil keuntungan dari beberapa tawaran atau untuk

memperoleh suatu barang.

4. Timbal balik/resiprositas

Orang lebih mudah memenuhi permintaan dari orang yang sebelumnya telah

memberikan bantuan atau kemudahan bagi kita daripada terhadap orang yang

tidak pernah melakukannya. Dengan kata lain kita harus membayar apa yang

telah dilakukan oleh orang lain. Ada dua teknik resiprositas yaitu:

a. Teknik door-in-the-face

Pemohon memulai dengan permintaan yang besar dan kemudian ketika

permintaan ini ditolak, mundur ke permintaan yang lebih kecil (yang

sebenarnya dekat dengan yang diinginkan).

b. Teknik that’s-not-all

Menawarkan keuntungan tambahan kepada orang-orang yang menjadi

target, sebelum mereka memutuskan apakah mereka hendak menuruti atau

menolak permintaan spesifik yang diajukan efek ini berhasil untuk harga-

harga yang lebih rendah.

5. Validasi sosial

“Hal itulah yang dilakukan oleh orang-orang seperti kita”, bila orang itu

percaya, biasanya ia akan lebih mudah menerima kesepakatan kita. Orang

lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan beberapa tindakan, jika

tindakan tersebut konsisten dengan apa yang kita percaya/dipikirkan oleh

orang yang mirip dengan kita.

6. Kekuasaan

Orang lebih bersedia memenuhi permintaan orang yang berkuasa. Ada dua

teknik kekuasaan yaitu:

a. Teknik Pique

Minat orang yang menjadi target distimulasi dengan permintaan yang

tidak umum, sehingga mereka tidak menolak permintaan secara otomatis,

karena kebiasaan mereka.

b. Menempatkan seseorang dalam suasana yang baik dulu (sama dengan

ingratiation).

Konflik tentang masalah efisiensi menyebabkan pembahasan terhadap

agribisnis tetap menarik perhatian. Masalahnya bukan saja terletak pada aspek

produksi, pengolahan hasil dan pemasaran saja, tetapi juga pengaruh yang lain.

Dengan adanya persaingan yang ketat tentang pemasaran hasil pertanian di

pasaran dunia (world market), menuntut peranan kualitas produk, dan kemampuan

menerobos pasar dunia menjadi semakin penting. Kemampuan mengantisipasi

pasar (market intelligent), juga menjadi amat penting dan untuk itu bentuk usaha

yang skala kecil perlu bergabung dalam skala usaha yang lebih besar agar mampu

bersaing dipasaran internasional. Untuk menjaga kelangsungan menerobos pasar

ini, maka kontinuitas bahan baku pertanian perlu dijamin; bukan saja pada jumlah

bahan baku yang diperlukan tetapi juga kualitas dan kontinuitasnya (Soekartawi,

2003).

Untuk keberhasilan pengembangan agribisnis sangat disarankan adanya

mitra. Pemerintah setempat atau lokal dapat ikut terlibat dalam pengembangan

ekonomi dengan berbagai cara, baik sebagai pemprakarsa aktivitas

pengembangan melalui kemitraan dengan pengembangan swasta atau sebagai

pemegang posisi kepemilikan yang seimbang atau juga seorang koordinator dan

stimulator dari aktivitas ekonomi dalam wilayahnya (Su’ud dan Sri, 2007).

Konsep formal kemitraan sebenarnya telah tercantum dalam Undang-

undang Nomor 9 Tahun 1995 yang berbunyi, “Kerja sama antara usaha kecil

dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan

pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan”. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor

44 Tahun 1997 yang menerangkan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah

yang saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi. Tujuan

kemitraan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha,

meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha,

serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok usaha

mandiri (Sumardjo, dkk, 2004).

Sebagai implementasi dari hubungan kemitraan tersebut dilaksanakan

melalui pola-pola kemitraan (Pola Inti Plasma, Pola Subkontrak, Pola Dagang

Umum, Pola Keagenan, dan Pola Waralaba) yang sesuai sifat/kondisi dan tujuan

usaha yang dimitrakan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, baik di

dalam pembinaan maupun pelaksanaan operasionalnya. Pembinaan tersebut

sangat berpengaruh terhadap kebijaksanaan yang berlaku di suatu wilayah, oleh

karena itu dukungan kebijaksanaan mutlak diperlukan dalam pelaksanaan

kemitraan usaha dan ditunjang operasionalisasi yang baik seperti penjabaran

pelaksanaan kemitraan melalui kontrak kerjasama kemitraan dan secara konsisten

mengikuti segala kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Kontrak kerjasama

ini bukan hanya berupa Memorandum of Understanding (MOU) namun kontrak

kerjasama yang sudah memuat perjanjian waktu, harga, dan jumlah produksi,

yang dibarengi dengan sanksi yang ditetapkan apabila salah satu pihak melanggar

atau merugikan pihak lain (Hafsah, 2000).

Kemitraan adalah suatu strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan

sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam

menjalankan etika bisnis. Dalam konteks ini pelaku-pelaku yang terlibat

langsung dalam kemitraan tersebut harus memiliki dasar-dasar etika bisnis yang

dipahami bersama dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan

kemitraan. Hal ini erat kaitannya dengan peletakan dasar-dasar moral berbisnis

bagi pelaku-pelaku kemitraan. Penerapan dasar-dasar etika bisnis dalam

kemitraan yang diwujudkan dengan tindakan nyata identik dengan membangun

suatu fondasi untuk sebuah rumah atau bangunan. Konsistensi dalam penerapan

etika bisnis akan berbanding lurus dengan kemantapan atau kekokohan dalam

menopang pilar-pilar di atasnya (Hafsah, 2000).

John L. Mariotti dalam Hafsah (2000) mengemukakan 6 dasar etika

berbisnis dimana 4 yang pertama merupakan hubungan interaksi manusia dan

selebihnya merupakan perspektif bisnis. Keenam dasar etika bisnis tersebut

adalah:

a. Karakter, Integritas dan Kejujuran

b. Kepercayaan

c. Komunikasi yang Terbuka

d. Adil

e. Keinginan Pribadi dari Pihak yang Bermitra

f. Keseimbangan antara insentif dan Risiko

Menurut Sumardjo, dkk (2004) pengembangan kelembagaan kemitraan

dalam sistem agribisnis ternyata menimbulkan dampak positif bagi keberhasilan

pengembangan sistem agribisnis dimasa depan. Dampak positif yang ditimbulkan

adalah sebagai berikut.

1. Adanya keterpaduan dalam sistem pembinaan yang saling mengisi antara

materi pembinaan dengan kebutuhan riil petani. Sistem pembinaan terpadu

ini meliputi permodalan, sarana, teknologi, bentuk usaha bersama atau

koperasi, dan pemasaran.

2. Adanya kejelasan aturan atau kesepakatan sehingga menumbuhkan

kepercayaan dalam hubungan kemitraan bisnis yang ada. Kesepakatan

tentang aturan, perubahan harga, dan pengambilan hasil harus dibuat adil oleh

pihak-pihak yang bermitra. Jika salah satu pihak lemah maka harus ada pihak

ketiga yang netral untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian, tujuan,

kepentingan, dan kesinambungan bisnis dari kedua pihak dapat terlaksana dan

saling menguntungkan.

3. Adanya keterkaitan antarpelaku dalam sistem agribisnis (hulu-hilir) yang

mempunyai komitmen terhadap kesinambungan bisnis. Komitmen ini

menyangkut kualitas dan kuantitas serta keinginan saling melestarikan

hubungan dengan menjalin kerja sama saling menguntungkan secara adil.

4. Terjadinya penyerapan tenaga kerja yang cukup banyak dan

berkesinambungan di sektor pertanian.

Berdasarkan surat perjanjian kesepakatan agribisnis kopi antara PT.

Volkopi Indonesia dan petani Kecamatan Lintongnihuta dan Kecamatan

Paranginan (2012) dapat diketahui bahwa kesepakatan tersebut mencakup 4

(empat) hal yaitu kesepakatan dalam subsistem agribisnis hulu kopi (penyediaan

input produksi), kesepakatan dalam subsistem usahatani kopi (proses produksi

atau budidaya), kesepakatan dalam subsistem pengolahan pasca panen kopi dan

kesepakatan dalam subsistem pemasaran kopi.

Kesepakatan ini tidak mengikat dan tidak ada unsur paksaan didalamnya,

apabila dikemudian hari pihak petani tidak ingin melanjutkan Program

Pengelolaan Perkebunan Kopi melalui Sekolah Lapang Kopi (SL-Kopi) dan

Program Sertifikasi RFA (Rain Forest Alliance) tersebut maka petani dapat

mengundurkan diri dengan mengajukan permohonan kepada PT. Volkopi

Indonesia.

2.4 Evaluasi

Evaluasi adalah suatu usaha untuk mengukur dan memberi nilai secara

obyektif pencapaian hasil-hasil yang telah direncanakan sebelumnya. Evaluasi

sebagai salah satu fungsi manajemen berurusan dan berusaha untuk

mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu rencana

sekaligus untuk mengukur se-obyektif mungkin hasil-hasil pelaksanaan itu

dengan ukuran-ukuran yang dapat diterima pihak-pihak yang mendukung maupun

yang tidak mendukung suatu rencana (Aji dan M. Sirait, 1990).

Menurut Mardikanto (1993) evaluasi sebagai suatu kegiatan, sebenarnya

merupakan proses untuk mengetahui atau memahami dan memberikan penilaian

terhadap suatu keadaan tertentu, melalui kegiatan pengumpulan data atau fakta

dan membandingkannya dengan ukuran serta cara pengukuran tertentu yang telah

ditetapkan. Oleh karena itu setiap pelaksanaan evaluasi harus selalu

memperhatikan 3 (tiga) landasan evaluasi yang mencakup:

a. Evaluasi dilandasi oleh keinginan untuk mengetahui sesuatu.

b. Menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, sehingga dalam mengambil

keputusan tentang penilaian harus selalu dilandasi oleh suatu kesimpulan-

kesimpulan yang diperoleh dari analisis data atau fakta yang berhasil

dikumpulkan.

c. Obyektif atau dapat diterima oleh semua pihak dengan penuh kepercayaan dan

keyakinannya dan bukan karena adanya suatu keinginan-keinginan tertentu

atau disebabkan oleh adanya tekanan-tekanan dari pihak-pihak tertentu.

Menurut Rozak (2013) dalam proses pengimplementasian suatu program,

tentu mempunyai perbedaan dalam evaluasi. Perbedaan tersebut terjadi karena

adanya perbedaan maksud dan tujuan dari suatu program. Oleh karena adanya

perbedaan tersebut, muncul beberapa teknik evaluasi dalam pengimplementasian

suatu program. Salah satu teknik dalam evaluasi ialah model evaluasi CIPP

(Context, Input, Process, Product)

Model evaluasi CIPP ini merupakan salah satu dari beberapa teknik

evaluasi suatu program yang ada. Model ini berlandaskan pada keempat dimensi

yaitu dimensi context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi product.

Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi

program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi

mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi (Rozak, 2013).

Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup empat macam

keputusan:

1. Perencanaan keputusan yang mempengaruhi pemilihan tujuan umum dan

tujuan khusus.

2. Keputusan pembentukan atau structuring.

3. Keputusan implementasi.

4. Keputusan yang telah disusun ulang yang menentukan suatu program perlu

diteruskan, diteruskan dengan modifikasi, dan atau diberhentikan secara total

atas dasar kriteria yang ada (Rozak, 2013).

Model evaluasi CIPP dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) Aspek

Evaluasi Tipe keputusan Jenis pertanyaan

Context Evaluation

Keputusan yang terencana Apa yang harus dilakukan?

Input Evaluation

Keputusan terstruktur Bagaimana kita melakukannya?

Process Evaluation

Keputusan implementasi Apakah yang dilakukan sesuai rencana?

Product Evaluation

Keputusan yang telah disusun ulang

Apakah berhasil?

Sumber: Rozak, 2013

Berikut ini akan di bahas komponen atau dimensi model CIPP yang

meliputi, context, input, process, product.

a. Context Evaluation

Context Evaluation (evaluasi konteks) diartikan sebagai situasi yang

mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi yang dilakukan dalam suatu

program yang bersangkutan. Penilaian dari dimensi konteks evaluasi ini seperti

kebijakan atau unit kerja terkait, sasaran yang ingin dicapai unit kerja dalam

waktu tertentu, masalah ketenagaan yang dihadapi dalam unit kerja terkait dan

sebagainya. Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan,

menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program, dan merumuskan tujuan

program (Rozak, 2013).

b. Input Evaluation

Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi

masukan. Menurut Eko Putro Widoyoko dalam Indra (2010), evaluasi masukan

membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif

apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana

prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi:

1. Sumber daya manusia,

2. Sarana dan peralatan pendukung,

3. Dana atau anggaran, dan

4. Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.

c. Process Evaluation

Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana

rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Evaluasi

proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan

dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab

program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi

proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam

program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Evaluasi proses digunakan

untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan

implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk

keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi

(Indra, 2010).

d. Product Evaluation

Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat

ketercapaian/keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah

ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat

menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program

dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan (Indra,

2010).

2.5 Landasan Teori

Tingkat pengertian mengenai agribisnis sebaiknya lebih dahulu dimengerti

dan dipahami secara baik sebelum memang benar-benar ingin melakukan

kegiatan ini. Keseriusan dan perencanaan serta tujuan yang jelas harus tetap

dilakukan guna meminimalkan kegagalan yang mungkin saja terjadi. Untuk itu,

beberapa persiapan praktis sangat perlu dilakukan bukan saja dalam hal

penguasaan teknis, tetapi juga non-teknis, terutama hal-hal yang berhubungan

dengan kesiapan mental dan perilaku sebagai pelaku usaha perlu dipahami

(Krisnamurthi dan Fausia, 2003).

Paradigma agribisnis berdiri di atas lima premis dasar, yaitu bahwa usaha

pertanian haruslah profit oriented; pertanian hanyalah satu komponen rantai

dalam sistem komoditi sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem

komoditi secara keseluruhan; pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi

kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai sistem ilmiah

yang positif, bukan ideologis dan normatif; sistem agribisnis secara intrinsik

netral terhadap semua skala usaha dan pendekatan sistem agribisnis khususnya

ditujukan untuk negara sedang berkembang (Pambudy, 2005).

Strategi yang perlu ditempuh agar pengembangan agribisnis di Indonesia

dapat memberikan nilai tambah kepada petani, adalah perlu diupayakan

pembinaan kelembagaan usahatani secara kontiniu agar mampu berperan

menjembatani dan memperjuangkan kepentingan petani, khususnya dalam

menghadapi sektor swasta/BUMN sebagai mitra usaha. Strategi tersebut akan

mencapai tingkat yang optimal apabila keterlibatan sektor swasta/BUMN dapat

didorong secara dini di dalam pengembangan agribisnis diperdesaan (Amang,

1995).

Secara konseptual kemitraan mengandung makna adanya kerja sama

antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai

pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau

usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling

memperkuat dan saling menguntungkan. Hubungan kemitraan akan

berkesinambungan jika hasil kerja sama terjadi secara berulang-ulang dan saling

menguntungkan. Proses tersebut dilakukan sampai melahirkan suatu aturan atau

norma hubungan bisnis dalam pola perilaku kemitraan. Dalam kondisi inilah

hubungan kemitraan dapat dikatakan telah melembaga, bahkan akan berlangsung

lestari (Sumardjo, dkk, 2004).

Persyaratan utama yang harus diperhatikan agar hubungan kerja antara

swasta/BUMN dengan para petani berjalan serasi dan saling menguntungkan

adalah perlu dikembangkannya aturan main yang transparan yaitu adanya

kejelasan serta kepastian dalam pembagian keuntungan maupun dalam pembagian

resiko, dan kerjasama tersebut harus mampu mendorong petani untuk lebih

mandiri (Amang, 1995).

Selain itu kesetaraan juga menentukan efektifitas dalam hubungan

kerjasama kemitraan antara para petani dengan pelaku usaha agribisnis lainnya.

Secara umum kesetaraan dapat diartikan sebagai adanya hubungan yang seimbang

atau setara bagi kedua belah pihak yang menjalankan kemitraan usaha. Dengan

demikian kesetaraan dapat dilihat dari batas kewenangan (authority) dan

kekuasaan (power) yang dimiliki oleh petani dalam pengambilan keputusan dan

resiko berkaitan dengan program kemitraan yang mereka jalankan secara

bersama-sama dengan suatu perusahaan mitra. Disamping itu kesetaraan ini

mencerminkan juga besarnya partisapasi dari petani dalam berbagai hal terutama

dalam pengambilan keputusan dalam menjalankan kemitraan (Erfit, dkk, 2010).

Menurut Erfit, dkk (2010) kesetaraan pada kemitraan yang contract

farming relatif tidak adanya. Hal ini terlihat dari dominasi yang sangat tinggi

pada pihak perusahaan mitra dalam pengambilan berbagai keputusan yang

berkaitan dengan jalannnya kemitraan. Dalam penentuan harga, penentuan jenis

komoditi yang ditanam, penentuan kualitas produk, waktu tanam dan waktu panen

semuannya itu ditentukan oleh pihak perusahaan mitra. Sementara pengolahan

lahan dan pelaksanaan panen ditentukan oleh petani tetapi tetap disesuaikan

dengan jadwal yang ditetapkan oleh perusahan mitra. Terjadinya hal ini tidak

terlepas lemahnya posisi tawar petani terhadap berbagai hal dibandingkan

perusahaan mitra. Dengan demikian dalam dalam contract farming tidak

memberikan kesempatan kepada pihak petani mitranya untuk menentukan

berbagai hal dalam menjalankan kemitraan terutama dalam hal penentuan harga.

Dengan kata lain contract farming menempatkan petani dengan perusahaan mitra

dalam posisi tawar yang tidak seimbang dan rendahnya partisipasi petani terhadap

berbagai pengambilan keputusan yang ada.

Evaluasi terhadap rencana pengembangan usaha penting dilakukan agar

dapat dideteksi secara dini persoalan yang timbul dalam pengelolaan usaha. Hal

ini penting dilakukan agar rencana yang tidak bisa dilaksanakan dapat segera

diperbaiki dan sekaligus memperkirakan masalah apa yang mungkin akan muncul

untuk diambil tindakan pencegahan. Sebuah usaha yang dirintis dari bentuk

usaha yang kecil jika di masa datang dapat dikembangkan menjadi besar,

biasanya akan memiliki tingkat penyesuaian yang sangat tinggi terhadap berbagai

perubahan yang terjadi yang berpengaruh terhadap dunia usaha (Anoraga dan D.

Sudantoko, 2002).

2.6 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan Tanjung (2014) dengan judul “Persepsi Petani terhadap

Kinerja Kemitraan Kelompok Tani dengan Perusahaan Eksportir (Kasus:

Kelompok Tani Lau Lengit, Desa Samura, Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten

Karo)” dari hasil penelitian dengan menggunakan metode CIPP (Context, Input,

Process, Product) yaitu evaluasi konteks (perencanaan), evaluasi input (sumber-

sumber yang tersedia, alternetif-alternatif yang diambil, serta prosedur kerja untuk

mencapai tujuan yang dimaksud), evaluasi proses (sampai sejauh mana program

telah dilaksanakan), evaluasi produk (keberhasilan pencapaian tujuan),

menunjukkan bahwa pelaksanaan kinerja kemitraan antara Kelompok Tani Lau

Lengit dengan PD Rama Putra di daerah penelitian sudah berjalan dengan baik.

Berdasarkan Sinulingga (2009) dengan judul “Evaluasi terhadap Kinerja

Kemitraan PT. Perkebunan Nusantara III dengan Usaha Kecil” dari hasil analisis

data dengan menggunakan metode CIPP (Context, Input, Process, Product) yang

telah berhasil diolah dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pola kemitraan

antara PT. Perkebunan Nusantara III dengan usaha kecil adalah dana kemitraan

yang bersumber dari penyisihan laba PTPN III disalurkan sebagai pinjaman

berupa modal kerja untuk membiayai hal-hal yang menyangkut peningkatan

produktivitas mitra binaan dan kemitraan terjalin secara non-formal artinya tidak

ada perjanjian yang mengikat secara tertulis, tetapi karena adanya kepercayaan

dari pihak yang bermitra; Kinerja kemitraan antara PT. Perkebunan Nusantara III

dengan usaha kecil termasuk memiliki kinerja yang tinggi; PT. Perkebunan

Nusantara III dengan usaha kecil memiliki peran masing-masing dalam kemitraan

ini; serta terdapat beberapa masalah dalam kemitraan antara PT. Perkebunan

Nusantara III dengan usaha kecil.

2.7 Kerangka Pemikiran

Tanaman kopi adalah tanaman minuman penyegar yang periode panennya

tidak sama, tergantung iklim dan letak geografisnya. Perbedaan pola produksi

dan fluktuasi harga dapat menimbulkan resiko usaha yang cukup besar bagi petani

kopi. Untuk memperkecil resiko tersebut diperlukan suatu konsep kesatuan usaha

yang dapat mencakup salah satu atau seluruh kegiatan usahatani (pengelolaan

input dan faktor-faktor produksi) dan kegiatan pemasaran output produksi.

Agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu

atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang

ada hubungannya dengan pertanian dalam artian yang luas. Yang dimaksud

dengan ’adanya hubungan dengan pertanian dalan artian yang luas’ adalah

kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang

ditunjang oleh kegiatan pertanian.

Kegiatan agribisnis, yang demikian itu dapat memacu perkembangan

usahatani kopi petani, oleh karena antar kegiatan usaha pada hakekatnya

merupakan suatu mata rantai yang tidak boleh terputus. Terpeliharanya hubungan

mata rantai itu di dalam suatu usaha akan menjamin kelancaran masing-masing

kegiatan usaha tersebut. Mengingat jangkauannya yang luas, maka keberhasilan

dibidang agribisnis akan mampu memberikan keuntungan di seluruh elemen

kehidupan perekonomian yang dilaluinya.

Kesepakatan agribisnis kopi merupakan suatu sarana kebijaksanaan yang

dapat digunakan untuk menjembatani hubungan kerja antara swasta dan petani

sehingga dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat dan kontiniu.

Biasanya perusahaan swasta dan petani menyepakati beberapa hal yang dapat

dipermudah dengan menetapkan indikator-indikator kesepakatan yang harus

dilaksanakan dalam proses produksi, pengolahan hasil, pemasaran dan aktivitas

lain yang berkaitan dengan kegiatan tersebut. Contohnya pihak swasta

berkewajiban memberikan bantuan kepada petani dalam penyediaan sarana

produksi, melakukan pembinaan dan bimbingan usahatani, dan menjamin pasar

dengan menampung seluruh hasil produksi dari kelompok tani sesuai harga

kesepakatan. Sedangkan petani berkewajiban mengelola usahataninya sesuai

dengan anjuran pihak swasta sehingga nantinya dihasilkan produk yang sesuai

dengan kualitas yang diharapkan. Di lain pihak, petani mempunyai kebebasan

untuk menerima atau menolak saran yang diberikan. Dengan adanya

kesepakatan agribisnis yang dilakukan oleh pihak swasta dan petani, selain dapat

memperkecil resiko usaha juga dapat meningkatkan kualitas kopi, pendapatan,

dan kesejahteraan petani karena adanya jaminan harga yang baik.

Faktor penting dalam pelaksanaan kesepakatan agribisnis kopi ini adalah

adanya peran aktif dari masing-masing pihak dan dalam hal ini pihak-pihak

tersebut yaitu PT. Volkopi Indonesia dan petani Kecamatan Lintongnihuta dan

Kecamatan Paranginan. Pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati merupakan inti

dari kegiatan agribisnis kopi, kegiatan agribisnis yang dilaksanakan dalam

kesepakatan tersebut adalah kegiatan penyediaan input produksi, proses produksi

atau budidaya, kegiatan pengolahan pasca panen dan pemasaran kopi.

Melalui pelaksanaan kesepakatan, petani akan difasilitasi oleh PT.

Volkopi Indonesia berupa alat-alat dan bahan-bahan praktek selama

melaksanakan program Sekolah Lapang Kopi (SL-Kopi). Petani juga akan

diedukasi sehingga terjadi alih pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari

pembinaan SL-Kopi, yang pada gilirannya petani-petani tersebut akan

meneruskan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh kepada anggota

keluarga masing-masing yang membantu dalam kegiatan produksi dan kegiatan

pengolahan pasca panen. Sedangkan dalam kegiatan pemasaran PT. Volkopi

Indonesia bersedia membeli gabah kopi dengan harga yang baik disesuaikan

dengan kualitas kopi.

Pada akhirnya, pelaksanaan kesepakatan agribisnis kopi antara PT.

Volkopi Indonesia dan petani perlu dievaluasi agar dapat diketahui apakah telah

berjalan dengan sangat baik, baik, cukup baik, tidak baik, atau sangat tidak baik.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka secara sistematis dapat

digambarkan skema kerangka pemikiran seperti di bawah ini.

Gambar 5. Skema Kerangka Pemikiran Evaluasi terhadap Pelaksanaan Kesepakatan Agribisnis Kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan Petani

Keterangan : : Menyatakan hubungan : Menyatakan dievaluasi dengan

Indikator Kesepakatan

Agribisnis Kopi

Tanaman Kopi

Pelaksanaan Kesepakatan Agribisnis

Kopi

Kesepakatan Agribisnis Kopi

PT. Volkopi Indonesia

Petani Kopi

Model

CIPP

Evaluasi

Sangat Tidak Baik

Sangat Baik

Baik Cukup Baik

Tidak Baik

2.8 Hipotesis

Sesuai dengan landasan teori yang sudah dibangun, maka diajukan

beberapa hipotesis yang akan diuji kebenarannya sebagai berikut.

1. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi terbentuknya kesepakatan

agribisnis kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan petani Kecamatan

Lintongnihuta dan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Pelaksanaan kesepakatan agribisnis kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan

petani Kecamatan Lintongnihuta dan Kecamatan Paranginan Kabupaten

Humbang Hasundutan adalah baik.

3. Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan kesepakatan

agribisnis kopi antara PT. Volkopi Indonesia dengan petani Kecamatan

Lintongnihuta dan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.