bab ii tinjauan pustaka + diet

Upload: maisyah-nelzima

Post on 28-Oct-2015

67 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

komplikasi demam tioid, kkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk

TRANSCRIPT

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiDemam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan disertai dengan bakteremia sekaligus multifikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. (buku ajar). Salmonella thypi ini ditransmisikan melalui ingesti makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh feses atau urin dari orang yang terinfeksi (faecal oral transmisible) dan biasanya terjadi di lingkungan yang padat dan sanitasi yang buruk. (nelson, recent trends in typhoid research , typhoid ulser causing life threatening)Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam enterik.(buku ajar) Demam enterik adalah penyakit sistemik yang mempunyai karakteristik demam dan nyeri perut yang disebabkan oleh Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi. Demam tifoid adalah demam enterik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi. ( principle and practice of infectious disease, recent trends in typhoid research, oski). Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B, dan paratyphi C. Secara patologik maupun klinis sama dengan demam tifoid namun biasanya gejala lebih ringan. (nelson, buku ajar)2.2 EtiologiKuman penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi. Kuman ini merupakan salah satu spesies genus Salmonella yang termasuk ke dalam keluarga Enterobacteriaceae. Salmonella adalah basil gram negatif, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, motil karena memiliki flagel, dan bersifat fakultatif anaerobik. Spesies tunggal dari S.enterica disubklasifikasikan ke dalam 7 sub group. Hampir semua serotipe yang patogen pada manusia diklasifikasikan ke dalam subgroup I. Salmonella dibagi menjadi serotipe-serotipe berdasarkan tiga tipe antigen permukaan yaitu antigen somatik (O) yang merupakan komponen karbohidrat dari lipopolisakarida, antigen flagelar (H) yang merupakan komponen protein yang berada dalam flagela dan antigen virulen (Vi) yang merupakan polisakarida. Antigen Vi dapat menghambat proses aglutinasi antigen O dan melindunngi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri.(nelson,buku ajar, oski, feigin,mandell) S. typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir).(nelson,buku ajar,oski) Manusia yang terinfeksi S typhi dapat mengeksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja. S typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Tetapi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada bahan sampah dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi atau pada temperatur 63oC. (buku ajar)Masa inkubasi S. Typhi biasanya 7 sampai 14 hari, namun berkisar antara 5 sampai 21 hari tergantung pada inokulum yang tertelan serta kekebalan tubuh orang tersebut. Setelah menelan organisme, bisa terjadi enterokolitis yang ditandai dengan diare yang berlangsung selama beberapa hari, gejala ini biasanya hilang sebelum timbulnya demam. Diare lebih sering terjadi pada daerah geografis tertentu, pasien dengan AIDS, dan pada anak di bawah usia 1 tahun. Sedangkan konstipasi terjadi pada 10% - 38% kasus. (mandell)2.3 Epidemiologi Demam typhoid merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia dengan perkiraan 12,5 juta kasus terjadi setiap tahun. (oski) Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh tifoid dan paratifoid diduga mendekati 20 juta penyakit dan menyebabkan kira-kira 600.000 kematian setiap tahun. (principles and practice of pediatric infectious disease) Demam tifoid merupakan endemik diberbagai negara berkembang, Pada masa sebelum ditemukannya antibiotik sekitar 15 % dari pasien typhoid meninggal dunia. Saat ini rata-rata angka kematian demam tifoid di negara berkembang sekitar kurang dari 1% dan 0,4% di Amerika Serikat (principle and practice of infectious disease). Di Indonesia 91% kasus demam tifoid terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun. (buku ajar)Studi baru-baru ini di asia menunjukan bahwa kejadian demam enterik tertinggi pada anak-anak kurang dari 5 tahun dan bahwa anak-anak mengalami tingkat yang sama dari demam, tanda-tanda, gejala, dan kebutuhan untuk perawatan di rumah sakit dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Hal ini kontras dengan temuan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa infeksi salmonella typhi menyebabkan penyakit ringan pada anak-anak. ( principle and practice of infectious disease, recent trends in typhoid research, oski essential pediatric)2.4 PatogenesisInfeksi Salmonella berawal dari masukmya kuman ke dalam saluran cerna bersama makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman (karier), biasanya keluar besama-sama dengan feses sehingga disebut melalui rute oro-fekal .1,buku ajar Transmisi oro-fekal juga dapat terjadi dari seorang ibu pembawa kuman kepada bayinya pada saat proses kelahiran. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya. (buku ajar)Dosis infeksius dari S. Typhi berkisar antara 103 sampai 106 organisme.3 Bakteri ini harus mampu bertahan dalam suasana asam di lambung untuk mencapai usus halus, pH lambung yang rendah merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang penting. Keadaan seperti aklorhidria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamine H2, inhibitor pompa proton atau antasid dalam jumlah besar akan meningkatkan derajat infeksi. Di usus halus tepatnya di ileum dan yeyunum, S. Typhi menembus sel-sel epitel, terutama sel M (Microfold cell yaitu sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch). Setelah kontak dengan sel M, agen infeksius ini akan ditangkap oleh antigen-presenting cells (APC) yang kemudian akan difagosit oleh makrofag. Beberapa bakteri dapat menghidar dari proses fagositosis ini, bakteri kemudian hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke folikel limfoid (Peyers patch) yang dibentuk terutama oleh sel mononuklear sebagai limfosit T, serta sel dendritik. Sel dendritik menyajikan antigen bakteri dan mengaktivasi limfosit T dan B. 3,7Setelah menempel pada Peyers patch, bakteri mulai melakukan perjalanan melalui saluran limfatik lokal, duktus toraksikus dan mencapai sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun. Dari darah bakteri-bakteri tersebut difagosit oleh sistem retikulo-endotelial, dimana bakteri tersebut dapat berkembang biak lebih lanjut. Tempat yang paling umum untuk infeksi sekunder adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekspresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.4,7Masa inkubasi membutuhkan waktu 7-14 hari dari awal tahap klinis penyakit. Pada anak, masa inkubasi mungkin bisa lebih pendek dan tampilan klinis mungkin tidak terlihat, ditambah respon imun alamiah dan adaptif yang belum berkembang dengan sempurna pada anak sehingga tidak memberikan perlindungan yang efektif terhadap kekambuhan dan infeksi ulang. Komplikasi yang mengancam nyawa 20% lebih tinggi pada kasus Multi Drug Resistance (MDR) pada anak-anak. 4,6Pertahanan utama penjamu terhadap Salmonella terjadi awalnya melalui neutrofil, diikuti oleh sel mononuklear. Sel-sel inflamasi menghasilkan sitokin-sitokin yaitu Tumor Nekrosis Faktor alpha (TNF-alpha), Interferon-gamma (INF-gamma), IL-1, IL-2, IL-6 dan IL-8. Sitokin-sitokin ini akan bertanggung jawab dalam menetralisasikan bakteri.3,7 Pada demam tifoid juga terjadi respon imun humoral maupun selular baik ditingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien yang sakit berat.Sistem imun alamiah mengenali endotoksin bakteri melalui reseptor yang dinamakan Toll-like receptor (Tlr).1 Terdapat 10 Tlr, tiga diantara yang memegang peranan penting dalam respon imun terhadap Salmonella adalah: Tlr2 yang mengenali lipoprotein bakteri, Tlr4 mengenali lipopolisakarida bakteri, dan Tlr5 mengenali flagellin.1,5 Tlr4 menstimulasi aktivasi protein regulator yaitu nuklear faktor-kappa B (NF-kB).5 NF-kB berfungsi dalam mengenali dan membebaskan gen penyandi molekul adhesi, TNF-alpha, dan sitokin Th1 lainnya (IFN-gamma, IL-2, dll).3 Variasi genetik dari Tlr4 pada manusia dapat mempengaruhi pengenalan lipopolisakarida yang dapat mengurangi pertahanan dari sistem imun tubuh terhadap infeksi Salmonella.6Terdapat gen virulensi pada Salmonella yang dikenal sebagai Pathogenicity Islands (PAIs). Sampai saat ini telah teridentifikasikan lima PAIs dalam spesies Salmonella. Dua diantaranya yaitu Salmonella Pathogenicity Island (SPI)-1 dan SPI-2 yang berfungsi mengkode type III secretion system (TTSS). TTSS adalah sebuah sistem sekresi protein khusus yang berfungsi untuk mentransfer protein dari sitoplasma bakteri ke dalam sitoplasma beberapa sel inang, seperti: sel-sel epitel intestinal, hepatosit, sel-sel endotel dan sel-sel inflamasi (neutrofil, monosit-makrofag, Limfosit T dan B dll). SPI-1 TTSS berperan dalam invasi bakteri ke sel-sel epitel, serta menginduksi apoptosis makrofag sedangkan SPI-2 diperlukan untuk kelangsungan hidup bakteri di dalam makrofag serta berperan dalam infeksi sistemik. SPI-1 dan SPI-2 diekspresikan dalam kondisi lingkungan yang berbeda, SPI-1 diinduksi setelah kontak awal dengan sel inang, sedangkan SPI-2 diinduksi di intraseluler. Dari data yang tersedia, baik infeksi pada manusia maupun hewan menunjukkan bahwa kemampuan Salmonella untuk bertahan hidup dan bereplikasi di dalam makrofag sangat penting dalam menginduksi penyakit sistemik. Pada orang dengan demam enterik dan kultur darah positif, sebagian besar organisme terkandung dalam fraksi mononuklear.1

2.5 Manifestasi KlinisSindrom klinis yang disebabkan oleh berbagai serotipe Salmonella diantaranya: keadaan karier kronis, gastroenteritis akut, bakteremia, demam enterik termasuk demam tifoid dan paratifoid, dan penyebaran dengan supurasi yang terlokalisasi, yang bermanifestasi sebagai infeksi intravaskular, abses, osteomyelitis, artritis, atau meningitis. Sindrom klinis ini dapat terjadi bersamaan (oski). Setiap serotip dapat menghasilkan berbagai pola klinis. Karier asimptomatik bisa lebih sering terjadi daripada gastroenteritis. Tiga bulan setelah infeksi, lebih dari 90% dari orang yang terinfeksi tidak lagi mengeluarkan organisme. Orang-orang yang mengeluarkan organisme selama lebih dari 1 tahun dipertimbangkan sebagai karier kronis (oski).Masa inkubasi demam tifoid pada anak antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid pada anak tidak khas dan sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan yang tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi manifestasi klinis dan beratnya penyakit adalah strain S typhi, jumlah mikroorganisme yang tertelan, status nutrisi, status imunologi serta lama sakit di rumah. (buku ajar) Perkembangan menjadi penyakit yang lebih berat (pada 10-15% dari pasien) tergantung dari faktor penjamu (imunosupresi, terapi antasi, paparan sebelumnya dan vaksinasi), virulensi strain dan inokulum dan pemilihan terapi antimikroba (principle and practice of infectious disease).Awalnya, terjadi demam yang tidak terlalu tinggi dan terus meningkat pada minggu kedua hingga 39C sampai 40C. Gejala non-spesifik seperti menggigil, diaforesis, sakit kepala frontal, anoreksia, batuk, lelah, sakit tenggorokan, pusing, dan nyeri otot, sering terjadi sebelum timbulnya demam. Gejala neuropsikiatri seperti apatis, psikosis, dan kebingungan terjadi pada 5%-10% kasus dan mungkin berhubungan dengan pelepasan sitokin dari makrofag yang terinfeksi S. Typhi. Kejang dan koma yang dilaporkan kurang dari 1% kasus, kejang pada anak bisa juga terjadi karena kejang demam.Bradikardia relatif bukanlah tanda spesifik demam tifoid, hanya terjadi kurang dari 50% pasien. Sekitar 30% pasien akan timbul rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung. Ini disebabkan oleh infiltrasi sel mononuklear kedalam perivaskular. Ruam bisa sangat redup, terutama pada individu yang berkulit gelap, timbul pada akhir minggu pertama dari onset penyakit dan biasanya menghilang setelah 2 sampai 5 hari. Beberapa pasien bisa berkembang menjadi limfadenopati servikal.Pada pemeriksaan abdomen sering terdapat nyeri pada palpasi dalam dan peningkatan peristaltik. Sekitar 20-50% dari pasien mengalami hepatosplenomegali. Sekitar 3% dari orang dewasa bisa terjadi cholecystitis necrotizing yang ditandai dengan nyeri kuadran kanan atas. Kasus pankreatitis jarang ditemukan. Gejala-gejala ini akan sembuh pada minggu ke empat tanpa terapi antibiotik. Akan tetapi kelemahan maupun penurunan berat badan dapat bertahan selama berbulan-bulan, dan 10% dari pasien akan kambuh. (principle and practice of infectious disease).2.6 DiagnosisUntuk menegakkan demam tifoid harus terdapat dua komponen yang terpenuhi, yaitu terdapat ditemukan sindrom klinis enteric fever dan ditemukan bukti kuat adanya infeksi S.Typhi, baik dari pemeriksaan kultur (baku emas) maupun dari pemeriksaan serologis. (pitfall dalam perawatan demam tifoid). WHO mendefinisikan penderita dengan sindrom klinis demam enterik namun laboratorium menunjukan hasil negatif disebut sebagai penderita demam tifoid klinis (clinical typhoid fever).Tidak jarang para klinisi mendiagnosis pasien sebagai demam tifoid namun setelah pemberian obat selama 1-2 hari keluhan panas sudah hilang. Tidak jarang pula didapatkan pasien yang didiagnosis demam tifoid setiap kali demam (2-3x dalam setahun), beberapa pasien yang dianggap bukan demam tifoid ternyata menunjukkan gejala tifoid dengan komplikasi. Hal ini terjadi akibat ketidaktepatan anamnesis, pemeriksaan fisik yang sulit, pemeriksaan penunjang yang tidak optimal dan kesalahan interpretasi pemeriksaan penunjang.Tabel 1. Sindroma Klinis Demam EnterikNeonatusDemam tifoid pada neonatus terjadi 3 hari setelah lahir. gejala yang sering timbul adalah muntah, diare dan distensi abdomen. Suhu tubuh bervariasi, tetapi dapat tinggi mencapai 40 C. Tanda lain adalah kejang, hepatomegali, ikterus, dan penurunan kesadaran.

Bayi dan anak usia < 5 tahunGejala yang timbul biasanya ringan, sehingga mempersulit penegakkan diagnosis. Demam ringan dan rasa lesu/lemah seringkali disalahartikan sebagai viral syndrome pada bayi dengan kultur S.Typhi yang positif. Gejala umum yang sering tampak adalah diare dan gejala infeksi saluran nafas bagian atas.

Anak usia sekolah dan remajaGejala timnbul secara mendadak. Gejala awal berupa panas badan remitten yang semakin lama semakin tinggi (membentuk gambaran seperti anak) pada minggu pertama, kemudian menetap selama minggu kedua dan menurun setelah minggu ketiga. Gejala lain yang timbul pada hari kedua dan ketiga adalah lesu/lemah, nafsu makan menurun, nyeri otot, sakit kepala dan nyeri perut yang semakin bertambah sejalan dengan beratnya perjalan penyakit. Selama minggu kedua, dapat timbul gangguan status mental berupa disorientasi, letargi,delirium dan stupor. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardi relatif. Gejala yang sering didapat adalah hepatosplenomegali dan distensi abdomen disertai tegang abdomen yang difus. Pada hari ketujuh hingga hari kesepuluh, pada sekitar 50% penderita ditemukan rose spot(ruam makulopapular) di daerah dada dan abdomen, biasanya diskret, eritematosus dengan diameter 1-5 mm, sedikit menonjol, hilang saat penekanan dan membentuk kelompok (10-15 lesi). Ruam ini meghilang setelah 2-3 hari dan meninggalkan warna kecoklatan pada kulit. Hasil dari kultur positif S.typhi pada lesi ini mencapai 60%. Bila tidak terjadi komplikasi, gejala tersebut diatas akan membaik dalam 2-4 minggu, tetapi rasa lesu/lemah dan letargi menetap selama 1-2 bulan.

Dengan KomplikasiManifestasi klinik tergantung komplikasinya.

Untuk pemeriksaan kultur, pada minggu pertama sampel yang diambil sebaiknya sampel darah. Pada minggu kedua dan ketiga sampel untuk pemeriksaan kultur sebaiknya dari feses. Setelah minggu ketiga, sebaiknya sampel menggunakan bahan dari cairan sumsum tulang. Pada pemeriksaan serologis, seharusnya dilakukan pada hari ke-5 atau lebih, dilakukan 2 kali dengan selang waktu 5-7 hari, kemudian dinilai peningkatan nilai serologisnya. Bila pemeriksaan ini dilakukan pada hari pertama sampai dengan hari ke-4 maka hasil negatif sangat mungkin terjadi. Pada uji Widal, apabila tidak terjadi peningkatan nilai serologis sebanyak 4 kali, maka dinyatakan sebagai hasil negatif. Pada pemeriksaan serologis ini juga dapat ditemukan faktor-faktor penyebab hasil pemeriksaan menjadi negatif palsu yang salah satunya disebabkan dari kesalahan dalam menentukan lamanya hari sakit sehingga penentuan kapan hari pertama sakit menjadi sangat penting.Hasil pemeriksaan kultur S.typhi yang negatif bukan berarti tidak terdapat S.typhi dalam tubuh penderita. Pemeriksaan ini dipengaruhi oleh keberuntungan terambilnya kuman saat pengambilan sampel, ketepatan menentukan tempat pengambilan sampel, transportasi dan pengolahan sampel dan pengaruh fisiko-kimiawi pada sampel (misalnya suhu, antibiotik). Pasien yang menunjukkan sindroma klinis enteric fever namun bukti infeksi hanya didapatkan infeksi salmonella paratifi, dinamakan gejala demam tifoid. Umumnya sindrom klinis demam paratifoid lebih ringan daripada demam tifoid sehingga disebut juga mild enteric fever atau demam enterik ringan. Pasien yang menunjukkan hasil serologis positif infeksi Salmonella typhi tetapi tidak menunjukkan sindrom klinis enteric fever didiagnosis sebagai demam tifoid. Uji Widal positif tidak boleh ditentukan hanya dengan satu kali pemeriksaan apalagi dengan nilai serologis yang rendah 1/80-1/160. Diperlukan pemeriksaan berkala,. Hasil positif bila dalam dua kali pemeriksaan berturut-turut yang dilakukan berselang minimal 5-7 hari menunjukkan peningkatan nilai serologis sebesar 4 kali.

Diagnosis definitif dari demam tifoid adalah dengan mengisolasi Salmonella Typhi atau Salmonella Paratyphi dari darah, sumsum tulang, rose spot, feses atau sekret intestinal. Sensitifitas dari kultur darah hanya sekitar 40- 80%, mungkin disebabkan penggunaan antimikroba yang tinggi dan kuantitas yang kecil dari salmonella typhi (< 15 organ-isms/mL) biasanya ditemukan pada darah pasien dengan demam tifoid (principle and practice of infectious disease). Pemeriksaan sumsum tulang direkomendasikan secara rutin, namun sensitivitasnya bervariasi 55 %- 90 %. Koloni lebih banyak ditemukan di sumsum tulang dibanding didalam darah, tidak seperti kultur darah, tidak akan berkurang walaupun sudah 5 hari terapi antimikrobial (principle and practice of infectious disease).Duodenal string tes adalah teknik berguna non-invasive untuk mengambil sekret duodenal, dengan sensitifitas sampai 58%. Anak-anak mempunyai insidensi yang tinggi untuk hasil biakan feses positif dibandingkan dengan orang dewasa (60% vs 27%), dan biakan feses mungkin akan menjadi positif selama minggu ketiga pada pasien yang tidak diobati. Meskipun demikian pendekatan diagnosis yang optimal pada anak maupun dewasa adalah kultur darah, sumsum tulang, dan sekresi intestinal (gastric atau feses). Dengan pendekatan ini, diagnosis mungkin bisa ditegakkan lebih dari 90% pasien (principle and practice of infectious disease).Tes widal merupakan tes yang tidak sensitif (47% -77%) dan tidak spesifik (50%-92%). Tes ini dapat menyebabkan overdiagnosis demam tifoid terutama pada daerah endemis. Tes ini lebih baik digunakan untuk evaluasi pada pasien yang sedang mendapatkan perawat di rumah sakit. Meskipun begitu, di negara dimana sumber daya terbatas, tes yang cepat dan sederhana untuk deteksi anti-S.Typhi yaitu antibodi terhadap lipopolisakarida atau membran protein bagian terluar dapat menggantikan the less accurate widal tes. DNA probe dan PCR sudah dikembangkan untuk mendeteksi S. Typhi dan S.Paratyphi di darah, lebih cepat dan sensitif dibandingkan kultur standar namun belum secara komersial ada dan dipergunakan di berbagai area dimana demam tifoid merupakan endemik (principle and practice of infectious disease).Temuan abnormalitas yang berkaitan dengan demam tifoid tidak spesifik, biasanya ditemukan leukopenia, anemia, dan diseminata koagulopati intravaskular, dan peningkatan kreatinin kinase dan fungsi liver (seperti, aspartat transaminase dan alanin transaminase) (principle and practice of infectious disease). Biopsi hepar menunjukan hiperplasia fokal sel kupffer, dan infiltrasi sel mononuklear di bagian porta (principle and practice of infectious disease). Tabel 1. Daftar pemeriksaan untuk identifikasi salmonella (recent trends in typhoid research).TesRujukan

WidalWidal,1896

TyphidotDutta et al.,2006

Tubex testsDutta et al.,2006

Latex agglutination tesAbdoel et al., 2007

Dipstick assayPastoor et al.,2008

Immunochromatographic lateral flow assayPastoor et al.,2008

Real time PCRZhou and Pollard, 2010

Dot enzyme immunoassayJackson et al.,1995

2.7 Faktor Resiko Beberapa faktor resiko yang dapat menimbulkan komplikasi pada demam tifoid yaitu, meningkatnya virulensi dari bakteri, kerentanan penjamu akibat malnutrisi dan imunitas yang rendah serta meningkatnya resistensi dari penggunaan antibiotik seperti kloramphenikol dan oprofloksasin. (typhoid intestinal perforation in children).Peningkatan insidensi dari komplikasi demam tifoid ini berkaitan dengan keterlambatan menggunakan antibiotik yang efektif, tingginya virulensi dari bakteri sebagai konsekuensi akibat Multi Drugs Resistence (MDR), banyaknya jumlah bakteri di jaringan terkait resistensi, dan tingginya jumlah bakteri dalam sirkulasi.(MDR) Multi Drug ResistenceMulti drug resisten pada demam tifoid adalah demam tifoid yang pengobatannya resisten terhadap tiga jenis antibiotik lini pertama yaitu kloramphenikol, ampicilin dan cotrimoksazol yang merupakan obat rekomendasi untuk tatalaksana.(MDR) Multidrug-resistant Salmonella ser Typhi (MDRST) telah membuat pergeseran penggunaan antibotik empiris dari kloramphenikol, TMP-SMX atau ampicilin menjadi fluoroquinolon pada dewasa dan sephalosporin generasi tiga seperti ceftriaxon, azitromycin atau fluroquinolon pada anak-anak.( textbook of pediatric infectious disease).Terdapat dua mekanisme dari perkembangan resitensi obat untuk Salmonella Typhi. yang pertama adalah mekanisme mediasi plasmid; yang kedua adalah mekanisme mediasi kromosom DNA. Plasmid adalah DNA ekstrakromosomal yang dapat bereplikasi secara autonom dan dapat membawa serta mentransfer gen multipel resistensi diantara bakteri. (MDR)MDRST biasanya terjadi di sekitaran india, asia tenggara dan africa dimana meningkatnya jenis yang resistan terhadap ciprofloksasin. Beberapa data terbaru memperlihatkan bahwa Salmonell ser Typhi masih sensitif terhadap ceftriaxon dan ciprofloksasin, walaupun resistan-asam nalidixic dapat diisolasi lebih sering pada individual yang melakukan perjalanan ke bagian India. Beberapa strain menunjukan respon yang buruk terhadap fluoroquinolon dan membutuhkan terapi khusus. Pasien yang memiliki riwayat berpergian kedaerah yang terdapat MDRST atau kontak dengan individu yang baru kembali dari daerah MDRST pemilihan antibiotik secara empirik dilakukan dengan lebih teliti. sefalosporin generasi tiga sangat efektif melawan S. ser Typhi yang resisten terhadap ampicilin, kloramphenikol dan TMX dan merupakan pendekatan untuk anak-anak yang diduga atau terbukti MDRST.( textbook of pediatric infectious disease).Tidak ada patognomonis gambaran klinis yang dapat membedakan demam tifoid tanpa multi drug resistensi atau dengan multi drug resitensi. Namun demam yang lebih dari 40C, toxemia, hepatomegali, splenomegali, ketegangan abdomen yang difus, dan distensi abdomen merupakan gejala yang sering tampak pada kasus-kasus dengan MDRTF. (MDR)Infeksi MDRTF harus dicurigai pada berbagai keadaan seperti gagal respon (tidak ada perkembangan perbaikan keadaan klinis, kehilangan nafsu makan, tidak ada perbaikan dari demam, atau tidak ada pengurangan dari gejala toksik) setelah lima sampai tujuh hari setelah terapi penggunaan antibiotik lini pertama (kloramphenikol atau ampicilin atau trimetroprim/sulfametoksazol) untuk demam tifoid, demam tifoid berat dengan syok atau berpotensi mengancam kehidupan seperti perdarahan intestinal, perforasi usus, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau miokarditis, klinis yang memburuk atau perkembangan dari komplikasi selama penggunaan antibiotik konvensional, dan terdapat kontak dengan pasien atau berpergian ke daerah endemik MDRTF. (MDR) Baku emas dalam mendiagnosa MDRTF adalah kultur isolasi dari organisme. Kultur darah adalah metode diagnosis primer untuk MDRTF. (MDR)Terdapat bukti yang kuat yang menunjukan bahwa fluoroquinolon adalah obat paling efektif dalam pengobatan demam tifoid. Obat ini terbukti aman untuk semua umur, efektif secara cepat, dan dihubungkan dengan tingkat yang rendah dalam penularan melalui feses dibandingkan dengan obat lini pertama yang tradisisonal.Terdapat beberapa isu penting terkait penggunaan fluoroquinolon : 1) Berpotensial menimbulkan efek toksik pada anak, 2) harga, 3) berpotensial menimbulkan resistensi.( textbook of pediatric infectious disease)2.8 Komplikasi Dengan adanya bakteremia Salmonella, perhatian utama adalah perkembangan infeksi fokal. Infeksi fokal terjadi pada sekitar 10% pasien dengan bakteremia Salmonella. Komplikasi biasanya mulai timbul pada pasien yang sudah sakit selama kurang lebih dua minggu. Osteomyelitis dan meningitis adalah infeksi fokal yang paling sering terjadi, diikuti dengan pyelonefritis, endokarditis, infeksi vaskular, pneumonia, septik artritis, dan artritis reaktif, dan abses pada organ lain (oski, typhoid ulcer causing life threatening).Perdarahan gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%) paling sering terjadi pada minggu ketiga dan keempat yang terjadi akibat hiperplasia, ulserasi, dan nekrosis dari plak peyeri ileocaecal di tempat inisial infiltrasi Salmonella. Kedua jenis komplikasi ini akan mengancam jiwa sehingga membutuhkan resusitasi cairan yang adekuat dan intervensi bedah dengan antibiotika spektrum luas. Intervensi pembedahan termasuk reseksi, anastomosis primer, dan pemotongan ulkus (principle and practice of infectious disease).Komplikasi neurologi terjadi sebanyak 2-40% pasien, termasuk meningitis, sindroma Guillan-Barre,neuritis, dan gejala neuropsikiatrik, seperti menggunakan baju yang buruk dan imaginasi objek, dideskripsikan sebagai delirium atau koma vigil (principle and practice of infectious disease).Komplikasi yang jarang insidensinya menurun melalui penggunaan antibiotika yang tepat termasuk disseminata koagulasi intravaskular, sindrom hematophagositik sindrom, pankreatitis, hepatik dan abses limpa dan granuloma, endokarditis, perikardittis dan miokarditis, orchitis, hepatitis, glomerulonephritis, pyelonephritis dan uremik hemolitik sindrom, pneumonia berat, artritis, osteomielitis, dan parotitis (principle and practice of infectious disease).2.8.1 Komplikasi intraintestinalPerforasi UsusPerforasi usus sebagai komplikasi demam tifoid adalah yang paling banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas baik pada anak maupun dewasa. Perforasi usus adalah komplikasi yang paling serius dan terjadi sekitar 1-3% dari pasien yang dirawat ( typhoid intestinal perforation in children, typhoid ulcer). Perforasi terbanyak terjadi di ileum, namun ada beberapa kasus yang terjadi di caecum, ileocaecal, dan multiple perforasi. (typhoid intestinal perforation in children). Infeksi Salmonella menyebabkan hiperplasia Peyeri Patch dengan nekrosis dsn pengelupasan epitel yang kemudian akan menimbulkan ulkus. (nelson) Lesi radang kadang-kadang dapat menembus tunika muskularis dan serosa usus (nelson)Durasi dari timbulnya penyakit menjadi perforasi berkisar 5-22 hari. Nyeri abdomen yang persisten dengan onset yang tiba-tiba dengan distensi abdomen (typhoid intestinal perforation in children). Kebanyakan pasien merasa sangat sakit saat terjadi perforasi usus, sehingga membutuhkan koreksi cairan dan elektrolit hingga transfusi darah. Nyeri abdomen yang persisten secara tiba-tiba disertai dengan distensi abdomen merupakan gambaran klinis dari perforasi usus (typhoid intestinal perforation in children). Gejala klinis perforasi tifoid pada anak ( typhoid intestinal perforation in children).Gejala klinisPersentase

Tanda

Nyeri abdomen100

Nafsu makan berkurang100

Distensi abdomen97,8

Demam96,2

Nyeri kepala83,7

Diare54,9

Muntah34,9

Konstipasi34,8

Penurunan berat badan sebelum operasi22,8

Signs

Ketegangan abdomen difus100

Abdominal guarding100

Kekakuan abdomen100

Pireksia97,3

Pucat93,5

Ikterik 9,8

Virulensi strain dari salmonella typhoid, imunitas yang rendah serta hipersensitifitas dari Peyers Patches akan meningkatkan resiko nekrosis dan perforasi. Perforasi tifoid seperti akut abdomen yang lainnya membutuhkan laparotomi eksplorasi. Anak-anak yang tanpa perforasi mungkin memiliki gejala yang menyerupai perforasi meskipun sebenarnya tidak ada perforasi. Pada beberapa kasus, foto polos abdomen mungkin akan sangat berguna untuk mengkonfirmasi adanya perforasi dengan ditemukannya gambaran udara bebas di rongga abdomen. (intestinal perforation in children).Banyak dari pasien yang mengalami anemia dan hipokalemi, yang akan menjadi nyata setelah resusitasi yang adekuat. Anemia yang tersembunyi dan hipokalemi, bersamaan dengan dehidrasi adalah penyebab dalam kematian dan angka morbiditas dalam managemen tifoid perforasi. ( typhoid intestinal perforation in children).Perdarahan ususPerdarahan usus adalah komplikasi yang paling banyak terjadi dan terjadi sampai kurang lebih 10 % pada pasien. Komplikasi ini disebabkan karena erosi dari plak peyers yang nekrosis yang mengenai dinding pembuluh darah usus. Kebanyakan kasus, perdarahan yang ditimbulkan adalah sebuah kelalaian dan dapat diatasi yang tanpa perlu tranfusi darah. Namun dalam 2 % kasus, perdarahan dapat sangat banyak dan dapat berakibat fatal jika mengenai pembuluh darah besar. (typhoid ulcer)Perdarahan intestinal yang terjadi pada demam tifoid biasanya terjadi pada ulkus di ileum dan kolon proksimal dan manifestasi kolonoskopik yang paling sering adalah gambaran multiple variabel sized punched-out ulsceration. bentuk dari ulkus biasanya berbentuk ovoid dengan diameter pararel ke sepanjang axis dari saluran cerna. bagian tepi tampak halus, membengkak dan ireguler, namun tidak merusak. Didekat katup ileocaecal,dimana perforasi sering terjadi, ulkus tampak lebih dalam dibanding manapun. (typhoid ulser) Ulserasi sering terjadi pada ileum terminal, caecum dan kolon dan jarang terjadi di bagian kiri dari kolon.Tatalaksana dari perdarahan intestinal dalam demam tifoid adalah terapi suportif, transfusi darah dan penggunaan antibiotik. Pada perdarahan masif dan rekuren, dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi dari segmen usus (typhoid ulser). Managemen operatif dari komplikasi pada usus akibat demam tifoid memiliki keterkaitan yang tinggi dengan angka mortalitas. 2.8.2 Komplikasi ExtraintestinalSistem hepatobilierInsidensi komplikasi pada sistem hepatobilier sangat amat jarang. Bentukan klinis dari komplikasi demam tifoid ke sistem hepatobilier dapat berupa hepatomegali, cholesistitis, dan abses hepatik. Keadaan komplikasi ini dapat menyebabkan ruptur dengan peritonitis sekunder, abses subphrenik dan spontaneus bacterial peritonitis. Angka mortalitas berkisar 10 % dan untuk mendiagnosis komplikasi ini berupa ultrasonografi dan aspirasi. Jika sudah terjadi komplikasi ini terapi yang dapat diberikan berupa drainase abses ditambah parenteral antimikroba seperti flurokuinolon, ampicilin, TMP-SMX atau sefalosporin generasi tiga selama kurang lebih 2 minggu.(MDR & principles and practice of infectious disease) Cholesistitis adalah komplikasi yang amat sangat jarang, dan mungkin terkait dari multi drug resisten danvirulensi dari infeksi Salmonella. Patogenesa terjadinya kolesistitis belum sepenuhnya diketahui. Namun beberapa faktor seperti iskemia, infeksi dan perubahan kantung empedu ikut terkait.Komplikasi ini dapat terjadi beberapa minggu setelah diare, dan didiagnosa berdasarkan manifestasi klinis, gambaran ultrasonografi sebagai diagnosis definitif dan menemukan kuman di feses dan empedu. Salmonella typhi seperti patogen intestinal yang lainnya, tidak hanya mencapai kantung empedu melalui aliran darah, namun juga dapat secara langsung melalui usus halus. Prognosis yang paling buruk adalah gangrene pada kantung empedu dan perforasi. Cholesistektomi tidak selalu dibutuhkan dan pada pasien yang yang ditatalaksana dengan antibiotik spektrum luas dapat memberikan prognosis yang bagus. Cholesistektomi disarankan pada kasus pada pasien yang memiliki nyeri abdomen yang persisten dan tidak berkurang dengan mediakasi dan untuk mencegah perforasi. (acute acalculous cholecystitis in enteric fever)Sistem sarafKomplikasi neurologi pada kasus demam tifoid merupakan kasus yang jarang terjadi. Terbukti dari data insidensi hanya ditemukan sekitar 0.1% - 0,9 %. Namun demikian tingkat mortalitasnya cukup tinggi hingga 60%.(3) Komplikasi neurologi yang umum terjadi pada demam tifoid adalah ensefalopati, namun demikian kelainan neurologi lainnya seperti meningitis, kakatonia, parkinsonism, hipertensi intrakranial ringan, kelumpuhan saraf kranialis, ataxia serebral dan sindroma Guillain-Barre dapat terjadi walaupun sangat jarang.(1) Perdarahan intrakranial pun pernah dilaporkan sebagai komplikasi dari demam tifoid.(4)Sampai tahun 2002, hanya terdapat 80 kasus meningitis Salmonella yang telah dilaporkan diliteratur. 83% dari seluruh pasien berumur kurang dari 2 tahun dan 50% nya berumur kurang dari 2 bulan. Perjalanan penyakit dan prognosis meningitis Salmonella berbeda dari penyebab meningitis lainnya dan bervariasi antar pasien. Komplikasi neurologik akut dari meningitis Salmonella adalah ventrikulitis, subdural empyema, hidrosefalus and kelainan neurologik kronik pada 43% kasus dan kambuh pada 64% kasus. Keterlibatan sistem saraf pusat pada infeksi tifoid belum sepenuhnya diketahui.(1,2) Kecurigaan ditujukan pada endotoksin yang mempengaruhi beberapa bagian pada sistem saraf pusat.(1) Endotoksin tifoid diyakini memiliki afinitas terhadap struktur basal kranium yang memunculkan gambaran encephalitis dengan karakteristik berupa gejala gangguan kortikal dan gangguan batang otak.(2) Perubahan patologi lainnya yang dicurigai sebagai penyebab kelainan neurologis adalah diselubunginya pembuluh pembuluh darah kecil oleh sel limfosit disertai proses demyelinisasi sel sel mikroglial disekitarnya.(2) Selain itu hiperpireksia pada demam tifoid dan gangguan keseimbangan natrium juga memiliki peran penting dalam proses terjadinya ensefalopati pada demam tifoid.(2)Selain mekanisme yang telah dijelaskan diatas, trombositopenia dan kelainan koagulasi seperti hipofibrinogenemia, pemanjangan waktu protrombin, waktu parsial tromboplastin dilaporkan sering terjadi pada kasus demam tifoid dan biasanya membaik dengan sendirinya. Beberapa penulis menyebutkan bahwa trombositopeni pada kasus demam tifoid menjadi penanda beratnya penyakit.Salmonela dilaporkan dapat menstimulasi fagositosis dari neutrofil, sel darah merah, dan trombosit oleh histiosit dalamsumsum tulang yang mengakibatkan terjadinya pansitopenia. Endotoksin Salmonella juga memiliki keterlibatan dalam proses terjadinya keadaan trombositopenia pada demam tifoid. Inilah yang dicurugai menjadi dasar terjadinya perdarahan intrakranial pada demam tifoid,meskipun hal ini sangat jarang terjadi.(4) Sistem respirasiKomplikasi ekstraintestinal dari infeksi salmonella tifoid terutama efusi pleura ataupun empyema sangat jarang terjadi. Meskipun telah banyak kasus dilaporkan mengenai komplikasi sistem respiratori dari infeksi kuman salmonella,namun hanya sedikit sekali kasus yang diakibatkan oleh salmonella typhi. Komplikasi berat pada sistem respiratori seperti efusi pleura cenderung terjadi pada pasien dengan usia lanjut atau pasien anak dengan penyakit penyerta yang berat. (Pleural empyema due to salmonella typhi ) Namun demikian komplikasi respiratori akibat salmonella typhi pada anak usia sangat muda dapat terjadi tanpa harus disertai oleh penyakit penyerta ataupu keadaan imunodefisiensi. (Pleural empyema due to salmonella typhi,A case of Empyema Thoracic)Seperti yang telah dijelaskan di atas, komplikasi pada sistem respiratori seperti efusi pleura ataupun empyema cenderung terjadi pada keadaan imunodefisiensi ataupun adanya penyakit penyerta yang dapat mengakibatkan penurunan sistem imun. Keadaan ini yang mendukung terjadinya empyema yang diakibatkan oleh bakteremia.( Pleural empyema due to salmonella typhi) Namun demikian pada kasus dimana penderita dalam keadaan imunokopeten dan tanpa penyakit penyerta, penyebab komlikasi system respiratori ini tetap dicurigai terjadi secara hematogen dan transdiafragmatik dari fokus infeksi di abdomen ke pleura. (A case of Empyema Thoracic)Diagnosa empyema pada infeksi salmonella typhi ditegakkan melalui kultur specimen seperti darah dan cairan pleura. Pleural empyema cenderung membutuhkan terapi bedah untuk drainase pleura yang terinfeksi drainase dan pemberian antibiotik. .( Pleural empyema due to salmonella typhi) Terapi yang diberikan pada komplikasi ini yaitu parenteral atau peroral antimikroba seperti flurokuinolon, ampicilin, TMP-SMX atau sefalosporin generasi tiga selama lebih dari dua minggu.(MDR & principles and practice of infectious disease)

Sistem kardiovaskularEndokarditis, baik yang valvular dan nonvalvular adalah salah satu komplikasi akibat demam tifoid yang mana kejadiannya sekitar 0,2-0,4%, dimana tipe valvular lebih banyak terjadi.(cardiovascular complication of slmnlla). Penggantian katup ditambah sefalosporin generasi tiga selama enam minggu secara parenteral atau ampicilin parenteral dilanjutkan dengan fluoroquinolon secara oral dapat diberikan sebagai terapi .(MDR & principles and practice of infectious disease)Selain endokarditis, miokarditis dan kegagalan sirkulasi perifer juga merupakan komplikasi sistem kardiovaskular. mortalitasnya berkisar 70% dapat didiagnosis dengan kultur darah dan echocardiografi. Berdasarkan salah satu studi yang dilakukan Monahan dan kawan kawan pada 100 pasien yang secara pemeriksaan bakteriologi dan tes serologi menderita demam tifoid ditemukan tujuh kasus mengalami bukti klinis miokarditis. Kerusakan miokard yang diperantarai oleh sistem imun atau invasi bakteri di miokard dan pengaruh toksin merupakan mekanisme yang saat ini mengemuka sebagai patofisiologi terjadi miokarditis pada demam tifoid yang berujung pada meningkatnya mioglobulin dalam sirkulasi. Terapi cairan yang seimbang dan natrium bikarbonat serta pemberian antibiotik dibutuhkan untuk menjaga urin tetap dalam keadaan basa guna mencegah disosiasi mioglobulin yang bersifat nefrotoksik. ( salmonela myocarditis in young adult patient)Diagnosis infeksi Salmonella pada endovaskular secara umum dikonfirmasi dengan ditemukannya organisme pada jaringan cardiovaskular yang terinfeksi. .(cardiovascular complication of slmnlla)Sistem hematologiSalmonela dilaporkan dapat menstimulasi fagositosis dari neutrofil, sel darah merah, dan trombosit oleh histiosit dalam sumsum tulang yang mengakibatkan terjadinya pansitopenia. Pansitopenia, bisitopenia dan unisitopenia telah dikenal sebagai manifestasi hematologis dari demam tifoid. Oleh sebab itu,pasien tifoid bisa durujuk ke ahli hematologi untuk dilakukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang. Temuan pemeriksaan sumsum tulang -memberikan gambaran aplasia sumsum tulang namun bersifat sementara. Trombositopenia dan kelainan koagulasi seperti hipofibrinogenemia, pemanjangan waktu protrombin, waktu parsial tromboplastin dilaporkan sering terjadi pada kasus demam tifoid dan biasanya membaik dengan sendirinya. Beberapa penulis menyebutkan bahwa trombositopeni pada kasus demam tifoid menjadi penanda beratnya penyakit. Sistem Urinarius Keterlibatan sistem urinarius pada komplikasi demam tifoid sekitar 0,6%. Gambarannya berupa dapat berupa sistitis, pyeolonefritis, abses renal, glomerulonefritis sampai gagal ginjal akut. Selain itu dapat juga menyebabkan hipernatremi dan hipokalemi akibat gangguan fungsi ginjal. Kultur urin dilakukan untuk menegakkan diagnosis meskipun sangat jarang ditemukan kuman S. typhi pada urin, bahkan pada daerah endemik sekalipun. Kuman dapat diisolasi dari urin pada demam tifoid yang baru saja terjadi. (tifoid with renal failure)Patogenesis dari glomerulonefritis pada demam tifoid belum sepenunhya dipahami, tetapi ada tiga mekanisme penting yang dikemukakan yaitu , nefropati yang diinduksi toksin, glomerulonefritis akibat kompleks imun, dan invasi langsung dari bakteri Salmonella. Biopsi ginjal pada pasien menunjukkan glomerulonefritis proliferatif difus dan ditemukannya deposit imunoglobulin M, C3, dan Vi antigen pada basal membran.(tifoid rhabdo with acute renal failure) Untuk membedakan glomeruloneftitis post Streptokokus yang banyak terdapat pada anak dengan glomerulonefritis akibat S. typhi adalah ditemukan keadaan hipokomplemenamia yang jarang ditemukan pada glomerulonefritis akibat S. typhi. (tifoid fever masquerading)Penyebab terbanyak gagal ginjal akut pada pasien demam tifoid adalah dehidrasi, syok, dan rabdomiolisis. Penyebab lainnya yang jarang adalah glomerulonefritis, nekrosis tubular akut dan nefritis interstisial. Endotoksin dari Salmonella mengaktifasi sistem renin angiotensin dan pelepasan dari sitokin sitokin proinflamasi, yang menyebabkan menurunnya perfusi renal yang berujung pada gagal ginjal. (tifoid rhabdo with acute renal failure) Tatalaksananya dapat berupa pengangkatan struktur yang abnormal ditambah pemberian parenteral anti mikroba seperti flurokuinolon, ampicilin, TMP-SMX atau sefalosporin generasi tiga selama 1 sampai 2 minggu ditambah fluorokuinolon dan TMP-SMX secara oral kurang lebih selama enam minggu. Mortalitasnya berkisar 20 %.(MDR & principles and practice of infectious disease) LienKomplikasi tifoid pada limpa merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Komplikasi pada limpa dapat berupa splenomegali ataupun absen pada limpa.(MDR ,priciples and practice of infectious disease, a splenic abses). Splenomegali merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Faktor resiko yang memudahkan terjadinya komplikasi ini berupa anemia sel sabit, kista limpa, dan hematoma limpa. Diagnosis komplikasi ini dapat berupa ultrasonografi dan aspirasi. Mortalitasnya < 10% dan terapi yang diberikan berupa pemberian parenteral anti mikroba seperti flurokuinolon, ampicilin, TMP-SMX atau sefalosporin generasi tiga selama kurang lebih 2 minggu ditambah drainase percutaneus atau splenektomi. (MDR & principles and practice of infectious disease) Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah abses limpa, insidensinya berkisar 0,29-2%. Insidensi yang rendah dari abses limpa ini terkait dengan aktivitas fagositosik dari retikuloendotelial dan leukosit. Pada abses yang disebabkan oleh Salmonella berkaitan dengan anemia sel sabit, pemakaian obat intravena, daya imun yang lemah, subacut bacterial endocarditis, trauma, diabetes melitus infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, dan imunodefisiensi (a splenic abses). Abses yang soliter lebih sering dibanding yang multiple. namun beberapa tahun terakhir gambaran yang multiple lebih sering dibanding yang soliter. Multiple abses lebih sering pada pasien yang imunodefisiensi dan biasanya mempunyai prognosis yang buruk. (multiple splenic abses). Demam, panas dingin, anoreksia, dan kekakuan pada kuadran kiri atas adalah gambaran klinis pada kebanyakan anak-anak dengan abses limfa yang terisolasi. Splenomegali terjadi hanya pada setengah pasien (67%) dan efusi pleura kiri sekitar 22%. Pengecilan limpa terjadi pada awal terjadinya penyakit dan mulai tampak pada awal minggu kedua. Parameter laboratoris menunjukan gambaran yang tidak spesifik seperti leukositosis dan trombositosis. Kultur darah dilaporkan positif dalam 48% kasus, meskipun kultur aspirasi abses menujukan variasi positif berkisar 14-73%. Hasil kultur aspirasi yang negatif dapat disebabkan penggunaan antibiotik sebelumnya. (a splenic abses). Ultrasonografi dari abdomen lebih sering dibutuhkan untuk menunjukan lesi sebelum contras enhanced computerised tomography scan (CECT) dibutuhkan untuk menunjukan abses yang kecil. Pada anak pendekatan konservatif seperti antibiotik intravena dan aspirasi perkutaneus dibutuhkan dalam managemen untuk melindungi limpa. Splenektomi mungkin dibutuhkan untuk yang tidak respon terhadap managemen konservatif. Penggunaan antibiotik saja digunakan pada abses yang ukurannya kurang dari 4 cm dan bila lebih besar dari 4 cm ditambah dengan drainase abses. Terapi antibiotik saja tanpa aspirasi pada anak-anak menujukan hasil hasil yang efektif dalam managemen abses yang soliter maupun multiple abses terkait demam tifoid. Tatalaksana harus segera dimulai sejak diagnosis ditegakkan, dan akan fatal bila terlambat ditatalaksana. (multiple splenic abses). Sistem MuskuloskeletalKomplikasi pada tulang terjadi sangat jarang, insidensinya < 1%. Faktor resiko terjadinya komplikasi ini adalah anemia sel sabit, laki-laki, penyakit jaringan ikat, dan keadaan imunosupresan. Osteomielitis adalah salah satu bentuk dari komplikasi demam tifoid yang tempat predileksinya di femur, tibia, dan vertebra lumbalis. Rontgen tulang dapat dilakukan untuk mendiagnosa penyakit ini. Mortalitas akibat komplikasi ini sangat rendah. Tatalaksana untuk komplikasi ini berupa parenteral sefalosporin generasi tiga dan pareneteral ampicilin selama 4 minggu, dilanjutkan fluoroquinolon secara per oral serta pembedahan untuk sequestra. (principle and practice of infectious disease). Infeksi Salmonella dapat juga menyebabkan rabdomiolisis. Mioglobin yang dilepaskan akibat lisis otot skeletal tersebut akan beredar di dalam darah dan kemudian akan odifiltrasi oleh ginjal. Substansi mioglobin ini bersifat toksik bagi ginjal dan dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Peningkatan kadar kreatin fosfokinase di serum dan terdapatnya mioglobin di urin merupakan pertanda bahwa telah terjadi rabdomiolisis yang disertai dengan kerusakan ginjal. Mekanisme terjadinya rabdomiolisis akibat infeksi Salmonella belum sepenuhnya dipahami, tetapi hipotesis yang dikemukakan sampai saat ini adalah: terjadinya hipoksia jaringan karena sepsis, pelepasan toksin, invasi bakteri langsung ke otot, rendahnya oksidasi dan aktivitas enzim glikolitik serta aktivasi dari enzim lisosomal. (tifoid rhabdo with acute renal failure)Artritis septik sebagai komplikasi demam tifoid terjadi sekitar 0,1-0,2% tempat predileksi terjadi di lutut, panggul dan bahu. komplikasi ini banyak terjadi pada keadaaan osteoartritis, penyakit jaringan ikat, penyakit sel sabit, dan sendi prostetik. Untuk mendiagnosa dilakukan pemeriksaan cairan sendi, dan kultur. Artritis reaktif merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid insidensinya terjadi lebih besar dibandingkan artritis septik yaitu sekitar 0,6 %. Faktor resiko komplikasi ini berupa adanya HLA-B27. Gambarannya terjadi pada lebih dari tiga sendi termasuk lutut, tumit, pergelangan tangan dan sacroiliaca. Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa sama dengan untuk mendiagnosa artritis septik. Tatalaksananya dengan menggunakan antiinflamasi non-steroid.

2.9 TatalaksanaDiagnosis dini dan tatacara penggunaan antibiotik yang tepat dapat mencegah komplikasi yang parah dari demam tifoid dan menyebabkan angka kematian kurang dari 1%. Pilihan pertama terapi antibiotik tergantung dari kerentanan S.typhi di daerah tersebut. (principle and practice of infectious disease).Tidak semua pasien demam tifoid harus dirawat di Rumah Sakit. Penderita dirawat dirumah bila keadaan umum baik, pemberian obat optimal, pola makan terpenuhi, dan dapat melakukan tirah baring. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien dengan komplikasi, keadaan umum yang buruk, pasien berusia kurang dari 3 bulan, pasien memerlukan pengobatan antibiotik intravena, dan penderita dengan imunodefisiensi. Pengobatan untuk penderita demam tifoid ini mencakup tirah baring, pemberian cairan adekuat, dukungan nutrisi optimal, dan pemberian antibiotik.

2.9.1 Pemilihan antibiotikAntibiotik terpilih untuk demam tifoid adalah kloramfenikol. Hingga saat ini, penelitian di rumah sakit pendidikan di banyak daerah di Indonesia masih melaporkan sensitifitas yang baik terhadap kloramfenikol (70-100%). Selain kloramfenikol, banyak klinisi menggunakan tiamfenikol (metal-sulfonil kloramfenikol) sebagai pengobatan demam tifoid menggantikan kloramfenikol.

2.9.2 Cara pemberian antibiotikSebenarnya, pemberian kloramfenikol per oral masih dapat dilakukan terhadap penderita demam tifoid yang dirawat dirumah sakit dengan hasil yang baik. Pemberian antibiotic intravena hanya diberikan bila toleransi per-oral tidak baik (gangguan kesadaran atau muntah-muntah) atau bila harus diberikan antibiotic lini kedua yaitu sefalosporin generasi ke -3 misalnya seftriakson.

2.9.3 Respon terapi dan perubahan terapiSebaiknya jangan terlalu cepat mengganti terapi antibiotic karena respon terapi ini juga tergantung dari jenis antibiotic yang diberikan. Perbaikan klinis terjadi setelah pemberian kloramfenikol selama 3-5 hari, atau ampisilin selama 5-7 hari, atau sefalosporin selama 3-6 hari. Bila kondisi klinis tidak membaik setelah waktu yang seharusnya, perlu dipertimbangkan untuk mengganti antibiotic dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan tatalaksana pendukung yang tidak adekuat seperti dukungan nutrisi. Perubahan terapi dapat dilakukan lebih cepat dalam 1-3 hari, bila keadaan klinis pasien memburuk. Antibiotic diganti bila terdapat bukti atau setidaknya dugaan kuat efektifitas antibiotic lini pertama tidak optimal atau gagal. Umumnya bila antibiotic lini pertama gagal (terdapat komplikasi, terjadi perburukan atau setidaknya gagal menunjukkan perbaikan dalam waktu yang sudah diperkirakan) maka pemberian antibiotic lini kedua dipilih seftriakson atau sefotaksim sampai diperoleh hasil uji resistensi.

2.9.4 Deteksi dan tatalaksana komplikasiMonitoring ketat diperlukan untuk memantau tanda awal komplikasi demam tifoid. Komplikasi demam tifoid dapat terjadi intraintestinal atau ekstra intestinal. Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotic pada komplikasi demam tifoid adalah kemampuan antibiotic berpenetrasi ke lokasi infeksi. Seftriakson memiliki penetrasi jaringan lebih baik dari pada kloramfenikol, kecuali penetrasi ke otak, kloramfenikol lebih baik daripada seftriakson.Sebagai tambahan terhadap terapi antibiotic, pemberian deksametason jangka pendek dengan dosis awal 3 mg/kgBB diikuti 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 48 jam, menghasilkan peningkatan angka kemungkinan hidup pada pasien demam tifoid dengan syok, obtundation, stupor, atau koma. Terapi suportif dan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit perlu diperhatikan. Bila terjadi perdarahan intra-abdomen yang berat, perlu diberikan transfuse darah segar. Tindakan bedah diperlukan bila terjadi perforasi usus. Pemberian transfuse trombosit pada keadaan trombositopenia berat yang dapat menimbulkan perdarahan intra-abdomen atau bila diperlukan tindakan bedah.

2.9.5 Indikasi pasien pulang dan penghentian pengobatanPasien demam tifoid ringan-sedang yang dirawat dapat dipulangkan setelah 2-3 hari bebas panas, sedangkan pasien demam tifoid berat sebaiknya dirawat hingga komplikasi dapat diatasi atau setidaknya sampai 5 hari bebas demam. Lamanya pengobatan tergantung dari jenis antibiotik yang diberikan sesuai tabel dibawah.

Table 2. Obat Antibiotik Untuk Eradikasi Kuman S.typhiKloramfenikol 50-70 mg/kgBB/hari, PO, atau 75 mg/kgBB/hari, IV, setiap 6 jam, selama 2 minggu

Ampisilin 200mg/kgBB/hari,IV setiap 6 jam selama 2 minggu

Amoksisilin 100mg/kgBB/hari, PO, setiap 4-6 jam selama 2 minggu

Seftriakson 50mg/kgBB/hari, IM, selama 5 hari Untuk keadaan yang resisten : 100mg/kgBB/hari, IV atau IM, dosis tunggal atau setiap 12 jam selama 2 minggu.

Sefotaksim 100mg/kgBB/hari, IV, setiap 12 jam, selama 2 minggu.

Sefiksim 20mg/kgBB/hari, PO, setiap 12 jam selama 8 hari

Ofloksasin 15mg/kgBB/hari, PO, selama 2 hari.

2.9.6 Terapi DietTerapi diet pada demam tifoid harus cukup kalori, protein, cairan dan elektrolit serta mudah dicerna dan halus. Rata-rata kebutuhan kalori pada demam tifoid berkisar 2500 kkal, untuk protein sebesar 100 gr, dan untuk cairan sebanyak 2 - 3 liter cairan. Jenis-jenis diet tifoid : Tifoid diet I (TD I) :Bubur susu/cair tidak diberikan pada pasien yang demam tanpa komplikasi. Tifoid diet II : Bubur saring. Tifoid diet III : Bubur biasa. Tifoid diet IV : Nasi tim.Prinsip pengelolaan dietetik pada tifoid padat dini, rendah serat/rendah selulosa. Diet pada demam tifoid biasanya dimulai dari TD II, setelah 3 hari bebas demam menjadi TD III, sampai 3 hari kemudian dapat diganti kembali menjadi TD IV.Harus diberikan rendah serat karena pada tifoid abdominalis ada luka di ileum terminale bila banyak selulosa maka akan menyebabkan peningkatan kerja usus, hal ini menyebabkan luka makin hebat.

2.10 PencegahanPenurunan endemisitas suatu negara atau daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan air dan pengaturan pembuangan sampah serta tngkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif juga dapat menekan angka kejadian demam tifoid.Mengukur kesehatan umum Peningkatan frekuensi infeksi pada manusia dengan serotipe yang tidak biasa harus diikuti oleh penyelidikan epidemiologi yang bertujuan mendeteksi sumber dan pembawa infeksi. Intervensi untuk menghentikan wabah tersebut kemudian dapat digunakan untuk menghentikan infeksi. Penggunaan antibiotik yang tepat, pengolahan, penyimpanan, dan persiapan yang tepat dari makanan berguna dalam mengurangi penularan infeksi. Pembuangan limbah yang tepat, jaminan pasokan air bersih, sterilisasi yang adekuat dari peralatan medis penting sebagai strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.Kebersihan personalPenularan dari orang ke orang dapat diturunkan melalui cuci tangan setelah buang air besar atau mengganti popok, cuci tangan yang lebih sering selama menyiapkan makanan yang mungkin terkontaminasi (contoh;daging).Mengkontrol infeksiAnak-anak yang dirawat dengan Salmonella gastroenteritis harus dirawat diruang isolasi (enteric precaution) sampai kultur feses negatif. Anak-anak dengan infeksi ekstraintestinal harus diisolasi sampai bukti menyingkirkan infeksi usus.Air Susu IbuDi negara berkembang, menyusui merupakan kunci dalam mencegah infeksi karena ASI mengandung IgA sekretori dan faktor lainnya untuk melindungi bayi dari infeksi Salmonella spp. Dalam sebuah studi kasus kontrol yang dilakukan di Amerika Serikat, menyusui ditemukan juga memiliki efek perlindungan yang kuat terhadap infeksi Salmonella sporadis. Penyedia layanan kesehatan pediatrik dan program edukasi masyarakat harus mendorong ibu untuk menyusui.VaksinasiBeberpa vaksinasi sudah dikembangkan untuk demam tifoid. Vaksinasi untuk anak-anak diindikasikan bila resiko dari perkembangan demam tifoid tinggi. (seperti tinggal dengan karier kronik atau di adaerah endemik) but probably underused. Terdapat dua jenis vaksin yaitu vaksin oral Ty21a yang dilemahkan dan vaksin parenteral Vi kapsuler polisakarida yang dimurnikan. Vaksin Ty21a telah dievaluasi dalam bentuk cair dan kapsul. Vaksin Ty21a oral dapat ditoleransi komplikasi seperti sakit perut, muntah, dan ruam jarang terjadi. Sediannya berupa kapsul enterik yang dilapisi dimaksudkan untuk diberikan dalam empat dosis terpisah pada hari alternatif yang diberikan 1 jam sebelum makan. Tidak dianjurkan untuk anak-anak muda dari usia 6 tahun. Empat dosis tersebut harus selesai 1 minggu sebelum paparan potensial. Vaksinasi ulang dengan empat seri dosis seluruhnya direkomendasikan setiap 5 tahun dalam risiko tinggi. Karena vaksin Ty21a oral adalah Salmonella hidup yang dilemahkan, itu tidak boleh digunakan di host yang immunocopromaise atau individu yang memgkonsumsi antibiotik pada saat menerima vaksinasi. Antimalaria metfloquine menghambat pertumbuhan organisme yang dilemahkan sehingga vaksinasi harus ditunda selama 24 jam setelah digunakan. Profilaksis malaria dengan atovakuon dan proguanil tidak mengganggu respon Ty21a. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Vi capsular sebagai dosis 25 ug-tunggal (0,5 mL) memiliki effifancy dari 55% menjadi 75 persen pada orang dewasa dan anak-anak lebih dari 5 tahun. Meskipun demam, malaise, nyeri lokal, nyeri dan terjadi karena vaksin. namun terdapat dua kelebihan utama dibandingkan vaksin Ty21a oral : tidak memerlukan refrigerator dan hanya membutuhkan dosis tunggal. Bisa digunakan pada anak usia dua tahun. Vaksinasi harus diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum paparan.2.11 PrognosisPrognosis pasien demam tifoid tergantung kepada ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelum sakit, serotip Salmonella dan ada tidaknya komplikasi. Di Negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat, mortalitas dibawah 1%. Di Negara berkembang angka mortalitasnya 10% dan komplikasi seperti perforasi biasanya terjadi karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan yang tidak adekuat. Munculnya komplikasi seperti perforasi gastrointestinal dan perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. (nelson) Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5 % dari seluruh pasien dmam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronik dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier kronis urin dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis. (buku ajar)

29