bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang kepailitaneprints.umm.ac.id/47222/3/bab ii.pdf ·...

31
12 BAB II Tinjauan Pustaka A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Dalam bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan juga kata sifat. Dalam bahasa Prancis, pailit berasal dari kata “faillite” yang artinya pemogokan atau kemacetan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah “to fail” dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah “failure”. Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata “bankrupt” dan “bank-ruptcy”. 11 Pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur bisa mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing agar tidak berebutan. 12 Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan pailit adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta yang dimiliki debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil dan merata di antara para kreditor. 13 Menurut pendapat Poerwadarminta, pailit artinya “bangkrut” dan “bangkrut” artinya 11 Rachmadi Usman.2004.Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.Hal.11. 12 Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis.2005. Hukum Bisnis untuk Perusahaan : teori dan contoh kasus. Jakarta : Penerbit Kencana.Hal.151 13 Munir Fuady.2002.Hukum Pailit. Bandung : Citra Aditya Bakti.Hal.8.

Upload: others

Post on 19-May-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

12

BAB II

Tinjauan Pustaka

A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan

Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Dalam

bahasa Belanda, pailit berasal dari istilah “failliet” yang mempunyai arti

ganda, yaitu sebagai kata benda dan juga kata sifat. Dalam bahasa Prancis,

pailit berasal dari kata “faillite” yang artinya pemogokan atau kemacetan

pembayaran. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah “to fail”

dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah “failure”. Di negara-negara

berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili dengan kata

“bankrupt” dan “bank-ruptcy”.11

Pailit adalah suatu usaha bersama untuk

mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua

kreditur bisa mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya

piutang masing-masing agar tidak berebutan.12

Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan pailit adalah suatu

sitaan umum atas seluruh harta yang dimiliki debitor agar dicapainya

perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat

dibagi-bagi secara adil dan merata di antara para kreditor.13

Menurut

pendapat Poerwadarminta, pailit artinya “bangkrut” dan “bangkrut” artinya

11Rachmadi Usman.2004.Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia.Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama.Hal.11. 12Abdul R. Saliman, Hermansyah, dan Ahmad Jalis.2005. Hukum Bisnis untuk

Perusahaan : teori dan contoh kasus. Jakarta : Penerbit Kencana.Hal.151 13Munir Fuady.2002.Hukum Pailit. Bandung : Citra Aditya Bakti.Hal.8.

13

menderita kerugian besar hingga jatuh (perusahaan, toko, dan sebagainya).14

Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah ”the

state or condition of a person (individual, partnership, corporation,

municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The

term includes a person against whom an voluntary petition has been filed, or

who has been adjudged a bankrupt.

Berdasaran pengertian yang disebutkan dalam Black’s Law

Dictionar,dapat kita lihat bahwa pengertian pailit yang dihubungkan dengan

keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya

yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut juga harus disertai dengan

suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela

oleh debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga,suatu permohonan

pernyataan pailit ke pengadilan. Maksud dari adanya pengajuan permohonan

tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan

tidak mampu membayar dari seorang debitur. Perundang-undangan tidak

memberikan arti otentik dari kepailitan atau pailit itu sendiri. Namun, dari

rumusan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dinyatakan bahwa :

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-

undang ini”.

14Jono.2010.Hukum Kepailitan, Cetakan Kedua. Jakarta : Sinar Grafika. Hal.1.

14

Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih kompleks mengenai

pengertian kepailitan maka penulis akan mengutip beberapa pengertian

kepailitan menurut beberapa pendapat para ahli, antara lain sebagai berikut :

a. Kartono :

“Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh harta

kekayaan semua krediturnya bersama-sama yang pada waktu

debitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah

yang masing-masing kreditur dimiliki pada saat itu”.15

b. E.Suherman :

“Pada hakikatnya kepailitan adalah sita umum yang bersifat

konservatoir dan pihak yang dinyatakan pailit hilang

penguasaannya atas harta benda yang dimilikinya”.16

c. H. M. N. Puwosutjipto :

“kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti membayar utang-

utangnya”.17

d. R. Subekti :

“kepailitan adalah suatu usaha secara bersama untuk

mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang

secara adil”.18

15Kartono.2000.Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Jakarta: PradnyaParamita.

Hal.7. 16 E.Suherman.1997.Failissement. Jakarta : Bina Cipta.Hal.5. 17H.M.N.Purwosutjipto.2004.Pengertian dan Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia.

Jakarta : Djambatan.Hal.28. 18 R.Subekti.1995.Pokok-Pokok Hukum Dagang.Jakarta:Intermasa.Hal.2.

15

Dilihat dari beberapa pengertian kepailitan yang di paparkan di atas

maka esensi dari kepailitan secara singkat dapat dikatan sebagai suatu sita

umum atas harta kekayaan debitur baik yang ada pada waktu pernyataan

pailit maupun diperoleh selama kepailitan telah berlangsung untuk

kepentingan para kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit

mempunyai hutang, yang dilakukan dibawah pengawasan pihak yang

berwajib.19

Konsep dasar kepailitan sebenarnya berasal dari ketentuan Pasal

1131 KUH Perdata. Pasal itu menyatakan bahwa semua barang baik yang

bergerak maupun barang yang tidak bergerak kepunyaan debitor, baik yang

sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan

bagi perikatan perorangan debitor itu.20

Menurut Pendapat Kartini Muljadi,isi

dari rumusan pasal 1131 KUH Perdata menunjukan bahwa setiap tindakan

yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kakayaan selalu akan

membawa akibat terhadap harta kekayannya baik yang bersifat menambah

jumlah harta kekayaanya maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah

harta kekayaan (debit).21

Selama debitor belum dinyatakan pailit oleh pengadilan, selama itu

pula debitor masih dianggap mampu membayar utang-utangnya yang telah

jatuh tempo. Terhadap putusan permohonan pernyataan pailit tersebut

pengadilan niaga dapat menunjuk Kurator untuk melakukan suatu

pengurusan atau pemberesan harta debitor pailit. Kurator kemudian akan

19 Rahayu Hartini.2017.Hukum Kepailitan (Edisi Revisi). Malang : UMM Press.Hal.5. 20 Martiman Prodjohamidjojo.1999. Proses Kepailitan. Bandung :Mandar Maju.Hal.45. 21 Jono.Op.Cit.Hal.3.

16

membagikan harta debitor pailit kepada para kreditor sesuai dengan jumlah

piutangnya masing-masing.

1. Pengertian Berhenti Membayar

Pengertian berhenti membayar tidak dijumpai

perumusannya secara jelas di dalam Undang-Undang,

yurisprudensi maupun pendapat para sarjana. Berikut ini

diuraikan pengertian keadaan berhenti membayar menurut

peraturan di dalam hukum kepailitan.

a. Menurut Faillissmentsverodening

Berlakunya Faillissmentsverodening di Indonesia

pada tanggal 1 November tahun 1906 berdasarkan Stb.1906-

348 mencabut peraturan kepailitan sebelumnya yaitu

Wetboek van koophandel Buku III dan Reglement op de

Rechtverordering Buku III bab VII.

Faillissmentsverodening ini hanya berlaku bagi golongan

Eropa saja. Hal ini sesuai dengan adanya asas diskriminasi

hukum yang telah diberlakukan oleh Pemerintah Hindia

Belanda pada waktu itu.22

Gambaran pailit yang ada dalam

Faillissmentsverodening ini tidak dilengkapi dengan definisi

apa yang menjadi kriteria dari keadaan berhenti membayar.

Hal ini dengan sendirinya akan melahirkan keputusan yang

beragam tentang standar terjadinya keadaan berhenti

22Adrian Sutedi.2009.Hukum Kepailitan.Bogor : Ghalia Indonesia.Hal.2.

17

membayar. Berbagai macam pengertian tentang berhenti

membayar dapat dilihat dari putusan-putusan pengadilan

dibawah ini :

I. Putusan Hoge Raad 17 Desember 1920 N.J. 1921

No.276 yang berbunyi “Bahwa keadaan berhenti

membayar dapat ada bilamana kredit-kredit yang lain

tidak mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di

luar pengadilan.

II. Putusan Hoge Raad 3 Juni 1920 N.J. 1921 Bahwa

membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah

uang.membayar juga berarti memenuhi suatu perikatan

ini dapat diperuntukan untuk menyerahkan barang.

III. Putusan Hoge Raad 15 Mei 1925 N.J. 1925 No.995

berbunyi Keadaan bahwa aktiva booedel kemudian

terbukti cukup untuk membayar semua hutangnya itu

tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam

keadaan berhenti membayar.

IV. Putusan Hoge Raad 6 Desember 1946 N.J. 1946 No

233,berbunyi bahwa keadaan berhenti membayar tidak

sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor tidak

cukup untuk membayar seluruh hutang-hutangnya

yang sudah dapat ditagih.Melainkan bahwa debitor

tidak membayar hutang-hutang itu.

18

V. Putusan Hoge Raad 10 April 1959 N.J 1959 No.232

berbunyi, Bahwa tidak membayar hutang pemohon

yang sudah dapat ditagih dan disangping itu adanya

hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan

curator telah membuktikan adanya keadaan berhenti

membayar.

Berdasarkan keputusan pengadilan tersebut diatas

dapat kita simpulkan bahwasanya tidak ada pertimbangan

oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak

membayar utangnya.Jadi dengan adanya bukti sumir

terhadap debitor tidak membayar utangnya yang telah jatuh

temponya dapat dijatuhkan pailit.23

b. Menurut UU No.4 tahun 1998

Pada Juli 1997, telah terjadi krisis moneter di

Indonesia yang membuat utang menjadi membengkak

sehingga mengakibatkan banyak debitur tidak mampu

membayar utangnya. Dengan kondisi krisis ekonomi

tersebut,maka jumlah perusahaan dan perorangan yang tidak

mampu membayar utaang bukan main banyaknya. IMF juga

berpendapat bahwa untuk dapat mengatasi krisis moneter di

Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian

utang luar negeri dan upaya penyelesaian kredit macet

23 Habiba Hanum.2008. Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi dalam Hukum

Kepailitan.Tesis.Medan: Universitas Sumatera Utara.

19

perbankan Indonesia. IMF mengharapkan supaya sarana

hukum yang mengatur soal pemenuhan kewajiban oleh

debitor kepada kreditur yaitu Faillissmentsverodening dapat

diperbaiki,karena dianggap kurang memadai dan masih

merupakan peinggalan zaman colonial.24

Oleh karena itu,

IMF pun mendesak pemerintah agar segera mengganti atau

dapat mengubah peraturan kepailitan yang sedang berlaku.

Akibat dari desakan tersebut, lahirlah kemudian Perpu No.1

tahun 1998 jo. Undang-undang No.4 tahun 1998 tentang

Undang-undang Kepailitan dan Perpu tersebut mengubah

dan menambah Peraturan Kepailitan

(Faillissmentsverodening).25

Timbulnya dasar insolvensi

menurut Undang-undang No.4 tahun 1998 tertuang dalam

pasal 1 ayat (1) yaitu :

“debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak

membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu

dan dapat ditagih,dinyatakan pailit dengan putusan

pengadilan yang berwenang sebagaimana yang dimaksud

dalam pasal 2,baik atas permohonannya sendiri maupun

atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.”

Dasar insolvensi dapat diartikan sebagai “ keadaan

tidak membayar”, Pradjoto mengartikannya sebagai:26

24 R.Anton Suyatno.2012.Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Jakarta : Kencana.Hal.21. 25 Adrian Sutedi.Loc.cit.Hal.5. 26Pradjoto.”RUU Kepailitan ditinjau dari aspek perbankan “.Makalah disampaikan dalam

seminar proposal sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT.Jakarta

27-28 Juli 1999.Hal.5.

20

1. Menolak untuk membayar.

2. Cidera janji atau wanprestasi.

3. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan

keadaan bahwa kekayaan debitor tidak cukup

untuk melunasi seluruh utang-utangnya.

4. Tidak diharuskannya debitor memiliki

kemampuan untuk membayar dan memikul

seluruh utang- utangnya.

5. Istilah tidak membayar harus diartikan sebagai

Naar de letter ,yaitu debitor pada saat diajukan

permohonan pernyataan pailit sama sekali

berhenti membayar utangnya.

c. Menurut UU No.37 tahun 2004

Pada 18 November 2004 Pemerintah telah

mengeluarkan Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU dengan tujuan untuk memperbaiki

,menambah, dan meniadakan ketentuan yang dipandang

sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan

hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi

materi yang diatur, masih terdapat beberapa kekurangan dan

kelemahan. Undang-undang baru tentang Kepailitan dan

PKPU mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi

norma,ruang lingkup materi,maupun proses penyelesaian

21

utang-piutang.Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan,

karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum di

masyarakat sedangan ketentuan yang selama ini telah

berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk

menyelesaikan masalah utang piutang secara adil,cepat,

terbuka dan efektif.27

Dasar insolvensi menurut UU No.37 tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yaitu:

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan

pailit dengan Putusan Pengadilan, baik atas

permohonan sendiri maupun atas permohonan satu

atau lebih krediturnya.”

Dasar insolvensi diartikan sebagai “tidak membayar

lunas” utang- utangnya. Ketentuan tidak membayar lunas

menurut Undang –undang tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang pada prinsipnya sama dengan

keadaan berhenti membayar utang-utangnya menurut

Faillissmentsverodening, karena berhenti membayar berarti

sudah pernah membayar namun suatu saat berhenti.

2. Tujuan dan Akibat Hukum Kepailitan

a. Tujuan Hukum Kepailitan

27 Rahayu Hartini.Loc.cit.Hal.11.

22

Tujuan utama dari adanya kepailitan yaitu untuk

melakukan pembagian antara para kreditor atas harta

kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan

untuk dapat menghindari terjadinya sitaan terpisah atau

eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan

mengadakan sitaan bersama. Sehingga kekayaan debitur

dapat dibagikan kepada semua kreditornya sesuai dengan

jumlah dan hak mereka masing-masing. Adrian Sutedi

mengatakan, bahwa tujuan adanya hukum kepailitan adalah:

1. Melindungi Kreditur Konkuren agar dapat

memperoleh haknya.Hal ini sehubung dengan

adanya asas jaminan sebagaimana yang telah diatur

dalam ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata (Kitab

Undang-Undang Perdata). Hukum kepailitan dapat

menghindari terjadinya rebutan diantara para

Kreditor terhadap harta Debitor.

2. Menjamin pembagian harrta kekayaann Debitur

diantara para Kreditor sesuai dengan adanya asas

Pari Passu Pro Rata Parte atau membagi secara rata

atau proporsional harta kekayaan Debitor kepada

para Kreditor berdasarkan perimbangan besarnya

tagihannya masing-masing, sebagaimana yang telah

diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata.

23

3. Mencegah Debitur agar tidak melakukan suatu

perbuatann yang dapat merugikan kepentingan para

Kreditornya, karena dengan dinyatakan pailit maka

Debitor tidak memiliki lagi wewenang untuk

mengurus dan memindahtangankan harta

kekayaannya, putusan pailit memberikan status

hukum dari harta kekayaan Debitor yaitu berada di

bawah sita umum.

4. Kepada Debitor perorangan (individual debtor atau

persoon, bukan badan hukum) yang beritikad baik

diberikan perlindungan dari para Kreditor dengan

cara diberikannya pembebasan utang. Debitor akan

dibebaskan dari utangnya setelah selesainya

tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap

kekayaannya meskipun harta kekayaan Debitor tidak

mencukupi untuk dapat melunasi seluruh utangnya,

Debitor diberi kesempatan memperoleh financial

fresh start. Namun hal tersebut tidak berlaku dalam

Hukum kepailitan di Indonesia, hal tersebut berlaku

di Negara Amerika Serikat, sedangkan di Indonesia

Debitor masih memiliki kewajiban untuk melunasi

sisa utangnya.

24

5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya

telah mengakibatkan perusahaan mengalami

keadaan keuangan yang buruk dan keadaan

insolvensi sehingga dapat dinyatakan pailit oleh

pengadilan.

6. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan para

Kreditornya untuk dapat berunding dan membuat

suatu kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-

utang Debitor.

b. Akibat Hukum Kepailitan

Mengenai Akibat Kepailitan dalam Undang-Undang

No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang diatur pada bagian tersendiri

dalam bab II. Bagian kedua dimulai dari pasal 21 sampai

dengan pasal 64. Sesuai dengan pasal 21 Undang-Undang

No.37 tahun 2004 bahwa sejak ditetapkannya putusan

pernyataan kepailitan ,debitur pailit demi hukum kehilangan

haknya untuk dapat menguasai dan mengurus kekayaannya

yang dimaksud dalam kepailitatan, termasuk juga

kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Namun

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 tidak

berlaku,terhadap :

25

1) Benda, termasuk juga hewan yang benar-benar

dibutuhkan Debitor sehubungan dengan pekerjaannya,

perlengkapannya, alat medis yang dipergunakan untuk

kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang

dipergunakan oleh debitor dan bahan makanan untuk 30

hari bagi debitor dan keluarganya,yang terdapat

ditempat itu.

2) Segala sesuatu yang telah diperoleh debitor dari

pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu

jabatan atau jasa,sebagaimna yang ditentukan oleh

hakim pengawas.

3) Uang yang diberi kepada debitur untuk memenuhi

kewajibannya dalam hal memberi nafkah menurut

undang-undang.

Pada saat putusan pernyataan pailit telah diucapkan,

maka akan terjadi hal-hal sebagaimnaberikut :28

1) Seluruh harta kekayaan debitur pailit jatuh dalam

keadaan penyitaan umum yang sifatnya konservator.

2) Si pailit telah kehilangan hak untuk mengurus dan

menguasai harta kekayaannya sendiri.

28 H.M.N Purwosutjipto.Op.cit Hal.37-38.

26

3) Harta kekayaan debitur pailit diurus dan dikuasai oleh

Balai Harta Peninggalan(BHP) atau kurator untuk

kepentingan semua para Kreditor.

4) Dalam putusan hakim tersebut ditunjuk seorang hakim

komisaris yang tugasnya untuk memimpin dan

mengawasi pelaksanaan dari jalannya kepailitan.

5) Kepailitan itu semata-mata hanya mengenai harta

kekayaan debitur pailit saja dan tidak mengenai diri si

pailit yang bersangkutan.

3. Syarat Pengajuan Pailit dan Dasar Hukumnya

a. Syarat-syarat Kepailitan

Berdasarkan yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1)

UUK-PKPU yang menyebutkan bahwa Debitor yang

mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak dapat

membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit dengan

putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri

maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Berdasarkan ketentuan dari Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU di

atas maka syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit terhadap debitor adalah sebagai berikut:

27

1) Debitor memiliki dua kreditor atau lebih

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU

Kepailitan dan PKPU, seorang debitor dapat dinyatakan

pailit oleh pengadilan niaga apabila mempunyai dua

kreditor atau lebih. Syarat ini merupakan pelaksanaan

dari ketentuan yang ada dalam Pasal 1132 KUH Perdata

yang menyebutkan bahwa harta kekayaan debitor

merupakan jaminan bersama bagi para kreditor dan

hasil dari penjualan harta debitor harus dibagikan secara

merata kepada kreditor sesuai dengan jumlah

piutangnya, kecuali jika diantara kreditor itu

berdasarkan undang-undang harus didahulukan dalam

pembagiannya.29

Namun, apabila debitor hanya

memiliki seorang kreditor, maka harta kekayaan debitor

menurut ketentuan pasal 1131 KUHPdt merupakan

jaminan utangnya tidak perlu diatur mengenai

pembagian penjual harta kekayaan karena seluruh hasil

penjualan harta kekayaan tersebut merupakan sumber

dari pelunasan bagi kreditor satu-satunya. Tidak akan

ada ketakutan terjadi perlombaan kekayaan debitor

karena hanya ada satu jumlah kreditor.30

29 Rachmadi Usman.Op.cit.Hal.15. 30 Setiawan.2001.”Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi Kini”dalam Lontoh,Rudy

A.,dkk,Penyelesaian Utang-Piutang : Melalui Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.Bandung : Penerbit Alumni.Hal 122.

28

2) Syarat adanya utang

Pihak yang akan mengajukan permohonan pernyataan

pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor itu

mempunyai utang kepadanya. UU Kepailitan dan

PKPU sudah mendefinisikan utang dalam Pasal 1 angka

6 yakni sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat

dinyatakan dalam jumlah uang. Baik dalam mata uang

Indonesia maupun mata uang asing, baik secara

langsung maupun yang akan nantinya timbul

dikemudian hari karena perjanjian atau undang-undang

dan yang wajib terpenuhi oleh debitor, bila tidak

dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk

mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan

debitor.

3) Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU

menyebutkan bahwa syarat utang yang telah jatuh

waktu dan dapat ditagih. Penjelasan Pasal 2 Ayat (1)

UU Kepailitan dan PKPU yaitu kewajiban untuk

membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena

telah diperjanjikan, percepatan waktu penagihannya

sebagaimana diperjanjikan, pengenaan sanksi atau

29

denda oleh instansi yang berwenang maupun karena

putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

b. Dasar Hukum Kepailitan

Peraturan Hukum Kepailitan pertama kali diatur di

Indonesia dengan lahirnya Faillissementsverordening tahun

1906. Berlakunya peraturan tersebut sampai lahirnya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian

digantikan dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diciptakan

untuk melindungi kepentingan dari pada Kreditor dan

Debitor. Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi

Debitor dari niat tidak baik para Kreditor yang

menginginkan Debitor dipailitkan kemudian utangnya

dibayar. UU Kepailitan dan PKPU ini mempunyai cakupan

lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi,

maupun proses penyelesaian piutang.

Beberapa macam materi baru yang diatur dalam UU

Kepailitan dan PKPU ini diatur secara tegas mengenai

adanya batasan dalam pengertian utang dan pengertian jatuh

waktu, mengenai syarat dan prosedur permohonan

pernyataan pailit dan permohonan PKPU termasuk juga

pemberian jangka waktu secara pasti bagi pengambilan

30

putusan atas permohonan pernyataan pailit dan PKPU, oleh

karena itu, maka undang-undang ini masih berlaku sampai

sekarang karena telah sesuai dengan kebutuhan hukum

masyarakat. Dasar hukum bagi suatu kepailitan,menurut

Munir Fuady, adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undangg Nomor 37 Tahunn 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU.

b. KUHPerdata.

c. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas.

d. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

Jaminan Fidusia

e. Perundang-undangan di bidang Pasar Modal,

Perbankan, BUMN.

B. Tinjauan Umum Tentang Insolvensi Test Dalam Hukum Kepailitan

1. Tentang Insolvensi

Menurut Dictionary Business of Term, Insolvensi dapat diartikan

sebagai Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika

telah jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis atau Kelebihan

kewajiban dibandingkan dengan kepemilikan asetnya dalam waktu

tertentu. Secara prosedural, dalam suatu proses kepailitann harta pailit

dianggap telah berada dalam keadaan tidak mampuu membayar jika :31

31 Pasal 178 ayat (1) UUK dan PKPU.

31

a. Pengesahan perdamaiann tersebut dengan pasti telah ditolak

b. Dalam rapat verivikasi tidak ditawarkannya perdamaiann.

c. Jika perdamaian yang telah ditawarkan telah ditolak.

Dengan kata lain,bahwa Debitor dilekatkan status insolvensi

ketika telah memenuhi syarat sebagaimana yang termaktub dalam

Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan PKPU. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan

pengertian insolvensi itu sendiri, dimana kemampuan Debitor untuk

membayar utang- utangnya tidak dapat dilihat melalui suatu rencana

perdamaian, akan tetapi dapat dilihat melalui kondisi keuangan dari

Debitor itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka cara yang tepat

untuk meletakkan status insolvensi kepada Debitor adalah dengan cara

melihat kemampuan keuangannya, hal tersebut hanya dapat dibuktikan

dengan menggunakan Insolvency Test.

Debitor tidak dapat dikatakan telah berada dalam keadaan

insolvensi apabila hanya kepada seorang Kreditor saja Debitor tidak

dapat membayar utang- utangnya, sedangkan kepada Kreditor lainnya

Debitor tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik, hal ini

menunjukkan bahwasanya belum tentu Debitur tersebut tidak mampu

melunasi utangnya, mungkin saja Debitor tidak mau melunasi utangnya

karena ada alasan tertentu, sehingga tidaklah dapat dikatakan bahwa

32

Debitor telah berada dalam keadaan insolvensi.32

Berikut adalah

beberapa pengertian insolvensi :

a. Menurut Faillissmentsverodening

menurut Faillissmentsverodening,insolvensi diartikan sebagai

keadaan berhenti membayar yang terdapat pada Pasal 1 ayat

(1). Tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru

sekali ataupun dua kali tidak membayar utangnya yang telah

jatuh temponya dapat dijatuhkan putusan pailit. Menurut

Pendapat Tirtaatmidjaja bahwa debitor yang baru sekali saja

menolak pembayaran maka hal itu belumlah pasti merupakan

suatu keadaan berhenti membayar.33

Berkaitan dengan syarat

untuk mengajukan permohonan pailit,dalam rumusan Pasal 1

ayat (1) Faillissementverordening lebih tepat untuk digunakan

atau diterapkan, karena dalam Pasal 1 ayat (1) mensyaratkan

Debitor berada dalam keadaan tidak mampu dan telah berhenti

membayar utang-utangnya.34

Istilah “berhenti membayar”

tidak semata-mata dapat diartikan bahwa debitor berhenti sama

sekali untuk membayar utangnya, melainkan bahwa Debitor

32 Sutan Remy Sjahdeini, dalam Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum

Kepailitan Di Indonesia, (Jakarta: Sofmedia, 2010), Hal. 318. Dikutip oleh Mulyani Zulaeha,

Mengevaluasi Pembuktian Sederhana Dalam Kepailitan Sebagai Perlindungan Terhadap Dunia

Usaha Di Indonesia, Hal. 174. Dalam Jurnal Hukum Acara Perdata (Asosiasi Dosen Hukum Acara

Perdata - ADHAPER), Vol. 1. No. 2, Juli – Desember 2015, (Universitas Airlangga Press). 33M.H.Tirtaarmadjaja.1970.Pokok - pokokHukumPerniagaan.Jakarta:Djambatan.Hal.128. 34 H.M.N Purwosutjipto.Loc.cit, hlm 28.

33

tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam

keadaan tidak dapat membayar utang-utangnya tersebut35

b. Menurut UU No. 4 tahun 1998

Menurut UU No. 4 Tahun 1998,Insolvensi diartikan sebagai

keadaan tidak membayar,hal ini ada dalam Pasal 1 angka (1).

Dasar insolvensi diartikan sebagai keadaan tidak membayar.

Prajoto mengartikannya sebaga keadaan,sebagai berikut:

menolak untuk membayar, cidera janji atau wanprestasi,

keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan kekayaan

debitor tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya., tidak

diharuskan debitor memiliki kemampuan untuk membayar dan

memikul seluruh utangnya., atau istilah tidak membayar harus

diartikan sebagai naar de letter yakni debitor pada saat

diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali

berhenti membayar utangnya.

c. Menurut UU No. 37 Tahun 2004

Dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004

Pengertian insolvensi dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal

57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Yang dimaksud Insolvensi adalah keadaan tidak mampu

membayar. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

35 Ibid.Hal.29.

34

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, sama sekali tidak memasukkan Insolvensi sebagai

persyaratan agar debitor dapat diputus pailit. Adapun syarat

penjatuhan pailit diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan :

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan

tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

Putusan Pengadilan, baik atas permohonan sendiri

maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.”

Berdasarkan unsur tersebut diatas, maka dapat

diketahui bahwa syarat agar debitur pailit sudah sangat jelas

dalam ketentuan kepailitan di Indonesia. Hal ini dipertegaskan

kembali dalam Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa :

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan

apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan

pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah

dipenuhi.”

Artinya, apabila debitur telah terbukti memiliki

minimal satu utang yang telah jatuh tempo terhadap salah satu

krediturnya, maka debitur sudah dapat memenuhi syarat untuk

dapat dijatuhi putusan pailit oleh pengadilan niaga tanpa

35

melihat latar belakang utang ataupun kondisi harta debitur

yang masih tergolong solven atau tidak.36

Sutan Remy Syahdeini juga bependapat, bahwa hukum kepailitan itu

sejatinya bukan untuk mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar

kewajibannya pada salah satu kreditor saja,akan tetapi debitor itu harus

berada dalam keadaan insolven. Seorang debitor yang berada dalam keadaan

insolven hanyalah apabila debitor yang tidak mampu secara finansial untuk

membayar utang-utangnya kepada sebagian kreditornya. Seorang debitor

tidak dapat dikatakan berada dalam keadaan insolven apabila hanya kepada

seorang kreditor saja debitor itu tidak membayar hutangnya. Sedangkan

kepada kreditor lainnya debitor tetap dapat melaksanakan kewajibannya

secara baik.37

Jika seperti ini, bisa jadi debitor tersebut bukannya tidak

mampu untuk membayar melainkan debitor tidak mau membayar dengan

alasan tertentu dan kreditor tidak dapat mengajukan permohonan ke

Pengadilan Niaga melainkan langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan

Negeri.

2. Tentang Insolvency Test

a. Pengertian Insolvency Test

Insolvency Test merupakan suatu audit keuangan yang

dilakukan oleh suatu kantor akuntan publik independen untuk dapat

menentukan apakah keadaan keuangan debitor yang akan diputus

36 Lili Naili Hidayah.”Indikator Insolvensi Sebagai Syarat Kepailitan Menurut Hukum

Kepailitan Indonesia”.Jurnal Hukum Vol.7.No.1.Maret 2016. 37 Sunarmi.2010.Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan DiIndonesia. Jakarta :

PT. Softmedia.Hal.318.

36

pailit bener-benar telah berada dalam keadaan tidak mampu membayar

utang-utangnya atau dengan kata lain debitor tersebut telah dalam

keadaan insolven atau justru masih berada dalam keadaan solven(sehat).

Akuntan publik akan melakukan pemeriksaan serta pengujian atas

catatan pembukuan (atau sekarang disebut dokumen perusahaan) dan

dokumen pendukung lainnya yang terkait, yang berhubungan dengan

harta kekayaan perseroan, yang dituangkan dalam sebuah auditing

report.

Merujuk pada ketentuan Insolvency Test yang diatur dalam

UU Kepailitan di Negara Amerika Serikat, sebuah perusahaan yang

hendak dimohonkan pailit harus melewati mekanisme Insolvency

test terlebih dahulu.Dimana, perusahaan baru bisa dimohonkan pailit

jika perusahaan sudah berada dalam keadaan bangkrut. Untuk itu,

dengan adanya ketentuan Insolvency Test, perusahaan dapat selamat

dari kreditor yang nakal. Sementara,Hukum Kepailitan di Indonesia

tidak dikenal adanya konsep Insolvensy Test sebagai permohonan

kepailitan debitor sehingga besarannya asset tidak dipertimbangkan

sama sekali untuk menolak ataupun menerima permohonan kepailitan.

Hukum kepailitan di Indonesia membuka kesempatan yang luas

kepada Kreditor untuk dapat mempailitkan suatu Debitor, asalkan

permohonan kepailitan tersebut telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) juncto

Pasal 8 ayat (4). Debitor dapat diputus pailit tanpa melihat

kemampuannya untuk menyelesaikan utang.

37

Teddy Anggoro,Mengatakan bahwa Konsep Insolvency Test

dalam Hukum kepailitan lebih menekankan kepada ketidakmampuan

perusahaan dalam membayar utangnya, sedangkan Simply Doesn’t Pay

adalah suatu proses dalam menagih utang asalkan terpenuhi syarat

permohonan kepailitan, dan Indonesia menganut konsep yang kedua

yaitu Simply Doesn’t Pay.38

b. Insolvency Test dalam Rangka Permohonan Kepailitan di

Beberapa Negara

1) Insolvency Test di Amerika Serikat

Amerika Seritkat sebagai negara yang bersistem hukum

Common Law, sering menjadi acuan dalam pembuatan undang-

undang di negara lainnya, tidak terkecuali mengenai Undang-undang

Kepailitannya atau yang disebut dengan Bankruptcy Reform Act of

1978 atau dikenal dengan sebutan Bankruptcy Code.

Bankruptcy Code telah mengadopsi metode insolvency test,

namun pada faktanya, masih mengalami perdebatan mengenai

metode insolvency test apa yang pailing cocok untuk diterapkan

dalam setiap permohonan kepailitan yang ada. Sebelum Bankruptcy

Code ini, Amerika menggunakan The Bankruptcy Act of 1898 yang

memberikan kesan ambigu terhadap penerapan dari insolvensi tes

38Teddy Anggoro. 2012. Revisi UU Kepailitan Untuk Melindungi Debitor.

http://www.hukumonline.com. sebagaimana dikutip dari Hukumonline.com.

38

ini.39

Hal ini dipertegas dengan keberatan dari berbagai pihak praktisi

yang ketika itu merasa adanya ketidakpastian dari penerapan

insolvency test yang mana berakibat pada kesulitan bagi mereka

untuk memberikan saran dalam hal restrukturisasi perusahaan.40

Sebelum Bankruptcy Code berlaku, di Negara Bagian di Amerika

Serikat turut mendefinisikan insolvensi menurut tes yang berbeda

standar dari insolvensi yang ada di dalam Bankruptcy Code, dan

mencipatakan insolvency-based liens. Penerapan tes ini berbeda

dengan syarat- syarat yang ditentukan dalam Bankruptcy Code.41

Sebagai contoh, dengan menggunakan equitable insolvency test, suatu

Negara Bagian dapat melakukan sita jaminan ketika debitor tidak lagi

mampu melunasi utangnya dalam waktu yang sudah ditentukan, dan

pada saat yang bersamaan, Bankruptcy Code diterjemahkan sebagai

undang-undang yang mengadopsi balance sheet test.

Dengan adanya latar permasalahan yang seperti itu, Bankruptcy

Code bersama dengan undang-undang lainnya seperti Uniform

Commercial Code, Uniform Fraudulent Transfer Act (UFTA)

berusaha menjawab dengan memberikan solusi mengenai

kemungkinan adanya beberapa insolvensi test yang dapat diterapkan

dalam hal membuktikan suatu debitor yang telah insolven untuk

dimohonkan dan diputuskan permohonan pailit. Bahkan ada beberapa

39 Randi Ikhlas Sardoni, 2011, “Instrumen Insolvensi Tes Pada Perkara Kepailitan di

Indonesia“, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hal.37. 40 Ibid, hal. 38. 41 Ibid, hal. 38.

39

pendapat dari para praktisi hukum dan konsultan finansial yang

menyatakan bahwa untuk dinyatakan solven/sehat, maka debitor

harus melewati ketiga proses mekanisme insolvency test.42

Secara garis besar terdapat tiga tes untuk dapat menentukan

keadaan insolvensi dalam kepailitan dan hukum perusahaan di

Amerika Serikat yakni:

1. The balance sheet solvency test yang secara umum dapat

dikatakan sebagai test yang menentukan apakah nilai aset

yang wajar dari suatu debitor dapat menutupi dari

kewajibannya hutang yang dimilikinya.

2. The ability to pay solvency test atau biasanya dikenal

dengan cash flow solvency test, atau equitable solvency test

yang secara umum dapat dikatakan sebagai test yang dapat

menentukan apakah suatu debitor dapat membayar utangnya

ketika utangnya telah dinyatakan jatuh tempo.

3. The capital adequacy solvency test atau biasanya dikenal

juga dengan sebutan analisis transaksional yang secara

umum dapat dikatakan sebagai suatu tes yang menentukan

apakah perusahaan memiliki kapital yang sudah memadai

untuk membayar utangnya. Namun tes ini sangat jarang

untuk digunakan dalam pembuktian solven atau insolvennya

seorang debitor di Amerika Serikat.

42 Ibid, hal. 39.

40

2) Insolvency Test di Jepang

Melalui adanya berbagai pengaruh perkembangan hukum

dari negara maju, tahap pertama dari penyusunan dan pelembagaan

hukum insolvensi di Jepang dimulai dari tahun 1920-an dan

pertengahan 1930-an.43

Hukum insolvensi ini telah dipengaruhi

oleh hukum insolvensi dan kepailitan dari berbagai negara seperti

Jerman, Austria, Inggris dan Amerika, ketika itu para pembuat

hukum di Jepang mengambil sepotong demi sepotong dari hukum

negara yang telah dianggap sebagai bagian yang terbaik untuk

disatukan menjadi hukum insolvensi di Jepang.44

Dalam ketentuan hukum insolvensi, Jepang sendiri tidak

memiliki suatu Undang-undang Kepailitan yang terkonsolidasi

secara sempurna dan menyeluruh seperti hal-nya yang telah

dimiliki oleh Negara Amerika Serikat. Hukum insolvensi di Jepang

terdiri dari lima prosedur peradilan berbeda yang dibentuk oleh

empat jenis produk yang berbeda. Dua dari prosedur yang ada di

deskripsikan sebagai prosedur yang bertipe likuidasi, yaitu:

Undang- undang Kepailitan dan Undang-undang Likuidasi Spesial.

Tiga dari prosedur tersebut dapat di deskripsikan sebagai prosedur

yang bertipe rekonstruksi dan reorganisasi, yaitu Undang-undang

Rehabilitasi Perdata, Undang-undang Pengaturan dan Reorganisasi

Perusahaan.

43 Ibid, hal. 50. 44 Ibid, hal. 50.

41

Sebagai pelengkap terhadap adanya prosedur utama

tersebut, terdapat prosedur khusus yang berkaitan dengan keadaan

insolven dari suatu perusahaan finansial, sekuritas dan asuransi

dan peraturan yang mana berhubungan dengan keputusan

kepailitan dari luar negeri. Selanjutnya, prosedur khusus juga

terdapat pada tahap mediasi dari kesulitan finansial antara debitor

dan kreditor yang diatur dalam Civil Conciliation Law

sebagaimana yang dilengkapi dengan Special Mediation Law.45

Berbagai macam prosedur tersebut memiliki objek yang berbeda-

beda dan juga persyaratan yang berbeda-beda dan diterapkan pada

entitas yang berbeda pula. Ada dua unsur utama dari seorang

debitor untuk dapat dimohonkan dan diputuskan untuk pailit di

Negara Jepang, yaitu:

1. Ketika debitur tersebut tidak dapat membayarr utangnya.

2. Ketika debitr tersebut telah menghentikan atau menunda

pembayaran utang. Maka debitor dapat dianggap tidak

mampu dalam membayar utang-utangnya.

Ketika salah satu dari dua unsur tersebut telah terpenuhi, maka

seorang kreditor dapat dengan langsung mengajukan permohonan

kepailitan di Pengadilan.

Keadaan tidak mampu membayar utang merupakan suatu keadaan

dimana debitor secara terus-menerus tidak lagi mampu membayar

45 Ibid, hal. 51.

42

utangnya ketika utangnya telah dinyatakan jatuh tempo.

Berdasarkan adanya keadaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa

debitor dalam keadaan insolven atau tidak mampu dalam

membayar utangnya merupakan kunci utama dalam persyaratan

untuk dapat dipailitkannya suatu debitor di Jepang.46

Keadaan insolven ini dianggap sebagai suatu keadaan

ketika debitor tidak mampu lagi membayar utang dengan penuh

walaupun sudah menggunakan seluruh harta kekayaan yang

dimilikinya. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan dasar

bahwa keadaan debitor yang insolven merupakan syarat utama

untuk dapat diputuskan pailitnya suatu debitor. Hal ini dapat

membuktikan bahwa hukum kepailitan di Jepang menganut asas

persyaratan insolven sebagai mana negara penganut insolvency test

lainnya.

Melalui persyaratan insolven ,maka dalam prakteknya

untuk diputuskan pailitnya suatu debitor yang dalam konteks ini

debitornya adalah perseroan atau badan hukum, tentu pemohon

atau termohon mendalilkan bahwa debitor yang dimohonkan

tersebut telah berada dalam keadaan insolven, dan untuk

membuktikan dalilnya tersebut tentu diperlukan suatu komponen

Insolvency Test yang diakui di pengadilan.

46

Ibid, hal. 53.