bab ii tinjauan pustaka -...

18
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Peran Militer dalam Hubungan Internasional Secara tradisional pengertian ilmu hubungan internasional adalah kajian mengenai hubungan antar negara (state actor). Berakhirnya perang dingin telah merubah paradigma pembahasan dalam ilmu hubungan internasional menjadi semakin luas dengan adanya fokus kajian mengenai perilaku non-state actor yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan negara-bangsa. Dalam kajian ini peran militer digolongkan menjadi state actor karena militer merupakan alat negara. Peran aktor negara sangat penting karena memiliki legitimasi, wewenang dan peran khusus yang tidak dimiliki non-state actor, misalnya: menjaga dan melindungi non-state actor dari ancaman dan bahaya (Dugis dan Wardhani, 2012). Hubungan internasional tercermin pada intensitas interaksi, jumlah aktor yang terlibat dan pola interaksi antar aktor. Maka dengan demikian bentuk interaksi tersebut dapat digolongkan menjadi interaksi bilateral, trilateral, regional dan multirateral. Pola interaksi dapat berbentuk kerjasama, persaingan dan konflik (Margono, 2016). Dalam penulisan ini peran militer dalam upaya mengintervensi politik negara digolongkan dalam bentuk interkasi dalam negeri yang diwarnai dengan konflik perebutan kekuasaan antara militer dan sipil. Pada masa Orba peran militer Indonesia telah melenceng jauh dengan berupaya mendominasi politik negara melalui pengerdilan sipil. Begitu pula peran junta militer Thailand juga telah melenceng jauh dengan berpolitik secara langsung, walaupun militer pada akhirnya selalu mengembalikan kekuasaan ke sipil. II.1.1 Konsep Politik Militer Politik Militer adalah keadaan dimana militer mengambil peran bukan hanya sebagai kekuatan pertahanan dan kemananan (HANKAM) namun juga sebagai kekuatan sosial politik negara. Sebagai kekuatan sosial politik, militer berperan dalam bidang-bidang ideologis, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. (Namira, 2009)

Upload: vophuc

Post on 30-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Peran Militer dalam Hubungan Internasional

Secara tradisional pengertian ilmu hubungan internasional adalah kajian

mengenai hubungan antar negara (state actor). Berakhirnya perang dingin telah

merubah paradigma pembahasan dalam ilmu hubungan internasional menjadi

semakin luas dengan adanya fokus kajian mengenai perilaku non-state actor yang

memiliki pengaruh terhadap kehidupan negara-bangsa. Dalam kajian ini peran

militer digolongkan menjadi state actor karena militer merupakan alat negara.

Peran aktor negara sangat penting karena memiliki legitimasi, wewenang dan

peran khusus yang tidak dimiliki non-state actor, misalnya: menjaga dan

melindungi non-state actor dari ancaman dan bahaya (Dugis dan Wardhani,

2012). Hubungan internasional tercermin pada intensitas interaksi, jumlah aktor

yang terlibat dan pola interaksi antar aktor. Maka dengan demikian bentuk

interaksi tersebut dapat digolongkan menjadi interaksi bilateral, trilateral, regional

dan multirateral. Pola interaksi dapat berbentuk kerjasama, persaingan dan konflik

(Margono, 2016). Dalam penulisan ini peran militer dalam upaya mengintervensi

politik negara digolongkan dalam bentuk interkasi dalam negeri yang diwarnai

dengan konflik perebutan kekuasaan antara militer dan sipil. Pada masa Orba

peran militer Indonesia telah melenceng jauh dengan berupaya mendominasi

politik negara melalui pengerdilan sipil. Begitu pula peran junta militer Thailand

juga telah melenceng jauh dengan berpolitik secara langsung, walaupun militer

pada akhirnya selalu mengembalikan kekuasaan ke sipil.

II.1.1 Konsep Politik Militer

Politik Militer adalah keadaan dimana militer mengambil peran bukan

hanya sebagai kekuatan pertahanan dan kemananan (HANKAM) namun juga

sebagai kekuatan sosial politik negara. Sebagai kekuatan sosial politik, militer

berperan dalam bidang-bidang ideologis, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan

keagamaan. (Namira, 2009)

12

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu

kekuatan politik terbesar di Indonesia. Masa Orde Baru adalah masa dimana

keterlibatan militer dalam politik mencapai puncaknya di Indonesia. Orde Baru

(1966-1998) adalah sebutan untuk masa pemerintahan di bawah kepemimpinan

Presiden Soeharto menggantikan Presiden Soekarno (Orde Lama). Melalui

doktrin Dwifungsi ABRI, militer telah berhasil memperluas perannya dalam

urusan-urusan non-militer. Dwifungsi ABRI memiliki dua pengertian yang

memberi legitimasi peranan militer. Pertama, militer sebagai HANKAM maka

ABRI merupakan aparatur negara/pemerintah, berfungsi untuk mempertahankan

dan mengamankan negara dan bangsa terhadap ancaman baik dari dalam maupun

luar negeri. Kedua, melalui penggolongan ABRI sebagai Golongan Karya, maka

ABRI memiliki fungsi untuk ikut secara aktif mengisi dan membangun negara

dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Hadirnya dominasi militer dalam masa

Orba ditunjukan dengan didudukinya jabatan-jabatan sipil penting sehingga

mampu mengarahkan kekuasaan politik secara langsung ke tangan Soeharto,

keterlibatan militer dalam pembentukan partai Golkar, penguasaan sektor

ekonomi, penggunaan metode represif untuk pemenangan pemilu dan untuk

mengatasi pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri. Melalui penerapan

doktrin dwifungsi ABRI maka berkembanglah konsep militer untuk mengawal

proses pembanguan negara di sektor ekonomi.

Militer Thailand pada awalnya berfungsi sebagai pengawal kerajaan dan

HANKAM. Dalam perkembangannya akibat gejolak krisis ekonomi, militer

berani tampil ke publik dengan melakukan kudeta bersama sipil untuk

menggulingkan monarki. Sesaat persekutuan antara militer dan sipil terjalin

dengan baik, namun kemudian terjadi perebutan kekuasaan antara keduanya.

Akibatnya kudeta seperti sudah menjadi sebuah tradisi di Thailand. Setelah 15

tahun militer akhirnya kembali berupaya merebut kekuasaan sipil pada masa

pemerintahan Thaksin. Keterlibatan militer pada masa sekarang ini tidak lagi

hanya didasari oleh keinginan militer untuk melakukan reformasi pemerintahan,

namun juga karena adanya dukungan para elit politik Thailand. Para elit ini telah

ada semenjak perubahan pemerintahan Thailand menjadi monarki konstitusional.

Junta militer Thailand tidak memiliki doktrin khusus seperti ABRI, namun

13

memiliki peranan yang hampir serupa dalam mendominasi kehidupan politik

negara Thailand. Junta militer Thailand memiliki pengaruh besar dalam

pemerintahan. Hal ini terlihat dari peranan militer terhadap perubahan konstitusi

Thailand. Tidak berbeda jauh dengan masa otoriter Soeharto, pada masa

pemerintahan perdana menteri yang berasal dari militer Thailand sering terjadi

beberapa aksi kekerasan pemerintah terhadap sipil dan dikeluarkannya kebijakan-

kebijakan represif. Dalam prakteknya junta militer juga menempatkan personil-

personilnya untuk menduduki jabatan sipil sehingga mampu menguasai birokrasi.

Pada hakikatnya militer telah berhasil memperluas perannya dalam bidang lain

diluar fungsi sesungguhnya.

II.1.2 Teori Realisme

Asumsi Realisme berbasis logic thinking yang menghubungkan sifat

manusia dalam menjabarkan konflik antarnegara. Thomas Hobbes bahkan

membuat perumpamaan Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi

manusia lainnya). Menurut Morgenthau politik adalah perjuangan memperoleh

kekuasaan, politik berasal dari kodrat manusia yang tidak pernah puas. Politik

menjadi alat untuk memperoleh interest dengan memanfaatkan power. Power

dijadikan landasan untuk dapat menguasai atau memaksakan kehendak terhadap

yang lain. Para aktor akan saling berlomba untuk memperbesar power agar tetap

dapat survive. Survive berarti dapat bertahan menghadapi berbagai macam

permasalahan. Realisme mempercayai adanya struggle of power. Sebuah prinsip

yang mempercayai perjuangan untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam

situasi anarki dimana seluruh pihak saling mencari kesempatan untuk mendapat

keuntungan sebesar-besarnya. (Jackson dan Sorensen, 1999: 107-116)

Peran militer di Indonesia dan Thailand memperlihatkan bagaimana politik

menjadi sebuah arena perebutan kekuasaan untuk memperoleh kepentingan.

Militer justru terlibat dalam politik dengan memanfaatkan power militer agar tetap

dapat mendominasi di dalam negara. Dalam prakteknya militer mampu

memanfatkan kesempatan tersebut untuk menguntungkan organisasi militer

sendiri.

14

Prinsip-prinsip moral universal tidak berlaku ketika berkaitan dengan

kepentingan (Lebow, 2007: 50). Oleh karena itu penggunaan kekerasan atau

tindakan represif tidak jarang digunakan demi memperoleh kepentingan para

aktor. Pada rezim totalitarian militer prinsip moral bukanlah hal utama.

Balance of Power (BoP) bagi kaum realisme merupakan cara

mengekspresikan adanya distribusi power ataupun keseimbangan kekuatan.

Konsep BoP mampu mencegah terjadinya konflik dengan mempertahankan status

quo. Namun juga dapat memicu ketegangan karena tidak dapat memastikan

determinasi aktor dengan power yang dimilikinya. Dalam konsep BoP kaum realis

juga percaya bahwa hukum alami dari politik adalah ketika satu aktor menjadi

lebih kuat, maka yang lainnya akan bersatu untuk menciptakan keseimbangan.

Bergabungnya aktor yang lebih lemah dengan yang lebih kuat dipahami dengan

konsep “bandwagoning”. Aktor yang lebih lemah memberi pengakuan terhadap

teman-tapi-musuh tersebut dan mengambil untung dari perampasan yang mereka

rebut bersama-sama. Prinsip bandwagoning berarti aktor yang lebih lemah harus

berteman dengan yang kuat karena yang lebih kuat dapat menguasai apapun yang

diinginkannya secara paksa dan adanya perhitungan bahwa biaya untuk

melakukan perlawanan justru lebih mahal dari pada keuntungan yang didapatkan.

Bandwagoning dapat terjadi apabila upaya membangun koalisi seimbang tidak

memungkinkan lagi dilakukan. Jika pengertian balancing menjadi upaya

mencegah musuh mengintervensi keseimbangan maka bandwagoning adalah

membiarkan yang terkuat memutuskan pola hubungan antar aktor. (Joseph, 2008 :

36-37)

Realisme juga percaya pentingnya pencapaian hegemony dan menjadi

hegemon. Hegemony berarti memiliki kesempatan untuk dapat mengatur atau

setidaknya mendominasi peraturan-peraturan dan perjanjian-perjanjian yang ada.

Hegemony juga berarti memiliki kapabilitas power yang lebih dari pada yang lain.

(Joseph, 2008 : 38)

15

II.1.3 Teori Hubungan Sipil-Militer

Pola hubungan sipil-militer memiliki berbagai variasi. Bagus A. Hardito

(1999:144) menggolongkan pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi

sipil atas militer atau dominasi militer atas sipil, dapat pula terbentuk kesejajaran

antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu negara. Sistem rezim

pemerintahan yang dianut oleh suatu negara memiliki pengaruh terhadap pola

hubungan sipil-militer. Pola hubungan sipil-militer dalam sistem demokratik

liberal menganut pada supremasi sipil. Hubungan sipil-militer dalam negara

demokratis ditunjukkan Samuel P. Hutington (1957:80-99) melalui dua cara

yakni:

1. Kontrol sipil subyektif (subjective civilian control), pengendalian ini

dilakukan dengan meminimalkan kekuasaan militer dan memaksimalkan

kekuasaan sipil. Inti dari kontrol sipil subyektif adalah pengingkaran

independensi militer.

2. Kontrol sipil obyektif (objective civilian control), pengendalian cara ini

dilakukan dengan memaksimalkan profesionalisme militer, kekuasaan

militer akan dikurangi namun diberikan kekuasaan dalam batas tertentu

yang diperlukan untuk melaksanakan profesinya. Kontrol sipil obyektif

tidak hanya dilakukan dengan upaya meminimalisasi intervensi militer,

namun juga memerlukan keunggulan otoritas sipil yang terpilih (elected

politicians) dalam semua bidang politik termasuk dalam penentuan

anggaran militer, konsep dan strategi pertahanan nasional, peralatan

persenjataan militer, dan perumusan kurikulum serta doktrin militer.

Sedangkan pada sistem otoritarian, pola hubungan sipil-militer lebih

menekankan pada dominasi peran militer. Dalam rezim militer tidak ditemukan

adanya kontrol sipil dan organisasi militer melakukan tugas-tugas diluar misi

pertahanan kemanan. (Hutington, 1957:99)

Amos Permultter (1980:203-205) menjelaskan dua kondisi sebagai peluang

bagi militer melakukan intervensi. Pertama, kondisi sosial. Adanya kelas-kelas

sosial masyarakat yang terpecah belah akibat kepentingan kelompok sehingga

tidak mampu melancarkan aksi terpadu dan rendahnya tingkat aksi sosial

menjadikan tidak adanya kontrol sosial efektif. Kedua, kondisi politik. Struktur

16

formal negara yang lemah atau disorganisasi, persoalan-persoalan sipil yang

selalu kembali ke militer untuk mendapatkan dukungan ketika struktur politik

terfragmentasi dalam faksi-faksi politik dan ketika perangkat konstitusi tidak

berjalan atau tidak adanya legitimasi yang berakar dari ketidakmampuan elite

dalam mengelola persoalan politik.

Keikutsertaan militer dalam percaturan politik Indonesia disebabkan oleh

faktor sosial dan politik. Fragmentasi masyarakat menjadi penyebab utama

lemahnya pengawasan terhadap lembaga formal negara. Sedangkan permasalahan

perebutan pengaruh menjadikan para politisi sulit mengendalikan diri untuk tidak

mengikutsertakan militer guna meraih dukungan, selain itu peran militer juga

sangat dibutuhkan dalam menangani aksi kerusuhan dan pemberontakan di

seluruh negeri, keadaan tidak dapat mengingkari peran militer dalam negara.

Sama halnya dengan Thailand harus menghadapi dua masalah tersebut. Terpecah-

belahnya masyarakat dan keinginan mempertahankan pengaruh kekuasaan Raja

menjadi faktor pendorong keterlibatan militer dalam politik. Pemerintahan militer

dikedua negara ini menekankan kepada masyarakat umum bahwa naiknya

pemerintahan militer didorong oleh tanggung jawab menyelesaikan krisis akibat

kegagalan pemerintahan sipil. Namun yang membedakan adalah dominasi militer

Thailand didasari legitimasi atas tugas militer sebagai pelindung kerajaan

sehingga pengaruh mereka sulit dipisahkan karena terkait dengan dukungan Raja.

Terdapat 3 jenis organisasi militer di dalam negara-bangsa modern. Pertama

prajurit profesional yang berkembang di dalam negara-negara dengan kondisi

sistem politik yang stabil. Kedua adalah prajurit pretorian yang tumbuh di dalam

negara-negara dengan sistem politik tidak stabil. Ketiga adalah prajurit

revolusioner yang bersifat manunggal dengan suatu orde politik yang stabil

walaupun asal-usulnya berasal dari sistem politik yang tidak stabil, atau sedang

mengalami kemunduran atau masih baru. Menurut Eric A. Nordlinger (1994:4-5)

tiga tipologi pretorianisme tentara didasarkan pada tingkat campur tangan dan

keinginan untuk dapat mencapai tujuan mereka.

17

Tabel 2.1

Tipe-tipe Pretorianisme

Moderator Pengawal Penguasa

Tingkat

Kekuasaan

(Pembuatan

Keputusan)

Hak veto Menguasai

pemerintahan

Pengaruh

dominasi rezim

Tujuan

Ekonomi dan

Politik

Mempertahankan

status quo (meskipun

pihak sipil

menjalankan

pemerintahan tapi

tidak terlepas dari

pengawasan militer

yang tidak akan

menerima supremasi

penuh pihak sipil)

Mempertahankan

status quo dan atau

memperbaiki

penyalah gunaan

dan kelemahan

(model ini muncul

ketika militer

berhasil

menggulingkan

pemerintahan sipil

dan militer akan

memegang

pemerintahan

untuk periode dua

hingga empat

tahun)

Membuat

perubahan

politik dan

kadang-kadang

kadang-kadang

perubahan

sosio-ekonomi

Sumber: (Nordlinger,1994).

Tumbuhnya power militer dalam politik di Indonesia dan Thailand dapat

digolongkan dalam tipe organisasi pretorian. Peran militer Indonesia digolongkan

dalam model penguasa. Militer akan mengambil alih kekuasaan pemerintahan

apabila pemerintah sipil dianggap gagal menjalankan tugasnya atau

menyalahgunakan kekuasaan. Ciri khas militer Indonesia sendiri membangun

sebuah rezim yang mampu mendominasi pembuatan keputusan, serta berupaya

menciptakan perubahan-perubahan baik dalam tatanan ekonomi maupun politik.

Sedangkan peran militer Thailand digolongkan pada tipe pengawal karena

tindakan kudeta militer hanya akan dilakukan apabila pemerintah yang berkuasa

menghina Kerajaan atau menyalahgunakan kekuasaannya. Pada dasarnya militer

Thailand adalah pengawal Kerajaan karena itu militer tidak berniat untuk

meninggalkan dominasi Kerajaan. Selain itu, pemerintahan oleh militer tidak

18

berlangsung dalam kurun waktu puluhan tahun seperti yang terjadi di Indonesia,

tetapi kekuasaan akan diserahkan kembali kepada sipil.

Kondisi-kondisi pretorianisme memberi dampak negatif terhadap lembaga

militer dan menurunkan strandar-standar profesionalisme yang mengakibatkan

pecahnya perang saudara ataupun kudeta silih berganti. Kekuatan rezim pretorian

militer bukan berasal dari kecakapan profesional-penggunaan kekerasan-

melainkan juga kecenderungan untuk menghubungkan rezim yang membiayai

militer tersebut dengan rezim yang melindungi integritas militer. Pretorian

military adalah pembela utama otonomi korporasi sehingga menyamakan aspirasi

korporasi dengan kepentingan nasional.

Kontestasi militer sering kali terjadi pada masa transisi demokrasi dari

rezim militer. Hal itu disebabkan adanya perbedaan pandangan antara

pemerintahan sipil baru dengan pihak militer mengenai isu-isu hak istimewa

(prerogative) militer. Wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar terdiri

dari: 1) penanganan pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kekerasan yang

dilakukan oleh rezim otoriter; 2) menilik reaksi militer terhadap kebijakan

pemerintahan demokrasi baru dalam upaya penegakan supremasi sipil; 3)

penyesuaian alokasi anggaran militer yang berpengaruh terhadap upaya

memperkokoh pemerintahan baru. Hak istimewa militer dijadikan sebuah

referensi bahan analisis untuk menilik kedudukan dan kontribusi militer dalam

penyelenggaraan demokrasi. Hak-hak kelembagaan militer dikatakan “tinggi” jika

de jure dan de facto militer menjalankan kontrol efektif dalam pemerintahan,

berperan di wilayah-wilayah ekstra-militer, dan menyusun bahkan menentukan

pola hubungan sipil-militer. Hak istimewa militer dikatakan “moderat” jika de

jure militer tidak memiliki hak istimewa, namun pemerintahan demokratis baru

mendapat penolakan aktif ataupun pasif dari militer. Hak istimewa kelembagaan

militer dikatakan “rendah” jika kontrol efektif de facto dan de jure atas hak

istimewa ini dijalankan oleh pemerintah melalui prosedur yang berlaku dan

didukung lembaga-lembaga demokratis. (Yulianto, 2002: 463-465)

Untuk mencapai hubungan harmonis antara sipil-militer dengan demikian

militer harus dikontrol melalui penetapan tugas-tugas dan batasan-batasan yang

jelas antara pemimpin sipil dan militer. Untuk mencegah ketegangan antara sipil-

19

militer dalam masa transisi menurut Joseph S. Nye Jr. (2008: 237-238), akan lebih

sehat jika dipraktekan dalam tradisi-tradisi liberal yaitu 1) angkatan bersenjata

harus tunduk kepada peraturan hukum yang berlaku dan berkewajiban

menghormati kewenangan sipil; 2) angkatan bersenjata bersifat independen dan

berada di atas semua kepentingan politik; 3) sipil berkewajiban mengakui bahwa

angkatan bersenjata adalah alat negara demokrasi yang sah; 4) pemberian dana

dan penghargaan yang layak kepada militer dalam upaya mengembangkan peran

dan misi militer; 5) sipil harus berupaya untuk belajar mengenai isu-isu

pertahanan dan budaya militer.

Menurut Malik Haramin (2000:323-325), untuk menciptakan kontrol

efektif terhadap militer diperlukan kesepakatan bersama antara sipil dan militer

mengenai reposisi peran militer. Reposisi adalah langkah pertama yang harus

dilaksanakan sebelum membuat kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada

prinsip supremasi sipil. Agenda reposisi antara lain 1) upaya mendekonstruksi

hubungan sipil-militer dan menempatkan militer dalam masa transisi; 2) kebijakan

dibuat untuk mengurangi wilayah wewenang militer dan menjadikan militer

sebagai lembaga profesional; 3) mencegah segala kemungkinan militer masuk

domain sipil.

II.1.4 Teori Transisi Menuju Demokrasi

Salah satu hal yang membedakan pemerintahan sistem demokrasi dengan

otoritarian adalah partisipasi dalam politik. Sistem demokrasi memberikan

kesempatan berpartisipasi secara luas dalam pembuatan keputusan politik kepada

masyarakat, sedangkan otoritarian memberikannya sebagai tugas pokok yang

diwajibkan bagi masyarakat. (Anderson, 2001)

O’Donnell dan Schmitter (1993) mengatakan transisi adalah interval

(selang waktu) antara satu rezim politik menuju rezim politik lain. Transisi

memiliki pengertian ganda yakni 1) konteks regenerasi politik transisi berarti

semua anggota masyarakat yang telah cukup umur berhak mengambil peran

dalam penyelenggaraan negara; 2) dalam konteks sosial transisi berarti proses

perubahan berbagai bentuk masyarakat dan proses perubahan terjadi dari nilai

lama ke nilai baru. Demokratisasi sendiri memiliki diartikan sebagai proses yang

mengarah kepada pembentukan sistem demokrasi, perubahan wacana identitas

20

dalam struktur masyarakat dalam peran politiknya. Demokratisasi juga dapat

diartikan sebagai sebuah proses perluasan partisipasi warga negara dalam berbagai

keputusan politik.

Karakteristik dari transisi demokrasi yakni 1) lahirnya “liberalisasi” yakni

proses pengembangan hak-hak akses politik yang lebih luas; 2) terbatas kurun

waktu dimulainya proses perpecahan sebuah rezim otoriter oleh pengesahan

beberapa bentuk demokrasi; 3) aturan-aturan atau regulasi selalu berubah dalam

masa transisi dan diperhadapkan antar elit politik. Demokratisasi melibatkan

institusi politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat serta

dibentuknya kesepakatan bersama mengenai “nilai-nilai politik” yang dapat

menjadi penghubung berbagai elemen politik untuk bersatu selama masa transisi.

Masa transisi demokrasi Indonesia ditunjukkan sejak dimulainya Era

Reformasi dengan diakuinya unsur-unsur demokrasi secara luas. Peran aktor

dalam politik tidak hanya terbatas pada elit-elit politik saja melainkan non state

actor memiliki hak-hak yang dilindungi untuk ikut berpartisipasi dalam politik.

Melihat pada kehidupan politik Thailand meski setelah bergantinya sistem

pemerintahan menjadi monarki konstitusional belum dapat dikatakan secara

gamblang bahwa Thailand telah memenuhi upaya-upaya untuk memajukan sistem

pemerintahan demokrasi. Hal ini disebabkan besarnya dominasi peran militer dan

para elit dalam pembuatan keputusan dan minimnya peran non state actor.

Menurut Guillermo O’Donnell dan kawan-kawan dalam analisis

komparatifnya, hipotesa dasar agar terbentuk tantangan efektif terhadap

pemerintahan otoritarian memuncak dan agar model alternatif demokrasi tampil,

maka diperlukan peranan masyarakat sipil dalam mana identitas-identitas

komunitas dan kelompok tertentu harus eksis bebas dari negara dan unit-unit

pembuatan keputusan tertentu mampu bertindak otonom dalam mempertahankan

kepentingan-kepentingan mereka. Bentuk partisipasi seperti ini dilaksanakan

secara konsesual melalui persaingan partai-partai politik untuk memenangkan

mayoritas suara elektoral, membentuk koalisi dengan partai lain, atau

mengadakan kesepakatan konsosiasional.

Maka unsur paling penting dalam

demokrasi adalah kewarganegaraan (citizenship) dan partisipasi warga negara

21

dalam pengambilan keputusan politik, sehingga rakyat memiliki kapasitas untuk

tidak dimanipulasi negara. (Guillermo dan Schmitter, 1993)

Tata cara dominasi politik, perkembangan ekonomi dan sistem hubungan

antar kelas selanjutnya menjadi bahan pertimbangan kemajuan demokratisasi.

Tabel 2.2

Tabel Perkembangan Demokrasi

Struktur Politik

dan Ekonomi

Ciri Proses Perkembangan Demokratisasi

Legitimasi

Tradisional

1) Adanya monopoli negara oligarki atau diktatorial

dan pemencilan sistematik kelas bawah dari segala

bentuk partisipasi politik (pembatasan hak suara

dan campur tangan militer yang berkelanjutan);

2) Proses parlementer tertentu dan oposisi terbatas

masih diperbolehkan.

3) Munculnya persekutuan kelas borjuis komersial,

pedesaan dan industrial dengan kelas menengah

“terhormat” yang kemudian memberikan dukungan

kepada partai-partai modern.

Tata

Konstitusional

1) Berkurangnya praksis diktatorial yang disebabkan

bangkitnya kelas menengah, sekularisasi, oposisi

kelas pekerja, kapitalisme dan penetrasi

internasional terhadap perekonomian;

2) Diterimanya oposisi dalam penyelenggaraan politik

negara;

3) Melunaknya tuntutan tradisional kaum radikal

disebabkan partisipasi penuh masyarakat untuk

mengembangkan “korporatis” dalam

perekonomian.

Transformasi

Struktur Ekonomi

1) Kapitalis

2) Liberal

1) A. Keterlibatan kaum kapitalis dalam politik

negara dan keterlibatan pihak asing telah

memberikan kendala baru;

B. Pemencilan rakyat dan kurangnya perwakilan

kelas rendah dalam parlemen serta sistem

parlementarisme terbatas;

C. Ketidakkonsistenan prinsip proteksionisme,

perlindungan bagi militer dan dominasi kelompok

tertentu;

22

D. Akibat gesekan dan tarikan masyarakat

industrial akhirnya melahirkan gerakan

revolusioner karena kekecewaan yang

dihubungkan dengan kaum ploretariat kota dan

meningkatnya komersialisasi kaum petani.

Hancurnya sistem kapitalisme yang disebabkan gerakan

revolusioner oleh masyarakat industrial dengan tuntutan

perbaikan ekonomi dan politik menjadi penyebab

hancurnya legitimasi tradisional.

2) A. Kemampuan industrial yang belum mumpuni

dan kebutuhan akan negara modern;

B. Reformasi dan modernisasi terjadi melalui

akomodasi yang lambat antara kepentingan penguasa

dan tekanan dari bawah;

Non-Totalitarian

atau Demokrasi

1) Tatanan sosial yang lebih pluralistik dan situasi

yang lebih demokratik;

2) Bangkitnya lembaga-lembaga politik, serikat

buruh, dll yang berhubungan dengan demokrasi

dan konstitusional.

Sumber: Salvador Giner dalam Transisi Menuju Demokrasi, hal:13-57

Fenomena transisi demokrasi mulai marak terjadi semenjak tahun 1980-an

dipengaruhi oleh perubahan sosial politik negara-negara di Eropa Timur.

Umumnya dalam masa transisi pemerintah akan berfokus pada pemulihan

ekonomi dan politik. Menurut Prezewosky (1996) dan Huntington (2001),

kemampuan ekonomi negara maju dapat mendukung proses demokratisasi.

Merujuk pada Eropa Timur yang telah mengalami berbagai fase perubahan sistem

ekonomi dalam tulisan ini penulis menghilangkan fase fasis. Hal ini dilakukan

berdasarkan pertimbangan bahwa negara-negara yang menjadi ulasan tidak

mengalami perkembangan ekonomi dalam fase fasis, sehingga menjadi kurang

relevan jika fase fasis diikut sertakan dalam tabel perkembangan demokrasi.

Chee (1994:4) mengatakan untuk mencapai demokrasi setiap negara

umumnya harus melalui proses transisi yang berat dan bertahap, walaupun sistem

demokrasi telah berlangsung cukup lama dalam sebuah negara, namun tetap saja

tidak ada demokrasi yang sempurna, seperti di Amerika. Transisi demokrasi

memiliki syarat utama yaitu pemerintah baru harus lebih kuat dari pada oposisi

dan menjadi penting untuk melakukan reformasi ekonomi dan politik dalam satu

kesatuan sistem dari tujuan transisi demokrasi.

23

Tabel 2.3

Interval Waktu Transisi Demokrasi

Bertahap (Evolusi) Demokratisasi Secara

Bertahap

Transisi Melalui

Perjuangan Revolusioner

Cepat (Revolusi) Transisi Melalui

Transaksi Transisi

Transisi Melalui

Perpecahan:

a. Revolusi

b. Kudeta

c. Keruntuhan

d. Ekstrikas

Sumber: Ali Martin. QUO VADIS TRANSISI DEMOKRASI: Arah Demokratisasi Indonesia ditengah Demokrasi

Pasar.

Melihat dari tabel transisi demokrasi maka proses demokratisasi di

Indonesia dan Thailand dapat dikatakan berlangsung dengan cepat karena

terjadinya transisi dalam politik. Proses transisi demokrasi di Indonesia terjadi

melalui sebuah revolusi yang di dasari gerakan dari bawah menuju ke atas oleh

masyarakat. Sedangkan di Thailand proses demokratisasi terjadi melalui kudeta

yang dilakukan untuk merubah sistem pemerintahan menjadi monarki

konstitusional. Walupun proses demokratisasi di Thailand belum dapat dikatakan

berjalan dengan baik, namun terlihat tumbuhnya sedikit kesadaran berpolitik di

kalangan masyarakat utamanya mahasiswa.

II.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang “Identifikasi Politik Militer Dalam Masa Transisi

Demokrasi Studi: Perbandingan Peran Politik Militer Indonesia dan Thailand” ini

terinspirasi dari beberapa penelitian terdahulu. Berikut beberapa penelitian

terdahulu yang berkaitan dengan peran militer dalam politik Indonesia dan

Thailand.

24

Tabel 2.4

Penelitian Terdahulu

No. Penelitian Hasil Penelitian

1. Yulia

Kusumawardani,

2012, Pengaruh

Hubungan Raja-

Militer di Thailand

Terhadap Konstitusi

2007. Universitas

Indonesia

Hasil dari penelitian ini adalah:

1. Hubungan raja dan militer di Thailand telah

terbentuk sejak masa pemerintahan monarki

absolut. Namun sejak abad-20 karena

masuknya paham demokrasi maka

hubungan ini menjadi rapuh. Pada tahun

1932 militer bersama sipil mengkudeta

Kerajaan dan merubah sistem pemerintahan

menjadi mornaki konstitusional. Hubungan

raja dan militer kembali pulih semenjak

masa pemerintahan PM Sarit Thanarat pada

tahun 1958. Sejak itu peran raja dalam

politik Thailand semakin besar melalui

perwakilannya yakni militer dan Dewan

Penasehat Kerajaan.

2. Naiknya Thaksin Shinawatra menjadi PM

mengganggu para elit politik Thailand.

Menggunakan alasan kegagalan

pemerintahan Thaksin akhirnya pecah

sebuah kudeta pada tahun 2006. Kudeta

yang dipimpin Jenderal Sonthi

Bonyaratglin tersebut mendapat dukungan

dari raja. Segera setelah melakukan kudeta,

pihak junta militer membatalkan konstitusi

dengan janji memberikan rakyat Thailand

pemerintahan yang lebih demokratis.

3. Konstitusi 2007 dijanjikan lebih

demokratis, namun pada kenyataannya

terdapat pasal-pasal yang dinilai tidak

demokratis berkaitan dengan kekuasaan

eksekutif, pemilu dan demokratisasi.

Konstitusi baru justru dinilai memberikan

kekuasaan yang lebih besar bagi militer.

4. Konstitusi 2007 disusun untuk kepentingan

elit-elit negara yang berada dalam network

monarchy yaitu raja dan militer. Konstitusi

baru digunakan untuk melegalkan

kekuasaan raja dan militer.

25

2. Kiki Namira, 2009,

Perbandingan

Kekuatan Politik

Militer Era Orde Baru

Dengan Era

Reformasi.

Universitas Sumatera

Utara.

1. Terdapat banyak kekuatan politik di

Indonesia namun yang paling berpengaruh

adalah TNI/ABRI, POLRI, Organisasi

Kecendiakawan, Lembaga Pendidikan,

LSM, Pers, Organisasi Penelitian, Kekuatan

Politik yamg tersebar di daerah-daerah,

kelompok masyarakat berbasis agama,

buruh dan pekerja, mahasiswa, partai

politik, dll.

2. Pada masa Orba, ABRI mendominasi peran

dalam kehidupan sosial politik. Mengacu

pada doktrin Dwifungsi ABRI, maka ABRI

bukan hanya sebagai kekuatan pertahanan

keamanan namun juga kekuatan sosial

politik.

3. Percobaan kudeta dilakukan karena

kekecewaan militer terhadap pemerintahan

parlementer karena dianggap terlalu

mengintervensi urusan internal militer.

Sistem Orba telah membuat militer semakin

mampu meluaskan peran dalam bidang

sosial dan politik di Indonesia.

4. Selain menggunakan kekuatan ABRI,

Soeharto juga menjadikan Golkar untuk

dapat memenangkan pemilu.

5. Pada 5 Oktober 1998 dimulailah masa

transisi demokrasi dengan mengeluarkan

paradigma baru ABRI yang intinya

perubahan sikap ABRI di masa mendatang.

Terutama dalam menghadapi

perkembangan sosial masyarakat.

3. Salim Said, 2015,

Mengundang

Keterlibatan

Angakatan Bersenjata

Catatan dari Mesir

dan Thailand. Jakarta:

Prisma Jurnal

1. Masuknya militer dalam kehidupan politik

adalah sebagai akibat terpecah-belahnya

masyarakat.

2. Pada awal 1932 kudeta Thailand bersifat

elitis, konservatif dan hanya melibatkan

pimpinan tentara dan birokrat tinggi di

sekitar Raja. Sifat kudeta berubah sejak

tahun 1970-an, ketika mahasiswa

menentang rezim militer. Oleh karena

sifatnya yang elitis maka kudeta di

Thailand tidak memiliki dampak yang luas

26

dalam kehidupan masyarakat.

3. Fakto-faktor yang menjadikan militer

kembali mengambil alih kekuasaan

diantaranya 1) konflik kepentingan antara

pendukung Thaksin dengan para elit militer

yang berafiliasi dengan monarki, para elit

kapitalis dan birokrasi; 2) konflik diantara

sumber-sumber legitimasi (kedaulatan

rakyat vs kedaulatan kerajaan); 3) konflik

perebutan kekuasaan antara elit Bangkok

dengan penduduk pedalaman.

4. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa

militer selalu diperebutkan oleh partai-

partai politik. Pada masa Panglima Jenderal

Sudirman, tentara berusaha menjaga

otonomi dengan menghindar agar tidak

dikuasai pihak lain diluar tubuh militer.

Keinginan militer terlibat dalam politik

terlihat saat A.H Nasution merumuskan

“Jalan Tengah”

5. Pada November 1958, Presiden Soekarno

menggolongkan TNI sebagai kekuatan

politik legal dan salah satu dari tujuh

“Angkatan Karya” dalam tubuh Golongan

Karya. Keputusan melegalkan peran politik

ABRI kemudian menjadi dasar dari

terbentuknya Dwifungsi ABRI.

6. Kehidupan politik Indonesia kembali pulih

setelah Soeharto lengser. Hal itu

mengakhiri pula peran militer diluar

tugasnya. Sejak tahun 2000 pembaharuan

dalam tubuh militer dan sistem demokrasi

dimulai.

Berangkat dari beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini akan

menambahkan beberapa hal yang sebelumnya belum menjadi pokok bahasan.

Pembahasan tidak hanya didasarkan pada faktor-faktor penyebab besarnya

dominasi peran militer dalam perpolitikan Indonesia dan Thailand, namun juga

membahas mengenai pengaruh peran militer terhadap proses demokratisasi

sebuah negara. Pembahasan dispesialisasikan dengan membandingkan dua negara

27

yang memiliki perbedaan sejarah dan kultur budaya masyarakat namun memiliki

persamaan nasib dengan besarnya pengaruh militer dalam pembuatan keputusan

terkait kebijakan politik. Penelitian ini menggunakan beberapa teori yang sedikit

berbeda dengan teori yang digunakan dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk belajar mengenai

proses demokratisasi di negara berkembang dengan upaya mengkonsolidasi peran

militer yang telah terlanjur menjadi radikal.

28

II.4 Kerangka Penelitian

PERBANDINGAN PERAN POLITIK MILITER

INDONESIA THAILAND

Keterangan Kerangka Berfikir:

Perbandingan peran militer diluar tugas militer dalam keterlibatannya di

kehidupan politik negara Indonesia dan Thailand ditemukan beberapa hal yang

menjadi kesamaan keduanya. Dalam masa pemerintahan otoriter peran militer

begitu mendominasi baik dalam pengambilan keputusan dan perubahan-

perubahan dalam politik negara. Perbedaan mendasar ditemukan dalam masa

transisi demokrasi keduanya. Saat ini Indonesia dapat dikatakan telah memasuki

masa transisi demokrasi dengan runtuhnnya kekuatan-kekuatan rezim militer dan

diakuinya hak-hak politik sipil. Sedangkan Thailand belum dapat dikatakan telah

memasuki masa transisi demokrasi sepenuhnya, walaupun telah beralih dari

sistem pemerintahan oligarki namun belum terlepas dari rezim militer dan

pengaruh elit Thailand. Hal ini terlihat dari keterlibatan milter dalam upaya

penyusunan konstitusi baru seusai kudeta.

Pemerintahan Otoriter:

1) Percobaan Kudeta 1952, Terbentuknya

Doktrin Dwi Fungsi ABRI dan

Peristiwa G30S/PKI

2) Demokrasi Semu Masa ORBA dan

GOLKAR

3) Peran Pemerintah ORBA dalam

Perumusan UU dan Berbagai Peraturan

4) Pemencilan Hak dan Peran Non-State

Actor

Masa Transisi:

1) Lengsernya Soeharto pada 1998 dan

Pembaharuan Doktrin Dwifungsi ABRI

2) Dimulainya Era Reformasi pada masa

Habibie, Abdurahman Wahid dan

Megawati

3) Penjaminan Hak-Hak Politik Sipil

Pemerintahan Otoriter:

1) Kudeta 1932-1970

2) Student Revolt 1973

3) Peran Elit Politik

Thailand

4) Pemencilan Hak dan

Peran Non-State

Actor

Masa Transisi:

1) Kudeta 2006 dan

2014

2) Pemilu 2001

3) Kontitusi 2007 dan

Interim Constitution

2014