bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/bab ii.pdf ·...

38
20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara Hukum 1. Konsep Negara Hukum Konsep Negara Hukum dikualifikasikan menjadi dua, pertama, Negara Hukum Formal dimana pada kemunculannya kembali azas demokrasi di Eropa hak - hak politik rakyat dan hak - hak azasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu maka timbulah suatu gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Diatas konstitusi inilah bisa ditentukan batas - batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak - hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga - lembaga hukum. Gagasan inilah yang kemudian dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketatanegaraan. 13 Carl J. Friedlick mengemukakan bahwa konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang di maksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang 13 Miriam Budiardjo, Dasar - dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982. Hlm. 56-57 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 37

Upload: others

Post on 28-Dec-2019

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Negara Hukum

1. Konsep Negara Hukum

Konsep Negara Hukum dikualifikasikan menjadi dua, pertama, Negara

Hukum Formal dimana pada kemunculannya kembali azas demokrasi di

Eropa hak - hak politik rakyat dan hak - hak azasi manusia secara individu

merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu

maka timbulah suatu gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah

melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Diatas

konstitusi inilah bisa ditentukan batas - batas kekuasaan pemerintah dan

jaminan atas hak - hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah

diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga - lembaga hukum.

Gagasan inilah yang kemudian dinamakan konstitusionalisme dalam sistem

ketatanegaraan.13Carl J. Friedlick mengemukakan bahwa konstitusionalisme

adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang

diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa

pembatasan yang di maksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang

13Miriam Budiardjo, Dasar - dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982. Hlm. 56-57

Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm. 37

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

21

diperlukan untuk memerintah itu tidak disalah-gunakan oleh mereka yang

mendapat tugas untuk memerintah.14Dalam klasifikasi oleh Arief Budiman

didasarkan kriteria kenetralan dan kemandirian negara konsep demokrasi

konstitusional abad 19 atau negara hukum formal ini bisa disebut sebagai

negara pluralisme yaitu negara yang tidak mandiri yang hanya bertindak

sebagai penyaring berbagai keinginan dari dalam masyarakat. Dalam negara

pluralis libertarian ini setiap kebijakan yang dikeluarkan bukanlah atas

inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses

penyerapan aspirasi masyarakat secara penuh melalui parlemen.15

Yang kedua, Negara Hukum Material mempunyai ciri - ciri pemerintahan

bahwa demokrasi meluas mencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang

dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan yang berusaha

memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama harus mampu

mengatasi ketidak merataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Gagasan

baru ini disebut dengan Welfare Staat atau Negara Hukum Material.16

2. Tipe - Tipe Negara Hukum

Menurut I Dewa Gede Atmadja mengklasifikasikan tipe - tipe negara

14 Carl J. Friedrich, Constitutional Government and Democracy: Theory and Democracy:

Theory and Practice in Europe and America, (5Th edition: Weldham, Mass: Blaisdell Publisting

Company, 1967), dalam Miriam Budiardjo, Ibid.

15 Arief Budiman, Negara, Kelas dan Formasi Sosial, (wawancara) dalam majalah Keadilan,

No. 1 Tahun XII/1985. Hlm. 39

16 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.

Hlm. 26-29

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

22

hukum dalam bukunya Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, yang

pertama, Tipe Rechtsstaat. Menurut Bart Hassel dan Piotr Hofmanski,

Rechtsstaat dalam perkembangannya dibedakan atas Rechtsstaat klasik dan

Rechtsstaat Modern. Tipe Rechtsstaat klasik disebut “negara demokrasi

konstitusional” dan ciri - ciri Rechtsstaat klasik disebut “negara demokrasi

konstitusional” diartikan sebagai demokrasi yang berpaham liberal dan

sistem pemerintahannya parlementer. Disebutkan, dalam negara jenis ini ada

4 (empat) asas, yaitu: asas legislasi (legislation). Artinya, kedudukan

masyarakat sipil harus diatur dengan undang - undang yang dibuat oleh

parlemen yang dipilih secara demokratis. Dan asas legalitas, yakni

pemerintah harus berperilaku atau bertindak berdasarkan peraturan umum

yang ditetapkan oleh parlemen (Acts of Parliament) dan pemerintah tidak

boleh bertindak dengan instrumen diskresi atau wewenang bebas.

Selanjutnya, asas kekuasaan kehakiman yang merdeka atau prinsip keadilan

yang independen (Independence Judiciary). Artinya, peradilan tidak

dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Berikutnya

berkaitan dengan asas yang berasal dari unsur negara hukum, yakni asas -

asas perlindungan hak - hak sipil, khususnya hak - hak sipil klasik, seperti:

kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat.

Yang kedua, tipe Rule of Law, diperkenalkan oleh A.V.Dicey melalui

tulisannya dalam bukunya yang berjudul “Introdustio to The Study of The

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

23

Law of The Constitution” bahwa unsur - unsur Rule of Law mengandung tiga

elemen, yakni: Supremacy of law dimaknai dengan tidak adanya kekuasaan

yang sewenang - wenang. Baik penguasa yang memerintah maupun

masyarakat yang diperintah harus tunduk kepada hukum. Dengan demikian,

hukumlah yang tertinggi (supreme), selanjutnya Equality before dalam

bahasa Dicey, elemen Legal equality diartikan bahwa semua warga dari

semua kelas tunduk pada satu hukum yang ditegakkan oleh Pengadilan

Umum (Ordinary Court), dan Constitution based on human rights

(Konstitusi yang berdasarkan hak asasi) dimaknai sebagai hak asasi yakni

kebebasan personal atau individu dilindungi melalui putusan pengadilan.

Contohnya, terwujud dalam asas bahwa hakim memberikan remedy

(memulihkan hak) jika hak seseorang dilanggar.

Yang ketiga, Tipe Socialist Legality tipe ini dianut oleh negara - negara

Sosialis - Komunis dan pemikiran - pemikirannya dikembangkan oleh juris -

juris sosialis seperti dalam forum ilmiah di Warsawa (Polandia), yang dikenal

“Warsawa Qolloqium”. Unsur - unsur sebagai penanda Tipe Socialist

Legality yakni: Perwujudan sosialisme, Hukum sebagai alat politik di bawah

ideologi sosialis, dan pengutamaan kewajiban kepada negara daripada

perlindungan hak - hak asasi manusia. Hal penting yang perlu dicatat pada

negara hukum tipe socialist Legality adalah, bahwa dalam Konstitusi

berbagai negara Sosialis - Komunis, dilegalkan kebebasan melakukan

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

24

propaganda anti agama. Kebebasan anti agama bagi bangsa Indonesia jelas

merupakan tindakan ilegal dan bertentangan dengan Dasar Negara Republik

Indonesia Pancasila.

Yang keempat, Pemikiran Negara Hukum Pancasila. Mengutip tulisan oleh

Satjipto Rahardjo tentang negara hukum dalam bukunya berjudul “Negara

Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya” bahwa jantung dari gagasan

negara hukum yang ditawarkan adalah negara yang bernurani atau negara

yang membahagiakan rakyatnya. Jika dimaknai dalam konsteks

keindonesiaan, maka pemikiran negara hukum Satjipto Rahardjo dapat

ditempatkan pada wujud empirik pemikiran tentang “Negara Hukum

Pancasila”. Mengutip Soediman Kartohadiprodjo, bahwa negara hukum

Pancasila dicirikan menjadi: jiwa kekeluargaan, musyawarah mufakat

berlandaskan hukum adat, melindungi rakyat dari tindakan pemerintah yang

sewenang - wenang, dan mengutamakan tugas dan tanggungjawab bagi

lembaga - lembaga negara dan bukan mengutamakan kekuasaan.

3. Unsur - unsur negara hukum

Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental

memberikan ciri - ciri Rechstaat sebagai berikut: Hak - hak azasi manusia,

pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak - hak azasi

manusia itu yang bisa dikenaal sebagai Trias Politica, pemerintah

berdasarkan peraturan - peraturan (Wetmatigheid van bestuur), peradilan

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

25

administrasi dan perselisihan.17

Sedangkan AV Dicey dari kalangan ahli Anglo Saxon memberikan ciri

Rule of Law sebagai berikut: Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada

kesewenang - wenangan, sehingga seorang hanya boleh dihukum jika

melanggar hukum, Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat

biasa maupun jelata, dan terjaminnya hak - hak manusia oleh Undang -

Undang dan keputusan - keputusan pengadilan.18

B. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Perundang - Undangan

Pengujian peraturan perundang-undangan secara terminologi bahasa

terdiri dari kata “pengujian” dan “peraturan perundang-undangan”. Pengujian

berasal dari kata “uji” yang memiliki arti percobaan untuk mengetahui mutu

sesuatu, sehingga pengujian diartikan sebagai proses, cara, perbuatan, menguji.

sedangkan peraturan perundang-undangan diartikan sebagai peraturan tertulis

yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur

yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang - undangan. Dengan demikian

pengujian peraturan perundang - undangan dapat diartikan sebagai proses untuk

menguji peraturan tertulis baik yang dibentuk oleh lembaga negara maupun

17 Oemar Seno Adji, “Prasaran” dalam Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa,

Jakarta, 1966, hlm. 24

18 E.C.S. Wade dan G. Gogfrey, Constitutional Law: An Outline of The Law and Practice of

The Citizen and the Including Central and Local Government, the Xitizen and the state and

Administrative Law, 7th Edition, Longmans, London, 1965, Hlm. 50-51

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

26

pejabat yang berwenang yang memiliki kekuatan mengikat secara umum.19

Pengujian peraturan perundang-undangan telah dikenal lama dalam

berbagai tradisi hukum, sehingga ada dikenal dengan istilah toetsingsrecht dan

judicial review. Bila diartikan secara etimologis dan terminologis toetsingsrecht

berarti hak untuk menguji dan judicial review berarti peninjauan oleh lembaga

pengadilan. Pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang

sama yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.20

Dalam hal mengajukan permohonan Judicial Review, Pemohon memiliki

hak konstitusionalitas untuk mengajukan suatu aturan hukum yang menciderai

hak - haknya. Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh konstitusi atau

Undang-Undang Dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat.

Karena dicantumkan di dalam konstitusi atau sehingga seluruh cabang kekuasaan

negara wajib untuk menghormatinya.21

Karena hak konstitusional merupakan bagian dari konstitusi dan untuk

menjamin hak-hak konstitusional dari setiap warga negara, negara berkewajiban

untuk membentuk lembaga yang memiliki kewenangan tersebut. Indonesia saat

19 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 37

20 I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum Dan Ilmu PerundangUndangan Di

Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2008, Hlm. 117

21 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) sebagai Upaya

Hukum Perlindungan Hak-hak Konstitusional Warga Negara: Studi Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia dengan Rujukan Amerika Serikat, Republik Federal Jerman dan

Korea Selatan sebagai Perbandingan, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum, Universitas Indonesia,

2011, Hlm. 1

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

27

ini memiliki lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk menjamin hak-

hak konstitusional dari setiap warga negara dengan mekanisme melakukan

pengaduan konstitusional yang salah satu bentuknya adalah pengujian materi

terhadap peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang - undangan

menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah

Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan

dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jenis dan

hierarkinya diatur didalam Pasal 7 Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebagai salah satu produk hukum sebagai produk keputusan, peraturan perundang

- undangan yang keputusan-keputusannya bersifat umum dan abstrak (general and

abstract) biasanya bersifat mengatur. Sedangkan yang bersifat individual dan

konkret (concrete and individual) dapat merupakan keputusan yang bersifat atau

berisi penetapan administratif (beschikking).22

Produk hukum yang terdiri dari berbagai bentuk tersebut dapat dilakukan

kontrol atau pengawasan melalui mekanisme kontrol norma hukum (legal norm

control mechanism). Kontrol dapat dilakukan melalui pengawasan atau

pengendalian politik, pengendalian administratif, atau kontrol hukum melalui

22 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, 2014, Hlm.7

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

28

lembaga-lembaga negara yang kewenangannya telah diatur oleh peraturan

perundang-undangan.23

1. Model Pengujian Perundang-Undangan

Model pengujian perundang-undangan pasca reformasi mengalami suatu

perubahan yakni dijalankan oleh dua institusi yaitu Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi24, yang semula pengujian perundang-undangan hanya

dapat diajukan tatkala peraturan perundang-undangan tersebut dibawah

undang-undang kemudian bertentangan dengan undang - undang. Berkaitan

dengan pengujian perundang-undangan yang hanya dapat diuji dengan undang -

undang tersebut merupakan kewenangan dari MA sesuai dengan ketentuan awal

diaturnya kewenangan tersebut dalam UUD NRI Tahun 1945 periode pertama

(1945-1949), KRIS 1949 (1949-1950), UUDS 1950 (1950-1959), UUDNRI

Tahun 1945 periode 1959-1966 (Orde Lama) dan periode 1966-1998 (Orde

Baru).

Kewenangan judicial review MA tersebut pada masa Orde Baru terdapat

dalam Pasal 31 UU No. 14/1985 tentang Kekuasaan Kehakiman. MA kemudian

mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/1993 tentang Hak

Uji Materiil. Di dalam perma ini MA yang memperbolehkan Pengadilan Negeri

menyatakan suatu peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah

23 Ibid, Hlm. 5

24 Sholahudin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap Melalui

Mahkamah Konstitusi”, Legality , ISSN: 2549-4600, Vol. 25, No. 2, September 2017- Februari

2018, Hlm. 247-260

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

29

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,

sehingga tidak mempunyai akibat hukum mengikat.25Perma ini pada Era

Reformasi dicabut dan diganti dengan Perma No. 1/1999 yang kemudian

dicabut dan diganti lagi dengan Perma No. 1/2004. Perbedaan mendasar dari

Perma No. 1/1999 dengan Perma No. 1/1993 adalah dalam Perma No. 1/1999

dan Perma No. 1/2004 yang disesuaikan dengan perubahan UUD 1945

pengajuan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

oleh MA. Pada Tahun 2000, dasar hukum kewenangan MA ini ditingkatkan

dari undang-undang ke TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan Gagasan Mohammad

Yamin tentang Pengujian undang-undang Terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Dapat kita ketahui bahwa sebelum reformasi pengujian perundang -

undangan hanyalah terhadap ketentuan perundang-undangan dibawah undang-

undang yang bertentangan dengan undang - undang. Peraturan berkaitan

dengan undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 belum

diatur, kemudian pada tahun 2001 melalui perubahan ketiga UUDNRI Tahun

1945, dibentuklah Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri mandiri dan

terpisah dari MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. MK berwenang

melakukan pengujian undang-undang terhadap UUDNRI Tahun 1945, namun

MA tetap diberi kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di

25 Yance Arizona, 2014, Konstitusianalisme Agraria, STPN Press, Yogyakarta, Hlm. 194.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

30

bawah undang-undang terhadap undang-undang.26

Sehingga atas penjelasan diatas, model pengujian perundang - undangan

di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua), pertama, model pengujian undang -

undang terhadap UUD NRI 1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 dan

diatur lebih lanjut dengan peraturan dibawahnya. Serta model kedua, pengujian

perundang - undangan yakni diuji oleh MA sesuai dengan wewenang MA

dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI 1945 yang menguji peraturan perundang-

undangan dibawah undang - undang terhadap undang-undang.

2. Jenis - Jenis Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan secara

teoritik dan praktek dikenal ada dua macam yaitu: pengujian formal (formale

toetsingsrecht) dan pengujian materiil (materiele toetsingsrecht). Pengujian

formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif misalkan

undang-undang, terjelma melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana telah

ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

ataukah tidak. Sementara itu pengujian materiil adalah untuk menyelidiki dan

kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai

atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah

kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan

26 Antoni Putra, “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-undangan”, Jurnal Legislasi

Indonesia, Vol 15, No.2, Juli 2018, Hlm. 69 - 79

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

31

tertentu.27

3. Perbandingan Hukum Tata Negara dalam hal Pengujian perundang-

undangan

Pandangan berkaitan dengan ilmu perbandingan hukum tata negara

menurut Kranenburg28 adalah untuk menganalisa secara metodis dan

menetapkan secara sistematis bermacam-macam bentuk sistem

ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah

yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan

sebagainya. Ilmu perbandingan hukum adalah ilmu yang tidak dapat

dipisahkan dengan yang lainnya berkaitan dengan ilmu negara, ilmu hukum,

ilmu hukum tata negara dan yang lainny

Pada tahun 1971, Sri Soemantri memaparkan sebuah pernyataan bahwa

salah satu contoh hasil dari perbandingan hukum yang telah diberlakukan di

Indonesia yakni berkaitan dengan Pasal 7 UUD NRI 1945 yang didalamnya

menyatakan bahwa :

“Presiden Republik Indonesia memegang jabatannya selama lima tahun,

dan sesudahnya dapat dipilih kembali”.29

Kemudian Sri Soemantri bertanya, untuk berapa kalikah seseorang dapat

dipilih menjadi presiden? Apakah seseorang dapat dipilih kembali menjadi

27 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajuddin, Memahami Keberadaan Mahakamah

Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 22.

28 Kranenburg, Inleiding in de Vergelijkende Staats-rechtswetenschap, Harleem 1950. Hlm. 2

29 Lihat UUD 1945 NRI sebelum adanya perubahan

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

32

presiden untuk ketiga kali, keempat kali dan seterusnya, apakah dekimian

halnya, adakah pembatasan waktu tentang persoalan diatas? Dari penjelasan

UUD NRI 1945 ini tidaklah ada titik temu sehingga munculah metode

perbandingan yang pada saat itu dibandingan dengan Amerika serikat

mengenai suatu permasalahan yang sama, bahwa seorang presiden di Amerika

serikat dapat menjadi presiden selama dua kali empat tahun, dengan tujuan

masa jabatan presiden tersebut dibatasi untuk menghindari suatu jabatan yang

memiliki kecenderungan untuk tetap berkuasa. Apabila kekuasaan tersebut

menjadi kepentingan bersama, tidaklah menjadi suatu permasalahan,30 namun

kekhawatiran akan digunakannya sendiri suatu kepentingan tersebut, sehingga

dibatasilah kewenangan dari presiden tersebut untuk menghindari dari

kekuasaan yang diktatur. Sehingga kemudian dijadikanlah pelajaran bagi

Indonesia dengan dibatasilah kewenangan presiden tersebut atas beberapa

analisis dan keutamaan yang diperoleh dari metode perbandingan dengan

negara lain.

Berdasarkan pengalaman yang pernah dicapai oleh Indonesia tersebut,

tidak dapat kita menafikan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan

sistem hukum yang kemudian diperbandingan dengan konteks sistem hukum

secara keseluruhan di Indonesia, dengan suatu konteks yang sama, dan

permasalahan yang sama, akan memungkinkan kembali Indonesia kembali

30 Sri Soemantri, Perbandingan antar Hukum Tata Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1971,

Hlm. 5

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

33

menerapkan suatu aturan baru yang diperoleh dari kemanfaatan aturan yang

telah diberlakukan dinegara lain. Termasuk dalam hal ini yakni pengujian

perundang-undangan yang nantinya Penulis akan berkaca pada sistem

pengujian perundang-undangan yang berada pada negara lain.

Kemudian dalam perspektif Tur31, suatu teori hukum memiliki kaitannya

dengan perbandingan hukum, dapat diakui bahwa teori hukum umum

merupakan kegiatan merefleksikan gejala - gejala hukum yang terjadi

diberbagai sistem ]hukum. Namun, untuk membangun sebuah teori hasil

refleksi, teori hukum umum membutuhkan bahan refleksinya dari gejala-

gejala hukum diberbagai negara untuk diperbandingkan, dilihat dari segi

persamaan-persamaannya serta perbedaan-perbedaannya, serta dibuat sebuah

ikhtisar dan generalisasinya. Dalam hal ini konsep untuk

membandingkan, melihat persamaan dan perbedaan dengan negara yang akan

dibandingkan berdasarkan sistem hukum negara tersebut untuk difokuskan

pada proses pengujian perundang-undangan dinegara tersebut. Perlunya untuk

menggunakan konsep perbandingan dengan negara lain tersebut Penulis ambil

dari sebuah pernyataan Tur bahwa eratnya hubungan antara perbandingan

hukum sebagai disiplin hukum empiris dengan teori hukum umum dapat

digambarkan sebagai sebuah hubungan dialektikal, hubungan yang saling

memengaruhi.

31 Esin Orucu, Critical Comparative Law, Considering Paradoxes for Legal Systems in

Transition, dalam Electronic Journal of Comparative Law, Vol. 4.1, Juni 2000, Hlm. 74

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

34

“.....teori hukum umum tanpa perbandingan hukum akan kosong dan

logikanya akan bersifat formal semata-mata, sebaliknya perbandingan

hukum tanpa teori hukum umum akan buta. Teori hukum umum dengan

perbandingan hukum akan menjadi nyata dan aktual, perbandingan

hukum dengan teori hukum umum akan selektif dan tajam

pandangannya....”32

Berdasarkan perspektif ahli yang dimuat oleh Penulis, memiliki suatu

tujuan yang erat pula kaitan hubungannya dengan ius constituendum atau

hukum yang digunakan sebagai cita-cita khususnya dalam hal pengujian

perundang-undangan itu sendiri. Tujuan yang pertama, sebagai bentuk

kepentingan akademik atau ilmu pengetahuan. Sebagaimana dikemukakan

oleh Van Apeldoorn33, hukum adalah gejala dunia dan karena ilmu

pengetahuan bercita-cita menyelami gejala-gejala tersebut, ia harus

menjadikan hukum dari seluruh dunia sebagai objek penyelidikannya. Tujuan

kedua, untuk kepentingan reformasi hukum dan pembangunan kebijakan

dengan melakukan adopsi pada hukum asing. Salah satu latar belakang dari

tujuan perbandingan hukum adalah karena melihat adanya ketidaklengkapan

atau kekurangan dalam sistem hukumnya sendiri. Sidharta34melihat bahwa

salah satu latar belakang berkembangnya perbandingan hukum adalah adanya

kebutuhan nyata masyarakat untuk melengkapi hukumnya dengan

32 Ibid, Esin Orucu, Critical Comparative Law, Considering Paradoxes for Legal Systems in

Transition, Hlm. 80

33 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981. Hlm. 434

34 Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung, 1978, Hlm. 128

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

35

mengadopsi hukum asing. Bagi pembuat UU, tujuan perbandingan hukum

adalah ingin belajar dari pengalaman para legislator negara lain dalam

memilih substansi hukum yang dianggap tepat untuk diberlakukan di

negaranya. Tujuan perbandingan hukum bagi para hakim itu sendiri yakni

untuk dapat memperlajari hukum yang berlaku di negara lain, untuk

kemudian sedapat mungkin dijadikan sumber hukum dalam menemukan

hukumnya.

Tujuan adanya perbandingan hukum yang ketiga yakni, untuk membantu

praktik-praktik hubungan hukum antar negara, untuk melakukan unifikasi dan

harmonisasi internasional dari hukum. Tujuan yang keempat yakni, sebagai

sarana yang menjembatani suatu jurang perbedaan dalam peradilan di

berbagai negara serta membantu dalam menciptakan perdamaian dunia. Hal

tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Van Apeldoorn35yang

menyatakan bahwa perbandingan hukum juga dapat mendukung kesatuan

hukum dari berbagai negara. Kemudian, tujuan yang kelima, sebagai upaya

untuk perluasan cakrawala dan perspektif sehingga mendorong sikap untuk

dapat lebih menghargai sistem hukum yang berlaku di negaranya sendiri.

Berbagai tujuan tersebut dapat dikategorikan ke dalam tujuan yang sifatnya

ilmu pengetahuan dan tujuan praktis (sosiologis, politis ekonomis, budaya).36

35 Ibid, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Hlm. 500

36 Lihat juga Mary Ann Glendon, Michael Wallace Gordon, Christoper Osakwe, Comparative

Legal Traditions in A Nutshell, West Publishing Cp.St.Paul Minn, 1982, Hlm. 4, yang membagi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

36

Dari beberapa pandangan ahli berkaitan dengan tujuan adanya studi

perbandingan dengan negara lain khususnya dari segi sistem hukum yang

diberlakukan pada negara tersebut, yang kemudian tidak njauh dari adanya

sistem pengujian perundang-undangan yang dilakukan oleh negara

tersebutlah yang dikhususkan oleh Penulis. Sehingga atas konsep

perbandingan hukum dengan negara lain, disini Penulis memaparkan manfaat

tatkala menerapkan suatu regulasi yang didasarkan atas perbandingan hukum

dengan negara lain. Manfaat yang pertama, yakni untuk melihat kekurangan

dan kelebihan berkaitan dengan regulasi pengujian suatu perundang-

undangan dinegara lain, sehingga hal ini dijadikan suatu evaluasi dengan cara

mengadopsi hukum dinegara lain tersebut sesuai dengan kebutuhan pengujian

perundang-undangan di Indonesia.

Manfaat yang kedua, yakni sebagai suatu bentuk harmonisasi secara

internasional. Ketiga, sebagai upaya untuk memperoleh teori universal

tentang hukum dalam disiplin hukum, kajian-kajian perbandingan hukum

dapat dipergunakan karena perbandingan hukum sebagai sebuah metodologi

yang nantinya dapat menganalisa konstruksi masing-masing sistem hukum

dari sisi realitas sosialnya, dan yang keempat, informasi dari negara-negara

tersebut dapat diambil sebagai suatu bentuk landasan filosofisnya.37 Sehingga

tujuan perbandingan hukum ada tiga, yakni tujuan professional (bagi hakim dan pembuat UU),

tujuan ilmu pengetahuan, serta tujuan budaya

37 Sundari, 2014, Perbandingan Hukum dan Fenomena Adopsi Hukum, Yogyakarta: Kelompok

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

37

dapat kita tarik kesimpulan bahwa guna mengkaji suatu regulasi yang berada

pada negara lain adalah upaya untuk membentuk suatu reformulasi dan

kebijakan hukum yang masuk dalam suatu bidang politik hukum, sebagai

pembenahan pada hukum yang saat ini berlaku untuk hukum yang dicita-

citakan secara bersama-sama.

C. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Kehakiman

1. Mahkamah Agung

Sejarah kekuasaan kehakiman sebelum Perubahan UUD NRI 1945, untuk

mengemban kekuasaan yudikatif dalam doktrin trias Politica, dalam UUD NRI

1945, Konstitusi RIS, maupun UUD-S, diserahkan kepada Mahkamah Agung.

Sebagaimana ketentuan pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945:

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan lain - lain badan kehakiman menurut undang - undang”.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa di Indonesia hanya

terdapat satu Mahkamah Agung yang berfungsi sebagai Pengadilan Negara

Tertinggi.38Selama UUD NRI 1945 dilaksanakan dalam periode pertama (tahun

1945 - 1949), pemisahan personalia di antara kekuasaan kehakiman dan kedua

cabang kekuasaan lainnya adalah lengkap, baik dalam teori maupun praktik.39

Pada tanggal 3 Maret 1947 ditetapkan dan diumumkan UU

Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hlm. 13

38 Lihat Ketentuan Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan -

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

39 Ismail Suny, 1981. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta. Aksara Baru. Hlm. 15.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

38

No. 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan

Kejaksaan Agung. Karena dianggap belum memadai, maka undang - undang ini

diubah dan diganti dengan UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan

Kekuasaan Badan - Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Berdasarkan Pasal 72,

Undang - Undang ini berlaku dengan suatu Penetapan Menteri Kehakiman. UU

No. 19 Tahun 1948 tidak sempat ditetapkan berlaku, sehingga tidak

mempengaruhi UU Nomor 7 Tahun 1947 yang sudah berlaku terlebih

dahulu.40Didalam UU No. 19 Tahun 1948, tidak juga ditemukan pengertian

independensi kekuasaan kehakiman, hanya saja dalam Pasal 3 dikatakan:

Kekuasaan Kehakiman dijalankan dengan tidak memandang kedudukan

dalam masyarakat dari pihak yang berperkara, para hakim merdeka

dalam melaksanakan kekuasaan itu dan hanua merdeka dalam

melaksanakan kekuasaan itu dan hanya tunduk pada undang - undang,

di samping itu pemegang kekuasaan pemerintahan dilarang campur

tangan dalam urusan kehakiman, kecuali dalam hal - hal yang tersebut

dan Undang - Undang Dasar.41

Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan Badan -

Badan Kehakiman dan Kejaksaan, melarang para hakim merangkap jabatan

sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan dalam Peraturan

Pemerintah No. 2 Tahun 1946 dan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946,

secara tegas disebutkan tentang bahwa ketua atau Hakim Mahkamah Agung

dan Ketua Pengadilan Tinggi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota

40 Wantjik Saleh, 1966 - 1973. Perkembangan Perundang - Undangan, Jakarta: Cet. 1. Hlm 26

41 Lihat Pasal UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan - Badan

Kehakiman dan Kejaksaan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

39

Komite Nasional Pusat (pada masa itu dapat dipersamakan dengan lembaga

legislatif)

Dalam konteks setelah perubahan terhadap Undang - Undang Dasar NRI

1945 bahwa pengujian perundang - undangan, terdapat 2 lembaga peradilan

yang dapat menguji suatu produk hukun. Salah satu nya yakni MA sesuai

dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 24 A ayat (1) Undang -

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan:

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh

undang-undang.42

Dalam dasar hukum tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Pengujian Peraturan Perundang - Undangan berdasarkan Hierarki Peraturan

Perundang - Undangan sesuai dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan yang terdiri

dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.43 MA berhak menguji Peraturan Perundang - Undangan

42 Lihat Pasal 24 A ayat (1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

43 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang - Undangan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

40

dibawah Undang - Undang Terhadap Undang - Undang.

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua

lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung yang terdiri dari Badan

Peradilan Umum, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Militer, Badan

Peradilan Tata Usaha Negara. Cita - cita Mahkamah Agung adalah

“Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri,

efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, professionaal dan

memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkaau dan biaya

rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan publik” guna

mencapai visi tersebut, ditetapkan misi sebagai berikut:44

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang - undang dan

peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat,

2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur

tangan pihak lain, Memperbaiki akses pelayanan di bidang peradilan

kepada masyarakat,

3. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan,

4. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan

dihormati,

5. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan

transparan.

44 Lihat Cetak Biru Mahkamah Agung, hlm. 1-2

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

41

Untuk menciptakan visi tersebut, maka dalam hal rekrutmen dan

pengangkatan hakim agung diarahkan kepada standar kualitas moral,

integritas, dan intelektual seseorang45proses rekuitmen menggunakan sistem

karir. Kemudian mengutip yang disampaikan oleh Simon Shetreet dalam

buku: “Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and

Contemporary Challenges”, menyebutkan independensi secara umum dapat

dibagi atas 4 (empat) jenis, yaitu : Personal Independence, Internal

Independence, Collective Independence, dan Substantive Independence.

Apabila kita lihat dalam peran dan tugas dari Mahkamah Agung tersebut,

MA memiliki dua fungsi yang masih menimbulkan kerancuan hingga saat ini.

Diantaranya peran MA sebagai wujud supremasi hukum yang kemudian

digabungkan dengan tugas Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi

yang membawahi 4 (empat) lingkungan peradilan.46Dalam perspektif Jimly

Ashiddiqie dalam bukunya Peradilan Konstitusi di 10 Negara47, terdapat

banyaknya 10 (sepuluh) negara yang memiliki lembaga peradilan ganda

untuk menguji suatu konstitusionalitas produk hukum seperti Indonesia.

Diantaranya yakni:

Tabel 2:

45 Harian Kompas, tanggal 26 November 1998, “Kemandirian Hakim Dimulai dari

Memandirikan MA”

46 Ibid, Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Hlm. 250

47 Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, S.H., M.H, Peradilan Konstitusi di 10 Negara,

Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 14 - 320

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

42

Negara yang Memiliki Komisi Yudisial Ganda

No. Negara Kewenangan MK Kewenangan Lembaga

Peradilan lainnya

1. Prancis (dalam Pasal 61 dan Pasal 62

Konstitusi Republik Kelima

Prancis(1958)) dinyatakan

bahwa:

“ Article 61: .....ordinary laws

may be referred to the

Constitusional council, before

their promulgation, by the

President of the Republic, the

Prime Minister, the President

of the National Assembly, the

President of the Senate, or 60

deputies or 60 senators.

In this case, the

Constitusoional Council must

decide witohin 1 month. At the

demand of the Government,

after a declaration of urgency,

this time limit is reduced to 8

days A referrel of any law to

the Constitutional C

ouncil suspends its

promulgation.

(Pasal 61 Konstitusi Republik

Kelima Prancis (1958)

menentukan bahwa undang -

undang organic (ordinary

laws), sebelum diundangkan

terlebih dahulu harus

diserahkan kepada Dewan

Konstitusi untuk diuji apakah

sesuai dengan konstitusi.

Permohonan kepada dewan

dapat dilakukan oleh presiden,

Peradilan Umum yang

berpuncak kepada

Mahkamah Agung hanya

dapat menerima

permohonan review

terhadap undang - undang

atau tindakan administratif

yang telah berlaku serta

memiliki akibat hukum

secara nyata.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

43

Ketua Majelis Nasional, Ketua

Senat, dan 60 anggota Majelis

Nasional ataupun Senat.

Undang - undang organik

dimaksud dapat berupa produk

hukum (uu) yang mengatur

kekuasaan kehakiman,

komposisi parlemen, keuangan

negara maupun prosedur

Dewan Konstitusi sendiri.

Sehubungan dengan pengujian

suatu rancangan legislasi,

Dewan Konstitusional harus

dapat melahirkan putusan

dalam jangka waktu satu bulan

(30 hari) sejak diterimanya

permohonan itu. Namun, atas

permintaan pemerintah dengan

alasan yang sangat mendesak,

batas waktu itu dapat

dipersingkat menjadi delapan

hari).

Article 62: A provison declared

unconstitutional may not be

promulgation nor may it enter

into force.

The decision of the

Constitutional Council may

not be applealed.

(Pasal 62 Konstitusi Republik

Kelima Prancis (1958),

menyatakan bahwa ketentuan

hukum yang telah dinyatakan

tidak konstitusional oleh

Dewan Konstitusi, selanjutnya

ketentuan tersebut tidak dapat

berlaku atau

diimplementasikan).

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

44

2. Korea

Selatan

(dalam Pasal 111 ayat (1)

Konstitusi Korea Selatan

1987), Mahkamah Konstitusi

memiliki kewenangan yakni: 1. Mengadili konstitusionalitas

suatu undang - undang atas

permintaan Pengadilan. 2. Pemakzulan (impeachment). 3. Memutus pembubaran partai

politik yang tidak

konstitusional 4. Menyelesaikan sengketa

kewenangan antar lembaga -

lembaga negara

5. Memutus permohonan

individual.

(dalam Article 107 (2):

“The Supreme Court has

power to make a final

review of constitutionality

or legality of administrative

decrees, regulation or

action, when their

constitutionallyity or

legality is at in trial”

(Artinya: Karena MA di

Korea Selatan memperoleh

mandat konstitusi yang

memiliki kekuasaan

eksplisit untuk mengadili

konstitusionalitas tindakan

pemerintah).

3. Afrika

Selatan

(dalam Pasal 167 Konstitusi

Afrika Selatan), Mahkamah

Konstitusi memiliki lima

kewenangan, yaitu: 1. Decide disputes between

organs of state in national or

provincial sphere concerning

the constitutional status, power

of functions of any those

organs of state.

2. Decide application

envisaged in section 8037 or

12238.

3. Decide on the

constitutionality of any

amendment to the Constitution. 4. Decide that Parliament or

the President has failed to

fulfill a constitutional

obligation, or 5. Certify a provincial

constitution in terms on section

Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi, atau

pengadilan lainnya meminta

permintaan pembatalan

suatu ketentuan hukum

yang dimohonkan oleh

Mahkamah Agung,

Pengadilan Tinggi, atau

pengadilan lainnya

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

45

14439.

Sumber data : Diolah oleh Penulis dari buku yang ditulis oleh Jimly Asshiddiqie

dan Ahmad Syahrizal yang berjudul Peradilan Konstitusi di 10 Negara.

Dari beberapa negara yang yang memiliki kekuasaan kehakiman ganda

dalam hal menguji suatu perundang - undangan tersebut, Penulis memilih 3

(tiga) negara untuk dijadikan studi perbandingan. Pertama, Prancis,

persamaan antara Prancis dengan Indonesia terletak pada bentuk negara

kesatuan, kemudian pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di

Prancis ditulis sama seperti Indonesia dalam bentuk Konstitusi. Kemudian,

konsep kedaerah di Prancis mengenal dekonsentrasi serta desentralisasi.

Sistem pemerintahan daerah Perancis mirip dengan sistem di Indonesia

dimana disamping adanya daerah-daerah administratif terdapat juga daerah

otonom, seperti misalnya departemen dan commune.

Kedua, Korea selatan bentuk negaranya Republik dan Presiden sebagai

kepala negara pada negara tersebut. Kemudian yang Ketiga, Afrika Selatan

memiliki bentuk negara kesatuan dengan bentuk pemerintahan republik,

sistem pemerintahan presidensiil dimana kedudukan Presiden sebagai kepala

negara sekaligus kepala pemerintahan sama seperti di Indonesia, dan dalam

parlemen menggunakan sistem Bikameral yang terdiri dari majelis nasional

dan dewan nasional provinsi. Serta dalam lembaga yudikatif di Prancis

memiliki 2 (dua) peradilan ganda, yakni constitusional court dan supreme

court.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

46

Lembaga kekuasaan kehakiman ganda tersebut, kemudian dibandingkan

dengan Indonesia bahwa kewenangan MK lebih luas untuk menafsirkan

suatu produk hukum. Namun masih terdapat negara yang dalam hal menguji

perundang-undangan, MA tetap memiliki kewenangan untuk menguji

perundang-undangan yang bersifat konkret, yakni Prancis. Seperti pada tabel

diatas, kewenangan MA yang memiliki Peradilan Umum yang berpuncak

kepada Mahkamah Agung hanya dapat menerima permohonan review

terhadap undang - undang atau tindakan administratif yang telah berlaku

serta memiliki akibat hukum secara nyata.

2. Mahkamah Konstitusi

Kekuasaan kehakiman setelah perubahan UUD 1945 mengalami

perubahan yang telah menyebabkan perubahan mendasar dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia.48 Karena prinsip pemisahan kekuasaan secara

horisontal mulai dianut oleh Para perumus UUD dan prinsip check and

balances antara lembaga - lembaga - lembaga tinggi negara mulai diterapkan.

Perubahan ketiga UUD 1945 yang disetujui dalam sidang Tahunan MPR

tanggal 9 Nopember 2001, telah mengubah struktur ketatanegaraan

Indonesia, dimana seluruh lembaga tinggi negara berada dalam posisi yang

sederajat, sebab sebelum perubahan terhadap UUD 1945 tersebut kedaulatan

rakyat masih dipegang oleh MPR sehingga MPR lah yang menjadi lembaga

48 Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, ELSAM, Jakarta, 2004. Hlm. 11

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

47

tinggi negara dan Presiden hanya sebagai mandataris MPR. Dan kekuasaan

kehakiman yang semula hanya diberikan kepada Mahkamah Agung dan

pengadilan - pengadilan di bawah MA, kini telah dibagi kepada dua lembaga,

yaitu MA dan MK. Kedudukan MK sebagai lembaga pemegang kekuasaan

kehakiman, menjadi paralel dengan MA.49 Pada saat itu pula, MK hadir

sebagai lembaga yang mutlak ingin dijadikan sebagai penguji

konstitusionalitas UU, karena sebelumnya MA sebagai lembaga peradilan

baru seusai kemerdekaan Bangsa Indonesia dinilai belum mumpuni tatkala

harus menyelesaikan suatu konstitusionalitas UU.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai lembaga

yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 UUD Negara RI adalah suatu

lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga negara

lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi

terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kewenangan

Mahkamah Konstitusi dimuat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang - Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang - undang

terhadap Undang - Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang - Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan

49 DR. J. Djohansjah, SH., MH, 2008. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi

Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: KBI. Hlm. 113

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

48

tentang pemilihan umum”50

Dalam dasar hukum tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Pengujian Peraturan Perundang - Undangan berdasarkan Hierarki Peraturan

Perundang - Undangan sesuai dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun

2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan yang terdiri dari

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.51MK

berhak menguji Undang - Undang terhadap Undang - Undang Dasar NRI

1945.

Apabila merujuk terhadap kewenangan yang diberikan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut terhadap

Mahkamah Konstitusi akan membawa konsekuensi bahwa MK berfungsi

sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution). Konstitusi

sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggara negara berdasarkan prinsip

demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi

manusia yang dijamin dalam konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional

warga negara. Oleh karena itu MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi

50 lihat Pasal 24 C ayat (1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

51 Ibid, lihat Pasal 7 ayat (1) Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang - Undangan

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

49

(the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara

(the protector of the citizen’s constitutional rights) serta pelindung hak asasi

manusia (the protector of human rights).52 Sistem rekuitemen hakim MK

dengan menggunakan sistem politik dan secara historical upproach MK

memang sebagai lembaga yang lahir sebagai pengawal konstitusional agar

terwujud perlindungan bagi hak-hak asasi manusia. Sebagaimana

dikemukakan oleh Locke bahwa hukum digunakan untuk menegakkan hak

asasi manusia, yang di dalamnya menjamin life, liberty, dan property.53

Mekanisme peradilan konstitusi (constitution adjudication) itu sendiri

merupakan hal baru yang diadopsikan ke dalam sistem konstitusional

Indonesia dengan dibentuknya MK. Peradilan konstitusional itu dimaksudkan

untuk memastikan bahwa UUD sungguh - sungguh dijalankan atau ditegakkan

dalam kegiatan penyelenggaraan negara sehari - hari. Pengujian terhadap

lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan sungguh -

sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama

sekali baru. Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan

konstitusi Indonesia dan kewenangan konstitusional MK saat ini adalah

perwujudan prinsip check and balances yang menempatkan semua lembaga -

lembaga negara dalam kedudukan sejajar, sehingga dapat saling kontrol dalam

52 Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian Terhadap Dinamika Perubahan

UUD 1945, Cetakan Kedua, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 195-200

53 Ahmad Syahrizal, 2006. Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional

Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta. Pradnya Paramita. Hlm. 26.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

50

praktek penyelenggaraan negara. Kebaradaan MK jelas merupakan langkah

progresif untuk mengoreksi kinerja antar lembaga negara khususnya dalam

proses pendewasaan politik berbangsa dan bernegara. Berikut susunan

lembaga negara salah satunya yakni MK setelah adanya perubahan terhadap

UUD NRI 1945.

Tabel 3:

Struktur Pembagian Kekuasaan Negara Indonesia Berdasarkan UUD

1945 dan Perubahannya

MA

MK

DPR

DPD

KEKUASAAN

NEGARA

LEGISLATIF

EKSEKUTIF

YUDIKATI

F

MP

R

PRESIDEN &

WAKIL

PRESIDEN

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

51

Sumber data : Buku yang ditulis oleh MPR, berjudul ketetapan MPR RI

No.1/MPR/2003 tentang peninjauan kembali materi dan status hukum ketetapan

MPRS dan ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, Hlm. 2-3

Pada tabel diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa setelah adanya

perubahan UUD 1945, seluruh lembaga negara memiliki kedudukan yang

sejajar dalam UUD NRI 1945, baik itu lembaga legislatif, Eksekutif maupun

Yudikatif. Lembaga negara dalam UUD 1945 (setelah perubahan) mengalami

banyak perubahan - perubahan. Bagir Manan mencatat ada lima perubahan,

mencakup:

(1) Perubahan pengertian lembaga negara.

(2) Perubahan kedudukan lembaga negara.

(3) Perubahan macam - macam lembaga negara.

(4) Perubahan tugas dan wewenang lembaga negara.

(5) Perubahan hubungan antar lembaga negara.54

Bahkan, kewenangan MA sejajar dengan MK. Yang membedakan

hanyalah pengalaman hadirnya MA dan MK, MK sejatinya yang dikhususkan

untuk menguji suatu konstitusionalitas suatu produk hukum. Selanjutnya

berkaitan dengan perbedaan judicial Review peraturan perundang - undangan

yang diajukan terhadap MA dan MK, terletak pada mekanisme pengajuan,

54 Bagir Manan, Pembaharuan Lembaga - Lembaga Negara dalam UUD 1945-Baru, Makalah

yang disampaikan sebagai ceramah di hadapan civitas akademika Universitas Sam Ratulangi,

Manado, Januari. 2007. Hlm. 3

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

52

dan legal standing pemohon. Berikut tabelnya:

Tabel 4:

Perbedaan Uji Materiil di MA dan Judicial Review di MK

Perbedaan MA MK

Mekanisme (Merujuk pada Pasal 31A

ayat 2 Undang - Undang

Nomor 3 Tahun 2009

Tentang Mahkamah Agung)

mekanisme Uji Materiil

terdiri dari:

1. Permohonan pengujian

peraturan perundang -

undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-

undang diajukan langsung

oleh pemohon atau

kuasanya kepada

Mahkamah Agung dan

dibuat secara tertulis dalam

bahasa Indonesia.

2.Permohonan hanya dapat

dilakukan oleh pihak yang

menganggap haknya

dirugikan oleh berlakunya

peraturan perundang-

undangan di bawah

undang-undang.

3.Permohonan sekurang -

kurangnya harus memuat:

a. nama dan alamat

pemohon; b. uraian

mengenai perihal yang

menjadi dasar permohonan

dan menguraikan dengan

jelas bahwa: 1. materi

(Merujuk pada Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi dalam

Undang - Undang Nomor 8

Tahun 2011 Tentang

Mahkamah Konstitusi),

mekanisme pengajuan

Judicial Review yakni:

1. Pengajuan Permohonan,

2. Permohonan

dan Penjadwalan

Sidang

3. Alat Bukti,

4.PemeriksaanPendahuluan,

5.Pemeriksaan Persidangan,

6. Putusan.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

53

muatan ayat, pasal,

dan/ataubagian peraturan

perundang-undangan di

bawah undang-undang

dianggap bertentangan

dengan peraturan

perundang-undangan yang

lebih tinggi; dan/atau 2.

pembentukan peraturan

perundang - undangan

tidak memenuhi ketentuan

yang berlaku; dan c. hal-

hal yang diminta untuk

diputus.

4. Permohonan pengujian

dilakukan oleh Mahkamah

Agung paling lama 14

(empat belas) hari kerja

terhitung sejak tanggal

diterimanya permohonan.

5. Dalam hal Mahkamah

Agung berpendapat bahwa

pemohon atau

permohonannya tidak

memenuhi syarat, amar

putusan menyatakan

permohonan tidak

diterima.

6. Dalam hal Mahkamah

Agung berpendapat bahwa

permohonan beralasan,

amar putusan menyatakan

permohonan dikabulkan.

7. Dalam hal permohonan

dikabulkan, amar putusan

menyatakan dengan tegas

materi muatan ayat, pasal,

dan/atau bagian dari

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

54

peraturan perundang -

undangan di bawah

undang - undang yang

bertentangan dengan

peraturan perundang -

undangan yang lebih

tinggi.

8. Putusan Mahkamah

Agung yang mengabulkan

permohonan harus dimuat

dalam Berita Negara atau

Berita Daerah paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak tanggal

putusan diucapkan.

9. Dalam hal peraturan

perundang-undangan di

bawah undang-undang

tidak bertentangan dengan

peraturan perundang -

undangan yang lebih

tinggi dan/atau tidak

bertentangan dalam

pembentukannya, amar

putusan menyatakan

permohonan ditolak.

10. Ketentuan mengenai

tata cara pengujian

peraturan perundang-

undangan di bawah

undang-undang diatur

dengan Peraturan

Mahkamah Agung.

2. Legal Standing (Merujuk pada Pasal 31

ayat (2) Undang - Undang

Nomor 3 Tahun 2009

Tentang Perubahan Kedua

atas Undang - Undang

(Merujuk pada Pasal 51 ayat

(1) Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Mahkamah

Konstitusi) legal standing

pemohon di MK yakni:

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

55

Nomor 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung)

legal standing pemohon Uji

Materiil adalah:

1. Perorangan warga negara

Indonesia,

2. Kesatuan masyarakat

hukum adat sepanjang

masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam

undang-undang,

3. Badan hukum publik atau

badan hukum privat.

1. Perorangan warga negara

Indonesia,

2. Kesatuan masyarakat

hukum adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang,

3. Badan hukum publik atau

privat, atau

4. lembaga negara

Sumber data : Diolah dari ketentuan dalam Undang - Undang Nomor 3 Tahun

2009 Tentang Mahkamah Agung, dan Undang - Undang Nomor 8 Tahun 2011

Tentang Mahkamah Konstitusi

Apabila kita cermati pada tabel tersebut, proses pengajuan judicial review

kepada MA dan MK memiliki tahapan yang tidak sama, pemohon dalam

pengajuan judicial review dapat diajukan oleh 4 pemohon, yakni perorangan

warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, badan

hukum publik atau privat, atau dan lembaga negara, namun pengajuan

judicial review pada MA, pemerintah tidak memiliki legal standing untuk

mengajukan judicial review.

D. Tinjauan Umum Tentang Rekonstruksi

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

56

Pembaharuan atau rekonstruksi secara terminologi memiliki berbagai

macam pengertian, dalam perencanaan pembangunan nasional sering dikenal

dengan istilah rekonstruksi. Rekonstruksi memiliki arti bahwa “re” berarti

pembaharuan sedangkan, konstruksi‟ sebagaimana penjelasan diatas memiliki arti

suatu sistem atau bentuk. Beberapa pakar mendifinisikan rekontruksi dalam

berbagai interpretasi B.N Marbun mendifinisikan secara sederhana penyusunan

atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali

sebagaimana adanya atau kejadian semula55sedangkan menurut James P. Chaplin

Reconstruction merupakan penafsiran data psikoanalitis sedemikian rupa, untuk

menjelaskan perkembangan pribadi yang telah terjadi, beserta makna materinya

yang sekarang ada bagi individu yang bersangkutan.56

Salah satunya seperti yang disebutkan Yusuf Qardhawi rekonstruksi itu

mencakup tiga poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan

tetap menjaga watak dan karakteristiknya. Kedua, memperbaiki hal-hal yang telah

runtuh dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah lemah. Ketiga,

memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik

aslinya. Dari sini dapat dipahami bahwa pembaharuan bukanlah menampilkan

sesuatu yang benar-benar baru, namun lebih tepatnya merekonstruksi kembali

55 Pusat Bahasa (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka,

Hlm. 50

56 James P. Chaplin, 1997, Kamus Lengkap Psikologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hlm.421

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Negara ...eprints.umm.ac.id/44610/3/BAB II.pdf · inisiatif yang timbul dari kemandirian negara melainkan lahir dari proses penyerapan

57

kemudian menerapkannya dengan realita saat ini.57Berdasarkan uraian diatas

maka dapat peneliti simpulkan maksud rekonstruksi dalam penelitian ini adalah

pembaharuan system atau bentuk yang berhubungan dengan rekonstruksi

pengujian perundang-undangan.

57 Yusuf Qardhawi dalam Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih, 2014 Al-Fiqh Al-Islâmî

bayn Al-Ashâlah wa At-Tajdîd, Tasikmalaya, Hlm. 51