bab ii tinjauan pustaka a. stres kerja 1. pengertian stres...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Kerja
1. Pengertian Stres Kerja
Jones dan Barlett (1994), mendefinisikan stres sebagai
ketidakmampuan manusia dalam mengatasi ancaman yang dihadapi oleh
mental, fisik, emosional dan spiritual, yang pada suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan manusia tersebut. Dengan mengesampingkan
berbagai sudut pandang (mental, emosional, fisik dan spiritual) Jones dan
Barlett setuju bahwa stres dipengaruhi oleh persepsi manusia terhadap situasi
atau kondisi yang terdapat di lingkungan manusia. Lazarus (dalam Cotton,
1990) menjelaskan bahwa stres merupakan hubungan antara individu dengan
lingkungan yang dianggap melebihi kemampuan coping yang dimiliki dan
dapat mengganggu kesejahteraan individu. Selain itu, Siagian (2012) juga
menjelaskan bahwa stres dapat didefinisikan sebagai kondisi ketegangan yang
berpengaruh terhadap emosi, jalan pikiran dan kondisi fisik seseorang.
Stres yang dialami oleh seseorang bisa bermacam-macam jenisnya.
Misalnya saja stres pasca trauma, stres akademik, stres kerja dan sebagainya.
Stres yang paling sering dihadapi oleh seseorang yang bekerja biasanya adalah
stres kerja. Stres kerja secara umum dapat diartikan sebagai stres yang
bersumber dari lingkungan kerja. Caplan (dalam Wijono, 2011) menyatakan
bahwa stres kerja mengacu pada semua karakteristik pekerjaan yang
12
mungkin memberi ancaman kepada individu tersebut. Selanjutnya, stres
kerja juga dapat diartikan sebagai segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan
oleh karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan tekanan
(Umam, 2010). Selain itu, Mangkunegara (2009) menyatakan bahwa stres
kerja dapat diartikan sebagai perasaan tertekan yang dialami karyawan
dalam menghadapi pekerjaan.
Menurut Gibson, dkk (dalam Saputra, 2014), stres kerja adalah suatu
tanggapan penyesuaian yang diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu
dan atau proses psikologi yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap
tindakan dari luar (lingkungan), situasi atau peristiwa yang menetapkan
permintaan psikologis dan atau fisik berlebihan kepada seseorang. Selain itu,
menurut Anoraga (dalam Saputra, 2014), stres kerja adalah suatu bentuk
tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di
lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya
terancam. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa stres kerja merupakan respon seseorang yang berupa perasaan tertekan
dalam menghadapi tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuannya, serta
dirasa mengganggu dan dapat mempengaruhi kesehatannya, baik secara fisik,
emosional, maupun mental.
13
2. Gejala Stres Kerja
Gejala-gejala dari dari stres kerja dapat dilihat dari tiga aspek, menurut
Sopiah (2008) gejala-gejala tersebut meliputi :
a. Aspek fisik
Aspek fisik merupakan dampak yang dirasa mengganggu kesehatan
jasmani pekerja, misalnya seperti sakit kepala, gangguan tidur, tekanan
darah tinggi dan sebagainya.
b. Aspek psikis
Aspek psikis adalah dampak dari stres kerja yang dirasakan oleh
pekerja dan menganggu keadaan psikologis pekerja tersebut. Misalnya
berupa munculnya perasaan cemas, murung, tidak bersemangat dan
timbul rasa ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
c. Aspek perilaku
Aspek yang terakhir ialah aspek yang dapat terlihat langsung melalui
perilaku yang dimunculkan oleh pekerja. Perilaku-perilaku tersebut
biasanya meliputi agresi di tempat kerja, tingkat absensi yang tinggi,
kinerja rendah dan sebagainya.
Menurut Beehr & Newman (dalam Umam, 2010) gejala-gejala stres
kerja terbagi menjadi tiga, yaitu:
a. Gejala psikologis, yang ditandai dengan adanya kecemasan,
ketegangan, bingung, mudah tersinggung, kelelahan mental,
depresi, komunikasi yang tidak efektif, dan kebosanan.
14
b. Gejala fisiologis, ditandai dengan adanya gejala seperti merasa
letih/lelah, kehabisan tenaga, pusing, gangguan percernaan,
gangguan pernafasan, tekanan darah tinggi, gangguan tidur,
kelelahan secara fisik, gangguan kulit, meningkatnya denyut
jantung.
c. Gejala perilaku seperti absensi, menurunnya prestasi dan
produktivitas, menurunya kualitas hubungan interpersonal dengan
keluarga dan teman.
3. Faktor Penyebab Stres Kerja
Penyebab stres kerja, atau stessor yang dialami seseorang dapat terjadi
karena faktor-faktor di dalam individu, maupun faktor yang berasal dari luar
individu. Sopiah (2008) menyatakan bahwa terdapat empat hal yang menjadi
penyebab terjadinya stres di lingkungan kerja, yaitu:
a. Faktor lingkungan fisik
Faktor lingkungan fisik berkaitan langsung dengan kondisi lingkungan
dimana individu melaksanakan pekerjaan. Rancangan ruang kantor,
kualitas pencahayaan, ketiadaan privasi, kualitas udara, tingkat
kebisingan dan lain sebagainya, yang secara tidak disadari akan
mempengaruhi tingkat stres para pekerja.
15
b. Faktor peran dan tugas yang dilakukan.
Peran dan tugas yang diemban oleh pekerja pada suatu organisasi
maupun perusahaan, dapat menjadi penyebab terjadinya stres kerja.
Hal ini meliputi:
1) Konflik peran
Konflik ini memiliki tiga tipe. Pertama, inter-role conflict.
Keadaan ini terjadi ketika seorang pekerja memiliki dua peran
yang saling berlawanan. Tipe kedua adalah intra-role conflict,
dimana konflik yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan
pendapat antara satu pekerja dengan pekerja lain dan
menyebabkan terjadinya suatu masalah. Tipe yang terakhir
adalah tipe person-role conflict yang terjadi ketika tugas-tugas
yang harus dilaksanakan oleh pekerja bertentangan dengan nilai-
nilai yang diyakininya.
2) Peran ambiguitas
Peran ambiguitas merupakan keadaan dimana pekerja merasakan
ketidakpastian terhadap tugas-tugas yang diembannya,
bagaimana harapan kerja selanjutnya, tingkat kewenangan dan
hal-hal lain yang terkait dengan kondisi perusahaan. Keadaan ini
biasanya terjadi apabila seorang pekerja baru saja bergabung
dalam sebuah perusahaan atau ketika mendapatkan tugas baru
yang masih terasa asing baginya.
16
3) Beban kerja
Faktor ini adalah faktor yang paling sering menjadi penyebab
stres dikalangan para pekerja. Beban kerja yang diberikan oleh
perusahaan yang dirasa terlalu berat dan melebihi sumber daya
yang dimiliki, membuat para pekerja merasa mudah lelah dan
bosan dengan tugas-tugas yang diberikan.
4) Karakteristik tugas
Selain faktor beban tugas, karakteristik tugas yang diemban juga
dapat menjadi pemicu terjadinya stres pada pekerja. Pekerjaan
yang menuntut ketilitian dan konsentrasi tinggi misalnya.
Apabila dikerjakan secara kontinyu, maka para pekerja akan
merasa lelah dan merasa bahwa tugas tersebut menjadi berat
untuk dikerjakan.
c. Karakteristik pribadi
Karakteristik pekerja yang berbeda-beda akan berpengaruh pula pada
ketahanan para pekerja dalam menghadapi stresor yang ada. Perbedaan
latar belakangan budaya, perbedaan pengalaman, perbedaan persepsi
serta pola pikir antara pribadi dan atribut-atribut kepribadian yang lain
ini lah yang membedakan tingkat ketahanan terhadap stresor antara
satu pekerja dengan pekerja yang lainnya.
17
d. Keadaan organisasi
Keadaan organisasi yang dimaskud adalah meliputi gaya
kepemimpinan atasan, budaya organisasi yang dianut, pola kerja dalam
organisasi dan peraturan yang berlaku di dalam organisasi serta
bagaimana penerapannya.
Selain itu, menurut Jones dan Barlett (1999), penyebab stres kerja
dibagi ke dalam tiga kategori, yakni:
a. Faktor Penyebab Organisasional
1. Kurangnya otonomi dan kreativitas
2. Harapan, tenggat waktu dan kuota yang tidak logis
3. Relokasi pekerjaan
4. Kurangnya pelatihan
5. Karier yang melelahkan
6. Hubungan dengan majikan (penyelia) yang buruk
7. Selalu mengikuti perkembangan teknologi (mesin fax, voice mail
dll)
8. Donwsizing, bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahan
gaji
9. Pekerja dikorbankan (berkurangnya laba)
b. Faktor Penyebab Individual
1. Pertentangan antara karier dengan tanggung jawab keluarga
2. Ketidakpastiaan ekonomi
3. Kurangnya penghargaan dan pengakuan kerja
18
4. Kejenuhan, ketidakpuasan kerja, dan kebosanan
5. Perawatan anak yang tidak adekuat
6. Konflik dengan rekan kerja
c. Faktor Penyebab Lingkungan
1. Buruknya kondisi lingkungan kerja (kebisingan, pencahayaan,
ventilasi, suhu, dll)
2. Diskriminasi ras
3. Pelecehan seksual
4. Kekerasan di tempat kerja
5. Kemacetan saat berangkat dan pulang kerja
4. Manajemen Stres
Istilah manajemen stres menurut Cotton (1990), merujuk pada
identifikasi dan analisis terhadap sumber stres, dan pengaplikasian cara-cara
yang terapeutik untuk mengubah sumber stres dan pengalaman terkait stres
yang dirasakan. Cotton (1990) menambahkan bahwa terdapat empat cara yang
dapat dilakukan untuk memanajemen stres, yakni:
a. Terapi Individual
Terapi individual biasanya dilakukan untuk menangani permasalahan
pada kasus individual dengan permasalahan yang tergolong berat. Hal
ini bertujuan agar klien bisa mendapatkan perhatian penuh dari terapis.
19
b. Terapi Kelompok
Berbeda dengan terapi individual, pada terapi kelompok permasalahan
yang akan diselesaikan tergolong permasalahan yang tidak terlalu berat
dan dialami oleh seluruh anggota dalam terapi. Sehingga dalam
pelaksanaannya akan terjadi pertukaran informasi dan pengalaman
antar anggota terapi yang dapat membantu terjadinya insight.
c. Workshop
Workshop tidak jauh berbeda dengan kegiatan psikoedukasi, hanya
saja dalam pelaksanaannya akan lebih singkat jika dibandingkan
dengan kegiatan psikoedukasi. Biasanya workshop diadakan dalam 2-3
hari dan melibatkan banyak peserta. Workshop dianggap sebagai cara
yang tepat untuk memberikan informasi baru kepada para peserta,
hanya saja proses terapeutik biasanya tidak dapat terbentuk karena
jumlah peserta yang terlampau banyak.
d. Blibliography
Blibliography merupakan cara memanajemen stres yang dilakukan
dengan membaca buku. Namun, metode ini menekankan pada
kemampuan klien dalam memproses informasi yang didapat dari
membaca buku dan membutuhkan motivasi yang tinggi dari klien
untuk menerapkan pengetahuan baru yang didapatkan dari membaca
buku.
20
Pada penelitian ini, cara memanajemen stres yang akan digunakan
adalah dengan metode terapi kelompok. Cara ini dipilih karena menurut
Johnson (dalam Astari, 2012) terapi kelompok bertujuan untuk meningkatkan
keberfungsian dari para klien yang berlandaskan pada hubungan antara klien
dalam terapi. Selain itu, memanajemen stres melalui terapi juga bergantung
pada pelepasan ketegangan dan kecemasan melalui katarsis, serta terjadinya
proses pembelajaran kognitif untuk memunculkan insight pada tiap klien
(Cotton, 1990). Pada penelitian ini, terapi kelompok yang dilaksanakan akan
dikemas dalam kegiatan Terapi Seni dengan metode menggambar. Terapi Seni
dengan metode menggambar dipilih karena menggambar merupakan jalan
keluar untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan yang positif maupun
negatif tentang diri sendiri, keluarga, dan dunia (Djiwandono, 2005).
B. Terapi Seni
1. Pengertian Terapi Seni
Menurut Case & Dalley (dalam Liebmann, 2004) Terapi Seni
merupakan penggunaan media seni dalam bentuk yang berbeda-beda, dimana
klien dapat menggunakannya untuk mengungkapkan dan mengatasi
permasalahan yang telah dibawa ke dalam terapi. Pada Terapi Seni, terapis
dan klien merupakan mitra yang berusaha secara bersama-sama untuk
memahami proses dan produk seni yang dihasilkan. Selanjutnya, Liebmann
(2004) menyatakan bahwa Terapi Seni merupakan penggunaan media seni
sebagai bentuk dari ekspresi kreatif seseorang untuk mengkomunikasikan
21
perasaan, dan bukan bertujuan untuk menghasilkan sebuah karya seni yang
nantinya akan dinilai berdasarkan standar seni pada umumnya.
Terapi Seni (dalam Adriani, 2011) didefinisikan sebagai bentuk
psikoterapi yang menggunakan media seni, material seni, dengan pembuatan
karya seni untuk berkomunikasi. Media seni yang digunakan dapat berupa
pensil, kapur berwarna, warna, cat, potongan-potongan kertas, dan tanah liat.
Kegiatan Terapi Seni dapat mencakup berbagai kegiatan seni seperti
menggambar, melukis, memahat, menari, gerakan-gerakan kreatif, drama,
puisi, fotografi, melihat dan menilai karya seni orang lain. Berdasarkan
beberapa definisi di atas, maka Terapi Seni dapat diartikan sebagai suatu
bentuk psikoterapi menggunakan media seni, dengan pembuatan karya seni
sebagai saran mengeksplorasi proses berpikir dan mengkomunikasikan konflik
yang menyebabkan tekanan emosional.
Terapi Seni didasarkan pada gagasan bahwa proses kreatif dalam
pembuatan seni dapat menyembuhkan dan meningkatkan rasa kesejahteraan
serta merupakan bentuk komunikasi pikiran dan perasaan yang nonverbal
(American Art Therapy Association, dalam Malchiodi 2003). Terapi Seni juga
banyak digunakan sebagai sarana menyelesaikan konflik emosional,
meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan keterampilan sosial,
mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan,
mengerahkan realitas, meningkatkan harga diri dan berbagai gangguan
psikologis lainnya (Malchiodi, 2003).
22
Menurut Lusebrink (dalam Moon, 2008) terdapat dua pandangan
terhadap Terapi Seni. Pandangan pertama menyatakan bahwa Terapi Seni
berfokus pada karya seni yang dihasilkan serta aspek artistik yang ada.
Sedangkan pandangan kedua lebih menekankan pada proses pembuatan karya
seni serta penjelasan verbal terkait seni yang dihasilkan dan insight yang
didapatkan. Selaras dengan pendapat Lusebrink, Moon (2008) menjelaskan
bahwa dalam ranah Terapi Seni terdapat tiga prinsip hubungan yang dapat
terjadi, yakni hubungan antara klien dengan karya seni yang dihasilkan,
hubungan antara terapis dengan hasil karya klien, dan hubungan antara terapis
dengan klien tersebut. Pada penelitian ini, peneliti akan berfokus pada proses
pembuatan karya seni serta penjelasan yang menyertainya, dan mengutamakan
komunikasi yang terjadi antara klien, maupun antara klien dengan terapis,
terkait karya seni yang dihasilkan oleh klien.
Terapi Seni memiliki sejumlah pendekatan yang telah dipengaruhi oleh
beberapa aliran dalam psikologi, seperti aliran psikoanalisa, humanisme,
perilaku/behavioral, kognitif-perilaku/cognitive-behavioral, dan sebagainya.
Pada penelitian ini pendekatan yang akan digunakan adalah Terapi Seni yang
telah dipengaruhi oleh aliran humanisme Maslow, yang menjelaskan bahwa
Terapi Seni dapat mempercepat perkembangan psikologi, kemampuan
aktualisasi diri, serta sebagai sarana perenungan dan meditasi (Moon, 2008).
23
2. Prinsip Fundamental Terapi Seni
Moon (2008) menjelaskan bahwa terdapat prinsip-prinsip fundamental
dalam Terapi Seni, yakni:
a) Terapi Seni lebih dari sekedar kata-kata, ini berarti bahwa aspek
terpenting Terapi Seni terjadi pada interaksi antara klien, media yang
digunakan, karya seni yang dihasilkan dan proses artistik yang terjadi.
Tugas utama terapis seni adalah menyediakan lingkungan dan
menciptakan atmosfer yang memfasilitasi interaksi ini.
b) Pembicaraan dapat menjadi sumber pembuktian, maksudnya adalah
berbicara tentang foto, lukisan, gambar dan bentuk seni lainnya dapat
memberikan kenyamanan psikologis bagi klien dan terapis. Bagi klien,
berbicara tentang proses dan produk artistik yang dihasilkan memberi
kesempatan bagi mereka untuk menciptakan jarak emosional yang
sering muncul melalui karya yang mereka buat. Maka, dengan begitu
klien menjadi lebih nyaman dalam menyampaikan apa yang dipikirkan
dan dirasakannya.
c) Terapi Seni dapat digunakan dalam populasi yang luas dan beragam.
Hal ini menjelaskan bahwa Terapi Seni dapat digunakan oleh siapa
saja baik muda maupun tua, tidak berbatas gender, ras, kepercayaan,
dan budaya.
d) Kreativitas dalam Terapi Seni dapat meningkatkan kepuasan dan harga
diri. Setelah masa awal penolakan terhadap Terapi Seni, hampir semua
klien melihat studio Terapi Seni sebagai tempat yang nyaman di mana
24
klien belajar untuk bangga dengan keberanian mereka dalam
mengungkapkan perasaan melalui seni.
e) Pengungkapan ekspresi melalui seni dinilai menyehatkan. Dunia ini
penuh dengan orang-orang yang tidak bisa, atau tidak mau,
mengekspresikan perasaan mereka secara verbal. Oleh sebab itu,
mengungkapkan perasaan melalui media seni dapat membuat
seseorang menjadi lebih nyaman untuk mengungkapkan perasaan
mereka.
f) Terapi Seni dapat ditingkatkan oleh imajinasi. Maksudnya adalah,
keenganan berbicara merupakan hasil dari pengaruh psikologis,
sosiologis, biologis maupun ketiganya. Namun, melalui Terapi Seni
klien dapat mengungkapkan perasaan melalui media seni dan
permasalahan yang sedang dihadapi klien dapat muncul dalam karya
yang mereka buat, terlebih jika mereka dapat berimajiansi dan
menuangkannya dalam karya seni.
g) Terapi Seni mendorong klien untuk membuat gambaran emosional
mengenai orang dan peristiwa penting dalam kehidupan mereka.
h) Terapi Seni memungkinkan klien membuat objek yang mewakili
perasaan dan pikiran mereka. Proses pembuatan karya seni memberi
inspirasi kepada klien dan terapis untuk berdialog tentang hal tersebut.
Klien akan merasa lebih nyaman jika membicarakan permasalahan
melalui karya seni yang dihasilkan dari pada jika harus membicarakan
permasalahan secara langsung.
25
i) Perasaan asli yang berkaitan dengan kejadian dalam kehidupan klien
akan tetap melekat pada karya seni yang dihasilkan. Semua seniman
tahu bahwa karya seni bisa membangkitkan perasaan yang mendalam
terkait sebuah peristiwa, penyesalan, atau hal lainnya. Istilah
psikologis untuk hal ini adalah ‘cathexis’ atau energi yang terdapat
dalam seseorang, suatu benda maupun sebuah ide.
j) Seorang terapis seni memiliki dua alat penting dalam melaksanakan
Terapi Seni, yakni seni dan dirinya sendiri. Seorang terapis merupakan
alat utama dalam sebuah terapi, dan seni merupakan media sebagai
perantara antara terapis dan klien.
3. Tahap-tahap Terapi Seni
Terapi Seni dapat disajikan dengan berbagai cara, terkadang
bermanfaat bagi klien untuk menarik pikiran dan perasaan secara spontan dan
pada saat lain pendekatan yang lebih terstruktur terbukti paling terapeutik
(Buchalter, 2009). Penggunaan Terapi Seni memungkinkan terjadinya
pertumbuhan, introspeksi, munculnya insight dan penemuan pemecahan
masalah dengan cara baru pada diri klien. Terapi ini juga menawarkan cara
baru yang tidak akan membuat klien menjadi bosan dengan presentasi yang
sama dari hari ke hari. Teknik ini akan sangat membantu saat klien dan / atau
terapis membutuhkan teknik baru untuk mengeksplorasi masalah dengan cara
yang efektif (Buchalter, 2009). Proses pelaksanaan Terapi Seni dapat
dilakukan secara individual maupun dalam kelompok ideal yang berjumlah 4
26
sampai 12 orang (Liebmann, 2004). Adapun tahap penyelenggaraan Terapi
Seni menurut Buchalter (2009) biasanya terdiri dari beberapa tahap sebagai
berikut:
a) Warm-ups / pemanasan
Pemanasan bisa dianggap sebagai peregangan mental. Biasanya,
pemanasan membutuhkan waktu selama lima sampai sepuluh menit
dan bertujuan untuk membantu klien agar terbiasa menggambar, dan
mengekspresikan dirinya secara kreatif. Pada tahap ini biasanya akan
dilakukan dengan instruksi yang relatif sederhana dan terbukti dapat
meningkatkan harga diri serta membuat klien ingin melanjutkan terapi
ini. Tahap pemanasan ini membantu terapis untuk menyampaikan
pesan kepada klien bahwa dalam Terapi Seni nilai estetika bukanlah
hal yang utama, namun ekspresi pikiran dan perasaan yang dituangkan
klien ke dalam karya seni yang dianggap lebih penting.
b) Mindfulness / memfokuskan perhatian
Tahap selanjutnya adalah tahap mindfulness. Pada tahap ini, klien akan
diminta untuk memfokuskan perhatian pada proses Terapi Seni agar
klien dapat lebih merasakan atmosfer yang tercipta. Hal ini dapat
memberikan ketenangan dan kenyamanan kepada klien, serta menjadi
cara untuk menyingkirkan pikiran-pikiran negatif, kegelisahan dan
tekanan yang menyerang. Klien akan didorong untuk memusatkan
perhatian penuh pada yang sedang mereka kerjakan dan membiarkan
27
pikiran mereka tertuang dengan lancer ke dalam karya yang mereka
ciptakan.
c) Drawing / menggambar
Tahap terakhir ini menjadi kesempatan bagi klien untuk
mengkomunikasikan pikiran, perasaan, kekhawatiran, masalah,
harapan, impian dan keinginan dengan cara yang relatif tidak
mengancam. Tahap menggambar berfungsi sebagai sarana bagi klien
untuk mengungkapkan pikiran tak sadar, sebaik klien mengungkapkan
pikiran sadarnya. Proses kreatif ini memberi kebebasan kepada klien
untuk mewakili dunia batiniah dan lahiriahnya dengan cara apa pun
yang dia pilih. Ini juga memberinya kesempatan untuk mendamaikan
kedua dunia tersebut dengan dialog artistik.
Selain itu, Liebmann (2004) juga menyatakan terdapat beberapa tahap
dalam Terapi Seni yakni meliputi:
a) Introduction and Warming up / Perkenalan dan Pemanasan
Tujuan awal dari tahap perkenalan adalah untuk mempersatukan para
klien sehingga mereka dapat lebih saling mengenal dan merasa rileks
sebelum nantinya akan memasuki tahap inti dimana klien akan diminta
untuk mengekplorasi emosi-emosi negatif yang dirasakannya. Selain
itu, pada tahap ini para klien dan terapis dapat mendiskusikan tema
utama serta tujuan terapi. Pembahasan aturan-aturan selama kegiatan
juga perlu didiskusikan guna memperlancar proses jalannya terapi.
28
Tahap selanjutnya adalah tahap warming up. Pada tahap ini klien
mulai dikenalkan pada bentuk dari Terapi Seni. Kegiatan yang
dilakukan biasanya terkait dengan menggambarkan hal-hal sederhana
terkait gambaran diri klien. Tahap perkenalan dan pemanasan ini
biasnaya berlangsung 10 hingga 30 menit.
b) Art Work / Pembuatan Karya Seni
Tahap pembuatan karya seni merupakan tahap inti dari proses Terapi
Seni yang berlangsung selama 20 sampai 45 menit. Pada tahap ini
terapis harus memastikan bahwa tidak ada interupsi dari pihak
manapun. Pastikan bahwa klien dapat benar-benar mendalami proses
pembuatan seni. Terkadang akan ada klien yang kesulitan dalam
memulai pekerjaan, makan terapis atau fasilitator diperbolehkan untuk
memandu klien dalam mengekpolrasi apa yang klein rasakan sehingga
klien dapat mencurahkannya dalam karya yang diciptakan.
c) Discussion of Images / Diskusi Karya Seni
Setelah proses pembuatan karya seni, terapis akan memfasilitasi
diskusi yang terjadi diantara para klien selama kurang lebih 30 sampai
45 menit. Terapis bertugas untuk mengatur dinamika kelompok
sehingga para klien memperoleh giliran yang proporsional dalam
mengungkapkan pendapat terkait karya seni yang dihasilkan. Pada
tahap ini biasanya terdapat tiga model diskusi yang dapat dipilih,
yakni: 1. Setiap klien mendapat giliran; 2. Fokus pada satu atau dua
karya seni, dan; 3. Fokus pada dinamika kelompok.
29
d) Ending / Penutup
Tahap terakhir adalah tahap penutup. Pada tahap ini, alangkah baiknya
terapis mengakhiri proses Terapi Seni dengan catatan-catatan positif
atau dengan ritual tertentu agar para klien lebih mengingat akan hasil
dari terapi pada sesi tersebut. Tahap ini biasanya membutuhkan waktu
selama 5 hingga 10 menit.
C. Pengaruh Terapi Seni terhadap Penurunan Stres Kerja
Terapi Seni dengan metode menggambar dipilih karena menggambar
merupakan jalan keluar untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan yang
positif maupun negatif tentang diri sendiri, keluarga, dan dunia (Djiwandono,
2005). Terapi Seni menggabungkan proses pembuatan seni (gambar, lukisan,
patung, dan media seni lainnya) dengan metode psikoterapi untuk
meningkatkan dan memperbaiki kesejahteraan psikologis individu dari segala
usia (Fatmawati, 2015). Terapi Seni juga dapat dijadikan sarana untuk
membantu individu dari segala usia dalam menciptakan insight dan
penyembuhan terhadap permasalahan emosional atau trauma, menyelesaikan
konflik dan masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan meningkatkan
pencapaian kesejahteraan (Malchiodi, 2003).
Terapi Seni merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis terapi
ekspresif yang melibatkan individu dalam aktivitas kreatif penciptaan (karya
atau produk) seni. Melalui aktivitas seni tersebut, diasumsikan bahwa cara ini
merupakan media paling aman untuk memfasilitasi individu dalam
30
berkomunikasi melalui eksplorasi pikiran, persepsi, keyakinan, dan
pengalaman, khususnya emosi. Proses dan respon subjek saat menggambar
maupun menghasilkan karya seni lainnya digunakan sebagai refleksi atas
perkembangan, kemampuan, kepribadian, ketertarikan, perhatian dan konflik
individu (dalam Mukhlis 2011).
Field dan Kruger (dalam Fatmawati, 2015) juga menyatakan bahwa
ekspresi kreatif akan bermanifestasi sebagai mood positif, rasa percaya diri,
kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik, berkurangnya kecemasan,
serta kemampuan untuk membentuk diri secara aktif. Menurut Aristoteles
(dalam Hasan, 1996) sebuah karya seni adalah perwujudan artistik yang
merupakan hasil dari kartasis yang disertai estetika. Kartasis sendiri dalam
pandangan psikoanalisa diasumsikan sebagai ekspresi dan pelepasan emosi
yang ditekan (Corsini dan Wedding dalam Qonitatin, 2011).
Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Adriani (2011)
yang menunjukkan bahwa proses katarsis dalam Terapi Seni dengan metode
menggambar dapat menurunkan kecemasan. Hal ini terjadi karena melalui
proses menggambar klien mampu mengekspresikan gejolak perasaan cemas
sehingga dengan demikian beban kecemasan menjadi berkurang. Seperti yang
telah diungkapkan sebelumnya, Sopiah (2008) menyatakan bahwa salah satu
gejala dari stres kerja adalah timbul perasaan cemas. Oleh sebab itu, apabila
subjek telah berhasil mengungkapkan kecemasan tersebut dan mendapatkan
insight untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, diharapkan tingkat
stres kerja yang subjek rasakan dapat menurun.
31
Hidayah (2014) dalam penelitiannya mengutarakan bahwa melalui
Terapi Seni seseorang juga dapat meningkatkan konsep diri. Apabila konsep
diri telah terbentuk, maka kemampuan coping stress juga dapat meningkat
(Sitepu, dalam Karyanta, dkk 2015). Hal ini terjadi karena ketika konsep diri
terbentuk maka akan terbentuk pula penilaian positif pada diri sendiri,
meningkatnya motivasi, dan meningkatnya kemampuan beradaptasi dalam
menghadapi storm dan stress yang terjadi (Karyanta, dkk 2015). Selain itu,
(Hidayah, 2014) menambahkan bahwa proses Terapi Seni dapat
menumbuhkan keyakinan atas kemampuan diri dan memberi bekal kekuatan
pada diri sehingga memungkinkan seseorang untuk menghadapi segala
permasalahan dan melaksanakan tugas dengan lebih baik.
Melalui kegiatan Terapi Seni dengan metode menggambar, diharapkan
dapat menjadi media bagi subjek untuk melakukan kartasis secara kreatif
melalui metode menggambar guna memunculkan mood positif yang akan
berdampak terhadap menurunnya aktivitas pada amigdala yang biasanya akan
meningkat ketika individu sedang merasa tertekan dan stres. Selain itu, dengan
melakukan kegiatan yang menyenangkan (seperti menggambar dan berbagi
kecemasan) dapat meningkatkan kadar dopamin dalam otak yang berfungsi
untuk penciptaan rasa senang dapat membantu menurunkan hormon
kortisol/hormon stres (Stenberg, 2008).
Pada mahasiswa yang bekerja dan mengalami stres kerja, kegiatan
Terapi Seni dengan metode menggambar diharapkan mampu menumbuhkan
kepekaan terhadap stresor yang muncul dan meningkatkan kemampuan untuk
32
mengungkapkan perasaan yang akan membantu mereka dalam mengurangi
kecemasan akibat perasaan negatif yang ditekan. Selain itu, melalui Terapi
Seni secara berkelompok maka subjek akan memperoleh dukungan dan cara
baru terkait penyelesaian masalah yang telah didiskusikan selama proses
terapi kelompok (Liebmann, 2004). Stres kerja yang dialami seseorang perlu
untuk segera diatasi, karena apabila stres menjadi terlalu besar maka akan
mengganggu pelaksanaan kerja dan berdampak pada kinerja yang menurun.
Menurut Handoko (2001) karyawan yang kehilangan kemampuan untuk
mengendalikan stres, menjadi tidak mampu mengambil keputusan dengan
baik serta akan memunculkan perilaku yang tidak teratur. Oleh sebab itu, stres
kerja harus diatasi dengan segara agar para karyawan dapat tetap bekerja
secara maksimal sesuai dengan apa yang diharapakan oleh pihak perusahaan.
D. Hipotesis
Terdapat perbedaan tingkat stres kerja pada mahasiswa yang bekerja
sebelum dan sesudah mengikuti Terapi Seni dengan metode menggambar,
dimana tingkat stres kerja pada subjek setelah mengikuti Terapi Seni dengan
metode menggambar lebih rendah jika dibandingkan tingkat stres kerja
sebelum mengikuti terapi.