bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan yuridis tentang tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/bab...

24
11 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penyelundupan 1. Pengertian Tindak Pidana Dari berbagai literature tindak pidana merupakan istilah yang berasal dari terjemahan strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Menurut Adami Chazawi di Indonesia sendiri dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang- undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit antara lain adalah: 4 “Tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan yang terakhir adalah perbuatan pidana”. Secara doktrinal, dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu: 5 a. Pandangan Monitis “Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dan perbuatan”. Dalam pandangan monitis ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di dalam pengertian dari perbuatan/tindak pidana didalamnya sudah tercakup perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggung jawaban 4 Adami Chazwi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta. PT. Raja Grafindo Perseda. Halaman 67 5 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Halaman 31-32

Upload: others

Post on 13-Oct-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

11

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penyelundupan

1. Pengertian Tindak Pidana

Dari berbagai literature tindak pidana merupakan istilah yang berasal dari

terjemahan strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Menurut Adami Chazawi di

Indonesia sendiri dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari

istilah strafbaarfeit. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-

undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum sebagai terjemahan

dari istilah strafbaar feit antara lain adalah:4

“Tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan

yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan yang terakhir

adalah perbuatan pidana”.

Secara doktrinal, dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang perbuatan

pidana, yaitu:5

a. Pandangan Monitis

“Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan

syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dan

perbuatan”.

Dalam pandangan monitis ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,

bahwa di dalam pengertian dari perbuatan/tindak pidana didalamnya sudah

tercakup perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggung jawaban

4Adami Chazwi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta. PT. Raja Grafindo Perseda.

Halaman 67 5 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Halaman 31-32

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

12

12

pidana/kesalahan (criminal responbility). Menurut D. Simons tindak pidana itu

sendiri adalah:6

“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-

jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah

dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.

Sedangkan menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:7

1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)

maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);

2. Diancam dengan pidana;

3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan; dan

5. Oleh orang yang mampu bertanggunga jawab.

Strafbaarfeit secara harafiah merupakan suatu peristiwa pidana dan

dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monitis sebagai kelakuan

(handeling) yang diancam dengan pidana, dimana perbuatan tersebut bersifat

melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab. Andi Zainal Abidin menyatakan bahwa

kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi dolus (sengaja) dan culpa (alpa,

lalai) dan berkomentar sebagai berikut:8

“Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act)

yang meliputi perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan

pertanggungjawaban pidana (criminal responbility) dan mencangkup

kesengajaan, kealpaan, dan kelalaian dan kemampuan bertanggung

jawab”.

6 Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Citra

Aditya Bakti. Halaman 185 7 Tongat. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pem-

baharuan. Malang. UMM Pers. Halaman 95 8 Andi Zainal Abidin. 1987. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa

Pengupasan tentang Delik-Delik). Jakarta. Prapanca. Halaman 250

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

13

13

Van Hammel yang termasuk berpandangan monitis juga menerjemahkan

strafbaarfeit ke dalam tindak pidana adalah:9

“Perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan

hukum, strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan

dapat dicela karena kesalahan (en dan schould to wijten)”.

b. Pandangan Dualistis

Jika pandangan monistis ini melihat keseluruhan dari syarat adanya

pidana telah melekat pada perbuatan pidana, berbeda pula dengan pandangan

dualistis. Dalam pandangan dualistis ini memisahkan antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian

tindakan pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun criminal

responbility, sedangkan menurut pandangan dualistis, yaitu:10

“Dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal

responbility tidak menjadi unsur tindak pidana”.

Pandangan dualistis ini berpendapat bahwa yang termasuk tindak pidana

hanya berupa perbuatannya saja, sedangkan pertanggungjawaban dan

kesalahannya tidak termasuk pada tindak pidana. Menurut pandangan dualistis

yang diancam pidana itu adalah perbuatan pidana yang diancam pidana sesuai

dengan ketentuan undang-undang atau hanya berupa rumusan undang-undang

saja. Artinya terhadap suatu perbuatan pidana belum dapat dijatuhkan pidana bila

tidak ada orangnya dan pada orang yang dimaksud dan harus ada sifat melawan

hukum atau kesalahan pada orang itu.11

9 Ibid. 10 Opcit. Halaman 96 11 James Pardede. 2007. Diktat Hukum Pidana. Universitas Bung Karno. Halaman 22

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

14

14

Maka dari itu untuk adanya pidana tidak cukup hanya bila terjadi tindak

pidananya saja, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau per-

tanggungjawaban pidananya. Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana

oleh sarjana yang menganut pandangan dualistis ini yaitu Pompe berupa:12

“Dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan, pen),

yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat

melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya

tindak pidana”.

2. Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan

Tindak Pidana Penyelundupan ialah mengimpor, mengekspor,

mengantarpulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan perundang-

undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean

(douaneformaliteiten) yang ditetapkan oleh undang-undang13, pengertian

penyelundupan jika diterjemahkan secara harfiah menurut Baharuddin Lopa ialah

sebagai berikut:14

“Pengertian tindak pidana penyelundupan dari (bahasa inggris: smuggle,

bahasa belanda: smokkel) ialah mengimpor, mengekspor, mengantar

pulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau tidak memenuhi formalitas pabean (duoanefor-

maliteiten) yang diterapkan oleh peraturan perundang-undangan.

Duoaneformaliteiten ialah syarat-syarat pabean yang harus dipenuhi

dalam hal memasukkan (mengimpor) atau mengeluarkan (mengekspor)

barang termasuk perdagangan (pengangkutan) interinsuler”.

Pengertian penyelundupan yang diungkapkan oleh Baharuddin Lopa

merupakan pengertian luas. Sedangkan pengertian sempit mengenai penye-

12 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Halaman 31-32

13 Soufnir Chibro. 1992. Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pem-

bangunan. Jakarta. Sinar Grafika. Halaman 5 14 Baharuddin Lopa. 1984. Tindak Pidana Ekonomi (Pembahasan Tindak Pidana

Penyelundupan). Yogyakarta. Halaman 24

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

15

15

lundupan terdapat di dalam Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1967 pada Pasal

1 ayat (2) tertanggal 27 Mei 1967 bahwa:

“Tindak pidana yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang

dari Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau pemasukan barang atau uang

dari luar negeri ke Indonesia (Impor)”

Dari definisi yang diberikan berdasarkan Keputusan Presiden ini

menyimpulkan bahwa, tindak pidana yang berhubungan langsung dengan

pengeluaran atau pemasukan barang adalah merupakan tindak pidana

penyelundupan. Menurut Andi Hamzah perumusan tersebut diatas terlalu luas dan

tidak yuridis, karena semua tindak pidana itu berhubungan dengan ekspor dan

impor. Jadi, penipuan, pencurian, pemalsuan, penyuapan pejabat pabean yang

berhubungan dengan ekspor dan impor adalah penyelundupan. Namun maksud

pembuat peraturan tersebut tidak demikian, tetapi sejajar dengan pengertian

penyelundupan (smuggling) dalam The Lexicon Webster Dictionary, yang

berbunyi sebagai berikut:

“To import or export secretly and contrary to law, without payment of

legally required duties” (Memasukkan atau mengeluarkan barang-barang

dan uang secara rahasia bertentangan dengan dengan hukum tanpa

membayar bea yang diharuskan menurut peraturan).

Pengertian dari The Lexivon Webster Dictionary hampir mendekati

pengertian yuridis sebelumnya. Namun ada perbedaan sedikit, yaitu semua

peruatan yang melanggar ordonansi bea (rechten ordonnantie) dan diancam

pidana.

Penyelundupan itu sendiri dibagi menjadi dua bentuk, yaitu

penyelundupan administratif dan penyelundupan fisik:

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

16

16

a. Penyelundupan adminstratif

Yang dimaksud dengan penyelundupan administrasi adalah yang diatur

dalam Pasal 25 ayat (II) c Ordonansi Bea yang bunyinya sebagai berikut :

(II) Selanjutnya dapat dipidana barang siapa dengan sengaja atau bersalah karena

kelalaian :

a) Tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan

pengangkutan, kecuali ketentuan-ketentuan yang dibuat berdasarkan

ayat (2) Pasal 3 dalam jangka waktu yang ditetapkan tidak memasukkan

barang-barang ke dalam entrepot atau tidak menyerahkannya untuk

diperiksa atau dalam waktu yang ditetapkan tidak menyerahkan bukti

pengangkutan barang-barang ke luar daerah pabean atau

penimbunannya yang sah dalam daerah pabean, maka dalam ketiga hal

yang dimaksud terakhir barang siapa yang melakukan atau atas nama

siapa pemberitahuan dilakukan yang menyebabkan penetapan jangka

waktu itu, dianggap sebagai pelanggar.

b) Merintangi, mempersulit atau tidak memungkinkan pemeriksaan atau

pekerjaan lain-lain yang boleh atau harus dijalankan para pegawai.

c) Memberitahukan salah tentang jumlah, jenis atau harga barang-barang

dalam pemberitahuan-pemberitahuan impor, penyimpanan dalam

entepot, pengiriman ke dalam atau ke luar daerah pabean atau

pembongkaran atau dalam sesuatu pemberitahuan tidak menyebutkan

barang-barang yang dikemas dengan barang-barang lain.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

17

17

Perlu diperhatikan tentang daerah pabean. Jika barang-barang tersebut

masih di daerah pabean, dikategorikan sebagai penyelundupan administrasi,

karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau harga barang yang dilaporkan,

dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara utuh kewajiban-kewajiban

membayar. Tetapi jika telah di luar pelabuhan, maka dikategorikan sebagai

penyelundupan fisik sebagaimana diatur Pasal 26b Ordonansi Bea.

b. Penyelundupan fisik

Penyelundupan fisik adalah bentuk perbuatan penyelundupan fisik ini biasa juga

disebut penyelundupan murni, yakni pemasukan (impor) atau mengeluarkan

(ekspor) dari dan dalam daerah pabean Indonesia tanpa dilindungi dokumen sama

sekali, baik melalui daerah pelabuhan atau tempat-tempat lain diluar daerah

pelabuhan.

Menurut Ali Said mengemukakan secara mendasar perbedaan

penyelundupan administratif dan penyelundupan fisik, yaitu:15

“Penyelundupan administratif memiliki dokumen resmi namun

opgavenya yang dipalsukan sedangkan penyelundupan fisik kaena

pemasukan mobil-mobil mewah itu dilakukan dengan memakai

dokumen-dokumen dipalsukan”.

Perlu diperhatikan tentang daerah Pabean. Jika barang-barang tersebut

masih di daerah Pabean, maka dikategorikan sebagai penyelundupan administrasi,

karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau harga barang yang dilaporkan,

dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara utuh kewajiban-kewajiban

15 Ibid.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

18

18

membayar. Tetapi jika telah di luar pelabuhan, maka dikategorikan sebagai

penyelundupan fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 OB.16

B. Tinjauan Yuridis tentang Narkoba

Dalam pergaulan sehari-hari, narkotika dan psikotropika cenderung

disamakan. Masyarakat lebih mengenal pada zat tersebut sebagai Narkoba

(Narkoba dan obat-obatan terlarang/psikotropika) atau NAPZA.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika menyebutkan,

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintesis maupun semi

sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan mengakibatkan

ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana

terlampir dalam Undang-Undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan

Menteri Kesehatan.17

Narkotika menurut Undang-Undang Nomer 35 Tahun 2010 dibagi

menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:

a. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta memiliki potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: Ganja, Heroin, Kokain, Morfim, dan Opium.

b. Golongan II : Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk

16 Marpaung Leden. 1991. Tindak Pidana Penyelundupan Masalah dan Pemecahan.

Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 6 17 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 1 ayat (1).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

19

19

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Petidin, Benzetidin,

Betametadol.

c. Golongan III : Narkotika bersifat kesehatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh:

Kodein dan turunannya.

Didalam Undang-Undang Nomer 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

menjelaskan pengertian mengenai psikotropika, yaitu obat atau zat alamiah

sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh efektif pada

susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan

perilaku. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa antara narkotika dan

psikotropika adalah berbeda, walupun perbedaan tersebut tidak terlalu mendasar.

Pada umumnya masyarakat juga kurang memahami adanya perbedaan tersebut.

Zat narkotika bersifat menurunkan bahkan menghilangkan kesadaran seseorang

sedangkan zat psikotropika justru membuat seseorang semakin aktif dengan

pengaruh dari saraf yang ditimbulkan oleh pemakai zat psikotropika tersebut.18

Psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 terbagi

menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:

a. Golongan I: psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

mempunyai potensi amat kuat menyebabkan sindroma

18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 1 ayat (1)

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

20

20

ketergantungan. Contoh: MDMA (Methylenedioxy– methylam-

phetamin/Ekstasi), LSD (Lycergic Alis Diethylamide), STP.

b. Golongan II : psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh: Amfetamin, Metamfetamin, dan Metakualon.

c. Golongan III : prikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan untuk terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contoh: Lumbibal, Buprenorsina, Fleenitarzeepam.

d. Golongan: IV: psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat

luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: Nitrazepam (BK, Mogadon, Dumolid), dan

Diazepam.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 men-

jelaskan bahwa Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau

bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Prekursor

Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan

dalam pembuatan narkotika.19

19 F Asya, 2009. Narkotika dan Psikotropika, Asa Mandiri. Jakarta. Halaman 3

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

21

21

Narkotika sebagaimana yang diungkapkan farmakologi medis adalah

obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah

visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun harus

digertak) serta adiksi.20

Soedjono D menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah

sejenis zat, yang bila dipergunakan (dimasukan kedalam tubuh) akan membawa

pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa: menenangkan,

merangsang, dan menimbulkan khayalan (halusinasi).21 Sedangkan menurut Elijah

Adams Narkotika terdiri dari zat sintesis dan semi sintesis yang terkenal adalah

heroin yang terbuat dari morphine yang tidak digunakan, tetapi banyak nampak

dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain itu juga terkenal istilah dihydo

morfhine.22

Peraturan mengenai Narkotika telah diatur secara khusus dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ini berarti bahwa untuk

menjerat pelaku kejahatan Narkotika harus menggunakan undang-undang yang

bersifat lebih khusus dari peraturan-peraturan yang lain. Hal tersebut berkaitan

dengan asas hukum yaitu lex spesialis derogate legi generalis atau ketentuan

khusus mengesampingkan ketentuan umum.

20 Wijaya A.W. 1985. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika.

Armico, Bandung. Halaman 145 21 Sedjono D. 1977. Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia. Karya Nusantara.

Bandung. Halaman 5 22 Wilson Nadaek, 1983, Korban dan Masalah Narkotika, Indonesia Publishing House,

Bandung. Halaman 124

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

22

22

Selain beberapa definisi dari beberapa para ahli, definisi narkotika juga

terdapat didalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1979,

dimana pengertian Narkotika adalah sebagai berikut:

a. Bahan-bahan yang disebut dari angka 2 (dua) sampai angka 3 (tiga).

b. Garam-garam dan turunan-turunan dan morfhine dan kokaina.

c. Bahan-bahan lain namun alamiah sintesa maupun semi sintesa yang

belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfhine dan

kokaina yang ditetapkan oleh menteri kesehatan sebagai narkotika.

Bilamana disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan yang

merugikan, seperti morfhine dan kokaina.

d. Campuran-campuran yang sedian-sedian yang mengandung bahan

yang tersebut dalam huruf a, b, dan c.

Dalam hukum Indonesia terdapat asas lex specialis degorat legi

generalis yang artinya peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan

peraturan yang bersifat umum. Maksud dari asas tersebut adalah peraturan umum

tidak akan digunakan apabila ada aturan yang bersifat khusus. Tindak pidana

mengenai Narkotika telah diatur khusus didalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika. Berdasarkan asas lex specialis degorat legi

generalis tersebut untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika dapat digunakan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena undang-undang

tersebut bersifat khusus. Berikut adalah beberapa pasal yang dapat digunakan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

23

23

untuk menjerat pelaku tindak pidana Penyelundupan Narkotika dengan cara

mengimpor. Pasal-Pasal tersebut adalah:23

Pasal 113

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya

melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).

Pasal 115

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa

mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau

melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku

dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana

denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3

(sepertiga).

Pasal 118

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, meng-

impor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12

(dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00

23 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

24

24

(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00

(delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,

pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda

maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 119

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk

dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,

menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar

rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan

Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya

melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana

penjara seumur hidup, atau pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 120

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,

mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10

(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam

ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 123

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,

mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

25

25

lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimanadimaksud pada ayat (1)

beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).

Berdasarkan beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku tindak pidana

penyelundupan narkotika diatas, penulis berpendapat bahwa dibuatnya pasal

tersebut berupaya agar mengurangi bahkan mencegah terjadinya tindak pidana

penyelundupan narkotika itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari hukuman

berat yang diberikan pasal-pasal tersebut.

C. Tinjauan Yuridis Tugas dan Wewenang Bea dan Cukai

1. Pengertian Bea dan Cukai

Penerimaan pendapatan Negara dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk

diantaranya adalah melalui bea dan cukai. Dalam merealisasikan pajak-pajak

Negara, di Indonesia dikenal lembaga pelaksanaan pajak yang terdiri dari

Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai yang keduanya merupakan

bagian dari kementrian keuangan. Keberadaan kedua lembaga tersebut sangat

berhubungan erat terkait dengan upaya pengelolaan sumber penerimaan Negara.

Namun perlu diketahui, meskipun kedua lembaga tersebut berada dibawah

kementrian keuangan, namun secara umum pengaturan dilakukan secara terpisah.

Bea dan Cukai menurut Burhanuddin yaitu:24

24 Baharuddin. 2013. Proseur Hukum Pengurusan Bea dan Cukai. Yogyakarta: Yustisia.

Halaman 9

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

26

26

“Pengertian Bea dalam prosedur bea cukai adalah bea masuk dan bea

keluar daerah pabean. Bea masuk adalah pungutan Negara berdasarkan

undang-undang ini (kepabeanan) yang dikenakan terhadap barang yang

diimpor. Bea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan undang-undang

ini (kepabeanan) yang dikenakan terhadap barang ekspor. Cukai adalah

pungutan Negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang

mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-

undang”.

Bea dan Cukai merupakan institusi global yang hamper semua Negara

didunia memilikinya. Di forum internasional bea dan cukai menggunakan sebutan

Administrasi Pabean (Costums Administration) yang ruang lingkup tugasnya

meliputi kepabeanan dan cukai atau hanya bidang kepabeanan saja. Lembaga bea

cukai setelah Indonesia merdeka dibentuk pada tanggal 1 Oktober 1945 dengan

nama Pejabatan Bea dan Cukai, yang kemudian pada tahun 1948 berubah menjadi

Jawatan Bea dan Cukai sampai dengan tahun 1965. Setelah tahun 1965 hingga

sekarang, nama lembaganya berubah lagi menjadi Direktorat Jendral Bea dan

Cukai (DJBC). DJBC merupakan unit eselon I di bawah kementrian keuangan

yang dipimpin oleh Direktur Jendral.25

2. Tugas Pokok Direktorat Bea dan Cukai

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disingkat DJBC atau bea dan cukai

adalah nama dari sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang

kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering

disebut dengan istilah duane. Seiring dengan era globalisasi, bea dan cukai sering

menggunakan istilah customs.

Tugas dan fungsi Bea dan Cukai adalah berkaitan erat dengan

pengelolaan keuangan negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak

25 Ibid. halaman 18

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

27

27

dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22,PPnBM) dan

cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi

penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk

didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.26

Selain itu, tugas dan fungsi Bea dan Cukai adalah mengawasi kegiatan

ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkohol atau

etil alkohol, dan peredaran rokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya.

Seiring perkembangan zaman, Bea dan Cukai bertambah fungsi dan tugasnya

sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau

bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.

Tugas lain bea dan cukai adalah menjalankan peraturan terkait ekspor

dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan yang lain,

seperti dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen

Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pertahanan dan

peraturan lembaga lainya.

Semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi Bea dan Cukai untuk

melaksanakannya karena Bea dan Cukai adalah instansi yang mengatur keluar

masuknya barang di wilayah Indonesia. Esensi dari pelaksanaan peraturan-

peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam

pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang

berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan

hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk

26 Ismawati Septiningsi. 2014. Peran Direktorat Jendral Bea dan Cukai dalam

Menangani Penyelundupan Narkoba. Halaman 3

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

28

28

menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan

pengimpor dalam beraktivitas.

3. Wewenang Direktorat Jendral Bea dan Cukai

Tugas dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai adalah penerimaan Negara

melalui cukai. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, pejabat bea dan cukai telah

diberikan kewenangan oleh Undang-Undang yang telah diatur dalam Pasal 33

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yaitu:

a. Mengambil tindakan yang diperlukan atas barang kena cukai dan/atau

barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai berupa

penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan untuk

menjalankan undang-undang ini;

b. Mengambil tindakan yang diperlukan berupa tidak melayani

pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya;

c. Menegah barang kena cukai, barang lainnya yang terkait dengan

barang kena cukai, dan/atau sarana pengangkut.

Dalam melaksanakan kewenangannya, Pejabat Bea dan Cukai dapat

dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaanya telah

diatur dengan peraturan pemerintah. Mengingat besarnya bahaya penggunaan dari

senjata api itu sendiri maka penggunaannya sangat dibatasi. Menurut undang-

undang Pejabat Bea dan Cukai dalam menjalankan tugasnya diberi kesempatan

untuk meminta bantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia, dan/atau instansi

lainnya yang bersifat mengikat bagi termohon.

Kewenangan melakukan penyidikan terhadap kasus dibidang kepabeanan

dan cukai oleh Pejabat Bea dan Cukai terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP

yang berbunyi bahwa Penyidik adalah:

a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia;

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

29

29

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang.

Dalam hal ini Pejabat Bea dan Cukai merupakan Pegawai Negeri Sipil

(PNS) yang diberi kewenangan sesuai dalam undang-undang untuk melakukan

penyidikan terkait kejahatan kepabeanan dan cukai. Wewenang pejabat bea dan

cukai dalam melakukan penyidikan terdapat juga dalam Pasal 112 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeana, yang berbunyi sebagai berikut:

“Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral

Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang

kepabeanan”.

Didalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan, Penyidikan Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud ayat (1) karena

kewajibannya berwenang:

a. Menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana di bidang Kepabeanan;

b. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

c. Meniliti, mencari, mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di

bidang Kepabeanan;

d. Melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang

disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

30

30

e. Memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap

orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan

bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;

f. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undang-

undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;

g. Mengambil sidik jari orang;

h. Menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;

i. Menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang

yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di

bidang Kepabeanan;

j. Menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang

dapat dijadikan sebagai barang bukti sehubungan dengan tindak

pidana di bidang Kepabeanan;

k. Memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat

dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang

Kepabeanan;

l. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan;

m. Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di

bidang kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

n. Menghentikan penyidikan;

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

31

31

o. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan

tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang

bertanggung jawab.

Selain itu didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai ditegaskan

bahwa:

“Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral

Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang

cukai”.

Dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Penyidik

Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kewajibannya

berwenang:

a. Menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana di bidang Cukai;

b. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

c. Melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang

disangka melakukan tindak pidana di bidang Cukai;

d. Memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap

orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan

bukti adanya tindak pidana di bidang Cukai;

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

32

32

e. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut

Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;

f. Mengambil sidik jari orang;

g. Menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;

h. Menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang

yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di

bidang Cukai;

i. Menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang

dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di

bidang Cukai;

j. Memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat

dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang

Cukai;

k. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Cukai;

l. Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di

bidang Cukai serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

m. Menghentikan penyidikan;

n. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan

tindak pidana di bidang Cukai menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Namun menurut M. Yahya Harahap meskipun penyidik pegawai negeri

sipil memiliki kedudukan dan wewenang dalam melaksanakan tugas dan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

33

33

penyidikan, tapi harus tetap berkoordinasi dengan penyidik polri, sebagai

berikut:27

a. Penyidik pegawai negeri sipil dalam hal ini penyidik bea dan cukai

kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik dan di bawah

pengawasan penyidik polri;

b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik polri memberi petunjuk

kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan

bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1));

c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada

penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di

sidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada

ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya

kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2));

d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan

penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada

penuntut umum (Pasal 107 ayat (3));

e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang

telah dilaporkan pada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu

harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal

109 ayat (3)).

27 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta. Sinar Grafika. Halaman 113

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak ...eprints.umm.ac.id/38742/3/BAB II.pdf · undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean (douaneformaliteiten)

34

34

Dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai

memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan, namun tetap harus melakukan

koordinasi dengan penyidik dari Polri.

28

28