bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pembuktian
Yang dimaksudkan dengan “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah
diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” di muka Hakim atau Pengadilan.
Pembuktianhanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. Jika tidak
ada orang yang menyangkal hak milik saya atas rumah yang saya diami, maka
saya tidak perlu membuktikan bahwa rumah itu milik saya. Jika si penjual barang
tidak menyangkal bahwa si pembeli sudah membayar harga barang yang dibeli
dan telah diterimanya, maka pembeli itu tidak perlu membuktikan bahwa ia sudah
membayar harga barang tadi. Jika hak waris seorang anak angkat atas barang
peninggalan bapak angkatnya, tidak di bantah oleh sesuatu pihak, maka ia tidak
perlu membuktikan hak warisnya tersebut.
Semua perselisihan mengenai hak milik, utang-piutang atau warisan seperti
disebutkan di atas, atau juga dinamakan perselisihan mengenai “hak-hak perdata”
(artinya: hak-hak yang berdasarkan “hukum perdata” atau “hukum sipil”) adalah
semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk
memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata. Hakim atau
Pengadilan ini merupakan alat perlengkapan dalam suatu Negara Hukum yang
2
ditugaskan menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak
yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan.
Tugas Hakim atau Pengadilan sebagaimana dilukiskan di atas, adalah
menetapkan hukum atau undang-undang secara khas ataupun1 mengetrapkan
hukum atau udang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” antara dua pihak
yang bersangkutan itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu,
masing-masing pihak memajukan dalil-dali1 (bahasa Latin “posita”) yang saling
bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang
benar dau dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan duduknya perkara
yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, Hakim dalam amar atau “dictum”
putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan siapakah yang
dikalahkan. Dalam melaksanakan pemeriksaan tadi, Hakim harus mengindahkan
aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan “Hukum Pembuktian” yang
akan menjadi bahan pembicaraan dalam buku ini. Ketidakpastian hukum
(“rechtsonzekerheid”) dan kesewenang-wenangan (”willekeur”) akan timbul
apabila Hakim, dalam melaksanakan tugasnya itu, diperbolehkan menyandarkan
putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni.
Keyakinan Hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang
dinamakan “alat bukti”. Dengan alat bukti ini masing-musing pihak berusaha
membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang
diwajibkan memutusi perkara mereka itu.
1 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, h. 5
3
Dalam pada itu harus juga diindahkan aturan-aturan yang menjamin
keseimbangan dalam pembebanan kewajiban untuk membuktikan hal-hal yang
menjadi perselisihan itu. Pembebanan yang berat sebelah dapat a-priori
menjerumuskan suatu pihak dalam kekalahan dan akan menimbulkan perasaan
“teraniaya” pada yang dikalahkan itu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian dimaksud
sebagai suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam
melangsungkan pertarungan di muka Hakim, antara kedua belah pihak yang
sedang mencari keadilan.
Dari apa yang secara singkat diterangkan di atas, dapat dilihat bahwa hukum
pembuktian itu sebenarnya merupakan suatu bagian dari pada Hukum Acara,
karena ia memberikan aturan-aturan ten tang bagaimana berlangsungnya suatu
perkara di muka Hakim (”Law of Procedure”). Dan memang kita melihat bahwa
Hukum Pembuktian yang dimaksud untuk dipakai oleh Hakim Pengadilan Negeri
dalam memeriksa perkara-perkara itu, baik perkara pidana2 maupun perkara
perdata terdapat dalam Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB ), suatu undang-
undang yang memuat hukum acara yang berlaku di muka Pengadilan Negeri itu.
RIB tadi hanya berlaku untuk Jawa dan Madura (mengenai hukum acara
perdatanya); untuk daerah luar Jawa sekedar mengenai hukum acara perdata di
muka Pengadilan Negeri berlaku Reglemen Daerah Seberang (”Rechtsreglement
Buitengewesten”).
2 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 6
4
Tentang Hukum Acara yang berlaku tadi dapat kita lihat dari Undang-
undang No. 1 tahun 1951 tentang “Tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan
Sipil.” Suatu pertanyaan timbul, mengapa hukum Pembuktian itu juga diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu Kitab Undang-undang yang
dimaksud memuat hukum materiil. Jawabannya atas pertanyaan ini ialah bahwa
pernah ada aliran yang ingin membedakan Hukum Acara itu dalam suatu bagian
materiil dan suatu bagian formil. Yang terakhir ini memuat aturan-aturan yang
benar-benar semata-mata mengenai formalitas-formalitas saja yang harus
diindahkan di muka Pengadilan, misalnya: cara memajukan jawaban, cara
menguasakan orang lain, cara minta banding, jangka waktu atau tenggang-
tenggang yang harus diindahkan dan lain sebagainya. Hukum Pembuktian
menurut pendapat mereka termasuk bagian yang materiil, dan karenanya juga
dapat diatur dalam suatu Kitab Undang-undang yang memuat Hukum Perdata. itu.
Dalam Kitab Undang-undang Perdata ini Hukum Pembuktian diatur dalam Buku
IV bersama-sama dengan Daluwarsa (Lewat waktu).
Dalam Code Civil, Hukum Pembuktian diatur dalam Buku Ketiga yang
memuat Hukum Perikatan, yaitu dalam suatu bab yang berjudul “Tentang
pembuktian perikatan dan pembayarannya” .Dengan demikian maka Hukum
Pembuktian terdapat dalam:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b. Reglemen Indonesia yang dibaharui (disingkat RIB).
5
c. Reglemen Daerah Seberang.3
Di samping itu juga di sana-sini Kitab Undang-undang Hukum Dagang
memuat pasal-pasal pembuktian, yang dimaksud sebagai ketentuan-ketentuan
pembuktian khusus.
Dalam soal pembuktian pernah dipersoalkan, apakah sebenarnya yang dapat
dibuktikan itu. Dulu para sarjana mengatakan bahwa yang dapat dibuktikan itu
hanyalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja. Dari terbuktinya
kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa tadi disimpulkan adanya hak milik,
adanya piutang, hak waris dan sebagainya. Jadi di muka Hakim itu kita harus
membuktikan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya
suatu hak.
Ajaran yang demikian tadi sudah ditinggalkan karena pendapat, bahwa
hanya sesuatu yang dapat dilihat saja dapat dibuktikan adalah terlalu picik. Justru
dalam Hukum itu kita menghadapi banyak hal-hal yang tidak dapat dilihat, tetapi
sudah begitu hidup dan nyata dalam pikiran kita, seperti hak milik, piutang,
perikatan, dan sebagainya, hingga kita harus memperkenankan pembuktian
barang-barang ini secara langsung. Di muka sidang Pengadilan itu tidak saja
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan (perzinahan,
penganiayaan, pembayaran, penyerahan barang), tetapi kita juga dapat secara
langsung membuktikan hak milik, suatu piutang, hak waris dan lain-lain hak.
Pasal pertama dari Buku IV Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
mengatur perihal pembuktian, yaitu pasal 1865 berbunyi: “Setiap orang yang
3 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 7
6
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Demikian juga
bunyi pasal 163 RIB dan pasal 283 Reglemen Daerah Seberang. Jelaslah nampak
dari pasal-pasal tersebut, bahwa tidak hanya peristiwa saja yang dapat dibuktikan,
tetapi juga suatu hak. Kalau dulu seorang penggugat yang menuntut kembali
barang miliknya, diwajibkan mendalilkan peristiwa-peristiwa bagaimana in
memperoleh hak miliknya. (jual beli dan penyerahan, tukar-menukar dan
penyerahan dan sebagainya), sekarang ia sudah dapat diterima apabila ia secara
singkat mendalilkan bahwa ia adalah pemilik, atau bahwa ia mempunyai hak
milik atas barang sengketa. Pendirian para sarjana sekarang ialah, bahwa surat4
gugat itu sudah mencukupi asal tergugat sudah dapat mengerti berdasarkan apa
penggugat itu mengadakan tuntutannya.
Dari apa yang dibicarakan di atas, dapat juga kita simpulkan bahwa para
fihak yang bersengketa itu diwajibkan membuktikan tentang “duduknya perkara”.
Tentang bagaimana hukumnya, bukanlah kewajiban mereka untuk
membuktikannya karena adalah kewajiban Hakim untuk mengetahui hukum itu
dan mengetrapkan hukum ini sesudah ia mengetahui tentang duduknya perkara
tadi. Berat juga beban Hakim, yang dianggap mengetahui segala-galanya tentang
Hukum yang harus diterapkan itu, biar itu adalah hukum dari suatu Negara asing
sekalipun. Hukum dan Negaranya sendiri kadang-kadang sudah tidak mudah
diketahuinya, misalnya hukum adat yang hidup diplosok-plosok. Tidak jarang
4 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 8
7
Hakim itu harus mendengar saksi-saksi ahli tentang hukum adat yang berlaku di
daerah-daerah, misalnya dalam soal-soal warisan.5
B. Alat-Alat Bukti
Alat bukti adalah untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang
dinyatakan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara
perdata.6Menurut BW,HIR, dan R.bg.) alat-alat bukti dalam perkara perdata
terdiri atas:
a. Alat bukti tertulis atau surat ;
b. Kesaksian;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah;
f. Keterangan Ahli;
g. Pemeriksaan Setempat.
Selain tujuh alat bukti menurut undan-undang sebagaimana dikemukakan di
atas Achmad Ali dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata”
menerangkan bahwa menjadi tugas ilmuwan untuk mengemukakan alat-alat bukti
baru yang muncul seiring dengan berkembangnya teknologi, alat-alat bukti
tersebut adalah:
5 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 9
6 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana,
Jakarta, 2013, h. 73
8
a. Pembicaraan telepon;
b. Testing darah
c. Hasil komputer
d. Fotocopy;
e. Rekaman kaset;
f. Hasil fotografi;
g. Dan sebagainya.7
Dalam lalu lintas keperdataan, yaitu dalam jual beli, utang-piutang, sewa-
menyewa dan lain sebagainya, orang-orang itu memang dengan sengaja membuat
alat-alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu di
kemudian hari. Orang yang membayar utangnya minta diberikan tanda
pembayaran, orang yang membuat suatu perjanjian piutang dengan seorang lain
minta dibuatnya perjanjian itu hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Dan
dengan sendirinya, dalam suatu masyarakat yang sudah maju, tanda-tanda atau
bukti-bukti yang paling tepat memanglah tulisan.8
Di sampingnya tulisan-tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan
bukti, ada juga tulisan-tulisan yang dibuatnya tanpa maksud yang demikian, tetapi
pada sewaktu-waktu dapat dipakai juga atau berguna dalam suatu pembuktian,
misalnya: Surat-menyurat biasa, catatan-catatan, pembukuan dan lain-lain.
Beraneka warna sekali tulisan itu: Kwitansi, surat perjanjian, surat-menyurat,
surat hak milik, surat tanda kelahiran, dan lain sebagainya. Biasanya, apabila
7Achmad Ali, Wiwie Heryani, Op.Cit., h. 78
8 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 20
9
seorang dimintai surat tanda bukti, maka surat tanda bukti ini dimaksudkan untuk
di kemudian hari dipakai terhadap orang yang memberikan tanda bukti tersebut.
Jadi, lazimnya tulisan itu akan menjadi bukti terhadap si penulis. Kwitansi, surat-
menyurat dll. merupakan suatu bukti terhadap penanda tangannya.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang
diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah
melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang atau
orang-orang itu di muka Hakim diajukan sebagai saksi. Adalah mungkin bahwa
orang-orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta
untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung itu (jual beli, sewa-menyewa dll).
Ada pula orang-orang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang
dipersengketakan itu.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, muka diusahakan untuk
membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa
yang harus dibuktikan tadi, Misalnya, jika tidak mungkin membuktikan secara
langsung bahwa suatu party barang sudah diterima oleh si pembeli, maka
diusahakan membuktikan pengiriman barang-barang tadi dari gudangnya si
penjual dan diusahakan pula membuktikan bahwa si pembeli tidak lama kemudian
telah menawarkan atau menjual barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika
peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang dilakukan
oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh Hakim, maka Hakim
dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si pembeli.
10
Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa
lain inilah yang dinamakan persangkaan. Jelaslah bahwa sebenarnya yang
dinamakan persangkaan itu bukan9 suatu alat bukti. Dalam contoh yang kita ambil
tadi, pihak penjual sebenarnya tidak berhasil atau tidak mampu membuktikan
peristiwa penerimaan barang. Ia hanya dapat membuktikan pengiriman barang
dan penawaran yang dilakukan oleh pembeli. Ada peristiwa yang lazimnya hanya
dapat dibuktikan dengan persangkaan-persangkaan, yaitu peristiwa perzinahan,
yang perlu dibuktikan dalam suatu perkara perceraian. Dalam perkara-perkara
perceraian semacam itu malahan sudah terdapat suatu yurisprudensi, bahwa dari
terbuktinya bahwa dua orang, laki-laki dan perempuan, menginap dalam suatu
kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, dapat dianggap terbukti bahwa
mereka melakukan perzinahan.
Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian
secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian
secara “tak langsung”. Dalam contoh-contoh yang diberikan di atas, kesimpulan
tentang terbuktinya peristiwa yang dipersengketakan itu ditarik oleh Hakim yang
sedang memeriksa perkara. Di samping itu ada pula ketentuan-ketentuan undang-
undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh
Hakim tadi. Misalnya dalam hal tiga kwitansi yang pernah disebutkan. Dari
terbayarnya cicilan yang terakhir, oleh Pasal 1394 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disimpulkan terbuktinya pembayaran semua cicilan. Ini dinamakan
persangkaan Undang-undang sedangkan kesimpulan yang ditarik oleh Hakim tadi
dinamakan persangkaan Hakim.
9 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 21
11
Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan Hakim dalam perkara
perdata itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan
petunjuk-petunjuk dalam perkara pidana.
Dinamakannya pengakuan suatu “alat bukti” sebenarnya tidak tepat.
Sebagaimana sudah kita lihat justru karena suatu dalil diakui oleh pihak lawan,
maka pihak yang mengajukan dalil tersebut dibebaskan dari pembuktian. Juga tak
dapatlah pihak yang mengajukan dalil tadi mengatakan bahwa ia berhasil
“membuktikan” dalilnya tadi.
Seorang saksi, jikaia diminta memberikan kesaksian tentang sesuatu, harus
disumpah untuk menguatkan kesaksian itu. Dalam10 perkara perdata, sumpah itu
juga dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang bersengketa. Satu pihak
dapat memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah tentang sesuatu hal yang
menjadi perselisihan, misalnya hal sudah atau belum dibayarnya suatu utang. Juga
Hakim diberikan wewenang untuk membebani sumpah kepada Salah satu pihak.
Dengan sendirinya pembebanan sumpah tadi baru dilakukan apabila didapatkan
bukti-bukti lain.
Di sampingnya lima macam “alat bukti” yang disebutkan dalam pasal 1866
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (pasal 164 RIB atau pasal 283 Reglemen
Daerah Seberang) tidak terdapat lagi alat-alat bukti lainnya. Persoalan tersebut
lazimnya dijawab, bahwa penyebutan alat-alat bukti dalam pasal-pasal tersebut,
tidak berarti melarang alat-alat bukti lainnya. Tidak dilarang misalnya
mengajukan bukti-bukti yang berupa tanda-tanda yang bukan tulisan. Pasal 1887
10 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 22
12
Kitab Undang-undang Hukum Perdata misalnya menyebutkan “tongkat berkelar”
yang dapat dipakai untuk membuktikan penyerahan-penyerahan barang. Ada juga
yang mengatakan bahwa bukti lain itu yang tidak berupa. tulisan, kesaksian,
pengakuan atau sumpah, seyogyanya dianggap saja sebagai “persangkaan”, tetapi
pendapat yang demikian itu tidak tepat. Kita juga tidak boleh melupakan bahwa
undang-undang yang kita pakai sekarang ini dibuat seratus tahun yang lalu.
Dengan majunya tekhnik yang pesat dalam setengah abad yang lalu ini muncullah
beberapa Ulat-alat baru, seperti foto Copy, tape rekorder dan lain-lain yang dapat
dipakai sebagai alat bukti.
Ada juga yang mempersoalkan tentang pemeriksaan setempat yang
dilakukan oleh Hakim. Bukti apakah pemeriksaan setempat itu? Pemeriksaan
setempat itu tidaklah lain dari pada memindahkan tempat sidang Hakim ke tempat
yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh Hakim sendiri di tempat tersebut,
dapat dianggap sebagai dilihat oleh Hakim di muka sidang Pengadilan. Tentang
apa yang dilihat sendiri oleh Hakim di muka sidang itu sudah kita bicarakan di
atas.
Apa yang dibicarakan di sini hanyalah merupakan suatu pembicaraan secara
selayang pandang tentang macam-macamnya alat bukti yang dapat dipakai dalam
suatu sengketa perdata. Pembicaraan11 yang lebih mendalam akan dilakukan jika,
kita membicarakan alat-alat bukti tadi satu-persatu dalam halaman-halaman yang
akan datang.
11 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 23
13
Perlu kiranya diperhatikan bahwa Undang-undang Mahkamah Agung, yang
sudah modern (tahun 1950), dalam hukum acaranya dalam tingkat pertama untuk
pemeriksaan perkara-perkara pidana, dalam Pasal 73, menyatakan sebagai alat-
alat bukti yang sah:
1. Pengetahuan Hakim;
2. keterangan terdakwa;
3. keterangan saksi;
4. keterangan orang ahli;
5. surat-surat.
Sudah berlainan jika dibandingkan dengan pasal 295 RIB yang dibicarakan
di atas (RIB adalah dari tahun 1848). Rupanya. Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung tersebut mengutip 47 Landgerechtreglement (dari tahun 1912),
yaitu peraturan hukum acara yang dipakai dalam zaman penjajahan oleh
Pengadilan Landgerecht yaitu suatu Pengadilan untuk perkara pelanggaran pidana
ringan untuk semua golongan penduduk (Bandingkan dua pasal tersebut, yang
bunyinya seluruhnya sama).
1. Bukti Tulisan
Sebagaimana sudah dikatakan, bukti tulisan ini dalam perkara perdata
merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali
orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul
suatu perselisihan; dan bukti, yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.
Seorang yang menerimakan sejumlah uang atau suatu barang, baru merasa
dirinya aman kalau ia diberikan suatu “tanda” penerimaan. Orang yang
14
memberikan tanda penerimaan tadi harus mengerti, bahwa tulisan itu di kemudian
hari dapat dipergunakan terhadap dirinya sebagai bukti bahwa ia benar sudah
menerima uang atau barang itu, Memang pada azasnya semua bukti tulisan itu
merugikan atau “memberatkan” orang yang telah menulisnya, merugikan atau
memberatkan si pembuatnya. Suatu kekecualian terhadap azas ini terdapat dalam
Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang mengatakan:
Hakim adalah bebas untuk kepentingan musing-masing akan
memberi kekuatan bukti sedemikian rupa kepada pemegang buku
setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya, dalam tiap-
tiap kejadian khusus harus diberikannya”.
Ketentuan ini juga dituliskan dalam pasal 167 RIB. Dengan perkataan lain, ada
kemungkinan bahwa pemegangan buku itu menguntungkan pembuatnya.
Dari bukti-bukti tulisan itu adalah segolongan yang sangat berharga untuk
pembuktian, yaitu yang dinamakan “akte”. Apakah yang dinamakan akte itu?
Suatu akte ialah Suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian
maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akte ialah kesengajaan untuk
menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Dari mana dapat
kita lihat bahwa apa yang dinamakan akte itu harus ditandatangani? Syarat
penandatanganan itu dapat kita lihat dari Pasal 1874 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata; atau Pasal 1 dari Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat
“ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di
15
bawah12 tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan
mereka.”
Dalam pasal-pasal yang dimaksudkan itu perkataan “yang ditandatangani”
hanya dituliskan di belakangnya perkataan “akte”, dan tidak di belakangnya
”surat-sunat, regester-regester, surat-surat rumah tangga dan lain-lain tulisan”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka surat perjanjian jual beli adalah
suatu akte. Demikian pula surat perjanjian sewa-menyewa. Bahkan sepucuk
kwitansi adalah suatu akte, karena ia dibuat sebagai bukti dari pelunasan suatu
hutang dan ia ditandatangani oleh si berpiutang.
Dengan demikian maka tulisan-tulisan itu dapat dibagi dalam dua golongan
akte dan tulisan-tulisan lain. Yang penting dari suatu akte memang
penandatanganannya itu. Dengan menaruh tanda tangannya, seorang dianggap
menanggung tentang kebenaran apa yang, ditulis dalam akte tersebut atau
bertanggung jawab tentang apa yang ditulis dalam akte itu.
Di antara surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akte tadi, ada
suatu golongan lagi yang mempunyai suatu kekuatan pembuktian istimewa, yaitu
yang dinamakan akte otentik.Apakah yang dinamakan akte otentik itu? Suatu akte
otentik ialah suatu akte yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang
untuk itu di tempat di mana akte itu dibuatnya (Pasal 1868 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Pasal 165 RIB atau pasal 285 Reglemen Daerah Seberang.) Akte-
akte lainnya, jadi yang bukan otentik, dinamakan akte di bawah tangan.
12 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 25
16
Sebagai pegawai umum yang dimaksudkan di atas berlaku seorang notaris,
seorang Hakim, seorangjuru sita pada suatu Pengadilan, seorang pegawai Catatan
Sipil, dan sebagainya. Dengan demikian maka suatu akte notaris, suatu surat
putusan Hakim, suatu surat proses perbal yang dibuat oleh seorang jurusita
Pengadilan dan suatu sunat perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil
adalah akte-akte otentik.
Menurut pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut di atas
ada dua macam akte otentik, yaitu suatu yang dibuat oleh dan suatu yang dibuat di
hadapan pegawai umum yang ditunjuk13 oleh undang-undang itu. Apabila seorang
notaris membuat suatu perslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya
dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas maka proses perbal itu
merupakan suatu akte otentik yang telah dibuat oleh notaris tersebut. Begitu pula
proses perbal yang dibuat oleh seorang jurusita Pengadilan tentang pemanggilan
seorang tergugat atau seorang saksi merupakan suatu akte otentik yang dibuat
oleh jurusita tadi. Akte-akte seperti itu sebenarnya merupakan suatu laporan
(“relas”) tentang suatu perbuatan resmi yang telah dilakukan oleh pegawai umum
tersebut.
Apabila dua orang datang kepada seorang notaris, menerangkan bahwa
mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misalnya jual beli, sewa-menyewa
dan lain-lain sebagainya) dan meminta kepada notaris tadi supaya tentang
perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte, maka akte ini adalah suatu akte yang
dibuat di hadapan notaris itu. Notaris ini hanya mendengarkan apa yang
13 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 26
17
dikehendaki kedua pihak yang menghadap itu dan meletakkan perjanjian dibuat
oleh dua orang tadi dalam suatu akte.
Di mana letaknya ketentuan pembuktian yang istimewa dari pada akte
otentik? Menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal
165 RIB (pasal 285 Reglemen Daerah Seberang) suatu akte otentik memberikan
di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak
dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Sebagaimana yang pernah diterangkan, akte otentik itu merupakan suatu bukti
yang “mengikat”, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akte tersebut harus
dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama
ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang
sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan
pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang “mengikat” dan “sempurna”.
Apakah yang dalam suatu akte otentik itu mengikat dun harus dianggap
sebagai benar? Dulu ada yang mengajarkan bahwa dalam suatu akte otentik itu
yang harus dianggap sebagai benar hanyalah bahwa para pihak itu betul sudah
menghadap kepada pegawai umum (notaris) yang termaksud, pada hari dan
tanggal yang disebutkan14 dalam akte itu, dan bahwa mereka sudah menerangkan
apa yang dituliskan dalam akte tersebut. Jadi, akte itu hanya merupakan bukti
tentang apakah benar bahwa mereka telah menerangkan apa yang dituliskan di
situ, tetapi tidak memberikan bukti tentang apakah benar yang mereka terangkan
di situ. Ajaran yang demikian itu sudah lama ditinggalkan. Sekarang, dengan
tepat, diajarkan bahwa akte otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para
14 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 27
18
pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan di situ, tetapi juga bahwa apa yang
diterangkan tadi adalah benar.
Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata atau pasal 165 RIB (pasal 285 Reglemen Daerah Seberang), di
mana disebutkan bahwa suatu akte otentik tidak memberikan bukti yang sempurna
tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai “suatu penuturan belaka” selainnya
sekadar apa yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akte.
Dari pasal tersebut diambil kesimpulan, bahwa akte otentik itu memberikan bukti
yang sempurna mengenai segala apa yang men- jadi pokok isi akte itu, yaitu
segala apa yang dengan tegas, bail: secara sepihak maupun secara bertimbal balik,
dikemukakan atau dinyatakan oleh para penanda tangan akte tadi.
Dengan demikian, apabila dalam suatu akte notaris dituliskan bahwa pada
suatu hari si A dan si B menghadap di muka notaris dan menerangkan bahwa
mereka telah mengadakan jual beli mengenai sebuah rumah dengan suatu harga
tertentu, maka harus dianggap sebagai benar, tidak saja bahwa mereka itu telah
menerangkan tentang terjadinya jual beli rumah itu, tetapi juga bahwa jual beli
rumah tersebut benar-benar telah terjadi. Jadi rumah si A itu benar sudah dijual
kepada si B. Memang inilah yang dimaksudkan oleh undang-undang dengan
kekuatan pembuktian akte otentik itu.
Jadi akte otentik tadi, tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian formil,
yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte
tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa apa
yang diterangkan tadi adalah benar. Inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian
19
“mengikat”. Kedua pihak yang menandatangani akte tadi seolah-olah terikat pada
kedudukan yang dilukiskan dalam akte tersebut.15
Menurut Pasal 1876 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 2 dari
Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat “ketentuan-ketentuan tentang
kekuatan pembuktian daripada tulisan-tu1isan di bawah tangan dari orang-orang
Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka” maka barangsiapa yang
terhadapnya diajukan suatu tulisan di bawah tangan (yang dimaksudkan ialah akte
di bawah tangan), diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda
tangannya.
Kalau dalam suatu akte otentik tanda tangan itu tidak merupakan suatu
persoalan, dalam suatu akte di bawah tangan pemeriksaan akan kebenaran tanda
tangan itu justru merupakan acara pertama. Jika tandatangan ini dipungkiri oleh
pihak yang dikatakan telah menaruh tanda tangannya, itu, maka pihak yang
mengajukan akte di bawah tangan itu harus berusaha membuktikan dengan alat-
alat bukti lain bahwa benarlah tanda tangan tadi dibubuhkan oleh orang yang
memungkirinya itu. Dengan demikian, maka selama tanda tangan tadi masih
dipertengkarkan, tiada banyak manfaat diperolehnya bagi pihak yang mengajukan
akte tadi di muka sidang Hakim. Jika seorang memungkiri tulisan atau tanda
tangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan
atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan. Demikianlah Pasal 1877
Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 3 dari Ordonansi tahun 1867
No. 29 tersebut di atas.
15 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 28
20
Namun, kalau tanda tangan sudah diakui, maka akte di bawah tangan itu
memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya, suatu bukti yang
sempurna seperti suatu akte otentik. Demikianlah diterangkan oleh Pasal 1875
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Pasal 1b Ordonansi tahun 1867 No. 29,
pasal 288 Reglemen Daerah Seberang).
Apakah artinya ketentuan tersebut di atas? Apakah akte di bawah tangan
tadi lalu menjadi sama sekali sama dengan suatu akte otentik?.Sebelum menjawab
pertanyaan di atas, kita harus lebih dahulu mengetahui bahwa pada suatu akte
otentik itu sebenarnya terdapat tiga macam kekuatan yaitu:Pertama membuktikan
antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte
tadi (kekuatan pembuktian formil);16Kedua, membuktikan antara para pihak yang
bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah
terjadi (kekuatan pembuktian materiil atau yang kita namakan kekuatan
pembuktian “mengikat”);Ketiga, membuktikan tidak saja antara para pihak yang
bersangkutan tetapi juga, terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut
dalam akte kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum
(notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut.
Kekuatan yang kedua tersebut itu sebagaimana sudah diuraikan di atas,
dinamakan kekuatan “mengikat” yang pada hakekatnya bertujuan menetapkan
kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan di
dalam akte.Kekuatan yang ketiga dinamakan kekuatan “pembuktian keluar”
(artinya “keluar ialah terhadap pihak ketiga” atau “dunia luar).
16 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 29
21
Apa yang dimaksudkan oleh Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Pasal 1b Ordonansi tahun 1867 No. 29, Pasal 288 Reglemen Daerah
Seberang) tersebut di atas tadi, yaitu bahwa sejak diakuinya tanda tangan, akte di
bawah tangan itu memberikan pembuktian yang sama seperti suatu akte otentik,
itu hanya ditujukan kepada kekuatan pertama dan kedua atau “mengikatnya” akte
itu bagi para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris mereka. Kekuatan yang
ketiga tak sekali-kali dapat dicapai atau dimiliki oleh suatu akte di bawah tangan:
Sebagai contoh: Dua orang A dan B mengadakan suatu perjanjian dengan
suatu akte di bawah tangan tertanggal 1 Mei 1960, untuk bersama-sama
berdagang palawija. Dengan mengadakan perjanjian tadi, si A telah melanggar
janjinya terhadap si C, sebab ia sudah berjanji kepada si C untuk tidak akan
melakukan sesuatu perjanjian perdagangan dengan orang lain. Perjanjian tadi
diketahui oleh si C dan si C ini mengajukan gugatan terhadap si A untuk
mendapat ganti kerugian. Si A memungkiri dan mengatakan bahwa perjanjian tadi
sebenarnya diadakan pada tanggal 1 Mei 1961. Si C harus membuktikan tentang
benarnya tanggal 1 Mei 1960 itu biarpun kebenaran tanggal itu sudah pernah
diakui oleh si A sendiri dalam perkara yang telah berlangsung antara dia dan si B.
Dalam akte tadi, si C merupakan pihak ketiga. Seandainya akte tadi suatu akte
otentik,17 maka 1 Mei 1960 itu dianggap sebagai benar dan tidak usah dibuktikan
oleh si C. Kebenaran tentang tanggal tadi berlaku juga terhadap pihak ketiga.
Tentang tanggal itu memang sangat penting dalam suatu akte. Ada juga
ditetapkan dalam undang-undang bahwa tanggal dalam suatu akte di bawah
17 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 30
22
tangan itu berlaku terhadap pihak ketiga, tetapi hanya dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. akte di bawah tangan itu dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau
pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut
aturan-aturan yang diadakan oleh undang-undang;
b. si penanda tangan meninggal, hari meninggalnya penanda tangan ini
dianggap sebagai tanggal dibuatnya akte yang berlaku terhadap pihak
ketiga;
c. tentang adanya akte di bawah tangan tadi ternyata dari suatu akte otentik
yang dibuat kemudian, tanggal dari pada akte otentik ini berlaku sebagai
tanggal dari pada akte di bawah tangan terse- but yang berlaku terhadap
pihak ketiga;
d. tanggal dari akte di bawah tangan itu diakui secara tertulis olah pihak
ketiga terhadap siapa akte itu dipergunakan.
Aturan mengenai tanggal dari suatu akte di bawah tangan itu terdapat dalam
Pasal 1880 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 6 dari Ordonansi
tahun 1867 No. 29 yang sudah kita kenal itu. Pembubuhan pernyataan oleh notaris
atau pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang sebagaimana disebutkan sub
a. di atas itulah yang dinamakan “legalisasi” yang berarti pengesahan.Selainnya
notaris, pejabat-pejabat yang berwenang memberikan legalisasi tadi adalah Ketua
(Hakim) Pengadilan Negeri, Bupati kepala daerah, walikota (lihat Ordonansi
tahun 1916 No. 46),
23
Dengan penandatanganan suatu akte dipersamakan suatu cap jempol, yang
dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau
pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang seperti yang disebutkan di atas,
dari mana ternyata bahwa notaris atau pegawai itu mengenal si pembubuh cap
jempol atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akte
telah dijelaskan kepada orang itu dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut18
dibubuhkan di hadapan pegawai tadi. Pegawai ini harus membukukan akte
tersebut (lihat Pasal 1874 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau
Ordonansi tahun 1916 No. 46 tersebut di atas). Jadi, sebagaimana kita lihat di atas
seorang yang terhadapnya diajukan sepucuk akte di bawah tangan, diwajibkan
mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Peraturan ini mengecewakan orang
yang mengajukan akte tadi di muka Hakim karena tanda tangan masih perlu
diakui dahulu, tetapi peraturan ini telah diadakan oleh undang-undang, untuk
melindungi setiap orang terhadap suatu pemalsuan tanda tangannya. Tentu bagi
orang yang tanda tangannya dipalsu ini sangat sukar untuk membuktikan bahwa
tanda tangan itu bukan tanda tangannya. Meskipun peraturan yang dipilih tadi
sebaliknya memberikan kesempatan bagi orang yang tidak jujur untuk
memungkiri tunda tangannya, tetapi dalam praktek orang tidak akan begitu saja
memungkiri tunda tangannya sendiri, karena sikap yang demikian akan sangat
merugikan baginya, Dan lagi kalau orang itu tidak menyangkal tanda tangannya,
ia juga dianggap sebagai mengakui tanda tangan itu,
Apabila si penanda tangan sudah meninggal, maka para ahli warisnya
diperbolehkan, apabila mereka tidak mengakui tanda tangan itu, menerangkan
18 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 31
24
bahwa mereka tidak mengenal tanda tangan tersebut sebagai tanda tangannya si
meninggal. Jadi para ahli waris itu, demi kesopanan terhadap si meninggal, tidak
usah dengan tegas memungkiri tanda tangan (Pasal 1876 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata).
Dalam pasal 1873 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dituliskan, bahwa
persetujuan-persetujuan lebih lanjut yang dibuat dalam suatu akte tersendiri, yang
bertentangan dengan akte asli, hanya memberikan bukti dimana pihak yang turut
serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka,
tetapi tidak dapat berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga. Apakah artinya
ketentuan ini? Maksudnya undang-undang ialah melindungi orang-orang pihak
ketiga terhadap janji-janji lebih lanjut yang diusulkan dalam suatu akte kemudian,
yang bertentangan dengan isinya akte pertama. Misalnya A dam B mengadakan
suatu jual beli mengenai sebuah rumah, di mana A menjual rumah tersebut kepada
B dengan harga sepuluh juta rupiah. Beberapa hari kemudian mereka mengadakan
lagi suatu perjanjian bahwa akte pertama tadi19 sebenarnya bukan suatu jual beli
mutlak tetapi suatu jual beli dengan hak membeli kembali. Janji seperti ini tidak
berlaku terhadap si C yang membeli rumah tersebut dari si. B, karena si C adalah
pihak ketiga. Janji yang demikian tadi yang diletakkan dalam suatu akte tersendiri
yang dibuat kemudian hanya berlaku antara A dan B sendiri atau para ahli
warisnya. Penyebutan “orang-orang yang mendapat hak dari mereka” dalam Pasal
1873 tersebut di atas, harus dianggap tidak pada tempatnya, karena dalam contoh
kita tadi C adalah orang yang mendapat hak dari B, padahal justru maksudnya
19 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 32
25
ketentuan Pasal 1873 adalah melindungi orang-orang yang berada dalam
kedudukan seperti si C itu.
Jika seseorang membubuhkan tanda tangannya di atas secarik kertas, maka
perbuatan itu diartikan sebagai menanggung kebenaran atau paling sedikit
pengetahuannya tentang apa yang dituliskan di atas tanda tangannya itu. Kalau
tidak diambil pengertian yang demikian, maka tak begitu banyak artinya
pembubuhan tanda tangan itu. Membubuhi tanda tangan harus mempunyai arti
sebagai melihat (membaca) dan menyetujui apa yang ditulis di atas secarik kertas
tadi. Maka dari itu, jika seorang sudah mengakui tanda tangannya dalam suatu
akte (di bawah tangan) atau jika sudah dibuktikan bahwa tanda tangan itu adalah
tanda tangannya, orang itu dipertanggungjawabkan tentang isi akte tersebut. Jadi
pengakuan tanda tangan itu tidak dilepaskan dari pengakuan tentang benarnya apa
yang ditulis dalam akte yang diajukan itu. Jika orang tadi mengakui tanda
tangannya, tetapi mengatakan bahwa yang ditulis tidak benar, maka ia harus
membuktikan ketidakbenaran itu. Misalnya dapat terjadi bahwa seorang mengakui
tanda tangannya dalam suatu akte (di bawah tangan), tetapi mengatakan apa yang
ditulis dalam akte itu, ditulis sendiri oleh pihak lawan di luar pengetahuan si
penanda tangan di atas sepucuk kertas yang memuat tanda tangannya. Mengenai
yang dinamakan “surat pengakuan berhutang yang sepihak” diadakan suatu
peraturan istimewa dalam Pasa1 1878 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau
pasal 4 dari Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang sudah kita kenal itu, yang
menetapkan bahwa, “perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar
sejumlah uang tunai” harus seluruhnya ditulis dengan tinggalnya si penanda
26
tangan sendiri atau paling sedikit, selanjutnya tanda tangan,20 harus ditulis dengan
tangannya si penanda tangan sendiri suatu persetujuan yang memuat jumlah yang
terutang.
Kita dapat mengerti maksudnya undang-undang mengadakan ketentuan
tersebut di atas. Yaitu undang-undang hendak melindungi orang yang
membubuhkan tanda tangannya atas secarik kertas blangko (kosong), jangan
sampai kertas itu dengan sewenang-wenang diisi oleh orang lain dengan suatu
pengakuan berhutang uang. Pernyataan berhutang sejumlah uang ini diharuskan
ditulis dengan. tangannya si penanda tangan sendiri. Tetapi, memang dapat
dipersoalkan mengapa ketentuan itu hanya diadakan untuk suatu pengakuan
berhutang sejumlah uang saja, sebab bahaya pengisian sewenang-wenang oleh
orang lain itu, tentu saja juga terdapat mengenai hal-hal lain, misalnya kertas
blangko tadi dapat diisi dengan “mengakui telah menjual rumahnya dengan sudah
menerima harganya sejumlah sepuluh juta rupiah”.
Jika ketentuan tersebut di alas tidak diindahkan, maka, apabila pengakuan
berhutang tadi dipungkiri (meskipun tanda tangan diakui), akte itu hanya dapat
diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.
Artinya, tidak merupakan bukti yang “mengikat” seperti lazimnya berlaku
terhadap suatu akte yang tanda tangannya diakui.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku terhadap surat-surat andil
dalam suatu utang obligasi, begitu pula tidak berlaku terhadap perikatan-perikatan
utang yang dibuat oleh si berutang dalam menjalankan perusahaannya dan
20 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 33
27
demikianpun tidak berlaku terhadap akte-akte di bawah tangan yang dilegalisasi
(Pasal tersebut di atas, ayat terakhir).
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan di atas, oleh Pasal 1879 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 5 dari Ordonansi tahun 12267 No. Z9
yang sudah berkali-kali tersebut di atas, ditetapkan bahwa, jika jumlah yang
disebutkan dalam akte sendiri berselisih dengan jumlah yang dinyatakan dalam
persetujuannya, maka dianggaplah bahwa perikatannya telah dibuat untuk jumlah
yang paling sedikit biarpun akte beserta persetujuannya seluruhnya ditulis sendiri
dengan uangnya orang yang mengikatkan diri, kecuali apabila dapat dibuktikan
dalam bagian yang mana dari keduanya itu telah terjadinya kekeliruan.21
Tulisan-tulisan yang tidak merupakan suatu akte, oleh Pasal 1874 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata disebutkan secara terperinci sebagai “Surat-surat,
register-register, surat-surat uraian rumah tangga. dau lain-lain tulisan.”
Sebagaimana yang sudah pernah diterangkan, tulisan-tulisan itu pada azasnya
merupakan suatu bukti terhadap siapa yang membutuhkannya, memberatkan siapa
yang membuatnya. Kekecualian, yaitu di mana tulisan itu dapat menguntungkan si
pembuatnya terdapat dalam ketentuan-ketentuan Pasal 7 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang, terhadap pemegangan buku dari seorang pengusaha.
Kekuatan pembuktian dari pada tulisan-tulisan tersebut di atas, adalah
sebagai alat bukti bebas, artinya Hakim tidak diharuskan menerima dan
mempercayainya, ia adalah bebas untuk mempercayai atau tidak
mempercayainya,
21 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 34
28
Namun demikian perlu kita catat di sini, bahwa ada beberapa tulisan yang
oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat-adat bukti yang “mengikat” artinya
harus dipercayai oleh Hakim. Tulisan-tulisan seperti ini, yaitu yang harus
dipercayai oleh Hakim adalah:
a. surat-surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran
yang telah diterima;
b. surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah
dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu
alas hak (“titel”) bagi seorang untuk keuntungan siapa Surat itu
menyebutkan suatu perikatan;
c. catatan-catatan yang oleh seorang berpiutang (kreditur) dibubuhkan
pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis
itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang (debitur);
d. catatan-catatan yang oleh si berpiutang dibubuhkan kepada salinan dari
suatu alas hak atau suatu tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda
pembayarannya ini berada dalam tangannya siberutang.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat kita baca dalam Pasal 1881 (1)
sub 1 dan 2 dan Pasal 1883 Kitab Undang-undang Hu- kum Perdata.
Jadi dalam hal-hal yang disebutkan di atas tadi, tulisan-tulisan atau catatan-
catatan itu merupakan suatu alat bukti yang harus dipercayai22 oleh Hakim, yang
memberatkan si pembuatnya, selama pembuatnya, yaitu pembuat tulisan-tulisan
atau catatan-catatan ini tidak dapat membuktikan secara yang memuaskan Hakim,
22 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 35
29
bahwa tulisan atau catatan-catatan tadi dibuat secara keliru atau dibuat oleh orang
lain dengan maksud untuk merugikan dia.
Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan pada azasnya terdapat pada akte
asli. Apabila akte asli ini ada, maka salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya sekedar salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan
aslinya yang mana selalu dapat diperintahkan mempertunjukkannya.
Apabila akte atau alas hak (”tite1’) yang asli tidak ada lagi (hilang), maka
salinan-salinan yang disebutkan di bawah ini dapat memberikan bukti yang sama
dengan aslinya:
1. salinan-salinan pertama;
2. salinan-salinan dibuat atas perintah Hakim dengan dihadiri kedua belah
pihak, atau setelah para pihak ini dipanggil dengan sah;
3. salinan-salinan yang tanpa perantaraan Hakim atau di luar persetujuan
para pihak, dan sesudahnya pengeluaran salinan-salinan pertama, dibuat
oleh notaris yang di hadapannya akte itu telah dibuatnya, oleh pegawai-
pegawai yang dalam jabatannya menyimpan aktenya asli dan berwenang
memberikan salinan-salinan.
Salinan-salinan lain dari pada yang disebutkan di atas, dapat berlaku sebagai
suatu “permulaan pembuktian” (lihat Pasal 1889 Kitab Undang,-undang Hukum
Perdata).
Karana bukti tulisan itu merupakan bukti yang paling pasti dan paling
mudah dipakainya, maka dapatlah dimengerti mengapa undang-undang untuk
30
berbagai perbuatan hukum yang panting, mengharuskan bentuk tertulis. Ada
kalanya bahwa tulisan diwajibkan sebagai syarat fisik (pendirian perseroan
terbatas, penghibahan barang tetap, perdamaian), ada juga bahwa tulisan itu
diwajibkan sebagai alat bukti untuk membuktikan perbuatan hukum tersebut
(mendirikan perseroan firma, mengadakan asuransi dll.). Beberapa bukti-bukti
tulisan itu malahan dalam perdagangan telah menjelma menjadi yang dinamakan
“surat-surat berharga (wesel, cek, surat-surat sero dll.).23
2. Bukti Dengan Saksi (Kesaksian)
Jika bukti tulisan tidak ada, maka dalam perkara perdata orang berusaha
mendapatkan saksi-saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil
yang diajukan di muka sidang Hakim.
Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri
peristiwa yang harus dibuktikan di muka Hakim tadi, ada pula yang memang dulu
dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang
dilakukan, misalnya menyaksikan jual beli tanah yang sedang dilangsungkan,
menyaksikan suatu pembagian warisan, menyaksikan suatu pernikahan, dan lain
sebagainya.
Pembuktian dengan saksi itu diperkenankan dalam segala hal dimana itu
tidak dikecualikan oleh undang-undang, Misalnya perjanjian pendirian suatu
perseroan firma, di antara para persero firma itu sendiri harus dibuktikan dengan
akte notaris (Pasal 22 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang mengatakan
bahwa perseroan firma harus dengan akte notaris, tetapi maksudnya ialah bahwa
23 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 36
31
akte notaris itu diwajibkan sebagai bukti saja dau tidak sebagai syarat mutlak
untuk adanya perseroan firma itu). Contoh lain ialah di mana undang-undang
menentukan bahwa perjanjian pertanggungan (asuransi) hanya dapat dibuktikan
dengan polis, tetapi ditambahi dengan ketentuan bahwa, manakala sudah ada
suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, alat-alat bukti lain boleh
dipergunakan (Pasal 258 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
Dulu dalam perundang-undangan kita ada suatu larangan mengajukan
kesaksian untuk membuktikan suatu perjanjian yang mengandung suatu perikatan
atau pembebasan utang yang melebihi suatu jumlah, yaitu tiga ratus rupiah.
Dengan demikian perjanjian semacam itu hanya boleh dibuktikan secara tertulis,
artinya kalau perjanjian disangkal. Perbatasan tersebut sudah dihapuskan sejak
tahun 1925. Dalam Code Civil pembatasan yang semacam itu masih terdapat.
Oleh pasal 1902 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan bahwa,
dalam segala hal di mana oleh undang-undang24 diperintahkan suatu pembuktian
dengan tulisan, namun itu, jika ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan,
diperkenankan pembuktian dengan saksi-saksi, kecuali apabila tiap pembuktian
lain selainnya tulisan dikecualikan. Adapun yang dinamakan “permu1aan
pembuktian dengan tulisan” itu ialah semua akte tertulis yang berasal dari orang
terhadap siapa tuntutan diajukan yang membenarkan persangkaan tentang
benarnya peristiwa-peristiwa yang diajukan seorang. Menurut yurisprudensi,
perkataan “akte tertulis” di sini harus ditafsirkan sebagai “tulisan” saja.
24 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 37
32
Dimaksudkan bahwa seorang saksi itu akan menerangkan tentang apa yang
dilihat atau dialaminya sendiri. Dan lagi tiup kesaksian itu harus disertai dengan
alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan itu. Pendapat
maupun perkiraan-perkiraan yang diperoleh dengan jalan pikiran bukanlah suatu
kesaksian (Pasal 1907 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Seorang saksi
tidak boleh memberikan keterangan-keterangan yang berupa kesimpulan-
kesimpulan, karena menarik kesimpulan-kesimpulan adalah wewenang Hakim.
Misalnya, seorang saksi dapat menerangkan bahwa pada waktu penggugat akan
menandatangani perjanjian ia lebih dahulu minum tiga botol bier, tetapi tak
bolehlah saksi itu menerangkan bahwa penggugat tidak sadar lagi tentang apa
yang diperbuatnya sewaktu ia menandatangani perjanjian tersebut. Ini merupakan
suatu kesimpulan. Juga boleh misalnya. Seorang saksi menerangkan bahwa ia
melihat tergugat menyerahkan uang seratus ribu rupiah kepada penggugat, tetapi
tak boleh ia menerangkan bahwa dengan perbuatan itu tergugat telah melunasi
utangnya kepada penggugat.
Setiap saksi diwajibkan, menurut cara agamanya bersumpah atau berjanji
bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Karena itu menjadi saksi dalam
suatu perkara di muka Hakim tidak boleh dianggap sebagai suatu hal yang enteng
saja. Terhadap siapa yang dengan sengaja memberikan suatu keterangan palsu di
atas sumpah, diancamkan suatu pidana menurut pasal 242 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, sebagai seorang yang melakukan tindak pidana sumpah palsu.
Dalam mempertimbangkan nilai suatu kesaksian, Hakim harus memberikan
perhatian khusus pada persamaan kesaksian-kesaksian satu sama lain pada
33
persamaan antara kesaksian-kesaksian itu dengan25 apa yang diketahui dari
sumber lain tentang hal yang menjadi perkara, pada alasan-alasan yang kiranya
telah mendorong seorang saksi untuk mengutarakan perkaranya secara begini atau
begitu; pada cara hidup, kesusilaan dan kedudukan para saksi, dan pada umumnya
pada segala apa yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat
dipercayainya para saksi itu. (Pasal 1908 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang bermaksud memberikan pedoman kepada Hakim yang pada azasnya bebas
terhadap kesaksian-kesaksian itu).
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan memberikan
kesaksian. Bahwa memberikan kesaksian itu merupakan suatu kewajiban, dapat
kita lihat dari diadakannya sanksi-sanksi terhadap seorang yang tidak memenuhi
panggilan untuk dijadikan saksi. Menurut undang-undang orang itu dapat:
1. dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah di keluarkan untuk
memanggil saksi;
2. secara paksa dibawa ke muka Pengadilan;
3. dimasukkan dalam penyanderaan (“gijzeling”) (lihat Pasal-Pasal 140,
141, dan 148 RIB).
Sanksi-sanksi tersebut di atas tidak berlaku, jika seorang dipanggil sebagai
saksi di muka Pengadilan yang terletak di luar keresidenan dimana ia bertempat
tinggal. Namun ada beberapa orang yang karena terlalu dekat hubungannya
dengan salah satu pihak atau karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya,
dapat dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian. Mereka itu adalah:
25 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 38
34
1. siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis samping dalam
derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak.
2. siapa yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan
dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri Salah
satu pihak;
3. segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya
menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun
hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya
dipercayakan kepadanya sebagai demikian. (Pasal 1909 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata atau Pasal 146 RIB, 174 Reglemen Daerah
Seberang),26
Yang dimaksudkan dengan orang-orang; yang disebutkan dalam sub 1 dan 2
adalah: saudara-saudara dan ipar dari salah satu pihak yang berperkara dan juga
orang tua, anak dan saudara dari ipar.
Orang yang tersebut sub 3 adalah masing-masing: dokter dan
pendeta.Orang-orang yang tersebut di atas ini boleh didengar sebagai saksi, boleh
mengajukan diri sebagai saksi, tetapi mereka diberikan hak untuk meminta
pembebasan dari kewajiban memberikan kesaksian.
Di samping golongan orang yang tersebut di atas, terdapat segolongan orang
yang tidak boleh memberikan kesaksian, karena hubungannya yang terlalu sangat
dekat dengan salah satu pihak. Mereka itu adalah para anggota keluarga dan
26 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 39
35
semenda dalam garis lurus dari salah satu pihak, dau suami atau isteri sekalipun
setelahnya suatu perceraian.
Namun orang-orang boleh menjadi saksi dalam beberapa macam perkara
khusus yaitu:
1. perkara mengenai/ kedudukan keperdataan salah satu pihak;
2. perkara mengenai nafkah, termasuk pembiayaan, pemeliharaan dan
pendidikan seorang anak belum dewasa;
3. perkara mengenai pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua
atau wali;
4. perkara mengenai suatu persetujuan, perburuhan.
Dalam perkara-perkara semacam yang disebutkan di atas ini, malahan
orang-orang yang karena hubungan yang terlalu dekat sebenarnya boleh minta
pembebasan untuk menjadi saksi, di sini tidak boleh minta pembebasan. (Pasal
1910 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 145 RIB atau Pasal 172 (3)
Reglemen Daerah Seberang).
Meskipun tidak ada suatu pasal undang-undang yang menetapkan syarat-
syaratnya untuk dapat diterima sebagai saksi di muka Pengadilan, namun dapat
kita simpulkan bahwa undang-undang menghendaki bahwa seorang saksi harus
sudah mencapai usia lima27 belas tahun dan berpikiran sehat. Sebab undang-
undang dalam Pasal 1912 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 145
RIB (Pasal 172 Reglemen Daerah Seberang) melarang Hakim untuk menerima
orang sebagai saksi yang belum mencapai usia tersebut dan orang yang tidak
27 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 40
36
berpikiran sehat. Begitu pula dilarang untuk menerima sebagai saksi seorang yang
selama perkara sedang berlangsung, atas perintah Hakim telah dimasukkan dalam
tahanan.
Namun demikian, Hakim dibolehkan mendengar orang-orang yang tidak
memenuhi syarat tadi tanpa penyumpahan, tetapi keterangan-keterangan yang
mereka berikan itu hanya dapat dianggap sebagai “penjelasan” dan tidak sekali
sebagai suatu kesaksian. Hakim dapat menggunakan penjelasan tadi untuk
mengetahui dan mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arah peristiwa yang dapat
dibuktikan lebih lanjut dengan alat-alat bukti yang biasa. (Pasal 1912 tersebut di
atas, ayat terakhir).
Dalam pemeriksaan di muka sidang Pengadilan pihak-pihak yang
berperkara diwajibkan mengajukan kepada Hakim pertanyaan-pertanyaan apakah
yang ingin diajukannya kepada saksi. Apabila ada pertanyaan-pertanyaan yang
menurut pendapat Hakim tidak ada hubungannya dengan perkara yang sedang
diperiksa itu, maka pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan ditujukan kepada saksi.
Selanjutnya Hakim akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dianggapnya
perlu untuk mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya (Pasal 150 RIB).
Menurut pasal 1905 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 169
RIB atau Pasal 306 Reglemen Daerah Seberang keterangan seorang saksi saja,
tanpa suatu alat bukti lain, tidak boleh dipercaya di muka Pengadilan, Dalam
Zaman Romawi sudah ada pepatah “unus testis nullus testis” yang maksudnya
sama. Apakah maksudnya aturan tersebut? Maksudnya ialah, bahwa jika suatu
dalil dibantah di muka Hakim, sedangkan pihak yang mengemukakan dalil itu
37
hanya dapat mengajukan seorang saksi tanpa bukti lainnya, maka tak boleh Hakim
menganggap dalil tadi terbukti. Pokoknya, tak bolehlah suatu pihak yang dalilnya
hanya dikuatkan oleh seorang saksi saja, dengan tidak adanya bukti-bukti lain,
dimenangkan. Tetapi aturan tersebut tidak melarang Hakim untuk menganggap
sesuatu peristiwa,28 yang tidak didalilkan, terbukti dengan keterangan seorang
saksi. Adanya kemungkinan membuktikan suatu dalil dengan persangkaan-
persangkaan dan adanya yang dinamakan “pembuktian berantai” (Pasal 1906
Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau 170 RIB atau Pasal 307 Reglemen
Daerah Seberang), menunjukkan bahwa menurut undang-undang diperbolehkan
untuk membuktikan peristiwa-peristiwa yang berdiri sendiri, dengan keterangan
satu orang saksi.
Jika seorang saksi telah melihat tergugat di Surabaya membeli karcis kereta
api, dan satu hari kemudian seorang saksi lain melihat tergugat berjalan-jalan di
Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa tergugat telah naik kereta api dari
Surabaya ke Jakarta. Jika seorang saksi melihat tergugat di pasar dan tidak lama
kemudian seorang saksi lain melihat tergugat itu pulang membawa barang-barang
makanan, dapat disimpulkan bahwa tergugat telah berbelanja di pasar. Inilah
contoh-contoh dari yang dinamakan “persangkaan-persangkaan”, dalam hal ini
“persangkaan Hakim”. Hakim dapat menarik kesimpulan tadi, karena ia
menganggap terbukti bahwa tergugat membeli karcis kereta api di Surabaya dan
keesokan harinya berada di Jakarta; karena ia menganggap terbukti bahwa
tergugat pergi ke pasar dan terbukti pula bahwa tergugat pulang membawa
barang-barang makanan. Jadi, memang diperkenankan untuk menganggap suatu
28 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 41
38
peristiwa terbukti dari keterangan satu orang saksi. Larangan untuk mempercayai
keterangan satu orang saksi dimaksudkan sebagai suatu larangan untuk
mengabulkan suatu gugatan jika dalil-dalil penggugat itu disangkal dan hanya
dikuatkan oleh satu orang saksi saja. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara.
Pidana (pasal 300 RIB) yang menetapkan bahwa kesaksian satu orang saksi, yang
tidak dikuatkan oleh lain-lain alat-alat bukti, tidak dapat berlaku sebagai bukti
yang sah, mempunyai maksud yang sama. Tidak boleh seorang terdakwa
dihukum, jika ia memungkiri tuduhan, sedangkan yang memberatkan terdakwa itu
hanyalah kesaksian satu orang saksi saja.
Dalam karangan-karangan para sarjana mengenai Hukum Pembuktian,
terkenal apa yang dinamakan: “kesaksian de auditu”, artinya ”kesaksian dari
pendengaran” (bahasa Inggeris: “hearsay”). Apakah yang dimaksud dengan istilah
ini? Yang dimaksud ialah suatu kesaksian di mana saksi itu menerangkan bahwa
ia mendengar29 dari orang lain tentang sesuatu, misalnya mendengar dari tergugat
bahwa ia telah menggadaikan sawahnya, mendengar dari seorang saksi lain bahwa
orang ini hadir pada waktu tergugat membeli sebidang tanah, dan lain sebagainya.
Mula-mula banyak yang mengajarkan, bahwa keterangan seorang saksi yang
memberikan suatu “kesaksian dari pendengaran” tadi tidak ada harganya sama
sekali.
Memang sebagai kesaksian keterangan “dari pendengaran” tadi tidak ada
artinya, tetapi bukannya Hakim dilarang untuk menerimanya; yang dilarang ialah
jika saksi itu menarik kesimpulan-kesimpulan atau menurut istilah pasal 1907
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (pasal 171 (2) RIB 308 (2) Reglemen
29 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 42
39
Daerah Seberang) memberikan “pendapat .atau perkiraan-perkiraan”. Kalau ada
beberapa orang saksi yang masing-masing menerangkan bahwa mereka
mendengar dari tergugat bahwa ia telah membeli tanah sengketa, maka dapat
dimengerti bahwa. Hakim tidak boleh menganggap pembelian itu terbukti, sebab
jumlah dari berbagai keterangan yang masing-ma-sing kosong itu, masih tetap
nihil. Tetapi, biarpun “keterangan dari pendengaran” tadi kosong, ia masih juga
dapat mempunyai arti misalnya sebagai alasan untuk mempercayai suatu
keterangan lain yang berisi, misalnya keterangan seorang saksi lain yang
sungguh-sungguh telah melihat sendiri pembelian itu, ataupun untuk menyusun
suatu persangkaan. Jadi tidak benarlah bahwa kesaksian de auditu tidak
mempunyai harga sama sekali. Betul ia tidak berharga sebagai kesaksian, artinya
tidak dapat dipergunakan sebagai bukti langsung, tetapi mungkin ia mempunyai
harga sebagai suatu sumber persangkaan. Berbagai kesaksian de auditu dapat
dipergunakan sebagai persangkaan-persangkaan dari mana disimpulkan
terbuktinya suatu hal (Lihat a.1. putusan Mahkamah Agung tanggal 11-11-1959.
Majalah Hukum dan Masyarakat tahun 1964 Nomer 1-2 halaman 55).30
4. Persangkaan-Persangkaan
Sebagaimana sudah kita ketahui, yang dinamakan “persangkaan” ialah
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah “terkenal” atau dianggap
terbukti ke arah suatu peristiwa yang “tidak terkenal”, artinya belum terbukti.
Maka dari itu, kalau persangkaan ini dinamakan alat bukt, itu adalah kurang tepat.
30 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 43
40
Adapun yang menarik kesimpulan yang tersebut tadi, adalah Hakim atau
Undang-undang. Bila yang menarik kesimpulan itu Hakim, maka persangkaan itu
dinamakan “persangkaan Hakim”, sedangkan apabila yang menarik kesimpulan
itu undang-undang maka persangkaan itu dinamakan ”persangkaan undang-
undang”.
Apabila sukar didapatnya saksi-saksi yang melihat atau mengalami Sendiri
peristiwa yang hams dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan
persangkaan-persangkaan Untuk membuktikan suatu peristiwa C, dibuktikan
dahulu peristiwa A dan B. Bila peristiwa-peristiwa terakhir ini dapat dibuktikan,
dapatlah disimpulkan bahwa peristiwa C memang benar telah terjadi juga.
Biasanya dalam suatu perkara gugatan perceraian yang didasarkan kepada
perzinahan, adalah sukar sekali, kalau tidak dapat dikatakan tak mungkin, untuk
mendapatkan saksi-saksi yang telah melihat sendiri perbuatan zinah itu. Untuk
membuktikan peristiwa perzinahan itu perlu sekali Hakim mempergunakan
persangkaan-persangkaan. Boleh dikatakan adalah suatu yurisprudensi yang sudah
tetap dalam perkara-perkara. perceraian tadi, bahwa, kalau dapat dibuktikan
bahwa dua orang laki-laki dan perempuan yang dituduh melakukan perzinahan itu
telah bersama-sama menginap dalam kamar di mana hanya ada satu tempat tidur,
maka dipersangkakan bahwa mereka itu benar melakukan perzinahan.
Kalau dengan bukti tulisan atau kesaksian lazimnya dilakukan pembuktian
secara langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka
dengan persangkaan-persangkaan ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara tak
41
langsung, artinya, dengan melalui atau dengan perantaraan pembuktian peristiwa-
peristiwa lain.
Apa yang dalam perkara perdata dinamakan “persangkaan” adalah
menyerupai yang dinamakan “petunjuk” dalam suatu perkara31 pidana. Dalam
perkara pembunuhan misalnya, banyak dipakai petunjuk-petunjuk itu sebagai
bukti. Seorang sanksi melihat terdakwa membeli pisau, seorang saksi lain lagi
telah melihat beberapa hari sebelumnya terdakwa bercekcok mulut dengan si
korban, dan lain sebagainya. Peristiwa tersebut merupakan petunjuk-petunjuk
yang dapat memberikan bukti bagi kesalahan terdakwa.
Contoh-contoh dari persangkaan-persangkaan tersebut ada banyak sekali,
misalnya:
a. Apabila dari terbuktinya sesuatu peristiwa, oleh undang-undang
disimpulkan terbuktinya suatu peristiwa lain, maka terdapatlah apa yang
dinamakan “persangkaan undang-undang”. Mengenai pembayaran sewa
rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang dan pada
umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu
tertentu yang lebih pendek maka dengan adanya. tiga surat tanda
pembayaran, dari mana ternyata pembayaran tiga angsuran berturut-turut,
terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu
telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya (Pasal 1394
Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
31 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 44
42
b. Terhadap benda bergerak yang tidak berupa bunga, maupun piutang yang
tidak harus dibayar kepada si pembawa, maka barangsiapa yang
menguasainya, dianggap sebagai pemiliknya (Pasal 1977 ayat 1 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata);
c. Tiap-tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara dua
pekarangan, dianggap sebagai milik bersama, kecuali kalau ada suatu alas
hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya (Pasal 633 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata);
d. Tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya. Artinya, dianggap sebagai anak bapakya (Pasal 250
Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Dalam contoh-contoh tersebut di atas, undang-undang menyimpulkan
sesuatu dari suatu kenyataan.
Dalam contoh-contoh tersebut di atas (a) dari adanya tiga tanda pembayaran
(kwitansi) berturut-turut disimpulkan bahwa semua cicilan atau angsuran telah
terbayar lunas;32
Dalam contoh (b) dari adanya penguasaan (“bezit”) atas suatu benda
bergerak, disimpulkan adanya hak milik atas barang tersebut;
Dalam contoh c) dari adanya tembok perbatasan, disimpulkan suatu milik
bersama antara dua tetangga;
32 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 45
43
Dalam contoh d) dari adanya perkawinan disimpulkan bahwa anak yang
lahir selama perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.
Apakah dalam hal-hal tersebut di atas di mana undang-undang
menyimpulkan terbuktinya sesuatu itu, tidak dibolehkan mengadakan pembuktian
lawan? Mengadakan pembuktian lawan pada azasnya selalu diperkenankan.
Kekecualian hanyalah terdapat dalam hal, bilamana berdasarkan persangkaan itu
undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu, karena
perbuatan-perbuatan itu semata-mata demi sifat dan ujudnya dianggap telah
dilakukan untuk menyelundupi undang-undang (Pasal 1921 berhubung dengan
Pasal 1961 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Misalnya Surat wasiat di
mana diberikan keuntungan kepada seorang anak atau ibu dari seorang yang
menurut undang-undang tidak boleh menerima keuntungan dari si meninggal.
Wasiat demikian itu oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dipersangkakan
dibuat untuk menyelundupi larangan undang-undang mengenai pewarisan tadi
(Pasal 911 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Dalam hal yang demikian itu
kita menghadapi suatu “persangkaan undang-undang yang tidak dapat disangkal”,
yang pada hakekatnya tidak lagi merupakan suatu peraturan pembuktian, tetapi
merupakan suatu peraturan hukum materiil. Sebab, keadaannya sama saja,
seandainya undang-undang itu menetapkan bahwa anak atau ibu dari orang yang
dimaksudkan itu tidak boleh menerima sesuatu dari si meninggal. Dari apa yang
diuraikan di alas dapat kita lihat bahwa persangkaan undang-undang itu pada
hakekatnya merupakan pembalikan beban pembuktian.
44
Dalam contoh (a) si berutang (debitur) sebenarnya diwajibkan membuktikan
terbayarnya semua utangnya, artinya semua cicilan atau angsuran. Tetapi dengan
adanya tiga kwitansi berturut-turut, ia dibebaskan dari kewajiban untuk
membuktikan pembayaran semua angsuran, dau kepada kreditur lah sekarang
dibebankan kewajiban33 untuk membuktikan bahwa ia belum menerima
pembayaran semua cicilan.
Dalam contoh (b) si pemilik sebenarnya diwajibkan membuktikan hak
miliknya, tetapi dalam halnya barang bergerak, dengan adanya penguasaan
(“bezit”) la dibebaskan dari kewajiban pembuktian tersebut dan kepada setiap
pembantah dibebankan untuk membuktikan hal yang sebaliknya.
Persangkaan undang-undang itu memang didasarkan pada keadaan yang
wajar. Adalah suatu hal yang wajar, bahwa sebelumnya orang membayar cicilan
bulan Maret, terlebih dahulu ia membayar cicilan-cicilan untuk bulan Januari dan
Pebruari. Begitu juga memang lazimnya seorang yang memakai suatu barang
sehari-hari, adalah pemilik barang tadi.
Pernah dipersoalkan, apakah satu persangkaan saja cukup dijadikan bukti
untuk mengabulkan suatu gugatan, Ada yang berpendapat, bahwa, karena
mengenai persangkaan ini tidak ada suatu pasal undang-undang seperti Pasal 1906
Kitab Undang-udang Hukum Perdata (atau pasal 70 RIB/307 Reglemen Daerah
Seberang), yaitu pasal yang dilarang untuk memberikan kepercayaan kepada
keterangan satu orang saksi, maka satu persangkaan sudah boleh dijadikan bukti
untuk mengabulkan suatu tuntutan. Tetapi dalam hal ini kami condong pada
33 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 45
45
pendirian yang melarang Hakim mengabulkan gugatan dasar satu persangkaan
saja. Peraturan tentang satu saksi harus juga dianggap berlaku untuk persangkaan
dalam arti bahwa yang dilarang adalah mengabulkan gugatan, kalau dalam
keseluruhannya hanya terdapat satu persangkaan.
Dalam peraturan tentang daluwarsa (“verjaring”) kita ketemukan berupa
pasal undang-undang yang menetapkan bahwa beberapa macam penagihan
“berdaluwarsa” setelah lewatnya suatu waktu yang sangat pendek, menyimpang
dari peraturan umum tentang daluwarsa yang menetapkan bahwa segala tuntutan
berdaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. “Daluwarsa pendek”
tersebut diperlakukan terhadap misalnya penagihan rekening dokter, rekening
losmen, rekening pengacara dsb. Lihat Pasal-Pasal 1968 sampai dengan 1971
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut peraturan-peraturan khusus tadi,
penagihan-penagihan yang dimaksudkan itu berdaluwarsa dengan lewatnya waktu
satu tahun34 (rekening losmen) dua tahun (rekening dokter), lima tahun (rekening
toko), dan lain sebagainya.
Orang yang tidak waspada akan mengira, bahwa penagihan-penagihan yang
disebutkan itu setelah lewatnya waktu-waktu pendek tapi, sudah tidak dapat
dituntut lagi pembayarannya.
Tetapi, dalam Pasal 1973 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita baca
bahwa orang-orang kepada siapa diajukan daluwarsa yang disebutkan dalam
pasal-pasal 1968 s/d 1971 itu, dapat menuntut dari mereka yang menggunakan
daluwarsa itu supaya mereka bersumpah bahwa mereka itu sungguh-sungguh
34 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 47
46
sudah membayar utang mereka. Dari ketentuan Pasal 1973 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata tersebut di atas, ternyatalah bahwa sebenarnya yang dinamakan
“daluwarsa pendek” itu bukan suatu daluwarsa, sebab kalau benar- benar ia suatu
daluwarsa, maka penagihan itu sudah tidak dapat dituntut di muka Hakim. Para
debitur dapat menangkis setiap tuntutan dengan mengajukan daluwarsa dan
gugatan akan dinyatakan tidak diterima. “Daluwarsa pendek” tadi sebenarnya
tidak lain dari pada suatu persangkaan undang-undang, suatu persangkaan bahwa
utang-utang itu sudah terbayar (vermoeden van betaling)”. Dan terhadap suatu
persangkaan, tentu saja masih dibolehkan mengadakan suatu pembuktian lawan.
Persangkaan pembayaran mengenai penagihan-penagihan istimewa tadi
didasarkan kepada kebiasaan bahwa utang-utang semacam itu dibayar dalam
waktu yang pendek, Dapat dimengerti bahwa bagi krediturnya (dokter, adpokat,
pemilik losmen, dsb.) mengadakan pembuktian lawan (yaitu bahwa penagihan-
penagihan itu, meskipun sudah lewat waktunya yang ditetapkan oleh undang-
undang, sebenarnya belum dibayar), tentu saja tidak begitu mudah. Dalam
keadaan di mana seorang menghadapi kesulitan pembuktian itu memang satu-
satunya jalan yang dapat ditempuh ialah memerintahkan suatu sumpah kepada
debitur yaitu sumpah pemutus atau decissoir.35
5. Pengakuan
Sebagaimana sudah diterangkan, sebenarnya adalah tidak tepat untuk
menamakan pengakuan itu suatu alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang
dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak yang
mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya
35 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 48
47
dalil-dalil tadi, pihak yang mengajukan dalil-dalil itu dibebaskan dari pembuktian.
Pembuktian hanya perlu diadakan terhadap dalil-dalil yang dibantah atau
disangkal. Malahan kalau semua dalil yang dikemukakan itu diakui, dapat
dikatakan tidak ada suatu perselisihan. Dan dalam perkara perdata itu, tidak
menyangkal diartikan sebagai mengakui atau membenarkan dalilnya pihak lawan.
Sebagaimana juga sudah kita lihat, putusan Pengadilan perdata itu selalu
memulai dengan menyimpulkan dahulu dalil-dalil manakah yang diakui atau tidak
disangkal, sehingga. dalil-dalil itu dapat ditetapkan sebagai ha1-ha1 yang berada
“di luar perselisihan” dan dengan demikian dapat ditetapkan sebagai benar. Dali1-
dali1 yang sebaliknya, yaitu yang dibantah atau disangkal, itulah yang harus
dibuktikan.
Kita juga sudah melihat pengakuan itu sebagai suatu pembatasan luasnya
perselisihan. Dalam perkara-perkara yang diperiksa di muka Hakim, dapat kita
lihat bahwa dalil yang dianggap tidak begitu penting atau tidak dapat merugikan,
diakui untuk menyingkatkan pemeriksaan. Misalnya dalam perkara-perkara
warisan seringkali kita lihat, bahwa hal keahliwarisannya (dalil bahwa penggugat
adalah ahliwarisnya) diakui, tetapi disangkal bahwa barang-barang sengketa itu
termasuk harta peninggalan (“budel”) dari si meninggal. Dijawabnya bahwa
barang-barang sengketa itu adalah milik tergugat sendiri.
Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang
sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan
perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, 176 RIB, 311 Reglemen Daerah Seberang). Artinya
48
ialah, bahwa Hakim harus menganggap36 dalil-dalil yang telah diakui itu sebagai
benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang
didasarkan pada dalil-dalil tersebut.
Baiklah ditegaskan di sini bahwa pengakuan yang merupakan bukti yang
mengikat dan sempurna tadi adalah pengakuan yang dilakukan di muka sidang
Hakim. Pengakuan itu harus diucapkan di muka Hakim oleh tergugat sendiri atau
oleh seorang yang khusus dikuasakan untuk itu.
Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim itu tidak boleh ditarik kembali
kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa itu telah dilakukan sebagai akibat dari
suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Tak bolehlah pengakuan ditarik
kembali dengan dalih bahwa orang yang melakukannya khilaf tentang suatu soal
Hukum.
Suatu pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang Pengadilan tidak dapat
dipakai selainnya dalam hai-hai di mana diizinkan pembuktian dengan saksi,
sedangkan tentang kekuatan pembuktian diserahkan kepada Hakim. Artinya
pengakuan di luar sidang Pengadilan itu tidak merupakan bukti yang mengikat,
tetapi hanya merupakan bukti bebas. (Pasal 1927, 1928 Kitab Undang-undang
Perdata, 175 RIB 312 Reglemen Daerah Seberang). Di samping pengakuan lisan
di luar sidang, dalam praktek juga sudah diakui pula adanya suatu pengakuan di
luar sidang yang dilakukan secara tertulis, yang juga mempunyai kekuatan
sebagai bukti bebas. Sebenarnya saja pengakuan di luar sidang yang dilakukan
secara tertulis ini dapat digolongkan pada tulisan-tulisan yang bukan akte, yang
36 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 49
49
sudah kita bicarakan pada waktu kita membicarakan tentang bukti tulisan. Kalau
pengakuan lisan di luar sidang itu harus dibuktikan dahulu dengan bukti-bukti lain
bahwa ia betul sudah dilakukan oleh tergugat, sebaliknya pengakuan di luar
sidang yang tertulis tadi dapat begitu saja diajukan di muka Hakim sebab ia
berupa suatu tulisan yang sudah berada di tangannya penggugat. Boleh dikatakan
bahwa ia sudah merupakan suatu alat bukti yang dipegang oleh penggugat itu,
meskipun hanya sebagai alat bukti yang bebas. Sudah barang tentu pengakuan
tertulis di luar sidang itu dapat ditarik kembali oleh tergugat. Yang tidak boleh
ditarik kembali itu hanyalah pengakuan yang dilakukan di muka sidang Hakim!37
Pada waktu kita membicarakan soal pembuktian pada umumnya sudah kami
kemukakan bahwa seorang yang mengakui atau membenarkan sesuatu dalil dari
pihak lawan, biarpun dalil itu tidak benar, dianggap sebagai seorang yang
melepaskan suatu hak perdata, yang memang dibolehkan karena adalah terserah
kepada tiap-tiap orang untuk mempertahankan atau melepaskan hak-hak yang
berada dalam kekuasannya. Dengan demikian, apabila sengketa itu mengenai hak-
hak yang tidak dapat dikatakan “berada dalam kekuasaan” orang yang melakukan
pengakuan tadi atau apabila ada kepentingan-kepentingan pihak ketiga yang
tersangkut dan karena itu dapat dirugikan karena pengakuan ini, maka dasar
pikiran untuk memberikan kekuatan mengikat kepada pengakuan itu tidak
berlaku. Boleh dikatakan bahwa orang tidak berhak berbuat bebas terhadap
kepentingan-kepentingan semacam ini. Oleh karena itu dapat kita lihat, bahwa
dalam suatu perkara “pemisahan kekayaan” antara suami dan isteri, oleh undang-
undang yang bersangkutan ditetapkan bahwa dalam suatu gugatan pemisahan
37 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 50
50
kekayaan yang dilancarkan oleh pihak isteri: “pengakuan pihak suami dengan
tiada bukti lain, tidak berlaku sebagai bukti” (pasal 825 Reglemen Acara Perdata).
Sebagaimana kita ketahui, dalam perkara-perkara perceraian antara orang-
orang yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), di mana gugatannya didasarkan kepada perzinahan, apabila hal
perzinahan ini diakui oleh tergugat, maka dalam praktek gugatan itu dikabulkan
atas alasan terbuktinya perzinahan itu. Putusan Hakim semacam itu dalam perkara
perceraian-perceraian tadi boleh dikatakan sudah merupakan yurisprudensi tetap,
tetapi sebenarnya putusan-putusan seperti itu, sudah menyimpang dari dasar
pikiran undang-undang sebagai yang kami gambarkan di atas. Aturan yang masih
mengindahkan dasar pikiran tersebut kita ketemukan dalam Ordonansi
Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Lambaran Negara tahun 1933 No. 74) Pasal
57, di mana ditentukan bahwa Pengadilan Negeri, dalam perkara perceraian,
diwajibkan secara mandiri (“zelfstanding”) mengadakan pemeriksaan tentang
benarnya alasan yang dikemukakan untuk menuntut perceraian itu. Maksudnya
adalah jelas. Pengakuan di sini tidak mempunyai kekuatan sebagai bukti yang
mengikat dan sempurna. Hak-hak yang sungguh-sungguh berada dalam
kekuasaan bebas38 seorang, adalah hak-hak perdata dalam bidang kekayaan di
mana tidak tersangkut kepentingan-kepentingan pihak ketiga. Hak-hak ini boleh
oleh yang empunya dilepaskan dalam suatu sengketa: dengan mengadakan
pengakuan, dengan memerintahkan sumpah pemutus.
“Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang
melakukannya” demikianlah Pasal 1924 (1) Kitab Undang-undang Hukum
38 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 51
51
Perdata, Pasal 176 RIB, Pasal 313 Reglemen Daerah Seberang. Apakah artinya
ketentuan ini?
Pengakuan yang merupakan bukti mengikat dan sempurna adalah
pengakuan yang bulat terhadap dalil-dalil pihak lawan, yang mengandung pula
pengakuan terhadap tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan
yang demikian itu juga dinamakan pengakuan “murni”. Sebetulnya dalam
keadaan yang demikian itu sudah tidak ada perselisihan lagi.
Di sampingnya pengakuan yang bulat atau mumi tadi, ada pula pengakuan
terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan tetapi disertai (“diembel-
embeli”) dengan suatu uraian yang bertujuan melumpuhkan tuntutan yang
didasarkan pada dalil-dalil tadi, yaitu dengan mengajukan peristiwa-peristiwa
yang membebaskan dari tuntutan (bahasa Belanda “bevrijdende daadzaken”).
Larangan untuk “memisah-misahkan” (atau memecah-mecahkan)
pengakuan tersebut di atas, ditujukan kepada pengakuan yang diembel-embel ini;
yang dilarang ialah memisah-misahkan pengakuan terhadap suatu dalil, dari
tambahnya yang berisi peristiwa pembebasan itu. Sebenarnya yang tidak boleh
dipecah-pecah itu ialah jawaban suatu pihak atas dalil yang dikemukakan pihak
lawan. Kalau jawaban yang berkesimpulan menolak tuntutan tadi dipecah- pecah,
ia terbagi atas suatu bagian yang mengandung pengakuan (terhadap dalil pihak
lawan) dan suatu bagian yang mengandung uraian tentang suatu peristiwa
pembebasan. Ini akan merugikan orang yang mengajukan jawaban tadi. Dan
inilah yang dilarang oleh ketentuan yang disebutkan di atas itu. Dengan perkataan
52
lain, ketentuan ini menghendaki supaya janganlah kita menganggap jawaban tadi
sebagai suatu pengakuan, ia harus diartikan sebagai tetap suatu penyangkalan!39
Sekedar suatu contoh:
A mendalilkan, bahwa ia sudah menjual dan melever suatu party barang
kepada B, untuk mana ia sekarang menuntut pembayaran harganya. B menjawab
bahwa itu memang Betul, tetapi ia sudah membayar.
Dengan jawaban ini, B tidak boleh dianggap mengakui dalil-dalil A tentang
penjualan dan (penyerahan) barang tadi. Dengan demikian, A tetap diwajibkan
membuktikan penjualan dan pengleveran barang. Pada hal, penjualan dan
pengleveran barang itu sudah diakui oleh B. Suatu aturan yang aneh dan tidak
mudah dimengerti. Lazimnya A juga dapat membuktikan apa yang wajib
dibuktikan itu, karena ia tidak akan menjual dam menyerahkan barang tanpa tanda
penerimaan.
Tetapi, ada kalanya juga ia tidak dapat membuktikan lagi penjualan-
penjualan dan penyerahan barang itu karena surat-surat mengenai itu sudah
hilang.
Sungguh ia akan merasa dirinya teraniaya oleh peraturan tadi karena jual
beli dan penyerahan barang itu, sebenarnya toh sudah diakui oleh si B, sehingga
tentang itu sebenarnya tidak ada perselisihan. Itulah akibat peraturan tentang
“tidak dibolehkan memecah pengakuan”. Memang sudah selayaknya, kalau
peraturan itu sering dikecam, karena ia banyak menimbulkan kekecewaan.
39 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 52
53
Tetapi apakah maksud undang-undang mengadakan peraturan semacam itu?
Maksudnya undang-undang ialah untuk melindungi si berutang (debitur) dalam
jual beli kecil-kecilan, di mana tidak lazim si pembeli menerima suatu kwitansi
untuk pembayarannya. Jual beli eceran, yang banyak dilakukan secara tunai, di
mana begitu barang diserahkan, begitu ia bayar. Kalau dengan mengakui jual beli
dan penyerahan barang tetapi mengatakan telah membayar, jual beli dan
penyerahan barang tadi dianggap terbukti, si pembeli itu berada dalam kedudukan
yang merugikan karena ia sekarang diwajibkan membuktikan pembayarannya,
sedangkan ia tidak perah menerima suatu kwitansi. Begitulah kiranya jalan
pikiran pembuat undang-undang sewaktu ia menciptakan peraturan yang banyak
menimbulkan kecaman tadi.
Dr Wirjono Prodjodikoro SH. dalam bukunya “Hukum Acara Perdata di
Indonesia” mengatakan bahwa ajaran tentang tidak boleh40 memisah-misahkan
pengakuan itu sangat mengecewakan, karena tidak masuk akal dan lagi tidak
dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Dikatakan selanjutnya bahwa sebaiknya
dalam menghadapi pengakuan dengan tambahan itu, Hakim diberi kebebasan
untuk menetapkan seberapa jauh ia akan memberi kekuatan kepada pengakuan
itu; seperti halnya apabila ia dihadapkan kepada pengakuan di luar sidang
Pengadilan, Apabila Hakim yakin bahwa pihak penggugat jujur haruslah ia
dilindungi dengan membebankan pembuktian kepada pihak lawan. Dr. Wirjono
Prodjodikoro itu mengusulkan supaya Hakim diberi kebebasan menetapkan
kekuatan pembuktian suatu pengakuan dengan tambahan itu, sehingga ia dapat
menetapkan dan memutus perkara menurut keadaan. Jadi, pengakuan di muka
40 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 53
54
Hakim itu dapat dibagi dalam pengakuan yang “murni” dan pengakuan yang
disertai dengan suatu ”embe1-embel”, yang mengandung suatu kesimpulan
tentang tidak dapat diterimanya gugatan. Pengakuan dari golongan yang terakhir
ini (yang tidak boleh dipecah-pecahkan itu) ditilik dari macamnya embel-embel
yang disertakan itu, dapat dibagi dalam dua macam:
a. pengakuan dengan klausula;
b. pengakuan dengan kualifikasi.
Pengakuan dari macam a. adalah seperti yang diberikan sebagai contoh di
atas. Jual beli dan pengleveran barang diakui, tetapi tergugat menyatakan sudah
membayar. Atau pembeli mengatakan bahwa si penjual juga mempunyai suatu
utang kepadanya, sehingga utang-piutang dapat saling diperhitungkan atau
diperjumpakan. Ataupun lagi utang si pembeli kepada si penjual itu sudah
dibebaskan.
Dalam pengakuan dari macam b. tergugat mengakui jual beli dan
pengleveran barang, tetapi mengemukakan bahwa jual beli itu adalah atas
percobaan. Dengan demikian jual beli tadi adalah dengan syarat tangguh, artinya
baru kalau tergugat sudah menyatakan bahwa ia puas dengan barang-barangnya,
jual beli itu akan berlangsung. Di sini tergugat itu mengajukan keterangan yang
mengenai hakekat hubungan hukum antara dia dengan penggugat. Pengakuan
dengan kualifikasi ini menunjukkan bahwa hubungan hukum di antara para pihak
adalah lain dari pada hubungan hukum yang dijadikan dasar gugatan.41
41 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 54
55
Menurut pasal 1924 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Pasal 176 RIB,
313 Reglemen Daerah Seberang), larangan memisah-misahkan suatu pengakuan
itu tidak berlaku lagi apabila si berutang di dalam melakukan pengakuan tadi,
guna membebaskan dirinya, telah mengajukan peristiwa-peristiwa yang ternyata
palsu. Apakah maksudnya ini? Yang dimaksudkan ialah bahwa, apabila debitur
itu mengakui dalil-dalil penggugat, sambil mengajukan peristiwa-peristiwa
pembebasan maka kreditur diwajibkan membuktikan tentang kepalsuannya (tidak
benarnya) peristiwa.-peristiwa pembebasan tadi. Jika kreditur berhasil
membuktikan tentang kepalsuannya peristiwa-peristiwa pembebasan ini, maka
pengakuan yang diembel-embeli tadi, oleh Hakim dapat dianggap sebagai suatu
pengakuan murni, yang merupakan bukti yang sempurna terhadap dalil-dalil
penggugat.
Dengan demikian maka penggugat yang menghadapi pengakuan yang
disertai dengan peristiwa pembebasan tadi, dapat menempuh dua jalan
membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya atau membuktikan akan
kepalsuan peristiwa pembebasan. Dalam contoh yang telah berkali-kali kita ambil
tentang penjual yang menuntut pembayaran harga barang, penjual itu dapat
membuktikan jual beli dan penyerahan barang atau membuktikan bahwa harga itu
belum dibayar. Pembuktian yang terakhir ini adalah berat, karena sebagaimana
yang telah diutarakan, membuktikan suatu hal yang negatif pada umumnya tidak
begitu mudah. Adalah sangat kebetulan sekali misalnya kalau penggugat itu dapat
mengajukan saksi-saksi yang mengetahui bahwa pembeli sedang sibuk mencari
pinjaman uang untuk membayar harga barang yang dibelinya itu, sehingga
56
keterangannya di muka Hakim bahwa ia sudah membayar itu sangat tidak boleh
dipercaya.42
6. Sumpah
Sebagaimana telah kita lihat, dalam perkara perdata dipakai juga sebagai
alat pembuktian sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak. Dalam perkara
pidana tentu saja tidak ada sumpah yang dibebankan kepada seorang terdakwa.
Jika terdakwa dibolehkan bersumpah, ia akan dapat terlalu mudah meluputkan diri
dari penghukuman.
Dalam perkara perdata sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak di muka
Hakim itu, ada dua macam:
1. sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan
untuk mengantungkan putusan perkara padanya; sumpah ini dinamakan
sumpah pemutus atau decissoir;
2. sumpah yang oleh Hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada,
salah satu pihak (pasal 1929 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Sumpah pemutus (decissoir) dapat diperintahkan tentang segala
persengketaan yang berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para
pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana
pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.
Sebagaimana sudah dikemukakan sewaktu kita membicarakan hal
pembuktian pada umumnya, dengan memerintahkan sumpah pemutus itu pihak
42 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 55
57
yang memerintahkan sumpah dianggap sebagai orang yang melepaskan suatu hak.
Seolah-olah orang itu mengatakan kepada pihak lawannya: “Baiklah, kalau kamu
berani sumpah, saya rela dikalahkan”. Melepaskan suatu hak tentunya hanya
dapat dilakukan terhadap suatu hak yang berada dalam kekuasannya untuk
melepaskannya, jadi pada azasnya hanya mengenai utang-piutang, hak milik dan
warisan. Tak dapat misalnya, dalam suatu perkara perceraian di mana perselisihan
itu mengenai perzinahan, satu pihak memerintahkan sumpah pemutus tentang
betul atau tidaknya pihak lawan telah melakukan perzinahan. Sumpah pemutus
dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan perkaranya, bahkan juga apabila tiada
upaya lain yang mampu untuk membuktikan tuntutan atau43 tangkisan yang
diperintahkan penyumpahannya itu. (Pasal 1930 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata). Bahwa sumpah pemutus dapat diperintahkan “dalam setiap tingkatan
perkara’ berarti bahwa sumpah pemutus itu dapat diperintahkan pada detik atau
saat mana pun juga sepanjang pemeriksaan: pada permulaan perkara diperiksa
oleh Hakim, pada waktu diajukan jawaban, pada waktu diadakan replik, pada
waktu diajukan duplik, pada saat perkara sudah akan diputus, bahkan juga
kemudian dalam tingkatan banding di muka Pengadilan Tinggi. Dan lagi, sumpah
pemutus itu dapat diperintahkan, meskipun tiada pembuktian sama sekali.
Justru sumpah pemutus ini merupakan ”senjata pamungkas” (artinya senjata
terakhir) bagi suatu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian, ia
merupakan suatu senjata yang mudah dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang
menggunakannya. Kalau pihak lawan berani sumpah, orang yang memerintahkan
sumpah itu akan kalah.
43 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 56
58
Perintah untuk melakukan suatu sumpah pemutus dapat “dikembalikan”,
artinya pihak yang menerima perintah dapat menuntut supaya si pemberi perintah
itu sendiri melakukan sumpah. Kalau pemberi perintah ini, setelah sumpah itu
dikembalikan, tidak berani bersumpah, ia akan dikalahkan juga. Dalam hal yang
demikian, maka terjadilah bahwa senjata itu “makan tuannya sendiri”. Dengan
sendirinya kalau sumpah itu dikembalikan, perumusannya harus di balik.
Misalnya, kalau sumpah yang diperintahkan itu berbunyi: “Saya bersumpah
bahwa benar saya sudah membayar ulang saya”, maka sumpah yang dikembalikan
harus berbunyi: “saya bersumpah bahwa benar saya belum menerima
pembayaran”.
Mengenai sumpah pemutus itu oleh Pasal 1932 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dikatakan: “Barangsiapa diperintahkan mengangkat sumpah dan
menolak mengangkatnya atau menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa
memerintahkan sumpah dan, setelah kepadanya dikembalikan sumpah itu,
menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam tuntutan maupun tangkisan
nya”. Jelaslah artinya sumpah pemutus (“decissoir”) itu dalam suatu pemeriksaan
perkara perdata yang sedang berlangsung di muka Hakim.
Ia dimaksudkan untuk secara singkat memutuskan suatu perselisihan.44
Agar sumpah yang diperintahkan oleh suatu pihak kepada lawannya itu
dapat memutuskan atau mengakhiri perkara, maka dengan sendirinya sumpah itu
harus mengenai hal atau peristiwa yang menjadi perselisihan. Dengan suatu istilah
hukum acara (prosessuil) dikatakan bahwa sumpah itu harus bersifat “litis
44 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 57
59
decissoir”. Misalnya, kalau soal yang menjadi perselisihan itu adalah sudah atau
belum dibayarnya harga barang, maka sumpah itu harus mengenai pembayaran
ini, dan tidak mengenai hal-hal lain, misalnya soal penerimaan barangnya.
Apabila sumpah yang dirumuskan itu tidak bersifat litis decissoir, maka.
Hakim akan melarang pembebanan sumpah itu, karena tidak membawa akibat
yang dikehendaki, yaitu mengakhiri atau memutusi perkara yang sedang
berlangsung itu.
Adapun soal apakah dalam suatu perkara sumpah yang diperintahkan itu
memutuskan atau tidak (bersifat “litis decissoir” atau tidak), oleh Hakim Agung
dianggap sebagai suatu soal yuridis atau soal hukum dan bukan sebagai suatu
penilaian hasil pembuktian. Oleh karena itu, maka, apabila Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tinggi mengizinkan suatu sumpah pemutus, sedangkan sumpah
itu ditinjau dari duduknya perkara tidak bersifat memutuskan, Mahkamah Agung
akan membatalkan putusan.
Pendapat Mahkamah Agung ini baiknya karena memberikan kesempatan
kepada Badan Pengadilan Tertinggi kita untuk membatalkan putusan-putusan di
mana secara keliru suatu soal yang sebenarnya tidak bersifat memutuskan
(decissoir) dianggap sebagai memutuskan.
Yurisprudensi di Negeri Belanda ada berlainan dan menganggap persoalan
ini sebagai sesuatu yang mengenai penilaian pembuktian atau mengenai fakta
(“van feitelijke aard”).
60
Siapa yang telah memerintahkan atau mengembalikan sumpah, tidak dapat
menarik kembali perbuatannya itu jika pihak lawan sudah menyatakan bersedia
mengangkatnya. Dan lagi, apabila orang yang diperintahkan melakukan sumpah
pemutus, atau orang yang menerima kembali perintah itu, sudah mengangkat
sumpahnya, tak dapatlah pihak lawannya diterima untuk membuktikan kepalsuan
sumpah itu.45
Selainnya bahwa soal yang disumpahkan itu harus litis decissoir, sumpah itu
hanya dapat diperintahkan tentang suatu pembuatan pribadi (Bahasa Belanda
“persoonlijke daad”, bahasa Perancis: “fait personnel”) dari orang yang kepada
sumpahnya digantungkan pemutusannya perkara itu (Pasal 1931 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Pasal 156 (1) RIB, Pasal 183 (1) Reglemen Daerah
Seberang). Perkataan “perbuatan pribadi” tadi sudah lazim ditafsirkan luas yaitu
sebagai “segala sesuatu yang mengenai dirinya” si yang bersumpah, sehingga
tidak saja suatu perbuatan atau tindakan termasuk di dalamnya, tetapi juga
misalnya pengetahuan dari si yang bersumpah bahwa ia sungguh-sungguh tidak
tahu bahwa perseroan “Makmur” pada waktu mengadakan transaksi itu sudah
berada dalam keadaan pailit. Sumpah seperti ini malahan dalam praktek sudah
terkenal dengan nama “sumpah pengetahuan”.
Berhubung dengan syarat, bahwa sumpah pemutus itu hanya boleh
diperintahkan mengenai perbuatan pribadi dari si yang bersumpah, timbul
persoalan apakah mungkin suatu badam hukum diperintahkan bersumpah.
Persoalan ini sudah lazim dijawab, bahwa itu adalah diperkenankan. Hanyalah
tentunya orang yang mengangkat sumpah itu harus merupakan alat perlengkapan
45 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 58
61
(“organ”) dari badan hukum tersebut, misalnya direktur atau presiden direktur dari
suatu perseroan terbatas. Kedudukan itu harus dimiliki orang tersebut pada waktu
terjadinya peristiwa yang sedang dipersoalkan di muka Pengadilan itu. Dengan
demikian dapat terjadi bahwa pada waktu orang itu melakukan sumpahnya di
muka Pengadilan, ia sudah berhenti memangku jabatan tersebut.
Mengenai sumpah pemutus ini ada sarjana yang menganggapnya sebagai
suatu “perjanjian” antara kedua pihak yang bersengketa, untuk mengakhiri
perkara mereka, jadi sesuatu yang mirip dengan suatu perjanjian perdamaian.
Meskipun dapat diakui bahwa ada terdapat unsur-unsur seperti dalam suatu
perjanjian yaitu adanya semacam “ijabkabul”, dan tidak dapat ditariknya kembali
penawaran kalau sudah diterima oleh pihak lawan, tetapi hal yang agak aneh bagi
suatu “perjanjian” ialah adanya akibat yang merugikan kalau penawaran itu
ditolak. Maka dari itu adalah lebih tepat untuk menganggap sumpah pemutus itu
sebagai sungguh-sungguh suatu alat bukti, yaitu suatu alat untuk membuat Hakim
memperoleh46 pengetahuan dan keyakinan tentang duduknya perkara, yang
diperlukan untuk memutusi sengketa.
Sumpah yang diperintahkan oleh Hakim dinamakan sumpah suppletoir atau
sumpah tambahan karena itu dipergunakan oleh Hakim untuk menambah
pembuktian yang dianggapnya kurang meyakinkan.
Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan itu apabila:
1. tuntutan maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna;
2. tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali tak terbukti.
46 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 59
62
(Pasal 1941 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 155 (1) RIB, pasal
182 (1) Reglemen Daerah Seberang),
Jadi untuk memerintahkan sumpah tambahan itu ditetapkan bahwa harus
terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu bahwa harus sudah ada sementara
pembuktian. Taraf pembuktian yang disyaratkan ini lazim dikenal dengan istilah
“permulaan pembuktian”. Adapun permulaan pembuktian bentuknya beraneka
warna. Ada pembuktian yang berupa satu kesaksian, ada yang berupa tulisan, ada
yang berupa suatu pengakuan di luar sidang, dan lain sebagainya. Pendeknya
suatu pembuktian bebas yang oleh Hakim dianggap belum cukup meyakinkan
itulah “permulaan pembuktian”.
Apakah dalam suatu perkara sudah terdapat suatu permulaan pembuktian,
adalah suatu hal yang sama sekali berada dalam wewenang Pengadilan Negeri
atau Pengadilan Tinggi untuk mempertimbangkannya. Begitu pula kepada siapa
atau pihak yang manakah diperintahkan melakukan sumpah tambahan, adalah
termasuk kebijaksanaan Hakim yang memeriksa tentang duduknya perkara, yang
tidak tunduk pada Kasasi.
Sering juga terjadi bahwa dalam tingkat pemeriksaan kasasi, penggugat
untuk kasasi mengajukan sebagai keberatan, mengapa musuhnya dan bukan dia
yang dibebani sumpah tambahan. Teranglah bahwa keberatan semacam itu harus
ditolak, karena persoalan kepada siapa yang akan diperintahkan melakukan
sumpah tambahan adalah termasuk kebijaksanaan Hakim pertama, yang
memeriksa tentang duduknya perkara.
63
Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, sumpah tambahan ini tidak
terikat pada syarat bahwa sumpah itu harus mengenai perbuatan47 pribadi dari si
yang bersumpah (Lihat Majalah Hukum tahun 1957 No. 1-2, halaman 104).
Tetapi meskipun demikian, sudah barang tentu bahwa orang hanya dapat
bersumpah tentang hal-hal yang diketahuinya. Misalnya saja, tak dapatlah seorang
bersumpah bahwa sawah sengketa diperoleh nenek moyang tergugat dengan
membuka hutan seratus tahun yang lalu.
Dengan demikian dapat kita lihat, bahwa sumpah tambahan ini, mengenai
syarat-syarat untuk memerintahkannya adalah lebih sempit dari sumpah pemutus,
karena harus ada permulaan pembuktian, tetapi mengenai isinya sumpah itu lebih
luas karena tidak perlu mengenai perbuatan pribadi dari si yang bersumpah.
Hakim dapat memerintahkan sumpah juga untuk menetapkan jumlah yang
akan dikabulkan nya, misalnya mengenai kerugian yang dituntut atau untuk
menetapkan harga barang yang menjadi perselisihan. Sumpah terakhir ini tidak
dapat diperintahkan oleh Hakim kepada si penggugat selainnya apabila tidak ada
jalan lain lagi untuk menetapkan harga itu. Bahkan dalam hal yang demikian itu
Hakim harus menetapkan hingga jumlah mana si penggugat akan dipercaya akan
sumpahnya. Sumpah ini lazim dikenal dengan nama “sumpah penaksiran”.
Sumpah yang oleh Hakim diperintahkan kepada salah satu pihak yang
berperkara tak dapat oleh pihak ini dikembalikan kepada pihak lawannya.
Sumpah harus diangkat di hadapan Hakim yang memeriksa perkaranya.
47 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 60
64
Jika ada suatu halangan yang sah, yang menyebabkan penyumpahan itu
tidak dapat dilaksanakan di muka sidang Pengadilan, maka Pengadilan dapat
memerintahkan seorang Hakim untuk mengambil sumpahnya, Hakim mana akan
pergi ke rumah orang yang harus mengangkat sumpah itu. Jika dalam hai yang
tersebut di atas tadi, rumah atau tempat kediaman itu terlalu jauh letaknya ataupun
terletak di luar wilayah Pengadilan, maka Pengadilan dapat memerintahkan
pengambilan sumpah kepada Hakim atau Kepa1aPemerintah Daerah dari rumah
atau tempat kediaman orang yang diwajibkan bersumpah.Sumpah harus diangkat
sendiri pribadi.48Karena alasan-alasan penting Hakim diperbolehkan mengizinkan
kepada suatu pihak yang berperkara untuk suruhan mengangkat sumpahnya oleh
orang lain yang untuk itu khusus dikuasakan dengan suatu akte otentik. Dalam hal
ini surat kuasa harus menyebutkan secara lengkap dan teliti sumpah yang harus
diucapkan itu. Tiada sumpah yang boleh diambil selainnya dengan hadirnya pihak
lawan atau setelah pihak ini dipanggil untuk itu secara sah.
7. Perjanjian Pembuktian
Dalam praktek kita melihat adanya perjanjian-perjanjian yang memuat
aturan-aturan tentang pembuktian, artinya mengadakan aturan-aturan sendiri yang
akan berlaku antara para pihak apabila mereka diwajibkan membuktikan sesuatu
dalam hubungan dengan perjanjian-perjanjian tersebut. Suatu perjanjian yang
mengatur tentang pembuktian yang akan berlaku antara para pihak yang
mengadakan perjanjian tersebut, dinamakan “perjanjian pembuktian”, yang
menurut hukum memang diperbolehkan dalam batas-batas tertentu.
48 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 61
65
Misalnya dalam praktek sering diperjanjikan, hal mana memang
diperbolehkan - bahwa antara, para pihak hanya akan berlaku sesuatu macam alat
bukti saja, misalnya tulisan. Pembuktian dengan alat bukti lain, misalnya dengan
kesaksian, dalam hal yang demikian, tidak diperbolehkan.
Ada juga diperkenankan untuk menyatakan suatu alat bukti bebas sebagai
suatu alat bukti yang mengikat antara kedua belah pihak. Misalnya antara pihak
penjual dan pihak pembeli diperjanjikan bahwa surat timbang yaitu surat yang
dibuat oleh seorang pihak ketiga dan karena itu menurut Hukum Pembuktian
hanya mempunyai kekuatan pembuktian bebas, akan mempunyai kekuatan
sebagai bukti (yang mengikat) tentang diserahkannya sejumlah barang kepada
pihak pembeli.
Juga terdapat perjanjian-perjanjian di mana penggunaan alat bukti tidak
diperbolehkan antara para pihak.
Akhirnya ada juga perjanjian-perjanjian untuk melarang diadakannya suatu
pembuktian lawan dalam suatu hal tertentu.
Perjanjian di atas tadi memang diperbolehkan.
Yang harus kita anggap terlarang, adalah:
a. membolehkan para pihak memakai bukti-bukti lain, di mana undang-
undang dengan tegas telah menetapkan suatu alat bukti sebagai satu-
satunya yang berlaku, sepertinya dalam pasal 150 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata di mana ditetapkan bahwa dalam hal tidak adanya
66
persatuan harta kekayaan (dalam perkawinan),49 masuknya barang-
barang tak dapat dibuktikan dengan cara lain melainkan dengan
mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan surat pertelaan
yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang bersangkutan,
surat mana harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian kawin.
b. meniadakan kemungkinan pembuktian lawan di mana undang-undang
secara tegas menjamin adanya hak mengadakan pembuktian lawan itu,
seperti dalam Pasal 274 (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang
menegaskan bahwa si penanggung (maskapai asuransi) selamanya
berhak untuk membuktikan di muka Hakim bahwa harga yang
disebutkan dalam polis itu terlampau tinggi.
c. mengadakan perjanjian yang maksudnya menutup sama sekali setiap
pembuktian lawan. Perjanjian semacam ini dapat dianggap sebagai
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, oleh karena berarti
menyerahkan suatu pihak kepada kesewenang-wenangan pihak
lawannya. Perjanjian pembuktian yang diterangkan di atas, harus kita
perbedakan dari suatu macam perjanjian lain, dimana diperjanjikan
bahwa sesuatu unsur dari perjanjian itu akan ditetapkan dengan suatu
cara tertentu. Misalnya banyak terdapat dalam per- janjian
pertanggungan (asuransi), bahwa besarnya kerugian harus ditetapkan
oleh beberapa orang ahli. Perjanjian semacam ini tidak mengenai
pembuktian, tetapi mengatur cara menetapkan sesuatu. Kitab Undang-
undang Hukum Perdata sendiri memperkenankan bahwa dalam
49 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 63
67
perjanjian jual beli harga dapat diserahkan kepada perkiraan seorang
pihak ketiga (Pasal 1465).50
C. Beban Pembuktian
Salah satu unsur yang sangat penting dalam Hukum Pembuktian adalah
masalah pembagian beban pembuktian (bewijstlast/burden of roof). Sebagaimana
sudah diterangkan, pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil
dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat
sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang
terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini
dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan
sampai tingkat kasasi di muka Pengadilan Kasasi, yaitu Mahkamah Agung.
Melakukan pembagian beban perbukitan yang tidak adil dianggap sebagai suatu
pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah
Agung untuk membatalkan putusan Hakim atau Pegadilan rendahan yang
bersangkutan.
Dalam hukum pidana sangat jelas bahwa beban pembuktian itu ada pada
jaka untuk membuktikan semua hal yang berkaitan dengan tuntutan pidana yang
mungkin masih meragukan. Di sisi yang lain tidak ada kewajiban bagi terdakwa
untuk membuktikan ketidakbersalahannya,51 kecuali ditentukan lain misalnya
digunakan nya pembuktian terbalik.
50 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 54 51 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana,
Jakarta, 2013, h. 102
68
Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah disebutkan di
atas, atau Pasal 163 RIB (Pasal 283 Reglemen Daerah Seberang) sebenarnya
memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal pembagian beban
pembuktian itu. Disebutkan di situ bahwa barang siapa mempunyai sesuatu hak
atau, guna membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut.
Jika si penjual barang menagih pembayaran dari si pembeli, maka ia
mendalilkan bahwa ia telah menjual dan melever suatu party barang kepada si
pembeli dan bahwa pembeli ini belum atau tidak membayar harga barang tadi.
Kalau dalam perkara tersebut, penjual itu dibebani dengan pembuktian tentang
adanya jual beli dan penyerahan barang, maka itu dapat kita setujui sepenuhnya.
Tetapi, kalau ia juga diwajibkan membuktikan tentang belum atau tidak
dibayarnya harga barang, maka menurut pendapat kami itu merupakan beban
pembuktian yang terlampau berat, meskipun hal belum atau tidak dibayarnya
harga barang itu sebenarnya juga merupakan suatu dalil yang dikemukakan oleh
penggugat guna mendasarkan haknya untuk menuntut pembayaran.52
Dalam contoh-contoh yang disebutkan di alas, dapat dikatakan bahwa si
pembeli membantah hak si penjual atas pembayaran dengan menunjuk pada suatu
peristiwa yaitu pembayaran, dan seorang yang digugat untuk menyerahkan barang
warisan membantah hak penggugat untuk mendapat bagian warisan, dengan
menunjuk pada peristiwa pembagian yang telah diadakan, sehingga peristiwa-
peristiwa pembayaran dan pembagian warisan itu harus dibuktikan oleh tergugat,
tetapi pedoman yang hendak diberikan oleh Pasal 1865 Kitab Undang-undang
52 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 17
69
Hukum Perdata dan Pasal 163 RIB (Pasal 283 Reglemen Daerah Seberang) belum
dapat dikatakan jelas.
Ada yang mengajarkan bahwa peristiwa-peristiwa yang menerbitkan atau
menimbulkan sesuatu hak, harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut hak
tersebut, sedangkan peristiwa-peristiwa yang mematikan atau menghapuskan hak
tersebut, harus dibuktikan oleh pihak yang membantah hak itu. Ajaran ini dapat
kita terima, tetapi hendaknya Hakim dalam membagi beban pembuktian itu,
dalam tingkat terakhir menitikberatkan pada pertimbangan keadilan. Selain dari
itu hendaknya dijaga jangan sampai Hakim itu memerintahkan pembuktian
sesuatu hal yang negatip. Misalnya, dalam contoh-contoh yang kita ambil di atas
itu, hal belum dibayarnya harga barang atau belum dibaginya warisan, adalah hal-
hal yang negatif. Si pembeli dapat lebih mudah membuktikan bahwa ia sudah
membayar, dari pada si penjual disuruh membuktikan bahwa ia belum menerima
pembayaran.
Malikul Adil dalam bukunya: “Pembaharuan Hukum Perdata Kita”
mengatakan bahwa ”Hakim yang insaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa
bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan
sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal
yang tidak dapat dibuktikan”. Dan penetapan beban pembuktian itu akhirnya
banyak bergantung pada keadaan in concreto.53
Dalam pada itu, hukum materiil seringkali sudah menetapkan suatu
pembagian beban pembuktian, misalnya:
53 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 18
70
a. Adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (Pasal
1244 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
b. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu
perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan
(Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah
membayar semua cicilan (Pasal 1394 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata);
d. Barangsiapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai
pemiliknya (Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).
Lazimnya seorang yang mengatakan sudah membayar utangnya, diwajibkan
membuktikan pembayaran itu, tetapi dalam contoh sub c tersebut di atas, orang
yang memegang tiga kwitansi terakhir itu dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Lazimnya seorang pemilik harus dapat membuktikan hak miliknya, tetapi dalam
pasal 1977 (1) tersebut di atas, setiap pemegang barang bergerak (”bezitter”)
dibebaskan dari kewajiban pembuktian itu.
Beban pembuktian pada umumnya dibebankan kepada pihak yang
menyatakan mempunyai suatu hak atau penggugat, akan tetapi dalam keadaan
tertentu bisa saja pembuktian tersebut beralih kepada pihak lawa atau pihak yang
digugat.54 Kondisi-kondisi tersebut tergantung pada hal pihak mana yang harus
bertanggungjawab dan juga pihak mana yang menguasai alat bukti. Untuk
mengetahui lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip pertanggungjawaban demikian
54Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana,
Jakarta, 2013, h. 73
71
akan diuraikan beberapa prinsip pertanggungjawaban yang digunakan dalam
hukum pengangkutan udara.
1. Prinsip Beban-Beban Pembuktian
Bertitik tolak dari pedoman ketentuan umum yang digariskan Pasal I 865
KUH Perdata, Pasal 163 HIR, dihubungkan dengan teori hukum subjektif dan
objektif serta teori kepatutan, telah muncul beberapa prinsip penerapan
pembagian beban-pembuktian dalam praktik peradilan.
a. Yang Harus Dibuktikan Hal yang Positif
Sesuatu hal dikatakan bersifat positif, apabila di dalamnya terdapat fakta,
atau di dalamnya terkandung peristiwa atau kejadian. Misalnya penggugat
mendalilkan tergugat memutuskan kontrak secara sepihak. Dalam gugatan itu ada
fakta atau peristiwa yang positif berupa pemutusan kontrak oleh tergugat. Oleh
karena itu, harus dibuktikan, dan yang dibebani wajib bukti adalah penggugat.
Sebaliknya, apabila tergugat mengajukan bantahan (counterclaim) terhadap
peristiwa itu, kepada nya dipukulkan wajib bukti untuk membuktikan bantahan
itu.
Pada dasarnya, prinsip ini tidak jauh berbeda dengan pedoman yang
digariskan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR. Perhatikan Putusan MA No.
162 K/Sip/1955. Dalam perkara ini, tergugat ditugaskan dan diberi hak oleh
penggugat I memungut sewa beberapa pintu toko, mengatakan bahwa toko-toko
tersebut tidak _ selalu menghasilkan sewa. Pengadilan berpendapat tergugat telah
mengajukan hal yang positif(tidak selalu menghasilkan uang sewa). Oleh karena
72
itu kepada nya dibebani wajib bukti dengan pertimbangan bahwa pihak yang
mengatakan suatu keadaan yang tidak biasa, harus membuktikan hal atau keadaan
yang tidak biasa : tersebut.
b. Hal yang Negatif tidak Dibuktikan
Suatu hal atau keadaan disebut bersifat negatif apabila:
hal atau keadaan maupun peristiwa yang dikemukakan mengenai sesuatu
yang tidak dilakukan atau tidak diperbuat oleh yang bersangkutan;
dalam kasus yang seperti itu, tidak patut atau tidak layak (unappropriate)
memikul kan beban wajib bukti kepada seseorang yang tidak mengenal
atau tidak mengetahui maupun orang yang tidak melakukan atau tidak
menerima sesuatu untuk membuktikan nya.
Sehubungan dengan itu, dianggap tidak patut membebani wajib bukti
kepada tergugat mengenai negatif, karena tidak mungkin dapat membuktikan hal
yang tidak diketahui atau diperbuat nya. Sikap itulah yang ditegakkan penerapan
nya dalam putusan MA No.158/K/Sip/1954, yang menegaskan, bahwa dalam
perkara ini penggugat mendalilkan bahwa cap dagang yang telah didatarkan oleh
pihaklawan, telah tiga (3) tahun lamanya tidak dipakai (non usus). Dalam hal
tersebut dia harus membuktikan non usus tersebut. Selanjutnya ditegaskan, tidak
tepat(tidak patut) bila dalam hal ini bebanpembuktiandipikul kan kepada pihak
lawan untuk membuktikan keadaan non usus yang dimaksud.
Mengenai hal yang bersifat negatif banyak dijumpai dalam kasus
perkara.Misalnya dalil yang menyatakan pembeli belum membayar harga, tidak
menyerahkan barang, belum membagi waris. Dalam kasus yang seperti itu,
73
tidakadil atau tidak patut membebani wajib bukti kepada penggugat, karena dalam
hal ini dianggap pembeli atau tergugat lebih mudah membuktikan bahwa dia
telahmembayar barang daripada penjual dibebani membuktikan belummenerima
pembayaran. Begitu jugahal nya dalam warisan yang belum dibagi, jauh lebih
mudahbagi pihak tergugatmembuktikan tentang adanya pembagian warisan
daripadapenggugat diwajibkan untuk membuktikan belum pernah terjadi
pembagian.
Penerapan yang melarang pembebanan dipikul kan kepada pihak
lawanmengenai hal yang bersifat negatif pada dasarnya masih dalam kerangka
pedomanyang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR. Hanya ke
dalamnyaditambah asas kepatutan dengan jalan membebaskan pihak yang
mengajukan hal negatif dari beban wajib bukti.
c. Pembebanan Secara Proporsional
Dasar landasan penerapan itu masih bertitik tolak dariketentuan Pasal
1865KUH Perdata, Pasal 163 HIR, tetapi diperluas dengan asas kepatutan sesuai
dengan berat ringan nya beban pembuktian yang dihadapi para pihak. Sebagai
contohPutusan MA N0. 1057 K/Pdt/1984.Dijelaskan ditinjau dari tata tertib
hukumpembebanan pembuktian, masing-masing pihak dibebani wajib bukti unjuk
membuktikan dalil gugatan dan dalil bantahan (secara proporsional). Akan
tetapi,oleh karena pihak penggugat dianggap lebih layak dibebani wajib bukti
untukmembuktikan bahwa apa yang diberikan adalah pesangon, bukan hibah
sebagaimanayang didalilkan tergugat, dalam hal penggugat tidak dapat
membuktikan dalil gugatantersebut, cukup alasan membebaskan
74
tergugatmembuktikan dalil bantahan nya.Pihak tergugat baru akan tetap dibebani
wajib bukti membuktikan dalil bantahanapabila penggugat berhasil membuktikan
dalil gugatan nya.
Dalam putusan di atas, pada dasarnya tetap dipegang pedoman
ketentuanumum pembebanan wajib bukti berdasarkan pembagian sesuai dengan
dalil yangdikemukakan para pih7ak. Namun pedoman itu diproporsionalkan
sesuai dengan kepatutan dengan cara membebaskan tergugat dari wajib bukti
apabila penggugat gagal membuktikandalil nya. Penerapan beban pembuktian
berdasarkan pedomanini memunculkan beberapa variabel.
Kedua dalil yang diajukan para pihak saling memiliki bobot yang sama
Dalam kasus seperti itu, asas kepatutan atau kelayakan mengajarkan untuk
memikul kan beban pembuktian berdasarkan prinsip: diletakkan berdasar
keseimbangan, tetapi harus dengan asas proporsional yaitu:
penggugat wajib membuktikan dalil gugatan;
tergugat wajib membuktikan dalil bantahan.
Salah satu kasus yang dianggap berpedoman kepada landasan pembebanan
pembuktian yang seimbang sesuai dengan bobot dalil yang diajukan masing-
masingpihak adalah Putusan MA No.94K/Sip/1956. Penggugat mendalilkan
sebagai pemiliktanah berperkara dan keberadaan tergugat di atas ter
75
perkaraberdasar pinjam. Sebaliknya,tergugat mengajukan dalil bantahan bahwa
tanah ter perkara telah dibeli dari penggugat.
Menurut MA dalam kasus ini harus diletakkan beban wajib bukti:
penggugat wajib membuktikan dalil pinjam;
tergugat wajib membuktikan dalil pembelian.
Sebenarnya kalau putusan ini diperhatikan secara saksama, mungkin
mengandung kekeliruan penerapan beban pembuktian. Alasan nya, ditinjau dan
segi bobot terdapat perbedaan berat-ringan nya pembuktian. Oleh karena
itu,penerapan yang tepat ditegakkan berdasar asas proporsional sesuai dengan
berat-ringan nya pembuktian. Ditinjau dari segi ini secara realistik, dianggap jauh
Iebihmudah atau Iebih ringan membuktikan jual-beli tanah dari pada pinjam.
Alasan nya,pada umumnya jual-beli tanah selalu dituangkan dalam bentuk akta
(Notaris PPATatau di bawah tangan), sedang pinjam-meminjam sering tidak
dituangkan dalam bentuk akta.
Antara kedua dalil yang saling berhadapan, tidak sama bobot
beratpembuktian, beban pembuktian dipikul kan kepada yang Iebih
ringanbobot kesulitan nya.
Kemungkinan yang sering terjadi antara dalil gugatan yang diajukan
penggugat dengan dalil bantahan yang dikemukakan tergugat, tidak sama bobot
berat-ringan
pembuktian nya.
76
Kemungkinan pertama, bobot pembuktian dalil penggugat, jauh Iebih
beratdibanding dalil bantahan tergugat, berarti bobot pembuktian dalil
bantahanIebih ringan dari dalil gugatan.
Kemungkinan kedua, kebalikan dan yang pertama yaitu bobot pembuktian
dalil bantahan lebih berat dibanding pembuktian dalil gugatan.
Jadi, dalam praktik mungkin terjadi dalam konkret adanya saling
berhadapan dua dalil yang tidak seimbang bobot kesulitan pembuktian nya. Yang
satu lebih berat dan yang satu lagi lebih ringan. Dalam kasus yang seperti itu
menurut teori kepatutan berdasarkan pembebanan pembuktian yang proporsional,
wajib bukti dipikul kan kepada pihak yang lebih ringan bobot kesulitan
pembuktian nya. Sebagai contoh Putusan MANQ. 211 K/Pdt/1987. Pertimbangan
nya antara lain mengatakan dalam hal dalil gugatan dibantah dengan dalil
bantahan yang sama sifat dan bobotdalil nya. maka sistem pembuktian yang
diterapkan berdasarkan stelplicht (kewajiban pembuktian)
Pembebanan pembuktian dipikul kan kepada pihak yang lebih mudah
membuktikan dalilnya.
Dalam perkara ini, dalil gugat adalah hak waris atas tanah ter perkara,
sedang dalil bantahan tanah ter perkara telah dibeli dari pewaris.
Ditinjau dari kebiasaan, dalil tergugat lebih mudah membuktikan nya dari
dalil penggugat, karena pada umumnya jual-beli tanah dituangkan dalam
bentukakta (PPAT atau bawah tangan),
Ternyata tergugat tidak dapat membuktikan dalil nya tentang adanya jual-
beli dari pewaris (orang tua penggugat), dengan demikian penggugat
dianggap telah berhasil membuktikan dalil gugatan nya.
77
Kasus yang hampir mirip adalah Putusan MA No. 3322K/Pdt/1991.
Dalilbantahan yang diajukan tergugat dibarengi dengan pengakuan bahwa tanah
ter perkarasemula adalah hak milik penggugat, tetapi sudah dibeli secara sah dari
penggugat melalui kuasa penggugat. Dalam kasus ini menurut pertimbangan
peradilan kasasi maka:
Titik berat wajib bukti jatuh kepada tergugat untuk membuktikan
kebenaran jual-beli tanah ter perkara dari penggugat melalui kuasa
penggugat.
Ternyata surat kuasa tersebut mengandung cacat, yaitu:
1) Hanya fotokopi ada tanpa aslinya,
2) Tanpa dibubuhi tanggal, dan
3) Dibuat oleh orang yang buta huruf (penggugat dan tergugat buta
huruf) cap jempol yang tertera dalam surat kuasa tidak dilegalisir.
Berdasarkan fakta tersebut, peradilan kasasi menyimpulkan jual beli yang
timbul dari suatu kuasa yang tidak sah, adalah jual beli yang tidak sah dan batal
demi hukum. Dalam kedua kasus di atas, penerapan beban pembuktian dilakukan
melalui pendekatan flexible (flexible approach) dengan jalan menggantungkan
beban pembuktian pada dalil gugatan dan dalil bantahan (legal burden dependson
the circumstances), tetapi tidak kaku berpegang pada asas Pasal 1865
KUHPerdata, Pasal 163 HIR yang secara tegas berpedoman: siapa mengatakan
sesuatu,wajib membuktikan nya (he who asserts must prove). Akan tetapi,
penerapanini harus berdasarkan kenyataan objektif tentang adanya dalil yang tidak
sama bobot pembuktian nya.
78
Namun demikian, dalam praktik tidak selamanya mudah menilai secara
objektif apakah terdapat perbedaan bobot kesulitan pembuktian antara dalil
gugatan dengandalil bantahan. Ambil kasus Putusan MA No. 1 97 K/Sip/1956,
dalam perkara itunampaknya sulit menemukan adanya perbedaan bobot
pembuktian antara dalilgugatan dengan dalil bantahan. Akhirnya diletakkan beban
wajib bukti secaraproporsional berpedoman kepada ketentuan Pasal 1865 KUH
Perdata, Pasal 163HIR. Kasus nya mengenai sengketa jual-beli, penggugat
mendalilkan belummenerima seluruh barang yang dibeli sesuai dengan kontrak
sedangkan pihak penjual (tergugat) membantah, dan menyatakan sudah
menyerahkan seluruhnya. Menurutputusan ini, beban pembuktian mengacu
kepada:
pihak pembelidibebani wajib bukti untuk membuktikan adanya kontrak jual-
beli dan penyerahan barang belum sempurna;
pihak penjual, dibebani wajib bukti untuk membuktikan kebenaran
penyerahan seluruh barang yang diperjanjikan.
2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Fault Liability /
Liability Based On Fault)
Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini memiliki
pengertian bahwa seorang baru dimintakan pertanggungjawaban secara hukum
jika ada unsur kesalahan. Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan
kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab
membayar ganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya
itu.
79
Prinsip ini adalah yang berlaku umum seperti yang diatur dalam pasal 1365
KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Dapat dipahami, dalam prinsip
ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya
dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang
dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini
diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini
diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act)
sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang
masing-masing pengangkutan.
Beban pembuktian (onus of proof) ada pada pihak yang dirugikan bukan
pada pengangkut. Menurut konsep pertanggungjawaban ini bahwa apabila
penumpang ingin memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diderita, maka
penumpang wajib membuktikan kesalahan perusahaan, dengan demikian beban
pembuktian dalam konsep pertanggungjawaban ini adalah terletak pada pihak
penggugat.
.
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute / Strict Liability)
Menurut prinsip ini setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab
membayar setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan
pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan untuk membebaskan diri dari
tanggung jawab dengan alasan apapun (strict liability).
80
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability). Secara absolut dari
prinsip ini memiliki arti bahwa Pelaku usaha harus bertanggung jawab secara
langsung tanpa mensyaratkan unsur kesalahan tetapi pada kerugian yang
ditimbulkan (liability based on risk). Jadi harus ada unsur kesalahan, tetapi karena
untuk membuktikan terlalu sulit maka pelaku usaha langsung mengganti kerugian
(strict liability pada civil law system).