bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Negara Hukum
1. Konsep Negara Hukum
Konsep Negara Hukum dikualifikasikan menjadi dua, pertama, Negara
Hukum Formal dimana pada kemunculannya kembali azas demokrasi di
Eropa hak - hak politik rakyat dan hak - hak azasi manusia secara individu
merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu
maka timbulah suatu gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah
melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Diatas
konstitusi inilah bisa ditentukan batas - batas kekuasaan pemerintah dan
jaminan atas hak - hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah
diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga - lembaga hukum.
Gagasan inilah yang kemudian dinamakan konstitusionalisme dalam sistem
ketatanegaraan.13Carl J. Friedlick mengemukakan bahwa konstitusionalisme
adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang
diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa
pembatasan yang di maksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang
13Miriam Budiardjo, Dasar - dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982. Hlm. 56-57
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 37
21
diperlukan untuk memerintah itu tidak disalah-gunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah.14Dalam klasifikasi oleh Arief Budiman
didasarkan kriteria kenetralan dan kemandirian negara konsep demokrasi
konstitusional abad 19 atau negara hukum formal ini bisa disebut sebagai
negara pluralisme yaitu negara yang tidak mandiri yang hanya bertindak
sebagai penyaring berbagai keinginan dari dalam masyarakat. Dalam negara
pluralis libertarian ini setiap kebijakan yang dikeluarkan bukanlah atas
inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses
penyerapan aspirasi masyarakat secara penuh melalui parlemen.15
Yang kedua, Negara Hukum Material mempunyai ciri - ciri pemerintahan
bahwa demokrasi meluas mencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang
dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha
memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama harus mampu
mengatasi ketidak merataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Gagasan
baru ini disebut dengan Welfare Staat atau Negara Hukum Material.16
2. Tipe - Tipe Negara Hukum
Menurut I Dewa Gede Atmadja mengklasifikasikan tipe - tipe negara
14 Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Democracy:
Theory and Practice in Europe and America, (5Th edition: Weldham, Mass: Blaisdell Publisting
Company, 1967), dalam Miriam Budiardjo, Ibid.
15 Arief Budiman, Negara, Kelas dan Formasi Sosial, (wawancara) dalam majalah Keadilan,
No. 1 Tahun XII/1985. Hlm. 39
16 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Hlm. 26-29
22
hukum dalam bukunya Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, yang
pertama, Tipe Rechtsstaat. Menurut Bart Hassel dan Piotr Hofmanski,
Rechtsstaat dalam perkembangannya dibedakan atas Rechtsstaat klasik dan
Rechtsstaat Modern. Tipe Rechtsstaat klasik disebut “negara demokrasi
konstitusional” dan ciri - ciri Rechtsstaat klasik disebut “negara demokrasi
konstitusional” diartikan sebagai demokrasi yang berpaham liberal dan
sistem pemerintahannya parlementer. Disebutkan, dalam negara jenis ini ada
4 (empat) asas, yaitu: asas legislasi (legislation). Artinya, kedudukan
masyarakat sipil harus diatur dengan undang - undang yang dibuat oleh
parlemen yang dipilih secara demokratis. Dan asas legalitas, yakni
pemerintah harus berperilaku atau bertindak berdasarkan peraturan umum
yang ditetapkan oleh parlemen (Acts of Parliament) dan pemerintah tidak
boleh bertindak dengan instrumen diskresi atau wewenang bebas.
Selanjutnya, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka atau prinsip keadilan
yang independen (Independence Judiciary). Artinya, peradilan tidak
dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Berikutnya
berkaitan dengan asas yang berasal dari unsur negara hukum, yakni asas -
asas perlindungan hak - hak sipil, khususnya hak - hak sipil klasik, seperti:
kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat.
Yang kedua, tipe Rule of Law, diperkenalkan oleh A.V.Dicey melalui
tulisannya dalam bukunya yang berjudul “Introdustio to The Study of The
23
Law of The Constitution” bahwa unsur - unsur Rule of Law mengandung tiga
elemen, yakni: Supremacy of law dimaknai dengan tidak adanya kekuasaan
yang sewenang - wenang. Baik penguasa yang memerintah maupun
masyarakat yang diperintah harus tunduk kepada hukum. Dengan demikian,
hukumlah yang tertinggi (supreme), selanjutnya Equality before dalam
bahasa Dicey, elemen Legal equality diartikan bahwa semua warga dari
semua kelas tunduk pada satu hukum yang ditegakkan oleh Pengadilan
Umum (Ordinary Court), dan Constitution based on human rights
(Konstitusi yang berdasarkan hak asasi) dimaknai sebagai hak asasi yakni
kebebasan personal atau individu dilindungi melalui putusan pengadilan.
Contohnya, terwujud dalam asas bahwa hakim memberikan remedy
(memulihkan hak) jika hak seseorang dilanggar.
Yang ketiga, Tipe Socialist Legality tipe ini dianut oleh negara - negara
Sosialis - Komunis dan pemikiran - pemikirannya dikembangkan oleh juris -
juris sosialis seperti dalam forum ilmiah di Warsawa (Polandia), yang dikenal
“Warsawa Qolloqium”. Unsur - unsur sebagai penanda Tipe Socialist
Legality yakni: Perwujudan sosialisme, Hukum sebagai alat politik di bawah
ideologi sosialis, dan pengutamaan kewajiban kepada negara daripada
perlindungan hak - hak asasi manusia. Hal penting yang perlu dicatat pada
negara hukum tipe socialist Legality adalah, bahwa dalam Konstitusi
berbagai negara Sosialis - Komunis, dilegalkan kebebasan melakukan
24
propaganda anti agama. Kebebasan anti agama bagi bangsa Indonesia jelas
merupakan tindakan ilegal dan bertentangan dengan Dasar Negara Republik
Indonesia Pancasila.
Yang keempat, Pemikiran Negara Hukum Pancasila. Mengutip tulisan oleh
Satjipto Rahardjo tentang negara hukum dalam bukunya berjudul “Negara
Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” bahwa jantung dari gagasan
negara hukum yang ditawarkan adalah negara yang bernurani atau negara
yang membahagiakan rakyatnya. Jika dimaknai dalam konsteks
keindonesiaan, maka pemikiran negara hukum Satjipto Rahardjo dapat
ditempatkan pada wujud empirik pemikiran tentang “Negara Hukum
Pancasila”. Mengutip Soediman Kartohadiprodjo, bahwa negara hukum
Pancasila dicirikan menjadi: jiwa kekeluargaan, musyawarah mufakat
berlandaskan hukum adat, melindungi rakyat dari tindakan pemerintah yang
sewenang - wenang, dan mengutamakan tugas dan tanggungjawab bagi
lembaga - lembaga negara dan bukan mengutamakan kekuasaan.
3. Unsur - unsur negara hukum
Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental
memberikan ciri - ciri Rechstaat sebagai berikut: Hak - hak azasi manusia,
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak - hak azasi
manusia itu yang bisa dikenaal sebagai Trias Politica, pemerintah
berdasarkan peraturan - peraturan (Wetmatigheid van bestuur), peradilan
25
administrasi dan perselisihan.17
Sedangkan AV Dicey dari kalangan ahli Anglo Saxon memberikan ciri
Rule of Law sebagai berikut: Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada
kesewenang - wenangan, sehingga seorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum, Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat
biasa maupun jelata, dan terjaminnya hak - hak manusia oleh Undang -
Undang dan keputusan - keputusan pengadilan.18
B. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Perundang - Undangan
Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi bahasa
terdiri dari kata “pengujian” dan “peraturan perundang-undangan”. Pengujian
berasal dari kata “uji” yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu
sesuatu, sehingga pengujian diartikan sebagai proses, cara, perbuatan, menguji.
sedangkan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang - undangan. Dengan demikian
pengujian peraturan perundang - undangan dapat diartikan sebagai proses untuk
menguji peraturan tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun
17 Oemar Seno Adji, “Prasaran” dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa,
Jakarta, 1966, hlm. 24
18 E.C.S. Wade dan G. Gogfrey, Constitutional Law: An Outline of The Law and Practice of
The Citizen and the Including Central and Local Government, the Xitizen and the state and
Administrative Law, 7th Edition, Longmans, London, 1965, Hlm. 50-51
26
pejabat yang berwenang yang memiliki kekuatan mengikat secara umum.19
Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama dalam
berbagai tradisi hukum, sehingga ada dikenal dengan istilah toetsingsrecht dan
judicial review. Bila diartikan secara etimologis dan terminologis toetsingsrecht
berarti hak untuk menguji dan judicial review berarti peninjauan oleh lembaga
pengadilan. Pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang
sama yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.20
Dalam hal mengajukan permohonan Judicial Review, Pemohon memiliki
hak konstitusionalitas untuk mengajukan suatu aturan hukum yang menciderai
hak - haknya. Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh konstitusi atau
Undang-Undang Dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat.
Karena dicantumkan di dalam konstitusi atau sehingga seluruh cabang kekuasaan
negara wajib untuk menghormatinya.21
Karena hak konstitusional merupakan bagian dari konstitusi dan untuk
menjamin hak-hak konstitusional dari setiap warga negara, negara berkewajiban
untuk membentuk lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Indonesia saat
19 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 37
20 I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu PerundangUndangan Di
Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2008, Hlm. 117
21 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) sebagai Upaya
Hukum Perlindungan Hak-hak Konstitusional Warga Negara: Studi Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dengan Rujukan Amerika Serikat, Republik Federal Jerman dan
Korea Selatan sebagai Perbandingan, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,
2011, Hlm. 1
27
ini memiliki lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk menjamin hak-
hak konstitusional dari setiap warga negara dengan mekanisme melakukan
pengaduan konstitusional yang salah satu bentuknya adalah pengujian materi
terhadap peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang - undangan
menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah
Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jenis dan
hierarkinya diatur didalam Pasal 7 Undang-Undang Negara Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagai salah satu produk hukum sebagai produk keputusan, peraturan perundang
- undangan yang keputusan-keputusannya bersifat umum dan abstrak (general and
abstract) biasanya bersifat mengatur. Sedangkan yang bersifat individual dan
konkret (concrete and individual) dapat merupakan keputusan yang bersifat atau
berisi penetapan administratif (beschikking).22
Produk hukum yang terdiri dari berbagai bentuk tersebut dapat dilakukan
kontrol atau pengawasan melalui mekanisme kontrol norma hukum (legal norm
control mechanism). Kontrol dapat dilakukan melalui pengawasan atau
pengendalian politik, pengendalian administratif, atau kontrol hukum melalui
22 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, 2014, Hlm.7
28
lembaga-lembaga negara yang kewenangannya telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan.23
1. Model Pengujian Perundang-Undangan
Model pengujian perundang-undangan pasca reformasi mengalami suatu
perubahan yakni dijalankan oleh dua institusi yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi24, yang semula pengujian perundang-undangan hanya
dapat diajukan tatkala peraturan perundang-undangan tersebut dibawah
undang-undang kemudian bertentangan dengan undang - undang. Berkaitan
dengan pengujian perundang-undangan yang hanya dapat diuji dengan undang -
undang tersebut merupakan kewenangan dari MA sesuai dengan ketentuan awal
diaturnya kewenangan tersebut dalam UUD NRI Tahun 1945 periode pertama
(1945-1949), KRIS 1949 (1949-1950), UUDS 1950 (1950-1959), UUDNRI
Tahun 1945 periode 1959-1966 (Orde Lama) dan periode 1966-1998 (Orde
Baru).
Kewenangan judicial review MA tersebut pada masa Orde Baru terdapat
dalam Pasal 31 UU No. 14/1985 tentang Kekuasaan Kehakiman. MA kemudian
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/1993 tentang Hak
Uji Materiil. Di dalam perma ini MA yang memperbolehkan Pengadilan Negeri
menyatakan suatu peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah
23 Ibid, Hlm. 5
24 Sholahudin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap Melalui
Mahkamah Konstitusi”, Legality , ISSN: 2549-4600, Vol. 25, No. 2, September 2017- Februari
2018, Hlm. 247-260
29
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
sehingga tidak mempunyai akibat hukum mengikat.25Perma ini pada Era
Reformasi dicabut dan diganti dengan Perma No. 1/1999 yang kemudian
dicabut dan diganti lagi dengan Perma No. 1/2004. Perbedaan mendasar dari
Perma No. 1/1999 dengan Perma No. 1/1993 adalah dalam Perma No. 1/1999
dan Perma No. 1/2004 yang disesuaikan dengan perubahan UUD 1945
pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
oleh MA. Pada Tahun 2000, dasar hukum kewenangan MA ini ditingkatkan
dari undang-undang ke TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum
dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan Gagasan Mohammad
Yamin tentang Pengujian undang-undang Terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Dapat kita ketahui bahwa sebelum reformasi pengujian perundang -
undangan hanyalah terhadap ketentuan perundang-undangan dibawah undang-
undang yang bertentangan dengan undang - undang. Peraturan berkaitan
dengan undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 belum
diatur, kemudian pada tahun 2001 melalui perubahan ketiga UUDNRI Tahun
1945, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri mandiri dan
terpisah dari MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. MK berwenang
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUDNRI Tahun 1945, namun
MA tetap diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di
25 Yance Arizona, 2014, Konstitusianalisme Agraria, STPN Press, Yogyakarta, Hlm. 194.
30
bawah undang-undang terhadap undang-undang.26
Sehingga atas penjelasan diatas, model pengujian perundang - undangan
di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), pertama, model pengujian undang -
undang terhadap UUD NRI 1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 dan
diatur lebih lanjut dengan peraturan dibawahnya. Serta model kedua, pengujian
perundang - undangan yakni diuji oleh MA sesuai dengan wewenang MA
dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 yang menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang - undang terhadap undang-undang.
2. Jenis - Jenis Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan secara
teoritik dan praktek dikenal ada dua macam yaitu: pengujian formal (formale
toetsingsrecht) dan pengujian materiil (materiele toetsingsrecht). Pengujian
formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif misalkan
undang-undang, terjelma melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana telah
ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
ataukah tidak. Sementara itu pengujian materiil adalah untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai
atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah
kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
26 Antoni Putra, “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol 15, No.2, Juli 2018, Hlm. 69 - 79
31
tertentu.27
3. Perbandingan Hukum Tata Negara dalam hal Pengujian perundang-
undangan
Pandangan berkaitan dengan ilmu perbandingan hukum tata negara
menurut Kranenburg28 adalah untuk menganalisa secara metodis dan
menetapkan secara sistematis bermacam-macam bentuk sistem
ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah
yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan
sebagainya. Ilmu perbandingan hukum adalah ilmu yang tidak dapat
dipisahkan dengan yang lainnya berkaitan dengan ilmu negara, ilmu hukum,
ilmu hukum tata negara dan yang lainny
Pada tahun 1971, Sri Soemantri memaparkan sebuah pernyataan bahwa
salah satu contoh hasil dari perbandingan hukum yang telah diberlakukan di
Indonesia yakni berkaitan dengan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang didalamnya
menyatakan bahwa :
“Presiden Republik Indonesia memegang jabatannya selama lima tahun,
dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.29
Kemudian Sri Soemantri bertanya, untuk berapa kalikah seseorang dapat
dipilih menjadi presiden? Apakah seseorang dapat dipilih kembali menjadi
27 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajuddin, Memahami Keberadaan Mahakamah
Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 22.
28 Kranenburg, Inleiding in de Vergelijkende Staats-rechtswetenschap, Harleem 1950. Hlm. 2
29 Lihat UUD 1945 NRI sebelum adanya perubahan
32
presiden untuk ketiga kali, keempat kali dan seterusnya, apakah dekimian
halnya, adakah pembatasan waktu tentang persoalan diatas? Dari penjelasan
UUD NRI 1945 ini tidaklah ada titik temu sehingga munculah metode
perbandingan yang pada saat itu dibandingan dengan Amerika serikat
mengenai suatu permasalahan yang sama, bahwa seorang presiden di Amerika
serikat dapat menjadi presiden selama dua kali empat tahun, dengan tujuan
masa jabatan presiden tersebut dibatasi untuk menghindari suatu jabatan yang
memiliki kecenderungan untuk tetap berkuasa. Apabila kekuasaan tersebut
menjadi kepentingan bersama, tidaklah menjadi suatu permasalahan,30 namun
kekhawatiran akan digunakannya sendiri suatu kepentingan tersebut, sehingga
dibatasilah kewenangan dari presiden tersebut untuk menghindari dari
kekuasaan yang diktatur. Sehingga kemudian dijadikanlah pelajaran bagi
Indonesia dengan dibatasilah kewenangan presiden tersebut atas beberapa
analisis dan keutamaan yang diperoleh dari metode perbandingan dengan
negara lain.
Berdasarkan pengalaman yang pernah dicapai oleh Indonesia tersebut,
tidak dapat kita menafikan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
sistem hukum yang kemudian diperbandingan dengan konteks sistem hukum
secara keseluruhan di Indonesia, dengan suatu konteks yang sama, dan
permasalahan yang sama, akan memungkinkan kembali Indonesia kembali
30 Sri Soemantri, Perbandingan antar Hukum Tata Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1971,
Hlm. 5
33
menerapkan suatu aturan baru yang diperoleh dari kemanfaatan aturan yang
telah diberlakukan dinegara lain. Termasuk dalam hal ini yakni pengujian
perundang-undangan yang nantinya Penulis akan berkaca pada sistem
pengujian perundang-undangan yang berada pada negara lain.
Kemudian dalam perspektif Tur31, suatu teori hukum memiliki kaitannya
dengan perbandingan hukum, dapat diakui bahwa teori hukum umum
merupakan kegiatan merefleksikan gejala - gejala hukum yang terjadi
diberbagai sistem ]hukum. Namun, untuk membangun sebuah teori hasil
refleksi, teori hukum umum membutuhkan bahan refleksinya dari gejala-
gejala hukum diberbagai negara untuk diperbandingkan, dilihat dari segi
persamaan-persamaannya serta perbedaan-perbedaannya, serta dibuat sebuah
ikhtisar dan generalisasinya. Dalam hal ini konsep untuk
membandingkan, melihat persamaan dan perbedaan dengan negara yang akan
dibandingkan berdasarkan sistem hukum negara tersebut untuk difokuskan
pada proses pengujian perundang-undangan dinegara tersebut. Perlunya untuk
menggunakan konsep perbandingan dengan negara lain tersebut Penulis ambil
dari sebuah pernyataan Tur bahwa eratnya hubungan antara perbandingan
hukum sebagai disiplin hukum empiris dengan teori hukum umum dapat
digambarkan sebagai sebuah hubungan dialektikal, hubungan yang saling
memengaruhi.
31 Esin Orucu, Critical Comparative Law, Considering Paradoxes for Legal Systems in
Transition, dalam Electronic Journal of Comparative Law, Vol. 4.1, Juni 2000, Hlm. 74
34
“.....teori hukum umum tanpa perbandingan hukum akan kosong dan
logikanya akan bersifat formal semata-mata, sebaliknya perbandingan
hukum tanpa teori hukum umum akan buta. Teori hukum umum dengan
perbandingan hukum akan menjadi nyata dan aktual, perbandingan
hukum dengan teori hukum umum akan selektif dan tajam
pandangannya....”32
Berdasarkan perspektif ahli yang dimuat oleh Penulis, memiliki suatu
tujuan yang erat pula kaitan hubungannya dengan ius constituendum atau
hukum yang digunakan sebagai cita-cita khususnya dalam hal pengujian
perundang-undangan itu sendiri. Tujuan yang pertama, sebagai bentuk
kepentingan akademik atau ilmu pengetahuan. Sebagaimana dikemukakan
oleh Van Apeldoorn33, hukum adalah gejala dunia dan karena ilmu
pengetahuan bercita-cita menyelami gejala-gejala tersebut, ia harus
menjadikan hukum dari seluruh dunia sebagai objek penyelidikannya. Tujuan
kedua, untuk kepentingan reformasi hukum dan pembangunan kebijakan
dengan melakukan adopsi pada hukum asing. Salah satu latar belakang dari
tujuan perbandingan hukum adalah karena melihat adanya ketidaklengkapan
atau kekurangan dalam sistem hukumnya sendiri. Sidharta34melihat bahwa
salah satu latar belakang berkembangnya perbandingan hukum adalah adanya
kebutuhan nyata masyarakat untuk melengkapi hukumnya dengan
32 Ibid, Esin Orucu, Critical Comparative Law, Considering Paradoxes for Legal Systems in
Transition, Hlm. 80
33 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981. Hlm. 434
34 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 1978, Hlm. 128
35
mengadopsi hukum asing. Bagi pembuat UU, tujuan perbandingan hukum
adalah ingin belajar dari pengalaman para legislator negara lain dalam
memilih substansi hukum yang dianggap tepat untuk diberlakukan di
negaranya. Tujuan perbandingan hukum bagi para hakim itu sendiri yakni
untuk dapat memperlajari hukum yang berlaku di negara lain, untuk
kemudian sedapat mungkin dijadikan sumber hukum dalam menemukan
hukumnya.
Tujuan adanya perbandingan hukum yang ketiga yakni, untuk membantu
praktik-praktik hubungan hukum antar negara, untuk melakukan unifikasi dan
harmonisasi internasional dari hukum. Tujuan yang keempat yakni, sebagai
sarana yang menjembatani suatu jurang perbedaan dalam peradilan di
berbagai negara serta membantu dalam menciptakan perdamaian dunia. Hal
tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn35yang
menyatakan bahwa perbandingan hukum juga dapat mendukung kesatuan
hukum dari berbagai negara. Kemudian, tujuan yang kelima, sebagai upaya
untuk perluasan cakrawala dan perspektif sehingga mendorong sikap untuk
dapat lebih menghargai sistem hukum yang berlaku di negaranya sendiri.
Berbagai tujuan tersebut dapat dikategorikan ke dalam tujuan yang sifatnya
ilmu pengetahuan dan tujuan praktis (sosiologis, politis ekonomis, budaya).36
35 Ibid, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Hlm. 500
36 Lihat juga Mary Ann Glendon, Michael Wallace Gordon, Christoper Osakwe, Comparative
Legal Traditions in A Nutshell, West Publishing Cp.St.Paul Minn, 1982, Hlm. 4, yang membagi
36
Dari beberapa pandangan ahli berkaitan dengan tujuan adanya studi
perbandingan dengan negara lain khususnya dari segi sistem hukum yang
diberlakukan pada negara tersebut, yang kemudian tidak njauh dari adanya
sistem pengujian perundang-undangan yang dilakukan oleh negara
tersebutlah yang dikhususkan oleh Penulis. Sehingga atas konsep
perbandingan hukum dengan negara lain, disini Penulis memaparkan manfaat
tatkala menerapkan suatu regulasi yang didasarkan atas perbandingan hukum
dengan negara lain. Manfaat yang pertama, yakni untuk melihat kekurangan
dan kelebihan berkaitan dengan regulasi pengujian suatu perundang-
undangan dinegara lain, sehingga hal ini dijadikan suatu evaluasi dengan cara
mengadopsi hukum dinegara lain tersebut sesuai dengan kebutuhan pengujian
perundang-undangan di Indonesia.
Manfaat yang kedua, yakni sebagai suatu bentuk harmonisasi secara
internasional. Ketiga, sebagai upaya untuk memperoleh teori universal
tentang hukum dalam disiplin hukum, kajian-kajian perbandingan hukum
dapat dipergunakan karena perbandingan hukum sebagai sebuah metodologi
yang nantinya dapat menganalisa konstruksi masing-masing sistem hukum
dari sisi realitas sosialnya, dan yang keempat, informasi dari negara-negara
tersebut dapat diambil sebagai suatu bentuk landasan filosofisnya.37 Sehingga
tujuan perbandingan hukum ada tiga, yakni tujuan professional (bagi hakim dan pembuat UU),
tujuan ilmu pengetahuan, serta tujuan budaya
37 Sundari, 2014, Perbandingan Hukum dan Fenomena Adopsi Hukum, Yogyakarta: Kelompok
37
dapat kita tarik kesimpulan bahwa guna mengkaji suatu regulasi yang berada
pada negara lain adalah upaya untuk membentuk suatu reformulasi dan
kebijakan hukum yang masuk dalam suatu bidang politik hukum, sebagai
pembenahan pada hukum yang saat ini berlaku untuk hukum yang dicita-
citakan secara bersama-sama.
C. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Kehakiman
1. Mahkamah Agung
Sejarah kekuasaan kehakiman sebelum Perubahan UUD NRI 1945, untuk
mengemban kekuasaan yudikatif dalam doktrin trias Politica, dalam UUD NRI
1945, Konstitusi RIS, maupun UUD-S, diserahkan kepada Mahkamah Agung.
Sebagaimana ketentuan pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945:
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan lain - lain badan kehakiman menurut undang - undang”.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa di Indonesia hanya
terdapat satu Mahkamah Agung yang berfungsi sebagai Pengadilan Negara
Tertinggi.38Selama UUD NRI 1945 dilaksanakan dalam periode pertama (tahun
1945 - 1949), pemisahan personalia di antara kekuasaan kehakiman dan kedua
cabang kekuasaan lainnya adalah lengkap, baik dalam teori maupun praktik.39
Pada tanggal 3 Maret 1947 ditetapkan dan diumumkan UU
Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hlm. 13
38 Lihat Ketentuan Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan -
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
39 Ismail Suny, 1981. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta. Aksara Baru. Hlm. 15.
38
No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan
Kejaksaan Agung. Karena dianggap belum memadai, maka undang - undang ini
diubah dan diganti dengan UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan - Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Berdasarkan Pasal 72,
Undang - Undang ini berlaku dengan suatu Penetapan Menteri Kehakiman. UU
No. 19 Tahun 1948 tidak sempat ditetapkan berlaku, sehingga tidak
mempengaruhi UU Nomor 7 Tahun 1947 yang sudah berlaku terlebih
dahulu.40Didalam UU No. 19 Tahun 1948, tidak juga ditemukan pengertian
independensi kekuasaan kehakiman, hanya saja dalam Pasal 3 dikatakan:
Kekuasaan Kehakiman dijalankan dengan tidak memandang kedudukan
dalam masyarakat dari pihak yang berperkara, para hakim merdeka
dalam melaksanakan kekuasaan itu dan hanua merdeka dalam
melaksanakan kekuasaan itu dan hanya tunduk pada undang - undang,
di samping itu pemegang kekuasaan pemerintahan dilarang campur
tangan dalam urusan kehakiman, kecuali dalam hal - hal yang tersebut
dan Undang - Undang Dasar.41
Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan Badan -
Badan Kehakiman dan Kejaksaan, melarang para hakim merangkap jabatan
sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 1946 dan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946,
secara tegas disebutkan tentang bahwa ketua atau Hakim Mahkamah Agung
dan Ketua Pengadilan Tinggi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota
40 Wantjik Saleh, 1966 - 1973. Perkembangan Perundang - Undangan, Jakarta: Cet. 1. Hlm 26
41 Lihat Pasal UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan - Badan
Kehakiman dan Kejaksaan
39
Komite Nasional Pusat (pada masa itu dapat dipersamakan dengan lembaga
legislatif)
Dalam konteks setelah perubahan terhadap Undang - Undang Dasar NRI
1945 bahwa pengujian perundang - undangan, terdapat 2 lembaga peradilan
yang dapat menguji suatu produk hukun. Salah satu nya yakni MA sesuai
dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1) Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan:
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.42
Dalam dasar hukum tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pengujian Peraturan Perundang - Undangan berdasarkan Hierarki Peraturan
Perundang - Undangan sesuai dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan yang terdiri
dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.43 MA berhak menguji Peraturan Perundang - Undangan
42 Lihat Pasal 24 A ayat (1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
43 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang - Undangan
40
dibawah Undang - Undang Terhadap Undang - Undang.
Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang terdiri dari Badan
Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Militer, Badan
Peradilan Tata Usaha Negara. Cita - cita Mahkamah Agung adalah
“Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri,
efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, professionaal dan
memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkaau dan biaya
rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan publik” guna
mencapai visi tersebut, ditetapkan misi sebagai berikut:44
1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang - undang dan
peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat,
2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur
tangan pihak lain, Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan
kepada masyarakat,
3. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan,
4. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan
dihormati,
5. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan
transparan.
44 Lihat Cetak Biru Mahkamah Agung, hlm. 1-2
41
Untuk menciptakan visi tersebut, maka dalam hal rekrutmen dan
pengangkatan hakim agung diarahkan kepada standar kualitas moral,
integritas, dan intelektual seseorang45proses rekuitmen menggunakan sistem
karir. Kemudian mengutip yang disampaikan oleh Simon Shetreet dalam
buku: “Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and
Contemporary Challenges”, menyebutkan independensi secara umum dapat
dibagi atas 4 (empat) jenis, yaitu : Personal Independence, Internal
Independence, Collective Independence, dan Substantive Independence.
Apabila kita lihat dalam peran dan tugas dari Mahkamah Agung tersebut,
MA memiliki dua fungsi yang masih menimbulkan kerancuan hingga saat ini.
Diantaranya peran MA sebagai wujud supremasi hukum yang kemudian
digabungkan dengan tugas Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi
yang membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan.46Dalam perspektif Jimly
Ashiddiqie dalam bukunya Peradilan Konstitusi di 10 Negara47, terdapat
banyaknya 10 (sepuluh) negara yang memiliki lembaga peradilan ganda
untuk menguji suatu konstitusionalitas produk hukum seperti Indonesia.
Diantaranya yakni:
Tabel 2:
45 Harian Kompas, tanggal 26 November 1998, “Kemandirian Hakim Dimulai dari
Memandirikan MA”
46 Ibid, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Hlm. 250
47 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, S.H., M.H, Peradilan Konstitusi di 10 Negara,
Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 14 - 320
42
Negara yang Memiliki Komisi Yudisial Ganda
No. Negara Kewenangan MK Kewenangan Lembaga
Peradilan lainnya
1. Prancis (dalam Pasal 61 dan Pasal 62
Konstitusi Republik Kelima
Prancis(1958)) dinyatakan
bahwa:
“ Article 61: .....ordinary laws
may be referred to the
Constitusional council, before
their promulgation, by the
President of the Republic, the
Prime Minister, the President
of the National Assembly, the
President of the Senate, or 60
deputies or 60 senators.
In this case, the
Constitusoional Council must
decide witohin 1 month. At the
demand of the Government,
after a declaration of urgency,
this time limit is reduced to 8
days A referrel of any law to
the Constitutional C
ouncil suspends its
promulgation.
(Pasal 61 Konstitusi Republik
Kelima Prancis (1958)
menentukan bahwa undang -
undang organic (ordinary
laws), sebelum diundangkan
terlebih dahulu harus
diserahkan kepada Dewan
Konstitusi untuk diuji apakah
sesuai dengan konstitusi.
Permohonan kepada dewan
dapat dilakukan oleh presiden,
Peradilan Umum yang
berpuncak kepada
Mahkamah Agung hanya
dapat menerima
permohonan review
terhadap undang - undang
atau tindakan administratif
yang telah berlaku serta
memiliki akibat hukum
secara nyata.
43
Ketua Majelis Nasional, Ketua
Senat, dan 60 anggota Majelis
Nasional ataupun Senat.
Undang - undang organik
dimaksud dapat berupa produk
hukum (uu) yang mengatur
kekuasaan kehakiman,
komposisi parlemen, keuangan
negara maupun prosedur
Dewan Konstitusi sendiri.
Sehubungan dengan pengujian
suatu rancangan legislasi,
Dewan Konstitusional harus
dapat melahirkan putusan
dalam jangka waktu satu bulan
(30 hari) sejak diterimanya
permohonan itu. Namun, atas
permintaan pemerintah dengan
alasan yang sangat mendesak,
batas waktu itu dapat
dipersingkat menjadi delapan
hari).
Article 62: A provison declared
unconstitutional may not be
promulgation nor may it enter
into force.
The decision of the
Constitutional Council may
not be applealed.
(Pasal 62 Konstitusi Republik
Kelima Prancis (1958),
menyatakan bahwa ketentuan
hukum yang telah dinyatakan
tidak konstitusional oleh
Dewan Konstitusi, selanjutnya
ketentuan tersebut tidak dapat
berlaku atau
diimplementasikan).
44
2. Korea
Selatan
(dalam Pasal 111 ayat (1)
Konstitusi Korea Selatan
1987), Mahkamah Konstitusi
memiliki kewenangan yakni: 1. Mengadili konstitusionalitas
suatu undang - undang atas
permintaan Pengadilan. 2. Pemakzulan (impeachment). 3. Memutus pembubaran partai
politik yang tidak
konstitusional 4. Menyelesaikan sengketa
kewenangan antar lembaga -
lembaga negara
5. Memutus permohonan
individual.
(dalam Article 107 (2):
“The Supreme Court has
power to make a final
review of constitutionality
or legality of administrative
decrees, regulation or
action, when their
constitutionallyity or
legality is at in trial”
(Artinya: Karena MA di
Korea Selatan memperoleh
mandat konstitusi yang
memiliki kekuasaan
eksplisit untuk mengadili
konstitusionalitas tindakan
pemerintah).
3. Afrika
Selatan
(dalam Pasal 167 Konstitusi
Afrika Selatan), Mahkamah
Konstitusi memiliki lima
kewenangan, yaitu: 1. Decide disputes between
organs of state in national or
provincial sphere concerning
the constitutional status, power
of functions of any those
organs of state.
2. Decide application
envisaged in section 8037 or
12238.
3. Decide on the
constitutionality of any
amendment to the Constitution. 4. Decide that Parliament or
the President has failed to
fulfill a constitutional
obligation, or 5. Certify a provincial
constitution in terms on section
Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, atau
pengadilan lainnya meminta
permintaan pembatalan
suatu ketentuan hukum
yang dimohonkan oleh
Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, atau
pengadilan lainnya
45
14439.
Sumber data : Diolah oleh Penulis dari buku yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie
dan Ahmad Syahrizal yang berjudul Peradilan Konstitusi di 10 Negara.
Dari beberapa negara yang yang memiliki kekuasaan kehakiman ganda
dalam hal menguji suatu perundang - undangan tersebut, Penulis memilih 3
(tiga) negara untuk dijadikan studi perbandingan. Pertama, Prancis,
persamaan antara Prancis dengan Indonesia terletak pada bentuk negara
kesatuan, kemudian pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Prancis ditulis sama seperti Indonesia dalam bentuk Konstitusi. Kemudian,
konsep kedaerah di Prancis mengenal dekonsentrasi serta desentralisasi.
Sistem pemerintahan daerah Perancis mirip dengan sistem di Indonesia
dimana disamping adanya daerah-daerah administratif terdapat juga daerah
otonom, seperti misalnya departemen dan commune.
Kedua, Korea selatan bentuk negaranya Republik dan Presiden sebagai
kepala negara pada negara tersebut. Kemudian yang Ketiga, Afrika Selatan
memiliki bentuk negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik,
sistem pemerintahan presidensiil dimana kedudukan Presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan sama seperti di Indonesia, dan dalam
parlemen menggunakan sistem Bikameral yang terdiri dari majelis nasional
dan dewan nasional provinsi. Serta dalam lembaga yudikatif di Prancis
memiliki 2 (dua) peradilan ganda, yakni constitusional court dan supreme
court.
46
Lembaga kekuasaan kehakiman ganda tersebut, kemudian dibandingkan
dengan Indonesia bahwa kewenangan MK lebih luas untuk menafsirkan
suatu produk hukum. Namun masih terdapat negara yang dalam hal menguji
perundang-undangan, MA tetap memiliki kewenangan untuk menguji
perundang-undangan yang bersifat konkret, yakni Prancis. Seperti pada tabel
diatas, kewenangan MA yang memiliki Peradilan Umum yang berpuncak
kepada Mahkamah Agung hanya dapat menerima permohonan review
terhadap undang - undang atau tindakan administratif yang telah berlaku
serta memiliki akibat hukum secara nyata.
2. Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 mengalami
perubahan yang telah menyebabkan perubahan mendasar dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.48 Karena prinsip pemisahan kekuasaan secara
horisontal mulai dianut oleh Para perumus UUD dan prinsip check and
balances antara lembaga - lembaga - lembaga tinggi negara mulai diterapkan.
Perubahan ketiga UUD 1945 yang disetujui dalam sidang Tahunan MPR
tanggal 9 Nopember 2001, telah mengubah struktur ketatanegaraan
Indonesia, dimana seluruh lembaga tinggi negara berada dalam posisi yang
sederajat, sebab sebelum perubahan terhadap UUD 1945 tersebut kedaulatan
rakyat masih dipegang oleh MPR sehingga MPR lah yang menjadi lembaga
48 Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, ELSAM, Jakarta, 2004. Hlm. 11
47
tinggi negara dan Presiden hanya sebagai mandataris MPR. Dan kekuasaan
kehakiman yang semula hanya diberikan kepada Mahkamah Agung dan
pengadilan - pengadilan di bawah MA, kini telah dibagi kepada dua lembaga,
yaitu MA dan MK. Kedudukan MK sebagai lembaga pemegang kekuasaan
kehakiman, menjadi paralel dengan MA.49 Pada saat itu pula, MK hadir
sebagai lembaga yang mutlak ingin dijadikan sebagai penguji
konstitusionalitas UU, karena sebelumnya MA sebagai lembaga peradilan
baru seusai kemerdekaan Bangsa Indonesia dinilai belum mumpuni tatkala
harus menyelesaikan suatu konstitusionalitas UU.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai lembaga
yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 UUD Negara RI adalah suatu
lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga negara
lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi dimuat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang - Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang - undang
terhadap Undang - Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang - Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan
49 DR. J. Djohansjah, SH., MH, 2008. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi
Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: KBI. Hlm. 113
48
tentang pemilihan umum”50
Dalam dasar hukum tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pengujian Peraturan Perundang - Undangan berdasarkan Hierarki Peraturan
Perundang - Undangan sesuai dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan yang terdiri dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.51MK
berhak menguji Undang - Undang terhadap Undang - Undang Dasar NRI
1945.
Apabila merujuk terhadap kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut terhadap
Mahkamah Konstitusi akan membawa konsekuensi bahwa MK berfungsi
sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi
sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggara negara berdasarkan prinsip
demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi
manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional
warga negara. Oleh karena itu MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi
50 lihat Pasal 24 C ayat (1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
51 Ibid, lihat Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang - Undangan
49
(the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara
(the protector of the citizen’s constitutional rights) serta pelindung hak asasi
manusia (the protector of human rights).52 Sistem rekuitemen hakim MK
dengan menggunakan sistem politik dan secara historical upproach MK
memang sebagai lembaga yang lahir sebagai pengawal konstitusional agar
terwujud perlindungan bagi hak-hak asasi manusia. Sebagaimana
dikemukakan oleh Locke bahwa hukum digunakan untuk menegakkan hak
asasi manusia, yang di dalamnya menjamin life, liberty, dan property.53
Mekanisme peradilan konstitusi (constitution adjudication) itu sendiri
merupakan hal baru yang diadopsikan ke dalam sistem konstitusional
Indonesia dengan dibentuknya MK. Peradilan konstitusional itu dimaksudkan
untuk memastikan bahwa UUD sungguh - sungguh dijalankan atau ditegakkan
dalam kegiatan penyelenggaraan negara sehari - hari. Pengujian terhadap
lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh -
sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama
sekali baru. Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan
konstitusi Indonesia dan kewenangan konstitusional MK saat ini adalah
perwujudan prinsip check and balances yang menempatkan semua lembaga -
lembaga negara dalam kedudukan sejajar, sehingga dapat saling kontrol dalam
52 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945, Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 195-200
53 Ahmad Syahrizal, 2006. Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta. Pradnya Paramita. Hlm. 26.
50
praktek penyelenggaraan negara. Kebaradaan MK jelas merupakan langkah
progresif untuk mengoreksi kinerja antar lembaga negara khususnya dalam
proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara. Berikut susunan
lembaga negara salah satunya yakni MK setelah adanya perubahan terhadap
UUD NRI 1945.
Tabel 3:
Struktur Pembagian Kekuasaan Negara Indonesia Berdasarkan UUD
1945 dan Perubahannya
MA
MK
DPR
DPD
KEKUASAAN
NEGARA
LEGISLATIF
EKSEKUTIF
YUDIKATI
F
MP
R
PRESIDEN &
WAKIL
PRESIDEN
51
Sumber data : Buku yang ditulis oleh MPR, berjudul ketetapan MPR RI
No.1/MPR/2003 tentang peninjauan kembali materi dan status hukum ketetapan
MPRS dan ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, Hlm. 2-3
Pada tabel diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa setelah adanya
perubahan UUD 1945, seluruh lembaga negara memiliki kedudukan yang
sejajar dalam UUD NRI 1945, baik itu lembaga legislatif, Eksekutif maupun
Yudikatif. Lembaga negara dalam UUD 1945 (setelah perubahan) mengalami
banyak perubahan - perubahan. Bagir Manan mencatat ada lima perubahan,
mencakup:
(1) Perubahan pengertian lembaga negara.
(2) Perubahan kedudukan lembaga negara.
(3) Perubahan macam - macam lembaga negara.
(4) Perubahan tugas dan wewenang lembaga negara.
(5) Perubahan hubungan antar lembaga negara.54
Bahkan, kewenangan MA sejajar dengan MK. Yang membedakan
hanyalah pengalaman hadirnya MA dan MK, MK sejatinya yang dikhususkan
untuk menguji suatu konstitusionalitas suatu produk hukum. Selanjutnya
berkaitan dengan perbedaan judicial Review peraturan perundang - undangan
yang diajukan terhadap MA dan MK, terletak pada mekanisme pengajuan,
54 Bagir Manan, Pembaharuan Lembaga - Lembaga Negara dalam UUD 1945-Baru, Makalah
yang disampaikan sebagai ceramah di hadapan civitas akademika Universitas Sam Ratulangi,
Manado, Januari. 2007. Hlm. 3
52
dan legal standing pemohon. Berikut tabelnya:
Tabel 4:
Perbedaan Uji Materiil di MA dan Judicial Review di MK
Perbedaan MA MK
Mekanisme (Merujuk pada Pasal 31A
ayat 2 Undang - Undang
Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung)
mekanisme Uji Materiil
terdiri dari:
1. Permohonan pengujian
peraturan perundang -
undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-
undang diajukan langsung
oleh pemohon atau
kuasanya kepada
Mahkamah Agung dan
dibuat secara tertulis dalam
bahasa Indonesia.
2.Permohonan hanya dapat
dilakukan oleh pihak yang
menganggap haknya
dirugikan oleh berlakunya
peraturan perundang-
undangan di bawah
undang-undang.
3.Permohonan sekurang -
kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat
pemohon; b. uraian
mengenai perihal yang
menjadi dasar permohonan
dan menguraikan dengan
jelas bahwa: 1. materi
(Merujuk pada Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi dalam
Undang - Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang
Mahkamah Konstitusi),
mekanisme pengajuan
Judicial Review yakni:
1. Pengajuan Permohonan,
2. Permohonan
dan Penjadwalan
Sidang
3. Alat Bukti,
4.PemeriksaanPendahuluan,
5.Pemeriksaan Persidangan,
6. Putusan.
53
muatan ayat, pasal,
dan/ataubagian peraturan
perundang-undangan di
bawah undang-undang
dianggap bertentangan
dengan peraturan
perundang-undangan yang
lebih tinggi; dan/atau 2.
pembentukan peraturan
perundang - undangan
tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku; dan c. hal-
hal yang diminta untuk
diputus.
4. Permohonan pengujian
dilakukan oleh Mahkamah
Agung paling lama 14
(empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal
diterimanya permohonan.
5. Dalam hal Mahkamah
Agung berpendapat bahwa
pemohon atau
permohonannya tidak
memenuhi syarat, amar
putusan menyatakan
permohonan tidak
diterima.
6. Dalam hal Mahkamah
Agung berpendapat bahwa
permohonan beralasan,
amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
7. Dalam hal permohonan
dikabulkan, amar putusan
menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian dari
54
peraturan perundang -
undangan di bawah
undang - undang yang
bertentangan dengan
peraturan perundang -
undangan yang lebih
tinggi.
8. Putusan Mahkamah
Agung yang mengabulkan
permohonan harus dimuat
dalam Berita Negara atau
Berita Daerah paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal
putusan diucapkan.
9. Dalam hal peraturan
perundang-undangan di
bawah undang-undang
tidak bertentangan dengan
peraturan perundang -
undangan yang lebih
tinggi dan/atau tidak
bertentangan dalam
pembentukannya, amar
putusan menyatakan
permohonan ditolak.
10. Ketentuan mengenai
tata cara pengujian
peraturan perundang-
undangan di bawah
undang-undang diatur
dengan Peraturan
Mahkamah Agung.
2. Legal Standing (Merujuk pada Pasal 31
ayat (2) Undang - Undang
Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua
atas Undang - Undang
(Merujuk pada Pasal 51 ayat
(1) Undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Mahkamah
Konstitusi) legal standing
pemohon di MK yakni:
55
Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung)
legal standing pemohon Uji
Materiil adalah:
1. Perorangan warga negara
Indonesia,
2. Kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang
masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam
undang-undang,
3. Badan hukum publik atau
badan hukum privat.
1. Perorangan warga negara
Indonesia,
2. Kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang,
3. Badan hukum publik atau
privat, atau
4. lembaga negara
Sumber data : Diolah dari ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun
2009 Tentang Mahkamah Agung, dan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Mahkamah Konstitusi
Apabila kita cermati pada tabel tersebut, proses pengajuan judicial review
kepada MA dan MK memiliki tahapan yang tidak sama, pemohon dalam
pengajuan judicial review dapat diajukan oleh 4 pemohon, yakni perorangan
warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan
hukum publik atau privat, atau dan lembaga negara, namun pengajuan
judicial review pada MA, pemerintah tidak memiliki legal standing untuk
mengajukan judicial review.
D. Tinjauan Umum Tentang Rekonstruksi
56
Pembaharuan atau rekonstruksi secara terminologi memiliki berbagai
macam pengertian, dalam perencanaan pembangunan nasional sering dikenal
dengan istilah rekonstruksi. Rekonstruksi memiliki arti bahwa “re” berarti
pembaharuan sedangkan, konstruksi‟ sebagaimana penjelasan diatas memiliki arti
suatu sistem atau bentuk. Beberapa pakar mendifinisikan rekontruksi dalam
berbagai interpretasi B.N Marbun mendifinisikan secara sederhana penyusunan
atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali
sebagaimana adanya atau kejadian semula55sedangkan menurut James P. Chaplin
Reconstruction merupakan penafsiran data psikoanalitis sedemikian rupa, untuk
menjelaskan perkembangan pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya
yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan.56
Salah satunya seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi rekonstruksi itu
mencakup tiga poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan
tetap menjaga watak dan karakteristiknya. Kedua, memperbaiki hal-hal yang telah
runtuh dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah lemah. Ketiga,
memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik
aslinya. Dari sini dapat dipahami bahwa pembaharuan bukanlah menampilkan
sesuatu yang benar-benar baru, namun lebih tepatnya merekonstruksi kembali
55 Pusat Bahasa (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka,
Hlm. 50
56 James P. Chaplin, 1997, Kamus Lengkap Psikologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hlm.421
57
kemudian menerapkannya dengan realita saat ini.57Berdasarkan uraian diatas
maka dapat peneliti simpulkan maksud rekonstruksi dalam penelitian ini adalah
pembaharuan system atau bentuk yang berhubungan dengan rekonstruksi
pengujian perundang-undangan.
57 Yusuf Qardhawi dalam Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih, 2014 Al-Fiqh Al-Islâmî
bayn Al-Ashâlah wa At-Tajdîd, Tasikmalaya, Hlm. 51