bab ii tinjauan pustaka -...

43
20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sesuai dengan judul di atas, Bab ini berisi gambaran konsep-konsep, negara hukum, penilaian atau pengujian terhadap Keputusan atau tindakan dari Badan atau Penyelenggara Negara; Kewenangan Pengadilan atau Hakim menilai tindakan Badan atau Pejabat TUN; Pengertian kompetensi, khususnya berisi uraian mengenai kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang merupakan masalah utama dalam penelitian dan penulisan skripsi ini. Adapun tujuan dari deskripsi hal-hal yang telah dikemukakan di atas itu, tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, dengan mengacu kepada sejumlah kepustakaan yang relevan. Adapun rumusan masalah tersebut yaitu; “Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta?” 2.1. Konsep Negara Hukum Konsep negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Artinya, segala

Upload: hakiet

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sesuai dengan judul di atas, Bab ini berisi gambaran konsep-konsep,

negara hukum, penilaian atau pengujian terhadap Keputusan atau tindakan dari Badan

atau Penyelenggara Negara; Kewenangan Pengadilan atau Hakim menilai tindakan

Badan atau Pejabat TUN; Pengertian kompetensi, khususnya berisi uraian mengenai

kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang merupakan

masalah utama dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

Adapun tujuan dari deskripsi hal-hal yang telah dikemukakan di atas itu,

tidak lain adalah untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah, dengan

mengacu kepada sejumlah kepustakaan yang relevan. Adapun rumusan masalah

tersebut yaitu; “Bagaimanakah kompetensi absolut PTUN memutus obyek sengketa

hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau

Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta?”

2.1. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang

berbunyi “negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat)”. Artinya, segala

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

21

tindakan Pemerintah maupun warga masyarakat harus berdasarkan hukum,1 bukan

berdasarkan kekuasaan (maachtsstaat).

Hukum mendikte bahwa dalam suatu Negara hukum,2 maka tujuan negara

seperti yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal ini

menandakan bahwa sejak semula negara Indonesia sudah mempunyai konsep negara

1Ridwan, HR., dalam bukunya: “Hukum Administrasi Negara”, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2003,

dalam halaman 65-66 mengatakan: “Asas Legalitas yang merupakan salah satu prinsip utama yang

dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan Pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara

hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem kontinental”.

Selanjutnya dikatakan, asas ini dinamakan juga dengan kekuasaan undang-undang (de heerschappij

van de wet). Dalam bidang hukum administrasi negara memiliki makna, “Dat het bestuur aan de wet is

onderworpen” (bahwa Pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau “Het legaliteitsbeginsel houdt

in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten” (asas legalitas

menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-

undang).Negara hukum (rechtsstaat).

2Dalam sebuah Seminar (workshop) pada tanggal 25 November 2011 di Fakultas Hukum Universitas

Kristen Satya Wacana, makalah dari Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D yang berjudul “Menegakkan

Negara Hukum yang Berkedaulatan Rakyat” dalam halaman 4 dan 6, yang mengatakan: Secara

spesifik, negara hukum dimengerti manakala Hukum (the law) dilihat sebagai panglima tertinggi

(supreme) dalam negara yang menggeser kedudukan penggunaan kesewenang-wenangan.

Selanjutnya Beliau mengatakan, dalam pengertian yang menunjuk hakikat negara hukum, maka

tuntutan yang harus (niscaya) atau mau tidak mau wajib ada adalah bahwa semua penyelenggara

negara, termasuk di dalamnya kepala negara (the head of state) harus ditundukkan kepada hukum yang

berlaku (take it or simply leave it). Inilah yang telah menyebabkan seorang ahli hukum tata negara

Inggris (England) yang sangat terkemuka bernama Dicey bertekuk lutut dan mengakui kebenaran

hukum di negara tetangganya Skotlandia yang memaksa setiap orang untuk patuh kepada prinsip yang

didikte oleh hukum!! Bahwa setiap warga negara harus dimampukan untuk dapat meminta

pertanggungjawaban setiap pejabat Pemerintah atas setiap perbuatannya di Pengadilan (the ordinary

courts of law).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

22

kesejahteraan,3 sebagaimana dikte hukum (the dictate of the law). Sehingga tidak

dapat dipungkiri bahwa konsep negara hukum ini sangat penting, tidak lain karena

negara hukum akan selalu baik dan benar, menurut dikte hukum.

Hadirnya pemahaman tersebut di dalam konstitusi, sesuai dengan

pengertian negara hukum (rechtsstaat) yang dikemukakan oleh sarjana di negara

Eropa Kontinental.

Immanuel Kant (1724-1804) memberikan unsur-unsur negara hukum

yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan.

Sejalan dengan Kant, Stahl juga mengamini dikte hukum ke dalam

“kepala” mereka, dan mengatakan bahwa unsur-unsur negara hukum, diantaranya

perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk

menjamin hak-hak itu, Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan,

serta Peradilan Administrasi dalam menyelesaikan perselisihan,4 antara Warga

Negara (privat) dengan pihak Pemerintah (publik).

Apabila konsep kontinental di atas dibandingkan dengan ajaran sistem

negara hukum (rule of law) yang dikemukakan oleh A. V. Dicey, konsep negara

hukum berarti supremasi aturan-aturan hukum (supremacy oh the law), kedudukan

3Prof. DR. Sri Soemantri M, S.H., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,

1992, hlm. 43-44.

4Ridwan, HR., dalam bukunya: “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 3.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

23

yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), serta terjaminnya

hak-hak manusia oleh undang-undang.5

Adapun persamaan dari kedua konsep negara hukum ini, baik pada the

rule of law maupun pada rechtsstaat, diakui adanya kedaulatan hukum atau

supremasi hukum, melindungi individu terhadap Pemerintah yang sewenang-wenang

atau perlindungan atas hak-hak dasar manusia.6

2.2. Peradilan Administrasi

Peradilan administrasi tidak ditemui dalam ajaran sistem negara hukum

(rule of law)7 yang dikemukakan oleh F. J. Stahl meskipun sarjana itu sangat

memahami betul bahwa tindakan Pemerintah dalam mengatur kehidupan masyarakat

akan menimbulkan permasalahan.

Pandangan sebagaimana dikemukakan di atas itu dilatarbelakangi oleh

kenyataan bahwa negara dalam perkembangannya terus memahami dikte hukum

untuk tidak hanya melakukan tugas (obligations) dalam menegakkan keamanan dan

ketertiban dalam masyarakat (negara jaga malam), akan tetapi sudah mengalami

5Ibid. 3.

6DR. H. Iriyanto A. Baso Ence, S.H., M.H., Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah

Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Alumni, Bandung, 2008, hlm. 14-15.

7Bandingkan dengan ajaran negara hukum yang dikemukakan oleh Immanuel Kant, yang menyatakan

bahwa didalam paham negara hukum, kekuasaan negara diartikan secara pasif. DR. H. Iriyanto A.

Baso Ence, S.H., M.H., Ibid, hlm. 15.

Konsep negara hukum Kant menganggap bahwa dalam menjalankan tugasnya, Pemerintah dinggap

tidak akan melakukan kesewenang-wenangan. Hal ini yang menjadikan hadirnya perkembangan

pemahaman negara hukum yang dianutnya pemisahan dan pembatasan kekuasaan.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

24

peningkatan yaitu memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum (welfare

state).8 Tugas atau obligations Pemerintah menjadi kompleks mengatur kehidupan

masyarakat, manakala dalam melaksanakan tugas-tugas (obligations) atau perikatan

tersebut Pemerintah ternyata menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar dari

setiap Warga Negara, sehingga menurut hukum Pemerintah harus diawasi yaitu

melalui lembaga judicial dengan (judicial review). Sejatinya negara hukum

sebagaimana didikte hukum dengan isi/kandungan dan keampuhan kaedah negara

hukum yang berpihak kepada kedaulatan rakyat9 sudah cukup, tapi ada saja

pandangan bahwa masih saja hal itu tidak dipatuhi (obeyed) oleh Pemerintah sebagai

penyelenggara kesejahteraan umum (welfare state) yang menyebabkan kesewenang-

wenangan.

Ini menandakan bahwa Peradilan administrasi sangat penting dalam

sebuah negara hukum. Pentingnya keberadaan peradilan administrasi tersebut

berfungsi:10

(1) Menjalankan peran sebagai lembaga kontrol (control) terhadap

tindakan Administrasi Negara dalam hal ini Badan atau Pejabat TUN supaya tetap

berada dalam rel hukum; (2) Sebagai wadah untuk melindungi hak individu dan

8Pontang Moerad B.M, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana,

Alumni, Bandung, 2005, hlm. 38-41.

9Makalah dari Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D yang berjudul “Menegakkan Negara Hukum yang

Berkedaulatan Rakyat” dalam halaman 6.

10Jazim Hamidi, Penerapan Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak (AAUPPL)

di Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia (Upaya Menuju “Clean and Stable Government”),

Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 9.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

25

warga masyarakat dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan atau tindakan tidak

sewenang-wenang Administrasi Negara atau Badan/Pejabat TUN.

2.3. Fungsi Peradilan Administrasi Negara

Selanjutnya, fungsi penting PTUN, adalah sebagai forum khusus. Dalam

forum khusus itu, Pengadilan dapat memersoalkan tindakan-tindakan dalam

penyelewengan administrasi negara yang merugikan kepentingan warga negara atau

anggota masyarakat, serta berperan sebagai sarana kontrol (pengawasan dalam segala

bidang).11

Dalam kaitannya dengan rumusan kepustakaan itu, jelas bahwa kedua

fungsi di balik keberadaan Peradilan TUN atau Peradilan Administrasi Negara

tersebut sangat tepat dan saling berhubungan dalam negara hukum. Karena tindakan

dari Pejabat TUN tersebut harus diawasi, dan apabila terjadi sebuah tindakan

sewenang-wenang12

yang dilakukan oleh pejabat TUN maka dapat dilakukan gugatan

ke PTUN,13

sebagai suatu judicial review.

11

Prof. DR. Baharuddin Lopa, S.H., DR. Andi Hamzah, S.H., Niniek Suparni, S.H, Peradilan Tata

Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 18-19.

12

Disamping itu dapat dilihat dalam konsideran UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang

menyatakan bahwa “dalam pelaksanan pembangunan nasional ada kemungkinan timbul benturan

kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga

masyarakat yang dapat merugikan atau menghambat jalannya pembangunan nasional”.

13

Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN, yang berbunyi: “Pengadilan bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara”.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

26

Uraian atas tinjauan kepustakaan di atas memerlihatkan dengan jelas

bahwa kompetensi absolut Peradilan Administrasi hanya sebatas mengadili tindakan

Pejabat atau Badan TUN semata-mata. Sehingga dengan demikian “tidak kompeten”,

adalah jawaban atas rumusan masalah bagaimana kompetensi absolut PTUN dalam

memutus obyek sengketa hubungan Industrial antara Yayasan Swasta dengan buruh

atau pekerjanya. Artinya tidak berkompeten PTUN memutus hal itu.

2.4. PTUN Melaksanakan Judicial Review

Di atas, telah Penulis kemukakan bahwa dalam melaksanakan tugas untuk

mensejahterahkan rakyat, maka Pemerintah sebagai personifikasi negara (subyek

hukum) tentu melakukan perbuatan. Umum dipahami perbuatan Pemerintah tersebut

ada dua yaitu perbuatan hukum privat dan perbuatan hukum publik.14

Pembedaan ini

berhubungan dengan perbuatan sepihak dari Pemerintah dan bukan merupakan hasil

persetujuan dua belah pihak atau Jurist menyebutnya dengan perikatan bersegi satu.15

Ketika Pemerintah melakukan perbuatan hukum privat maka akan menggunakan segi

dua, sedangkan dalam melaksanakan hukum publik dari kepustakaan yang Penulis

teliti/studi dapat, maka akan menggunakan segi satu dan segi dua.16

14

Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 40.

15

Lihat, Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Khususnya Bab II, tentang Perikatan Voluntir.

16

Ibid.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

27

Menurut pendapat Penulis, Pemerintah dalam melaksanakan perbuatan

hukum publik merupakan perbuatan bersegi satu, karena Pemerintah mempunyai hak

monopoli penuh dalam pengelolaan administrasi suatu negara, yang tidak butuh

persetujuan pihak lain. Hal ini sejalan dengan pendapat, bahwa semua perbuatan

pemerintahan yang berdasarkan hukum publik sejauh perbuatan itu dilakukan oleh

aparat Pemerintah selaku penguasa, merupakan perbuatan bersegi satu. Kedudukan

antara penguasa dengan yang dikuasai tidak sejajar, akan tetapi lebih merupakan

hubungan hierarkhis. Sedangkan perbuatan hukum yang berdasarkan hukum publik

yang dilakukan oleh aparat Pemerintah selaku organ dari Pemerintah sebagai badan

hukum (bestuursorganen) mungkin sekali bersegi dua maupun bersegi satu, yang

sebenarnya di sini perbuatan tersebut merupakan pengkhususan dari hukum perdata

(privat),17

tetapi dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum perbuatan tersebut

adalah suatu perikatan.18

Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan suatu Yayasan atau

Badan Hukum Perdata tunduk pada Jurisdiksi Peradilan Perdata.

Artinya ditinjau dari perspektif pihak atau berseginya perbuatan hukum

Pemerintah, maka pembedaan penggunaan hukum publik terhadap hukum privat juga

akan berhubungan terhadap pengujiannya atau gugatan perbuatan hukum Pemerintah.

Dimana saat melaksanakan hukum privat maka Pemerintah akan digugat di

Pengadilan Negeri. Bila menggunakan hukum publik pengujiannya akan

17

Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum administrasi Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara

di Indonesia, Liberty, 1981, Yogyakarta, hlm. 20-21.

18

Lihat Jeferson Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Loc. Cit.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

28

menggunakan PTUN, sesuai kompetensi yang dimiliki PTUN atau Peradilan

Administrasi Negara.

Dalam pelaksanaannya Pemerintah lebih dominan menggunakan hukum

publik, karena sifat Pemerintah dalam mengatur. Adapun sifat-sifat dari perbuatan

hukum publik, yaitu perbuatan/tindakan hukum tersebut dilakukan dalam hal atau

keadaan menurut cara-cara yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-

undangan, perbuatan/tindakan hukum tersebut mengikat warga masyarakat sekalipun

yang bersangkutan tidak menghendakinya, perbuatan/tindakan hukum tersebut

bersifat sepihak, perbuatan/tindakan hukum tersebut bukan merupakan hasil dari

persesuaian kehendak (consensus in idem) Badan atau Pejabat TUN dengan Warga

Masyarakat, melainkan merupakan suatu konsekuensi dari pelaksanaan fungsi

Pemerintahan yang dilandasi suatu wewenang, perbuatan/tindakan hukum tersebut

memerlukan pengawasan secara preventif/represif, serta dalam perbuatan/tindakan

hukum tersebut terdapat hubungan antara Penguasa dengan Warga Masyarakat yang

berbeda kedudukan atau statusnya, misalnya jika dibandingkan dengan perhubungan

hukum dalam hukum perdata.19

Begitu beragamnya tindakan Pemerintah yang dilakukan oleh Badan atau

Pejabat TUN dalam mensejahterahkan masyarakat, sehingga tindakan Badan atau

Pejabat TUN secara konkret ada yang ragamnya berupa Beschikking (mengeluarkan

19

Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 41-42.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

29

keputusan), Regeling (mengeluarkan peraturan), dan Materiele Daad (melakukan

perbuatan materiil).20

2.5. Beschikking dan Sifat Perbuatan Hukumnya

Beschikking merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu.

Dalam kepustakaan, beschikking digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu

Beschikking bersifat sepihak-konkret-individual; Beschikking yang bersifat sepihak-

konkret-umum misalnya Keputusan Presiden tentang kenaikan gaji PNS; Beschikking

lebih dari satu badan/pejabat TUN-konkret-umum sebagai contoh Keputusan

Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan tentang Pengangkatan Guru

Agama.21

Beschikking dalam pembahasan Bab III lebih menekankan pada

Beschikking yang bersifat sepihak-konkret-individual, yang dilakukan oleh Badan

atau Pejabat TUN, bukan keputusan yang dilakukan oleh Badan atau orang Perdata,

atau Partikelir.

Kaitan dengan kenyataan perbuatan TUN, harus dilihat pula kompetensi

yang dilaksanakan oleh Peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung (MA) men-

judicial review hal itu. Dalam lingkungan kekuasaan MA, terdapat 4 (empat)

20

Ibid, hlm 42.

21

Ibid, hlm 42.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

30

lingkungan peradilan, di antaranya: peradilan umum, peradilan agama, peradilan

militer, dan peradilan TUN.22

Usaha yang dilakukan untuk mengawasi segala tindakan Pemerintah,

yang dilakukan oleh keempat lingkungan peradilan di atas, terbagi menjadi peradilan

khusus23

yaitu peradilan agama, peradilan militer, peradilan TUN dan peradilan

umum dilaksanakan oleh peradilan umum yang membidangi masalah perdata dan

masalah pidana.

Beschikking sebagai instrumen dalam mengatur kehidupan masyarakat

yang bersifat individual perlu diawasi, agar tindakan Pemerintah tidak sewenang-

wenang. Pengawasan tersebut dilakukan dengan judicial review,24

wilayah

kewenangan mengadili/jurisdiksi absolut PTUN,25

mengingat yang disengketakan

dalam suatu proses di PTUN adalah pelaksanaan dari suatu wewenang pemerintahan

menurut hukum publik yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN,26

bukan

dilaksanakan oleh suatu badan hukum privat/partikelir.

22

Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 jo Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

23

Prof. DR. Baharuddin Lopa, S.H., DR.Andi Hamzah, S.H., Niniek Suparni, S.H, Peradilan Tata

Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 30.

24

Ini berbeda dengan konsep judicial review terhadap regeling yang berkembang di Indonesia.

25

Kehadiran PTUN dalam sistem peradilan Indonesia, semakin memberi pemahaman yang jelas dan

menguatkan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana yang diamanatkan

UUD 1945.

26

Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.

63.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

31

Kewenangan ini terdapat dalam Pasal 47 UU No.5 Tahun 1986, berbunyi:

“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara”.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN diatur bahwa:

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan

atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa, hadirnya UU No.5 Tahun 1986

tentang PTUN, hanya berwenang menguji tindakan Badan atau Pejabat TUN, sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan (beschikking) Badan atau Pejabat TUN,27

bukan

perselisihan ketenagakerjaan, kecuali sengketa kepegawaian.

Simpulan yang dapat ditarik sementara adalah beschikking yang bersifat

sepihak-konkret-individual, dalam kepustakaan lebih sering disebut dengan

Keputusan TUN (KTUN). KTUN merupakan suatu norma penutup atau norma akhir

dalam rentetan perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh Badan atau

Pejabat TUN.28

27

Pasal 1 Angka (10) UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986

tentang PTUN.

28

Lutfi Effendi, S.H., Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm.

54.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

32

2.6. Terminologi KTUN

Hadirnya PTUN untuk melakukan pengujian terhadap KTUN,

merupakan fungsi vital PTUN dan latar belakang berdirinya PTUN. Namun, banyak

kalangan yang masih salah memahami KTUN, hal ini terbukti dengan dua Putusan

yang Penulis bahas dalam skripsi ini.

Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Keputusan berasal dari bahasa

Belanda disebut “beschikking” sedangkan di Perancis disebut “acte Administratif”

dan di Jerman dinamakan “Verwaltungsakt”.29

Ada yang memakai kata “ketetapan” sebagai terjemahan dari kata

“beschikking”,30

juga istilah “ketetapan” sebagai terjemahan dari “beschikking”.31

Pemakaian istilah “beschikking” diterjemahkan banyak sarjana secara

berbeda-beda. Namun, Penulis lebih setuju dengan penggunaan istilah Keputusan, hal

ini merujuk pada undang-undang yang lebih menggunakan istilah KTUN.

Keputusan TUN dalam Pasal 1 ayat (9) sebagai suatu penetapan tertulis

yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,

individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata.

29

SF. Marbun, S.H., Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 39.

30

Prof. H. Amrah Muslimin, S.H., Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan

Hukum Administrasi, Alumni, 1985, Bandung, hlm. 120. Sebagaimana dikutip dari pendapat E.

Utrecht dalam bukunya Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

31

Ibid, hlm. 120. Sebagaimana dikutip dari pendapat R.D.H. Koesoemahatmadja, S.H dalam bukunya

Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

33

Selanjutnya beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi

negara yang mempunyai akibat hukum.32

Ada pula pendapat bahwa beschikking adalah perbuatan hukum publik

bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan

istimewa).33

Ketetapan atau beschikking itu adalah de eenzijdige rechtshandeling op

bestuurs gebied, door een Overheidsorgaan verricht uit krachte van zijn bijzondere

bevoegdheden.

Artinya, perbuatan hukum yang bersegi satu yang di dalam lapangan

pemerintahan dilakukan oleh suatu alat pemerintahan berdasarkan wewenangnya

yang istimewa.34

Ketetapan juga diartikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan alat-

alat pemerintahan, pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam

menyelenggarakan hal khusus dengan maksud mengadakan perubahan dalam

lapangan hubungan hukum.35

Dari definisi di atas maka “beschikking” yaitu perbuatan hukum publik

yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari Pemerintah dan bukan merupakan hasil

32

Ridwan, HR, “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 109.

33

Ibid, hlm. 109.

34

Inleiding in het Administratief Recht van Indonesia sebagaimna dikutip dari C.S.T.Kansil, Hukum

Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur,1983, hlm. 23.

35Ibid. 23. Dalam Nederlands Bestuursrecht sebagaimana dikutip dari C.S.T.Kansil.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

34

persetujuan dua belah pihak. Sifat hukum publik diperoleh berdasarkan wewenang

atau kekuasaan istimewa, serta pembuatannya disertai maksud terjadinya perubahan

dalam lapangan hubungan hukum.36

2.7. Unsur KTUN (Beschikking)

Definisi KTUN (beschikking) di atas, mengandung 6 (enam) unsur-unsur

(beschikking).37

Yaitu bentuk penetapan itu harus tertulis, dikeluarkan oleh Badan

atau Jabatan TUN, berisi tindakan hukum TUN, berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual, dan final, serta menimbulkan

akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Penetapan harus tertulis maksudnya adalah mengenai syarat-syarat bentuk

formalnya seperti surat pengangkatan dan sebagainya, asal tampak keluar sebagai

tertulis. Persyaratan tertulis ini diharuskan untuk kemudahan segi pembuktiannya.

Ada yang memberikan pengertian bahwa keputusan tersebut dikeluarkan secara lisan

tidak ditujukan dalam bentuk formalnya,tetapi pada “isi”.38

Selanjutnya harus dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN. Berkaitan

dengan pengertian ini, maka akan merujuk terhadap Pasal 1 Angka (8) berbunyi

bahwa: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang

36

SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 39.

37

Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.

161-183.

38

SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,

1987, hlm. 85.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

35

melaksanakan urusan pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku”.

Pengertian akan Badan atau Pejabat TUN yang melaksanakan urusan

pemerintahan, telah menimbulkan perdebatan dikalangan sarjana hukum dan bahkan

ada yang keliru memahaminya.

Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh pihak swasta tidak serta-

merta menjadikan pihak swasta sebagai Badan atau Pejabat TUN, karena pihak

swasta hanya meminta ijin kepada Pemerintah, dan posisi Pemerintah menjalankan

koordinasi dan mengawasi tindakan pihak Swasta tersebut.

Berisi tindakan hukum TUN, diartikan bahwa suatu keputusan yang

dibuat akan menciptakan atau menentukan mengikatnya atau menghapuskan suatu

hubungan hukum yang telah ada. Jadi penetapan tertulis di atas dapat dianggap,

ketika Keputusan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan

hukum, yang artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.

Kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

memiliki pengertian bahwa pembuatan dan penetapan ketetapan harus didasarkan

pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada

wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Bersifat konkret, individual, dan final diartikan secara terpisah-pisah.

Dimana bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu

tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

36

Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk

umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih

dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu harus disebutkan,

sehingga keputusan demikian itu lalu dapat disebut suatu Kumpulan Penetapan

Tertulis.

Bersifat final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan

dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar sudah merupakan akibat

hukum yang definitif atau tidak memerlukan persetujuan instansi atasan, langsung

dapat dilaksanakan.

Yang terakhir menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata yaitu menimbulkan akibat hukum dalam hal ini berarti menimbulkan

suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada.

Selain versi undang-undang di atas, ada yang mengemukakan lima unsur

dari beschikking.39

Diantaranya beschikking adalah pernyataan kehendak sepihak,

dikeluarkan oleh organ pemerintahan, didasarkan pada kewenangan hukum publik,

ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual, menimbulkan

akibat hukum dalam hukum administrasi.

Pernyataan kehendak sepihak, diartikan bahwa senantiasa hubungan

hukum publik (publiek-rechtsbetrekking) bersifat sepihak atau bersegi satu. Berbeda

39

Ridwan, HR, “Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 109-121.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

37

halnya dalam bidang keperdataan yang selalu bersifat dua pihak.40

Sebagai wujud

dari pernyataan kehendak sepihak, pembuatan dan penerbitan ketetapan hanya berasal

dari pihak Pemerintah, tidak tergantung kepada pihak lain.

Dikeluarkan oleh organ Pemerintahan adalah, ketetapan di sini hanyalah

ketetapan yang dikeluarkan oleh Pemerintah selaku administrasi negara. Didasarkan

pada kewenangan hukum publik, pembuatan dan penerbitan ketetapan harus

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan

pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

Tanpa dasar kewenangan, pemerintah atau Badan/Pejabat TUN tidak dapat membuat

dan menerbitkan ketetapan atau ketetapan itu menjadi tidak sah.

Pemerintah dapat memperoleh kewenangan untuk membuat ketetapan

tersebut melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual artinya

tidak untuk umum, tertentu berdasarkan apa yang dituju oleh keputusan itu, dan

konkret artinya tidak bersifat umum (tidak abstrak) obyeknya, yang mungkin terbatas

waktu atau tempatnya.

Menimbulkan akibat hukum dalam hukum administrasi, telah disebutkan,

bahwa ketetapan merupakan wujud konkret dari tindakan hukum pemerintahan,

40

Orang privat juga dapat melakukan perbuatan hukum sepihak ini pendapat yang benar, lihat Jeferson

Kameo, S.H., L.LM., Ph.D, Op.Cit.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

38

tindakan hukum pemerintahan yang dimaksud ialah tindakan hukum yang dilakukan

oleh organ Pemerintahan41

untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu.

Bertolak dari unsur-unsur (beschikking) tersebut, maka jelas sudah bahwa

dalam obyek sengketa PTUN harus memenuhi unsur-unsur tersebut. Secara a

contrario, segala Keputusan yang tidak memiliki unsur-unsur tersebut, maka tidak

dapat dikategorikan sebagai KTUN dan tidak dapat diajukan di PTUN, seperti

misalnya Keputusan dari Rektor suatu Universitas Swasta dari Yayasan Perguruan

Tinggi Swasta.

2.8. Perolehan Kewenangan Pelaksanaan KTUN

Tanpa memiliki kewenangan maka KTUN yang dikeluarkan tersebut

dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Kewenangan dari Badan atau

Pejabat TUN tersebut bersumber dari atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi diartikan wewenang yang langsung diberikan atau langsung

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kepada Badan atau Pejabat TUN.42

Sedangkan wewenang yang didapat dari delegasi artinya pelimpahan suatu

wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh

suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN

41

Seseorang atau Badan Hukum Perdata dimaksud adalah badan hukum menurut pengertian hukum

perdata berstatus sebagai badan hukum, seperti CV, PT, Firma, Yayasan, Perkumpulan, Persekutuan

Perdata (maatschap) dan sebagainya yang berstatus badan hukum.

42

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hlm. 67.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

39

lainnya.43

Adapun delegasi selalu didahului oleh atribusi; dan mandat artinya

wewenang yang diberikan kepada mandataris dari mandataris melaksanakan

wewenang untuk dan atas nama mandans.44

Tidak heran jika beschikking disebut sebagai suatu norma penutup atau

norma akhir dalam rentetan perbuatan atau tindakan hukum yang dilakukan oleh

Badan atau Pejabat TUN, karena hadirnya beschikking setelah memperoleh

kewenangan yang bersumber dari atribusi maupun delegasi.

Berbeda dengan apa yang dikatakan Indroharto, Badan atan Jabatan TUN

memperoleh hanya dua cara saja yaitu dengan atribusi dan delegasi, sedangkan

mandat tidak termasuk dalam memperoleh wewenang.

Dalam mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun

pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah memberikan petunjuk

kepada Ketua PT TUN dan Ketua PTUN, yaitu:45

(a) Jika wewenang yang diberikan

Badan atau Pejabat TUN adalah atribusi atau delegasi, maka yang menjadi Tergugat

adalah Badan atau Pejabat TUN yang memperoleh wewenang tersebut untuk

mengeluarkan Keputusan TUN yang disengketakan; (b) Jika wewenang yang

43

Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.

91.

44

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hlm. 67.

45

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hlm. 70. Dikutip dari buku wiyono, dari butir I. 1 dalam Surat Mahkamah agung RI tanggal 24

Maret 1992 Nomor 052/Td.TUN/III/1992.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

40

diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN itu adalah mandat, maka yang menjadi

Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang memberikan wewenang kepada

Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan.

Apabila ada pejabat atau Badan yang mengeluarkan keputusan tapi bukan

wewenangnya maka tidak dapat dimasukkan menjadi tergugat dalam PTUN.

2.9. Judicial Review

Di atas telah dijelaskan mengenai pengertian KTUN (beschikking) dan

pengawasan terhadap KTUN yang dilakukan PTUN yang disebut dengan konsep

judicial review.

Dalam UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5

Tahun 1986 tentang PTUN mengenal judicial review ini dengan mengajukan

gugatan. Prosedur yang ditempuh ada dua, yaitu melalui upaya administrasi (pasal 48

jo pasal 51 ayat 3) dan melalui gugatan (pasal 1 angka 5 jo pasal 53). Artinya bahwa

sebelum mengajukan gugatan di PTUN, maka harus melalui upaya administratif,46

dimana yang menguji bukan lembaga peradilan.

Ada dua prosedur yang dapat ditempuh yaitu upaya administratif dan

melalui gugatan. Melalui upaya administratif sesuai dengan penjelasan Pasal 48 ayat

46

Pasal 48 ayat 2 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

41

(1) Orang atau Badan Hukum Perdata dapat menyelesaikan permasalahan KTUN

melalui 2 (dua) cara, yaitu:47

Keberatan, yaitu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau

badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN, yang penyelesaian sengketa

TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut dilakukan sendiri oleh Badan

atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN yang dimaksud.

Kedua melalui banding administratif, yaitu prosedur yang dapat ditempuh

oleh seseorang atau badan hukum perdata yang tidak puas terhadap KTUN

penyelesaian sengketa TUN sebagai akibat dikeluarkannya KTUN tersebut, dilakukan

oleh atasan dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN atau instansi

lain dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN. Selanjutnya yang

bersangkutan dapat mengajukan gugatan sesuai kompetensi relatif yang dimiliki

PTUN.

Ada pula yang mengatakan bahwa:“ada dua macam upaya administratif,

banding administratif dan prosedur keberatan. Dalam hal penyelesaiannya dilakukan

oleh instansi yang sama, yaitu, Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN,

maka prosedur yang ditempuh disebut “keberatan”. Dalam hal penyelesaiannya

47

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hlm. 110-111.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

42

dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain, maka prosedur itu disebut “banding

administratif”.48

Juga ada yang mengemukakan bahwa perlindungan hukum akibat

dikeluarkannya Keputusan ditempuh melalui dua kemungkinan yaitu peradilan

administrasi (administratieve rechtspraak) dan banding administrasi (administratief

beroep).49

Perbedaan antara peradilan administrasi dengan banding administrasi yaitu

sebagai berikut:50

“Het woord „rechtspraak‟ duidt aan dat het hier gaat om een rechtsgang

op van het bestuur onafhankalijke instanties. Deze onafhankelijkheid

blijk ten aanzien van de professionele administratieve rechters ook uit

hun rechtspositie; benoeming voor het leven, regeling van de bezoldiging

bij de wet, afzetbaarheid (bij wangedrag) allen door rechterlijke

uitspraak. Een tweede hiermee samenhangend kenmerk is dat deze

instantie het overheidsoptreden uitsluitend toetsen op rechtmatigheid”.

(Kata „peradilan‟ menunjukan bahwa hal ini menyangkut proses

peradilan pada pemerintahan melalui instansi yang merdeka.

Kemerdekaan ini tampak pada Hakim administrasi yang profesional, di

samping juga kedudukan hukumnya; pengangkatan untuk seumur hidup,

ketentuan mengenai penggajian terdapat pada undang-undang,

pemberhentian-ketika melakukan perbuatan tidak senonoh-hanya

dilakukan melalui Putusan Pengadilan. Sifat kedua yang berkenaan

48

Philipus M. Hadjon, Sri Soemantri Martosoewignjo, Sjachran Basah, Bagir Manan, H.M. Laica

Marzuki, J.B.J.M. ten Berge, P.J.J. van Buuren, F.A.M. Stroink, Pengantar Hukum Administrasi

Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, cetakan ke sepuluh, 2008, hlm. 317.

49

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hlm. 222-223

50

Ibid, hlm. 222-223. Sebagaimana dikutip dari pendapat F.H. van Der Burg.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

43

dengan hal ini adalah bahwa instansi ini hanya menilai tindakan

Pemerintah berdasarkan hukum).

“Administratif beroep, hierbij het om een rechtsgang binnen de sfeer van

de administratie; de instanties van administratief beroep zijn

bestuursorganen, toegerust met bestuursverantwoordelijkheid. Hiermee

hangt samen dat in administratief beroep het overheidsoptreden niet

allen getoetst wordt op rechtsmatigheid maar ook op doelmatigheid”.

(Banding administrasi, berkenaan dengan proses peradilan di dalam

lingkungan administrasi; instansi banding administrasi adalah organ

pemerintahan, dilengkapi dengan pertanggungjawaban pemerintahan.

Dalam hal banding administrasi ini tindakan pemerintahan tidak hanya

dinilai berdasarkan hukum, tetapi juga dinilai aspek kebijakannya).

Sementara itu ada lagi yang memberikan tiga jalur prosedur penyelesaian

sengketa administratif, yaitu:51

(a) Jalur Prosedur Keberatan. Pengertiannya sama

dengan yang dijelaskan di atas, diajukan keberatan kepada instansi yang mengambil

keputusan semula.

Akan tetapi Indroharto memberikan sebuah contoh yaitu di mana seorang

yang wajib pajak dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak atas Surat

Ketetapan Pajak atau SKP Tambahan yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak; (b) Jalur

Banding Administratif. Pada jalur ini, penyelesaiannya sama-sama dilakukan di

dalam lingkungan Pemerintah itu sendiri. Bedanya dengan jalur keberatan yaitu

dilakukan oleh instansi banding administratif yang bersangkutan yang mungkin

51

Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negaa Buku I

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm.

45-52.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

44

berkedudukan sebagai atasan dari instansi yang mengeluarkan KTUN yang

bersangkutan atau mungkin pula instansi lain yang oleh peraturan perundang-

undangan diberi wewenang untuk bertindak sebagai instansi pengawas administratif

terhadapnya; (c) Jalur prosedur gugatan perdata berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata

yang berpokok pada tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada Pengadilan Perdata

yang bebas.

Dalam jalur ini dapat dilakukan, mengadili gugatan ganti rugi, dengan

suatu memertanyakan apakah perbuatan Pemerintah (dalam hal ini KTUN) itu

bersifat melawan hukum atau tidak.

Agar tuntutan ganti rugi dapat dikabulkan, maka harus terbukti bahwa

KTUN yang digugat itu bersifat melawan hukum. Syarat harus terbuktinya sifat

melawan hukum perbuatan yang digugat itu serupa dengan apa yang terjadi dalam

proses di muka Hakim TUN. Kemudian instansi yang digugat untuk diketahui apakah

dia benar bersalah melakukan perbuatan yang bersangkutan, Penggugat memang

menderita kerugian, dan sebagai akibat perbuatan (KTUN) instansi yang digugat

tersebut.

Gagasan dari Indroharto yang menambahkan jalur prosedur gugatan

perdata merupakan suatu prosedur yang imperatif. Artinya jalur prosedur gugatan

perdata tidak dapat dilakukan atau tidak berhasil apabila belum diputuskan oleh

PTUN dan dinyatakan sebagai bersifat melawan hukum.

Disini hanya Hakim PTUN yang berkompeten untuk menyatakan

keputusan-keputusan TUN tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

45

2.10. Review oleh Hakim PTUN

Dalam acara PTUN ada kewajiban bagi setiap penggugat yang harus

menempuh jalur administratif telah dijelaskan di atas. Selanjutnya akan ditempuh

dengan prosedur gugatan.

Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau

Pejabat TUN dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan Putusan.52

Dalam

mengajukan gugatan harus memuat alasan-alasan yang termuat dalam pasal 53 ayat 2

UU No. 5 Tahun 1986, yaitu: KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku; Badan atau Pejabat TUN pada waktu

mengeluarkan Keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari

maksud diberikannya wewenang tersebut; Badan atau Pejabat TUN pada waktu

mengeluarkan atau tidak mengeluarkan Keputusan sebagaimana dimaksud setelah

mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan Keputusan itu

seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan Keputusan

tersebut.

Berbeda dengan pengujian melalui upaya administratif yang hasil

pengujiannya hanya bersifat subyektif dari Pejabat TUN, melalui gugatan akan diuji

oleh Hakim yang bersifat obyektif.

52

Pasal 1 angka 11 UU No.51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

46

Selanjutnya, apabila salah satu pihak tidak menerima Putusan dari PTUN

tersebut, maka dapat melakukan banding di Pengadilan Tinggi TUN53

dan

mengajukan kasasi di Mahkamah Agung.

2.11. Kompetensi Absolut PTUN

Pembahasan mengenai kompetensi berkaitan dengan peradilan. Adapun

pengertian peradilan adalah “segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus

perkara dengan menerapkan hukum “in concreto” dalam mempertahankan dan

menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang

ditetapkan oleh hukum formal”.54

Unsur-unsur peradilan, berupa:55

(a) Adanya suatu aturan hukum yang

abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan; (b)

Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit; (c) Ada sekurang-kurangnya dua

pihak; (d) Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan

perselisihan.

Unsur-unsur tersebut berhubungan terhadap mengajukan gugatan, karena

gugatan tersebut akan ditentukan Pengadilan mana yang berwenang untuk

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara. Kewenangan yang dimiliki

53

Pasal 51 ayat 1 dan 4 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

54

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni,

Bandung, 1989, hlm. 29.

55

Sjachran Basah, Ibid, hlm. 28. Sjachran Basah yang mengutip mengenai unsur-unsur peradilan dari

beberapa ahli seperti van Praag, van Apeldoorn, P. Scholten, Bellefroid, G. Jellinek dan Kranenburg.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

47

oleh peradilan yang diberikan oleh undang-undang, dapat disebut dengan istilah

kompetensi. Kompetensi berasal dari bahasa Latin, yaitu competentia yang berarti

hetgeen aan iemand toekomt (apa yang menjadi wewenang seseorang).56

Selanjutnya

kompetensi diartikan sebagai kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan

(memutuskan sesuatu).57

Kompetensi yang dimiliki oleh badan peradilan diperoleh dari 2 (dua)

cara. Pertama, kompetensi kehakiman atribusi (atributie van rechtsmacht) adalah

kewenangan mutlak. Kompetensi absolut ialah kompetensi badan peradilan dalam

memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan

peradilan lain.

Kedua, kompetensi kehakiman distribusi (distributie van rechtsmacht)

atau sering disebut dengan kompetensi relatif ialah sesuai dengan asas actor seguitur

forum rei (yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat).58

Kompetensi absolut adalah berhubungan dengan kompetensi Peradilan

TUN untuk mengadili suatu sengketa menurut objek atau materi atau pokok

sengketa.59

Sejalan dengan pendapat itu, ada yang mengatakan bahwa berkaitan

56

Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 29. Sebagaimana dikutip dari Sjachran Basah, 1997, Eksistensi dan

Tolok Ukur Bada Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 65.

57

Ibid, hlm. 29-30. Sebagaimana dikutip dari Departemen Pendidikan Nasional.

58

Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 32-33.

59

Ibid, hlm. 32.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

48

dengan kompetensi absolut, maka yang menjadi obyek sengketa Peradilan TUN

adalah perbuatan Pemerintah yang “mengeluarkan keputusan (Beschikking)”.60

Penting dipahami dari kompetensi absolut yaitu sengketa TUN, menurut

Pasal 47 adalah “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa TUN”. Selanjutnya pada Pasal 1 Angka (10) diatur bahwa,

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara

orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa

Kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Adapun ciri-ciri dari kompetensi absolut PTUN:61

(1) Pihak-pihak yang

bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat

TUN; (2) Obyek yang disengketakan adalah KTUN yakni penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN; (3) Keputusan yang dijadikan obyek

sengketa itu berisi tindakan hukum TUN; (4) Keputusan yang dijadikan obyek

sengketa itu bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum

bagi seseorang atau badan hukum Perdata.

Ciri-ciri tersebut lebih kepada menunjukan unsur-unsur dari sengketa

TUN dari subyek dan obyek sengketanya.62

Kedua unsur ini penting dalam penentuan

60

SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 61.

61SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,

1987, hlm. 186.

62

Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 47.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

49

kompetensi absolut PTUN. Dus, menurut Pasal 1 Angka (10) UU No. 5 Tahun 1986,

maka yang menjadi subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum Perdata

dan Badan atau Pejabat TUN.

Subyek adalah orang atau badan hukum Perdata secara absolut pasti

selalu menjadi Penggugat. Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh

Indroharto, bahwa orang atau badan hukum perdata yang dirugikan oleh keluarnya

suatu KTUN dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu:63

Pertama, orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang

dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan hukum perdata tersebut secara

langsung terkena kepentingannya oleh keluarnya KTUN yang dialamatkan

kepadanya. Karena itu, jelaslah ia berhak untuk mengajukan gugatan.

Kedua, orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut

sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi: (a) individu-individu yang

merupakan pihak ketiga yang berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena

kepentingannya secara tidak langsung oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya

dialamatkan kepada orang lain; (b) Organisasi-organisassi kemasyarakatan sebagai

pihak ketiga dapat merasa kepentingannya karena keluarnya suatu KTUN itu

dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka perjuangkan sesuai

dengan anggaran dasarnya.

Ketiga, Badan atau jawatan TUN yang lain, namun undang-undang

PTUN tidak memberi hak kepada Badan atau Jabatan TUN untuk menggugat. Sebab

63

Ibid, hlm 49.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

50

subyek sebagaimana Badan atau Pejabat TUN secara absolut hanya akan menjadi

Tergugat.

Selanjutnya yang menjadi obyek sengketa TUN adalah Keputusan TUN

itu sendiri, sebagaimana yang ada pada Pasal 1 Angka (9) UU No.51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Termasuk ke

dalam Kompetensi PTUN adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3. Para sarjana

hukum menyebut hal ini dengan KTUN yang bersifat Fiktif-Negatif, yaitu; (1)

apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan Keputusan, sedangkan hal itu

menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan KTUN; (2) jika suatu

Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan Keputusan yang dimohon, sedangkan

jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah

menolak mengeluarkan Keputusan yang dimaksud; (3) dalam hal peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu, dan setelah

lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan tetapi tidak

dikeluarkan KTUN apapun, maka Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan

dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

2.12. Kompetensi Peradilan di Luar PTUN

Selebihnya yang tidak memenuhi syarat-syarat formal dalam undang-

undang PTUN akan menjadi kompetensi peradilan lain. Dalam Pasal 2, tidak

termasuk dalam pengertian KTUN menurut undang-undang adalah; (a) KTUN yang

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

51

merupakan perbuatan hukum perdata; (b) KTUN yang merupakan pengaturan yang

bersifat umum; (c) KTUN yang masih memerlukan persetujuan; (d) KTUN yang

dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang

bersifat hukum pidana; (e) KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(f) KTUN mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia: (g)

Keputusan Penitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil

pemilihan umum.

Adapun isi dari Pasal 2 tersebut di atas banyak ahli hukum mengatakan

bahwa ini merupakan pembatasan dari kompetensi absolut PTUN. Pembatasan ini

diperlukan mengingat ada beberapa jenis keputusan yang sifat atau maksudnya

memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian KTUN menurut UU No.51 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Plus,

menurut Penulis, sangat signifikan dalam menentukan kompetensi memeriksa dan

memutus obyek sengketa hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi

Swasta dengan Dosen tau Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta.

Selain itu Pasal 49 “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan sengketa TUN tertentu dalam hal Keputusan yang disengketakan

itu dikeluarkan; (a) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,

atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

52

undangan yang berlaku; (b) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bertitik tolak akan perumusan dalam pasal-pasal di atas ternyata hanya

KTUN yang memenuhi unsur sebagaimana dalam Pasal 1 Angka (9) dan Pasal 3

yang menjadi obyek dari kompetensi absolut PTUN. Sedangkan KTUN yang lainnya

menjadi berada diluar dari kewenangan PTUN.

2.13. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif adalah kompetensi Pengadilan ditentukan berdasarkan

wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya. Suatu Pengadilan berwenang

memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang

bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya.64

Kompetensi relatif PTUN dan Peradilan Tinggi TUN dibedakan atas tiga

daerah atau wilayah hukum, yaitu wilayah kota, kabupaten, dan provinsi.

Kompetensi relatif diartikan sebagai kewenangan Pengadilan untuk

mengadili perkara sesuai dengan wilayahnya.65

Suatu Badan Pengadilan dinyatakan

berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak yang sedang

bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di satu daerah hukum yang menjadi

64

Victor Yaved Neno, Implikasi PembatasanKompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 31.

65

SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta,

1987, hlm. 183.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

53

wilayah hukum Pengadilan itu.66

Ini artinya bahwa dalam pengajuan gugatan ke

peradilan harus melihat subyek yang berperkara yaitu tergugat dan penggugat untuk

menentukan Peradilan TUN mana memiliki kompetensi ini.

Untuk PTUN dan PT TUN pengaturannya terdapat dalam Pasal 6 dan

Pasal 54 UU No.5 Tahun 1986, dimana Pasal 6 menentukan batas daerah hukum

suatu Pengadilan TUN.67

Batas daerah hukum itu dibedakan atas tiga wilayah kota,

kabupaten, dan wilayah provinsi. Pasal 6 berbunyi: (1) Pengadilan TUN

berkedudukan di Kotamadya atau ibukota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi

wilayah Kotamadya atau Kabupaten; (2) Pengadilan Tinggi TUN berkedudukan di

ibu kota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.

Kompetensi yang berkaitan dengan tempat kedudukan atau tempat

kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat atau pihak Tergugat, diatur tersendiri di

dalam Pasal 54 sebagai berikut:68

(1) Gugatan sengketa TUN diajukan kepada

Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan

Tergugat; (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat TUN dan

berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau

Pejabat TUN; (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah

hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke

66

SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, 1988, Yogyakarta, hlm. 59.

67

Ibid, hlm. 59.

68

Ibid, hlm. 60.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

54

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk

selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan; (4) Dalam hal-hal

tertentu sesuai dengan sifat sengketa TUN yang bersangkutan yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang

yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat; (5) Apabila Penggugat

dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada

Pengadilan di Jakarta; (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan

Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan

Tergugat.

2.14. Kompetensi PHI

UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial (UU PHI) yang diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004, dimuat dalam

Lembaran Negara RI No. 4356,69

dinyatakan bahwa hadirnya undang-undang ini

dikarenakan perselisihan perburuhan yang semakin kompleks dan dibutuhkan

penyelesaian perburuhan yang cepat, tepat, adil, dan murah.70

Kehadiran UU No.13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dalam menjamin hak buruh dalam mencari

keadilan mendorong hadir PHI.

69

Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, 2009, Jakarta, hlm. 129

70

Terdapat dalam diktum menimbang UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

55

Sebelumnya perselisihan hak menjadi wewenang Pengadilan Negeri

sesuai dengan Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951. Namun dalam

perkembangannya UU No.22 Tahun 1957 tantang Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan, memberikan wewenang kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan (P4) untuk menyelesaikannya.71

Dulu, terdapat dua instansi yang

berwenang menyelesaiakan perselisihan Perburuhan. Yang dapat menuntut di depan

Pengadilan adalah pekerja secara perorangan. Sedangkan di depan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan adalah buruh/pekerja secara organisatoris.72

Melalui UU No.2 Tahun 2004, saat ini, kewenangan tersebut terpusat

dalam satu Pengadilan yaitu PHI. Adapun letak PHI dalam sistem hukum Indonesia

merupakan Pengadilan Khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.73

Pasal

56 UU No.2 Tahun 2004, PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: (a)

di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; (b) di tingkat pertama dan terakhir

mengenai perselisihan kepentingan; (c) di tingkat pertama mengenai perselisihan

pemutusan hubungan kerja; dan (d) di tingkat pertama dan terakhir mengenai

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

71

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di Luar

Pengadilan, Raja Grafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 84-85.

72

Ibid, hlm. 85.

73

Pasal 55 UU No.2 Tahun 2004.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

56

Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan Khusus yang dibentuk

di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan

memberi Putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.74

Pasal 1 Angka (1) dikatakan bahwa perselisihan hubungan industrial

adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau

gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena

adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan.75

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara

para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur

pengusaha, pekerja/buruh, dan Pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila

dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945.76

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa proses produksi di perusahaan

pihak-pihak yang terlibat secara langsung adalah pekerja/buruh dan pengusaha.

Sedangkan peran Pemerintah sebagai pihak mengawasi hubungan kerja antara

pekerja/buruh dengan pengusaha agar terwujudnya hubungan kerja yang harmonis

sebagai syarat keberhasilan suatu usaha, sehingga produktivitas dapat meningkat

74

Pasal 1 angka 17 UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

75

Definisi ini sama dengan yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 22 UU No13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

76

Pasal 1 angka 16 UU No13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

57

yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat

meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat,77

sebagaimana hakikat dari

negara hukum. Dalam peran mengawasi maka Pemerintah mewujudkannya dengan

mengeluarkan berbagai kebijakan, baik itu peraturan perundang-undangan yang harus

ditaati oleh pekerja/buruh dan pengusaha.

2.15. Sifat Hubungan Perburuhan

Sifat dari hubungan hukum perburuhan, yaitu: Pertama, sifat hukum

perdata (privatrechtelijk). Artinya, bahwa pengaturan hubungan antara individu-

individu, yaitu buruh dan majikan yang sanksi hukumnya adalah ganti rugi atau

mengembalikan/mencabut hak-hak pribadi. Contohnya: memberikan uang pesangon

dan ganti rugi yang harus dibayar oleh majikan jika memutuskan hubungan kerja.

Kedua, bersifat hukum publik (publikrechtelijk). Mengatur mengenai hubungan

antara Masyarakat/Negara dengan individu yang sanksi hukuman kurungan/penjara

dan denda. Contoh: pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah.78

Pada sifat yang kedua inilah peran Pemerintah sebagai pengawas kegiatan

perburuhan oleh pengusaha dan pekerja/buruh, dan ini tidak serta merta badan hukum

perdata yang diawasi Pemerintah seperti kasus yang dibahas dalam skripsi ini

menjadikan badan hukum perdata tersebut melakukan urusan pemerintahan atau

77

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan & di Luar

Pengadilan, Raja Grafindo Persada, 2004, Jakarta, hlm. 17.

78

Edy Saputra Sofyan, Dasar-dasar Hukum Perburuhan di Indonesia, Yogyakarta Offset, 1983,

Yogyakarta, hlm. 5-6.

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

58

disebut sebagai Badan atau Pejabat TUN. Ini penting, agar tidak terjadi tumpang

tindih kewenangan dalam proses ajudikasi di sistem hukum Indonesia.

Untuk itu mengenai Perselisihan hubungan industrial antara

pekerja/buruh dengan pengusaha terjadi di perusahaan tempat pekerja/buruh bekerja,

sangat tepat jika dipergunakan sebagai acuan penyelesaiannya di Pengadilan

Hubungan Industrial. Kompetensi yang dimiliki oleh PHI adalah memeriksa,

mengadili, dan memberi Putusan terhadap perselisihan hubungan industrial, yang

dimana pihak hubungan industrial tersebut adalah pekerja/buruh dan pengusaha.

2.16. Perbedaan Buruh dan Pegawai Negeri

Dalam kehidupan sehari-hari terdapat peristilahan mengenai Pekerja,

yaitu Buruh, Karyawan, atau Pegawai. Namun sesungguhnya dapat dipahami, bahwa

maksud dari semua peristilahan tersebut adalah sama, yaitu: orang yang bekerja pada

orang lain dan mendapat upah sebagai imbalannya. Singkatnya bahwa

Pekerja/Karyawan/Buruh atau Pegawai itu mencakup Pegawai Swasta maupun

Pegawai Negeri (Sipil atau Militer).79

Ciri khas yang melekat pada lembaga pegawai negeri itu adalah mereka

mempunyai hubungan dinas publik.80

Artinya bahwa ketika membandingkan dengan

pegawai dalam suatu Yayasan Perguruan Tinggi Swasta, Pegawai/Buruh Swasta tidak

79

Darwan Prinst, S.H., Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.

20.

80

Moh. Mahfud MD, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 1.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

59

akan memiliki hubungan dinas publik dengan Pemerintah karena pengangkatannya

tidak mengikuti peraturan perundangan yang berlaku bagi pejabat publik. Adapun

hubungan dinas publik, yaitu:

“Adalah bilamana seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada

perintah dari Pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa

macam jabatan yang dalam melakukan sesuatu atau beberapa macam

jabatan itu dihargai dengan pemberian gaji dan beberapa keuntungan

lain.”81

Dengan adanya hubungan dinas publik ini Pemerintah berhak

mengangkat seseorang pegawai dalam jabatan tertentu tanpa harus adanya

persesuaian kehendak dari yang bersangkutan, meskipun demikian timbul dan

berakhirnya lembaga dinas publik itu tidak tergantung pada pengangkatan dalam atau

pemberhentian dari satu jabatan.82

Perburuhan adalah suatu kejadian di mana seseorang, biasanya disebut

buruh, bekerja pada orang lain, biasanya disebut majikan, dengan menerima upah

dengan sekaligus mengenyampingkan persoalan antara pekerjaan bebas dan

pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan (bekerja pada) orang lain, dan

mengenyampingkan pula persoalan antara pekerjaan dan pekerja.83

Definisi di atas memisahkan antara buruh yang bekerja pada majikan

dalam swasta, dengan pegawai negeri. Terhadap pegawai negeri tidak diperlakukan

81

Ibid, hlm. 3.

82

Ibid, hlm. 3.

83

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, 1982, Jakarta, hlm.

299-300.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

60

peraturan-peraturan tentang perburuhan, tetapi diadakan peraturan-peraturan

tersendiri bagi mereka yang disebut dengan Peraturan Kepegawaian PNS. Sehingga

perselisihan kepegawaian dengan Badan atau Pejabat TUN menjadi salah satu

kompetensi dari PTUN, artinya hal itu tidak terjadi dengan buruh, pada perusahaan

atau Yayasan Perguruan Tinggi Swasta.

Pasal 1 Angka (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo

Pasal 1 Angka (9) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan

hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Disamping itu harus dipahami bahwa dari pegawai negeri, yaitu:84

(1)

Memenuhi syarat-syarat menurut peraturan perundangan; (2) Diangkat oleh Pejabat

yang berwenang; (3) Diserahi tugas dalam jabatan negeri atau tugas Negara lainnya;

(4) Digaji menurut peraturan perundang-undangan.

Tentunya dengan beberapa unsur tersebut, sudah dapat diketahui bahwa

Rektor Perguruan Tinggi suatu Yayasan Perguruan Tinggi Swasta tidak dapat

diklasifikasikan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Misalnya, apakah Rektor diangkat

oleh Pejabat yang berwenang? Tentunya tidak. Rektor Perguruan Tinggi suatu

84

Moh. Mahfud MD, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 17.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

61

Yayasan Perguruan Tinggi Swasta diangkat oleh Yayasan Swasta yang tunduk pada

aturan yang dibuat oleh Yayasan tersebut.

2.17. Yayasan Perguruan Tinggi Swasta

Yayasan Perguruan Tinggi Swasta disini merupakan pemberi kerja

(dalam istilah perburuhan disebut majikan) kepada buruh dalam hal ini Dosen dan

atau Karyawan. Ini menandakan bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Swasta

merupakan badan hukum perdata, bukan Badan atau Pejabat TUN. Yayasan

Perguruan Tinggi Swasta tidak terikat dengan Pemerintah dalam hubungan kerja

terhadap Dosen. Keberadaan Pemerintah sebatas fungsi menetapkan kebijakan,

memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan

terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan.85

Hubungan

kerja ini disebut dengan Hubungan Industrial atau “Suatu sistem hubungan yang

terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri

dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan Pemerintah yang didasarkan pada nilai-

nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”.86

Hubungan kerja tersebut terjadi karena adanya perjanjian antara

pengusaha dan pekerja/buruh yang dapat berupa tertulis atau lisan.87

Ini sejalan

dengan pendapat bahwa “Guru dan Dosen adalah berstatus swasta, dimana sistem

85

Pasal 102 ayat 1 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

86

Pasal 1 angka 16 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

87

Pasal 50 dan pasal 51 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2671/3/T1_312008029_BAB II.pdf · kompetensi PTUN dan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang

62

pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian dilakukan berdasarkan

perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”.88

Ketika sudah ada kontrak antara seseorang (Dosen atau Karyawan)

dengan badan hukum perdata (Yayasan Perguruan Tinggi Swasta), maka Yayasan

Perguruan Tinggi Swasta harus tunduk pada Undang-undang No.13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial. Ini tidak boleh ditumpangtindihkan dengan UU No.51 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 1986 tentang PTUN. Dus, ada

perbedaan antara pekerja/buruh dengan Pejabat TUN. Pembedaan ini konsekuensinya

yaitu ketika terjadi perselisihan maka gugatan yang diajukan berbeda juga. Dalam

perselisihan Perburuhan, maka hal ini merupakan kompetensi absolut PHI.

Simpulan yang dapat dikemukakan, setelah tinjauan kepustakaan terhadap

perumusan masalah bagaimanakah kompetensi PTUN memutus obyek sengketa

hubungan industrial antara Yayasan Perguruan Tinggi Swasta dengan Dosen atau

Karyawan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta adalah hanya sebatas memutuskan

bahwa gugatan tidak dapat diterima, sebab kompetensi absolut untuk hal ini berada di

PHI.

88

Sahala Aritonang, Hak-hak Guru dan Dosen Swasta Jika Diberhentikan. hlm. 7. Ia membedakan

dengan Guru dan Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan/pendidikan tinggi yang diselenggarakan

oleh pemerintah karena mereka pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian diatur

oleh peraturan pemerintah sehingga berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).